YUHKA SUNDAYA. Analysis of Profits and Probabilities
Nearly half the supply of sea fish commodity in West Java province comes from Indramayu district, but its resource sustainability is threatened by destructive fishing gear. These problems have prompted the government to establish the type of fishing gear regulations, so it appears the group of legal fishing gear (LFG) and illegal fishing gear (IFG) in the fishing industry. The purpose of this thesis research is to estimate and test the difference's profits from the use of LFG and IFG, and estimate the factors that affect fishing
The Use of Legal and Illegal Fishing Gear at District Indramayu. Under the Direction of YUSMAN SYAUKAT and DEDI BUDIMAN HAKIM.
probabilities to be IFG users persistently and alternately and LFG users persistently. The research objective is achieved by using primary data obtained through a survey. The difference's profits from IFG and LFG were tested with nonparametric statistical methods, and an ordered logit econometric approach used to meet the last objectives. The results are concluded, (1) the profits from using IFG greater than 113 560 rupiahs from LFG on boat size under 5 gear tonnage (GT), contrary to the boat size 60-10 GT, the profit from using LFG greater than 197 900 rupiahs from IFG, (2) there are significant differences between IFG and LFG profits in the fishermen who conduct transactions on fish auction (FA) and use the boat size below 5 GT, and the fishermen who make transactions outside of FA and using a boat sized 60-10 GT, and third, fishing probabilities to use IFG persistently and alternately and LFG users persistently are influenced by the profit per trip IFG, the type of market (FA or outside FA), off-fishing income, education level, and level of enforcement of fisheries regulations. The increase in IFG profits, off-fishing incomes and levels of enforcement of fisheries regulations can increase the probabilities of the use of IFG persistently and alternately. Conversely, education level and the transaction in the FA can reduce the probabilities of the use of IFG, otherwise increase the probabilities of the use of LFG
YUHKA SUNDAYA. Analisis Keuntungan dan Peluang Penggunaan Alat Tangkap Legal dan Illegal di Kabupaten Indramayu. (YUSMAN SYAUKAT sebagai Ketua Komidi Pembimbing dan DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai Anggota Komisi Pembimbing)
Hampir separuh pasokan komoditi ikan laut di Provinsi Jawa Barat berasal dari Kabupaten Indramayu, namun prospek kelestarian sumber daya kelautan dan perikanannya terancam oleh penggunaan alat tangkap destruktif. Penggunaannya telah merusak ekosistem yang menopang pertumbuhan sumber daya ikan yang berfungsi sebagai sumber penghasilan bagi nelayan. Pemerintah Kabupaten Indramayu dan Pemerintah Pusat telah menetapkan peraturan yang mengatur penggunaan jenis alat tangkap, sehingga muncul dua pilihan umum alat tangkap, yaitu alat tangkap legal (ATL) dan illegal (ATI). Di Kabupaten Indramayu terdapat indikasi bahwa 38 unit alat tangkap dalam industri perikanannya termasuk kategori illegal.
Penggunaan ATL dan ATI merupakan sebuah pilihan bagi nelayan. Pilihan tersebut bisa muncul dari berbagai faktor, baik ekonomi maupun non ekonomi. Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada tiga tujuan. Pertama, mengestimasi tingkat keuntungan ATL dan ATI, kedua, menguji perbedaan tingkat keuntungan ATL dan ATI, dan ketiga, mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi peluang nelayan untuk menjadi pengguna ATI secara tetap, dan bergantian serta pengguna ATL secara tetap di Kabupaten Indramayu.
Penelitian tesis ini disusun ke dalam delapan tubuh tulisan. Bab I menyajikan latar belakang dilakukannya penelitian tesis, pertanyaan penelitian pada rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan ruang lingkup penelitian.
Bab II menampilkan dua materi yang membantu fokus penelitian, yaitu teori yang menjelaskan mengenai faktor ekonomi dan non ekonomi dari tindakan
illegal fishing, dan rangkain studi mengenai ekonomi illegal fishing. Sekurang-kurangnya terdapat lima belas artikel terpilih yang membahas ekonomi illegal fishing. Tiga belas diantaranya memberikan kontribusi untuk menjelaskan insentif nelayan untuk melakukan illegal fishing di beberapa perairan, dan dua sisanya menggali keterangan dampak kegiatan illegal fishing di Sulawesi Tenggara. Pengalaman penelitian pada rangkaian studi tersebut telah membantu penulis di dalam menyusun kerangka konsptual dan metode penelitian.
Bab III menyajikan kerangka konseptual penelitian. Di dalamnya menampilkan model dasar ekonomi illegal fishing, dan bagian kedua menampilkan perluasannya. Model dasar untuk memahami perilaku mikroekonomi nelayan dalam memilih tindakan legal dan illegal diadaptasi dari Charles et al.(1999) dan perluasannya dipahami dari Sumaila dan Keith (2006). Hipotesis penelitian disusun berdasarkan model ekonomi illegal fishing tersebut.
memenuhi tujuan penelitian, yaitu metode matematik untuk mengestimasi keuntungan ATL dan ATI, metode statistik nonparametrik untuk menguji perbedaan keuntungan, dan metode ekonometrika ordered logit untuk memenuhi tujuan penelitian ketiga.
Bab V menampilkan informasi hasil survey dan penelaahan data sekunder mengenai tingkat penggunaan ATL dan ATI serta kondisi umum sektor perikanan laut di Kabupaten Indramayu. Uraian pada bagian pertama menyajikan informasi mengenai banyaknya nelayan sampel yang termasuk ke dalam kategori pengguna ATI secara tetap dan bergantian serta pengguna ATL secara tetap. Informasinya diangkat dari data primer hasil survey dan dilengkapi dengan pertimbangan nelayan untuk menggunakan ATL dan ATI. Selanjutnya, pada bab ini dikemukakan juga gambaran kondisi sektor perikanan laut yang mencakup uraian mengenai perkembangan dan sebaran produksi serta teknologi penangkapan ikan, kelembagaan pasar ikan serta upaya pengawasan dan pengendalian industri perikanan di Kabupaten Indramayu.
Bab 6 menampilkan hasil estimasi dan pengujian perbedaan keuntungan ATL dan ATI. Hasil estimasi keuntungan nelayan pemilik yang menggunakan ATL dan ATI menyimpulkan tiga informasi. Pertama, pada perahu dengan ukuran di bawah 5 gear tonnage (GT), keuntungan dari penggunaan per trip ATI lebih besar 113 560 rupiah dari keuntungan ATL, sebaliknya pada perahu berukuran 6 – 10 GT, keuntungan ATL lebih tinggi 197 900 dibandingkan keuntungan ATI. Kedua, pada nelayan pemilik yang sama – sama menggunakan perahu di bawah 5 GT dan melakukan transaksi di TPI, diestimasi bahwa keuntungan pengguna ATI lebih tinggi 82 870 rupiah dari pengguna alat tangkap legal. Ketiga, pada nelayan pemilik yang sama – sama menggunakan perahu di bawah 5 GT dan melakukan transaksi di luar TPI, diestimasi bahwa keuntungan pengguna ATI lebih tinggi 113 000 rupiah dari pengguna ATL. Keempat, pada nelayan pemilik yang sama-sama menggunakan perahu berukuran 6 – 10 GT dan melakukan transaksi di TPI, diestimasi bahwa keuntungan pengguna ATI lebih rendah 247 740 rupiah dari pengguna ATL. Kelima, pada nelayan pemilik yang sama-sama menggunakan perahu berukuran 6 – 10 GT dan melakukan transaksi di luar TPI, diestimasi bahwa keuntungan pengguna ATL lebih tinggi 3 250 rupiah dari pengguna ATI. Selanjutnya, ditampilkan hasil pengujian bahwa perbedaan keuntungan yang nyata secara statistik terjadi pada kategori nelayan pemilik yang menggunakan perahu di bawah 5 GT dan melakukan transaksi di TPI, serta kategori nelayan pemilik yang menggunakan perahu berukuran 6 – 10 GT dan melakukan transaksi di luar TPI.
Bab VII menampilkan hasil estimasi dan simulasi model ekonometrika
bergantian, dan sebaliknya dapat meningkatkan peluang penggunaan ATL secara tetap. Siimulasi model dilakukan dengan dua skenario. Skenario pertama adalah mengestimasi dampak perubahan keuntungan ATI terhadap peluang penggunaan ATI secara tetap dan bergantian serta peluang penggunaan ATL secara tetap ketika nelayan mengakses fasilitas TPI, sedangkan skenario simulasi kedua
mengestimasi dampak tersebut ketika nelayan tidak mengakses fasilitas TPI. Hasilnya dapat digunakan untuk merumuskan gagasan bahwa peluang penggunaan ATI akan tertutup apabila penggunaan per trip ATI menghasilkan kerugian sekurang-kurangnya 5 juta rupiah.
