• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU ANAK TINDAK PIDANA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK UNTUK MELAKUKAN PERBUATAN KESUSILAAN ( Studi Putusan: No.202/Pid.Sus/2012/PN.KTA )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU ANAK TINDAK PIDANA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK UNTUK MELAKUKAN PERBUATAN KESUSILAAN ( Studi Putusan: No.202/Pid.Sus/2012/PN.KTA )"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU ANAK TINDAK PIDANA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK UNTUK

MELAKUKAN PERBUATAN KESUSILAAN

( Studi Putusan: No.202/Pid.Sus/2012/PN.KTA )

Oleh YOGI ARSANDI

Tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan perbuatan kesusilaan merupakan salah satu masalah yang dihadapi remaja dan menjadi masalah bagi lingkungannya adalah aktifitas seksual yang akhir-akhir ini nampak menjurus pada hal-hal negatif. Terjadinya berbagai kasus persetubuhan antar anak yang dilakukan oleh anak tentunya dapat disebabkan oleh berbagai pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab, pengaruh lingkungan, bacaan-bacaan yang berbau porno, gambar-gambar porno, film dan VCD porno, kebebasan pergaulan, serta tidak dapat perhatian dari orang tua. akibatnya terjadi penyimpangan seksual terutama oleh anak usia remaja. Salah satu contoh yang terkait dengan tindak pidana kesusilaan adalah seorang anak melakukan persetubuhan antar anak yang dilakukan atas dasar suka sama suka (pacaran), anak tersebut melanggar Pasal 81 Ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimanakah pemidanaan terhadap pelaku anak tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan perbuatan kesusilaan dan apakah dasar pertimbangan hakim dalam memberikan pemidanaan terhadap pelaku anak tindak pidana yang telah ada perdamaian dengan korban.

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan Studi Lapangan (field research) dan Studi Kepustakaan (library research). Sedangkan analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif.

(2)

melakukan perdamaian dan pelaku bertanggung jawab atas segala perbuatannya mereka pun melangsungkan pernikahan, tuntutan tetap berlangsung. Maka itu menjadi dasar pertimbangan hakim untuk meringankan tuntutan hukuman yang akan dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tersebut.

Berdasarkan simpulan di atas, maka penulis menyarankan agar peran keluarga, masyarakat, terutama orang tua lebih optimal dalam menjaga anak supaya tidak terjerumus kedalam hal-hal yang dapat merusak masa depan anak dan terhindar dari pengaruh buruk lingkungan dan tempat tinggalnya. Dan meningkatkan pendidikan agama, moral, dan pengawasan terhadap anak, serta membina dan membimbingnya untuk menjadi generasi muda yang berkualitas, peran penegak hukum juga harus bertindak secara tegas menurut Undang-undang untuk menangani kasus tentang anak dalam memberikan sanksi terhadap pelaku supaya perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh anak tidak terulang kembali.

(3)
(4)
(5)
(6)

ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU ANAK TINDAK PIDANA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK UNTUK

MELAKUKAN PERBUATAN KESUSILAAN ( Studi Putusan: No.202/Pid.Sus/2012/PN.KTA )

(Skripsi)

Oleh

Yogi Arsandi

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E. Sistimatika Penulisan ... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Pemidanaan dan Penjatuhan Pidana ... 18

B. Pengertian Tindak Pidana ... 21

C. Pengertian Anak dan Perlindungan Hukum terhadap Anak ... 23

D. Tindak Pidana Kesusilaan terhadap Anak... 30

E. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan ... 38

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 45

B. Sumber dan Jenis Data ... 45

C. Penentuan Narasumber... 47

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 47

(8)

A. Karakteristik Responden ... 50 B. Pemidanaan terhadap Pelaku Anak Tindak Pidana dengan Sengaja

Membujuk Anak untuk Melakukan Perbuatan Kesusilaan ... 52 C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memberikan Pemidanaan

terhadap Pelaku Anak Tindak Pidana yang Telah Ada Perdamaian dengan Korban ... 63

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 80 B. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA

(9)

MOTO

Hiduplah seakan engkau akan mati besok. Belajarlah seakan engkau akan hidup

selamanya.

(Mahatma Gandhi )

Perubahan tidak akan pernah terjadi jika kita terus menunggu waktu atau

orang yang tepat. Kita adalah perubahan itu sendiri.

(Barack Obama)

Jangan takut kehilangan hal yang baik untuk mendapatkan yang terbaik.

(10)

PERSEMBAHAN

Teriring Do’a dan Rasa Syukur Kehadirat Allah SWT Atas Rahmat dan

Hidayah-Nya serta Junjungan Tinggi Rasulullah Muhammad SAW.

Kupersembahkan Skripsi ini kepada:

Buya dan Umi, sebagai orangtua penulis tercinta yang telah mendidik,

membesarkan, dan membimbing penulis menjadi sedemikian rupa yang selalu

memberikan kasih dan sayangnya yang tulus dan memberikan do’a yang tak

pernah putus untuk setiap langkah yang penulis lewati serta yang tidak pernah

meninggalkan penulis dalam keadaan penulis terpuruk sekalipun.

Kakak-kakakku, Abang dan Adikku Novia Linda, Aripin Mustakim, Yuli

Amalia Amd. Keb dan Yofi Widya yang selalu menjadi motivasi dan inspirasi

penulis untuk selalu berpikir maju memikirkan masa depan yang jauh lebih baik

dari sekarang.

Kekasih, Sahabat, dan Motivatorku Fitriyani Amd. Keb yang selalu

memberikan semangat dan selalu memberi motivasi dalam menyelesaikan skripsi

ini.

Keluarga besar MAHUSA UNILA yang selalu ada untuk penulis pada saat

senang maupun susah yang memberikan motivasi dan mendukung keberhasilan

penulis.

Serta

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Yogi Arsandi, dilahirkan di Kotaraja Kecamatan Talang Padang Kabupaten Tanggamus pada tanggal 23 Oktober 1991, merupakan anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan ayahanda tercinta Hi. Suhaili dan ibunda tercinta Hj. Maida Yustuti.

Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Talang Padang yang diselesaikan pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 3 Talang Padang diselesaikan pada tahun 2006, Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Talang Padang diselesaikan pada tahun 2009.

Pada tahun 2010, Penulis diterima di Perguruan Tinggi Negeri Universitas Lampung sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum melalui jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Pada tahun 2014 penulis mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang diselenggarakan pada tanggal 23 Januari – 4 Maret 2014 di Dusun KaliGuha Desa Pesawaran Indah Kec. Padang Cermin Kab. Pesawaran. Selama menempuh masa studi, penulis juga aktif sebagai anggota Mahasiswa Fakultas Hukum Sayangi Alam (MAHUSA) hingga sekarang dan sering aktif dalam kegiatan pelestarian alam.

