• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konvergensi dan faktor faktor yang memengaruhi ketimpangan Wilayah Kabupaten Kota di Pulau Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konvergensi dan faktor faktor yang memengaruhi ketimpangan Wilayah Kabupaten Kota di Pulau Jawa"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

KABUPATEN/KOTA DI PULAU JAWA

KRISMANTI TRI WAHYUNI

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konvergensi dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2011

(4)
(5)

Regional Inequality of District Level in Java. Under the Supervision of MUHAMMAD FIRDAUS and WIWIEK RINDAYATI.

Java is the centre of governance and also economic activity, so then its growth is faster than other islands in Indonesia. Implementation of fiscal decentralization policy since 2001 placing the district government as the important position on regional growth. The purpose of this study is analyse the income convergency using Gross Regional Domestic Product (GRDP) and household expenditure. Those two proxy variable was used to compare convergency. The result finds that no income convergency when using GDRP, meanwhile there is convergency process when using household expenditure with FD-GMM estimation technique. The biggest speed of convergence for provinces in Java happened in West Java, that was influenced on manufacture sector. Applying static panels, we obtain that Java income inequality is affected by manufacture share, labour education rate, number of public health centre, electricity energy and water infrastructure. On the other hand, increasing household expenditure is only affected by a rise of labour education.

(6)
(7)

KRISMANTI TRI WAHYUNI. Konvergensi dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan WIWIEK RINDAYATI.

Pulau Jawa merupakan wilayah yang menjadi pusat pemerintahan sekaligus perekonomian di Indonesia dengan perkembangan yang pesat sehingga menyebabkan bias pembangunan Jawa – luar Jawa semakin besar. Pelaksanaan desentralisasi fiskal menempatkan kebijakan fiskal pada level kabupaten/kota pada posisi penting dalam upaya pengembangan wilayah yang lebih luas dan konstelasi kota-kota sekitarnya. Kondisi ekonomi yang bersifat struktural di setiap daerah juga dikaitkan dengan beragamnya faktor endowment yang dimiliki setiap daerah, yang dapat memicu terjadinya ketimpangan antar wilayah.

Dinamika pendapatan antar wilayah selama ini dianalisis dengan menggunakan data PDRB yang menunjukkan potensi daerah dalam proses produksi. Data ini kurang dapat merepresentasikan kemampuan masyarakatnya dalam mencapai kesejahteraan. Analisis konvergensi wilayah berdasarkan data tersebut perlu dibandingkan dengan melihat pendapatan masyarakat, yang diproksi dengan menggunakan pendekatan pengeluaran rumah tangga.

Penelitian ini pada intinya bertujuan (1) menggambarkan ketimpangan wilayah di Pulau Jawa; (2) menguji konvergensi wilayah kabupaten/kota dan membandingkan fenomena konvergensi antar provinsi di Pulau Jawa dikaji dari pendekatan pendapatan regional dan pendekatan pengeluaran rumah tangga; dan (3) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah di Pulau Jawa. Ruang lingkup penelitian adalah seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa kecuali DKI Jakarta, dengan menggabungkan daerah-daerah pemekaran untuk menjamin konsistensi data sehingga analisis penelitian diagregasi menjadi 105 wilayah. Periode waktu penelitian adalah 9 tahun, mulai dari diimplementasikannya desentralisasi fiskal yaitu dari tahun 2001 – 2009.

Hasil penghitungan koefisien variasi Williamson menunjukkan bahwa ketimpangan kabupaten/kota di Pulau Jawa sangat tinggi, berada pada kisaran 0,94 sampai dengan 0,98 selama periode penelitian. Ketimpangan paling tinggi terjadi di Provinsi Banten dan yang terendah terjadi di D.I. Yogyakarta. Koefisien variasi PDRB per kapita Jawa Timur tidak berada pada kisaran nilai antara 0 dan 1. Sementara itu nilai koefisien variasi Jawa Tengah dan Jawa Barat semakin melebar selisihnya karena ketimpangan Jawa Barat semakin menurun, sedangkan Jawa Tengah semakin meningkat. Besarnya ketimpangan wilayah-wilayah di Pulau Jawa didominasi adanya ketimpangan antar kota dibandingkan dengan ketimpangan antar kabupaten.

(8)

wilayah.

Estimasi konvergensi kabupaten/kota di provinsi-provinsi Pulau Jawa dengan menggunakan data pengeluaran rumah tangga semuanya konvergen, dengan tingkat konvergensi tertinggi di Jawa Barat dan terendah di Jawa Timur. Tingkat konvergensi pengeluaran rumah tangga mencapai nilai yang sangat tinggi karena pendekatan ini hanya melihat konvergensi dari pelaku ekonomi rumah tangga, berbeda dengan konvergensi PDRB yang melibatkan semua pelaku ekonomi, baik rumah tangga, swasta maupun pemerintah. Aktivitas ekonomi yang dilakukan juga berbeda, tidak hanya konsumsi seperti pada pendekatan pengeluaran rumah tangga, namun juga investasi, baik yang dilakukan perusahaan swasta maupun pemerintah. Perbandingan tingkat konvergensi ini menunjukkan bahwa tingkat pembangunan wilayah yang sama akan dicapai dalam kurun waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kesamaan daya beli masyarakat.

Estimasi faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah dilakukan dengan model data panel statis. Model yang terpilih pada pendekatan PDRB adalah random effect, sedangkan pada pendekatan pengeluaran rumah tangga adalah fixed effect. Ketimpangan Pulau Jawa dapat diturunkan dengan peningkatan kontribusi sektor manufaktur, peningkatan kualitas tenaga kerja sebagai upaya memacu produktivitas ekonomi dan penambahan jumlah sarana kesehatan yang dapat dijangkau kalangan menengah ke bawah serta merata ke seluruh wilayah. Namun, ketimpangan justru semakin meningkat dengan peningkatan penggunaan energi listrik dan air bersih. Pengguna energi listrik didominasi oleh industri dan bisnis yang berada di kota-kota besar. Demikian juga dengan air bersih yang disalurkan oleh PDAM, paling banyak digunakan oleh rumah tangga, terutama di daerah perkotaan yang dipadati oleh pemukiman. Ketimpangan wilayah dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga dalam penelitian ini hanya dipengaruhi oleh pendidikan tenaga kerja, dengan arah yang berlawanan dengan pendekatan PDRB. Artinya, peningkatan pendidikan akan memperlebar kesenjangan konsumsi pada level rumah tangga.

