• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN EDUKASI DI DALAM KELEKATAN ORANG TUA TERHADAP KEMANDIRIAN PADA REMAJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERAN EDUKASI DI DALAM KELEKATAN ORANG TUA TERHADAP KEMANDIRIAN PADA REMAJA"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN EDUKASI DI DALAM KELEKATAN ORANG TUA

TERHADAP KEMANDIRIAN PADA REMAJA

SKRIPSI

Oleh :

Nur Alim Mubin AM

201210230311075

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

PERAN EDUKASI DI DALAM KELEKATAN ORANG TUA

TERHADAP KEMANDIRIAN REMAJA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang

sebagai salah satu Persyaratan untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

Nur Alim Mubin AM

201210230311075

FAKULTAS PSIKOLOGI

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Skripsi : Peran edukasi di dalam kelekatan orang tua terhadap kemandirian pada remaja

2. Nama Peneliti : Nur Alim Mubin AM 3. Fakultas : Psikologi

4. Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang 5. Waktu Penelitian : 07 – 13 April 2016

Skripsi ini telah di uji oleh dewan penguji pada hari senin yang bertepatan pada tanggal 02 Mei 2016

Dewan Penguji

Ketua : Zakarija Achmat, S.Psi., M.Si ( )

Anggota Penguji : (1). Zainul Anwar, S.Psi., M.Psi ( )

(2). Hudaniah, S.Psi., M.Si ( )

(3). Adyatman Prabowo, S.Psi., M.Psi ( )

Pembimbing 1

Zakarija Achmat, S.Psi, M.Si

Pembimbing 2

Zainul Anwar, S.Psi, M.Psi

Malang, Mengesahkan,

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

Dra. Tri Dayakisni, M.Si

(4)

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Nur Alim Mubin AM

NIM : 201210230311075

Fakultas/Jurusan : Psikologi

Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Peran Edukasi di dalam Kelekatan Orang Tua terhadap Kemandirian pada Remaja

1. Bukan karya orang lain atau hasil plagiat kecuali dalam bentuk kutipan dan telah ditulis sumbernya.

2. Hasil tulisan skripsi/penelitian yang saya lakukan bila digunakan sebagai sumber pustaka adalah hak bebas royalti non eksklusif.

Demikian surat pernyatan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila dalam pernyataan ini ada yang tidak benar, maka saya bersedia mendapa sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Malang, 04 April 2016

Mengetahui, Yang menyatakan,

Ketua Program Studi

Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si. Nur Alim Mubin AM.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas nikmat pengetahuan dan kesempatan yang selama ini diberikan sehingga dalam kurun waktu beberapa bulan penulis diperkenannkan untuk menyelesaikan skripsi dengan judul „Peran Edukasi dalam Kelekatan Orang Tua terhadap Kemandirian pada Remaja‟ sebagai salah satu syarat wajib untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas dukungan dan bimbingan yang diberikan sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir dengan lancar. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Dra. Tri Dayakisni, M. Si., selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Bapak Zakarija Achmat, S.Psi., M.Si. dan Bapak Zainul Anwar, S.Psi., M. Psi. selaku Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan waktu luangnya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Yuni Nurhamidah, S.Psi., M.Si., selaku ketua program studi Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang dan Ibu Hudaniah S.Psi., M.Si selaku Pembantu Dekan Tiga yang selama ini banyakmemberikan masukan.

4. Bapak Drs. Abdul Muin MD., dan Ibu Harlina, S.Pd., selaku orang tua yang sangat berjasa dalam perjalan hidup penulis, terkhusus dalam pendidikan yang dengan doa, dukungan, nasehat dan perjuangannya yang tidak terhingga sejak penulis masih kecil hingga saat ini.

5. Terima kasih kepada teman-teman Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat Restorasi dan teman-teman Korkom IMM UMM yang selalu menginspirasi.

6. Saudara dan saudariku yang senantiasa memberikan motivasi, Arfina Novita Sari, S.Sos., Muhammad Chaidir Ali, Yunda Alfianti, Fajar Shidiq, Muhammad Roihan, Dwi Rusmaini, Fauzan S.Sy., Abdul Musyawir Yahya, S.Sy., Husni Mubarok Abdul Jalil M., dan Akhyar. Terima kasih dan jangan lupa masih banyak yang perlu ditertawakan di kehidupan ini, dan tidak terlupakan untuk tetap meninggalkan kesan yang positif di tanah yang kita pijak.

7. Teman-teman kelas B angkatan 2012, bagi yang sudah lulus jangan lupa mengabdi untuk bangsa. Tidak terlupakan bagi teman-teman yang belum lulus untuk tidak melupakan tugasnya sebagai mahasiswa.

8. Kepala Laboratorium Psikologi yakni Ibu Siti Maimunah , S.Psi., M.A dan teman-teman asisten yang selalu menyiapkan fasilitas untuk belajar.

9. Adek-adek remaja yang sudah bersedia menjadi subjek dalam penelitian, tidak lupa penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena tanpa kalian skripsi ini tidak akan selesai tepat pada waktunya, dan

10. Semua pihak yang tidak penulis sebutkan di sini, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala dukungan dan doanya sehingga skripsi ini bisa diselesaikan dengan tuntas.

(6)

Penulis sadar bahwa tidak ada satupun karya yang sempurna, karena kesempurnaan hanya akan berada pada satu pemiliki saja, yaitu Allah SWT. Sehingga kritik dan saran akan sangat berarti bagi penulis untuk memperbaiki apa yang kurang dan tidak pantas. Meski demikian, penulis berharap apa yang penulis lakukans senantiasa memiliki nilai manfaat bagi masyarakat, bangsa, negara dan agama.

Malang, 20 April 2016 Penulis

Nur Alim Mubin AM.

(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...i

LEMBAR PERNYATAAN...ii

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI...v

DAFTAR TABEL...vi

Intisari...1

Pendahuluan...2

Kemandirian pada Remaja...5

Aspek Kemandirian...6

Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian...7

Kelekatan...7

Peran Edukasi terhadap Kemandirian...8

Remaja yang Mandiri...9

Edukasi dalam Kelekatan Orang Tua dengan Kemandirian pada Remaja...10

Hipotesis...12

METODE PENELITIAN...12

Rancangan Penelitian...12

Subjek Penelitian...13

Variabel dan Instrumen Penelitian...13

Prosedur Analisa Data...14

HASIL PENELITIAN...14

DISKUSI...15

SIMPULAN DAN IMPLIKASI...17

REFERENSI...18

LAMPIRAN...21

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Indeks Validasi dan realibilitas Item...13 Tabel 2. Karakteristik Subjek Penelitian...14

(9)

PERAN EDUKASI DI DALAM KELEKATAN ORANG TUA

TERHADAP KEMANDIRIAN PADA REMAJA

Nur Alim Mubin AM

Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

nuralimmubinam@gmail.com

Remaja memiliki keinginan yang kuat untuk lepas dari bayang-bayang orang dalam bertindak dan mengatur dirinya, terkhusus bayang-bayang orang tua. Kemandirian menjadi hal yang sangat penting bagi remaja dan bisa disebabkan oleh adanya kelekatan orang tua dengan anak dan edukasi oleh orang tua di dalam keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana peran edukasi di dalam kelekatan orang tua terhadap kemandirian pada remaja. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik pengambilan sampel

purposive sampling dengan jenis penelitian kolerasional serta jumlah subjek sebanyak 116 orang remaja dengan usia 12-18 tahun. Penelitian ini terdiri dari tiga variabel, yaitu variabel bebas, variabel moderator dan variabel terikat. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa regresi berganda. Berdasarkan hasil analisa yang diperoleh yakni f=0,530 dengan nilai taraf signifikan p=0,590 yang berarti tidak ada peran edukasi di dalam pengaruh kelekatan orang terhadap kemandirian pada remaja.

Kata kunci : Kemandirian pada remaja, edukasi, kelekatan orang tua

The adolescence having a strong desire to loose from control of people in act him, specifically the control of parents. The independence is very important for adolescence and can be caused by attachment of parents to their child and education in the family. The purpose of this research is to find out how the influence of role education in attachment of parents to independence in adolescenst. This research used a quantitative approach with purposive sampling data retrieval techniques and type of research used in research is correlational, the subject of this research is 116 with age 12-18 years. This research consist of tree variable is independent variable, moderator variable and dependent variable. Data were processed using Multiple Regression Analysis Technique. The result from this research is f=0,530 whit significant p=0,590 indicated no significant influence from education in attacment of parents to independence in adolescence.

Keywords : Independence of adolescence, education, attachment of parents.

(10)

Tugas utama dari seorang remaja adalah menjadi pribadi yang bebas dan mandiri (Bahri, 2014). Namun sering kali dihadapkan dengan berbagai konflik yang berpotensi menghambat dirinya untuk mandiri. Kurangnya dorongan dari orang tua menjadikan anak dimasa remajanya kurang percaya diri untuk mengembangkan diri sebagaimana yang mereka inginkan. Padahal perhatian dari orang tua sangat dibutuhkan oleh anak sebagai penunjang untuk menjadi individu yang mandiri. Karena orang tua memiliki peran yang sangat urgent

terhadap berkembang tidaknya seorang anak (Dagun, 2013). Dimulai dari konflik seperti inilah, seorang anak sering kali salah langkah sehingga menimbulkan terjadinya kenakalan remaja karena kurangnya bimbingan dari orang tua (Herero, Estevez & Gonzalo, 2006). Masa remaja menjadi masa yang rentan dengan masalah yang juga memiliki peranan dalam membentuk diri seorang anak. Masalah yang timbul bukanlah karena hal yang secara instan timbul begitu saja, melainkan ada proses yang terjadi pada remaja sehingga memicu masalah tersebut muncul. Kuatnya keinginan untuk berkembang dan mendapatkan kebebasan sebagaimana yang diinginkan sering kali memberikan peluang bagi remaja mendapatkan konflik (Bahri, 2014). Karena apa yang ada dibenak seorang remaja sering dipandang sebelah mata oleh orang dewasa. Salah pengertian antar anak dan orang tua sering menjadi sebab terjadinya konflik sehingga anak cenderung menjauhkan diri saat berinteraksi.