(12)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta memberikan kemudahan di setiap langkah dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pemidanaan terhadap Pelaku Tindak Pidana Dengan Sengaja

Membujuk Anak Untuk Melakukan Perbuatan Kesusilaan (Studi Putusan:

No.202/Pid.Sus/2012/PN.KTA)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(13)

proses penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Pembahas I atas kesediaannya yang memberikan kritik dan saran dalam penulisan ini.

5. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Pembahas II atas masukan dan saran yang diberikan selama proses perbaikan skripsi ini.

6. Ibu Sri Sulastuti, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik atas pengarahan dan bimbingannya selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

8. Ibu Wini Noviarini S.H., M.H Sebagai Hakim Ketua Pengadilan Negeri Kota Agung yang telah memberikan izin, saran serta masukan kepada penulis demi terselesaikannya skripsi ini.

9. Bapak Rade Satya Parsaoran S.H Sebagai Kasi Tindak Pidana Umum Kepala Kejaksaan Negeri Kota Agung yang telah memberikan izin, saran serta masukan kepada penulis demi terselesaikannya skripsi ini.

(14)

setiap langkahku.

12.Keluarga Besar Mahusa Unila abang, mbak, adik-adik tercinta yang telah memberikan banyak ilmu bagaimana menghadapi kerasnya kehidupan alam, terimakasih atas segala dukungan dan kebersamaan kita yang tak akan pernah padam. SALAM LESTARI !!!!!!!

13.Saudara Seperjuangan Angkatan Mahusa 28 SATRIA LEMBAH PURNAMA (Aldo Perdana Putra, Alfin Fachlevi, Rohman Misyadi, Farid Anfasa, Akhmad Julian) semoga Kebersamaan dan Kekeluargaan kita tetap abadi sampai akhir hayat. Salam S.L.P !!!!!!!

14.Keluarga KKN Tematik 2014 Dusun KaliGuha Desa Pesawaran Indah Kec. Padang Cermin Kab. Pesawaran ( Wayan, Adit, Trio, Yuli, Wilanda, Susan, Tiwi, Winda, Santi, Tiara, Padia, Puput, Karin)

15.Teman sekaligus sahabat Jejama ( Fanny, Muslim, Andry, Bayu, Jupri, Ade (Bolod), Bobby, Angga, Abdi, Defri, Yoga, Puja ) Terimakasih atas semua kebersamaan kita Selama di Asrama Jejama.

16.Seluruh angkatan 2010, terutama teman-teman Jurusan Hukum Pidana 2010 atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya.

17.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, terimakasih atas semua bantuan dan dukungannya.

(15)

diberikan akan mendapatkan balasan pahala dari sisi Allah SWT, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin

Bandar Lampung, 4 Desember 2014 Penulis,

(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana merupakan perbuatan yang merugikan tata kehidupan sosial karena mengganggu ketenangan individu atau kelompok ataupun dalam tingkatan tertentu dapat menciptakan suasana kehidupan nasional atau suatu Negara tidak stabil. Setiap manusia selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya, hal ini seiring dengan semakin majunya perkembangan yang beraneka ragam dalam kebutuhan hidup manusia serta perkembangan diri manusia Indonesia. Seperti ungkapan “bahwa kejahatan erat hubungannya dan bahkan menjadi sebahagian hasil dari budaya sendiri, ini berarti semakin tinggi tingkat budayanya semakin modern suatu bangsa, maka semakin modern pula kejahatan itu dalam bentuk,

sifat dan cara pelaksanaannya”.1 Perkembangan itu di ikuti dengan semakin meningkatnya angka kriminalitas terhadap jenis-jenis kejahatan yang menimbulkan korban tidak hanya sedikit. Korban-korban dari kejahatan tersebut dapat berasal dari berbagai tingkat usia, status sosial ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya.

Pada era globalisasi yang ditandai dengan semakin tingginya kemampuan manusia dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi maka bukan hanya

1

(17)

menimbulkan dampak positif tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang antara lain berupa semakin canggih dan berkembangnya kejahatan baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas dan semakin mengglobal. Peristiwa kejahatan tersebut diindonesia korbanya bukan hanya ditujukan kepada orang dewasa tetapi anak, tidak hanya laki-laki tapi perempuan juga rawan menjadi korban kejahatan. Karena Manusia merupakan makhluk sosial (homo socius). Manusia membutuhkan manusia lainnya untuk hidup. Dalam menjalani hidup tersebut, manusia memiliki berbagai kepentingan dan kebutuhan masing-masing.

Kepentingan dan kebutuhan setiap manusia tidak mutlak sama satu sama lain. Dalam rangka memenuhi kepentingan dan kebutuhannya tersebut, kadang terjadi benturan atau pertentangan kepentingan antara individu yang satu dengan individu yang lainnya. Benturan kepentingan inilah yang kadang pula memaksa seseorang untuk melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran yang merugikan pihak lain.

(18)

masyarakat. Kerugian sebagaimana dimaksud tidak hanya terkait kerugian sebagaimana yang kita pahami dalam istilah keperdataan, namun juga mencakup kerugian terhadap jiwa dan raga. Raga dalam hal ini mencakuptubuh yang juga terkait dengan nyawa seseorang, sedangkan jiwa mencakup perasaan atau keadaan psikis.2

Peranan hukum pidana tidak terlepas dari tujuan pembentukannya. Secara konkret, tujuan pembentukan hukum pidana terdiri atas dua hal, yaitu:

1. Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik;

2. untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya.3

Peranan hukum pidana semakin terlihat seiring dengan perkembangan zaman yang semakin hari semakin sulit dikendalikan akibat dari globalisasi dan modernisasi yang terjadi saat ini. Tingkat kriminalitas terkait kejahatan dan pelanggaran semakin meningkat dengan pola dan struktur yang selalu berkembang mengikuti perjalanan zaman. Dampak negatifnya pun bukan hanya mencakup orang dewasa, tetapi juga anak-anak, baik sebagai pelaku maupun sebagai Korban tindak pidana.

Suatu kenyataan bahwa anak merupakan cikal bakal bagi tegaknya suatu bangsa. Anak merupakan generasi muda yang akan menggantikan generasi tua, sehingga generasi muda itu merupakan sesuatau kekuatan sosial yang berperan sangat besar

2

Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidan, Rangkang Education.Yogyakarta. hlm. 2.

