• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biologi Reproduksi Ikan Seriding, Ambassis Nalua (Hamilton, 1822) Di Perairan Teluk Pabean Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Biologi Reproduksi Ikan Seriding, Ambassis Nalua (Hamilton, 1822) Di Perairan Teluk Pabean Jawa Barat"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

BIOLOGI REPRODUKSI

IKAN SERIDING,

Ambassis nalua

(Hamilton, 1822)

DI PERAIRAN TELUK PABEAN JAWA BARAT

NISHA DESFI ARIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Biologi Reproduksi Ikan Seriding, Ambassis nalua (Hamilton, 1822) di Perairan Teluk Pabean Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

iv

RINGKASAN

NISHA DESFI ARIANTI. Biologi reproduksi ikan seriding, Ambassis nalua (Hamilton, 1822) di perairan Teluk Pabean Jawa Barat. Dibimbing oleh M.F. RAHARDJO dan AHMAD ZAHID.

Ikan seriding (Ambassis nalua) merupakan salah satu ikan yang hidup di Teluk Pabean Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek reproduksi yang meliputi ukuran ikan kali pertama matang gonad, musim dan lokasi pemijahan, serta tipe pemijahan ikan seriding. Ikan sampel dikumpulkan dari April hingga Oktober 2015 dengan menggunakan alat tangkap sero dan jaring (trammel net) pada tiga zona, yaitu zona dalam, tengah, dan luar.

Ikan contoh yang tertangkap diawetkan dengan formalin 10% dan dibawa ke Laboratorium Biologi Makro I, Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, FPIK, Institut Pertanian Bogor. Ikan contoh diukur panjang total dan ditimbang bobot tubuh. Panjang total digunakan untuk menentukan ukuran kali pertama matang gonad. Kemudian ikan contoh dibedah guna menentukan jenis kelamin dan diamati tingkat kematangan gonad secara makroskopis. Gonad ikan contoh dipisahkan dan diawetkan untuk pengamatan fekunditas, diameter telur dan histologi.

Total 424 ikan seriding yang dikumpulkan terdiri atas 114 jantan dan 310 betina dengan panjang total antara 38,04-112,63 mm dan bobot antara 0,37-25,44 gram. Perkembangan oosit dibagi dalam empat tahapan, yaitu pertumbuhan awal (kromatin nukleus dan perinuklear), kortikal alveoli, vitelogenesis, dan matang. Berdasarkan tahapan tersebut, ikan seriding termasuk pemijah asinkroni. Dalam oosit terdapat semua tahapan perkembangan tanpa ada yang mendominasi.

Total nisbah kelamin ikan jantan dan ikan betina pada tingkat kematangan gonad (TKG) IV adalah 1:1,9. Ikan jantan dan ikan betina (TKG IV) ditemukan setiap bulan pengamatan. Nilai indek kematangan gonad berkisar antara 0,40-0,83 untuk ikan jantan dan 2,36-4,54 untuk ikan betina. Puncak pemijahan terjadi pada bulan September. Ukuran kali pertama matang gonad ikan jantan (79,17 mm) lebih kecil daripada ikan betina (91,25 mm). Fekunditas bervariasi dari 3.451-32.465 butir. Sebaran telur menunjukkan bahwa pola pemijahan ikan seriding adalah pemijahan bertahap.

Pengelolaan ikan seriding harus tetap memperhatikan keberadaan spesies lain di perairan Teluk Pabean. Adapun hal yang menjadi fokus dalam pengelolaan ikan seriding adalah perlindungan habitat dan pengaturan alat tangkap yang digunakan di perairan Teluk Pabean.

(5)

SUMMARY

NISHA DESFI ARIANTI. Reproductive biology of scalloped perchlet, Ambassis nalua (Hamilton, 1822) in Pabean Bay West Java. Supervised by M.F. RAHARDJO and AHMAD ZAHID.

Scalloped perchlet is one of fish found in Pabean Bay West Java. This study aimed to analyze the reproductive aspects including length maturity, spawning season, spawning area, and spawning type. Fish samples were collected from April to October 2015 by the trap net and trammel net at three zones based on a representative of Pabean Bay, inside, middle and outside zone.

Fish samples were preserved in 10% formalin for analyzing in laboratory Biology Macro I. Fish samples measured the total length and weighed weight. The total length was determined for these first maturity. Afterward, fish samples were dissected to determine the sex and macroscopically the stages of gonadal maturition. Then, gonads are separated and preserved for observation of fecundity, egg diameter and histology.

A total of 424 of the fish were caught, consist of 114 males and 310 females; with range from 38.04 to 112.63 mm in total length and 0.37-25.44 g in total weight. The length-weight relationship of the fish shows allometric growth (b>3) and the condition factor ranged from 0.90-1.15 and 1.04-1.21 for males and females, respectively.

The development of scalloped perchlet oocytes was divided in four stages, i.e. primary growth stage (the chromatin of the nucleus and perinuclear), cortical alveoli, vitellogenesis, and ripe. The development of the oocyte shows that scalloped perchlet was an asynchronous spawner.

Sex ratio in the mature phase (Stage 4) sample was 1 male to 1.9 females. The maturity gonads phase of fish (males and females) were found every month. Value of gonadosomatic index (GSI) ranged from 0.40 to 0.83 for male and from 2.36 to 4.54 for females. Peak of the spawning seasons were found in September. The first maturity (Lm50) for male was a smaller size than female at 79.17 mm and

91.25 mm, respectively. Fecundity varied from 3,451-32,465 of 117 females (mature). Distribution of oocyte diameter shows that the spawning pattern of the fish was batch spawner.

Management of scalloped perchlet must be considering the existence of the other species in Pabean bay. As for things that become focus on the management of scalloped perchlet is habitat protection and regulation of fishing gear used in the Pabean bay.

(6)

vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan

BIOLOGI REPRODUKSI

IKAN SERIDING,

Ambassis nalua

(Hamilton, 1822)

DI PERAIRAN TELUK PABEAN JAWA BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(8)

viii

(9)

Judul Tesis : Biologi Reproduksi Ikan Seriding, Ambassis nalua (Hamilton, 1822) di Perairan Teluk Pabean Jawa Barat

Nama : Nisha Desfi Arianti NIM : C251140071

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. M.F Rahardjo, DEA Ketua

Dr. Ahmad Zahid, SPi. MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumber Daya Perairan

Dr. Ir. Sigid Hariyadi, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Biologi Reproduksi Ikan Seriding,

Ambassis nalua (Hamilton, 1822) di Perairan Teluk Pabean Jawa Barat dapat diselesaikan. Tulisan ini mencakup beberapa informasi biologi ikan seriding yang dibagi dalam beberapa bagian yaitu pola pertumbuhan dan faktor kondisi; aspek reproduksi.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan pemikiran serta membantu dalam penyelesaian tesis ini, terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. M.F Rahardjo, DEA dan Dr. Ahmad Zahid, SPi MSi selaku komisi pembimbing atas bimbingan, arahan, nasihat serta semangat yang telah diberikan selama penyusunan tesis;

2. Prof. Dr. Ir. Sulistiono, MSc selaku penguji luar komisi atas masukan yang diberikan pada ujian akhir;

3. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan beserta staf yang telah memberikan pelayanan dengan baik;

4. Kedua orang tua, Bapak H. Ahmad Effendi Siagian dan Ibu Hj. Rosnani untuk kasih sayang, kerja keras dan perjuangan serta doa yang diberikan. Saudaraku Julpri Ardani S.Ip dan Rizki Efsandi yang terus menyemangati penulis;

5. Bapak Charles PH Simanjuntak, S.Pi M.Si Ph.D, Bapak Emmanuel Manangkalangi dan Ibu Dati Pertami untuk diskusi-diskusi singkat yang penuh dengan ilmu;

6. Tim Cimanuk (Arinie G, Andriano, Eda PS, Dedek PS dan Devi SS) serta seluruh Staf Lab. Biologi Makro MSP FPIK (Mas Aries A, Bg Reiza M, Ibu Tina dan Ibu Dewi, serta Mifta dan Dewi. Terimakasih buat kerja sama dan rasa kekeluargaan yang tercipta;

7. Keluarga Bapak Swara dan masyarakat Pabean Ilir atas bantuan selama melakukan penelitian;

8. Sahabat: Amalia D, Nadia D, Yola A, Devana SM, Sari M;

9. Keluarga kecil di Pondok Kemuning 25; Teman-teman SDP 2014 dan Anggresia Manalu yang selalu memberikan keceriaan, kebersamaan dan kekompakan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2017

Nisha Desfi Arianti

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI xiii

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN UMUM 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

2 POLA PERTUMBUHAN DAN FAKTOR KONDISI 4

Pendahuluan 4

Metode Penelitian 4

Hasil 6

Pembahasan 7

Simpulan 8

3 PERKEMBANGAN SEL TELUR 9

Pendahuluan 9

Metode Penelitian 9

Hasil 10

Pembahasan 13

Simpulan 14

4 ASPEK REPRODUKSI 16

Pendahuluan 16

Metode Penelitian 16

Hasil 18

Pembahasan 22

Simpulan 24

5 PEMBAHASAN UMUM 25

6 SIMPULAN DAN SARAN 27

DAFTAR PUSTAKA 28

LAMPIRAN 33

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

3.1 Kisaran diameter telur perkembangan oosit ikan seriding (A. nalua)

di Teluk Pabean 10

3.2 Tahapan perkembangan oosit ikan seriding (A. nalua) secara morfologis dan histologis di Teluk Pabean (skala: 500µ) / 400x 11 3.3 Karakteristik morfologis dan histologis ovarium ikan seriding (A.

