• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Sapi Potong Untuk Peningkatan Perekonomian Di Provinsi Jawa Tengah: Suatu Pendekatan Perencanaan Wilayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Sapi Potong Untuk Peningkatan Perekonomian Di Provinsi Jawa Tengah: Suatu Pendekatan Perencanaan Wilayah"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN SAPI POTONG UNTUK PENINGKATAN

PEREKONOMIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH:

SUATU PENDEKATAN PERENCANAAN WILAYAH

YULIANA SUSANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI

TESIS

DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Sapi Potong untuk Peningkatan Perekonomian di Provinsi Jawa Tengah: Suatu Pendekatan Perencanaan Wilayah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Yuliana Susanti

(4)

RINGKASAN

YULIANA SUSANTI. Pengembangan Sapi Potong untuk Peningkatan Perekonomian di Provinsi Jawa Tengah: Suatu Pendekatan Perencanaan Wilayah. Dibimbing oleh DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO dan SRI MULATSIH.

Sapi potong merupakan salah satu ternak ruminansia yang mempunyai kontribusi terbesar sebagai penghasil daging, serta untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani. Pengembangan sapi potong berdasarkan pendekatan perencanaan wilayah merupakan salah satu upaya untuk meningkatan peran sapi potong dalam meningkatkan perekonomian di Provinsi Jawa Tengah, dengan mensinergiskan antara potensi komoditas dan wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peranan sapi potong dalam perekonomian Jawa Tengah dan potensi pengembangan berdasarkan perencanaan wilayah, serta merumuskan strategi pengembangannya.

Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan peranan sapi potong dalam perekonomian Jawa Tengah, yang dilihat dari peranannya terhadap pemenuhan kebutuhan daging sapi baik di tingkat provinsi maupun ditingkat nasional, serta kontribusinya terhadap PDRB dan tenaga kerja. Identifikasi potensi pengembangan sapi potong menggunakan analisis KPPTR (Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia), analisis Location Quotient (LQ), serta analisis Skalogram. Perumusan strategi pengembangan sapi potong menggunakan analisis deskriptif untuk mengelompokkan wilayah berdasarkan nilai KPPTR, nilai LQ dan hierarki wilayah yang ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan pengembangan sapi potong.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan sapi potong di Provinsi Jawa Tengah memberikan kontribusi positif dalam pemenuhan kebutuhan daging sapi, namun kontribusi sapi potong terhadap sumbangan PDRB dan penyerapan tenaga kerja masih relatif kecil. Provinsi Jawa Tengah memiliki potensi ketersediaan hijauan pakan yang cukup besar, sehingga masih bisa menambah populasi ternak ruminansia berdasarkan nilai KPPTR sebesar 5.232.130 ST. Wilayah yang mempunyai KPPTR positif terdapat pada 17 kabupaten dari 21 kabupaten yang ditetapkan sebagai wilayah pengembangan sapi potong, sedangkan 4 kabupaten lainnya mempunyai KPPTR negatif. Wilayah basis sapi potong di Jawa Tengah terdapat pada 7 kabupaten, namun berdasarkan hasil penilaian secara fisik untuk kapasitas pelayanan pendukung pengembangan sapi potong pada wilayah basis tersebut masih tergolong rendah dan sedang. Strategi untuk peningkatan peran sapi potong dalam perekonomian Provinsi Jawa Tengah adalah dengan pendekatan perencanaan wilayah, yang bertujuan untuk meningkatkan populasi dan produksi sapi potong, serta nilai tambah bagi peternak dan penyerapan tenaga kerja. Pengelompokan wilayah pengembangan sapi potong menghasilkan 4 (empat) kelompok berdasarkan: wilayah sumber hijauan pakan, wilayah basis sapi potong dan hierarki wilayah berdasarkan tingkat kapasitas pelayanan untuk mendukung pengembangan sapi potong, serta pemetaan wilayah untuk program produksi sapi potong (pembibitan, pembesaran dan penggemukan).

(5)

SUMMARY

YULIANA SUSANTI. Beef Cattle Development for Enhancement of the Economy in Central Java Province: Regional Planning Approach. Supervised by DOMINICUS SAVIO PRIYARSONO and SRI MULATSIH.

Beef cattle are one of ruminants that have the greatest contribution as producer of meat, and provider of animal protein needs as well. Beef cattle development based on regional planning approach is one of effort to increase the role of beef cattle in the economy of Central Java Province by synergizing between its commodity and region potency. This study aims to analyze the role of beef cattle in the economy of Central Java and potential development based on regional planning, as well as formulate its development strategies.

Descriptive analysis is used to explain the role of beef cattle in the economy of Central Java that viewed from the role of beef cattle to fulfill the needs of beef, both at the provincial and national level, as well as its contribution to GDRP and labor. Identification of the potential for the development of beef cattle using KPPTR (Capacity of Increasing Ruminant Population) analysis, Location Quotient (LQ) analysis, as well as schallogram analysis. Formulation of development strategies beef cattle by using descriptive analysis to classify regions based on the KPPTR values, LQ values and hierarchies of regions that determined by the level of service capacity of beef cattle development.

The results showed that the role of beef cattle in Central Java Province make a positive contribution to fulfill the needs of beef, but the beef cattle contribution for GDRP and labor is still relatively small. Central Java Province has the potential availability of forage that is sufficiently huge, so that it can add the ruminant population based on KPPTR value amounting to 5.232.130 AU (Animal Unit). The regions that have a positive KPPTR spreaded in 17 districts of 21 districts designated as a development region of beef cattle, while 4 other districts have negative KPPTR. The base region of beef cattle in Central Java Province located in 7 districts, but based on the results of a physical assessment for the level of service capacity of these regions considered still relatively low and middling. The strategy to increase the role of beef cattle in the economy of Central Java Province is through the regional planning approach, which aims to increase the population and production of beef cattle, add value for farmer, and labor absorpsion. The region of beef cattle development classified into 4 (four) groups: namely based on the source of forage, the region base of beef cattle, and the region hierarchy based on the level of service capacity for supporting beef cattle development, as well as the production program of beef cattle (breeding, growing stocker and fattening).

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

PENGEMBANGAN SAPI POTONG UNTUK PENINGKATAN

PEREKONOMIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH:

SUATU PENDEKATAN PERENCANAAN WILAYAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai dengan September 2014 ialah Pengembangan Sapi Potong dengan Pendekatan Perencanaan Wilayah, dengan judul Pengembangan Sapi Potong untuk Peningkatan Perekonomian di Provinsi Jawa Tengah: Suatu Pendekatan Perencanaan Wilayah.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Dominicus Savio Priyarsono, MS dan Dr. Ir. Sri Mulatsih, MSc.Agr selaku komisi pembimbing, atas curahan waktu, arahan, bimbingan dan dorongan semangat sejak penyusunan proposal, penelitian hingga penulisan tesis. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada Dr. Alla Asmara, SPt. MSi. selaku penguji luar komisi pada ujian sidang atas saran dan masukan yang diberikan. Kepada Dekan Sekolah Pasca Sarjana dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, serta Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) beserta staf, penulis mengucapkan terima kasih atas pelayanan prima yang diberikan selama penulis menempuh studi di PWD-IPB.

Penghargaan penulis sampaikan juga kepada Dr. Ir. Riwantoro, MM beserta staf Sekretariat Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Selanjutnya kepada Ir. Ign. Hariyanta Nugraha, M.Si beserta staf Bidang Produksi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah, serta Bapak M. Samu Harwadi di Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah atas bantuan data yang diberikan. Kepada teman-teman seperjuangan di Program Studi PWD angkatan 2012 terima kasih atas kebersamaan serta diskusinya selama ini, semoga kebersamaan dan kekeluargaan kita tetap terjalin hingga di masa yang akan datang. Kepada semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada kedua orang tua, Bapak Sunardi dan Ibu Sri Yanah, suami tercinta Kukuh Wakuji, putra-putriku tersayang Nofrizza Hilal Raffa Kharisma, Nohan Tadya Reiffan Kharisma dan Nadyra Oktaviea Safwa Kharisma serta seluruh keluarga, atas kesabaran, doa, kasih sayang dan motivasi yang diberikan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 8

Latar Belakang 8

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 7

Ruang Lingkup 7

Manfaat Penelitian 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Perencanaan Pembangunan Wilayah 7

Pembangunan Wilayah Berbasis Komoditas 9

Komoditas Unggulan dan Teori Basis Ekonomi 9

Sapi Potong 10

Pengembangan Sapi Potong Berdasarkan Perencanaan Wilayah 12

Penelitian Terdahulu 14

Kerangka Pemikiran 15

Hipotesis Penelitian 17

3 METODE 18

Lokasi dan Waktu 18

Jenis dan Sumber Data 18

Metode Analisis 18

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23

Diskripsi Umum Provinsi Jawa Tengah 23

Deskripsi Pengembangan Sapi Potong di Provinsi Jawa Tengah 31 Peranan Sapi Potong terhadap Perekonomian Provinsi Jawa Tengah 33 Potensi Pengembangan Sapi Potong Berdasarkan Perwilayahan di Provinsi