3

(19)

bagi pelaksanaan pembangunan tiap negara. Tetapi kenyataan yang sangat memilukan jika ternyata banyak anak yang melakukan kenakalan. Penyebab anak melakukan kenakalan, baik berupa tindak pidana maupun melanggar norma-norma sosial (agama, susila, dan sopan santun) dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang antara lain adalah mencari identitas diri, masa puber (perubahan hormon-hormon seksual), tekanan ekonomi, tidak ada disiplin diri, peniruan, dan lingkungan pergaulan yang buruk. Berdasarkan fenomena yang terjadi akhir-akhir ini ternyata memperlihatkan perilaku yang terdapat dalam berita-berita di media massa dan televisi di indonesia, perilaku anak banyak yang menjurus kepada tindak pidana kejahatan, seperti pemerkosaan, pencabulan, pencurian, perkelahian antar pelajar dan lain-lain.

Tindak pidana terhadap anak yang sering terjadi adalah membujuk orang yang belum dewasa untuk melakukan perbuatan cabul dengan modus memberikan atau menjanjikan hadiah diatur lebih lanjut dalam Pasal 293 Ayat (1) KUHP. Bunyi lengkap Pasal tersebut yaitu:

Barangsiapa dengan mempergunakan hadiah atau perjanjian akan member uang atau barang, dengan salah mempergunakan pengaruh yang berkelebih-lebihan yang ada yang disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau dengan tipu, sengaja membujuk orang yang belum dewasa yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya belum dewasa, akan melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, dihukum, penjara selama-lamanya lima tahun.4

Terjadinya berbagai kasus persetubuhan antar anak yang dilakukan oleh anak tentunya disebabkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab, pengaruh lingkungan, kebebasan pergaulan, adanya film dan video yang lepas

4

(20)

sensor,dan bacaan-bacaan yang dapat merusak jiwa anak tersebut. Seperti contoh kasus seorang anak yang masih berumur 17 tahun terpaksa dipidana penjara karena telah melakukan persetubuhan dengan seorang wanita yang masih berumur 17 tahun. Perbuatan mereka terjadi atas dasar suka sama suka (pacaran) pada bulan januari 2012 dipekon suka banjar kecamatan gunung alip kabupaten tanggamus yang berawal terjadi setelah pulang sekolah saksi datang kerumah terdakwa, kemudian terdakwa merayu saksi untuk melakukan hubungan persetubuhan dengan bujuk rayu dan akan bertanggung jawab maka saksi merasa yakin dan percaya untuk kemudian saksi mengikuti apa saja yang dilakukan terdakwa kepada saksi. pihak terdakwa dan pihak saksi sudah ada perdamaian dan terdakwa siap menikahi saksi, surat perdamaian dibuat dan ditandatangani di sukarame tertanggal 11 september 2012. Terdakwa dan saksi korban melangsungkan pernikahan di musholla pengadilan negri kota agung pada hari senin tanggal 8 oktober 2012 sebagaimana surat keterangan menikah.

(21)

menentukan sendiri langkah perbuatanya berdasar pikiran, perasaan, dan kehendaknya, tetapi keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi prilakunya, oleh karena itu, dalam menghadapi masalah anak nakal, orang tua dan masyarakat termasuk juga hakim seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan priaku anak tersebut, maka untuk memberikan efek jera bagi pelaku yang lain maka hakim memandang penjatuhan pidana penjara dirasakan lebih tepat dalam kasus perkara ini. Sesuai Putusan: No.202/Pid.Sus/2012/PN.KTA dan ketentuan Pasal 81 Ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Undang-Undang RI No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya dan menjatuhkan pidana penjara 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan serta denda sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).

Selain itu, diatur lebih khusus lagi untuk memberikan jaminan yang lebih dalam perlindungan anak, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hal ini berdasarkan asas Lex Spesialis

Derogat Legi Generalis yang menyatakan bahwa peraturan yang khusus

mengesampingkan peraturan yang umum.

Kejahatan persetubuhan di atur lebih khusus dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu:

Pasal 81 :

(22)

orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000.00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000.00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82 :

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00. (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).5

Kasus persetubuhan antar anak yang sering terjadi disebabkan karena pengaruh lingkungan yang tidak baik, kebebasan dalam pergaulan dan tidak ada kontrol dari orang tua. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis sangat tertarik untuk meneliti, membahas, serta menuangkan dalam skripsi dengan judul : “Analisis pemidanaan terhadap pelaku anak tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan perbuatan kesusilaan ( Studi Putusan: No.202/Pid.Sus/2012/PN.KTA )”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

5

(23)

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas dan untuk membatasi kajian dalam penelitian ini, maka Penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pemidanaan terhadap pelaku anak tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan perbuatan kesusilaan?

b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam memberikan pemidanaan terhadap pelaku anak tindak pidana yang telah ada perdamaian dengan korban?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkupnya adalah sebagai berikut:

Ruang lingkup penulisan skripsi ini adalah pemidanaan terhadap pelaku anak tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan perbuatan kesusilaan dengannya atas dasar suka sama suka yang dilakukan antar anak dibawah umur. Dan ruang lingkup penelitian adalah wilayah hukum Pengadilan Negeri Kota Agung di Tanggamus, dan penelitian ini dilakukan pada tahun 2014.

(24)

Bahwa dalam setiap usaha maupun kegiatan yang dilakukan tentu mempunyai tujuan yang hendak dicapai, karena dari tujuan itu bisa memberikan manfaat dan penyelesaian dari penelitian yang akan dilaksanakan. Karena itu tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui pemidanaan terhadap pelaku anak tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan perbuatan kesusilaan?

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memberikan pemidanaan terhadap anak pelaku tindak pidana yang telah ada perdamaian dengan korban?

2. Kegunaan Penelitian

Dalam melakukan penelitaian ini, maka setiap penelitian mengharapkan untuk mencapai manfaat yang sebesar-besarnya yang dapat diambil baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya, Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Secara teoritis, memberikan manfaat bagi kalangan akademis, masyarakat, dan pemerintah pembuat Undang-undang yang membutuhkan informasi mengenai pemidanaan terhadap pelaku anak tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan perbuatan kesusilaan (persetubuhan) atas dasar suka sama suka yang dilakukan oleh anak dibawar umur. Dan juga diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum pidana anak dan umumnya hukum pidana.

(25)

pertimbangan hakim dalam menangani kasus tindak pidana persetubuhan atas dasar suka sama suka yang dilakukan antar anak dibawah umur dalam perlindungan anak terhadap hal-hal yang dapat merusak tingkah laku mereka.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenar-benarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk penelitian.6

Pemidanaan adalah tindakan yang diambil oleh hakim untuk memidana seseorang terdakwa untuk memutuskan tentang hukumnya (berchten) menetapkan hukuman atas suatu perbuatan pidana. Bahwa pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan pemidanaan yaitu :

1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri. 2. Untuk membuat orang menjadi jera.

3. Membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan kejahatan-kejahatan yang lain.

Jika dilihat secara kriminologi tindakan persetubuhan terjadi karena faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi perkembangan jiwa seseorang, sedangkan pertanggungjawaban pidana dianut asas kesalahan, yang berarti untuk dapat

6

(26)

menjatuhkan pidana Di samping itu harus memenuhi unsur-unsur rumusan delik juga, harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab.7

Adapun unsur dari kesalahan itu sendiri selain kemampuan bertanggungjawab, yaitu unsur kesengajaan (dolus/opzet) dan kelalaian (culpa/alpa), serta unsur tidak ada alasan pemaaf. Dengan berlakunya asas kesalahan tersebut, tidak semua pelaku tindak pidana dapat di pidana karena tidak memiliki kemampuan bertanggungjawab sebagai unsur dari kesalahan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 44.8

Berdasarkan pada hal tersebut, bahwa kemampuan bertanggungjawab harus ada : 1. Kemamapuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang

buruk sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum.

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan.

Menurut Adami Chazawi, Undang-undang mengatur tentang tiga dasar yang menyebabkan diperberatnya pidana umum Pasal 52 KUHP, ialah:

1. Diberikan pidana tambahan

2. Pidana ditambah sepertiga (Pasal 216 KUHP) 3. Pidana penjara dilipatkan 2 kali (Pasal 393 KUHP)

Dasar pemberatan pidana karena pengulangan (Recidivis) mengenai pengulangan ini KUHP Menyebutkan dengan mengelompokkan tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana-tindak pidana tertentu yang disebutkan. Penerapan hukum pidana menitik beratkan pada upaya penindakan (represif) sesudah

7

Barda Nawawi Arief, 2002, Kebijakan Legislatif Dengan Pidana Penjara, UNDIP. Semarang. hlm. 85.

8

(27)

kejahatan terjadi dengan menggunakan sarana penal dengan melakukan penangkapan, pemeriksaan dan penindakan terhadap pelaku persetubuhan dengan menerapkan sanksi pidana yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sedangkan pencegahan tanpa pidana dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa menitik beratkan pada tindakan pencegahan (preventif) sebelum tindak kejahatan persetubuhan terjadi.

Upaya-upaya tersebut merupakan kebijakan integral dalam hal penaggulangan kejahatan, yaitu adanya keterpaduan antara penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dan non penal. Upaya penanggulangan atau kebijakan-kebijakan tersebut hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social welfare) baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dari tindak pidana persetubuhan terhadap anak.9

Pencegahan dengan cara penal di lakukan melalui jalur hukum yang bersifat penindakan dan lebih mengutamakan pada tahap aplikasi yaitu tahap tentang bagaimana Undang-undang itu di tetapkan dan tahap eksekusi yaitu tahap yang menekankan pada aparat penegak hukum yang berwenang dalam hal penegakan peraturan perundang-undangan. Menggunakan sarana non penal yang bersifat pencegahan sebelum kejahatan terjadi. Dalam tindak pidana persetubuhan, upaya pencegahan yang dapat di lakukan adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya tindak kejahatan yaitu masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang ada dimasyarakat.

9

(28)

Hakim dalam menjatuhkan putusan menggunakan teori pembuktian mengenai ketentuan yang berisi pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan serta mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah cara atau proses hukum yang dilakukan untuk mempertahankan dalil-dalil dengan alat bukti yang ada sesuai hukum acara yang berlaku. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang di dakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana.10

Menurut Mackenzei (dalam Ahmad Rifai, 2010).11 ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat digunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

a. Teori Keseimbangan.

b. Teori pendekatan seni dan intuisi. c. Teori pendekatan keilmuan. d. Teori pendekatan pengalaman. e. Teori ratio decidendi.

Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 53 Ayat (2) menyatakan bahwa :

10

Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika. Jakarta. hlm. 94.

11

(29)

“Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud dalam pemeriksaan dan

memutuskan perkara harus memuat pertimbangan hakim yang didasarkan pada

alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar”.

2. Konseptual.

Konseptual adalah susunan dari beberapa konsep sebagai suatu kebulatan yang utuh, sehingga terbentuk suatu wawasan untuk dijadikan landasan, acuan dan pedoman dalam penelitian atau penulisan12.

Ada beberapa konsep yang bertujuan untuk menjelaskan pengertian dasar mengenai konsep atau arti dari beberapa istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi, yaitu sebagai berikut :

a. Analisis adalah suatu uraian mengenai suatu persoalan yang memperbandingkan antara fakta-fakta denga teori, dengan menggunakan metode argumentatif sehingga menghasilkan suatu kejelasan mengenai persoalan yang dibahas13

.

b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar lanrangan tersebut14

.

c. Pemidanaan merupakan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu

12

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. hlm. 78.

13

Soerjono Soekanto, 1986, Penghantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia. Jakarta. hlm. 31.

14

(30)

mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa15

.

d. Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin16

.

e. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan17

.

f. Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana18

.

g. Persetubuhan adalah adanya peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk dalam anggota kemaluan perempuan sehingga mengeluarkan air mani (R. Soesilo, 1976 : 181).

E. Sistematika Penulisan

Sistematika pembahasan dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara umum tentang uraian yang disajikan, sehingga memudahkan pembaca dalam menanggapi keseluruhan penelitian yang telah penulis laksanakan. Penulis merumuskan sistematika pembahasan sebagai berikut:

15

Leden Marpaung, 2005, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika. Jakarta. hlm. 2.

16

Undang-undang Pengadilan Anak Nomor 3 tahun 1997.

17

Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002.

18

(31)

I. PENDAHULUAN

Merupakan kerangka dasar yang meliputi Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Pembahasan.

II. TINJUAN PUSTAKA

Ini merupakan bab pemahaman terhadap pengertian-pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan mengenai pengertian tentang anak serta dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan perbuatan kesusilaan (persetubuhan).

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini penulis menjabarkan tentang metode yang digunakan dalam penulisan skripsi mengenai langkah-langkah dalam Pendekatan Masalah, Prosedur pengumpulan, Sumber dan Jenis Data penelitian dan Pengolahan Data, serta Analisis Data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(32)

persetubuhan atas dasar suka sama suka yang dilakukan antar anak dibawah umur.

V. PENUTUP

(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Pemidanaan Dan Penjatuhan Pidana

Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana:

1. Teori Relatif atau tujuan ( doeltheorien )

Menurut teori ini suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Pemberian pidana tidak hanya di lihat dari masa lampau melainkan juga ke masa depan. Pemidanaan harus ada tujuan lebih jauh dari pada hanya menjatuhkan pidana saja atau pidana bukanlah sekedar untuk pembalasan atau pengambilan saja, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat, maka teori ini disebut teori perlindungan masyarakat.

