i
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MUHAMAD AWALUDDIN NIM : 109044100031
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
T
w srozlH
9€rI
VIUYXYf
HYITNIYAYOIH dIUVAS NIO ruNXI}H NYO I{VIUVAS SYITfDIY.I YCUVnTfl)r I nXnH IffIIS r MUSOUd YruYOY NYTIOYUfld ISYUJNflSNOX
rcUzzt L96I 1001096I : dIN Y'ru'uBqqns qBvrrtlBz '!H'r(I Jord
:rrBEurqlurg rlB {eg rc
IEOOOI'7060I : WIN
ffi
:qelo
(r(S'S) qeF€r(S uueFs releg qeloredruel4l srmg leredg nl€S qups ntnueruetr { {ntun um{nH uep qeuedg s"}lDIBd epeda4 uqnf€lC
Isdlnts
ISIIYAS.AY HYHYTHSYI^I IUOflI
NYCNflC VANISNVAflTIU NVO YISflNOONI IO NVYCUVNTDTtr){ ruNXNH
2015. Skripsi ini telah diterirna sebagai salah satu syarat untuk rnemperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilukurn Keluarga.
PANITIA UJIAN
l . K e t u a FI. Kamarusdiana, S. Ag, MH. N r P . I 9 7 2 0 2 2 4 1 0 0 8 0 3 1 0 0 3
2. Seketaris S r i H i d a y a t i , M . A g .
NIP. 197102151997032002'
Prof.Dr. Hj. Zaitunah Subhan, M.A. NIP. 1 950 1001 1967 122001
Dr. Hj. Mesraini, M.Ag. NIP. r 97602 132003122001
Dr. H. Nurul Irfan, M.Ag. NIP. I 97308022003121001
3. Pernbirnbing :
4. Penguji I
5. Penguji II
J a k a r t a , 0 8 A p r i l 2 0 1 5
91216199603 1 00 1
I\IUNAQI\SY.\H
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S 1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 17 Maret 2015 Penulis
v
persoalan yang sampai saat masih diperdebatkan. Menurut sebagian pandangan, pencatatan tidak merupakan syarat sah perkawinan karena dalam perkawinan telah ada saksi yang kedudukannya sebagai bukti bilmana suatu hari terjadi perselisihan antara suami dan isteri. Sedangkan sebagian pandangan lainya, menganggap bahwa kedudukan pencatatan perkawinan dapat dijadikan sebagai syarat sah perkawinan. Tarik ulur perdebatan-perdebatan tersebut berlenjut dalam pembahasan pengesahan RUU Hukum Materil Peradilan Agama di Parlemen. Bila hal ini dibiarkan berlarut-larut dalam arus perdebatan, maka kedudukan pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan tidak akan menemukan titik terang.
Perdebatan-perdebatan tersebut pada akhirnya berimplikasi pada perilaku hukum di masyarakat terhadap pencatatan perkawinan. Bagi sebagian masyarakat, perkawinan tidak perlu dicatatkan. Sebab, dicatat atau tidaknya suatu perkawinan tidak berdampak pada status perkawinan mereka. Karena sejatinya menurut hukum Islam, perkawinan adalah sah manakala telah memenuhi rukun dan syarat sah perkawinan. Sedangkan sebagian masyarakat lainnya, pencatatan perlu dilakukan agar ada kepastian hukum dalam ikatan perkawinan. Kepastian hukum dimaksud adalah adanya jaminan hukum dari negara manakala dikemudian hari terjadi perselisihan antara suami dan isteri.
Persoalan-persoalan perdebatan di atas kiranya sesegera mungkin harus diakhiri agar tidak terjadi penerapan hukum yang ganda di masyarakat. Dalam perspektif negara hukum, pencatatan perkawinan dianggap penting. Tapi bukan berarti menafikan kedudukan saksi dalam perkawinan. Perlunya pencatatan perkawinan adalah sebagai upaya untuk lebih mempertegas bagaimana posisi pembuktian suatu perkawinan. Hal ini lebih menarik lagi bila dihubungkan dengan teori mashlahah Al-Syathibi.
vi
penelitian normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.
Dari penelitian yang dilakukan, ditemukan jawaban-jawaban terkait dengan persoalan-persoalan di atas. Pertama, dalam hukum nasional, pencatatan perkawinan memiliki tujuan untuk mewujudkan ketertiban dalam perkawinan. Kedua, bahwa pencatatan perkawinan memiliki relevansi dengan teori mashlahah Al-Syahitbi, yaitu terletak pada perlindungan hukum atas hak dan kewajiban masing-masing suami isteri yaitu dalam hal perlindungan jiwa, harta dan keturunan. Ketiga, karena pencatatan perkawinan memiliki relevansi dengan teori mashlahah Al-Syathibi maka pencatatan perkawinan harus dijadikan syarat sah perkawinan.
vii
Puji syukur kepada Allah Swt atas limpahan rahmat, karunia, nikmat kesehatan jasmani dan rohani serta kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai suri tauladan umat manusia yang telah menggiring kita keluar dari zaman kebodohan ke zaman peradaban yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini. Mudah-mudahan kita termasuk bagian dari ummat
beliau yang akan mendapat syafa’at kelak fi yaumil akhirat , amin.
Dalam penulisan skripsi ini terdapat berbagai macam hambatan dan rintangan yang penulis hadapi, Namun berkat rahmat dan pertolongan Allah Swt serta kontribusi dan motivasi dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan dapat diatasi dengan mudah dan lancar hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Tidak lupa, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada orang-orang yang turut mempengaruhi hamba dalam mendewasakan penulis, yang terhormat:
1. Dr. Asep Saipudin Jahar, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Kepala Program Studi Hukum Keluarga, H. Kamarusdiana, S. Ag, M.H dan Sekretaris Program Studi Sri Hidayati, M.Ag.
3. Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan, MA. Sebagai pembimbing skripsi, terimakasih tak terhingga atas masukan dan dukungannya dalam penulisan skripsi ini;
4. Keluarga besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta segenap Dosen, Karyawan, dan seluruh staf yang telah banyak membantu dan memberikan fasilitas bagi penulis selama studi di Kampus;
5. Pustakawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Pustakawan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyediakan referensi dalam penulisan skripsi ini;
viii
demi kesuksesan putranya. Yang mengajarkanku untuk hidup mandiri dan mengingatkanku untuk selalu berbuat baik;
7. Adik-adikku yang kusayang, Amiruddin, Nur Ilma, Nurul Annisa, serta adik iparku Nur Hadijah yang tak bosan-bosannya berharap dan berdoa agar saya segera menyelesaikan studi;
8. Kawan-kawan saya di kampung (Katembe), La Tate, Hawurin, Zumiana, Erys, Baini, Jabar, Laangka, Abdul Majid, dan Nado. Yang tak bosan-bosannya menanyakan kapan saya wisuda;