Kemandirian adalah salah satu ciri perkembangan di masa remaja yang paling terlihat. Hal ini sangat erat kaitannya dengan pembentukan psikologis di masa remaja. Alport (dalam Sarwono, 2013) mengemukakan bahwa masa remaja adalah tahap transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa, sehingga pemikiran atau dorongan untuk menjadi individu dewasa sangat kuat pada masa remaja. Hal ini dikarenakan adanya perubahan yang terjadi di masa remaja yang sering kali berbenturan dengan ransangan dari luar. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa anak di masa remaja sudah memiliki konsep mengenai dirinya untuk menjadi orang dewasa yang memiliki keleluasaan dibandingkan anak-anak dalam melakukan hal apapun karena terlepas dari kontrol orang tua.

Untuk menjadi individu mandiri, seorang anak di masa remaja memang tidak secara langsung mencapai impian itu. Banyak konflik yang muncul saat seorang anak berusaha mencapai tujuannya, salah satunya konflik tersebut bisa datang dari orang tua anak. Perbedaan pandangan antar anak dan orang tua sangat sering terjadi yang mana orang tua masih memiliki pandangan bahwa anak meskipun di masa remaja masih perlu diawasi dengan ketat. Perlakuan seperti ini tidak jarang membuat anak merasa tertekan dan tidak menemukan kebebasan untuk berbuat sesuatu sehingga menimbulkan kesan yang negatif terhadap orang tua (Haan et al, 2013). Hal ini ditegaskan oleh Santrock (2011) bahwa konflik orang tua dan anak sangat rentan terjadi di masa remaja.

Puncaknya adalah dengan perlakuan orang tua yang dipandang anak menghambat keinginannya akan menjadikan anak memiliki kesenjangan dengan orang tuanya. Padahal seharusnya orang tua menjadi figur yang sangat penting bagi anak saat menghadapi masa-masa transisinya menuju tahap kedewasaan. Brook (dalam Santrock, 2011) mengemukakan bahwa konflik yang dihadapi oleh remaja tidak jarang berasal dari tidak lekatnya hubungan anak dengan orang tua. Sehingga situasi dimana orang tua harus mampu memahami perasaan anak tidak terbangun yang menjadikan anak keluar dari rumah untuk memenuhi keinginannya menjadi individu yang bebas. Hal inilah yang membuat remaja melakukan kenakalan remaja karena rapuhnya kondisi psikologis anak.

Sebagai contoh, tidak jarang anak akan merasa sedikit terganggu bilamana orang tuanya selalu menanyakan aktivitas kesehariaanya, baik itu di sekolah, di tempat bermain maupun di

(11)

rumah. Sehingga tidak jarang jawaban yang diberikan kepada orang tua adalah jawaban seadanyaa dan kemudian berlalu pergi agar tidak merasa diintrogasi oleh orang tua hanya karena menanyakan aktivitas sehari-harinya saja. Namun tidak hanya sebatas itu, jika berbicara pada level yang lebih tinggi, menurut Brook dkk (dalam Santrock, 2011), tetap ada remaja yang memiliki konflik yang sebabnya karena hubungan dengan orang tua yang tidak baik sehingga melakukan hal yang negatif yang merusak dirinya seperti kenakalan remaja, putus sekolah, pernikahan dini karena hamil dan penyalahgunaan obat-obatan.

Tidak adanya hubungan yang harmonis dengan orang tua, maka remaja biasanya lebih banyak menghabiskan waktu dengan orang-orang diluar keluarganya sebagai figur pengganti orang tua (Bahri, 2014). Dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan sosialnya dan keinginan untuk mandiri sebagai makhluk hidup. Sehingga sangat memungkinkan bila banyak hal yang dilakukan oleh remaja di luar rumah tidak lagi teramati dan mampu terkontrol oleh orang tua. Hubungan yang buruk akan sangat menentukan perkembangan remaja secara emosional. Karena bila remaja tidak hidup di lingkungan yang kondusif, akan menghambat kematangan emosionalnya, sehingga sering melakukan tindakan yang negatif terhadap dirinya dan orang lain. Kematangan emosioanal juga sangat berkaitan dengan kemandirian remaja, salah satu yang berpengaruh. Menurut Steinberg (dalam Fatimah, 2006) dalam membentuk kemandirian anak ialah pola asuh yang di dalamnya terdapat komunikasi antar orang tua dengan remaja yang mana jika orang tua terlalu banyak melarang atau mengeluarkan kalimat yang negatif tanpa adanya alasan yang rasional akan menghambat petumbuhan kemandirian pada anak. Sehingga penting adanya komunikasi yang baik antar remaja dengan orang tua agar terjalin hubungan yang baik dan membantu pertumbuhan kemadirian pada anak.

Bila hal ini berlanjut, akan muncul adalah seorang remaja akan sulit membangun kepercayaan terhadap dirinya bila di awal tidak diajarkan oleh orang tuanya. Sehingga permasalahan pada usia remaja harus menjadi perhatian khusus. Terkhusus masalah yang berkaitan erat dengan emosi, perilaku dan nilai yang harusnya terbentuk di dalam diri seorang remaja. Contoh ketidakpuasan remaja perempuan terkait dengan kondisi fisiknya. Sebanyak 40-50 persen wanita remaja tidak merasakan kepuasan terhadap kondisi fisiknya terutama pada bagian paha, pantat, dan pinggul yang mempengaruhi kepercayaan diri remaja dalam bergaul (Smoak & Livine, 2002 ; dalam Pitaloka, 2013). Hal ini berkaitan dengan distress emosi yang dialami oleh sebagian remaja, depresi dan pikiran yang berlebihan mengenai penampilan (Kostanski & Gullone, 1998 ; dalam Pitaloka, 2013). Dengan demikian, masih cukup banyak remaja yang masih mengalami permasalah dalam hal kepercayaan diri, dengan berbagai faktor internal yang dialami. Sehingga sangat berpotensi memberikan pengaruh negatif yang signifikan terhadap kemandirian seorang remaja. Erikson (dalam Santrock, 2011) berpendapat bahwa kenakalan remaja erat kaitannya dengan kegagalan remaja dalam memunculkan itegritas dirinya dan kemampuan untuk menjadi individu yang mandiri adalah bagian dari itu. Tidak heran bila banyak remaja yang menyelesaikan masalah dengan minum alkohol, tawuran dan mengonsumsi narkoba. Peristiwa yang seperti ini merupakan akibat dari masalah yang pada masa remajanya tidak bebas, sehingga melampiaskana pada alkohol atau obat terlarang. Hal ini juga bisa berdampak pada permasalahan karir atau akademik, khususnya remaja akhir yang kebingungan memilih jurusan ketika ingin masuk kuliah, dan lebih memilih untuk mengikuti jurusan yang dipilih oleh teman sebayannya karena belum merasa yakin dengan pilihannya atau hanya mampu berkata iya pada pilihan orang tuanya karena tidak berani mengungkapkan keinginanya. Hal ini juga sangat erat kaitannya dengan kemampuan pengambilan keputusan oleh remaja yang mana merupakan salah satu aspek dari kemandirian seorang remaja (Fatimah, 2006).

(12)

Kelekatan adlah faktor yang mempengaruhi terbentuknya kemandirian pada anak. santrock (2011) mengatakan bahwa adanya kelekatan yang terjalin antara orang tua dengan anak berpengaruh positif terhadap kemandirian pada remaja. Kelekatan adalah aspek yang sangat penting yang harus dirasakan oleh anak dari orang tuanya karena hal ini berkaitan langsung dengan emosi pada anak, dengan adanya kelekatan orang tua dengan anak di masa remaja akan memberikan anak perasaan nyaman dan dapat membantu meningkatnya kepercayaan diri anak (Pitaloka, 2013). Kelekatan menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi remaja karena hal ini berkaitan erat dengan emosinya. Ketika kebutuhan emosi dari seorang remaja terpenuhi, yaitu rasa nyaman maka akan memiliki dampak yang positif bagi anak dalam hal pengelolaan emosi. Anak dengan pengelolaan emosi yang baik cenderung lebih mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan daripada anak dengan kemampuan mengelola emosi yang kurang.

Untuk menumbuhkan hal itu, anak di masa remajanya perlu mendapatkan edukasi yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Haan et al (2013) menjelaskan bahwa memberikan anak edukasi dengan tujuan tertentu akan membantu anak membangun paradigma yang tepat untuk dirinya dalam menjalani fase-fase hidupnya. Bila individu di masa anak-anak diberikan edukasi yang bertujuan untuk membuat anak menjadi mandiri, maka dengan edukasi itu anak akan mulai membangun paradigma bahwa menjadi individu yang mandiri adalah hal yang penting dan menjadi tugas utama, khususnya di masa remaja. peran edukasi ini terletak pada bagaimana anak mampu membangun paradigma untuk dirinya sendiri dengan tujuan-tujuan yang diinginkan. Ketika anak diberikan edukasi dengan tujuan agar anak memiliki paradigma bahwa ketika dia memasuki usia remaja, apa yang selami ini dikerjakan oleh orang tuanya menjadi tanggung jawabnya sebagai individu.

