Oleh:
SAEPUDIN
NIM: 104043101294
K O N S E N T R AS I P E R B A N D I N G A N M A Z H A B F I K I H PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulusan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta,1 Agustus 2010
v
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, tiada kata yang pantas saya ucapakan selain
puji syukur atas karunia yang tak terhingga yang diberikan Allah SWT, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “DAMPAK CERAI TALAK DI LUAR PROSEDUR PENGADILAN AGAMA TERHADAP NAFKAH IDAH DAN NAFKAH ANAK PASCA CERAI (Studi Kasus di Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal Kab. Sukabumi)” dengan baik walaupun masih banyak kekurangan diderbagai segi. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi
Besar Muhamad SAW, juga kepada keluarganya, shahabat, dan umatnya yang
senantiasa mengikuti jejak dan langkah beliau sampai hari akhir nanti, amien.
Setelah perjuangan yang begitu berat dan melelahkan sepenuhnya penulis
menyadari, bahwa suksesnya penulisan skripsi ini bukan semata-mata atau usaha
penulis pribadi. Namun adanya bantuan dan motivasi yang diberikan oleh berbagai
pihak. Maka dengan tulus dan ikhlas penulis ucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada Bapak:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM sebagai Dekan Fakultas
Syriah dan Hukum sekaligus sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi.
2. Dr. H. A. Mukri Aji, MA dan Dr. H. Muhammad Taufiqi, M.Ag sebagi Ketua
vi
3. Pimpinan Perpustakaan besera stafnya yang telah memberikan fasilitas kepada
penulis untuk mengadakan studi pustaka.
4. Kedua orang tua Bapak H. Oong dan Ibu Hj. Ijah yang telah mengerahkan
kasih sanyang, bimbingan, serta nasehatnya. Tak lupa kepada kaka-kakaku
yang selalu memberikan nasehat, adikku Khairuddin, serta keponakanku Abd.
Nashir dan Meti Sumiati yang telah membantu dalam penelitian, dan seluruh
keluarga yang senantiasa memberikan warna indah dalam ruang kehidupan
penulis.
5. Kepala Desa Palasari Girang beserta jajarannya yaitu Bapak Aeh Saefullah,
Bapak M. jazuli, dan Bapak Ulis. yang telah memberikan kesempatan untuk
melakukan penelitian dan membantu penulis memberikan data-data, juga
kepada kepala KUA Kec. Kalapanunggal beserta jajarannya yaitu Bapak
Sarwan Hamid, Bapak Ma’mun Nawawi, dan Bapak U. Madrosin. Yang telah
menyempatkan waktunya untuk wawancara.
6. Lili Bariadi, Abd. Rohmat.S.E, Marpudin S.Pd,I., Ahdika Pratiwi. S.sos, I
serta seluruh senior yang lain, yang selalu memotivasi dan memberikan
masukan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan
kritik sangat diharapkan demi perbaikan ke depan.
Jakarta, 1 Agustus 2010
vii
DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ...
vii
x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar belakang masalah ... 1
B. Batasan dan perumusan masalah... 2
C. Tujuan dan manfaat penelitian... 3
D. Metode penelitian... 4
E. Sistematika penyusunan ... 7
BAB II PROSEDUR RESMI CERAI TALAK DAN KENYATAAN DI MASYARAKAT DESA PALASARI GIRANG KEC. KALAPANUNGGAL KAB. SUKABUMI... 9
A. Tata cara dan prosedur resmi pemeriksaan perkara cerai... 9
B. Proses perceraian di Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal Kab.Sukabumi ... 36
viii
A. Kondisi geografis Desa Palasari Girang... 40
B. Keadaan demografis Desa Palasari Girang... C. Kondisi sosial Desa Palasari Girang... 40 41 BAB IV TEMUAN PENELITIAN ... 46
A. Karakteristik responden ... B. Pengetahuan masyarakat setempat mengenai hukum perkawinan... C. Pemahaman masyarakat setempat mengenai hak dan kewajiban mantan suami-istri pasca perceraian... D. Faktor-faktor penyebab perceraian di luar prosedur Pengadilan Agama dan dampaknya terhadap pemenuhan nafkah idah dan nafkah anak pasca perceraian... 46
1. Daftar wawancara dengan Bapak U. Madrosin sebagai Amil di
Desa Palasari Girang Kab.
Sukabumi……….. 63
ix
4. Berita wawancara dengan ibu Fatimah salah seorang wanita
x
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Batas wilayah Desa Palasari Girang... 40
Tabel 3.2 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin... 40
Tabel 3.3 Sarana ibadah di Desa Palasari Girang... 41
Tabel 3.4 Kondisi sosial pendidikan Desa Palasari Girang... 42
Tabel 3.5 Sarana pendidikan Desa Palasari Girang... 43
Tabel 3.6 Mata pencaharian masyarakat Desa Palasari Girang... 44
Tabel 4.7 Usia responden... 46
Tabel 4.8 Identitas responden berdasarkan tingkat pendidikan... 47
Tabel 4.9 Apakah perkawinan responden melibatkan pejabat setempat... 48
Tabel 3.10 Usia responden keika melangsungkan perkawinan... 49
Tabel 4.11 Tempat responden melangsungkan perceraian... 50
Tabel 4.12 Ada tidaknya penyuluhan mengenai proses perkawinan dan perceraian .. 51
Tabel 4.13 Pendapat responden mengenai sah atau tidaknya perceraian di luar rosedur Pengadilan Agama ... 52
Tabel 4.14 Setuju atau tidaknya dengan perceraian yang dilakukan di Pengadilan Agama ... 53
Tabel 4.15 Ada atau tidaknya upaya yang dilakukan mantan istri terhadap mantan suami jika tidak memenuhi nafkah idah ... 56
xi
suami jika tidak memenuhi nafkah anak ... 56
Tabel 4.17 Faktor penyebab terjadinya perceraian ... 57
Tabel 4.18 Alasan bercerai di luar PA ... 58
Tabel 4.19 Terpenuhi atau tidaknya nafkah selama masa idah ... 59
Tabel 4.20 Nafkah terhadap anak dari suami pasca cerai ... 60
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia yang hidup di muka bumi ini, pasti mendambakan
kebahagiaan, dan salah satu untuk mencapai kebahagiaan adalah dengan jalan
perkawinan. Perkawinan adalah fitrah manusia dan merupakan suatu hal yang sangat
sakral, baik dalam agama maupun kedudukannya dalam undang-undang. Tujuan dari
perkawinan adalah agar terbinanya hubungan seorang laki-laki dengan seorang
perempuan antara satu sama lain saling mencintai, menghasilkan keturunan dan hidup
berdampingan secara damai dan sejahtera dengan perintan Allah dan petunjuk
rasulnya.1
Namun tidak selamanya perkawinan berjalan mulus, terkadang dapat terjadi
pertengkaran yang hebat yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian, biasanya
yang menjadi dasar penyebab perceraian tersebut adalah karena tujuan dari
perkawinan tidak tercapai.
Islam memberikan solusi bagi mereka yang telah dipastiakn gagal dalam
membina rumah tangga dan jika perkawinan tersebut dipakasakan maka akan
menimbulkan kemadaratan yang lebih parah, yaitu dengan jalan talak atau perceraian.
Sebagaimana telah diatur di dalam al-Qur’an dan hadis serta undang-undang.
1
A. Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Jakarta, Raja Grapindo Persada, 2002) Cet, ke-1, h. 150
Pemerintah melalui undang-undang telah mengatur semua proses perceraian
dengan sebaik mungkin, dengan tujuan agar perceraian yang terjadi dapat
teridentifikasi dan tidak semena-mena. Namun yang terjadi di masyarakat khususnya
di Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal Kab. Sukabumi terkadang perceraian
dilakukan dengan cara mudah tanpa melalui prosedur Pengadilan Agama separti yang
telah diatur di dalam undang-undang tersebut.
Melihat penomena tersebut, maka penulis bermaksud untuk melakukan
penelitian dengan judul: “DAMPAK CERAI TALAK DI LUAR PROSEDUR
PENGADILAN AGAMA TERHADAP NAFKAH IDAH DAN NAFKAH ANAK
PASCA CERAI (Studi Kasus di Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal Kab.