9. Sdr. Ld. Chusnul Huluk dan Harsin selaku kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan dari Pulau Buton.
10.Senior-senior saya di LKBHMI Cab. Ciputat, kakanda Fahmi M. Ahmadi, Ihdi Karim Makin Ara, Ainul Syamsu, Cak Sili, Ainul Yakin, M. Isnur, Irsyad Maulana, M. Ali Fernandez, Febri, Muhammad Hafidz, Asep Samsuri, Teuku Mahdar Ardian, Haris Barkah, Ridho Akmal Nasution, Aji Andika Muftih, Reza Arif Rahman, Haris Sumirat Nurgraha, Asep Sholahuddin, dan Yunda Ida Widyawati (Ny. Fahmi M. Ahmadi). Terimakasih atas dukungan dan saran-saran kalian dalam penulisan skripsi ini begitu pula selama menjadi anggota dan pengurus LKBHMI. Semoga kelak di kemudian hari dapat bermanfaat bagi nusa dan bangsa, amin; 11.Kawan-kawan penghuni serta pengurus LKBHMI, Sahrial, Irpan, Bilal,
Aqil, Zullisan, Marzuki, Abiyuddin, Imung, Humaidullah (Ume), Karim Munthe, Dimas, Wanda, Humaidi, Ucok AQB, Zainuri, Afif, Hariri, Bagus, dan Tio, serta pengurus-pengurus lain yang tak dapat saya sebutkan. Semoga canda dan tawa kita selama menjadi anggota dan pengurus LKBHMI terus teringat sepanjang waktu dan tali persaudaraan kita tetap kokoh. Berkat dorongan dan semangat yang kalian berikan akhirnya saya dapat dapat menyelesaikan skripsi ini;
12.Adik-adik anggota dan pengurus Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum, Fariz Aburrahman (bekas Ketua Umum Komisariat 2013-2014) dan Muhamad Irvan (Ketum Komisariat 2014-2015) beserta jajarannya;
13.Kawan-kawan seperjuangan di Konsentrasi Peradilan Agama dan Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2009 dan kawan-kawan Double Degree dan Ilmu Hukum angkatan 2013. Mohon maaf atas segala kekhilafan yang pernah penulis perbuat kepada kalian;
ix
umumnya bagi pembaca yang budiman. Kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan sebagai penyempurna atas karya ilmiah ini.
Jakarta, 17 Maret 2015 Penulis
x DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Masalah ... 9
D. Riview Studi Terdahulu ... 10
E. Metode Penelitian ... 11
F. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II PENCATATAN PERKAWINAN A. Pengertian, Tujuan, dan Asas-asas Perkawinan ... 15
B. Pengertian dan Tujuan Pencatatan Perkawinan ... 26
C. Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Islam ... 34
xi
B. Karya al-Syathibi ... 44
C. Metodologi Istinbat Hukum ... 49
D. Konsep Mashlahah ... 55
BAB IV RELEVENASI PENCATATAN DENGAN TEORI MASHLAHAH
AL-SYATIBI
A. Problematika Pencatatan Perkawinan di Indonesia ... 65
B. Relevansi Teori Mashlahah Terhadap Pencatatan Perkawinan Di
Indonesia ... 72
C. Pandangan Penulis Tentang Pencatatan Perkawinan ... 79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 83
B. Saran ... 84
1 BAB I
PEDAHULUAN
A. Latar Belakang
Eksistensi hukum Islam di Indonesia sekarang ini sesungguhnya
memiliki sejarah yang sangat panjang. Akar geneologisnya dapat ditarik ke
belakang, yaitu saat pertama kali Islam masuk ke nusantara.1 Namun menurut
Martin seperti yang dikutip Mahsun Fuad dalam buku Hukum Islam Indonesia,
sulit bagi kita untuk memotret secara cukup sempurna perkembangan Islam di
Indonesia sebelum abad 17 M.
Hukum dalam Islam merupakan ruh2 dan aspek ajaran yang paling kuat
mendominasi pemahaman umat dibandingkan dengan disiplin keilmuan
tradisional maupan lainnya.3 Perkataan hukum tersebut berarti norma atau
kaidah yakni ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk
menilai tingkah-laku atau perbuatan manusia dan benda.4
Dalam sistem hukum Islam ada lima hukum atau kaidah yang
dipergunakan sebagai patokan mengukur perbuatan manusia baik di bidang
ibadah maupun di bidang muamalah. Kelima jenis kaidah hukum yang lima,
1
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, (Yogyakarta: LKis, 2005), h.27.
2
Disadur dari M. H. Hoker, “Muhammad Law and Islamic Law” dalam M. H. Hoker (ed.),
Islam in Southeast Asia, (Leiden: E.J. Brill, 1998), h.160
3
Dimensi ajaran mapan yang dimaksud adalah fiqih, kalam, tasawuf, dan filsafat Islam. disadur dari Nurkholis Majid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008), cet. Ke-6, h. 199-247
4
disebut al-ahkam al-khamsah atau penggolongan hukum yang lima (Sajuti
Thalib, 1985:16) yaitu (1) ja’iz atau mubah atau ibahah, (2) sunnat, (3) makruh,
(4) wajib, (5) haram. Yang selanjutnya disebut juga dengan hukum taklifi
(Masyfuk Zuhdi, 1987: 5).5
Hukum Islam seperti telah disebutkan di atas, dapat dikelompokkan
dalam dua bidang yakni mengenai (bidang) ibadah dan mengenai (bidang)
muamalah. Pertama, mengenai ibadah, adalah cara dan tata cara manusia
berhubungan langsung dengan Tuhan, dalam hal ini tidak boleh
ditambah-tambah atau dikurangi. Sebab, ketentuannya telah diatur oleh Allah sendiri
(dalam Alquran) dan dijelaskan secara rinci oleh (hadis) Rasul-Nya. Dengan
demikian, tidak mungkin ada modernisasi mengenai ibadah atau proses yang
membawa perubahan mengenai ibadah atau proses yang membawa perubahan
dan perombakan secara hukum, susunan, cara, dan tata cara ibadah itu sendiri.
Kedua, mengenai muamalah, adalah ketetapan Tuhan yang
berhubungan dengan kehidupan social manusia - terbatas pada yang
pokok-pokok saja – “terbuka” sifatnya untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia
yang memenuhi syarat untuk melakukan usaha itu. Karena sifatnya yang
demikian, dalam soal muamalah berlaku asas umum yakni pada dasarnya
semua perbuatan „boleh’ dilakukan, kecuali kalau mengenai perbuatan itu
dilarang di dalam Alquran dan Hadis. Artinya, semua perbuatan yang termasuk
5
3
ke dalam kategori muamalah, boleh saja dilakukan asal saja tidak ada larangan
untuk melakukan perbuatan itu. Oleh karena sifatnya yang demikian,
perumusan dan kaidah-kaidahnya dapat saja berubah sesuai dengan perubahan
zaman. Atau dengan kata lain dapat dilakukan modernisasi, asal saja
modernisasi itu sesuai (dan menimbulkan maslahat), atau sekurang-kurangnya
tidak bertentangan dengan jiwa hukum Islam pada umumnya.6
Hal demikian didukung oleh pendapat kebanyakan ahli fiqh yang telah
menetapkan kaidah bahwa hukum asal segala sesuatu dalam bidang material
dan hubungan antara sesama manusia (mu’amalat) adalah boleh, kecuali apabila
ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu terlarang.7
Muamalat dalam pengertiannya dapat dikatergorikan dalam pengertian
umum dan pengertian khusus. Dalam pengertian umum, muamalah adalah
norma hukum yang memuat (1) munakahat (hukum perkawinan mengatur
segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian serta
akibat-akibat hukumnya, (2) warisan atau faraid (hukum kewarisan mengatur sefala
persoalan yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan,
harta warisan, serta pembagian harta warisan). Sedangkan dalam pengertian
khusus, muamalah adalah norma yang mengatur masalah kebendaan dan
hak-hak atas benda, aturan mengenai jual beli, sewa-menyewa, pinjam-peminjam,
6
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, h.54-56.