Hasil pembahasan pada Bab VI dan VII disimpulkan pada Bab VIII, dan ditambah dengan saran hasil penelitian. Secara disipliner diperlukan penelitian lanjutan dengan terlebih dahulu menyajikan kerangka konseptual yang membingkai perilaku miroekonomi nelayan di bawah regulasi input dan output perikanan yang bekerja secara simultan. Faktanya, nelayan merespon peraturan input dan output perikanan. Transaksi komoditi ikan direstriksi, dan hanya boleh dilakukan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Ke depan diperlukan kerangka pemikiran yang menganalisis perilaku mikroekonomi nelayan dengan menginternalisasikan kedua jenis peraturan tersebut secara simultan agar dapat menyusun proposisi yang cukup tajam untuk diuji secara empiris. Kemudian, dari sisi kebijakan, pertama, kebijakan subsidi ATL lengkap dengan alat bantunya telah dipertimbangan dapat mengurangi peluang penggunaan ATI. Dasar pemikiran kebijakan subsidi adalah mengantisipasi biaya sosial yang timbula dari penggunaan ATI. Kedua, diperlukan agenda pembangunan untuk memperluas dan mengoptimalkan peranan TPI bagi nelayan, dimana disamping dapat meningkatkan posisi tawar nelayan dan pembentukan harga secara bersaing, TPI juga memiliki fungsi kesejahteraan bagi nelayan melalui dana sosial dan jaminan keselamatan yang disisihkan dari retribusi di TPI, serta memiliki fungsi yang melekat dengan pengawasan perikanan. Terakhir, peluang penggunaan ATI dapat dicegah dengan melakukan persuasi kepada nelayan untuk menyamakan tujuan Pemerintah Daerah dalam melestarikan sumber daya laut dengan nelayan sebagai penggunanya. Saran terakhir merupakan pendekatan untuk meningkatkan pertimbangan moral pada nelayan pemilik.
Kata Kunci : Keuntungan, Peluang Pengguna ATI Tetap, Peluang Pengguna ATI Bergantian, Peluang Pengguna ATL tetap
TESIS
YUHKA SUNDAYA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :
ANALISIS KEUNTUNGAN DAN PELUANG PENGGUNAAN ALAT TANGKAP LEGAL DAN ILLEGAL DI KABUPATEN INDRAMAYU
Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi manapun. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juli 2011
Yuhka Sundaya NRP A151040101
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :
ANALISIS KEUNTUNGAN DAN PELUANG PENGGUNAAN ALAT TANGKAP LEGAL DAN ILLEGAL DI KABUPATEN INDRAMAYU
Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi manapun. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juli 2011
Yuhka Sundaya NRP A151040101
YUHKA SUNDAYA. Analysis of Profits and Probabilities
Nearly half the supply of sea fish commodity in West Java province comes from Indramayu district, but its resource sustainability is threatened by destructive fishing gear. These problems have prompted the government to establish the type of fishing gear regulations, so it appears the group of legal fishing gear (LFG) and illegal fishing gear (IFG) in the fishing industry. The purpose of this thesis research is to estimate and test the difference's profits from the use of LFG and IFG, and estimate the factors that affect fishing
The Use of Legal and Illegal Fishing Gear at District Indramayu. Under the Direction of YUSMAN SYAUKAT and DEDI BUDIMAN HAKIM.
probabilities to be IFG users persistently and alternately and LFG users persistently. The research objective is achieved by using primary data obtained through a survey. The difference's profits from IFG and LFG were tested with nonparametric statistical methods, and an ordered logit econometric approach used to meet the last objectives. The results are concluded, (1) the profits from using IFG greater than 113 560 rupiahs from LFG on boat size under 5 gear tonnage (GT), contrary to the boat size 60-10 GT, the profit from using LFG greater than 197 900 rupiahs from IFG, (2) there are significant differences between IFG and LFG profits in the fishermen who conduct transactions on fish auction (FA) and use the boat size below 5 GT, and the fishermen who make transactions outside of FA and using a boat sized 60-10 GT, and third, fishing probabilities to use IFG persistently and alternately and LFG users persistently are influenced by the profit per trip IFG, the type of market (FA or outside FA), off-fishing income, education level, and level of enforcement of fisheries regulations. The increase in IFG profits, off-fishing incomes and levels of enforcement of fisheries regulations can increase the probabilities of the use of IFG persistently and alternately. Conversely, education level and the transaction in the FA can reduce the probabilities of the use of IFG, otherwise increase the probabilities of the use of LFG
YUHKA SUNDAYA. Analisis Keuntungan dan Peluang Penggunaan Alat Tangkap Legal dan Illegal di Kabupaten Indramayu. (YUSMAN SYAUKAT sebagai Ketua Komidi Pembimbing dan DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai Anggota Komisi Pembimbing)
Hampir separuh pasokan komoditi ikan laut di Provinsi Jawa Barat berasal dari Kabupaten Indramayu, namun prospek kelestarian sumber daya kelautan dan perikanannya terancam oleh penggunaan alat tangkap destruktif. Penggunaannya telah merusak ekosistem yang menopang pertumbuhan sumber daya ikan yang berfungsi sebagai sumber penghasilan bagi nelayan. Pemerintah Kabupaten Indramayu dan Pemerintah Pusat telah menetapkan peraturan yang mengatur penggunaan jenis alat tangkap, sehingga muncul dua pilihan umum alat tangkap, yaitu alat tangkap legal (ATL) dan illegal (ATI). Di Kabupaten Indramayu terdapat indikasi bahwa 38 unit alat tangkap dalam industri perikanannya termasuk kategori illegal.
Penggunaan ATL dan ATI merupakan sebuah pilihan bagi nelayan. Pilihan tersebut bisa muncul dari berbagai faktor, baik ekonomi maupun non ekonomi. Penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada tiga tujuan. Pertama, mengestimasi tingkat keuntungan ATL dan ATI, kedua, menguji perbedaan tingkat keuntungan ATL dan ATI, dan ketiga, mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi peluang nelayan untuk menjadi pengguna ATI secara tetap, dan bergantian serta pengguna ATL secara tetap di Kabupaten Indramayu.
Penelitian tesis ini disusun ke dalam delapan tubuh tulisan. Bab I menyajikan latar belakang dilakukannya penelitian tesis, pertanyaan penelitian pada rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan ruang lingkup penelitian.
Bab II menampilkan dua materi yang membantu fokus penelitian, yaitu teori yang menjelaskan mengenai faktor ekonomi dan non ekonomi dari tindakan
illegal fishing, dan rangkain studi mengenai ekonomi illegal fishing. Sekurang-kurangnya terdapat lima belas artikel terpilih yang membahas ekonomi illegal fishing. Tiga belas diantaranya memberikan kontribusi untuk menjelaskan insentif nelayan untuk melakukan illegal fishing di beberapa perairan, dan dua sisanya menggali keterangan dampak kegiatan illegal fishing di Sulawesi Tenggara. Pengalaman penelitian pada rangkaian studi tersebut telah membantu penulis di dalam menyusun kerangka konsptual dan metode penelitian.
Bab III menyajikan kerangka konseptual penelitian. Di dalamnya menampilkan model dasar ekonomi illegal fishing, dan bagian kedua menampilkan perluasannya. Model dasar untuk memahami perilaku mikroekonomi nelayan dalam memilih tindakan legal dan illegal diadaptasi dari Charles et al.(1999) dan perluasannya dipahami dari Sumaila dan Keith (2006). Hipotesis penelitian disusun berdasarkan model ekonomi illegal fishing tersebut.
memenuhi tujuan penelitian, yaitu metode matematik untuk mengestimasi keuntungan ATL dan ATI, metode statistik nonparametrik untuk menguji perbedaan keuntungan, dan metode ekonometrika ordered logit untuk memenuhi tujuan penelitian ketiga.
Bab V menampilkan informasi hasil survey dan penelaahan data sekunder mengenai tingkat penggunaan ATL dan ATI serta kondisi umum sektor perikanan laut di Kabupaten Indramayu. Uraian pada bagian pertama menyajikan informasi mengenai banyaknya nelayan sampel yang termasuk ke dalam kategori pengguna ATI secara tetap dan bergantian serta pengguna ATL secara tetap. Informasinya diangkat dari data primer hasil survey dan dilengkapi dengan pertimbangan nelayan untuk menggunakan ATL dan ATI. Selanjutnya, pada bab ini dikemukakan juga gambaran kondisi sektor perikanan laut yang mencakup uraian mengenai perkembangan dan sebaran produksi serta teknologi penangkapan ikan, kelembagaan pasar ikan serta upaya pengawasan dan pengendalian industri perikanan di Kabupaten Indramayu.
