• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN RIWAYAT BERAT BADAN LAHIR (BBL) DENGAN PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS ANAK USIA 2-5 TAHUN Hubungan Riwayat Berat Badan Lahir (BBL) Dengan Perkembangan Motorik Halus Anak Usia 2-5 Tahun Di Posyandu Gonilan Kartasura.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN RIWAYAT BERAT BADAN LAHIR (BBL) DENGAN PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS ANAK USIA 2-5 TAHUN Hubungan Riwayat Berat Badan Lahir (BBL) Dengan Perkembangan Motorik Halus Anak Usia 2-5 Tahun Di Posyandu Gonilan Kartasura."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN RIWAYAT BERAT BADAN LAHIR (BBL) DENGAN PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS ANAK USIA 2-5 TAHUN

DI POSYANDU GONILAN KARTASURA

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan Oleh : Miss Iman Chapakia

J500120024

FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)
(3)

HUBUNGAN RIWAYAT BERAT BADAM LAHIR (BBL) DENGAN PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS ANAK USIA 2-5 TAHUN

DI POSYANDU GONILAN KARTASURA

Iman Chapakia, Mohammad Shoim Dasuki, Anika Candrasari Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

ABSTRAK

Fase terpenting dalam perkembangan anak adalah usia antara 2-5 tahun yaitu merupakan periode keemasan (golden age) dalam proses perkembangan. Di Indonesia sekitar 5-10% anak mengalami keterlambatan perkembangan. Badan Lahir (BBL) merupakan salah satu faktor kunci pembangunan di semua aspek perkembangan. Dimana berat badan lahir yang rendah dapat dikaitkan dengan perkembangan, pendidikan, dan perilaku yang merugikan di masa mendatang. Oleh karena itu harus mendeteksi dini tumbuh kembang anak. Untuk menilai perkembangan anak banyak instrumen yang dapat digunakan salah satunya yaitu DDST II (Denver Development Screening Test II).Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adakah hubungan riwayat berat badan lahir dengan perkembangan motorik halus anak usia 2-5 tahun di Posyandu Gonilan Kartasura. Penelitian ini menggunakan metode observational analytic dengan desain case control retrospective. Sampel penelitian diambil secara purposive sampling. Berupa data primer yaitu melakukan tes Denver II pada anak usia2-5 tahun di Posyandu Gonilan Kartasura sebanyak 60 sampel yang memenuhi kriteria inklusi. Analisis data menggunakan uji statistic Chi Square. Hasil analisis bivariat dengan uji statistic Chi Square menunjukkan bahwa riwayat BBL berhubungan dengan perkembangan motorik halus didapatkan nilai p = 0.02 dan OR = 5.0

Kata Kunci : Golden Age, Berat Badan Lahir, Perkembangan Motorik Halus, Denver II

CORRELATION BETWEEN BIRTH WEIGHT WITH F INE MOTORIC DEVELOPMENT OF CHILDREN AGE 2-5 IN

POSYANDU GONILAN KARTASURA

ABSTRACT

(4)

Because of that, earlier detection should be held. One of instrument that used to assess the development DDST II (Denver Development Screening Test II). The purposes of this study is to analyze correlation between birth weight with fine motoric development of children age 2-5 in Posyandu Gonilan Kartasura. This study used an analytical observational study with case control retrospective design. The samples in this study were chosen by purposive sampling. Assessment of development as a primary data was conducted by Denver II test on 60 samples of children age 2-5 according to inclusion criteria. Data analyzed using Chi Square. Analyzed data by using bivariate analysis with Chi square obtain there is correlation between birth weight with fine motoric development of children age 2-5 in Posyandu Gonilan Kartasura, p = 0.02 and OR = 5.0

Keyword : Golden Age, Birth Weight, F ine Motoric Development, Denver II

Latar Belakang

Berat badan lahir merupakan

salah satu indikator kesehatan bayi

baru lahir. Rerata berat bayi normal

adalah 3200 gram (7 lbs). Secara

umum, bayi berat lahir rendah dan

bayi dengan berat berlebih lebih besar

risikonya untuk mengalami masalah

(Damanik, 2009).

