• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Pertumbuhan Urban Heat Island secara Spasial-Temporal di Kota Palangka Raya Menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Identifikasi Pertumbuhan Urban Heat Island secara Spasial-Temporal di Kota Palangka Raya Menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Identifikasi Pertumbuhan Urban Heat Island secara Spasial-Temporal di Kota Palangka Raya Menggunakan

Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis

Afrilyani Kontryana1*, Abdul Wahid Hasyim2, Amin Setyo Leksono3

1Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan Pembangunan,Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia

2Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia

3Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia

*Koresponden email: akontryana@gmail.com

Diterima: 30 November 2020 Disetujui: 14 Desember 2020

Abstract

Developments in the city of Palangka Raya y giving different temperature between urban and sub-urban.

Phenomenon that cities have warmer temperatures than sub-urban and rural areas called Urban Heat Island (UHI). This study aims to find out about the development of the UHI phenomenon in the city of Palangka Raya from 2000 to 2018 using remote sensing and geographical system. Based on the analysis of the TIR band landsat 7, in Kota Palangka Raya since 2000 has been UHI phenomenon, where high Land Surface Temperature (LST) was found dominantly in urban areas compared to sub-urban areas . In 2018, as Palangka Raya city had developed, based on the result of TIR band Landsat 8, the distribution of high LST not only found in the urban area, but in the sub-urban zone, especially at Menteng Urban Village and Panarung Urban Village. The development of UHI in Palangka Raya city over eighteen years (2000-2018) show in the sub-urban area experienced changes of UHIindex’s area more dynamic than the urban area. Urban development causing to conversion of vegetated land into impervious land, which greatly affects the energy balance. The increase in impervious areas causes more solar radiation that reaches the surfaces of the earth more absorbing and it is converted into sensible thermal energy which increases the surface temperature.

Keywords: development city, UHI growth, land surface temperature, remote sensing, Palangka Raya

Abstrak

Perkembangan Kota Palangka Raya memberikan dampak perubahan suhu antara kawasan perkotaan dan pinggiran perkotaan. Perbedaan suhu diantara kawasan perkotaan dan pinggiran perkotaan bahkan daerah rural disebut fenomena UHI. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pertumbuhan UHI di Kota Palangka Raya di tahun 2000 dan tahun 2018 dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Geografis. Berdasarkan hasil analisis dari band TIR citra Landsat 7 menunjukkan bahwa telah terjadi fenomena UHI di wilayah Kota Palangka Raya sejak tahun 2000 dimana nilai Land Surface Temperature (LST) di kawasan perkotaan lebih tinggi dibandingkan kawasan pinggiran perkotaan. Pada tahun 2018 seiring berkembangnya Kota Palangka Raya berdasarkan hasil analisis band TIR Citra Landsat 8 sebaran LST bernilai tinggi di kawasan perkotaan bertambah luas bahkan menyebar ke kawasan pinggiran perkotaan khususnya di Kelurahan Menteng dan Kelurahan Panarung. Pertumbuhan UHI selama delapan belas tahun pengamatan (2000 - 2018) menunjukkan bahwa kawasan pinggiran perkotaan mengalami perubahan luas pada UHIindex yang lebih dinamis dibandingkan kawasan perkotaan. Perkembangan perkotaan menyebabkan perubahan tutupan lahan bervegetasi menjadi tutupan lahan impervious sangat mempengaruhi energy balance. Peningkatan wilayah impervious menyebabkan radiasi matahari yang sampai di permukaan bumi lebih banyak tersimpan dan dikonversi menjadi energi panas sensibel yang meningkatkan suhu permukaan.

Kata Kunci: perkembangan kota, pertumbuhan UHI, temperature permukaan tanah, penginderaan jarak jauh, Palangka Raya

1. Pendahuluan

Kota merupakan pusat kreativitas, budaya serta kemajuan ekonomi, dan sosial bagi umat manusia [1]. Berbagai fasilitas yang ditawarkan di perkotaan menjadi daya tarik untuk manusia menetap permanen maupun sementara. Menurut ref. [2] pada tahun 2014 sebanyak 54% penduduk dunia tinggal di wilayah

(2)

perkotaan dan diproyeksikan akan menjadi 66% pada tahun 2050. Urbanisasi merupakan salah satu penyebab utama dari pertumbuhan penduduk yang tinggi di perkotaan [3].

Semakin tinggi penduduk yang tinggal di perkotaan dapat menyebabkan ketersediaan ruang di wilayah perkotaan berkurang, maka kota berpotensi untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan di luar batas wilayahnya [4]. Hal ini akan menyebabkan perluasan konsentrasi penduduk dan perpindahan aktivitas perkotaan ke arah wilayah pinggiran perkotaan atau disebut dengan istilah ekspansi urban [5].

Ekspansi urban ditandai dengan adanya peningkatan luas lahan terbangun yang disertai dengan penurunan tutupan lahan bervegetasi di wilayah pinggiran kota [6]. Pola ekspansi urban meningkat mengikuti jalan yang menghubungkan daerah pinggiran dengan pusat perkotaan [7].

Lahan terbangun maupun jalan merupakan tutupan lahan impervious yang bersifat lebih banyak menyerap dan menyimpan radiasi matahari dibandingkan memantulkannya kembali ke atmosfer, sedangkan lahan bervegetasi merupakan lahan yang mengalami proses evapotranspirasi dimana radiasi matahari digunakan dalam proses fotosintesis dan menghasilkan uap air yang dilepaskan ke daerah sekitarnya sehingga terjadi proses pendinginan [8]. Meningkatnya tutupan lahan impervious dan berkurangnya wilayah vegetasi menyebabkan peningkatan energi panas yang tersimpan, sehingga suhu di wilayah tersebut menjadi lebih tinggi dibandingkan daerah sekitarnya [9]. Fenomena dimana suhu di daerah urban lebih tinggi dibandingkan wilayah sekitarnya disebut dengan fenomena Urban Heat Island (UHI) [10]. Selain tutupan lahan, faktor lain yang menyebabkan terjadinya UHI antara lain geometri perkotaan, aktivitas antropogenik, elevasi, cuaca dan lokasi [12].