Bab 6 menampilkan hasil estimasi dan pengujian perbedaan keuntungan ATL dan ATI. Hasil estimasi keuntungan nelayan pemilik yang menggunakan ATL dan ATI menyimpulkan tiga informasi. Pertama, pada perahu dengan ukuran di bawah 5 gear tonnage (GT), keuntungan dari penggunaan per trip ATI lebih besar 113 560 rupiah dari keuntungan ATL, sebaliknya pada perahu berukuran 6 – 10 GT, keuntungan ATL lebih tinggi 197 900 dibandingkan keuntungan ATI. Kedua, pada nelayan pemilik yang sama – sama menggunakan perahu di bawah 5 GT dan melakukan transaksi di TPI, diestimasi bahwa keuntungan pengguna ATI lebih tinggi 82 870 rupiah dari pengguna alat tangkap legal. Ketiga, pada nelayan pemilik yang sama – sama menggunakan perahu di bawah 5 GT dan melakukan transaksi di luar TPI, diestimasi bahwa keuntungan pengguna ATI lebih tinggi 113 000 rupiah dari pengguna ATL. Keempat, pada nelayan pemilik yang sama-sama menggunakan perahu berukuran 6 – 10 GT dan melakukan transaksi di TPI, diestimasi bahwa keuntungan pengguna ATI lebih rendah 247 740 rupiah dari pengguna ATL. Kelima, pada nelayan pemilik yang sama-sama menggunakan perahu berukuran 6 – 10 GT dan melakukan transaksi di luar TPI, diestimasi bahwa keuntungan pengguna ATL lebih tinggi 3 250 rupiah dari pengguna ATI. Selanjutnya, ditampilkan hasil pengujian bahwa perbedaan keuntungan yang nyata secara statistik terjadi pada kategori nelayan pemilik yang menggunakan perahu di bawah 5 GT dan melakukan transaksi di TPI, serta kategori nelayan pemilik yang menggunakan perahu berukuran 6 – 10 GT dan melakukan transaksi di luar TPI.
Bab VII menampilkan hasil estimasi dan simulasi model ekonometrika
bergantian, dan sebaliknya dapat meningkatkan peluang penggunaan ATL secara tetap. Siimulasi model dilakukan dengan dua skenario. Skenario pertama adalah mengestimasi dampak perubahan keuntungan ATI terhadap peluang penggunaan ATI secara tetap dan bergantian serta peluang penggunaan ATL secara tetap ketika nelayan mengakses fasilitas TPI, sedangkan skenario simulasi kedua
mengestimasi dampak tersebut ketika nelayan tidak mengakses fasilitas TPI. Hasilnya dapat digunakan untuk merumuskan gagasan bahwa peluang penggunaan ATI akan tertutup apabila penggunaan per trip ATI menghasilkan kerugian sekurang-kurangnya 5 juta rupiah.
Hasil pembahasan pada Bab VI dan VII disimpulkan pada Bab VIII, dan ditambah dengan saran hasil penelitian. Secara disipliner diperlukan penelitian lanjutan dengan terlebih dahulu menyajikan kerangka konseptual yang membingkai perilaku miroekonomi nelayan di bawah regulasi input dan output perikanan yang bekerja secara simultan. Faktanya, nelayan merespon peraturan input dan output perikanan. Transaksi komoditi ikan direstriksi, dan hanya boleh dilakukan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Ke depan diperlukan kerangka pemikiran yang menganalisis perilaku mikroekonomi nelayan dengan menginternalisasikan kedua jenis peraturan tersebut secara simultan agar dapat menyusun proposisi yang cukup tajam untuk diuji secara empiris. Kemudian, dari sisi kebijakan, pertama, kebijakan subsidi ATL lengkap dengan alat bantunya telah dipertimbangan dapat mengurangi peluang penggunaan ATI. Dasar pemikiran kebijakan subsidi adalah mengantisipasi biaya sosial yang timbula dari penggunaan ATI. Kedua, diperlukan agenda pembangunan untuk memperluas dan mengoptimalkan peranan TPI bagi nelayan, dimana disamping dapat meningkatkan posisi tawar nelayan dan pembentukan harga secara bersaing, TPI juga memiliki fungsi kesejahteraan bagi nelayan melalui dana sosial dan jaminan keselamatan yang disisihkan dari retribusi di TPI, serta memiliki fungsi yang melekat dengan pengawasan perikanan. Terakhir, peluang penggunaan ATI dapat dicegah dengan melakukan persuasi kepada nelayan untuk menyamakan tujuan Pemerintah Daerah dalam melestarikan sumber daya laut dengan nelayan sebagai penggunanya. Saran terakhir merupakan pendekatan untuk meningkatkan pertimbangan moral pada nelayan pemilik.
Kata Kunci : Keuntungan, Peluang Pengguna ATI Tetap, Peluang Pengguna ATI Bergantian, Peluang Pengguna ATL tetap
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB
Bolak Balik
YUHKA SUNDAYA
Tesis
Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS
Nama : Yuhka Sundaya
NRP : A151040101
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing,
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec
Ketua Anggota
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis, yang menjadi syarat dalam penyelesaian studi Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penyelesaian tesis ini tidak luput dari kontribusi banyak pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah dengan sabar memberikan arahan, koreksi dan motivasi hingga tesis ini diselesaikan.
2. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah dengan sabar juga memberikan arahan, koreksi dan motivasi hingga tesis ini diselesaikan.
3. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA sebagai Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan sebagai dosen di Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) yang telah membantu penyelesaian studi dan memberikan referensi yang menunjang penulis untuk menggali ilmu pengetahuan lebih dalam.
4. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS yang telah memberikan koreksi pada saat ujian tesis, sehingga penulis dapat memperbaikinya sebagaimana diharapkan.
5. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS sebagai wakil program studi pada saat ujian tesis dan telah memberikan koreksi sehingga penulis dapat memperbaikinya sebagaimana diharapkan.
6. Dr. Atih Rohaeti Dariah, SE., M.Si yang telah memberikan rekomendasi untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor, teman diskusi dan bantuan materiil serta non materiil bagi penulis.
7. Mansyur Mulyakusumah, SE., MA (almarhum) yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor.
9. Orang Tua dan Adik yang telah memberikan do’a dan dorongan atas penyelesaian tesis ini.
10. Adi Hadianto, SP., M.Si yang selalu memotivasi, teman diskusi, dan dalam proses kolokium hingga ujian tesis telah membantu tempat tinggal bagi penulis.
11. Bapak Deden, PPNS SDKP Kabupaten Indramayu dan Bapak Alimin sebagai Kepala SATKER SDKP Kejawanan Cirebon yang telah membantu proses pengumpulan data penelitian.
12. Keluarga Bapak Dadang yang memberikan tempat tinggal selama penulis melakukan survey di Kabupaten Indramayu.
13. Rubi Garniwan dan Yani Suryani sebagai staff sekretariat EPN yang selalu memberikan informasi berharga terkait dengan jadwal penyelesaian tesis dan acuan gaya selingkung tesis.
14. Teguh Aji Santoso dan Wira yang memberikan bantuan kendaraan dan curahan waktunya dalam kegiatan survey.
15. Handian Purwawangsa, Iwan Hermawan, Aristo Erdward, Herni Kartikawati atas diskusi dan motivasinya, baik selama kuliah maupun dalam penyelesaian tesis.
Akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat luas khususnya kalangan perguruan tinggi sebagai referensi dalam melakukan penelitian.
Bogor, Juli 2011
Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 24 Mei 1976 dari pasangan Sukisno dan Yeyet Mintarsih yang merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Noffita Dwi Restu Putri, SE pada Mei 2003, dan alhamdulillah telah dikaruniai seorang putri bernama Shinta Tahannifia yang saat ini tengah belajar di kelas 1 Pendidikan Sekolah Dasar.
Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1988 dari SDN I Bojongloa, Bandung. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama diselesaikan pada tahun 1991 dari SMP Bina Dharma II, Bandung. Pendidikan Sekolah Menengah Atas diselesaikan pada tahun 1994 dari SMUN I Buah Batu (sekarang SMUN 25), Bandung. Gelar Sarjana Ekonomi diperoleh pada tahun 2000 pada Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Bandung (UNISBA). Sejak SMA, penulis telah mencurahkan sebagian sumber daya waktu untuk aktif pada organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, kemahasiswaan, alumni dan profesi, antara lain Ketua Karang Taruna, Ketua Bidang PTKP HMI Koordinator Komisariat UNISBA, Anggota Majelis Mahasiswa UNISBA, Sekretaris Ikatan Alumni Fakultas Ekonomi UNISBA, Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Ikatan Alumni UNISBA, Sekretaris Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Komisariat UNISBA.
