• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis kinerja usaha penggilingan padi, studi kasus pada tiga usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis kinerja usaha penggilingan padi, studi kasus pada tiga usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KINERJA USAHA PENGGILINGAN PADI

STUDI KASUS PADA TIGA USAHA PENGGILINGAN PADI

DI KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT

TURSINA ANDITA PUTRI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Kinerja Usaha Penggilingan Padi, Studi Kasus Pada Tiga Usaha Penggilingan Padi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat” adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun perguruan tinggi lain atau lembaga lain manapun. Sumber Informasi yang berasl atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

(4)

Kasus Pada Tiga Usaha Penggilingan Padi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI.

Pemerintah mempertahankan harga gabah di tingkat tertinggi untuk melindungi pendapatan petani sebagai produsen beras. Kondisi ini membuat tingginya biaya produksi usaha penggilingan padi. Di sisi lain, intervensi pemerintah dalam penentuan harga beras melalui pengaturan harga tertinggi untuk melindungi kesejahteraan konsumen membuat harga beras sebagai output dari usaha penggilingan padi rendah dan kemudian menurunkan pendapatan bisnis penggilingan. Kebijakan pemerintah terhadap harga gabah dan beras dapat mengurangi pendapatan usaha penggilingan padi. Multiple case study mencoba memotret aktivitas dan manajemen usaha penggilingan padi guna mengidentifikasi variabel kunci yang mempengaruhi kinerja usaha penggilingan padi. Ada tiga usaha penggilingan padi yang dipilih menjadi kasus pada penelitian ini, yaitu usaha maklon, non maklon, dan gabungan (maklon dan non maklon). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja usaha non maklon yang lebih baik daripada usaha maklon dan kombinasi (maklon dan non maklon). Analisis keuangan menunjukkan bahwa tiga jenis usaha penggilingan padi menguntungkan. Maklon lebih efisien dari kedua usaha lainnya karena produk usaha adalah jasa sehingga tidak terpengaruh oleh kebijakan harga. Jenis usaha, harga input dan output, dan manajemen pengolahan hasil sampingan akan menjadi variabel kunci yang menentukan kinerja bisnis. Variabel ini harus lebih dipelajari dalam penelitian masa depan.

Kata Kunci: kinerja, multiple case study, usaha penggilingan padi

ABSTRACT

TURSINA ANDITA PUTRI. Rice Milling Business Performance Analysis, Case Studies in Three Rice Milling Enterprises in Cianjur, West Java. Supervised by NUNUNG KUSNADI.

(5)

research.

(6)
(7)

ANALISIS KINERJA USAHA PENGGILINGAN PADI

STUDI KASUS PADA TIGA USAHA PENGGILINGAN PADI

DI KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT

TURSINA ANDITA PUTRI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

NRP : H34090003

Disetujui oleh

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen

(10)

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kinerja Usaha Penggilingan Padi Studi Kasus Pada Tiga Usaha Penggilingan Padi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat”. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah dan pemimpin terbaik bagi umat manusia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku pembimbing. Ibu Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si dan Ibu Dr. Ir. Netti Tinaprillina, MM selaku dosen penguji atas saran dalam perbaikan skripsi ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dra. Yusalina, MSi yang senantiasa mengarahkan dan membantu penulis dalam menjalani masa-masa perkuliahan sebagai wali akademik. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada keluarga Bapak Nanan, Bapak H. Asep, Bapak H. Apud, Bapak H. Miftah, dan Bapak Jenit selaku pemilik dan pengelola usaha penggilingan serta Bapak Yayat Duriat dan Bapak Nasep sudrajat beserta staf Balai Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan Gekbrong atas bantuan dan arahannya selama penulis mengumpulkan data di lokasi penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, umak, serta seluruh keluarga, atas segala doa, support, dan kasih sayangnya. Terima kasih dan tetap semangat untuk teman-teman Agribisnis 46 dan penghuni setia Kost Griya Pink.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2013

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 7

Tujuan Penelitian 10

Manfaat Penelitian 11

Ruang Lingkup Penelitian 11

TINJAUAN PUSTAKA 11

Pola Usaha Penggilingan Padi 12

Pengelolaan Usaha Penggilingan Padi 13

Struktur Biaya 14

Kinerja Usaha Penggilingan Padi 15

KERANGKA PEMIKIRAN 17

Kerangkat Pemikiran Teoritis 17

Konsep Kinerja Usaha 18

Konsep Manajemen Usaha 19

Konsep Pendapatan 23

Konsep Imbangan Penerimaan dan Biaya 26

Kerangka Pemikiran Operasional 27

METODE PENELITIAN 30

Lokasi dan Waktu Penelitian 30

Metode Penelitian 30

Metode Pengumpulan Data 30

Metode Analisis dan Pengolahan Data 31

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN USAHA

PENGGILINGAN PADI KASUS 33

Keadaan Wilayah, Topografi, dan Demografi Lokasi Penelitian 33 Keadaan Wilayah dan Topografi Kabupaten Cianjur 33

Keadaan Demografi penduduk 35

Gambaran Umum Usaha Penggilingan Padi di Cianjur 36 Gambaran Umum Usaha Penggilingan Padi Kasus 38

Alamat Usaha Penggilingan Padi Kasus 38

Sejarah Usaha 39

Tipe Usaha 43

Kapasitas Produksi 45

Bentuk dan Perizinan Usaha 45

Kepemilikan Aset Usaha 48

Modal Kerja 64

Karakteristik Pelaku Usaha Penggilingan Padi Kasus 66

ANALISIS KINERJA USAHA PENGGILINGAN PADI 67

Aktivitas Pengusahaan Penggilingan Padi 67

Aktivitas Pengadaan Gabah 68

(12)

Aktivitas Pengolahan Gabah 76

Aktivitas Pengolahan Beras 81

Aktivitas Penjualan Beras 82

Pengelolaan Produk Sampingan Produksi 86

Pengelolaan Sekam 86

Pengelolaan Dedak 88

Pengelolaan Menir dan Broken Rice 89

Manajemen Pengusahaan Penggilingan Padi 90

Perencanaan (Planning) 90

Pengorganisasian (Organizing) 94

Pengarahan (Actuating) 96

Pengawasan (Controlling) 98

Analisis Pendapatan Pengusahaan Penggilingan 99

Penerimaan Usaha Penggilingan Padi 99

Pengeluaran Usaha Penggilingan Padi 101

Analisis Pendapatan dan Imbangan Penerimaan dan Biaya 103

Analisis Harga Pokok Penjualan Beras 104

SIMPULAN DAN SARAN 107

Simpulan 107

Saran 108

DAFTAR PUSTAKA 108

LAMPIRAN 111

DAFTAR TABEL

1 Persentase pengeluaran rata-rata per kapita sebulan

kelompok barang konsumsi di indonesia tahun 2012 2 2 Perkembangan jumlah produksi, konsumsi, dan

impor beras indonesia tahun 1971-2010 4

3 Jumlah usaha penggilingan padi di Indonesia

pada Tahun 2008 dan 2012 5

4 Potensi kerugian akibat kehilangan pascapanen

di Indonesia Tahun 2011 6

5 Jumlah ketersediaan dan kebutuhan konsumsi beras penduduk

di Kabupaten Cianjur Tahun 2008-2011 34

6 Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin 35 7 Luas wilayah dan jumlah penduduk menurut wilayah pengembangan

di Kabupaten Cianjur Tahnu 2011 36

8 Alamat masing-masing usaha penggilingan padi kasus 38 9 Sejarah masing-masing usaha penggilingan padi kasus 39 10 Tipe masing-masing usaha penggilingan padi kasus 44 11 Bentuk dan jenis perizinan pada usaha penggilingan padi kasus 46 12 Kepemilikan tanah dan banguan usaha penggilingan padi kasus 48 13 Jenis mesin giling yang dimiliki usaha penggilingan padi kasus 58 14 Peralatan pada masing-masing usaha penggilingan padi kasus 61 15 Jumlah tenaga kerja pada masing-masing

(13)

16 Identitas pelaku usaha masing-masing usaha penggilingan padi kasus 66 17 Biaya transportasi unuk kendaraan operasional pada PB. Jembar Ati 85 18 Tipe kepemimpinan pada masing-masing manajer

usaha penggilingan padi kasus 97

19 Penerimaan masing-masing usaha penggilingan padi kasus

per ton beras yang dihasilkan Tahun 2012 100 20 Biaya yang dikeluarkan masing-masing usaha penggilingan padi

kasus per ton beras yang dihasilkan Tahun 2012 102 21 Analisis pendapatan dan imbangan penerimaan dan biaya

pengusahaan penggilingan padi per ton beras yang dihasilkan 103 22 Persentase masing-masing komponen penerimaan

usaha penggilingan padi kasus Tahun 2012 105 23 Harga pokok pejualan per ton beras yang dihasilkan

masing-masing penggilingan padi kasus 106 24 Perbandingan harga penjualan dan harga pokok penjualan

per kilogram beras pada masing-masing

usaha penggilingan padi kasus 106

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan Produktivitas Padi Nasional Tahun 2007-2012 3 2 Rata-Rata Harga Gabah di Tingkat Penggilingan dan 8 3 Kurva biaya total dan biaya per unit jangka pendek 26 4 Kerangka Pemikiran Operasional Kinerja Usaha Penggilingan Padi

Di Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat 29 5 Peta Wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat 33 6 Diagram Penyebaran Penduduk Berdasarkan Lapangan Usaha

di Kabupaten Cianjur 36

7 Contoh Surat Izin Usaha Penggilingan Padi Kasus 47 8 Lokasi Tempat Produksi Beras PB. Doa Sepuh 49 9 Lokasi Tempat Produksi Beras PB. Laksana Jaya 50 10 Lokasi Tempat Produksi Beras PB. Jembar Ati 52 11 Lokasi Tempat Pengolahan dan Packaging Beras PB. Jembar Ati 52 12 Lantai Jemur pada Masing-Masing Usaha Penggilingan Padi Kasus 53