Namun, ketika kebutuhan di atas tidak terpenuhi pada anak di masa remajanya, maka sangat memungkinkan anak tidak mampu mengarahkan dirinya pada hal-hal yang positif. Sehingga masa remaja merupakan masa yang sering kali ditemui banyak masalah yang berkaitan dengan kematangan diri karena tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang seharusnya didapatkan dari orang tua. Padahal sikap dan perilaku yang diperlihatkan orang tua ke anaknya akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan dirinya (Haan, et al 2013). Kurang lekatnya orang tua dengan anak menyulitkan edukasi diberikan pada remaja untuk menunjang kemandirian anak. Dampaknya adalah muncul kemungkinan besar bahwa remja mengalami ketergantungan untuk hidup berkelompok dengan teman sebaya dan melakukan apapun dengan cara berkelompok, akan mengurangi keinginan untuk berinteraksi dengan keluarga. Namun, tidak menutup kemungkinan remaja juga mampu mandiri tanpa membutuhkan kelekatan dari orang tua selama edukasi tetap didapatkan.

Remaja dalam perkembangannya akan selalu membawa nilai yang didapat dalam keluarganya. Anak akan mengekspresikan dirinya sebagaimana ia juga melakukan hal yang sama dengan apa yang dia lakukan dengan keluarganya, namun hal itu akan terjadi bila tertanam betul di dalam diri anak (Herero, Estevez, dan Gonzalo, 2006). Bila orang tua sering mengalami depresi, anak akan ikut mengalami hal yang sama saat ada kejadian tertentu. Anak pun akan memiliki sikap agresif merupakan ekspresi dari apa yang ia alami di dalam keluarganya yang ditunjukkan ke lingungannya. Begitupun dengan anak yang memiliki kemampuan interaksi dengan orang lain, baik itu sebayanya maupun orang dewasa dipengaruhi oleh orang tua di rumah. Sehingga, menjadi hal yang sangat berpengaruh dari setiap yang dipelihatkan oleh orang tua terhadap kehidupan anak-anaknya. Sederhananya, pengaruh dukungan orang terhadap anak remaja memberikan dampak yang positif secara emosi, perilaku maupun nilai kehidupan bagi anak.

(13)

Bagi remaja, menjadi individu yang mandiri menjadi hal penting untuk dicapai. Mendapatkan kebebasan untuk memenuhi kebutuhannya menjadi sangat berarti bagi remaja. Hanya saja, peran orang tua menjadi penting bagi anak agar tetap pada jalur yang positif. Pada aspek inilah seorang anak akan menentukan bagaimana dirinya kelak, apakah ia akan menjadi anak yang mandiri atau bergantung pada orang lain. Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut, salah satunya adalah kelekatan dengan orang tua (Santrok, 2011). Kelekatan yang tinggi memiliki korelasi yang searah dengan kemandirian pada remaja, bila kelekatannya tinggi maka kemandiriannya juga tinggi (Kutyanti & Irwan, 2005). Bilamana ranak di masa remaja merasa mendapatkan dukungan, maka secara bertahap anak akan melepaskan ketergantungan dirinya terhadap orang tua, meskipun tidak langsung pada konflik finansial. Dukungan tersebut bisa berupa motivasi, edukasi ataupun relasi yang baik. Agar peran tersebut, proses edukasi untuk mengarahkan anak mencapai tugas kemandiriannya sangat perlu perhatikan.

Secara umum, remaja yang mandiri adalah remaja yang mampu membangun sikap dan prilaku kesehariannya yang menggambarkan kedewasaan. Remaja tersebut di dalam dirinya sudah terdapat nilai yang mendorong untuk melakukan segala sesuatu yang secara mandiri. Jenis yang kedua adalah remaja yang masih belum mampu mandiri baik bila dilihat dari sikap maupun prilaku kesehariannya. Hal ini bisa saja terjadi pada anak yang tidak yakin dengan apa yang dia lakukan. Kecemasan dan depresi akibat kejadian yang seperti ini sangat banyak terjadi. Menurut Erikson bahwa pada tahapan ini suatu individu akan terbagi secara hukum alam menjadi dua jenis, yaitu indivdu yang otonom, ataupun individu yang tidak otonom. Bila terus-terusan mengalami ketidaknyamanan, maka anak akan mencari pelampiasan untuk memenuhi kenyamannya dia, salah satunya dengan bergantung dengan orang lain (Fatimah, 2006). Komunikasi yang terjalin dengan baik dengan orang tua bisa jadi mendorong kelekatan anak dengan orang tua selalu terjaga. Sehingga anak di masa remaja memiliki rasa aman yang nantinya mengembangkan kepercayaan dirinya untuk tampil sebagai individu di dunia sosialnya. Karena kurangnya komunikasi yang dibangun di dalam internal keluarga menjadikan remaja merasa lebih nyaman di luar rumah dan banyak menghabiskan waktu di sana. Sehingga edukasi dari orang tua kurang tersampaikan kepada remaja karena hal ini, yang berakibat pada perkembangan dirinya, dan memberikan dampak ketergantungan pada orang lain.

Oleh karena itu, peneliti tertarik mengetahui bagaimana pengaruh peran edukasi dalam kelekatan orang tua dengan anak terhadap kemandirian pada remaja ? Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana peran edukasi di dalam kelekatan orang tua terhadap kemandirian pada remaja. Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan pengetahuan mengenai bagaimana melakukan pola asuh yang tepat untuk mengantarkan anak menjadi individu yang mandiri yang didukung dan muatan edukasi seperti apa yang relevan dengan perkembangan untuk mendorong kemandirian anak di masa remaja.

Kemandirian Remaja

Kemandirian pada masa remaja adalah usaha yang dilakukan oleh remaja untuk lepas dari bayang-bayang orang lain. Menurut Steinberg (2002), kemandirian adalah kemampuan individu untuk bertindak dan mempertanggungjawabkan tindakannya dengan tujuan menjalin hubungan yang saling mendukung dengan orang lain. Secara individu, kemampuan untuk bertanggung jawab terhadap segala tindakan yang dilakukan dinamakan kemandirian di masa remaja. Ryan, dan Lynch (dalam Suryadi & Cindy, 2003) mengatakan bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk mengatur dan memilah serta memandu perilaku tanpa intervensi

(14)

dari orang tua maupun orang lain, jadi murni dari individu itu sendiri. Sedangkan Conger (dalam Suryadi & Cindy, 2003) juga berpendapat bahwa kemandirian adalah salah satu aspek kepribadian individu yang membe rikan pengaruh terhadap kinerja dalam mencapai tujuan hidup, prestasi dan penghargaan hidup. Oleh karena itu, kemandirian di masa remaja bisa diartikan bahwa suatu kemampuan yang dimiliki oleh remaja untuk mengatur tingkah lakunya, serta mempertanggung jawabkannya tanpa harus mengandalkan pengaruh orang lain terhadapnya.

Kemandirian berkembang sesuai dengan pembelajaran yang dialami oleh individu dan berlangsung secara bertahap. Kemandirian sama halnya dengan aspek psikologi lainnya yang bila diberikan kesempatan yang baik untuk berkembang akan mengalami perkembangan yang baik (Mu‟tadhin, 2002). Dengan memberikan latihan-latihan kecil kepada anak akan membangkitkan potensi anak untuk mandiri secara individu sesuai dengan usia anak. Smart dan Smart (1978) mengemukakan bahwa kemandirian dapat dilihat sejak anak masih kecil dan bila dikembangkan terus-menerus akan mengalami perkembangan dan memberikan dampak yang positif bagi individu, selain itu juga akan relatif menetap pada usia remaja (dalam Suryadi & Cindy).

Dengan menetapnya kemandirian anak pada usia remaja, lambat laun anak akan mampu lepas dari ketergantungan orang tuanya. Seperti bebas berperilaku dan mengambil keputusan sesuai dengan keinginan sendiri (Mu‟tadhin, 2002). Meskipun demikian, seorang anak akan tetap memiliki kebutuhan untuk tergantung dengan orang lain (Feathermen, Lerner & Perlmutter, 1994 ; dalam Suryadi & Cindy, 2003). Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang tetap membutuhkan orang lain dalam mengapresiasikan diri ke lingkungannya. Namun hal itu tidak lagi secara fisik sebagaimana individu masih kanak-kanak, namun lebih kepada ketergantungan dalam hal mencari dukungan dan bimbingan (Conger, 1991 ; dalam Suryadi & Cindy, 2003).

Kemandirian merupakan tugas utama bagi remaja, maka hal yang sangat wajar bila banyak remaja yang begitu semangat mengatakan bahwa dirinya butuh kebebasan dalam segala aspek (Santrock, 2011). Remaja mengembangkan identitas dirinya sebagai individu yang memiliki kekuatan untuk bertindak tanpa harus diperintah oleh orang lain. Namun hal itu tidak serta-merta sejalan karena seorang remaja meski mencita-citakan kemandirian sepenuhnya, karena remaja tetap membutuhkan rasa aman, dan hal itu didapatkan dengan bergantung dengan orang tua. Sebagai contoh Hurlock (dalam Santrock, 2011), seorang anak remaja masih belum aman secara ekonomi, sehingga masih membutuhkan bantuan dari orang tua untuk memenuhi keamanan dirinya dari segi ekonom. Sehingga, keinginan untuk mandiri bagi seorang remaja masih berbenturan dengan tanggung jawab orang tua yang dampaknya seorang anak remaja tidak bisa langsung mandiri seutuhnya dari keluarga.

