• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencatatan perkawinan dalam kekeluargaan di Indonesia dan relevansinya dengan teori Mashlahah Al-Syatibi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pencatatan perkawinan dalam kekeluargaan di Indonesia dan relevansinya dengan teori Mashlahah Al-Syatibi"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

i

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

MUHAMAD AWALUDDIN NIM : 109044100031

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

T

w srozlH

9€rI

VIUYXYf

HYITNIYAYOIH dIUVAS NIO ruNXI}H NYO I{VIUVAS SYITfDIY.I YCUVnTfl)r I nXnH IffIIS r MUSOUd YruYOY NYTIOYUfld ISYUJNflSNOX

rcUzzt L96I 1001096I : dIN Y'ru'uBqqns qBvrrtlBz '!H'r(I Jord

:rrBEurqlurg rlB {eg rc

IEOOOI'7060I : WIN

ffi

:qelo

(r(S'S) qeF€r(S uueFs releg qeloredruel4l srmg leredg nl€S qups ntnueruetr { {ntun um{nH uep qeuedg s"}lDIBd epeda4 uqnf€lC

Isdlnts

ISIIYAS.AY HYHYTHSYI^I IUOflI

NYCNflC VANISNVAflTIU NVO YISflNOONI IO NVYCUVNTDTtr){ ruNXNH

(3)

2015. Skripsi ini telah diterirna sebagai salah satu syarat untuk rnemperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilukurn Keluarga.

PANITIA UJIAN

l . K e t u a FI. Kamarusdiana, S. Ag, MH. N r P . I 9 7 2 0 2 2 4 1 0 0 8 0 3 1 0 0 3

2. Seketaris S r i H i d a y a t i , M . A g .

NIP. 197102151997032002'

Prof.Dr. Hj. Zaitunah Subhan, M.A. NIP. 1 950 1001 1967 122001

Dr. Hj. Mesraini, M.Ag. NIP. r 97602 132003122001

Dr. H. Nurul Irfan, M.Ag. NIP. I 97308022003121001

3. Pernbirnbing :

4. Penguji I

5. Penguji II

J a k a r t a , 0 8 A p r i l 2 0 1 5

91216199603 1 00 1

I\IUNAQI\SY.\H

(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S 1) di Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 17 Maret 2015 Penulis

(5)

v

persoalan yang sampai saat masih diperdebatkan. Menurut sebagian pandangan, pencatatan tidak merupakan syarat sah perkawinan karena dalam perkawinan telah ada saksi yang kedudukannya sebagai bukti bilmana suatu hari terjadi perselisihan antara suami dan isteri. Sedangkan sebagian pandangan lainya, menganggap bahwa kedudukan pencatatan perkawinan dapat dijadikan sebagai syarat sah perkawinan. Tarik ulur perdebatan-perdebatan tersebut berlenjut dalam pembahasan pengesahan RUU Hukum Materil Peradilan Agama di Parlemen. Bila hal ini dibiarkan berlarut-larut dalam arus perdebatan, maka kedudukan pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan tidak akan menemukan titik terang.

Perdebatan-perdebatan tersebut pada akhirnya berimplikasi pada perilaku hukum di masyarakat terhadap pencatatan perkawinan. Bagi sebagian masyarakat, perkawinan tidak perlu dicatatkan. Sebab, dicatat atau tidaknya suatu perkawinan tidak berdampak pada status perkawinan mereka. Karena sejatinya menurut hukum Islam, perkawinan adalah sah manakala telah memenuhi rukun dan syarat sah perkawinan. Sedangkan sebagian masyarakat lainnya, pencatatan perlu dilakukan agar ada kepastian hukum dalam ikatan perkawinan. Kepastian hukum dimaksud adalah adanya jaminan hukum dari negara manakala dikemudian hari terjadi perselisihan antara suami dan isteri.

Persoalan-persoalan perdebatan di atas kiranya sesegera mungkin harus diakhiri agar tidak terjadi penerapan hukum yang ganda di masyarakat. Dalam perspektif negara hukum, pencatatan perkawinan dianggap penting. Tapi bukan berarti menafikan kedudukan saksi dalam perkawinan. Perlunya pencatatan perkawinan adalah sebagai upaya untuk lebih mempertegas bagaimana posisi pembuktian suatu perkawinan. Hal ini lebih menarik lagi bila dihubungkan dengan teori mashlahah Al-Syathibi.

(6)

vi

penelitian normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.

Dari penelitian yang dilakukan, ditemukan jawaban-jawaban terkait dengan persoalan-persoalan di atas. Pertama, dalam hukum nasional, pencatatan perkawinan memiliki tujuan untuk mewujudkan ketertiban dalam perkawinan. Kedua, bahwa pencatatan perkawinan memiliki relevansi dengan teori mashlahah Al-Syahitbi, yaitu terletak pada perlindungan hukum atas hak dan kewajiban masing-masing suami isteri yaitu dalam hal perlindungan jiwa, harta dan keturunan. Ketiga, karena pencatatan perkawinan memiliki relevansi dengan teori mashlahah Al-Syathibi maka pencatatan perkawinan harus dijadikan syarat sah perkawinan.

(7)

vii

Puji syukur kepada Allah Swt atas limpahan rahmat, karunia, nikmat kesehatan jasmani dan rohani serta kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai suri tauladan umat manusia yang telah menggiring kita keluar dari zaman kebodohan ke zaman peradaban yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini. Mudah-mudahan kita termasuk bagian dari ummat

beliau yang akan mendapat syafa’at kelak fi yaumil akhirat , amin.

Dalam penulisan skripsi ini terdapat berbagai macam hambatan dan rintangan yang penulis hadapi, Namun berkat rahmat dan pertolongan Allah Swt serta kontribusi dan motivasi dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan dapat diatasi dengan mudah dan lancar hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Tidak lupa, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada orang-orang yang turut mempengaruhi hamba dalam mendewasakan penulis, yang terhormat:

1. Dr. Asep Saipudin Jahar, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Kepala Program Studi Hukum Keluarga, H. Kamarusdiana, S. Ag, M.H dan Sekretaris Program Studi Sri Hidayati, M.Ag.

3. Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan, MA. Sebagai pembimbing skripsi, terimakasih tak terhingga atas masukan dan dukungannya dalam penulisan skripsi ini;

4. Keluarga besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta segenap Dosen, Karyawan, dan seluruh staf yang telah banyak membantu dan memberikan fasilitas bagi penulis selama studi di Kampus;

5. Pustakawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Pustakawan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyediakan referensi dalam penulisan skripsi ini;

(8)

viii

demi kesuksesan putranya. Yang mengajarkanku untuk hidup mandiri dan mengingatkanku untuk selalu berbuat baik;

7. Adik-adikku yang kusayang, Amiruddin, Nur Ilma, Nurul Annisa, serta adik iparku Nur Hadijah yang tak bosan-bosannya berharap dan berdoa agar saya segera menyelesaikan studi;

8. Kawan-kawan saya di kampung (Katembe), La Tate, Hawurin, Zumiana, Erys, Baini, Jabar, Laangka, Abdul Majid, dan Nado. Yang tak bosan-bosannya menanyakan kapan saya wisuda;