7
persyarikatan (kerja sama bagi hasil), pengalihan hak, dan segala yang
berkaitan dengan transaksi.8
Dari pengertian di atas maka dapat kita kategorikan bahwa ruanglingkup
muamalah ada dua yakni dalam pengertian yang umum dan pengertian khusus
sebagaimana penjabarannya di atas. Namun pada kesempatan ini penulis
mengkaji muamalah dari aspek pengertiannya yang umum, yakni mengenai
perkawinan.
Perkawinan dan segala aspek yang timbul darinya dapat ditemukan
dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Diaturnya perkawinan
melalui undang-undang tersebut adalah sebagai bentuk upaya protektif atau
perlindungan hukum. Lebih lanjut, perlindungan tersebut tentu merupakan
kewajiban negara yang berdasarkan hukum9. Karena, setiap perilaku atau
perbuatan warga negera harus dilaksanakan berdasarkan dan tunduk pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain perlindungan, kodifikasi hukum perkawinan dalam peraturan
per-UU-an juga dimaksudkan untuk menciptakan ketertiban dan keadilan10 dalam
perkawinan. Di mana ketertiban menunjuk pada hubungan atau komunikasi
zahiriah atau dengan kata lain ia melihat pada proses interaksi para pribadi
8
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.1.
9
Lihat pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945.
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), h.58.
5
dalam kelompok.11 Dan keadilan lahir sebagai akibat dari pelaksanaan
kewajiban dan pemenuhan hak, sehingga tercipta keluarga sakinah, mawaddah
wa rahmah.
Namun realitasnya, undang-undang tersebut tidak terimplementasikan
atau terlaksana dengan baik. Masih banyak penyimpangan-penyimpangan
hukum yang dilakukan masyarakat. Dalam beberapa kasus, misalnya
perkawinan tidak dicatatkan masih sering ditemukan dalam masyarakat.
Perkawinan seperti ini sangat merugikan terutama bagi perempuna. Padahal,
jika ditelaah makna dari perkawinan tersebut adalah ikatan yang kuat antara
seorang perempuan dan laki-laki yang tidak hanya disaksikam oleh dua orang
saksi, tetapi juga disaksikan oleh Allah Swt.12
Oleh sebab itu, dengan mentaati peraturan perudang-undangan ini
berarti kita mendorong untuk terwujudnya ketertiban perkawinan. Bila norma
hukum yang ada di dalam Undang Undang tersebut tidak ditaati maka akan
terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment, di
mana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak
efektif. Gejala semacam itu mencul oleh karena ada faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum,
11
Purnadi Purbacaraka, dkk, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993), cet. Ke-6, h.20.
12
penegak hukum, para pencari keadilan (justitiabelen), maupun
golongan-golongan lain di dalam masyarakat.13
Dari sekian banyak norma yang diatur, norma tentang pencatatan
perkawinan sebagaimana disebut di atas merupakan norma yang sampai saat ini
masih diperdebatkan. Apakah pencatatan perkawinan tersebut sebagai rukun
perkawinan atau sebagai syarat administrasi saja. Yang implikasinya pencatatan
perkawinan tidak terlalu dihiraukan dan muncul perkawinan-perkawinan liar
yang tidak dicatatkan, atau biasa dikenal dengan perkawinan di bawah tangan.
Norma hukum pencatatan perkawinan tentu memiliki tujuan, yakni
untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat, baik
kepentingan pribadi, kepentingan publik serta kepentingan sosial. Yang oleh
Van Apeldron dikatakan sebagai pengaturan yang adil.14 Namun, karena karena
norma itu tidak dipatuhi dan dilaksanakan oleh subyek hukum, maka cita
hukum sebagaimana yang diinginkan oleh Undang-Undang itu tidak tercapai.
Banyaknya perkawinan yang dilakukan di bawah tangan atau perkawinan tidak
dicatatkan, mengindikasikan bahwa Undang-Undang tersebut tidak berlaku
efektif. Sebagai contoh, kasus perkawinan di bawah tangan Aceng H.M Fikri
yang saat itu sebagai bupati Garut dengan Fany Octora yang berlangsung
singkat. Di mana perkawinan tersebut hanya bertahan hingga 4 hari saja dan
hubungan perkawinan mereka putus.
13
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h.135.
14
7
Memang dalam Alquran dan Hadist, ketentuan pencatatan perkawinan
ini tidak ditemukan. Namun, seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman,
hal ini dirasakan sangat penting bagi masyarakat. Sehubungan dengan itu,
Syathibi menyatakan bahwa syari’ah telah memandang kebaikan hukum apa
yang dipandang baik dalam pengalaman sosial. Mana kala dalam pengalaman
social suatu “kebaikan hukum” tertentu mulai merugikan jaringan masyarakat
manusia, atau bahkan individu, maka ia kehilangan sifatnya sebagai kebaikan
hukum.15
Artinya, jika kita tetap berpegang teguh pada pemahaman perkawinan
tradisional yang tidak menganggap pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang
urgen, maka akan semakin banyak timbul persoalan-persoalan dalam
perkawinan. Misalnya, tidak dapat melakukan tuntutan atas nafkah di
pengadilan karena tidak memiliki bukti perkawinan. Padahal pembuktian dalam
perkawinan memiliki kedudukan yang sangat penting. Dari itu kemudian,
pencatatan perkawinan memiliki kedudukan yang penting jika ditinjau
perspektif maqashid al-syar’ah.
Oleh sebab itu, sangat penting untuk merubah mindset dari pemahaman
masyarakay yang bercorak tradisional ke pemahaman masyarakat yang lebih
moderat. Di mana pencatatan perkawinan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu
yang tabu, melainkan dianggap sebagai suatu unsur yang sangat penting
15
kehadirannya sebagai syarat sah perkawinan. Dengan tujuan agar dapat
mewujudkan kemaslahatan dalam perkawinan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka sangat diperlukan untuk
dilakukan pengkajian dan penelitian terhadap pencatatan perkawinan dalam
bentuk karya ilmiah atau skripsi dengan judul “Pencatatan Perkawinan
dalam Hukum Kekeluargaan di Indonesia dan Relevansinya dengan Teori
Mashlahah Al-Syatibi”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pencatatan perkawinan merupakan salah satu norma hukum yang
mestinya ditaati oleh setiap warga Negara yang tunduk pada hukum nasional.
Namun, bila norma tersebut tidak ditaati hingga menyebabkan distabilitas
hukum. Padahal pencatatan perkawinan sangat syarat dengan Mashlahah atau
kebaikan bagi keberlangsungan hubungan perkawinan antara seorang
perempuan dan laki-laki. Untuk membatasi ruanglingkup pencatatan
perkawinan yang begitu luas, maka penelitian ini fokus dan penulis hanya
membatasi terhadap Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Kekeluargaan
Indonesia dan Relevansinya dengan Teori Mashlahah Al-Syatibi.