nalua) betina di Teluk Pabean 13

4.1 Penentuan tingkat kematangan gonad ikan seriding (A. nalua) betina di Teluk Pabean berdasarkan karakteristik morfologis dan histologis 17 4.2 Nisbah kelamin ikan seriding (A. nalua) jantan dan betina (TKG IV)

selama penelitian di Teluk Pabean 19

DAFTAR GAMBAR

1.1 Ikan Seriding, Ambassis nalua (Hamilton, 1822) 2 2.1 Lokasi penelitian pada tiga zona (I, II, III) di Teluk Pabean

Indramayu, Jawa Barat 5

2.2 Hubungan panjang bobot ikan seriding (A. nalua) jantan (a) dan

betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean 6

2.3 Rata-rata nilai faktor kondisi ikan seriding (A. nalua) jantan (a) dan

betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean 7

3.1 Penampang histologi oosit ikan seriding (A. nalua) di Teluk Pabean 10 4.1 Persentase tingkat kematangan gonad ikan seriding (A. nalua) jantan

(a) dan betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean 19 4.2 Indek kematangan gonad (IKG) ikan seriding (A. nalua) jantan (a)

dan betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean 20 4.3 Ukuran kali pertama matang gonad (Lm50) ikan seriding (A. nalua)

jantan di Teluk Pabean 20

4.4 Ukuran kali pertama matang gonad (Lm50) ikan seriding (A. nalua)

betina di Teluk Pabean 21

4.5 Hubungan fekunditas ikan seriding (A. nalua) dengan panjang total

(a) dan bobot tubuh (b) di Teluk Pabean 21

4.6 Sebaran diameter telur ikan seriding (A. nalua) di Teluk Pabean 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Zona penelitian di Teluk Pabean 34

2 Foto alat tangkap yang digunakan selama penelitian di perairan Teluk

Pabean 35

3 Faktor kondisi ikan seriding (A. nalua) di Teluk Pabean pada bulan April - Oktober 2015 berdasarkan selang kelas ukuran 36 4 Skema fiksasi contoh gonad ikan seriding (A. nalua) 37 5 Skema pewarnaan sediaan histologi gonad ikan seriding (A. nalua)

(15)

6 Jumlah ikan seriding (A. nalua) pada selama penelitian di Teluk

Pabean 39

7 Nisbah kelamin ikan seriding (A. nalua) berdasarkan selang kelas

ukuran di Teluk Pabean 40

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN UMUM

1.1 Latar Belakang

Teluk Pabean merupakan salah satu muara Sungai Cimanuk yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Pengaruh dari daratan maupun lautan membuat Teluk Pabean menjadi daerah yang subur, serta merupakan daerah hunian ikan yang sangat beragam, antara lain pemijahan, pencarian makanan, tempat persinggahan dalam ruaya, dan perlindungan. Setiap jenis ikan dalam komunitasnya akan berinteraksi dan menempati relung tertentu. Ikan akan beradaptasi terhadap lingkungan (fisik, kimiawi, maupun hayati) agar tetap ada dan bertahan. Blaber (2000) menyatakan bahwa muara memainkan peran penting dalam menjaga produktivitas biologi dan keanekaragaman, menjadi habitat penting bagi banyak spesies ikan yang hidup di muara pada sebagian atau seluruh daur hidupnya.

Sjafei et al. (2001) menjelaskan bahwa 15 jenis ikan ditemukan pada segmen hilir Sungai Cimanuk (Indramayu), 11 jenis diantaranya merupakan ikan laut/payau. Penelitian tentang reproduksi ikan yang terdapat di Teluk Pabean juga telah dilakukan, seperti ikan belanak (Liza subviridis) (Effendie 1984). Salah satu ikan di Teluk Pabean yang belum dilakukan penelitian, yaitu ikan seriding (A. nalua) yang merupakan salah satu ikan penghuni estuari. Ikan seriding merupakan spesies estuari asli karena ditemukan dalam jumlah yang melimpah pada berbagai tahap hidupnya di estuari. Dalam rantai makanan, ikan seriding berperan sebagai karnivora tingkat pertama yang memakan krustase (sergestid dan mysid). Keberlangsungan hidup ikan seriding memengaruhi ketersediaan makanan bagi karnivor tingkat diatasnya yang memakan ikan (piscivora) di estuari. Ikan seriding bukan merupakan ikan tangkapan utama, sehingga secara ekonomis ikan seriding tidak begitu penting, seringkali dijadikan pakan ternak dan campuran bahan pangan (terasi).

Teluk Pabean dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar yang bekerja sebagai nelayan untuk menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap, misal sero, jaring udang, dan jaring arad. Sero dan jaring udang merupakan alat tangkap yang pasif, sedangkan jaring arad merupakan alat tangkap aktif yang digerakkan dengan menggunakan perahu. Penangkapan ikan dengan menggunakan jaring arad dikhawatirkan mengganggu aktivitas ikan-ikan yang melakukan pemijahan, mencari makan dan beruaya ke Teluk Pabean. Keberhasilan pemijahan akan memengaruhi proses penambahan populasi ikan. Menurut Effendie (2002) penambahan populasi ikan juga bergantung kepada kondisi telur dan larva ikan yang akan berkembang.

(18)

2

biologi yang terkait proses reproduksi, mulai dari diferensiasi seksual hingga dihasilkannya individu baru (larva) (Affandi & Tang 2002). Hal ini perlu diketahui sebagai informasi dasar dalam pengelolaan ikan di Teluk Pabean, salah satunya ikan seriding.

1.2. Perumusan Masalah

Teluk merupakan daerah yang subur dengan berbagai aktivitas ikan diantaranya sebagai lokasi pemijahan, pembesaran, mencari makan, dan jalur ruaya. Ikan seriding dapat dimanfaatkan baik sebagai ikan konsumsi maupun sebagai ikan hias. Ikan seriding termasuk kelompok ikan hias karena tubuhnya yang transparan dan dikenal dengan nama scalloped perchlet.

Gambar 1.1 Ikan seriding, Ambassis nalua (Hamilton, 1822)

Kegiatan pemijahan ikan memberikan kesempatan bagi ikan untuk menghasilkan keturunan yang pada giliran berikutnya akan tumbuh hingga dewasa untuk kemudian memijah kembali. Kegiatan pemijahan oleh ikan akan terhambat jika penggunaan alat tangkap aktif dan tidak selektif seperti jaring arad yang digunakan nelayan menangkap ikan-ikan yang akan memijah serta mencari makan di Teluk Pabean. Hal ini akan memengaruhi keberhasilan reproduksi ikan. Selain itu tertangkapnya ikan-ikan kecil akan berdampak terhadap proses peremajaan ikan. Tidak menutup kemungkinan bahwa ukuran ikan yang matang gonad akan semakin kecil. Dalam posisi penurunan ukuran ikan yang matang gonad, diduga akan memengaruhi jumlah telur yang dihasilkan, sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah individu baru.

(19)

1.3 Tujuan Penelitian

(20)

4

2

POLA PERTUMBUHAN DAN FAKTOR KONDISI

2.1 Pendahuluan

Dalam biologi perikanan, pola pertumbuhan yang tergambar dari hubungan panjang bobot ikan merupakan salah satu informasi pelengkap yang perlu diketahui dalam kaitan pengelolaan sumber daya perikanan. Kajian mengenai hubungan panjang bobot ikan telah banyak dilakukan seperti Johnius belangerii di pantai Mayangan (Rahardjo & Simanjuntak 2008); Cynoglossus bilineatus di pantai Mayangan (Zahid & Simanjuntak 2009); Mugil cephalus, Ambassis koopsii, Leiognathus fasciatus di perairan Kuala Gigieng (Mulfizar 2012). Selain itu ada juga kajian mengenai hubungan panjang bobot populasi ikan, diantaranya adalah 33 jenis ikan di Teluk Euboikos Selatan (Petrakis & Stergiou 1995) dan 40 ikan mangrove di Estuari Curuçá, Brazil (Giarrizzo et al. 2006).

Hubungan panjang bobot digunakan untuk memperkirakan bobot tubuh ikan dengan panjangnya (Gomiero & Braga 2003; Froese 2006; Gomiero et al. 2008). Hubungan panjang bobot dan faktor kondisi juga merupakan kajian biologi yang dapat mendukung dalam memahami aspek reproduksi ikan. Faktor kondisi digunakan untuk membandingkan kondisi tubuh, perkembangan gonad, kemon-tokan, atau kesejahteraan ikan, yang didasarkan kepada asumsi bahwa jika bobot ikan lebih cepat dibandingkan pertambahan panjang maka ikan berada dalam kondisi baik (Gomiero & Braga 2003; Froese 2006). Selain itu, faktor kondisi juga dapat memberikan informasi mengenai status fisiologi ikan, terutama pada ikan betina mengenai alokasi energi selama perkembangan gonad.

Namun, informasi mengenai kajian spesies ikan seriding masih sangat se-dikit, terutama di perairan Teluk Pabean belum pernah dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini penting sebagai data penunjang mengenai aspek reproduksi ikan seriding. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan pola pertumbuhan dan faktor kondisi ikan seriding di Teluk Pabean.

2.2 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan April hingga Oktober 2015 di Teluk Pabean, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Lokasi pengambilan contoh dibagi menjadi tiga zona berdasarkan daerah representatif teluk, yaitu zona dalam, zona tengah, dan zona luar (Gambar 2.1, Lampiran 1). Zona dalam teluk merupa-kan daerah yang tenang dan tertutupi oleh tumbuhan mangrove; di zona tengah teluk terdapat beberapa keramba ikan bandeng milik nelayan; sedangkan zona luar teluk merupakan daerah yang mendapatkan pengaruh dari laut, angin kuat, ter-dapat banyak sero nelayan, perairan lebih luas.

