• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Ekosistem Mangrove Untuk Ruang Terbuka Hijau Sebagai Mitigasi Gas Rumah Kaca

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Ekosistem Mangrove Untuk Ruang Terbuka Hijau Sebagai Mitigasi Gas Rumah Kaca"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE UNTUK RUANG

TERBUKA HIJAU SEBAGAI MITIGASI GAS RUMAH KACA

(Studi Kasus: Sungai Tallo Kota Makassar)

RAHMAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Ekosistem Mangrove untuk Ruang Terbuka Hijau sebagai Mitigasi Gas Rumah Kaca adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016 Rahman

(4)

RINGKASAN

RAHMAN. Pengelolaan Ekosistem Mangrove untuk Ruang Terbuka Hijau sebagai Mitigasi Gas Rumah Kaca (Studi Kasus : Sungai Tallo Kota Makassar). Dibimbing oleh HEFNI EFFENDI dan IMAN RUSMANA.

Tiga gas utama pemicu pemanasan global adalah CO2, CH4, dan N2O.

Ekosistem mangrove memiliki kemampuan menyerap CO2 lebih tinggi

dibandingkan dengan ekosistem lainnya. Namun upaya pengelolaan mangrove sebagai kawasan ruang terbuka hijau dan penyimpan stok karbon masih belum maksimal. Makassar adalah kota yang membutuhkan ruang terbuka hijau sebagai kawasan penyuplai oksigen dan penyerap CO2. Kota Makassar memiliki Sungai

Tallo yang sepanjang bantarannya ditumbuhi vegetasi mangrove dan potensial untuk dikelola sebagai ruang terbuka hijau.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui stok karbon, serapan karbon dan fluks gas rumah kaca di sungai Tallo kota Makassar untuk selanjutnya dikelola sebagai ruang terbuka hijau. Kerapatan mangrove diukur menggunakan plot berukuran 10x10 m2. Selanjutnya dilakukan pengukuran diameter setinggi dada

untuk mangrove jenis pohon serta diameter pangkal atau pelepah untuk mangrove jenis Nypa sebagai parameter untuk mengetahui nilai biomassa. Stok karbon diperoleh dari perkalian biomassa dengan fraksi karbon. Serapan karbon diperoleh dari perkalian stok karbon dengan nilai perbandingan massa karbon dioksida terhadap massa karbon. Pengambilan sampel gas dilakukan dengan meletakkan sungkup berukuran 0,5x0,5x1 m3 pada substrat mangrove. Sample gas diambil melalui syiringe 100 ml selama frekuensi pasang surut. Analisis konsentrasi gas diukur menggunakan kromatografi gas.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Sungai Tallo ditumbuhi mangrove yang didominasi oleh spesies Nypa fruticans dengan kerapatan total 4238 ind/ha, menyimpan karbon sebesar 18,58 ton C/ha, menyerap 68,12 ton CO2/ha. Spesies

dominan kedua adalah Rhizophora mucronata dengan kerapatan total 2354 ind/ha, menyimpan karbon sebesar 19,96 ton C/ha, menyerap 73,17 ton CO2/ha. Spesies

dominan ketiga yaitu Avicennia alba dengan kerapatan total 3228 ind/ha, menyimpan karbon sebesar 71,96 ton C/ha, menyerap 263,85 ton CO2/ha. Fluks gas

CO2 saat pasang sebesar 204,84 mg/m2/jam dan 183,81 mg/m2/jam saat surut atau

dengan total 388,65 mg/m2/jamatau 3,40 kg/m2/thn, fluks gas CH

Nilai kerapatan dan kemampuan serapan mangrove tersebut sangat sesuai untuk dikelola untuk ruang terbuka hijau sebagai penyuplai udara segar dan penyerap CO2 bahkan sebagai peredam kebisingan dari mesin kendaraan ataupun

industri di kota Makassar. Selain itu, sekitar 89% masyarakat sangat setuju dan mendukung pemerintah dalam upaya pengelolaan mangrove sebagai ruang terbuka hijau.

(5)

SUMMARY

RAHMAN. Mangrove Ecosystem Management for Green Open Spaces as Greenhouse Gases Mitigation (Case Study : Tallo River Makassar City). Supervised by HEFNI EFFENDI and IMAN RUSMANA.

Three of the most gases triggering global warming are CO2, CH4, and N2O.

Mangrove ecosystems have the ability to absorb CO2 higher compared to other

ecosystems. However, measurment to manage of mangroves as green open spaces and carbon stores are still not maximal. Makassar is a city in needs green open spaces as oxygen supply and CO2 absorber area. Makassar has the Tallo River where the banks are

overgrown with mangrove vegetations that potential to be managed as green open spaces. This study aimed to determine the carbon store, carbon absorption and the flux of greenhouse gases in the Tallo River further management as green open spaces. Mangrove density was measured using 10x10 m2 plot method. Then diameter at breast height (dbh) was measured for tree mangroves and base or stem diameter for Nypa mangroves as parameters to determine biomass amounts. Carbon stock were obtained from multiplying of the biomass with carbon fraction ratio. Carbon absorption was obtained from multiplying carbon stock with the ratio of carbon dioxide mass to carbon mass. Gas sampling was taken by closing the sample plots area with a 0,5x0,5x1 m3 chamber. The gas samples were taken with a 100 ml syringe during tidal frequencies. The gas concentration was measured using gas chromatography.

Observation results showed that the Tallo River was dominated by the Nypa fruticans species with total density of 4238 trees/ha, the carbon stock was 18,58 tonne C/ha, and the capacity of carbon absorbtion was 68,12 tonne CO2/ha. The second

dominant species was the Rhizophora mucronata with total density of 2354 trees/ha, the carbon stock was 19,96 ton C/ha, and carbon absorbtion capacity was 73,17 ton CO2/ha.

The third dominant species was the Avicennia alba with total density of 3228 trees/ha, the carbon stock was 71,96 ton C/ha, and carbon absorbtion capacity was 263,85 ton CO2/ha. The fluxes of CO2 on the mangrove ecosystem were 204,84 mg/m2/hour during

high tide and 183,81 mg/m2/hour during low tide or the total was 388,65 mg/m2/hour or 3,40 kg/m2/year. While the flux of CH4 was 0,75 mg/m2/hour during high tide and 0,62

mg/m2/hour during low tide or the total was 1,37 mg/m2/hour or 0,012 kg/m2/year.And

the flux of N2O was 0,141 mg/m2/hour during high tide and 0,145 mg/m2/hour during low

tide or the total was 0,286 mg/m2/hour or0,0025 kg/m2/year.

The amount of density and carbon absorbtion capacity were appropriate to be managed to green open spaces as supplier of fresh air and absorber of CO2 even as noise

control against motor vehicles or industrial machinery in Makassar City. Besides that, about 89% of the community agree very much and support the government in their efforts to manage mangroves as green open spaces.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE UNTUK RUANG

TERBUKA HIJAU SEBAGAI MITIGASI RUMAH KACA

(Studi Kasus: Sungai Tallo Kota Makassar)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Pengelolaan Ekosistem Mangrove untuk Ruang Terbuka Hijau sebagai Mitigasi Gas Rumah Kaca (Studi kasus : Sungai Tallo Kota Makassar)

Nama : Rahman

NIM : C252140181

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Hefni Effendi, MPhil Ketua

Dr Ir Iman Rusmana, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dr Ir Achmad Fahrudin, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji syukur ke Hadirat ALLAH Subhanahu wa ta’ala karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Banyak hal yang terjadi berkat kuasa-Nya sehingga segala sesuatunya dimudahkan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam, beserta keluarganya, sahabat-sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti beliau hingga hari kiamat.

Tesis ini berjudul “Pengelolaan Ekosistem Mangrove untuk Ruang Terbuka

Hijau sebagai Mitigasi Rumah Kaca (Studi Kasus : Sungai Tallo Kota Makassar), dibawah bimbingan Dr. Ir Hefni Effendi, M.Phil dan Dr.Ir. Iman Rusmana, M.Si. Selama proses penyelesaian karya ilmiah ini, mulai dari kolokium, penelitian hingga ujian akhir penulis menghaturkan terima kasih kepada bapak Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil selaku ketua komisi pembimbing dan bapak Dr.Ir. Iman Rusmana, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan ilmu dan arahan bermakna sehingga tesis atau karya ilmiah ini dapat terselesaikan tepat waktu. Ucapan terima kasih juga saya tujukan kepada kedua orang tua dan keluarga yang selalu memberikan doa-doa terbaiknya kepada penulis. Terima kasih kepada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang telah memberikan beasiswa penuh kepada penulis. Terima kasih kepada pemerintah desa Lakkang, Kecamatan Tallo, Kota Makassar yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan kepada penulis selama menjalankan penelitian. Terima kasih kepada pengelola laboratorium Mikrobiologi dan Kimia Organik Unhas atas fasilitas dan bantuan selama penulis melakukan penelitian. Terima kasih kepada teman-teman MSP Unhas dan SPL IPB 2014 yang telah memberikan tenaga dan ide-ide cemerlang selama proses penelitian hingga penyelesaian tesis.