13 Mesin Husker pada Penggilingan Padi 54

14 Mesin Polisher pada Penggilingan Padi 55 15 Rangkaian Mesin Husker dan Polisher pada Usaha Penggilingan Padi 55 16 Mesin Cleaner, Separator, dan Rice Grader 56 17 Alat Penggerak Mesin Penggilingan Pada

Usaha Penggilingan Padi Kasus 58

18 Ruangan-ruangan pada Oven PB. Jembar Ati 60 19 Jenis Timbangan Mekanik pada Usaha Penggilingan Padi Kasus 61 20 Peralatan Tambahan Aktivitas Usaha Penggilingan Padi Kasus 62 21 Tahap-Tahap Pengolahan Gabah Menjadi Beras pada

Usaha Penggilingan Padi kasus 77

22 Struktur Organisasi pada PB. Doa Sepuh 95

(14)

24 Struktur Organisasi pada PB. Jembar Ati 96

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Tabel luas panen, produktivitas, dan produksi tanaman padi

di Indonesia Tahun 2012 112

2. Produksi padi sawah menurut kabupaten dan kota di Jawa Barat

Tahun 2007 - 2011 113

3. Banyaknya usaha penggilingan padi menurut skala usaha

di masing-masing provinsi di Indonesia Tahun 2012 114 4. Usaha penggilingan padi berdasarkan kecamatan

di Kabupaten Cianjur tahun 2010 115

5. Biaya pada masng-masing usaha penggilingan padi kasus

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman pangan merupakan subsektor pertanian yang bersentuhan langsung dengan kehidupan manusia tidak hanya secara sosial budaya, namun juga ekonomi bahkan politik. Kebijakan yang menyangkut tanaman pangan akan menimbulkan multiplier effect dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan karena sub-sektor tanaman pangan merupakan penyedia bahan pangan bagi penduduk. Selain itu, sub-sektor ini juga memiliki peran penting dalam perekonomian. Dapat diketahui bahwa pada tahun 2012 (angka sangat sementara) sub-sektor tanaman pangan mampu menyumbang sekitar 15,65 persen dari total Produk Domestik Bruto Non Migas dan telah menjadi mata pencaharian bagi 39.328.915 jiwa penduduk Indonesia (BPS 2012).

Komoditas tanaman pangan terdiri dari dua bagian besar, yaitu padi-padian

(cereals) dan umbi-umbian (tubers). Tanaman pangan yang tergolong kategori

cereals adalah padi, jagung, sorgum, kedelai, kacang hijau, dan gandum.

Sedangkan tubers terdiri atas ubi kayu dan ubi jalar. Beras sebagai produk olahan utama dari padi (Oryza sativa) merupakan komoditas pangan yang memiliki karbohidrat yang tinggi jika dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya. Hal inilah yang kemudian mempengaruhi jumlah konsumsi masyarakat terhadap beras.

Budaya mengkonsumsi produk olahan beras yang ditanamkan sejak revolusi hijau juga berpengaruh positif pada permintaan beras. Penduduk Indonesia sejak kecil telah dikenalkan kepada beras atau nasi sebagai bahan makanan utama sehingga sebagian masyarakat menganggap bahwa makan diidentikkan dengan mengonsumsi nasi yang berasal dari beras. Fenomena lain menunjukkan bahwa ada beberapa wilayah di Indonesia bagian timur yang menggantungkan pangan utamanya pada beras, contohnya Malra, Maluku Tenggara. Hampir seluruh masyarakat di Malra mengkonsumsi nasi sebagai pangan pokoknya, namun di wilayah ini hampir tidak pernah ditemui tanaman padi sehingga kebutuhan beras selalu dipasok dari luar daerah, seperti Surabaya. Hal ini menunjukkan sebenarnya pada zaman dahulu sudah ada komoditas lokal yang menjadi pangan utama masyarakat. Pengalihan kebiasaan disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah pengaruh kebijakan orde baru dalam menyokong program swasembada beras sehingga pada akhirnya masyarakat terbiasa untuk mengkonsumsi beras.

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2012 Triwulan 1 diketahui bahwa pengeluaran penduduk Indonesia untuk konsumsi padi-padian mencapai 17,90 persen dari total pengeluaran konsumsi makanan per kapita per tahun. Fakta ini menjelaskan bahwa penduduk Indonesia masih bergantung pada beras untuk pemenuhan pangan pokoknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Khuimaidi (1997) yang menyatakan bahwa beras telah mengambil porsi terbesar dalam hidangan dan menjadi sumber energi terbesar bagi penduduk1.

1

(16)

Tabel 1 Persentase pengeluaran rata-rata per kapita sebulan menurut kelompok barang konsumsi di Indonesia Tahun 2012a

Kelompok Barang Konsumsi Jumlah Persentase (%/kap/tahun)

Padi-padian (beras) 57.908 17,90

Umbi-umbian 2.785 0,86

Ikan 26.600 8,22

Daging 13.075 4,04

Telur dan Susu 19.024 5,88

Sayur-sayuran 23.949 7,40

Makanan jadi 80.532 24,90

Tembakau dan sirih 39.038 12,07

Lain-lain 60.546 18,72

Jumlah makanan 323.478 100,00

a

Sumber: Badan Pusat Statistik 2012 (Diolah)

Beras merupakan salah satu komoditi pangan yang memiliki peran yang sangat strategis baik dari sisi produsen maupun konsumen. Seringkali beras dianggap sebagai kebutuhan dasar yang penting keberadaannya baik ditinjau dari aspek fisiologis, psikologis, sosial maupun antropologis bagi manusia.2 Ketersediaan beras di pasar akan berdampak signifikan pada kestabilan nasional, karena dengan persediaan beras yang cukup di pasar dan dengan harga yang terjangkau dapat menciptakan kondisi yang aman bagi suatu negara, terutama Indonesia. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki ketergantungan yang lebih kepada nasi sebagai panganan utama.

Salah satu upaya pemerintah dalam menyediakan beras sebagai pangan bagi sebagian besar penduduk Indonesia ditunjukkan melalui berbagai program kerja pengingkatan produktivitas padi. Gambar 1 Menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi produktivitas dari tahun 2007 hingga 2012. Pada tahun 2010 hingga 2011 terjadi penurunan produktivitas. Penurunan produksitas tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti praktek konversi lahan pertanian yang gencar dilakukan oleh penggiat bisnis properti. Hal ini terbukti dari adanya penurunan luas panen yang pada tahun 2010 yaitu 13,253 juta ha menjadi 13,204 juta ton pada tahun 2011 (BPS 2012). Namun, penurunan produktivitas ini menjadi motivasi bagi pemerintah untuk terus mengupayakan peningkatan produksi beras mengingat pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Upaya yang dilakukan sepertinya menampakkan hasil dimana pada awal tahun 2012 terdapat peningkatan produksi yang sangat signifikan.

2

(17)

Gambar 1 Perkembangan produktivitas padi nasional (ku/ha) Tahun 2007-2012 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012 (diolah)

Wilayah Indonesia yang menghasilkan beras dengan produktivitas tertinggi antara lain adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Lampung, Banten, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Jawa Barat dikenal sebagai lumbung beras nasional kedua setelah Provinsi Jawa Timur, dengan total luas areal panen mencapai 1,94 juta ha atau 14,46 persen dari luas panen nasional (Lampiran 1). Menurut Angka Ramalan II Badan Pusat Statistik pada tahun 2012, produktivitas rata-rata provinsi Jawa Barat mencapai 5,86 ton per Ha atau diatas rata-rata nasional yang hanya mencapai 5,12 ton per Ha, serta total produksi mencapai 11,40 juta ton atau 16,54 persen dari produksi nasional.

Jawa Barat sebagai lumbung padi nasional tidak terlepas dari peranan atau kontribusi masing-masing daerah untuk menghasilkan produksi padi. Hampir seluruh kabupaten atau kota di provinsi Jawa Barat melakukan budidaya tanaman padi. Kabupaten yang memiliki kontribusi terbesar pada total produksi padi di Jawa Barat adalah kabupaten Indramayu, yaitu mencapai 11,87 persen. Jumlah tersebut kemudian disusul oleh beberapa kabupaten lainnya, seperti Kabupaten Karawang, Subang, Garut, Tasikmalaya, dan Cianjur yang masing-masing menyumbang sebesar 10,16 persen; 9,36 persen; 7,30 persen; 7,13 persen; dan 6,36 persen (Lampiran 2).

Secara umum pemenuhan beras sebagai bahan pangan pokok saat ini mayoritas masih dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Namun, produksi padi dalam negeri belum mencukupi seluruh kebutuhan konsumsi nasional. Adapun perbandingan produksi dan konsumsi beras nasional Indonesia ditunjukkan pada Tabel 2.

47,05

48,94

49,99 50,15 49,80

51,19

44 45 46 47 48 49 50 51 52

(18)

Tabel 2 Perkembangan jumlah produksi, konsumsi, dan impor beras Indonesia

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012 (Diolah)

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa permintaan beras dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk Indonesia. Menurut hasil sensus Badan Pusat Statistik tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 237.556.363 jiwa dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk selama sepuluh tahun terakhir sebesar 1,49 persen per tahun. Pertumbuhan penduduk ini tidak diimbangi dengan pertumbuhan produksi padi nasional sepuluh tahun terakhir yang hanya mencapai 1.595.069 ton Gabah Kering Giling (GKG) per tahun. Selain itu, pertumbuhan permintaan juga didorong oleh konsumsi beras rata-rata penduduk Indonesia yang tergolong tinggi, yaitu sebesar 113,48 kg beras per kapita per tahun (BPS, 2012). Hal inilah yang kemudian menjadi alasan utama bagi pemerintah melakukan impor beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Mengantisipasi adanya kebijakan impor beras untuk memenuhi kebutuhan nasional, pemerintah melalui program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) menargetkan Indonesia mampu mencapai surplus 10 juta ton pada tahun 2014.