Berdasarkan uraian tersebut, disarankan adanya peningkatan kegiatan ekonomi di bidang manufaktur khususnya industri yang lebih merata ke seluruh wilayah, agar meningkatkan pemerataan pendapatan dan kecepatan konvergensi serta mengurangi terjadinya pengurasan sumber daya di sekitarnya. Proses konvergensi dapat ditingkatkan dengan aktivitas ekonomi selain konsumsi, misalnya dengan pemerataan investasi dan kebijakan pemerintah. Investasi infrastruktur diarahkan untuk pembangunan sarana dan prasarana yang dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat dan merata di seluruh wilayah, khususnya sarana kesehatan. Kualitas sumber daya manusia terutama tenaga kerja dapat menurunkan ketimpangan secara wilayah, namun meningkatkan ketimpangan pada level rumah tangga. Oleh karena itu peningkatan pendidikan perlu diprioritaskan pada rumah tangga yang berpendapatan rendah sebagai upaya memutuskan lingkaran setan kemiskinan, yang selanjutnya meningkatkan konvergensi pendapatan wilayah

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

KABUPATEN/KOTA DI PULAU JAWA

KRISMANTI TRI WAHYUNI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Nama : Krismanti Tri Wahyuni NRP : H151090204

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(14)
(15)
(16)
(17)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala anugerah dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Konvergensi dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Bambang Heru Santosa, M.Ec atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi serta kepada ketua dan sekretaris Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarja IPB Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si dan Dr. Lukytawati Anggraeni. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis dalam perkuliahan dengan baik.

Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Demikian pula kepada Kepala Pusdiklat beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran administrasi selama penulis mengikuti program Tugas Belajar. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman BPS dan mahasiswa pascasarjana khususnya PS Ilmu Ekonomi yang telah banyak membantu penulis mulai dari proses kuliah hingga penyelesaian tesis ini.

Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu per satu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggung jawab. Akhirnya, penulis berharap bahwa apa yang telah penulis kerjakan ini bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi yang baik kepada berbagai pihak.

(18)
(19)

Penulis dilahirkan di Kulon Progo pada tanggal 14 Oktober 1981 dari pasangan Bapak Kasman Nugroho dan Ibu Suyanti Magdalena. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara.

Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN I Pengasih kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Pengasih pada tahun 1994 dan lulus pada tahun 1997. Setelah itu penulis melanjutkan ke SMAN 1 Wates pada tahun 2000 dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, tamat pada tahun 2004 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (SST).

(20)
(21)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 13

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi ... 15

2.2. Konvergensi ... 21

2.3. Ketimpangan Wilayah ... 22

2.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah ... 24

2.4.1. Peranan Pemerintah dalam Perekonomian ... 26

2.4.2. Tingkat Pembangunan Ekonomi ... 31

2.4.3. Pendidikan Tenaga Kerja ... 31

2.4.4. Infrastruktur ... 32

2.5. Tinjauan Empiris ... 35

2.6. Kerangka Pemikiran ... 38

2.7. Hipotesis ... 41

III. METODE PENELITIAN ... 43

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 43

3.2. Metode Analisis ... 45

3.2.1. Koefisien Variasi Williamson ... 45

3.2.2. Data Penel Statis ... 45

3.2.3. Data Panel Dinamis ... 51

3.3. Spesifikasi Model ... 57

3.3.1. Konvergensi Wilayah ... 57

3.3.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah .. 60

3.4. Prosedur Analisis ... 61

IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 63

(22)

xiv

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 95

(23)

Nomor Halaman

Indeks Gini Indonesia Menurut Daerah, Tahun 2002 – 2009 ...

Koefisien Variasi Williamson PDRB Wilayah-wilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 ...

Koefisien Variasi Williamson Pengeluaran Rumah Tangga Wilayah-wilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 ...

Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Pulau Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ...

Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Pulau Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ...

Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Barat dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ...

Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Barat dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ...

Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Tengah dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ...

Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Tengah dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ...

Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Timur dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ...

Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Timur dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ...

Pengujian Validitas Instrumen dan Konsistensi Model Data Panel Dinamis FD-GMM dalam Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota di Pulau Jawa ...

Estimasi Tingkat Konvergensi Wilayah-wilayah di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Dinamis FD-GMM ...

(24)

xvi

15 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota Antar Provinsi Pendekatan Pengeluaran

Rumah Tangga di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Statis ... 87

(25)

Nomor Halaman

PDB Indonesia dan PDRB Pulau Jawa Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2001 – 2009 (Juta Rupiah)...

Persentase Investasi Pulau Jawa terhadap Investasi Nasional, Tahun 2001 – 2007 (Persen)...

Jumlah Penduduk Miskin di Pulau Jawa dan Indonesia, Tahun 2001 – 2009 (Ribu Jiwa)...

Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009...

Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Indonesia, Tahun 2001 – 2009...

DAU, DAK, DBH dan Dana Perimbangan di Pulau Jawa (Tidak Termasuk DKI Jakarta), Tahun 2007 – 2009...

Indeks Theil Pulau Jawa Menurut Dekomposisi, Tahun 2001 – 2009...

PDRB Atas Dasar Harga Berlaku, PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dan Pengeluaran Rumah Tangga Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 (Milyar Rupiah)...

Investasi Aktual dan Break-even...

Konvergensi Bersyarat/Kondisional (Conditional Convergence)...

Kurva Kuznets tentang Hubungan Pendapatan dan Ketimpangan....

Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi...

Kerangka Pemikiran Penelitian...

Tren Kontribusi Sektor Pertanian Wilayah-wilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 (Persen) ……..………..

Tren Koefisien Variasi Williamson Wilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 ...

(26)

xviii 18

19

20

21

Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Jawa Barat dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009 ...

Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009 ...

Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009 ...

Perbandingan Koefisien Variasi Williamson Kabupaten/Kota di Banten dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009 ...

69

69

70

71

(27)

Nomor Halaman

Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Pulau Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ...

Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Pulau Jawa dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ...

Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Barat dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ...

Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Barat dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ...

Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Tengah dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ...

Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Tengah dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ...

Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Jawa Timur dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ...

Scripts Input dan Hasil Output Stata Estimasi Konvergensi Kabupaten/Kota Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga di Jawa Timur dengan Metode Data Panel Dinamis FD-GMM ...

Scripts Input dan Hasil Output Eviws Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota Pendekatan PDRB di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Statis ...

(28)
(29)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pulau Jawa merupakan wilayah yang menjadi pusat pemerintahan sekaligus perekonomian di Indonesia. Di antara 17.504 pulau lainnya yang tersebar di seluruh pelosok tanah air, luas wilayah Pulau Jawa hanya mencapai 6,95 persen dari luas nasional. Namun pendapatan Pulau Jawa mendominasi PDB atas dasar harga berlaku nasional sebesar 62,04 persen (dihitung dari PDB migas) atau 65,44 persen (dihitung dari PDB non migas) pada tahun 2009. Demikian pula jika dilihat dari trend PDRB Pulau Jawa menurut harga konstan, kontribusinya terhadap PDB nasional sangat tinggi, selalu di atas 50 persen sejak tahun 2001 (Gambar 1). Ketergantungan nasional terhadap aktivitas ekonomi di Pulau Jawa menyebabkan besarnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan perekonomian di wilayah tersebut. Hal ini menjadi lingkaran setan terjadinya penumpukan sumber daya produksi terutama modal dan tenaga kerja.