2. Perumusan Masalah
Sebagaimana yang dijelaskan di atas, meskipun pencatatan perkawinan
9
Nomor 1 tahun 19724 tentang Perkawinan, namun realitanya norma tersebut
tidak efektif dan akhirnya menimbulkan distabilitas hukum. Sebagaimana
contoh yang telah dikemukakan di atas
Berikut ini rumusan masalah yang menjadi titik fokus kajian dalam
skripsi ini, yaitu:
a. Apa tujuan pencatatan perkawinan dalam hukum Nasional?
b. Bagaimana relevansi pencatatan perkawina dengan Teori Mashlahah
Al-Syatibi?
c. Apakah pencatatan perkawinan harus dijadikan salah satu sarat sah
perkawinan menurut hukum Islam atau tidak?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui apa tujuan pencatatan perkawinan Hukum Nasional.
b. Untuk mengetahui relevansi pencatatan perkawinan dengan Teori
Mashlahah Al-Syathibi.
c. Untuk mengetahui apakah pencatatan perkawinan harus dijadikan
salah satu syarat sah perkawinan menurut hukum Islam atau tidak.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
Secara teoritis hasil penelitian ini adalah dalam rangka untuk
pengembangan wawasan ilmu pengetahuan khususnya mengenai urgensi
pencatatan perkawinan dalam bidang Hukum Kekeluargaan di Indonesia.
b. Secara prkatis
Secara prakstis dari hasil penelitian ini adalah untuk memperluas
pengetahuan diri penulis dan sebagai bahan bacaan dan informasi bagi
masyarakat yang ingin mengetahui urgensi pencatatan perkawinan di
tinjau dari maslahatnya serta untuk memenuhi syarat akademis dalam
rangka memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Syariah dan Hukum.
D. Riview Studi Terdahulu
Sepanjang pengetahuan penulis topik penelitian yang sama dengan topik
yang penulis teliti baik dalam katalog perpustakaan utama ataupun
perpustakaan fakultas Syariah dan Hukum, belum pernah diteliti oleh peneliti
lainnya, namun ada beberapa judul skripsi yang mendekati permasalahan
bahasan penulis diantaranya adalah
1. Signifikansi Pencatatan Perkawinan Dalam Persepektif Hukum Islam dan
Hukum Positif oleh Abu Bakar tahun 2010. Skripsi tersebut membahas
secara lebih spesifik tentang pencatatan perkawinan dalam Hukum Islam
dan Hukum Positif. Dimana lebih mengedapankan konsep signifiknasi
pencatatan perkawinan dalam Hukum Islam berdasarkan istinbath hukum
dan mencatatan perkawinan berdasarkan hukum Hukum Positif.
11
spesifik tentang urgensi pencatatan perkawinan dalam hukum
kekeluargaan dengan pendekatan teori maslahat Abu Ishaq Al-Syatibi,
2. Penerapan Mashlahah Mursalah dalam KHI dan Pengaruhnya Terhadap
Putusan Hakim (Studi Kasus Petusan Cerai Gugat Karena Suami
Poligami di Penadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2007) oleh
Taufikurrohman tahun 2008. Skripsi tersebut hanya mengulas tentang
penerapan Mashlahah dan pengaruhnya terhadap putusan hakim dalam
bidang cerai gugat akibat poligami. Sedangkan skripsi yang hendak
penulis lakukan adalah mengenai pencatatan perkawinan yang ditinjau
dari perspektif Mashlahah Abu Ishaq Al-Syatibi.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang penulis gunakan adalah Penelitian normatif,
yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder.16 Mengingat permasalahan dalam penelitian ini difokuskan pada
pencatatan perkawinan dan relevansinya dengan teori mashlahah Al-Syatibi,
maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Karena
itu, tipe penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah tipe penelitian
deskriptif, yaitu penelitian untuk memecahkan masalah yang ada pada masa
16
sekarang (masa aktual) dengan megumpulkan data, menyusun,
mengklasifikasikan, menganalisis dan mengeinterpretasikan.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini adalah menggunakan pendekatan deskriptif,
untuk memberikan data seteliti mungkin tentang hal yang menjadi objek
penelitian dan untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di
dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori
baru.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sebagaimana uraian di atas, bahwa penelitian ini merupakan penelitian
normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
atau data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi:
a) Sumber Primer, yaitu berupa undang-undang (UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama,
dan UU lainnya yang terkait dengan pencatatan perkawinan), KHI dan
buku-buku yang membahas mengenai Pencatatan perkawinan serta buku
Mashlahah Al-Syatibi.
b) Sumber Sekunder, yakni sumber yang erat hubungannya dengan bahan
hukum primer dan dapat membantu dalam menganilisis dan memahami
bahan hukum primer, berupa karya tulis antara lain makalah, koran,
majalah, dan Lain-lain dengan mengambil materi yang relevan dengan
13
4. Analisis Data
Dalam penelitian ini, data yang diperoleh disajikan secara kualitatif,
dengan menggunakan analisis deskriptif, yaitu dengan mendeskripsikan data
yang diperoleh ke dalam bentuk penjalasan-penjalasan. Artinya problem yang
ada dianalisis dan dipecahkan berdasarkan peraturan yang ada, serta dilengkapi
analisis.
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu
(PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012.17
Agar pembahasan skripsi ini lebih sistematis, maka penulis akan menguraikan
pembahasan ini dalam lima bagian sebagaimana berikut:
BAB PERTAMA : Merupakan bab pendahuluan dari skripsi ini. Dalam
pendahuluan ini penulis menguraikan latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi riview, metode
penelitian serta sistematikan penulisan dalam skripsi ini.
BAB KEDUA : Menguraikan pencatatan perkawinan. Dalam bab ini
penulis akan membahas tentang pengertian, tujuan dan asas-asas perkawinan.
Dilanjutkan dengan membahas pengertian dan tujuan pencatatan perkawinan,
17
pencatatan perkawinan dalam hukum Islam, dan pencatatan perkawinan dalam
Hukum Nasional
BAB KETIGA : Menguraikan konsep mashalahah Al-Syathibi. Pada
bagian ini penulis akan membahas biografi, karya, metodologi istinbat hukum
dan konsep mashlahah Al-Syathibi.
BAB KEEMPAT : Dalam bab ini penulis akan meninjau pencatatan
perkawinan di Indonesia dan relevansinya dengan teori mashlahah Al-Syatibi.
Hal-hal yang akan dibahas pada bab ini mengenai problematika pencatatan
perkawinan di Indonesia, relevansi konsep mashlahah terhadap pencatatan
perkawinan di Indonesia, dan pandangan penulis tentang pencatatan
perkawinan.
BAB KELIMA : Adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
15 BAB II
PENCATATAN PERKAWINAN
A. Pengertian, Tujuan, dan Prinsip Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan arti kata pernikahan yang berasal dari bahasa
arab.1 Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih oleh Allah Swt. sebagai
jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.2
Artinya melalui perkawinan tersebut umat manusia mempertahankan
esksistensi kemanusiaannya di muka bumi ini dengan menciptakan suatu
masyarakat kecil dalam bentuk keluarga.3
Secara etimologis perkawinan dalam Bahasa Arab berarti nikah atau
zawaj. Nikah mempunyai arti al-wath’i, al-dhommu, al-tadakhul, al-jam’u atau
ibarat ‘an al-wath wa al aqd yang berarti bersetubuh, berhubungan badan,
berkumpul, jima’ dan akad. Sedangkan secara terminologis perkawinan atau
nikah adalah akad yang membolehkan terjadinya istimta’ (melakukan perbuatan
yang menyenangkan) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.4
1
Fuan Mohd. Fachrudiin, Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam, (Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1992), h.1.