Jika dilirik dari proses produksi beras maka dapat diketahui bahwa beras merupakan produk turunan utama yang dihasilkan dari padi. Beras merupakan gabah yang telah dikupas kulit sekamnya dan telah mengalami proses penyosohan hingga warna putih (Sa’id, et al. 2002). Selain beras, padi juga menghasilkan produk turunan berupa dedak, beras menir, sekam, dan lain-lain. Pengolahan butir padi menjadi beras merupakan salah satu tahapan pascapanen. Proses pengolahan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Diawali dengan menggunakan penggilingan padi manual, yaitu proses menumbuk padi dengan menggunakan alu dan lesung hingga menggunakan mesin dengan teknologi canggih.

(19)

beras, baik dari segi kuantitas maupun kualitas untuk mendukung ketahanan pangan nasional.

Di Indonesia, sistem penggilingan padi umumnya terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu husker, separator, dan polisher. Bagian lainnya hanya merupakan bagian pendukung untuk memperoleh hasil produksi yang lebih baik. Sistem pengolahan gabah menjadi beras umumnya dikelola oleh pihak swasta secara komersial. Hampir seluruh usaha penggilingan padi di Indonesia dikelola oleh pihak swasta. Peran swasta dalam pengadaan beras melalui usaha penggilingan padi sangatlah besar. Sekitar 93 persen ketersedian beras di pasar merupakan akibat beroperasinya unit usaha penggilingan padi swasta (Patiwiri, 2004). Hal ini dilatarbelakangi oleh kemampuan individu petani yang terbatas dalam memiliki separangkat mesin penggilingan. Dari segi biaya, serangkaian mesin tersebut membutuhkan modal yang relatif besar. Selain itu, kepemilikan lahan sawah yang sempit dengan produksi padi yang sedikit membuat petani tidak efisien untuk memiliki mesin penggilingan secara individu.

Dari segi ekonomi, keberadaan usaha penggilingan sangat berperan dalam akselarator peningkatan kesejahteraan masyarakat. Seperti kegiatan usaha lainnya, penggilingan padi dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Melalui menajemen usahanya, penggilingan padi seringkali terlibat membantu petani dalam proses penyimpanan dan pemasaran hasil panen petani. Selain itu, terkadang tingkat harga dan pendapatan yang diperoleh petani serta tingkat harga yang harus dibayar konsumen turut ditentukan oleh keberadaan penggilingan padi. Dalam kaitannya dengan proses penggilingan padi peranan ini tercermin dari besarnya jumlah penggilingan padi dan sebarannya yang hampir merata di seluruh daerah sentra produksi padi di Indonesia (Lampiran 3).

Tabel 3 Jumlah usaha penggilingan padi di Indonesia pada Tahun 2008 dan 2012a

Jenis Usaha Penggilingan padi 2008 2012

Penggilingan padi besar (PPB) 5.133 2.075

Penggilingan padi sedang (PPS) - 8.628

Penggilingan padi kecil (PPK) 39.425 169.044

Rice milling unit (RMU) 35.093 -

Unit penggilingan engelberg 1.630 -

Unit mesin huller 14.153 -

Unit mesin penyosoh beras 13.178 -

Jumlah 108.512 182.199

a

Sumber: Ridwan Thahir (2010) dan Badan Pusat Statistik (2012)

(20)

penggilingan padi yang ada telah melayani sekitar 65,76 ton produksi padi petani dari kurang lebih 13,2 juta hektar luas lahan padi sawah dan ladang.

Tersebarnya penggilingan padi di Indonesia tidak serta merta dapat memenuhi kebutuhan pasokan beras nasional. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar keadaan penggilingan padi yang belum efisien dalam keseluruhan aktivitasnya. Ketidakefisienan tersebut sangat dipengaruhi oleh keadaan industri penggilingan padi saat ini, seperti penggunaan mesin penggilingan padi kurang dari kapasitas maksimum, rendemen yang terus menurun, buruknya mutu gabah yang dihasilkan sehingga memiliki daya saing yang rendah, dan sebagainya.

Unit penggilingan padi pada tahun 2008 diketahui telah mencapai 108.512 unit dengan kapasitas kumulatif diperkirakan 109,5 juta ton per tahun (Ditjen P2HP 2009 dalam Thahir 2010). Produksi padi Nasional hanya 60,3 juta ton pada tahun 2008, setara dengan faktor konversi dari gabah ke beras 65 persen. Hal ini menyebabkan banyak unit penggilingan padi bekerja di bawah kapasitas terpasang. Fenomena ini telah tejadi sejak tahun 2003 sehingga diperkirakan hanya 40 persen unit penggilingan padi yang beroperasi dengan kapasitas penuh (Thahir, 2010).

Tingkat kehilangan hasil yang sangat tinggi pada sistem pengolahan padi di Indonesia mengindikasikan buruknya penanganan pengolahan pasca panen di Indonesia. Kehilangan hasil dapat merugikan perorangan seperti petani padi atau usaha jasa panen dan pasca panen. Kehilangan hasil jika diakumulasikan secara keseluruhan juga akan menimbulkan kerugian pada masyarakat dan negara. Potensi kehilangan pasca panen dengan asumsi produksi padi nasional tahun 2012 Aram II yaitu sebesar 65,76 juta ton adalah mencapai 8,78 juta ton, yaitu sekitar 13,35 persen. Kehilangan hasil ini disebabkan karena tidak adanya integrasi dari setiap subsistem agribisnis beras.

Tabel 4 Potensi kerugian akibat kehilangan hasil pasca panen di Indonesia Tahun 2011a

Sumber : Buletin teknologi pascapanen pertanian vol. 3, 2007 (Diolah).; b Kehilangan hasil pada ekosistem pada lahan irigasi.; c Produksi padi nasional Tahun 2011 Aram III sebesar 65,76 juta ton.; d Asumsi tingkat redemen sebesar 55,99 %.; e Asumsi harga beras Rp 7500/Kg.

(21)

pada tahun 2000, rendemen paling tinggi hanya 62 persen, bahkan kenyataan di lapang rendemen giling hanya mencapai maksimal 60 persen3. Setiap penurunan rendemen satu persen maka menyebabkan kehilangan jumlah beras lebih dari 657.600 ton, yang kemudian menyebabkan kerugian devisa setara lebih dari 381,40 juta USD per tahun (asumsi pada tahun 2012 produksi nasional sebesar 65,76 juta ton dan harga ratberas menurut world bank pada tahun 2012 adalah 580 USD per ton). Penurunan rendemen dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti penggunaan mesin penggilingan padi yang telah berumur tua, 32 persen dari mesin penggilingan padi yang digunakan dideteksi berumur lebih dari 15 tahun (Thahir, 2010). Selain itu, sistem konversi masih menerapkan sistem penyosohan

one pass.

Meningkatnya kualitas beras dan rendemen hasil olahan akan menyebabkan meningkatnya keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha penggilingan padi. Selain itu efisiensi pada kegiatan proses pascapanen juga akan menambah keuntungan bagi pengusaha pengolahan padi. Keuntungan ini akan makin bertambah apabila hasil samping dari pengolahan padi lebih dimanfaatkan. Saat ini, hasil samping berupa menir, dedak dan sekam belum mendapat perhatian yang serius baik dari pemerintah maupun dari pelaku usaha penggilingan padi itu sendiri. Nilai tambah yang dapat diperoleh dari pemanfaatan hasil samping pengolahan padi di lndonesia belum maksimal.

Berbagai permasalahan yang dihadapi oleh industri penggilingan padi kemudian akan mempengaruhi aktivitas dan manajemen usaha penggilingan padi. Aktivitas dan manajemen yang berbeda juga akan mempengaruhi perbedaan alokasi biaya yang dikeluarkan dan juga penerimaan yang diperoleh. Adanya perbedaan tersebut kemudian akan memperjelas kinerja masing-masing usaha penggilingan padi pada penelitian ini.

Perumusan Masalah

Usaha penggilingan padi merupakan usaha yang menghubungkan aktivitas petani dan konsumen. Dalam melakukan aktivitasnya, usaha penggilingan padi memerlukan input usaha berupa padi atau gabah. Sedangkan output yang dihasilkan oleh usaha penggilingan padi berupa beras merupakan produk pangan utama bagi masyarakat Indonesia.

Gabah merupakan hasil produksi budidaya tanaman padi yang dilakukan oleh petani dalam kurun waktu empat bulan untuk satu musim tanam. Petani seringkali mengalami harga yang rendah terhadap gabah yang dihasilkan, terutama pada saat panen raya dimulai. Rendahnya harga pada saat panen raya disebabkan melimpahnya pasokan gabah di pasar. Untuk melindungi petani sebagai produsen beras dan sekaligus insentif bagi petani agar tetap melakukan budidaya tanaman padi di musim berikutnya maka pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan harga beli gabah atau yang dikenal dengan HPP (Harga Pembelian Pemerintah). Penetapan HPP dilakukan untuk menjaga harga tetap berada di level tertinggi agar petani tetap mendapatkan harga yang layak dari hasil

3

(22)

panennya. Hal ini tentu sangat membantu petani dalam memasarkan hasil panennya dan mengurangi resiko harga yang dialami petani.

Gabah merupakan salah satu input dari kegiatan operasional usaha penggilingan padi. Sehingga dengan adanya kebijakan harga gabah melalui HPP maka akan mempengaruhi besaran biaya pembelian input yang dikeluarkan oleh pengusaha penggilingan padi. Semakin tinggi HPP yang ditetapkan pemerintah maka akan semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk membeli gabah yang kemudian akan menyebabkan tingginya biaya produksi usaha penggilingan padi.