(30)

Sumber: BPS, 2001 – 2009 (diolah)

Gambar 1 PDB Indonesia dan PDRB Pulau Jawa Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2001 – 2009 (Juta Rupiah)

Pesatnya perkembangan perekonomian di Pulau Jawa disebabkan besarnya investasi baik PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) maupun PMA (Penanaman Modal Asing). Investasi merupakan salah satu faktor yang krusial bagi proses kemajuan pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang melibatkan kegiatan-kegiatan produksi di semua sektor ekonomi. Dengan kontribusi investasi Pulau Jawa yang selalu berada di atas 60 persen sejak tahun 2001 (Gambar 2), pertambahan jumlah barang modal di wilayah ini akan menghasilkan lebih banyak barang dan jasa pada tahun-tahun berikutnya sehingga pertumbuhan ekonomi juga meningkat jika faktor-faktor lain tetap. Didukung oleh over head social yang relatif memadai, investasi di Pulau Jawa mempunyai resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa. Fenomena ini menyebabkan bias pembangunan Jawa – luar Jawa semakin besar.

Keberhasilan pembangunan tidak hanya diukur dari tingginya pertumbuhan ekonominya, tetapi juga tingkat kemakmuran penduduknya. Tingkat kemakmuran yang dicapai tercermin dari tingginya rata-rata pendapatan penduduk dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan bukanlah merupakan hal yang bertentangan. Oleh karena itu, muncul paradigma baru pembangunan ekonomi yang menuntut adanya keserasian dan keseimbangan

0 500.000.000 1.000.000.000 1.500.000.000 2.000.000.000 2.500.000.000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

(31)

antara pertumbuhan dan pemerataan. Strategi ini merupakan koreksi atas kebijakan pembangunan terdahulu yang dikenal dengan trickle down effect, yang mengasumsikan perlunya memprioritaskan pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu, baru kemudian pemerataan.

Sumber: BKPM, 2001 – 2007 (diolah)

Gambar 2 Persentase Investasi Pulau Jawa terhadap Investasi Nasional, Tahun 2001 – 2007 (Persen)

Evaluasi keberhasilan pembangunan di Pulau Jawa harus pula dikaji secara simultan dengan sisi pemerataan, yang dikaitkan dengan besarnya jumlah penduduk miskin. Data kemiskinan yang diolah dari Susenas menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia secara absolut telah mengalami penurunan sebesar 6,70 persen, yaitu 34,87 juta jiwa pada tahun 2001 menjadi 32,53 juta jiwa pada tahun 2009. Dari jumlah tersebut, lebih dari 50 persen penduduk miskin berada di Pulau Jawa. Penurunan penduduk miskin di Pulau Jawa lebih sedikit dibandingkan angka nasional, yaitu mencapai 4,69 persen (dari 19,34 juta jiwa pada tahun 2001 menjadi 18,43 juta jiwa pada tahun 2009) seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Mayoritas penduduk miskin yang berada di Pulau Jawa menyebabkan pola jumlah penduduk miskin di Pulau Jawa menentukan jumlah penduduk miskin nasional.

0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

(32)

Sumber: BPS, 2001 – 2009 (diolah)

Gambar 3 Jumlah Penduduk Miskin di Pulau Jawa dan Indonesia, Tahun 2001 – 2009 (Ribu Jiwa)

Jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami fluktuasi, yaitu peningkatan pada tahun 2002 dan 2006. Penurunan yang cukup besar terjadi pada tahun 2001 (penduduk miskin pada tahun 2000 adalah sebesar 22,47 juta jiwa di Pulau Jawa dan 38,74 juta jiwa di seluruh Indonesia), disebabkan adanya isu perubahan kebijakan pemerintahan dari yang sentralistik menjadi desentralisasi dan otonomi daerah. Sistem pemerintahan ini memberikan wewenang yang lebih besar kepada daerah untuk memutuskan setiap urusan pemerintahan termasuk prioritas pembangunan kepada daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat. Sayangnya, program-program yang dilaksanakan daerah belum didukung oleh sistem administrasi dan keuangan yang memadai sehingga pada tahun berikutnya justru terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin, yang juga dipicu oleh tingginya tingkat inflasi pada tahun tersebut sebesar 10,03 persen dan tahun sebelumnya yang mencapai 12,55 persen. Demikian juga peningkatan persentase penduduk miskin selama tahun 2005 – 2006 terjadi karena harga barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut naik tinggi, yang digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen. Kenaikan inflasi ini dipicu adanya kenaikan harga bahan bakar minyak rata-rata sebesar 126 persen yang ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 2005. Kenaikan ini dilakukan untuk mengurangi beban subsidi bahan bakar minyak akibat meningkatnya harga minyak mentah dunia.

0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 35.000 40.000 45.000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

(33)

Peningkatan inflasi akan menyebabkan daya beli penduduk menjadi merosot, dan menyebabkan penduduk yang penghasilannya berada sedikit di atas garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin sehingga tingkat kemiskinan mengalami peningkatan.

Menurut status daerah, distribusi pemerataan menunjukkan pola yang berbeda. Distribusi pendapatan yang merupakan porsi pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga, tergantung pada tingkat produktivitas dan peranannya dalam perekonomian. Salah satu ukuran yang sering digunakan untuk mengukur ketidakmerataan distribusi pendapatan adalah rasio gini. Ternyata rasio gini Indonesia tidak menurun sampai dengan tahun 2009, seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Daerah urban mempunyai ketimpangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah rural. Dengan nilai gini rasio di atas 0,3, dapat ditunjukkan bahwa ketimpangan terus terjadi di Indonesia. Wilayah urban yang terus mengejar pertumbuhan ekonomi justru terbentur pada masalah ketimpangan yang semakin melebar antar golongan masyarakat, antar pelaku ekonomi serta antar wilayah. Data-data tersebut memberikan gambaran bahwa upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah belum bersinergi dengan kebijakan percepatan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat menyebabkan disintegrasi dan ketidakstabilan sosial yang meluas sehingga pembangunan yang berbasis kerakyatan dan berkeadilan sosial tidak bisa tercapai.

Tabel 1 Indeks Gini Indonesia Menurut Daerah, Tahun 2002 – 2009

Tahun Indeks Gini

(34)

Ketimpangan antar daerah pada awal pembangunan ekonomi merupakan hal yang wajar dalam konsep pembangunan nasional. Williamson (1965) dalam Tambunan (2001) menemukan bahwa pada tahap awal pembangunan ekonomi, ketimpangan pendapatan akan membesar dan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu yang sudah relatif maju, misalnya dalam pembangunan industri, infrastruktur dan sumber daya manusia. Kemudian dalam tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, terjadi konvergensi dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan akan mengalami penurunan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sjafrizal (2008) yang menyatakan bahwa dengan menggunakan indeks Theil, ketimpangan di Pulau Jawa mempunyai nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya.