Terdapat tiga aspek kemandirian pada remaja yang dapat diukur di dalam kemandirian yang dikemukakan oleh Suharnan (2012) sebagaimana yang telah disusun dalam pengembangan instrumen peneliatian tentang kemandirian, yaitu:

a. Kemampuan mengambil inisiatif untuk bertindak.

Individu yang mandiri adalah yang mampu memprakarsai dirinya sendiri dalam bertindak tanpa menunggu perintah atau disuruh oleh orang lain. Oleh karena itu, remaja yang mandiri adalah remaja yang memiliki kesadaran mengenai tugas dan tanggung jawabnya baik itu dilingkungan sekolah maupun masyarakat. Hal tersebut harus benar-benar dilaksanakan atas kemauan sendiri, bukan dari orang tua ataupun kerena perintah guru di sekolah.

(15)

b. Memberdayakan kemapuan sendiri.

Hal ini ditunjukkan dengan adanya kepercayaan mengenai kemampuan dimiliki dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Hal ini juga masuk dalam peristiwa yang membuat individu harus mengambil keputusan, jika individu tersebut belum percaya dengan kemampuannya di dalam situasi ini maka belum dapat dikatakan mandiri. individu yang mandiri adalah mereka mampu mengeluarkan segenap kemampuannya untuk menyelesaikan suatu masalah, jika mereka gagal barulah mereka meminta bantua orang lain secara terpaksa.

c. Kemampuan untuk menghargai karya sendiri

Individu yang mandiri harus mampu menghargai hasil dari kerja ataupun karya yang dihasilkan dari usaha mereka, termasuk karya sederhana sekalipun yang bagi orang lain tidak ada nilainya. Kepuasan individu terhadap karyanya adalah manifestasi dari jiwa yang mandiri. karena kemandirian berkaitan erat dengan kemampuan menghargai, sedangkan bila individu tidak mampu menghargai hasil karyanya akan sangat memungkinkan ia akan kurang percaya diri dan akhirnya menggantungkan hal tersebut pada orang lain.

Oleh karena itu, remaja yang dapat dikatakan mandiri adalah remaja yang mampu menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya dan memiliki kemampuan untuk lepas dari orang lain, baik itu orang tua maupun teman sebayanya dalam aspek emosi, perilaku dan nilai (Muhibbin, 2010).

Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian pada Remaja

Kelekatan dengan orang tua menjadi salah satu faktor yang sangat penting bagi kemandirian anak (Santrock, 2011). Fuhrahman (1986) mengatakan bahwa anak akan mengembangkan kemandiriannya dan hal tersebut dipengaruhi berdasarkan pengalamannya bersama keluarganya (dalam Ayudhira, 2013). Hubungan dengan orang tua sangat penting bagi seorang anak agar dapat menjadi individu yang mandiri. Karena hal tersebut memberikan dukungan bagi seorang remaja untuk menjadi pribadi yang mandiri, baik secara emosi, prilaku maupun nilai (Steinberg, 2002).

Kelekatan berkaitan dengan pola asuh orang tua terhadap anaknya (Baumride & Bee, 1981; dalam Suryadi & Cindy, 2003). Dengan demikian, hal tersebut tidak lepas dari sikap orang tua terhadap anaknya. Bila sikap yang dibangun oleh orang tua terhadap anaknya positif, akan menghasilkan sikap yang positif juga bagi anak, karena anak merasa aman untuk berkembang sebagaimana mestinya. Apalagi peran ibu, sangat memiliki pengaruh terhadap perkembangan kemandirian seorang remaja (Allen et al, 2003; dalam Ayudhira, 2013). Sehingga bisa disimpulkan bahwa seorang anak akan menjadi individu yang mandiri tidak lepas dari hubungan keduanya dalam keluarga.

Sebagaimana Hurlock (dalam Santrock, 2011) mengatakan bahwa di usia remaja, seorang anak akan sangat membutuhkan bimbingan dan dukungan untuk mencapai tujuan mandirinya. Karena manusia diciptakan pada dasarnya memiliki sistem kelekatan prilaku yang yang mendorong mereka untuk mendekat ke figur lekatnya ketika dibutuhkan (Bowlby, 2004; dalam Ayudhira, 2013). Karena dengan adanya figur yang lekat dengan seorang remaja, utamanya orang tua akan memberikan rasa aman untuk bertindak sebagaimana yang ia inginkan. Namun hal itu tidak lepas dari pandangan anak mengenai orang tua mereka. Hal ini erat kaitannya dengan intensitas komunikasi anak dengan orang tuanya. Anak dengan orang tua yang intens dalam berkomunikasi akan memunculkan kelekatan yang baik yang akan membantu anak tetap memandang orang tuanya sebagai figur yang penting bagi dirinya.

(16)

Kelekatan (Attachment)

Kelekatan adalah ikatan emosional individu dengan pengasuhnya yang terbentuk semenjak ia masih kecil. Mc Cartey dan Dearing (2002) mengatakan bahwa kelekatan adalah sebuah ikatan emosional seseorang yang terbentuk dari hasil interaksi dengan orang lain yang memiliki arti khusus bagi dirinya. Bowlby (dalam Ayudhira, 2013) berpendapat bahwa kelekatan antar anak dan remaja adalah sebuah kondisi di mana keduanya memiliki ikatan emosional yang kuat. Kelekatan dapat diukur dengan adanya kepercayaan, komunikasi dan keterasingan sebagaimana yang telah disusun oleh Inventori of Parent and Peer Attachment (IPPA).

(1). Kepercayaan adalah dimensi di mana orang tua mau melepas anak untuk bebas beraktualisasi sehingga terbentuk sebuah dukungan dari orang tua ke anak mengenai kemampuan anak untuk berkembang sesuai dengan keinginannya dengan adanya pengawasan dari orang tua. Kepercayaan ini ditandai dengan adanya rasa aman yang dirasakan oleh anak dalam membangun dirinya, (2). Komunikasi, ialah interaksi dua arah yang dilakukan orang tua dengan anaknya melalui percakapan dengan tujuan tertentu, pada masa remaja biasanya komunikasi berisi tentang sebuah nasehat atau petunjuk dalam menyelesaikan sebuah konflik. Melalui komunikasi kelekatan orang tua dan anak tetap terjaga sehingga tidak ada kesenjangan di antara mereka, (3). Keterasingan, yaitu kondisi di mana orang tua mampu menghindari atau bahkan menolak untuk marah dan bertanggung jawab terhadap anaknya. Dua konstruk ini memiliki peran dalam membentuk kelekatan yang tidak aman sehingga menghilangkan figur kelekatan itu sendiri, bila figur tersebut tidak ada maka akan muncul perasaan keterasingan.

Ainsworth (dalam Papalia, 2010) membagi kelekatan menjadi dua macam, yaitu kelekatan yang aman dan kelekatan yang tidak aman. Kelekatan yang aman adalah kelekatan yang mampu membangun atau mengembangkan skema mental remaja yang positif. Skema ini berisi tentang tetang pengetahuan remaja mengenai dirinya yang kemudian dimanfaatkan untuk mendukung perkembangan dirinya. Sedangkan kelekatan yang tidak aman adalah kelekatan yang membuat remaja mengembangkan skema mental yang negatif yang pada akhirnya membentuk remaja untuk gampang cemas dan membatasi diri terhadap apapun yang mengancam dirinya, salah satunya adalah ketidak beranian untuk mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalahnya.

Peran Edukasi terhadap Kemandirian

Edukasi bagi anak sangatlah penting untuk diberikan, apalagi hal itu berkenan dengan perkembangannya. Haan, et al (2013) mengatakan bahwa edukasi atau proses didik yang diterima oleh anak sangat berpengaruh pada perkembangan diri anak. Sehingga, bila seorang anak di masa remaja memperoleh edukasi yang mengarahkan dia untuk menjadi individu yang mandiri, maka konsep kemandirian tersebut secara perlahan akan terbentuk. Dalam hal ini, peran orang tua sangat penting sebagai figur yang akan memberikan edukasi tersebut. Karena orang tua merupakan bagian yang tidak boleh terpisahkan dari kehidupan anak.

Peran edukasi disini berfungsi sebagai media agar anak mengetahui diri dan cara meregulasi dirinya agar menjadi individu yang matang di masa remajanya. Hal itu akan didapatkan ketika orang tua memberikan gambaran pada anak mengenai cara mereka mengenali terlebih dahulu. Edukasi di dalam keluarga memiliki nilai strategis dalam pembentukan kepribadian anak (Bahri, 2014). Anak yang dari kecil telah mendapatkan edukasi dari orang tuanya yang tergambar melalui keteladanan dan perilaku orang tua di dalam keluarga akan dicontoh oleh

(17)

anak, karena secara naluriah seorang anak akan sangat sering meniru sesuatu yang diperlihatkan orang tua.

