• Tidak ada hasil yang ditemukan

MIGRASI SEBAGAI BENTUK ADAPTASI PERUBAHA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MIGRASI SEBAGAI BENTUK ADAPTASI PERUBAHA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

MIGRASI SEBAGAI BENTUK ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

1 Oleh : Dyah Ita Mardiyaningsih

Pendahuluan

Perubahan iklim merupakan suatu yang harus terjadi dan tidak dapat dihindari sebagai dampak dari aktivitas manusia itu sendiri. Pernyataan tersebut merupakan hasil Laporan Kajian Keempat yang dilansir Panel antar Pemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC) pada tahun 2007 (Locatelli et al. 2009; Guzmán et al. 2009). Dampak tersebut merupakan bagian hasil penilaian yang mencakup ukuran populasi global dan pertumbuhan dalam proyeksi emisi tanpa membedakan antara tingkat emisi kelompok sosial atau demografis yang berbeda. Forum IPCC melihat isu-isu kependudukan terkait perubahan iklim bukan menjadi hal penting. Isu kependudukan terkait perubahan iklim lebih banyak muncul dalam pemberitaan sebagai bentuk kekhawatiran mengenai potensi migrasi besar-besaran akibat perubahan iklim (Guzmán et al. 2009).

Dampak perubahan iklim yang saat ini sudah dirasakan dan diprediksi semakin meningkat dimasa depan secara global adalah kenaikan permukaan air laut, perubahan pola curah hujan dan konsekuensi terhadap produksi dan infrastruktur pertanian (Guzmán et al.

2009). Pada sektor pertanian di Indonesia, pengaruh perubahan dibedakan menjadi dua indikator yaitu kerentanan (kondisi yang mempengaruhi kemampuan beradaptasi) dan dampak (gangguan/kerugian/keuntungan). Dampak perubahan iklim pada sektor ini bersifat multi-dimensional karena terkait dengan berbagai hal yaitu sumberdaya manusia, infrastruktur pertanian, sistem produksi pertanian, ketahanan dan kemandirian pangan serta kesejahteraan petani (Balitbang Pertanian 2014). Penurunan produksi pertanian secara signifikan terjadi terutama disebabkan oleh perubahan pola curah hujan dan kenaikan suhu udara. Banjir dan kekeringan sebagai bentuk kejadian iklim ekstrim menyebabkan gagal panen meluas. Peningkatan permukaan air laut juga menyebabkan penciutan lahan sawah di daerah pesisir dan kerusakan tanaman akibat salinitas (Surmaini et al. 2011). Dampak-dampak tersebut terutama dirasakan oleh petani maupun masyarakat yang berlokasi di dataran rendah dan pesisir pantai yang merupakan wilayah paling rentan terkena dampak perubahan iklim. Salah satunya terjadi di Kota Semarang yang berbatasan dengan Laut Jawa yang sebagian masyarakatnya terisolir karena naiknya permukaan air laut sehingga mengalami kerugian secara sosial, ekonomi, lingkungan biografi dan lingkungan terbangun (Macchi 2008 dalam Hidayah 2009; Hidayah 2009). Kasus di Semarang hanya contoh dari sekian kasus yang dihadapi masyarakat akibat perubahan iklim di Indonesia. Tidak hanya di wilayah pesisir, petani yang tinggal di daerah dataran tinggi ataupun daerah pedalaman mengalami kondisi yang sama. Petani peladang di pedalaman Kalimantan Timur mengeluhkan berubahnya pola musim dan pola hujan sehingga kegagalan panen menjadi semakin sering terjadi bukan hanya karena kekeringan tetapi munculnya hama sejenis serangga di dalam tanah yang memakan tanaman muda dan serangan hama babi, tikus dan monyet pada tanaman yang hampir panen (Hadi et al. 2014). Penelitian Dharmawan et al. (2014) di dua desa di Kabupaten Banyuasin - Sumatera Selatan memperlihatkan variabilitas iklim ditandai dengan cuaca tak menentu memunculkan hama

penyakit, seperti ‘patah leher’ atau ‘blast’ pada tanaman padi dan penyakit ‘bulei’ pada

tanaman Jagung. Kondisi ini memparah kondisi ekonomi petani yang tidak memiliki mata

1

(2)

pencaharian lain selain sebagai petani padi dan tanaman padi hanya diusahakan sekali dalam setahun.

Dampak perubahan iklim tidak sepenuhnya merugikan masyarakat pada umunya atau petani pada khususnya. Kasus di salah satu desa di Kabupaten Pangandaran memperlihatkan bahwa perubahan pola hujan memberikan keuntungan bagi petani karena dapat panen di luar musim sehingga mendapatkan harga komoditas yang lebih tinggi. Lahan-lahan pertanian yang pada umumnya terkena banjir, karena musim kering yang lebih panjang menjadi dapat ditanami sehingga petani dapat menanam padi lebih dari satu kali dalam satu tahun (Dharmawan et al. 2014). Meskipun ada yang diuntungjan dengan perubahan iklim, sebagian besar masyarakat yang terkena dampak perubahan iklim dirugikan bahkan kasus di beberapa wilayah di luar Indonesia seperti Kepulauan Carteret, Kepulauan Kiribati dan Bangladesh memaksa sebagian penduduknya melakukan migrasi karena kehilangan tempat tinggal dan sumber mata pencaharian akibat meningkatnya permukaan air laut (Leckie 2009). Bagaimana dengan kasus di Indonesia? Dengan banyaknya dampak negatif dari perubahan iklim apakah mendorong masyarakat untuk melakukan migrasi? Atau migrasi merupakan strategi alternatif dalam beradaptasi terhadap perubahan sumber nafkah di pedesaan? Makalah ini mencoba untuk menjawab hubungan antara migrasi dan perubahan iklim di Indonesia berdasarkan hasil studi literatur atas penelitian tentang perubahan iklim di beberapa wilayah di Indonesia.