9. Sdr. Ld. Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan dari Pulau Buton.

10.Senior-senior saya di LKBHMI Cab. Ciputat, kakanda Fahmi M. Ahmadi, Ihdi Karim Makin Ara, Ainul Syamsu, Cak Sili, Ainul Yakin, M. Isnur, Irsyad Maulana, M. Ali Fernandez, Febri, Muhammad Hafidz, Asep Samsuri, Teuku Mahdar Ardian, Haris Barkah, Ridho Akmal Nasution, Aji Andika Muftih, Reza Arif Rahman, Haris Sumirat Nurgraha, Asep Sholahuddin, dan Yunda Ida Widyawati (Ny. Fahmi M. Ahmadi). Terimakasih atas dukungan dan saran-saran kalian dalam penulisan skripsi ini begitu pula selama menjadi anggota dan pengurus LKBHMI. Semoga kelak di kemudian hari dapat bermanfaat bagi nusa dan bangsa, amin; 11.Kawan-kawan penghuni serta pengurus LKBHMI, Sahrial, Irpan, Bilal,

Aqil, Zullisan, Marzuki, Abiyuddin, Imung, Humaidullah (Ume), Karim Munthe, Dimas, Wanda, Humaidi, Ucok AQB, Zainuri, Afif, Hariri, Bagus, dan Tio, serta pengurus-pengurus lain yang tak dapat saya sebutkan. Semoga canda dan tawa kita selama menjadi anggota dan pengurus LKBHMI terus teringat sepanjang waktu dan tali persaudaraan kita tetap kokoh. Berkat dorongan dan semangat yang kalian berikan akhirnya saya dapat dapat menyelesaikan skripsi ini;

12.Adik-adik anggota dan pengurus Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum, Fariz Aburrahman (bekas Ketua Umum Komisariat 2013-2014) dan Muhamad Irvan (Ketum Komisariat 2014-2015) beserta jajarannya;

13.Kawan-kawan seperjuangan di Konsentrasi Peradilan Agama dan Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2009 dan kawan-kawan Double Degree dan Ilmu Hukum angkatan 2013. Mohon maaf atas segala kekhilafan yang pernah penulis perbuat kepada kalian;

(9)

ix

umumnya bagi pembaca yang budiman. Kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan sebagai penyempurna atas karya ilmiah ini.

Jakarta, 17 Maret 2015 Penulis

(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Masalah ... 9

D. Riview Studi Terdahulu ... 10

E. Metode Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II PENCATATAN PERKAWINAN A. Pengertian, Tujuan, dan Asas-asas Perkawinan ... 15

B. Pengertian dan Tujuan Pencatatan Perkawinan ... 26

C. Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Islam ... 34

(11)

xi

B. Karya al-Syathibi ... 44

C. Metodologi Istinbat Hukum ... 49

D. Konsep Mashlahah ... 55

BAB IV RELEVENASI PENCATATAN DENGAN TEORI MASHLAHAH

AL-SYATIBI

A. Problematika Pencatatan Perkawinan di Indonesia ... 65

B. Relevansi Teori Mashlahah Terhadap Pencatatan Perkawinan Di

Indonesia ... 72

C. Pandangan Penulis Tentang Pencatatan Perkawinan ... 79

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 84

(12)

1 BAB I

PEDAHULUAN

A. Latar Belakang

Eksistensi hukum Islam di Indonesia sekarang ini sesungguhnya

memiliki sejarah yang sangat panjang. Akar geneologisnya dapat ditarik ke

belakang, yaitu saat pertama kali Islam masuk ke nusantara.1 Namun menurut

Martin seperti yang dikutip Mahsun Fuad dalam buku Hukum Islam Indonesia,

sulit bagi kita untuk memotret secara cukup sempurna perkembangan Islam di

Indonesia sebelum abad 17 M.

Hukum dalam Islam merupakan ruh2 dan aspek ajaran yang paling kuat

mendominasi pemahaman umat dibandingkan dengan disiplin keilmuan

tradisional maupan lainnya.3 Perkataan hukum tersebut berarti norma atau

kaidah yakni ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk

menilai tingkah-laku atau perbuatan manusia dan benda.4

Dalam sistem hukum Islam ada lima hukum atau kaidah yang

dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik di bidang

ibadah maupun di bidang muamalah. Kelima jenis kaidah hukum yang lima,

1

Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, (Yogyakarta: LKis, 2005), h.27.

2

Disadur dari M. H. Hoker, “Muhammad Law and Islamic Law” dalam M. H. Hoker (ed.),

Islam in Southeast Asia, (Leiden: E.J. Brill, 1998), h.160

3

Dimensi ajaran mapan yang dimaksud adalah fiqih, kalam, tasawuf, dan filsafat Islam. disadur dari Nurkholis Majid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008), cet. Ke-6, h. 199-247

4

(13)

disebut al-ahkam al-khamsah atau penggolongan hukum yang lima (Sajuti

Thalib, 1985:16) yaitu (1) ja’iz atau mubah atau ibahah, (2) sunnat, (3) makruh,

(4) wajib, (5) haram. Yang selanjutnya disebut juga dengan hukum taklifi

(Masyfuk Zuhdi, 1987: 5).5

Hukum Islam seperti telah disebutkan di atas, dapat dikelompokkan

dalam dua bidang yakni mengenai (bidang) ibadah dan mengenai (bidang)

muamalah. Pertama, mengenai ibadah, adalah cara dan tata cara manusia

berhubungan langsung dengan Tuhan, dalam hal ini tidak boleh

ditambah-tambah atau dikurangi. Sebab, ketentuannya telah diatur oleh Allah sendiri

(dalam Alquran) dan dijelaskan secara rinci oleh (hadis) Rasul-Nya. Dengan

demikian, tidak mungkin ada modernisasi mengenai ibadah atau proses yang

membawa perubahan mengenai ibadah atau proses yang membawa perubahan

dan perombakan secara hukum, susunan, cara, dan tata cara ibadah itu sendiri.

Kedua, mengenai muamalah, adalah ketetapan Tuhan yang

berhubungan dengan kehidupan social manusia - terbatas pada yang

pokok-pokok saja – “terbuka” sifatnya untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia

yang memenuhi syarat untuk melakukan usaha itu. Karena sifatnya yang

demikian, dalam soal muamalah berlaku asas umum yakni pada dasarnya

semua perbuatan „boleh’ dilakukan, kecuali kalau mengenai perbuatan itu

dilarang di dalam Alquran dan Hadis. Artinya, semua perbuatan yang termasuk

5

(14)

3

ke dalam kategori muamalah, boleh saja dilakukan asal saja tidak ada larangan

untuk melakukan perbuatan itu. Oleh karena sifatnya yang demikian,

perumusan dan kaidah-kaidahnya dapat saja berubah sesuai dengan perubahan

zaman. Atau dengan kata lain dapat dilakukan modernisasi, asal saja

modernisasi itu sesuai (dan menimbulkan maslahat), atau sekurang-kurangnya

tidak bertentangan dengan jiwa hukum Islam pada umumnya.6

Hal demikian didukung oleh pendapat kebanyakan ahli fiqh yang telah

menetapkan kaidah bahwa hukum asal segala sesuatu dalam bidang material

dan hubungan antara sesama manusia (mu’amalat) adalah boleh, kecuali apabila

ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu terlarang.7

Muamalat dalam pengertiannya dapat dikatergorikan dalam pengertian

umum dan pengertian khusus. Dalam pengertian umum, muamalah adalah

norma hukum yang memuat (1) munakahat (hukum perkawinan mengatur

segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian serta

akibat-akibat hukumnya, (2) warisan atau faraid (hukum kewarisan mengatur sefala

persoalan yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan,

harta warisan, serta pembagian harta warisan). Sedangkan dalam pengertian

khusus, muamalah adalah norma yang mengatur masalah kebendaan dan

hak-hak atas benda, aturan mengenai jual beli, sewa-menyewa, pinjam-peminjam,

6

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, h.54-56.