Dampak yang ditimbulkan dari UHI antara lain peningkatan penggunaan energi akibat pemakaian air conditioner [13], menurunkan kualitas udara [14] dan membentuk kabut yang meningkatkan kelembapan sehingga mengubah pola hujan dan angin di suatu wilayah [15], menciptakan ketidaknyamanan saat beraktivitas di dalam maupun di luar ruangan [16]. Menurut ref [17] terjadinya UHI memperburuk kondisi gelombang panas yang berpengaruh terhadap kesehatan. Ke depannya jika proses perkembangan wilayah perkotaan tidak memperhitungkan dampak yang ditimbulkan terhadap kesetimbangan energi panas yang tersimpan, maka efek UHI bukan hanya dapat dirasakan kawasan di perkotaan saja, akan tetapi dapat dirasakan di wilayah pinggiran perkotaan bahkan daerah rural.

Pulau Kalimantan merupakan wilayah di Indonesia yang masih memiliki ketersediaan lahan yang luas dan masih mengalami perkembangan kota. Peningkatan jumlah penduduk mulai terlihat sejak tahun 2000, dimana transportasi darat dan udara mulai dikembangkan. Jumlah penduduk Kota Palangka Raya pada tahun 2000 sebesar 158.770 jiwa dan meningkat selama 18 tahun menjadi 283.612 jiwa [18].

Peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun mendorong dibangunnya sarana dan prasarana di dalam Kota Palangka Raya. Dalam RTRWK tahun 2009-2030 direncanakan adanya penambahan kawasan budidaya sebesar 59.895 Ha, yang terdiri dari perumahan, perdagangan dan jasa, industri, perkantoran, dan bandara di Kota Palangka Raya. Penambahan kawasan budidaya akan mempengaruhi tata guna lahan yang ada. Menurut data yang dikeluarkan BPS pada tahun 2000 penggunaan lahan untuk Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lainnya (KPPL) adalah sebesar 41.458,95 Ha [19], lalu meningkat drastis menjadi 117,187 Ha pada tahun 2011. Sementara itu, untuk kawasan konservasi gambut mengalami penurunan luas dari 4115,88 Ha menjadi 3648 Ha [20]. Dalam ref. [21] menunjukkan bahwa jenis penggunaan lahan yang mengalami peningkatan drastis dari tahun 2000 sampai tahun 2006 adalah pemukiman dengan nilai sebesar 114%, sedangkan yang mengalami penurunan secara signifikan adalah tanaman tahunan sebesar 6,6%.

Perkembangan Kota Palangka Raya tidak hanya berdampak positif pada kemajuan ekonomi dan kemakmuran masyarakatnya, akan tetapi menghasilkan dampak negatif pada lingkungan. Suhu udara yang diukur oleh Stasiun Cuaca Meteorologi Tjilik Riwut pada tahun 2007 sampai tahun2017 menunjukkan bahwa Kota Palangka Raya memiliki suhu rata-rata bulanan dan suhu rata-rata tahunan tertinggi dibandingkan wilayah kabupaten lainnya, selain itu selama 10 tahun terakhir (2007-2017) adanya peningkatan suhu 1-2°C di kota Palangka Raya [22]. Hal tersebut mengindikasikan telah terjadi fenomena UHI di Kota Palangka Raya.

Data suhu udara masih terbatas sebaran dan jumlah pengukurannya, sehingga cenderung tidak optimal dalam mendeskripsikan keadaan UHI di Kota Palangka Raya. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan teknologi penginderaan jauh yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Geografis yang diharapkan mampu mendapatkan data sebaran suhu yang lebih luas di wilayah penelitian. Tujuan dari penelitian ini antara lain, yaitu (1) menganalisis sebaran suhu tahun 2000 dan 2018; (2) menganalisis pertumbuhan UHI; dan (3) mendeskripsikan karakteristik lanskap pada area-area hot spots dan cool spots di wilayah studi penelitian sebagai upaya dalam mitigasi UHI.

(3)

2. Metode Penelitian Lokasi Penelitian

Wilayah studi penelitian melingkupi kawasan perkotaan dan kawasan pinggiran di Kota Palangka Raya. Batas kawasan perkotaan berdasarkan tutupan lahan terbangun yang diinterpretasi secara visual menggunakan band multispektral Citra Lansdat 8 tahun 2018. Metode buffering digunakan untuk menghasilkan kawasan perkotaan dengan jarak 5 kilometer dari batas wilayah kawasan perkotaan. Peta lokasi penelitian tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1. Landsat 8 komposit 653 pada wilayah penelitian tahun 2018 Sumber : Hasil analisis (2020)

Analisis Data

1. Analisis Sebaran Land Surface Temperature (LST) tahun 2000 dan 2018

Land Surface Temperature (LST) merupakan indikator suhu yang digunakan untuk mendeskripsikan kondisi UHI secara spasial dan temporal di wilayah penelitian pada tahun 2000 dan tahun2018.Sebaran LST diekstraksi dari band TIR Citra Landsat 7 dan Citra Landsat 8 menggunakan algoritma kinetic temperature yang dikembangkan dari persamaan brightness temperature. Dengan menggunakan band 6 dan band 10 pada masing-masing Citra Landsat 7 dan Landsat 8, tahapan yang digunakan dalam mengekstraksi LST adalah sebagai berikut:

a. Dilakukan koreksi radiometrik untuk mengubah digital number menjadi radian spektral. Persamaan dan parameter untuk koreksi radiometrik pada pada band 6 Landsat 7 dan band 10 Landsat 8 disajikan pada ref. [23] dan [24].

b. Nilai radian spektral yang sudah didapatkan dikonversi menjadi brightness temperature, dengan mengasumsikan bahwa objek di bumi menyerap dan memancarkan energi secara sempurna.

Persamaan untuk menghitung brightness temperature disajikan pada ref. [23] dan [24].

c. Nilai emisivitas pada kondisi brightness temperature bernilai satu, dimana dapat diasumsikan bahwa objek menyerap dan memancarkan energi matahari secara sempurna. Akan tetapi objek di bumi tidak akan pernah memancarkan kembali seluruh energi yang sudah diserapnya secara sempurna.Oleh karena itu, pentingnya penentuan nilai emisivitas tiap tutupan lahan menggunakan metode pendekatan NDVITHM yang diklasifikasikan menjadi empat kelompok berdasarkan nilai NDVI.

Dalam penelitian ini pengelompokan nilai NDVITHM dan nilai emisivitas disamakan dengan penelitian pada ref [25].

d. Setelah mendapatkan peta emisivitas dan peta brightness temperature maka dilanjutkan dengan membuat peta Land Surface Temperature (LST) dengan menggunakan persamaan algoritma kinetic temperature yang persamaan dan parameternya disajikan di dalam ref. [26] dan [27].