2
H.M.A. Tihami, Fiqih Munakahat, (Jakarta, Rajawali pers, 2009), h.6.
3
Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahan Al-Musa Khalid bin Ali Al-Anbari, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1993), terjemah, h.14.
4
Pengertian perkawinan secara epistemologis dan terminologis tersebut
kemudian dikembangkan oleh ulama fiqih. Ulama yang dimaksud adalah
sebagian ulama Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah yang
selanjutnya disebut ulama mutaqaddimin, maupun ulama mutaakhirin
(kontemporer). Pengertian perkawinan yang dikemukakan masing-masing
ulama tersebut berbeda-beda, akan tetapi mereka tidak memperlihatkan adanya
pertentangan makna yang sungguh-sungguh antara satu pendapat dengan
pendapat yang lainnya.5
Menurut sebagian ulama Hanafiah, perkawinan adalah akad yang
memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang
secara sadar (sengaja) bagi seorang laki-laki dengan seorang perempuan,
terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis”. Sedangkan menurut
sebagian mazhab Maliki, perkawinan adalah sebuah ungkapan (sebutan) atau
titel bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih
kenikmatan (seksual) semata-mata. Oleh mazhab Syafi’i, perkawinan
dirumuskan dengan “akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh
dengan menggunakan redaksi (lafal) “inkah atau tazwid; atau turunan (makna)
dari keduanya”.
Sedangkan ulama Hanabilah, perkawinan adalah akad yang dilakukan
guna mendapatkan kesenangan (bersenang-senang). Pendapat terakhir, dari
5
17
kalangan ulama Muta’akhirin, bahwa perkawinan adalah akad yang
memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga
(suami-istri) dan mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hak bagi
pemiliknya dan pemenuhan kewajiban-kewajiban masing-masing.6
Berbagai macam perspektif di atas, pandangan penulis tidak jauh berbeda,
bahkan antara satu pendapat dan pendapat lain saling mendukung dan
melengkapi. Artinya, esensi pengertian perkawinan tetaplah sama. Dimana
perkawinan sebagai lembaga sosial7 adalah cara untuk mempertemukan seorang
laki dengan seorang perempuan melalui akad atau perjanjian untuk memenuhi
naluri kemanusiaannya. Seperti menyalurkan hasrat seksualnya, ingin
berkembang biak dan melestarikan kehidupannya melalui keturunan,
memimpin dan lainnya.
Namun, dafinisi perkawinan menurut para ulama fiqh di muka, memberi
kesan bahwa perempuan ditempatkan sebagai objek kenikmatan bagi laki-laki.
Di mana perempuan dilihat dari aspek biologisnya semata. Ini terlihat dalam
penggunaan kata al-wat’ atau istimta’ yang semua konotasinya seks. Implikasi
lebih jauh akhirnya perempuan menjadi pihak yang dikuasai oleh laki-laki
seperti yang tercermin dalam berbagai peristiwa-peristiwa perkawinan.8
6
Mardani, Hukum Perkawinan Islam, h.4.
7
Nabil Muhammad Taufik as-Samaluti, Pengaruh Agama Terhadap Struktur Keluarga,
(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987). h.92.
8
Berbeda halnya dengan pengertian perkawinan dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.9
Pengertian perkawinan dalam UU tersebut, memiliki implikasi makna
yang berbeda dari pengertian perkawinan dalam fiqh. Di mana makna
pengertian perkawinan dalam UU itu tidak hanya dilihat dari aspek fiqih, tapi
juga dapat ditinjau dari aspek hukum, sosial dan agama. Dengan maksud agar
pemahaman kita tentang pengertian perkawinan tidak hanya seperti yang telah
dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih tersebut. Tiga segi pandangan tersebut dapat
diuraikan sebagaimana berikut:10
a) Perkawinan dilihat dari segi hukum.
Dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian yang sangat
kuat atau “mitsaqon ghalizhan”. Terlihat dalam firman Allah Swt pada
Q.S. an-Nisa ayat 21.
9
Lihat UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 ayat 2. Sekiranya perkawinan berarti hubungan lahir dan batin, maka perkawinan bukan berarti permainan. Fuad Moh. Fachrudiin,
Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam, h.4.
10
19
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka
(isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (Q.S.
an-Nisa [4]: 21)
Juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu
merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya:
- Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlabih dahulu yaitu
dengan aqad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu;
- Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah
diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur thalaq, kemungkinan fasaq,
syiqaq dan sebagainya.
b) Perkawinan dari segi sosial
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum,
ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai
kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.
c) Perkawinan dari segi agama
Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat
penting. Dalam agama, perkawinan dianggap suatu lembaga yang suci.
Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak
dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling minta menjadi
pasangan hidupnya dengan menggunakan nama Allah sebagai diingatkan
ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل ل للل ل
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. an-Nisa [4]: 1)
2. Tujuan Perkawinan
Perkawinan merupakan sunnah Nabi yang patut dilakukan sebab
perkawinan merupakan kehendak kemanusiaan, kebutuhan rohani dan jasmani.
Perkawinan disyariatkan agar umat manusia mempunyai keturunan dan
keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah
naungan cinta dan ridha Ilahi.11
Oleh karena itu, aturan perkawinan dalam Islam merupakan tuntutan
agama yang patut mendapat perhatian, sebab tujuan melangsungkan
perkawinan ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama di samping untuk
memenuhi naluri kemanusiaan. Pentingnya aturan perkawinan terlihat dari sifat
dasar manusia itu sendiri, yaitu mencintai kepada apa-apa yang diingini seperti
perempuan-perempuan, anak-anak dan harta yang banyak.
11
21
Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).(Ali ‘Imran [3]: 14)
Dalam pada itu manusia mempunyai fitrah mengenal kepada Tuhan
sebagaimana tersebut dalam surat ar-Rum 30 yang artinya: “Maka hadapkanlah
wajahamu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tu. Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tigak
mengetahui.” Pengenalan terhadap Tuhan ini, menurut Abdul Rahman Ghazali
ialah dalam bentuk pengamalan agama.
Melihat tujuan-tujuan perkawinan di atas, dan memperhatikan uraian
Imam Al-Ghazali dalam Ihya-nya tentang faedah melangsungkan perkawinan,
maka tujuan perkawinan12 adalah (1) untuk mendapatkan keturunan yang sah
dan melangsungkan keturunan,13 (2) memenuhi hajat manusia untuk
12
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2012), cet. ke-5, h.22-24.
