ABSTRACT
The Policy of Lampung Province government in improving regional original income through Lampung Governor Regulation Number 27 in 2011
By
Iskandar Muda Pohan
Numerous subjects of vehicle tax who do not conduct their obligation to pay tax and numerous vehicle with non BE number plat running in Lampung province encourage Lampung province government to publish a policy to give ease in paying vehicle tax (PKB) and vehicle name possession transfer tax (BBNKB) which is known as scapegoat policy. This policy was conducted from October 1st 2011 to March 31st 2012. This policy was conducted based on Lampung Governor Regulation Number 27 in 2011 about the scapegoat of PKB and BBNKB , and the Decision of Head of Regional Income Official in Lampung province Number 973/0215/III.18/01/2011 about the technical guidance of Lampung Governor Regulation Number 27 in 2011. Based on this background, the researcher is interested to conduct a research about the scapegoat policy. The problems of this research are: a) how does the conduct of Lampung province policy in improving regional original income trough scapegoat of PKB and BBNKB? b) how does the contribution of the scapegoat of PKB and BBNKB to the improvement of regional original income in Lampung province? c) what are inhibiting factors in conducting policy of scapegoat of PKB and BBNKB to the improvement of regional original income in Lampung province?
This research uses normative and empirical approaches. The normative approach is aimed as efforts to discuss based on applied regulations. Empirical approach is conducted by observing facts in the field upon the application of scapegoat of PKB and BBNKB in Lampung province.
Iskandar Muda Pohan
conversed in BE number plat where the status of name in possession is changed and the vehicle are transferred administratively to Lampung province. Efforts of Lampung province in scapegoat of PKB and BBNKB do not improve greatly the regional original income from tax sector. Inhibiting factors are that structure and infrastructure to support this policy are not yet optimum, and less public awareness to pay tax.
ABSTRAK
KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI LAMPUNG DALAM PENINGKATAN PAD MELALUI PERATURAN GUBERNUR
LAMPUNG NOMOR 27 TAHUN 2011
Oleh
Iskandar Muda Pohan
Masih adanya subyek pajak kendaraan bermotor (PKB), namun tidak melaksanakan kewajibannya membayar pajak dan adanya kendaraan bernomor polisi Non BE yang beroperasi di Provinsi Lampung, mendorong pemerintah Provinsi Lampung mengeluarkan kebijakan berupa pemberian keringanan pembayaran pajak kendaraan bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), yang lebih dikenal dengan sebutan kebijakan pemutihan. Kebijakan tersebut dilaksanakan mulai tanggal 1 Oktober 2011 hingga 31 Maret 2012. Kebijakan Pemutihan PKB dan BBNKB ini dilaksanakan berdasarkan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 27 Tahun 2011 tentang Pemberian Keringanan, Pengurangan dan atau Pembebasan PKB dan BBNKB bagi pemilik kendaraan bermotor berplat nomor polisi BE dan Non BE yang menunggak pembayaran PKB dan BBNKB serta Keputusan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Lampung Nomor: 973/0215/III. 18/01/2011 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Gubernur Lampung Nomor 27 Tahun 2011. Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai kebijakan pemutihan ini, dengan permasalahan sebagai berikut: a) Bagaimanakah pelaksanaan kebijakan pemerintah Provinsi Lampung dalam peningkatan PAD melalui pemutihan PKB dan BBNKB? b) Bagaimanakah kontribusi kebijakan pemutihan PKB dan BBNKB terhadap peningkatan PAD Provinsi Lampung? c) Apakah faktor pengambat kebijakan pemutihan PKB dan BBNKB terhadap peningkatan PAD Provinsi Lampung?
I. PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Perkembangan jumlah kendaraan bermotor baik kendaraan roda dua (sepeda motor) maupun roda empat (mobil) di Indonesia kian pesat dari tahun ke tahun. Pertumbuhan kendaraan bermotor ini juga terjadi di Provinsi Lampung. Berdasarkan rekapitulasi yang dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Lampung jumlah kendaraan bermotor di provinsi baik roda dua maupun roda empat selama tahun 2006 sampai tahun 2010 mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2006 jumlah kendaraan bermotor roda dua dan roda empat di Provinsi Lampung sebanyak 670.703 unit, sedangkan pada tahun 2010 jumlah kendaraan bermotor naik menjadi 1.219.409 unit (Laporan Terget dan Reaslisasi Pendapatan Provinsi Lampung tahun anggaran 2006 sampai tahun 2010). Pertambahan jumlah kendaraan bermotor tersebut juga terjadi pada tahun 2011.
kendaraan bermotor (PKB) atas kendaraan bermotor yang dimiliki dengan berbagai alasan.
