• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Fenomena Urban Heat Island di Kota Jakarta Menggunakan Software Pemodelan WRF EMS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Fenomena Urban Heat Island di Kota Jakarta Menggunakan Software Pemodelan WRF EMS"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

i

ANALISIS FENOMENA

URBAN HEAT ISLAND

DI KOTA

JAKARTA MENGGUNAKAN

SOFTWARE

PEMODELAN

WRF EMS

ZAENAL MUTTAQIN

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi berjudul “ANALISIS

FENOMENA URBAN HEAT ISLAND DI KOTA JAKARTA MENGGUNAKAN SOFTWARE PEMODELAN WRF EMS adalah benar merupakan hasil karya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2015

Zaenal Muttaqin

(4)
(5)

vi

ABSTRAK

ZAENAL MUTTAQIN. Analisis Fenomena Urban Heat Island di Kota Jakarta Menggunakan Software Pemodelan WRF EMS. Dibimbing oleh SONNI SETIAWAN dan WIDO HANGGORO

Urbanisasi dan aktivitas antropogenis yang tinggi di wilayah perkotaan seperti Jakarta menyebabkan terjadinya fenomena Urban Heat Island, sebuah istilah yang mengacu kepada kondisi lebih tingginya suhu udara di perkotaan dibanding wilayah rural sekitarnya. Fenomena ini menjadi indikator ketidaknyamanan suatu lingkungan, dan dalam jangka panjang dapat menjadi penyebab terjadinya perubahan iklim secara lokal. Penelitian ini menggunakan data NCEP FNL tertanggal 13 - 16 Januari 2012, 2013 dan 2014 kemudian 13 - 16 Agustus 2011, 2012, 2013. Secara teoretis, pendekatan untuk mengetahui fenomena Urban Heat Island (UHI) dapat diketahui dari parameter suhu udara, suhu permukaan dan ketinggian Planetary Boundary Layer (PBL). Pengukuran dengan menggunakan pemodelan software Weather Research and Forecasting

(WRF) terhadap tiga parameter Urban Heat Island tersebut menunjukkan suhu permukaan rata-rata kota Jakarta lebih tinggi 2,3 0C dibanding wilayah rural

sekitarnya (Depok, kab. Bogor dan kota Bogor) pada representasi data musim kemarau. Nilai selisih perbedaan suhu permukaan tersebut lebih rendah dibanding data representasi musim hujan yaitu 2,7 0C. Hal yang sama juga terjadi pada selisih perbedaan suhu udara rata-rata di mana kota Jakarta memiliki suhu udara rata-rata lebih tinggi dibanding wilayah rural sekitarnya sebesar 3,5 0C pada

representasi data musim kemarau dan 4,1 0C pada representasi data musim hujan. Pada pemodelan parameter ketinggian PBL, model menunjukkan ketinggian PBL kota Jakarta baik pada siang hari maupun malam hari pada representasi data musim kemarau memiliki ketinggian yang lebih tinggi dibanding wilayah rural

sekitarnya dengan selisih ketinggian rata-rata 70 m pada malam hari dan rata-rata 215 m pada siang hari. Pada musim hujan, ketinggian PBL pada malam hari di wilayah rural memiliki ketinggian lebih rendah dibanding kota Jakarta dengan selisih 326 m sedangkan pada siang hari ketinggian PBL Jakarta memiliki nilai yang lebih tinggi dengan selisih ketinggian 438 m. Hasil validasi pemodelan suhu udara WRF dengan observasi stasiun menunjukkan, tingkat kesesuaian antara hasil observasi stasiun untuk wilayah Bogor dengan pemodelan memiliki nilai R2 = 0,977 untuk musim kemarau dan R2 = 0,77 untuk musim hujan. Sedangkan untuk wilayah Jakarta korelasi antara pemodelan dengan observasi stasiun menunjukkan R2 = 0,9544 untuk musim kemarau dan R2 = 0,7367 untuk musim hujan.

(6)

ABSTRACT

ZAENAL MUTTAQIN. Analysis of Urban Heat Island Phenomena in Jakarta Using Modeling Software WRF EMS. tutored by SONNI SETIAWAN and WIDO HANGGORO

Urbanization and high anthropogenic activities in urban area such as Jakarta cause Urban Heat Island (UHI), this term refers to higher air temperature in urban area than its surrounding rural area. This occurence can be an indicator of discomfort environment, and in long term, it can cause local climate change. This research used NCEP FNL data dated on 13 - 16 January 2012, 2013, and 2014 representing the rainy season and 13-16 August 2011, 2012, and 2014 representing the dry season. Theoretically, understanding Urban Heat Island can be approached by determining the values of air temperature, surface temperature and the heigh of Planetary Boundary Layer (PBL). The WRF modeling software was used in measuringthose three parameters. The model showed that the average of surface temperature of Jakarta was 2.3 0C higher than its surrounding rural area

(Depok, Bogor regency, and Bogor city) on dry season representative date and 2.7

0C higher on rainy season representative date. The same condition also happened

to the difference average air temperature parameter, which Jakarta had 3.5 0C

higher average air temperaturethan its surrounding rural area on dry season representative date and 4.1 0C on rainy season representative date. On the modeling of PBL, The model showed that the height of PBL in Jakarta on dry season representative date at midnight and midday were higher than surrounding

rural area with average difference of 70 m at midnight and 215 m at midday. On the rainy season, the height of PBL at midnight in Jakarta was higher than its surrounding rural area by average 326 m while on the midday the height of PBL had higher value with 438 m difference. The validation of WRF model on air temperature in Bogor area shows the coefficient of determination value (R2) of 0,977 for dry season and R2 = 0,77 for rainy season. Whereas in Jakarta, the model

and the observation has strong positive correlation with R2 = 0,9544 for dry season and R2 = 0,7367 for rainy season.

(7)

ANALISIS FENOMENA

URBAN HEAT ISLAND

DI KOTA

JAKARTA MENGGUNAKAN

SOFTWARE

PEMODELAN

WRF EMS

ZAENAL MUTTAQIN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

xiii

Judul Skripsi : Analisis Fenomena Urban Heat Island di Kota Jakarta Menggunakan Software Pemodelan WRF EMS

Nama : Zaenal Muttaqin NIM : G24090046

Program Studi : Meteorologi Terapan

Disetujui oleh

Sonni Setiawan, S.Si, MSi

Pembimbing I Wido Hanggoro S.Si, M.Kom Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr .Ir. Tania June M.Sc Ketua Departemen

(10)
(11)

xiv

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat dan karunianya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah lingkungan dengan judul, Analisis Fenomena Urban Heat Island (UHI) di Kota Jakarta Menggunakan Software Pemodelan WRF EMS.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada bapak Sonni Setiawan dan bapak Wido Hanggoro selaku pembimbing, serta ibu Ana Turyanti yang telah banyak membantu pada tahap awal proses penelitian. Penulis juga menyampaikan penghargaan kepada mas Daniel dan para staf peneliti bagian meteorologi Puslitbang BMKG pusat Jakarta atas bantuannya dalam proses pengumpulan data. Ungkapan terima kasih setulus-tulusnya juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis, atas kasih sayang yang diberikan, rekan-rekan penulis di departemen GFM angkatan 46, BEM KM IPB 2013, BEM FMIPA IPB 2012, wisma Al Jabar, dan Pondok Mipa, serta kawan-kawan dekat penulis yang tiada henti memberi semangat dan bantuan.

Semoga karya Ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Januari 2015

(12)
(13)

xv

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

Ruang Lingkup Penelitian ... 2

METODE PENELITIAN 2 Waktu dan Tempat ... 2

Bahan... 3

Alat ... 3

Prosedur Penelitian... 3

Tahapan Pemodelan WRF EMS ... 4

Tahapan Penentuan Koordinat Bujur Jakarta ... 7

Tahapan Pembagian Lintang Wilayah Kajian... 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Hasil ... 9

Pengenalan model WRF dan Kondisi Umum Wilayah Kajian ... 9

Validasi Suhu Udara dengan Observasi Stasiun 10 Suhu Permukaan Jakarta dan Sekitarnya Musim Kemarau ... 15

Suhu Permukaan Jakarta dan Sekitarnya Musim Hujan ... 16

Suhu Udara Jakarta dan Sekitarnya Musim Kemarau... 20

Suhu Udara Jakarta dan Sekitarnya Musim Hujan ... 22

Perbandingan Suhu Udara Kedua Musim ... 23

Ketinggian PBL Jakarta dan Sekitarnya Musim Kemarau ... 25

Ketinggian PBL Jakarta dan Sekitarnya Musim Hujan ... 27

KESIMPULAN DAN SARAN 29 Kesimpulan ... 29

Saran ... 30

DAFTAR PUSTAKA 30

(14)

xvi

DAFTAR TABEL

1 Konfigurasi domain WRF EMS 5

2 Pembagian lintang wilayah kajian 8 3 Koreksi Ketinggian Nilai Suhu Udara Pemodelan WRF 11 4 Perbandingan suhu permukaan terendah dan tertinggi pemodelan WRF 19 5 Selisih suhu udara Jakarta dan Bogor 24

DAFTAR GAMBAR

1 Skema umum penelitian 3

2 Plot nesting domain WRF 4

3 Skema modelling WRF 6

4 Pembagian bujur wilayah observasi 7 5 Korelasi suhu pemodelan WRF Dengan observasi dan mean error WRF

dan elevasi stasiun 9

6 Perbandingan suhu udara pemodelan WRF dengan observasi stasiun cuaca data representasi musim kemarau wilayah (a) Jakarta dan (b) Bogor 10 7 Validasi suhu udara sampel data musim kemarau hasil pemodelan WRF

dengan observasi stasiun wilayah (a) Jakarta dan (b) Bogor 12 8Perbandingan suhu udara WRF dengan observasi stasiun data representasi

musim hujan wilayah Jakarta 12 9 Perbandingan suhu udara WRF dengan observasi stasiun data representasi

musim hujan wilayah Jakarta 13 10 Validasi suhu udara rata-rata sampel data musim hujan hasil pemodelan