7

(15)

persyarikatan (kerja sama bagi hasil), pengalihan hak, dan segala yang

berkaitan dengan transaksi.8

Dari pengertian di atas maka dapat kita kategorikan bahwa ruanglingkup

muamalah ada dua yakni dalam pengertian yang umum dan pengertian khusus

sebagaimana penjabarannya di atas. Namun pada kesempatan ini penulis

mengkaji muamalah dari aspek pengertiannya yang umum, yakni mengenai

perkawinan.

Perkawinan dan segala aspek yang timbul darinya dapat ditemukan

dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Diaturnya perkawinan

melalui undang-undang tersebut adalah sebagai bentuk upaya protektif atau

perlindungan hukum. Lebih lanjut, perlindungan tersebut tentu merupakan

kewajiban negara yang berdasarkan hukum9. Karena, setiap perilaku atau

perbuatan warga negera harus dilaksanakan berdasarkan dan tunduk pada

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain perlindungan, kodifikasi hukum perkawinan dalam peraturan

per-UU-an juga dimaksudkan untuk menciptakan ketertiban dan keadilan10 dalam

perkawinan. Di mana ketertiban menunjuk pada hubungan atau komunikasi

zahiriah atau dengan kata lain ia melihat pada proses interaksi para pribadi

8

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.1.

9

Lihat pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945.

10

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), h.58.

(16)

5

dalam kelompok.11 Dan keadilan lahir sebagai akibat dari pelaksanaan

kewajiban dan pemenuhan hak, sehingga tercipta keluarga sakinah, mawaddah

wa rahmah.

Namun realitasnya, undang-undang tersebut tidak terimplementasikan

atau terlaksana dengan baik. Masih banyak penyimpangan-penyimpangan

hukum yang dilakukan masyarakat. Dalam beberapa kasus, misalnya

perkawinan tidak dicatatkan masih sering ditemukan dalam masyarakat.

Perkawinan seperti ini sangat merugikan terutama bagi perempuna. Padahal,

jika ditelaah makna dari perkawinan tersebut adalah ikatan yang kuat antara

seorang perempuan dan laki-laki yang tidak hanya disaksikam oleh dua orang

saksi, tetapi juga disaksikan oleh Allah Swt.12

Oleh sebab itu, dengan mentaati peraturan perudang-undangan ini

berarti kita mendorong untuk terwujudnya ketertiban perkawinan. Bila norma

hukum yang ada di dalam Undang Undang tersebut tidak ditaati maka akan

terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment, di

mana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak

efektif. Gejala semacam itu mencul oleh karena ada faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum,

11

Purnadi Purbacaraka, dkk, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993), cet. Ke-6, h.20.

12

(17)

penegak hukum, para pencari keadilan (justitiabelen), maupun

golongan-golongan lain di dalam masyarakat.13

Dari sekian banyak norma yang diatur, norma tentang pencatatan

perkawinan sebagaimana disebut di atas merupakan norma yang sampai saat ini

masih diperdebatkan. Apakah pencatatan perkawinan tersebut sebagai rukun

perkawinan atau sebagai syarat administrasi saja. Yang implikasinya pencatatan

perkawinan tidak terlalu dihiraukan dan muncul perkawinan-perkawinan liar

yang tidak dicatatkan, atau biasa dikenal dengan perkawinan di bawah tangan.

Norma hukum pencatatan perkawinan tentu memiliki tujuan, yakni

untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat, baik

kepentingan pribadi, kepentingan publik serta kepentingan sosial. Yang oleh

Van Apeldron dikatakan sebagai pengaturan yang adil.14 Namun, karena karena

norma itu tidak dipatuhi dan dilaksanakan oleh subyek hukum, maka cita

hukum sebagaimana yang diinginkan oleh Undang-Undang itu tidak tercapai.

Banyaknya perkawinan yang dilakukan di bawah tangan atau perkawinan tidak

dicatatkan, mengindikasikan bahwa Undang-Undang tersebut tidak berlaku

efektif. Sebagai contoh, kasus perkawinan di bawah tangan Aceng H.M Fikri

yang saat itu sebagai bupati Garut dengan Fany Octora yang berlangsung

singkat. Di mana perkawinan tersebut hanya bertahan hingga 4 hari saja dan

hubungan perkawinan mereka putus.

13

Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.135.

14

(18)

7

Memang dalam Alquran dan Hadist, ketentuan pencatatan perkawinan

ini tidak ditemukan. Namun, seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman,

hal ini dirasakan sangat penting bagi masyarakat. Sehubungan dengan itu,

Syathibi menyatakan bahwa syari’ah telah memandang kebaikan hukum apa

yang dipandang baik dalam pengalaman sosial. Mana kala dalam pengalaman

social suatu “kebaikan hukum” tertentu mulai merugikan jaringan masyarakat

manusia, atau bahkan individu, maka ia kehilangan sifatnya sebagai kebaikan

hukum.15

Artinya, jika kita tetap berpegang teguh pada pemahaman perkawinan

tradisional yang tidak menganggap pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang

urgen, maka akan semakin banyak timbul persoalan-persoalan dalam

perkawinan. Misalnya, tidak dapat melakukan tuntutan atas nafkah di

pengadilan karena tidak memiliki bukti perkawinan. Padahal pembuktian dalam

perkawinan memiliki kedudukan yang sangat penting. Dari itu kemudian,

pencatatan perkawinan memiliki kedudukan yang penting jika ditinjau

perspektif maqashid al-syar’ah.

Oleh sebab itu, sangat penting untuk merubah mindset dari pemahaman

masyarakay yang bercorak tradisional ke pemahaman masyarakat yang lebih

moderat. Di mana pencatatan perkawinan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu

yang tabu, melainkan dianggap sebagai suatu unsur yang sangat penting

15

(19)

kehadirannya sebagai syarat sah perkawinan. Dengan tujuan agar dapat

mewujudkan kemaslahatan dalam perkawinan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka sangat diperlukan untuk

dilakukan pengkajian dan penelitian terhadap pencatatan perkawinan dalam

bentuk karya ilmiah atau skripsi dengan judul “Pencatatan Perkawinan

dalam Hukum Kekeluargaan di Indonesia dan Relevansinya dengan Teori

Mashlahah Al-Syatibi”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Pencatatan perkawinan merupakan salah satu norma hukum yang

mestinya ditaati oleh setiap warga Negara yang tunduk pada hukum nasional.

Namun, bila norma tersebut tidak ditaati hingga menyebabkan distabilitas

hukum. Padahal pencatatan perkawinan sangat syarat dengan Mashlahah atau

kebaikan bagi keberlangsungan hubungan perkawinan antara seorang

perempuan dan laki-laki. Untuk membatasi ruanglingkup pencatatan

perkawinan yang begitu luas, maka penelitian ini fokus dan penulis hanya

membatasi terhadap Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Kekeluargaan

Indonesia dan Relevansinya dengan Teori Mashlahah Al-Syatibi.