(21)

Ikan seriding diukur panjang totalnya (PT) dengan jangka sorong berke-telitian 1 mm dan ditimbang bobot tubuhnya (BT) dengan menggunakan tim-bangan digital berketelitian 0,01 g. Menentukan jenis kelamin (jantan dan betina) dilakukan dengan pembedahan terlebih dahulu, bobot gonad ditimbang dengan menggunakan timbangan digital ketelitian 0,0001 g, kemudian diawetkan dengan formalin 4%.

Gambar 2.1 Lokasi penelitian pada tiga zona (I, II, III) di Teluk Pabean Indramayu, Jawa Barat

Pola pertumbuhan ikan seriding dapat ditentukan dengan melakukan analisis hubungan panjang bobot. Hubungan panjang bobot diperoleh dengan meng-gunakan persamaan Effendie (1979).

Keterangan:

W : bobot tubuh ikan (g) L : panjang tubuh ikan (mm) a, b : konstanta

(22)

6

sama dengan 3 maka pertumbuhan allometrik (pertumbuhan lebih ke arah panjang atau bobot).

Hubungan panjang bobot dan faktor kondisi dihitung terpisah antara ikan jantan dan ikan betina. Faktor kondisi (K) dianalisis berdasarkan panjang bobot ikan menggunakan persamaan Effendie (1979).

(23)

Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan panjang bobot ikan seriding jantan dan betina memiliki korelasi yang kuat. Hal ini dapat dilihat dari nilai r yang mendekati 1. Nilai b persamaan yang didapatkan menunjukkan bahwa ikan seriding jantan dan betina memiliki pola pertumbuhan allometrik (b>3), yang arti-nya pertumbuhan lebih diarahkan kepada pertambahan bobot tubuh dibandingkan dengan pertambahan panjang tubuh atau ikan dalam kondisi gemuk.

Nilai faktor kondisi rata-rata ikan seriding jantan berkisar 0,90-1,15 dan ikan betina berkisar 1,04-1,21 (Gambar 2.3). Nilai faktor kondisi rata-rata ikan jantan mengalami penurunan pada bulan Mei dan Juni, sedangkan nilai faktor kondisi rata-rata ikan betina mengalami penurunan pada bulan Mei dan Agustus.

Gambar 2.3 Rata-rata nilai faktor kondisi ikan seriding (A. nalua) jantan (a) dan betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean.

Keterangan: * tidak ditemukan ikan

2.4 Pembahasan

Hubungan panjang bobot yang didapat dari analisis regresi menunjukkan bahwa ikan seriding memiliki pola pertumbuhan allometrik dengan nilai b>3. Hal ini juga terlihat pada morfologi tubuh ikan seriding yang pendek atau padat. Pola pertumbuhan allometrik juga ditemukan pada Ambassis koopsii di estuari Kuala Gigeeng, Aceh (Mulfizar 2012). Akan tetapi pola pertumbuhan pada ikan A. koopsii adalah b<3. Jennings et al. (2001) menyatakan bahwa pola pertumbuhan ikan bergantung pada kondisi fisiologis dan lingkungan seperti suhu, pH, salinitas,

0,0 0,4 0,8 1,2 1,6

Apr* Mei Jun Jul Agu Sep Okt

Bulan (a)

Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt

Bulan (b)

Fak

tor kond

is

(24)

8

dan letak geografis. Perkembangan gonad dan ketersediaan makanan di habitat juga dapat memengaruhi pola pertumbuhan (Froese 2006). Selain itu aktivitas reproduksi juga memengaruhi hubungan panjang bobot pada ikan seperti pada ikan Anableps anableps yaitu mengalihkan energi dari bobot tubuh ke reproduksi (Oliveira et al. 2011).

Nilai faktor kondisi pada ikan betina lebih tinggi dan ikan jantan lebih rendah. Pada selang kelas panjang yang sama juga menunjukkan hal serupa, faktor kondisi ikan betina lebih tinggi daripada ikan jantan (Lampiran 3). Faktor kondisi yang tinggi baik pada ikan betina maupun ikan jantan, menunjukkan terjadinya perkembangan aktivitas reproduksi ikan. Nilai faktor kondisi ikan betina lebih tinggi juga terjadi pada ikan Leiognathus equulus (Lee et al. 2005) dan ikan Melanotaenia arfakensis (Manangkalangi et al. 2009).

2.5 Simpulan

(25)

3

PERKEMBANGAN SEL TELUR

3.1 Pendahuluan

Reproduksi merupakan upaya untuk menghasilkan individu baru melalui proses perkawinan atau pemijahan. Siklus reproduksi masing-masing ikan bervariasi, dilihat dari perkembangan oosit dan musim pemijahan. Ada beberapa jenis ikan yang pemijahan dilakukan dalam jangka panjang, jangka pendek, serta ada juga ikan yang memijah sepanjang tahun dengan pelepasan telur secara bertahap. Tipe pemijahan ikan dapat dilihat melalui pengamatan perkembangan oosit pada histologi ovarium ikan betina.

Perkembangan oosit terdiri atas beberapa tahapan, yaitu tahap pertumbuhan primer (ditandai dengan terbentuknya nukleus kromatin dan perinuklear); tahap kortikal alveoli; tahap vitelogenesis dan tahap pematangan (pematangan awal dan pematangan akhir) (McMillan 2007). Perkembangan oosit yang terjadi juga tidak harus mengikuti tahapan yang sudah ada, dapat disesuaikan dengan periode perkembangan oosit ikan itu sendiri.

Menurut Selman & Wallace (1989), ovarium ikan dapat diklasifikasikan dalam tiga tipe berdasarkan bentuk perkembangan oositnya yaitu tipe berkembang bersamaan (synchronic), berkembang bersamaan secara berkelompok (group synchronic) dan berkembang tidak bersamaan (asynchronic). Tipe perkembangan oosit tidak bersamaan (asynchronic) dapat ditemukan dalam ovarium yang memiliki beberapa kelompok oosit dengan tingkat perkembangan kematangan yang berbeda-beda (Nagahama 1983; Nejedli et al. 2004).

Selama ini masih sedikit penelitian terkait dengan biologi ikan seriding. Zahid et al. (2011) hanya mengungkap tentang makanan ikan seriding di perairan Segara Menyan, Jawa Barat. Tahapan perkembangan sel telur secara histologi merupakan dasar untuk kajian reproduksi terkait strategi reproduksi. Marques et al. (2000) menjelaskan bahwa kajian mengenai reproduksi ikan dapat digunakan untuk mendukung manajemen dan program konservasi ikan yang dirancang untuk mempertahankan atau meningkatkan stok ikan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan menjelaskan tahapan perkembangan sel telur (oosit) dan tipe pemijahan ikan seriding.

3.2 Metode Penelitian

Ikan betina hasil tangkapan yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan ukuran, kemudian ikan betina dari masing-masing kelompok dipilih secara acak untuk dibedah dan dilihat ovari dari berbagai ukuran. Gonad dipisahkan dari isi perut lainnya, kemudian gonad yang mewakili tingkat kematangan gonad yang berbeda secara morfologi kemudian dipisahkan kedalam plastik klip, diawetkan menggunakan larutan BNF (Buffer Neutral Formalin). Menentukan tingkatan kematangan gonad pada ikan seriding secara morfologi dapat dilihat dengan memperhatikan ukuran, warna, dan butiran telur yang terlihat secara kasat mata.

(26)

10

Kedokteran Hewan IPB dan preparat gonad diamati di bawah mikroskop berkamera (perbesaran 40x) di Laboratorium Terpadu Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif mengacu kepada Murua & Saborido-Rey (2003); McMillan (2007); Genten et al. (2009).

3.3 Hasil

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dalam satu penampang oosit ikan seriding betina terdapat dua hingga tiga perkembangan telur. Gambar 3.1 me-nunjukkan adanya tahap pertumbuhan awal, kortikal alveoli dan vitelogenesis.

Gambar 3.1 Penampang histologi oosit ikan seriding (A. nalua) di Teluk Pabean

Keterangan: KA, kortikal alveoli; N, nukleus; VTL, vitelogenesis; n, nukleolus; PA, pertumbuhan awal (primer) (a, kromatin nukleus & b, perinuklear); bl, butiran lemak: bkt, butiran kuning telur: z, zona radiata (skala: 500 µm).

Ukuran oosit pada setiap fase perkembangannya sangat bervariasi. Hal ini terlihat dari diameter telur yang teramati melalui preparat histologi perkembangan oosit (Tabel 3.1). Tahapan perkembangan oosit ikan seriding betina terpampang pada Tabel 3.2. Karakteristik morfologis dan histologis ovarium ikan seriding (A. nalua) betina dipaparkan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.1 Kisaran diameter telur perkembangan oosit ikan seriding (A. nalua) di Teluk Pabean

Tahapan Perkembangan Oosit Ukuran (µm) Pembentukan kromatin nukleus 30 - 500 a. Pembentukan perinuklear 600 - 1300

Kortikal alveoli 1000 - 2500

Vitelogenesis 1500 - 7300

(27)

Tabel 3.2 Tahapan perkembangan oosit ikan seriding (A. nalua) secara morfologis dan histologis di Teluk Pabean (skala: 500 µm) / (400 x)

Tahapan Karakteristik Morfologis Gonad Betina

Karakteristik Histologis Gonad Betina

Kromatin nukleus

Perinuklear

Kortikal alveoli

Vitelogenesis

(28)

12

Tahap kromatin nukleus

Kromatin nukleus merupakan tahapan awal ketika oogonia mengalami pembelahan meiosis profase. Dari pembelahan tersebut kemudian muncul oosit di lumen ovarium. Oosit dikelilingi oleh beberapa sel folikel skuamosa dan memiliki inti yang dikelilingi oleh lapisan sitoplasma yang tipis, disebut dengan nukleus (Tabel 3.2, kromatin nukleus).