WRF dengan observasi satsiun wilayah Jakarta 13 11Validasi suhu udara rata-rata sampel data musim hujan hasil pemodelan

WRF dengan observasi stasiun wilayah Jakarta 14 12 Curah hujan wilayah Jakarta tahun 2012 dan Suhu Rata-rata bulanan

Jakarta 2002-2012 15

13 Perbandingan rata-rata suhu permukaan Jakarta dan Bogor sampel data

musim kemarau 16

14 Selisih suhu permukaan Jakarta dan Bogor sampel data musim kemarau 16 15 Tampilan spasial suhu permukaan Jakarta dan sekitarnya sampel data

musim kemarau 17

16 Perbandingan rata-rata suhu udara Jakarta dan Bogor sampel data musim

hujan 17

17 Selisih suhu permukaan Jakarta dan Bogor sampel data musim hujan 18 18 Tampilan spasial suhu permukaan Jakarta dan sekitarnya sampel data

musim hujan 18

19 Perbandingan rata-rata suhu udara Jakarta dan Bogor sampel data musim

kemarau 20

20 Selisih perbedaan suhu udara Jakarta dan Bogor sampel data musim

(15)

xvii

21 Tampilan spasial suhu udara Jakarta dan sekitarnya sampel data musim

kemarau 22

22 Perbandingan rata-rata suhu udara Jakarta dan Bogor sampel data musim

hujan 22

23 Selisih perbedaan suhu udara Jakarta dan Bogor sampel data musim hujan 23 24 Tampilan spasial suhu udara Jakarta dan sekitarnya sampel data musim Hujan 23

25Grafik rata-rata ketinggian PBLterhadap lintang wilayah Jakarta dan sekitarnya sampel data musim kemarau malam hari 25 26Grafik rata-rata ketinggian PBLterhadap lintang wilayah Jakarta dan

sekitarnya sampel data musim kemarau siang hari 26 27 Tampilan spasial suhu permukaan Jakarta dan sekitarnya sampel data

musim kemarau siang hari 26

28 Grafik rata-rata ketinggian PBL terhadap lintang wilayah Jakarta dan sekitarnya sampel data musim hujan malam hari 27 29Grafik rata-rata ketinggian PBL terhadap lintang wilayah Jakarta dan

sekitarnya sampel data musim hujan siang hari 28 30 Tampilan spasial ketinggian PBL Jakarta dan sekitarnya sampel data

musim hujan malam hari 29

DAFTAR LAMPIRAN

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Urbanisasi dan peningkatan jumlah penduduk menyebabkan semakin dinamis dan tingginya aktivitas masyarakat perkotaan. Kondisi tersebut berdampak terhadap jumlah penggunaan lahan, pencemaran udara, perubahan suhu udara. Pada akhirnya, perubahan yang terjadi akibat tingginya aktivitas antropogenis tersebut akan menyebabkan terjadinya fenomena Urban Heat Island

(UHI).Istilah ini mengacu kepada terbentuknya daerah-daerah metropolitan atau urban yang relatif lebih hangat dibanding daerah–daerah pedesaan atau rural di sekitarnya. Adanya fenomena UHI ini dalam jangka panjang diduga menjadi penyebab perubahan iklim lokal pada wilayah perkotaan.

Urban Heat Island memiliki keterkaitan erat dengan kurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan peningkatan populasi penduduk, ruang terbangun dan kepadatan kendaraan (Effendy 2007). UHI dewasa ini juga diduga menjadi salah satu faktor penting yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim secara lokal (Nugraha 2009). Sementara Hough dalam Pramujadi (2002) menyatakan bahwa dalam jangka panjang UHI adalah salah satu faktor yang berkontribusi besar terhadap fenomena Global Warming. Dampak tidak langsung yang dapat disebabkan oleh adanya fenomena UHI yang merupakan salah satu indikator kurangnya Ruang Terbuka Hijau juga adalah terganggunya siklus air hujan dan erosi tanah.

Salah satu kawasan perkotaan yang memiliki aktivitas tinggi dan padat sehingga berdampak kepada adanya fenomena UHI adalah kota Jakarta. DKI Jakarta yang memiliki luas 661.52 km2 dan dihuni 9.8 juta jiwa,pada siang hari bisa dipadati hingga 12 juta orang dikarenakan suplai pekerja dari daerah penyangga seperti Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi (Kemendagri 2011). Tingkat kepadatan dan tingginya aktivitas tersebut membuat aktivitas penggunaan lahan atau Land Use Activity untuk kepentingan antropogenis menjadi tinggi, baik itu berupa pembangunan gedung yang mereduksi Ruang Terbuka Hijau dan tutupan vegetasi, maupun aktivitas transportasi. Faktor-faktor tersebut terakumulasi sehingga menyebabkan adanya fenomena UHI di kota Jakarta.

Secara kualitatif, keberadaan fenomena UHI ini dapat dirasakan ketika suhu atau kondisi di kota Jakarta terasa sangat panas dibanding daerah-daerah

rural di sekitarnya terutama pada malam hari.Secara kuantitatif, Voogt (2007) menyatakan bahwa keberadaan Urban Heat Island dapat dideteksi melalui tiga pendekatan yaitu pendekatan ketinggian Planetary Boundary Layer(PBL), ketinggian Canopy Layer (CL) atau suhu udara, dan surface temperature atau suhu permukaan. Pemodelan WRF EMS dapat memetakan dan menghasilkan ketiga luaran tersebut, baik PBL, suhu udara maupun Surface Temperature atau Suhu Permukaan.

(18)

2

Perumusan Masalah

Urban Heat Island (UHI) merupakan fenomena yang sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan lingkungan suatu kota. Hal ini dikarenakan UHI menjadi salah satu indikator ketidakseimbangan pembangunan, aktivitas penggunaan lahan dan kepadatan populasi yang terlalu tinggi di satu kota tak terkecuali kota Jakarta yang memiliki luas 664.01 km2 dengan populasi kurang lebih mencapai 12 juta jiwa pada siang hari serta keberadaan ruang terbuka hijau yang hanya 18 persen.Voogt (2007) menyatakan, ada tiga jenis tipe pendekatan untuk mengukur UHI, yaitu dengan mengukur ketinggian Urban Canopy Layer,

Planetary Boundari Layer dan Suhu Permukaan. Pada penelitian ini, identifikasi terhadap fenomena UHI dilakukan dengan pendekatan suhu udara yang merupakan representasi dari canopy layer, PBL dan Suhu Permukaan. Keberadaan UHI selanjutnya dideteksi dengan ketiga pendekatan tersebut dengan cara membandingkan suhu udara, suhu permukaan dan ketinggian Urban Boundary Layer atau Planetary Boundary Layer suatu wilayah perkotaan dengan wilayah

rural di sekitarnya, serta dengan mengidentifikasi secara spasial dan temporal wilayah perkotaan yang memiliki suhu lebih hangat dibanding wilayah sekitarnya.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan keberadaan fenomena UHI di kota Jakarta, mengidentifikasi perbedaan suhu udara,suhu permukaan dan ketinggian Planetary Boundary Layer antara kota Jakarta dengan daerah rural di sekitarnya, serta membandingkan keberadaan fenomena UHI antara musim kemarau dengan musim hujan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran secara spasial dan temporal mengenai fenomena UHI di kota Jakarta dari tahun ke tahun. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu acuan arah kebijakan dan pembangunan sehingga lebih memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

(19)

3

Bahan

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah data. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data NCEP FNL dengan resolusi 1.0 x 1.0 derajat dan tersedia setiap 6 jam yang diperoleh dari Global Data Asymilation System. Periode data yang digunakan adalah data tertanggal 13 -16 Agustus tahun 2011, 2012, dan 2013 sebagai representasi data musim kemarau dan data tertanggal 13– 16 Januari tahun 2012, 2013 dan 2014 sebagai representasi data musim hujan. Kedua data tersebut kemudian dibandingkan sehingga dapat diidentifikasi adanya perbedaan karakteristik UHI pada kedua musim. Data suhu permukaan hasil observasi Stasiun Klimatologi Jakarta dan Darmaga sebagai bahan validasi.

Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah seperangkat laptop dengan

software Microsoft Office, GrADS dan WRF EMS software.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, secara sederhana tahapan-tahapan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Skema umum penelitian

Penelitian ini diawali dengan mengunduh data FNL dari website ucar.co.id. Selanjutnya, data tersebut diolah dengan software modelling WRF EMS dan GrADS (Grid and Display Analysis System) menghasilkan tiga buah luaran berupa luaran ketinggian PBL, suhu permukaan, dan suhu udara area Jakarta dan sekitarnya. Luaran tersebut terdiri dari dua jenis format tampilan, yaitu tampilan berupa Gambar dan teks, luaran berupa Gambar divalidasi oleh GrADS sedangkan luaran berupa teks dianalisis kembali dengan menggunakan Open Office

(20)

4

Calculator yang kemudian disempurnakan dengan Microsoft Excel sehingga menjadi luaran berupa grafik. Pada tahap akhir, luaran suhu udara divalidasi menggunakan data observasi stasiun Klimatologi Jakarta dan Citeko (Bogor) sehingga kemudian dapat menjadi bahan kesimpulan analisa keberadaan fenomena UHI di kota Jakarta.