Penjatuhan pidana yang dimaksudkan agar tidak ada perbuatan jahat sebenarnya tidak begitu bisa dipertanggungjawabkan, karena terbukti semakin hari kualitas dan kuantitas kejahatan semangkin bertambah, jadi penjatuhan pidana tidak menjamin berkurangnya kejahatan.

2. Teori Absolut atau teori pembalasan ( vergeldingstheorien )

(34)

karena ada pelanggaran hukum. Jadi menurut teori ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Tujuan utama dari pidana menurut teori absolute adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan, sedangkan pengaruh-pengaruhnya adalah skunder. Contoh, apabila ada dua orang pelaku yang seorang menciptakan akibat yang lebih serius dari yang lain, maka dia di pidana lebih berat.

3. Teori gabungan ( verenigingsthrorien)

Teori gabungan antara pembalasan dan pencegahan beragam pula yang menitik beratkan pada pembalasan, ada pula yang ingin agar unsur pembalasan dan prefensi seimbang.

a. Menitik beratkan pada unsur pembalasan dianut antara lain oleh Pompe.

Pompe mengatakan orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan. Memang pidana dapat di bedakan dengan saksi-saksi lain tetapi tetap ada cirri-cirinya, tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu saksi dan dengan demikian terikat dengan tujuan saksi-saksi itu. Karena itu hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum.1

Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang di wujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar pidana ialah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang di lakukan oleh terpidana, tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat di ukur, di tentukan oleh apa yang

1

(35)

berguna bagi masyarakat. Teori yang di kemukakan oleh Grotius di lanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zevenbergen yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana ialah melindungi tata hukum pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintah.

b. Teori gabungan yaitu yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat.

Teori ini tidak boleh lebih berat dari pada yang di timbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya. Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya di jatuhkan terhadap delik–delik, yaitu perbuatan yang di lakukan secara sukarela. Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana adalah melindungi kesejahteraan masyarakat.

Dalam rancangan KUHP Nasional telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana yaitu :

1). Mencegah di lakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum

demi pengayoman masyarakat.

2). Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya

orang yang baik dan berguna.

3). Menyelesaikan konflik yang di timbulkan olah tindakan pidana memulihkan

keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 4). Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

(36)

B. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana pada dasarnya merupakan terjemahan dari bahasa Belanda

Strafbaar feit yang memiliki banyak istilah lain yaitu delik, peristiwa pidana,

perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang diancam dengan hukum, perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum, dan tindak pidana. Menurut Moeljatno tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.2

Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.Dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana. Didalam KUHP dikenal istilah strafbaar feit, sedangkan dalam kepustakaan dikenal denganistilah delik. Pembuat undang-undang menggunakan istilah peristiwa pidana, perbuatan pidana dan tindak pidana.3

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan orang lain atau merugikan kepentingan umum. Beberapa sarjana hukum pidana di Indonesia menggunakan istilah yang berbeda-beda dalam menyebut kata pidana ada beberapa sarjana menyebutkan tindak pidana, perbuatan pidana atau delik.

Untuk mengetahui pengertian tindak pidana, maka akan diuraikan pendapat sarjana yang lain baik pengertian perbuatan pidana, tindak pidana atau “strafbaar

feit”.Pengertian dati strafbaar feit menurut Pompe antara lain:

2

Tri Andrisman, op.cit. 3

(37)

a. Definisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

b. Definisi menurut hukum positif merumuskan “strafbaar” adalah suatu kejadian yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) istilah umum yang dipakai adalah tindak pidana karena bersifat netral, dan pengertian tersebut meliputi perbuatan pasif dan aktif.Jadi dapat dikatakan bahwa pengertian tindak pidana mempunyai arti perbuatan melawan hukum atau melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas jelaslah bahwa dalam perbuatan tindak pidana tersebut didapatkan unsur-unsur adanya suatu kejadian tertentu, serta adanya orang-orang yang berbuat guna menimbulkan suatu akibat karena melanggarperaturan perundang-undangan yang disertai ancaman/sanksi yang berupa pidana tertentu. Dengan demikian, dalam perbuatan pidana harus mengandung unsur-unsur penyebab dan orang-orang yang terlibat didalam perbuatan tersebut.

(38)

Anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Tetapi dalam kenyataanya, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar, dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitasnya diwarnai data kelam dan menyedihkan. Anak Indonesia masih terus mengalami kekerasan. Hal ini dapat dipahami karena anak adalah manusia yang belum memiliki kematangan sosial, pribadi dan mental seperti orang yang telah dewasa. Adapun perbedaan anak dengan orang dewasa terlihat dengan adanya perbedaan umur dan tingkah laku. Berikut ini pengertian anak yang termuat dalam beberapa perundang-undangan yang terkait dengan hal tersebut, yaitu:

A. Pengertian Anak Menurut KUHPidana:

Anak dalam Pasal 45 KUHPidana adalah anak yang umurnya belum mencapai 16 (enam belas) tahun.

B. Pengertian Anak Menurut Hukum Perdata:

Pasal 330 KUHPerdata mengatakan, orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 (dua satu) tahun dan tidak lebih dahulu kawin.

C. Pengertian Anak Menurut UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat dalam Pasal I Ayat (1):

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

(39)

Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

E. Pengertian Anak didalam UU Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat (2):

Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.

F. Menurut UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang didefinisikan dalam Pasal 1 Ayat (5) sebagai berikut:

Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

G. Pengertian Anak menurut Konvensi Tentang Hak-hak Anak (convention on the right of the child) tahun 1989 sebagai berikut:

Anak adalah setiap manusia dibawah umur 18 (delapan betas) tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal.

(40)

Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak hal penting yang perlu diperhatikan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak adalah konsekuensi penerapannya dikaitkan dengan berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, sosial politik, dan budaya masyarakat. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan terdapat perbedaan ketentuan yang mengatur tentang anak, hal ini dilatarbelakangi berbagai faktor yang merupakan prinsip dasar yang terkandung dalam dasar pertimbangan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan yang berkaitan dengan kondisi dan perlindungan anak.

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik secara fisik, mental, dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak.

(41)

“Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas, yaitu ekonomi, sosial,

dan budaya”.4

Adapun dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah sebagai berikut:

1) Dasar Filosofis; Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak.

1) Dasar Etis ; pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak. 2) Dasar Yuridis ; pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD

1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan Iainnya yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.

Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam usaha perlindungan anak diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 yaitu:

a) Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etik budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21).

4

(42)

b) Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22).

c) Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara umum bertangung jawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23).

d) Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 2).

Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 25 UU No. 23 Tahun 2002). Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 UU No. 23 Tahun 2002, yaitu:

a) Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.

b) Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.

c) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

(43)

Arif Gosita (1989:35) mengatakan bahwa Hukum Perlindungan Anak adalah hukum (tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.5

Hukum perlindungan anak merupakan hukum yang menjamin hak-hak dan kewajiban anak, Hukum Perlindungan Anak berupa: hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana, peraturan lain yang menyangkut anak. Perlindungan anak, menyangkut berbagai aspek kehidupan dan penghidupan, agar anak benar-benar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar sesuai dengan hak asasinya.

Anak sebagai pelaku dan anak sebagai korban merupakan bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dalam Pasal 1 Ayat (1), yang di maksud dengan Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Yang di maksud dengan anak nakal adalah :

1. Anak yang melakukan tindak pidana

2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hokum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Pidana penjara, pidana kurungan maupun pidana denda yang dijatuhkan kepada anak sebagai

5

(44)

pelaku tindak pidana adalah paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa.

Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam Pasal 1 Ayat (1) yang di maksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Di dalam Undang-Undang ini, lebih mengatur tentang anak sebagai korban kejahatan dan diharapkan dapat melindungi dan mempertahankan hak-hak anak, karena anak sebagai korban kejahatan sering kali terabaikan hak-haknya yang seharusnya dilindungi, di mana anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.

D. Tindak Pidana Kesusilaan terhadap Anak

(45)

Dengan demikian tidaklah mudah menentukan batas-batas atau ruang lingkup tindak pidana kesusilaan. Tindak pidana ini merupakan salah satu tindak pidana yang paling sulit dirumuskan. Hal ini disebabkan kesusilaan merupakan hal yang paling relatif dan bersifat subyektif. Namun demikian perbedaan pendapat mengenai kesusilaan secara induvidual tidak seberapa besar jika dibandingkan dengan bangsa dan suku bangsa. Misalnya laki-laki dan perempuan berciuman di tempat umum adalah hal yang biasa di negara Amerika Serikat tetapi akan sangat berbeda apabila dilakukan di negara Indonesia.

Walaupun demikian ada pula bagian tindak pidana kesusilaan yang bersifat universal. Universal dalam arti seragam bukan saja dalam batas-batas negara, tetapi ke seluruh negara-negara yang beradab. Menurut Oemar sana Adji, delik susila menjadi ketentuan universal apabila :

1. Apabila delik tersebut dilakukan dengan kekerasan 2. Yang menjadi korban adalah orang dibawah umur 3. Apabila delik tersebut dilakukan dimuka umum

4. Apabila korban dalam keadaan tidak berdaya dan sebagainya.

5. Terdapat hubungan tertentu antara pelaku dan obyek delik, misalnya guru terhadap muridnya.

Jadi kesusilaan disini pada umumnya diartikan sebagai rasa kesusilaan yang berkaitan dengan nafsu seksual, karena yurisprudensi memberikan pengertian melanggar kesusilaan sebagai perbuatan yang melanggar rasa malu seksual. Hal ini tidak pernah dibantah oleh para sarjana. Simon misalnya mengatakan bahwa

(46)

mengenai kehidupan seksual dan oleh sifatnya yang tidak senonoh dapat menyinggung rasa malu atau kesusilaan orang lain.

Kesusilaan (zedelijkheid) adalah mengenai adat kebiasaan yang baik dalam hubungan antar berbagai anggota masyarakat, tetapi khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin (seks) seorang manusia, sedangkan kesopanan (zeden) pada umumnya mengenai adat kebiasaan yang baik.

Ketentuan tindak pidana kesusilaan dalam KUHP dapat dikelompokkan menjadi : 1. Tindak pidana kesusilaan (berkaitan dengan seks)

a. Bentuk kejahatan diatur dalam Pasal 281-289 KUHP b. Bentuk pelanggaran diatur dalam Pasal 532-535 KUHAP 2. Tindak pidana kesopanan

a. Bentuk kejahatan diatur dalam Pasal 300-303 KUHP b. Bentuk pelanggaran diatur dalam Pasal 536-547 KUHP6

Tindak Pidana Persetubuhan dan Unsur-Unsurnya Perbuatan persetubuhan merupakan tindak pidana kesusilaan berdasarkan Pasal 81 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang merumuskan setiap orang yang dengan sengaja melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, di pidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). Berdasarkan

6

(47)

rumusan Pasal 81 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 di atas, maka dapat diketahui unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana tersebut, yaitu : 1. Unsur Subyektif :

a. Setiap orang b. Dengan sengaja 2. Unsur obyektif

a. Melakukan persetubuhan b. Anak (yang dipaksa)

c. Agar anak : melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Persetubuhan terhadap anak menurut KUHP merupakan salah satu syarat terpenuhinya unsur dalam beberapa Pasal yang diatur dalam KUHP, misalnya Pasal 284 tentang perzinahan, Pasal 285 tentang perkosaan, Pasal 286 tentang bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya yang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, dan sebagainya.

Persetubuhan ialah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk ke dalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air mani.

(48)

yang dikemukakan oleh R. Soesilo. Memasukkan jari atau benda lain ke dalam alat kelamin perempuan juga telah dianggap sebagai persetubuhan. Hal substansial yang juga perlu diperhatikan yakni hal-hal yang menjadi perbedaan antara persetubuhan dengan perbuatan cabul. Kedua hal ini sangat penting untuk dibedakan karena dalam praktik apabila unsur persetubuhan tidak dapat dibuktikan, maka dipakailah perbuatan cabul sebagai gantinya. Perbuatan cabul yang dimaksud sering juga disamakan dengan pelecehan seksual. Semua hal tersebut masih dalam cakupan kejahatan kesusilaan.

Perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkup nafsu birahi kelamin, misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya. Persetubuhan masuk pula dalam pengertian perbuatan cabul, akan tetapi dalam undang-undang disebutkan tersendiri.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa perbuatan cabul merupakan perbuatan yang dilakukan untuk meningkatkan nafsu birahi atau seks terhadap orang lain yang tidak ada ikatan perkawinan. Perbuatan cabul selalu dikaitkan dengan bagian-bagian badan atau tubuh yang sensitif untuk merangsang nafsu seks, seperti mulut, buah dada, dan sebagainya.