13
An-Nisa ayat 1 : “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya,14 (3) memenuhi
panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan,15 (4)
menumbuhkan kesungguhan bertanggungjawab juga bersungguh-sungguh
untuk memperoleh harta kekayaan yang halal, dan (5) membangun rumah
tangga dalam rangka membentuk masyarakat yang sejahtera berdasarkan cinta
dan kasih sayang.16
3. Asas-asas Perkawinan
Terdapat beberapa prinsip perkawinan menurut agama Islam yang perlu
diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup manusia
dalam melaksanakan tugasnya mengabdi kepada Tuhan. Prinsip-prinsip
perkawinan tersebut antara lain: 17
1. Memenuhi dan melaksanakan perintah agama;
Melaksanakan perkawinan pada hakikatnya merupakan pelaksanaan dari
ajaran agama. Agama mengatur perkawinan dengan memberi batasan
melalui rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Bila rukun dan
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
14
Al-Baqarah ayat 187: 187. “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu……”
15Sebuah hadis Nabi Saw yang menyatakan “
sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi liarnya pandangan dan dapat menjaga kehormatan”
16
Ar-Rum ayat 21: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
17
23
syarat-syarat tidak dipenuhi, maka perkawinan itu batal atau fasad. Di
samping itu pula agama memberi ketentuan lain, seperti harus adanya
mahar dalam perkawinan dan harus adanya kemampuan.
2. Kerelaan dan persetujuan;
Melakukan perkawinan harus bebas dari unsur paksaan, pihak yang
hendak melangsungkan perkawinan harus bebas dari unsur ini. Oleh
sebab itu, Islam mengatur melalui proses khihtbah atau peminangan
sebagai suatu langkah sebelum mereka melakukan perkawinan, sehingga
semua pihak dapat mempertimbangkan apa yang akan mereka lakukan.
Kerelaan dari calon suami dan wali jelas dapat dilihat dan didengar dari
tindakan, ucapan dan sikapnya. Mengenai persetujuan para pihak meliputi
juga izin wali. Kedudukan wali dalam perkawinan sangat penting,
sehingga perkawinan yang dilangsungkan tanpa wali dianggap batal.
3. Perkawinan untuk selamanya;
Perkawinan yang bertujuan antara lain untuk mendapat keturunan,
ketenangan, ketentraman dan cinta kasih sayang hanya dapat dicapi
dengan prinsip bahwa perkawinan untuk selamanya, bukan hanya dalam
waktu tertenut saja. Karena itu Islam tidak membenarkan perkawinan
yang mengandung ketentuan pemabatasan waktu perakwinan, nikah
mut’ah, dan nikah muhallil.
Ketentuan kedudukan suami lebih tinggi dari istri bukan berarti bahwa
suami berkuasa atas istri. Kelebihan suami atas istri dalam rumah tangga,
karena suami adalah pemimpin rumah tangga. Mahmoud Syalthout
mengatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan sama halnya
dengan kelebihan salah satu anggota badan, yang satu melebihi yang
lainnya.
Selain itu, terdapat pula prinsip-prinsip perkawinan dalam UU Nomor 1
Tahun 1974. Prinsip-prinsip ini ditetapkan demi menjamin terciptanya cita-cita
luhur dari perkawinan itu sendiri. Prinsip-prinsip tersebut adalah:18
1. Asas sukarela:
Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan harus
didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Mengingat bahwa
perakwinan mempunyai maksud agar supaya suami istri dapat
membentuk keluarga yang kekal dan bahagia. Oleh sebab itu, perkawinan
tidak ada paksaan dari pihak manapun.
2. Partisipasi keluarga;
Dalam suatu perkawinan, partisipasi keluarga sangat diperlukan,
walaupun anak yang hendak kawin dipandang telah dewasa, sebab
perkawinan adalah peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Di
18
25
samping itu, prinsip ini sejalan dengan rukun dan syarat perkawinan
dalam ajaran Islam.
3. Perceraian dipersulit;
Perceraian merupakan suatu yang amat tidak disenangi baik istri maupun
suami. Mudahnya terjadinya perceraian akan menimbulkan kerugian bagi
kedua belah pihat terutama anak-anak. Oleh sebab itu, UU ini
menentukan bahwa untuk memungkinkan perceraian harus ada
alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan.
4. Poligami dibatasi secara ketat;
Dalam Islam seorang suami dibolehkan untuk ber-poligami, begitu pula
dalam UU Perkawinan namun harus dengan memenuhi syarat tertentu
dan diputus oleh pengadilan. Walaupun UU ini menentukan perkawinan
adalah monogami (suami tidak memiliki istri lebih dari satu), poligami
tetap dibolehkan dengan syarat. Di mana syarat-syarat yang dimaksud
dapat dilihat pada pasal 4 (empat) dan 5 (lima) UU No. 1/1974.19
5. Kematangan calon mempelai;
UU Perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami istri harus telah
matang jasmani dan rohaninya untuk melangsungkan perkawinan, agar
19
supaya dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat
keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu harus dicegah adanya
perkawinan anak-anak di bawah umur. Sebab perkawinan dibawah umur
bagi perempuan, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi.
Ketentuan ini dapat ditemukan dalam pasal 7 UU Perkawinan.20
6. Memperbaiki derajat kaum perempuan;
Perempuan adalah merupakan jenis manusia yang paling banyak
memerlukan perlindungan. Pada masa-masa yang lalu, di kala laki-laki
mempergunakan hak cerai secara semena-mena, maka perempuanlah
yang paling banyak mengalami penderitaan. Oleh sebab itu, maka UU
Perkawinan ini harus ditaati dengan kata lain melaksanakan segala
ketentuan norma yang ada.
B. Pengertian dan Tujuan Pencatatan Perkawinan
1. Pengertian Pencatatan Perkawinan
Dalam peraturan perundang-undangan tentang hukum perkawinan, tidak
ditemukan pengertian pencatatan perkawinan. Kita hanya akan menemukan
norma tentang perintah pencatatan perkawinan. Pengertian pencatatan
perkawinan hanya akan ditemukan dalam buku-buku yang membahas tentang
hukum perkawinan. Mengenai hal ini, dapat dilihat dalam buku yang berjudul
20
27
“Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat” karya Neng
Dubaidah.
Menurut Neng Djubaidah dalam buku tersebut, pencatatan perkawinan
adalah pencatatan atas perkawinan yang sah menurut hukum Islam atau
perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat perkawinan sesuai dengan syariat
Islam yang dilakukan di Kantor Urusan Agama Kecamatan.21 Pengertian
tersebut, dalam pandangan lain dapat diartikan sebagai suatu tahapan atau
proses yang mesti dilaksanakan dalam perkawinan. Dimana melalui pencatatan
perkawinan itu, sepasang suami-isteri akan mendapatkan akta nikah (bukti
nikah).
Tahapan-tahapan dan proses pelaksanaan pencatatan perkawinan tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Pemberitahuan kehendak nikah;
b. Pemeriksaan kehendak nikah;
c. Pengumuman kehendak nikah;
d. Akad nikah dan pencatatan.22
Proses-proses tersebut ini tentu merupakan suatu kesatuan yang utuh dan
tidak terpisahkan antara satu dan lainnya. Karena kesatuan yang utuh maka
tidak boleh salah satu dari proses yang ditentukan tersebut dilewati dan
diabaikan. Ketentuan tentang proses pelaksanaan pencatatan nikah tersebut
21
Neng Jubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatatkan, (Jakarta; Sinar Grafika, 2010), Cet. Ke-II, h. 3
22
dapat dilihat pada Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang
Pencatatan Perkawinan.
Peraturan ini merupakan turunan dari UU Perkawinan, dimana dalam
pasal 2 ayat (2) undang-undang tersebut menentukan bahwa tiap-tiap
perkawinan dicatatkan. Peraturan menteri agama di muka tidak menjelaskan
secara rinci tentang pengertian pencatatan perkawinan. Namun bila ditelaah
peraturan tersebut menentukan bagaimana tahapan-tahapan agar suatu
perkawinan dicatatatkan. Proses pelaksanaan pencatatatan ini sudah
dikemukakan sebagaimana di atas namun dipandang perlu untuk diuraikan
sebagaimana berikut agar tidak mendapatkan kesimpulan yang ambigu.