Jawa Tengah 36

Strategi Pengembangan Sapi Potong Berdasarkan Perencanaan Wilayah 42 Kontribusi Pengembangan Sapi Potong terhadap Perekonomian Wilayah 49

5 SIMPULAN DAN SARAN 51

Simpulan 51

Saran 52

Ucapan Terimakasih 53

DAFTAR PUSTAKA 53

LAMPIRAN 56

(12)

DAFTAR TABEL

1 Nilai Konversi Kesetaraan untuk Perhitungan Penyediaan Hijauan

Pakan 20

2 Nilai Asumsi Produksi Hasil Samping Pertanian (HSP) 20 3 Nilai Selang Hierarki Indeks Kapasitas Pelayanan (IKP) 23 4 Jenis Penggunaan Lahan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 25 5 Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Sapi Potong di Provinsi

Jawa Tengah Tahun 2013 26

6 Rasio Kesempatan Kerja Terhadap Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas di

Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2013 27

7 Perkembangan Angka Pendidikan yang Ditamatkan Berdasarkan Penduduk Usia Kerja (15-64 Tahun) di Provinsi Jawa Tengah tahun

2010-2013 27

8 Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di Provinsi Jawa

Tengah tahun 2010-2013 28

9 Distribusi Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Bekerja Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2013 28 10 Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut

Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Tengah 30

11 Populasi Sapi Potong pada Wilayah Pengembangan Sapi Potong

di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 33

12 Kontribusi Sapi Potong terhadap Perekonomian di Provinsi Jawa

Tengah Tahun 2010-2013 35

13 Kebutuhan Hijauan Pakan Ternak Ruminansia di Provinsi Jawa Tengah

pada Tahun 2013 36

14 Nilai KPPTR pada Wilayah Pengembangan Sapi Potong di Provinsi

Jawa Tengah Tahun 2013 37

15 Nilai LQ pada Wilayah Pengembangan Sapi Potong di Provinsi Jawa

Tengah Tahun 2013 39

16 Hierarki Wilayah Pengembangan Sapi Potong di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2013 41

17 Pengelompokkan Wilayah dan Strategi Pengembangan Sapi Potong di

Provinsi Jawa Tengah 44

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan Konsumsi Daging Sapi Nasional Per Kapita Tahun 2005,

2008-2012 1

2 Perkembangan Produksi Daging Sapi di Indonesia Tahun 2009-2013 2

3 Share Penyediaan Daging Sapi di Indonesia Tahun 2010-2014 2 4 Perkembangan Populasi Sapi Potong di Provinsi Jawa Tengah Tahun

2009-2010 4

5 Kerangka Pendekatan Operasional 17

(13)

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

9 Perkembangan Produksi Daging Sapi di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2010-2013 34

10 Peta Wilayah Sumber Hijauan Pakan di Provinsi Jawa Tengah 38 11 Peta Wilayah Basis Sapi Potong di Provinsi Jawa Tengah 40 12 Peta Hierarki Wilayah Pengembangan Sapi Potong di Provinsi

Jawa Tengah 41

13 Peta Pengelompokkan Wilayah Pengembangan Sapi Potong di Provinsi

Jawa Tengah 47

14 Strategi Pengembangan Sapi Potong Berdasarkan Perencanaan Wilayah

di Provinsi Jawa Tengah 48

DAFTAR LAMPIRAN

1 Luas Lahan Penghasil Rumput pada Wilayah Pengembangan Sapi

Potong di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 56

2 Produksi Rumput pada Wilayah Pengembangan Sapi Potong Berdasarkan Luas Lahan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 57 3 Luas Panen Hasil Samping Pertanian (HSP) di Wilayah Pengembagan

Sapi Potong Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 58

4 Produksi Potensial Hasil Samping Pertanian (HSP) di Wilayah Pengembangan Sapi Potong Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 59 5 Produksi Efektif Hasil Samping Pertanian (HSP) di Wilayah

Pengembangan Sapi Potong Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 60 6 Produksi Hijauan Pakan, Daya Dukung Hijauan Pakan dan Kapasitas

Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) di Wilayah Pengembangan Sapi Potong Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 61 7 Wilayah Basis sapi Potong di Wilayah Pengembangan Sapi Potong

Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 62

8 Jumlah Ketersediaan Pusat-pusat Pelayanan untuk Pengembangan Sapi

Potong di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 63

9 Hasil Analisis Hierarki Wilayah Pengembangan Sapi Potong di Provinsi

(14)
(15)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi potong merupakan salah satu ternak ruminansia yang mempunyai kontribusi terbesar sebagai penghasil daging, serta untuk pemenuhan kebutuhan pangan khususnya protein hewani. Berdasarkan Rencana Strategis Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2010-2014 (Ditjen PKH 2011a), daging sapi merupakan 1 dari 5 komoditas bahan pangan yang ditetapkan dalam RPJMN 2010-2014 sebagai komoditas strategis.

Data Susenas dari Badan Pusat Statistik yang diolah oleh BKP (2013) menunjukkan bahwa perkembangan konsumsi daging sapi nasional terus mengalami peningkatan (Gambar 1). Konsumsi daging sapi nasional pada tahun 2005 sebesar 0,99 kg/kapita/tahun dan terus meningkat sampai tahun 2012 hingga menjadi 2,16 kg/kapita/tahun. Peningkatan tersebut terjadi seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani, pertambahan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan meningkatnya daya beli masyarakat (Daryanto 2009). Perkembangan konsumsi daging sapi nasional per kapita tahun 2005 dan tahun 2008-2012 dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Perkembangan Konsumsi Daging Sapi Nasional Per Kapita Tahun 2005, 2008-2012 (BKP, 2013)

Data dari Ditjen PKH (2013) menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi daging sapi (supply) di dalam negeri dari tahun 2009-2013 terus meningkat (Gambar 2), sehingga penyediaan ternak sapi dalam negeri cukup potensial untuk memenuhi permintaan daging sapi yang terus meningkat. Produksi daging sapi dalam negeri saat ini ditunjang oleh dukungan usaha peternakan domestik yang sebagian besar adalah usaha peternakan rakyat, dan industri peternakan, yakni program penggemukan yang dilakukan oleh feedloter, baik penggemukan sapi bakalan lokal maupun bakalan impor. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam P4UI (2013) penyediaan sapi potong dan daging sapi dalam negeri selama ini 97,7% berbasis peternakan rakyat, namun penanganannya selama ini masih dirasakan belum optimal dalam hal produktivitasnya, sehingga ternak lokal tidak menunjukkan kinerja yang sebenarnya. Kondisi harga daging sapi di Indonesia juga relatif lebih mahal bila dibandingkan dengan harga daging sapi

(16)

2

akibat dari inefisiensi usaha peternakan dome ya biaya produksi termasuk inefisiensi da dari daerah sentra produksi (industri hulu) s lir). Akibatnya peternakan rakyat yang di n dengan cepat dan baik belum mampu dim

ngan produksi daging sapi di Indonesia tahun 2009 r 2.

n Produksi Daging Sapi di Indonesia Tahun 20 2013)

umsi daging sapi nasional, jika diiring ging sapi dalam negeri, diharapkan akan m terhadap penetapan sasaran pertumbuhan s kian, pasokan daging sapi dalam negeri (suppl

ngi laju permintaan (demand) yang semakin m hi permintaan tersebut masih diperlukan impor uk menutupi kebutuhan akibat kurangnya pasoka

(17)

3 Gambar 3 menunjukkan bahwa share impor untuk penyediaan daging sapi nasional dari tahun 2010 sampai tahun 2012 cenderung mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena adanya kebijakan pembatasan volume impor daging sapi dan sapi bakalan dari pemerintah yang termasuk dalam 13 langkah operasional untuk Program Pencapaian Swsembada Daging Sapi (P2SDS) tahun 2014. Program pembatasan volume impor bertujuan untuk menjamin pertumbuhan peternakan rakyat sebagai langkah proteksi, serta memacu pengembangan usaha peternakan sapi potong di dalam negeri. Kebijakan tersebut diharapkan dapat menumbuhkembangkan usaha peternakan rakyat agar dapat bersaing dengan pengusaha yang padat modal. Namun demikian, beberapa kalangan (terutama dari pengusaha impotir dan distributor daging sapi) berpendapat bahwa akibat dari kebijakan tersebut, menyebabkan terjadinya pengurasan ternak sapi lokal karena sulitnya mendapatkan ketersediaan jumlah pasokan daging sapi di dalam negeri. Berkaitan dengan hal tersebut, maka muncul adanya isu kelangkaan daging sapi pada kuartal I tahun 2013 yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga daging sapi secara terus-menerus.