Masih adanya subyek pajak kendaraan bermotor (PKB), namun tidak melaksanakan kewajibannya membayar pajak dan adanya kendaraan bernomor polisi Non BE yang beroperasi di Provinsi Lampung, mendorong pemerintah Provinsi Lampung mengeluarkan kebijakan berupa pemberian keringanan pembayaran pajak kendaraan bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Kebijakan tersebut adalah Kebijakan Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang dilaksanakan tanggal 1 Oktober 2011 hingga 31 Maret 2012.
Kebijakan Pemutihan PKB dan BBNKB ini dilaksanakan berdasarkan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 27 Tahun 2011 tentang Pemberian Keringanan, Pengurangan dan atau Pembebasan PKB dan BBNKB bagi pemilik kendaraan bermotor berplat nomor polisi BE dan Non BE yang menunggak PKB dan BBNKB serta Keputusan Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Provinsi Lampung Nomor: 973/0215/III.18/01/2011 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Gubernur Lampung Nomor 27 Tahun 2011 (Tribun Lampung, Tanggal 26 September 2011). Pertimbangan dikeluarkannya keputusan ini oleh pemerintah Provinsi Lampung terdapat pada bagian konsideran Peraturan Gubernur Lampung Nomor 27 Tahun 2011, yaitu sebagai berikut:
b. bahwa dalam rangka peningkatan penerimaan daerah guna menunjang peningkatan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat di daerah, potensi penerimaan daerah dari sektor pajak dimaksud masih dimungkinkan untuk digali dan ditingkatkan.
c. bahwa salah satu upaya yang perlu dilakukan dalam rangka pelaksanaan maksud huruf b tersebut di atas adalah memberikan keringanan, pengurangan, dan atau pembebasan pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Beba Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) khususnya bagi kendaran bermotor dengan Nomor Polisi Non BE dan Nomor Polisi BE yang menunggak PKB dan BBNKB.
d. bahwa sehubungan dengan maksud huruf b dan huruf c tersebut di atas, dan agar pelaksanaannya berjalan tertib, lancar, berdayaguna, perlu diatur ketentuan mengenai pemberian keringanan, pengurangan dan atau pembebasan pajak dimaksud dan menetapkannya dengan Peraturan Gubernur Lampung.
Teknis pelaksanaan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 27 Tahun 2011 ini diatur dalam Keputusan Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Provinsi Lampung Nomor: 973/0215/III. 18/01/2011, yang mengatur hal sebagai berikut:
1. Untuk Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) diberikan kepada:
a. Kendaraan tahun pembuatan sampai dengan 2009 yang menunggak pajak hanya dikenai pokok PKB tahun berjalan tanpa denda. b. Kendaraan tahun pembuatan di atas 2010 yang menunggak pajak
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) diberikan kepada:
a. Kendaraan non-BE menjadi BE yang statusnya berganti nama pemilik dibebaskan dari biaya BBNKB. Namun jika tetap atas nama pemilik dibebaskan dari biaya BBNKB dan pengurangan PKB sebesar 25 persen dari pokok PKBnya.
b. Kendaraan BE yang dimutasikan antardaerah di Provinsi Lampung dan PKB-nya telah jatuh tempo dibebaskan dari biaya BBNKB dan dikenai PKB tahun berjalan.
c. Kendaraan BE yang dimutasikan antar daerah di Provinsi Lampung dan PKBnya belum jatuh tempo dibebaskan dari biaya BBNKB dan PKB untuk masa pajak yang belum dilalui akan dihitung (Tribun Lampung, Tanggal 26 September 2011).
Kebijakan ini bertujuan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan menyadarkan serta memberikan keringanan kepada masyarakat Provinsi Lampung dalam melaksanakan kewajibannya membayar pajak kendaraan bermotor (PKB). Selain itu, kebijakan pemutihan ini juga dilaksanakan oleh pemerintah Provinsi Lampung sebagai langkah untuk verifikasi kendaraan-kendaraan bermotor yang ada di Provinsi Lampung guna dimasukkan dalam database Samsat. Langkah ini
Namun sebelum pelaksanaannnya diperlukan data mengenai kepemilikan dan jumlah kendaraan bermotor yang ada di Provinsi Lampung.
Apabila kebijakan ini berjalan sesuai dengan tujuannya, diharapkan berkontribusi baik terhadap peningkatan penerimaan pendapatan daerah Provinsi Lampung. Pajak kendaraan bermotor merupakan sektor yang sangat strategis bagi peningkatan penerimaan pendapatan asli daerah (PAD). Peningkatan pendapatan asli daerah dari sektor pajak ini, dapat digunakan untuk kepentingan perbaikan sarana dan prasarana lalu lintas, seperti perbaikan jalan, penambahan ruas jalan, dan sarana peneranganan jalan, sehingga dapat meningkatkan perekonomian di Provinsi Lampung.