Ungkapan terima kasih yang paling dalam buat istri saya tercinta “Yurmayana” wanita terhebatku yang selalu setia mendampingi dan memberikan motivasi selama proses penulisan tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa meskipun tulisan ini telah disusun dengan usaha yang semaksimal mungkin, namun bukan mustahil bila di dalamnya terdapat berbagai kekurangan. Oleh karena itu penulis dengan segala kerendahan hati dan kelapangan dada akan menerima setiap saran dan kritik untuk perbaikan dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini dan untuk pelajaran dimasa yang akan datang.

Harapan penulis semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Akhir kata semoga ALLAH Subhanahu wa ta’ala memberikan balasan yang setimpal kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam pengembangan diri dikemudian hari dan senantisa menunjukkan jalan yang terbaik untuk kita serta dapat menuntun kita untuk terus bekerja dengan tulus, Aamiin.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Kerangka Pemikiran 3

2 METODE 5

Waktu dan Tempat Penelitian 5

Metode Pengumpulan Data 5

Prosedur Analisis Data 6

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Kondisi Umum Ekosistem Mangrove 8

Parameter Suhu dan Salinitas 9

Biomassa, Stok dan Serapan Karbon (CO2 Ekivalen) 9

Fluks Gas Rumah Kaca 12

Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Mangrove 16 Ekosistem Mangrove sebagai Ruang Terbuka Hijau 17

4 SIMPULAN DAN SARAN 19

Simpulan 19

Saran 19

DAFTAR PUSTAKA 20

LAMPIRAN 23

(12)

DAFTAR TABEL

1 Persamaan alometrik beberapa spesies mangrove 6 2 Nilai fraksi karbon beberapa spesies mangrove 7

3 Spesies, jumlah dan kerapatan mangrove 8

4 Rata-rata suhu dan salinitas di sungai Tallo, Makassar 9 5 Rata-rata suhu, salinitas, dan pH di sungai Tallo kota Makassar 12

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran 4

2 Peta lokasi penelitian dan titik pengamatan 5 3 Pola zonasi mangrove di sungai Tallo, Makassar 8 4 Biomassa mangrove tiap individu, jumlah individu dan kerapatan 10 5 Stok karbon mangrove tiap individu, jumlah individu dan kerapatan 11 6 Serapan karbon CO2 tiap individu, jumlah individu dan kerapatan 12

7 Fluks gas CO2 pada ekosistem mangrove Sungai Tallo, Makassar 13

8 Fluks gas CH4 pada ekosistem mangrove Sungai Tallo, Makassar 14

9 Fluks gas N2O pada ekosistem mangrove Sungai Tallo, Makassar 15

10 Tanggapan Masyarakat terhadap Mangrove dan Fungsinya 16 11 Tingkat Partisipasi Masyarakat terhadap Pengelolaan Mangrove 17

DAFTAR LAMPIRAN

1 Dokumentasi penelitian 23

2 Grafik analisis regresi hubungan diameter pangkal dan

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gas rumah kaca (GRK) merupakan gas di atmosfer yang berfungsi menyerap radiasi infra merah dan ikut menentukan suhu atmosfer. Adanya berbagai aktivitas manusia, khususnya sejak era pra-industri emisi gas rumah kaca ke atmosfer mengalami peningkatan yang sangat tinggi sehingga meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Hal ini menyebabkan timbulnya masalah pemanasan global dan perubahan iklim (KLH 2012).

Pemanasan global dan perubahan iklim global merupakan salah satu peristiwa penting yang cukup ditakuti, bukan saja di Indonesia, tetapi juga berkembang menjadi isu global yang dibicarakan oleh hampir seluruh kalangan internasional (Riani 2012). Kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4) yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia

seperti pembakaran bahan bakar fosil, kendaraan bermotor dan mesin industi yang menyebabkan gas karbon terakumulasi (IPCC 2001). Tidak hanya CH4 dan CO2,

N2O juga memberikan pengaruh yang besar terhadap gas rumah kaca (GRK). Saat

ini menurut IPCC (2007), persentase peningkatan emisi gas rumah kaca antara tahun 1970 hingga 2004 telah mencapai 70%. DeFries et al. (2002) menyatakan bahwa aktivitas penebangan pohon memiliki kontribusi yang besar dalam menambah karbon ke atmosfer sehingga berpotensi terhadap peningkatan GRK. Disisi lain berbagai upaya pengalihan fungsi ruang terbuka hijau menjadi lahan pemukiman baik yang ada di tengah perkotaan maupun di wilayah pesisir terus terjadi yang akhirnya menyebabkan volume penyerapan CO2 semakin berkurang.

Kota Makassar adalah central Indonesia Timur. Berbagai upaya pembangunan telah dilakukan pemerintah demi mewujudkan Makassar sebagai kawasan terkemuka di Indonesia timur. Upaya pembangunan kota dapat terlihat dari pemandangan fisik kota yang mempunyai kecenderungan meminimalkan ruang terbuka hijau dan menghilangkan visualisasi alamnya. Gejala pembangunan di wilayah perkotaan ini membawa konsekuensi dengan semakin meningkatnya kebutuhan lahan untuk mengakomodasi pembangunan kota sehingga penggunaan lahan kosong yang selama ini cukup potensial sebagai ruang terbuka hijau mengalami penurunan yang sangat drastis.

Pembangunan ruko-ruko telah menjadi pilihan bagi masyarakat dan pemerintah kota Makassar. Hampir menyeluruh di sepanjang jalan kota Makassar,

(14)

2

ditetapkan oleh World Health Organisation (WHO). WHO menetapkan bahwa untuk setiap kota harus memiliki kawasan hijau 9m2 per penduduk sementara Makassar hanya memiliki 3m2 per penduduk. Keberadaan ruang terbuka hijau di kawasan Makassar dapat mengurangi terjadinya pencemaran udara dan dengan kemampuan infiltrasinya mampu mengatasi banjir/genangan air, sehingga di perlukan kawasan baru yang dapat menjadi alternatif sebagai RTH kota Makassar. Salah satu lahan yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai ruang terbuka hijau (RTH) sebagai upaya dalam mitigasi gas rumah kaca (GRK) di Kota Makassar adalah Bantaran Sungai Tallo. Sungai Tallo adalah sungai yang membelah kota Makassar, bermuara di dua kabupaten/kota antara Kota Makassar dan Kabupaten Gowa, dan bermuara di Selat Makassar dengan panjang 10 km. Kawasan ini dikelilingi oleh vegetasi mangrove yang beragam, terutama di dominasi jenis Nypah, Avicennia dan Rhizophora. Hal ini sesuai dengan pernyataan Beddu (2011) yang menyatakan bahwa bantaran sungai ini ditumbuhi pohon-pohon Nipa dan bakau yang telah menghutan. Selain itu ia juga menyaakan bahwa keanekaragaman tumbuhan yang telah tumbuh pada bantaran sungai Tallo, akan menjadi elemen dasar untuk konservasi lansekap alami.

Pengelolaan ekosistem mangrove sebagai kawasan ruang terbuka hijau sangatlah tepat karena mampu menyerap gas CO2 yang ada di atmosfer sehingga

dapat mengiurang efek perubahan iklim global akibat gas rumah kaca. Menurut Hairiah & Rahayu (2007), dan Komiyama et al. (2008) menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki peranan yang penting dalam mengurangi efek gas rumah kaca sebagai mitigasi perubahan iklim karena karena mampu mereduksi CO2

melalui mekanisme “sekuestrasi”, yaitu penyerapan karbon dari atmosfer dan penyimpanannya dalam beberapa kompartemen seperti tumbuhan atau biomassa, serasah dan materi organik tanah. Hal ini sejalan dengan Siddique et al. (2012) dan Alemaheyu et al. (2014) yang menyatakan bahwa tumbuhan mangrove memiliki kemampuan yang baik dalam menyerap karbon bahkan mencapai 296 ton CO2/ha

dan lebih baik dibandingkan dengan vegetasi tumbuhan lainnya.