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 10
1.4. Kegunaan Penelitian ... 10
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14
2.1. Faktor Ekonomi dan Non Ekonomi dibalik Illegal Fishing .. 15
2.2. Studi Literatur Penelitian Terdahulu ... 20
III. KERANGKA KONSEPTUAL ... 32
3.1. Model Dasar Ekonomi Illegal Fishing ... 32
3.2. Pengembangan Model Dasar Ekonomi Illegal Fishing ... 38
3.3. Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Alat Tangkap Legal dan Illegal : Kerangka dan Hipotesis ... 42
IV. METODE PENELITIAN ... 47
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 47
4.2. Data Penelitian ... 48
4.3. Sampel Penelitian ... 49
4.4. Metode Analisis ... 52
4.4.1. Metode Pendugaan Keuntungan Usaha Perikanan .... 52
4.4.2. Metode Pengujian Beda Keuntungan Alat Tangkap Legal dan Illegal ... 54
4.4.2. Spesifikasi Model Ekonometrika ... 58
4.4.4. Validasi Model Ekonometrika ... 66
ii
5.1. Klasifikasi Jenis dan Tingkat Penggunaan Alat Tangkap
Legal dan Illegal : Hasil Temuan Survey ... 69
5.2. Produksi Ikan dan Teknologi Penangkapan Ikan ... 71
5.3. Kelembagaan Pasar Ikan ... 78
5.4. Upaya Pengawasan dan Pengendalian Industri Perikanan .... 85
VI. PERBEDAAN KEUNTUNGAN ALAT TANGKAP LEGAL DAN ILLEGAL ... 95
6.1. Hasil Estimasi Keuntungan Alat Tangkap Legal dan Illegal 95
6.2. Signifikansi Perbedaan Keuntungan Alat Tangkap Legal dan Illegal ... 103
VII. PELUANG NELAYAN PENGGUNA ALAT TANGKAP ILLEGAL TETAP DAN BERGANTIAN SERTA PENGGUNA ALAT TANGKAP LEGAL TETAP DI KABUPATEN INDRAMAYU ... 108
7.1. Validitas Hasil Pendugaan Model ... 108
7.2. Faktor yang Mempengaruhi Peluang Nelayan Pengguna Tetap dan Bergantian Alat Tangkap Illegal dan Pengguna Tetap Alat Tangkap Legal : Odds Ratio dan Efek Marjinal .. 111
7.3. Hasil Simulasi Model ... 122
7.4. Kebijakan untuk Meredam Penggunaan Alat Tangkap Illegal ... 127
VIII. SIMPULAN DAN SARAN ... 132
8.1. Simpulan ... 132
8.2. Saran ... 133
8.2.1. Prospek Penelitian Selanjutnya ... 134
8.2.2. Saran Kebijakan ... 135
iii
Nomor Halaman
1. Lima Kabupaten Penghasil Produksi Ikan Terbesar di Provinsi
Jawa Barat Tahun 1991 – 2008 ... 1
2. Jenis, Jumlah, Produksi dan Rataan Produksi Alat Tangkap di Kabupaten Indramayu Tahun 2004 – 2007 ... 5
3. Sebaran Sampel Penelitian ... 50
4. Jumlah Pengguna Alat Tangkap Legal dan Illegal Menurut Ukuran Gear Tonnage ... 70
5. Klasifikasi Frekuensi Penggunaan Alat Tangkap Illegal ... 70
6. Pertimbangan Menggunakan Alat Tangkap Legal dan Illegal ... 71
7. Sebaran Nelayan di Kabupaten Indramayu Tahun 2007 – 2009... 73
8. Proporsi Bagi Hasil Nelayan Pemilik dengan ABK Hasil Survey di Kabupaten Indramayu ... 74
9. Sebaran Jumlah dan Nilai Produksi Ikan Laut di Kabupaten Indramayu Tahun 2007 – 2009 ... 75
10. Sebaran Kapal Perikanan di Kabupaten Indramayu Tahun 2009 ... 77
11. Sebaran dan Perkembangan Jenis Alat Tangkap Perikanan di Kabupaten Indramayu Tahun 2007 - 2009... 78
12. Klasifikasi Jumlah Pengguna Alat Tangkap Legal dan Illegal Menurut Jenis Pasar Ikan ... 79
13. Faktor-Faktor yang Menghindari Pilihan Nelayan terhadap TPI : Hasil Survey ... 80
14. Kepemilikan Izin Usaha Perikanan (IUP) ... 86
15. Hasil Operasi Rutin Pengawasan SDKP ... 87
16. Hasil Operasi Terpadu Pengawasan SDKP... 89
17. Tingkat Penegakan terhadap Peraturan Alat ... 90
iv
21. Popularitas Kelompok Pengawas Masyarakat (POKWASMAS) ... 93 22. Keterlibatan pada Kelompok Pengawas Masyarakat ... 93 23. Frekuensi Laporan Kelompok Pengawas Masyarakat ... 94 24. Keuntungan Pengguna Alat Tangkap Legal dan Illegal dengan
Ukuran Perahu di Bawah 5 GT ... 96 25. Keuntungan Pengguna Alat Tangkap Legal dan Illegal dengan
Ukuran Perahu 6 – 10 GT ... 98 26. Keuntungan Pengguna Alat Tangkap Legal dan Illegal dengan
Ukuran Perahu di Bawah 5 GT Menurut Jenis Pasar ... 101 27. Keuntungan Pengguna Alat Tangkap Legal dan Illegal dengan
Ukuran Perahu 6 – 10 GT dari Tempat Pelelangan Ikan ... 102 28. Nilai Statistik SF Peubah Keuntungan Nelayan Menurut
v
Nomor Halaman
1. Determinan Kepatuhan Nelayan terhadap Aturan Perikanan ... 16 2. Kerangka Pilihan Alat Tangkap Legal dan Illegal Bagi
Nelayan Pemilik ... 43 3. Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat ... 48 4. Faktor yang Mempengaruhi Peluang Pengguna ATI Tetap dan
Bergantian serta Pengguna ATL Tetap di Kabupaten
Indramayu ... 59 5. Kecamatan yang Memiliki Pantai di Kabupaten Indramayu .... 72 6. Perkembangan Jumlah dan Nilai Produksi di Kabupaten
Indramayu Tahun 2009 ... 76 7. Mekanisme Pasar Lelang Komoditi Ikan di Kabupaten
Indramayu ... 83 8. Sebaran TPI di Kabupaten Indramayu ... 85 9. Dampak Perubahan Keuntungan ATI pada TPI dan Luar TPI
terhadap Peluang Pengguna Alat Tangkap Illegal Tetap dan
vi
Nomor Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 143 2. Daftar Singkatan Istilah... 146 3. Data Penelitian ... 148 4. Hasil Uji Perbedaan Keuntungan Alat Tangkap Legal dan
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kabupaten Indramayu merupakan daerah penghasil ikan laut paling besar
di Provinsi Jawa Barat. Perkembangan produksi ikan laut dari tahun 1991 hingga
2008 yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa lebih dari separuh pasokan
produksi ikan di Jawa Barat bersumber dari Kabupaten Indramayu. Peran penting
sektor perikanan Kabupaten Indramayu tersebut harus dipertahankan agar
kebutuhan konsumsi dan produksi berbasis komoditi ikan di masa mendatang
dapat terpenuhi. Menurut Dahuri (2003), keanekaragaman hayati di kawasan
pesisir dan lautan berperan untuk menunjang kegiatan bioindustri, seperti industri
pangan, sandang, papan, pendidikan, farmasi dan kosmetika, energi, komunikasi
atau informasi, keamanan (defense), dan pariwisata. Oleh karena itu pemanfaatan
sumberdaya perikanan harus dilakukan secara lestari supaya mampu menunjang
kegiatan ekonomi dan sosial lainnya.
Tabel 1. Lima Kabupaten Penghasil Produksi Ikan Terbesar di Provinsi Jawa Barat Tahun 1991 – 2008
Ribu Ton
Kabupaten 1991 1995 2000 2005 2006 2007 2008 Sukabumi 4.5 7.7 4.4 9.8 9.3 9.0 8.9 Cirebon 16.7 15.9 17.0 40.6 38.7 21.0 35.5 Indramayu 49.2 60.2 61.9 67.3 72.3 80.7 94.8 Subang 10.1 14.0 13.6 17.5 16.6 17.9 18.0 Karawang 9.3 9.7 11.4 11.2 2.2 2.4 7.1 Provinsi
Jawa Barat 97.7 114.7 116.6 155.3 149.5 141.5 176.4
Sumber : Statistik Jawa Barat dalam Angka, Tahun 2000 – 2009
Arah pembangunan sumber daya kelautan dan perikanan yang lestari telah
menjadi amanat undang-undang dan bagian rencana strategis Kementrian
Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 (UU 31/2004) tentang Perikanan,
pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta
terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan.1
1
UU 31/2004 dirubah dengan UU 45/2009. UU 31/2004 dipandang belum sepenuhnya
mampu mengantisipasi perkembangan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya ikan. Namun demikian, Pasal 6 Ayat 1 dalam undang-undang sebelumnya tidak mengalami perubahan.
Kemudian dalam Rencana Strategis
Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP)2010 – 2014 telah ditetapkan strategi
bahwa dalam rangka mengelola sumber daya kelautan dan perikanan secara
berkelanjutan, salah satu upayanya adalah membebaskan Indonesia dari kegiatan
kegiatan yang merusak sumber daya kelautan dan perikanan.
Kerusakan terhadap sumberdaya perikanan dapat ditimbulkan oleh adanya
penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan atau destruktif. Praktek
perikanan destruktif adalah kegiatan penangkapan dan budidaya ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia dengan menggunakan bahan kimia,
bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat
merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau
lingkungannya (Nikijuluw, 2008). Penggunaan trawl, misalnya, dapat mengeruk
benda apapun yang ada di dasar laut. Penggunaannya dapat menghasilkan by
catch atau jenis ikan di luar target tangkapan yang berjumlah besar, bahkan bisa
merusak ekosistem, seperti rusaknya terumbu karang yang menjadi habitat ikan
untuk berkembang biak. Oleh karena itu, langkah antisipatif dan preventif
terhadap penggunaan alat tangkap destruktif memiliki arti penting dalam
Langkah preventif telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Indramayu.