2. Perumusan Masalah

Sebagaimana yang dijelaskan di atas, meskipun pencatatan perkawinan

(20)

9

Nomor 1 tahun 19724 tentang Perkawinan, namun realitanya norma tersebut

tidak efektif dan akhirnya menimbulkan distabilitas hukum. Sebagaimana

contoh yang telah dikemukakan di atas

Berikut ini rumusan masalah yang menjadi titik fokus kajian dalam

skripsi ini, yaitu:

a. Apa tujuan pencatatan perkawinan dalam hukum Nasional?

b. Bagaimana relevansi pencatatan perkawina dengan Teori Mashlahah

Al-Syatibi?

c. Apakah pencatatan perkawinan harus dijadikan salah satu sarat sah

perkawinan menurut hukum Islam atau tidak?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui apa tujuan pencatatan perkawinan Hukum Nasional.

b. Untuk mengetahui relevansi pencatatan perkawinan dengan Teori

Mashlahah Al-Syathibi.

c. Untuk mengetahui apakah pencatatan perkawinan harus dijadikan

salah satu syarat sah perkawinan menurut hukum Islam atau tidak.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

(21)

Secara teoritis hasil penelitian ini adalah dalam rangka untuk

pengembangan wawasan ilmu pengetahuan khususnya mengenai urgensi

pencatatan perkawinan dalam bidang Hukum Kekeluargaan di Indonesia.

b. Secara prkatis

Secara prakstis dari hasil penelitian ini adalah untuk memperluas

pengetahuan diri penulis dan sebagai bahan bacaan dan informasi bagi

masyarakat yang ingin mengetahui urgensi pencatatan perkawinan di

tinjau dari maslahatnya serta untuk memenuhi syarat akademis dalam

rangka memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Syariah dan Hukum.

D. Riview Studi Terdahulu

Sepanjang pengetahuan penulis topik penelitian yang sama dengan topik

yang penulis teliti baik dalam katalog perpustakaan utama ataupun

perpustakaan fakultas Syariah dan Hukum, belum pernah diteliti oleh peneliti

lainnya, namun ada beberapa judul skripsi yang mendekati permasalahan

bahasan penulis diantaranya adalah

1. Signifikansi Pencatatan Perkawinan Dalam Persepektif Hukum Islam dan

Hukum Positif oleh Abu Bakar tahun 2010. Skripsi tersebut membahas

secara lebih spesifik tentang pencatatan perkawinan dalam Hukum Islam

dan Hukum Positif. Dimana lebih mengedapankan konsep signifiknasi

pencatatan perkawinan dalam Hukum Islam berdasarkan istinbath hukum

dan mencatatan perkawinan berdasarkan hukum Hukum Positif.

(22)

11

spesifik tentang urgensi pencatatan perkawinan dalam hukum

kekeluargaan dengan pendekatan teori maslahat Abu Ishaq Al-Syatibi,

2. Penerapan Mashlahah Mursalah dalam KHI dan Pengaruhnya Terhadap

Putusan Hakim (Studi Kasus Petusan Cerai Gugat Karena Suami

Poligami di Penadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2007) oleh

Taufikurrohman tahun 2008. Skripsi tersebut hanya mengulas tentang

penerapan Mashlahah dan pengaruhnya terhadap putusan hakim dalam

bidang cerai gugat akibat poligami. Sedangkan skripsi yang hendak

penulis lakukan adalah mengenai pencatatan perkawinan yang ditinjau

dari perspektif Mashlahah Abu Ishaq Al-Syatibi.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan adalah Penelitian normatif,

yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau

data sekunder.16 Mengingat permasalahan dalam penelitian ini difokuskan pada

pencatatan perkawinan dan relevansinya dengan teori mashlahah Al-Syatibi,

maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Karena

itu, tipe penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah tipe penelitian

deskriptif, yaitu penelitian untuk memecahkan masalah yang ada pada masa

16

(23)

sekarang (masa aktual) dengan megumpulkan data, menyusun,

mengklasifikasikan, menganalisis dan mengeinterpretasikan.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini adalah menggunakan pendekatan deskriptif,

untuk memberikan data seteliti mungkin tentang hal yang menjadi objek

penelitian dan untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di

dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori

baru.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sebagaimana uraian di atas, bahwa penelitian ini merupakan penelitian

normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

atau data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi:

a) Sumber Primer, yaitu berupa undang-undang (UU No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama,

dan UU lainnya yang terkait dengan pencatatan perkawinan), KHI dan

buku-buku yang membahas mengenai Pencatatan perkawinan serta buku

Mashlahah Al-Syatibi.

b) Sumber Sekunder, yakni sumber yang erat hubungannya dengan bahan

hukum primer dan dapat membantu dalam menganilisis dan memahami

bahan hukum primer, berupa karya tulis antara lain makalah, koran,

majalah, dan Lain-lain dengan mengambil materi yang relevan dengan

(24)

13

4. Analisis Data

Dalam penelitian ini, data yang diperoleh disajikan secara kualitatif,

dengan menggunakan analisis deskriptif, yaitu dengan mendeskripsikan data

yang diperoleh ke dalam bentuk penjalasan-penjalasan. Artinya problem yang

ada dianalisis dan dipecahkan berdasarkan peraturan yang ada, serta dilengkapi

analisis.

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku Pedoman

Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu

(PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012.17

Agar pembahasan skripsi ini lebih sistematis, maka penulis akan menguraikan

pembahasan ini dalam lima bagian sebagaimana berikut:

BAB PERTAMA : Merupakan bab pendahuluan dari skripsi ini. Dalam

pendahuluan ini penulis menguraikan latar belakang masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi riview, metode

penelitian serta sistematikan penulisan dalam skripsi ini.

BAB KEDUA : Menguraikan pencatatan perkawinan. Dalam bab ini

penulis akan membahas tentang pengertian, tujuan dan asas-asas perkawinan.

Dilanjutkan dengan membahas pengertian dan tujuan pencatatan perkawinan,

17

(25)

pencatatan perkawinan dalam hukum Islam, dan pencatatan perkawinan dalam

Hukum Nasional

BAB KETIGA : Menguraikan konsep mashalahah Al-Syathibi. Pada

bagian ini penulis akan membahas biografi, karya, metodologi istinbat hukum

dan konsep mashlahah Al-Syathibi.

BAB KEEMPAT : Dalam bab ini penulis akan meninjau pencatatan

perkawinan di Indonesia dan relevansinya dengan teori mashlahah Al-Syatibi.

Hal-hal yang akan dibahas pada bab ini mengenai problematika pencatatan

perkawinan di Indonesia, relevansi konsep mashlahah terhadap pencatatan

perkawinan di Indonesia, dan pandangan penulis tentang pencatatan

perkawinan.

BAB KELIMA : Adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan

(26)

15 BAB II

PENCATATAN PERKAWINAN

A. Pengertian, Tujuan, dan Prinsip Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan arti kata pernikahan yang berasal dari bahasa

arab.1 Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt. sebagai

jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.2

Artinya melalui perkawinan tersebut umat manusia mempertahankan

esksistensi kemanusiaannya di muka bumi ini dengan menciptakan suatu

masyarakat kecil dalam bentuk keluarga.3

Secara etimologis perkawinan dalam Bahasa Arab berarti nikah atau

zawaj. Nikah mempunyai arti al-wath’i, al-dhommu, al-tadakhul, al-jam’u atau

ibarat ‘an al-wath wa al aqd yang berarti bersetubuh, berhubungan badan,

berkumpul, jima’ dan akad. Sedangkan secara terminologis perkawinan atau

nikah adalah akad yang membolehkan terjadinya istimta’ (melakukan perbuatan

yang menyenangkan) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.4

1

Fuan Mohd. Fachrudiin, Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam, (Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h.1.

2

H.M.A. Tihami, Fiqih Munakahat, (Jakarta, Rajawali pers, 2009), h.6.

3

Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahan Al-Musa Khalid bin Ali Al-Anbari, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1993), terjemah, h.14.