Oleh karena itu, besarnya pengaruh peran edukasi bagi perkembangan anak sangat penting untuk diperhatikan. Melalui edukasi orang tua, anak akan mampu meregulasi dirinya dan mengenali dirinya dengan baik sehingga pada tahap perkembangannya anak akan semakin sadar mengenai tanggung jawabnya. Semakin anak sadara mengenai diri dan tanggung jawabnya, semakin mudah bagi anak untuk membentuk konsep diri yang positif. Sabagaimana yang dikemukakan oleh Bahri (2014) saat mendidik anak adalah dengan memberikan empat hal, yaitu (1). Memberikan motivasi kepada anak untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, (2). Memberikan kesempatan bagi anak untuk melakukan hal-hal yang positif bagi lingkungannya, hal ini dilakukan agar anak membentuk peran dirinya sebagai individu yang bermasyarakat, (3). Memahami perasaan anak yang mana orang tua memunculkan kepekaan dirinya terhadap perasaan pada anaknya, dan (4). Memberikan atau meluruskan perilaku anak yang berdampak negatif bagi dirinya dan lingkungan sekitarnya. Keempat hal ini yang nantinya memberikan pengaruh yang relevan bagi pembentukan kemandirian di usia remaja. bila hal ini tidak tercapai akan terbuka ruang yang sangat besar bagi anak untuk melakukan perilaku yang tidak diharapkan di lingkungan sosialnya. Karena edukasi tidak hanya tentang hal mengarahkan dan memberi petunjuk pada anak, melainkan juga perilaku orang tua kepada anakanya. Contoh, di Indonesia sangat sering dijumpai kasus orang tua memberikan label pada anaknya. Label ini sering bermuatan negatif yang bisa menyinggung perasaan anak sehingga anak menjadi tidak percaya pada diri ketika bergaul di lingkungan sosialnya (Sarwono, 2013). Dampaknya adalah anak akan tidak percaya diri dan lebih sering menghindar dari kehidupan sosialnya.

Remaja yang Mandiri

Perspektif psikologi perkembangan menyatakan bahwa remaja ialah masa di mana seorang anak menjalani masa transisi menuju masa dewasa. Chikszentimihalyi dan Larson (dalam Sarwono, 2013) menyatakan bahwa remaja adalah restrukturisasi kesadaran. Hal ini ditandai dengan adanya proses pembentukan konsep diri yang terjadi di masa remaja. Selain itu, di masa remaja juga terjadi sebuah penetapan kepribadian (Buss & Craik, 1978; dalam Sarwono, 2013). Secara naluriah, seorang remaja akan membentuk dirinya sebagaimana yang yang dia pikirkan. Ketika seorang anak di masa remajanya memikirkan dirinya untuk lepas dari bayang-bayang orang tua, maka individu tersebut akan mencari cara agar dirinya bisa mencapai tujuan tersebut.

Kehidupan remaja adalah hidup dengan banyak konflik yeng terjadi. Pertentangan dengan diri sendiri, cemas dengan kondisi fisik yang terjadi pada remaja perempuan dan juga adanya masalah yang terjadi diluar diri membuat remaja sangat variatif macamnya. Remaja akan sangat rentang dengan perilaku yang menyimpang dan depresi yang berlebihan karena tidak adanya kesesuaian antara keinginan dan kenyataan yang terjadi (Sarwono, 2013). Sebab hal ini terjadi adalah karena konflik yang tidak bisa diselesaikan sendiri oleh remaja, terlebih remaja mengalami masa pubertas yang bagi remaja memberi dampak terhadap kondisi psikologis anak, yaitu kecemasan dengan mudah terjadi karena banyaknya perubahan-perubahan fisik dan emosi yang terjadi (Santrock, 2011). Oleh karenanya, tidak jarang seorang anak remaja akan menjauh dari kehidupan keluarganya karena anggapan bahwa keluarga adalah salah satu sumber dari munculnya masalah yang menganggu dirinya, teori ini kemudian disebut differential assocation yang mana orang tua memberikan batasan pada anak untuk bergaul (Jensen, 1985; dalam Sarwono, 2013).

(18)

Namun, di sisi yang lain anak di masa remaja sudah memulai membangun konsep untuk keluar dari bayang-bayang orang tuanya. Hal ini merupakan hal yang positif karena remaja tidak lagi menginginkan dirinya untuk menjadi individu yang terus hidup di bawah bayang-bayang orang lain (Fatimah, 2006). Artinya, dengan adanya keinginan itu, seorang remaja akan melakukan hal apapun untuk mencapainya, karena karakterisitik dibenak seorang remaja adalah mereka akan dianggap ketika mereka memunculkan pribadi yang mampu memberikan pengaruh dilingkungans sekitarnya. Hal inilah yang dikemukakan oleh Erikson (dalam Santrock, 2011) bahwa integritas seorang remaja adalah kebabasan dirinya (self autonomy). Dorongan untuk menjadi individu yang mandiri sering kali membuat orang tua marah dan memperkuat kendali atas anaknya sehingga anak merasa tertekan. Meskipun demikian, seiring dengan berjalannya proses tersebut orang tua semakin perlahan memberikan keleluasaan pada anaknya untuk bertidak sebagaimana yang dia inginkan. Karena hasrat seorang anak di masa remaja untuk mengambil kendali atas dirinya hanya bisa tercapai melalui reaksi-reaksi yang terjadi dengan orang tua (Laursen & Collins, 2009; McElhaney dkk, 2009; dalam Santrock, 2011). Kemandirian pada remaja pun berbeda dengan di masa dewasa yang sudah benar-benar mampu melepaskan diri dari bayangan orang lain, seperti orang tua.

Kemandirian di masa remaja dilihat dari segi kemampuan remaja untuk bertidak sesuai dengan yang dipikirkan dan mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalahnya sendiri, tidak sampai pada aspek ekonomi layaknya orang dewasa. Karena kemandirian pada remaja terbentuk secara bertahap. Remaja dapat dikatakan mandiri bila dia sebagai individu sudah memiliki dorongan untuk lepas dan mengambil kendali atas dirinya dalam hal-hal tertentu (Laursen & Collins, 2009; McElhaney dkk, 2009; dalam Santrock, 2011). Ketika seorang remaja sudah mampu untuk mengendalikan dirinya, menghargai apa yang diperbuat, menyelesaikan masalahnya dengan tangan sendiri, berani mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas perbuatannya maka sudah bisa dikatakan bahwa remaja tersebut sudah mandiri.

Jadi, masa remaja adalah masa dengan banyak konflik, penuh dengan kondisi yang bervariasi dan perubahan terjadi baik dari segi fisik maupun emosi. Kemandirian adalah hal yang sangat penting bagi remaja untuk dicapai, karena sangat erat kaitannya dengan integritas dirinya sebagai individu yang akan menjadi pribadi yang dewasa. Kemampuan mengambil keputusan dan bertanggung jawab adalah dua hal yang mencirikan seorang anak di masa remajanya mandiri. Meskipun pada tahap awal remaja mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan, namun dengan bimbingan orang dewasa yang diberikan secara bijaksana dengan mengurangi kendali dibidang tertentu bisa membuat remaja akan matang dalam hal tersebut (Santrock, 2011).

Edukasi dalam Kelekatan Orang Tua Anak dengan Kemandirian pada Remaja

Faktor terbentuknya sebuah kemandirian terhadap anak di usia remaja adalah dengan adanya kelekatan yang baik (Santrock, 2011) yang mana kelekatan tersebut erat kaitanya dengan pola sih orang tua (Baumride & Bee, 1981; dalam Suryadi & Cindy, 2003). Kelekatan yang baik bisa ditandai dengan adanya keterbukaan kedua belah pihak saat melakukan interaksi. Karena dengan adanya kelekatan anak akan merasa lebih aman dan lebih mudah untuk terbuka terhadap segala hal yang dialami karena merasa didukung oleh orang tuanya. Kepercayaan, komunikasi dan keterasingan sebagaimana aspek yang mengukur kelekatan mengambil peran penting. Terkhusus pada aspek komunikasi, di mana adalah gerbang terbangun dan terjaganya kelekatan (Gunarsa, 2004). Karena pada dasarnya komunikasi adalah penglicin untuk

(19)

membentuk anak sebagaimana yang dicita-citakan yang digunakan dalam pengasuhan anak (Bahri, 2014).

Anak yang memiliki dukungan dari orang tua akan percaya diri untuk melakukan sesatu dibandingkan dengan anak yang sama sekali tidak didukung oleh orang tua (Santrock, 2011). Adanya kelekatan dengan anak harus benar-benar dimanfaatkan oleh orang tua sebagai peluang untuk memberikan edukasi kepada anak, sebagaimana Santrock (2011) menuturkan bahwa kelekatan orang tua dan anak mampu menumbuhkan kemandirian pada anak. Karena kelekatan adalah tanda di mana orang tua dengan leluasa masuk di kehidupan anak dan anak menyetujui hal itu, sehingga agar dengan kelekatan tersebut tidak membuat anak menjadi individu yang tergantung dengan orang tua perlu ada edukasi yang menunjang kemandiriannya (Dagun, 2013). Oleh karenanya, hal yang perlu ditekankan adalah ketika tercipta sebuah kelekatan, maka orang tua harus menggunakannya untuk mendidik anak-anaknya menjadi mandiri, sebab secara otomatis orang tua paham dengan kebutuhan anak untuk menjadi pribadi yang dicita-citakan. Kelekatan yang harus dibentuk adalah kelekatan yang aman di mana anak membentuk skema dirinya menjadi positif.

Membentuk anak menjadi mandiri adalah tugas utama dari pengasuhan orang tua, terkhusus bagi anak di masa remaja (Bahri, 2014). Karena masa remaja memiliki tugas untuk menjadi mandiri dan menicta-citakan kebebasan. Sehingga bagaimana anak menjadi mandiri terletak dari bagaimana orang tua mengasuhnya. Sehingga perlu adanya edukasi yang diberikan oleh orang tua pada anaknya untuk mencapai kemandiriannya, dengan menjadikan komunikasi yang intens sebagai salah satu cara.

Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Gunarsa (2004) bahwa intensitas komunikasi akan membuka banyak ruang bagi orang tua dalam berinteraksi, maka orang tua perlu mengetahui bahwa melalui komunikasi yang dilakukan secara intens ia akan lebih mampu untuk membentuk anak menjadi pribadi yang mandiri dengan ruang interaksi yang dimiliki. bagaimanapun itu, komunikasi adalah penentu dari efektifnya sebuah pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya (Bahri, 2014). Di usia 15-18 tahun, merupakan usia di mana anak sudah mencita-citakan untuk menjadi mandiri atau tidak lagi bergantung dengan orang tua dan orang tua harus memberikan kepercayaan yang tinggi pada anak untuk melakukan sesuatu agar tugas tersebut berhasil.

Menurut Bahri (2014), ada empat hal yang harus diberikan oleh orang tua dalam membentuk kemandiriannya, yaitu: (1). Memberikan motivasi untuk memuaskan rasa ingin tahu anak karena dahsyatnya rasa ingin tahu di masa remaja tidak serta-merta mampu ditekan sehingga perlu tersalurkan dengan baik agar anak merasa dihargai oleh orang tuanya dengan kemampuan yang dimiliki, (2). Memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan hal-hal positif dengan tujuan menumbuhkembangkan kecerdasan emosi anak agar sifat-sifat sosial kemasyarakatan anak tumbuh dan tidak hanya mengenal keluarganya saja sebagai lawan interaksi, (3). Memahami perasaan anak sebagai kunci keberhasilan orang tua dalam mendidik. Dalam konteks membangun kemadirian anak, perasaan anak benar-benar perlu dipahami agar orang tua tidak salah dalam memberikan pendidikan kepada anak. Kemampuan inilah yang akan mendorong orang tua untuk mengetahui kebutuhan anaknya, (4). Meluruskan perilaku negatif anak yang mana ketika orang tua melihat anaknya melakukan perbuatan negatif tidak serta merta dimarahi yang dampaknya akan menguncang kondisi psikologis anak, melainkan memberikan nasehat yang berisi pesan-pesan kebajikan atau nilai-nilai agama yang membuat anak bisa mengetahui yang baik dan yang buruk untuk dilakukan.

(20)

Oleh karena itu, tercapainya sebuah kemandirian pada remaja memerlukan tiga hal, yaitu kepercayaan, komunikasi dan keterasingan yang tinggi agar tercipta kelekatan yang baik atau aman antara anak dengan orang tua (Olson, 1992). Kepercayaan berfungsi sebagai aspek yang menimbulkan rasa aman pada anak untuk berbuat sesuatu, komunikasi sebagai penjaga kelekatan dan keterasingan sebagai penguat bahwa antar anak dan orang tua memiliki hubungan yang positif sehingga tidak ada perilaku yang negatif sebagai solusi pemecahan masalah yang digunakan. Dengan model kelekatan orang tua anak yang aman, orang tua akan memiliki kemampuan untuk mengetahui dan memahami perasaan anaknya dengan baik, dengan pemahaman yang baik ini orang tua tahu menerapkan pengasuhan yang mendidik pada anak untuk mencapai kemadiriannya, sehingga anak akan merasa nyaman untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya karena tahu dan berbekal kepercayaan dari orang tua mereka (Bahri, 2014).

(21)

Hipotesis

Berdasarkan dari teori yang dirujuk, hipotesis penelitian ini adalah ada pengaruh edukasi di dalam kelekatan orang tua dengan anak terhadap kemandirian pada remaja. Jika kelekatan orang tua anak memiliki edukasi bagi anak, maka akan berpengaruh terhadap kemandirian anak di masa remaja. Tapi apa bila kelekatan orang tua di dalamnya tidak ada edukasi, maka akan membuat anak menjadi tidak mandiri.

METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang terdiri dari tiga variabel penelitian, yaitu variabel bebas, variabel moderator dan variabel terikat. Penelitian ini menggunakan remaja dengan usia 12-18 tahun sebagai subjek untuk memperoleh data tentang kemandirian remaja. pada penelitian ini, peneliti menggunakan kelekatan orang tua anak sebagai variabel yang mempengaruhi kemandirian pada remaja, dengan syarat bahwa kelekatan tersebut akan mempengaruhi kemandirian pada remaja jika terdapat edukasi yang mengarahkan kemandirian pada remaja.

Subjek Penelitian

Penelitian ini menggunakan anak remaja yang berada di 12 – 18 tahun yang secara umum sudah memasuki tingkat pendidikan SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Teknik pengambilan subjek ini menggunakan teknik purposive sampling yang mana subjek penelitian diambil sesuai dengan kriteria dan jumlah yang ditentukan oleh peneliti. Kriteria tersebut adalah remaja dengan usia 12-18 tahun dengan tingkat pendidikan SMP dan SMA. Teknik purposive sampling adalah teknik pengambilan data dengan berfokus penilaian peneliti terhadap subjek penelitiannya, maksudnya adalah peneliti mengambil subjek yang sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan dengan tidak mengabaikan teori yang relevan, yaitu remaja. Teknik

purposive sampling digunakan untuk memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian dengan jumlah populasi yang belum terhitung dengan harapan bahwa dengan kriteria subjek yang telah ditentukan oleh peneliti bisa mewakili jumlah populasi remaja secara keseluruhan.

Variabel dan Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan tiga variabel, yaitu variabel terikat, variabel moderator dan variabel bebas. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemandirian. Kemandirian adalah kemampuan seorang remaja untuk bertindak dan mengambil keputusan sesuai dengan apa yang dia inginkan tanpa ada pengaruh dari orang lain dan bertanggung jawab atas hal itu. Kemandirian dilihat dari tiga aspek, yaitu kemampuan mengambil inisiatif dan mengendalikan aktivitas, memberdayakan kemampuan dalam mengambil keputusan dan menghargai kemampuan diri sendiri. Variabel moderatornya adalah edukasi. Edukasi ialah pendidikan yang diberikan oleh orang tua pada anak untuk menunjang atau mengarahkan anak untuk mandiri dengan memberikan empat hal, yaitu memberikan motivasi untuk memuaskan rasa ingin tahu anak, memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan hal-hal positif memahami perasaan anak, dan meluruskan perilaku negatif anak. Varibel ketiga adalah variabel bebas yaitu kelekatan. Kelekatan adalah ikatan emosional antara anak dengan orang tua dimana orang tua mampu menjadi figur bagi anak untuk memperoleh rasa nyaman dan aman. Kelekatan ada tiga aspek juga, yaitu kepercayaan, komunikasi, dan keterasingan.

(22)

Adapun instrumen penelitian ini adalah dengan menggunakan tiga instrumen, yaitu instrumen untuk mengukur kemandirian pada remaja yang kemudian dinamakan Skala Kemandirian, kemudian instrumen untuk mengukur edukasi orang tua yang dinamai skala edukasi dan instrumen untuk mengukur kelekatan orang tua dengan anak yang dinamakan skala kelekatan. Instrumen kemandirian ini disusun oleh Suharnan (2014) dan diadaptasi oleh peneliti dengan jumlah item sebanyak 25 butir dengan reliabilitas 0,939. Instrumen kedua adalah edukasi orang tua sebanyak 11 item dengan reliabilitas 0,831 yang merupakan instrumen yang dibuat melalui adapatasi teori dari Bahri. Instrumen ketiga adalah kelekatan yang mengadaptasi teori dari Inventori of Parent and Peer Attachment (IPPA) dengan jumlah item sebanyak 16 item reliabilitas 0,835. Item di setiap instrumen adalah item-item valid yang merupakana hasil dari

proses try out dan telah dianalisa dengan mengunakan SPSS for windows versi 21.

Tabel 1. Indeks Validitas dan Reliabilitas Item

Terdapat tiga tahap yang digunakan dalam melakukan penelitian ini. Pertama, Mencari atau membuat instrumen yang akan digunakan untuk mencari data dari varibel yang akan diteliti. Ada tiga instrumen yang dibutuhkan di penelitian ini, yaitu instrumen kemandirian pada remaja, instrumen tentang edukasi orang tua dan instrumen kelekatan orang tua dengan anak. setelah itu, tahap selanjutnya melakukan uji coba instrumen penelitian untuk menguji validitas dan realibilitas dari instrumen penelitian agar dapat diketahui layak tidaknya instrumen tersebut digunakan. Kemudian penentuan lokasi penelitian dan pemilihan responden sesuai dengan tema penelitian yang diangkat. Kedua, Dari penentuan ini akan dilakukan pengambilan sampel dari populasi yang ada kemudian dilakukanlah pengambilan data menggunakan instrumen yang telah disusun oleh peneliti dengan menyebarkan instrumen penelitian yang diberikan kepada subjek yang telah dipilih sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti, subjek penelitian terdiri dari remaja dengan usia 12-18 tahun. Ketiga, Kemudian pada tahapan ketiga adalah melakukan analisa data dengan metode regresi berganda.

Metoderegresi berganda adalah metode analisis yang digunakan untuk mencari pengaruh dua atau lebih variabel terhadap satu variabel terikat (Hadi, 2015). Tahap ini akan dilakukan input data hasil penelitian kemudian dianalasia untuk mengetahui pengaruh dari peran edukasi di dalam kelekatan orang tua terhadap kemandirian pada remaja. sebelum itu, akan dilakukan lagi uji validitas dan reliabilitas item yang telah digunakan dalam penelitian untuk mengetahui berapa item pada instrumen penelitian yang valid dan reliabel. Setelah itu, data subjek dari penelitian yang dilakukan dijumlahkan dengan tujuan untuk dianalisa melalui SPSS for windows versi 21 dengan tujuan mengetahui pengaruh edukasi di dalam kelekatan orang tua terhadap kemandirian pada remaja.

