• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pluralisme Bukan Sekadar Toleransi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pluralisme Bukan Sekadar Toleransi"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Pluralisme Bukan Sekadar Toleransi

Para peserta sedang menyimak pendapat para pembicara dalam Kolokium Nasional Pemikiran Islam.

Oleh: Aries Sudino

Sumber:

Diskusi yang semula dirancang bertajuk muktamar, namun kemudian diubah menjadi Kolokium Nasional Pemikiran Islam yang digelar Pusat Studi Ilmu Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang (PSIF-UMM) bekerja sama dengan Al Maun Institute Jakarta, menurut Rektor UMM, Muhadjir Effendy, mengundang banyak kontroversi dari kalangan elite Muhammadiyah, di tingkat cabang, wilayah dan bahkan pengurus pusat.

Namun yang membuat hati Muhadjir ketar-ketir, gelisah dan bahkan membuatnya sulit tidur, adalah masuknya satu pesan atau short message service (SMS) dari tokoh elite Muhammadiyah ke ponsel 'Presiden' Pengurus Pusat Muhammadiyah (PPM) yang kemudian di forward ke ponsel miliknya. Dalam SMS itu berisi kecaman keras atas dukungan Rektor UMM terhadap

penyelenggaraan kolokium di kampus yang pernah menjadi tempat penyelenggaraan Muktamar ke-45 Muhammadiyah, beberapa tahun silam.

Terus terang, kata Muhadjir, begitu Ketua Umum PPM Din Syamsuddin, berkenan hadir

membuka kolokium, Senin, 11 Februari 2008 lalu, yang dihadiri pula Direktur Al Maun Instritute Jakarta, Moeslim Abdurrahman dan Kepala PSIF UMM Syamsul Arifin itu, membuat hatinya plong. Ia menyadari, bahwa belum semua elite Muhammadiyah bersedia mendengar (apalagi menerima) atas munculnya keanekaragaman pemikiran kaum muda (Muhammadiyah) sesuai tantangan zaman di era global. Kaum muda yang gandrung dengan kekinian, yang kemudian lebih dikenal dengan kaum progresif, buru-buru oleh kaum elite Muhammadiyah yang lebih tua (dilabelisasi sebagai kaum konservatif), dicap sebagai kelompok radikal dan atau liberal.

"Terus terang, dengan kesediaan ketua umum PPM membuka dan memberikan kata sambutan pada kolokium yang diikuti sekitar 250 intelektual muda Muhammadiyah se-Indonesia, paling tidak ini dapat diisyaratkan sebagai legalitas (penyelenggaraan dialog oleh kaum progresif) dari pucuk pimpinan kelembagaan PPM," kata Muhadjir sambil menyebutkan adanya tiga kasta atau ordo dalam perserikatan (Muhammadiyah), yakni; ordo agamawan, ordo cendekiawan dan ordo pelayan. Yang kemudian oleh Din Syamsuddin ditambah dengan ordo keempat, yakni ordo penggembira.

(2)

Muhammadiyah di berbagai mazhab pemikiran, school of thought, baik atas pengaruh almamater mau pun pengaruh tempat tinggal, daerah, lokalitas, termasuk dua mazhab besar (kaum liberal dan kaum konservatif) yang muncul pascamuktamar ke 45 Muhammadiyah di UMM beberapa tahun silam.

Semua ini, kata Din Syamsuddin, dapat dilihat secara santai sebagai sebuah proses terapi yang kalau "diseriusi" kemungkinan bisa menjadi sesuatu yang menyedihkan. Kalau interaksi di antara keduanya (progresif dan konservatif) lebih mengedepankan dialektika pemikiran (diposisikan berhadap-hadapan) daripada dialog pemikiran (mencari titik-titik yang dianggap sama), maka yang terjadi justru benturan-benturan yang tidak akan pernah selesai, apalagi saling mendekat.

Dialog pemikiran yang sejuk guna menemukan wujud yang inovatif dan kreatif, menurut Din diperlukan dengan menjunjung tinggi budaya toleransi yang penuh kearifan. Masih rendahnya budaya toleransi atau kearifan (dalam kemajemukan umat itu sendiri), pada akhirnya tidak hanya melahirkan perbedaan-perbedaan semata, namun juga tidak menutup kemungkinan akan

melahirkan dikotomi-dikotomi baru yang tidak perlu dan menguras banyak energi. "Saya kira disini penting untuk bersikap proporsional antara puritanisme dan modernisme," ujar Din.