Berdasarkan uraian singkat di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pelaksanaan Kebijakan Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang beri judul: “Kebijakan Pemerintah Provinsi Lampung Dalam Peningkatan PAD Melalui Peraturan Gubernur Lampung Nomor 27 Tahun 2011”.
1. 2 Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1. 2. 1 Permasalahan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:
b. Bagaimanakah kontribusi kebijakan pemutihan PKB dan BBNKB terhadap peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) Provinsi Lampung?
c. Apakah faktor pengambat pelaksanaan kebijakan pemutihan PKB dan BBNKB terhadap peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) Provinsi Lampung?
1. 2. 2 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang Hukum Administrasi Negara pada umumnya dan Hukum Administrasi Daerah pada khususnya mengenai kebijakan Provinsi Lampung dalam peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) melalui pemutihan PKB dan BBNKB.
1. 3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. 3. 1 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui dan menganalisis kebijakan pemerintah Provinsi Lampung dalam peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) melalui pemutihan PKB dan BBNKB.
b. Mengetahui dan menganalisis kontribusi kebijakan pemutihan PKB dan BBNKB terhadap peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) Provinsi Lampung.
1. 3. 2 Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini terdiri dari kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu sebagai berikut:
a. Kegunaan teoritis
Secara teoritis, penelitian ini berguna sebagai upaya pengembangan wawasan pemahaman di bidang ilmu Hukum Administrasi Negara, khususnya Hukum Administrasi Daerah tentang kebijakan Pemerintah Provinsi Lampung dalam peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) melalui pemutihan PKB dan BBNKB.
b. Kegunaan praktis
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Peraturan Kebijakan Dalam Hukum Administrasi Negara
2. 1. 1 Pengertian Peraturan Kebijakan
Peraturan kebijakan (beleidsregels, spiegelsrecht, pseudowetgeving, olicy rules)
adalah ketentuan (rules bukan law) yang dibuat oleh pemerintah sebagai pejabat
administrasi negara. Cabang-cabang pemerintahan yang lain tidak berwenang
membuat peraturan kebijakan. Presiden sebagai kepala negara tidak dapat
membuat peraturan kebijakan. Kewenangan Presiden membuat peraturan
kebijakan adalah dalam kedudukan sebagai badan atau pejabat administrasi
negara, bukan sebagai kepala negara.
Peraturan kebijakan bukan (tidak termasuk) salah satu bentuk atau jenis peraturan
perundang-undangan, meskipun dalam banyak hal tampak (menampakkan gejala)
sebagai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, penggunaan istilah
peraturan dalam arti wetgeving (peraturan perundang-undangan) sebenarnya
kurang tepat. Kalaupun dipergunakan istilah peraturan bukan dalam padanan
wetgeving atau legislation, tetapi sebagai padanan regel atau rule. Dalam kaitan
Pada Bahasa Indonesia, istilah regel atau rule mungkin lebih tepat berpadanan
dengan kata ketentuan dibandingkan peraturan atau peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian, keputusan administrasi negara sebagai beleidsregel
akan dinamakan ketentuan kebijakan. Dengan memakai kata ketentuan akan
nampak bedanya dengan peraturan yang dapat berarti sebagai salah satu bentuk
peraturan perundang-undangan, yakni peraturan pemerintah atau peraturan
presiden.
Pembuatan peraturan kebijakan diperlukan dalam rangka menjamin ketaat-asasan
(konsistensi) tindakan administrasi. Ketaat-asasan ini bukan hanya berlaku bagi
tindakan yang bersumber atau berdasarkan peraturan perundang-undangan, juga
berlaku bagi tindakan-tindakan yang didasarkan pada kebebasan bertindak.
Kebutuhan akan ketaat-azasan ini berkaitan dengan azas-azas umum
penyelenggaraan pemerintahan yang layak (algemene beginselen van behoorlijk
bestuur), antara lain asas kesamaan (gelijkheidsbeginsel), asas kepastian hukum
(rechtszekerheidsbeginsel) dan asas dapat dipercaya (vertrowenbeginsel). Dengan
adanya peraturan kebijakan tersebut, maka akan terjamin ketaat-asasan tindakan
administrasi negara dan untuk setiap peristiwa yang mengandung persamaan,
kepastian hukum, dan tindakan-tindakan dapat dipercaya karena didasarkan pada
peraturan tertentu.