Gambar 2 Rata-rata harga gabah di tingkat penggilingan dan HPP gabah menurut kualitas gabah Tahun 2012

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012 (diolah)

Berdasarkan Inpres Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Kebijakan Pengadaan Gabah atau Beras dan Penyaluran Beras Oleh Pemerintah maka sejak tanggal 27 Februari 2012 diberlakukan HPP untuk gabah kering panen dengan kualitas kadar air maksimum 25 persen dan kadar hampa atau kotoran maksimum 10 persen adalah Rp 3.300 per kg di petani atau Rp 3.350 per kg di penggilingan. Sedangkan Harga pembelian gabah kering giling dengan kualitas kadar air maksimum 14% dan kadar hampa/kotoran maksimum tiga persen adalah Rp 4.150 per kg di penggilingan atau Rp 4.200 per kg di gudang Perum Bulog.4

Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa HPP gabah bukan merupakan harga minimal gabah yang harus dibayar oleh usaha penggilingan padi. Harga gabah yang ditawarkan oleh petani kepada pedagang pengumpul maupun kepada usaha penggilingan padi lebih tinggi dibandingkan HPP yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Upaya pemerintah untuk melindungi petani kemudian akan menyebabkan tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh usaha penggilingan padi untuk memperoleh input produksi.

4

http://www.bisnis-kti.com/index.php/2012/02/hpp-gabah-dan-beras-ditetapkan-naik-rerata-25/. [diunduh 2013 Feb 03]

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli GKP (HPP) 2.685,00 2.685,00 3.350,00 3.350,00 3.350,00 3.350,00 3.350,00 GKP 4.475,32 4.232,68 3.692,51 3.797,13 3.902,53 3.932,23 3.957,75 GKG (HPP) 3.300,00 3.300,00 4.150,00 4.150,00 4.150,00 4.150,00 4.150,00 GKG 4.857,87 4.755,16 4.360,88 4.354,87 4.352,63 4.426,92 4.489,00

0,00 1.000,00 2.000,00 3.000,00 4.000,00 5.000,00 6.000,00

Rp

(23)

Di sisi lain, pemerintah juga menetapkan kebijakan harga beras. Kebijakan harga beras merupakan upaya bagi pemerintah untuk melindungi konsumen sehingga mendapatkan beras dengan harga yang relatif murah dan terjangkau. Berdasarkan Inpres Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Kebijakan Pengadaan Gabah atau Beras dan Penyaluran Beras Oleh Pemerintah, maka sejak tanggal 27 Februari 2012 pemerintah menetapkan HPP beras dengan harga Rp 6.600 per kg di Bulog. Dampak kebijakan ini adalah harga beras yang dijual kepada Bulog hanya dihargai maksimal sesuai dengan HPP beras yang berlaku.

Kebijakan lainnya yang mampu menggangu stabilitas harga beras di pasar adalah adanya kebijakan impor beras. Melalui kebijakan impor, pasar beras akan dibanjiri oleh beras impor yang kemudian mempengaruhi harga beras. Berdasarkan teori diketahui jika jumlah barang yang ditawarkan meningkat maka akan menyebabkan turunnya harga barang tersebut. Sehingga, melalui kebijakan impor pemerintah dapat mengendalikan harga beras agar tetap berada dikisaran harga standar sehingga konsumen dapat membeli beras dengan harga yang terjangkau.

Beras merupakan salah satu output produksi usaha penggilingan padi. Adanya kebijakan kemudian dapat mempengaruhi harga beras, dimana harga beras ditekan untuk tetap berada di level rendah agar dapat terjangkau oleh konsumen. Hal tersebut akan menyebabkan beras yang dihasilkan oleh usaha penggilingan padi dihargai murah oleh pasar sehingga menyebabkan penerimaan usaha akan berkurang.

Kebijakan pemerintah seringkali diupayakan untuk melindungi petani sebagai produsen padi dan konsumen beras. Akan tetapi, kebijakan tersebut justru akan menyebabkan usaha penggilingan padi mengalami posisi yang sulit dimana input produksi selalu diupayakan tinggi sedangkan harga output ditekan agar terjangkau oleh konsumen. Namun, berdasarkan data penyebaran usaha penggilingan padi, dapat diketahui bahwa masih banyak usaha penggilingan padi di Indonesia yang mampu bertahan dan bahkan mampu mengembangkan usahanya. Hal tersebut tentu akan sangat dipengaruhi oleh manajemen usaha yang dilakukan oleh pengelola masing-masing usaha penggilingan padi.

Di Indonesia terdapat beberapa klasifikasi usaha penggilingan padi, yaitu berdasarakan tipe usaha, berdasarkan konfigurasi mesin, dan berdasarkan skala usaha. Berdasarkan tipenya maka usaha penggilingan padi dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu maklon, non maklon, dan kombinasi keduanya. Istilah maklon dan non maklon meupakan istilah lokal. Oleh sebab itu, Winarno (2007) memberikan istilah rice milling commercial untuk usaha penggilingan padi dengan tipe maklon dan service mills untuk usaha penggilingan padi dengan tipe maklon.

(24)

Non maklon merupakan usaha (kesatuan) dimana seluruh aktivitas usaha penggilingan dimiliki dan dikelola oleh pengusaha usaha penggilingan padi. Input usaha berupa gabah dimiliki langsung oleh pengusaha usaha penggilingan. Pengadaaan input produksi dapat dilakukan melalui pembelian gabah kepada petani maupun pedagang pengumpul. Gabah yang telah diperoleh kemudian diproses melalui serangkaian kegiatan seperti pengeringan dan penggilingan untuk menghasilkan output berupa beras, dedak, sekam, dan menir. Hasil olahan tersebut kemudian akan didistribusikan kepada pelanggan yang telah menjalin kerjasama dengan usaha penggilingan padi. Serangkaian proses yang dilakukan dimanajemen oleh seorang pengusaha yang bertanggungjawab atas usaha tersebut.

Adanya variasi usaha penggilingan padi tersebut akan menyebabkan munculnya variasi pengusahaan dan manajemen usaha dalam mengahadapi keadaan dan permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha penggilingan padi. Perbedaan atau variasi tersebut pada hakikatnnya merupakan upaya bagi usaha penggilingan padi untuk meminimalisir biaya produksi sehingga pengusaha memperoleh keuntungan maksimal atau melalui peningkatan nilai tambah dari output usaha penggilingan. Oleh sebab itu, diperlukan suatu penelitian untuk mempelajari secara mendalam aktivitas usaha yang dilakukan oleh pengusaha penggilingan padi. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan kinerja usaha penggilingan padi dan variabel kunci yang mempengaruhinya.

Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana manajemen dan aktivitas masing-masing usaha penggilingan berdasarkan tipe usaha?

2. Bagaimana struktur biaya dari masing-masing tipe usaha penggilingan padi? 3. Apakah pengusahaan penggilingan padi dari masing-masing tipe usaha

sudah menguntungkan dan seberapa efisien aktivitas usaha yang dilakukan? 4. Mengapa terdapat variasi pengusahaan penggilingan padi berdasarkan tipe

usaha?

5. Variabel kunci apa sajakah yang mampu mempengaruhi kinerja usaha penggilingan padi?

Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan manajemen dan aktivitas usaha penggilingan padi berdasarkan tipe usaha

2. Menganalisis struktur biaya masing-masing usaha penggilingan padi berdasarkan tipe usaha

3. Menganalisis keuntungan dan efisiensi masing-masing usaha penggilingan padi berdasarkan tipe usaha

(25)

Manfaat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat yang bersifat membangun bagi:

1. Peneliti (researcher), diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berfikir analitis serta dapat mengaplikasikan bidang keilmuan Agribisnis yang telah diterima selama menjalani kuliah di Institut Pertanian Bogor. Selain itu, penulisan ini dapat menjadi sarana untuk melatih peneliti menuangkan ide, gagasan, dan pemikiran berkaitan dengan fata yang ada dilapangan.

2. Pengusaha penggilingan padi (bussines owner), diharapkan dapat menjadi pedoman untuk meningkatkan kinerja dan merumuskan strategi usaha penggilingan padinya dalam upaya mencapai usaha penggilingan padi yang efisien dan efektif.

3. Pemerintah (policy maker), diharapkan dapat menjadi salah satu masukan untuk pengambilan kebijakan dalam rangka meningkatkan efisiensi penggilingan padi sebagai usaha pascapanen.

4. Pembaca (reader), diharapkan dapat menambah pengetahuan dan bisa menjadi referensi, pedoman, literatur, dan inspirasi untuk melakukan penelitian berikutnya yang lebih lengkap.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada analisis kinerja usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur dengan metode multiple case study. Usaha penggilingan padi yang dijadikan sebagai kasus pada penelitian ini adalah usaha penggilingan padi dengan klasifikasi tipe usaha, yaitu penggilingan padi maklon, non maklon, dan kombinasi. Studi kasus ini bertujuan untuk mendapatkan informasi lebih rinci atau mendalam terkait manajemen dan pelaksanaan aktivitas usaha pada masing-masing tipe usaha penggilingan padi. Data yang lengkap dan rinci dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja usaha penggilingan padi dan menganalisis variabel kunci yang mempengaruhinya.

Kinerja usaha penggilingan padi akan dibahas melalui analisis deskriptif terkait dengan aktivitas pada usaha penggilingan padi beserta manajemen dalam pengelolaan usaha tersebut. Selain itu akan diidentifikasi struktur biaya dan penerimaan untuk menggambarkan kinerja usaha berdasarkan profitabilitas dan imbangan biaya dan penerimaan (R/C analysis) pada masing-masing usaha.