(4)

TS = Tb

1+(λ×Tbρ ) ln ε− 273,15°C ... (1)

Dimana:

Ts = Suhu permukaan (°C)

λ =11,5μm (Landsat 7 ETM) dan λ=10,8μm (Landsat 8) ρ = 14380 µmK

h= Konstanta Planck (6,626 × 10-34 Js) c = Kecepatan cahaya (2,998 × 10-8 m/s) δ = Konstanta Boltzman (1,38 × 10-23 J/K) ε = emisivitas tiap tutupan lahan.

Analisis Pertumbuhan UHI pada tahun 2000 dan 2018

Nilai LST yang dihasilkan pada tahun 2000 dan tahun2018 relatif tidak memungkinkan untuk digunakan dalam analisis pertumbuhan UHI. Rentang nilai pada kedua tahun tersebut berbeda sehingga tidak dapat diklasifikasikan dalam kategori yang sama untuk membandingkan pertumbuhan UHI di masing-masing tahun. Hal ini disebabkan karena perbedaan musimdan waktu pengambilan data citra [28].

Analisis pertumbuhan UHI akan dideskripsikan melalui perubahan luas tiap kelas UHIindex. UHIindex

merupakan nilai LST yang dinormalisasikan sehingga menghasilkan rentang nilai yang sama pada tahun yang berbeda [29]. Untuk menghitung UHIindex menggunakan persamaan berikut [30]:

UHIindex =TTsi−Tsmin

s max−Ts min ... (2) Dimana:

Tsi = nilai LST pad tiap piksel Tsmin = nilai LST minimum Tsmax = nilai LST maksimal.

Rentang UHIindex bernilai 0 sampai 1, yang artinya jika semakin mendekati nilai 0 maka nilai LST cenderung rendah dan jika nilai UHIindex mendekati nilai 1 maka nilai LST cenderung tinggi. Nilai UHIindex akan diklasifikasikan menggunakan tool equal interval pada software ArcGIS 10.4.1 yang akan menghasilkan 10 kelas UHIindex. Luas wilayah tiap kelas UHIindex pada tahun 2000 dan tahun 2018 akan mendeskripsikan pertumbuhan UHI yang terjadi di wilayah studi pengamatan selama 18 tahun.

2. Analisis Micro Urban Heat Island (MUHI)

Mikro Urban Heat Island merupakan bagian urban yang memancarkan radiasi suhu lebih tinggi daripada suhu kanopi pohon atau disebut dengan dalam skala mikro [31]. Tidak ada rentang suhu yang digunakan sebagai dasar dalam menentukan area tersebut. Definisi skala mikro dalam konteks urban heat island merupakan wilayah urban dengan luasan 50 meter sampai dengan 1 kilometer [32]. Analisis mikro urban heat island merupakan analisis pola LST yang dihubungkan dengan dengan keadaan tutupan lahan [31][32]. Analisis wilayah MUHI bertujuan mengetahui pengaruh faktor karakteristik lanskap terhadap suhu permukaan. Pada penelitian ini wilayah mikro urban heat island dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu area hot spots dan cool spots. Dari area-area tersebut diambil beberapa sampel untuk mendeskripsikan karakteristik lanskap pada masing-masing area hot spots dan coolspots. Untuk mendapatkan area hot spots dan cool spots peta kategori UHI tahun 2000 dan peta kategori UHI tahun 2018 dilakukan analisis overlay sehingga menghasilkan peta perubahan UHI yang menunjukkan perubahan tipe-tipe UHI dari tahun 2000 hingga tahun2018.

Peta kategori UHI merupakan hasil klasifikasi nilai UHIindex. Pada penelitian ini kategori UHI rendah merupakan UHIindex dengan rentang nilai <0,1 s/d 0,2-0,3; kategori UHI sedang merupakan UHIindex dengan rentang nilai 0,3-0,4 s/d 0,6-0,7; dan kategori UHI tinggi merupakan wilayah dengan UHIindex bernilai 0,7-0,8 s/d >0,9. Pada penelitian ini wilayah hot spots merupakan perubahan kategori UHI tinggi tahun 2000 menjadi kategori UHI tinggi pada tahun 2018, serta kategori UHI sedang tahun 2000 menjadi kategori UHI tinggi pada tahun 2018. Sementara itu, untuk wilayah cool spots mengalami perubahan kategori UHI rendah tahun 2000 menjadi kategori UHI rendah pada tahun 2018. Area hot spots merupakan area yang konsisten menunjukkan suhu yang tinggi begitupun dengan area cool spots merupakan wilayah yang konsisten menunjukkan suhu rendah selama delapan belas tahun pengamatan (2000-2018) di wilayah penelitian. Identifikasi tutupan lahan atau karakteristik lanskap menggunakan citra Google Earth tahun 2004 dan tahun 2018. Penggunaan scene pada tahun 2004 dikarenakan scene Google Earth tahun 2000 di wilayah penelitian tidak tersedia.

(5)

3. Hasil dan Pembahasan

Sebaran Land Surface Temperature tahun 2000 dan 2018

Hasil ekstraksi band TIR menunjukkan adanya peningkatan nilai LST pada tahun 2018. Rentang nilai LST pada tahun 2000 berkisar antara 22,26°C sampai 33,41°Cdengan nilai rata-rata 24,96°C sedangkan pada tahun 2018 berada pada rentang 25,13°C s/d 37,66°C dengan nilai rata-rata 29,76 °C.

Adanya peningkatan nilai LST selama delapan belas tahun pengamatan di wilayah penelitian dapat menyebabkan peningkatan nilai UHI atau yang biasa disebut dengan intensitas UHI. Gambar 2 menunjukkan peta raster LST pada masing-masing tahun 2000 dan tahun 2018 yang memberikan tampilan visual dengan berbagai warna yang disesuaikan dengan nilai LST pada tiap pikselnya. Piksel berwarna kuning dan merah menunjukkan nilai LST sedang dan tinggi, sedangkan warna biru merupakan LST bernilai rendah.

Pada tahun 2000 zona kawasan perkotaan lebih dominan, dimana menunjukkan piksel rona warna merah dibandingkan dengan kawasan pinggirannya, khususnya di Kelurahan Pahandut, Kelurahan Langkai, dan sebagian Kelurahan Palangka. Sedangkan pada tahun 2018 peta raster LST yang menunjukkan piksel berwarna merah tidak hanya berada dalam zona kawasan perkotaan, tetapi terdapat beberapa spot di kawasan pinggiran perkotaan, yaitu di Kelurahan Menteng, Kelurahan Panarung dan Kelurahan Bukit Tunggal.