2. 1. 2 Peraturan Kebijakan dalam Sistem Hukum di Indonesia
Hukum merupakan suatu sistem karena diikat oleh asas hukum. Oleh karena itu,
apabila memahami hukum sebagai suatu sistem hukum, maka hukum
suatu peraturan perundang-undangan yang merupakan suatu sistem yang
bersumber pada suatu nilai tertentu. Sistem nilai ini dapat membentuk masyarakat
menurut pola yang dikehendaki dan pedoman bagi pembentukan undang-undang
dalam menentukan pola tingkah laku masyarakat. Dengan kata lain, hukum tidak
saja digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang
ada pada masyarakat, melainkan juga mengarah pada tujuan-tujuan yang
dikehendaki (Satjipto Raharjo, 1986: 168).
Pembentukan peraturan perundangan dalam rangka harmonisasi hukum menuju
hukum responsif, diselenggarakan melaui proses demokratis dan terintegrasi yang
dijiwai Pancasila dan bersumber pada UUD 1945, untuk menghasilkan produk
peraturan perundang-undangan yang harmonis sampai pada tingkat peraturan
pelaksanaannya. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang memenuhi nilai filosofis yang
berintikan rasa keadilan dan kebenaran, sosiologis yang sesuai dengan tata nilai
budaya yang berlaku dalam masyarakat, dan nilai yuridis yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penataan sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terintegrasi, penting
dilakukan harmonisasi hukum dengan maksud melakukan penataan dan
penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum nasional, dengan meletakan pola pikir
yang melandasi penyusunan kerangka sistem hukum nasional yang dijiwai
Pancasila dan UUD 1945. Dalam perspektif demikian, harmonisasi hukum
perundang-undangan, yaitu terciptanya harmonisasi perundang-undangan yang
sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan.
Penataan dan penyesuaian unsur-unsur sistem hukum nasional serta pembaharuan
hukum nasional terutama bidang-bidang hukum yang bersifat umum dan netral
merupakan usaha dalam rangka harmonisasi hukum. Bidang hukum sebagai
landasan hukum dalam menghadapi peningkatan perekonomian pada
pemerintahan daerah, seperti halnya dalam peraturan tentang penyelenggaraan
pelayanan perizinan. Sebagai landasan dan masalah dalam menghadapi semua itu,
dapat diatasi dan ditempuh langkah-langkah dengan melakukan harmonisasi
hukum dan praktek melalui upaya penyusunan peraturan-peraturan hukum yang
diusulkan melalui salah satu lembaga pemerintahan, yang kemudian
diaktualisasikan secara seragam oleh pemerintah daerah melalui peraturan
daerahnya masing-masing. Dalam rangka menciptakan harmonisasi hukum dan
pembaharuan sistem perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10
Tahun 2004 adalah:
1. UUD 1945;
2. Undang-undang/ Perpu;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
Ditegaskan dalam UUD 1945 setelah amandemen, kekuasaan untuk menjalankan
pada DPR. Perubahan kekuasaan legislatif membentuk undang-undang tersebut,
mengandung implikasi yang mendasar terhadap proses pembentukan peraturan
perundang-undangan. Dalam keadaan demikian, langkah ideal yang perlu untuk
ditempuh adalah melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan
meletakan pola pikir yang mendasari penyusunan sistem peraturan
perudang-undangan dalam kerangka sistem hukum nasional, yang mencakup unsur-unsur
materi hukum, struktur hukum beserta kelembagaannya dan budaya hukum.
Isi materi yang berkenaan dengan kepentingan dan kebutuhan internal
administrasi pemerintahan, dikenal adanya bentuk-bentuk peraturan yang disebut
sebagai peraturan kebijakan (beleidsregels) dalam menjalankan tugas-tugas
pemerintahan. Peraturan kebijakan merupakan instrumen yang melekat dan
berasal dari administrasi negara. Peraturan kebijakan pada dasarnya hanya
menekankan pada aspek kemanfaatan (doelmatigheid) daripada rechtsmatigheid
dalam rangka freies ermessen, yaitu prinsip kebebasan menentukan
kebijakan-kebijakan atau kebebasan bertindak yang diberikan kepada administrasi negara
untuk mencapai tujuan pemerintahan yang dibenarkan menurut hukum.
Freies ermessen akan berarti positif apabila dapat menjadi umpan balik kepada
legislatif untuk perbaikan undang-undang. Sebaliknya, freies ermessen akan
menimbulkan efek negatif apabila timbul budaya pragmatisme, yaitu pengambilan
keputusan yang hanya didasarkan pada pertimbangan praktis, keberpihakan
kepada kelompok kepentingan tertentu dan bersifat sesaat serta berjangka waktu
Kondisi di atas, seperti apa yang terjadi dalam Permendagri No. 20 Tahun 2008
tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di
daerah, merupakan salah satu bentuk kebijakan dari menteri dalam negeri sebagai
pejabat negara atau admninistrasi negara dalam upaya peningkatan pelayanan
perizinan di daerah.