Industri penangkapan ikan di Kabupaten Indramayu telah diatur oleh dua jenis
Peraturan Daerah. Pertama, Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2005
(Perda 16/2005) tentang Usaha Perikanan, dan kedua, Perda Nomor 14 Tahun
2006 (Perda 14/2006) tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah
(KKLD) dan Penataan Fungsi Pulau Biawak, Gosong dan Pulau Candikian.
Mengacu pada Perda tersebut, penggunaan alat tangkap terlarang akan dikenakan
denda dan hukuman penjara. Dua resiko yang harus dihadapi oleh nelayan
pengguna alat tangkap terlarang. Keberadaan Perda tersebut menunjukkan bahwa
secara yuridis formal industri perikanan tidak sepenuhnya bersifat akses terbuka
(open access). Setiap usaha perikanan, termasuk nelayan perorangan harus
memiliki izin usaha yang dibuktikan dengan dimilikinya Izin Usaha Perikanan
(IUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Melalui proses perizinan tersebut,
sejak awal Pemerintah Daerah dapat melakukan seleksi penggunaan alat tangkap.
Namun sejak tahun 2002 ditemukan penggunaan alat tangkap yang telah
menimbulkan konflik pada masyarakat nelayan. Pada tahun 2002 muncul konflik
horisontal pada masyarakat nelayan akibat sebagian kelompok nelayan
menggunakan minitrawl.2
2
Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Jabar & Banten, Senin19 September 2002.
Kemudian, pada tahun 2003, Dinas Perikanan Provinsi
Jawa Barat bekerjasama dengan Oseanografi – Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) mengidentifikasi rusaknya terumbu karang di Pulau Biawak
akibat penggunaan bahan peledak. Hasil survey Nurasa (2005) di Desa Ilir,
Dariah et al.(2007) mencatat sekitar 40 persen nelayan di Desa Cangkring
menggunakan mini trawl.
Pada tahun 2008, sebagian nelayan Indramayu mendesak pemerintah,
khususnya Tentara Nasional Indonesa Angkatan Laut (TNI AL), untuk segera
melakukan penertiban trawl karena sangat merugikan nelayan tersebut.3
Selanjutnya, pada tahun 2009, pengurus Koperasi Unit Desa (KUD) Mina Fajar
Blanakan melaporkan bahwa desakan ekonomi membuat sebagian nelayan
menggunakan alat tangkap yang dilarang. Jaring arad dan pukat harimau masih
banyak dipakai nelayan karena dinilai menguntungkan, padahal penggunaannya
dilarang karena dapat merusak terumbu karang dan ekosistem laut. Kemudian,
KUD Nelayan Mina Bahari melaporkan data bahwa sekitar 400 perahu dari total
800 perahu memakai jaring arad.4
3
Harian Umum Pikiran Rakyat, Rubrik Jawa Barat, Selasa 27 Februari 2008
4
Harian Umum Kompas, Kamis 19 Februari 2009
Laporan tersebut menunjukkan gejala bahwa sebagian nelayan tampak
mengabaikan ancaman sosial dan pidana. Bercermin pada kejadian tahun 2002
dan 2008, nelayan pengguna alat tangkap destruktif akan menghadapi aksi protes
dari nelayan lain, dan bila tertangkap akan diancam dengan hukuman pidana
berdasarkan Perda 16/2005 dan Perda 14/2006. Namun demikian, laporan pada
tahun 2009 menunjukkan bahwa kedua ancaman tersebut seolah tidak menjadi
cermin bagi nelayan lain untuk menghindari penggunaan alat tangkap illegal
(ATI) yang bisa menimbulkan kerusakan lingkungan laut, dan menjadi sinyal
bahwa motif keuntungan ekonomi mendorong sebagian nelayan untuk
mengabaikan aturan alat tangkap. Namun, kenyataan juga menunjukkan bahwa
Penggunaan beragam jenis alat tangkap legal (ATL) dan ATI merupakan
sebuah pilihan bagi nelayan. Pilihan tersebut tentu merupakan hasil pertimbangan
dari berbagai faktor. ATL dan ATI, masing-masing memiliki manfaat ekonomi
yang berbeda bagi nelayan, yang tercermin melalui keuntungan ekonominya. Oleh
karena itu penelitian empiris yang penting dilakukan adalah menganalisis
keuntungan dan penggunaan ATL dan ATI, sehingga dapat memberikan informasi
yang bermanfaat untuk perumusan kebijakan kelestarian sumber daya perikanan,
seperti diamanatkan oleh Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2004.
1.2. Rumusan Masalah
Dari aspek teknologi, industri perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu
didominasi oleh nelayan pengguna perahu motor tempel. Pengguna motor tempel
tercatat sebanyak 5 628 unit atau 93 persen, sedangkan nelayan pengguna perahu
motor tempel dan kapal motor masing-masing sebanyak 80 unit dan 320 unit
(BPS Provinsi Jawa Barat, 2009). Daya jangkau motor tempel yang hampir
seragam menimbulkan tingginya persaingan dalam industri penangkapan ikan,
yang kemudian dapat membuka peluang digunakannya alat tangkap terlarang.
Ragam alat tangkap beserta unit, jumlah produksi dan trip penggunaannya
di Kabupaten Indramayu ditampilkan pada Tabel 2. Rata-rata produksi pada tabel
tersebut adalah rasio dari jumlah produksi terhadap jumlah unit alat, sehingga
dapat diartikan sebagai rata-rata tonase hasil tangkapan per unit alat tangkap. Pada
tahun 2009, total unit alat tangkap yang digunakan di Kabupaten Indramayu
tercatat sebanyak 7 243 unit. Jumlahnya menurun 23 persen dari tahun 2008.
Penurunan tersebut terjadi karena tidak digunakannya lagi alat pancing tonda dan
Tabel 2. Jenis, Jumlah, Produksi dan Rata-Rata Produksi Alat Tangkap di Kabupaten Indramayu Tahun 2004 – 2007
Jenis Alat
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, data diolah kembali
Keterangan : * Dilarang oleh Perda 14/2006 Pasal 1.
Pada tabel tersebut ditampilkan juga empat jenis alat tangkap yang tidak
sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu dan Pemerintah Pusat.
Empat jenis alat tangkap tersebut ditampilkan pada keempat urutan pertama yang
dibubuhkan tanda bintang, yaitu pukat dogol (mini trawl), jaring insang lingkar,
jaring insang klitik, dan jaring insang tiga lapis.
Menurut Dahuri (2003), trawl tidak selektif dan dapat merusak dasar laut.
Apabila pengoperasiannya dilakukan secara intensif, maka tingkat kerusakan
habitat dasar kadang kala dapat melebihi tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh
badai gelombang. Pengoperasian pukat harimau dengan lebar mulut pukat 20
meter selama satu jam, dan ditarik dengan kecepatan 5 km per jam dapat merusak
dasar laut seluas 1 km.
Jaring insang lingkar dapat menutup seluruh lapisan air dari permukaan
hingga ke dasar perairan. Begitupun halnya dengan jaring insang tiga lapis yang
dioperasikan dengan cara menarik di dasar perairan untuk membentuk lingkaran
dari kapal yang dijangkarkan (Direktorat Jendral P2SDKP, 2009). Cara kerja alat
tangkap demikian dapat menyebabkan hilang atau rusaknya yang organisme hidup
tidak bergerak seperti rumput laut dan terumbu karang. Di dasar yang berpasir
atau berlumpur dapat memicu kekeruhan yang tinggi dan berakibat buruk bagi
kelangsungan hidup terumbu karang (Dirjen KP3K, 2006).
Jaring insang klitik layak secara keuangan, tapi bukan opsi untuk
digunakan. Malanesia et al.(2008) membandingkan empat belas jenis alat tangkap
dari sisi dampak lingkungan dan kelayakan finansial. Hasilnya menunjukkan
jaring tersebut memiliki dampak negatif yang lebih besar terhadap ekosistem
dibandingkan alat tangkap lainnya.
Harapan kemampuan alat tangkap terlarang untuk memberikan
keuntungan ekonomi yang tinggi menjadi insentif bagi sebagian nelayan.
Indikasinya dapat dikaji dari perbandingan produksi setiap jenis alat tangkap.
Pada Tabel 2, tampak adanya penurunan jumlah unit ATL dan ATI.
Perbedaannya, penurunan jumlah unit ATI sejak tahun 2008 dan 2009 diikuti oleh
penurunan rata-rata produksinya, yang secara berurutan 42 ton dan 40 ton per unit
ATI, sebaliknya penurunan jumlah unit ATL pada periode yang sama diikuti oleh
kenaikan rata-rata produksinya, yang secara berurutan sebesar 11 ton dan 18 ton.