Tahapan Pemodelan WRF EMS

Sebelum data FNL diolah dan dimodelkan, terlebih dahulu dilakukan penentuan domain objek penelitian kota Jakarta pada WRF Domain Wizard. Pada penelitian ini diambil tiga domain. Domain 3 dibatasi -5.736o LS sampai -6.68o LS dan 106.104o BT sampai 107.624o BT memiliki resolusi 3 km meliputi daerah Jakarta dan sekitarnya. Domain 2 dibatasi -5.115o LS sampai -7.219o LS dan 104.014o BT sampai 109.796o BT memiliki resolusi 9 km meliputi sebagian pulau Jawa. Domain 1 dibatasi -1.539o LS sampai -10.757o LS dan 98.233o BT sampai 115.577o BT memiliki resolusi 27 km meliputi pulau Jawa, sebagian pulau Kalimantan dan Sumatera. Selanjutnya dilakukan pengaturan konfigurasi domain pada WRF EMS dengan mengatur beberapa skema parameter seperti tipe PBL,

Surface Layer, Cumulus Scheme, Longwave Radiation Scheme, Shortwave Radiation Scheme, dan Land Surface Physics. Konfigurasi domain yang digunakan ini mengacu kepada literatur (Wang et al 2007; UCAR , 2010 dalam

Tursilowati 2011). Detail konfigurasi domain pada pemodelan WRF EMS dapat dilihat pada Gambar 5 dan Tabel 1.

(21)

5

Tabel 1 Konfigurasi domain WRF EMS

Setelah pengaturan konfigurasi domain dilakukan, data NCEP FNL selanjutnya diproses dengan menggunakan pemodelan WRF EMS. Pada tahap awal, data FNL diinisialisasi melalui proses pre-processing dengan memasukkan perintah ems_prep.pl pada terminal. Tahap ini juga berfungsi untuk mengidentifikasi dan memproses data Initial Boundary Condition pada WRF EMS. Hasil proses data tersebut akan berupa .nc file dan tersimpan pada direkori wpsprd. Selanjutnya, data hasil dari proses pre-processing tersebut diproses kembali dengan perintah ems_run.pl. Pada tahap ini, running dan simulasi model data dilakukan. Proses ini memakan waktu yang paling lama di antara semua proses pada WRF EMS. Hasil proses simulasi tersebut kemudian diproses kembali dengan menggunakan perintah ems_post.pl yang berfungsi untuk mengirimkan dan mengkonversi semua output model simulasi ke dalam lokasi dan format file

Radiation Scheme RRTM RRTM RRTM Shortwave

(22)

6

Grib 1 dan 2. Khusus pada penelitian ini, output data yang diambil adalah data ketinggian PBL, nilai suhu udara dan nilai suhu permukaan dalam bentuk GrADS.

Output dalam bentuk GrADS tersebut kemudian diubah ke dalam bentuk Gambar dan teks yang pada tahap akhir ditampilkan pada hasil penelitian ini. Secara sederhana, tahapan-tahapan pada WRF EMS dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Skema modeling WRF

(23)

7

Tahapan Penentuan Koordinat Bujur Jakarta

Batas astronomis bujur kota Jakarta menurut Kemendagri (2009) adalah

106. 22’ 42’’– 106.58’18’’ BT. Karena format lintang dan bujur pada pemodelan

WRF adalah dalam derajat persepuluhan, data tersebut harus dikonversi terlebih dahulu menjadi 106.484o – 106.972o BT. Selanjutnya, daerah observasi dalam bujur dibagi menjadi empat bagian sesuai batas administrasi daratan Jakarta menjadi 106.646o BT, 106,755o BT, 106.863o BT dan 106.972o BT, kemudian, hasil akhir yang digunakan adalah rata-rata nilai tinggi PBL, nilai suhu udara dan suhu permukaan pada empat daerah tersebut. Secara sederhana, tahapan pembagian daerah observasi secara bujur tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

(24)

8

Tahapan Pembagian Lintang Wilayah Kajian

Pada penelitian ini, pemodelan WRF bisa memetakan suhu permukaan, suhu udara dan ketinggian PBL sebanyak 26 titik sepanjang lintang 6,01o LS sampai 6,68o LS. Namun, untuk kepentingan akurasi data wilayah kajian, wilayah pemodelan WRF dibagi menjadi dua wilayah yaitu Jakarta dan Bogor. Wilayah Jakarta terdiri dari wilayah darat kota Jakarta, sebagian kecil kota Bekasi dan Tangerang, Wilayah Bogor terdiri dari tiga wilayah administratif yaitu kabupaten Bogor, kota Bogor dan kota Depok. Variabel suhu permukaan, suhu udara dan PBL yang dihasilkan pemodelan WRF dirata-ratakan sesuai titik yang termasuk ke dalam masing-masing wilayah kajian. Sesuai pengamatan terhadap batas-batas administrasi Jabodetabek, pembatasan wilayah kajian untuk wilayah Jakarta dimulai dari lintang 6,11o LS sampai lintang 6, 36o LS, sedangkan wilayah Bogor (kota Bogor, kab. Bogor dan kota Depok) dibatasi lintang 6,38o LS sampai 6,68o LS. Contoh penentuan nilai variabel pengamatan pada suhu permukaan (tmpsfc) hasil pemodelan tersedia pada Tabel 2.

Tabel 2 Pembagian lintang wilayah kajian

lintang tmpsfc tmpsfc Tmpsfc tmpsfc Rataan (K) Celcius

(25)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengenalan Model WRF

Pemodelan WRF adalah salah satu jenis pemodelan yang digunakan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika untuk memprediksi cuaca, namun pada tahap yang lebih lanjut, pemodelan WRF juga dapat digunakan untuk menganalisis data unsur cuaca yang sudah terjadi seperti pada penelitian ini. Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG pada tahun 2013 melakukan evaluasi performa pemodelan WRF dengan membandingkan hasil pemodelan WRF dengan observasi 70 stasiun di seluruh Indonesia untuk tiga unsur cuaca yaitu tekanan, suhu udara dan kelembaban relatif. Korelasi dan mean error pemodelan WRF dengan observasi stasiun untuk parameter suhu udara memiliki nilai yang signifikan dan paling baik dibanding dua unsur cuaca lainnya. Gambar 5 menunjukkan tingkat korelasi sebagian besar suhu pemodelan WRF memiliki nilai 0.7 – 0.85 dengan pengecualian beberapa stasiun yang memiliki nilai korelasi yang sangat rendah akibat adanya faktor elevasi dan lokasi stasiun yang terpencil yaitu pada sebuah pulau kecil yang dikelilingi lautan. Nilai mean error pada Gambar 5 juga memperlihatkan nilai yang cukup baik di mana mean error suhu pemodelan WRF untuk sebagian besar stasiun memiliki nilai -1 sampai 1 dengan pengecualian beberapa stasiun yang memiliki faktor elevasi yang lebih tinggi dibanding sebagian besar stasiun. Semakin besar selisih elevasi atau ketinggian yang dimiliki sebuah stasiun pengamatan dengan nilai elevasi pada pemodelan WRF, semakin besar mean error atau perbedaan hasil antara pemodelan WRF dengan observasi stasiun tersebut. Adanya keterkaitan antara faktor elevasi dan nilai mean error juga dapat dilihat pada Gambar 5.

(26)

10

Gambar6 Perbandingan suhu udara pemodelan WRF dengan observasi stasiun cuaca data representasi musim kemarau (a) Jakarta (b) Bogor

Hasil pemodelan Suhu Udara WRF pada penelitian ini divalidasi dengan observasi stasiun Cuaca BMKG untuk menguji sejauh mana performa akurasi pemodelan suhu udara WRF, di mana untuk wilayah Jakarta data suhu udara diambil dari observasi stasiun cuaca Cengkareng dengan koordinat -6,1167 LS dan 106,65 BT. Sedangkan untuk wilayah Bogor divalidasi dengan data suhu udara yang didapatkan dari observasi stasiun cuaca Citeko dengan koordinat -6,7 LS dan 106,85 BT.

Selain divalidasi dengan hasil observasi, suhu pemodelan WRF juga dikoreksi berdasar ketinggian titik pengamatan WRF, di mana masing-masing titik pengujian WRF berdasar lintang dan bujur memiliki ketinggian yang berbeda beda yang menyebabkan hasil pemodelan WRF perlu dikoreksi karena setting

ketinggian pada pemodelan WRF diatur secara default tanpa memperhatikan faktor ketinggian. Faktor ketinggian terhadap suhu pada lapisan troposfer bersifat

(27)

11

Tabel 3 Koreksi ketinggian nilai suhu udara pemodelan WRF

Gambar 6 menunjukkan bahwa pada wilayah Jakarta koreksi suhu WRF tidak berpengaruh signifikan dikarenakan ketinggian rata-rata permukaan Jakarta adalah 8 mdpl. Hal ini berbeda dengan wilayah Bogor di mana nilai koreksi WRF berpengaruh signifikan dikarenakan ketinggian wilayah Bogor yang menjadi titik pengujian suhu WRF berkisar antara 70 sampai 1500 mdpl sehingga nilai pemodelan WRF memiliki tingkat akurasi dan validasi yang lebih baik ketika hasil pemodelan dikoreksi.

Hasil validasi model WRF dengan observasi stasiun pada musim kemarau menunjukkan, persamaan yang terbentuk untuk wilayah Jakarta adalah y = 1,0717x – 4,0313 dengan R2 = 0,9544, sedangkan untuk wilayah Bogor persamaan yang terbentuk adalah y = 0,932x + 3,5911 dengan koefisien korelasi R2 sebesar

(28)

12

Suhu Udara Observasi (0C)

0

Suhu Udara Observasi (0C)

(a)

(b)

Gambar 7 Validasi suhu udara sampel data musim kemarau hasil pemodelan WRF dengan observasi stasiun wilayah (a) Jakarta (b) Bogor

Selain pada hasil WRF musim kemarau, koreksi elevasi WRF juga dilakukan terhadap hasil pemodelan suhu udara WRF pada musim hujan. Perbandingan antara WRF koreksi dengan hasil observasi menunjukkan nilai suhu udara pemodelan WRF koreksi memiliki pola dan korelasi yang kuat dengan nilai suhu udara hasil observasi untuk wilayah Jakarta dan Bogor(Gambar 8). Pada wilayah Jakarta, adanya koreksi ketinggian tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil pemodelan WRF sebelumnya, sedangkan pada wilayah Bogor hasil koreksi ketinggian sangat berpengaruh signifikan terhadap perubahan hasil pemodelan WRF. Dengan adanya koreksi ketinggian, hasil pemodelan WRF menjadi lebih akurat dan sesuai dengan hasil observasi stasiun.