Munculnya kebijakan itu mengakibatkan terjadinya beberapa permasalahan baru
dalam rangka pelayanan perizinan, terlebih lagi sebelum terbitnya kebijakan
tersebut telah ada peraturan-peraturan lain yang sama-sama mengatur tentang
penanaman modal dan pelayanan perizinan, yang diantaranya adalah Peraturan
Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Satu Pintu dan terakhir adalah Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal. Dari berbagai peraturan tersebut, dapat diketahui bahwa dalam
pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan perizinan telah terjadi disharmoni di
antara peraturan-peraturan tersebut.
Menurut Purbopronoto (Koentjoro Purbopronoto, 1978: 30), freies ermessen dapat
berbeda dengan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak.
Kebijakan merupakan perpaduan jiwa idealistis-realistis dengan pragmatis,
sedangkan asas kebijakan dalam asas-asas pemerintahan yang layak adalah suatu
pandangan jauh ke depan dari pemerintah. Berkenaan dengan hal itu, prinsip
kebebasan menentukan peraturan kebijakan dalam rangka freies ermessen harus
Demi menjaga konsistensi sistem pembagian kekuasaan legislatif dan kekuasaan
eksekutif secara tegas, freies ermessen tidak dapat dipergunakan dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan secara teknis. Peraturan kebijakan
dapat menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku, karena hanya
menekankan aspek doelmatigheid daripada rechtsmatigheid. Secara sepintas, hal
demikian dapat dipandang untuk mengisi kekosongan hukum atau terobosan atas
ketentuan hukum yang dipandang sudah tidak memadai. Akan tetapi, apabila
mengabaikan asas-asas umum pemerintahan yang layak dapat menimbulkan
kerancuan dan ketidakpastian hukum.
2. 1. 3 Fungsi Peraturan Kebijakan Dalam Sistem Hukum
Freies ermessen muncul sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan
kelemahan di dalam penerapan asas legalitas (wetmatigheid van bestuur). Bagi
negara yang bersifat welfare state, asas legalitas saja tidak cukup untuk dapat
berperan secara maksimal dalam melayani kepentingan masyarakat, yang
berkembang pesat sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Pada praktek
penyelenggaraan pemerintahan (Ridwan H.R. 2006: 179-180), freies ermessen
dilakukan oleh administrasi negara dalam hal-hal sebagai berikut:
a. belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian in konkrito terhadap suatu masalah tertentu, padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian yang segera. Misalnya dalam menghadapi suatu bencana alam ataupun wabah penyakit menular, aparat pemerintah harus segera mengambil tindakan yang menguntungkan bagi negara maupun bagi rakyat, tindakan yang semata-mata timbul atas prakarsa sendiri.
b. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat aparat pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya. Misalnya dalam pemberian izin berdasarkan Pasal 1 HO, “menimbulkan keadaan bahaya” sesuai dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing.
merupakan kekuasaan aparat yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya dalam menggali sumber-sumber keuangan daerah. Pemerintah daerah bebas untuk mengelolanya asalkan sumber-sumber itu merupakan sumber yang sah.
Menurut Marcus Lukman (dalam Ridwan H.R. 2006: 191-192), peraturan
kebijakan dapat difungsikan secara tepat guna dan berdaya guna yang berarti:
a. tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan yang melengkapi, menyempurnakan, dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada peraturan perundang-undangan.
b. tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan bagi keadaan vakum peraturan perundang-undangan.
c. tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan bagi kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi secara patut, layak, benar, dan adil dalam peraturan perundang-undangan.
d. tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan untuk mengatasi kondisi peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan zaman. e. tepat guna dan berdaya guna bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi
administrasi di bidang pemerintahan dan pembangunan yang bersifat cepat berubah dan memerlukan pembaruan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.
2. 2 Pengertian Pemutihan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian dari pemutihan, yaitu 1.
proses, cara, perbuatan memutihkan; 2. keringanan bagi wajib pajak untuk tidak
membayar pajak tahun-tahun sebelumnya walaupun barang atau harta itu sudah
menjadi miliknya sejak beberapa tahun. Dari pengertian kedua ini, dapat diketahui
bahwa pemutihan berkaitan erat dengan pemberian keringanan pajak dari
pemerintah kepada wajib pajak untuk tidak melakukan kewajiban pembayaran
2. 3 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) berdasarkan Pasal 1 angka 18 Undang-Undang
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah
bagian dari pendapatan daerah yang bersumber dari potensi daerah itu sendiri
yang dipungut berdasarkan peraturan daerah tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan daerah dalam memungut PAD
dimaksudkan agar daerah dapat mendanai pelaksanaan otonomi daerah yang
bersumber dari potensi daerahnya sendiri.
Sumber PAD di dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyebutkan
pendapatan asli daerah (PAD) terdiri dari:
a. pajak daerah,
b. retribusi daerah,
c. hasil pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan,
d. lain-lain PAD yang sah.