Secara agregat, sejak tahun 2008, rata-rata produksi per unit ATI lebih
besar dari ATL, tapi tidak tercermin secara individual. Misalnya, pada tahun 2009
rata-rata produksi per unit pukat dogol sebesar 31 ton lebih rendah dari rata-rata
produksi per unit pukat cincin sebesar 67 ton. Bahkan meskipun terdapat
penurunan jumlah unit alat tangkap jaring insang hanyut pada tahun 2009, tapi
kemampuan produksinya masih meningkat dari tahun 2008, sehingga rata-rata
produksi per unitnya meningkat drastis. Kemudian, yang menimbulkan
pertanyaan, mengapa jaring insang tiga lapis sebagai bagian dari ATI tidak
digunakan lagi sejak tahun 2008, dan pada jenis ATL, jaring insang tetap tidak
digunakan lagi sejak tahun 2007. Data statistik tersebut menampilkan keterangan
bahwa dalam industri perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu terdapat
pergeseran pilihan penggunaan jenis alat tangkap.
Data produksi aggregatif tidak memberikan informasi yang jelas mengenai
jenis alat tangkap memiliki kemampuan daya tangkap yang berbeda-beda. Setiap
jenis alat tangkap memiliki jenis ikan target yang mungkin berbeda satu sama
lain, dan dari perbedaan tersebut akan menentukan perbedaan tingkat penerimaan.
Tingkat penerimaan juga dapat berbeda terkait perbedaan lokasi dan lembaga
transaksinya. Begitupun halnya dengan perbedaan pada struktur biayanya,
sehingga keduanya dapat menghasilkan tingkat keuntungan ekonomi yang
berbeda – beda. Pengamatan demikian membuka pertanyaan penelitian mengenai
berapa besar keuntungan ekonomi dari alat tangkap legal dan illegal ? dan apakah
terdapat perbedaan keuntungan yang berarti diantara keduanya, sehingga pada
tahun 2009 sekitar 13 persen nelayan masih menggunakan ATI ?
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada tahun 2009 terdapat 13 persen ATI, dan
87 persen ATL. Proporsi dua kategori alat tangkap tersebut mengalami perubahan
sejak tahun 2007. Indikasi demikian memotivasi munculnya pertanyaan mengenai
faktor apa saja yang dapat mendorong dan meredam nelayan untuk menggunakan
ATI dan ATL ? kemudian bagaimana prospeknya di Kabupaten Indramayu,
apakah peluang nelayan untuk menggunakan alat tangkap legal akan lebih besar
dibandingkan peluang untuk menggunakan alat tangkap terlarang ?
Pertanyaan terakhir tampak bersifat dikotomi dan memerlukan koreksi
lebih lanjut. Keperluan tersebut muncul karena dalam satu tahun nelayan
menghadapi empat musim. Menurut Mulyadi (2005), dalam dunia kenelayanan
dikenal empat musim, yaitu musim barat (dari September hingga Desember),
musim utara (dari Desember hingga maret), musim timur (dari Maret hingga
Juni), dan musim selatan (dari Juni hingga september). Perbedaan musim tersebut
nelayan. Informasi demikian dikemukakan oleh hasil temuan Nurasa (2005) di
Desa Ilir Kabupaten Indramayu.
Informasi diversifikasi penggunaan alat tangkap tersebut membuka
beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, terdapat nelayan yang sepanjang
musim menggunakan ATI. Kedua, terdapat kemungkinan nelayan yang sepanjang
musim melakukan ATI dan ATL secara bergantian. Kemungkinan ketiga, terdapat
nelayan yang sepanjang musim menggunakan ATL. Dengan demikian, pertanyaan
penelitian yang lebih sederhana adalah faktor apa saja yang mempengaruhi
peluang nelayan untuk menggunakan ATI secara tetap maupun bergantian dan
peluang menggunakan ATL secara tetap ?
1.3. Tujuan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang muncul pada rumusan masalah dapat
dijelaskan dengan melakukan penelitian empiris yang diarahkan untuk :
1. Mengestimasi tingkat keuntungan alat tangkap legal dan illegal di
Kabupaten Indramayu.
2. Menguji perbedaan tingkat keuntungan alat tangkap legal dan illegal di
Kabupaten Indramayu.
3. Mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi peluang nelayan untuk
menjadi pengguna alat tangkap illegal secara tetap maupun bergantian dan
pengguna alat tangkap legal secara tetap di Kabupaten Indramayu.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan disipliner
contoh empiris mengenai studi ekonomi illegal fishing atau penangkapan ikan
secara tidak syah. Belajar dari Nikijuluw (2008) dan hasil studi literatur, tampak
bahwa studi mengenai tingkat kepatuhan nelayan terhadap regulasi perikanan di
Indonesia masih sedikit ditemukan.
Secara praktis, hasil akhir penelitian ini diharapkan memiliki potensi untuk
menjadi acuan Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu di dalam menyusun
strategi kebijakan menuju pembangunan perikanan yang lestari. Hasil penelusuran
literatur menunjukkan bahwa informasi empiris mengenai implikasi ekonomi
terhadap pilihan alat tangkap legal dan illegal masih sulit ditemukan di Kabupaten
Indramayu.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Obyek yang akan menjadi kajian empiris penelitian ini adalah perikanan di
Kabupaten Indramayu. Indramayu terletak di Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat
yang berhadapan langsung dengan sebahagian Laut Jawa. Obyek perikanan
tersebut menjadi dasar untuk menentukan kerangka sampel atau contoh penelitian.
Unit analisis penelitian ini adalah nelayan pemilik. Nelayan pemilik adalah
nelayan yang memiliki asset perikanan seperti alat tangkap dan perahu. Nelayan
pemilik mempekerjakan nelayan anak buah kapal (ABK). Nelayan pemilik
dipertimbangkan sebagai unit yang memutuskan untuk memilih jenis alat tangkap.
Penelitian ini mengembangkan kerangka kerja ekonomi illegalfishing atau
dikenal juga dengan istilah model pencegahan (detterence models). Secara umum,
frase illegal fishing tersebut diartikan sebagai tindakan nelayan yang tidak
mempertimbangkan regulasi atau peraturan input dan output perikanan.
fishing. Secara spesifik, penelitian ini dibatasi pada regulasi alat tangkap sebagai
input perikanan.
Belajar dari hasil penelitian terdahulu, kajian mengenai respon nelayan
terhadap regulasi perikanan dibantu oleh pendekatan ekonometrik dan optimisasi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan statistik dan ekonometrik. Pendekatan
statistik dilakukan untuk menguji perbedaan keuntungan, dan pendekatan
ekonometrika ordered logit yang digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor
yang mempengaruhi peluang nelayan untuk menjadi pengguna alat tangkap illegal
secara tetap maupun bergantian dan pengguna alat tangkap legal secara tetap.
Pengertian illegal hanya digunakan untuk menunjukkan ketidaksesuaian
jenis alat tangkap aktual yang digunakan nelayan dengan ketentuan dalam Pasal 1
Perda 14/2006, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor Per.08/Men/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan
Jaring Insang (gill net) di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Menggali
informasi jenis alat tangkap yang digunakan nelayan pemilik berdasarkan
penurutuannya menghadapi peluang benar atau salah. Lebih dari itu, nelayan
pemilik ditemui di rumahnya, sehingga dengan batasan waktu menyulitkan untuk
melihat jenis alatnya secara fisik. Untuk mengurangi peluang kesalahan tersebut,
informasi mengenai jenis alat tangkap dilengkapi dengan informasi mengenai cara
kerja alat tangkap yang digali dengan wawancara. Cara kerja alat tangkap tersebut
menjadi pertimbangan untuk mengelompokkan jenis ATI dan ATL yang
digunakan nelayan pemilik. Secara sederhana, cara kerja alat tangkap yang
menyapu bagian dasar laut dikelompokkan sebagai ATI, dan yang tidak menyapu
Periode data yang digunakan dalam penelitian ini adalah per trip, kecuali
frekuensi penggunaan setiap jenis alat tangkap. Data yang digunakan untuk
mengestimasi keuntungan setiap jenis alat tangkap adalah data hasil tangkapan
dan harga ikan, serta volume penggunaan beragam input penangkapan ikan
beserta harga pembeliannya. Data tersebut memiliki periode per trip, sehingga
tidak menangkap adanya variasi perubahan musim. Sementara itu, data frekuensi
penggunaan alat tangkap memiliki periode bulanan, dan data penelitian selebihnya
terdiri dari data kualitatif yang terkait dengan penilaian nelayan terhadap
penegakan peraturan perikanan di Kabupaten Indramayu.
Basis perbedaan keuntungan ATI dan ATL menggunakan kesamaan gear
tonnage (GT) perahu. Hasil pengamatan menglompokkan dua ukuran GT, yaitu di
bawah 5 GT dan 6 – 10 GT. Kriteria lain untuk melengkapi basis perbedaan
keuntungan adalah kesamaan perahu. Namun semua nelayan pemilik yang
dijadikan sampel menggunakan perahu motor tempel (PTM), sehingga semuanya
identik.