(35)

Sumber: BPS, 2001 – 2009 (diolah)

Gambar 4 Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009

Sumber: BPS, 2001 – 2009 (diolah)

Gambar 5 Kontribusi Sektor Pertanian, Manufaktur dan Sektor Jasa di Indonesia, Tahun 2001 – 2009

Keberhasilan pembangunan tak dapat dilepaskan dari peranan pemerintah dalam menentukan arah pembangunan di bidang ekonomi dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan. Salah satu bentuk peran pemerintah secara langsung adalah dengan intervensi anggaran melalui kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal dapat dilakukan melalui sisi penerimaan

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Pertanian Manufaktur Jasa

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 50,00

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

(36)

(perpajakan), kebijakan bukan pajak, kebijakan anggaran belanja negara dan kebijakan pembiayaan anggaran. Tujuan dari kebijakan fiskal adalah untuk mencapai sasaran ekonomi makro yang lebih luas, yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mencapai keseimbangan perekonomian. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia yang mulai diterapkan pada tahun 2001 menyebabkan perubahan intensitas peranan pemerintah dalam pembangunan dan perekonomian. Kewenangan daerah yang semakin luas diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara mengalokasikan anggaran secara lebih efisien pada berbagai potensi dan kebutuhan publik lokal.

1.2. Perumusan Masalah

Sejak desentralisasi fiskal diimplementasikan, pemerintah daerah kabupaten/kota di Pulau Jawa diharapkan bisa mempertahankan tingkat produksi yang sudah dicapai sebagai penyangga dalam pembiayaan barang publik yang sangat dibutuhkan dalam perekonomian. Kewenangan keuangan yang sebelumnya ditangani oleh pemerintah pusat telah “didaerahkan” kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota. Sektor-sektor ekonomi yang penting di daerah diharapkan akan lebih berkembang sesuai dengan potensinya. Desentralisasi fiskal yang memberi esensi kebebasan kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan anggaran dan pembelanjaan publik diharapkan memberikan pengaruh positif terhadap kinerja pemerataan pendapatan sebagai pencerminan peningkatan kegiatan ekonomi seluruh lapisan masyarakat.

(37)

sekitarnya. Kondisi ekonomi yang bersifat struktural di setiap daerah juga dikaitkan dengan beragamnya faktor endowment yang dimiliki setiap daerah, yang dapat memicu terjadinya ketimpangan antar wilayah.

Peranan pemerintah dalam meningkatkan pemerataan adalah dengan mentransfer dana perimbangan, yang berupa DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus) dan DBH (Dana Bagi Hasil). DAU merupakan transfer yang bersifat umum (block grant) yang diberikan kepada semua kabupaten/kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-pinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak dari pada daerah kaya. Dengan kata lain tujuan alokasi DAU adalah dalam rangka pemerataan kemampuan penyediaan pelayanan publik antar daerah di Indonesia. Namun, dengan fakta meningkatnya ketimpangan wilayah-wilayah di Indonesia bahkan sejak adanya DAU, dapat dikatakan bahwa implementasi DAU kurang efektif.

Sumber: BPS, 2007 – 2009 (diolah)

Gambar 6 DAU, DAK, DBH dan Dana Perimbangan di Pulau Jawa (Tidak Termasuk DKI Jakarta), Tahun 2007 – 2009

Gambar 6 menunjukkan bahwa dana perimbangan yang didominasi oleh DAU yang diberikan oleh pemerintah mengalami peningkatan. Fakta ini

0  10.000.000.000  20.000.000.000  30.000.000.000  40.000.000.000  50.000.000.000  60.000.000.000  70.000.000.000  80.000.000.000  90.000.000.000 

DAU DAK DBH Dana 

Perimbangan

(38)

menjelaskan bahwa tujuan pemberian dana perimbangan untuk memeratakan pembangunan wilayah tidak tercapai. Berdasarkan data empiris dengan menggunakan indeks Theil, ketimpangan di Pulau Jawa cenderung mengalami peningkatan, bahkan pada tahun 2009 mencapai angka tertinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yaitu sebesar 0,4777 (Gambar 7). Ketimpangan wilayah yang terjadi di Pulau Jawa lebih banyak disebabkan oleh ketimpangan antar provinsi dibandingkan ketimpangan dalam provinsi. Indeks Theil yang menunjukkan ketimpangan antar provinsi berada pada kisaran nilai 0,25 sedangkan ketimpangan dalam provinsi berada pada kisaran nilai 0,21.

Kebijakan otonomi daerah menyebabkan kabupaten/kota dan provinsi harus berlomba menunjukkan prestasi yang nyata di tengah persaingan ekonomi yang semakin ketat. Peningkatan kegiatan perekonomian tersebut menimbulkan dominasi ketimpangan antar provinsi terhadap ketimpangan secara keseluruhan. Mobilisasi sumber daya antar kabupaten/kota yang berada di bawah kendali pemerintahan lokal dan provinsi menyebabkan persentase ketimpangan dalam provinsi lebih kecil dibandingkan dengan ketimpangan antar provinsi.

(39)

Sumber: BPS, 2001 – 2009 (diolah)

Gambar 7 Indeks Theil Pulau Jawa Menurut Dekomposisi, Tahun 2001 – 2009

Ketimpangan pendapatan antar wilayah menjadi fenomena penting yang masih terus perlu dikaji dan dianalisis karena sangat menentukan kebijakan yang dapat diambil pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini tidak hanya berusaha mengkaji masalah ketimpangan dari besaran ketimpangannya, namun juga bagaimana wilayah-wilayah saling mendukung dalam mengurangi ketimpangan yang terjadi, sehingga perekonomian menuju kepada tingkat tertentu (konvergen). Kekuatan yang dimiliki suatu wilayah tidak hanya dapat meningkatkan perekonomian wilayah sekitarnya, tetapi juga bisa sebaliknya. Adanya pusat pertumbuhan dapat menjadi rangsangan pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya, namun dapat juga menjadi penyebab pengurasan sumber daya ekonomi terutama tenaga kerja.

Analisis dinamika pendapatan antar wilayah selama ini dilakukan dengan menggunakan data PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) yang mencerminkan seluruh produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Angka ini menunjukkan potensi daerah dalam proses produksi, namun kurang dapat merepresentasikan kemampuan masyarakatnya dalam mencapai kesejahteraan karena data PDRB mencakup kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan luar yang berada di wilayah tersebut. Kegiatan produksi dengan menggunakan modal yang dimiliki oleh penduduk dari luar daerah juga dihitung

0,0000 0,1000 0,2000 0,3000 0,4000 0,5000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Ketimpangan dalam provinsi

(40)

sebagai produksi bruto daerah tersebut sehingga penggunaan data PDRB untuk analisis kesejahteraan masyarakat kemungkinan menyebabkan bias dan pola yang berbeda (Gambar 8). Oleh karena itu analisis konvergensi wilayah berdasarkan data tersebut perlu dibandingkan dengan melihat pendapatan masyarakat. Mengingat sulitnya data tersebut, penghitungan pendapatan masyarakat dilakukan dengan menggunakan pendekatan pengeluaran rumah tangga.

Sumber: BPS (diolah)

Gambar 8 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku, PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 dan Pengeluaran Rumah Tangga Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 (Milyar Rupiah)

Permasalahan utama yang ingin dibahas di dalam penelitian ini adalah bagaimana konvergensi wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah terjadi perbedaan kecepatan pertumbuhan ekonomi antar wilayah di Pulau Jawa?

2. Apakah pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Pulau Jawa dapat saling mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya?

0 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 1.400.000 1.600.000 1.800.000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

(41)

3. Bagaimanakah konvergensi wilayah kabupaten/kota dikaji dari pendekatan pendapatan regional dan pendekatan pengeluaran rumah tangga?