Selain menyerap karbon, pada ekosistem mangrove juga terjadi fluks gas rumah kaca seperti CH4, CO2 maupun N2O. Gas CO2 terbentuk melalui proses

dekomposisi bahan serasah oleh mikroba namun dengan konsentrasi yang lebih kecil dibandingkan dengan gas CH4. Fluks gas CH4 bertumpu pada kegiatan

antropogenik, dimana hampir 70% CH4 berasal dari sumber-sumber antropogenik

dan sekitar 30% berasal dari sumber-sumber alami. Sedangkan gas N2O terbentuk

dari aktifitas mikroorganisme dalam tanah melalui proses reaksi kimia berupa nitrifikasi ataupun denitrifikasi serta kegiatan manusia (antropogenik) yang berkaitan erat dengan pembakaran fosil, pembakaran biomas, dan pertanian (Davidson et al. 2000; IPCC 2001).

Gas CO2, CH4 dan N2O yang dihasilkan oleh aktivitas mikroba yang terjadi

(15)

3

Rumusan Masalah

Sebagai pusat kota di Indonesia timur, Makassar terus berproses dan menggencarkan pembangunan guna mencapai tujuan sebagai salah satu kota dunia. Berbagai pembangunan terus dilakukan yang berdampak pada berkurangnya lahan-lahan hutan atau vegetasi alami lainnya seperti ekosistem mangrove di kawasan sungai Tallo. Pembangunan yang semakin pesat baik industri maupun transportasi bahkan pemukiman-pemukiman elit akan cenderung memicu terjadinya pemanasan global dan kebisingan ditengah kota. Jika hal tersebut tidak segera diatasi maka laha-lahan penyerap CO2 akan berkurang dan akibatnya peningkatan suhu di kota

Makassar tak akan terelakkan lagi. Oleh karena itu diperlukan strategi pengelolaan terhadap ekosistem mangrove yang terdapat di Sungai Tallo kota Makassar yang dianggap mampu menyerap gas-gas rumah kaca. Dalam pengelolaannya peranan pemerintah dan partisipasi masyarakat sangat diperlukan guna mewujudkan kawasan tersebut sebagai ruang terbuka hijau.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut maka dapat dirumuskan beberapa pertannyaan sebagai berikut:

1. Berapa nilai fluks gas rumah kaca CO2, CH4, dan N2O pada ekosistem

mangrove yang terdapat di sungai Tallo, Makassar.

2. Berapa nilai stok karbon tiap jenis spesies mangrove yang terdapat di bantaran sungai Tallo, Makassar

3. Apa peranan ruang terbuka hijau (RTH) terhadap mitigasi gas rumah kaca (GRK)

4. Apakah pemerintah dan masyarakat berperan atau berpartisipasi dalam pengelolaan magrove sebagai kawasan ruang terbuka hijau

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui struktur komunitas mangrove di sungai Tallo Kota Makassar 2. fluks gas CO2, CH4, dan N2O pada ekosistem mangrove yang terdapat di

sungai Tallo.

3. Mengetahui kemampuan ekosistem mangrove dalam menyerap dan menyimpan karbon (carbon stock)

4. Mengetahui peranan ekosistem mangrove dalam pengelolaannya sebagai ruang terbuka hijau

5. Mengetahui peranan pemerintah dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ruang terbuka hijau

Manfaat Penelitian

(16)

4

Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran atau alur pikir yang digunakan di dalam penelitian ini adalah mencari fluks gas rumah kaca (GRK) yang meliputi CH4, CO2 dan N2O dan

stok karbon pada ekosistem mangrove sehingga dapat dijadikan acuan dalam pengelolaannya sebagai kawasan RTH dalam upaya mitigasi GRK khususnya di kota Makassar (Gambar 1). Secara umum kerangka pemikiran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

(17)

5

2

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada Agustus-Desember 2015 di kawasan ekosistem mangrove sungai Tallo kota Makassar. Lokasi penelitian terletak pada koordinat

5°07 3 L 119°25 19,86 BT dan dibagi 3 stasiun serta 12 titik pengamatan (Gambar 2) yaitu:

1. Stasiun I (satu) : jembatan sungai Tallo - pulau Lakkang (6 titik pengamatan) 2. Stasiun II (dua) : pulau Lakkang - jembatan tol (4 titik pengamatan)

3. Stasiun III (tiga) : jembatan tol - muara sungai Tallo (2 titik pengamatan).

Gambar 2 Peta lokasi penelitian dan titik pengamatan

Metode Pengumpulan Data

Pengukuran Parameter Suhu, Salinitas, dan pH

Pengukuran suhu, salinitas dan pH di tiga stasiun pengamatan terutama pada tiap sungkup dilakukan dengan menggunakan termometer batang, handrefractometer, dan pH meter. Pengukuran suhu, salinitas, dan pH dilakukan selama frekuensi pasang surut hingga 6 kali dengan ulangan masing-masing 3 kali.

Pengukuran Stok dan Serapan Karbon Mangrove

(18)

6

tipe vegetasi tegakan pohon setelah dilakukan pengukuran diameter batang setinggi dada (DBH = 1,3 m). Untuk tipe palem seperti mangrove jenis Nypa dilakukan pengukuran biomassa dengan menebang mangrove pada range diameter (pangkal dan pelepah) dari terkecil hingga yang terbesar sekitar 10-15 pohon dengan terlebih dahulu melakukan pengukuran terhadap berat basah, berat kering dan massa jenis mangrove

Pengambilan Sampel Gas

Pengambilan sampel gas dilakukan dengan cara menutup petak contoh (substrat) di lahan ekosistem mangrove dengan sungkup berukuran 0,5x0,5x1 m3

(Ye et al. 2000). Sungkup diletakkan pada masing-masing stasiun mangrove secara acak (purposive sampling). Sampel gas diambil dari dalam sungkup menggunakan syringe. Pengambilan gas dilakukan selama frekuensi pasang surut (pasang tertinggi dan surut terendah) dengan 2 kali pengulangan pada tiap sungkupnya.

Data Persepsi Masyarakat

Dalam upaya pengelolaan suatu ekosistem maka dukungan dan partisipasi masyarakat sangat ditentukan oleh persepsi masyarakat itu sendiri. Berdasarkan kondisi tersebut maka untuk mengetahui persepsi masyarakat di sekitar bantaran sungai tallo khususnya di kecamatan Tallo dapat dilakukan dengan pengisian kuesioner wawancara mendalam terhadap responden yang dipilih secara purposive sampling. Responden yang dipilih adalah masyarakat atau pihak yang memiliki keterkaitan dengan kawasan mangrove seperti nelayan budidaya, pelaku wisata, tokoh masyarakat, pemerintah desa, dan pihak lainnya.

Prosedur Analisis Data

Analisis Kerapatan Mangrove

Kerapatan mangrove dianalisis dengan rumus:

� ������� �� /ℎ� = ℎ � � � � −� �

Analisis Stok dan Serapan Karbon

Besarnya stok dan serapan karbon (CO2 ekivalen) pada tiap jenis vegetasi

pohon dianalisis dengan terlebih dahulu menghitung biomassa pohon berdasarkan persamaan alometrik yang telah dikembangkan sebelumnya (Tabel 1) kemudian dikalikan dengan nilai fraksi karbon menurut Kementerian Kehutanan (2012) seperti pada tabel 2.

Tabel 1 Persamaan Allometrik Beberapa Spesies Mangrove.

Jenis mangrove Persamaan alometrik Sumber

Avicennia sp. B = 0.251 ρ (D)2.46 Komiyama et al. (2005)

Bruguiera cylindrica B = 0.251 ρ (D)2.46 Komiyama et al. (2005)

(19)

7 Stok dan serapan karbon Nypa fruticanus dihitung dengan mengukur biomassa atau berat kering total melalui proses pengeringan subcontoh mangrove pada suhu 130⁰C selama 48 jam lalu dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (Hairiah & Rahayu 2007).

Berat kering (kg) = ℎ � � �

ℎ ℎ � x Berat Basah (kg)

Tabel 2 Nilai fraksi karbon beberapa spesies mangrove (Kemenhut 2012).

Jenis mangrove Fraksi C (%) Jenis Mangrove Fraksi C (%)

Avicennia sp. 47 Sonneratia alba 47

Bruguiera cylindrica 46 Bruguiera gymnorhiza 47

Rhizophora mucronata 46 Nypa fruticans 39

Rhizophora apiculata 46 Avicennia marina 47

Nilai serapan karbon pada tiap luasan ekosistem ditentukan berdasarkan nilai kerapatan mangrove dan dihitung dengan persamaan CO2 ekivalen sebagai berikut:

CO2 (kg CO2/ha) = Mr. �2 �/

Ar.C g/ o x stok karbon (kg/ha)

Analisis Fluks Gas

Konsentrasi gas CH4, CO2, dan N2O dianalisis dengan metode kromatografi

gas (Chen et al. 2010). Fluks gas rumah kaca akan dihitung dengan persamaan

Keterangan : F = Fluks gas (mg/m2/jam), = perbedaan konsentrasi gas persatuan waktu (ppm/jam), Vch = Volume sungkup (m3), Ach = luas sungkup (m2), mW =

berat molekul gas (g/mol), mV = tetapan volume molekul gas (22,4 L), T = suhu rata-rata selama pengambilan gas (⁰C), 273,2 = tetapan suhu Kelvin.