(49)

Perbuatan cabul memiliki makna yang lebih luas dibanding persetubuhan. Persetubuhan memandang perbuatan meraba bagian sensitif, melakukan perbuatan merangsang nafsu seks, dan sebagainya terhadap orang lain yang tidak terikat perkawinan merupakan satu kesatuan dengan peraduan alat kelamin laki-laki dan perempuan sebagaimana yang dilakukan untuk mendapatkan anak hingga keluarnya air mani. Sedangkan dalam perbuatan cabul memandang perbuatan merangsang nafsu seks saja terhadap orang lain yang tidak terikat perkawinan sudah merupakan perbuatan cabul yang memenuhi unsur tindak pidana, apalagi jika sampai melakukan persetubuhan dengan yang demikian tersebut.

Tindak Pidana persetubuhan terhadap anak (orang yang belum dewasa) diatur dalam beberapa Pasal. Persetubuhan yang dimaksud adalah persetubuhan sebagaimana Penulis uraikan sebelumnya. Anak yang dimaksud yakni sebagaimana anak yang dimaksud dalam KUHP Pasal pertama yang merumuskan persetubuhan terhadap anak yaitu Pasal 287 Ayat (1) KUHP. Bunyi Pasal tersebut yaitu :

Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk dikawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.

Pasal tersebut menyaratkan adanya persetubuhan dengan perempuan yang bukan isteri pelaku. Pelaku harus menyadari bahwa umur perempuan yang disetubuhinya masih belum cukup 15 tahun, atau jika tidak jelas umurnya, pelaku harus dapat menyangka bahwa perempuan tersebut belum masanya untuk dikawini.

(50)

Barangsiapa bersetubuh dengan isterinya yang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa perempuan itu belum masanya buat dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun, kalau perbuatan itu berakibat badan perempuan itu mendapat luka.

Pasal 290 Ayat (2e) menyatakan bahwa :

Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang itu belum masanya buat kawin.

Selanjutnya dalam Pasal yang sama Ayat (3e) menyatakan bahwa :

Barangsiapa membujuk (menggoda) seseorang, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa ia belum masanya buat kawin, akan melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan orang lain dengan tiada kawin.

Ayat 2e menguraikan unsur perbuatan cabul terhadap seseorang yang belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, diketahui atau patut disangkanya bahwa seseorang tersebut belum masanya untuk dikawin. Pencabulan tersebut bersifat lebih luas dibanding persetubuhan.

(51)

disangkanya bahwa seseorang tersebut belum masanya untuk dikawin, untuk melakukan persetubuhan dengan orang lain tanpa adanya ikatan perkawinan.

Membujuk orang yang belum dewasa yang tidak bercacat kelakuannya untuk melakukan perbuatan cabul dengannya atau membiarkan perbuatan yang demikian terjadi pada dirinya diatur dalam Pasal 293 Ayat (1) KUHP. Bunyi lengkap Pasal tersebut yaitu :

Barangsiapa dengan mempergunakan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang, dengan salah mempergunakan pengaruh yang berkelebih-lebihan yang ada disebabkan oleh berhubungan yang sesungguhnya ada atau dengan tipu, sengaja membujuk orang yang belum dewasa yang tidak bercacat kelakuannya, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya belum dewasa, akan melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan perbuatan yang demikian pada dirinya, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.

Kata membujuk dalam Pasal ini ditentukan lingkupnya, yaitu menggunakan hadiah atau perjanjian uang atau barang, pengaruh yang berlebih-lebihan yang ada disebabkan adanya hubungan, dan adanya tipu. Pihak yang dibujuk harus tidak bercacat kelakuannya. Tidak bercacat kelakuannya ditafsirkan hanya mengenai kelakuan dalam hal seksual.7

Dari berbagai kasus persetubuhan yang terjadi di Indonesia yang bermacam macam bentuk dan modus operansinya seperti dirayu, diancam, dipaksa, ditipu dan lain sebagainya, para pelaku persetubuhan tersebut menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia rata-rata dijatuhi hukuman penjara sekitar tiga sampai lima tahun.

7

(52)

Efisiensi hukuman penjara tersebut apakah sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh para pelaku persetubuhan anak di bawah umur, ini menjadi suatu polemik dikalangan masyarakat, akan tetapi penjatuhan hukuman bagi pelaku itu tergantung pada proses hukumnya. Majelis Hakim dalam menjatuhkan hukuman bagi para pelaku didasarkan pada pembuktian dan keyakinan dari hakim serta dengan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan, hal-hal ini yang akan menjadi tolak ukur dari berat ringannya hukuman bagi pelaku.

E. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, di dalam perkara pidana hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa kesalahan yang di anggap telah terbukti, di samping itu adanya alat bukti menurut Undang-undang juga di tentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.8

Hakim dalam menjatuhkan putusan cendrung lebih banyak menggunakan pertimbangan yang bersifat Yuridis dibandingkan pertimbangan non Yuridis.

8

(53)

Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dijelaskan tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Pasal 8 Ayat (2) : Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan juga sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Kemudian dalam Pasal 53 Ayat (2) menyatakan bahwa : Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud dalam pemeriksaan dan memutuskan perkara harus memuat pertimbangan hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.

Hakim dalam menjatuhkan putusan menggunakan teori pembuktian. Pembuktian mengenai ketentuan-ketentuan yang berisi pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan serta mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah cara atau proses hukum yang dilakukan untuk mempertahankan dalil-dalil dengan alat bukti yang ada sesuai hukum acara yang berlaku. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang di dakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana.

Menurut Sudarto, sebelum hakim menentukan perkara terlebih dahulu ada serangkaian pertimbangan yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut :

a. Keputusan mengenai perkaranya, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

(54)

c. Keputusan mengenai pidananya apabila terdakwa memang dapat dipidana.9

Menurut M. Rusli untuk menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana, hakim membuat pertimbangan-pertimbangan yang bersifat yuridis yaitu pertimbangan yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap didalam persidangan dan Undang-undang yang ditetapkan sebagai berikut :

a. Dakwaan jaksa penuntut umum. b. Keterangan saksi.

c. Keterangan terdakwa. d. Barang bukti.

e. Pasal-Pasal dalam Undang-undang tindak pidana.10

1. Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan hakim adalah argumen atau alasan yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum memutus perkara. Dalam praktik peradilan pada putusan hakim sebelum pertimbangan yuridis ini dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan. Konklusi yang akhirnya diambil oleh hakim sebagai pertimbangan yuridis didasarkan pada alat bukti yang menegaskan fakta-fakta yang terungkap tersebut.

Pertimbangan yuridis mengacuh kepada syarat-syarat pemidanaan. Dalam praktik peradilan pidana, syarat-syarat pemidanaan cenderung menggunakan sistem

9

Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni. Bandung. hlm. 74.

10

(55)

dualistik. Hal ini berimplikasi terhadap pertimbangan hakim secara yuridis dan berpatokan pada terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Pada Pasal 81 Ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 Jo Undang RI No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yang Unsur-unsurnya sebagai berikut:

1. Unsur barang siapa ;

2. Unsur dengan sengaja ;

3. Unsur melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain ;

Dalam menjatuhkan putusan pemidanaan, secara yuridis hakim senantiasa mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana. Hal ini telah diatur secara limitatif dalam KUHP.