Sukabumi)”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan masalah
Banyak hal-hal yang menarik yang berkaitan dengan masalah perceraian,
namun untuk mempermudah dan memperjelas pokok pembahasan dalam
penelitian serta mengingat terbatasnya objek penelitian, maka penulis membatasi
pada perceraian yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur hukum yang
berlaku di Pengadilan Agama serta akibatnya terhadap nafkah iddah dan nafkah
anak pasca cerai di Desa Palasari Girang Kec. Kalanunggal Kab. Sukabumi.
2. Rumusan masalah
Mengacu pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa perceraian hanya
3
masyarakat khususnya di Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal Kab.
Sukabumi terkadang perceraian dilakukan tanpa melalui prosedur yang berlaku.
Perumusan masalah di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut:
a. Bagaimana pemahaman masyarakat mengenai hukum perceraian?
b. Prosedur apa yang digunakan oleh masyarakat Desa Palasari Girang dalam
melakukan perceraian?
c. Apa dampak perceraian di luar prosedur Pengadilan Agama terhadap nafkah
idah dan anak?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui lebih mendalam tentang pernikahan dan perceraian yang sesuai
dengan prosedur hukum yang berlaku di Indonesia
2. Untuk megetahui apa penyebab terjadinya perceraian di Desa Palasari Girang dan
apa yang menjadi alternatif dalam proses perceraian selain di Pengadilan Agama
3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan proses perceraian
tidak melalui Pengadilan Agama
4. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari prceraian di luar prosedur
Peradilan Agama, terutama implikasinya terhadap nafkah iddah dan nafkah anak
pasca cerai
5. Untuk mengetahui Bagaimana tindakan mantan seorang istri pada mantan
D. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, menggunakan jenis penelitian sebagai berikut:
a. Penelitian kepustakaan (Library Research)
Yaitu pengumpulan data dan informasi melalui buku-buku, majalah, tabloid,
dan data-data tertulis lainnya yang berkaitan dengan permasalahan ini.
b. Penelitian lapangan (Field Research )
Yaitu suatu teknik pengumpulan data dimana penulis langsung melakukan
penelitian ke lapangan untuk memperoleh data yang jelas (objektif). Adapun
cara yang dilakukan adalah wawancara (interview)
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Palasari Girang Kec.
Kalapanunggal Kab. Sukabumi. Lokasi ini diambil dengan pertimbangan bahwa
tidak sedikit masyarakat di Desa tersebut yang melakukan perceraian di luar
prosedur Pengadilan Agama. Hal ini membantu penulis untuk membuat
kesimpulan yang lebih akurat dari hasil penelitian yang dibuat.
3. Sumber data
Dalam penelitian ini digunakan dua jenis data, yaitu:
a. Data Primer
Data penelitian ini terutama diperoleh dari masyarakat Desa Palasari Girang
yaitu semua wanita yang pernah melakukan perceraian baik yang sudah
5
b. Data Sekunder
Data sekunder yang dalam hal ini bersifat pelengkap yang diperoleh dari
buku, majalah, dan sumber lainnya yang berkaitan dengan pembahasan ini.
4. Tekhnik Pengumpulan Data
a. Wawancara, yaitu dengan membuat pedoman wawancara yang diajukan
kepada tokoh masyarakat yaitu pejabat KUA Kec. Kalapanunggal, dan para
wanita yang pernah melakukan perceraian.
b. Kuesioner disebarkan kepada para responden sebagai penelitian daftar
pendapat yang mengumpulkan opini dari masyarakat yang untuk dijadikan
sampel. Subjek penelitian ini akan di fokuskan kepada para wanita yang
pernah melakukan perceraian baik yang sudah menikah lagi atau belum.
Untuk kuesioner ini penulis mengambil sampel 50 orang responden, dari 252
jumlah wanita yang pernah bercerai di Desa Palasari Girang Kec.
Kalapanunggal.2 Studi dokumentasi, yaitu dengan cara mengumpulkan data
dari Dinas terkait dan data dari kantor Desa Palasari Girang.
5. Analisis Data
Yang dimaksud dengan teknik analisis data adalah proses penyederhanaan
data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.3 Analisis
data ini menggunakan deskriptif kuantitatif.
2
a. Wawancara
Mendeskripsikan hasil wawancara yang dianggap dapat mendukung inti
permasalahan yang penulis teliti.
b. Kuesioner
Analisis ini dilakukan terhadap data yang diperoleh melalui kuesioner dari
sumber utama, adapun data tersebut diolah dengan menggunakan rumusan:
100
F = Frekuensi yang sedang dicari frekuensinya
N = Jumlah seluruh sample4
Besarnya rumus di atas akan dijelaskan dengan beberapa kriteria di antaranya:
100 % = Seluruhnya
Marisa Siganimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta, LP3ES, 1995), cet. Ke-1, h.263
4
7
1 - 17 % = Sedikit sekali
c. Studi dokumentasi
Memaparkan data-data yang dibutuhkan dalam menjawab permasalahan yang
diteliti.
Sedangkan teknik penulisan skripsi ini, maka penulis menggunakan buku
pedoman penulisan skripsi yang disusun oleh Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
E. Sistematika Penyusunan
Untuk memudahkan penyusunan skripsi ini, maka penulis membaginya dalam
empat bab, penulis uraikan sebagai berikut:
Bab Pertama, Merupakan babpendahuluan sebagai gambaran umum tentang penulisan skripsi, pada bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, batasan dan
rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, Pada Bab ini akan membahas mengenai tata cara dan proses perceraian secara resmi di Pengadilan Agama, dan proses perceraian pada masyarakat
Desa Palasari Girang Kecamatan Kalapanunggal Kabupaten Sukabumi
Bab Ketiga, Bab ini membahas kondisi masyarakat di Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal Kab. Sukabumi,
Bab keempat, memuat hasil panelitian yang meliputi Karakteristik responden, pengetahuan masyarakat setempat mengenai hukum perkawinan dan
pasca percerain, faktor-faktor penyebab perceraian di luar prosedur Pengadilan
Agama dan dampaknya terhadap pemenuhan nafkah idah dan nafkah anak
9
BAB II
PROSEDUR RESMI CERAI TALAK DAN KENYATAAN DI MASYRAKAT DESA PALASARI GIRANG KEC.KALAPANUNGGAL
KAB. SUKABUMI
A. Tata Cara dan Prosedur Resmi Pemeriksaan Perkara Cerai
Pada dasarnya talak adalah ungkapan yang merupakan hak suami untuk
menceraikan istrinya. Dahulu laki-laki muslim di Indonesia, dapat saja menceraikan
istrinya dengan ungkapan-ungkapan tertentu langsung kepada istrinya di hadapan
saksi.1 Tentu saja kesewenang-wenangan tersebut tidak dapat dibiarkan berlanjut
demi untuk menertibkan dan mensejahterakan keluarga masyarakat Indonesia.
Langkah penetiban itulah salah satunya dengan dikeluarkannya UU No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 Tentang pelaksanaan
Undang-undang tersebut, sejalan dengan asasnya yaitu mempersulit perceraian. Sejak
berlakunya UU Parkawinan dan PP tersebut, penggunaan kebolehan lembaga talak
diatur dan dibatasi dengan barbagai syarat yang disesuaikan dengan ketentuan hukum
islam. Tata cara penggunaan talak mesti melalui campur tangan pengadilan yang
diberi kewenangan untuk menilai dan mempertimbangkan apakah yang menjadi dasar
pertimbangan suami untuk mentalak istrinya, apakah dapat di benarkan menurut
hukum dan nilai moral islam.2
1
Moh. Daud Ali, dan Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grapindo Persada, 1995) Cet. Ke-1 h.94
2
Dengan tujuan mempersulit terjadinya perceraian itu, maka ditentukanlah untuk
melakukan perceraian, harus ada cukup alasan bahwa antara suamu-istri tersebut tidak dapat
hidup rukun lagi. Perceraian itu seperti disebutkan dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974
dan KHI bahwa pernikahan dapat putus disebabkan karena (1) Kematian (2) Perceraian (3)
Putusan pengadilan.
UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 39 menjelaskan:
1. Perceraian haya dapat dilakukan di depan pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
2. Untuk melakukan percerian, harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami istri
3. Tata cara perceraian di depan sidang diatur dalam peraturan perunda-undangan sendiri3
UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama pasal 54 mengatakan
bahwa Hukum Acara Peradilan Agama selain dari yang dimuat dalam UU tersebut,
mempergunakan Hukum Acara Perdata Peradilan Umum. Pengaturan tempat
mengajukan gugatan/permohonan yang dimuat dalam UU nomor 7 tahun 1989
Tentang Peradilan Agama hanya terbatas bagi perkara perkawinan cerai talak dan
cerai gugatan.4
Oleh karena itu tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara
selain perkara kawin cerai talak dan perkara perkawinan cerai gugat, berpegang pada
aturan tempat mengajukan gugatan/permohonan yang dimuat dalam UU Nomor 1
3
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: UI Press,1986). Cet. 5 h. 98
4
11
tahun 1974 Tentang Perkawinan dan PP Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-undang tersebut, sedangkan untuk perkara lain-lainnya berpegang kepada
aturan umum tempat mengajukan gugatan/permohonan menurut yang berlaku di
Peradilan Umum.5
Tempat mengajukan gugatan/permohonan dalam perkara perkawinan sebagai
berikut:
1. Permohonan suami untuk menceraikan istrinya dengan cerai talak, diajukan oleh
suami (pemohon) ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman istri
(termohon). Bila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang
ditentukan bersama tanpa izin pemohon dan atau bila termohon bertempat
kediaman di Luar negeri maka permohonan diajukan oleh pemohon ke Pengadilan
Agama yang mewilayahi tempat kediaman pemohon. Bila suami-istri
(pemohon-termohon) bertempat kediaman di Luar negeri, permohonan diajukan ke Pengadilan
Agama yang mewilayahi tempat perkawinan mereka dahulunya dilangsungkan,
atau ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat.6
2. Gugatan perceraian diajukan oleh istri (penggugat) atau kuasanya ke Pengdilan
Agama yang mewilayahi tempat kediaman istri (penggugat). Bila penggugat
dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugut
(suami), dan atau bila penggugat bertempat kediaman di Luar negeri, gugatan
5 Ibid
perceraian diajukan oleh penggugat ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
kediaman tergugat. Jika suami-istri kedua-duanya bertempat kediaman di Luar
negeri maka gugatan diajuakan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
perkawinan mereka dahulunya dilangsungkan atau ke Pengadilan Agama Jakarta
Pusat.7
Berikut adalah prosedur yang harus dilalui dalam melakukan cerai talak di
Pengadilan Agama (PA)
1. Proses Administrasi Perkara
a.Permohonan Cerai
1. Suami membuat surat permohonan talak, yang ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Agama yang dituju. Format surat permohonan berisi:
a) Identitas
Berisi identitas kedua belah pihak (nama lengkap, usia, agama, pekerjaan
dan alamat jelas tempat kediaman yang senyatanya)
b) Posita
Berisi dalil-dalil permohonan, yakni peristiwa atau kejadian
senyata-nyatanya yang menjadi penyebab diajukannya Permohonan Talak (Pasal
19(f)PPA/75).8 Dalam pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang
pelaksanaan Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan KHI pasal 116:
1) Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat, penjudi dan
7 Ibid
8
13
lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun
berturut-turut tanpa izin pihak yang lain tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemauannya.
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap yang lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
atau istri.
6) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan
7) Suami melanggar taklik talak
8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.9
Alasan-alasan cerai di atas tidak bersifat komulatif tetapi alternatif.
Pemohon dapat memilih salah satu diantanya sesuai dengan fakta yang
mengiringinya. Yang terpenting adalah alasan yang dikemukakan dapat
dibuktikan sebagai dasar pertimbangan untuk mengabulkan permohonan.10
9
Muhammad Ichwan Ridwan, Kamarusdiana, dan Hotnida Nasution, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukun UIN Syarif Hidayatullah Jakata, 2004), h.188
c) Petitum
Yakni tuntutan atau permintaan tentang apa yang diinginkan.11
2. Mendaftarkan perkara.
Setelah surat permohonan talak dibuat, pemohon dapat menuju ke
meja-1 dengan menyerahkan Surat Permohonan Talak, lalu petugas meja-1
membuatkan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), setelah itu menuju
kasir untuk membayar Panjar Biaya Perkara. Dengan membawa Bukti
Pembayaran. Pemohon kembali ke meja-1 dan menyerahkan Surat
PermohonanTalakuntuk diberikan nomor registrasi.
3. Prosedur pendaftaran selesai
Pemohon dapat meninggalkan Kantor Pengadilan Agama dan
menunggu panggilan persidangan.12
b.Cerai Gugat
1. Isteri membuat surat gugat cerai. yang ditunjukan kepada Ketua Pengadilan
Agama. Adapun format surat gugatan, meliputi:
a) Identitas
Berisi identitas kedua belah pihak (nama lengkap, usia, agama,
pekerjaan dan alamat jelas tempat kediaman yang senyata-nyatanya)
b) Posita
11
Prosedur Berperkara di Pengailan Agama, artikel ini di akses pada tanggal 19 juli 2010dari http://pa-iaksel.net
15
Berisi dalil-dalil permohonan, yakni peristiwa atau kejadian
senyata-nyatanya yang menjadi penyebab diajukannya gugatan talak (Pasal 19
(f) PPA/75).
c) Petitum
Yakni tuntutan atau permintaan tentang apa yang diinginkan.13
2. Mendaftarkan perkara.
Setelah surat permohonan gugat dibuat Penggugat dapat menuju ke
meja-1 dengan menyerahkan Surat Gugat, lalu petugas meja-1 membuatkan
Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM), setelah itu menuju kasir untuk
membayar Panjar Biaya Perkara. Dengan membawa Bukti Pembayaran
Penggugat kembali ke meja-1 dan menyerahkan Surat Gugat untuk
diberikan Nomor Registrasi.
3. Prosedur pendaftaran selesai
Pemohon dapat meninggalkan Kantor Pengadilan Agama dan
menunggu panggilan persidangan.14
Dalam hukum acara perdata di kenal 2 teori tentang cara penyusunan gugatan
kepada pengadilan, yaitu:
1. Substantiering theorie
Teori ini menyatakan bahwa, gugatan selain harus menyangkut
13 ibid
peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebut
kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab peristiwa
hukum tersebut. Bagi penggugat yang menuntut suatu benda miliknya, tidak
cukup hanya menyebutkan bahwa ia pemilik benda itu, tetapi juga harus
menyebutkan sejarah kepamilikannya, misalnya karena membeli, mewarisi,
hadiah dan sebagainya.
2. Individualiserings theorie
Teori ini menyatakan bahwa, dalam gugatan cukup disebut
peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang menujukan keadanya hubungan hukum
yang menjadi dasar gugatan, tanpa harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata
yang mendahului dan menjadi sebab timbulnya kejadian-kejadian tersebut.
Sejarah terjadinya atau sejarah adanya kepemilikan, hak milik benda itu tidak
perlu dimasukan dalam gugatan, karena hal itu dapat ditemukan dalam
persidangan dengan disertai bukti-bukti seperlunya15
Pada prinsipnya setiap surat gugatan/permohonan dibuat secara tertulis, namun
demikian apabila seseorang tidak bisa membuat surat gugatan/permohonan secara
tertulis, dimungkinkan dilakukan dengan cara lisan melalui Ketua Pengadilan
Agama.16
Selanjutnya Ketua Pengadilan Agama dapat memerintahkan kepada hakim
15
Abdul Manna, Penerapan Hokum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (yayasan al-hikmah, 2000) cet.1 h. 17
16
17
untuk membantu penggugat atau pemohon tersebut untuk mengemukakan
alasan-alasan hukumnya mengajukan permohonan atau gugatan, selanjutnya ditanda tangani
oleh Ketua atau hakim yang menerimanya. Itu berdasarkan ketentua pasal 114 ayat
(1) R.Bg atau pasal 120 HIR.17
Dalam prakteknya surat gugatan atau permohonan secara lisan, dibuatkan oleh
Panitra atas nama Ketua Pengailan Agama membuat catatan yang diterangkan oleh
penggugat atau pemohon kepadanya, yang disebut "catatan gugat atau catatan
permohonan".