Peningkatan harga daging sapi secara terus menerus dikhawatirkan akan berdampak negatif bagi masyarakat (konsumen), sehingga pemerintah melalui Menteri Perdagangan menghapus sistem kuota impor yang dibatasi, dan digantikan dengan mekanisme harga acuan (parity index) atau harga referensi. Kebijakan ini dimaksudkan agar stabilitas harga komoditas daging sapi di pasaran dapat tetap terjaga dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Gambar 3 menunjukkan bahwa akibat kebijakan tersebut menyebabkan share impor daging sapi pada tahun 2013 cenderung naik menjadi 30,33% bila dibandingkan dengan tahun 2012 yang hanya 21,29%. Selanjutnya berdasarkan angka sementara realisasi impor tahun 2014 (bulan Oktober), share impor daging sapi sudah mencapai 33,82% (Ditjen PKH 2014).

Peningkatan impor daging sapi tersebut dikhawatirkan akan berdampak terhadap terhambatnya perkembangan usaha peternakan domestik. Peternakan rakyat yang sebenarnya menjadi basis dari penyediaan daging sapi menjadi tergerus, bahkan bisa terdistorsi oleh pasar karena adanya persaingan harga. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, Indonesia dapat masuk dalam jebakan pangan (food trap) dari negara-negara eksportir, yang dikhawatirkan akan dapat mengancam kedaulatan dan ketahanan pangan dalam negeri. Oleh karena itu, diperlukan adanya strategi pengembangan sapi potong sebagai upaya untuk mencukupi kebutuhan daging sapi nasional, terutama yang mengandalkan sumber daya lokal. Salah satunya yaitu dengan meningkatkan populasi dan produksi sapi potong dalam negeri, yang bertujuan untuk mengurangi secara betahap ketergantungan terhadap impor yang semakin meningkat. Berkaitan dengan hal tersebut, sudah sepantasnya jika komoditas sapi potong dinilai strategis dari segi peranannya, dan juga memiliki potensi yang besar sekaligus prospek yang cerah untuk dikembangkan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi sumber daya (keunggulan komparatif) sebagai pendukung penyediaan ternak sapi dalam negeri.

(18)

4

dari tahun 2009 terus meningkat hingga mencapai 2,05 juta ekor pada tahun 2012, namun pada tahun 2013 turun 26,88% menjadi 1,5 juta ekor (Dinas PKH Jateng 2014). Oleh karena itu, keberadaan sapi potong di Provinsi Jawa Tengah dianggap penting karena telah berkontribusi sebagai pemasok sapi untuk kebutuhan daging nasional, terutama untuk wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat (MB-IPB 2012). Perkembangan populasi sapi potong di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009-2013 dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Perkembangan Populasi Sapi Potong di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2013 (Dinas PKH Jateng 2014)

Sapi potong merupakan komoditi unggulan untuk sub sektor peternakan di Provinsi Jawa Tengah (DRD Jateng 2010) dan sebelumnya telah ditetapkan sebagai salah satu entry point untuk mengembangkan sektor pertanian melalui Program Fasilitasi Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Daerah di Jawa Tengah (BI 2008). Selain itu, pengembangan ternak sapi potong di Provinsi Jawa Tengah juga diharapkan dapat mendukung perkembangan ekonomi masyarakat di perdesaan, dikarenakan para pelaku usaha ternak merupakan petani yang tinggal di perdesaan. Berdasarkan hasil Sensus Tani 2013 (Dinas PKH Jateng 2014) peternakan sapi potong di Provinsi Jawa Tengah melibatkan 887.837 rumah tangga petani peternak, sehingga peternakan sapi potong mempunyai peran besar dalam kegiatan ekonomi perdesaan. Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Padjajaran (2001) dalam Tabrany (2006) sesuai dengan karakteristik peternakan, ternak ruminansia khususnya yang bertumpu pada proses biologi dan mengandalkan pada sumberdaya alam yang berada di perdesaan, maka keberadaan agribisnis akan berada di perdesaan. Oleh karena itu, dengan adanya permintaan yang tinggi akan daging sapi dalam pasar nasional dan yang cukup tinggi di Provinsi Jawa Tengah merupakan peluang bagi peternak di perdesaan untuk memenuhi pasokan daging sapi tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka pada tahun 2013 pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah melakukan terobosan dengan menyusun konsep pengembangan kawasan komoditas strategis sapi potong, dengan menetapkan 21 kabupaten sebagai wilayah pengembangan. Pengembangan komoditas sapi potong berdasarkan perwilayahan tersebut merupakan salah satu upaya untuk meningkatan peran sapi potong dalam pengembangan wilayah antara lain melalui peningkatan populasi dan produksi, serta nilai tambah bagi peternak. Upaya tersebut dimaksudkan untuk memacu perkembangan ekonomi dengan tetap

(19)

5 mempertahankan daya dukung sumberdaya yang tersedia dan memanfaatkan peluang yang ada. Oleh karena itu, dalam pengembangan peternakan sapi potong di Provinsi Jawa Tengah diperlukan suatu pendekatan perencanaan wilayah yang dapat mensinergiskan antara potensi pengembangan komoditas dan wilayah.

Perumusan Masalah

Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu wilayah yang memiliki potensi besar dalam pengembangan ternak sapi potong, dan hingga saat ini merupakan sentra penghasil ternak potong terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Timur. Sapi potong merupakan komoditi unggulan untuk sub sektor peternakan di Jawa Tengah, dan telah ditetapkan sebagai salah satu entry point untuk percepatan pemberdayaan ekonomi daerah di Jawa Tengah. Provinsi Jawa Tengah juga merupakan salah satu pemasok utama untuk kebutuhan konsumsi daging sapi nasional.

Kondisi tersebut di atas, perlu untuk terus dipertahankan dan ditingkatkan agar keberadaan ternak sapi potong tetap mampu berkembang dengan baik dan berperan dalam perekonomian di Jawa Tengah. Hal ini mengingat sebagian besar wilayah Jawa Tengah masih mensyaratkan pembangunan pada sektor pertanian secara keseluruhan, sehingga kontribusi dari sub-sub sektor/komoditas yang terkait di dalamnya, termasuk sapi potong diharapkan dapat menjadi komoditas ekonomis bagi peternak atau masyarakat pada umumnya. Selain itu, pengembangan sapi potong bertujuan untuk meningkatkan produksi daging sapi guna memenuhi kebutuhan pangan baik lokal, regional maupun nasional, meningkatkan populasi, meningkatkan pendapatan peternak, meningkatkan taraf hidup, menciptakan lapangan pekerjaan dan mendukung percepatan pembangunan daerah. Sejalan dengan pemikiran tersebut, maka sebagai upaya dalam merencanakan pembangunan khususnya untuk pengembangan sapi potong sebagai komoditas strategis, diperlukan adanya kajian tentang peran sapi potong terhadap perekonomian di Provinsi Jawa Tengah. Peranan sapi potong dalam perekonomian tersebut, dilihat dari kontribusinya terhadap pemenuhan kebutuhan daging sapi baik tingkat provinsi maupun nasional, serta kontribusinya terhadap PDRB dan penyerapan tenaga kerja di Jawa Tengah.

(20)

6

ternak sapi potong lainnya. Bahkan pasokan dari luar negeri yang akhir-akhir ini cenderung mendominasi pasaran wilayah kantong konsumen, seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat. Selanjutnya untuk tujuan jangka panjang kedepan, diharapkan pengembangan sapi potong di Jawa tengah dapat berperan dalam mengurangi ketergantungan impor sapi atau daging sapi dari Luar Negeri.

Keberhasilan suatu usaha peternakan sapi potong ditentukan oleh ketersediaan bibit unggul (breeding), manajemen dan pakan (Salim 2013). Selain itu, menurut Zulbardi et al (2001) dalam Tabrany (2006) pengembangan usaha peternakan sapi potong perlu memperhatikan tiga komponen utama yang saling terkait, yaitu lahan, ternak dan hijauan pakan. Selanjutnya penyediaan pakan baik dari segi kualitas, kuantitas maupun kesinambungan ketersediaannya merupakan faktor utama dalam upaya peningkatan produktivitas ternak. Adanya persaingan dalam penyediaan pakan dengan kebutuhan penyediaan pangan merupakan masalah yang harus segera diatasi. Oleh karena itu, sangatlah relevan untuk mengetahui bagaimana potensi dari 21 kabupaten yang telah ditetapkan sebagai wilayah pengembangan sapi potong di Jawa Tengah? Terutama terkait dengan potensi ketersediaan hijauan pakan, sesuai dengan adanya penetapan wilayah oleh pemerintah pusat dan daerah sebagai wilayah sentra produksi ternak sapi potong. Hal ini dipandang perlu, karena menurut Priyanto (2011) pengembangan sapi potong memerlukan pengelompokkan basis wilayah yang disesuaikan dengan daya dukung hijauan pakan.

Informasi mengenai potensi keunggulan komparatif masing-masing wilayah pengembangan sapi potong juga sangat diperlukan, apakah wilayah tersebut wilayah basis atau non basis untuk pengembangan sapi potong? Selanjutnya, potensi keunggulan komparatif tersebut dapat dijadikan dasar dalam menentukan model untuk pengembangan usaha komoditas ternak dimaksud. Selain itu, permasalahan lain yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat kapasitas pelayanan untuk mendukung pengembangan sapi potong dari hulu sampai hilir di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan hirarki wilayah? Pusat-pusat pelayanan disini berkaitan dengan ketersediaan atau kelengkapan sarana pendukung, dimana dalam sebuah jaringan, perancangan keputusan dalam hal fasilitas atau sarana penunjang akan berdampak pada aksesibilitas pada pusat pelayanan pengembangan sapi potong.