Selanjutnya, diasumsikan bahwa dalam masyarakat nelayan terdapat
perilaku hubungan saling mempengaruhi dalam hal pengambilan keputusan
ekonomi nelayan. Misalnya, penggunaan suatu jenis alat tangkap nelayan pemilik
mempertimbangkan manfaat ekonomi yang diperoleh dari alat tangkap tersebut
yang diperoleh nelayan pemilik lain. Perilaku ini dapat disebut perilaku highliner
illusion. Menurut Fauzi (2005) highliner illusion adalah nelayan atau kelompok
nelayan yang memiliki kelebihan keterampilan dan modal sehingga cenderung
memperoleh pendapatan lebih tinggi dari nelayan umumnya, dan mereka menjadi
I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 10
1.4. Kegunaan Penelitian ... 10
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 11
Tabel :
1. Lima Kabupaten Penghasil Produksi Ikan Terbesar di Provinsi Jawa
Barat Tahun 1991 – 2008 ... 1
2. Jenis, Jumlah, Produksi dan Rataan Produksi Alat Tangkap di
Dilihat dari kegiatannya, penggunaan alat tangkap illegal oleh nelayan merupakan bagian dari isu perikanan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU). Menurut Nikijuluw (2008), batasan dan definisi perikanan IUU secara internasional merujuk pada International Plan of Action to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IPOA-IUU). IPOA-IUU diprakarsai dan disponsori oleh Food and Agricultural Organization (FAO) dalam konteks implementasi FAO-Code of Conduct for Responsible Fisheries. Di dalamnya terdapat rencana aksi masyarakat internasional. Dimana salah satu rencana aksinya adalah mencegah, mengatasi, dan mengurangi perikanan IUU. Dokumen IPOA-IUU sendiri diterima secara konsensus oleh seluruh peserta sidang Commitee on Fisheries (COFA) ke-24 yang dilakukan di Roma, Italia, pada 23 Juni 2001.
Penelitian ini mengacu pada tema illegal fishing. Terdapat beberapa definisi illegal fishing menurut ahli ekonomi perikanan. Nikijuluw (2008) dan Bailey (2007) mengartikan illegal fishing sebagai penangkapan ikan yang dilakukan dengan melanggar peraturan yang ada. Menurut Drammeh (2000) praktek illegal fishing mencakup penggunaan alat peledak, racun, gear penangkaan ikan yang destruktif (jaring dengan ukuran mata jaring yang sangat kecil). Sementara itu, Charles et al.(1999) memandang bahwa illegal fishing
merupakan hasil dari kegagalan regulasi perikanan. Mereka membuat klasifikasi
sesuai dengan peraturan. Sedangkan dalam aspek output adalah nelayan yang menangkap ikan melebihi kuota yang dimiliki setiap nelayan.
Keputusan nelayan untuk memilih penggunaan alat tangkap legal dan
illegal merupakan bagian dari lapangan studi ekonomi kegiatan illegal. Dalam bidang perikanan dikenal dengan teori ekonomi illegal fishing, yang dapat menjelaskan sebab-sebab dilakukannya kegiatan penangkapan ikan yang melanggar aturan atau illegal. Teori tersebut juga menjelaskan pendekatan ekonomi untuk mencegah (deterrence) penangkapan ikan secara tidak sah (illegal), sehingga dikenal juga dengan model pencegahan (detterence models). Teori ini disajikan pada bagian awal bab ini.
Penelitian mengenai respon nelayan terhadap aturan perikanan dengan menggunakan pendekatan ekonomi bukan suatu pekerjaan yang baru. Berdasarkan hasil penelusuran literatur terhadap hasil penelitian sebelumnya, sekurang-kurangnya terdapat lima belas artikel terpilih yang membahas illegal fishing. Tiga belas diantaranya memberikan kontribusi untuk menjelaskan insentif nelayan untuk melakukan illegal fishing di beberapa perairan, dan dua sisanya menggali keterangan dampak kegiatan illegal fishing di Sulawesi Tenggara. Dari hasil penelusuran tersebut dapat dipetik pengalaman para ahli ekonomi di dalam mengaplikasikan pendekatan ekonomi, dan dapat dibangun sebuah diskusi insentif dibalik tindakan illegal fishing. Hasil penelusuran literatur ini disajikan pada bagian dua.
2.1. Faktor Ekonomi dan Non Ekonomi dibalik Illegal Fishing
(2008), Kuperan dan Sutinen (1998) dan Bekcer (1968). Pilihan tindakan tersebut ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu ekonomi, pelaksanaan penegakan hukum, obligasi moral dan tekanan sosial. Hubungan tersebut dikerangka pada Gambar 1.
Sumber : diadaptasi dari Nikijuluw (2008)
Gambar 1. Determinan Kepatuhan Nelayan terhadap Aturan Perikanan
Pilihan tindakan nelayan yang sesuai dengan regulasi perikanan disebut dengan kepatuhan atau tindakannya legal. Sebaliknya, apabila pilihan tindakannya tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka disebut dengan tindakan illegal. Ragam tingkat kepatuhan nelayan terhadap aturan perikanan, sekurang-kurangnya dibingkai oleh tiga faktor, yaitu unsur penegakan hukum, keuntungan ekonomi dari kegiatan perikanan legal dan illegal, dan kewajiban moral serta tekanan sosial.
Kepatuhan Nelayan Terhadap Aturan Perikanan Penegakan Hukum Keuntungan Tindakan
Legal/Illegal Obligasi Moral dan Tekanan Sosial Deteksi
Sanksi
Legitimasi Pengembangan
Moral dan Nilai-Nilai Individu
Sanksi Hasil
Keadilan Keadilan
Efisiensi Keefektifan
Menurut Hess (2008), penegakan hukum atau law enforcement secara umum mengacu pada suatu sistem dimana anggota masyarakat bertindak secara terorganisir untuk mematuhi hukum dengan menemukan dan menghukum orang yang melanggar aturan dan norma yang berlaku di masyarakat. Istilah penegakan hukum mencakup kesatuan antara pengawasan, penyelidikan hingga penahanan
pelanggar hukum. Reiff (2005), yang mengacu pada pemikiran John Stuart Mill (1859), memandang bahwa penegakan hukum muncul dari ide
pengendalian terhadap tindakan manusia. Pengendalian bagaimana yang seharusnya diberikan dan bagaimana pengendalikan tersebut ditegakan atau dikuatkan (enforce) ? Pertanyaan tersebut membuka diskusi yang kemudian mendorong Reiff (2005) untuk memperjelas konsep penegakan hukum. Menurut Reiff (2005) kata penegakkan mengacu pada kemampuan untuk membebankan sejumlah penghukuman atau memberikan kompensasi terkait pelanggaran terhadap hak, norma, konvensi, ekspektasi, atau kebutuhan. Ia membagi enam kategori instrumen penegakan hukum untuk melakukan pengendalian, yaitu : (1) ancaman atau menggunakan kekuatan fisik, (2) sanksi, (3) sarana
penegakan hukum atau legal remedies, (4) kekuatan stratejik, (5) penghukuman (condemnation) dan penyesalan moral, dan (6) kritik sosial dan manfaat kerjasama sosial.
insentif untuk mematuhi hukum. Sarana penegakan hukum mengacu pada institusi yang ditugaskan negara untuk menyelidiki hingga membebankan sanksi bagi pelanggar.
Insentif ekonomi muncul dari harapan keuntungan (expected profit) yang dapat diperoleh dari tindakan melanggar regulasi perikanan. Harapan keuntungan tersebut merupakan selisih antara harapan penerimaan (expectedrevenue) dengan harapan biaya (expected costs). Nelayan akan cenderung melakukan tindakan
illegal bila harapan keuntungannya positif, yaitu dalam kondisi dimana harapan penerimaannya lebih besar dari harapan biaya. Sebaliknya, nelayan akan cenderung mematuhi regulasi perikanan tertentu bila harapan keuntungannya negatif, yaitu bila harapan penerimaannya lebih rendah dari harapan biaya. Besarnya harapan biaya tersebut dapat ditingkatkan dengan memberikan sanksi yang lebih besar bagi nelayan yang melanggar regulasi (Nikijuluw, 2008).
Upaya untuk mengkuantifisir obligasi moral dan nilai sosial seseorang terhadap pelaksanaan hukum cukup sulit. Untuk kasus perikanan illegal di Indonesia, Malaysia, dan Filipina, Kuperan et al.(1997) menggunakan peubah pendidikan, pengalaman, dan tekanan sosial untuk mewakili peubah obligasi moral dan nilai sosial (Nikijuluw, 2008).