Dan catatan gugat atau permohonan ini setelah dibuat lalu dibacakan kembali
agar penggugat atau pemohon mengerti isinya. Setelah ia paham dan sependapat,
maka dibubuhkan cap jempol dengan legalisasi oleh Panitra Pengdilan Agama yang
bersangkutan.18
Setelah mempelajari surat tersebut, dalam jangka waktu 30 hari sejak diterima,
ketua majlis atau hakim yang di tunjuk menetapkan hari sidang untuk mendengar
penjelasan pemohon dan termohon, dalam kesempatan itu diusahakan perdamaian ,
pihak-pihak harus hadir sendiri, tidak diwakilkan, yang kalau berhasil maka
permohonan dicabut. Tetapi kalau gagal, maka pengadilan membuat penetapan
mengabulkan permohonan tersebut, namun demikian belum boleh diikrarkan talak,
17 Ibid
karena terhadap penetapan tersebut masih terbuka kesempatan untuk minta banding
kepada Pengadilan Tinggi Agama, kemudian kasasi ke Mahkamah Agung.19
2. Tahapan Persidangan
a. Tahapan Persidangan Permohonan Talak
Tahap persidangan Sidang I
Proses persidangan pertama memuat:
a. Ketua majlis membuka sidang
b. Ketua majlis menanyakan identitas para pihak
c. Anjuran damai
d. Pembacaan surat gugatan20
Pada sidang pertama, bila pemohon dan termohon hadir, maka akan ada
tiga kemungkinan:
a) Para pihak berdamai dan sidang tidak di laksanakan; atau
b) Pemohon tidak bersedia berdamai sedangkan termohon setuju untuk damai;
atau
c) Pemohon bersedia berdamai namun termohon tidak bersedia berdamai.
Dalam hal ini hakim dapat menunda sidang dan menyarankan agar kedua
belah pihak berdamai, untuk mengingat kebaikan masing-masing. Bila
19
Andi Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya,(Jakarta, Sinar Grafika, 1996) h. 111
20
19
pemohon tetap ingin bercerai, sidang dilanjutkan, dimulai dengan
pembacaan surat permohonan, oleh pemohon atau kuasanya.21
Dalam sidang pertama kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi
adalah:
a) Pemohon hadir sedang termohon tidak hadir, sidang ditunda untuk
memanggil kembali termohon;
b) Pemohon tidak hadir dan tidak mengirim kuasanya, kemungkinan pemohon
tidak jadi mengajukan permohonannya atau, sidang ditunda kembali untuk
memanggil pemohon. Bila telah dipanggil sekali lagi, pemohon tetap tidak
hadir dalam sidang di muka. hakim dapat menetapkan bahwa gugatan
dinyatakan gugur atau net onvankelijk (NO). Atau sidang ditunda lagi
untuk memanggil pemohon dengan persetujuan termohon. Hal ini diatur
dalam pasal 124 HIR/148 RB.g. bila pemohon ingin mengajukan
permohonan lagi, maka ia wajib mendaftar atau mengajukan permohonan
baru. Jika pemohon hadir, termohon tidak hadir, hakim dapat:
1) Menunda persidangan untuk memanggil tergugat sekali lagi
2) Menjatuhkan putusan verstek karena termohon dinilai ta'azzuz (ghaib)22
Sidang II Jawaban
21
Sulaikin Lubis, Hukum Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2006) ed.l,Cet.Ke-2.h.l20
Dalam jawaban, termohon, yaitu istri berhak mempertahankan haknya.
Pada kesempatan ini termohon atau kuasanyajuga dapat mengajukan gugatan
balik (rekonvensi). Jawaban atau rekonvensi dapat secara tertulis atau lisan
(pasal 121 ayat (2) HIR/pasal 145 ayat (2) RB.g. jo pasal 132 ayat (1)
HIR/pasal 158 ayat (1) RB.g.)
Bila termohon atau kuasa hukumnya tidak hadir dalam sidang, meskipun
mengirimkan surat jawaban, tetap dinilai tidak hadir dan jawaban itu tidak
diperhatikan, kecuali jawaban yang berupa eksepsi bahwa pengdilan yang
bersangkutan tidak berwenang mengadili perkaraitu.23
Sidang III Replik
Sidang replik, yaitu kesempatan yang diberikan oleh hakim kepada
pemohon untuk menanggapi jawaban termohon sesuai dengan pendapatnya,
atau tetap mempertahankan permohonannya, mengulangi permohonan,
menegaskan dan melengkapi atau menambahkan keterangan yang dianggap
perlu untuk memperjelas dalil-dalilnya pada surat permohonannya. Atau dapat
juga merubah sikap dengan membenarkan jawaban/bantahan termohon.24
23 Ibid
21
Sidang IV Duplik
Sidang duplik merupakan jawaban atau tanggapan dari replik. Termohon
mengajukan duplik yang pada pokoknya mengulangi dan menegaskan kembali
jawaban serta gugatan rekonvensinya.
Acara replik dan duplik (jawab-menjawab) ini dapat diulangi sampai ada
titik temu antara pemohon dengan termohon dan atau dianggap cukup oleh
hakim.
Bila acara jawab-menjawab dianggap telah cukup namun masih ada
hal-hal yang tidak disepakati oleh pemohon dan termohon sehingga perlu
dibuktikan, kemudia acara dilanjutkan ketahap pembuktian.25
Sidang V Pembuktian
Pembuktian di muka Pengadilan adalah merupakan hal yang sangat
penting dalam Hukum Acara sebab Pengadilan dalam menegakan hukum dan
keadilan tidak lain berdasarkan pembuktian. Hukum pembuktian termasuk
bagian dari Hukum Acara sedangkan Peradilan Agama mempergunakan
Hukum Acara yang berlaku bagi Peradilan Umum.26
Yang dimaksud dengan pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam suatu
persengketaan. Jadi membuktikan itu hanyalah dalam hal adanya perselisihan
25 ibid
26
sehingga dalam perkara perdata di muka pengadilan, terdapat hal-hal yang
tidak dibantah oleh pihak lawan, tidak memerlukan untuk dibuktilan.27
Pada tahap ini, baik pemohon atau termohon diberi kesempatan yang
sama untuk mengajukan bukti-bukti baik berupa saksi-saksi, alat bukti surat
maupun alat bukti lainnya secara bergantian yang diatur oleh hakim.28
Sidang VI Kesimpulan
Pada tahap kesimpulan, masing-masing pihak (pemohon dan termohon)
diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat akhir tentang hasil
pemeriksaan selama sidang berlangsung.29
Sidang VII Penetapan Hakim
Contoh kasus:
Pada tanggal 7 januari hakim memberikan penetapan bahwa permohonan
suami (pemohon) untuk mengajukan ikrar talak diterima. Sejak penetapan ini
terdapat jangka waktu 14 hari (14 hari kerja). Dalam jangka waktu 2 minggu
ini, termohon dapat mengajukan permohonan banding.
Bila istri tidak mengajukan banding maka penetapan hakim memperoleh
kekuatan hukum yang tetap. Sejak tanggal tersebut, suami atau pemohon dapat
mengajukan permohonan untuk mengucapkan ikrar talak.
Tanggal 25 januari (14 hari kerja setelah penetapan hakim berkekuatan
27
Ibid h. 138
28
Sulaikin Lubis, Hukum Perdata Peradilan Agama di Indonesia,h. 123
23
hukum tetap) talak belum jatuh., istri dapat mengajukan banding. Bila istri
(termohon) tidak dapat menyatakan banding, penetapan tersebut dapat
memperoleh kekuatan hukum yang tetap(25/l-05). Sejak tanggal tersebut
pengadilan menentukan hari sidang untuk menyaksika ikrar talak pemohon
atas permohonan pemohon (suami). Misalnya ditetapkan bahwa sidang untuk
mengucapkan ikrar talak pada tangga 25 maret 2005, maka suami pada hari
yang ditentukan harus datang dan mengucapkan ikrar talak di hadapan Mejelis
hakim dan dihadiri oleh istri.