WHO memperkirakan bahwa

diseluruh Dunia, 16% dari semua bayi

lahir mempunyai berat < 2500 gram

(BBLR). Dari jumlah ini, frekuensi

BBLR 90% berasal dari negara-negara

berkembang (Khasanah, 2003;

Qobadiyah, dkk, 2012), dan

3,6-10,8% dari negara-negara maju

(Cunningham, 2006; Qobadiyah, dkk,

2012). BBLR lebih sering terjadi di

negara-negara berkembang dan sosial

ekonomi rendah (Pantiawati, 2010;

Tazkiah, 2013).

Presentase berat badan bayi baru

lahir menurut Provinsi, Riskesdas

2013 di Indonesia terdapat 85%

dengan berat badan lahir normal dan

15% dengan berat badan lahir yang

tidak normal (10,2% BBLR dan 4,8%

BBLL). Sedangkan di Jawa Tengah

terdapat 9,7% BBLR, dengan ranking

ke-16 di Indonesia (Kemenkes RI,

2014).

Berat lahir merupakan salah satu

faktor kunci pembangunan di semua

aspek perkembangan (Zareien, dkk.,

2014) sangat berguna dan penting

(5)

mengemukakan faktor harapan hidup

dan kesehatan anak di masa

mendatang (Ehsanpour, dkk., 2005;

Zarien, dkk., 2014). Berat badan lahir

yang rendah dapat dikaitkan dengan

perkembangan, pendidikan, dan

perilaku yang merugikan di masa

kecil, masa remaja, dan di kemudian

hari (Mc Avovy, dkk., 2006;

Amarnath, dkk., 2014).

Fase terpenting dalam

perkembangan anak adalah ketika

masa bayi dan balita di bawah lima

tahun. Anak pada usia 2-5 tahun

merupakan periode keemasan (golden

age) dalam proses perkembangan,

yang artinya pada usia tersebut aspek

kognitif, fisik, motorik, dan

psikososial seorang anak

berkembangan secara pesat (Zaviera,

2008). Masalah perkembangan anak

seperti keterlambatan motorik,

berbahasa, perilaku autism, hiperaktif

di Amerika Serikat berkisar 12-16%,

Thailand 24%, Argentina 22%, dan di

Indonesia antara 13-18% (Hidayat,

2010). Pada tahun 2013 berdasarkan

data IDA diperkirakan 5-10% anak

mengalami keterlambatan

perkembangan (IDAI, 2013).

Perkembangan motorik anak berbagai

Negara berbeda. Dibandingkan

motorik anak-anak di negara-negara

Eropa Barat, maka perkembangan

motorik milestone pada anak

Indonesia tergolong rendah (Ginting,

2012).

Akibat bila perkembangannya

terhambat, karena kurangnya deteksi

dini tumbuh kembang, maka anak akan

kurang mampu menyesuaikan dan

melakukan tugas sehari-hari. Bahkan,

pada akhirnya juga menghambat

perkembangan akademik anak

(Dharma & Nakita, 2010; Krisdiyanto,

dkk, 2013). Untuk menilai

perkembangan anak banyak instrumen

yang dapat digunakan. Salah satu

instrumen skrining yang dapat dipakai

secara internasional untuk menilai

perkembangan anak adalah DDST II

(Denver Development Screening

Test). DDST II merupakan alat untuk

menemukan secara dini masalah

penyimpangan perkembangan anak

(Chamidah, 2009).

Berdasarkan uraian diatas penulis

(6)

mengenai hubungan riwayat Berat

Badan Lahir dengan perkembangan

motorik halus anak usia 2-5 tahun di

Posyandu Gonilan Kartasura. Hasil

penelitian ini diharapkan dapat

memberikan manfaat kepada

masyarakat Indonesia khususnya

kepada ibu sehingga dapat dijadikan

metode yang berkualitas untuk

pemantauan perkembangan anak.

Tujuan

Untuk mengetahui adakah hubungan

riwayat berat badan lahir dengan

perkembangan motorik halus anak usia

2-5 tahun di Posyandu Gonilan

Kartasura.