Migrasi dan Perubahan Iklim dalam Konsep

Migrasi seperti dalam istilah aslinya didefinisikan sebagai pergeseran yang terlihat dan simultan baik pada lokus spasial maupun sosial. Istilah lain yang digunakan sebelumnya adalah mobilitas sosial dan fisik yang gantikan dengan istilah mobilitas teritorial yang salah satu bagiannya adalah migrasi. Sebagai bagian mobilitas teritorial, migrasi didefinisikan sebagai perubahan tempat tinggal permanen atau semi permanen atau transfer spasial dari satu unit sosial atau lingkungan ke unit sosial yang lain, yang memecahkan ikatan sosial sebelumnya. Karena itu definisi konvensional migrasi dapat digunakan untuk menjelaskan totalitas mobilitas teritorial dalam tahap awal dan menengah dari transisi mobilitas. Sebuah langkah logis dalam mengejar transisi mobilitas akan mengkonversi ruang fisik ke dalam ruang fungsional migran, melalui beberapa variasi peta transformasi (Zelinsky 1971). Teori dasar ini mungkin tidak terlalu cocok jika dikaitkan dengan migrasi yang terutama disebabkan oleh perubahan lingkungan dimana perubahan iklim masuk di dalam kategorinya (Guzmán et al. 2009).

(3)

Zelinsky dapat digunakan sebagai alat analisis. Migrasi yang demikian menjadi fenomena migrasi umum dimana arus migrasi berasal dari tempat dengan sumberdaya rendah (pedesaan) ke tempat tujuan yang dianggap lebih makmur (kota).

Migrasi dan mobilitas dalam konteks perubahan iklim seringkali dianggap sebagai masalah karena kegagalan populasi terutama di pedesaan beradaptasi sehingga harus pindah/ meninggalkan rumah, aset dan kehilangan jaringan sosial yang berharga dan ikatan keluarga. Di tempat tujuan para migran ini yang disebut dengan istilah pengungsi yang melarikan diri konflik dan bencana merupakan bagian yang besar dari kaum miskin kota, dan perlu waktu yang lama untuk mengintegrasikan ke dalam masyarakat lokal dan mencari pekerjaan serta tempat tinggal (Guzmán et al. 2009). Salah satu kasus yang menggambarkan hal ini terjadi di Afrika. Di Afrika migrasi dipandang sebagai sumber penyebaran kejahatan dan HIV/AIDS, merangsang degradasi lahan dan memberikan kontribusi terhadap kemiskinan perkotaan dan pedesaan (Black et al. 2006 dalam Tacoli 2009). Arus migrasi pada umumnya dari wilayah pedesaan keperkotaan dan cenderung didominasi oleh kelompok termiskin, tidak memiliki keterampilan, modal finansial atau jaringan sosial sehingga menjadi masalah baru di perkotaan. Arus migrasi internasional diasumsikan dari negara miskin ke negara kaya, perubahan iklim mendorong mobilitas melintasi perbatasan negara dari negara miskin ke negara kaya menjadi lebih tinggi sehingga negara-negara kaya lebih waspada terhadap prospek jutaan pengungsi karena perubahan iklim mendarat di tepi negaranya. Dengan persepsi migrasi sebagai masalah, arah kebijakan yang pada umumnya dilakukan hanya mencoba untuk mempengaruhi volume, arah dan jenis gerakan namun kurang mengakomodasi arus dan migran itu sendiri. Migrasi dalam konteks mobilitas sebagai strategi mengurangi kerentanan dipandang sebagai masalah. Pandangan itu terjadi karena beberapa kasus mobilitas di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah menimbulkan masalah terutama di daerah tujuan yang pada umumnya daerah perkotaan (Tacoli 2009).

Istilah migran untuk menunjuk orang yang melakukan mobilitas teritorial menjadi tidak tepat untuk menggambarkan kelompok orang yang melakukan perpindahan karena perubahan iklim. Istilah yang kemudian digunakan adalah 'environmental refugee' atau pengungsi yang dipaksa pindah karena degradasi lingkungan salah satunya akibat perubahan iklim. Istilah ini pertama kali secara resmi digunakan pada tahun 1970 dan sangat dipengaruhi oleh asumsi neo-Malthusian bahwa pertumbuhan penduduk akan menyebabkan migrasi dan konflik yang disebabkan oleh kelangkaan sumberdaya. Istilah migrasi kemudian jarang digunakan dan digantikan dengan istilah mobilitas dimana mobilitas tidak hanya meningkatkan ketahanan tetapi juga memungkinkan individu dan rumah tangga untuk mengakumulasi aset. Hal tersebut kemudian mendorong mobilitas dan diversifikasi pendapatan sebagai strategi penting untuk mengurangi kerentanan terhadap risiko lingkungan (perubahan iklim) dan non-lingkungan, termasuk guncangan ekonomi dan marjinalisasi sosial (Tacoli 2009).