Mengingat kajian pengembangan peternakan sapi potong untuk peningkatan perekonomian Provinsi Jawa Tengah melalui pendekatan perencanaan wilayah masih belum ada, maka kajian ini perlu dilakukan, sehingga yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana peranan sapi potong dalam perekonomian wilayah di Provinsi Jawa Tengah?

2. Bagaimana potensi pengembangan peternakan sapi potong berdasarkan perwilayahan di Provinsi Jawa Tengah?

(21)

7

Tujuan Penelitian

Mengacu pada permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1). Menganalisis peranan sapi potong dalam perekonomian wilayah di Provinsi

Jawa Tengah.

2). Menganalisis potensi pengembangan peternakan sapi potong berdasarkan perwilayahan di Provinsi Jawa Tengah.

3). Merumuskan strategi pengembangan peternakan sapi potong yang tepat berdasarkan perencanaan wilayah untuk meningkatkan perekonomian di Provinsi Jawa Tengah.

Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah Provinsi Jawa Tengah dengan wilayah pengembangan sapi potong yang berjumlah 21 kabupaten yang ditetapkan dalam Permentan Nomor 50 Tahun 2012 yaitu Kabupaten Boyolali, Klaten, Sragen, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Brebes, Tegal, Jepara, Rembang, Grobogan, Pati, Blora, Semarang, Magelang, Temanggung, Wonosobo Kebumen, Purbalingga, Banjarnegara dan Banyumas.

Manfaat Penelitian

Sesuai dengan latar belakang permasalahan dan tujuan penelitian ini, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi pemerintah dan instansi terkait diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam penyusunan kebijakan pengembangan sapi potong berdasarkan perencanaan wilayah.

2. Dapat berkontribusi sebagai bahan masukan dalam penyusunan strategi pengembangan sapi potong untuk peningkatan perekonomian wilayah di Provinsi Jawa Tengah.

3. Sebagai salah satu sumber acuan (referensi) bagi penelitian lebih lanjut.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Perencanaan Pembangunan Wilayah

Perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah dan perencanaan aktivitas pada ruang wilayah tersebut (Tarigan 2012). Nugroho dan Dahuri (2012) mengatakan bahwa perencanaan memuat tujuan dan sasaran pengelolaan wilayah dilandasi dukungan aspek kelembagaan dan peraturan pendukungnya serta memuat uraian mengenai langkah-langkah strategis, manajemen aksi, pembiayaan dan penetapan wilayah (zoning).

(22)

8

berbicara tentang program-program pembangunan yang terkait dengan pengembangan wilayah dan pengembangan kawasan. Ilmu-ilmu atau kajian-kajian mengenai perencanaan pengembangan wilayah secara umum ditunjang oleh empat pilar pokok, yaitu: (1). Inventarisasi, klasifikasi, dan evaluasi sumberdaya, (2). Aspek ekonomi, (3). Aspek kelembagaan, (4). Aspek lokasi/spasial.

Menurut Capello (2007), konsep pembangunan wilayah dapat dilihat dari enam pendekatan yang berbeda: 1). perbedaan interpretasi pertumbuhan dan pembangunan; 2). konsep mengenai ruang, dikaitkan dengan teori awal pembangunan wilayah, yaitu teori pertumbuhan yang menjelaskan trend pada pendapatan dan lapangan kerja dalam jangka pendek, menengah dan panjang; 3). Teori tahapan-tahapan pembangunan, yaitu pembangunan wilayah yang dipandang dari fase pertumbuhan alami, seperti karakteristik pertumbuhan faktor produksi, peningkatan tenaga kerja dan kesejahteraan penduduk per kapita; 4). Tahapan-tahapan pembangunan dan disparitas; 5). Struktur industrial dan pertumbuhan regional; 6). Pendekatan centrality/peripherality atau pendekatan yang terpusat/pewilayahan.

Menurut Tarigan (2012) perencanaan wilayah sebaiknya menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Dalam pendekatan sektoral, penetapan skala prioritas untuk tiap sektor/komoditi sangat dibutuhkan dalam perencanaan wilayah, karena keterbatasan dana terutama yang berasal dari anggaran pemerintah. Pendekatan sektoral lebih dahulu memperhatikan sektor/komoditas yang kemudian setelah dianalisis, menghasilkan proyek-proyek yang diusulkan untuk dilaksanakan, setelah proyeknya diketahui, barulah dipikirkan dimana lokasi proyek tersebut. Pendekatan regional dalam arti luas, selain memperhatikan penggunaan ruang untuk kegiatan produksi/jasa juga memprediksi arah konsentrasi kegiatan, dan memperkirakan kebutuhan falititas untuk masing-masing konsentrasi serta merencanakan jaringan-jaringan penghubung sehingga berbagai konsentrasi kegiatan dapat dihubungkan secara efisien.

Menurut Rustiadi et al. (2011) setiap perencanaan pembangunan wilayah memerlukan batasan praktikal yang dapat digunakan secara operasional untuk mengukur tingkat perkembangan wilayahnya. Secara umum pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan output produksi yang tinggi merupakan kinerja pembangunan yang paling populer. Selanjutnya aspek ekonomi adalah salah satu aspek terpenting dalam menentukan indikator pembangunan wilayah, dan pendapatan masyarakat di suatu wilayah merupakan indikator terpenting diantara berbagai indikator ekonomi. Namun demikian pendapatan di suatu wilayah tidaklan sama dengan nilai total produksi barang dan jasa yang dihasilkan di suatu wilayah. Hal ini dikarenakan, di dalam total nilai suatu barang atau jasa terdapat komponen-komponen dari barang/jasa yang telah dihitung sebagai hasil produksi di sektor atau wilayah lain yang menjadi input produksi.

(23)

9 PDRB yang diperoleh pada satu wilayah pada akhirnya akan berpotensi menjadi pendapatan masyarakat di wilayahnya. Namun demikian, tidak semua pendapatan wilayah otomatis akan menjadi pendapatan masyarakat (personal income), karena adanya pajak pendapatan perusahaan (corporate income taxes) dan iuran/pungutan-pungutan masyarakat. Oleh karena itu, tingginya PDRB dan PDRB per kapita suatu daerah belum menjamin tingginya pendapatan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat suatu daerah (Rustiadi et al. 2011).

Pembangunan Wilayah Berbasis Komoditas

Menurut Tarigan (2012) perwilayahan berdasarkan homogenitas terutama berguna bagi perencanaan sektoral. Daerah-daerah yang memiliki kesamaan dalam sektor yang dibahas dapat dijadikan satu wilayah, kemudian dapat dibuat satu pusat pelayanan yang menangani masalah yang sama dan program penanganannya pun sama atau hampir sama. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan keahlian dari pusat pelayanan sehingga dapat memberikan jalan keluar yang lebih tepat dan efisien. Selanjutnya untuk menganalisis sektor dapat dibagi menjadi beberapa sub sektor, selain itu untuk masing-masing sub sektor dapat diperinci atas dasar komoditas. Analisis untuk masing-masing komoditas lebih mudah, baik dari aspek produksi maupun aspek pemasarannya karena literatur ilmiah maupun penyampaian informasi sering dilaksanakan atas dasar komoditas.

Rustiadi et al. (2011) mengartikan perwilayahan komoditas adalah contoh penetapan wilayah perencanaan atau pengelolaan yang berbasis pada unit-unit wilayah homogen. Adanya sistem perwilayahan komoditas diharapkan dapat meningkatkan efisiensi sistem produksi dan distribusi komoditas, karena merupakan suatu upaya memaksimalkan “comparative advantage” setiap wilayah. Selain itu, penerapan konsep wilayah homogen menjadi wilayah-wilayah perencanaan sangat bermanfaat dalam: (1). Penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi daya dukung utama yang ada (comparative advantage); (2) Pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan tiap-tiap wilayah. Selanjutnya menurut Setiyanto et al. (2012) pendekatan pengembangan kawasan pertanian untuk memproduksi komoditas unggulan dimaksudkan untuk memadukan serangkaian program dan kegiatan pembangunan pertanian menjadi suatu kesatuan yang utuh baik dalam perspektif sistem maupun kewilayahan, sehingga dapat mendorong peningkatan daya saing komoditas, wilayah serta pada gilirannya kesejahteraan petani sebagai pelaku usaha tani.

Komoditas Unggulan dan Teori Basis Ekonomi

(24)

10

dapat bersaing di pasar global; 2). Sektor/komoditas apa yang basis dan non basis; 3). Sektor/komoditas apa yang memiliki nilai tambah yang tinggi; 4). Sektor/komoditas apa yang memiliki forward linkage dan forward linkage yang tinggi; 5). Sektor/komoditas apa yang perlu dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan minimal wilayah tersebut; 6). Sektor/komoditas apa yang banyak menyerap tenaga kerja per satu satuan modal dan per satu hektar lahan.