(29)

13

Suhu Udara Observasi (0C)

0,0

Gambar 9 Perbandingan suhu udara WRF dan observasi stasiun data representasi musim hujan wilayah Bogor

Pada musim hujan, hasil validasi antara suhu udara hasil pemodelan WRF dengan suhu udara Observasi stasiun membentuk persamaan y = 1,0248x - 0,637 dengan R2 sebesar 0,7367 untuk wilayah Jakarta, sedangkan untuk wilayah Bogor persamaan yang terbentuk adalah y = 1,4861x – 9,1073 dengan R2 sebesar 0,77 (Gambar 11). Hal ini berarti, baik pada musim kemarau maupun musim hujan, hasil pemodelan WRF memiliki korelasi yang cukup kuat dengan hasil observasi.

Gambar 10 Validasi suhu udara sampel data musim hujan hasil pemodelan WRF dengan observasi stasiun wilayah Jakarta

(30)

14

Gambar 11 Validasi suhu udara sampel data musim hujan hasil pemodelan WRF dengan observasi stasiun wilayah (a) Jakarta dan (b) Bogor

Penelitian ini memfokuskan pada perbandingan intensitas UHI pada musim kemarau dan musim hujan melalui pendekatan pengukuran nilai suhu permukaan, suhu udara dan ketinggian Planetary Boundary Layer (PBL) di kota Jakarta dan dari 72 jam waktu efektif pemodelan tidak dapat digunakan.

Secara astronomis, kota Jakarta terletak pada 60 12’ LS dan 1060 48’ BT

dengan ketinggian rata-rata 7 m di atas permukaan laut. Secara Administratif kota Jakarta terdiri dari enam wilayah yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu dengan luas wilayah total mencakup 661.52 km2. Sementara daratannya memiliki luas 649.71 km2 (Pemda DKI Jakarta 2009). Di sebelah utara, Jakarta berbatasan dengan laut Jawa, di sebelah selatan berbatasan dengan kota Depok dan Kabupaten Bogor, di sebelah timur berbatasan dengan kota dan kabupaten Bekasi, dan di sebelah barat berbatasan dengan kota dan kabupaten Tangerang. Menurut Perda no. 1 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun (RJPMD) 2007-2012 kondisi Jakarta pada umumnya beriklim panas dengan suhu udara maksimum berkisar 32. 70C – 340C pada siang hari dan 23.80C – 25.40C pada malam hari dengan rata-rata curah hujan sepanjang tahun adalah 237.9 mm dan selama periode 2002-2006 curah hujan terendah sebesar 122.0 mm dan tertinggi 267.4 mm dengan tingkat kelembaban73 – 78 persen dan kecepatan angin rata-rata 2.2 m/detik – 2.5 m/detik, sedangkan menurut data BMKG (2012) dalam laporan Kondisi Lingkungan Jakarta BPLHD (2013) curah hujan rata-rata bulanan kota Jakarta sepanjang tahun 2012terendah tercatat 0 mm dan terjadi pada bulan Agustus, sedangkan curah hujan rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Januari dengan curah hujan rata-rata 259.20 mm.

y = 1,4861x - 9,1073

(31)

15

Jan feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

S

Gambar 12 Curah hujan bulanan kota Jakarta tahun 2012 (a) dan suhu rata-rata bulanan Jakarta 2002-2012 (b)

Suhu Permukaan Jakarta dan Sekitarnya Musim Kemarau

(32)

16

Gambar 13 Perbandingan rata-rata suhu permukaan Jakarta dan Bogor sampel data musim kemarau

Selain itu, pemodelan WRF yang dilakukan juga mencatat rata-rata perbedaan suhu permukaan terbesar antara kota Jakarta sebagai wilayah urban yang memiliki rata-rata suhu permukaan lebih tinggi dengan wilayah Bogor selaku wilayah rural pembanding terjadi pada pukul 00.00 WIB sebesar 2,6 0C dan rata-rata perbedaan suhu permukaan terendah terjadi ketika pukul 12.00 WIB dengan nilai suhu 1,8 0C dengan rata-rata perbedaan suhu sebesar 2,3 0C (Gambar 14).

Gambar 14 Selisih suhu permukaan Jakarta dan Bogor sampel data musim kemarau

Secara spasial, fenomena perbedaan suhu permukaan antara wilayah Jakarta dengan sekitarnya termasuk wilayah Bogor yang merupakan Gambaran penampakan fenomena Urban Heat Island juga dapat teramati melalui hasil pemodelan suhu permukaan WRF (Gambar15). Pada Gambar 15 nampak bahwa wilayah Jakarta yang dilingkari garis putus-putus memiliki warna spektrum yang lebih panas dibanding wilayah sekitarnya.

2,4

06.00 12.00 18.00 00.00 06.00 12.00 18.00 00.00 06.00

S

06.00 12.00 18.00 00.00 06.00 12.00 18.00 00.00 06.00

(33)

17

Gambar 15 Tampilan spasial suhu permukaan Jakarta dan sekitarnya sampel data musim kemarau

Suhu Permukaan Jakarta dan Sekitarnya Musim Hujan

Pada sampel data musim hujan, yaitu tanggal 13, 14, dan 15 Januari selama tiga tahun berturut-turut 2012, 2013, dan 2014 pengamatan setiap 6 jam terhadap hasil pemodelan WRF untuk suhu permukaan kota Jakarta dan sekitarnya menunjukkan rata-rata suhu tertinggi di kota Jakarta terjadi pada pukul 12.00 WIB sebesar 30,9 0C dan rata-rata suhu terendah terjadi pada pukul 06.00 WIB sebesar 23,5 0C, sedangkan untuk wilayah Bogor, rata-rata suhu tertinggi tercatat terjadi pada pukul 12.00 WIB sebesar 27,4 0C dan rata-rata suhu terendah

terjadi pada pukul 06.00 sebesar 21,4 0C (Gambar 16).

Gambar 16 Perbandingan rata-rata suhu permukaan Jakarta dan Bogor sampel data musim hujan

Pada tahap selanjutnya, dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa selisih perbedaan suhu terbesar antara kota Jakarta dengan Bogor pada sampel data musim Hujan yang dimodelkan adalah sebesar 3,8 0C yang terjadi pada pukul 12.00 WIB dan selisih perbedaan suhu terendah terjadi pada pukul 00.00 WIB dan 06.00 WIB yaitu sebesar 2,2 0C dengan rata-rata selisih perbedaan suhu sebesar 2,7 0C. Berbeda dengan rata-rata suhu permukaan tertinggi pada musim kemarau

21,4

06.00 12.00 18.00 00.00 06.00 12.00 18.00 00.00 06.00

(34)

18

yang terjadi pada pukul 00.00 WIB, pada sampel data musim hujan, rata-rata suhu permukaan tertinggi terjadi ketika pukul 12.00 WIB (Gambar 17). Hal ini tentu saja dipengaruhi faktor adanya presipitasi dan keawanan pada musim hujan yang mempengaruhi puncak rata-rata tertinggi suhu permukaan.

Gambar 17 Selisih suhu permukaan Jakarta dan Bogor sampel data musim hujan

Secara spasial, pemodelan WRF terhadap suhu permukaan Jakarta dan sekitarnya pada musim hujan juga dapat menggambarkan tampilan spasial Urban Heat Island yang dapat teramati dari adanya kontur suhu yang mirip pulau berwarna merah dan berbeda warna dengan daerah sekitarnya (Gambar 18).

Gambar 18 Tampilan spasial suhu permukaan Jakarta dan sekitarnya sampel data musim hujan

Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata suhu permukaan harian Jakarta dan Bogor baik pada musim kemarau maupun musim hujan, nampak bahwa rata-rata selisih perbedaan suhu permukaan tertinggi dan terendah Jakarta dengan Bogor yaitu sebesar 2,7 0C pada musim hujan,lebih besar dibanding pada musim kemarau yaitu sebesar 2,3 0C. Hal ini berarti, intensitas UHI yang salah satunya ditandai

06.00 12.00 18.00 00.00 06.00 12.00 18.00 00.00 06.00

(35)

19

dengan selisih rata-rata suhu antara wilayah urban dengan rural lebih nampak dan besar intensitasnya ketika musim hujan dibanding kemarau. Selain itu, beberapa hasil pemodelan yang nampak di antaranya juga adalah rata-rata suhu permukaan pada musim kemarau, lebih tinggi nilainya dibanding musim hujan. Suhu tertinggi musim kemarau yaitu sebesar 33,2 0C, lebih tinggi dibanding musim hujan yaitu 30,9 0C untuk Jakarta, dan sebesar 31,00C dibanding 27,4 0C untuk Bogor. Selain itu, perbandingan suhu permukaan terendah antara musim kemarau dengan musim hujan dengan tanpa membandingkan kedua wilayah kajian menunjukkan suhu terendah pada musim kemarau memiliki nilai yang lebih rendah dibanding suhu terendah pada musim hujan, yaitu 20,1 0C dibanding 23,5 0C untuk kota Jakarta, dan 18,0 0C dibanding 21,4 0C untuk wilayah Bogor. Hal ini

berarti, dengan tanpa membandingkan perbedaan suhu wilayah Jakarta dengan Bogor, secara diurnal perubahan suhu pada musim kemarau wilayah Jakarta dan Bogor lebih ekstrem dibanding musim hujan. Faktor presipitasi dan keawanan yang lebih tinggi pada musim hujan dibanding musim kemarau berperan mempertahankan suhu permukaan secara diurnal.