Analisis Persepsi Masyarakat

Analisis dilakukan dengan menghitung persentasi responden terhadap jawaban tertentu kemudian menganalisis secara deskriptif berdasarkan kecenderungan jawaban dari sejumlah responden.

Analisis Pengelolaan Mangrove sebagai Ruang Terbuka Hijau

(20)

8

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Ekosistem Mangrove

Sungai Tallo adalah sungai sepanjang bantaran sungai ditumbuhi oleh mangrove yang didominasi spesies Nypa fruticans, Rhizophora mucronata, dan Avicennia alba. Tabel 3 menunjukkan bahwa kerapatan mangrove terbesar ditunjukkan oleh spesies Nypa fruticans dengan jumlah 18435 individu dan kerapatan total 4238 ind/ha, Rhizophora mucronata 8492 individu dengan kerapatan 2354 ind/ha, dan Avicennia alba dengan jumlah 2421 individu dan kerapatan 3228 ind/ha. Gambar 3 menunjukkan bahwa pola pertumbuhan mangrove di sungai Tallo telah membentuk pola zonasi yang teratur sesuai tingkat salinitas perairan. Nypa fruticans tumbuh ke arah darat di daerah payau, kisaran salinitas 15-20 psu, Rhizophora mucronata tumbuh di antara daerah Nypa dan Avicennia alba, kisaran salinitas 20-25 psu, Avicennia alba tumbuh di daerah muara yang langsung berhadapan dengan laut dan kisaran salinitas 25-32 psu. Hasil tersebut relatif sama dengan pernyataan Noor et al. (2006) yang menyatakan bahwa mangrove spesies Nypa fruticans menempati daerah yang tertutup ke arah darat, Rhizophora sp. menempati daerah di antara Avicennia sp. dan Nypa fruticans sedangkan Avicennia menempati daerah yang secara langsung berhadapan dengan laut dan merupakan mangrove terbuka. Spesies Nypa fruticans menjadi dominan karena secara umum sungai Tallo memiliki salinitas yang cenderung payau dan sesuai untuk kehidupan dan pertumbuhan Nypa fruticanus.

Tabel 3 Spesies, jumlah dan kerapatan mangrove

Stasiun

Spesies

∑ (∑Ni) Nypa fruticans Rhizophora mucronata Avicennia alba

∑Ni (ind) Ki (ind/ha) ∑Ni (ind) Ki (ind/ha) ∑Ni (ind) Ki (ind/ha)

I 16537 6300 15 15 3 3 16555

II 1898 1100 4072 2400 3 3 5970

III 0 0 4405 2300 2415 2415 6810

Total 18435 4238 8492 2354 2421 3228 29335

Keterangan: ∑Ni = jumlah individu spesies ke-i, ∑ (∑Ni) = jumlah total spesies, Ki = kerapatan

(21)

9

Parameter Suhu dan Salinitas

Hasil pengukuran terhadap suhu menunjukkan bahwa suhu rata-rata di lokasi penempatan sungkup saat pasang yaitu 27,5 ⁰C di stasiun 1, 28 ⁰C di stasiun 2, dan 29,5 ⁰C di stasiun 3. Suhu rata-rata saat surut yaitu 28,9 ⁰C di stasiun 1, 29,5 ⁰C di stasiun 2, dan 31 ⁰C di stasiun 3. Adapun hasil pengukuran salinitas saat pasang yaitu 20 psu di stasiun 1, 25,5 psu di stasiun 2, dan 32 psu di stasiun 3. Salinitas pada saat surut di masing-masing stasiun berturut-turut yaitu 19,6 psu, 25 psu, dan 31 psu (Tabel 4).

Tabel 4 Rata-rata suhu dan salinitas di sungai Tallo kota Makassar Stasiun Suhu (⁰C) Salinitas (psu)

Biomassa, Stok dan Serapan Karbon (CO2 Ekivalen)

Biomassa

Secara umum nilai biomassa setiap spesies mangrove berbeda dan dipengaruhi oleh kemampuan sekuestrasi yang dapat dianalisis berdasarkan nilai massa jenis, diameter pohon ataupun ketinggiannya. Hasil analisis berat kering total pada tiap spesies Nypa fruticans yaitu 13,15 kg/ind dengan rata-rata diameter pangkal dan diameter pelepah yakni 23,94 cm 4,00 cm. Hasil analisis model allometrik untuk spesies Nypa fruticans terhadap hubungan diameter pangkal dan biomassa serta diameter pelepah dan biomassa yakni = 0.098(DB)1.4934 dengan nilai korelasi 99,1%, dan B = 0.222(DS)2.7048 dengan nilai korelasi 96,4%. Sehingga model yang lebih mendekati untuk menduga estimasi biomassa Nypa adalah yang berdasarkan diameter pangkal.

Oleh karena itu, dengan rata-rata diameter pangkal 23,94 cm dan luas area tumbuh serta tingkat kepadatan mangrove, maka nilai total biomassa Nypa fruticanus yaitu 207,23 ton. Nilai biomassa ini lebih besar dibandingkan biomassa Rhizophora mucronata dan Avicennia alba dengan nilai biomassa masing-masing 156, 51 ton dan 114, 83 ton. Hal ini terjadi karena kepadatan Nypa fruticans dan luas area tumbuhnya lebih besar dibandingkan dengan spesies Rhizophora mucronata dan Avicennia alba. Nilai biomassa Avicennia alba yaitu 47,43 kg/ind atau 153,10 ton/ha dan lebih besar dibandingkan Nypa fruticanus dan Rhizophora mucronata dengan nilai masing-masing 18,43 kg/ind atau 47,64 ton/ha dan 13,15 kg/ind atau 43,38 ton/ha (Gambar 4). Hal ini dapat terjadi karena nilai massa jenis Avicennia alba sebesar 0,74 kg/dm3 dan lebih besar dibandingkan spesies Nypa

fruticans dan Rhizophora mucronata dengan massa jenis masing-masing 0,15 kg/dm3 dan 0,69 kg/dm3.

(22)

10

di ekosistem mangrove Muara Gembong, Bekasi (Rachmawati 2014) dan Indragiri Hilir Riau (Hilmi 2003) dengan nilai masing-masing yakni 34,31 ton/ha dan 11,78 ton/ha. Biomassa Avicennia alba di sungai Tallo lebih besar dibandingkan dengan yang terdapat di mangrove Muara Gembong, Bekasi (Rachmawati 2014) dan lebih kecil dibandingkan dengan biomassa Avicennia alba yang terdapat di ekosistem mangrove Taman Nasional Alas Purwo (Heriyanto 2012) dengan nilai masing- masing yakni 4,78 ton/ha dan 217,22 ton/ha. Perbedaan niai biomassa tiap spesies yang sama pada ekosistem yang berbeda dapat terjadi karena adanya kerapatan mangrove atau perbedaan jumlah tegakan pohon yang ditemukan pada tiap luasan area.

Gambar 4. Biomassa mangrove pada tiap individu, jumlah individu dan kerapatan.

Stok Karbon

Hasil analisis stok karbon total berdasarkan nilai biomassa, jumlah individu mangrove dan luas area tumbuh serta fraksi karbon pada tiap spesies yaitu 80,82 ton C Nypa fruticans, 71,99 ton C Rhizophora mucronata, dan 53,97 ton C Avicennia alba. Nilai stok karbon mangrove spesies Nypa fruticans, Rhizophora mucronata, dan Avicennia alba pada tiap indivudu atau luasan hektare masing-masing sebesar 5,13 kg C/ind atau 18,58 ton C/ha, 8,48 kg C/ind atau 19,96 ton C/ha, dan 22,9 kg C/ind atau 71,96 ton C/ha (Gambar 5). Nilai stok karbon Avicennia alba berdasarkan kerapatan terlihat lebih besar dibandingkan dengan stok karbon Nypa fruticans, dan Rhizophora mucronata karena massa jenisnya lebih besar.

Nilai stok karbon Rhizophora mucronata dan Avicennia alba tersebut lebih besar dibandingkan dengan stok karbon pada mangrove yang ada di Muara Gembong Bekasi dengan nilai masing-masing yakni 17,60 ton C/ha dan 2,42 ton C/ha (Rachmawati 2014). Berbeda dengan spesies Rhizophora mucronata yang terdapat di mangrove Taman Nasional Alas Purwo, nilai stok karbonnya justru lebih besar yakni 108,61 ton C/ha (Heriyanto 2012). Tak berbeda jauh dengan biomassa, perbedaan stok karbon spesies yang sama pada ekosistem yang berbeda juga disebabkan oleh perbedaan kepadatan atau jumlah individu pada tiap satuan luas.