Undang-undang memberi kesempatan atau tenggang waktu bagi suami
atau pemohon untuk mengucapkan Ikrar Talak dalam waktu 6 bulan. Bila
dalam tenggang waktu tersebut suami tidak datang untuk mengucapkan Ikrar
Talak, maka permohonan untuk mengucapkan Ikrar Talak tersebut dapat
dinyatakan gugur oleh hakim, (pasal 70 ayat (6) UU Peradilan Agama).30
Pemeriksaan
Pemeriksaan cerai talak pada prinsipnya sama dengan perkara perdata
pada umumnya. Namun demikian ada bebrapahal yang tidak bias ditolerir dan
dianggap sangat prinsipil dalam pemeriksaan cerai talak.31
a. Pemeriksaan cerai talak mesti dilakukan dengan majlis hakim
(pasal 68 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989) dalam siding tertutup
30
Sulaikin Lubis, Hukum Perdata Peradilan Agama di Indonesia,h. 124
31
(pasal 68 ayat 2 dan pasal 80 ayat 2). Ketentuan pemeriksaan ini
merupakan pengecualian dari asas umum yang ditentukan dalam
pasal 17 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 jo. Pasal 59 ayat 1
Undang-undang No.7 Tahun 1989. Menurut asas umum semua
perkara harus dilakukan dalam sidang pemeriksaan pengadilan
yang terbuka untuk umum. Akan tetapi, dikarnakan hal lain,
pemeriksaan perkara perceraian harus dilakukan dalam sidang
tertutup dan jika dilanggar, maka putusan dianggap batal dan
harus diadaka pemeriksaan ulang dalam sidang tertutup. Namun
demikian, sekalipun pemeriksan dilakukan dalam sidang tertutup,
tetapi dalam putusan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum.32
b. Pemeriksaan cerai talak meskipun tidak dihadiri oleh pemohon
dan termohon, akan tetapi dalam sidang perdamaian, pemohon
dan termohon harus datang secara pribadi, tidak bisa diwakili
oleh kuasa hukumnya. Upaya perdamaian dalam perkara cerai
talak, harus dilakukan hakim dalam setiap sidang sampai
dijatuhkannya putusan. Ketentuan ini menyimpang dari ketentuan
umum hukum acara perdata, dimana kuasa dapat mewakili
25
kepentingan pihak pemberi kuasa, meskipun dalam sidang
perdamaian.33
c. Dalam proses pemeriksaan cerai talak, istri (termohon) berhak
mengajukan gugatan rekonvensi (pasal 132 (a) dan (b) atau pasal
157 dan 158 RB.g) dengan beberapa alasan. Pertama perkara
cerai talak (voluntair) sama dengan perkar gugat cerai
(cotentiosa). Sebab istri sebagai termohon sama setatusnya
sebagai tergugat. Istri bukan sebagai tergugat. Istri bukan objek
tetapi subjek yang mempunyai hak untuk membela dan
mempertahankan haknya dalam proses pemeriksaan.
Masing-masing berhak mengajukan replik duplik dan juga alat
penbuktian. Kedua, istri sebagai termohon diberihak untuk
mengajukan upaya hukum banding (pasal 70 ayat 2). Ini
menunjukan bahwa perkara cerai talak bersifa contentiosa atau
sengketa. Artinya istri sebagai termohon mempunyai posisi yang
sama dengan pihak-pihak dalam pemeriksaan perkara
contentiosa. Tiga, kebolehan menggabungkan gugat cerai talak
dengan persoalan pemeriksaan pemeliharaan anak dan pembagian
harta bersama, membuka pintu bagi istri untuk menuntut dan
membela kepentingannya pada saat yang bersamaan dalam
pemeriksaan cerai talak.34
b. Tahapan Persidangan Cerai Gugat
Proses pemeriksaan cerai gugat pada dasarnya sama dengan proses
pemeriksaan cerai talak. Proses pemeriksaan selambat-lambatnya terhitung 30
hari dari tanggal perkara didaftarkan di Pengadilan yang bersangkutan.
Pemeriksaan dilakukan secara Majlis hakim dalam sidang tertutup untuk
umum. Persidangan tidak harus dihadiri oleh pihak-pihak yang berperkara.
Mereka dapat diwakili oleh kuasa yang telah mendapat surat kuasa khusus
untuk itu. Hanya saja jika dalam proses pemeriksaan ternyata perdamaian itu
tercapai, maka suami-istri harus datang secara pribadi tidak boleh diwakilkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses perkara cerai gugat, tidak
jauh berbeda dengan proses pemeriksaan cerai talak. Dan kalau kita coba
menarik perbedaan, perbedaan hanya ada pada bentuk putusan. Oleh karena
perkara gugat cerai bersifat contentiosa maka bentuk putusan akanber sifat
condemnatoir.35
Sama halnya dalam permohonan cerai, di mana diajukan pembuktian:
1. Apabil alasan cerai karena mendapat hukuman penjara maka sebagai bukti
cukup dengan salinan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
34 Ibid
27
tetap.
2. Apabila alasan perceraian karena cacat badan atau penyakit yang berakibat
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, pengadilan dapat
memrintahkan agar tergugat memriksakan diri ke dokter.
3. Apabila alasan cerai karena syiqaq, harus didengar saksi-saksi yang berasal
dari keluarga atau orang-orang terdekat suami-istri. Dapat pula diangkat
hakam seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak.
4. Apabila alasan cerai karena zina dapat pula tebukti secara sempurna bila
li’an telah diucapkan tanpa dilawan dengan li’an pula.36
3. Upaya Hukum
a. Upaya Banding
Banding dalam istilah pengdilan disebut appel (Belanda), yaitu
pembatalan, yaitu upaya hukum yang meminta dibatalkan putusan Pengadilan
tingkat pertama oleh Pengadilan tingkat banding karena merasa tidak puas atas
putusan pengadilan tingkat pertama berasebut.37 Banding adalah upaya yang
diajukan oleh salah satu pihak yang terlibat dalam perkara, agar penetapan atau
putusan yang dijatuhkan Pengadilan Agama diperiksa ulang dalam
pemeriksaan tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Agama. Karena belum
36
Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya h. 112
37
puas oleh putusan Pengadilan tingkat pertama.38Upaya ini bertujuan untuk
mengoreksi dan meluruskan segala kesalahan, kekeliruan dalam penerapan
hukum, tatacara mengadili, penilaian fakta dan pembuktian.39
Dasar hukum banding adalah:
1. Undang-undang No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, Pasal 19
2. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1975 Tentang Peradilan
Agama/Mahkamah Syariah Luar Jawa Madura, Pasal 8 dan 11.40
Tenggang waktu permohonan banding yaitu 14 hari setelah putusan
diucapkan, apabila waktu putusan diucapkan pihak pemohon banding hadir
sendiri di persidangan., atau 14 hari sejak putusan diberitahukan apabila
pemohon banding tidak hadir pada saat putusan diucapkan di persidangan.41
Mengenai proses pemeriksaan tingkat banding sebagai berikut:
1. Dilakukan berdasarkan berkas perkara
Pemeriksaan pada tingkat banding dilakukan melalui Berita Acara
pemeriksaan Pengadilan Tingkat Pertama yaitu "berdasarkan perkara"
2. Apabila dianggap perlu dapat melakukan pemerikasan tambahan, melalui
proses:
38
Sulaikin Lubis, Hukum Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 127
39
Muhammad Ichwan Ridwan, Kamarusdiana, dan Hotnida Nasution, Hukum Acara Peradilan Agama.h. 157
40
Roihan A. Rasyid, Upaya Hukum Terhadap Putusan Peradilan Agama, h.56
41
29
a) Pemeriksaan tambahan berdasarkan putusan sela, sebelum
menjatuhkan putusan akhir; atau putusan ditangguhkan menunggu hasil
pemeriksaan tambahan.
b) Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan sendiri oleh Pengadilan Tinggi
Agama (PTA)
c) Pelaksanaan pemeriksaan tambahan diperintahkan kepada pengadilan
yang semula memeriksa dan memutus pada tingkat pertama.
d) Pemeriksaan tingkat banding dilakukan dengan majlis; Pasal 11 ayat 1
Lembaran Negara No. 36 tahun 1970, dipertegas dalam Pasal 15 UU
No. 14 tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.42
b. Upaya Kasasi
Kasasi artinya mohon pembatalan terhadap putusan/penetapan Peng
adilan tingkat pertama (Pengadilan Agama) atau terhadap putusan Pengadilan
tingkat banding (Pengadilan Tinggi Agama) ke Mahkamah Agung, melalui
Pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama) yang dahulunya memutus,
karena adanya alasan tertentu, dalam waktu tertentu, dengan syarat-syarat
tertentu. Upaya hukum kasasi baru dapat digunakan kalau sudah
mempergunakan upaya hukum banding.43
Kasasi adalah upaya hukum biasa yang kedua, yang diajukan oleh
42
Ibid h. 175
43
pihak yang merasa tidak puas atas penetapan dan putusan di bawah Mahkamah
Agung, mengenai:
1. Kewenangan pengadilan
2. Kesalahan penerapan hukum yang dilakukan pengadilan bawahan (tingkat
I/II). Dalam memeriksa dan memutuskan perkara.
3. Kesalahan atau kelalaian dalam cara-cara mengadili menurut syarat-syarat
yang ditentukan peraturan perundang-undangan.44
Kasasi untuk lingkungan Pengadilan Agama baru sejak keluarnya
peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1977, Tentang Jalan Pengadilan
Dalam Pemeriksaan Kasasi Dalam Perkara Perdata dan Pidana Oleh
Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer.
Pasal 2 dari Peraturan tersebut menyatakan bahwa kasasi untuk perkara dari
lingkungan Peradilan Agama dapat dipergunakan aturan kasasi untuk
lingkungan Peradilan Umum, yaitu pasal 112 sampai 120 dari Undang-undang
No. 1 Tahun 1950 Tentang Mahkamah Agung Indonesia.45
Dasar hukum kasasi Peradilan Agama sekarang adalah dengan
terbitnya Undang-undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung,
maka isi dari Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1977 tersebut telah di
ambil over kedalamnya dan dengan peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun
1977 tersebu telah dicabut, sehingga kasasi ke Mahkamah Agung dari
44
Sulaikin Lubis, Hukum Perdata Peradilan Agama di Indonesia h. 177
45
31
Peradilan Agama semakin kongkrit dan juridis dengan Undang-undang, yaitu
Undang-Undang No.14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung tersebut.46
Adapun mengenai prosedur permohonan kasasi sebagai berikut:
1. Tenggang waktu melakukan permohonan kasasi adalah 14 hari sejak
tanggal pemberitahuan Putusan Pengadilan Tinggi Agama disampaikan
secara resmi oleh Juru Sita kepada yang bersangkutan. Hal ini diatur dalam
pasal 46 ayat 1 dan ayat 2.
2. Permohonan kasasi disampaikan kepada Panitera Pengadilan Agama yang
memutus perkara.
3. Yang berhak mengajukan kasasi adalah:
a) Pihak yang berperkara, atau
b) Wakil yang secara khusus diberi kuasa. (pasal 44 ayat 1 UU No. 14
tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung).47
Permohonan kasasi yang telah dikirim ke Mahkamah Agung melalui
panitra pengadilan tingkat pertama, selanjutnya diperiksa oleh Mahkamah
Agung. Pemeriksaan dilakukan sekurang-kurangnya oleh tiga orang Hakim
Agung, berdasarkan berkas yang diterima Mahkamah Agung. Pemeriksaan
kasasi meliputi semua putusan hakim, baik yang meliputi bagian-bagian
daripada putusan yang merugikan pemohon kasasi maupun yang maupun yang
46 Ibid
47
menguntungkan pemohon kasasi.48
Jika pemohon kasasi telah memenuhi syarat, dan alasan permohonan
sesuai dengan alasan yang diatur dalam pasal 30 UU No. 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung akan mengabulkan dan
memutuskan permohonan perkara tersebut. Ada 3 bentuk putusan Mahkamah
Agung yang mengabulkan permohonan kasasi:
1. permohonan kasasi dikabulkan selanjutnya putusan Pengadilan Tinggi
dibatalkan dan Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara itu dengan
menguatkan putusan Pengadilan tigkat pertama.
2. Permohonan kasasi dikabulkan selanjutnya putusan Pengadilan Tingkat
Pertama dan Pengadilan Tinggi dibatalkan serta mahkamah agung
mengadili perkara tersebut dengan menyatakan bahwa gugatan penggugat
tidak dapat diterima.
3. Permohonan kasasi dikabulkan dan Mahkamah Agung mengadili sendiri
perkara tersebut dengan memerintahkan pengadilan tingkat pertama
memeriksa kembali perkara tersebut.49
c. Upaya Peninjauan Kembali (PK)
Penunjauan Kembali (PK) adalah upaya hukum luar biasa yang
diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan hanya dapat dilakukan oleh
48
Muhammad Ichwan Ridwan, Kamarusdiana, dan Hotnida Nasution, Hukum Acara Peradilan Agama.h. 167
49
33
Mahkamah Agung (pasal 21 UU No. 14 tahun 1970 selanjutnya diatur dalam
bab IV bagian ke-IV UU No. 14 tahun 1985, pasal 66-76).50
Disebut dengan luar biasa karena upaya hukum tersebut memeriksa,
mengadili, memutus kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap muthlak bersifat final, tidak bisa dianggu gugat (litis
finiri opperte), pada hari putusan telah terkandung kekuatan hukum yang
mengikat para pihak serta mempunyai kekuatan aksekutorial yang muthlak
kepada para pihak.51
Mengenai prosedur permohonan peninjauan kembali
sebagai berikut:
1. Permohonan diajukan oleh pemohon kepada Mahkamah Agung melalui
Ketua Pengadilan Agama yang memutus perkara dalam tingkat pertama
(pasal 70 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung )
2. Permohonan diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan
sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan.52
Alasan-alasan yang dimaksud tidak boleh menyimpang dari
ketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung, yaitu:
a) Apabila putusan didasarkan pada kebohongan atau tipu muslihat pihak
50 Ibid
51
Muhammad Ichwan Ridwan, Kamarusdiana, dan Hotnida Nasution, Hukum Acara Peradilan Agama.h. 168
52
lawan yang di ketahui perkara diputuskan atau didasarkan pada
bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatan palsu.
b) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang
bersifat menentukan yang pada waktu diperiksa tidak ditemukan.
c) Apabila telah ditemukan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih
daripada yang dituntut.
d) Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai soal yang sama, atas
dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah
diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
e) Apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan atau kekeliruan
hakim dengan nyata. 53
3. Apabila pemohon tidak dapat menulis maka ia menguraikan
permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama yang
memutuskan perkara dalam tingkat pertama atau hakim yang ditunjuk oleh
Ketua Pengadilan yang akan membuat catatan tentang permohonan
tersebut. (pasal 71 UU No. 14 Tahun 1985)
4. Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya
dengan tiga orang hakim, (pasal 40 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung )
5. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) hanya dapat diajukan satu kali
53
35
(pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung)
6. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) tidak menangguhkan atau
menantikan pelaksanaan putusan (pasal 66 ayat (2) UUNo. 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung )
7. Mahkamh Agung berwenang memerintahkan Pengadilan Agama yang
memeriksa perkara dalam tingkat pertama atau Pengadilan Tinggi (tingkat
banding) mengadakan pemeriksaan tambahan, atau meminta sagala hal
keterangan serta pertimbangan dari pengadilan yang dimaksud. (pasal 73
ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung )
8. Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus.54
Jika berkas perkara sudah dianggap lengkap dan telah memenuhi syarat
formal, seperti telah dibayar biaya perkara dan tidak melampaui batas tenggang
waktu, maka permohonan PK harus dikirim oleh panitera pengadilan tingkat
pertama ke Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari setelah tanggal
penerimaan atau pengiriman salinan permohonan PK.55
Pemeriksaan upaya hukum PK merupakan wewenang muthlak dari
Mahkamah Agung, yang tidak bisa didelegasikan kepada badan pengadilan
yang lain (pasal 70 UUNo. 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung).