Tabel 4 Perbandingan suhu permukaan tertinggi dan terendah pemodelan

Jakarta Kemarau Hujan

Nilai suhu permukaan tertinggi 32,2 0C 31,0 0C Nilai suhu permukaan terendah 20,1 0C 23,5 0C

Bogor Kemarau Hujan

Nilai suhu permukaan tertinggi 31,0 0C 27,4 0C Nilai suhu permukaan terendah 18,2 0C 21,4 0C

Rosenberg (1974) mengartikan suhu permukaan sebagai suhu terluar suatu objek. Untuk suatu permukaan tanah, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah, sedangkan untuk vegetasi dapat dipandang sebagai suhu permukaan kanopi tumbuhan, dan pada tubuh air merupakan suhu dari permukaan air tersebut. Ketika radiasi melewati permukaan suatu objek, fluks energi tersebut akan meningkatkan suhu permukaan objek. Hal ini menyebabkan meningkatnya fluks energi panas yang keluar dari permukaan benda tersebut. Energi panas tersebut akan dipindahkan dari permukaan yang lebih panas ke udara di atasnya yang lebih dingin. Sebaliknya, jika udara lebih panas dan permukaan lebih dingin, panas akan dipindahkan dari udara ke permukaan di bawahnya.

Perubahan suhu permukaan obyek tidaklah sama. Hal ini tergantung pada karakteristik objek tersebut. Karakteristik yang menyebabkan perbedaan tersebut di antaranya emisivitas, kapasitas panas jenis dan konduktivitas termal. Suhu permukaan objek akan meningkat bila memiliki emisivitas dan kapasitas panas yang rendah dan konduktivitas termalnya tinggi (Adiningsih 2001).

(36)

20

wilayah untuk mereduksi dampak UHI (Effendy 2007). Agrissantika et al (2007) mengidentifikasi bahwa wilayah Jakarta sampai tahun 2005 hanya memiliki 11 % Ruang Terbuka Hijau (RTH) dari 649,71 Km2 luas daratannya, sementara kota Bogor memiliki 43 % RTH dan kab. Bogor memiliki 84 % RTH. Akibatnya, baik pada musim kemarau dan musim hujan, suhu permukaan rata-rata kota Jakarta selalu lebih tinggi dibanding wilayah rural sekitarnya terutama wilayah Bogor. Tingginya suhu permukaan di kota Jakarta dibanding daerah rural sekitarnya inilah yang menjadi salah satu indikator keberadaan UHI.

Suhu Udara Jakarta dan Sekitarnya Musim Kemarau

Suhu Udara merupakan suatu gambaran energi yang terdapat di atmosfer atau di udara dan dapat dirasakan oleh tubuh serta dapat diukur dengan termometer dengan satuan 0C atau K (Effendy 2007). Suhu udara, juga merupakan Gambaran energi kinetik pergerakan molekul-molekul udara. Dalam definisi yang lebih sempit, suhu udara pada penelitian ini dimaksudkan sebagai suhu udara yang terukur oleh pemodelan WRF pada ketinggian 2 m di atas permukaan tanah. Berdasarkan hasil pemodelan WRF yang telah dilakukan, pada sampel data musim kemarau, rata-rata suhu udara tertinggi kota Jakarta adalah sebesar 30,0 0C pada pukul 12.00 WIB dan rata-rata suhu udara terendah sebesar 21,6 0C pada pukul

06.00 WIB. Sedangkan untuk wilayah Bogor, rata-rata suhu udara tertinggi adalah sebesar 26,6 0C yang terjadi pada pukul 12.00 WIB dan rata-rata suhu udara terendah adalah sebesar 18,4 yang terjadi pada pukul 06.00 WIB (Gambar 19).

Gambar 19 Perbandingan rata-rata suhu udara Jakarta dan Bogor sampel data musim kemarau

Selain menggambarkan perbandingan rata-rata suhu udara Jakarta dan Bogor, hasil pemodelan WRF juga menunjukkan selisih perbedaan suhu setiap 6 jam yang teramati dalam Gambar 20. Selisih perbedaan suhu ini merupakan indikator besar kecilnya intensitas UHI, semakin besar rata-rata selisih perbedaan suhu, semakin besar intensitas UHI pada suatu wilayah (Voogt 2007).

22,0

06.00 12.00 18.00 00.00 06.00 12.00 18.00 00.00 06.00

(37)

21

Gambar 20 Selisih perbedaan suhu udara Jakarta dan Bogor sampel data musim kemarau

Gambar 20 menunjukkan selisih perbedaan suhu udara Jakarta dengan Bogor terbesar terjadi pada pukul 00.00 WIB dengan nilai 3,8 0C dan selisih perbedaan suhu udara terendah terjadi ketika pukul 12.00 WIB dengan nilai 3,2

0C. Selain itu, berdasar Gambar 20 nampak bahwa puncak selisih perbedaan suhu

udara terbesar antara kota Jakarta dengan Bogor selalu terjadi ketika pukul 00.00 WIB sedangkan selisih perbedaan suhu udara terkecil selalu terjadi ketika pukul 12.00 WIB. Hal ini, sesuai dengan model UHI Voogt (2007) di mana intensitas terbesar UHI berbanding lurus dengan besarnya selisih suhu udara antara wilayah urban dengan wilayah rural di sekitarnya yang teramati terutama ketika puncak malam yang tenang (pukul 00.00 WIB).

Tingginya intensitas UHI pada malam hari yang tenang disebabkan karena perbedaan karakteristik permukaan kota Jakarta yang terdiri dari bangunan dan gedung tinggi atau lahan terbangun dengan wilayah Bogor yang masih dominan vegetasi. Adanya bangunan dan gedung tinggi tersebut menyebabkan wilayah Jakarta memiliki struktur geometri permukaan kasar yang akan menjebak dan mengurangi kehilangan panas radiatif akibat kecilnya sky view factor terutama pada malam hari. Geometri permukaan tersebut juga akan menyebabkan sheltering effect yang mengurangi kehilangan panas konvektif dari permukaan dan udara dekat permukaan. Selain itu, karakteristik permukaan Jakarta yang berupa bangunan dan gedung tersebut pada malam hari juga akan menyimpan panas yang relatif lebih besar dibanding karakteristik permukaan vegetasi karena lahan terbangun cenderung memiliki kapasitas panas yang lebih besar. Pada malam hari, permukaan wilayah urban yang lebih panas dibanding udara di atasnya akan menimbulkan turbulensi. Turbulensi yang terjadi di wilayah urban yang dibentuk oleh interaksi gaya apung (bouyancy)dan gaya shear angin dengan panas permukaan menyebabkan terjadinya stabilitas dinamis dan suhu udara yang relatif lebih hangat dibanding wilayah rural sekitarnya, sementara wilayah rural yang memiliki kapasitas panas lebih kecil cenderung memiliki turbulensi yang kecil akibat karakteristik permukaannya yang berupa vegetasi. Selain itu, faktor turbulensi tersebut juga berpengaruh terhadap ketinggian PBL wilayah urban yang lebih tinggi dibanding wilayah rural terutama pada malam hari.

3,4

06.00 12.00 18.00 00.00 06.00 12.00 18.00 00.00 06.00

S

uhu (

0C)

(38)

22

Gambar 21 Tampilan spasial suhu udara Jakarta dan sekitarnya sampel data musim kemarau

Suhu Udara Kota Jakarta dan Sekitarnya Musim Hujan

Pada sampel data representasi musim hujan, pemodelan WRF yang dilakukan menunjukkan rata-rata suhu udara tertinggi yang tercatat di Jakarta adalah sebesar 29,2 0C terjadi pada pukul 12.00 WIB dan rata-rata suhu udara terendah terjadi ketika pukul 06.00 WIB yaitu sebesar 24,2 0C. Selain itu, pemodelan WRF juga menunjukkan rata-rata suhu udara tertinggi di Bogor adalah sebesar 25 0C yang terjadi pada pukul 12.00 WIB dan suhu terendah terjadi pada

pukul 06.00 WIB yaitu sebesar 20,5 0C (Gambar 22).

Gambar 22 Perbandingan rata-rata suhu udara Jakarta dan Bogor sampel data musim hujan

Berbeda dengan rata-rata selisih perbedaan suhu udara sampel data musim kemarau, pada sampel data musim hujan selisih perbedaan suhu udara menunjukkan nilai selisih perbedaan suhu yang lebih tinggi yaitu rata-rata sebesar 4,1 0C. Selisih perbedaan suhu udara tertinggi terjadi ketika pukul 12.00 WIB

06.00 12.00 18.00 00.00 06.00 12.00 18.00 00.00 06.00

(39)

23

yaitu sebesar 4,4 0C, sedangkan selisih perbedaan suhu terendah terjadi ketika pukul 06.00 yaitu sebesar 3,7 0C (Gambar 23).

Gambar 23 Selisih perbedaan suhu udara Jakarta dan Bogor sampel data musim hujan

Secara spasial, pemodelan WRF juga dapat menampilkan penampakan UHI yang direpresentasikan dengan kontur suhu udara di Jakarta ketika musim hujan (Gambar 24). Tampilan pemodelan WRF secara spasial untuk UHI pada musim hujan juga tidak terlalu berbeda dengan musim kemarau, oleh karenanya identifikasi perbedaan karakteristik UHI antara musim kemarau dengan musim hujan tidak dilakukan berdasarkan penampakan secara spasial.