Definisi konvensional migrasi membedakan dua jenis mobilitas yaitu mobilitas permanen dan mobilitas tidak permanen yang kemudian membedakan mobilitas teritorial sebagai migrasi dan sirkulasi (Zelinsky 1971). Pada kasus perubahan iklim yang memaksa aktivitas migrasi, menurut Leckie (2009) jenis mobilitas dapat dikategorikan menjadi lima, yaitu :

(4)

2. Pemindahan lokal tetap : orang yang mengungsi secara lokal tapi permanen karena perubahan yang tidak dapat dihindari di lingkungan hidupnya (kenaikan khususnya permukaan laut, genangan pesisir dan kurangnya air bersih, dan semakin sering badai). 3. Pemindahan internal tetap : orang yang mengungsi di dalam perbatasan negara, tetapi

cukup jauh dari tempat tinggal asli yang tidak memungkinkan untuk kembali.

4. Pemindahan regional permanen : orang tidak dapat pindah dalam negara sendiri atau tidak dapat akses dan bermigrasi ke negara-negara terdekat yang bersedia untuk menawarkan perlindungan permanen.

5. Pemindahan inter-continental tetap: orang yang tidak ada mendapat solusi perpindahan nasional atau regional dapat menerima perlindungan dari negara lain di benua lain, seperti Maladewa yang bermigrasi ke London.

Perbedaan jenis mobilitas yang dilakukan oleh pengungsi tentu akan membedakan penanganannya.

Perubahan Iklim di Indonesia

Perubahan iklim dipicu oleh tingginya emisi karbon akibat aktivitas manusia. Sumber emisi karbon terbesar di dunia berasal dari enam sektor yaitu : perubahan fungsi hutan, karbon buangan kendaraan bermotor, kebakaran, limbah pabrik, pertanian, dan sektor industri. Pada tahun 2012, perubahan fungsi hutan menjadi non hutan merupakan penyumbang emisi terbesar (48 %), transportasi (21 %), kebakaran (12 %), limbah pabrik (11 %), pertanian (5 %), dan sektor industri (3 %) (Beritasatu.com 2012). . Di Indonesia sektor pertanian menyumbang emisi sebesar 12% (51,20 juta ton CO2e) dari total emisi sebesar 436,90 juta ton CO2e. tanpa memperhitungkan emisi dari degradasi hutan, kebakaran gambut, dan drainase lahan gambut. Apabila emisi dari ketiga aktivitas tersebut diperhitungkan, kontribusi sektor pertanian sekitar 8% (Surmaini et al. 2011). Dampak perubahan iklim dapat dirasakan dengan kenaikan suhu bumi menjadi 0,8 derjat celcius pada periode 2000-2010 sehingga sejumlah es di kutup utara mulai mencair dan menyebabkan naiknya permukaan air laut (Beritasatu.com 2012).

(5)

el-nino terjadi, saat suhu permukaan laut di pasifik equator bagian tengah dan timur menghangat, justru perairan sekitar Indonesia umumnya mengalami penurunan suhu (menyimpang dari biasanya). Akibatnya, terjadi perubahan pada peredaran masa udara yang berdampak pada berkurangnya pembentukan awan-awan hujan di Indonesia dan musim kering menjadi semakin panjang. La Nina adalah fenomena kebalikan dari El Nino yaitu kondisi dimana suhu muka lautan di wilayah pantai Amerika Selatan mendingin sementara suhu muka laut di perairan Indonesia menghangat sehingga tersedia cukup uap air pembentuk hujan. Pada periode ini Indonesia memasuki masa basah dikarenakan intensitas hujan yang meningkat dibanding normalnya (Supari 2014).

Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dalam http://www.bps.go.id/ index.php/Subjek/ view/151#subjekViewTab3 (download 01 Juni 2015)

Gambar 1. Pola curah hujan menurut provinsi di Indonesia tahun 2000-2012

Berdasarkan data historis kejadian hujan dan nilai SOI (Southern Oscilation Index) untuk memprediksi El Nino dan La Nina, periode terjadi El Nino lebih sering dibanding La Nina yaitu pada 1991, 1993, 1994, 1997/1998 dan 2007. La Nina tercatat terjadi pada tahun 1998/1999, 2000 dan 2007/2008, 2009/2010 dan 2011. Provinsi yang mengalami dampak cukup buruk dengan adanya kedua anomali iklim ini adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada tahun 1997/1998 el nino di NTB menyebabkan 8,400 Ha tanaman padi mengalami kekeringan berat dan lebih kurang 1,400 Ha diantaranya mengalami puso yang mengakibatkan menurunnya produksi pangan pada periode tersebut. Data terbaru menunjukkan komoditas padi dan jagung juga mengalami penurunan produksi akibat puso selama periode 2007-2009. Kerusakan tanaman padi terjadi di tahun 2008 (0,80%), tahun 2009 (0,41%) dan tahun 2007 (4,04%). Pada tahun 2007 tingkat kerusakan terparah tanaman padi ditemukan di Bima (9,85%), Lombok Tengah (7,0%) dan diikuti Dompu (5,39%) serta Sumbawa Barat (2,41%). Demikian pula pada kerusakan tanaman jagung pada tahun 2008 (0,56%), tahun 2009 (0,18%) dan tahun 2007 (9,23%). Pada tahun 2007, tingkat kerusakan tertinggi tanaman jagung terdapat di Sumbawa Barat (40,65%) diikuti Dompu (10,48%) (BPS, 2009: FSVA 2010 dalam BKP NTB dan WFP 2011).