Metode

Penelitian bersifat analitik dengan

rancangan penelitian case control

retrospective. Penelitian dilaksanakan

di Posyandu Gonilan Kartasura pada

bulan December 2015. Sampel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah

anak umur 2-5 tahun yang diketahui

berat lahirnya dipilih secara purposive

sampling. Penentuan besar sampel

ditentukan berdasarkan rumus

perhitungan Notoatmojo yang

diperoleh hasil sebesar 60 responden.

Identifikasi variabel terdiri dari

variabel bebas : berat badan lahir,

variabel terikat : perkembangan

motorik halus. Metode yang digunakan

: DDST II. Alat yang digunakan :

kertas kosong, pinsil, dan balok-balok

berwarna.

Cara Kerja

1. Tetapkan umur kronologis

anak, tanyakan tanggal lahir anak yang

akan diperiksa. Gunakan patokan 30

hari untuk satu bulan dan 12 bulan

untuk satu tahun.

2. Jika dalam perhitungan umur

kurang dari 15 hari dibulatkan ke

bawah, jika sama dengan atau lebih

dari 15 hari dibulatkan ke atas.

3. Tarik garis berdasarkan

kronologis yang memotong garis

horizontal tugas perkembangan pada

formulir DDST.

4. Setelah itu dihitung pada

masing-masing sektor, berapa yang P

(7)

Hasil dan Pembahasan

Dari penelitian ini ditetapkan

masing-masing sampel sebesar 11

untuk kasus, dan 49 sebagai kontrol.

Karakteristik responden berdasarkan

data yang telah didapat meliputi jenis

kelamin, pendidikan ibu, pekerjaan

ibu, dan berat badan lahir yang tersaji

dalam tabel berikut.

[image:7.612.145.516.271.576.2]

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden

Tabel 5. Distribusi hubungan jenis kelamin dengan perkembangan motorik halus

Jenis Kelamin

Perkembangan Motorik Halus Total Nilai

p

Normal Suspek

F % F % F %

Laki-laki 30 50 4 6.7 34 56.7 0.133

Perempuan 19 31.7 7 11.7 26 43.3

Jumlah 49 81.7 11 18.3 60 100

Karakteristik responden Jumlah (orang) Persentase (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki 34 56.7

Perempuan 26 43.3

Pendidikan Ibu

Tidak Tamat SD 1 1.7

SD 4 6.7

SMP 19 31.7

SMA/SMK 32 53.3

Sarjana 4 6.7

Pekerjaan Ibu

IRT 42 70

Buruh 6 10

PNS 1 1.7

Swasta 11 18.3

Berat badan lahir (BBL)

BBLN 48 80.1

BBLR 12 19.9

Perkembangan Motorik Halus (PMH)

Normal 49 81.7

(8)
[image:8.612.140.505.137.257.2]

Tabel 6. Distribusi hubungan pendidikan ibu dengan perkembangan motorik halus

Pendidikan Ibu

Perkembangan Motorik Halus Total Nilai p

Normal Suspek

F % F % F %

Tidak Tamat SD

1 1.7 0 0 1 1.7 0.81

SD 3 5.0 1 1.7 4 6.7

SMP 16 26.7 3 5.0 19 31.7

SMA/SMK 25 41.7 7 11.7 32 53.3

Sarjana 4 6.7 0 0 4 6.7

[image:8.612.139.505.305.399.2]

Jumlah 49 81.7 11 18.3 60 100

Tabel 7. Distribusi hubungan pekerjaan ibu dengan perkembangan motorik halus

Pekerjaan Ibu

Perkembangan Motorik Halus Total Nilai p

Normal Suspek

F % F % F %

IRT 33 55 9 15 42 70 0.276

Buruh 4 6.7 2 3.3 6 10

PNS 1 1.7 0 0 1 1.7

Swasta 11 18.3 0 0 11 18.3

Jumlah 49 81.7 11 18.3 60 100

Table 8. Distribusi hubungan berat badan lahir dengan perkembangan motorik halus

Riwayat Berat Badan Lahir (BBL)