4

(27)

Pengertian perkawinan secara epistemologis dan terminologis tersebut

kemudian dikembangkan oleh ulama fiqih. Ulama yang dimaksud adalah

sebagian ulama Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah yang

selanjutnya disebut ulama mutaqaddimin, maupun ulama mutaakhirin

(kontemporer). Pengertian perkawinan yang dikemukakan masing-masing

ulama tersebut berbeda-beda, akan tetapi mereka tidak memperlihatkan adanya

pertentangan makna yang sungguh-sungguh antara satu pendapat dengan

pendapat yang lainnya.5

Menurut sebagian ulama Hanafiah, perkawinan adalah akad yang

memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang

secara sadar (sengaja) bagi seorang laki-laki dengan seorang perempuan,

terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis”. Sedangkan menurut

sebagian mazhab Maliki, perkawinan adalah sebuah ungkapan (sebutan) atau

titel bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih

kenikmatan (seksual) semata-mata. Oleh mazhab Syafi’i, perkawinan

dirumuskan dengan “akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh

dengan menggunakan redaksi (lafal) “inkah atau tazwid; atau turunan (makna)

dari keduanya”.

Sedangkan ulama Hanabilah, perkawinan adalah akad yang dilakukan

guna mendapatkan kesenangan (bersenang-senang). Pendapat terakhir, dari

5

(28)

17

kalangan ulama Muta’akhirin, bahwa perkawinan adalah akad yang

memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga

(suami-istri) dan mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hak bagi

pemiliknya dan pemenuhan kewajiban-kewajiban masing-masing.6

Berbagai macam perspektif di atas, pandangan penulis tidak jauh berbeda,

bahkan antara satu pendapat dan pendapat lain saling mendukung dan

melengkapi. Artinya, esensi pengertian perkawinan tetaplah sama. Dimana

perkawinan sebagai lembaga sosial7 adalah cara untuk mempertemukan seorang

laki dengan seorang perempuan melalui akad atau perjanjian untuk memenuhi

naluri kemanusiaannya. Seperti menyalurkan hasrat seksualnya, ingin

berkembang biak dan melestarikan kehidupannya melalui keturunan,

memimpin dan lainnya.

Namun, dafinisi perkawinan menurut para ulama fiqh di muka, memberi

kesan bahwa perempuan ditempatkan sebagai objek kenikmatan bagi laki-laki.

Di mana perempuan dilihat dari aspek biologisnya semata. Ini terlihat dalam

penggunaan kata al-wat’ atau istimta’ yang semua konotasinya seks. Implikasi

lebih jauh akhirnya perempuan menjadi pihak yang dikuasai oleh laki-laki

seperti yang tercermin dalam berbagai peristiwa-peristiwa perkawinan.8

6

Mardani, Hukum Perkawinan Islam, h.4.

7

Nabil Muhammad Taufik as-Samaluti, Pengaruh Agama Terhadap Struktur Keluarga,

(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987). h.92.

8

(29)

Berbeda halnya dengan pengertian perkawinan dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974, yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan

lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami

isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.9

Pengertian perkawinan dalam UU tersebut, memiliki implikasi makna

yang berbeda dari pengertian perkawinan dalam fiqh. Di mana makna

pengertian perkawinan dalam UU itu tidak hanya dilihat dari aspek fiqih, tapi

juga dapat ditinjau dari aspek hukum, sosial dan agama. Dengan maksud agar

pemahaman kita tentang pengertian perkawinan tidak hanya seperti yang telah

dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih tersebut. Tiga segi pandangan tersebut dapat

diuraikan sebagaimana berikut:10

a) Perkawinan dilihat dari segi hukum.

Dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian yang sangat

kuat atau “mitsaqon ghalizhan”. Terlihat dalam firman Allah Swt pada

Q.S. an-Nisa ayat 21.

  

 

 

 



 

9

Lihat UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 ayat 2. Sekiranya perkawinan berarti hubungan lahir dan batin, maka perkawinan bukan berarti permainan. Fuad Moh. Fachrudiin,

Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam, h.4.

10

(30)

19

Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah

bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka

(isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (Q.S.

an-Nisa [4]: 21)

Juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu

merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya:

- Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlabih dahulu yaitu

dengan aqad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu;

- Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah

diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur thalaq, kemungkinan fasaq,

syiqaq dan sebagainya.

b) Perkawinan dari segi sosial

Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum,

ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai

kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.

c) Perkawinan dari segi agama

Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat

penting. Dalam agama, perkawinan dianggap suatu lembaga yang suci.

Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak

dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling minta menjadi

pasangan hidupnya dengan menggunakan nama Allah sebagai diingatkan

(31)

 ل  ل   ل  ل  ل  ل  ل  ل  ل   ل  ل  ل  ل  ل  ل  ل  ل  ل   ل   ل  ل   ل  ل   ل  ل  ل   ل   ل  ل  ل  للل ل

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. an-Nisa [4]: 1)

2. Tujuan Perkawinan

Perkawinan merupakan sunnah Nabi yang patut dilakukan sebab

perkawinan merupakan kehendak kemanusiaan, kebutuhan rohani dan jasmani.

Perkawinan disyariatkan agar umat manusia mempunyai keturunan dan

keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah

naungan cinta dan ridha Ilahi.11

Oleh karena itu, aturan perkawinan dalam Islam merupakan tuntutan

agama yang patut mendapat perhatian, sebab tujuan melangsungkan

perkawinan ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama di samping untuk

memenuhi naluri kemanusiaan. Pentingnya aturan perkawinan terlihat dari sifat

dasar manusia itu sendiri, yaitu mencintai kepada apa-apa yang diingini seperti

perempuan-perempuan, anak-anak dan harta yang banyak.

11

(32)

21                                



Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).(Ali ‘Imran [3]: 14)

Dalam pada itu manusia mempunyai fitrah mengenal kepada Tuhan

sebagaimana tersebut dalam surat ar-Rum 30 yang artinya: “Maka hadapkanlah

wajahamu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah

yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tu. Tidak ada perubahan pada

fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tigak

mengetahui.” Pengenalan terhadap Tuhan ini, menurut Abdul Rahman Ghazali

ialah dalam bentuk pengamalan agama.

Melihat tujuan-tujuan perkawinan di atas, dan memperhatikan uraian

Imam Al-Ghazali dalam Ihya-nya tentang faedah melangsungkan perkawinan,

maka tujuan perkawinan12 adalah (1) untuk mendapatkan keturunan yang sah

dan melangsungkan keturunan,13 (2) memenuhi hajat manusia untuk

12

Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2012), cet. ke-5, h.22-24.

13

An-Nisa ayat 1 : “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

(33)

menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya,14 (3) memenuhi

panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan,15 (4)

menumbuhkan kesungguhan bertanggungjawab juga bersungguh-sungguh

untuk memperoleh harta kekayaan yang halal, dan (5) membangun rumah

tangga dalam rangka membentuk masyarakat yang sejahtera berdasarkan cinta

dan kasih sayang.16

3. Asas-asas Perkawinan

Terdapat beberapa prinsip perkawinan menurut agama Islam yang perlu

diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup manusia

dalam melaksanakan tugasnya mengabdi kepada Tuhan. Prinsip-prinsip

perkawinan tersebut antara lain: 17

1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama;

Melaksanakan perkawinan pada hakikatnya merupakan pelaksanaan dari

ajaran agama. Agama mengatur perkawinan dengan memberi batasan

melalui rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Bila rukun dan

kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

14

Al-Baqarah ayat 187: 187. “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur

dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu……”

15Sebuah hadis Nabi Saw yang menyatakan “

sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi liarnya pandangan dan dapat menjaga kehormatan

16

Ar-Rum ayat 21: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

17

(34)

23

syarat-syarat tidak dipenuhi, maka perkawinan itu batal atau fasad. Di

samping itu pula agama memberi ketentuan lain, seperti harus adanya

mahar dalam perkawinan dan harus adanya kemampuan.