Uraian singkatnya yaitu sebagai berikut : a. Hal-hal yang memberatkan pemidanaan

1. Kedudukan sebagai pejabat (Pasal 52 dan 52a KUHP)

(56)

2. Pengulangan tindak pidana (recidive)

Recidive atau pengulangan tindak pidana terjadi dalam hal seseorang yang

melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang tetap (inkracht van gewijsde), kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi.11

3. Perbarengan (Concursus/Samenloop)

Perbarengan yang dimaksud yaitu perbarengan dalam Pasal 65 dan 66 KUHP, di mana perbarengan tersebut merupakan perbarengan beberapa tindak pidana yang dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri.

b. Hal-hal yang meringankan pemidanaan

1. Percobaan (Poging)

Percobaan diatur dalam Pasal 53 KUHP. Percobaan terjadi apabila telah nyata niat dari pelaku, kemudian telah ada permulaan pelaksanaan tindak pidana, dan tidak selesainya pelaksanaan tersebut bukan karena kehendak dari pelakunya. Pemidanaan percobaan dikurangi sepertiga dari pidana pokoknya. Mencoba untuk melakukan kejahatan tidak dipidana.

2. Pembantuan (medeplichtigheid)

Pemidanaan pada pembantuan dilakukan dengan mengurangi sepertiga dari pidana pokoknya. Dalam hal pembantuan, pelaku yang membantu melakukan tindak pidana memiliki peran yang lebih kecil dalam perwujudan tindak pidana tersebut. membantu melakukan tindak pidana ini meliputi 2 (dua) hal,

11

(57)

yaitu membantu pada saat melakukan tindak pidana dan membantu sebelum tindak pidana dilakukan.

3. Belum cukup umur (minderjarig)

Belum cukup umur ini lebih dikenal dengan anak sebagai pelaku tindak pidana. Dalam Pasal 45 KUHP ditentukan bahwa dikurangi sepertiga hukumannya dari pidana pokok apabila yang melakukan tindak pidana belum cukup 16 (enam belas) tahun. Namun, pengertian ini dinyatakan tidak berlaku setelah diundangkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam undang-undang tersebut, yang dimaksud anak yaitu orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Selanjutnya ketentuan ini diambil alih Mahkamah Konstitusi bahwa batasan usia minimal pertanggungjawaban hukum bagi anak adalah 12 (dua belas) tahun sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Pertimbangan Sosiologis

Selain pertimbangan yuridis, hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dituntut pula untuk mempertimbangkan sisi sosiologisnya. Salah satu aturan hukum yang mendasari hal ini tertuang secara limitatif dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Bunyi lengkap Pasal tersebut yaitu sebagai berikut :

(58)

Hal ini dipertegas dengan fakta bahwa sumber hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tidak hanya berasal dari hukum yang tertulis saja, tetapi juga terdapat hukum atau aturan yang tidak tertulis. Hakim bukan sekedar terompet undang-undang. Hakim harus mengetahui dan memahami nilai-nilai sosial yang hidup dalam tatanan kehidupan masyarakat. Untuk itulah hakim dituntut untuk tidak tersing dari masyarakatnya.

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan secara sosiologis oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara :

1) Memperhatikan Sumber hukum tidak tertulis dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat;

2) Memperhatikan sifat baik dan buruk dari Terdakwa serta nilai-nilai yang meringankan maupun hal-hal yang memberatkan Terdakwa;

3) Memperhatikan ada/tidaknya perdamaian, kesalahan, peranan Korban;

4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum, tersebut berlaku atau diterapkan; dan

5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.

3. Pertimbangan Subjektif

(59)

subjektif terhadap Terdakwa. Pertimbangan ini bertolak dari fakta bahwa setiap orang memiliki proses sosialisasi yang berbeda sehingga berimplikasi pada pengetahuannya. Hakim pun demikian, hakim memiliki pengetahuan hukum masing-masing yang terbentuk tidak mutlak sama dengan hakim-hakim lainnya.

Para “aktor” yang terlibat dalam proses litigasi di pengadilan, baik para hakim, maupun para pengacara, para jaksa penuntut umum, maupun para klien (pencari keadilan), kesemuanya itu tak mungkin terbebas dari berbagai pengaruh nonhukum yang mereka peroleh dalam proses sosialisasi yang mereka lalui.12

12

Achmad Ali, 2008, Menguak Realitas Hukum : Rampai Kolom & Artikel Dalam Bidang Huku,.

(60)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini mengunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan penelitian berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus.1

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari penelitian dilapangan atau pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam memberikan yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.

2. Data Sekunder

1

(61)

Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan menelusuri literatur-literatur yang berhubungan dengan masalah yang disesuaikan dengan pokok permasalahan yang ada dalam penelitian ini, terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berhubungan dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, anatara lain buku-buku literatur, RUU KUHP dan refrensi.

c. Bahan Hukum Tersier

Referensi

Dokumen terkait

SURGXNVLNDUHW\DQJGLKDVLONDQROHKSHWDQL NDUHW EHOXP RSWLPDO 2OHK NDUHQD LWX SHQHOLWLDQLQLEHUWXMXDQXQWXNPHQJDQDOLVLV IDNWRU \DQJ PHPSHQJDUXKL SURGXNVL NDUHW VHKLQJJD SURGXNVL NDUHW

Bisnis, Vol.. ketergantungan satu sama lain, dan tidak bisa hidup terpisah dari masyarakat. Seruan al-Qur’an dalam QS al-Hujura>t/49: 13 dan an-Nisa>/4: 1

kelengkapan organisasi BPIP yang memiliki tugas melaksanakan penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Pegawai..

Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menentukan sebaran batuan yang mengandung bijih besi menggunakan metode geomagnet di Desa Pringgabaya Utara

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif pengolahan gliserol sebagai hasil samping industri biodiesel menjadi produk yang memiliki nilai jual lebih

Kepala Seksi Bina Satuan Linmas atau Kepala Seksi Bina Potensi Masyarakat membuat nota dinas dan konsep surat pemberitahuan Pembinaan dan Pemberdayaan Satuan Linmas atau

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diterangkan, bahwa industri susu karamel Cisondari yang merupakan industri rumah tangga memiliki ciri khas yang berbeda

Puji syukur kepada tuhan Yang Maha Esa,penulis ucapkan karena skripsi dengan judul “ Perancangan Sistem Informasi Berbasis Web pada Biro Perjalanan PT.. Rikola Tour dan