Perkembangan Motorik Halus Total Nilai p

Nilai OR

Normal Suspek

F % F % F %

BBLN 42 70 6 10 48 80 0.02 5.0

BBLR 7 11.7 5 8.3 12 20

Jumlah 49 81.7 11 18.3 60 100

Perbedaan jenis kelamin

berpengaruh pada keterampilan

motorik dan aktivitas anak (Samara,

dkk, 2012). Pahlevanian, dkk (2014)

menyimpulkan dalam penelitiannya

bahwa perempuan lebih menguasai

keterampilan motorik halus, sedangkan

pada laki-laki lebih dominan

menguasai keterampilan motorik

kasar. Dari penelitian yang dilakukan

oleh Vlachos, dkk (2014) dengan judul

perbedaan usia dan jenis kelamin

dalam keterampilan motorik pada anak

prasekolah. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa perempuan lebih

(9)

(kemampuan anak mengopi atau

mencontoh bentuk, huruf dan angka)

dan graphmotor (menulis,

menggambar) dibanding laki-laki,

sementara anak laki-laki lebih kearah

keterampilam keseimbangan.

Hal ini berbeda dengan

penyataan Gaul (2014) di dalam

tesisnya, perempuan memiliki

keterampilan motorik halus lebih

rendah dibanding laki-laki. Penelitian

ini melakukan pengukuran terhadap

gangguan motorik, dengan hasil 37%

perempuan memiliki gangguan

motorik, sementar pada laki-laki 12%.

Presentase ini dapat disimpulkan

bahwa perempuan lebih cenderung

mengalami kesulitan gerak dibanding

laki-laki. Sementara pada hasil

penelitian ini, disajikan pada tabel 5

telah menunjukkan anak perempuan

dinyatakan suspek sebesar 7 orang

(11.7%), sementara anak laki-laki

hanya 4 orang (6.7%). Setelah

dilakukan uji chi square didapatkan

nilai p = 0.133, yang artinya tidak ada

hubungan antara perbedaan jenis

kelamin dengan perkembangan

motorik halus.

Perbedaan jenis kelamin dalam

kemampuan motorik dapat

dipengaruhi oleh lingkungan, faktor

biologis, atau interaksi mereka.

Sebelum pubertas, karakteristik fisik

anak laki-laki dan perempuan adalah

sama, dan pengaruh lingkuan lebih

mungkin menjelaskan perbedaan jenis

kelamin dalam kemampuan motorik

(Samara, dkk, 2012).

Pendidikan ibu termasuk salah

satu faktor mempengaruhi

perkembangan motorik kasar maupun

halus (Husniati, 2007; Sitoresmi, dkk,

2015). Tingkat stimulasi dari keluarga

dan lingkungan sangat berpengaruh

terhadap perkembangan motorik

(Giagazoglou, dkk, 2007). Orang tua

yang berpendidikan tinggi akan

diharapkan untuk memberikan

stimulasi intelektual yang lebih besar

dan menciptakan lingkungan rumah

yang mendorong dan memfasilitasi

perkembangan anak. Ibu tetap sebagai

pengasuh utama bagi anaknya, ada

kemungkinan bahwa tingkat

pendidikannya akan memiliki dampak

yang kuat pada perkembangan anak

(10)

2007). Dalam penelitian Christi, dkk

(2013) menunjukkan ada hubungan

yang bermakna antara pengetahuan ibu

tentang stimulasi dini dengan

perkembangan motorik anak. Anak

yang mempunyai ibu dengan

pengetahuan yang kurang tentang

stimulasi dini akan berisiko labih besar

untuk mengalami dugaan

keterlambatan perkembangan motorik

daripada anak dengan ibu

berpengetahuan baik.

Akan tetapi pada penelitian ini

(table 6) sebagian besar responden

memiliki ibu berpendidikan SMA/

SMK yaitu sebesar 32 responden

(53.3%), namun perkembangan

motorik halus dinyatakan suspek

sebesar 7 respomden (11.7%),

sementara ibu yang berpendidikan

SMP 3 orang (5%), SD 1 orang

(1.7%), ibu yang tidak tamat SD

dantingkat sarjana tidak ditemukan

responden dengan hasil perkembangan

motorik halus suspek (0%).