TINJAUAN PUSTAKA

(26)

yang telah dibahas maka dapat diperoleh kesimpulan atas beberapa konsep yang berhubungan dengan tujuan penelitian ini.

Pola Pengusahaan Penggilingan Padi

Di Indonesia, usaha penggilingan padi memiliki peranan dalam mengkonversi gabah menjadi beras. Oleh sebab itu, mayoritas usaha penggilingan padi di Indonesia melakukan serangkaian aktivitas pascapanen dimulai dari pengeringan gabah sampai dengan pengepakan beras. Keseluruhan aktivitas yang dilakukan oleh satu unit usaha penggilingan padi seringkali menimbulkan resiko produksi yang tinggi, seperti tingkat kehilangan hasil yang tinggi sehingga kerugian yang dicapai sangat tinggi.

Mengantisipasi kerugian akibat resiko produksi tersebut, di Thailand aktivitas pascapanen tidak dilakukan oleh satu unit usaha melainkan terdapat spesialisasi aktivitas. Patiwiri (2004) memberikan contoh dua perusahaan yang berperan dalam konversi gabah menjadi beras dengan aktivitas yang berbeda tetapi saling terkait satu sama lain. Perusahaan pengolahan padi Siam Kasikij Silo Co. Ltd merupakan perusahaan pengolahan padi yang memiliki spesifikasi usaha pada proses pengeringan dan penyimpanan gabah.

Gabah Kering Giling dari perusahaan Siam Kasikij Silo Co. Ltd kemudian diolah oleh perusahaan Charoen Phokphand Intertrade Co. Ltd untuk kemudian menjadi beras yang siap untuk dikonsumsi. Selain itu, perusahaan ini juga melakukan reprocessing, yaitu mengolah beras kualitas buruk menjadi beras yang berkualitas baik. Kedua perusahaan diatas sangat memperhatikan aspek kualitas, keamanan, kebersihan dan kesehatan agar bisa menjadi perusahaan penghasil beras dengan mutu terbaik.

Pola penggilingan dengan spesialisasi usaha juga terdapat di Vietnam. Di distrik Rach Gia, Provinsi Long Anh pabrik penggilingan padi mimiliki bentuk formula Rice Milling Polish (RMP). Hal ini diungkapkan oleh M. Nur Gaybita pada tahun 2008 ketika rombongan PERPADI melakukan studi banding di daerah ini. RMP merupakan pola kegiatan yang tidak memproses gabah menjadi beras, tetapi memproses beras setengah jadi (derajat sosoh 50 persen) atau di Indonesia dikenal dengan beras pecah kulit (brown rice) menjadi beras berkualitas. Sedangkan proses penggilingan beras pecah kulit menjadi beras dilakukan di pedesaan dengan Rice Milling Unit (RMU) atau dapat juga disebut Penggilingan Padi (PP). Dengan demikian, seluruh sekam sudah tinggal di pedesaansehingga pengangkutan gabah ke RMP lebih efisien.

Adanya spesialisasi usaha yang dilakukan akan memberikan keuntungan bagi masing usaha penggilingan. Keuntungan yang diperoleh masing-masing usaha penggilingan padi diantaranya adalah untuk mengurangi resiko produksi karena rendahnya mutu yang dihasilkan, tidak adanya usaha penggilingan padi yang menganggur akibat pasokan input yang terbatas. Selain itu, keuntungan juga diperoleh secara industri dimana industri penggilingan padi akan berkembang secara menyeluruh sehingga fungsinya sebagai akselarator kesejahteraan rakyat dapat dipenuhi.

(27)

lebih memilih pola usaha penggilingan padi RPC (Rice Processing Complex). RPC merupakan suatu kawasan sistem pengolahan padi yang terdiri dari subsitem pengeringan, subsitem penyimpanan, subsistem penggilingan dan subsistem pengemasan yang terintegrasi dalam satu lini proses menggunakan mesin modern. RPC merupakan konsep yang dilakukan dalam rangka mengontrol seluruh alur proses dalam sistem yang terintegrasi agar mutu produk dapat terjaga keragamannya dan dapat mengurangi susut bobot. RPC dapat menekan tingkat kehilangan hasil sehingga secara otomatis akan meningkatkan pendapatan usaha penggilingan padi. Menurut Sutrisno (2004) pola RPC yang diterapkan di Korea telah berhasil mengurangi susut bobot saat pengolahan dari 6 persen menjadi 1 persen. Selisih ini akan bernilai sangat besar jika dikonversikan terhadap jumalah output yang dihasilkan dan harga output tersebut.

Berbagai inovasi pola usaha penggilingan padi yang diterapkan oleh pengusaha penggilingan padi merupakan salah satu upaya untuk dapat memaksimalkan keuntungan yang diperoleh. Selain itu, dengan konsep pola usaha yang telah dijalankan kemudian diharapkan industri penggilingan padi mampu berkembang dan memiliki daya saing sehingga mampu menghasilkan beras dengan kualitas terbaik dan kinerja usaha yang efektif dan efisein.

Pengelolaan Usaha Penggilingan Padi

Di Indonesia, usaha penggilingan padi merupakan salah satu usaha yang berfungsi sebagai tempat pengolahan padi milik petani yang selanjutnya didistribusikan kepada konsumen. Peranan ini kemudian menjadikan usaha penggilingan padi sebagai titik sentral dari suatu kawasan pertanian. penggilingan padi ikut menentukan jumlah ketersediaan pangan, mutu pangan, harga pangan, pendapatan petani, serta lapangan pekerjaan di pedesaan. Penggilingan padi menjadi titik simpul industri pedesaan sehingga memainkan peranan yang sangat besar terhadap perekonomian pedesaan.

Berdasarkan status hukumnya, penggilingan padi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi perusahaan pribadi, perusahaan komanditer atau

Commanditaire Vennontschap (CV), Perseroan Terbatas, Koperasi, Badan Usaha

Milik Petani (BUMP) dan Unit Pengolahan Gabah dan Beras Bulog (UPGB Bulog). Perum Bulog adalah salah satu BUMN yang ditugaskan untuk melakukan pembelian hasil produksi petani padi, menjaga cadangan beras nasional serta menyalurkan beras bagi keluarga miskin. Perum Bulog saat ini memiliki infrastruktur berupa kantor pusat, kantro divre di 26 provinsi, kantor subdivre di 102 kabupaten atau kota, 1500 lokasi gudang dengan kapasitas 4.500.000 ton yang tersebar di seluruh Indonesia. Perum Bulog juga memiliki sarana Unit Pengolahan Gabah dan Beras (UPGB) sebanyak 97 unit dan 57 Drying Center.

(28)

Peran swasta dalam pengadaan beras melalui usaha penggilingan padi di Indonesia sangatlah besar. Diperkirakan sekitar 93 persen ketersedian beras di pasar merupakan akibat beroperasinya unit penggilingan padi swasta. (Patiwiri, 2004). Hal tersebut juga terjadi di Vietnam, sekitar 91,6 persen usaha penggilingan padi yang ada di Vietnam dikuasai atau dimiliki oleh sektor swasta. Hampir setiap tahun (1995 sampai 2000), usaha penggilingan padi yang dimiliki swasta dapat memproduksi sekitar 90 persen dari jumlah total beras giling yang di produksi di Vietnam untuk kebutuhan domestik maupun luar negeri.

Di Indonesia, sebagian usaha penggilingan padi yang dikelola oleh pihak swasta masih banyak mengalami permasalahan seperti akses terhadap permodalan yang sangat terbatas, kemampuan manajemen dari pengusaha yang terbatas, dan sebagainya. Hal ini mengakibatkan usaha yang dijalankan mayoritas adalah usaha penggilingan padi dengan skala kecil. Nugraha (2008) menyebutkan bahwa skala usaha yang kecil memiliki tingkat efisiensi yang lebih besar dibandingkan dengan usaha penggilingan padi dengan skala besar. Namun, yang menjadi perhatian disini adalah dengan skala yang kecil akan memberikan tingkat pendapatan yang kecil juga. Sehingga upaya untuk mencapai kesejahteraan pengusaha penggilingan padi akan relatif sulit.

Tidak hanya di Indonesia, di Vietnam keberadaan usaha penggilingan padi yang dikelola oleh sektor swasta juga mengalami berbagai permasalahan. Namun, berbeda dengan di Indonesia, permasalahan dominan yang dihadapi adalah ketidakpastian mengenai perkembangan pasar. Hal ini dipicu oleh keterbatasan informasi yang diperoleh oleh pengusaha karena hingga saat ini pemerintah Vietnam belum bisa mengakomodasi mekanisme penyebaran informasi untuk usaha penggilingan padi swasta. Para pengusaha mendapatkan informasi melalui media, seperti surat kabar, radio, atau televisi yang biasanya hanya memberikan informasi yang sangat sedikit. Selain itu, informasi juga dapat diperoleh dari organiasai publik seperti Chamber of Commerce Vietnam dan organisasi lainnya. Data statistik atau informasi yang diperoleh tidak serta merta dapat diinterpretasikan oleh pengusaha. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan dari pengusaha penggilingan padi yang relatif rendah. Hasil penelitian Le Khuong N (2003) mengungkapkan bahwa dari hanya 6,1 persen pengusaha penggilingan padi yang memiliki gelar sarjana.

Pengelolaan usaha di suatu negara sangat berbeda dengan negara lainnya. Hal ini disebabkan oleh lingkungan usaha baik internal maupun eksternal di setiap negara akan sangat berbeda. Oleh sebab itu, perlu penyesuaian di masing-masing negara agar usaha terutama usaha penggilingan padi yang dilakukan di sebuah negara dapat terkelola dengan baik sehingga mampu menjalankan fungsi utama yaitu sebagai fungsi fisik dalam mengkonversi gabah menjadi beras yang memiliki nilai tambah.