Konsep basis ekonomi menurut Rustiadi et al. (2011) bahwa permintaan terhadap input hanya dapat meningkat melalui perluasan permintaan terhadap output yang diproduksi oleh sektor basis (ekspor) dan sektor non basis (lokal atau

services). Permintaan terhadap produksi sektor lokal hanya dapat meningkat bila pendapatan lokal meningkat, tetapi peningkatan pendapatan ini hanya terjadi bila sektor basis (ekspor) meningkat. Menurut teori basis ekonomi, ekspor daerah merupakan faktor penentu dalam pembangunan ekonomi. Metode LQ (Location Quotient) dan SSA (Shift Share Analysis), merupakan metode yang sering dipakai sebagai indikator sektor basis yang selanjutnya digunakan sebagai indikator sektor unggulan.

Sapi Potong

Menurut Salim (2013) sapi potong merupakan jenis sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging sehingga sering juga disebut sapi tipe pedaging. Ciri-ciri sapi pedaging adalah memiliki tubuh besar, kualitas daging maksimum dan mudah dipasarkan, laju pertumbuhan cepat, jumlah karkas tinggi, dan kualitas daging baik. Di Indonesia terdapat bibit sapi lokal dan sapi crossing

unggul yang sudah banyak dikembangkan, meskipun sebagian sapi bakalan masih impor dari negara lain. Plasma nutfah sumber bibit sapi potong lokal yang dimiliki Indonesia cukup banyak dan beragam, serta adaptif terhadap kondisi lingkungan. Sapi asli Indonesia yang banyak dibudidayakan sebagai sumber daging adalah sapi Bali, sapi Ongole, sapi PO (Peranakan Ongole), sapi Madura dan sapi Aceh, sedangkan sapi impor yang banyak dibudidayakan di Indonesia antara lain

Aberdeen Angus (Skotlandia), sapi Simental (Swiss), sapi Brahman (India) dan

Limousine (Perancis).

(25)

11 Program produksi sapi potong meliputi pembibitan untuk produksi anak (cow calf), pembesaran anak sapi sapihan (growing stocker), dan penggemukan (finisher). Program tersebut masing-masing memiliki kekhususan dalam pengelolaannya (Parakkasi 1999) dalam (Safitri 2011). Salim (2013) pengembangan usaha pembibitan dan penggemukan sapi potong merupakan upaya untuk meningkatkan populasi dan produksi sapi potong yang bertujuan untuk memacu ketersediaan daging sapi nasional. Ketersediaan bibit sapi potong merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan dalam upaya terpenuhinya kebutuhan daging sapi, sehingga diperlukan upaya pengembangan pembibitan sapi potong secara berkelanjutan.

Keberhasilan suatu usaha penggemukan sapi potong ditentukan oleh ketersediaan bibit ternak unggul, manajemen dan pakan. Oleh karena itu, keberhasilan pemilihan ternak sapi yang akan dibudidayakan sangat menentukan keberhasilan usaha ternak sapi potong. Pada umumnya setiap bangsa sapi memiliki sifat genetik yang berbeda satu dengan yang lain, baik dalam produksi daging maupun kemampuan dalam beradaptasi terhadap lingkungan sekitarnya, termasuk penyesuaian iklim dan pakan (Salim 2013). Selanjutnya pakan menurut Lamsihar (2013) memiliki peranan penting bagi perkembangan ternak ruminansia baik untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan ternak maupun untuk produksi serta sebagai sumber tenaga. Menurut Salim (2013) pakan merupakan variabel biaya produksi terbesar dalam usaha peternakan sapi yang mencapai 60-70% dari total biaya produksi.

Pakan ternak ruminansia termasuk sapi, biasanya terdiri dari pakan hijauan dan konsentrat. Pakan ternak yang biasa digunakan sebagai pakan pada usaha peternakan rakyat di pedesaan adalah rumput lapangan dan hasil samping pertanian, serta beberapa rumput introduksi sebagai rumput unggulan (Lamsihar 2013). Selama ini sebagian besar hijauan pakan yang diberikan kepada ternak di Indonesia berupa rumput lokal, baik yang berasal dari padang penggembalaan umum maupun dari tempat-tempat lain seperti pematang sawah, pinggir jalan, pinggir hutan, saluran irigasi atau perkebunan (Ditjen PKH 2011b). Sedangkan hasil samping pertanian yang sering digunakan adalah jerami padi, jerami jagung, jerami kedelai, jerami daun ubi jalar, daun ubi kayu dan pucuk tebu (Lamsihar 2013).

(26)

12

Pengembangan Sapi Potong Berdasarkan Perencanaan Wilayah

Menurut Soetirto (1997) dalam Arfa’i dan Erison (2010), program pengembangan sapi potong dimasa datang harus dilakukan secara efektif dan efisien. Hal ini dapat dicapai apabila pemanfaatan sumberdaya dilakukan secara tepat dan optimal, serta pemanfaatan teknologi tepat guna yang disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan agroklimat setempat. Faktor-faktor lainnya baik yang bersifat kelembagaan, sarana dan prasarana serta peraturan-peraturan juga harus mendukung secara baik dan konsisten.

Priyanto (2011) mengatakan bahwa pengembangan sapi potong memerlukan pengelompokan basis wilayah yang disesuaikan dengan daya dukung (carrying capacity) sebagai model pengembangan ke depan. Menurut Atmiyati (2006) pengertian daya dukung wilayah terhadap ternak adalah kemampuan wilayah untuk menampung sejumlah populasi ternak secara optimal yang sifatnya sangat spesifik antar agroekosistem. Daya dukung wilayah terhadap peternakan tradisional adalah kemampuan wilayah untuk menghasilkan hijauan yang dapat mencukupi bagi kebutuhan sejumlah ternak baik dalam bentuk segar maupun kering tanpa melalui pengolahan dan tambahan khusus. Sedangkan daya dukung potensial adalah kemampuan lahan untuk menghasilkan hijauan pakan berupa peluang-peluang pengembangan budidaya dan pengolahannya.

Hijauan pakan merupakan kebutuhan pokok bagi ternak ruminansia, termasuk juga sapi potong. Berbicara masalah hijauan pakan, tidak dapat dipisahkan dengan lahan, baik lahan sebagai basis ekologis budidaya maupun lahan sebagai penghasil hijauan pakan (Lamsihar, 2013). Ketersediaan pakan ternak menjadi aspek penting dalam keberhasilan usaha peternakan sapi potong, sehingga lokasi usaha penggemukan sapi potong harus mempertimbangkan ketersediaan sumber pakan yang memadai (Salim 2013). Pengembangan usaha sapi potong hendaknya didukung oleh industri pakan dengan mengoptimalkan pemanfaatan bahan pakan spesifik lokasi melalui pola yang terintegrasi (Mayulu

et. al. 2010).

Menurut Lamsihar (2013) ada beberapa pendekatan dalam melakukan estimasi potensi wilayah dalam penyediaan hijauan pakan ternak ruminansia. Pertama pendekatan berdasarkan klasifikasi lahan tanpa melihat lagi jenis hijauan pakan yang ada dan cara (teknik) produksinya. Potensi ketersediaan hijauan pakan, dilihat dari aspek kuantitas biomasnya (bagian tanaman yang dapat dimakan, dicerna dan diserap serta tidak menimbulkan keracunan pada ternak). Kedua, pendekatan berdasarkan pada keragaman jenis hijauan pakan yang ada dan bagaimana cara produksinya. Selanjunya untuk memberikan gambaran yang dinamis terhadap potensi penyediaan hijauan pakan bagi ternak ruminansia di suatu wilayah, maka ada beberapa faktor yang diperhatikan, antara lain adalah 1) faktor agroklimat; 2) klasifikasi lahan dan jenis tanaman utamanya; dan 3) budaya kultivasi.

(27)

13 ternak ruminansia perlu hijauan cukup banyak yang dikonsumsi setiap hari. Berkaitan dengan hal itu diperlukan langkah-langkah untuk penyediaan pakan, salah satunya melalui pemanfaatan limbah atau hasil samping pertanian secara optimal (Ditjen PKH 2011b).