Perubahan signifikan yang dapat dilihat secara visual pada kedua peta raster LST tahun 2000 dan tahun 2018 adalah peningkatan piksel warna kuning yang terjadi pada kedua zona. Zona kawasan pinggiran perkotaan bagian selatan merupakan wilayah paling signifikan yang mengalami peningkatan nilai LST rendah menjadi LST sedang, sedangkan di zona kawasan perkotaan LST bernilai tinggi yang ditunjukkan melalui piksel-piksel berwarna merah pada tahun 2000 meningkat penyebarannya sehingga hampir menutupi seluruh wilayah kawasan perkotaan pada tahun 2018.

Gambar 2: Peta raster LST tahun 2000 (A) dan peta raster LST tahun 2018 (B) Sumber: Hasil analisa (2020)

Pertumbuhan UHI pada Tahun 2000 dan 2018

Nilai LST pada masing-masing tahun dikonversi menjadi UHIindex. Nilai UHIindex pada tahun 2000 dan tahun2018 mempunyai rentang yang sama karena telah dikelompokkan berdasarkan sepuluh kategori.

Luas wilayah dan sebaran pada tiap kategori UHIindex digunakan untuk menjelaskan pertumbuhan UHI selama delapan belas tahun pengamatan (2000-2018). Peta sebaran UHIindex pada tahun 2000 dan tahun 2018 ditunjukkan pada Gambar 3. Peta sebaran UHIindex menunjukkan adanya peningkatan sebaran kategori UHIindex dengan nilai tinggi dan penurunan pada sebaran kategori UHIindex bernilai rendah.

Dimana semakin besar nilai UHIindex yang ditunjukkan pada wilayah tersebut maka nilai suhu permukaan juga tinggi, begitupun pada UHIindex yang bernilai rendah akan menunjukkan suhu permukaan yang rendah pula.

(6)

Pada tahun 2000 sebaran kategori UHIindex bernilai rendah yaitu dengan nilai <0,1, 0,1-0,2 dan 0,2- 0,3 yang mendominasi wilayah penelitian dan 67% berada di zona kawasan pinggiran kota. Pada tahun 2018 wilayah tersebut mengalami penurunan persentase yang sangat tinggi, yaitu masing-masing sebesar 0,81%, 21,92%, dan 16,28%. Hal tersebut berbanding terbalik dengan kategori UHIindex dengan nilai 0,3- 0,4, 0,4-0,5 dan 0,5-0,6 yang mengalami peningkatan luas wilayah paling signifikan. Total peningkatan luas wilayah pada ketiga kategori tersebut sebesar 32,66% dan 25% terjadi di kawasan pinggiran perkotaan. Hal tersebut berdasarkan 18 tahun pengamatan (2000 s/d 2018) di kawasan pinggiran perkotaan bagian barat dan selatan, khususnya di Kelurahan Bukit Tunggal, Kelurahan Palangka, Kelurahan Menteng, dan Kelurahan Panarung yang mengalami peningkatan luas wilayah pada kategori UHIindex bernilai tinggi.

Hal ini mengindikasikan bahwa urban ekspansi lebih dominan terjadi di bagian barat dan selatan kawasan pinggiran perkotaan. Pola yang sama juga ditunjukkan pada wilayah metropolitan Semarang, dimana selama 18 tahun pengamatan sebaran suhu tinggi tidak hanya ditemukan di kawasan perkotaan tetapi juga ditemukan di kawasan pinggiran perkotaan [33].

Gambar 3: Peta raster sebaran kategori UHIindextahun 2000 (A) dan kategori UHIindextahun 2018 (B) Sumber: Hasil analisa (2020)

Luas wilayah pada rentang kategori UHIindex 0,5 s/d >0,9 pada masing-masing zona mengalami peningkatan. Jika dihitung berdasarkan total peningkatan luas wilayah ketiga kategori tersebut, zona perkotaan mengalami peningkatan luas wilayah lebih besar dibandingkan pada zona pinggiran perkotaan, yaitu sebesar 8%. Namun untuk kawasan pinggiran perkotaan hanya sebesar 7%. Hal tersebut menunjukkan bahwa suhu yang tinggi ditandai dengan UHIindex dengan nilai >0,5 pada tahun 2000 di dalam kawasan perkotaan cenderung meningkat pada tahun 2018 walaupun dalam lingkup sebaran yang tidak terlalu besar. Sebaran dengan nilai UHIindex >0,5 pada tahun 2000 lebih dominan berada dalam zona kawasan perkotaan dan hanya terdapat beberapa area di kawasan pinggiran perkotaan khususnya bagian selatan dan timur. Pada tahun 2018 sebarannya meluas ke kawasan pinggiran perkotaan, khususnya area yang dekat dengan batas zona urban.

Secara keseluruhan pertumbuhan UHI terjadi signifikan di zona pinggiran perkotaan dibandingkan dengan zona kawasan perkotaan. Hal tersebut ditunjukkan pada Gambar 4 bahwa perubahan luas wilayah pada masing-masing nilai UHIindex di pinggiran perkotaan lebih signifikan dibandingkan kawasan perkotaan. Jika dilihat dari grafik tersebut kawasan pinggiran perkotaan cenderung mengalami peningkatan sebaran kategori UHIindex bernilai sedang, sedangkan di kawasan perkotaan cenderung mengalami peningkatan sebaran UHIindex bernilai tinggi. Pertumbuhan UHI berdasarkan analisa perubahan luas wilayah menunjukkan bahwa selama 18 tahun wilayah pinggiran perkotaan lebih banyak mengalami peningkatan luas wilayah pada suhu bernilai tinggi dan penurunan luas wilayah pada suhu bernilai rendah dibandingkan kawasan perkotaan.

Peningkatan suhu didorong oleh adanya aktivitas ekspansi urban di kawasan pinggiran perkotaan.