Berdasarkan uji chi square didapatkan

nilai p = 0.81, yang artinya tidak ada

hubungan antara pendidikan ibu

dengan perkembangan motorik halus

anak. Hal ini mungkin dikarenakan

kurangnya pengalaman dan cara

mendidik anak yang benar. Akhirnya,

anak-anak juga memainkan peran

kunci dalam pengalaman belajar

mereka sendiri, seperti yang

dicontohkan oleh orang tuanya.

Status bekerja ibu dianggap

merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi perkembangan anak

(Arimurti, 2010; Sitoresmi, dkk,

2015). Hasil penelitian ini (table 7)

responden paling banyak memiliki ibu

bekerja sebagai IRT yaitu sebesar 42

orang (70%) dengan hasil

perkembangan motorik halus suspek

sebesar 9 orang (15%), sementara ibu

yang bekerja sebagai buruh 2 orang

(3.3%), PNS, dan swasta tidak

ditemukan (0%) dengan hasil

perkembangan motorik halus suspek.

Sebagian besar ibu responden bekerja

sebagai IRT, yaitu bekerja di rumah,

bisa bersama dan mengasuh anaknya

sendiri. Ibu memilki perran dalam

pemenuhan kebutuhan dasar anak yang

akan berdampak bagi perkembangan

anaknya. Berdasarkan uji chi square

(11)

tidak ada hubungan antara pekerjaan

ibu dengan perkembangan motorik

halus anak. Sesuai dengan penelitian

Sitoresmi, dkk (2015) menyimpulkan

bahwa tidak terdapat perbedaan yang

signifikan pada perkembangan motorik

anak antara ibu bekerja dan tidak

bekerja. Serupa dengan penelitian

Ariyanti (2010), tidak ditemukan

adanya perbedaan perkembangan

motorik halus pada anak, baik pada

anak yang ibunya bekerja maupun

tidak bekerja. Kesimpulan ini bersifar

definitif, karena sejumlah faktor

perancu seperti faktor genetic,

kuantitas dan intensita perhatian, kasih

sayang, interakksi anak dan ibu,

stimulasi dini, dan faktor-faktor

psikososial lainnya, mungkin menutupi

perbedaan perkembangan yang

sesungguhnya terjadi pada anak balita

dari kedua kelompok tersebut.

Berdasarkan Berat badan lahir

anak, hasil penelitian ini dapat

diketahui dari 60 responden yang

dilahirkan dengan berat badan normal

sebagian besar memiliki

perkembangan motorik halus normal

42 responden (70%), dan 6 responden

(10%) dengan hasil suspek, sedangkan

anak dengan BBLR terdapat 7

responden (11.7%) perkembangan

motorik halus normal, dan 5 responden

(8.3%) suspek pada perkembangan

motorik halus.

Berat badan lahir rendah

dianggap sebagai faktor risiko yang

kuat untuk keterlambatan

perkembangan motorik (Chaves, dkk,

2015). Bayi BBLR rentan terhadap

abnormal tanda-tanda neurologis,

koordinasi dan reflex, karena

komplikasi neonatal yang

menyebabkan perkembangan deficit

motor dan penundaan pada anak yang

menunjukkan gangguan motorik yang

akan mempengaruhi fungsi tangan dan

kinerja sekolah mereka (Nazi, 2012).

Sesuai dengan penelitian Nazi (2012)

dengan judul hubungan riwayat berat

badan lahir rendah dengan

perkembangan motorik halus.

Penelitian ini menggunakan metode

kohort prospektif dengan responden

sebanyak 32 anak, hasil penelitian ini

telah menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan antara

(12)

yaitu keterampilan pada anak dengan

riwayat BBLR cenderung terhambat.

Nilai p yang diperoleh yaitu 0.007,

artinya ada hubungan antara riwayat

berat badan lahir dengan

perkembangan motorik anak.