Menurut Nikijuluw (2008), jika seorang nelayan tinggal dan hidup di antara masyarakat yang melanggar atau mematuhi hukum, dia akan menerima tekanan yang mungkin sama atau berbeda dengan obligasi sosialnya. Pada umumnya, nelayan akan mengorbankan obligasi sosial karena tekanan lingkungan sosial. Namun, tidak dipungkiri bahwa di tengah lingkungan yang demikian, masih ada nelayan yang memiliki nilai kebenaran dan patuh terhadap norma hukum sehingga berbeda dengan lingkungannya.
dengan keadilan, sementara itu pihak yang memperoleh banyak ikan sebagai efek dari regulasi merupakan sebuah keluaran yang terkait dengan kriteria keadilan distributif. Seberapa cepat dan sering para pelanggar terdeteksi, ditangkap dan dihukum adalah peubah proses yang terkait dengan efisiensi dan efektivitas. Kemudian, bagaimana pelanggar diperlakukan, dan bagaimana hukum ditegakan secara konsisten adalah peubah proses yang terkait dengan keadilan prosedural (Kuperan dan Sutinen, 1998).
2.2. Studi Literatur Penelitian Terdahulu
Keputusan nelayan dalam melakukan tindakan legal atau illegal telah menarik cukup banyak perhatian para ahli ekonomi, baik melalui penelitian empiris maupun konseptual. Kebanyakan para ahli ekonomi tersebut mengembangkan pemikirannya dari model yang dikenal dengan model dasar pencegahan (deterrence model), dan sebagian lagi mengembangkannya dari
principle-agent model. Kemudian, sejauh penelusuran literatur di Indonesia, penelitian mengenai respon nelayan terhadap regulasi perikanan nampaknya masih langka. Penelitian terkait penangkapan ikan secara illegal di Indonesia nampak berkembang di Irian Jaya dan Sulawesi, meski secara disipliner tidak terkait dengan model dasar pencegahan yang telah dikembangkan oleh para ahli ekonomi sebelumnya.
(2007), Eggert dan Lokina (2008), Akpalu (2009), King dan Sutinen (2009), dan Girvan (2009).
Terdapat dua hal yang menjadi subyek perhatian para ahli ekonomi tersebut, yaitu insentif nelayan untuk mematuhi aturan perikanan dan model dasar pencegahan. Kuperan dan Sutinen (1998), Sumaila dan Keith (2006) serta Eggert dan Lokina (2008) mengidentifikasi tiga macam kelompok nelayan di dalam merespon aturan perikanan, yaitu nelayan patuh (non-violator), nelayan moderat (opportunistic atau alternating) dan nelayan kronis atau pelanggar mapan (persistentviolator).
Sintesa dari ulasan hasil penelitian tersebut menampilkan beberapa insentif ekonomi dan non ekonomi yang mempengaruhi keputusan nelayan diantara tindakan legal dan illegal. Insentif ekonominya mencakup hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort, CPUE), harga ikan dan implikasi biaya penangkapan ikan dari tindakan legal dan illegal. Sementara itu, insentif non ekonominya mencakup legitimasi, pengawasan dan penegakan, denda atas tindakan illegal, pertimbangan moral nelayan, dan lingkungan sosial nelayan.
patuh. Keduanya menggunakan jumlah bulan melaut untuk mengidentifikasi tindakan legal dan illegal. Obyek penelitian yang mereka kaji berbeda. Kuperan dan Sutinen mengambil obyek penelitian dari nelayan Peninsular-Malaysia, sedangkan Eggert dan Lokina (2008) mengambil obyek penelitian dari nelayan di Danau Victoria.
Variabel yang mereka gunakan untuk merepresentasikan insentif ekonomi adalah harapan CPUE, dan keduanya memberikan simpulan yang serupa bahwa perbedaan harapan CPUE dari tindakan legal dan illegal signifikan mempengaruhi peluang nelayan untuk memilih kedua tindakan tersebut. Harapan CPUE dari tindakan illegal yang lebih besar dari CPUE tindakan legal, dapat memperbesar peluang nelayan untuk memilih tindakan illegal. Perbedaannya terletak pada variabel signifikansi legitimasi.
Hasil penelitian kedua tim peneliti tersebut menampilkan suatu perdebatan pada aspek legitimasi aturan perikanan. Hasil estimasi Kuperan dan Sutinen (1998) menampilkan bahwa variabel legitimasi tidak signifikan mempengaruhi pilihan nelayan, sedangkan temuan Eggert dan Lokina (2008) menampilkan sebaliknya. Dengan perkataan lain, variabel legitimasi tidak menjadi insentif bagi nelayan menurut analisis Kuperan dan Sutinen (1998). Variabel legitimasi yang mereka gunakan menghimpun beberapa sub variabel. Sub variabel legitimasi yang serupa diantara keduanya adalah kelayakan hukuman terhadap nelayan yang melanggar dan tingkat penegakan aturan perikanan yang dilakukan aparat. Kuperan dan Sutinen (1998) memberikan dua klarifikasi. Pertama, terdapat kesalahan dalam teori legitimasi, dan harus dimodifikasi, karena pilihan tindakan
kedua, terdapat kelemahan dalam pengukuran variabel legitimasi yang mereka gunakan.
Insentif ekonomi yang muncul dari implikasi harga ikan dan biaya dari tindakan legal dan illegal muncul dari hasil studi konseptual Charles et al.(1999) dan Sumaila dan Keith (2006). Keduanya menggunakan analisa statika komparatif untuk membuktikan efek variabel tersebut terhadap pilihan nelayan diantara tindakan legal dan illegal.
Secara konseptual, model pencegahan yang digunakan Kuperan dan Sutinen dikembangkan oleh Charles et al.(1999), Sumaila dan Keith (2006), Arnason (2007), Eggert dan Lokina (2008), Akpalu (2009), dan Girvan (2009) untuk menangkap fenomena aktual yang lebih kompleks. Charles et al.(1999) memandang bahwa perilaku mikroekonomi nelayan perlu dibedakan menurut jenis regulasi yang dihadapinya, yaitu regulasi input dan output. Regulasi input merupakan aturan yang mencegah nelayan dari penggunaan alat tangkap destruktif yang dinilai illegal. Sedangkan regulasi output merupakan aturan yang mencegah nelayan dari kelebihan hasil tangkapan atas kuota penangkapan yang dimilikinya. Melalui pendekatan matematika ekonomi, Charles et al.(1999) dapat mengidentifikasi bahwa dalam menghadapi regulasi input perikanan, terdapat beberapa faktor yang berpotensi mendorong nelayan untuk melanggar regulasi alat tangkap illegal, yaitu harga ikan, upaya penegakan, biaya pengadaan input
sehingga memiliki potensi untuk meningkatkan kepatuhan nelayan, begitupun halnya dengan perubahan dalam biaya pengadaan input illegal.
Sumaila dan Keith (2006) menangkap bahwa faktor moral dan sosial tidak dapat dipisahkan dari pengambilan keputusan nelayan di dalam memilih kegiatan
legal dan illegal. Longgarnya pertimbangan moral dan sosial dalam pengambilan keputusan menimbulkan konsekuensi kehilangan moral, dan munculnya sanksi atau tekanan secara sosial. Pendekatan matematika ekonomi yang mereka mengemukakan bahwa faktor moral dan sosial menjadi pembobot atau moderasi terhadap pertimbangan manfaat marjinal dari penggunaan alat tangkap illegal. Proposisi yang muncul adalah meskipun manfaat marjinal dari alat tangkap illegal
dinilai besar dari biaya marjinalnya, tapi bila nelayan menaruh bobot yang lebih besar pada resiko kehilangan moral dan sanksi sosial, maka mereka akan cenderung mematuhi regulasi perikanan. Karena itu, dapat juga dicatat bahwa ketidakpatuhan nelayan terhadap regulasi perikanan disebabkan oleh rendahnya pertimbangan moral dan pendirian sosial. Sumaila dan Keith (2006) mengaplikasikan pendekatan tersebut untuk mengkaji faktor ekonomi yang mempengaruhi kegiatan perikanan illegal secara global, yaitu di Australia, Chili, Rusia, Argentina, Jepang, Meksiko, Mauritius, Kanada dan Uruguay. Mereka melihat bahwa manfaat ekonomi dari perikanan illegal cukup signifikan memotivasi nelayan untuk melakukan tindakan illegal.
variabilitas harga ikan. Fokus gagasannya adalah pada aspek upaya penegakan yang optimal. Di bawah unsur ketidakpastian, tingkat penegakan regulasi perikanan akan lebih tinggi dibandingkan di bawah kondisi yang tidak mempertimbangkan unsur ketidakpastian, dan harapan manfaat sosialnya akan lebih tinggi juga.
Kontras dengan Eggert dan Lokina (2008), Akpalu (2009) lebih fokus kepada faktor yang menimbulkan nelayan menjadi pelanggar kronis. Secara konseptual proposisinya menyatakan bahwa untuk mendorong tingkat kepatuhan nelayan terhadap regulasi mata jaring legal, syaratnya adalah hukuman optimal bagi pelanggar harus ditetapkan lebih tinggi pada rejim open akses teregulasi dibandingkan rejim manajemen atau pengelolaan. Rejim pengelolaan yang dimaksud adalah masyarakat nelayan memiliki hak teritorial tertentu, sedangkan rejim open akses teregulasi adalah aturan yang membolehkan nelayan untuk menangkap ikan di wilayah manapun sepanjang regulasi ukuran mata jala dipatuhi.