(6)

penurunan jumlahcurah hujan dan perubahan pola hujan yang mengakibatkan pergeseran awal musim dan masa tanam dan menurunkan potensi satu periode masa tanam padi (Aldrian dan Djamil 2006; Boer dan Buono 2008; Runtunuwu dan Syahbuddin 2007 dalam

Surmaini et al. 2011). Perubahan-perubahan tersebut telah menurunkan ketersediaan air pada beberapa waduk terutama di Jawa dan menyebabkan banyak lahan pertanian yang tidak terairi (Surmaini et al. 2011).

Supangat (2013) menyatakan bahwa berdasarkan berbagai analisis indikator cuaca dan iklim, perubahan iklim di Indonesia sudah terjadi dan menjadi ancaman tersendiri. Analisis data menunjukkan gelombang maksimum di perairan Indonesia pada periode monsun Asia berkisar antara 1-6 meter, bahkan Laut Jawa memiliki tinggi gelombang maksimum mencapai 3,5 meter. Tingginya gelombang menambah risiko banjir di daerah Pantai Utara Jawa (Pantura) terlebih pada saat puncak musim penghujan di Indonesia. Gelombang ekstrem juga berdampak buruk terhadap distribusi barang antar pulau yang banyak menggunakan transportasi laut. Perubahan iklim di Indonesia seperti diungkapkan sebelumnya juga berdampak cukup besar terhadap produksi bahan pangan dari sektor pertanian pangan maupun sektor kelautan. Indonesia bahkan berada pada peringkat 9 dari 10 negara paling rentan dari ancaman terhadap keamanan pangan akibat dampak perubahan iklim pada sektor perikanan (Huelsenbeck, Oceana, 2012 dalam Supangat 2013).

Berdasarkan kasus-kasus dan hasil analisis terhadap data perubahan iklim, dengan ancaman terhadap ketahannan pangan menunjukkan bahwa kemampuan petani maupun nelayan dalam memproduksi bahan pangan menurun. Kondisi ini memperlihatkan bahwa sumber nafkah petani maupun nelayan yang sangat tergantung dengan kondisi alam telah terancam dan kemungkinan sebagai sudah hilang. Fenomena perubahan iklim secara langsung maupun tidak langsung memaksa masyarakat untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi sehingga dapat mempertahankan pemenuhan kebutuhan hidupnya. IPCC merujuk pada McCarthy et al. (2001) mendefinisikan adaptasi sebagai suatu bentuk penyesuaian dalam sistem manusia atau alam dalam menanggapi rangsang iklim yang sebenarnya atau yang diperkirakan atau efeknya, yang meringankan kerusakan/kerugian atau mengeksploitasi kesempatan-kesempatan yang menguntungkan. Indikator sensitivitas dan kapasitas adaptif terhadap perubahan iklim pada skala nasional dapat digunakan menyusun peringkat negara-negara itu berdasarkan kerentanan. Pendekatan induktif berbasis data menentukan sekumpulan indikator, Brooks

(7)

infrastruktur publik, interkonektivitas global, serta ketergantungan pada sumberdaya alam (Vincent 2004 dalam Locatelli et al. 2008).

Indonesia dengan wilayah kepulauan yang sangat besar dan memiliki keragaman cuaca dan iklim sudah seharusnya sejak dini melakukan penelitian mengenai perubahan iklim dan dampaknya. Indikator kerentanan yang telah dikembangkan di beberapa negara perlu digunakan untuk memberikan peringkat kerentanan sehingga antisipasi terhadap dampak perubahan iklim dapat segera dilakukan. Strategi adaptasi juga perlu segera dilakukan terutama di tingkat nasional untuk mengantisipasi startegi adaptasi yang dilakukan oleh individu atau rumahtangga yang sudah merasakan dampak perubahan iklim dalam kehidupannya. Antisipasi menjadi penting terutama jika individu terpaksa harus bermigrasi sehingga tidak menjadi permasalah baru di tempat tujuan.

Migrasi sebagai Strategi Adaptasi Perubahan Iklim

Migrasi dalam konteks perubahan iklim secara global masih menjadi perdebatan antara migrasi sebagai sumber permasalahan atau migrasi sebagai strategi adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim. Berdasarkan hasil analisis Myers (2005) dan Stern Review Team (2006) dalam Tacoli 2009, proyeksi angka populasi penduduk yang dipaksa untuk pindah karena perubahan iklim pada tahun 2050 berkisar antara 200 juta sampai satu miliar. Prediksi tersebut mencerminkan migrasi sebagai dampak dari kegagalan beradaptasi dengan perubahan lingkungan fisik sehingga migran menjadi satu kelompok yang relatif tidak dapat dibedakan karena semua membuat tanggapan darurat serupa dan pindah ke tujuan acak termasuk tujuan internasional. Pada kondisi ini migrasi sebagai respons adaptif untuk perubahan sosial-ekonomi, budaya dan lingkungan relatif tidak tepat sehingga menjadi sangat penting untuk memahami dampaknya terhadap daerah pengirim dan tujuan dan untuk mengembangkan kebijakan yang tepat.