4. Faktor-faktor apa yang memengaruhi terjadinya perbedaan kecepatan pertumbuhan antar wilayah di Pulau Jawa?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini pada intinya bertujuan untuk:

1. Menggambarkan dinamika ketimpangan wilayah di Pulau Jawa.

2. Menguji konvergensi wilayah kabupaten/kota dan membandingkan fenomena konvergensi antar provinsi di Pulau Jawa dikaji dari pendekatan pendapatan regional dan pendekatan pengeluaran rumah tangga.

3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah di Pulau Jawa.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

(42)
(43)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi

Tingkat pertumbuhan perekonomian adalah kondisi dimana nilai riil Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan output (Dornbusch et al., 2008). Penyebab utama dari pertumbuhan ekonomi adalah tersedianya sejumlah sumber daya dan peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi. Konsep PDB digunakan pada tingkat nasional, sedangkan untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota digunakan konsep PDRB. PDB atau PDRB dapat diukur dengan tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran (Tambunan, 2001). Pendekatan produksi dan pendekatan pendapatan adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat (Aggregate Supply - AS) sedangkan pendekatan pengeluaran adalah pendekatan dari sisi permintaan agregat (Aggregate Demand - AD) (Blanchard, 2006).

Teori pertumbuhan ekonomi semakin berkembang dari masa ke masa. Beberapa teori pertumbuhan ekonomi yang menonjol sebagaimana diuraikan Todaro dan Smith (2006) adalah model pertumbuhan neoklasik dan model pertumbuhan endogen. Teori pertumbuhan neo-klasik dimotori oleh Harrod-Domar dan Robert Solow.

(44)

pertumbuhan kapasitas produksi (penawaran agregat) sama dengan investasi (I) dibagi rasio kapital output (k). Melalui manipulasi matematis diperoleh laju pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan permintaan agregat dengan laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS (Marjinal Propensity to Save = s) terhadap COR (Capital Output Rasio = k) atau dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:

= laju pertumbuhan permintaan agregat atau output

K K

= laju peningkatan stok kapital (penawaran agregat)

I I

= laju peningkatan investasi

Menurut Harrod, pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan atas pertumbuhan aktual, pertumbuhan yang diinginkan, dan pertumbuhan alamiah. Pertumbuhan aktual (the actual growth = ΔY/Y) adalah laju pertumbuhan sesungguhnya yang besarnya ditentukan oleh rasio tabungan-output (S/Y) dan rasio tambahan kapital-output (ΔK/ΔY). Kedua besaran ini dianggap konstan dan melalui manipulasi

matematis akan sama dengan tabungan. Pada tingkat laju pertumbuhan aktual, output aktual tidak selalu sama dengan output potensial.

(45)

Mankiw (2007) menyatakan bahwa asumsi fungsi produksi bersifat constant returns to scale output akan meningkat dengan proporsi yang sama apabila kapital dan tenaga kerja digandakan dan input-output yang baru digunakan sepenting input yang telah ada. Input selain kapital, tenaga kerja dan pengetahuan diasumsikan tidak penting. Dari anggapan tersebut model Solow diformulasikan sebagai suatu hubungan fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai fungsi dari kapital per tenaga kerja efektif, yaitu:

y = f(k) ... (2.2)

Dimana:

y = output per tenaga kerja efektif (Y/AL) k = kapital per tenaga kerja efektif (K/AL) Y = output

K = kapital L = tenaga kerja

A = efektivitas tenaga kerja (pengetahuan) AL = tenaga kerja efektif (labor augmented)

Sumber: Mankiw (2007)

Gambar 9 Investasi Aktual dan Break-even

Menurut Solow output nasional hanya digunakan untuk dua tujuan yaitu konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan untuk tujuan investasi bersumber dari tabungan. Sebagai proses akumulasi modal, satu unit investasi

0 Modal per pekerja efektif, k

Investasi break-even, (δ+n+g)k

Investasi aktual, sf(k)

k* Investasi aktual

(46)

menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital per unit tenaga kerja efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual dengan perubahan investasi break-even (yaitu investasi yang diperlukan untuk mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan serta menggantikan penyusutan kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada tetap terpelihara).

Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Sebagaimana ditunjukkan Gambar 9, apabila tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif rendah, investasi aktual per unit tenaga kerja efektif lebih besar dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi stok kapital per tenaga kerja efektif keseimbangan atau laju pertumbuhannya positif. Sebaliknya pada tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif yang tinggi, investasi aktual per unit tenaga kerja lebih kecil dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok

kapital per tenaga kerja efektif sangat rendah sehingga jumlahnya menurun ke posisi stok kapital per tenaga kerja keseimbangan atau laju pertumbuhannya negatif. Dengan demikian stok kapital per tenaga kerja efektif selalu konvergen ke posisi keseimbangannya di titik k*.

Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga kerja efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital total, tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan ilmu pengetahuan. Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja tumbuh sebesar pertumbuhan ilmu pengetahuan.

(47)

ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting kemajuan teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Solow.

Selanjutnya model pertumbuhan endogen dikembangkan untuk memperbaiki teori pertumbuhan ekonomi klasik. Model pertumbuhan neo-klasik berargumen bahwa pertumbuhan output didorong oleh tingkat perkembangan teknologi. Tanpa perkembangan teknologi, tidak akan ada pertumbuhan jangka panjang. Tetapi karena penyebab perkembangan teknologi tidak diidentifikasikan dalam model Solow, maka hal yang mendasari pertumbuhan tidak dijelaskan. Solow menganggap teknologi sebagai faktor eksogen dalam proses proses pertumbuhan (Capello, 2007). Dengan demikian model Solow tidak memperdulikan bagaimana mendorong kemajuan teknologi melalui proses belajar (learning by doing), investasi dalam penelitian dan akumulasi pengetahuan.

Teori pertumbuhan endogen pada awalnya berkembang dalam dua cabang pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia sebagai kunci utama dalam perekonomian, yaitu:

1. Pemikiran yang percaya bahwa knowledge stock adalah sumber utama

bagi peningkatan produktivitas ekonomi.

2. Pemikiran yang menekankan pada pentingnya learning by doing dan human capital dengan introduksi hal-hal baru (yang bersifat eksternal) dalam perekonomian merupakan faktor pendorong bagi peningkatan produktivitas perekonomian.

Pemikiran yang pertama diangkat dan dikembangkan oleh Romer, yang menempatkan stok pengetahuan sebagai salah satu faktor produksi yang semakin meningkat. Sehingga tingkat pertumbuhan dapat terus ditingkatkan sesuai dengan kemampuan masing-masing negara untuk meningkatkan dan menciptakan stok pengetahuan. Oleh karena itu negara maju dengan kemampuan menciptakan pengetahuan yang lebih cepat dibandingkan dengan negara miskin akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding dengan negara miskin. Hal ini sekaligus menolak teori konvergensi dari neo-klasik.