Berdasarkan data BPS Kota Palangka Raya pada tahun 2017 dan 2018 menunjukkan adanya penurunan

(7)

luas hutan dibeberapa wilayah di Kota Palangka Raya, khususnya di Kecamatan Bukit Batu dan Sebangau. Hal yang sama juga ditunjukkan pada wilayah metropolitan Semarang bahwa pertumbuhan kota selama 20 tahun (1998-2018) lebih dinamis terjadi di daerah pinggiran kota [33]. Pertumbuhan kota ke wilayah pinggiran mengakibatkan berbagai aktivitas perkotaan menyebar ke arah pinggiran perkotaan bahkan dapat mencapai area rural. Perubahan tutupan lahan dari vegetasi menjadi tutupan lahan bersifat impervious dalam kegiatan ekspansi urban mengakibatkan energi panas yang tersimpan lebih besar sehingga suhu menjadi meningkat di wilayah tersebut [34]. Hal yang sama juga dilaporkan oleh ref. [35], bahwa wilayah impervious yang tinggi berkorelasi dengan LST yang juga tinggi.

Gambar 4. Grafik perubahan luas wilayah (%) kategori UHIindex pada masing-masing zona dari tahun2000 - tahun 2018

Sumber: Hasil analisa (2020)

Analisis Mikro Urban Heat Island (MUHI)

Salah satu langkah untuk mitigasi fenomena UHI di suatu wilayah adalah dengan mengetahui lokasi sebaran suhu dan mengerti bagaimana karakteristik lanskap wilayah tersebut mempengaruhi suhu.

Dengan menggunakan deskripsi karakteristik tampilan Scene Google Earth pada beberapa sampel area MUHI maka dihasilkan beberapa karakteristik yang sama pada sampel MUHI seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5, Gambar 6, dan Gambar 7.

Area MUHI pada penelitian ini terdiri atas 2, yaitu hot spots dan cool spots. Pada Gambar 5 ditunjukkan secara spasial sebaran cool spots yang cenderung tersebar di zona pinggiran perkotaan dengan bagian timur kawasan pinggiran perkotaan merupakan wilayah yang paling besar mempunyai area cool spots. Wilayah cool spots jika diidentifikasi menggunakan tampilan Google Earth menunjukkan wilayah tutupan lahan bervegetasi. Scene Google Earth yang digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik tersebut pada tahun 2018. Untuk melihat lebih jelas karakteristik vegetasi dari keempat sampel cool spots maka digunakan Google View Street.

Berdasarkan karakteristik lanskap tersebut sampel cool spots yang berada di sebelah timur khususnya di kawasan Kelurahan Pahandut Seberang, Kelurahan Pahandut, Kelurahan Tumbang Rungan, dan Kelurahan Tanjung Pinang menunjukkan wilayah kawasan hutan lindung yang dilalui sungai besar, yaitu Sungai Kahayan serta tempat rekreasi dengan tutupan hutan kerapatan sedang. Sedangkan cool spot bagian selatan dan barat khususnya di Kelurahan Panarung, Kelurahan Sebangau, dan Kelurahan Palangka menunjukkan wilayah yang didominasi oleh tutupan lahan vegetasi semak belukar. Tutupan lahan tersebut sering ditemukan di pinggir jalan yang wilayahnya masih minim penduduk, bahkan jika musim kemarau wilayah tersebut sangat rentan terhadap kebakaran lahan. Untuk bagian sebelah utara yaitu di Kelurahan Petuk Katimpun menunjukkan bahwa jenis tutupan vegetasi didominasi oleh kebun campuran dikelilingi pemukiman penduduk yang sangat jarang.

Hal yang sama juga dilaporkan di beberapa penelitian, antara lain ref. [36] menunjukkan adanya korelasi negatif yang signifikan antara tutupan lahan vegetasi dan badan air dengan nilai LST; ref. [37]

menunjukkan bahwa wilayah dengan tutupan lahan hutan mempunyai suhu rendah dan NDVI tinggi;

ref. [38] menyatakan bahwa hubungan antara Normalized Diffrence Vegetation Index (NDVI) dan LST berkorelasi negatif. Tajuk pada pohon memberikan efek bayangan terhadap permukaan di bawah pohon sehingga jumlah radiasi matahari yang diserap oleh permukaan tersebut berkurang. Radiasi matahari yang

-25 -20 -15 -10 -5 0 5 10 15 20

<0.1 0.1-0.2 0.2-0.3 0.3-0.4 0.4-0.5 0.5-0.6 0.6-0.7 0.7-0.8 0.8-0.9 >0.9

Perubahan luas wilayah (%)

Kategori UHIindex Zona perkotaan

Zona Pinggiran perkotaan

(8)

diserap oleh tumbuhan tersebut digunakan untuk proses fotosintesis dan menghasilkan uap air. Uap air yang dihasilkan akan dilepaskan bersamaan dengan proses transpirasi dimana juga akan melepaskan oksigen ke udara. Proses pelepasan oksigen dan uap air secara bersamaan dari tumbuhan disebut dengan evapotranspirasi. Uap air yang dilepaskan ke udara akan mengembun pada kondisi tertentu dan melepaskan energi laten yang mendinginkan suhu di sekitarnya [39].

Gambar 5. Sebaran lokasi area cool spots dan hot spots di Kota Palangka Raya dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2018 dan sampel coolspots yang dihubungkan dengan karakteristik tutupan lahan

Sumber: Hasil analisa dan Google Earth (2020)

Untuk sebaran lokasi wilayah hot spots secara dominan terletak di dalam kawasan zona perkotaan.

Karakteristik lanskap area hot spots yang berada di kawasan pinggiran perkotaan jika diidentifikasi menggunakan Google Earth merupakan tutupan lahan kosong yang mengalami kebakaran saat pengambilan citra satelit. Lokasi sebaran hot spots ditemukan di Kelurahan Pahandut, Kelurahan Panarung, dan Kelurahan Palangka. Pada Gambar 6 dan Gambar 7 terdapat empat sampel area hot spots yang diidentifikasi menggunakan Google Earth ntuk mendeskripsikan karakteristik lanskap pada sampel- sample tersebut. Sampel hot spots pada Gambar 6 a terletak pada Kelurahan Pahandut merupakan wilayah pemukiman padat penduduk yang berada di pinggir Sungai Kahayan, sedangkan Gambar 6 c merupakan kawasan Central Business District (CBD) Kota Palangka Raya yang memiliki penggunaan lahan komplek seperti penggunaan lahan perdagangan dan jasa, pemukiman penduduk bahkan area untuk pendidikan.