Klasifikasi PAD yang terbaru berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006 terdiri
dari: pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan daerah yang dipisahkan, dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
2. 3. 1 Pajak Daerah
Pajak daerah berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 28 Tahun 2009
tentang Pajak dan Retribusi Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang
undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Jenis Pajak daerah terdiri dari pajak provinsi dan pajak daerah kabupaten/kota.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 28 Tahun 2009, jenis pajak
provinsi terdiri atas:
a. pajak kendaraan bermotor;
b. bea balik nama kendaraan bermotor;
c. pajak bahan bakar kendaraan bermotor;
d. pajak air permukaan; dan
e. pajak rokok.
Pasal 2 ayat (2) menyebutkan jenis pajak kabupaten/kota terdiri atas: pajak hotel,
pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak
mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang
burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, dan bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan.
Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 menyatakan bahwa daerah
dilarang memungut pajak selain dari jenis-jenis pajak sebagaimana telah diatur
dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009. Daerah pun dapat tidak memungut
pajak daerah apabila potensinya kurang memadai dan/atau disesuaikan dengan
2. 3. 2 Retribusi Daerah
Retribusi daerah berdasarkan Pasal 1 angka 64 Undang-Undang No. 28 Tahun
2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan. Objek berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Pasal 108 ayat (1),
yaitu:
a. jasa umum;
b. jasa usaha; dan
c. perizinan tertentu.
Retribusi yang dikenakan atas jasa umum huruf a digolongkan sebagai retribusi
jasa umum. Retribusi yang dikenakan atas jasa usaha huruf b digolongkan sebagai
retribusi jasa usaha. Retribusi yang dikenakan atas perizinan tertentu huruf c
digolongkan sebagai retribusi perizinan tertentu.
2. 3. 3 Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan
Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan antara lain bagian laba
BUMN/BUMD, hasil kerja sama dengan pihak ketiga. Hasil perusahaan milik
daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan
penerimaan daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik daerah dan
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan (Halim, 2004: 68). Menurut Halim
jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut:
a. bagian laba perusahaan milik daerah,
c. bagian laba lembaga keuangan non bank,
d. bagian laba atas penyertaan modal/investasi.
2. 3. 4 Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) Yang Sah
Lain-lain pendapatan asli daerah (PAD) yang sah berdasarkan Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, meliputi:
a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
b. jasa giro;
c. pendapatan bunga;
d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan
e. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
2. 4 Pajak
2. 4. 1 Pengertian Pajak
Terdapat bermacam-macam batasan atau pengertian tentang pajak yang
dikemukakan oleh para ahli, diantaranya menurut P. J. A. Adriani, pajak adalah
iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang
wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan
tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan untuk
menyelenggarakan pemerintahan. Menurut Soeparman Soemahamidjaja, pajak
adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa
jasa-jasa kolektif dalam memncapai kesejahteraan umum (Wirawan B. Ilyas dan
Richard Burton, 2004: 5).
Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa
timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum (Erly Suandy, 2005: 11). Pengertian tersebut
kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan
kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin
dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama
untuk membiayai public investment.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari
sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa
adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya
kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan
penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara
dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan
suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan
timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan
tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang
pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari
pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus
bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar
pajak.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana
telah disempurnakan terakhir dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan pajak adalah kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
2. 4. 2Unsur-Unsur Pajak
Berdasarkan berbagai pengertian yang diberikan terhadap pajak baik pengertian
secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor
pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat
dipaksakan) unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai
berikut:
a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan
perubahan ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang menyatakan pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam
undang-undang.
b. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang
dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar
pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan
c. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum
pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin
maupun pembangunan.
d. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib
pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi
sesuai peraturan perundang-undangan.
e. Selain fungsi budgeter (anggaran), yaitu fungsi mengisi kas negara/anggaran
negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan
pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi
mengatur /regulatif).
2. 4. 3 Fungsi Pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara,
khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber
pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran
pembangunan. Berdasarkan hal di atas, maka pajak mempunyai beberapa fungsi,
yaitu:
a. Fungsi anggaran (budgetair)
Pajak sebagai sumber pendapatan negara berfungsi untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara (Erly Suandy, 2005: 14). Untuk menjalankan
tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara
membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak.
Dewasa ini, pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai,
pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan
dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari
tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan
pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari
sektor pajak.
b. Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan
pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal,
baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas
keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri,
pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
c. Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan
kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat
dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur
peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang
efektif dan efisien.
d. Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai
semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan
sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat
2. 4. 4 Syarat Pemungutan Pajak
Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi,
masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka
pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak
menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi
persyaratan, yaitu:
a. Pemungutan pajak harus adil
Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk
menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak, yaitu adil dalam
perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya.
b. Pengaturan pajak harus berdasarkan undang-undang
Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang mengatakan pajak dan pungutan
yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
c. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu
kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa.
Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan
menghambat lajunya usaha masyarakat sebagai subyek pajak, terutama
masyarakat kecil dan menengah.
d. Pemungutan pajak harus efesien
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus
diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada
biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak
pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi
penghitungan maupun dari segi waktu.
e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Cara pemungutan pajak akan sangat menentukan keberhasilan dalam
pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam
menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan
dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam
pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang
akan semakin enggan membayar pajak.
2. 4. 5 Asas Pemungutan Pajak
Demi mencapai tujuan dari pemungutan pajak, beberapa ahli yang
mengemukakan tentang asas pemungutan pajak, antara lain menurut Adam Smith
dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The Four
Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
a. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan),
yaitu pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan
kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak
diskriminatif terhadap wajib pajak.
b. Asas Certainty (asas kepastian hukum), yaitu semua pungutan pajak harus
berdasarkan Undang-Undang, sehingga bagi yang melanggar akan dapat
dikenai sanksi hukum.
c. Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau
pajak (saat yang paling baik), misalnya pada saat wajib pajak baru menerima
penghasilannya atau saat wajib pajak menerima hadiah.
d. Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis), yaitu biaya pemungutan
pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan
pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
a. Asas daya pikul, yaitu besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan
besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka
semakin tinggi pajak yang dibebankan (Erly Suandy, 2005: 29)
b. Asas manfaat, yaitu pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
c. Asas kesejahteraan, yaitu pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
d. Asas kesamaan, yaitu dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu
dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama
(diperlakukan sama).
e. Asas beban yang sekecil-kecilnya, yaitu pemungutan pajak diusahakan
sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek
pajak, sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.
2. 4. 6 Asas Pengenaan Pajak
Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi
atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan
Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara
ditetapkan berdasarkan undang. Untuk dapat menyusun suatu
undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan
landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.
Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam
menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan
pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai
landasan untuk mengenakan pajak adalah:
a. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence
principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila
untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk
(resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang
bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak
dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal.
Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan
pajak terhadap penduduknya akan menggabungkan asas domisili
(kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang
diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri
(world-wide income concept).
b. Asas sumber, negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak
atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari
sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan
mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh
penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah
objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contohnya tenaga kerja
asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia
akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
c. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas
kewarganegaraan (nationality/citizenship principle). Dalam asas ini, yang
menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang
atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah
menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal.
Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas
nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas
dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income(Wirawan B. Ilyas
dan Richard Burton, 2004: 16).
2. 4. 7 Jenis Pajak
Menurut lembaga pemungutannya, jenis pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu
pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan jenis pajak yang dipungut oleh
pemerintah daerah (Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, 2004: 18).
a. Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang terdiri
a) Pajak Penghasilan yang diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan
Undang-Undang No. 36 Tahun 2008;
b) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang diubah terakhir kali dengan Undang-Undang No. 42 Tahun
2009;
c) Bea Materai yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun
1985 tentang Bea Materai Pajak Daerah.
b. Pajak daerah berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 28 Tahun
2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah adalah kontribusi wajib kepada
daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Jenis pajak daerah terdiri dari pajak provinsi dan
pajak daerah kabupaten/kota.
2. 5 Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Nama Balik Kendaraan Bermotor (BBNKB)
2. 5. 1 Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 1 angka 12 disebutkan pajak kendaraan
bermotor (PKB) adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan
semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis
jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan
lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu
menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat
berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan
tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air.
2. 5. 2 Bea Nama Balik Kendaraan Bermotor (BBNKB)
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah Dan Retribusi Daerah Pasal 1 angka 14 disebutkan bea balik nama
kendaraan bermotor (BBNKB) adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan
bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan
yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan atau pemasukan ke
III. METODE PENELITIAN
3. 1 Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Pendekatan normatif dimaksudkan sebagai usaha mengadakan pembahasan dengan bertitik tolak kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendekatan empiris dilakukan dengan mengadakan pengamatan terhadap kenyataan yang ada di lapangan dalam rangka pelaksanaan peraturan-peraturan yang berlaku, khususnya mengenai kebijakan Pemerintah Provinsi Lampung dalam peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) melalui pemutihan PKB dan BBNKB.
