STUDI ADSORPSI ION Fe(III) OLEH KITOSAN BERTAUT
SILANG GLUTARALDEHIDA DAN APLIKASINYA
PADA PEMURNIAN MINYAK AKAR WANGI
MUHAMMAD FATHURRAHMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan Bertaut Silang Glutaraldehida dan Aplikasinya pada Pemurnian Minyak Akar Wangi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
RINGKASAN
MUHAMMAD FATHURRAHMAN. Studi Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan Bertaut Silang Glutaraldehida dan Aplikasinya pada Pemurnian Minyak Akar Wangi. Dibimbing oleh PURWANTININGSIH SUGITA dan HENNY PURWANINGSIH.
Adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA telah dipelajari dengan menggunakan metoda Batch. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi optimum dari adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA, kemudian dilanjutkan dengan mempelajari isotermal adsorpsi, kinetika, dan pengaruh ion Cu(II) terhadap adsorpsi ion Fe(III) serta aplikasinya pada pemurnian minyak akar wangi.
Optimasi dilakukan dengan menggunakan metode respon permukaan desain Box Behnken. Model isotermal adsorpsi yang dipelajari adalah isotermal Langmuir dan Freundlich. Serpih kitosan-GA dengan derajat deasetilisasi 78% mempunyai persen adsorpsi terhadap ion Fe(III) sebesar 91,8439% pada kondisi optimum: bobot adsorben 0,75 gram, suhu 25 o
Keberadaan ion Cu(II) dapat menurunkan persen adsorpsi kitosan-GA terhadap ion Fe(III). Persen adsorpsi kitosan-GA terhadap ion Fe(III) memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan adsorpsi terhadap ion Cu(II) dalam kondisi buatan (larutan Fe
C, dan waktu kontak 360 menit. Proses adsorpsi ion Fe(III) oleh serpih kitosan-GA mengikut i model isotermal Freundlich dan cenderung mengikuti kinetika reaksi orde kedua serta bersifat eksotermis dan tidak spontan. Persen desorpsi kitosan-GA-Fe oleh HCl 0,1 M sebesar 9,0605% dicapai pada waktu kontak 150 menit.
3+
dan Cu2+ dengan perbandingan konsentrasi 1:1) maupun alami (minyak akar wangi). Persen adsorpsi kitosan-GA terhadap ion Fe(III) dan Cu(II) pada kondisi alami memiliki nilai lebih kecil dibandingkan pada kondisi buatan. Warna minyak akar wangi berubah dari coklat gelap menjadi coklat kemerahan setelah dilakukan adsorpsi oleh kitosan-GA.
SUMMARY
MUHAMMAD FATHURRAHMAN. Adsorption Studies of Fe(III) Ion on Glutaraldehyde Cross-linked Chitosan and Its Application to Vetiver Oil Purification. Supervised by PURWANTININGSIH SUGITA and HENNY PURWANINGSIH.
Adsorption of Fe(III) ions by glutaraldehyde cross-linked chitosan (Chitosan-GA) was studied by the batch method. The objectives of this research are to know optimum adsorption condition of Fe(III) ions by Chitosan-GA, then to study about isothermal adsorption, kinetics, and influence of Cu(II) ion for adsorption of Fe(III) ion and its application to vetiver oil.
Optimum conditions are finding out by response surface Box Behnken method. The adsorption isotherm models that were studied in this research are Langmuir and Freundlich model. Percent adsorption of Fe(III) ion by glutaraldehyde cross-linked chitosan (Chitosan-GA) is about 91,8439% in optimum conditions : adsorbent weight 0,75 gram, temperature 25 o
The existence of Cu(II) ions can decrease percent adsorption of Fe(III) ion by chitosan-GA. Percent adsorption of Fe(III) ion by chitosan-GA is higher than adsorption of Cu(II) ion in all conditions. Percent adsorption of Fe(III) and Cu(II) ion by chitosan-GA in vetiver oil is lower than other condition (solution of Fe
C, time contact 360 minutes. Adsorption process of Fe(III) ion by chitosan-GA is fit to Freundlich and second-order models. Adsorption process is exothermic and not spontaneous. Percent desorption of chitosan-GA-Fe by 0.1 M HCl is about 9.0605% and achieved in 150 minutes.