Migrasi dalam konteks mobilitas sebagai strategi mengurangi kerentanan dipandang sebagai masalah. Pandangan itu terjadi karena beberapa kasus mobilitas di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah menimbulkan masalah rerutama di daerah tujuan (pada umumnya daerah perkotaan). Di Afrika misalkan, migrasi dipandang sebagai sumber penyebaran kejahatan dan HIV/AIDS, merangsang degradasi lahan dan memberikan kontribusi terhadap kemiskinan perkotaan dan pedesaan (Black et al., 2006

dalam Tacoli 2009). Arus migrasi pada umumnya dari wilayah pedesaan keperkotaan dan cenderung didominasi oleh kelompok termiskin, tidak memiliki keterampilan, modal finansial atau jaringan sosial sehingga menjadi masalah baru di perkotaan. Arus migrasi internasional diasumsikan dari negara miskin ke negara kaya, perubahan iklim mendorong mobilitas melintasi perbatasan negara dari negara miskin ke negara kaya menjadi lebih tinggi sehingga negara-negara kaya lebih waspada terhadap prospek jutaan pengungsi karena perubahan iklim mendarat di tepi negaranya. Dengan persepsi migrasi sebagai masalah, arah kebijakan yang pada umumnya dilakukan hanya mencoba untuk mempengaruhi volume, arah dan jenis gerakan namun kurang mengakomodasi arus dan migran itu sendiri (Tacoli 2009).

(8)

itulah, analog perubahan iklim sebagai degradasi lingkungan (kekeringan, penggurunan dan degradasi lahan, peristiwa cuaca ekstrim seperti banjir dan badai, dan kenaikan atau penurunan permukaan batas laut) belum tentu mengakibatkan migrasi. Prediksi yang dapat dilakukan hanya dapat melihat 50 tahun ke depan sehingga penilaian realistis hubungan perubahan iklim dan migrasi memang sulit dilakukan. Di luar sulitnya membuat prediksi, kebutuhan memahami migrasi sebagai salah satu strategi yang individu dan rumah tangga gunakan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim menjadi penting. Migrasi sebagai strategi adaptasi ini menjadi pilihan yang dilakukan oleh individu atau rumahtangga pada titik dimana daerah asal sama sekali tidak mampu untuk memberikan penghidupan atau tidak ada strategi lain yang dapat dilakukan (Tacoli 2009). Migrasi kemudian menjadi bagian dari strategi nafkah individu atau rumahtangga.

Migrasi sebagai salah satu strategi nafkah bagi rumahtangga diperkenalkan oleh Scoones (1998) sebagai kerangka analisis sistem penghidupan di pedesaan yang berkelanjutan. Analisis tersebut terdiri dari tiga strategi mata pencaharian utama dengan dinamika hasil yang berbeda, yaitu (1) intensifikasi/ekstensifikasi pertanian yang menjadi strategi utama bagi rumahtangga terutama yang memiliki modal fisik berupa lahan pertanian; (2) diversifikasi mata pencaharian (pola nafkah ganda) dimana rumahtanggan melakukan pilihan aktif untuk melakukan beragam investasi untuk akumulasi dan reinvestasi, dan diversifikasi ditujukan untuk mengatasi kesulitan sementara atau adaptasi yang lebih permanen dari kegiatan mata pencaharian, ketika pilihan lain gagal untuk memberikan penghidupan; dan (3) migrasi dibedakan dari penyebab (misalnya gerakan sukarela dan tidak sukarela), efek (misalnya reinvestasi di bidang pertanian, perusahaan atau konsumsi di lokasi rumah atau migrasi) dan pola pergerakan (misalnya ke atau dari tempat yang berbeda). Ketiga strategi tersebut bisa dilakukan oleh seorang individu, rumah tangga dan tingkat desa, serta di tingkat regional atau bahkan nasional. Pilihan strategi ini tidak terlepas dari minimal lima modal yang dimiliki yang terdiri dari modal alam, modal finansial, modal manusia, modal sosial dan modal fisik. Pilihan strategi tergantung dari kemampuan untuk mengakses terhadap modal-modal tersebut yang dapat diakumulasi dapat menjadi cadangan dan pembatas ketika tekanan dan guncangan dirasakan seperti kekeringan yang berkepanjanganyang mempengaruhi kegiatan mata pencaharian. Modal yang dimiki tersebut dapat diubah untuk mengurangi dampak stres atau syok sehingga ketahanan keseluruhan sistem penghidupan dapat ditingkatkan.

Migrasi sudah sejak lama menjadi salah satu strategi nafkah bagi rumahtangga di pedesaan di Indonesia. Strategi ini terutama dipilih oleh rumahtangga yang berasal dari wilayah dengan sumberdaya kurang. Fenomena migrasi ini banyak dianalisis dengan

push-pull theory (teori dorong tarik) yang merupakan teori paling populer dimana alasan seseorang meninggalkan daerah asal karena ada faktor-faktor pendorong, sementara alasan untuk memilih daerah tujuan adalah faktor penarik (Rusli 1995). Pola migrasi di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun (2000-2010) dapat dilihat pada Gambar 2.