Gambar 24 Tampilan spasial suhu udara Jakarta dan sekitarnya sampel data musim hujan

Perbandingan Karakteristik Suhu Udara Musim Kemarau dan Musim Hujan

Berdasarkan hasil pemodelan WRF baik pada sampel data representasi musim kemarau maupun musim hujan terhadap suhu udara di Jakarta dan

4,1 4,2

3,9 4,0

3,7

4,2

4,0

4,4

4,0

2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0

0 6 . 0 0 1 2 . 0 0 1 8 . 0 0 0 0 . 0 0 0 6 . 0 0 1 2 . 0 0 1 8 . 0 0 0 0 . 0 0 0 6 . 0 0

S

uhu Uda

ra

(

0 C)

(40)

24

sekitarnya. Nampak bahwa intensitas UHI pada sampel data musim kemarau lebih rendah dibanding sampel data musim hujan, hal ini karena rata-rata selisih perbedaan suhu udara antara Jakarta dan Bogor pada musim hujan memiliki rata-rata selisih suhu yang lebih besar yaitu 4,1 0C dibanding musim kemarau yang hanya memiliki selisih perbedaan suhu sebesar 3,5 0C. Sementara itu, Karjoto et al

(1992), Adiningsih (1997) dan Santosa (1998) telah melakukan kajian terhadap suhu udara perkotaan dan sekitarnya di Indonesia dan menghasilkan kesimpulan suhu udara rata-rata perkotaan lebih tinggi 0,02-1,0 0C dibanding daerah rural

sekitarnya.

Tabel 5 Selisih suhu udara Jakarta dan Bogor

Jam Selisih Suhu Udara (

0C)

Musim Kemarau Musim Hujan

06.00 3,4 4,1 lebih besar dibanding musim kemarau, berdasarkan hasil tersebut dapat diduga bahwa adanya faktor keawanan dan presipitasi yang lebih dominan pada musim hujan menyebabkan perbedaan suhu udara antara Bogor dengan Jakarta secara diurnal lebih besar dibanding musim kemarau. Ketika musim hujan, tingkat keawanan yang berbeda antara wilayah Bogor dengan Jakarta menyebabkan perbedaan suhu antara keduanya memiliki selisih yang cukup besar dibanding musim kemarau yang keduanya relatif memiliki keawanan yang sama-sama kecil. Ketika musim hujan tiba, wilayah Bogor yang dipengaruhi oleh cuaca orografis akan cenderung memiliki tingkat keawanan yang lebih besar dibanding Jakarta terutama pada siang hari. Adanya keawanan ini menyebabkan radiasi matahari terhalang sehingga suhu wilayah Bogor menjadi semakin dingin dan memiliki selisih yang besar dengan daerah Jakarta yang tingkat keawanannya lebih rendah dibanding Bogor.

(41)

25

terjadinya pola seperti ini akibat adanya interaksi udara daratan dengan lautan yang biasa dikenal dengan fenomena angin darat dan angin laut (Tjasyono 1996). Fenomena tersebut dapat dijelaskan karena pada siang hari, ketika radiasi matahari menyinari bumi, daratan yang memiliki daya serap panas lebih baik dibanding lautan yang merupakan fluida akan bersuhu lebih panas dibanding lautan. Suhu daratan yang lebih tinggi dibanding lautan akan berbanding terbalik dengan tekanan udara di daratan. Di mana tekanan udara di daratan lebih rendah dibanding lautan dan menyebabkan udara di lautan yang memiliki suhu lebih rendah dan tekanan lebih tinggi dibanding daratan akan bergerak ke daratan. Pergerakan udara inilah yang biasa dikenal dengan angin laut.

Pada malam hari kondisi tersebut akan berkebalikan sehingga udara akan bergerak dari daratan ke lautan dan menyebabkan terjadinya fenomena angin darat. Dua jenis fenomena pergerakan angin ini merupakan salah satu faktor yang penting dalam membentuk pola suhu udara khususnya di daratan dan kota yang terletak di pesisir seperti Jakarta. Selain itu faktor karakteristik orografis wilayah Bogor yang menyebabkan terjadinya fenomena angin gunung juga terpengaruh terhadap intensitas UHI. Angin gunung terjadi karena keadaan topografi yang diakibatkan oleh perbedaan suhu (Handoko 1995). Pada malam hari, puncak gunung mengalami pendinginan lebih cepat akibat proses pemanasan yang berhenti. Sehingga angin gunung yang membawa massa udara yang lebih dingin ini menumpuk dan kemudian bergerak menuju ketinggian permukaan yang lebih rendah.

Ketinggian PBL Jakarta musim kemarau

Keberadaan UHI selanjutnya dideteksi dengan memodelkan ketinggian

Planetary Boundary Layer (PBL) di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Hasil pemodelan ketinggian PBL diamati pada tengah hari dan tengah malam. PBL merupakan representasi dari profil vertikal suhu, kelembaban, angin dan intensitas turbulensi memiliki ketinggian yang lebih tinggi di wilayah urban dibanding wilayah rural. Profil rata – rata ketinggian PBL di wilayah Jakarta ketika musim kemarau pada malam hari melintang ke selatan dapat dilihat pada Gambar 25. Wilayah daratan Jakarta ditandai dengan lintang -6.1o LS sampai -6.35o LS dan

lintang -6.35o LS sampai -6.7o LS merupakan wilayah Depok, kab. Bogor dan Kota Bogor.

Gambar 25 Grafik rata-rata ketinggian PBL terhadap lintang wilayah Jakarta dan Bogor sampel data musim kemarau pada malam hari

100,0 200,0 300,0

-6,80 -6,70 -6,60 -6,50 -6,40 -6,30 -6,20 -6,10 -6,00

(42)

26

Pada malam hari, ketinggian rata-rata PBL yang tercatat oleh pemodelan WRF di wilayah Jakarta dan Bogor sepanjang lintang 6,1o LS - 6,7o LS memiliki ketinggian berkisar antara 151 m sampai 221 m. Titik ketinggian PBL tertinggi di wilayah Jakarta yaitu 221 m dan ketinggian terendah 151 m di wilayah Bogor.

Pada siang hari, terutama pukul 12.00, ketinggian PBL mencapai tinggi maksimal akibat aktivitas turbulensi dan konveksi yang intensitasnya lebih besar dibanding malam hari. Hasil pemodelan WRF menunjukkan rata-rata ketinggian PBL kota Jakarta dan sekitarnya adalah 1025 m sampai 1240 m dengan ketinggian PBL tertinggi terjadi di Jakarta yaitu 1240 m dan terendah di Bogor yaitu 1025 m (Gambar 26).

Gambar 26 Grafik rata-rata ketinggian PBL terhadap lintang wilayah Jakarta dan sekitarnya sampel data musim kemarau pada siang hari

Pemodelan WRF juga dapat mengidentifikasi keberadaan UHI secara spasial dengan pendekatan ketinggian PBL. Di mana wilayah Jakarta ditandai dengan lingkaran putus-putus dan wilayah Bogor di sebelah selatannya (Gambar 27).

Gambar 27 Tampilan spasial ketinggian PBL Jakarta dan sekitarnya sampel data musim kemarau Siang Hari

700,0 800,0 900,0 1000,0 1100,0 1200,0 1300,0

-6,80 -6,70 -6,60 -6,50 -6,40 -6,30 -6,20 -6,10 -6,00

Ke

ti

ng

g

ian

P

B

L

(m)

(43)

27

Ketinggian PBL Jakarta Musim Hujan

Pada malam hari di musim hujan, pola ketinggian PBL yang dihasilkan oleh WRF di Jakarta dan sekitarnya adalah berkisar rata-rata 282 m sampai 608 m. Berbeda dengan hasil pemodelan WRF di musim kemarau pada malam hari, pada malam hari di musim hujan, ketinggian PBL rata-rata lebih tinggi di Bogor dibanding Jakarta. PBL tertinggi tercatat bernilai 608 m di wilayah Bogor dan terendah bernilai 282 m di wilayah Jakarta. Selain itu, ketinggian PBL malam hari musim hujan juga memiliki rata-rata ketinggian yang lebih tinggi dibanding malam hari musim kemarau yang memiliki selang nilai ketinggian PBL antara 151 m sampai 221 m. Adanya faktor presipitasi patut diduga mempengaruhi kondisi ini. Grafik ketinggian PBL terhadap lintang pada daerah Jakarta dan sekitarnya dapat dilihat pada Gambar 28.

Gambar 28 Grafik rata-rata ketinggian PBL terhadap lintang wilayah Jakarta dan sekitarnya sampel data musim hujan pada malam hari

Pada siang hari, Rata-rata ketinggian PBL pada musim hujan wilayah Jakarta lebih tinggi dibanding Bogor. Pola UHI yang digambarkan dengan lebih tingginya ketinggian PBL di wilayah urban dibanding wilayah rural kembali nampak pada siang hari. Ketinggian PBL tertinggi PBL tercatat bernilai 1085 di wilayah Jakarta dan ketinggian PBL terendah tercatat bernilai 647 m di wilayah Bogor (Gambar 29).Selain itu, hasil pemodelan WRF juga memperlihatkan secara keseluruhan, ketinggian rata-rata PBL siang hari pada musim hujan memiliki nilai yang lebih rendah dibanding kondisi pada musim kemarau. Adanya faktor presipitasi dan keawanan yang lebih dominan pada musim hujan patut diduga menyebabkan kondisi ini terjadi.

Jika dilihat secara keseluruhan, nampak bahwa pemodelan WRF memperlihatkan rata-rata ketinggian PBL pada siang hari musim kemarau lebih tinggi dibanding siang hari musim hujan. Sedangkan rata-rata ketinggian PBL malam hari musim kemarau lebih rendah dibanding malam hari musim kemarau. PBL merupakan lapisan terbawah troposfer sekaligus atmosfer. Stull (1999) menjelaskan bahwa PBL adalah bagian dari troposfer yang secara langsung dipengaruhi oleh permukaan bumi dan merespon gaya-gaya permukaan dalam rentang waktu satu jam atau kurang. Gaya permukaan yang mempengaruhi PBL antara lain yaitu gaya gesekan antar lapisan udara, evaporasi dan transpirasi, transfer panas, emisi polutan, dan tanah lapang yang menyebabkan modifikasi aliran.