Tahap perinuklear

Bersamaan dengan berkembangnya oosit, nukleolus tumbuh di dalam nukleus, umumnya berada di pinggiran lapisan inti. Kemudian terbentuk cincin putih yang mengelilingi nukleus. Pada akhir tahap ini juga akan terlihat beberapa pembentukan butiran kuning telur dan lemak di sitoplasma. Hal ini menunjukkan oosit akan menuju ke tahapan kortikal alveolus. Hampir rata-rata pada tahap ini oosit belum mengalami matang gonad (Tabel 3.2, perinuklear).

Tahap kortikal alveoli

Pada tahap ini ovarium mengalami perkembangan sitoplasma, disebabkan adanya pembentukan butiran lemak dan butiran kuning telur di sekeliling nukleus. Nukleus masih berada di posisi inti dengan beberapa nukleolus yang melekat di membran (Tabel 3.2, kortikal alveoli). Kortikal alveoli (yolk vesicle) terbentuk dengan ukuran yang bervariasi dan, memiliki bentuk yang tidak beraturan. Pada tahap ini zona radiata terlihat lebih jelas. Memasuki tahap vitelogenesis, kortikal alveoli akan bermigrasi kepinggiran oosit.

Tahap vitelogenesis

Setelah kortikal alveoli, terjadi pertambahan ukuran serta jumlah butiran kuning telur dan lemak mengisi sitoplasma. Tahap ini disebut awal vitelogenesis (early vitellogenesis). Selanjutnya pada tahap akhir vitelogenesis (late vitellogenesis) terjadi pengendapan butiran kuning telur pada sisi tepi oosit yang matang dan kemudian menyebar keseluruh sitoplasma mendekati nukleus (Tabel 3.2, vitelogenesis). Proses ini membuat ukuran nukleus semakin mengecil dengan bentuk yang tidak beraturan. Butiran kuning telur mulai mengalami pencairan sejalan dengan berkembangnya sitoplasma. Selain itu zona radiata terlihat lebih tebal dan jelas antara teka internal dan teka eksternal.

Tahap matang

Terjadi proses dimana nukleus menghilang dan nekleolus keluar ke sitoplasma, sehingga oosit sulit diidentifikasi. Butiran kuning telur mengalami pencairan dan terlepas ke lumen ovarium. Zona radiata (teka internal dan teka eksternal) mengalami penipisan karena peningkatan ukuran sel sehingga epitel folikular menjadi pecah dan ini disebut dengan tahap matang (Tabel 3.2, matang).

(29)

Tabel 3.3 Karakteristik morfologis dan histologis ovarium ikan seriding (A. nalua) bewarna jingga dan terlihat seperti minyak.

Sel kecil dengan inti sel (nukleus) ditengah dan bentuk tidak beraturan.

Perinuklear Ukuran ovarium membesar, warna kekuningan tetapi bu-tiran telur belum terlihat.

Sel lebih besar sejalan dengan perkembangan sitoplasma, nuk-leus semakin membesar disertai dengan munculnya nukleolus. Di-temukan seperti cincin putih yang mengelilingi nukleus. Kortikal alveoli Ukuran ovarium semakin

membesar, bewarna kuning buluh darah terlihat sangat jelas.

Nukleus mulai terdesak dengan semakin meningkatnya jumlah dan ukuran butiran kuning telur di sitoplasma. Zona radiata se-makin tebal dan terlihat jelas. Matang Butiran telur terlihat dan

rongga ovarium mulai me-dan sitoplasma di dominasi oleh bu-tiran kuning telur.

3.4 Pembahasan

Jumlah tahapan perkembangan gonad dan sub-tahap pada ikan dapat bervariasi sesuai dengan perkembangan ovarium untuk setiap spesies dan juga sesuai dengan kriteria berbeda yang digunakan oleh masing-masing penulis (Santos et al. 2005). Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan ditemukan lima tahapan perkembangan oosit pada ikan seriding yaitu 1. Kromatin nukleus; 2. Perinuklear; 3. Kortikal alveoli; 4. Vitelogenesis; dan 5. Matang. Tahap kromatin nukleus dan perinuklear disebut sebagai tahap pertumbuhan primer (Forberg 1982; Selman et al. 1993). Menurut Begovac & Wallace (1988) tahapan perinuklear pada sebagian ikan ditandai dengan adanya cincin (perinuclear ring) seperti pada ikan Tilapia nilotica dan Sygnathus scovelli. Tahap pertumbuhan primer ini merupakan tahapan awal yang sering dijumpai pada perkembangan sel telur ikan.

(30)

14

perkembangan oosit menunjukkan keunikan yaitu dalam satu perkembangan ovarium terdapat dua sampai tiga tahapan perkembangan (Gambar 3.1). Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan oosit ikan seriding tergolong kedalam berkembang tidak bersamaan (asynchronic), seperti pada ikan Oligosarcus hepsetus (Santos et al. 2005); Notropis buccula (Durham & Wilde 2008); Danio rerio (Ucuncu 2009). Ikan-ikan dengan tipe pemijahan tidak bersamaan (asynchronic) memiliki musim pemijahan yang panjang dan biasanya pemijahan terjadi sepanjang tahun terlepas dari pengaruh kondisi lingkungan (Durham & Wilde 2008).

Dilihat dari perkembangan oosit, dapat dihubungkan dengan melihat tingkat kematangan gonad pada ikan. Ikan yang belum matang gonad dengan warna kuning muda disebabkan pada tahapan awal pertumbuhan primer (kromatin nukleus dan perinuklear) butiran kuning telur dan lemak belum muncul. Pada tahapan kortikal alveoli, butiran kuning telur dan lemak mulai muncul di sekeliling sitoplasma. Kortikal alveoli memiliki peranan penting dalam menuju tahap vitelogenesis. Dengan munculnya butiran-butiran kecil pada kortikal alveoli yang kemudian tumbuh menjadi lebih besar dan memenuhi sitoplasma mendukung terjadinya proses vitelogenesis. Hal ini dapat terlihat pada ikan yang telah matang gonad atau ikan dengan tingkat kematangan gonad IV.

Pada tahapan vitelogenesis, butiran lemak akan terlihat bewarna jingga karena adanya pigmen karotenoid. Beberapa hormon yang mengatur dalam per-tumbuhan oosit pada ikan, diantaranya gonadotropin (GTH) seperti LH (lutei-nizing hormone) dan FSH (follicle stimulating hormone) yang bekerja merang-sang dalam penyerapan untuk menuju ke tahap vitelogenesis; tiroksin, triiodo-thyronine, hormon pertumbuhan, dan insulin (Tyler 1996). Meskipun ada bebe-rapa hormon yang tidak bekerja secara langsung dalam perkembangan oosit, se-perti hormon pertumbuhan yang memacu pertumbuhan tubuh pada ikan agar ikan tumbuh lebih cepat dan mengalami matang gonad.

Pada beberapa ikan, perpaduan butiran kuning telur dan lemak menjadi sulit dibedakan pada saat proses pematangan, dan oosit menjadi sulit ditemukan saat akan pembubaran inti. Hal ini disebabkan oleh penyusutan dan distorsi dari oosit selama pemrosesan kembali normal. West (1990) juga menjelaskan bahwa oosit tidak jarang hilang dari lumen ovarium dalam proses pengembalian ke jaringan awal perkembangan. Setelah tahapan akhir pematangan, ikan seriding akan kembali mempersiapkan untuk tahapan pertumbuhan primer untuk pemijahan selanjutnya.

Terlihat adanya tumpang tindih ukuran antara tahap vitelogenesis dan tahap matang. Hal ini disebabkan karena perbedaan ukuran tubuh dan bobot tubuh pada ikan seriding. West (1990) juga menegaskan bahwa bias pada ukuran oosit mung-kin terjadi karena sampel yang digunakan dari ukuran tubuh yang berbeda. Hal

(31)
(32)

16

4

ASPEK REPRODUKSI

4.1 Pendahuluan

Ikan seriding merupakan ikan yang menggantungkan hidupnya di muara. Berbagai tahap hidupnya ditemukan di ekosistem muara, dengan jumlah yang melimpah seperti yang ditemukan di estuari Mayangan (Zahid et al. 2011) dan di Teluk Bintuni (Simanjuntak et al. 2011). Pada kedua lokasi tersebut, ikan seriding merupakan ikan yang cukup mendominasi dan memiliki sebaran yang cukup luas. Persebaran ikan seriding di dunia mencakup Australia; Bangladesh; India; Indonesia; Malaysia; Myanmar; Papua Nugini; Filipina; Singapura; Thailand; Amerika Serikat. Ikan seriding (Ambassis nalua) saat ini terdaftar di IUCN Red List sebagai spesies dengan status tingkat kekhawatiran minimal (least concern) (IUCN 2011). Informasi mengenai populasi ikan tersebut masih minim, beberapa penelitian telah dilakukan pada genus Ambassis diantaranya oleh Semple (1985); Allen & Burgess (1990); Coates (1990). Selain itu nilai komersial dari genus ini masih terbatas; sebagian genus Ambassis diperdagangkan sebagai ikan hias karena tubuhnya yang transparan.