(48)

dalam pertumbuhan agregat neo-klasik sekarang sudah memperhitungkan unsur akumulasi pengetahuan. Tiga elemen utama dalam model Romer yaitu:

1. Adanya unsur eksternalitas, sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan. 2. Adanya peningkatan skala hasil yang semakin meningkat, yang

menyebabkan peningkatan spesialisasi dan pembagian kerja.

3. Semakin pendeknya waktu pemanfaatan ilmu pengetahuan, karena pesatnya perkembangan di sektor riset.

Secara umum model Romer dirumuskan sebagai berikut:

��� =���������� ��� ������ 0 <� < 1; 0 <� < 1 ...….. (2.3)

Dimana: Yi adalah output produksi perusahaan i, Ki adalah stok modal, Li adalah

tenaga kerja, dan K adalah stok pengetahuan/teknologi (technical knowledge) agregat. K diasumsikan mempunyai efek menyebar yang positif terhadap produksi setiap perusahaan.

Pemikiran kedua (teori learning) dikemukakan oleh Lucas melalui model akumulasi human capital. Teori learning memasukkan unsur ekstemalitas yang terkandung dalam peningkatan kapital pada proses produksi. Peningkatan kapital akan meningkatkan stok public knowledge, sehingga secara keseluruhan proses produksi dalam skala yang bersifat increasing return to scale.

Akumulasi modal manusia dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun bukan jalur pendidikan formal (on the job traning). Lucas berpendapat

bahwa ekstemalitas yang dihasilkan oleh investasi dalam pendidikan umum (termasuk kegiatan produksi) serta investasi dalam beberapa kegiatan tertentu inilah yang menyebabkan proses bersifat learning by doing.

Model yang dikembangkan oleh Lucas menggunakan dua jenis modal, yaitu modal fisik dan modal manusia. Rumusan yang digunakan Lukas adalah sebagai berikut:

�� =����(������)������ ...….. (2.4)

Dimana: Yt adalah output produksi, A adalah konstanta, K adalah stok modal, L adalah tenaga kerja, u adalah waktu yang digunakan untuk pekerja untuk berproduksi, H adalah kualitas dari human capital yang merupakan rata-rata banyaknya pengetahuaan yang dimiliki oleh pekerja. Dengan Ht yang meningkat

(49)

dimana Ht bersifat eksternal yang bergantung pada tingkat ketrampilan rata-rata

tenaga kerja dalam perusahaan tersebut.

2.2. Konvergensi

Menurut Barro dan Sala-i-Martin (1995), tingkat pertumbuhan jangka panjang ditentukan oleh variabel eksogen pada steady state, dimana k, y dan c per kapita tidak tumbuh dan variabel agregat K, Y dan C tumbuh pada tingkat laju pertumbuhan penduduk n, yang dalam persamaan dasar model Solow-Swan dinyatakan dengan:

Jika nilai k semakin kecil maka nilai �̇/k lebih besar, ceteris paribus. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian dengan modal per orang yang lebih rendah akan tumbuh lebih cepat atau adanya kecenderungan konvergensi. Suatu daerah/negara yang mulai dengan rasio modal per tenaga kerja yang rendah akan

memiliki tingkat pertumbuhan �̇/k per kapita yang lebih tinggi. Hipotesis bahwa ekonomi yang miskin cenderung tumbuh lebih cepat per kapita dibandingkan yang kaya tanpa melihat karakteristik perekonomian lainnya disebut konvergensi mutlak (absolute convergence) atau konvergensi nonkondisional (unconditional convergence).

Hal ini berbeda dengan konvergensi bersyarat atau kondisional (conditional convergence), yang mengakomodasi heterogenitas perekonomian. Misalnya daerah yang mempunyai stok kapital yang berbeda per jumlah penduduk atau memiliki tingkat tabungan (saving rate) yang berbeda. Pada Gambar 10, kondisi steady state ditentukan oleh persimpangan si . f(k)/k dengan garis (n+δ), dimana

spoor < srich dan k*poor < k*rich, seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pada kondisi

awal k(0)poor < k(0)rich. Secara empiris, dapat dijelaskan bahwa negara-negara yang

mempunyai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi cenderung memiliki tingkat

(50)

yang miskin dan berlaku (�̇/k)poor > (�̇/k)poor. Sebaliknya, apabila daerah kaya

memiliki tingkat tabungan yang lebih tinggi, perekonomian di daerah tersebut akan tumbuh lebih cepat daripada daerah miskin. Oleh karena itu, model yang digunakan untuk memprediksi konvergensi bersyarat menunjukkan bahwa daerah dengan pendapatan per kapita awal yang lebih rendah akan menghasilkan tingkat pertumbuhan per kapita yang lebih tinggi, tetapi dengan mengontrol faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi steady state (Quah, 1995).

Sumber: Barro dan Sala-i-Martin (1995)

Gambar 10 Konvergensi Bersyarat/Kondisional (Conditional Convergence)

2.3. Ketimpangan Wilayah

Capello (2007) menyebutkan bahwa analisis pembangunan wilayah mensyaratkan dua hal, yaitu pertumbuhan absolut yang menunjukkan kemampuan sumber daya yang potensial di wilayah tersebut dan pertumbuhan relatif antar wilayah yang dapat digunakan untuk menginterpretasikan ketimpangan regional dan kemungkinan dari konvergensi pada tingkat pertumbuhannya atau pendapatan rata-ratanya. Disparitas pembangunan ekonomi regional merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan

perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses

k(0)poor k*poor k(0)rich k*rich

spoor . f(k)/k

srich . f(k)/k

(51)

pembangunan ekonomi juga menjadi berbeda. Demikian pula pergeseran komposisi sektor-sektor pembangunan karena aktivitas ekonomi. Tidak mengherankan bila di setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang akibat transformasi dengan kecepatan yang berbeda.

Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Menurut Sjafrizal (2008) upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan ketimpangan pembangunan antar daerah dalam suatu negara/wilayah yaitu: (i) penyebaran pembangunan prasarana perhubungan; (ii) mendorong transmigrasi dan migrasi spontan; (iii) pengembangan pusat pertumbuhan, dan (iv) pelaksanaan otonomi daerah.

Teori pertumbuhan neo-klasik memprediksi hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional dan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesis ini kemudian dikenal sebagai hipotesis klasik. Dalam hipotesis neo-klasik ketimpangan pembangunan pada permulaan proses cenderung meningkat.

Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Dengan kata lain ketimpangan pada negara berkembang relatif lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut relatif lebih rendah. Todaro dan Smith (2006) menunjukkan ketimpangan pembangunan sebagai kurva kuznets berbentuk U terbalik, seperti pada Gambar 11.