(9)

yang menjadi daerah asal para emigran. Riau dan Kalimantan Timur merupakan wilayah tujuan baru bagi para emigran terutama dari Jawa dan Sulawesi Selatan yang diperlihatkan dengan kecenderungan meningkatnya jumlah imigran dari tahun ke tahun. Aktivitas ekonomi berupa pertambangan dan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar membuka kesempatan kerja yang cukup tinggi terutama di Kalimantan Timur bagi tenaga kerja dari luar wilayah ini sendiri yang dari sisi jumlah maupun kualitas sumberdaya manusia dapat dikategorikan belum memadai. Riau meskipun dalam kurun waktu sepeluh tahun menunjukkan penurunan jumlah imigran meskipun masih menjadi tujuan bagi pencari kerja terutama untuk aktivitas ekonomi di perkebunan kelapa sawit. Apakah migrasi yang dilakukan oleh para migran semata-mata untuk mendapat pekerjaan karena ketiadaan pekerjaan di tempat asal atau ada faktor lain yang mendorongnya?

Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dalam http://www.bps.go.id/ index.php/Subjek/ view/151#subjekViewTab3 (diunduh 2015 Juni 01)

(10)

Berdasarkan Gambar 2, pola migrasi risen menunjukkan fluktuasi dimana pada tahun 2000 ada kecenderungan tinggi, menurun pada tahun 2005 dan meningkat kembali pada tahun 2010. Jika dibandingkan dengan pola curah hujan sebagai salah satu indikator perubahan iklim pola migrasi pada sebagian wilayah di Indonesia dapat dikaitkan dengan kejadian perubahan iklim. Dengan membandingkan Gambar 1 dan 2, pada wilayah Jawa Barat dan Banten sebagai daerah asal maupun tujuan migran yang cukup fluktuatif memiliki pola yang hampir sama dengan pola curah hujan yang juga fluktuatif. Pada tahun 2010 ketika curah hujan mencapai titik tertinggi di Banten dan terendah di Jawa Barat migrasi keluar daerah dari kedua wilayah menunjukkan jumlah yang relatif tinggi terlebih jika dibandingkan jumlah emigran pada tahun 2005. Pada tahun 2010 dengan jumlah curah hujan yang tinggi ada beberpa wilayah pesisir di Banten mengalami bencana banjir dan sebagian wilayah di Jawa Barat terutama di dataran tinggi mengalami kekeringan. Kondisi ini mendorong sebagian individu untuk melakukan migrasi dalam upaya untuk mendapatkan penghasilan. Peningkatan curah hujan pada tahun 2012 terutama di Jawa Barat juga menyebabkan banjir di beberapa wilayah seperti yang disampaikan oleh Dharmawan et al. (2013) berdasarkan hasil penelitian di Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran. Curah hujan yang tinggi dan rusaknya hutan menyebabkan banjir tahunan yang terjadi di beberapa desa di Kecamatan Padaherang semakin lama surut. Banjir menyebabkan panen menjadi gagal dan genangan air menyebabkan lahan persawahan tidak dapat ditanami. Rumahtangga petani di wilayah tersebut sebagian kecil kemudian melakukan migrasi terutama di kota-kota besar di Jawa Barat dan DKI Jakarta sebagai buruh bangunan. Berdasarkan kasus tersebut dapat dikatakan bahwa migrasi secara tidak langsung didorong oleh perubahan iklim.

Di wilayah Provinsi Jawa Tengah terjadi kondisi yang sama dimana pada tahun 2010 terjadi peningkatan curah hujan yang tinggi telah menyebabkan bagian pesisir utara mengalami bencana banjir, salah satunya di Kota Semarang. Penelitian Hidayah (2011) melihat dampak perubahan iklim terhadap alasan/persepsi masyarakat Kota Semarang untuk melakukan migrasi. Berdasarkan survei, masyarakat di wilayah penelitian lebih memilih untuk bertahan di tempat tinggalnya sekarang. Persentase responden yang akan bermigrasi hanya sebesar 2%. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendapatan yang rendah, lokasi bekerja kepala keluarga yang berada di wilayah pesisir, serta masalah banjir itu sendiri. Masyarakat saat ini merasa bahwa banjir yang terjadi belum terlalu mengganggu aktivitas sehari-hari dalam kontek kebutuhan hidup (pendapatan) masih dirasa mencukupi.

(11)

pengentasan kemiskinan dan pembangunan akibat guncangan dan tekanan lingkungan jangka panjang.

Hubungan tekanan lingkungan dan kemiskinan dalam kasus perubahan iklim di Indonesia coba dilihat dengan membandingkan jumlah curah hujan (Gambar 1) dan jumlah penduduk miskin (Gambar 3) di Indoensia dalam kurun waktu 12 tahun. Berdasarkan kedua gambar, terutama pada masa anomali iklim di tahun 2009/2010 terjadi kecenderungan jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2000. Wilayah yang cenderung mengalami peningkatan kemiskinan adalah wilayah Jawa dan Banten dimana kecenderungan jumlah curah hujan pada masa tersebut tinggi sekali atau sangat rendah. Dengan kata lain, kemiskinan meningkat karena banyaknya bencana (banjir atau kekeringan) sehingga pendapatan masyarakat cenderung turun yang dimungkinkan karena lahan-lahan pertanian tidak dapat berproduksi dengan baik. Pada tahun tersebut migrasi keluar dari wilayah ini juga cenderung meningkat. Di luar Jawa, Provinsi Jambi pada tahun 2010 juga mengalami peningkatan jumlah penduduk miskin yang sejajar dengan meningkatnya jumlah curah hujan meskipun tidak mendorong terjadinya migrasi. Hal ini dimungkinkan karena Provinsi Jambi merupakan salah satu daerah dengan perkebunan sawit yang cukup luas sehingga ketergantungan pada lahan sawah yang kemungkinan terkena banjir cenderung rendah.