Limbah atau hasil samping pertanian yang berlimpah dan cenderung tak berguna, sehingga produk tersebut menjadi beban bagi lingkungan, namun disisi lain limbah tersebut menjadi emas hijau untuk pengembangan peternakan yang dapat dimanfaatkan menjadi sumber pakan. Limbah/hasil samping pertanian dapat dimanfaatkan pada saat produksi rumput (hijauan lainnya) menurun pada musim kemarau, terlebih lagi potensi nutritif hasil samping pertanian sudah banyak diteliti dalam berbentuk kajian. Keuntungan dari pemanfaatan limbah pertanian adalah 1). Efisiensi penggunaan lahan; 2). Efisiensi tenaga kerja dan komponen produksi lainnya; 3). Mengurangi ketergantungan sumber daya dari luar; 4). Terjadinya perbaikan lingkungan hidup; dan 5). Meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan petani. Berkaitan dengan hal tersebut, maka upaya-upaya peningkatan produksi ternak sapi potong tidak akan terlepas dari perencanaan sistem manajemen ternak yang akan diterapkan, termasuk perencanaan penyediaan pakan. Perencanaan penyediaan pakan yang memadai dalam kuantitas dan kualitasnya untuk sepanjang tahun diharapkan dapat mencapai efektifitas dan efisiensi yang tinggi bagi sebuah usaha peternakan. Selanjutnya pakan yang dihasilkan dari pengolahan limbah pertanian merupakan pakan berkualitas yang tidak dapat sekaligus habis (untuk memenuhi kebutuhan kelompok dan dijual ke peternak lain). Oleh karena itu perlu disediakan tempat penyimpanan atau dapat disebut dengan lumbung pakan yang terdapat pada setiap kelompok (Ditjen PKH 2011b).

Menurut Priyanto (2011) pengembangan ternak sapi potong perlu didukung dengan beberapa kegiatan yaitu: (1). Pengembangan sistem integrasi ternak dan tanaman (crop livestock system/CLS). Konsep CLS, dimana peternak diharapkan mampu memanfaatkan limbah pertanian/perkebunan sebagai bahan baku pakan ternak yang murah dan mudah diperoleh di lokasi sehingga menekan biaya produksi usaha ternak. Sebaliknya, kompos dari kotoran ternak dimanfaatkan

sebagai pupuk tanaman untuk menekan biaya produksi tanaman; (2). Pengembangan usaha ternak sapi potong perlu didukung kelembagaan di

tingkat peternak maupun di tingkat institusi (koordinasi program) selain permodalan. Mayulu et. al. (2010) berpendapat bahwa perlu dirumuskan model pengembangan dan kelembagaan usaha ternak sapi potong yang tepat, berbasis masyarakat, dan secara ekonomi menguntungkan. Priyanto (2011) dengan adanya kelompok yang mantap maka akan terbentuk usaha yang berorientasi bisnis yang mampu meningkatkan posisi tawar produk yang dihasilkan.

(28)

14

kelembagaan sehingga secara bertahap wilayah tersebut mampu memiliki keunggulan kompetitif agar dapat bersaing dari segi efisiensi usaha, yang meliputi aspek produktivitas, stabilitas, keberlanjutan, dan kemerataan, dan mengarah pada konsep usaha agribisnis berbasis peternakan.

Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai pengembangan sapi potong untuk peningkatan perekonomian dengan pendekatan perencanaan wilayah belum begitu banyak dilakukan, namun ada beberapa penelitian terkait diantaranya adalah penelitian Mukson et al. (2005), Arfa’i dan Erison (2010), Darwanto et al. (2010)dan Huyen

et al. (2012)

Penelitian Arfa’i dan Erison (2010) terhadap pengembangan ternak sapi potong melalui pendekatan lahan dan sumber daya peternak di Kabupaten Pariaman, memperlihatkan bahwa kabupaten Padang Pariaman memiliki 5 kecamatan wilayah basis dan 12 kecamatan merupakan wilayah non basis yang dapat dilihat dari nilai LQ yang dimiliki. Nilai total Kapasitas Penambahan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) menunjukan bahwa dengan kondisi yang ada sekarang wilayah Kabupaten Padang Pariaman masih dapat menyediakan pakan ternak berupa rumput dan limbah pertanian sebesar nilai KPPTR tersebut. Ketersediaan fasilitas pelayanan sangat menentukan perkembangan ternak sapi potong karena mempunyai kaitan dengan sebaran populasi, upaya pemerataan dan efisiensi dalam jangkauan.

Penelitian Mukson et al. (2005) terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan peternakan di Jawa Tengah, memperlihatkan bahwa pengembangan peternakan ruminansia secara bersama-sama sangat nyata (P<0.01) dipengaruhi oleh variabel-variabel independen yaitu PDRB, luas lahan sawah, luas lahan kering, jumlah penduduk, jumlah kelompok tani ternak dan ketersediaan pakan. Provinsi Jawa Tengah memiliki 12 kabupaten wilayah basis sub sektor peternakan dan 4 kabupaten merupakan wilayah non basis serta 1 wilayah yang seimbang yang dapat dilihat dari nilai LQ yang dimiliki. Secara keseluruhan nilai LQ dari 17 kabupaten adalah sebesar 1,33 yang menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Tengah merupakan daerah potensial untuk pengembangan sub sektor peternakan, atau sub sektor peternakan di Jawa Tengah mempunyai peranan positif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (PDRB) Provinsi Jawa Tengah. Penelitian Darwanto et al. (2010), terhadap usaha ternak sapi potong di wilayah Jawa Tengah (Kabupaten Blora, Grobogan dan Rembang) dapat memberikan manfaat finansial bagi peternak, dimana pendapatan peternak dipengaruhi oleh (i) biaya produksi, (ii) jumlah ternak, (iii) jumlah IB, (iv) pakan konsentrat dan (v) pakan hijauan. Faktor yang mempengaruhi penerapan agribisnis adalah (i) agribisnis hulu, (ii) sistem agribisnis, (iii) sistem pemasaran, (iv) sistem penunjang, (v) perencanaan agribisnis dan (vi) input-output agribisnis.

(29)

15 modal. Hubungan antara usaha peternakan sapi potong dengan pengentasan kemiskinan pada rumah tangga pertanian dapat menjanjikan, apabila sumber pakan, yaitu lahan penggembalaan komunal dan tenaga kerja keluarga tersedia. Pengembangan produksi sapi potong disarankan terutama pada daerah sumber pakan.

Adapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, adalah penelitian ini mengkaji pengembangan peternakan sapi potong untuk peningkatan perekonomian di Provinsi Jawa Tengah dengan suatu pendekatan perencanaan wilayah. Pendekatan perencanaan wilayah yang digunakan, yaitu: (1). aspek sumberdaya alam, (2). aspek ekonomi, (3). aspek spasial dari ketersediaan fasilitas (sarana) pendukung.

Kerangka Pemikiran

Kerangka Pemikiran Penelitian

Pembangunan wilayah merupakan salah satu upaya untuk memacu perkembangan ekonomi wilayah, dan ekonomi sebagian masyarakat dengan tetap mempertahankan daya dukung sumberdaya yang tersedia dan memanfaatkan peluang yang ada. Perencanaan pembangunan wilayah sebaiknya menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Pendekatan sektoral dilakukan dengan pengembangan komoditas unggulan suatu daerah yang diharapkan menjadi pendorong utama bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Pemilihan komoditas untuk dikembangkan, dikarenakan komoditas tersebut merupakan komoditas unggulan dan sebagian besar masyarakat pendapatannya berasal dari usaha agribisnis komoditas dimaksud. Pendekatan regional adalah pendekatan yang memandang wilayah sebagai kumpulan dari bagian-bagian wilayah yang lebih kecil dengan potensi dan daya tariknya masing-masing.

Pengembangan sapi potong berbasis wilayah merupakan upaya untuk mewujudkan pengembangan peternakan sapi potong dengan suatu pendekatan perencanaan yang mensinergiskan antara potensi komoditas sapi potong dan wilayah. Wilayah pengembangan sapi potong adalah wilayah yang secara khusus diperuntukkan bagi kegiatan peternakan sapi potong atau terpadu sebagai komponen usaha tani dan terpadu sebagai komponen ekosistem tertentu. Pengembangan peternakan sapi potong berdasarkan perencanaan wilayah perlu di dukung oleh potensi masing-masing wilayah, karena keberadaan ternak sapi potong di suatu wilayah erat kaitannya dengan potensi sumber daya alam yang tersedia di masing-masing wilayah. Adapun komponennya meliputi lahan sebagai basis ekologi pendukung hijauan pakan dan lingkungan, serta daya tampung wilayah yang mendukung keunggulan lokasi yang bersangkutan. Pengembangan sapi potong memerlukan pengelompokan basis wilayah yang disesuaikan dengan daya dukung ketersediaan hijauan pakan. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, sasaran strategi pengembangan sapi potong adalah wilayah yang memiliki keunggulan komparatif, yaitu wilayah potensial pendukung produksi daging.

(30)

16

dapat memperkirakan kebutuhan fasilitas pendukung untuk pengembangan sapi potong pada masing-masing konsentrasi, serta merencanakan strategi pengembangan dan jaringan-jaringan penghubung, sehingga berbagai konsentrasi kegiatan dapat dihubungkan secara efisien. Pengembangan peternakan sapi potong bertujuan untuk meningkatkan populasi dan produksi ternak yang sekaligus ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani peternak, serta penyerapan tenaga kerja yang pada akhirnya dapat mendukung percepatan peningkatan perekonomian wilayah. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana peran pengembangan sapi potong dalam perekonomian di Provinsi Jawa Tengah? Selanjutnya akan dirumuskan strategi pengembangan peternakan sapi potong berdasarkan potensi yang dimiliki oleh setiap wilayah melalui pendekatan perencanaan wilayah untuk meningkatkan peranannya.