(23)

11

Gambar 5. Stok karbon mangrove pada tiap individu, jumlah individu dan kerapatan.

Serapan Karbon

Hasil analisis serapan karbon (CO2 ekivalen) total berdasarkan nilai stok

karbon, jumlah individu mangrove, dan luas area tumbuh serta perbandingan massa molekul karbondioksida dengan karbon pada tiap spesies yaitu 296,34 ton CO2

Nypa fruticans, 263,98 ton CO2 Rhizophora mucronata, dan 197,89 ton CO2

Avicennia alba. Nilai serapan karbon (CO2 ekivalen) mangrove spesies Nypa

fruticans, Rhizophora mucronata, dan Avicennia alba pada tiap individu atau luasan hektar masing-masing sebesar 18,80 kg CO2/ind atau 68,12 ton CO2/ha,

31,09 kg CO2/ind atau 73,17 ton CO2/ha, dan 81,73 kg CO2/ind atau 263,85 ton

CO2/ha (Gambar 6). Nilai serapan karbon Avivennia alba pada tiap hektarnya lebih

besar dibandingkan spesies Nypa fruticans dan Rhizophora mucronata. Hal ini karena adanya massa jenis Avicennia alba lebih besar juga dibandingkan dengan massa jenis Nypa fruticanus dan Rhizophora mucronata.

Tidak berbeda dengan biomassa dan stok karbon, nilai serapan karbon Rhizophora mucronata dan Avicennia alba di sungai Tallo juga lebih besar dibandingkan dengan serapan karbon pada mangrove yang ada di Muara Gembong Bekasi dengan nilai masing-masing yakni 64,53 ton CO2/ha dan 8,87 ton CO2/ha

(Rachmawati 2014). Sebaliknya, serapan karbon Rhizophora mucronata di sungai Tallo lebih kecil dibandingkan dengan serapan karbon mangrove di Taman Nasional Alas Purwo dengan nilai 398,60 ton CO2/ha (Heriyanto 2012).

0

Stok karbon (kg C/ind) Stok karbon (ton C) Stok karbon (ton C/ha)

(24)

12

Gambar 6. Serapan CO2 mangrove tiap individu, jumlah individu dan kerapatan.

Fluks Gas Rumah Kaca

Fluks Gas CO2

Gas CO2 merupakan gas rumah kaca yang mengalami peningkatan cukup

tinggi di atmosfer dan berperan dalam peningkatan suhu udara sehingga menyebabkan pemanasan global. Gambar 7. menunjukkan fluks rata-rata gas CO2

berdasarkan pasang surut. Pada ketiga stasiun pengamatan terlihat bahwa laju fluks gas saat pasang lebih tinggi dibandingkan dengan fluks gas disaat surut. Fluks gas CO2 saat pasang pada ketiga stasiun masing-masing sebesar 208,85 mg/m2/jampada

stasiun 1, 200,22 mg/m2/jampada stasiun 2, dan 205,46 mg/m2/jampada stasiun 3.

Fluks gas CO2 saat surut pada ketiga stasiun yaitu sebesar 198,26 mg/m2/jampada

stasiun 1, 176,17 mg/m2/jampada stasiun 2, dan 177,00 mg/m2/jam pada stasiun 3. Fluks gas saat pasang lebih tinggi dibandingkan saat surut karena pada saat pasang konsentrasi oksigen di dasar substrat berkurang akibat terhambatnya difusi dari atmosfer, sebaliknya konsentrasi CO2 menjadi meningkat. Fluks gas CO2 pada

stasiun 1 lebih tinggi dibandingkan stasiun 2 dan 3 meskipun suhunya rendah. Hal ini karena salinitas di stasiun 1 relatif lebih rendah (payau) dibandingkan dengan stasiun 2 dan 3. Salinitas yang rendah menyebabkan tekanan osmotik menurun, akibatnya aktifitas organisme dalam proses dekomposisi atau degradasi serasah menjadi meningkat dan memicu laju produksi gas CO2. Hal ini didukung oleh

Yunasfi (2006) yang menemukan bahwa dekomposisi serasah dan laju degradasi daun mangrove terjadi lebih aktif pada salinitas 10-20 ppt dibandingkan dengan salinitas di atas 30 ppt. Lebih lanjut Afdal et al. (2012) menyatakan bahwa salinitas yang tinggi meningkatkan tekanan osmotik dan tekanan parsial yang menyebabkan terjadinya penurunan fluks CO2 dari laut ke atmosfer.

Tingginya fluks CO2 pada suatu ekosistem disebabkan oleh perbedaan

vegetasi, laju produksi serasah dan jumlah individu mangrove yang tumbuh di area tersebut. Semakin tinggi kerapatan mangrove, maka semakin tinggi pula produksi serasah yang dihasilkan, begitu juga sebaliknya semakin rendah kerapatan mangrove, maka semakin rendah pula produksi serasahnya (Zamroni & Rohyani 2008). Lebih lanjut Zamroni dan Rohyani (2008) mengatakan bahwa laju produksi

(25)

13 serasah spesies Rhizophora mucronata yaitu 20 mg/m2/jam atau 0,48 g/m2/hari, dan

laju produksi serasah spesies Avicennia yaitu 61,67 mg/m2/jam atau 1,48 g/m2/hari. Laju fluks gas CO2 pada tiap lahan mangrove juga dipengaruhi oleh laju serapan

CO2 tiap spesies yang terdapat pada lahan tersebut.

Pada stasiun 1 spesies mangrove yang tumbuh didominasi Nypa fruticans dengan jumlah total 16543 individu dan lebih tinggi dibandingkan stasiun 2 dan 3 yang dengan total individu masing-masing 5970 yang didominasi Rhizophora mucronata di stasiun 2 dan 6810 individu yang didomiansi Avicennia alba di stasiun 3. Hal ini menyebabkan fluks gas CO2 di stasiun 1 menjadi lebih besar

dibandingkan dengan fluks gas di stasiun 2 dan 3. Laju serapan CO2 spesies Nypa

fruticans sebesar 18,80 kg CO2/pohon, Rhizophora mucronata sebesar 31,09 kg

CO2/pohon, dan serapan Avicennia alba sebesar 81,73 kg CO2/pohon. Meskipun

laju serapan CO2 Avicennia alba lebih besar namun karena jumlahnya yang sedikit

yaitu 2421 individu maka menyebabkan fluks gas di stasiun 3 menjadi rendah. Tidak hanya itu rendahnya flusk gas CO2 juga disebabkan oleh penggunaan gas

CO2 dalam proses fermentatif atau pembentukan gas metana.

Meskipun salinitas di stasiun 2 lebih rendah, dan laju produksi serasah serta total individu mangrovenya lebih tinggi dibandingkan stasiun 3, namun suhu dan input bahan organik atau DIC (Dissolved Inorganic Carbon) pada stasiun 3 lebih tinggi disebabkan adanya input bahan organik dari luar khususnya aktifitas industri yang ada di kawasan tersebut, sehingga fluks gas CO2 juga lebih tinggi. Hal ini

didukung oleh Afdal et al. (2012) yang menyatakan bahwa fluks CO2 yang tinggi

terjadi pada daerah tropis terutama pada salinitas rendah (payau) dan suhu yang tinggi serta pada daerah dengan tingkat pasokan karbon organik yang tinggi.

Rata-rata fluks gas CO2 pada saat pasang yaitu 204,84 mg/m2/jamatau 1,79

kg/m2/thn, dan pada saat surut sebesar 183,81 mg/m2/jamatau 1,61 kg/m2/thn. Total fluks gas CO2 di ekosistem mangrove di Sungai Tallo kota Makassar adalah 388,65

mg/m2/jamatau 3,40 kg/m2/thn. Fluks tersebut lebih kecil dibandingkan dengan temuan Chen et al. (2010) di ekosistem mangrove China Selatan dengan nilai fluks antara 30,36 mg/m2/jam hingga 904,64 mg/m2/jam dengan rata-rata 467,5 mg/m2/jam. Kemungkinan terjadinya perbedaan tersebut adalah karena perbedaan

habitat ekosistem mangrove antara daerah tropik dengan daerah temperate.