Di perairan Teluk Pabean, kajian biologi mengenai aspek reproduksi ikan seriding belum pernah dilakukan. King & McFarlane (2003) dan Silva et al. (2005) menjelaskan bahwa biologi reproduksi ikan memberikan acuan dasar penting dalam manajemen stok dan konservasi ikan. Selain itu kajian mengenai aspek biologi penting untuk keberlanjutan suatu spesies. Keberhasilan reproduksi bergantung kepada rekrutmen, serta berdampak kepada keberlangsungan populasi spesies. Penelitian aspek reproduksi ini bertujuan untuk menjelaskan beberapa aspek reproduksi meliputi nisbah kelamin, musim pemijahan, ukuran ikan kali pertama matang gonad, fekunditas serta tipe pemijahan.

4.2 Metode Penelitian

Data yang telah diamati di laboratorium meliputi data ukuran panjang, bobot tubuh dan bobot gonad digunakan untuk menganalisis nisbah kelamin, ukuran kali pertama matang gonad serta hubungan fekunditas dengan panjang dan bobot. Sedangkan untuk menentukan musim pemijahan menggunakan tingkat kematang-an gonad (TKG) dkematang-an indeks kematkematang-angkematang-an gonad (IKG).

Gonad ikan seriding jantan dan betina diawetkan, kemudian gonad ikan betina dibagi menjadi tiga bagian yaitu anterior, tengah dan posterior (masing-masing bagian ditimbang). Masing-(masing-masing bagian kemudian diambil 5% dari bobotnya; diencerkan dengan aquades untuk memudahkan menghitung fekunditas. Diameter telur diukur dengan mengambil masing-masing bagian sebanyak 100 butir, kemudian dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop pembesaran 4 x 10 dengan mikrometer okuler yang telah ditera dengan mikrometer objektif.

Nisbah kelamin ikan seriding dihitung dengan membandingkan jumlah ikan seriding jantan dan betina yang telah matang gonad (TKG IV) yaitu:

(33)

Keterangan:

NK : nisbah kelamin; nJ : jumlah ikan jantan; nB : jumlah ikan betina.

Tingkat kematangan gonad (TKG) ditentukan berdasarkan tanda-tanda morfologi gonad (Tabel 4.1).

Tabel 4.1 Penentuan tingkat kematangan gonad ikan seriding (A. nalua) betina di Teluk Pabean berdasarkan karakteristik morfologis dan histologis

TKG Karakter morfologis Karakter histologis

I Ukuran ovarium kecil, tipis,

bewar-na jingga dan terlihat seperti mi-nyak.

Sel kecil dengan inti sel (nukleus) ditengah dan bentuk tidak beraturan.

II Ukuran ovarium membesar, warna

kekuningan tetapi butiran telur be-lum terlihat.

Sel lebih besar sejalan dengan perkem-bangan sitoplasma, nukleus semakin mem-besar disertai dengan munculnya nukleolus. Ditemukan seperti cincin putih yang mengelilingi nukleus.

III Ukuran ovarium semakin

membe-sar, bewarna kuning dan mulai ter-lihat adanya butiran telur.

Ditandai dengan munculnya pemben-tukkan butiran kuning telur dan butiran lemak di sitoplasma. Zona radiata dan lapisan folikel mulai terlihat jelas.

IV Butiran telur terlihat dengan jelas

dan rongga ovarium rapat dengan radiata semakin tebal dan terlihat jelas.

V Butiran telur terlihat dan rongga

ovarium mulai merenggang, terda-pat bagian yang transparan.

Pada tahap ini, nukleus menghilang dan nekleolus keluar ke sitoplasma. Pem-bentukan butiran kuning telur telah berhenti dan sitoplasma di dominasi oleh butiran kuning telur.

Nilai indeks kematangan gonad (IKG) dihitung setiap bulan pengamatan. Musim pemijahan yaitu bulan dengan ditemukannya ikan yang matang gonad; puncak pemijahan yaitu bulan dengan ditemukannya ikan dengan proporsi TKG dan IKG tertinggi. Indeks kematangan gonad dihitung berdasarkan rumus Effendie (1979), yaitu:

Keterangan:

IKG : indeks kematangan gonad; Bg : bobot gonad (g);

Bt : bobot tubuh (g)

Ukuran ikan kali pertama matang gonad (Lm50) dihitung menggunakan

(34)

18

Ikan seriding (A. nalua) yang telah mengalami matang gonad dihitung fekunditas totalnya. Persamaan yang digunakan dalam menghitung telur secara gravimetrik adalah sebagai berikut (Effendie 1979):

Keterangan:

F : fekunditas total (butir); G : bobot gonad (g);

g : bobot gonad contoh (g); f : jumlah telur tercacah (butir)

Hubungan antara fekunditas total dengan panjang ikan dan bobot tubuh

Pengukuran diameter telur (TKG IV) dilakukan dengan mengambil contoh telur dari tiga bagian gonad yang mewakili (anterior, tengah, dan posterior) dengan jumlah masing-masing 100 butir. Diameter telur diukur dengan meng-gunakan mikroskop binokuler yang diberi mikrometer okuler dengan perbesaran 4 x 10. Persebaran diameter telur digunakan sebagai dasar penentuan tipe pemijahan.

4.3 Hasil Nisbah Kelamin

Ikan seriding yang diperoleh selama tujuh bulan penelitian berjumlah 424 ekor ikan, dengan panjang total antara 38,04-112,63 mm dan bobot antara 0,37-25,44 g. Jumlah yang diperoleh tersebut terdiri atas 114 ekor (26,9%) ikan seriding jantan dan 310 ekor (73,1%) ikan seriding betina (Lampiran 6).

(35)

Tabel 4.2 Nisbah kelamin ikan seriding (A. nalua) jantan dan betina (TKG IV) selama penelitian di Teluk Pabean

Bulan Jumlah (ekor) Nisbah Kelamin χ2 hitung Jantan Betina (Jantan : Betina)

April 0 1 0 0 selama bulan pengamatan (Gambar 4.1). Frekuensi tertinggi pada ikan seriding (TKG IV) terdapat pada bulan September yaitu ikan jantan berjumlah 41 ekor sedangkan untuk ikan betina berjumlah 45 ekor. Ikan seriding TKG V ditemukan pada bulan September dan Oktober untuk ikan jantan dan pada bulan Mei, Juli, Agustus, September dan Oktober untuk ikan betina.

Gambar 4.1 Persentase tingkat kematangan gonad ikan seriding jantan (a) dan betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean

Keterangan: * tidak ditemukan ikan; n:jumlah tangkapan

Nilai rata-rata indeks kematangan gonad (IKG) selama bulan pengamatan pada ikan seriding jantan dan betina berfluktuasi. Nilai IKG ikan jantan terendah

n=0

Apr* Mei Jun Jul Agu Sep Okt

Bulan (a)

Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt

(36)

20

berada pada bulan Agustus (0,40) dan tertinggi berada pada bulan September (0,83) dan nilai IKG ikan betina terendah berada pada bulan Juli (2,36) dan tertinggi berada pada bulan September (4,54) (Gambar 4.2). Nilai IKG maksimum ikan jantan dan ikan betina ditemukan pada bulan September.

Gambar 4.2 Indeks kematangan gonad (IKG) ikan seriding (A. nalua) jantan (a) dan betina (b) selama penelitian di Teluk Pabean

Keterangan: * tidak ditemukan ikan

Ukuran Ikan Seriding Kali Pertama Matang Gonad (Lm50)

Berdasarkan ukuran morfologi dan kematangan gonad (TKG III dan IV) dari ikan seriding jantan dan betina maka dapat diketahui bahwa ikan jantan mengalami matang gonad dengan ukuran lebih kecil (Gambar 4.3) dibandingkan ikan betina (Gambar 4.4), yaitu 79,17 mm dan 91,25 mm.

Gambar 4.3 Ukuran kali pertama matang gonad (Lm50) ikan seriding (A. nalua)

Apr* Mei Jun Jul Agu Sep Okt

Bulan (a)

Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt

Bulan (b)

51,5 57,5 63,5 69,5 75,5 81,5 87,5 93,5

(37)

Gambar 4.4 Ukuran kali pertama matang gonad (Lm50) ikan seriding (A. nalua)

betina di Teluk Pabean

Fekunditas

Nilai fekunditas total ikan seriding yang diperoleh dari April hingga Oktober berkisar antara 3.451-32.465 butir dengan rata-rata yaitu 12.618±6156 butir dari 117 ekor ikan betina (TKG IV) yang berukuran panjang total 70,37-112,63 mm dan bobot tubuh 5,61-25,44 g. Fekunditas minimum (3451 butir) ditemukan pada ikan berukuran 72,97 mm sedangkan fekunditas maksimum (32465 butir) ditemukan pada ikan berukuran 111,12 mm.

Hubungan antara fekunditas dengan panjang total dan fekunditas dengan bobot tubuh ikan dinyatakan dengan persamaan F = 0,0732PT2,6389 (r = 0,6037) dan F = 1112,2B0,9346 (r = 0,6729) (Gambar 4.5).

Gambar 4.5 Hubungan fekunditas ikan seriding (A. nalua) dengan panjang total (a) dan bobot tubuh (b) di Teluk Pabean

0

67,5 73,5 79,5 85,5 91,5 97,5 103,5 109,5

(38)

22

Diameter Telur

Sebaran diameter telur ikan seriding dari 31 ikan betina yang telah matang gonad (TKG IV) bervariasi, dibagi ke dalam 14 kelompok ukuran yaitu antara pemijahan bertahap, yang artinya ikan akan mengeluarkan telurnya sebagian demi sebagian.