2. Kerelaan dan persetujuan;

Melakukan perkawinan harus bebas dari unsur paksaan, pihak yang

hendak melangsungkan perkawinan harus bebas dari unsur ini. Oleh

sebab itu, Islam mengatur melalui proses khihtbah atau peminangan

sebagai suatu langkah sebelum mereka melakukan perkawinan, sehingga

semua pihak dapat mempertimbangkan apa yang akan mereka lakukan.

Kerelaan dari calon suami dan wali jelas dapat dilihat dan didengar dari

tindakan, ucapan dan sikapnya. Mengenai persetujuan para pihak meliputi

juga izin wali. Kedudukan wali dalam perkawinan sangat penting,

sehingga perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali dianggap batal.

3. Perkawinan untuk selamanya;

Perkawinan yang bertujuan antara lain untuk mendapat keturunan,

ketenangan, ketentraman dan cinta kasih sayang hanya dapat dicapi

dengan prinsip bahwa perkawinan untuk selamanya, bukan hanya dalam

waktu tertenut saja. Karena itu Islam tidak membenarkan perkawinan

yang mengandung ketentuan pemabatasan waktu perakwinan, nikah

mut’ah, dan nikah muhallil.

(35)

Ketentuan kedudukan suami lebih tinggi dari istri bukan berarti bahwa

suami berkuasa atas istri. Kelebihan suami atas istri dalam rumah tangga,

karena suami adalah pemimpin rumah tangga. Mahmoud Syalthout

mengatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan sama halnya

dengan kelebihan salah satu anggota badan, yang satu melebihi yang

lainnya.

Selain itu, terdapat pula prinsip-prinsip perkawinan dalam UU Nomor 1

Tahun 1974. Prinsip-prinsip ini ditetapkan demi menjamin terciptanya cita-cita

luhur dari perkawinan itu sendiri. Prinsip-prinsip tersebut adalah:18

1. Asas sukarela:

Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan harus

didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Mengingat bahwa

perakwinan mempunyai maksud agar supaya suami istri dapat

membentuk keluarga yang kekal dan bahagia. Oleh sebab itu, perkawinan

tidak ada paksaan dari pihak manapun.

2. Partisipasi keluarga;

Dalam suatu perkawinan, partisipasi keluarga sangat diperlukan,

walaupun anak yang hendak kawin dipandang telah dewasa, sebab

perkawinan adalah peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Di

18

(36)

25

samping itu, prinsip ini sejalan dengan rukun dan syarat perkawinan

dalam ajaran Islam.

3. Perceraian dipersulit;

Perceraian merupakan suatu yang amat tidak disenangi baik istri maupun

suami. Mudahnya terjadinya perceraian akan menimbulkan kerugian bagi

kedua belah pihat terutama anak-anak. Oleh sebab itu, UU ini

menentukan bahwa untuk memungkinkan perceraian harus ada

alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan.

4. Poligami dibatasi secara ketat;

Dalam Islam seorang suami dibolehkan untuk ber-poligami, begitu pula

dalam UU Perkawinan namun harus dengan memenuhi syarat tertentu

dan diputus oleh pengadilan. Walaupun UU ini menentukan perkawinan

adalah monogami (suami tidak memiliki istri lebih dari satu), poligami

tetap dibolehkan dengan syarat. Di mana syarat-syarat yang dimaksud

dapat dilihat pada pasal 4 (empat) dan 5 (lima) UU No. 1/1974.19

5. Kematangan calon mempelai;

UU Perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah

matang jasmani dan rohaninya untuk melangsungkan perkawinan, agar

19

(37)

supaya dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat

keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu harus dicegah adanya

perkawinan anak-anak di bawah umur. Sebab perkawinan dibawah umur

bagi perempuan, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi.

Ketentuan ini dapat ditemukan dalam pasal 7 UU Perkawinan.20

6. Memperbaiki derajat kaum perempuan;

Perempuan adalah merupakan jenis manusia yang paling banyak

memerlukan perlindungan. Pada masa-masa yang lalu, di kala laki-laki

mempergunakan hak cerai secara semena-mena, maka perempuanlah

yang paling banyak mengalami penderitaan. Oleh sebab itu, maka UU

Perkawinan ini harus ditaati dengan kata lain melaksanakan segala

ketentuan norma yang ada.

B. Pengertian dan Tujuan Pencatatan Perkawinan

1. Pengertian Pencatatan Perkawinan

Dalam peraturan perundang-undangan tentang hukum perkawinan, tidak

ditemukan pengertian pencatatan perkawinan. Kita hanya akan menemukan

norma tentang perintah pencatatan perkawinan. Pengertian pencatatan

perkawinan hanya akan ditemukan dalam buku-buku yang membahas tentang

hukum perkawinan. Mengenai hal ini, dapat dilihat dalam buku yang berjudul

20

(38)

27

Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat” karya Neng

Dubaidah.

Menurut Neng Djubaidah dalam buku tersebut, pencatatan perkawinan

adalah pencatatan atas perkawinan yang sah menurut hukum Islam atau

perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat perkawinan sesuai dengan syariat

Islam yang dilakukan di Kantor Urusan Agama Kecamatan.21 Pengertian

tersebut, dalam pandangan lain dapat diartikan sebagai suatu tahapan atau

proses yang mesti dilaksanakan dalam perkawinan. Dimana melalui pencatatan

perkawinan itu, sepasang suami-isteri akan mendapatkan akta nikah (bukti

nikah).

Tahapan-tahapan dan proses pelaksanaan pencatatan perkawinan tersebut

adalah sebagai berikut:

a. Pemberitahuan kehendak nikah;

b. Pemeriksaan kehendak nikah;

c. Pengumuman kehendak nikah;

d. Akad nikah dan pencatatan.22

Proses-proses tersebut ini tentu merupakan suatu kesatuan yang utuh dan

tidak terpisahkan antara satu dan lainnya. Karena kesatuan yang utuh maka

tidak boleh salah satu dari proses yang ditentukan tersebut dilewati dan

diabaikan. Ketentuan tentang proses pelaksanaan pencatatan nikah tersebut

21

Neng Jubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatatkan, (Jakarta; Sinar Grafika, 2010), Cet. Ke-II, h. 3

22

(39)

dapat dilihat pada Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang

Pencatatan Perkawinan.

Peraturan ini merupakan turunan dari UU Perkawinan, dimana dalam

pasal 2 ayat (2) undang-undang tersebut menentukan bahwa tiap-tiap

perkawinan dicatatkan. Peraturan menteri agama di muka tidak menjelaskan

secara rinci tentang pengertian pencatatan perkawinan. Namun bila ditelaah

peraturan tersebut menentukan bagaimana tahapan-tahapan agar suatu

perkawinan dicatatatkan. Proses pelaksanaan pencatatatan ini sudah

dikemukakan sebagaimana di atas namun dipandang perlu untuk diuraikan

sebagaimana berikut agar tidak mendapatkan kesimpulan yang ambigu.