(26)

14

Fluks Gas CH4

Fluks gas CH4 pada stasiun 3 yakni 0,95 mg/m2/jamsaat pasang dan 0,72

mg/m2/jamsaat surut. Fluks tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan fluks pada stasiun 1 dan 2 yakni 0,78 mg/m2/jamdan 0,52 mg/m2/jamsaat pasang serta 0,68 mg/m2/jamdan 0,45 mg/m2/jamsaat surut (Gambar 8). Hal ini dapat terjadi karena

input bahan organik di stasiun 3 lebih besar dibandingkan stasiun 1 dan 2, sedangkan input bahan organik di stasiun 1 lebih besar dari stasiun 2. Fluks gas CH4

saat pasang lebih tinggi dibandingkan dengan saat surut karena pada saat pasang konsentrasi oksigen rendah sehingga reaksi yang terjadi di dasar sedimen berlangsung secara anaerob, akibatnya produksi gas CH4 oleh bakteri metanogenik

menjadi meningkat. Selain itu, tingginya fluks gas CH4 di stasiun 3 juga disebabkan

oleh suhu substrat yang terdapat dalam sungkup. Suhu yang tinggi menyebabkan metabolisme mikro organisme pada substrat menjadi meningkat sehingga laju fluks CH4 juga mengalami kenaikan. Menurut Arnold et al. (2005), Kone dan Borges

(2008), Dutta et al. (2013), Chauhan et al. (2015) menemukan bahwa pada ekosistem mangrove, salinitas yang tinggi mampu meningkatkan laju fluks gas CH4.

Meskipun laju fluks CO2 di stasiun 1 lebih besar dibandingkan dengan

stasiun 2 dan 3 namun bukan berarti bahwa laju fluks CH4 harus selalu berbanding

lurus dengan fluks gas CH4. Tingginya fluks gas CH4 di stasiun 3 disebabkan oleh

penggunaan gas CO2 dalam proses fermentatif atau pembentukan gas metana.

Semakin tinggi gas metana yang terbentuk maka semakin rendah gas CO2. Hal

inilah yang menyebabkan perbedaan fluks gas CO2 dan CH4 pada tiap stasiun

pengamatan.

Rata-rata fluks gas CH4 adalah 0,75 mg/m2/jamatau 0,007 kg/m2/thn saat

pasang, dan 0,62 mg/m2/jamatau 0,005 kg/m2/thn saat surut

. Total fluks gas CH4

adalah 1,37 mg/m2/jam atau 0,012 kg/m2/thn. Nilai fluks tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan temuan Chen et al. (2010) di mangrove China Selatan dengan nilai fluks CH4 rata-rata 41,44 mg/m2/jam, Chauhan et al. (2015) di mangrove

tropical India dengan nilai fluks CH4 rata-rata 1,19 mg/m2/jam, Konnerup et al.

(2014) di ekosistem mangrove Colombia dengan nilai fluks rata-rata 31,57 mg/m2/jam. Hal ini disebabkan karena perbedaan habitat ekosistem mangrove

antara daerah tropik, khususnya mangrove di sungai Tallo dan mangrove di daerah temperate seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.

(27)

15

pasang yaitu 0,141 mg/m2/jam atau 0,0012 kg/m2/thn, dan rata-rata fluks saat surut yaitu 0,145 mg/m2/jamatau 0,0013 kg/m2/thn. Total fluks gas N2O adalah 0,286

mg/m2/jamatau 0,0025 kg/m2/thn. Fluks N

2O tersebut lebih besar dibandingkan

dengan fluks pada mangrove India (Chauhan et al. 2015) dengan nilai fluks yakni 0,1876 mg/m2/jam, dan lebih kecil jika dibandingkan dengan fluks pada mangrove di China Selatan (Chen et al. 2010) dan mangrove di Colombia (Konnerup et al. 2014) dengan rata-rata fluks masing-masing sebesar 0,5274 mg/m2/jam dan 1,1675 mg/m2/jam.

Perbedaan fluks gas N2O saat pasang dan surut dapat terjadi karena saat

surut konsentrasi oksigen yang berasal dari difusi atmosfer ataupun dari sedimen itu sendiri lebih besar dibandingkan saat pasang, sehingga aktivitas mikroba dalam proses dekomposisi serasah dan reaksi nitrifikasi maupun denitrifikasi sebagai proses pembentuk gas N2O juga lebih besar.

Pada perairan estuari, pembentukan N2O melalui proses reaksi nitrifikasi

dan denitrifikasi bahkan mencapai hingga 100% yang diproduksi oleh bakteri Shewanella putrefaciens melalui reduksi senyawa nitrat (Rusmana 2006). Chauhan et al. (2015) menyatakan bahwa pada variasi pasang surut yang terjadi di ekosistem mangrove memberikan pengaruh terhadap emisi gas N2O. Selain itu, menurut

Pathak (1999), Zheng et al. (2000), Dalal et al. (2003), Zhang et al. (2013) dan Huang et al. (2014) menyatakan bahwa emisi N2O juga dipengaruhi oleh

kandungan air dalam tanah, suhu tanah, kandungan oksigen, ketersedian amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-). Lebih lanjut Huang et al. (2014) mengatakan bahwa

seluruh komponen tersebut berperan sangat signifikan dengan tingkat korelasi (R) mencapai 0,764. Semua komponen-komponen tersebut berperan dalam terjadinya proses nitrifikasi dan denitrifikasi yang merupakan reaksi utama pembentukan gas N2O.

(28)

16

Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Pengelolaan ekosistem mangrove tak terlepas dari peran masyarakat karena masyarakatlah pelaku dan tujuan dari suatu pengeloaan. Hasil analisis tanggapan masyarakat yang hidup di kawasan ekosistem mangorove sungai Tallo terhadap keberadaan dan fungsi ekosistem mangrove berdasarkan wawancara langsung kepada 50 responden (masyarakat) yang diwakili oleh kepala keluarga menunjukkan bahwa secara umum masyarakat sepakat terhadap keberadaan ekosistem mangrove dengan segala fungsi dan manfaatnya (Gambar 10). Sekitar 27 orang atau 54% dari 50 responden menjawab bahwa mangrove tepat dimanfaatkan sebagai ruang terbuka hijau penyuplai udara segar dan 23 orang atau 46% sisanya menjawab sangat tepat. Selanjutnya, sebanyak 24 orang atau 48% menyatakan bahwa mangrove tepat sebagai penurun emisi gas rumah kaca, sedangkan 15 orang atau 30% menyatakan sangat tepat dan sisanya 22 % menyatakan sebaliknya. Fungsi lain dari mangrove yaitu sebagai penyaring dan penahan banjir. Berkenaan dengan hal tersebut, sebanyak 34% dan 66 % masing-masing menyatakan tepat dan sangat tepat. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat sadar akan fungsi utama mangrove berdasarkan pengalaman-pengalaman selama mereka hidup di kawasan tersebut yang mana mereka sangat jarang mengeluh akan panasnya terik matahari dan suhu udara seperti apa yang dirasakan oleh masyarakat di pusat perkotaan kota Makassar.

Gambar 10 Tanggapan masyarakat terhadap mangrove dan fungsinya

Hasil analisis partisipasi masyarakat terhadap keterlibatan dalam pengelolaan ekosistem mangrove menunjukkan bahwa sekitar 38 orang atau 76% dari 50 responden masyarakat setuju, sisanya 12 orang masing-masing 10% tidak setuju dan 14% kurang setuju akan adanya perwakilan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Sementara itu untuk setiap kebijakan yang akan ditetapkan oleh pemerintah terkait pengelolaan mangrove sekitar 54% masyarakat kurang setuju jika harus menerima tanpa ada pemberitahuan atau sosialiasi terlebih dahulu. Wawancara lebih lanjut kepada masyarakat terkait kebijakan pemerintah menunjukkan bahwa 86% masyarakat menginginkan agar pemerintah mengkonsultasikan setiap kebijakan yang akan ditetapkan terutama jika kebijakan tersebut berkenaan dengan hajat hidup mereka. Adapun untuk waktu keterlibatan,

(29)

17 sekitar 90% masyarakat sangat setuju untuk berpartisipasi selama kegiatan pengelolaan sebagai bentuk tanggungjawab terhadap lingkungan (Gambar 11).

Gambar 11 Tingkat partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan mangrove

Ekosistem Mangrove Sebagai Ruang Terbuka Hijau

Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, sarana lingkungan, pengamanan jaringan prasarana, serta budidaya pertanian. Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, RTH di tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lanskap kota (Wijanarko 2006).

Sungai Tallo adalah kawasan yang tepat dalam pemanfaatannya sebagai RTH. Selain karena letaknya yang berada di tengah kota Makassar, juga karena padatnya ekosistem mangrove yang tumbuh di sepanjang jalur bantaran sungai. Selain kondisi vegetasi mangrove, pengelolaan ekosistem mangrove sebagai kawasan RTH telah didukung oleh masyarakat pemerintah daerah melalui rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Makassar terkait penetapan Sungai Tallo sebagai kawasan RTH. Pengelolaan kawasan sempadan sungai Tallo sebagai RTH mampu meningkatkan cadangan oksigen di kota Makassar, menyerap gas karbon dioksida (CO2), serta mampu menahan genangan air ataupun banjir.