Gambar 4.6 Sebaran diameter telur ikan seriding (A. nalua) di Teluk Pabean

4.4 Pembahasan Nisbah Kelamin

(39)

Musim dan Lokasi Pemijahan

Musim pemijahan ditandai dengan ditemukan ikan seriding baik jantan dan betina yang berada pada TKG IV dan TKG V. Hal tersebut menunjukkan bahwa lokasi pemijahan terjadi di perairan Teluk Pabean. Akan tetapi dari tiga zona yang diwakili, belum dapat diketahui tepatnya di mana ikan seriding memijah.

Proporsi TKG menunjukkan bahwa pemijahan pada ikan seriding terjadi selama bulan pengamatan (Mei - Oktober) di perairan Teluk Pabean, kecuali pada bulan April. Pada bulan tersebut ikan seriding jantan tidak ditemukan, dan pada bulan Mei - Juni, ikan jantan (TKG IV) yang tertangkap berjumlah satu ekor sehingga TKG menunjukkan nilai 100 (Gambar 4.1). Seiring dengan peningkatan TKG maka nilai IKG akan meningkat, hal ini disebabkan perkembangan gonad yang semakin membesar hingga menuju pemijahan, terutama pada ikan seriding betina.

Peningkatan nilai IKG pada ikan betina serupa juga ditemukan pada ikan Liza aurata di Yunani (Hotos et al. 2000) dan Eugerres mexicanus di Mexico (Zenil et al. 2014). Berdasarkan proporsi TKG dan IKG yang tertinggi terjadi pada bulan September, maka bulan tersebut dapat dianggap sebagai puncak pemijahan. Musim pemijahan ikan seriding berbeda dengan jenis Ambassidae lainnya, seperti Ambassis agassizii yang memijah pada bulan Oktober dan November di Australia (Milton & Arthington 1985) dan Parambassis ranga yang memijah pada bulan Februari - Oktober dengan puncak pemijahan bulan April di Jepang (Ishikawa & Tachihara 2012).

Ukuran Ikan Seriding Kali Pertama Matang Gonad (Lm)

Ikan seriding jantan kali pertama matang gonad pada ukuran lebih kecil daripada ikan betina. Jones (1974) menjelaskan bahwa untuk beberapa teleost, ikan jantan mengalami matang gonad pada ukuran yang lebih kecil daripada ikan betina. Hal ini berbeda dengan beberapa ikan yang hidup di daerah pesisir pantai seperti ikan Gerres kapas di pantai Mayangan (Sjafei & Syahputra 2009); Anchoa marinii di pantai Buenos Aires (Lopez et al. 2015) yang memang ikan betina mengalami matang gonad dengan ukuran yang besar daripada ikan jantan. Perbedaan ukuran ikan kali pertama matang gonad dipengaruhi oleh laju pertumbuhan dan taktik reproduksi ikan itu sendiri. Ukuran ikan kali pertama matang gonad yang dilakukan secara berkala dapat menjadi indikator adanya tekanan terhadap populasi, seperti pada ikan Sarotherodon melanotheron dan

Ethmalosa fimbriata di perairan estuari Afrika Barat (Panfili et al. 2006). Namun, dikarenakan minimnya informasi mengenai ukuran ikan seriding kali pertama matang gonad, sehingga tidak dapat dibandingkan apakah ikan seriding di Teluk Pabean mengalami tekanan lingkungan.

(40)

24

Fekunditas

Fekunditas merupakan gambaran untuk melihat keturunan yang dihasilkan suatu induk untuk kelestariannya. Nilai fekunditas total ikan seriding yang diperoleh dari April hingga Oktober berkisar antara 3.451-32.465 butir dengan rata-rata yaitu 12.618 (±6156) butir. Nilai fekunditas ikan seriding ini masih sedikit jika dibandingkan dengan fekunditas ikan Gerres kapas dan ikan Cynoglossus bilineatus di perairan pantai Mayangan, secara berurutan berkisar antara 1.158-219.372 butir (Sjafei & Syahputra 2009) dan 2.323-225.557 butir (Zahid & Simanjuntak 2009), dikarenakan perbedaan ukuran tubuh masing-masing spesies.

Rahardjo et al. (2011) menyatakan bahwa fekunditas yang dihasilkan oleh induk betina bervariasi dengan banyak faktor yang menjadi penentu antara lain spesies ikan, umur, ukuran ikan, serta kondisi lingkungan diantaranya keter-sediaan makanan, suhu, musim dan lain-lain. Fekunditas yang tinggi pada jenis ikan, diduga merupakan mekanisme dan strategi untuk meningkatkan jumlah telur serta laju pertumbuhan larva ikan (Bagenal 1973). Jonsson & Jonsson (2009) juga menjelaskan bahwa suhu lingkungan memengaruhi fekunditas dan ukuran telur dalam penyerapan kuning telur pada oosit.

Pada ikan yang memiliki perkembangan oosit tidak bersamaan, ukuran telur sangat beragam dalam satu ovarium. Murua & Saborido-Rey (2003) juga mendefinisikan bahwa pada ikan asynchronous spawner memiliki ovarium dengan oosit yang tidak beraturan (acak). Faktor lingkungan seperti makanan juga berpengaruh pada tingkah laku dan metabolisme ikan, dapat mengakibatkan penurunan fekunditas yang direfleksikan dalam rendahnya jumlah oosit yang berkembang atau terjadi atresia.

Pola Pemijahan

Pola pemijahan ditentukan berdasarkan diameter oosit (West 1990). Oosit dari ikan betina yang matang gonad (TKG IV) dikelompokkan kedalam kelas ukuran diameter yang berbeda, dihitung frekuensi kejadian untuk menentukan pola pemijahan ikan (Barbieri et al. 1990; Chellappa et al. 2005). Diameter telur ikan seriding betina (TKG IV) berkisar antara 0,1-1,06 mm. Berdasarkan Gambar 4.5 terlihat bahwa sebaran diameter telur ikan seriding memiliki tiga buah modus. Modus pertama terdapat pada selang kelas 0,23-0,29 mm; modus kedua terdapat pada selang kelas 0,44-0,50 mm; dan modus ketiga terdapat pada selang kelas 0,79-0,85 mm. Hal ini menunjukkan bahwa ikan seriding (A. nalua) memiliki tipe pemijahan bertahap, yang artinya ikan akan mengeluarkan telurnya sebagian demi sebagian.

4.5 Simpulan

(41)

5

PEMBAHASAN UMUM

Teluk Pabean merupakan ladang bagi masyarakat sekitar untuk memperoleh mata pencaharian. Mereka memanfaatkan Teluk Pabean untuk berbagai aktivitas seperti membangun areal budidaya udang dan ikan (bandeng), mencari tiram, membangun sero, serta menebar jaring. Dalam penelitian ini, sero dan jaring alat tangkap untuk mewakili hasil tangkapan ikan di Teluk Pabean. Kedua alat ini merupakan alat tangkap pasif dan hemat biaya, karena pengoperasiannya tidak digerakkan menggunakan perahu.

Selama melakukan pengumpulan sampel di perairan Teluk Pabean, ditemukan hasil tangkapan dari sero adalah ikan-ikan mulai berukuran kecil hingga ukuran besar termasuk ikan seriding, serta penangkapan / pemasangan sero dilakukan setiap hari. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Teluk Pabean dihuni oleh beragam spesies ikan dari berbagai ukuran.

Tindakan pelestarian sumber daya alam dapat dilakukan berdasarkan pengetahuan biologi dan ekologi, terutama bagi ikan-ikan yang terancam populasinya; serta ikan-ikan menghabiskan seluruh hidupnya di muara. Untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan khususnya di Teluk Pabean, perlu beberapa upaya pengelolaan. Salah satu upaya pengelolaan dapat diketahui dari aspek biologi salah satu ikan, yaitu aspek reproduksi ikan seriding (A. nalua). Dalam penelitian ini, beberapa aspek reproduksi yang dapat dijadikan acuan dalam upaya pengelolaan adalah pola pertumbuhan dan faktor kondisi; pola perkembangan gonad; nisbah kelamin; musim pemijahan, ukuran kali pertama matang gonad serta tipe pemijahan dari ikan seriding. Adapun upaya yang diharapkan ada di Teluk Pabean adalah sebagai berikut:

Pemeliharaan Teluk Pabean sebagai Daerah Perlindungan

Whitfield (1999) menjelaskan bahwa selama beberapa dekade, muara telah diakui sebagai daerah perlindungan bagi spesies ikan, akan tetapi sampai saat ini belum dijadikan target sebagai daerah perlindungan. Produktivitas yang tinggi di muara diidentifikasi sebagai alasan utama ikan tertarik, terutama suplai makanan berupa keberadaan detritus dan avertebrata yang berlimbah. García-Alzate et al. (2012) menjelaskan bahwa suatu ikan dapat makan dengan baik dilihat dari faktor kondisi ikan.

Pola pertumbuhan ikan seriding baik ikan jantan maupun ikan betina adalah allometrik (b>3, pertumbuhan bobot tubuh lebih dominan dibandingkan dengan

pertumbuhan panjang tubuh), dan memiliki nilai faktor kondisi yang fluktuatif (≥

0,5) untuk ikan jantan dan ikan betina. Monteiro et al. (2007) juga menjelaskan bahwa faktor kondisi ikan betina cenderung lebih tinggi dikarenakan secara fisiologis ikan betina membutuhkan cadangan energi tambahan, hal ini terkait dengan perkembangan organ reproduksi; perkembangan gonad; serta proses pengeluaran telur pada masa pemijahan.