(23)

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil penyebaran skala kepada siswa SMP dan SMA dengan jumlah subjek 116 orang berdasarkan teknik pengambilan data purposive sampling yang diperoleh dari salah satu sekolah menunjukkan gambaran subjek penelitian sebagai berikut:

Tabel 2. Karakteristik Subjek Penelitian

Kategori Frekuensi Usia Prosentase

Remaja Laki-Laki 56 12-18 tahun 48%

Remaja Perempuan 60 52%

Total 116 100%

Berdasarkan hasil uji normalitas kolmogorov-Smirnov pada edukasi, kelekatan orang tua dan kemandirian pada remaja didapatkan nilai p=0,283 (p>0,05) yang menyatakan bahwa variabel yang diteliti berdistribusi normal karena nilainya berada di atas 0,05. Jadi hasil uji normalitas dengan menggunakan metode kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa variabel yang diteliti yaitu kelekatan orang tua, edukasi dan kemandirian pada remaja berdistribusi normal.

Berdasarkan hasil uji lineralitas kelekatan orang tua dan kemandirian pada remaja didapatkan nilai p=0,585 (p>0,05) dengan nilai F = 0,915 yang berarti ada linearitas antara kelekatan orang tua dengan kemandirian pada remaja karena nila p lebih besar dari 0,05. Jadi antara kelekatan orang tua dengan kemandirian pada remaja memiliki hubungan yang linear. Kemudian hasil uji linearitas edukasi dengan kemandirian pada remaja didapatkan nilai p=0,559 (p>0,05) dengan nilai F = 0,921 yang berarti ada linearitas antara edukasi dengan kemandirian pada remaja dengan alasan nilai p lebih besar dari 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang linear antara kelekatan orang tua dengan kemandirian pada remaja dan ada hubungan yang linear antara edukasi dengan kemandirian pada remaja. Berdasarkan hasil uji regresi yang dilakukan pada kelekatan orang tua dengan kemandirian pada remaja, didapatkan hasil koefisien determinasi sebesar r²=0,009 atau dalam satuan persen sebesar 0,9%. Dengan hasil ini berarti dapat dikatakan bahwa pengaruh kelekatan orang tua terhadap terjadinya kemandirian pada remaja berkontribusi sebesar 0,9% dan sebesar 99,1% disebabkan oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Selain itu didapatkan juga nilai korelasi pearson antara kelekatan orang tua dengan kemandirian pada remaja sebesar r=-0,096 (r>0,05) yang berarti terdapat korelasi yang yang berlawanan antara kelekatan orang tua dengan kemandirian pada remaja dan dengan pertimbangan nilai korelasi pearson yang dihasilkan mendekati angka 0 maka korelasi antara kelekatan dengan kemandirian pada remaja dapat dikatakan lemah.

Untuk pengujian hipotesis pada penelitian ini, berdasarkan hasil uji regresi yang dilakukan pada kelekatan orang tua dengan kemandirian pada remaja setelah dimasukkan edukasi sebagai variabel moderator dari kelekatan orang tua didapatkan hasil koefisien determinasi r²=0,009 atau 0,9% yang menyatakan bahwa tidak ada peran edukasi di dalam pengaruh kelekatan orang tua terhadap kemandirian pada remaja dikarenakan nilai koefisien determinasinya tidak mengalami perubahan. Hal ini juga dapat dibuktikan pada tabel ANOVA yang memaparkan nilai f=0,530 dengan taraf signifikansi p=0,590 (p>0,05) yang berarti secara simultan tidak ada peran edukasi di dalam pengaruh kelekatan orang tua terhadap kemandirian pada remaja. Jadi dapat dikatakan bahwa edukasi tidak berkontribusi

(24)

terhadap pengaruh kelekatan orang tua sebagai variabel yang mempengaruhi kemandirian pada remaja.

Dengan demikian, hipotesis pada penelitian ini yaitu ada pengaruh peran edukasi di dalam kelekatan orang tua terhadap kemandirian pada remaja ditolak dengan hasil uji regresi yang ditunjukkan pada tabel ANOVA dengan hasil f=0,530 dengan taraf signifikansi p=0,590 (p>0,05). Hal ini juga dilihat dari nilai koefesien determinasi r²=0,009 atau 0,9% tidak menunjukkan perubahan terhadap kemandirian pada remaja setelah dimasukkan edukasi di dalam kelekatan orang tua. Jadi, adanya edukasi di dalam kelekatan orang tua tidak berperan terhadap kemandirian pada remaja. Hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa meskipun dengan memasukkan edukasi didalam kelekatan orang tua sebagai sebab terjadinya kemandirian pada remaja, tetap tidak memperkuat dan memperlemah pengaruh kelekatan orang tua terhadap kemandirian pada remaja.

DISKUSI

Berdasarkan hasil uji regresi pada penelitian ini menyatakan bahwa hipotesis pada penelitian ini yaitu ada peran edukasi di dalam kelekatan orang tua terhadap kemandirian pada remaja ditolak dengan melihat nilai koefisien determinasi r²=0,009 atau 0,9% dan nilai pada tabel ANOVA f=0,530 dengan taraf signifikan p=0,590 (p>0,05). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tidak ada peran edukasi di dalam pengaruh kelekatan orang tua terhadap kemandirian pada remaja karena hasil uji regresi pada pengaruh kelekatan orang tua tidak mengalami perubahan setelah edukasi dimasukkan. Selain itu edukasi sebagai variabel moderator tidak memperkuat ataupun memperlemah pengaruh kelekatan orang tua sebagai sebab terjadinya kemandirian pada remaja.

Dilihat dari hasil penelitian ini, selain kelekatan yang berkontribusi sebesar 0,9% terhadap kemandrian pada remaja terdapat faktor lain sebesar 99,1% yang juga berkontribusi tetapi tidak diteliti dalam penelitian ini. Faktor lain yang tidak disebutkan tersebut bisa saja datang dari aspek kultur atau faktor lain yang dihadapi seorang remaja sehingga berkembang menjadi individu yang mandiri, perkembangan seorang remaja sangat ditentukan oleh berbagai faktor atau situasi yang dihadapi, kemandirian juga bisa terbangun dari adanya relasi yang positif antara anak remaja dengan orang tuanya (Soenens & Bayers, 2012). Salah faktor lain yang bisa mempengaruhi kemandirian adalah kepercayaan diri seorang individu (Amyani, 2010). Kemudian berdasarkan hasil uji regresi yang mencari pengaruh kelekatan orang tua dan peran edukasi terhadap kemandirian pada remaja, didapatkan hasil F=0,530 dan p=0,590 (p>0,05) yang berarti secara bersamaan antara kelekatan orang tua dan peran edukasi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemandirian pada remaja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peran edukasi di dalam kelekatan orang tua tidak berpengaruh signifikan terhadap kemandirian pada remaja.

Konsep kemandirian adalah hal yang sangat umum dan bisa muncul karena banyak sebab, Kagitcibasi (2011) berpandangan bahwa kemampuan bersosial adalah salah satu aspek yang mampu mempengaruhi kemandirian. Jika dikaitkan dengan penelitian ini, dapat dikatakan tidak selamanya kemandirian itu disebabkan oleh adanyak kelekatan dan edukasi yang diberikan oleh orang terhadap remaja. Bisa jadi kemandirian seorang remaja muncul sebagai dampak dari hasil interaksinya dengan banyak orang dewasa yang ada disekelilingnya. Faktor berbeda yang mempengaruhi kemandirian remaja yang terdapat dalam penelitian dari Afiyanti dkk (2010) mengatakan bahwa self-regulated learning (SRL) memiliki sumbangan efektif

(25)

sebesar 43,9% yang artinya SRL memiliki kontribusi yang besar terhadap kemandirian seorang remaja. Jadi, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan hasil bahwa tidak ada pengaruh yang siginifikan antara kelekatan orang tua terhadap kemandirian pada remaja adalah hal yang wajar terjadi. Hal ini dikarenakan karena kemandirian adalah suatu hal yang muncul dengan banyak faktor yang dialami oleh individu sebagaimana yang telah dijelaskan. Meskipun secara umum jika dilihat dari nilai determinasi (r²) yang didapatkan kelekatan orang tua dan peran edukasi tetap memiliki kontribusi terhadap kemandirian pada remaja sebesar 0,9%.

Ketika seorang anak menuju masa remaja, interkasi orang tua dengan anaknya berubah ke frekuensi yang lebih sedikit dan sudah tidak banyak berinteraksi layaknya ketika masih di masa anak-anak. Sehingga remaja cenderung menghadapi permasalahannya sendiri tanpa mendapatkan bimbingan langsung dari orang tua. Meskipun menghadapi masa remaja yang penuh dengan konflik sebagaimana yang dikemukakan oleh G. Stanley (dalam Santrok, 2011) bahwa masa remaja adalah masa badai yang dipenuhi dengan pergolakan dan banyaknya perubahan suasana hati. Meskipun demikian remaja secara keseluruhan tetap merasakan kebahagiaan, mampu menikmati hidup, menghargai kerja dan sekolah mereka.

