PANDUAN EKOWISATA PULAU KAKABAN
LAPORAN KERJA PRAKTEK
Diajukan untuk memenuhi penilaian Kerja Praktek pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran
LENY PUTRI WAHYUDI
140410100093
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN BIOLOGI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kepulauan Derawan, di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur,
memiliki keanekaragaman hayati tinggi yaitu terumbu karang dan ikan untuk sumber penghidupan yang melimpah bagi masyarakat, memiliki hutan hujan
tropis yang lebat dan mangrove yang luas, merupakan habitat peneluran penyu terbesar di Asia Tenggara, serta memiliki Pulau Kakaban yang unik (Ismuranty et al., 2004).
Pulau Kakaban (terletak pada 02o10’09” – 02o06’45” LU , 118o30’00” –
118o33’39” BT) terletak di Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Provinsi
Kalimantan Timur. Diantara Pulau-pulau di gugusan Kepulauan Derawan, dua pulau merupakan atol, salah satunya adalah Pulau Kakaban. Pulau atol adalah sebuah pulau yang terbentuk dari gugusan terumbu karang. Pulau Kakaban
memiliki laguna atau danau air asin yang berisi berbagai jenis biota endemik, sehingga Kakaban ini merupakan danau yang sangat menarik untuk dikunjungi
(Ismuranty et al., 2004).
secara bijak dan lestari. Pengelolaan secara lestari memang merupakan tantangan yang cukup berat. Hingga saat ini pola kebijakan pembangunan di Indonesia tidak
memperhatikan aspek keberlanjutan. Sumber daya alam dikuras habis tanpa mempedulikan dampak negatif pada lingkungan. Oleh sebab itu, pola pengembangan sumber daya alam yang paling cocok adalah dengan konservasi.
Kekayaan alam yang dimiliki Pulau Kakaban, selain perlu di konservasi, dapat pula dijadikan objek wisata yang dapat menjadi sumber penghasilan bagi
masyarakat. Tetapi strategi pengelolaan wisata yang dipilih juga harus memperhatikan aspek konservasi sehingga kegiatan wisata tidak merusak lingkungan. Oleh karena itu, pengelolaan wisata yang cocok adalah ekowisata
berbasis masyarakat. Ekowisata adalah kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan
sosial budaya ekonomi masyarakat lokal serta aspek pendidikan. Diharapkan dengan sistem ekowisata berbasis masyarakat ini pengembangan Pulau Kakaban dapat berjalan secara lestari.
1.2 Identifikasi Masalah
Beberapa hal yang diperhatikan dalam penelitian ini antara lain:
a). Bagaimana proses terbentuknya Pulau Kakaban ? b). Apa saja potensi wisata di Pulau Kakaban ?
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah untuk membuat pedoman bagi masyarakat lokal mengenai potensi apa saja yang terdapat di Pulau Kakaban. Sedangkan tujuannya adalah untuk mengetahui apa saja yang menjadi potensi
wisata di Pulau Kakaban dan program ekowisata di Pulau Kakaban .
1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai potensi wisata di Pulau Kakaban dan proses terjadinya
pulau Kakaban. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan pedoman agar program ekowisata yang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan tujuannya dan dapat juga
mengedukasi wisatawan yang berkunjung.
1.5 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2014. Adapun tempat penelitian dilakukan di Pulau Kakaban dan Pulau Maratua, Kecamatan Derawan,
KEHATI (Indonesian Biodiversity Foundation), sebagai tempat penulis melakukan Kerja Praktek pada bulan Mei – Juni 2014.
TINJAUAN PUSTAKA
Pulau Kakaban (terletak pada 02o10’09” – 02o06’45” LU , 118o30’00” –
118o33’39” BT) terletak di Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Provinsi
Kalimantan Timur. Diantara Pulau-pulau di gugusan Kepulauan Derawan, dua
pulau merupakan atol, salah satunya adalah Pulau Kakaban. Pulau atol adalah sebuah pulau yang terbentuk dari gugusan terumbu karang. Pulau Kakaban
memiliki laguna atau danau air asin yang berisi berbagai jenis biota endemik, sehingga Kakaban ini merupakan danau yang sangat menarik untuk dikunjungi (Ismuranty et al., 2004).