Selain manfaat tersebut, pemanfaatan ekosistem mangrove Sungai Tallo yang terletak di tengah Kota Makassar juga memiliki manfaat terkait dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Diantara manfaat tersebut adalah: (1) Nilai ekologis dan alam: ekosistem mangrove sebagai kawasan terbuka di dalam kota dapat berfungsi sebagai paru-paru kota yang menyaring debu dan polutan lainnya sehingga udara menjadi lebih bersih dan lingkungan menjadi lebih baik. Selain itu juga dapat mengurangi tingkat kebisingan yang disebabkan oleh kendaraan bermotor, (2) Nilai psikologis: mangrove sebagai kawasan ruang terbuka hijau tidak hanya sebagai tempat untuk pertemuan sosial, keluarga, tetangga dan tempat bermain anak-anak, tetapi juga sebagai tempat bagi seseorang untuk menyendiri dan menikmati kesunyian. Ruang terbuka dapat pula dipakai sebagai tempat pelepas lelah sementara disiang hari sebelum seseorang mulai bekerja kembali dengan

(30)

18

kondisi psikologis tubuh yang lebih segar. Hal ini dapat dilakukan di kawasan sekitar sungai Tallo terutama di daerah Lakkang yang merupakan daerah wisata dengan kualitas udara yang lebih baik karena ditumbuhi oleh berbagai vegetasi pohon terutama mangrove jenis Nypa dan Rhizophora, (3) Nilai sosial budaya: penduduk kota Makassar biasanya melakukan interaksi sosial dengan masyarakat yang hidup di sekitar sungai Tallo khususnya daerah Lakkang dan menyaksikan pertunjukan seni dan budaya dari masyarakat setempat yang diselenggarakan oleh kelompok sanggar seni Daeng Rilakkang. Melalui pertunjukkan ini masyarakat kota Makassar membangun keakraban dengan masyarakat desa Lakkang sehingga fungsi sosial dapat berjalan dengan baik, (4) Nilai estetika: nilai ini dikandung oleh RTH karena kontribusinya kepada pemandangan atau lanskap kota. Lansekap yang bagus akan memacu tumbuhnya apresiasi bagi yang menikmatinya. Dalam konteks ini intervensi manusia pada RTH akan menentukan nilai estetika tersebut.

Pengelolaan Mangrove sebagai Mitigasi Gas Rumah Kaca

Mitigasi gas rumah kaca atau perubahan iklim dapat didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak atau resiko yang ditimbulkan oleh gas rumah kaca yaitu perubahan iklim global. Pengelolaan yang tepat terhadap ekosistem mangrove sebagai upaya mitigasi gas rumah kaca dapat dilakukan dengan melindungi dan menjaga ekosistem mangrove melalui beberapa alternatif pengelolaan baik sebagai kawasan konservasi, ekowisata atau sebagai ruang terbuka hijau. Alternatif-alternatif pengelolaan tersebut pada dasarnya berfungsi untuk menjaga dan melestarikan ekosistem mangrove sehingga fungsi-fungsi biologi, fisika-kimia maupun ekonominya tetap terjaga tak terkecuali fungsi mangrove sebagai penyimpan dan penyerap gas karbondioksida.

Ekosistem mangrove di Sungai Tallo kota Makassar berpotensi menyerap karbondioksida (CO2) sebesar 80-235 ton CO2/ha. Potensi tersebut harus senantiasa

(31)

19

4

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ekosistem mangrove di Sungai Tallo kota Makassar didominasi oleh Nypa fruticans, Rhizophora mucronata dan Avicennia alba dengan kerapatan mangrove yang masih tergolong tinggi. Berdasarkan jumlah mangrove, spesies Nypa fruticans memiliki kemampuan serapan karbon yang lebih besar dibandingkan dengan Rhizophora mucronata dan Avicennia alba. Sedangkan berdasarkan kerapatan mangrove, kemampuan serapan karbon spesies Avicennia alba lebih besar dibandingkan dengan Rhizophora mucronata dan Nypa fruticans karena massa jenis spesies Avicennia alba lebih besar dibandingkan Rhizophora mucronata dan Nypa fruticans dengan nilai masing-masing yakni 0,74 kg/dm3 untuk Avicennia alba, 0,69 kg/dm3 untuk Rhizophora mucronata dan 0,15 kg/dm3 untuk spesies Nypa fruticans. Total serapan karbon mangrove di Sungai Tallo kota Makassar yaitu 405, 15 ton CO2/ha.

Fluks gas rumah kaca (CO2, CH4, dan N2O) pada ekosistem mangrove di

sungai Tallo kota masih tergolong rendah dan lebih dipengaruhi oleh kerapatan mangrove, input bahan organik, suhu, salinitas, dan laju degradasi serasah pada tiap spesies mangrove.

Peran pemerintah dalam pengelolaan magrove sebagai ruang terbuka hijau telah diwujudkan dalam bentuk regulasi yang ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah serta mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat dengan tingkat partisipasi hingga 89%.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka pengelolaan mangrove sebagai ruang terbuka hijau sangatlah baik karena dapat berfungsi menyerap gas CO2 serta

mengurangi suhu udara di Makassar, menahan banjir dan meredam kebisingan dari mesin industri ataupun transportasi.

Saran

Penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan uji fluks gas rumah kaca pada dua musim berbeda yaitu musim kemarau dan musim hujan dan melakukan analisis terhadap fluks gas dari masing-masing spesies mangrove khususnya yang terdapat di daerah sungai.

(32)

20

DAFTAR PUSTAKA

Adi S, Salim F, Suryati T, Handayani T, Hartini, Sudiana N. 2009. Emisi karbon lahan basah, pertanian dan kehutanan di Indonesia. J Teknik Lingkungan, [Edisi Khusus]: 1-12.

Afdal, Richardus F, Kaswadji, Alan FK. 2012. Pertukaran gas CO2 udara-laut di

perairan selat nasik, Belitung. J Segara. 8(1): 9-17.

Alemaheyu F, Richard O, Wasonga MK. 2014. Assesment of mangroves covers change and biomass in Mide Creek, Kenya. Open J. of Forestry, (4):398-413. Arnold KV, Weslien P, Nillson M, Svensson BH, Klemedtsson L. 2005. Fluxes of CO2, CH4 and N2O from drained coniferous forests on organic soils. Forest

Ecology and Management. 210: 239–254.

Beddu S. 2011. Bantaran sungai sebagai konservasi lansekap alami (studi kasus: bantaran sungai Tallo Makassar). Jurnal Teknik Lingkungan, (5): 1-7. Chauhan R, Datta A, Ramanathan AL, Adhya TK. 2015. Factors influencing

spatio-temporal variation of methane and nitrous oxide emission from a tropical mangrove of eastern coast of India. Atmospheric Environment. 107: 95-106

Chen GC, Tam NFY, Ye Y. 2010. Summer fluxes of atmospheric greenhouse gases N2O, CH4 and CO2 from mangrove soil in South China. Science of the Total

Environment. 408: 2761 –2767.

Dalal RC, Wang WJ, Robertson G, Philip, Parton WJ. 2003. Nitrous oxide emission from Australian agricultural lands and mitigation options: A review. Aust. J Soil Res. 4: 165–195.

Davidson EA, Keller M, Erickson, HE, Verchot LV, Veldkamp E. 2000. Testing a conceptual model of soil emissions of nitrous and nitric oxides. Bioscience. 50: 667–680.

DeFries RS, Richard AH, Mattew CH, Christoper BF, David S, John T. 2002. Carbon emissions from tropical deforestation and regrowth based on satelite observation for the 1980s. PNAS 99(22):14256-14261.

Dutta MK, Chowdhury C, Jana TK, Mukhopadhyay SK. 2013. Dynamics and exchange fluxes of methane in the estuarine mangrove environment of the Sundarbans, NE coast of India. Atmospheric Environment. 77: 631-639. Fromard F, Puig H, Mougin E, Betoulle JL, Cadamuro L. 1998. Structure,

above-ground biomass and dynamics of mangrove ecosystems: new data from French Guiana. Oecologia, p 39-53.

Hairiah K, Rahayu S. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Malang (ID): World Agroforestry Centre.

Heriyanto NM, Subiandono R. 2012. Komposisi dan struktur tegakan, biomassa dan potensi kandungan karbon hutan mangrove di taman nasional alas purwo. J Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 9 (1): 023-032.

(33)

21 Huang J, Chen Y, Sui P, Nie S, Gao W. 2014. Soil Nitrous Oxide Emissions Under Maize-Legume Intercropping System in the North China Plain. J of Integrative Agriculture. 13(6): 1363-1372

[IAEA] International Atomic Energy Agency. 1992. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emission from Agricultural. Vienna (AT): IAEA. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001 :

The Scientific Basis. Cambridge (GB): Cambridge University Pr.