(52)

Sumber: Todaro dan Smith (2006)

Gambar 11 Kurva Kuznets tentang Hubungan Pendapatan dan Ketimpangan

Sedangkan di negara yang sudah maju dimana kondisi yang lebih baik dari segi prasarana dan sarana serta kualitas sumber daya manusia, setiap kesempatan peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Oleh sebab itu, proses pembangunan pada negara maju cenderung mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Perbedaan pendapatan rumah tangga

dalam suatu wilayah mencerminkan adanya ketidakmerataan pendapatan. Perbedaan pendapatan tersebut juga mengakibatkan perbedaan pola konsumsi dan pengeluaran konsumsi suatu rumah tangga, sehingga perbedaan pendapatan dapat dilihat dari perbedaan pola konsumsi dan pengeluaran rumah tangga. Pendekatan ini digunakan juga dalam penghitungan distribusi pendapatan, yang menunjukkan porsi pendapatan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga dalam suatu wilayah.

2.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah

Menurut Sjafrizal (2008), ketimpangan pembangunan dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut:

(1) Perbedaan kandungan sumber daya alam, yang akan mempengaruhi kegiatan produksi di daerah tersebut. Daerah yang kaya sumber daya alam dapat memperoduksi barang-barang tertentu dengan harga yang lebih murah sehingga mempercepat pertumbuhan ekonominya.

Kurva Ketimpangan Regional

(53)

(2) Perbedaan kondisi demografis, meliputi tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, tingkat pendidikan dan kesehatan, kondisi ketenagakerjaan, tingkah laku dan etos kerja masyarakatnya.

(3) Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa, yang menyebabkan kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat diperdagangkan/dijual ke daerah lain yang membutuhkan sehingga daerah yang kurang maju tersebut pertumbuhannya lebih lambat.

(4) Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah akan mendorong peningkatan penyediaan lapangan kerja dan juga tingkat pendapatan masyarakat.

(5) Alokasi dana pembangunan antar wilayah (investasi yang ditanamkan). Sumber investasi terdiri dari dua pelaku ekonomi yaitu pemerintah dan swasta.

Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Murty (2000), yang menyatakan bahwa ketimpangan disebabkan oleh:

(1) Faktor geografi: pada suatu wilayah yang cukup luas akan terjadi perbedaan distribusi sumber daya alam, sumber daya pertanian, topografi, iklim, curah hujan, sumber daya mineral dan variasi spasial lainnya.

(2) Faktor sejarah: tingkat perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah sangat tergantung dari apa yang dilakukan pada masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan entrepreneurship.

(3) Faktor politik: politik yang tidak stabil akan menyebabkan ketidakpastian di berbgaai bidang terutama ekonomi, terutama keraguan dalam berusaha atau berinvestasi bahkan dapat menyebabkan terjadinya crowding out ke luar daerah.

(4) Faktor kebijakan: kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor dan lebih menekankan pertumbuhan ekonomi untuk membangun pusat-pusat pertumbuhan di wilayah tertentu akan menyebabkan kesenjangan, baik antar sektor, antar pelaku ekonomi maupun antar daerah.

(54)

(6) Faktor sosial: masyarakat yang tertinggal umumnya tidak memiliki institusi dan perilaku yang kondusif bagi berkembangnya perekonomian karena masih percaya pada kepercayaan yang primitif, tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi.

(7) Faktor ekonomi, yang terkait dengan:

i. Kuantitas dan kualitas faktor produksi: lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi, perusahaan.

ii. Akumulasi dari berbagai sektor: lingkaran setan kemiskinan, kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup yang rendah, efisiensi yang rendah, konsumsi yang rendah, tabungan yang rendah, investasi yang rendah dan tingkat pengangguran yang meningkat. Sebaliknya dengan masyarakat maju, mereka semakin meningkatkan taraf hidupnya.

iii. Kekuatan pasar bebas dan pengaruhnya pada spread effect dan backwash effect: tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktivitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan dan asuransi yang memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkonsentrasi di daerah yang maju. iv. Distorsi pasar: immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi,

keterbatasan ketrampilan tenaga kerja, dan sebagainya.

Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu kebijakan pemerintah, faktor endowment dan hasil-hasil pembangunan. Penelitian ini hanya menganalisis faktor kebijakan pemerintah yang dinyatakan dengan pengeluaran rutin pemerintah, tingkat pembangunan ekonomi yang menunjukkan potensi wilayah dinyatakan dengan share sektor pertanian dan manufaktur, serta hasil pembangunan secara fisik dan non fisik. Infrastruktur dapat digunakan sebagai proksi untuk melihat hasil pembangunan secara fisik, sedangkan tingkat pendidikan yang telah dicapai menyatakan hasil pembangunan secara non fisik.

2.4.1.Peranan Pemerintah dalam Perekonomian

(55)

pemerintah karena adanya kegagalan pasar (market failure). Hal ini dilakukan dengan menyediakan barang dan jasa yang tidak dapat disediakan oleh sistem pasar yang disebut barang publik agar faktor-faktor produksi dapat digunakan secara efisien dalam perekonomian. Fungsi distribusi pemerintah bertujuan untuk menghasilkan distribusi pendapatan yang merata, karena kekuatan dan mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkannya. Distribusi pendapatan yang relatif merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat. Tugas pemerintah adalah memastikan terdapat pembagian pendapatan yang lebih merata di antara kelompok-kelompok masyarakat. Selain itu, pemerintah mempunyai peranan utama sebagai alat stabilisasi perekonomian karena perekonomian yang sepenuhnya diserahkan kepada swasta akan sangat peka terhadap goncangan keadaan, misalnya pengangguran dan inflasi untuk menciptakan stabilitas harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Pemerintah dapat memengaruhi perekonomian makro melalui dua saluran kebijakan: kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal merujuk kepada perilaku pemerintah di bidang pengeluaran dan perpajakan, dengan kata lain kebijakan anggarannya. Kebijakan fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori,

yaitu: kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa, kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan tunjangan veteran) kepada rumah tangga.

(56)

pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi, perubahan kualitas barang publik dan perubahan harga faktor produksi.

Beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran pemerintah menurut Mangkoesoebroto (1997) adalah:

1. Model Rostow dan Musgrave

Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu

proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat.

2. Hukum Wagner

(57)

pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang), yang menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya.

3. Teori Peacock dan Wiseman

Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.

Sejak tahun 2001, pemerintah Indonesia menggunakan tata pemerintahan baru dalam melakukan strategi pembangunan. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah serta Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 33

(58)

(Political Decentralization), Desentralisasi Administratif (Administrative Decentralization), Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization); dan Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization).

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintah dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Implikasi dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah kewenangan pemerintah daerah yang semakin luas dalam mengelola sumber daya yang dimiliki maupun dalam melaksanakan pembangunan. Pemerintah daerah lebih mengetahui keadaan daerahnya sehingga pembangunan dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih baik daripada pemerintah pusat. Apabila terdapat masalah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, masalah tersebut dapat diatasi dengan cepat karena pemerintah daerah lebih mengetahui masalah tersebut dan beban kerja pemerintah daerah juga lebih sedikit daripada pemerintah pusat (Sukirno, 1985). Dengan demikian, Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa

pemerintah daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi dari pemerintah pusat, tetapi daerah dituntut mampu mengembangkan kreatifitas dan inovasi dalam mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Pemerintah daerah dapat lebih berkonsentrasi pada pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal, melakukan alokasi secara lebih efisien pada potensi lokal yang sesuai dengan kebutuhan publik, sehingga meningkatkan kinerja (kemampuan) keuangan daerah.