Untuk sampel hot spots pada Gambar 7 merupakan kawasan Bandara Tjilik Riwut dan pemukiman penduduk yang terletak di Kelurahan Panarung. Dari keempat sampel hot spots tersebut mempunyai kesamaan karakteristik yaitu merupakan tutupan lahan yang bersifat impervious. Permukaan impervious di wilayah perkotaan seperti atap rumah, lahan terbangun, dan parkir lebih mudah menyerap radiasi matahari yang sampai di permukaan bumi dalam bentuk radiasi gelombang panjang dan menyimpannya menjadi panas sensibel yang akan dilepaskan pada malam hari [40]. Semakin banyak energi panas yang tersimpan di permukaan impervious akan menghasilkan panas sensibel yang dilepaskan ke atmosfer lebih banyak sehingga kondisi suhu di lingkungan tersebut tinggi.

Banyaknya energi panas yang tersimpan di permukaan impervious dipengaruhi oleh beberapa faktor. Jika area hot spot pemukiman padat penduduk di Kelurahan Pahandut di-overlay dengan peta raster LST tahun 2000 dan 2018, maka kondisi pemukiman pada tahun 2018 mempunyai nilai LST yang lebih tinggi. Rentang suhu pada area hot spot Gambar 6 a dan Gambar 6 b pada masing-masing tahun ditunjukkan pada Gambar 8. Bertambah padatnya lahan terbangun di wilayah tersebut selama 18 tahun yang diidentifikasi berdasarkan tampilan Google Earth pada tahun 2004 dan 2018 mengakibatkan area terbuka menjadi lebih sedikit sehingga panas yang akan diradiasikan kembali ke atmosfer dalam bentuk

(9)

radiasi gelombang panjang terperangkap di dinding antar bangunan sehingga suhu permukaan di wilayah tersebut bertambah tinggi bahkan di malam hari. Aspek geometri perkotaan yang disebut urban canyon yaitu yang digambarkan dengan jalan sempit antara yang bangunan sangat mempengaruhi jumlah energi panas yang dilepaskan kembali ke atmosfer.

Gambar 6.(a dan b): area hot spots dengan karakteristik pemukiman padat penduduk,(c dan d): area hot spots dengan karakteristik kawasan CBD

Sumber: Hasil analisa dan Google Earth (2020)

Gambar 7. (a dan b): area hot spots dengan karakteristik kawasan bandara TjilikRiwut, (c dan d) area hot spots dengan karakteristik pemukiman padat

Sumber: Hasil analisa dan Google Earth (2020)

Jalan tersebut akan bertambah sempit akibat padatnya lahan terbangun khususnya bangunan-bangunan tinggi. Saat radiasi matahari mencapai permukaan canyon, radiasi akan dipantulkan dan diserap kembali

(10)

oleh dinding-dinding bangunan diantara canyon dan tidak langsung diradiasikan atmosfer. Radiasi tersebut akan disimpan dalam bentuk panas oleh partikel dinding bangunan dan sedikit demi sedikit akan dilepaskan ke angkasa pada malam hari [41]. Hal tersebut juga ditunjukkan dalam penelitian dimana kepadatan bangunan menunjukkan korelasi positif terhadap nilai LST [42].

Gambar 8. Raster LST tahun 2000 (a) dan LST tahun 2018 (b) pada area hot spot pemukiman padat di Kelurahan Pahandut

Sumber: Hasil Analisa (2020)

Gambar 9. Raster LST di area hot spot pemukiman padat di Kelurahan Pahandut(a) dan LST di area hot spot pemukiman padat di Kelurahan Panarung (b)

Sumber: Hasil Analisa (2020)

Selain faktor geometri perkotaan yang dapat mempengaruhi suhu permukaan adalah sifat material bahan pada tutupan lahan impervious yang digunakan. Sifat material yang dimiliki objek menentukan jumlah radiasi matahari yang dipantulkan, dipancarkan dan diserap. Sifat material dibagi menjadi tiga sifat yaitu albedo, emisivitas, dan kapasitas panas [43]. Pada penelitian ini dengan keterbatasan data yang dimiliki yaitu hanya menggunakan analisa identifikasi karakteristik berdasarkan tampilan scene citra satelit Google Earth menunjukkan bahwa pada area hot spot pemukiman padat penduduk di Kelurahan Pahandut dan area hot spot pemukiman padat penduduk di Kelurahan Panarung memiliki perbedaan karakteristik warna atap rumah yang digunakan. Dimana atap rumah yang digunakan di Kelurahan Pahandut dominan menggunakan atap rumah berwarna lebih gelap dibandingkan atap rumah di Kelurahan Panarung. Warna suatu permukaan objek menentukan nilai albedo.

Permukaan objek yang berwarna lebih gelap seperti atap rumah bangunan akan lebih banyak menyerap panas dibandingkan permukaan atap yang berwarna terang sehingga suhu permukaan pada bangunan tersebut bernilai tinggi [44]. Pada Gambar 9 menunjukkan bahwa nilai LST pemukiman padat penduduk di Kelurahan Pahandut lebih tinggi dibandingkan pemukiman padat penduduk di Kelurahan Panarung. Ref. [45] juga menyatakan hal yang sama, dimana bangunan dengan atap rumah tersusun atas

(11)

bahan beton berwarna gelap menunjukkan nilai LST yang tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi UHI tersebut dapat dianalis lebih mendalam pada wilayah penelitian sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam perencanaan wilayah urban untuk mengontrol suhu tinggi pada wilayah-wilayah mikro sehingga dampak dari UHI dapat diminimalisasi.

4. Kesimpulan

Analisis fenomena UHI secara spasial-temporal dari tahun 2000 sampai tahun 2018 di Kota Palangka Raya telah berhasil dilakukan menggunakan teknologi remote sensing dan Sistem Informasi Geografis. Pada tahun 2000 di Kota Palangka Raya berdasarkan sebaran Land Surface Temperature (LST) menunjukkan telah terjadi UHI yang digambarkan bahwa suhu tinggi berada lebih dominan di zona perkotaan dibandingkan zona pinggiran perkotaan, sedangkan pada tahun 2018 sebaran LST bernilai tinggi hampir tersebar di seluruh zona perkotaan dan di beberapa bagian zona pinggiran perkotaan khususnya di bagian barat dan selatan. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan kota cenderung ke arah barat dan selatan. Pertumbuhan Kota Palangka Raya yang diikuti dengan peningkatan sarana dan prasarana perkotaan di berbagai wilayah menyebabkan pertumbuhan UHI ke arah postif, dimana selama delapan belas tahun pengamatan (2000-2018) di dalam zona kawasan perkotaan dan zona pinggiran perkotaan mengalami peningkatan luas untuk UHIindex bernilai tinggi.