3. 2 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. a. Data primer adalah data yang bersumber dari hasil wawancara dengan
Pemerintah Provinsi Lampung dalam peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) melalui pemutihan PKB dan BBNKB, yaitu:
a) Syamsurialsyah selaku Kasi Pajak pada Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Lampung;
b) Warga Provinsi Lampung yang melakukan pemutihan sebanyak 5 (lima) orang.
b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka terhadap bahan hukum yang terdiri dari:
a) Bahan hukum primer, yaitu
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah;
6. Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah;
7. Peraturan Gubernur Lampung Nomor 27 Tahun 2011 tentang Pemberian Keringanan, Pengurangan dan/atau Pembebasan Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB);
8. Keputusan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Lampung Nomor: 973/0215/III.18/01/2011 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Gubernur Lampung Nomor 27 Tahun 2011 tentang Pemberian Keringanan, Pengurangan dan/atau Pembebasan Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang bersumber dari buku-buku ilmu hukum dan tulisan-tulisan hukum lainnya.
c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang bersumber dari kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
3. 3 Pengumpulan dan Pengolahan Data
3. 3. 1 Pengumpulan Data
Peneliti dalam upaya memperoleh data menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
Studi pustaka dilakukan melalui membaca buku, peraturan perundang-undangan, jurnal hukum, artikel-artikel dan menelaah serta mengutip hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan.
b. Studi lapangan
Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer dengan menggunakan teknik wawancara secara langsung dengan responden. Wawancara dilakukan secara langsung dan terbuka dengan mengadakan tanya jawab untuk mendapatkan keterangan dan jawaban yang bebas sehingga data yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan.
3. 3. 2 Pengolahan Data
Data yang terkumpul kemudian diproses melalui pengolahan dan pengajian data yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Editing, yaitu memeriksa dan mengoreksi data yang masuk, apakah berguna atau tidak, sehingga data yang terkumpul benar-benar bermanfaat untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
b. Sistematisasi, yaitu proses penyusunan data menurut sistem yang telah ditetapkan.
c. Klasifikasi data, yaitu menyusun dan mengelompokkan data berdasarkan jenis data.
3. 4 Analisis Data
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
a. Pelaksanaan kebijakan pemutihan PKB dan BBNKB yang dilakukan oleh
pemerintah Provinsi Lampung dilakukan mulai dari 1 Oktober 2011 sampai
dengan 31 Maret 2012. Pemberian keringanan, pengurangan dan atau
pembebasan PKB diberikan kepada kendaraan bermotor dengan tahun
pembuatan sampai dengan 2009. Bagi kendaraan bermotor yang menunggak
pajak hanya dikenai pokok PKB tahun berjalan tanpa denda dan bagi
kendaraan tahun pembuatan di atas 2010, dikenai pokok PKB tahun berjalan
serta denda sebesar 25 persen dari pokok PKB. Pemberian keringanan,
pengurangan dan atau pembebasan BBNKB diberikan kepada kendaraan
non-BE menjadi non-BE yang statusnya berganti nama pemilik dan kendaraan non-BE
yang dimutasikan antar daerah di Provinsi Lampung.
b. Langkah pemerintah Provinsi Lampung dengan mengeluarkan Kebijakan
Pemutihan PKB dan BBNKB tidak memiliki kontribusi yang besar dalam
c. Pelaksanaan Kebijakan Pemutihan PKB dan BBNKB yang dilakukan oleh
pemerintah Provinsi Lampung mengalami hambatan, baik dari pemerintah
maupun dari masyarakat Lampung. Hambatan yang dialami pemerintah
Provinsi Lampung adalah sistem komputerisasi online data yang belum
berfungsi maksimal dan sarana dan prasarana pelayanan yang belum
memadai. Faktor penghambat yang berasal dari masyarakat adalah kesadaran
masyarakat yang masih rendah dan banyak masyarakat yang belum
mengetahui adanya kebijakan pemutihan.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti menyarankan:
a. Sebaiknya Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Lampung segera melakukan
perbaikkan sistem komputerisasi data pada dan penyediaan sarana dan
prasarana penunjang pelayanan pembayaran PKB dan BBNKB di seluruh
SAMSAT/UPTD di Provinsi Lampung.
b. Sebaiknya pemerintah sebelum mengeluarkan kebijakan pemutihan PKB dan
BBNKB, terlebih dahulu mempersiapkan sarana dan prasana penunjang,
seperti sistem komputerisasi yang memadai, petugas yang telah terlatih,
program sosialisasi yang optimal dan tempat pembayaran yang nyaman bagi
wajib pajak, sehingga kebijakan ini berkontribusi terhadap peningkatan
penerimaan PAD dari sektor pajak.
c. Sebaiknya pemerintah lebih mengoptimalkan sosialisasi dan penyuluhan
pentingnya membayar pajak khususnya PKB dan BBNKB kepada masyarakat
daerah dan brosur pemberitahuan. Penyuluhan dapat dilakukan dengan
melibatkan aparat desa atau kelurahan, sehingga penyuluhan dapat dirasakan