Struktur Biaya

(29)

penggilingan padi memiliki motif usaha yaitu meminimalisir penggunaan biaya untuk mendapatkan penerimaan yang maksimal.

Setiap usaha penggilingan padi memiliki komponen biaya yang berbeda-beda. Perbedaan komponen biaya sangat dipengaruhi oleh manajemen pengelolaan usaha yang dilakukan oleh pengusaha penggilingan padi. Pengusaha yang dapat mengontrol biaya sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengusaha tersebut mendapatkan pendapatan yang lebih dari usahanya. Komponen biaya secara garis besar digolongkan menjadi biaya tetap dan biaya variabel.

Komponen biaya untuk aktivitas usaha penggilingan padi terdiri atas biaya pada aktivitas pembelian gabah (GKP), biaya pengeringan gabah, biaya pengolahan gabah menjadi beras dan hasil sampingan lainnya, biaya penjualan beras, dan biaya penyusutan. Komponen biaya terbesar dalam serangkaian aktivitas usaha penggilingan padi per hari adalah biaya pembelian gabah (GKP), yaitu mencapai 94,03 persen dari total biaya. Setelah itu, diikuti dengan besarnya biaya pada penjualan beras sebesar 2,28 persen, biaya pengolahan sebesar 1,79 persen, dan biaya pengeringan sebesar 1,51 persen. Biaya terkecil terdapat pada biaya penyusutan yaitu hanya berkisar pada angka 0,39 persen dari total biaya. (Nugraha, 2008)

Berdasarkan informasi komponen biaya tersebut dapat diketahui bahwa besarnya keuntungan yang diperoleh oleh usaha penggilingan padi dipengaruhi biaya pengadaan input yaitu gabah. Oleh sebab itu, tingginya harga gabah dengan harga penjualan beras yang relatif tetap akan membuat posisi pengusaha penggilingan padi akan sulit untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Masing-masing usaha penggilingan padi tentunya memiliki komponen biaya dan penerimaan usaha yang berbeda-beda. Hal tersebut didasarkan oleh skala usaha maupun tipe usaha. Usaha penggilingan padi dengan skala kecil akan mengeluarkan biaya usaha yang lebih kecil dibandingkan dengan usaha skala besar. Hal ini disebabkan karena usaha penggilingan kecil mengeluarkan biaya diperhitungkan yang lebih sedikit dengan memiliki mesin dan alat yang tidak memerlukan investasi yang besar. Sedangkan penerimaan per aktivitas penggilingan padi baik pada usaha penggilingan padi besar maupun kecil relatif sama. Oleh sebab itu, usaha penggilingan padi skala kecil akan lebih efisien dibandingkan dengan skala besar.

Kinerja Usaha Penggilingan Padi

Kinerja usaha penggilingan padi dapat ditentukan oleh tingkat pendapatan dan keberlangsungan usaha penggilingan padi. Pendapatan usaha penggilingan padi sangat dipengaruhi oleh aktivitas usaha yang dilakukan untuk mendapatkan hasil produksi. Usaha penggilingan yang mengahasilkan pendapatan yang tinggi kemudian akan mampu mengembangkan usaha penggilingan padinya. Pengembangan usaha penggilingan padi dapat berupa peningkatan skala usaha, peningkatan lini usaha, dan sebagainya yang kemudian akan meningkatkan kesejahteraan pengelola usaha.

(30)

penggilingan padi adalah beras. Selain itu, penggilingan padi juga menghasilkan produk sampingan seperti menir, dedak, dan sekam. Tingkat pendapatan pengusaha penggilingan padi dipengaruhi tingkat kehilangan hasil selama proses pascapanen dan rendemen giling dari usaha penggilingan serta peningkatan nilai tambah terhadap hasil usaha penggilingan padi.

Tingkat kehilangan hasil yang sangat tinggi pada sistem pengolahan padi di Indonesia mengindikasikan buruknya penanganan pengolahan pascapanen di Indonesia. Kehilangan hasil dapat merugikan perorangan seperti petani padi atau usaha jasa panen dan pascapanen. Hasil survei Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian pada tahun 2007 menyatakan bahwa tingkat kehilangan hasil panen di Indonesia tergolong cukup tinggi. Pada lahan irigasi, tingkat kehilangannya cukup besar dibandingkan dengan ekosistem lainnya, yaitu hanya sekitar 13,35 persen. Lahan tadan hujan memiliki potensi tingkat kehilangan hasil sebesar 10,39 persen sedangkan tingkat kehilangan hasil pada lahan pasang surut dapat mencapai 15,25 persen. Potensi kehilangan pascapanen dengan asumsi produksi padi nasional tahun 2012 Aram II yaitu sebesar 65,76 juta ton adalah mencapai 8,78 juta ton, yaitu sekitar 13,35 persen (Tabel 4).

Selain tingkat kehilangan hasil yang tinggi, kinerja usaha penggilingan juga dapat diketahui melalui rendemen giling yang dihasilkan. Rendemen beras giling merupakan perbandingan antara bobot beras giling yang dihasilkan dengan bobot gabah. Jumlah rendemen yang diperoleh pada usaha penggilingan padi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kadar air, proses pengeringan, dan konfigurasi mesin yang digunakan. Selain itu, rendemen juga dipengaruhi oleh sistem kerja mesin penggilingan.

Rendemen beras giling merupakan beras yang dihasilkan dari proses penggilingan atau penyosohan untuk membersihkan beras pecah kulit dari lapisan bekatul dan lembaganya. Rendemen beras giling dapat diperoleh dari perbandingan antar bobot beras giling yang dihasilkan dengan bobot gabah dikalikan seratus persen (Suismono et al, 2003 dalam Kobarsih et al, 2008). Rendemen giling dipengaruhi kadar air gabah. Untuk meperoleh gabah dengan kadar air yang sesuai maka dilakukan proses pengeringan gabah. Pengeringan gabah dapat dilakukan dengan memnfaatkan lantai jemur dan sinar matahari maupun dengan memanfaatkan alat pengering.

Gabah yang dijemur dengan sinar matahari atau secara mekanis dapat menghasilkan tingkat rendemen dan kualitas yangg berbeda. Penjemuran gabah dengan memenfaatkan penyinaran dari sinar matahari dapat menghasilkan beras giling dengan mutu yang baik sepanjang tidak terganggu oleh hujan, menggunakan alas, dan melakukan pembalikan setiap 2 jam, serta pengaturan waktu istirahat 12-20 jam per hari. Apabila syarat perlakuan pada penjemuran gabah dilakukan maka menurut Thahir (2010) usaha penggilingan padi tersebut akan menghasilkan rendemen beras sebesar 57-60 persen dengan kandungan beras kepala 84 persen. Hal ini dibenarkan melalui penelitian yang kemudian dilakukan oleh Soetoyo dan Sumardi pada tahun 1980 dan Islam et al. pada tahun 2003 (Thahir, 2010).

(31)

Namun, daya simpan beras lebih singkat, yaitu rata-rata selama tiga hari. Satake (1991) dan Juliano (2003) dalam Thahir (2010) juga menjelaskan bahwa pada kadar air rendah, beras mempunyai tendensi lebih kaku (rigid), tidak elastis, dan mudah patah dibanding pada kadar air yang lebih tinggi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan BBPMP (Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian) tahun 2001 diperoleh hasil bahwa Penggilingan Padi Besar (PPB) memiliki tingkat rendemen yang paling tinggi dibandingkan dengan Penggilingan Padi Menengah (PPM) dan Penggilingan Padi Kecil (PPK), yaitu mencapai 61,48 persen dengan kulaitas beras kepala 82,45 persen dan broken 11,97 persen. Tingkat rendemen yang tinggi diperoleh karena bahan baku gabah yang digiling oleh PPB relatif lebih memenuhi standar gabah siap giling dalam hal kadar air dan lebih bersih dengan penambahan grain cleaner. Hal ini juga diungkapkan oleh Tjahjohutomo et al, (2004) dalam Thahir (2010), bahwa Penggilingan Padi Besar (PPB) memiliki rendemen giling mencapai 61,5 persen. Sedangkan Penggilingan Padi Menengah (PPM) dan Penggilingan Padi Kecil (PPK) hanya mencapai 59,7 persen dan 55,7 persen.

Rendemen beras yang dihasilkan merupakan salah satu ukuran yang menentukan pendapatan yang diperoleh oleh pengusaha. Rendemen beras yang tinggi berarti bahwa beras yang dihasilkan juga akan tinggi sehingga dengan harga yang tetap akan menyebabkan pendapatan bertambah. Hal ini senada dengan pernyataan Rosmawanty (2007), bahwa perusahaan penggilingan padi skala besar adalah yang paling menguntungkan dibandingkan penggilingan padi skala sedang dan kecil. Hal tersebut terjadi karena pengusahaan penggilingan padi besar memiliki tingkat rendemen yang tinggi sehingga penerimaan yang diperoleh dari penjualan beras giling lebih besar.

Selain tingkat rendemen, indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja usaha penggilingan padi adalah imbangan penerimaan dan biaya melalui analisis rasio R/C. Berdasarkan penelitian Nugraha (2008) diperoleh informasi bahwa pengusahaan penggilingan padi besar memiliki nilai rasio R/C atas biaya total sebesar 1,117, sedangkan rasio R/C atas biaya total pada pengusahaan penggilingan padi kecil adalah 1,174. Artinya, pengusahaan pengilingan padi kecil lebih efisien daripada penggilingan padi besar. Namun rasio R/C yang lebih tinggi dari satu menunjukkan bahwa pengusahaan penggilingan padi di Kabupaten Karawang sudah menguntungkan.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

(32)

Konsep Kinerja Usaha

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kinerja berarti: (1) sesuatu yang dicapa, (2) prestasi yang diperlihatkan, (3) kemampuan kerja. Murphy (1990) menyatakan bahwa kinerja merupakan seperangkat perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi atau unit organisasi tempat bekerja.5 Konsep kinerja

(performance) dapat didefinisikan sebagai sebuah pencapaian hasil atau degree of

accomplishment (Rue dan Byars, 1981 dalam Keban 1995). Hal ini berarti bahwa

kinerja suatu organisasi dapat dilihat dari tingkatan sejauh mana organisasi dapat mencapai tujuan yang didasarkan pada tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Kinerja merupakan sebuah hasil (output) dari suatu proses yang dilakukan oleh seluruh komponen organisasi terhadap semua sumberdaya yang dimiliki (input). Selanjutnya, kinerja merupakan hasil dari serangkaian aktivitas atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan kegiatan atau program dalam mewujudkan visi, misi, dan tujuan dari organisasi.