Di kawasan perkotaan cenderung meningkat nilai UHIindex bernilai sedang menjadi UHIindex bernilai tinggi dan di kawasan pinggiran perkotaan cenderung mengalami peningkatan UHIindex bernilai rendah menjadi UHIindex bernilai sedang. Selain itu melalui analisis overlay pada peta UHIindex didapatkan area- area hot spots dan cool spots yang dihubungkan dengan karakteristik lanskap pada masing-masing area.

Identifikasi karakteristik lanskap pada wilayah hot spots dan cool spots merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai suhu dimana ke depannya dapat dilakukan analisis yang lebih mendalam terhadap faktor-faktor tersebut sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan mitigasi UHI di Kota Palangka Raya.

5. Daftar Pustaka

[1] Inoguchi, Takashi. Newman, Edward. Paoletto, Glen, Kota dan Lingkungan: Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi (terj. LP3ES, Cities and Environment: New Approaches for Eco- Societies). Jakarta, Indonesia: LP3ES, 2003.

[2] United Nation, “World Urbanization Prospects The 2014 Revision,”2014. [Online]. Diakses pada tanggal 17 10 2020 di https://population.un.org/wup/Publications/Files/WUP2014-Report.pdf, 2014.

[3] Mardiansjah, F.H. Rahayu, P, “Urbanisasi dan pertumbuhan kota-kota di Indonesia: suatu perbandingan antar-kawasan makro Indonesia,” J. Pengembangan Kota, vol. 7, pp. 91–110, 2019.

[4] Fan, F., Fan, W, “Understanding spatial-temporal urban expansion pattern (1990–2009) using impervious surface data and landscape indexes: a case study in Guangzhou (China),”J.of Applied Remote Sensing, vol. 8, pp. 1-15, 2014.

[5] Yasuhiro, S. Kazuhiro, Y.“Population concentration, urbanization, and demographic transition,”J.

of Urban Economics., vol. 58, pp. 45–61, 2005.

[6] Zhang, H. Qi, Z. Ye, X. Cai, Y. Ye, X. Cai, Y. Maa, W. Chen, W. “Analysis of land use/landcover change, population shift, and theireffects on spatiotemporal patterns of urban heat islands inmetropolitan Shanghai, China,”Applied Geography, vol. 44, pp. 121-133, 2013.

[7] Weng, Q.“A remote sensing–GIS evaluation of urban expansion and its impact on surface temperature in the Zhujiang Delta, China,”Int. J. Remote Sensing, vol. 22, pp. 1999–2014, 2001.

[8] EPA (US Environmental Protection Agency), “Reducing urban heat islands: compendium of strategies,” Washington, D.C, United States: US Environmental Protection Agency, 2008.

[9] Bokaie, M.Zarkesh, M.K.Arasteh, P.D. Hosseini, A.“Assessment of urban heat island based on the relationship between land surface temperature and land use/ land lover in Therna,”Sustainable Cities and Society, vol. 2, pp. 94-104, 2016.

[10] Voogt, J.A. Oke, T.R. “Thermal remote sensing of urban climates,”Remote Sens. Environ, vol. 86, pp. 370–384, 2003.

[12] Asmiwyati,I. G. A. A. R. “Impact ofland use change on urban surface temperature and urban green space planning; case study of the Island of Bali, Indonesia,” Thesis, Faculty of Science and Engineering, Curtin University, 2016.

[13] Akbari, H. “Potentials of urban heat island mitigation,”200 International Conference “Passive andLow Energy Cooling for the Built Environment, Santorini, Greece, 2005.

(12)

[14] Rizwan, M. Dennis,L. Y. C. Liu, C. “A review on the generation, determination and mitigation of Urban HeatIsland,” J. of Environmental Sciences, vol. 2, pp. 120–128, 2008.

[15] Alves, E. D. L.Lopes, A. "The urban heat island effect and the role of vegetation toaddress thenegative impacts of local climate changes in a small Brazilian City,” Atmosphere, vol. 8 (2), pp.1-14,2017

[16] Kantzioura, A. Kosmopoulos, P. Zoras, S. “Urban surface temperature and microclimate measurements in Thessaloniki,” Energy and Buildings, vol. 44, pp. 63–72, 2012.

[17] Johnson, D. P. Stanforth, A. Lulla, V. Luber, G. “Developing an applied extreme heat vulnerability index utilizing socioeconomic and environmental data,”Applied Geography, vol. 35, pp. 23-31, 2012.

[18] Kota Palangka Raya dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kota Palangka Raya, BPS Kota Palangka Raya, 2019.

[19] Kota Palangka Raya dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kota Palangka Raya, BPS Kota Palangka Raya, 2000.

[20] Kota Palangka Raya dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kota Palangka Raya, BPS Kota Palangka Raya, 2012.

[21] Niin, “Dinamika spasial penggunaan lahan di Kabupaten Katingan dan Kota Palangka Raya Provinsi Kalimantan Tengah,” Tesis, Sekolah Pascasarjana, Insitut Pertanian Bogor, 2010.

[22] Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika, “Suhu rata-rata udara harian dan bulanan Kota Palangka Raya tahun 2007 sampai 2017, 2019.

[23] Chandler, G.Markham, G.L. Helder, D.L. “Summary of current radiometric calibration coefficients for Landsat MSS, TM, EM+, and EO-1 ALI sensors,”Remote Sensing of Enviroment, vol. 113, pp.

893-903, 2009.

[24] Landsat Project Science Office, “Landsat 7 Science Data User's Handbook". 2002. Diakses pada Tanggal 17 10 2020 di https://atrain.gsfc.nasa.gov/publications/2006ReferenceHandbook.pdf [25] Sobrino, J.A.Munoza, J.C.J, Paolini, L. “Land surface temperature retrieval from LANDSAT TM

5,” Remote Sensing of Environment, vol. 90, pp. 434–440, 2004.

[26] Sannigrahi, S., Bhatt, S., Rahmat, S., Uniyal, B., Banerjee, S., Chakraborti, S., & Bhatt, A.,

“Analyzing the role of biophysical compositions in minimizing urban land surface temperature and urban heating,” Urban Climate, vol. 24, pp. 803-819, 2017.

[27] Weng, Qihao. Dengsheng, Lu. Jacquelyn, Schubring, “Estimation of land surface temperature- vegetation abundance relationship for urban heat island studies,” Remote Sensing of Enviroment, vol. 89, pp. 467-483, 2004.