Keagamaan yang Eksklusif

Sama dengan Muhadjir Effendy (dan mungkin pula sama dengan Direktur Al Maun Institute Jakarta, Moeslim Abdurrahman), maka Biyanto, dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya menyebutkan, tema pluralisme merupakan salah satu wacana yang banyak dibicarakan dalam kaitan hubungan sosial internal dan eksternal antarumat beragama. Pluralisme merupakan tantangan utama yang dihadapi agama-agama, kendati sejujurnya setiap agama muncul dari lingkungan kagamaan dan kultural yang plural, tetapi dalam rentang sejarah perkembangannya memunculkan sikap dan wawasan keagamaan yang eksklusif, bertentangan dengan nilai-nilai pluralisme itu sendiri.

Sebagaimana laporan dari pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) belum lama ini, selama rentang 2004-2007 terdapat 108 kasus penutupan, penyerangan, dan penyegelan gereja, tempat peribadatan kaum Kristinai. Daerah-daerah yang mengalami peristiwa penistaan itu di antaranya yang paling sering terjadi ada di kawasan Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah (Poso), dan Bengkulu.

Berbicara tentang pluralisme, menurut Biyanto yang paling banyak menyedot perhatian kaum (intelektual) muda Muhammadiyah direspon dengan sikap yang beragam, sejalan dengan luasnya wawasan dan pemahaman (faktor sosial) yang ikut membentuk karakter pandangan masing-masing. Sama dengan Din Syamsuddin, maka variasi respon terhadap pluralisme terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok setuju (pluralisme) yang diberi label kelompok progresif atau liberal dan kelompok yang tidak setuju yang dicap sebagai kelompok konservatif. Karena faktor sosial itulah, menurut Biyanto yang kemudian dijadikan perspektif dalam mengamati fenomena pluralis pandangan kaum muda Muhammadiyah.

(3)

seperti H J Boeke dan G S Furnivall untuk melihat fenomena kemajemukan masyarakat. Dalam perkembangannya, istilah pluralisme juga dipergunakan untuk memotret masyarakat yang multi agama. Masalah pluralisme menyeruak di benua Eropa dengan munculnya gerakan

Protestanisme yang dipelopori Martin Luther yang mendobrak otoritas gereja Katolik Roma.

Sejak itu, Eropa menyadari bahwa agama sebagai kekuatan sosial memiliki kontribusi terhadap konflik sosial, sehingga sejak abad ke 17, Eropa memberikan pengakuan terhadap kemajemukan agama dalam masyarakat. Di Indonesia pun menunjukkan pengalaman fenomena yang relatif sama. Menyitir pendapat Budhy Munawar Rahman yang menggaribawahi, bahwa pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan keadaban, yang berarti terdapat mekanisme pengawasan dan pengimbangan sehingga terwujud keselamatan bagi umat manusia.

Biyanto menyitir lagi pendapat Diana L.Eck, yang menyebutkan, bahwa pluralisme bukanlah diversitas tetapi merupakan perjanjian yang penuh semangat dalam keragaman; pluralisme bukan sekadar toleransi melainkan usaha aktif untuk saling memahami perbedaan lintas batas;

pluralisme tidak sama dengan relativisme tetapi merupakan pertemuan dari beberapa komitmen; serta pluralisme didasarkan pada dialog. Khusus dengan karakter dialog itu sendiri (seperti diinginkan Din Syamsuddin), maka dialog adalah bertemu, membahas secara mendalam, memberi dan menerima dengan penuh kearifan, kritis, termasuk kritis terhadap paham dan keyakinan masing-masing.

Studi dari Harold Coward menegaskan, bahwa pluralisme keagamaan dapat ditemukan dalam tradisi agama Yahudi, Kristen, Hindu, Budha dan Islam. Dalam agama Islam, prinsip pluralisme tampak lebih tegas dikarenakan agama ini mengajarkan doktrin mengenai ahli kitab, sekalipun penafsirannya sangat bervariasi. Dalam doktrin Islam ahli kitab mencakup kaum Yahudi dan Nasrani. Meski pluralisme dapat diketemukan dalam semua tradisi keagamaan, namun harus diakui bahwa pluralisme hanya mendapatkan tkanan yang kecil dibanding visi dan paham yang menekankan keunggulan satu agama trhadap agama yang lain.