Pada hasil penelitian ini (tabel

8) setelah diuji chi square didapatkan

nilai p = 0.02. Oleh karena nilai p <

0.05 artinya ada hubungan antara

riwayat berat badan lahir dengan

perkembangan motorik halus. Di mana

nilai OR yang didapat yaitu sebesar 5

yang bermaksud anak dengan riwayat

BBLR mempunyai risiko 5 kali lipat

untuk masalah keterlambatan

perkembangan motorik halus halus

pada anak usia 2-5 tahun di Posyandu

Gonila Kartasura.

Namun demikian masih ada

anak dengan riwayat berat badan lahir

normal yang perkembangan motorik

halusnya suspek sebesar 6 orang

(10%), hal ini mungkin disebabkan

oleh berbagai faktor lain yang

mempengaruhi diantaranya pemberian

stimulasi yang baik. Menurut Depkes

(2006) stimulasi tumbuh kembang

anak dilakukan oleh ibu dan ayah yang

merupakan orang terdekat dengan

anak, pengganti/ pengasuh anak,

anggota keluarga lain dan kelompok

masyarakat di lingkungan rumah

tangga masing-masing dan dalam

kehidupan sehari-hari. Pemberian

stimulasi ini bisa diberikan berbagai

cara, seperti mengajak anak bermain,

bernyanyi, bervariasi, menyenangkan,

tanpa paksaan dan tidak ada hukuman,

menggunakan alat bantu/ permainan

yang sederhana dan aman. Kurangnya

stimulasi dapat menyebabkan

penyimpangan tunbuh kembang anak

bahkan gangguan menetap.

Berdasarkan pendapat Adolph, dkk,

(2007) bahwa 3 tanda untuk

menunjukkan keberhasilan

perkembangan motorik : (1)

melakakukan pergerakan, (2) perilaku

yang tertanam dalam lingkungan fisik

yang kaya dengan informasi sensorik,

dan membutuhkan persepsi untuk

tindakan yang efektif, dan (3)

pengembangan motorik berdasarkan

(13)

Kesimpulan

Terdapat hubungan antara riwayat berat badan lahir dengan perkembangan motorik halus anak usia 2-5 tahun di Posyandu Gonilan Kartasura.

Saran

1. Bagi Orang Tua

a. Untuk semua ibu hamil

hendaknya memeriksakan ANC

secara rutin khususnya ibu

hamil yang memiliki paritas

tinggi, jarak kehamilan dekat,

menderita penyakit sistemik,

dan pada kondisi sosial ekonomi

keluarga miskin, sehingga

kondisi janin dapat selalu

dipantau dengan baik.

2. Bagi Posyandu

a. Memberikan pelatihan

perkembangan motorik halus

pada anak-anak supaya di masa

mendatang tidak ada kendali

dalam hal gerakan motorik.

3. Bagi Masyarakat

a. Memperhatikan kesehatan

dengan memeriksakan

kehamilan untuk mencegah

berbagai komplikasi pada

kehamilan seperti BBLR

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Agar diteliti faktor risiko lain yang dapat mempengaruhi keterlambatan perkembangan motorik halus

Ucapan Terimakasih

(14)

Daftar Pustaka

Adolph K.E., Robinsons S.R., 2007. Motor Development. New York University (diakses taggal 18 Januari 2016)

Amarnath A., Jacob S., 2014. Low Birth Weight of Infants in Relation to Various Bio-Social variable. International Journal of Advanced Researh. 2(5) : 309

Ariyanti A., 2010. Perbedaan Perkembangan Anak Balita pada Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja Penilaian Menggunakan Metode Denver II. Thesis. Pp. 110

Chamidah A.N., 2009. Deteksi Dini Gangguan Pertumbuhan dan Perkebangan Anak. Jurnal Pendidikan Khusus. 5(2) : 84, 89, 92

Chaves R., Jone A.B., Games T., Souza M., Pareira S., dan Maia J., 2015. Efffects of Individual and School-Level Characteristucs on A Child’s Gross Motor Coordination Development. Int. J. Environ. Res. Public Health. 12 :8884

Christi A.Y., Syamlan R., dan Kusuma I.F., 2013. Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Stimulasi Dini dengan Perkembangan Motorik pada Anak Usia 6-24 Bulan di Kecematan Mayang Kabupaten Jember. Atrikel Ilmiah. pp2

Depkes RI, 2006. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta : Depkes RI.