Kewenangan Mahkamah Agung dalam memeriksa PK peliputi:
54
Sulaikin Lubis, Hukum Perdata Peradilan Agama di Indonesia, h. 179
55
1. Memerintahkan pengadilan tingkat pertama yang memeriksa atau
pengadilan tingkat banding untuk melakukan pemeriksaan tambahan atau
meminta keterangan tambahan dan pertimbangan dari pengadilan yang
bersangkutan.
2. Meminta keterangan dari jaksa atau pejabat lain yang diserahi tugas
melakukan penyidikan
3. Mengirim dengan segera perintah yang dimaksudkan oleh Mahkamah
Agung.56
Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan PK, maka Mahkamah
Agung akan membatalkan putusan dan selanjutnya memeriksa dan memutus
sendiri perkara tersebut. Sebaliknya Mahkamah Agung akan menolak
permohonan PK, jika permohonan tersebut tidak berdasar atau beralasan.
Keputusan Mahkamah Agung sebagai badan Pengadilan Tingkat Pertama dan
terakhir. Artinya apabila Mahkamah Agung telah menjatuhkan putusan
terhadap perkara PK, maka putusan bersifat final, tidak ada lagi upaya hukum
yang lain.57
B. Proses perceraian di Masyarakat Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal
Kab.Sukabumi
Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI (Kompilasi
Hukum Islam) bahwa pernikahan dapat putus disebabkan karena (1) Kematian (2) Perceraian
56 Ibid
57
37
(3) Putusan Pengadilan.
UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 39 menjelaskan:
1. Perceraian haya dapat dilakukan di depan Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
2. Untuk melakukan percerian, harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami istri
3. Tata cara perceraian di depan sidang diatur dalam peraturan perunda-undangan sendiri58
Dalam melakukan perceraian, masyarakat Desa Palasari Girang Kec.Kalapanunggal
Kab. Sukabumi pada umumnya hanya dilakukan dilakukan secara kekeluargaan tanpa
melalui Pengadilan Agama.
Menurut hasil wawancara penulis dengan pejabat KUA setempat, bahwa ada 2 (dua)
alternatif yang dilakukan oleh masyarakat Desa Palasari Girang dalam melakukan perceraian.
Yaitu:
1. Perceraian dilakukan di depan para tokoh masyarakat setempat, tokoh masyarakat
bertindak sebagai saksi sekaligus sebagai juru damai.
2. Perceraian di depan pejabat KUA.
Namun demikian seperti halnya di pengadilan, upaya perdamaian tetap dilakukan.
Hal ini seperti dituturkan oleh U.Madrosin amil Desa Palasari Girang. Dia mengatakan
bahwa: Ada sebagian masyarakat yang melangsungkan perceraian di Pengadilan Agama, bagi
58
yang mampuh secara ekonomi dan sangat dibutuhkan surat perceraiannya. Namun
kebanyakan dilakukan secara kekelurgaan di depan tokoh masyarakat dan ada juga yang
dilakukan di kantor KUA.59
Masyarakat yang ingin melakukan cerai mengahadap pada para tokoh masyarakat
dan membahas semua permasalahan yang terjadi di dalam keluarga mereka, jika terjadi
perceraian maka ikrar talak dituangkan dalam bentuk surat yaitu Surat Pernyataan Talak yang
ditanda tangani oleh kedua belah pihak dan para saksi.60
59
Wawancara dengan Bapak U.Madrosin (amil Desa Palasari Girang), Sukabumi, 29 Juni 2010
39
BAB III
KONDISI MASYARAKAT DI DESA PALASARI GIRANG KEC. KALAPANUNGGAL KAB. SUKABUMI
A. Kondisi Geografis Desa Palasari Girang
Desa Palasari Girang dipimpin oleh Aeh saefullah sebagai kepala desa dalam
rangka menyelenggarakan pemerintahan. Kepala desa melaksanakan kewenangan
selaku pimimpin pemerintah desa, yang bertanggung jawab dibidang pemerintah
umum termasuk di dalamnya pembinaan dan ketertiban sesuai dengan
undang-undang yang berlaku.1
Pola organisasi Desa Palasari Girang memakai pola maksimal terdiri dari 6
orang kepala urusan, 3 orang setaf kaur (Kepala Urusan). Sedangkan urusan
organisasi desa sesuai dengan tugas dan kedudukannya secara admnistrasi dan
oprasionalnya kepala desa dibantu oleh:
1. Sekretaris desa yang membawahi bidang: urusan kesra (kesejahteraan rakyat),
ekonomi, pemerintahan, pembangunan, keuangan, dan bendahara
2. Unsur wilayah kepala dusun2
Desa Pelasari Girang adalah sebuah wilayah yang terletak di Kecamatan
Kalapanunggal, mempunyai luas wilayah 370 Ha, yang terbagi ke dalam 4 dusun, 7
Rukun Warga (RW) dan 29 Rukun Tetangga (RT). Terdiri luas pemukiman 10 Ha,
1
Profil Desa Palasari Girang Tahun 2008
luas lahan pertanian 356 Ha, dan luas permakaman 4 Ha.3
Sedangkan batas-batas wilayah Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal
Kab. Sukabumi adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1
Batas Wilayah Desa Palasari Girang
No Letak Batas Nama Desa
1 Sebelah timur Berbatasan dengan Desa Makasari Kec.
Kalapanunggal
2 Sebelah barat Berbatasan dengan Desa Walangsari
Kec. Kalapanunggal
3 Sebelah utara Berbatasan dengan Desa Pulosari Kec.
Kalapanunggal
4 Sebelah selatan Berbatasan dengan Desa
Kalapanunggal Kec. Kalapanunggal Sumber: Data Profil Desa Palasari Girang 2008
B. Keadaan Demografis Desa Palasari Girang
Penduduk Desa Palasari Girang Kec. Kalapanunggal, terdiri dari 1621 KK,
dengan jumlah jiwa 6275 jiwa, jumlah tersebut diklasifikasikan sebagai berikut:4
Tabel 3.2
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin
No Jenis kelamin Jumlah
3
Profil Desa Palasari Girang Tahun 2008
41
1 Laki-laki 3172 jiwa
2 Perempuan 3103 jiwa
Jumlah 6272 jiwa
C. Kondisi Sosial Desa Palasari Girang
1.Bidang Agama
Semua penduduk Desa Palasari Girang menganut agama islam. Namun
mereka sangat toleran jika ada penduduk lain yang beragama non islam berkunjung
ke desa tersebut. Seperti diungkapkan oleh M. Jazuli dalam wawancara dengan
penulis, "Penduduk kami semua menganut agama islam, namun kami tidak tertutup
terhadap penganut agama lain untuk berkunjung ke Desa kami".5
Mengenai sarana ibadah, dengan sendirinya sarana peribadatan yang ada di
Desa Palasari Girang hanya tempat beribadah bagi orang muslim saja, yaitu berupa
masjid 12 buah, musholah 35 buah. dan majlis ta'lim 51 buah. Semuanya itu
tersebar di tiap RW.6
Tabel 3.3
Sarana Ibadah di Desa Palasari Girang
No Pembangunan Bidang Agama Jumlah
5
Wawancara pribadi dengan bapak muhamad jazuli (Sekretaris Desa Palasari Girang). Sukabumi, 28 Juni 2010.