Kinerja dapat diamati melalui dua sisi, yaitu kinerja pegawai (individu) maupun kinerja organisasi. Kinerja individu merupakan hasil kerja perseorangan dalam suatu organisasi, sedangkan kinerja organisasi merupakan totalitas hasil kerja yang dicapai suatu organisasi. Kinerja pegawai dan kinerja organisasi memiliki keterkaitan yang sangat erat untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam mencapai tujuan, organisasi dengan segala upaya memanfaatkan segala sumberdaya yang dimiliki. Pemanfaatan sumberdaya organisasi dilakukan secara aktif oleh pegawai yang berpedoman kepada tujuan organisasi.

Kinerja perusahaan merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dalam periode tertentu dengan mengacu pada standar yang ditetapkan. Kinerja perusahaan hendaknya merupakan hasil yang dapat diukur dan menggambarkan kondisi empirik suatu perusahaan dari berbagai ukuran yang disepakati. Untuk mengetahui kinerja yang dicapai maka dilakukan penilaian kinerja.

Kata penilaian sering diartikan dengan kata assesment, sedangkan kinerja perusahaan merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dalam periode tertentu dengan mengacu pada standar yang ditetapkan. Menurut Yuwono et al (2006) ada dua pendekatan dalam mengukur kinerja perusahaan, yaitu:

1. Ukuran keuangan, yaitu ukuran kinerja yang beras dari laporan keuangan yang diterbitkan oleh perusahaan

2. Ukuran non keuangan, yaitu ukuran kinerja yang tidak terlihat langsung dari laporan keuangan, namun berhubungan dengan pencapaian ukuran keuangan dan bersifat kualitatif, seperti market share, market growth,

dan tecnological capability.

Penilaian kinerja organisasi atau perusahaan dapat dilakukan melalui berbagai indikator. Menurut Kumorotomo (2005), terdapat empat indikator yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur penilaian kinerja sebuah organisasi. Indikator tersebut adalah:

1. Efisiensi: menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi dalam mendapatkan laba, memanfaatkan faktor produksi serta

5

(33)

pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis. Apabila diterapkan secara objektif maka likuiditasm solvabilitas, dan rentabilitas merupakan kriterian efisiensi yang relevan

2. Efektivitas: menyangkut rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi, serta fungsi agen pembangunan

3. Keadilan: menyangkut distribusi dan alokasi layanan diselenggarakan organisasi. Kriteria ini erta kaitannya dengan konsep ketercakupan atau kepantasan. Keduanya mempersoalkan apakah efektivitas tertentu, kebutuhan dan nilai-nilai dalam masyarakat dapat terpenuhi

4. Daya tanggap: daya tanggap terhadap kebutuhan vital masyarakat dan dapat dipertanggungjawabkan secara transparan.

Tujuan utama adanya penilaian kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam mencapai tujuan organisasi dan memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan. Melalui penilaian kinerja maka manajer puncak dapat memperoleh dasar yang obyektif untuk memberikan kompensasi sesuai dengan prestasi yang disumbangkan masing-masing pusat pertanggungjawaban kepada perusahaan secara kesuluruhan. Hal ini diupayakan untuk membentuk motivasi dan sebagai rangsangan pada masing-masing bagian dari perusahaan atau organisasi untuk bekerja lebih efektif dan efisien sesuai tujuan yang ditetapkan. Selain itu, menurut Lynch dan Cross (1993)6 terdapat manfaat dilakukan pengukuran kinerja, yaitu sebagai berikut:

1. Menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggan sehingga akan membawa perusahaan lebih dekat pada pelanggannya dan membuat seluruh orang dalam organisasi terlibat dalam upaya memberi kepuasan kepada pelanggan

2. Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata rantai pelanggan dan pemasok internal.

3. Mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya pengurangan terhadap pemborosan tersebut.

4. Membuat suatu tujuan strategis yang biasanya masih kabur menjadi lebih konkret sehingga mempercepat proses pembelajaran organisasi. 5. Membangun konsensus untuk melakukan suatu perubahan dengan

reward atas perilaku yang diharapkan tersebut.

Konsep Manajemen Usaha

Manajemen merupakan pengelolaan suatu pekerjaan untuk memperoleh hasil dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan dengan jalan menggerakkan orang-orang lain untuk bekerja. Manajemen menurut Stoner (1994) merupakan seni untuk untuk melaksanakan suatu pekerjaan melalui orang-orang (the art of getting things done throught people). Terry (1964) menyampaikan bahwa syarat manajemen adalah adanya suatu proses yang dilakukan oleh sekelompok orang atau grup dengan merujuk kepada suatu tujuan yang dinyatakan secara khusus.

George R Terry juga menyampaikan bahwa sumberdaya yang terdapat di dalam sebuah organisasi atau usaha terdiri atas enam komponen, yaitu manusia,

6

(34)

material, mesin, metoda, uang, dan pasar. Keenam komponen tersebut dikelola dan dikendalikan oleh seorang manajer untuk dapat mencapai tujuan atau sasaran dari organisasi atau usaha tersebut. Upaya pengelolaan yang dilakukan oleh pengusaha atau pimpinan organiasasi merujuk pada fungsi manajemen, yaitu

planning, organizing, actuiting, dan cotrolling.

Manajemen tidak terlepas dari istilah organisasi. Menurut Fayol dalam Herujito (1992), organisasi merupakan sekumpulan manusia yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Namun, organisasi tidak hanya berupa kumpulan orang-orang namun juga merupakan kumpulan dari berbagai sumberdaya yang potensial untuk dikembangkan. Adanya kumpulan sumberdaya tersebut kemudian mendorong terciptanya manajemen yang baik sehingga sistem yang berlaku dapat mengantarkan organisasi tersebut pada tujuan utama. Di dalam sebuah organisasi usaha, terdapat orang atau dewan yang mengelola organisasi yang biasa disebut dengan manager.

Manajemen merupakan suatu jenis pekerjaan khusus yang menghendaki usaha mental dan fisik yang diperlukan untuk memimpin, merencakan, menyusun, mengawasi, serta meneliti. Oleh sebab itu, menurut Allen terdapat empat fungsi manajemen, yaitu leading, planning, organizing, dan controlling. Harold Koontz dan Cyril O’Donel memisahkan masing-masing peranan pada organizing menjadi lima fungsi pokok dalam manajemen, yaitu planning, organizing, staffing,

directing and leading, dan cotrolling. Sedangkan menurut Hendry Fayol, fungsi

manajemen meliputi planning, organizing, commanding, controlling, dan

coordinate.7

Terry (1964) mengungkapkan bahwa terdapat empat fungsi manajemen seperti yang telah disampaikan oleh Allen. Namun, George Terry memasukkan fungsi leading pada fungsi actuiting sehingga fungsi manajemen adalah planning,

organizing, actuiting, dan controlling. Berikut adalah penjelasan masing-masing

fungsi manajemen.

1. Perencanaan (Planning)

Planning atau perencanaan merupakan rancang bangun atau perumusan dari

tindakan-tindakan yang kemudian dilakukan untuk mencapai hasil atau tujuan yang diinginkan. Berdasarkan perencanaan dapat diketahui terkait apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukan dan siapa yang akan bertanggungjawab melakukan pekerjaan atau tindakan tersebut. Sebagaimana tujuan perusahaan yang selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dan dinamika usaha, maka perencanaan pun tidak dapat statis namun harus dinamis, berkesinambngan dan fleksibel.

Perencanaan selalu menyertakan kegiatan, antara lain peramalan, pemrograman, dan penganggaran (Soekarso, 2007:118). Kegiatan peramalan, prediksi, prakiraan terhadap berbagai kemungkinan yang akan terjadi sangat perlu dilakukan sebagai langkah preventif dalam mencegah kemungkinan resiko yang akan terjadi. Pemrograman juga penting dilakukan untuk merancang program kerja organisasional agar sesuai dengan visi dan misi organisasi. Sedangkan kegiatan penganggaran adalah menetapkan biaya yang diperlukan dan

7

(35)

menetapkan pendapatan atau hasil yang akan diperoleh dari rangkaian aktivitas yang akan dilakukan.

Dilihat dari segi kepentingan perusahaan, maka perencanaan dalam perusahaan terdiri atas dua bagian, yaitu perencanaan primer dan perencanaan sekunder. Perencanaan primer mencakup perencanaan putaran aset atau turn over, perencanaan produksi, perencanaan pengadaan dan perencanaan pergudangan. Sedangkan perencanaan sekunder mencakup perencanaan kepemimpinan, perencanaan personil, perencanaan biaya, perencanaan pemasukan dan pengeluaran, perencanaan keuangan, serta perencanaan keuangan.

2. Pengorganisasian (Organizing)

Pengorganisasian merupakan sinergisasi bagian dalam organisasi untuk mencapai tujuan umum dari organisasi tersebut. Pengorganisasian merupakan fungsi manajemen yang optimis karena pengorganisasian merupakan proses membangun organisasi yang dinamis dan efektif untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan sesuai dengan perencanaan. Pengorganisasian meliputi penetapan kerja, penetaan struktur, staffing, alokasi sumberdaya, dan penentuan hubungan yang terintegrasi.