(59)

dan mengurangi ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance). Pada awal penerapannya, DAU dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran rutin. Sedangkan DBH bertujuan untuk mengurangi ketimpangan pusat – daerah (vertical imbalance). Kebijakan DBH SDA dilakukan agar masyarakat daerah dapat merasakan hasil sumber daya alam yang dimilikinya karena selama pemerintahan sentralistik, hasil SDA lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat. DBH Pajak banyak diperoleh dari kota-kota metropolitan yang merupakan tempat konsentrasi perusahaan dan bisnis.

2.4.2.Tingkat Pembangunan Ekonomi

Teori perubahan struktur perekonomian memperlihatkan hubungan antara besarnya pendapatan per kapita dengan persentase sumbangan berbagai sektor ekonomi terhadap produksi nasional. Peranan berbagai sektor ekonomi pada tingkat pembangunan ekonomi menjadi landasan penentuan sumber-sumber daya ke berbagai sektor ekonomi (Sukirno, 1995). Bagaimana suatu negara mencapai kemajuan dapat melalui cara yang berbeda, tergantung pada sumber daya yang tersedia dan potensi yang dimilikinya termasuk tingkat pendapatan pada awal

pembangunan dan keunggulan komparatif relatif terhadap negara lainnya. Chenery (1980) menyatakan bahwa struktur ekonomi wilayah terbelakang akan berubah dari waktu ke waktu dengan adanya industri-industri baru yang menggantikan pertanian tradisional sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Wilayah yang maju dan terbelakang mempunyai pola pembangunan ekonomi yang tidak sama dengan latar belakang geografis yang berbeda sehingga secara alami ketimpangan wilayah merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Bose et al. (2005) juga meneliti bahwa tingkat pembangunan ekonomi menentukan keuangan publik optimal suatu wilayah.

2.4.3.Pendidikan Tenaga Kerja

(60)

alam serta membangun kehidupan sosial, ekonomi dan politik serta membawa kemajuan bagi pembangunan nasional (Todaro dan Smith, 2006). UNESCO (2008) menyatakan arti penting pendidikan sebagai berikut:

(1) Pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan seseorang sehingga menjadi lebih efektif dan produktif yang pada gilirannya dapat meningkatkan penghasilan secara memadai untuk mendorong peningkatan pendapatan,

(2) Pendidikan berpengaruh terhadap peningkatan derajat kesehatan dan gizi, (3) Pendidikan akan meningkatkan mutu standar hidup,

(4) Pendidikan akan mendorong proses pembangunan sosial melalui penguatan kohesi dalam masyarakat dan membuka peluang serta kesempatan yang lebih baik.

2.4.4.Infrastruktur

Infrastruktur penting bagi kegiatan produksi dan dapat memengaruhi kegiatan ekonomi dalam berbagai cara baik secara langsung maupun tidak langsung. Infrastruktur tidak hanya merupakan kegiatan produksi yang akan menciptakan

output dan kesempatan kerja, namun keberadaan infrastruktur juga memengaruhi efisiensi dan kelancaran kegiatan ekonomi di sektor-sektor lainnya (Gambar 12).

Sumber: Cicilia dalam Sibarani (2002)

Gambar 12 Pengaruh Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Infrastruktur

Pendapatan Rumah Tangga

Pendapatan Dunia Usaha

Peningkatan Kesejahteraan

Pengembangan Pasar

Penurunan Biaya

(61)

World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga, yaitu:

1. Infrastruktur ekonomi, merupakan aset fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi baik dalam produksi maupun konsumsi final, meliputi public utilities (tenaga, telekomunikasi, air minum, sanitasi dan gas), public work (jalan, bendungan, kanal, saluran irigasi dan drainase) serta sektor transportasi (jalan, rel kereta api, angkutan pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya). 2. Infrastruktur sosial, merupakan aset yang mendukung kesehatan dan keahlian

masyarakat, meliputi pendidikan (sekolah dan perpustakaan), kesehatan (rumah sakit dan pusat kesehatan), perumahan dan rekreasi (taman, museum dan lain-lain).

3. Infrastruktur administrasi/institusi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi serta kebudayaan.

Infrastruktur juga dapat digolongkan menjadi infrastruktur dasar dan pelengkap. Infrastruktur dasar (basic infrastructure), meliputi sektor-sektor yang mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (non tradable) dan tidak dapat dipisah-pisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya jalan raya, rel

kereta api, pelabuhan laut, drainase, bendungan, dan sebagainya. Sedangkan infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) misalnya gas, listrik,

telepon dan pengadaan air minum. Infrastruktur dasar biasanya diselenggarakan oleh pemerintah karena sifatnya yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Namun dalam penyediaannya, pemerintah dapat bekerja sama dengan badan usaha sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Walaupun pengadaan infrastruktur bisa dilakukan dengan kerja sama dengan badan usaha yang telah ditunjuk, tidak semua layanan infrastruktur bisa dilaksanakan oleh pihak swasta karena ada layanan infrastruktur yang memerlukan modal yang besar dengan waktu pengembalian yang lama dan resiko investasi yang besar.

Gambar

Gambar 1 PDB Indonesia dan PDRB Pulau Jawa Atas Dasar Harga Konstan
Gambar 2 Persentase Investasi Pulau Jawa terhadap Investasi Nasional, Tahun
Gambar 3 Jumlah Penduduk Miskin di Pulau Jawa dan Indonesia, Tahun 2001
Tabel 1 Indeks Gini Indonesia Menurut Daerah, Tahun 2002 – 2009
+7

Referensi

Dokumen terkait

a) surat permohonan izin cerai , yang disertai alasan-alasanya. b) foto Kopi akta nikah. c) foto kartu Tanda anggota (KTA) Polri/PNS Polri.. Sesuai dengan peraturan yang berlaku

Pelatihan mengajar mandiri dilaksanakan dengan tujuan agar praktikan berlatih dalam hal penguasaan kelas. Dalam hal ini, praktikan dapat berlatih untuk berkreasi

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan komunikasi total memiliki pengaruh positif pada pembelajaran Pendidikan agama Islam pada anak tunarungu di Yayasan

• CIMB Niaga tidak memberikan pernyataan atau jaminan sehubungan dengan barang atau layanan yang diberikan berkaitan dengan CIMB Smart Rewards 2015 dan tidak berarti CIMB

penelitian Illing (1916), yang menunjukkan bahwa endapan sedimen dalam cekungan tertentu cenderung mengandung kumpulan mineral berat tertentu, telah mendorong munculnya apa

Perancangan sistem kerja merupakan cara bagaimana sistem berkerja dan komponen alat yang dibutuhkan yang akan dikerjakan,dalam sistem kerja dapat digambarkan dalam

Pada bab ini penulis berupaya mengemukakan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian berdasarkan analisa data dari penelitian yang dilakukan mengenai peran ibu

Bahwa Terdakwa pada waktu (waktu-waktu) dan di tempat (tempat- tempat) sebagaimana tersebut di bawah ini yaitu pada hari Rabu tanggal enam belas bulan September