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. Mitigation of Climate Change. Cambridge (GB): Cambridge University Pr.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2012. Pedoman Penggunaan Model Alometrik untuk Pendugaan Biomassa dan Stok Karbon di Indonesia. Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan-Kemenhut.

[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2012. Pedoman Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional [Buku I Pedoman Umum]. Jakarta (ID). KLH.

Komiyama A, Poungparn S, Kato S. 2005. Coomon allometric equation for estimating the tree weight of mangroves. J. of Tropical Ecology. 21:471-477. Komiyama A, Ong JE, Poungparn S. 2008. Allometry, biomass and productivity of

mangrove forest: a. review. A Botany, 89:128-137.

Kone YJM, Borges AV. 2008. Dissolved inorganic carbon dynamics in the waters surrounding forested mangroves of the Ca Mau Province (Vietnam). Estuarine, Coastal and Shelf Science. 77: 409-421.

Konnerup D, Portela JMB, Villamil C, Parra JP. 2014. Nitrous oxide and methane emissions from the restored mangrove ecosystem of the Ciénaga Grande de Santa Marta, Colombia. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 30: 1-9. Noor YR, Khazali M. Suryadiputra INN. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di

Indonesia. Bogor (ID): PHKA/WI – PI.

Pathak H. 1999. Emission of nitrous oxide from soil. Article Reviews, Current Science. 77(3): 359-360.

Rachmawati D, Setyobudiandi I, Hilmi E. 2014. Potensi estimasi karbon tersimpan pada vegetasi mangrove di wilayah pesisir Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Omni-Akuatika. 13(19): 85-91.

Riani E. 2012. Perubahan Iklim dan Kehidupan Biota Akuatik. Bogor (ID): IPB Pr. Rijal S. 2008. Kebutuhan ruang terbuka hijau di kota Makassar Tahun 2017. J

Hutan dan Masyarakat, (8),1: 65-77.

Rusmana I. 2006. Gaseous end products of nitrate and nitrite reduction by denitrifying Pseudomonads isolated from estuarine sediment. J Microbiol Indones, 11(2): 279-291.

Siddique HRM, Hossain M, Chowdhury KRM. 2012. Allometric relationship for estimating above-ground biomass of aegialitis rotundifolia roxb of sundarbans mangrove forest, in Bangladesh. J of Forestry Research, 23(1):23-28.

Wijanarko B. 2006. Kemungkinan penerapan co-management dalam pengelolaan ruang terbuka hijau di pantai utara kota Surabaya [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

Ye Y, Lu C, Yin P, Tan F, Wong Y. 2000. Diurnal charge of CH4 fluxes from

(34)

22

Yunasfi. 2006. Dekomposisi serasah daun mangrove Avicennia marina pada berbagai tingkat salinitas [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Zamroni Y, Rohyani IS. 2008. Produksi serasah hutan mangrove di perairan pantai

teluk Sepi, Lombok Barat. Biodiversitas. 9 (4): 284-287.

Zhang L, Song L, Zhang L, Shao H, Chen X, Yan K. 2013. Seasonal dynamics in nitrous oxide emissions under different types of vegetation in saline-alkaline soils of the Yellow River Delta, China and implications for eco-restoring coastal wetland. Ecological Engineering. 61: 82–89.

(35)

23

(36)

24

Lampiran 1 Dokumentasi penelitian

Pengukuran diameter pelepah dan diameter pangkal spesies Nypa fruticans

Penebangan pohon dan pemisahan bagian fraksi Nypa fruticans

(37)

25

Pengambilan sampel gas saat pasang dan surut

(38)

26

Lampiran 2 Grafik analisis allometrik hubungan diameter pangkal dan diameter pelepah terhadap nilai biomassa.

Model estimasi biomassa berdasarkan diameter pangkal

Model estimasi biomassa berdasarkan diameter pelepah

(39)

Lampiran 3 Berat kering beberapa bagian fraksi Nypa fruticans No Diameter

(cm)

Berat basah (kg)

Sub contoh berat basah (g)

Sub contoh berat kering (g)

Berat kering

total (kg) DB DS Akar Pelepah Daun Buah Akar Pelepah Daun Buah Akar Pelepah Daun Buah

1 57,91 7,65 17,61 97,81 16,81 5,02 300 500 400 400 76 122,2 164,02 105 36,58 2 55,36 6,94 15,83 96,14 15,12 2,81 300 500 400 400 75,4 120,8 163,83 103,8 34,13 3 47,09 5,77 13,24 89,02 12,37 2,12 300 500 400 400 76 120,67 164,06 104,16 30,46 4 35,64 5,24 9,41 70,15 9,45 0 300 500 400 0 75,54 121,88 164,2 0 23,35 5 29,91 4,57 7,21 62,67 5,28 0 300 500 400 0 75,62 122,04 163,29 0 19,27 6 24,18 4,23 5,72 51,54 3,92 0 300 500 400 0 74,48 122,16 163,38 0 15,61 7 21,64 4,07 5,15 36,23 1,72 0 300 500 400 0 76,12 120,43 165,05 0 10,74 8 20,36 3,54 4,08 22,08 1,54 0 300 500 400 0 74,68 122,2 164,24 0 7,04 9 16,23 3,29 2,98 16,4 1,02 0 300 500 400 0 76,08 122,12 164,22 0 5,18 10 12,73 3,22 1,46 14,82 0,98 0 300 500 400 0 75,24 121,81 163,98 0 4,38 11 11,45 2,91 1,04 12,26 0,82 0 300 500 400 0 75,06 122,02 163,76 0 3,59 12 9,86 2,73 0,86 9,06 0,69 0 300 500 400 0 75,18 120,89 164,14 0 2,69 13 7,32 2,28 0,72 7,15 0,53 0 300 500 400 0 74,83 122,22 164 0 2,14 14 5,09 1,88 0,52 4,21 0,41 0 300 500 400 0 74,86 121,24 164,2 0 1,32 15 4,39 1,62 0,38 2,04 0,36 0 300 500 400 0 75,38 122,25 164,12 0 0,74 Rata-rata 23,94 4,00 5,75 39,44 4,73 0,66 300 500 400 80 75,36 121,66 164,03 20,86 13,15

Keterangan: DB = Diameter of Base (Diameter pangkal), DS = Diameter of Stem (Diameter pelepah)

(40)
(41)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Pulau Maginti, Kecamatan Maginti, Kabupaten Muna Barat pada tanggal 02 Januari 1991, merupakan anak kesembilan dari sepuluh bersaudara dari pasangan Raja Ali dan Muhiza. Penulis menempuh pendidikan menengah atas di SMA Negeri 2 Raha tahun 2007 dan selesai tahun 2010. Pada Tahun 2010 penulis diterima sebagai Mahasiswa Jurusan Perikanan, Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin melalui jalur SNMPTN dan tamat tahun 2014. Setelah itu, dipertengahan 2014 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor dengan konsentrasi ilmu pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan melalui program beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Selama menjalani proses perkuliahan penulis dikenal aktif pada berbagai bidang kegiatan berupa seminar baik yang sesuai dengan bidang ilmu ataupun diluar bidang ilmu.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran
Gambar 2 Peta lokasi penelitian dan titik pengamatan
Tabel 1 Persamaan Allometrik Beberapa Spesies Mangrove.
Tabel 3 Spesies, jumlah dan kerapatan mangrove
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berbeda dengan kecukupan energi, pada Grafik 3 tampak bahwa rerata ke- cukupan protein anak baduta yang masih mendapat ASI pada kedua kelompok umur dan kedua

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahmawati (2012) mengindikasikan bahwa LOM berpengaruh terhadap perilaku manajer dalam memutuskan untuk melakukan manajemen

Dengan menerapkan metode FSA tersebut ke dalam Aplikasi Konversi Aksara Latin Ke Aksara Jawa, masukan teks yang berupa aksara latin akan dikenali dengan menggunakan FSA dan

Hal ini disebabkan karena dengan adanya kualitas semen yang baik, citra merek yang melekat pada semen tersebut, harga yang kompetitif serta didukung dengan kegiatan promosi

Guru bijak itu bertanya, “Seandainya Tuhan memberi kesempatan kepada kalian untuk bisa hidup satu kali lagi, apakah kalian masih mau dilahirkan menjadi seorang seperti sekarang

Abstrak – Fiber optik adalah merupakan satu jenis kabel yang terbuat dari bahan kaca atau sejenis plastik yang sangat halus dan lebih kecil dari sehelai rambut, dan

Metode Simpleks merupakan salah satu metode yang tepat untuk digunakan pada linear programming yang memiliki variabel lebih dari dua dengan fungsi kendala yang

Dibalik permasalahan diatas beberapa masyarakat membuat berbagai komunitas sebagai solidaritas untuk membantu anak anak jalanan agar terlepas dari kehidupan jalanan