6
1
Sumber: Data Profil Desa Palasari Girang 2008
2.Bidang Pendidikan
Tidak banyak penduduk Desa Palasari Girang yang mengenyam pendidikan
sampai mendapat gelar sarjan, hanya terhitung 35 orang yang berhasil menyandang
gelar Sl, S2 terhitung 4 orang, D3 terhitung 37 orang, tamatan SLTA terhitung 531
orang, tamatan SLTP terhitung 823 orang, dan tamatan SD mencapai 2101 orang.
Di bawah ini klasifikasi pendidikan yang diperoleh masyarakat Desa Palasari
Girang:
Tabel 3.4
Kondisi Sosial Pendidikan Desa Palasari Girang
No Tingkat pendidikan jumlah
1 Tamatan SD 2101
Sumber: Data Profil Desa Palasari Girang 2008
43
sebagai berikut:7
Tabel 3.5
Sarana Pendidikan Desa Palasari Girang
No Pembangunan bidang pendidikan Jumlah
1
Sumber: Data Profil Desa Palasari Girang 2008
Berdasarka tabel 3.5 dapat diketahui bahwa di wilayah Desa Palasari
Girang terdapat 5 gedung TK dan PAUD, 4 gedung SD, 2 gedung MI, 2
gedung SLTP, 1 gedung SLTA, dan 1 geung Pondok Pesantren.
b. Bidang Ekonomi
Ekonomi adalah suatu ilmu yang mempelajari daya upaya manusia
untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dan meningkatkan
kesejahteraannya. Jadi setiap kegiatan manusia yang ditujukan untuk
memenuhi segala kebutuhan hidupnya merupakan kegiatan ekonomi.
Sementara yang dikatakan mata pencaharian adalah manifestasi dari kegiatan
ekonomi dalam bentuk spesialisasi berdasarkan tingkat kemampuan dan
keterampilan secara personal atau inividu. Atau dapat pula dikatakan bahwa
mata pencaharian merupaken bentuk nyata dari pekerjaan seseorang dalam
bidang tertentu yang tujuan akhinya terfokus pada pemenuhan kebutuhan.
Dalam memenuhi kebutuhan hidup sahari-hari, masyarakat Desa
Palasari Girang mempunyai mata pencaharian yang cukup beragam, dengan
rincian sebagai berikut:
Tabel 3.6
Mata Pencaharian Masyarakat Desa Palasari Girang
No Mata Pencaharian Jumlah
1 PNS 30 orang
2 Petani 1012 orang
3 Buruh tani 1808 orang
4 Pemilik usaha kerajinan 2 orang
5 Buruh usaha kerainan 4 orang
6 Pemilik usaha hasil hutan 3 orang
7 Buruh usaha hasil hutan 15 orang
8 Pengumpul hasil hutan 23 orang
Sumber: Data Profil Desa Palasari Girang 2008
Tabel 3.6 di atas dapat di ketahui bahwa mata pencaharian penududuk
Desa Palasari Girang yaitu: PNS 30 orang, petani 1012 orang, buruh tani l808
orang, pemilik usaha kerajinan 2 orang, buruh usaha kerajinan 4 orang,
45
pengumpul hasil hutan 23 orang.
Mata pencaharian penduduk selanjutnya adalah pegawai atau
karyawan, di instansi atau perusahaan swasta yang berada di kota atau di
sekitar Desa Palasari Girang. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang
yang berpendidikan minimal SMA, itu pun bagi mereka yang mempunyai
akses dari dalam perusahaan atau industri tersebut.
Selebihnya adalah orang-orang yang mempunyai modal keterampilan,
atau modal uang, membuka usaha sendiri. Diantaranya berternak atau
berdagang. Seperti dagang sembako, bahan bangunan, toko spare part
kendaraan, bengkel, jasa penggilingan padi dan lain-lain.
Adapun mereka yang bekerja sebagai PNS, kebanyakan adalah
penduduk yang berpendidikan sarjana (Sl), dan beberapa orang yang lulusan
S2.
Penduduk dalam kategori tidak bekerja tetap adalah penduduk yang
sifatnya bekerja serabutan. Ketika ada orang yang membutuhkan tenaga
mereka, maka mereka bekerja, dan ketika tidak ada mereka menganggur.8
8
46
1. Usia Responden
Dalam penelitian ini penulis berhasil menjaring responden sebanyak 50 orang,
yang terdiri dari sebagian mantan istri yang pernah bercerai, baik yang telah menikah
lagi atau pun yang belum, ditambah dengan tokoh masyarakat dan pejabat KUA.
Dilihat dari segi usia, usia responden yang telah berhasil diambil sampelnya
berbeda-beda. Berikut klasifikasi usia responden:
Tabel. 4.7 Usia Responden
NO USIA RESPONDEN F %
1 Di bawah usia 25 tahun 2 4
2 Di bawah usia 30 tahun 7 14
3 Di bawah usia 40 tahun 22 44
4 Di atas usia 40 tahun 19 38
Jumlah 50 100
Sumber: Diolah dari Data Lapangan
Berdasarkan tabel 4.7 di atas bahwa, responden di bawah usia 25 tahun 4%, di
bawah usia 30 tahun 14%, di bawah usia 40 tahun 44% dan di atas usia 40 tahun
38%.
2. Latar Belakang Pendidikan Responden
47
pengetahuan responden mengenai objek yang dijadikan penelitian. Berikut adalah
daftar pendidikan yang telah ditamatkan oleh responden:
Tabel 4.8
Identitas Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
NO TINGKAT PENDIDIKAN RESPONDEN F %
1 Tamatan SD 21 42
2 Tamatan SLTP 19 38
3 Tamatan SLTA 9 18
4 Tamatan Diploma 1 2
5 Di atas S 1 - -
Jumlah 50 100
Sumber: Diolah dari Data Lapangan
Berdasarkan tabel 4.8 di atas bahwa hampir setengah dari responden tamatan
Sekolah Dasar SD (42%) dan SLTP (38%), sebagian kecil tamatan SLTA (18%), dan
sedikit sekali yang menamatkan sekolah sampai dengan Dl (2%).
B. Pengetahuan Masyarakat Setempat Mengenai Hukum Perkawinan
Pada sub bab ini kita akan mengetahui bagaimana masyarakat Desa Palasari
Girang dalam memahami hukum perkawinan dan perceraian yang sesuai dangan
prosedur hukum yang berlaku di Indonesia. Yang di dalamnya memuat persoalan
dimana dan bagaimana masyarakat melangsungkan perkawinan dan perceraian, pada
usia berapa mereka melangsungkan perkawinan, ada atau tidak adanya penyuluhan
mengenai perkawinan dan perceraian, dan bagaimana mereka memandang hukum
perceraian jika dilakukan di luar prosedur Pengadilan Agama.
perkawinan masyarakat melibatkan pejabat KUA / PPN setempat atau tidak? Hal ini
sangat penting, karena jika perkawinan tidak melibatkan pejabat KUA dan tidak
dicatatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) maka tidak mempunyai ketentuan
hukum, dan tidak mendapatkannya akte nikah, sedangkan perkawinan itu hanya dapat
dibuktikan jika ada akte yang dibuat oleh Petugas Pencatat Nikah.
Tabel 4.9
Apakah Perkawinan Responden Melibatkan Pejabat Setempat
NO PILIHAN JAWABAN RESPONDEN F %
1 Melibatkan KUA 47 94
2 Tidak melibtkan KUA 3 6
Jumlah 50 100
Sumber: Diolah dari Data Lapangan
Berdasarkan tabel 4.9 di atas bahwa hampir seluruhnya melangsungkan
perkawinan dengan melibatkan KUA (94%), dan sedikit sekali yang melangsungkan
perkawinan dengan tidak melibatkan KUA (6%)
Hal ini relefan dengan apa yang diungkapkan oleh bapak U.Madrosin
sebagai amil di Desa Palasari Girang, ia mengatakan
"Alhamdulillah masyarakat di desa ini dalam melangsungkan pernikahan, telah sesuai dengan prosedur hukum pemerintah yang berlaku, mereka melangsungkan perkawinan selalu melibatkan pejabat KUA dan dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah. Karena apabila tidak memenuhi persyaratan administrasi, tidak akan mendapatkan Surat Nikah, yang berakibat pada susahnya mendapatkan kartu keluarga".1
1