Kerangka Pendekatan Operasional

Setiap wilayah/daerah selalu terdapat sektor-sektor/komoditas yang bersifat strategis akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan aspek spatialnya. Perkembangan sektor/komoditas strategis tersebut akan memiliki peran langsung dan tidak langsung yang signifikan terhadap perekonomian wilayah. Pada tahap awal penelitian ini akan dilakukan analisis deskriptif untuk mengetahui peran sapi potong dalam perekonomian wilayah berdasarkan kontribusi sapi potong terhadap pemenuhan kebutuhan daging sapi baik di tingkat provinsi maupun nasional, serta kontribusinya terhadap PDRB dan tenaga kerja di Jawa Tengah. Hasil analisis tersebut untuk mengetahui seberapa besar peranan sapi potong dalam perekonomian di Jawa Tengah.

Analisis ini selanjutnya dilengkapi dengan analisis kesesuaian lokasi dengan melihat Kapasitas Penambahan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) di wilayah pengembangan ternak sapi potong. Analisis ini menyangkut daya dukung wilayah dalam pengembangan populasi ternak, dengan perhitungan dilakukan melalui pendekatan daya tampung ternak ruminansia secara alami atau dengan formula nilai KPPTR, yang didasarkan pada ketersediaan hijauan pakan di lokasi. Selanjutnya dilakukan analisis Location Quotient (LQ) untuk mengetahui karakteristik potensi pengembangan sapi potong pada 21 kabupaten yang merupakan wilayah pengembangan sapi potong yang sudah ditetapkan oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui pusat-pusat aktivitas usaha sapi potong di masing-masing wilayah pengembangan peternakan sapi potong. Potensi wilayah pengembangan peternakan sapi potong di Provinsi Jawa Tengah, diperlukan untuk dapat dijadikan dasar dalam menentukan model untuk pengembangan usaha komoditas ternak dimaksud pada masing-masing wilayah yang diduga mempunyai kesamaan. Hasil analisis LQ dan KPPTR akan memberikan informasi mengenai keunggulan komparatif dari komoditas strategis sapi potong dalam perekonomian di Provinsi Jawa Tengah.

(31)

kapasitas pelayanan unt ndekatan regional) dan hasil analisis peranan

konomian wilayah (pendekatan sektoral) di Jaw menggunakan analisis deskriptif untuk merum ternakan sapi potong yang tepat berdasarka ningkatan perekonomian di Jawa Tengah. Sec n operasional tersebut dapat dilihat pada Gamba

ambar 5 Kerangka Pendekatan Operasional

Hipotesis Penelitian

(32)

18

3 METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di wilayah Provinsi Jawa Tengah, yang dipilih secara sengaja (purposive) didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: Pertama, Jawa Tengah merupakan provinsi penyangga pangan nasional untuk kebutuhan sapi potong, dan merupakan sentra penghasil ternak potong terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Timur. Kedua, dalam pembangunan ekonomi, Provinsi Jawa Tengah telah menetapkan sapi potong sebagai entry point untuk percepatan pemberdayaan ekonomi daerah. Kabupaten/kota yang diteliti sebanyak 21 kabupaten yang ditetapkan sebagai wilayah pengembangan komoditas strategis sapi potong yang mengacu pada Permentan Nomor 50 Tahun 2012, yaitu: Kabupaten Boyolali, Klaten, Sragen, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Brebes, Tegal, Jepara, Rembang, Grobogan, Pati, Blora, Semarang, Magelang, Temanggung, Wonosobo Kebumen, Purbalingga, Banjarnegara dan Banyumas. Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga September 2014.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi: gambaran umum pengembangan peternakan sapi potong di Jawa Tengah, populasi sapi potong, produksi dan konsumsi daging sapi, impor sapi potong di Indonesia, PDRB, penyerapan tenaga kerja, produksi dan luas areal lahan penghasil rumput, produksi dan luas areal lahan penghasil limbah/hasil samping pertanian, fasilitas (sarana penunjang) pelayanan usaha sapi potong. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah dan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, serta instansi terkait lainnya.

Metode Analisis

Analisis peranan sapi potong dalam perekonomian wilayah di Jawa Tengah

(33)

19 fenomena-fenomena yang diperoleh dari hasil analisis lainnya, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih objektif terhadap keadaan yang sebenarnya.

Analisis potensi pengembangan peternakan sapi potong di Provinsi Jawa Tengah berdasarkan perwilayahan

Analisis untuk mengukur potensi pengembangan sapi potong berdasarkan pewilayahan menggunakan Analisis KPPTR (Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia) dan Location Quotient (LQ), sedangkan untuk mengukur tingkat kapasitas pelayanan untuk mendukung pengembangan sapi potong menggunakan analisis Skalogram.

Analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR)

Analisis potensi pengembangan sapi potong dilakukan dengan melihat kapasitas tampung wilayah pengembangan ternak sapi potong. Analisis ini menyangkut daya dukung lahan dalam pengembangan populasi ternak, dengan perhitungan dilakukan melalui pendekatan daya tampung ternak ruminansia secara alami atau dengan formula nilai Kapasitas Penambahan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR), yang didasarkan pada ketersediaan hijauan pakan di lokasi. Pendekatan KPPTR bertitik tolak dari pemikiran bahwa: (1). para peternak di perdesaan, umumnya memenuhi kebutuhan hijauan pakan dari berbagai sumber (rerumputan dan limbah pertanian) agro ekosistem di perdesaan; dan (2). penambahan populasi ternak ruminansia tidak merusak keseimbangan agro ekosistem yang sedang berlangsung dalam arti melampaui kapasitas tampung (carrying capacity) ekosistem yang ada. Berkaitan dengan hal itu, digunakan formula perhitungan Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) merujuk pada metode Direktorat Ternak Ruminansia Direktorat Jenderal Peternakan (2006) dalam Lamsihar (2013), yang menghitung kebutuhan dan penyediaan hijauan pakan berdasarkan potensi daya dukung lahan sebagai berikut: Penghitungan kebutuhan hijauan pakan dilakukan berdasarkan data populasi ternak ruminansia yang ada maupun memprediksi jumlah populasi yang bisa dikembangkan yaitu dengan asumsi sebagai berikut:

1. Populasi ternak dihitung dalam bentuk Satuan Ternak (ST), dimana masing-masing jenis ternak mempunyai nilai ST tersendiri. Adapun standar ST untuk ternak ruminansia merujuk pada Dinas PKH Jateng (2014) yaitu: sapi perah = 0,7490; sapi potong = 0,7190; kerbau = 0,7200; kuda = 0,8092; kambing = 0,1148; Domba = 0,0970; babi = 0,1983; kelinci = 0,0070.

2. Kebutuhan hijauan pakan ternak dihitung dalam bentuk TDN (Total Digestible Nutrient) yaitu jumlah pakan yang dapat dicerna untuk keperluan hidup pokok.

3. Sebagai patokan untuk mengetahui kebutuhan hijauan pakan ternak dihitung dalam bentuk TDN digunakan angka 1,2045 ton TDN/ST/Tahun atau 3,3 kg TDN/ST/hari.

(34)

20

Tabel 1 Nilai Konversi Kesetaraan untuk Perhitungan Penyediaan Hijauan Pakan

Sumber Hijauan Pakan Nilai Konversi Kesetaraan terhadap Sumber Pembaku Galangan sawah (Gs) 100% luas Gs setara krp Luas galangan=

3% luas sawah Hutan budidaya/ hutan sejenis (Hb) 5 % dari luas Hb setara krp

Hutan sekunder (Hs) 2% luas Hs setara krp Tegalan/lahan kering ((Tg) 1% luas Tg setara krp Perkebunan (Pk) 5% luas Pk setara krp Pinggir jalan (Pj) setiap 1 km panjang jalan setara

0,5 ha krp

Lahan sementara tidak digunakan (Ls) 50% luas Ls setara krp Lahan untuk tanaman pepohonan (Lp) 10% luas Lp setara krp

Sumber: Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia Ditjen Peternakan (2006) dalam Lamsihar (2013)

Produksi hijauan pakan ternak dihitung berdasarkan produksi Total Digestible Nutrient (TDN). Selanjutnya, untuk perhitungan penyediaan pakan yang berasal dari Hasil Samping Pertanian (HSP) dihitung dari luas panen masing-masing hasil pertanian tiap wilayah, dengan menggunakan nilai asumsi produksi HSP di Provinsi Jawa Tengah dengan merujuk pada hasil penelitian Tabrany (2006) sesuai pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai Asumsi Produksi Hasil Samping Pertanian (HSP)

Bahan HSP BK Angka PK TDN

Sumber: Tabrany (2006); *) Reksohadiprojo (1984) dalam Tabrany (2006)

(35)

21 penggunaan limbah pertanian pada penelitian ini merujuk pada Reksohadiprojo (1984) dalam Tabrany (2006) seperti pada Tabel 2.