(42)

26

untuk perkembangan telur adalah meminimalkan makanan yang ada di lingkungan agar dapat dimanfaatkan untuk perkembangan telur yang selanjutnya. Maka dari itu, Teluk Pabean sebagai habitat perlindungan dan pemeliharaan juga perlu menjadi sorotan pemerintah daripada terus mempermasalahkan perikanan tangkap, terutama bagi ikan seriding yang daur hidupnya bergantung di perairan Teluk Pabean.

Pengaturan Penangkapan serta Ukuran Ikan yang Boleh Ditangkap

Aspek reproduksi memberikan informasi mengenai puncak pemijahan serta ukuran kali pertama matang gonad pada ikan seriding di Teluk Pabean. Tipe perkembangan sel telur yang dimiliki oleh ikan seriding memungkinkan bagi ikan ini memijah sepanjang tahun yang berpuncak pada bulan September hingga Oktober. Beberapa perikanan laut dunia menerapkan upaya penutupan sementara terhadap kegiatan penangkapan pada puncak pemijahan, seperti Kanada (Clark 1996). Akan tetapi upaya penutupan sementara ini lebih sesuai pada perairan yang mempunyai empat musim, sedangkan pada perairan tropis yang memiliki alat tangkap multi spesies dan kegiatan penangkapan yang rutin, upaya ini sulit diterapkan. Upaya yang dapat disarankan yaitu membatasi kegiatan penangkapan pada puncak pemijahan, agar ikan seriding dapat memperbanyak keturunan dengan proses pemijahan.

Selanjutnya ukuran mata jaring disesuaikan dengan ukuran ikan seriding yang boleh ditangkap, yaitu ikan pascapemijahan, yang berukuran dewasa, minimal telah mengalami satu kali pemijahan. Ukuran kali pertama matang gonad pada ikan seriding adalah 79,17 mm untuk ikan jantan dan 91,25 mm untuk ikan betina. Peningkatan ukuran mata jaring juga mengurangi pembuangan ikan-ikan kecil yang ikut tertangkap pada sero, dan memberikan kesempatan ikan-ikan kecil tersebut untuk berkembang. Upaya ini membantu mengurangi kematian pada ikan non target. Pembuangan ikan non target (bycatch) merupakan salah satu pemborosan dalam sumber daya perikanan (Broadhurst et al. 2003). Hal ini juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan populasi ikan yang berada di perairan Teluk Pabean.

Jika dilihat dari hasil tangkapan alat tangkap sero yang bervariasi, maka lokasi pemasangan sero sebaiknya berada di luar perairan Teluk Pabean guna menghindari tertangkapnya ikan kecil. Menurut Harry et al. (2011) sebagian besar spesies ikan yang termasuk dalam kelompok-kelompok kecil dan menengah terbatas hingga ke perairan pesisir, sementara sebagian besar spesies ikan yang termasuk dalam kelompok-kelompok besar (semi pelagis), bermigrasi ke perairan lepas pantai. Durasi pemasangan alat tangkap sero juga diatur tidak lebih dalam semalam. Nelayan dapat menggunakan jaring sebagai alat tangkap sampingan untuk menangkap ikan spesies target, tentunya dengan ukuran mata jaring yang telah diizinkan.

(43)

6

SIMPULAN DAN SARAN

Pola pertumbuhan dari hubungan panjang bobot ikan seriding menunjukkan pertumbuhan allometrik (b>3, pertumbuhan bobot tubuh lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan panjang tubuh), dan memiliki nilai faktor kondisi yang fluktuatif selama bulan pengamatan (Fk ≥ 0,5) untuk ikan jantan dan ikan betina. Sel telur ikan seriding menunjukkan bahwa ikan seriding memiliki pola perkembangan sel telur berkembang tidak bersamaan.

Nisbah kelamin ikan jantan dan ikan betina di perairan Teluk Pabean didominasi oleh ikan betina dan pola pemijahan tidak seimbang. Ikan seriding jantan mengalami matang gonad pada ukuran lebih kecil daripada ikan seriding betina. Musim pemijahan terjadi selama bulan Mei - Oktober dengan puncak pemijahan pada bulan September. Fekunditas yang dihasilkan ikan seriding betina yaitu 3.451-32.465 butir, dengan tipe pemijahan bertahap. Upaya menjaga keles-tarian ikan perlu dilakukan berupa pemeliharaan Teluk Pabean sebagai daerah perlindungan dan pengaturan penangkapan serta ukuran mata jaring pada alat tangkap sero.

(44)

28

DAFTAR PUSTAKA

Allen GR & Burgess WE. 1990. A review of the glassfishes (Chandidae) of Australia and New Guinea. Records of the Western Australian Museum Supplement. 34(1):139-206.

Affandi R & Tang U. 2002. Fisiologi hewan air. Pekanbaru. Unri Press. 213 hlm. Bagenal TR. 1973. Fish fecundity and its relations with stock and recruitment.

Rapp. P.o. vun. Cons. Perm. International Explore Marine. 164:164-198. Begovac PC & Wallace RA. (1988). Stage of oocyte development in the pipefish,

Syngnathus scovelli. Journal of Morphology. 197(3):353-369.

Blaber SJM. 2000. Tropical estuarine fishes: ecology, exploitation and conservation. Australia. Blackwell Science. 372 p.

Blazer V. 2002. Histopathological assessment of gonadal tissue in wild fishes. Fish Physiology and Biochemistry. 26(1):85-101.

Broadhurst MK, Gray CA, Young DJ, Johnson DD. 2003. Relative efficiency and size selectivity of bottom-set gillnets for dusky flathead, Platycephalus fuscus and other species in New South Wales, Australia. Archive of Fishery and Marine Research. 50(3):289–302.

Chellappa S, Camara MR, Verani JR. 2005. Ovarian development in the Amazonian red discus, Symphysodon discus Heckel (Osteichthyes: Cichlidae). Brazilian Journal of Biology. 65(4):609-616.

Clark CW. 1996. Marine reserves and the precautionary management of fisheries. Ecological Applications. 6(2): 369-370.

Coates D. 1990. Aspects of the biology of the perchlet Ambassis interrupta Bleeker (Pisces: Ambassidae) in the Sepik River, Papua New Guinea. Australian Journal of Marine and Freshwater Research. 41(2):267-274. Durham BW & Wilde GR. 2008. Asynchronous and synchronous spawning by

smalleye shiner Notropis buccula from the Brazos River, Texas. Ecology of Freshwater Fish. 17(4):528-541.

Effendie MI. 1984. Penilaian perkembangan gonad ikan belanak (Liza subviridis Valenciennes), di perairan Muara Sungai Cimanuk, Indramayu bagi usaha pengadaan benih. [Disertasi]. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Effendie MI. 1979. Metode Biologi Perikanan. Bogor. Yayasan Dewi Sri. 112 hlm.

Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta. Yayasan Pustaka Nusatama. 163 hlm.

Elliot M, Whitfield AK, Potter IC, Blaber SJM, Cyrus DP, Nordlie FG, Harrison TD. 2007. The guild approach to categorizing estuarine fish assemblages: a global review. Fish and Fisheries. 8(3):241-268.

Forberg KG. 1982. A histological study of development of oocytes in capelin, Mallotus villosus villosus (Muller). Journal of Fish Biology, 20(2):143-154. Froese R. 2006. Cube law, condition factor and weight-length relationships:

history, meta-analysis and recommendations. Journal of Applied Ichthyology. 22(4):241-253.

(45)

del río Güejar, Orinoquía, Colombia. Revista de Biologia Tropical. 60(4):1873-1888.

Genten F, Terwinghe E, Danguy A. 2009. Atlas of fish histology. United States of America. Science Publishers. 215p.

Giarizzo T, Silva de Jesus AJ, Lameira EC, Araujo de Almeida JB, Issac V, Saint-Paul U. 2006. Weight-length relationships for intertidal fish fauna in a mangrove estuary in Northern Brazil. Journal of Applied Ichthyology. 22(4):325-327.

Gomiero LM & Braga FMS. 2003. Relação peso-comprimento e fator de condição para Cichla cf. ocellaris e Cichla monoculus (Perciformes, Cichlidae) no reservatório de Volta Grande, rio Grande - MG/SP. Maringá. 25(1):79-86. Gomiero LM, Garuana L, Braga FMS. 2008. Reproduction of Oligosarcus

hepsetus (Cuvier, 1829)(Characiforms) in the Serra do Mar State Park, São Paulo, Brazil. Brazilian Journal of Biology. 68(1):195-200.

Harry AV, Tobin AJ, Simpfendorfer CA, Welch DJ, Mapleston A, White J, Williams AJ, Stapley J. 2011. Evaluating catch and mitigating risk in a multispecies, tropical, inshore shark fishery within the Great Barrier Reef World Heritage Area. Marine and Freshwater Research. 62(6):710-721. Honji RM, Narcizo AM, Borella MI, Romagosa E, Moreira RG. 2009. Patterns of

oocyte development in natural habitat and captive Salminus hilarii Valenciennes, 1850 (Teleostei: Characidae). Fish Physiology and Biochemistry. 35(1):109-123.

Hotos GN, Avramidou D, Ondrias I. 2000. Reproduction biology of Liza aurata (Risso, 1810), (Pisces Mugilidae) in the lagoon of Klisova (Messolonghi, w. Greece). Fisheries Research. 47(1):57-67.

Ishikawa T & Tachihara K. 2012. Reproductive biology, growth, and age composition of non-native Indian glassy fish Parambassis ranga (Hamilton, 1822) in Haebaru Reservoir, Okinawa-jima Island, southern Japan. Journal of Applied Ichthyology. 28(2):231-237.