Sumber data: BKKBN (2013) dan BPS (2014)

Gambar 3. Indonesia: jumlah penduduk miskin menurut provinsi tahun 2000-2012

Berdasarkan kasus-kasus dan hubungan antara pola curah hujan, pola migrasi dan jumlah penduduk miskin terlihat bahwa tekanan lingkungan dalam hal ini perubahan iklim pada beberapa wilayah mendorong terjadinya migrasi ke luar daerah namun pada wilayah yang lain tidak mempengaruhi pola migrasi. Jika dihubungkan dengan jumlah penduduk miskin terjadi kecenderungan peningkatan jumlah penduduk miskin karena perubahan iklim. Perubahan iklim dalam hal ini mendorong individu atau rumahtangga untuk beradaptasi dan memilih strategi nafkah agar tetap bertahan hidup. Pilihan strategi adaptasi terhadap variasi iklim dapat berbeda-beda yang menurut Dharmawan et al. (2014)

(12)

basis sumber nafkah dengan kepemilikan lahan yang cukup luas sebagai modal fisik; (2) pola nafkah ganda bagi rumahtangga petani yang sudah tidak dapat mengandalkan

sektor pertanian karena modal fisik berupa lahan semakin sempit sehingga harus memanfaatkan peluang ekonomi di luar pertanian untuk bertahan hidup; (3) migrasi ke luar desa bagi rumahtangga petani yang tidak memiliki modal fisik berupa lahan dan tidak ada alternatif sumbernafkah lain yang dapat diperoleh di dalam desa; (4) memanfaatkan tabungan atau likuidasi barang-barang berharga bagi rumahtangga yang memiliki modal finansial untuk bertahan sementara dari krisis atau berhutang bagi rumahtangga yang memiliki modal sosial untuk menjaminkan kebutuhan hidupnya sementara dari pinjaman pada pihak ketiga (perorangan atau lembaga); dan (4) pasrah atau mengharapkan bantuan dari pihak lain dilakukan oleh rumahtangga yang tidak berdaya lagi untuk melakukan apapun karena ketiadaan livelihoods capital.

Migrasi sebagai strategi nafkah bukan menjadi pilihan utama sepanjang modal nafkah yang lain masih mampu menjamin kelangsungan hidup rumahtangga meskipun terjadi krisis akibat perubahan iklim. Perubahan iklim akan medorong terjadinya migrasi pada kasus di Indonesia jika rumahtangga tidak memiliki alternatif sumber nafkah di dalam desa yang menjamin kelangsungan hidupnya. Kondisi tersebut pada umumnya terjadi di desa-desa yang cenderung miskin sumberdaya yang akan semakin miskin akibat terjadinya perubahan iklim yang menimbulkan kerusakan pada sumberdaya yang ada atau ketidakpastian untuk mendapatkan manfaaat dari sumberdaya yang tersisa. Pada konteks Indonesia, migrasi menjadi strategi adaptasi terhadap perubahan iklim dan bukan menjadi permasalahan kependudukan karena perpindahan penduduk secara besar-besaran akibat dampak negatif perubahan iklim seperti yang terjadi di Bangladesh dan Papua Nugini. Namun demikian apapun penyebabnya, migrasi akan menimbulkan permasalahan baru di lokasi tujuan jika jika asal migran adalah wilayah miskin dengan sumberdaya manusia yang bermigrasi relatif tidak terampil. Antisipasi terhadap dampak migrasi sebagai proses adaptasi terhadap perubahan iklim perlu dilakukan sejak dini oleh berbagai pihak baik di lokasi asal migran maupun daerah-daerah yang berpotensi menjadi tujuan migrasi sehingga tidak menimbulkan masalah baru.

Penutup

(13)

Pola jumlah curah hujan yang semakin bervariatif dan fenomena anomali iklim yang semakin pendek jangka waktunya meningkatkan kerentanan rumahtangga yang sumbernafkah utamanya tergantung dengan alam (petani dan nelayan). Kerentanan semakin tinggi jika ketersediaan sumberdaya alam semakin terbatas (wilayah miskin) sehingga masyarakat perlu melakukan strategi adaptasi untuk mengurangi kerentanan akibat perubahan iklim. Strategi adaptasi ini yang dalam sosiologi nafkah dikenal sebagai strategi nafkah yang dalam konteks hubungan antara perubahan iklim dan migrasi dapat menjadi variabel antara. Migrasi sebagai salah satu bentuk strategi nafkah menjadi salah satu strategi adaptasi bukan masalah dalam isu perubahan iklim.

Daftar Pustaka

[BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (ID). 2013. Profil Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia Tahun 2013. Jakarta.