Perhitungan Daya Dukung Hijauan Pakan (DDHP) dan nilai KPPTR merujuk pada metode Direktorat Ternak Ruminansia Direktorat Jenderal Peternakan (2006) dalam Lamsihar (2013) dengan persamaan rumus sebagai berikut:

DDHP = Produksi TDN rumput + HSP (Ton TDN/Thn) ……….. (1) Kebutuhan TDN 1 Satuan Ternak (ST) per tahun

KPPTR = DDHP (ST) – Populasi riil ternak ruminansia (ST) …………. (2)

Analisis Location Quotient (LQ)

Analisis Location Quotient (LQ) ini dilakukan untuk melihat kontribusi sapi potong sebagai komoditas unggulan terhadap perekonomian wilayah. Persamaan Analisis Location Quotient (LQ) merujuk pada Rustiadi et al. (2011) adalah sebagai berikut:

Xij/Xi.

LQij = ………..……… (3) X.j/X..

Dimana :

LQij = Indeks pemusatan usaha sapi potong di wilayah ke-i Xij = PDRB sapi potong untuk kabupaten ke i (Juta Rupiah) Xi. = PDRB total kabupaten ke i (Juta Rupiah)

X.j = PDRB sapi potong Jawa Tengah (Juta Rupiah) X.. = PDRB total Jawa Tengah (Juta Rupiah)

Apabila LQ < 1 berarti peranan sapi potong di subwilayah (kabupaten) itu lebih kecil daripada peranan sektor tersebut secara wilayah (Provinsi). Sebaliknya, apabila LQ > 1 berarti peranan sapi potong di subwilayah (kabupaten) itu lebih menonjol daripada peranan sapi potong tersebut secara wilayah (Provinsi). LQ > 1 mengindikasikan bahwa peranan sapi potong cukup menonjol di subwilayah (kabupaten) itu dan seringkali sebagai petunjuk bahwa subwilayah (kabupaten) tersebut surplus (overspecialized) akan produk sapi potong dan mengekspornya ke subwilayah (kabupaten) lain. Atas dasar itu LQ >1 secara tidak langsung memberi petunjuk bahwa daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif untuk sapi potong. Apabila LQ = 1 berarti peranan sapi potong di subwilayah (kabupaten) itu relatif hampir sama dengan peranan sektor tersebut secara wilayah (provinsi).

Analisis Skalogram

(36)

22

Hewan), industri pengolah daging dan produk ternak lainnya serta penyediaan sarana pemasaran yaitu pasar ternak.

Teknik analisis skalogram menurut Rustiadi dan Panuju (2012), merupakan salah satu teknik analisis yang digunakan untuk memetakan hierarki wilayah pada level yang sama atau berbeda. Selanjutnya hasil analisis dipetakan pada peta administrasi untuk dianalisis secara spasial dan penelitian ini menggunakan metode skalogram berbobot. Prosedur kerja penyusunan hierarki suatu wilayah menggunakan skalogram berbobot adalah sebagai berikut:

a. Dilakukan pemilihan terhadap data kuantitatif fasilitas (sarana dan prasarana) penunjang dan kelembagaan pendukung pengembangan peternakan sapi potong sehingga yang tinggal hanya data yang bersifat kualitatif;

b. Dilakukan seleksi terhadap data kuantitatif tersebut sehingga hanya yang relevan saja yang digunakan.

c. Dipisahkan antara data aksesibilitas dengan data fasilitas. Rasionalisasi data dilakukan terhadap data aksesibilitas dan fasilitas. Data aksesibilitas diinverskan dengan rumus: y = 1/xij, dimana y adalah variabel baru dan xij

adalah data aksesibilitas j di wilayah i. Untuk nilai y yang tidak terdefinisikan (xij = 0), maka nilai y dicari dengan persamaan: y = xij (max) + simpangan

baku aksesibilitas j. Selanjutnya data fasilitas diubah menjadi data kapasitas dengan cara data jumlah fasilitas j di wilayah i dibagi dengan jumlah populasi sapi potong di wilayah i.

e. Pembobotan dilakukan terhadap data kapasitas dengan cara data kapasitas j dibagi dengan bobot fasilitas j, dimana bobot fasilitas j = jumlah total fasilitas. f. Dilakukan seleksi terhadap data hasil rasionalisasi hingga diperoleh variabel

untuk analisis skalogram yang mencirikan tingkat kelengkapan fasilitas pendukung pengembangan peternakan sapi potong untuk masing-masing kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.

g. Standardisasi data dilakukan terhadap variabel-variabel baru dari data aksesibilitas dan fasilitas (berbobot) dengan menggunakan rumus:

Xij – Min (Xj)

Yij = ……….………… (4) Sj

Keterangan:

Yij = variabel baru untuk wilayah ke-i dan jenis fasilitas atau

aksesibilitas ke-j.

Xij = jumlah sarana untuk wilayah ke-i dan jenis sarana atau

aksesibilitas ke-j.

Min(Xj) = nilai minimum untuk jenis sarana atau aksesibilitas ke-j.

Sj = simpangan baku untuk jenis sarana atau aksesibilitas ke-j.

(37)

23 (St Dev) IKP dan nilai rataannya. Nilai selang hierarki IKP dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai Selang Hierarki Indek Kapasitas Pelayanan (IKP)

Hierarki Nilai Selang Hierarki (H) Tingkat Kapasitas

Pelayanan

1 IKP H > [rataan IKP + St Dev IKP] Tinggi

2 Rataan IKP IKP H [rataan IKP + St Dev IKP] Sedang

3 IKP H < rataan IKP Rendah

Sumber: Rustiadi dan Panuju(2012), diolah.

Penentuan pusat–pusat pelayanan di dalam lingkup suatu sistem wilayah diharapkan menjadi lebih tepat dengan adanya pemetaan hierarki yang tepat. Hasil dari analisis skalogram merupakan penentuan suatu wilayah termasuk wilayah hierarki 1, 2 atau 3. Wilayah yang termasuk hierarki 1 adalah wilayah dengan asumsi kelompok yang merupakan wilayah-wilayah yang mempunyai tingkat kapasitas pelayanan tinggi untuk mendukung pengembangan sapi potong dari hulu hingga hilir. Kemudian, kelompok hierarki 2 dengan asumsi merupakan wilayah-wilayah yang mempunyai tingkat kapasitas pelayanan sedang untuk mendukung pengembangan sapi potong dari hulu hingga hilir. Selanjutnya, kelompok hierarki 3 merupakan wilayah-wilayah yang mempunyai tingkat kapasitas pelayanan rendah untuk mendukung pengembangan sapi potong dari hulu hingga hilir.

Analisis Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Potong Berbasis Wilayah

Strategi pengembangan peternakan sapi potong yang tepat berbasis perencanaan wilayah dalam meningkatkan perekonomian di Provinsi Jawa Tengah dianalisis menggunakan analisis deskriptif/kualitatif. Strategi disusun berdasarkan hasil analisis potensi pengembangan berdasarkan sumber pakan (ketersediaan hijauan pakan), potensi sapi potong (wilayah basis), hirarki wilayah pengembangan berdasarkan tingkat kapasitas pelayanan, serta peran sapi potong dalam perekonomian wilayah.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Diskripsi Umum Provinsi Jawa Tengah

Keadaan Geografis dan Administratif

Secara geografis, letak wilayah Provinsi Jawa Tengah berada pada 5040’ - 8030’ Lintang Selatan dan 108030’ - 111030’ Bujur Timur (termasuk Pulau Karimunjawa). Jarak terjauh dari Barat ke Timur adalah 263 Km dan dari Utara ke Selatan 226 Km (tidak termasuk pulau Karimunjawa). Luas wilayah Provinsi Jawa Tengah adalah 3.254.412 Ha atau 25,04% dari luas Pulau Jawa.

Gambar

Tabel 2 Nilai Asumsi Produksi Hasil Samping Pertanian (HSP)
Gambar 6
Tabel 4 Jenis Penggunaan Lahan di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013
Tabel 5 Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Sapi Potong di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kebanyakan adalah mejadi “Pandhiga” awak kapal daerah tersebut karena memang Nelayan disana lebih maju di bandingkan Nelayan Desa Lobuk sendiri, dengan adanya

Kegiatan pengabdian masyarakat ini dilakukan di Desa Tahunan, Kecamatan Sale, Rembang. Keberadaan kelompok kesenian yang ada di desa tersebut masih membutuhkan

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa prosedur reviu dan kualitas kontrol tidak berpengaruh terhadap penghentian prematur atas prosedur audit, Hipotesis yang

Monitoring Sekolah oleh Pemerintah Kabupaten/Kota (MSPK) yang merupakan komponen dari Sistem Penjaminan dan Peningkatan Mutu Pendidikan (SPPMP) telah dikembangkan

Sebagai Persyaratan Guna Meraih Gelar Sarjana Strata 1 Teknik Informatika Universitas Muhammadiyah Malang.. Disusun

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Model kopi luwak murni dan campuran yang dibangun dengan metode PCA dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7.. menggunakan metode SIMCA dapat dilihat pada

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kondisi fisiografi dan fisiko-kimia zona litoral danau Rawa Pening relatif sama pada semua stasiun penelitian.. Zona litoral