Dalam pasal 5 Peraturan Menteri Agama di atas, dijelaskan bahwa
pemberitahuan kehendak nikah disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) di wilayah kecamatan calon istri tinggal. Pemberitahuan kehendak nikah
tersebut disampaikan secara tertulis dengan mengisi Formulir Pemberitahuan
dan dilengkapi dengan persyaratan-persyaratan yang sudah ditentukan.23
Setelah menerima pemberitahuan kehendak nikah PPN memeriksa para
pihak terkait yaitu calon suami, calon istri dan wali nikah, tentang ada atau
tidak adanya halangan untuk menikah menurut hukum Islam (hukum
23
29
munakahat), menurut UU Perkawinan,24 dan kelengkapan persyaratan
sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Agama di atas.25
Halangan pernikahan dalam hukum Islam misalnya dikategorikan pada
dua yaitu mahram muabbad dan mahram ghairu muabbad. haram muabbad
(dilarang selamanya) misalnya seorang laki-laki atau perempuan dilarang
melakukan perkawinan disebabkan adanya hubungan kekerabatan, karena
adanya hubungan perkawinan, dan karena hubungan persusuan. Sedangkan
haram ghairu muabbad (dilarang untuk sementara waktu) misalnya karena
mengawini dua orang saudara dalam satu masa, poligami di luar batas, karena
ikatan perkawinan, karena talak tiga, karena ihram, karena perzinaan dan
karena beda agama.26
Adapun halangan perkawinan karena melanggar peraturan
perundang-undangan tentang perkawinan dapat dilihat pada pasal 8 UUP:27
Perkawinan dilarang antar dua orang yang:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. Hubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d. Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
24
Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Perkawinan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1986), h. 128
25
Pasal 9 ayat 1 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan.
26
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 110 - 133
27
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami bersitri lebih dari soerang;
f. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Sedangkan pemeriksaan pernikahan karena khawatir akan melanggar
ketentuan persyaratan sebagai diatur dalam Peraturan Menteri Agama tersebut
adalah sebagaimana berikut, yaitu:
a. Surat keterangan untuk nikah dari kepala desa/lurah atau nama
lainnya;
b. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir, atau surat keterangan
asal usul calon mempelai dari kepala desa/lurah atau nama lainnya;
c. Persetujuan kedua calon mempelai;
d. Surat keterangan tentang orang tua (ibu dan ayah) dari kepala
desa/pejabat setingkat;
e. Izin tertulis orang tua atau wali bagi calon mempelai belum mencapai
usia 21 tahun;
f. Izin dari pengadilan, dalam hal kedua orang tua atau walinya
sebagaimana dimaksud huruf e di atas tidak ada;
g. Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai
umur 19 tahun dan bagi calon isteri yang belum mencapai umur 16
tahun;
h. Surat izin dari atasannya/kesatuannya jika calon mempelai anggota
31
i. Putusan pengadilan berupa izin bagi suami yang hendak beristeri
lebih dari seorang;
j. kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai bagi mereka
yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
k. Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/isteri dibuat
oleh kepala desa/lurah atau pejabat setingkat bagi janda/duda;
l. Izin untuk menikah dari kedutaan/kantor perwakilan negara bagi
warga negara asing.
Hasil pemeriksaan tersebut kemudian ditulis dalam Berita Acara
Pemeriksaan Nikah, ditandatangani oleh PPN atau petugas, calon istri, calon
suami dan wali nikah oleh PPN. Apabila calon suami, calon istri, dan/atau wali
nikah tidak dapat membaca/menulis maka penandatanganan dapat diganti
dengan cap jempol tangan kiri. Hasil pemeriksaan ini kemudian dibuat dalam
dua rangkap, helai pertama beserta surat-surat yang diperlukan disampaikan
kepada KUA dan helai kedua disimpan oleh petugas pemeriksa yang
bersangkutan.28
Dalam pasal 11 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975
dijelaskan bahwa calon suami istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang
28
tidak bertentangan dengan hukum Islam. Perjanjian tersebut dibuat empat
rangkap di atas kertas bermaterai menurut peraturan yang berlaku. jika
perjanjiannya berupa ta’lik talak, maka perjanjian tersebut baru dianggap sah
kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad
nikah dilangsungkan.
Setelah segala persyaratan atau ketentuan dipenuhi dalam pemerikasaan
nikah, PPN mengumumkan pemberitahuan kehendak nikah itu. Pengumuman
tersebut dilakukan pada tempat tertentu di KUA kecamatan atau di tempat
lainnya yang mudah diketahui oleh umum di desa tempat tinggal
masing-masing calon mempelai. Pengumuman ini dilakukan selama 10 (sepuluh) hari
sejak ditempelkan.29
Dalam masa pengumuman tersebut, pernikahan dapat dicegah apabila ada
pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pernihakan.
Pencegahan ini dilakukan oleh pihak keluarga garis keturunan lurus ke atas dan
ke bawah, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan
pihak-pihak yang berkepentingan dengan mengajukan permohonan ke
Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana pernikahan akan
dilangsungkan..
Setelah masa pengumuman kehendak nikah selesai maka akad nikah
sudah dapat dilangsungkan. Namun, terdapat pengecualian terhadap jangka
29
33
waktu tersebut yakni dikarenakan suatu alasan yang penting, dengan
rekomendasi camat di wilayah yang bersangkutan.30 Akad nikah dilangsungkan
di hadapan PPN atau Penghulu dan Pembantu PPN yang mewilayahi tempat
tinggal calon istri. Jika tidak memungkinkan, maka calon mempelai atau
walinya harus memberitahukan kepada PPN yang mewilayahi tempat tinggal
calon istri untuk mendapatkan surat rekomendasi nikah. 31
Akad nikah yang telah dilakukan tersebut dicatat oleh PPN sebagaimana
ditentukan dalam pasal 26 Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2007.
Akta nikah ditandatangani oleh suami, istri, wali nikah, saksi-saksi dan PPN.
Akta tersebut dibuat dua, masing-masing disimpan di KUA dan PPN. Setelah
itu pernikahan dilaporkan kepada kantor administrasi kependudukan di wilayah
tempat pelaksanaan akan dikah.32 Setelah itu, kepada suami dan istri diberikan
buku nikah. Buku nikah ini harus ditandatangani oleh PPN. Bila tidak
ditandatangani, maka kedudukan buku nikah menjadi tidak sah.33
2. Tujuan Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui
peraturan perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian
perkawinan dan khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga.
30
Pasal 16 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan.
31
Pasal 17 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan.
32
Pasal 26 Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan.
33
Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan oleh akta nikah apabila terjadi
perselisihan di antara suami istri maka salah satu diantaranya dapat melakukan
upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing.