IUCN. 2011. IUCN Red List of least concern species. http://www.iucnredlist.org. [10 Oktober 2016].

Jennings S, Kaiser MJ, Reynolds JD. 2001. Marine fishery ecology. Oxford. Blackwell Sciences. 417p.

Jobling M. 1994. Fish bioenergetics. New York (US). Chapman and Hall. 294p. Jones A. 1974. Sexual maturity, fecundity and growth of the turbot Scophthalmus

maximus L. Journal of the Marine Biological Association of the United Kingdom. UK, 54(1):109-125.

Jonsson B & Jonsson N. 2009. A review of the likely effects of climate change on anadromous Atlantic salmon Salmo salar and brown trout Salmo trutta, with

particular reference to water temperature and flow. Journal of Fish Biology.

75(10):2381-2447.

King JR & McFarlane GA. 2003. Marine fish life history strategies: applications to fishery management. Fisheries Management and Ecology. 10(4): 249-264. Krueger WH & Oliveira K. 1997. Sex, size, and gonad morphology of Silver

American eels Anguilla rostrata. Copeia. (2):415-420.

(46)

30

Llewellyn LC. 2008. Observations on the breeding biology of Ambassis agassizii Steindachner, 1867 (Teleostei: Ambassidae) from the Murray Darling Basin in New South Wales. Australian Zoologist. 34(4):476-498.

López S, Mabragaña E, Díaz de Astarloa JM, Castro MG. 2015. Reproductive studies of Anchoa marinii Hildebrand, 1943 (actinopterygii: Engraulidae) in the nearby-coastal area of Mar Chiquita coastal lagoon, Buenos Aires, Argentina. Neotropical Ichthyology. 13(1):221-228.

Lowerre-Barbieri SK, Chittenden-Jr ME., Barbieri LR. 1996. The multiple

spawning pattern of weakfish in the Chesapeake Bay and Middle Atlantic

Bight. Journal of Fish Biology. 48(6):1139-1163.

Manangkalangi E, Rahardjo MF, Sjafei DS, Sulistiono. 2009. Musim pemijahan ikan pelangi arfak (Melanotaenia arfakensis Allen) di sungai Nimbai dan sungai Aimasi, Manokwari. Jurnal Iktiologi Indonesia. 9(1):1-12.

Marques DKS, Rosa IL, Gurgel HCB. 2000. Descrição histológica de gônadas de traíra Hoplias malabaricus (Bloch) (Osteichthyes, Erythrinidae) da barragem do rio Gramame, Alhandra, Paraíba, Brasil. Revista Brasileira de Zoologia. 17(3):573-582.

McMillan DB. 2007. Fish Histology: Female reproductive systems. The Netherlands: Springer. 598p.

Milton DA & Arthington AH. 1985. Reproductive strategy and growth of the Australian smelt, Retropinna semoni (Weber) (Pisces : Retropinnidae), and the olive perchlet, Ambassis nigripinnis (De Vis) (Pisces : Ambassidae), in Brisban, Seouth-eastern Queensland. Marine and Freshwater Research. 36(3):329-341.

Monteiro V, Benedito E, Domingues WM. .2007. Efeito da estratégia de vida sobre as variações no conteúdo de energia de duas espécies de peixes (Brycon hilarii e Hypophthalmus edentates), durante o ciclo reprodutivo. Maringá. 29(2):151-159.

Mulfizar, Muchlisin ZA, Dewiyanti I. 2012. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi tiga jenis ikan yang tertangkap di perairan Kuala Gigieng, Aceh Besar, Provinsi Aceh. Depik. 1(1):1-9.

Murua H & Saborido-Rey F. 2003. Female reproductive strategies of marine fish species of the North Atlantic. Journal of Northwest Atlantic Fishery Science. 33:23-31.

Nagahama Y. 1983. The Functional Morphology of Teleost Gonads. In: Hoar WS, Randall DJ & Donaldson EM, editors. Reproduction Endocrine Tissues and Hormones. Volume 9. Fish Physiology Part A. New York. Academic Press. pp 223-275.

Nejedli S, Petrinec Z, Ku-ir S, Srebocan E. 2004. Annual oscillation of ovarian morphology in European pilchard (Sardina pilchardus Walbaum) in the northern Adriatic Sea. Veterinarski Arhiv. 74(2):97-106.

Nikolsky GV. 1963. The ecology of fishes. New York. Academic press Inc. 352p Okutsu T, Morioka S, Shinji J, Chanthasone P. 2011. Growth and reproduction of

the glassperch Parambassis siamensis (Teleostei: Ambassidae) in Central Laos. Ichthyological Exploration of Freshwaters. 22(2):97-106.

(47)

(Cyprinodontiformes: Anablepidae) from the Amazon Estuary. Neotropical Ichthyology. 9(4): 757-766.

Panfili J, Thior D, Ecountin JM, Ndiaye P. 2006. Influence of salinity on the size at maturity for fish species reproducing in contrasting West African estuaries. Journal of Fish Biology. 69(1):95-113.

Petrakis G & Stergiou KI. 1995. Weight-length relationships for 33 fish species in Greek waters. Fisheries Research. 21(3-4):465-469.

Rahardjo MF & Simanjuntak CPH. 2008. Hubungan panjang bobot dan faktor kondisi ikan tetet, Johnius belangerii Cuvier (Pisces: Scianidae) di Perairan Pantai Mayangan, Jawa Barat. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 15(2):135-140.

Rahardjo MF, Sjafei DS, Affandi R, Sulistiono. 2011. Iktiology. Bandung. Lubuk Agung. 406 hlm.

Santos RN, Andrade CC, Santos AF, Santos LN, Araujo FG. (2005). Hystological analysis of ovarian development of the Characiform Oligosarcus hepsetus (Cuvier, 1829) in a Brazilian reservoir. Brazilian Journal of Biology. 65(1):169-177.

Selman K & Wallace RA. 1989. Cellular aspects of oocyte growth in Teleosts. Zoological Science. 6(2):211-231.

Selman K, Wallace RA, Sarka A, Qi X. 1993. Stages of oocyte development in the Zebrafish, Brachydanio rerio. Journal of Morphology. 218(2):203-224. Semple GP. 1985. Reproductive behaviour and development of the glassperchlet,

Ambassis agrammus Günther (Pisces: Ambassidae), from the Alligator Rivers system, Northern Territory. Marine and Freshwater Research. 36(6):797-805.

Silva GC, Castro ACL, Gubiani EA. 2005. Estrutura populacional e indicadores reprodutivos de Scomberomorus brasiliensis no litoral ocidental maranhense. Maringá. 27(4):383-389.

Simanjuntak CPH. 2007. Reproduksi ikan selais (Ompok hypophthalmus Bleeker) berkaitan dengan perubahan hidromorfologi perairan di rawa banjiran sungai Kampar Kiri. Tesis SPS IPB. Bogor. 64 hlm.

Simanjuntak CPH, Sulistiono, Rahardjo MF, Zahid A. 2011. Iktiodiversitas di perairan Teluk Bintuni, Papua Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia. 11(2):107-126.

Sjafei DS, Wirjoatmodjo S, Rahardjo MF, Susilo SB. 2001. Fauna ikan di Sungai Cimanuk, Jawa Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia. 1(1):1-6.

Sjafei DS & Syaputra D. 2009. Aspek reproduksi ikan kapasan (Gerres kapas Blkr, 1851, Fam. Gerreidae) di perairan pantai Mayangan, Jawa Barat. Jurnal Iktiologi Indonesia. 9(1):75-84.

Tyler CR & Sumpter JP. 1996. Oocyte growth and development in teleost. Review. Fish Biology and Fisheries. 6(3):287-318.

Ucuncu SI & Ozlem C. 2009. Atresia and Apoptosis in Preovulatory Follicles in the Ovary of Danio rerio (Zebrafish). Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences. 9(2):215-221.

Gambar

Gambar 2.1 Lokasi penelitian pada tiga zona (I, II, III) di Teluk Pabean
Gambar 2.2 Hubungan panjang bobot ikan seriding (A. nalua) jantan (a) dan
Gambar 2.3 Rata-rata nilai faktor kondisi ikan seriding (A. nalua) jantan (a) dan
Gambar 3.1 Penampang histologi oosit ikan seriding (A. nalua) di Teluk Pabean
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari pengujian dengan grammar1 dapat dilihat bahwa seleksi dengan roulette wheel memiliki performasi yang lebih baik dibandingkan dengan tournament selection. Namun

The second problem is the absence of good budget planning can also lead to lack of funds provided by the company so that the budget (budget) that has been made not

Lampiran 4 Kontribusi Sektor dalam Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000,. Jawa Tengah 2005-2013 (milyar Rupiah)

Data Hasil Penetapan Kadar Vitamin C dari Sampel yang Dianalisis. Hasil Penetapan Kadar Vitamin C dari

Penelitian ini dilakukakan untuk menguji pengaruh dari penerapan modernisasi sistem administrasi perpajakan yang meliputi modernisasi struktur organisasi, modernisasi

Dari hasil uji hipotesis dapat diketahui nilai t hitung adalah sebesar 4,146 dengan signifikansi 0.000 dan perhitungan dari t tabel (n-k-1) dengan jumlah n = 30, k=2, diperoleh

Pada paper ini telah dipaparkan skema perbaikan dari teknik compressive sensing sparsitas sudut untuk estimasi arah kedatangan berbasis

Berdasarkan hasil penelitian, siklus I diperoleh skor persentase rata-rata aktivitas siswa pada indikator siswa menjawab pertanyaan 52,93yo, mengemukakan pendapat 58,82o/o,