Dalam pasal 5 Peraturan Menteri Agama di atas, dijelaskan bahwa

pemberitahuan kehendak nikah disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah

(PPN) di wilayah kecamatan calon istri tinggal. Pemberitahuan kehendak nikah

tersebut disampaikan secara tertulis dengan mengisi Formulir Pemberitahuan

dan dilengkapi dengan persyaratan-persyaratan yang sudah ditentukan.23

Setelah menerima pemberitahuan kehendak nikah PPN memeriksa para

pihak terkait yaitu calon suami, calon istri dan wali nikah, tentang ada atau

tidak adanya halangan untuk menikah menurut hukum Islam (hukum

23

(40)

29

munakahat), menurut UU Perkawinan,24 dan kelengkapan persyaratan

sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Agama di atas.25

Halangan pernikahan dalam hukum Islam misalnya dikategorikan pada

dua yaitu mahram muabbad dan mahram ghairu muabbad. haram muabbad

(dilarang selamanya) misalnya seorang laki-laki atau perempuan dilarang

melakukan perkawinan disebabkan adanya hubungan kekerabatan, karena

adanya hubungan perkawinan, dan karena hubungan persusuan. Sedangkan

haram ghairu muabbad (dilarang untuk sementara waktu) misalnya karena

mengawini dua orang saudara dalam satu masa, poligami di luar batas, karena

ikatan perkawinan, karena talak tiga, karena ihram, karena perzinaan dan

karena beda agama.26

Adapun halangan perkawinan karena melanggar peraturan

perundang-undangan tentang perkawinan dapat dilihat pada pasal 8 UUP:27

Perkawinan dilarang antar dua orang yang:

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. Hubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;

d. Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;

24

Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1986), h. 128

25

Pasal 9 ayat 1 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan.

26

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 110 - 133

27

(41)

e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami bersitri lebih dari soerang;

f. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Sedangkan pemeriksaan pernikahan karena khawatir akan melanggar

ketentuan persyaratan sebagai diatur dalam Peraturan Menteri Agama tersebut

adalah sebagaimana berikut, yaitu:

a. Surat keterangan untuk nikah dari kepala desa/lurah atau nama

lainnya;

b. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir, atau surat keterangan

asal usul calon mempelai dari kepala desa/lurah atau nama lainnya;

c. Persetujuan kedua calon mempelai;

d. Surat keterangan tentang orang tua (ibu dan ayah) dari kepala

desa/pejabat setingkat;

e. Izin tertulis orang tua atau wali bagi calon mempelai belum mencapai

usia 21 tahun;

f. Izin dari pengadilan, dalam hal kedua orang tua atau walinya

sebagaimana dimaksud huruf e di atas tidak ada;

g. Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai

umur 19 tahun dan bagi calon isteri yang belum mencapai umur 16

tahun;

h. Surat izin dari atasannya/kesatuannya jika calon mempelai anggota

(42)

31

i. Putusan pengadilan berupa izin bagi suami yang hendak beristeri

lebih dari seorang;

j. kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai bagi mereka

yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

k. Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/isteri dibuat

oleh kepala desa/lurah atau pejabat setingkat bagi janda/duda;

l. Izin untuk menikah dari kedutaan/kantor perwakilan negara bagi

warga negara asing.

Hasil pemeriksaan tersebut kemudian ditulis dalam Berita Acara

Pemeriksaan Nikah, ditandatangani oleh PPN atau petugas, calon istri, calon

suami dan wali nikah oleh PPN. Apabila calon suami, calon istri, dan/atau wali

nikah tidak dapat membaca/menulis maka penandatanganan dapat diganti

dengan cap jempol tangan kiri. Hasil pemeriksaan ini kemudian dibuat dalam

dua rangkap, helai pertama beserta surat-surat yang diperlukan disampaikan

kepada KUA dan helai kedua disimpan oleh petugas pemeriksa yang

bersangkutan.28

Dalam pasal 11 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975

dijelaskan bahwa calon suami istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang

28

(43)

tidak bertentangan dengan hukum Islam. Perjanjian tersebut dibuat empat

rangkap di atas kertas bermaterai menurut peraturan yang berlaku. jika

perjanjiannya berupa ta’lik talak, maka perjanjian tersebut baru dianggap sah

kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad

nikah dilangsungkan.

Setelah segala persyaratan atau ketentuan dipenuhi dalam pemerikasaan

nikah, PPN mengumumkan pemberitahuan kehendak nikah itu. Pengumuman

tersebut dilakukan pada tempat tertentu di KUA kecamatan atau di tempat

lainnya yang mudah diketahui oleh umum di desa tempat tinggal

masing-masing calon mempelai. Pengumuman ini dilakukan selama 10 (sepuluh) hari

sejak ditempelkan.29

Dalam masa pengumuman tersebut, pernikahan dapat dicegah apabila ada

pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pernihakan.

Pencegahan ini dilakukan oleh pihak keluarga garis keturunan lurus ke atas dan

ke bawah, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan

pihak-pihak yang berkepentingan dengan mengajukan permohonan ke

Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana pernikahan akan

dilangsungkan..

Setelah masa pengumuman kehendak nikah selesai maka akad nikah

sudah dapat dilangsungkan. Namun, terdapat pengecualian terhadap jangka

29

(44)

33

waktu tersebut yakni dikarenakan suatu alasan yang penting, dengan

rekomendasi camat di wilayah yang bersangkutan.30 Akad nikah dilangsungkan

di hadapan PPN atau Penghulu dan Pembantu PPN yang mewilayahi tempat

tinggal calon istri. Jika tidak memungkinkan, maka calon mempelai atau

walinya harus memberitahukan kepada PPN yang mewilayahi tempat tinggal

calon istri untuk mendapatkan surat rekomendasi nikah. 31

Akad nikah yang telah dilakukan tersebut dicatat oleh PPN sebagaimana

ditentukan dalam pasal 26 Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2007.

Akta nikah ditandatangani oleh suami, istri, wali nikah, saksi-saksi dan PPN.

Akta tersebut dibuat dua, masing-masing disimpan di KUA dan PPN. Setelah

itu pernikahan dilaporkan kepada kantor administrasi kependudukan di wilayah

tempat pelaksanaan akan dikah.32 Setelah itu, kepada suami dan istri diberikan

buku nikah. Buku nikah ini harus ditandatangani oleh PPN. Bila tidak

ditandatangani, maka kedudukan buku nikah menjadi tidak sah.33

2. Tujuan Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban

perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui

peraturan perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian

perkawinan dan khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga.

30

Pasal 16 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan.

31

Pasal 17 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan.

32

Pasal 26 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan.

33

(45)

Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan oleh akta nikah apabila terjadi

perselisihan di antara suami istri maka salah satu diantaranya dapat melakukan

upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing.

Karena dengan akta tersebut, suami istri memiliki bukti autentik atas perbuatan

hukum yang telah mereka lakukan.34

Pencatatan perkawinan juga berfungsi sebagai “pengatur” lalu lintas

praktik poligami yang sering dilakukan secara diam-diam oleh pihak-pihak

tertentu yang hanya menjadikan perkawinan di bawah tangan tanpa pencatatan

sebagai alat poligami atau berpoligami. Setiap pasangan yang akan kawin di

KUA (Kantor Urusan Agama) atau KCS (Kantor Catatan Sipil) harus melalui

mekanisme sebagaimana yang telah dikemukan di atas.35

C. Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Islam

Dalam Islam, perkawinan disyariatkan berdasarkan al-Quran, as-Sunnah

dan ijma’.36

Islam sangat menganjurkan perkawinan dalam rangka mewujudkan

keluarga SAMARA (sakinah mawadah warahmah). Perkawinan merupakan

satu-satunya sarana untuk melahirkan generasi “generasi yang baik (dzurriyah

tayyibah)”. Dalam satu riwayat hadis, nabi menegaskan bahwa pernikahan

merupakan salah satu sunnah yang dianjurkan. Hadis tersebut berbunyi sebagai

berikut:

34

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonsia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.107.