Danau Kakaban terbentuk karena gugusan terumbu karang yang terangkat lempeng samudera dari kedalaman sekitar 200-300 meter. Pada awalnya
merupakan daratan yang yang dikelilingi gugusan terumbu karang, lama kelamaan daratannya tenggelam ke dasar laut karena proses geologis. Terumbu karang yang membentuk atol ini semakin tinggi, sementara daratan di bagian tengahnya
semakin tenggelam sehingga sekarang atol Pulau Kakaban mencapai ketinggian 40-60 meter di atas permukaan laut. Atol setinggi ini diperkirakan terbentuk
selama 1-2 juta tahun, berdasarkan asumsi bahwa laju akumulasi terumbu karang setinggi 10-20 cm dalam 1000 tahun. Pulau Kakaban yang berbentuk seperti angka “9” mempunyai atol yang utuh, menutup rapat membentuk cincin di bagian
hanya ada dua pulau. Selain Pulau Kakaban, pulau lain yang memiliki kondisi serupa adalah Pulau Palau di Makronesia, Filipina (Ismuranty et al., 2004).
Pada tahun 1842, Charles Darwin menjelaskan tentang asal mula terbentuknya atoll di samudra Pasifik berdasarkan pengamatannya selama 5 tahun penjelajahan dari tahun 1831 – 1836. Darwin menjelaskan bahwa atol berasal dari
pulau vulkanik yang tenggelam, dikelilingi oleh terumbu karang pinggir, lalu pula uterus tenggelam hingga akhirnya menjadi laguna di tengah-tengah terumbu
[image:7.595.121.507.510.677.2]karang pinggir. Seiring dengan pulau yang semakin tenggelam, terumbu karang di pinggirnya semakin naik (Darwin, 1842). Penjelasan selengkapnya terdapat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Proses pembentukan atol (Darwin,1842)
Laguna yang tertutup dan membentuk daerah payau dan terpisah dengan
proses-proses fisika, kimia, dan biologi, dan menyebabkan proses evolusi tersendiri bagi biota laut yang hidup didalamnya. Air di laguna tersebut masih
terpengaruhi pasang surut air laut namun airnya sudah tidak seasin air laut (24-26 ppt) karena tercampur dengan air hujan (Tomascik and Mah, 1994). Selain itu, terjadi perembesan air laut dari pori-pori karang atol, sehingga mengurangi kadar
garamnya pula. Biota laut yang dahulu “terperangkap” dalam laguna Pulau Kakaban harus menyesuaikan diri dengan ekosistem yang tertutup, air yang
bersifat payau, jumlah hara yang sedikit, keragaman biota yang rendah, jaring makanan yang sederhana dan kondisi air yang tergenang seperti danau. Laguna yang membentuk danau luasnya 390 ha, volume air sekitar 3,9 juta m3 dan
berukuran 2,6 km, lebar 1,5 km. Kedalaman maksimumnya 11 meter dan kedalaman rata-rata empat meter. Laguna merupakan bagian terbesar dari Pulau
Kakaban yang berukuran panjang 6 km, lebar 2,5 km, dan luas sekitar 5 km2
(Tomascik et al., 1997). Tepian Danau Kakaban ditumbuhi oleh hutan mangrove yang lebat. Genera pohon pembentuk hutan mangrove ini antara lain adalah
Rhizophora (bakau), Bruguiera (tanjang), Avicennia (api-api), dan Sonneratia (pidada). Pada akar Rhizopora yang terbenam di tepian danau Kakaban banyak
ditemukan alga Halimeda dan Caulerpa, yang mirip anggur kecil berwarna hijau.