Pluralisme merupakan kesadaran tentang koeksistensi yang absah dari sistem keagamaan, pemikiran, kehidupan sosial dan tindakan-tindakan yang dihakimi tidak kompatibel. Pluralisme keagamaan mengandung pandangan bahwa bentuk-bentuk yang berbeda dan bahkan

bertentangan dengan keyakinan maupun perilaku keagaman, harus dapat hidup berdampingan. Persoalan pluralisme muncul ketika suatu tradisi tertentu mendominasi masyarakat, menafikan legitimasi aliran yang lain dan menganggapnya sebagai fenomena sektarian.

Dialektika Pemikiran

Penolak pluralisme menurut Biyanto seringkali memposisikan wacana itu sebagai bagian dari sekularisme dan liberalisme, sehingga lahir istilah Sipilis, kependekan dari sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Keputusan Fatwa Nomor: 1/Munas VII/MUI/2005 tanggal 29 Juli 2005 sendiri, ketiga paham (Sipilis) itu telah divonis sesat.

(4)

pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah. Di sini (pluralisme) juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

Pluralisme dalam pengertian inilah yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam. Sementara berkaitan dengan fenomena pluralitas agama, MUI menganggap sebagai kenyataan bahwa di negara (atau daerah) tertentu memang terdapat berbagai pemeluk agama yang harus hidup secara berdampingan.

Biyanto sengaja mengemukakan definisi MUI karena menurut pendapat Adian Husaini, pengertian pluralisme yang divonis sesat MUI sering dimanipulasi oleh para penentangnya. Adian mencontohkan pendapat Syafi'i Anwar yang menyatakan pluralisme agama bukan berarti menyamakan semua agama melaikan lebih pada mutual respect dan semangat saling

menghormati. Juga Ulil Abshar Abdallah, menyatakan bahwa pluralisme berarti sikap positif dalam menghadapi perbedaan, yakni sikap ingin belajar dari kelompok lain yang berbeda

Pendapat Syafi'i Anwar dan Ulil Abshar Abdallah menurut Adian Husaini sangat berbeda dengan makna akademis dan teologis mengenai pluralisme. Bagi Ardian, pluralisme merupakan paham yang khas dalam teologi dan bertujuan mempersamakan agama. Pluralisme tidak dapat

didefinisikan seenaknya. Walau pun secara redaksional memberikan pernyataan yang berbeda, namun substansi pendapat Ulil Abshar Abdallah, Sumanto al Qurtuby, Budhy Munawar Rahman dan Ahmad Wahid, jelas-jelas menyamakan Islam dengan semua agama dan menolak kebenaran ekslusif akidah Islam. Lebih lanjut Adian menegaskan, bahwa pluralisme agama sebagai paham sirik.

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi ini berjudul “Analisis Struktur Musik Kompang Dalam Upacara Mengantar Pengantin Di Sungai Guntung, Kecamatan Kateman, Riau”.. Di Sungai Guntung kompang mempunyai

Dalam rangka revitalisasi dan reorganisasi kelembagaan perangkat daerah di Kabupaten Parigi Moutong serta dalam upaya untuk lebih mengefektifkan penyelengggaran

Variabel yang paling berpengaruh antara Pendapatan Bagi Hasil, Pendapatan Margin Mura>bah}ah dan Dana Simpanan Wadi>‘ah terhadap Bonus Wadi>‘ah pada Laporan

Nariyan pa ang halimbawang ipinamalas ng mga Kastila: pag-iwas sa pagpaparumi ng kamay sa paggawa, pagkuha ng maraming utusan sa bahay, na para bang alangan sa kanilang kalagayan ang

Pada kertas dengan komposisi serat dan selulosa yang seimbang membuat ikatan serat yang terbentuk lebih panjang karena menurut (Wulandari, 2013) kandungan serat pada bulu

Hasil analisis hubungan antara karakteristik responden yang terdiri dari umur, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan, luas lahan usahatani, pendapatan usahatani,

1 Wakaf wasiat polis asuransi syariah di Indonesia yaitu mewakafkan hasil manfaat dan investasi syariah sekaligus, dengan menyerahkan polis sebagai bentuk akad wakaf

Prosedur penelitian yang dilakukan meliputi koordinasi dengan Dinas Pertanian dan Peternakan, Kabupaten Aceh Timur dimaksudkan untuk mengetahui permasalahan dan