[28] Hanqiu, X. Benqing, C. “Remote sensing of the urban heat island and its changes in Xiamen City of SE China,”J. of Enviromental Sciences, vol. 16 (2), pp. 276-281, 2004.

[29] Mathew, A. Khaldewa, S. Kaul, N. “Investigating spatio-temporal surface urban heat island growth over Jaipur city using geospatial techniques,”Sustainable Cities and Society, vol. 40, pp. 484-500, 2018.

[30] Qiao, Z.Tian, G. Zhang, L. Xu, X. “Influences of urban expansion on urban heat island in beijing during 1989–2010,” Hindawi Publishing Corporation Advances in Meteorology, vol. 2014, pp. 1- 11

[31] Aniell, C.Morgan, K. Busbey, A.Newland, L. “Mapping micro urban heat islands using Landsat TM and a GIS,”Comparative Geoscience, vol 21, pp. 965–969, 1995.

[32] Mitchell, B.C. “Urbanization and land surface temperature in Pinellas County, Florida,” Tesis, Departement of Geography, Enviroment, and Planning. University of South Florida, 2011.

[33] Sejati, A.W. Buchori, I. Rudiarto, I. “The spatio temporal trends of urban growth and surface urban heat islands over two decades in The Semarang Metropolitan Region,”Sustainable Cities and Societ, vol. 46, pp. 101-432, 2019.

[34] Li, J. Wang, Xr. Wang, XJ.Ma, Wc. Zhang, H. “Remote sensing evaluation of urban heat island and its spatial pattern of the Shanghai metropolitan area, China,”Ecological Complexity, vol 6, pp.

413-420, 2009.

[35] Huang, W. Zeng, Y. Li, S. “An analysis of urban expansion and its associated thermal characteristics using Landsat imagery,”Geocarto International, vol. 30 (1), pp. 93-103, 2014.

[36] Song, Juer. Shihong, Du. Xin, Feng. Luo, Guo. “The relationships between landscape compositions and land surface temperature: Quantifying their resolution sensitivity with spatial regression models,” Lanscape and Urban Planning, vol. 123, pp. 145-147.

(13)

[37] Sun, Qinqin. Zhifeng, Wu. Jianjun, Tan. “The relationship between land surfece temperature and land use/land cover in Guangzhou, China, ” Environ Earth Sci, vol. 65, pp. 1687-1694, 2012.

[38] Mallick, Javed. Yogesh, Kant. Bharath, B.D. “Estimation of land surface temperature over Delhi usung Landsat-7 ETM+,” J. Ind. Geophys. Union, vol. 12 (3), pp. 131-140

[39] Igusky, K dan Jackson, R. “Quantifying albedo and surface temperature over different land covers:

implications for carbon offsets,” Thesis, Duke University, 2008.

[40] Sailor, D.J. Fan, H. “Modeling the diurnal variability of effective albedo for cities,” Atmospheric Environment, vol 36 (4), pp. 713-725, 2002.

[41] Van Hove, L. W. A. Steeneveld, G. J. Jacobs, C. M. J. Heusinkveld, B. G. Elbers, J. A. Moors, E.

J. Hostlag,A. A. M “Exploring the urban heat island intensity of dutch cities:assessment based on a literature review,” Recent meterogical observations and datasets provided by hobby meterologists, Alterra report, Wageningen, 2011.

[42] Buyantuyev, A. Wu, J.“Urban heat islands and landscape heterogeneity: linking spatio temporal variations in surface temperatures to land-cover and socioeconomic patterns,”Landscape Ecol, vol 25, pp. 17–33, 2010.

[43] Chudnovsky, A. Dor, B. E Saaron, H. “Diurnal thermal behavior of selected urban project using remote sensing measurements,”Energy and Buildings, vol 36 (11), pp. 1063-1074, 2004.

[44] Aguiar, A.C. “Urban heat island: differentiating between the benefits and drawbacks of using native or exotic vegetation in mitigating climate,” Thesis, Biological Sciences, University of Wollongong, 2012.

[45] Guo, G. Zhou, X. Wu, Z. Xiao, R. Chen,Y. “Characterizing the impact of urban morphology heterogeneity on land surface temperature in Guangzhou, China,”Environmental Modelling &

Software, vol 84, pp. 427-439, 2016.

Gambar

Gambar 1. Landsat 8 komposit 653 pada wilayah penelitian tahun 2018  Sumber : Hasil analisis (2020)
Gambar 2: Peta raster LST tahun 2000 (A) dan peta raster LST tahun 2018 (B)  Sumber: Hasil analisa (2020)
Gambar 3: Peta raster sebaran kategori UHI index tahun 2000 (A) dan kategori UHI index tahun 2018 (B)  Sumber: Hasil analisa (2020)
Gambar 4. Grafik perubahan luas wilayah (%) kategori UHI index  pada masing-masing zona dari   tahun2000 - tahun 2018
+4

Referensi

Dokumen terkait

antara siswa yang diberi pembelajaran dengan menggunakan metode inkuiri terbimbing dengan menggunakan media kit listrik paket dan swakarya; 2) ada perbedaan hasil

Hasil penelitian menunjukan bahwa peluang pengembangan Sistem Informasi Akademik Dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan terletak pada kebijakan dan isu

Tulisan ini berangkat dari fenomena ritual keagamaan yaitu Khotbah Jumat bebahasa Arab yang berlangsung di Masjid Al-Hidayah Desa Puput. Khotbah yang

Pertumbuhan Kredit Bank Umum Konvensional dan pembiayaan Bank Umum Syariah yang juga terus tumbuh membaik setiap tahunnya diharapkan dapat mendorong keberhasilan

Analisis geo- logi dan geofisika telah dilakukan pada data yang berasal dari data seismik, well (sumur) maupun core pada sumur C-3, C-4 dan C-5. Data tersebut terdiri atas

a. Mengetahui tingkat keanekaragaman burung Ordo Ciconiiformes di kawasan konservasi mangrove Tambaksari Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Mempelajari jenis

Dari arti kata berdasarkan kutipan diatas maka dapat disimpulkan makna judul tugas akhir ini adalah, keaktifan atau kegiatan anak, manusia yang kira-kira berumur

Yanchuik inia nukurinkia tuke nii nawantrin unuinin armiayi tsankuran penker pujusmi tusar, tura yanchuikia inia juntrinkia kajeu armiayi turau asamti tuke nawan