-6,80 -6,70 -6,60 -6,50 -6,40 -6,30 -6,20 -6,10 -6,00

(44)

28

Gambar 29 Grafik rata-rata ketinggian PBL terhadap lintang wilayah Jakarta dan sekitarnya sampel data musim hujan pada siang hari

Adanya aktivitas antropogenis yang lebih dominan terjadi di siang hari di kota Jakarta dibanding wilayah Bogor menyebabkan ketinggian PBL lebih tinggi di Kota Jakarta dibanding Bogor. Selain itu, PBL juga merupakan lapisan yang sangat dipengaruhi oleh permukaan bumi. Interaksi antara PBL dan permukaan bumi dapat menyebabkan terjadinya proses-proses unik yang menunjukkan karakteristik PBL terutama pada siang hari di mana terjadi konveksi maksimum akibat penyinaran matahari. Karakteristik PBL tersebut dapat diketahui dari beberapa unsur-unsur meteorologi dan juga kondisi stabilitas atmosfer. Adapun unsur-unsur meteorologi yang mencirikan karakteristik ABL antara lain suhu udara, kelembaban, dan kecepatan angin.

Menurut Arya (2001), pada siang hari terjadi pemanasan secara terus menerus dan pencampuran termal, sehingga menyebabkan ketebalan PBL meningkat sepanjang hari dan akan mencapai ketebalan maksimum ketika sore hari yang besarnya dapat mencapai 1 km (± 0.2 - 5 km). Selanjutnya saat matahari terbenam, mulai terjadi pendinginan di daratan yang menyebabkan turbulensi semakin lemah sehingga ketebalan PBL hanya mencapai 100 m (± 20 – 500 m). Oleh karena itu, ketebalan PBL sangat dipengaruhi oleh pemanasan dan pendinginan di permukaan secara diurnal (harian). Adanya presipitasi dan kawanan yang terjadi di musim hujan pada siang hari, menyebabkan suhu udara menjadi lebih dingin dan mengurangi intensitas turbulensi di lapisan PBL. Hal ini menyebabkan ketinggian PBL siang hari pada musim kemarau lebih tinggi dibanding siang hari pada musim hujan. Namun pada malam hari, ketika tidak ada radiasi matahari, sesaat sebelum terjadi presipitasi kelembaban udara yang merupakan salah satu unsur pembentuk ketinggian PBL akan meningkat dan menyebabkan ketinggian PBL secara rata-rata tetap lebih rendah dibanding siang hari, namun lebih tinggi dibanding rata-rata ketinggian malam hari di musim kemarau. Hal inilah mengapa ketinggian PBL rata-rata pada malam hari di musim hujan lebih tinggi dibanding musim kemarau.

Pada Gambar 30 nampak bahwa ketinggian rata-rata PBL selama musim hujan di daerah urban yaitu Jakarta lebih rendah dibanding daerah rural

pembanding yaitu Bogor dan sekitarnya, faktor yang paling dominan menyebabkan terjadinya anomali tersebut adalah faktor presipitasi pada malam hari dan ketinggian permukaan antara Jakarta dan Bogor. Tampilan spasial WRF

400,0

-6,80 -6,70 -6,60 -6,50 -6,40 -6,30 -6,20 -6,10 -6,00

(45)

29

untuk ketinggian PBL pada malam hari di musim hujan dapat dilihat pada Gambar 30. Wilayah Jakarta ditandai dengan lingkaran hitam putus-putus.

Gambar 30 Tampilan spasial ketinggian PBL Jakarta dan sekitarnya sampel data musim hujan malam hari

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemodelan WRF terhadap suhu permukaan, suhu udara dan ketinggian PBL di wilayah Jakarta dan sekitarnya, dapat disimpulkan bahwa intensitas UHI yang salah satunya ditandai dengan selisih perbedaan suhu permukaan dan suhu udara perkotaan dengan suhu permukaan dan suhu udara wilayah rural di sekitarnya lebih besar terjadi pada data representasi musim hujan dibanding musim kemarau. Hal ini dapat dilihat dari selisih suhu permukaan wilayah Jakarta dengan Bogor yaitu sebesar 2,7 0C pada data representasi musim hujan dibanding 2,3 0C pada musim kemarau. Selain itu, hasil pemodelan suhu

udara menunjukkan, pada musim hujan, selisih perbedaan suhu udara antara Jakarta dengan Bogor sebesar 4,1 0C, sedangkan pada musim kemarau sebesar 3,5

0C.

(46)

30

menunjukkan ketinggian PBL lebih tinggi di wilayah Jakarta dibanding Bogor. Berbeda dengan pada siang hari, pemodelan lapisan PBL malam hari pada musim hujan memiliki ketinggian yang lebih tinggi dibanding pada musim kemarau, rata-rata ketinggian PBL pada musim hujan malam hari adalah 282 m sampai 608 m, sedangkan pada musim karau berkisar antara 151 m sampai 221 m. Namun demikian, pola ketinggian melintang PBL malam hari pada musim hujan dari wilayah Jakarta ke arah Bogor menunjukkan ketinggian PBL di wilayah Bogor lebih tinggi dibanding wilayah Jakarta, sedangkan pola ketinggian PBL melintang dari Jakarta ke arah Bogor pada musim kemarau menunjukkan ketinggian PBL wilayah Jakarta lebih tinggi dibanding wilayah Bogor. Hal ini berarti, UHI tak terdeteksi melalui pendekatan ketinggian PBL pada malam hari di musim hujan sebagai akibat adanya keawanan dan presipitasi di musim hujan.

Saran

Pada penelitian ini, validasi hanya dilakukan terhadap suhu udara karena keterbatasan data, oleh karenanya perlu dilakukan validasi bukan hanya terhadap suhu udara, tetapi juga suhu permukaan dan ketinggian PBL. Selain itu panjang data representasi untuk musim kemarau dan musim hujan perlu diperpanjang sehingga menghasilkan hasil yang lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, E S.Dyas W, Imam S. 2001. Studi Pulau Panas di Jakarta dan Sekitarnya Dengan Menggunakan Data Satelit. Jakarta : Majalah LAPAN No.68.

Agrissantika, T., Rustiadi,D.P.T Baskoro. 2007. Model Dinamika Spasial Ruang Terbangun dan Ruang terbuka Hijau(Studi Kasus Kawasan Jabodetabek). Makalah Pada Seminar Menuju Jabodetabek berkelanjutan. Bogor : IPB ICC Arya PS. 2001. Introduction to Micrometeorology. Second Edition. San Diego,

New York, Berkeley, Boston, London, Sydney, Tokyo, Toronto: Academic Press, Inc.

BMKG (2013) Portal Resmi Badan Meteorologi dan Klimatologi . Tersedia di : www.bmkg.go.id

BPLHD, Pemda DKI (2013). Portal Resmi Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Pemda DKI. Tersedia di : www.bplhd.jakarta.go.id diakses 2 Juli 2014 Effendy, Sobri.2007. Keterkaitan Ruang terbuka Hijau Dengan Urban Heat Island Wilayah Jabodetabek. Disertasi. Bogor : Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB

Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya.

Karjoto, et al. Kota Sebagai Pusat Panas (City as na Urban Heat Island). Prosiding seminar Sehari Mengenal Iklim Perkotaan. Jakarta : PERHIMPI Kemendagri (2009) Portal Resmi Kementerian Dalam negeri Republik Indonesia.

(47)

31

Khomaruddin, MR.2001. Mendeteksi Pulau Panas (Heat Island) dengan Data Satelit Penginderaan Jauh.Jurnal Lapan Indonesia

Kurniawan, Roni et al. 2013. Verifikasi Model WRF (Weather Research and Forecasting) di Indonesia. Prosiding seminar tahunan hasil-hasil penelitian Puslitbang BMKG tahun 2013

Pemda DKI (2009). Portal Resmi Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Tersedia di www.jakarta.go.id diakses 4 Juli 2014

Rosenberg and Norman J. 1974. Microclimate : The Biological Environment. John Willey& Sons. New York.

Santosa, I., Bey, A. 1992. Kenyamanan Kebun Raya Bogor sebagai Tempat Rekreasi ditinjau dari segi Iklim Mikro dan Kualitas Udara. Bogor : LPPM IPB

Skamarock, W.C., Klemp, J.B., Dudhia, J., Gill, D.M., Barker, D.O.,Wang, W. &Powers, J.G. (2008) A Description of Th eAdvanced Research WRF Version 3, NCAR TechnicalNote, USA, 88p

Stull RB. 1999. An Introduction do Boundary Layer Meteorology. London: Kluwer Academic Publishers.

Tjasyono. 1996. Klimatologi Terapan. Bandung : Pionir Jaya

Tursilowati L, et al.2011.Integrated WRF/Urban Modelling System and Its Aplicationto Monitoring Urban Heat Island in Jakarta, Indonesia.Journal of Urban and Environmental Engineering, v. 6, n. 1, p 01-09 ISSN 1982 – 3932 Voogt JA. 2002. Urban Heat Island: Causes and Consequences of Global

Environmental Change. Chichester: John Wileyand Sons, Ltd.. hlm 660-666. Voogt, JA.2007. How Researchers Measure Urban Heat Island. Ontario :

Departement of Geography University of Western Ontario Canada

Wang K, Wan Z, Wang P, Sparrow M, Liu J, Zhou X, Haginoya S. 2005. Estimation of Surface Long Wave Radiation and Broadband Emissivity Using Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) Land Surface Temperature/ Emissivity Products. Journal of Geophysical Research. Vol 110 (D11109).