Karena dengan akta tersebut, suami istri memiliki bukti autentik atas perbuatan
hukum yang telah mereka lakukan.34
Pencatatan perkawinan juga berfungsi sebagai “pengatur” lalu lintas
praktik poligami yang sering dilakukan secara diam-diam oleh pihak-pihak
tertentu yang hanya menjadikan perkawinan di bawah tangan tanpa pencatatan
sebagai alat poligami atau berpoligami. Setiap pasangan yang akan kawin di
KUA (Kantor Urusan Agama) atau KCS (Kantor Catatan Sipil) harus melalui
mekanisme sebagaimana yang telah dikemukan di atas.35
C. Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Islam
Dalam Islam, perkawinan disyariatkan berdasarkan al-Quran, as-Sunnah
dan ijma’.36
Islam sangat menganjurkan perkawinan dalam rangka mewujudkan
keluarga SAMARA (sakinah mawadah warahmah). Perkawinan merupakan
satu-satunya sarana untuk melahirkan generasi “generasi yang baik (dzurriyah
tayyibah)”. Dalam satu riwayat hadis, nabi menegaskan bahwa pernikahan
merupakan salah satu sunnah yang dianjurkan. Hadis tersebut berbunyi sebagai
berikut:
34
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonsia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.107.
35
Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya?, (Jakarta: Visimedia, 2007), h.57.
36Asrorun Ni’am Sholeh,
35
ل هنَعَو
لَ اَق
:
لَ ََ
ل و سَر
لهََّا
ىص
ه
هيحع
مسو
ل ر مْأَي
لَءاَبل ها
لهة
,
ىََْيَو
لهنَع
لهلُتَبَتلا
اًي ََ
اًديهد َش
,
ل و قَيَو
:
او جَوَزَت
لَدو دَولَا
لَدو لَولَا
ل هن
ِ
ا
ل رهث ََ م
ل كهب
لَءاَيهبنََْا
لَوَي
لهةَماَيهقلَا
)
ل هاَوَر
ل دََْأ
,
ل هَةَ َََو
ل نبها
لَ اَبهح
(
Artinya: Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: "Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat." (Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.)
Perkawinan dalam Islam mempunyai hikmah dan manfaat yang sangat
besar, baik bagi kehidupan indvidu, keluarga, masyarakat, bahkan agama,
bangsa dan negara serta kelangsungan umat manusia. Hikmah dan manfaat
tersebut dapat terlihat dalam beberapa hal, misalnya secara fitrah manusia ingin
menyalurkan syahwatnya secara manusiawi dan syar’i, ingin hidup tentram
dengan adanya cinta dan kasih sayang di antara sesama dan lain sebagainya.37
Dalam Al-Qur’an terdapat lebih kurang 70 ayat yang berbicara tentang
perkawinan,38 pada umumnya bersifat muhkamaat (bersifat tidak memerlukan
interpretasi). Begitu pula hadis-hadis Nabi yang berisi tentang
ketentuan-ketentuan hukum perkawinan pada umumnya bersifat jelas dan pasti. Walaupun
ketentuan hukum perkawinan diatur secara jelas dan rinci di dalam Al- Quran
dan sunnah Nabi, akan tetapi kita tidak bisa menemukan ketentuan- ketentuan
37Asrorun Ni’am Sholeh,
Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h.4-42.
38Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: eLSAS, 20
hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan di dalam kedua sumber
utama hukum Islam tersebut, bahkan dalam kitab-kitab fiqh klasik yang pada
umumnya dikarang oleh mujtahid-mujtahid yang datang kemudian setelah
periode sahabat dan tabi’in, juga tidak ditemukan pembahasan yang berkaitan
dengan ketentuan hukum tentang pencatatan perkawinan. Hal ini
mengambarkan, seakan pembahasan mengenai pencatatan perkawinan
merupakan aspek yang terlupakan dalam pembahasan di kitab-kitab fiqh klasik,
bahkan dalam kitab- kitab fiqh yang datang kemudian.39
Hal tersebut mengindikasikan, bahwa pencatatan perkawinan tidak begitu
mendapat perhatian dalam hukum Islam, walaupun ada ayat dalam Al-Qur’an
yang menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamalah. Utang
piutang misalanya, dalam surat Al-Baqarah ayat 282 menyebutkan bahwa
apabila kita bermuamalah (melakukan hubungan keperdataan) tidak secara
tunai untuk waktu yang tidak ditentukan hendaklah kita menuliskannya atau
mencatatkannya.
Mengenai pencatatan perkawinan yang tidak begitu mendapat perhatian
dalam hukum Islam, mungkin dapat dikemukakan beberapa analisis. Pertama,
adanya larangan menulis sesuatu selain Al-Qur’an yang mengakibatkan budaya
tulis menulis tidak begitu berkembang dibandingkan budaya hafalan (oral);
kedua, lanjutan dari yang pertama, akibat dilarangnya menulis selain Al-Qur’an
39
37
maka mereka lebih mengandalkan hafalan (ingatan); ketiga, tradisi walimat al-‘ursy yang merupakan saksi di samping saksi syar’I tentang sebuah
perkawinan; keempat, terdapat kesan perkawinan yang berlangsung pada
masa-masa awal islam belum terjadi antar wilayah negara yang berbeda.40
Namun, Seiring dengan perkembangan zaman serta dinamika yang terus
berubah, empat analisis yang dikemukakan tadi dianggap tidak relevan lagi
sehingga memuntut perubahan-perubahan yang lebih relevan dan sesuai
kebutuhan zaman kekinian. Pergeseran budaya lisan (oral) kepada budaya tulis
sebagai ciri masyarakat modern, menuntut dijadikannya akad, surat sebagai
bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa
hilang dengan sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan
kekhilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang
disebut dengan akta. 41
Akta merupakan bukti otentik dari sebuah perkawinan. Tanpa akta,
pengakuan terhadap sebuah perkawinan tidak mendapatkan legitimasi yang
kuat di mata hukum. Dengan demikian, maka pencatatan perakawinan dirasa
perlu untuk menjadi dasar legitimasi sebuah perakwinan. Semestinya kita tahu,
bahwa dimuatnya pencatatan perakawinan ke dalam UU No. 1/1974 adalah
untuk untuk mewujudkan ketertiban perkawinan. Di sisi lain, dengan dimuatnya
ketentuan pencatatan perakawinan dalam UU tersebut, adalah sebagai upaya
40
Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta; Kencana, 2006), cet. Ke-3, h.120.
41
untuk menjaga kesucian (mitasaqan galidzan) aspek hukum yang timbul dari
ikatan perkawinan.42
D. Pencatatan Perkawinan dalam Hukum Nasional
Pasal 2 ayat (2) dalam Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundanga-undangan yang
berlaku.43 UU ini menghendaki perkawinan dicatatakan dengan tujuan agar
tiap-tiap perkawinan tertib, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan
hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan hukum
Islam.44 Perkawinan yang dilakukan dengan sistem perkawinan Islam
dicatatkan di kantor urusan agama (KUA) kecamatan setempat. Adapun
perkawinan yang dilakukan menurut hukum perdata Burgeriljk Weetbook
dicatatkan di Kantor Catatan Sipil demikian menurut Arso Sostroatmodjo dan
Wasit Aulawi dalam buku Hukum Perkawinan di Indonesia.45
Di samping adanya pandangan tentang keharusan pencatatan perkawinan,
terdapat pandangan lain yang mengatakan bahwa pencatatan perkawinan bukan
merupakan suatu keharusan tetapi sesuatu yang hukumnya sunnah. Pandangan
tersebut dikemukan oleh Neng Djubaidah dalam bukunya Pencatatan
Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatatkan. Pandangan ini didasa