[BKP] Badan Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Barat (ID) dan [UN WFP] United Nations World Food Programme. 2011. Strategi dan rencana aksi ketahanan pangan menghadapi perubahan iklim.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Indonesia 2014. Jakarta (ID).

Dharmawan AH, Putri EIK, Mardianingsih DI, Tarigan H, Thirtawati. 2014. Mekanisme adaptasi dan resiliensi masyarakat petani terhadap variabilitas iklim: studi kasus masyarakat tani di Jawa Barat dan Sumatera Selatan [laporan akhir]. Bogor. PSP3-LPPM IPB dan Balitbang Pertanian.

Dharmawan AH, Putri EIK, Mardianingsih DI, Amalia R. 2013. Krisis ekologi hutan yang berdampak terhadap unsustainable livelihood system rumahtangga petani (studi kasus hutan di Jawa Barat) [laporan akhir]. Bogor. PSP3-LPPM IPB dan DIKTI. Enam sektor penyumbang terbesar emisi karbon [Internet]. [diunduh Juni 2015]. Tersedia

pada: http://www.beritasatu.com/iptek/49835-6-sektor-penyumbang-terbesar-emisi-karbon.html.

Guzmán J M. Martine G. McGranahan G. Schensul D. Tacoli C (ed). 2009. Population dynamics and climate change. UNFPA and IIED.

Hidayah N. 2009. Studi preferensi migrasi masyarakat Kota Semarang sebagai akibat perubahan iklim global jangka menengah [tugas akhir]. Semarang (ID). Universitas Diponegoro.

[KLH] Kementrian Lingkungan Hidup (ID). 2013. Pertemuan penanganan dampak perubahan iklim KLH-NTT [Internet]. [diunduh Juni 2015]. Tersedia pada: http://www.menlh.go.id/pertemuan-penanganan-dampak-perubahan-iklim-klh-ntt. Leckie Scott. 2009. Climate-related disasters and displacement: homes for lost homes,

lands for lost lands. in Guzmán J M. Martine G. McGranahan G. Schensul D. Tacoli C (ed). 2009. Population dynamics and climate change. UNFPA and IIED. Litbang Pertanian. Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian [Internet].

(14)

Locatelli B. Kanninen M. Brockhaus M. Colfer C.J.P. Murdiyarso D. dan Santoso H. 2008. Facing an uncertain future: how forests and people can adapt to climate change. Forest Perspectives. 5. Bogor (ID). CIFOR.

Rusli Said. 1995. Pengantar ilmu kependudukan. Jakarta (ID). LP3ES.

Scoones Ian. 1998. Sustainable rural livelihoods a framework for analysis. IDS Working Paper 72.

Supari. 2014. Sejarah dampak el nino di Indonesia [Internet]. [diunduh Juni 2015]. Tersedia pada: http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Publikasi/Artikel/Sejarah_ Dampak_ El_Nino_di_Indonesia.bmkg.

Supangat A. 2013. Perubahan Iklim di Indonesia [Internet]. [diunduh Juni 2015]. Tersedia pada:http://sains.kompas.com/read/2013/04/01/11290330/Perubahan.Iklim.di.Indo-nesia

Surmaini E. Runtunuwu E. Las I. 2011. Upaya sektor pertanian dalam menghadapi perubahan iklim. Jurnal Litbang Pertanian. 30(1):1-7.

Tacoli Cecilia. 2009. Crisis or adaptation? Migration and climate change in a context of high mobility in Guzmán J M. Martine G. McGranahan G. Schensul D. Tacoli C (ed). 2009. Population dynamics and climate change. UNFPA and IIED.

Gambar

Gambar 1. Pola curah hujan menurut provinsi di Indonesia tahun  2000-2012
Gambar 2. Pola imigrasi dan emigrasi risen  menurut provinsi di Indonesia tahun 2000, 2005, 2010
Gambar 3. Indonesia: jumlah penduduk miskin menurut provinsi tahun 2000-2012

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan perilaku anak digunakan dengan tujuan agar dapat lebih memahami kebutuhan anak-anak tiap kelompok usia, karena setiap kelompok usia anak memiliki

Perkara klasik dengan muatan ‘ umu > m al-balwa > didalamnya sebagai putusan (justifi kasi) dan upaya menjembatani terhadap perkara-perkara yang bisa saja dialami

6 Ia menyuruh memanggil Barak bin Abinoam dari Kedesh di daerah Naftali, lalu berkata kepa- danya: "Bukankah TUHAN, Allah Israel, memerintahkan demikian:

Perangkat Daerah, perlu menetapkan Peraturan Walikota tentang Pembentukan, Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Malang

Menentukan variabel atau peubah yang terlibat dalam suatu percobaan tentang pengaruh pupuk terhadap laju pertumbuhan tanaman juga termasuk kegiatan merancang

Sedangkan Analog Bandwidth adalah perbedaan antara frekuensi terendah dengan frekuensi tertinggi dalam sebuah rentang frekuensi yang diukur dalam satuan Hertz (Hz)

Kinerja Dinas Badan Kepegawaian Daerah di Kabupaten Kendal sudah dikatakan dilihat dari lima dimensi yaitu produktivitas dalam keseuaian anggaran sudah mencukupi

informasi yang diberikan oleh PPK dan data barang/jasa yang terdapat pada sistem E-Catalogue sebagaimana tercantum pada portal pengadaan nasional. Pengiriman