Damanik S.M., 2009. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta : Badan Penerbit IDAI pp.11

Giagazoglou P., Kyparos A., Fotiadou E., dan Angelopoulou N., 2007. The Effect of

Residence Area and Mather’s Education and Motor Development of

Preschool Aged Children in Greece. Early child Development and Care. 177(5) : 480

Ginting T., 2012. Hubungan Pengetahuan dengan Sikap Ibu dalam Memantau Perkembangan Motorik pada Batita (1-3 Tahun) di Dusun VIII Desa Kolam Kec.Percut Sei Tuan medan Tahun 2012. Jurnal Darma Agung (diakses tanggal 10 November 2015)

(15)

Hidayat A.A., 2010. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta : salemba Medika

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), 2013. Mengenal Keterlambatan Perkembangan Umum pada Anak (diakses tanggal 3 September 2015)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta : Kemenkes RI pp.87-88

Krisdiyanto E., Arwani, dan Purnomo, 2013. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perkembangn Motorik Anak Usia 3-5 Tahun. Pp.2 (diakses tanggal 3 Seprember 2015)

Nazi S., 2012. Fine Motor Development of Low Birth Weight Infants at the Corrected Aged of 8 to 12 Months. Iranian Rehabilitation Journal. 10(16) : 22

Pahlevanian A.A, dan Ahmadizadeh Z., 2014. Relationship between Gender and Motor Skill in Preschoolers. Middle East J Rehabil Health. 1(1) :1

Qobadiyah T.P., Mustain, dan Maryanti, 2012. The Influence of Size Upper Arm Circumference (LLA) Third Trimester Pregnant Women on the Birth Weight Babies in BPS Sujamil jatinom Klaten. Jurnal Ilmu Kesehatan. 4(2)

Samara D., Sidarta N., Meidiana D., dan Noviyanti, 2012. Gender Impacts on Motor Skill Perficiency-Physical Activity Reslahionship in Children. 31(3) : 193, 197

Sitoresmi, Kusnanto, dan Krisnana, 2015. Perkembangan Motorik Anak Toddler pada Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekarja. Jurnal Pediomateranal. 3(1) : 66

Tazkiah M., Wahyuni C.U., dan Martini S., 2013. Determinan Epidemiologi Kejadian BBLR pada daerah Endemis Malaria di Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal Berkala Epidemiologi. 1(2) : 266

Vlachos F., Papadimitriou A., dan Bonoti F., 2014. An Investigantion of Age and

Gender Difference in Preschool Children’s Specific Motor Skill. European

Psychomotricity Journal. 6(1) : 16, 18

(16)

Gambar

Tabel 5. Distribusi hubungan jenis kelamin dengan perkembangan motorik halus
Tabel 6. Distribusi hubungan pendidikan ibu dengan perkembangan motorik halus

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pemahaman siswa terhadap konsep materi sudut dengan kemampuan menghitung besar sudut pada segitiga di kelas VII

penelitian ini berasal dari pimpinan dan pegawai Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah Cabang Semarang yang terlibat dalam pengelolaan pembiayaan jual

Lintasan Hamilton adalah lintasan yang melalui setiap simpul di dalam graf tepat satu kali. Bila lintasan itu kembali ke simpul awal dan membentuk lintasan tertutup maka

Seperti yang dikemukakan olen Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga.. Tesis Wayang Topeng

Rencananya KPU DIY akan melakukan koordinasi dengan badan eksekutif mahasiswa dan perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi untuk memfasilitasi

Kader posyandu lansia berkunjung ke rumah lansia yang tidak hadir dalam kegiatan posyandu lansia untuk memantau keadaan

Teknik observasi merupakan teknik pengumpulan dengan cara pengamatan langsung ke lokasi penelitian dengan objek yang akan diteliti sehingga data yang diperoleh sesuai