(48)

32

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Contoh hasil pemodelan suhu udara 14 Agustus 2011 12.00 WIB

(49)

33

Lampiran 2 Contoh hasil pemodelan suhu udara 14 Agustus 2012 06.00 WIB

Koordinat Suhu Udara (K) Rataan

(0C)

Rataan (0C)

106,49 BT 106,75 BT 106,86 BT 106,97 BT

-6,68 LS 292,069 293,138 293,567 291,268 19,5

Bogor 21,7 -6,65 LS 292,069 293,138 293,567 291,268 19,5

-6,63 LS 292,605 293,728 294,083 292,001 20,1 -6,60 LS 293,229 294,369 294,624 292,912 20,8 -6,57 LS 293,659 294,757 295,086 293,978 21,4 -6,55 LS 294180 295,479 295,623 294,805 22,0 -6,52 LS 295,226 295,785 295,912 295,214 22,5 -6,49 LS 295,968 295,878 296,022 295,708 22,9 -6,46 LS 296,088 295,944 295,694 296,259 23,0 -6,44 LS 296,082 295,926 296070 296,192 23,1 -6,41 LS 295,771 295,904 296,073 296,002 22,9 -6,38 LS 295380 295,914 296,004 295,846 22,8 -6,36 LS 295,421 295,916 295,924 295,873 22,8

Jakarta 22,8 -6,33 LS 295,599 295,932 295,685 295,921 22,8

-6,30 LS 295,771 295,925 295,733 295,214 22,7 -6,28 LS 295,841 295,616 295,806 295,903 22,8 -6,25 LS 295,858 295,791 295920 295,834 22,9 -6,22 LS 295,857 295,628 295,494 295,091 22,5 -6,19 LS 295,864 295,841 295,982 295,041 22,7 -6,17 LS 295,859 295,906 295,314 295,626 22,7 -6,14 LS 295,839 296,004 295,291 295,572 22,7 -6,11 LS 295,822 296,049 297,845 295,544 23,3 -6,09 LS 295,799 296,009 298,483 297,353 23,9

Laut Jakarta 23,3 -6,06 LS 295,805 295,884 298,893 297,811 24,1

(50)

34

Lampiran 3 Contoh hasil pemodelan suhu permukaan 14 Agustus 2013 12.00 WIB

Koordinat Suhu Permukaan (K) Rataan

(0C)

Rataan (0C)

106,49 BT 106,75 BT 106,86 BT 106,97 BT

-6,68 LS 299,8 303,4 303,7 301,4 29,1

Bogor 30,8

-6,65 LS 299,8 303,4 303,7 301,4 29,1

-6,63 LS 300,1 303,6 303,9 299,3 28,7

-6,60 LS 300,4 304,1 304,2 299,9 29,1

-6,57 LS 300,8 301,8 304,4 303,0 29,5

-6,55 LS 301,2 304,9 304,8 303,6 30,6

-6,52 LS 304,6 305,2 305,1 304,0 31,7

-6,49 LS 305,3 305,5 305,3 304,4 32,1

-6,46 LS 305,5 305,8 303,0 304,9 31,8

-6,44 LS 305,6 305,9 305,4 305,2 32,5

-6,41 LS 305,7 305,9 305,4 305,1 32,5

-6,38 LS 305,6 305,8 305,5 305,2 32,5

-6,36 LS 305,6 305,8 305,6 305,3 32,6

Jakarta 32,4

-6,33 LS 305,7 306,0 303,4 305,8 32,2

-6,30 LS 305,9 306,2 303,7 305,7 32,4

-6,28 LS 306,1 303,6 303,7 305,6 31,7

-6,25 LS 306,2 306,2 303,6 305,6 32,4

-6,22 LS 306,3 303,7 306,3 305,5 32,5

-6,19 LS 306,5 306,5 304,2 305,6 32,7

-6,17 LS 306,7 306,6 306,3 305,7 33,3

-6,14 LS 306,8 306,4 305,8 305,7 33,2

-6,11 LS 306,5 306,0 302,4 305,7 32,2

-6,09 LS 306,2 305,8 302,4 302,4 31,2

Laut Jakarta -6,06 LS 306,1 305,6 302,4 302,4 31,1

-6,03 LS 302,4 305,5 302,4 302,4 30,1

(51)

35

Lampiran 4 Contoh hasil pemodelan suhu permukaan 14 Januari 2012 12.00 WIB

Koordinat Suhu Permukaan (K) Rataan

(52)

36

Lampiran 5 Contoh hasil pemodelan PBL 14 Januari 2013 18.00 WIB

(53)

37

Lampiran 6 Contoh hasil pemodelan PBL 15 Januari 2014 12.00 WIB

Koordinat PBL (m) Rataan

(m)

Rataan (m) 106,49 BT 106,75 BT 106,86 BT 106,97 BT

-6,68 LS 316,700 481,700 531,900 523,900 463,6

Bogor 620,3 -6,65 LS 316,700 481,700 531,900 523,900 463,6

-6,63 LS 347,500 509,200 555,900 524,400 484,3 -6,60 LS 298,700 520,600 610,500 530,800 490,2 -6,57 LS 253,300 401,600 683,800 561,900 475,2 -6,55 LS 227,300 384,200 781,700 690,200 520,9 -6,52 LS 300,900 334,500 989,600 870,100 623,8 -6,49 LS 518,300 378,400 1077,000 1019,600 748,3 -6,46 LS 588,500 487,100 1106,200 1027,500 802,3 -6,44 LS 530,600 644,900 1092,000 1044,600 828,0 -6,41 LS 211,800 806,500 1055,700 1057,800 783,0 -6,38 LS 82,400 875,600 1033,200 1049,700 760,2 -6,36 LS 67,500 863,100 1010,700 1042,800 746,0

Jakarta 786,6 -6,33 LS 67,900 843,200 985,800 1031,800 732,2

-6,30 LS 91,400 816,500 971,100 1001,300 720,1 -6,28 LS 732,800 786,600 966,900 1022,500 877,2 -6,25 LS 776,900 754,600 965,600 1067,800 891,2 -6,22 LS 855,700 722,700 932,600 1125,700 909,2 -6,19 LS 910,100 730,400 842,600 1113,400 899,1 -6,17 LS 941,000 669,500 624,000 1012,600 811,8 -6,14 LS 843,500 528,000 547,400 800,100 679,8 -6,11 LS 799,100 542,900 499,400 557,500 599,7 -6,09 LS 767,400 718,000 416,700 465,200 591,8

Laut Jakarta -6,06 LS 733,800 879,500 460,200 489,000 640,6

(54)

38

Lampiran 7 Perhitungan nilai suhu udara sampel data musim kemarau

Jam

14-16 Agustus 2011 14-16 Agustus 2012 14-16 Agustus 2013 Rataan

Jakarta (0C)

Rataan Bogor (0C)

Selisih (0C) Suhu Udara

Jakarta (0C)

Suhu Udara Bogor (0C)

Suhu Udara Jakarta (0C)

Suhu Udara Bogor (0C)

Suhu Udara Jakarta (0C)

Suhu Udara Bogor (0C)

06.00 21,4 18,4 21,5 17,8 23,2 19,6 22,0 18,6 3,4

12.00 29,9 26,7 29 26 29,8 26,4 29,6 26,4 3,2

18.00 26,6 23,6 26,1 22,4 26,8 23,5 26,5 23,2 3,3

00.00 23 20,2 23,5 18,9 23,9 20,2 23,5 19,8 3,7

06.00 21,3 18,8 21,7 18 21,8 18,4 21,6 18,4 3,2

12.00 30,4 27 30 26,3 29,6 26,6 30,0 26,6 3,4

18.00 26,4 23,4 27,1 22,2 26,4 23,5 26,6 23,0 3,6

00.00 24,9 21,7 23,5 19,4 23,0 18,8 23,8 20,0 3,8

06.00 23,6 20,3 23,1 19,5 20,8 17,1 22,5 19,0 3,5

Rataan 3,5

Gambar

Gambar 2  Plot nesting domain 1, 2, dan 3
Tabel 1  Konfigurasi domain WRF EMS
Gambar 3  Skema modeling WRF
Gambar 4Pembagian bujur daerah observasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan nilai suhu yang tinggi terjadi pada tutupan lahan berupa lahan terbuka (lapangan) dan lahan terbangun (berbagai jenis gedung) dengan kondisi RTH (ruang terbuka

Metode penginderaan jauh dapat digunakan untuk menghitung perubahan luasan tutupan lahan, indeks vegetasi dan distribusi suhu permukaan Kota Cirebon dan daerah sekitanya

Fenomena pulau bahang ( urban heat island ) terjadi di Kota Semarang dibuktikan dengan suhu permukaan rata-rata yang turun dari daerah pusat kota ke pinggiran kota.. Kata Kunci

Hal ini dapat diindikasikan bahwa pada tahun 2010 Kota Pontianak telah terjadi fenomena Urban Heat Island dengan melihat nilai suhu tinggi dan sebaran suhu permukaan.. Pada

Hal tersebut terlihat pada perubahan yang terjadi pada wilayah Kota Surakarta dan sekitarnya pada tahun 2013 dan 2019 yang ditunjukkan dengan penurunan luasan wilayah

Pada tahun 2000 di Kota Palangka Raya berdasarkan sebaran Land Surface Temperature (LST) menunjukkan telah terjadi UHI yang digambarkan bahwa suhu tinggi berada

Analisis Perubahan Komponen Neraca Energi Permukaan, Distribusi Urban Heat Island dan Thermal humidity index Akibat Perubahan Penutup Lahan Dengan Menggunakan Citra

Perbedaan nilai suhu yang tinggi terjadi pada tutupan lahan berupa lahan terbuka (lapangan) dan lahan terbangun (berbagai jenis gedung) dengan kondisi RTH (ruang terbuka