35

Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya?, (Jakarta: Visimedia, 2007), h.57.

36Asrorun Ni’am Sholeh,

(46)

35

ل هنَعَو

لَ اَق

:

لَ ََ

ل و سَر

لهََّا

ىص

ه

هيحع

مسو

ل ر مْأَي

لَءاَبل ها

لهة

,

ىََْيَو

لهنَع

لهلُتَبَتلا

اًي ََ

اًديهد َش

,

ل و قَيَو

:

او جَوَزَت

لَدو دَولَا

لَدو لَولَا

ل هن

ِ

ا

ل رهث ََ م

ل كهب

لَءاَيهبنََْا

لَوَي

لهةَماَيهقلَا

)

ل هاَوَر

ل دََْأ

,

ل هَةَ َََو

ل نبها

لَ اَبهح

(

Artinya: Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: "Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat." (Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.)

Perkawinan dalam Islam mempunyai hikmah dan manfaat yang sangat

besar, baik bagi kehidupan indvidu, keluarga, masyarakat, bahkan agama,

bangsa dan negara serta kelangsungan umat manusia. Hikmah dan manfaat

tersebut dapat terlihat dalam beberapa hal, misalnya secara fitrah manusia ingin

menyalurkan syahwatnya secara manusiawi dan syar’i, ingin hidup tentram

dengan adanya cinta dan kasih sayang di antara sesama dan lain sebagainya.37

Dalam Al-Qur’an terdapat lebih kurang 70 ayat yang berbicara tentang

perkawinan,38 pada umumnya bersifat muhkamaat (bersifat tidak memerlukan

interpretasi). Begitu pula hadis-hadis Nabi yang berisi tentang

ketentuan-ketentuan hukum perkawinan pada umumnya bersifat jelas dan pasti. Walaupun

ketentuan hukum perkawinan diatur secara jelas dan rinci di dalam Al- Quran

dan sunnah Nabi, akan tetapi kita tidak bisa menemukan ketentuan- ketentuan

37Asrorun Ni’am Sholeh,

Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h.4-42.

38Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSAS, 20

(47)

hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan di dalam kedua sumber

utama hukum Islam tersebut, bahkan dalam kitab-kitab fiqh klasik yang pada

umumnya dikarang oleh mujtahid-mujtahid yang datang kemudian setelah

periode sahabat dan tabi’in, juga tidak ditemukan pembahasan yang berkaitan

dengan ketentuan hukum tentang pencatatan perkawinan. Hal ini

mengambarkan, seakan pembahasan mengenai pencatatan perkawinan

merupakan aspek yang terlupakan dalam pembahasan di kitab-kitab fiqh klasik,

bahkan dalam kitab- kitab fiqh yang datang kemudian.39

Hal tersebut mengindikasikan, bahwa pencatatan perkawinan tidak begitu

mendapat perhatian dalam hukum Islam, walaupun ada ayat dalam Al-Qur’an

yang menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah. Utang

piutang misalanya, dalam surat Al-Baqarah ayat 282 menyebutkan bahwa

apabila kita bermuamalah (melakukan hubungan keperdataan) tidak secara

tunai untuk waktu yang tidak ditentukan hendaklah kita menuliskannya atau

mencatatkannya.

Mengenai pencatatan perkawinan yang tidak begitu mendapat perhatian

dalam hukum Islam, mungkin dapat dikemukakan beberapa analisis. Pertama,

adanya larangan menulis sesuatu selain Al-Qur’an yang mengakibatkan budaya

tulis menulis tidak begitu berkembang dibandingkan budaya hafalan (oral);

kedua, lanjutan dari yang pertama, akibat dilarangnya menulis selain Al-Qur’an

39

(48)

37

maka mereka lebih mengandalkan hafalan (ingatan); ketiga, tradisi walimat al-‘ursy yang merupakan saksi di samping saksi syar’I tentang sebuah

perkawinan; keempat, terdapat kesan perkawinan yang berlangsung pada

masa-masa awal islam belum terjadi antar wilayah negara yang berbeda.40

Namun, Seiring dengan perkembangan zaman serta dinamika yang terus

berubah, empat analisis yang dikemukakan tadi dianggap tidak relevan lagi

sehingga memuntut perubahan-perubahan yang lebih relevan dan sesuai

kebutuhan zaman kekinian. Pergeseran budaya lisan (oral) kepada budaya tulis

sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akad, surat sebagai

bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa

hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan

kekhilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang

disebut dengan akta. 41

Akta merupakan bukti otentik dari sebuah perkawinan. Tanpa akta,

pengakuan terhadap sebuah perkawinan tidak mendapatkan legitimasi yang

kuat di mata hukum. Dengan demikian, maka pencatatan perakawinan dirasa

perlu untuk menjadi dasar legitimasi sebuah perakwinan. Semestinya kita tahu,

bahwa dimuatnya pencatatan perakawinan ke dalam UU No. 1/1974 adalah

untuk untuk mewujudkan ketertiban perkawinan. Di sisi lain, dengan dimuatnya

ketentuan pencatatan perakawinan dalam UU tersebut, adalah sebagai upaya

40

Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta; Kencana, 2006), cet. Ke-3, h.120.

41

(49)

untuk menjaga kesucian (mitasaqan galidzan) aspek hukum yang timbul dari

ikatan perkawinan.42

D. Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Nasional

Pasal 2 ayat (2) dalam Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa

tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundanga-undangan yang

berlaku.43 UU ini menghendaki perkawinan dicatatakan dengan tujuan agar

tiap-tiap perkawinan tertib, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan

hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan hukum

Islam.44 Perkawinan yang dilakukan dengan sistem perkawinan Islam

dicatatkan di kantor urusan agama (KUA) kecamatan setempat. Adapun

perkawinan yang dilakukan menurut hukum perdata Burgeriljk Weetbook

dicatatkan di Kantor Catatan Sipil demikian menurut Arso Sostroatmodjo dan

Wasit Aulawi dalam buku Hukum Perkawinan di Indonesia.45

Di samping adanya pandangan tentang keharusan pencatatan perkawinan,

terdapat pandangan lain yang mengatakan bahwa pencatatan perkawinan bukan

merupakan suatu keharusan tetapi sesuatu yang hukumnya sunnah. Pandangan

tersebut dikemukan oleh Neng Djubaidah dalam bukunya Pencatatan

Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatatkan. Pandangan ini didasa

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan varietas hibrida perlu didukung oleh ketersediaan benih yang bermutu. Kemurnian genetik merupakan salah satu kriteria yang harus dipenuhi untuk keberhasilan

Resin komposit nano hibrid adalah resin komposit yang dikembangkan dari campuran resin komposit nanofiller dan microfiller, suatu terobosan yang membuat peningkatan cukup

Subjek dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan Simpan Pinjam Perempuan (SPP) di Kecamatan Ngronggot Kabupaten Nganjuk,

Analisis kualitatif ini ditujukan untuk mengetahui reaksi yang akan timbul jika larutan yang mengandung kation tersebut direaksikan dengan ion hidroksida yang

Emisi gas rumah kaca dari tambang batubara difokuskan pada metana, karena gas ini merupakan emisi yang terlepas (fugitive) paling penting dari tambang batubara,

Berdasarkan uraian di atas mendorong penulis untuk mengadakan penelitian lebih dalam dan mencoba mengamati, mengkaji, menelaah, menganalisis dan menuangkan dalam sebuah

Setelah semua data yang telah terkumpul melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi, maka perlu difokuskan sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini,

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja pegawai kecamatan gunung pati termasuk unggul, ini dapat dilihat dari beberapa fenomena yang menunjukkan