Untuk menjadi individu yang matang, seorang remaja terus melakukan negosiasi yang berkaitan erat dengan kemampuan atau apa yang dibutuhkan untuk berhasil menjadi pribadi yang dewasa dan matang. Menjadi individu yang mandiri juga merupakan hal di mana seorang remaja berusaha membangun dirinya agar sebagai individu bisa berbuat sebebas yang dia inginkan. Meskipun banyak yang berhasi, namun tidak sedikit juga yang mengalami kegagalan untuk mencapai tahap dewasa, hal ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan etnis, budaya, gender, sosial-ekonomi, gaya hidup dan usia (Spencer, 2010; dalam Santrock, 2011). Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa anak yang pada masa remaja yang seharusnya membangun dirinya untuk menjadi mandiri tetap tidak bisa karena adanya perbedaan tadi. Dengan demikian, untuk membangun kemandirian pada remaja, aspek kelekatan dan edukasi yang diberikan dalam keluarga tidak cukup untuk memenuhi harapan tersebut. Sangat diperlukan pengaruh dari lingkungan anak sebagai alat yang mendukung pertumbuhan pada anak. Melatih remaja untuk mengemban tanggung jawab adalah salah satu aspek yang perlu diberikan kepada remaja agar terlatih menjadi individu yang mampu menggunakan potensinya (Bahri, 2014). Karena berbicara tentang kemandirian pada remaja tidak hanya pada aspek anak lepas dari kontrol orang tuanya, melainkan juga kemampuan seorang remaja untuk menggunakan potensi yang dimiliki dengan tujuan pemberdayaan diri, karena hal itu akan dibutuhkan ketika remaja telah melanjutkan masa pertumbuhannya sebagai orang dewasa yang berpotensi memiliki banyak masalah kehidupan.

Kemandirian bisa terjadi karena adanya relasi positif antara anak dengan orang tua, meskipun tidak mengarah pada kelekatan orang tua akan tetapi ketika anak merasa aman dengan relasi dirinya dengan orang tuanya maka akan memberi pengaruh yang besar terhadap kemandirian anak yang juga akan berperan penting pada perkembangan-perkembangan di tahap selanjutnya (Spear & Kulbok, 2004). Hal ini berarti, tanpa adanya kelekatan dengan orang tua ataupun edukasi yang diberikan oleh orang tua, anak di masa remaja akan tetap secara otomatis membangun diri untuk mandiri dengan cara yang lain. Karena secara psikologis, remaja sudah mampu secara bebas menggunakan kemampuan dirinya untuk hal-hal yang mereka inginkan. Bisa saja dengan kondisi sosial-ekonomi yang dihadapi seorang remaja mampu mendorong dirinya untuk mandiri karena tanpa usaha yang dia lakukan akan menganggu ketentraman dirinya secara ekonomi.

(26)

Oleh karena itu, dalam mengembangkan kemandirian pada anak dibutuhkan wawasan yang sangat luas dan sekiranya bisa memberikan kontribusi yang besar terhadap kemandirian pada remaja. Kelekatan orang tua dengan anak bisa dijadikan rujukan untuk meningkatkan kemandirian pada remaja dengan mempertimbangkan kebutuhan apa yang diperlukan oleh seorang remaja agar dia bisa menjadi individu yang mandiri sesuai dengan usianya, contoh mandiri dalam hal tanggung jawabnya sebagai siswa. Selain itu, aspek lain seperti kepercayaan diri, pengetahuan, kultur dan aspek yang lain juga perlu dipertimbangkan sebagai faktor dari terjadinya kemandirian. Karena kemandirian juga terbentuk dengan adanya wawasan seorang anak mengenai kemandirian dan tugas-tugas dia di masa remaja.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI

Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada peran edukasi di dalam pengaruh kelekatan orang tua terhadap kemandirian pada remaja dengan melihat nilai koefisien determinasi tetap pada angka r²=0,009 dan nilai f=0,530 dengan taraf signifikan p=0,590 (p>0,05). Hal ini menandakan bahwa edukasi tidak memperkuat pengaruh kelekatan terhadap kemandirian pada remaja karena koefisen determinasinya tetap pada angka 0,9%. Kemudian sebesar 99,1% faktor yang lain juga berkontribusi terhadap kemandirian pada remaja namun tidak diteliti di dalam penelitian ini. Implikasi dari penelitian ini adalah bagi orang tua yang memiliki anak remaja sekiranya diberikan dukungan penuh untuk menjadi individu yang mandiri dengan tetap menjaga kelekatan orang tua dengan anak penunjang hal tersebut, karena bagaimanapun juga kelekatan sangat penting bagi anak dalam membangun skema diri mereka untuk menjadi individu yang mandiri. Bagi siswa, untuk menjadi individu yang mandiri tidak hanya mengandalkan arahan dari orang tua, tapi perlu memotivasi diri sendiri untuk tidak lagi bergantung di sisi orang tua untuk beberapa hal, seperti tanggung jawab, tugas-tugas di sekolah dan di rumah serta memotivasi diri untuk berinteraksi dengan orang yang lebih dewasa agar kedewasaan bisa terbentuk dengan baik. Selanjutnya bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian dengan topik penelitian yang sama, disarankan untuk menggunakan subjek penelitian yang range usianya tidak terlampau jauh dengan berfokus pada latar pendidikan subjek yang sama dan dengan jumlah sampel penelitian yang lebih besar dibandingkan dengan penelitia ini. Contoh jika penelitian ini dilakukan untuk usia remaja dengan tingkat pendidikan SMA, maka seluruh subjek yang menjadi sampel penelitian harus berlatar belakang SMA atau sederajat. Selain itu, peneliti selanjutnya diharapkan memasukkan aspek kepribadian di dalam topik penelitian ini.

REFERENSI

Alfianty, Ryzya. Hartati, Sri dan Sawitri, Dian Ratna. (2010). Hubungan antara Self-Regulated Learning (SRL) dengan Kemandirian pada Siswa Program Akselerasi SMA Negeri 1 Purwerejo. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro. 1, 1-19.

Amyani, Siti. (2010). Hubungan Kepercayaan Diri dengan Kemandirian Santri Pesantren Tahfiz Sekolah Saarul Qur‟an Internasional Bandung. Skripsi Psikologi UIN Syarif Hidayatullah.

(27)

Arisha, Audy Ayu dan Valentina, Tience Debora. (2013). Hubungan Komunikasi Anak dengan Kemandirian pada Remaja SMKN 1 Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana, 1, 181-189.

Djamarah, Syamsul Bahri. (2014). Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga

(Ed. Revisi). Jakarta: Rineka Cipta

Dagun, Save. M. (2013). Psikologi Keluarga: Peranan Ayah dalam keluarga. Jakarta: Rineka Cipta

Dharmayanti, Hapsari. (2008). Pengaruh Ibu Bekerja terhadap Intensitas komunikasi dalam Keluarga di SMA Surabay Selatan. Karya Ilmiah SMA Al Hikmah Full Day School Surabaya. Di Akses pada Tanggal 15 Desember 2015, dari

Fatimah, E. (2006). Psikologi Perkembangan. Bandung: CV Pustaka Setia

Gunarsa, S.D. (2004). Psikologi Praktis Anak Remaja dan Keluarga. Cet 7. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

Hadi, Sutrisno.(2015). Metodologi Riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Haan, A.D., Soenes, Bart., Dekovic, Maja & Prienze, Peter. (2013). Effects of Childhood Aggression on Parenting during Adolescence: The Role of Parental Psychological Need Satisfaction. Journal Of Clinic and Adolecense. 42, 393-404.

Herrero, J., Estevez, E,. & Musitu, Gonzalo. (2006). The relationships of adolescent school-related deviant behaviour and victimization with psychological distress: Testing a general model of the mediational role of parents and teachers across groups of gender and age. Journal Of Psycology Adolocense. 29, 671-690.

Hodijah. (2012). Hubungan antara Komunikasi Orang Tua dan Anak dengan Motivasi Belajar. Jurnal Psikologi. Universitas Gunadarma.

Indrawan, Bellani Serchan. (2013). Intensitas Komunikasi Menggunakan Blackberry Mesengger Ditijau dari Konformitas dan Tipe Kepribadian Extraversion. Jurnal Psikologi Universitas Surabaya. 2. 2. 6.

Kagitcibasi, Cidgem. (2012) Sosiocultural Change and Intergrative Synthesis in Human Developement: Autonomous-Related Self and Social Kognitif Competence. Journal of Koc University. 6, 1, 5-15.

Kutiyanti, In & Indra Nuryana K. (2005). Kemandirian Ditinjau dari Gaya Kelekatan dan Urutan Kelahiran pada Remaja. Naskah Publikasi Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.

Gambar

Tabel 2. Karakteristik Subjek Penelitian.................................................................................14
Tabel 1. Indeks Validitas dan Reliabilitas Item
Tabel 2. Karakteristik Subjek Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu, peubah-peubah yang memberikan pengaruh tidak langsung terhadap ekspor produk pertanian adalah investasi privat di Sektor Pertanian (I 1P ) dengan koefisien baku

BELANJA MODAL GEDUNG DAN BANGUNAN ( PEMBANGUNAN GEDUNG RAWAT JALAN LANTAI 2 DAN GEDUNG IBS LANTAI 3 ) HASIL KOREKSI ARITMATIK. Lampiran 1 : Berita Acara

Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui faktor internal ( fashioninvolvement dan.. hedonic motives ) dan faktor eksternal ( shop environment , integrated

Dalam pelaksanaan kegiatan, saya selaku anggota Pengawas Satuan Pendidikan dari tanggal 16 s.d 23 April 2011, selalu datang lebih awal daripada para peserta

Penjelasan PPATK atas laporan kepada Kapolri, lihat Artikel PPATK, http://ppatk.go.id, diakses pada tanggal 20 April 2010.. yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas permintaan

Adanya hubungan antara kadar debu total dengan kapasitas vital paru pada pekerja pembuat asbes di area finishing line PT.. Dari keenam faktor risiko, hanya kadar

Nama Tahapan Filterisasi Proyek Prioritisasi Proyek Visualisasi Portfolio Input Hasil penilaian individual proyek dari masing- masing peserta IT Steering Committee

[r]