Selama jutaan tahun Danau Kakaban dengan karakteristiknya yang unik mendorong proses evolusi dan adaptasi biota yang tinggal di dalamnya, sehingga
membentuk suatu komunitas biota danau (anchialine atau danau tidak asin) yang khas dan endemik. Salah satu “trade mark” danau Kakaban adalah empat jenis
aurita, dan Tripedalia cystophora (Tomascik and Mah, 1994). Mastigias papua dan Aurelia aurita adalah dua jenis ubur-ubur yang sudah kehilangan kemampuan
menyengatnya. Ubur-ubur kotak yang berukuran paling kecil masih dipertanyakan spesiesnya, ada yang menyebutkan Tripedalia cystophora dan ada yang menduganya Cladonema sp.
Biota lain yang masih belum banyak terungkap adalah anemone laut (Actinaria sp.) berwarna putih karena tidak bersimbiosis dengan alga hijau.
Keunikan lain yang dimiliki oleh anemone laut ini adalah bahwa mereka merupakan pemangsa ubur-ubur. Tentakel dari anemone laut ini tidak berbisa, namun memiliki semacam cairan perekat untuk menangkap mangsa. Di dalam
Danau Kakaban terdapat pula alga laut dan epifit dari beberapa genera. Genus yang dominan adalah Halimeda (Halimeda opuntia dan Halimeda tura). Karena
jumlahnya yang berlimpah di Danau Kakaban, maka laguna tersebut sering dikenal dengan istilah “Laguna Halimeda” (Tomascik and Mah, 1994). Beberapa invertebrata masih dapat ditemukan walaupun jumlah spesiesnya terbatas.
Beberapa invertebrata yang ditemukan di Danau Kakaban adalah moluska, gastropoda, spons, bivalvia, bintang laut, teripang, udang, dan kepiting (Tomascik
et al., 1997). Dua teripang jemis baru yang teridentifikasi adalah Holothuria cavans dan Synaptula spinifera (Massin and Tomascik, 1996). Genera dan jenis kepiting yang baru ditemukan adalah Orcovita saltatrix (Ng and Tomascik, 1994)
serta jenis tunikata baru, Styela complexa (Kott, 1995). Beberapa Vertebrata karnivora masih dapat ditemukan di Danau Kakaban, antara lain berjenis ikan,
delapan jenis ikan yang ditemukan di danau Kakaban, diantaranya Apogon lateralis (serinding), Antherinomorus endrachtensis (teri karang) dan Zenarchopterus dispar (julung-julung) yang hidup di permukaan (Debelius, 2001).
Sebagian besar biota danau Kakaban ini merupakan jenis yang baru
ditemukan atau di deskripsikan, endemik, atau jenis yang jarang ditemukan di tempat lain. Karena sifatnya yang endemik atau langka, maka Pulau Kakaban ini
memiliki daya tarik sendiri bagi wisatawan. Kekayaan ini merupakan asset yang selain perlu dilindungi, juga berpotensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, jika dikelola dengan bijak secara lestari. Selain menjaga kelestarian
dari Pulau Kakaban, pemerintah juga memperkenalkan Pulau Kakaban ke masyarakat Indonesia maupun masyarakat asing. Cara yang telah dilakukan
pemerintah adalah program ekowisata.
Pengertian tentang ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Namun, pada hakekatnva, pengertian ekowisata adalah suatu bentuk wisata
yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami, memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budava bagi masyarakat
setempat. Atas dasar pengertian ini, bentuk ekowisata pada dasarnya merupakan bentuk gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk dunia. Eco-traveler ini pada hakekatnya konservasionis.
perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat.
Semula ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan di daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, di samping budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga.
Namun dalam perkembangannya ternyata bentuk ekowisata ini berkembang karena banyak digemari oleh wisatawan. Wisatawan ingin
berkunjung ke area alami, yang dapat menciptakan kegiatan bisnis. Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai berikut: Ekowisata adalah bentuk baru dari perjalanan bertanggungjawab ke area alami dan berpetualang yang dapat
menciptakan industri pariwisata (Eplerwood, 1999). Dari kedua definisi ini dapat dimengerti bahwa ekowisata dunia telah berkembang sangat pesat. Ternyata
beberapa destinasi dari taman nasional berhasil dalam mengembangkan ekowisata ini.
Ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan
konservasi. Apabila ekowisata pengelolaan alam dan budaya masyarakat yang menjamin kelestarian dan kesejahteraan, sementara konservasi merupakan upaya
menjaga kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk waktu kini dan masa mendatang. Hal ini sesuai dengan definisi yang dibuat oleh The International Union for Conservntion of Nature and Natural Resources (1980), bahwa
Pendekatan lain bahwa ekowisata harus dapat menjamin kelestarian lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian ini seperti halnya tujuan
konservasi (UNEP, 1980) sebagai berikut:
1. Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan.
2. Melindungi keanekaragaman hayati.
3. Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya.
Di dalam pemanfaatan areal alam untuk ekowisata mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan. Pendekatan ini
jangan justru dibalik. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur conservation tax untuk membiayai secara langsung kebutuhan kawasan dan
masyarakat lokal. Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya.
Untuk mengembangkan ekowisata dilaksanakan dengan cara pengembangan pariwisata pada umumnya. Ada dua aspek yang perlu dipikirkan.
Pertama, aspek destinasi, kemudian kedua adalah aspek market. Untuk pengembangan ekowisata dilaksanakan dengan konsep product driven. Meskipun aspek market perlu dipertimbangkan namun macam, sifat dan perilaku obyek dan
keberadaannya. Pada hakekatnya ekowisata yang melestarikan dan memanfaatkan alam dan budaya masyarakat, jauh lebih ketat dibanding dengan hanya
keberlanjutan. Pembangunan ekowisata berwawasan lingkungan jauh lebih terjamin hasilnya dalam melestarikan alam dibanding dengan keberlanjutan pembangunan. Sebab ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya
menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik/ dan psikologis wisatawan. Bahkan dalam berbagai aspek ekowisata
merupakan bentuk wisata yang mengarah ke metatourism. Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi menjual filosofi. Dari aspek inilah ekowisata tidak akan mengenal kejenuhan pasar.
Pengembangan ekowisata di dalam kawasan hutan dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem hutan. Ecotraveler menghendaki persyaratan
kualitas dan keutuhan ekosistem. Oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi. Apabila seluruh prinsip ini dilaksanakan maka ekowisata menjamin pembangunan yang ecological friendly
dari pembangunan berbasis kerakyatan Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan
penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung
di alam. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat
dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam.
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif. Penghasilan masyarakat.
Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam. Menjaga
keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisata
ekologis ini. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat. Daya dukung
lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi.
Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja
Bagi para peneliti yang ingin melakukan penelitian, Pulau Kakaban masih memiliki banyak objek yang dapat dieksplorasi. Berdasarkan hal diatas, dirasa perlu untuk membuat suatu pedoman ekowisata pulau Kakaban yang dapat
mengumpulkan semua objek dan fenomena apa saja yang ada di Pulau Kakaban dengan membahasnya secara ilmiah.
BAB III
3.1 Bahan
Bahan yang diperlukan adalah buku-buku dan jurnal dari studi
kepustakaan.
3.3 Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey, studi
kepustakaan dan wawancara.
3.4 Prosedur
Pengambilan data dilakukan melalui 2 tahap yaitu, melakukan eksplorasi dengan mencatat data yang didapatkan di lapangan, setelah itu dilakukan studi kepustakaan dengan mencari literature, melakukan perbandingan dan menemukan
jawaban dari fenomena yang terjadi di lapangan.
BAB IV
Pada
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Debelius, H. 2001. Asia Pacific Reef Guide. UW-Archiv-IKAN, Frankfurt. 321p
Ismuranty, Christien., Ani Mardiastuti., Jan Henning, S. 2004. Merintis Konservasi Pulau Kakaban. KEHATI
Tomascik, T. and Maj, A.J. 1994. The ecology of Halimeda Lagoon”: An
Achialine lagoon of a raised atoll, Kakaban Island, East Kalimantan, Indonesia. Tropical Biodiversity 2 (3): 385-399