Pengorganisasian terdiri atas empat bagian, yaitu departementalisasi, struktur organisasi, staffing, dan fasilitating. Departementalisasi merupakan aktivitas pengelompokan organisasi menjadi bagian unit kerja (departemen) tertentu. Banyaknya departemen tergantung kepada kebutuhan dari perusahaan. Struktur organisasi merupakan bagan yang menggambarkan departementalisasi, kedudukan, tanggung jawab, hubungan kerja, wewenang, dan sebagainya. Proses pengisian jabatan struktural yang telah dirumuskan pada struktur organisasi dengan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas disebut dengan Staffing. Sedangkan fasilitating merupakan proses alokasi sumber daya manusia dan sumberdaya lainnya pada departemen lainnya sebagai pendukung operasional organisasi.

3. Pengarahan (Actuiting)

Pengarahan merupakan proses yang dinamis dalam memobilisasi sumber daya manusia dan sumberdaya lainnya agar dapat bertindak produktif dan efisien untuk mencapai sasaran atau tujuan organisasi yang telah direncanakan. Pengarahan merupakan upaya agresif dari manager untuk senantiasa memimpin, memotivasi, berkomunikasi, serta berkoordinasi dengan semua stakeholder.

Sebagai fungsi pengarahan, kepemimpinan mempunyai arti penting dan strategis dalam organisasi karena visi dan misi, serta kebijakan dan keputusan diperoleh melalui kepemimpinan. Pemimpin yang efektif dalam organisasi adalah pemimpin yang berjiwa enterpreneur dengan kreatifitas dan inovasi tanpa batas sehingga dapat menciptakan terobosan yang spektakuler untuk menghasilkan produk yang unik dan terbaru. Kepemimpinan yang efektif juga mampu berkomunikasi dan berkoordinasi dengan seluruh stakeholder baik secara horizontal maupun vertikal yang kemudian mampu mengintegrasikan dan menggerakkan semua sumberdaya yang dimiliki yang pencapaian tujuan yang efektif dan efisien.

(36)

kepemimpinan non formal merupakan kepemimpinan yang tidak didasarkan oleh pengangkatan dan tidak terlihat dalam hierarki maupun bagan organisasi. Efektifitas kepemimpinan terlihat pada pengakuan nyata dan penerimaan dalam praktek atas kepemimpinan seseorang.

Seorang dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin memiliki tipe kepemimpinan yang berbeda-beda. Menurut P. Siagian tipe kepmimpinan dapat digolongkan menajadi lima tipe, yaitu otokratis, militeristis, karismatik, dan demokratis. Sedangkan menurut sebagian ahli lainnya mengelompokkan tipe pemimpin menjadi enam tipe, yaitu:

a. Otoriter

Kepemimpinan pada tipe ini menganggap bahwa kepemimpinan adalah haknya sehingga segala keputusan dalam organisasi atau usaha menjadi hak dari pemimpin tersebut.

b. Demokrat

Seorang pemimpin yang demokratis akan selalu berunding dengan bawahannya sebelum mengambil keputusan

c. Paternal

Pemimpin dengan tipe paternal adalah pemimpin yang bersifat kebapakan yang pada dasarnya hampir mendekati tipe otokrat, walaupn pemimpin masih menganggap bawahan seperti anaknya yang perlu dibimbing

d. Personal

Tipe kepemimpinan ini mencirikan bahwa terdapat kontak atau hubungan pribadi antara pemimpin dengan yang dipimpin. Biasanya tipe pemimpin seperti ini terdapat pada usaha-usaha kecil, dimana kontak atau hubungan antara pemimpin dengan bawahannya lebih sering terjadi dibandingkan engan perusahaan besar.

e. Non personal

Kepemimpinan dengan tipe non personal adalah kepemimpinan yang terjadi atau dilakukan melalui instruksi, sumpah, ataupun janji jabatan.

f. Interaksi

Pemimpin tipe ini ialah kepemimpinan yang terjadi pada kelompok-kelompok yang menuju satu tujuan khusus.

4. Pengendalian (Controlling)

Pengendalian merupakan proses yang bertujuan memantau dan mengendalikan kegiatan organisasi yang ketat dan akurat agar kinerja mencapai tujuan yang telah diproyeksikan sesuai dengan perencanan. Dalam istilah lain pengendalian merupakan proses pemantauan apakah kinerja organisasi sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

Pengendalian atau biasa juga disebut dengan pengawasan. Pengawasan dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu waktu, objek, dan subjek. Pengawasan dari segi waktu adalah pengawasan yang dapat dilakukan sebelum (preventif) dan sesudah

(represif). Pengawasan preventif dialakukan dengan melalui perencanaan dan

budgeting, sedangkan perencanaan represif dilakukan melalui budget dan laporan.

Pengawasan dari segi objek adalah pengawasan terhadap objek atau aktivitas usaha, seperti produksi, keuangan, dan aktivitas lainnya.

(37)

khusus. Pengawasan ekstern dilakukan oleh pihak eksternal, seperti akuntan publik. Pengawasan dapat dilakukan dengan mengawasi langsung ditempat operasional, mengawasi melalui laporan lisan, melalui tulisan dan juga melalui penjagaan khusus.

Berdasarkan uraian diatas maka disimpulkan bahwa pendapat George R Terry dijadikan acuan dalam penerapan fungsi manajemen dalam organisasi. Hal ini disebabkan karena fungsi manajemen yang dikemukakan oleh para ahli lainnya sudah terangkum di dalam keempat fungsi dasar manajemen yang dikemukakan oleh George R Terry.

Konsep Pendapatan

Aktivitas usaha atau bisnis yang dilakukan tidak akan terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh perusahaan tersebut baik tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang. Tujuan juga dapat berupa tujuan ekonomi maupun tujuan non ekonomi. Salah satu tujuan ekonomi dari aktivitas usaha atau bisnis adalah memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari korbanan yang telah dikeluarkan. Pendapatan yang diperoleh merupakan salah satu indikator kinerja usaha yang telah dilakukan.

Soeharjo dan Patong (1973) menyatakan bahwa pendapatan adalah balas jasa dari kerjasama faktor-faktor produksi, seperti mesin, tenaga kerja, dan modal. Pendapatan tidak hanya dapat diperoleh dari usaha yang dijalankan tetapi juga diperoleh dari hasil menyewakan kendaraan operasional, lahan, dan sebagainya. Dalam PSAK 23 (Rev 2009), pendapatan adalah penghasilan yang timbul selama dalam aktivitas operasional perusahaan. Selain itu, secara harfiah, pendapatan usaha juga daat diartikan sebagai selisih antara penerimaan dan semua biaya yang dikeluarkan.

Seluruh kegiatan perusahaan yang menimbulkan pendapatan secara keseluruhan disebut earning process yang kemudian dapat menimbulkan dua akibat yaitu pengaruh positif atau keuntungan dan pengaruh negatif atau beban dan kerugian (Rustam, 2002). Pendapatan yang diharapkan adalah yang memiliki nilai positif atau semakin besar nilainya maka akan dianggap semakin baik. Namun, besar atau kecilnya pendapatan tidak selalu mencerminkan efisiensi usaha, karena mungkin saja terdapat faktor lain yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya pendapatan, seperti besaran modal yang diinvestasikan dan sebagainya. Keberhasilan usaha dapat diukur melalui analisis terhadap pendapatan usaha. Melalui analisis pendapatan usaha maka dapat dieroleh gambaran aktual usaha dalam mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki untuk memperoleh penghasilan yang bernilai positif. Informasi berdasarkan analisis yang dilakukan dapat dimanfaatkan untuk perencanaan kegiatan usaha pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu, konsep pendapatan tidak akan terlepas dari konsep penerimaan dan biaya. Secara matematika hubungan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut.

�=�� − �� Keterangan:

� = Jumlah pendapatan yang diterima perusahaan TR = Total penerimaan yang diperoleh perusahaan

Gambar

Gambar 3  Kurva biaya total dan biaya per unit jangka pendek
Gambaran komprehensif Kinerga Usaha Penggilingan padi dan variabel kunci
Tabel 5  Jumlah ketersediaan beras dan kebutuhan konsumsi beras penduduk di
Tabel 8  Alamat masing-masing usaha penggilingan padi kasus
+7

Referensi

Dokumen terkait

Surabaya yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalankan studi dibangku kuliah sehingga dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan dalam

Hasil Result/Ou tput) Meningkatnya nilai produktifitas tambak bandeng Terbentuknya kelompok usaha permpauan berbasis produksi bandeng Adanya kebijakan dari pemerintah desa

Namun sosialisasi yang diberikan oleh Pemerintah Kota Semarang tidak bersifat khusus membahas tentang Kebijakan Penertiban Pedagang Kaki Lima di Pasar Johar Kota

Bagi guru, penelitian ini dapat memberikan sumbangan kerangka berpikir dalam bidang pengajaran di sekolah, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan menulis argumentasi.. Selain itu,

uhuh hagian atas saya. Ketika herduaan di kamar, saya menolak untuk didekap pacar saya. Ketika herada di tempat sepi, saya menghindari herciuman dengan pacar. Mencium

piirteitä, vahvuuksia ja heikkouksia kyvyssä sopeutua muutoksiin sekä alueiden asukkaiden näkemyksiä asuinalueiden elinvoiman vahvistamisesta ja

Proses pelatihan Tari Muli Siger di SD Negeri 2 Wirata Agung Lampung Tengah dengan menggunakan metode pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw untuk mencapai tujuan penting yaitu

Pernyataan berikut yang menunjukkan daerah arsiran dari diagram Venn di atas adalah ..... Pada suatu agen koran dan