3+
and Cu2+ ion with its concentration ratio 1:1). Vetiver oil color was changed from dark brown to red brown after adsorption by chitosan-GA.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
STUDI ADSORPSI ION Fe(III) OLEH KITOSAN BERTAUT
SILANG GLUTARALDEHIDA DAN APLIKASINYA
PADA PEMURNIAN MINYAK AKAR WANGI
MUHAMMAD FATHURRAHMAN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Kimia
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul : Studi Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan Bertaut Silang Glutaraldehida dan Aplikasinya pada Pemurnian Minyak Akar Wangi
Nama : Muhammad Fathurrahman NRP : G451114031
Disetujui oleh Komisi Pembimbing Ketua
NIP. 19631217 198803 2 002 Prof. Dr. Purwantiningsih Sugita, MS
Anggota
NIP 19741201 200501 2 001 Dr. Henny Purwaningsih, M.Si
Diketahui oleh:
Ketua Program Studi
NIP. 19670730 199103 2 001 Prof. Dr. Dyah Iswantini P. M.Agr
Dekan Sekolah Pascasarjana
NIP. 19650814 199002 1 001 Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah adsorpsi, dengan judul Studi Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan Bertaut Silang Glutaraldehida dan Aplikasinya pada Pemurnian Minyak Akar Wangi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Purwantiningsih Sugita, MS dan Dr. Henny Purwaningsih, M.Si selaku pembimbing, serta Bapak Sabur, Bu Yeni, dan Mbak Nia selaku staf laboratorium Kimia Organik yang telah banyak memberi bantuan berupa saran serta peminjaman alat dan bahan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Wawan, Ibu Tori, Mas Eko dan Mas Yono yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
Minyak Akar Wangi 4
Kitosan 6
Modifikasi Kitosan 6
Isoterm Adsorpsi 8
Kinetika Adsorpsi 10
Termodinamika Adsorpsi 11
3 BAHAN DAN METODE 12
Waktu dan Tempat Penelitian 12
Alat dan Bahan 12
Metode Penelitian 12
Analisis Kadar Ion Fe(III) dan Cu(II) dalam Minyak Akar Wangi 13 Pembuatan Serpih Kitosan-GA dan Karakterisasinya 13 Optimasi Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 13 Percobaan Isotermal dan Kinetika Adsorpsi 14 Percobaan Desorpsi Ion Fe(III) dari Kitosan-GA 15 Percobaan Pengaruh Ion Cu(II) terhadap Adsorpsi Ion Fe(III) 15 Analisis Perubahan Warna Minyak Akar Wangi 15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16
Kadar Awal Ion Fe(III) dan Cu(II) dalam Minyak Akar Wangi 16 Hasil Pembuatan Serpih Kitosan-GA dan Karakterisasinya 16 Hasil Optimasi Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 19 Hasil Percobaan Isotermal Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 22 Hasil Percobaan Kinetika Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 24
Pengaruh Konsentrasi 24
Pengaruh Suhu 26
Hasil Percobaan Desorpsi Ion Fe(III) dari Kitosan-GA 27 Hasil Percobaan Pengaruh Ion Cu(II) terhadap Adsorpsi Ion Fe(III) 28 Hasil Analisis Perubahan Warna Minyak Akar Wangi 29
5 SIMPULAN DAN SARAN 30
Simpulan 30
Saran 30
DAFTAR PUSTAKA 31
LAMPIRAN 33
DAFTAR TABEL
1 Jumlah kebutuhan pasar dunia terhadap minyak akar wangi 1 2 Volume minyak akar wangi yang dihasilkan oleh beberapa negara 1 3 Standar Nasional Indonesia nomor 06-2386-2006 untuk minyak akar wangi 5 4 Rancangan percobaan respon surface Box Behnken 14 5 Analisis gugus fungsi kitosan dan kitosan-GA berdasarkan spektrum IR 17 6 Analisis TGA dan DTA kitosan dan kitosan-GA 18 7 Hasil pengukuran respon surface Box Behnken
dari adsorpsi ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 20 8 Parameter isotermal adsorpsi Langmuir dan Freundlich
Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 23
9 Perbandingan konstanta laju orde pertama semu dan orde kedua serta nilai qe
10 Persen adsorpsi simultan ion Fe(III) dan Cu(II) oleh kitosan-GA 28
DAFTAR GAMBAR
1 Akar wangi kering siap suling 4
2 Struktur vetiverol 5
3 Struktur kitin (a) dan kitosan (b) 6
4 Reaksi penautsilangan kitosan dengan glutaraldehida 7
5 Kitosan-GA setelah dihomogenisasi 16
6 Spektrum IR Kitosan (hitam) dan Kitosan-GA (merah) 17 7 Termogram DTA / TGA Kitosan (hitam) Kitosan-GA (merah) 18 8 Kontur Respon Surface adsorpsi Fe oleh serpih kitosan-GA 21 9 Kurva hubungan antara kapasitas adsorpsi dengan
konsentrasi awal ion Fe(III) 22
10 Kurva Adsorpsi Isotermal Langmuir (a) dan Freundlich (b)
Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 23
11 Kurva hubungan kapasitas adsorpsi dengan waktu kontak pada
dua kondisi konsentrasi awal ion Fe(III) 10 dan 30 ppm 24 12 Plot kinetika orde pertama semu adsorpsi Ion Fe(III) oleh kitosan-GA
pada dua variasi konsentrasi awal 10 dan 30 ppm 25 13 Plot kinetika orde kedua semu adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA
pada dua variasi konsentrasi awal 10 dan 30 ppm 25 14 Kurva hubungan kapasitas adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA
dengan waktu kontak pada dua kondisi suhu 25oC dan 45o
15 Plot kinetika orde kedua adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA pada dua variasi suhu 25
C 26
o
C dan 45o
16 Kurva desorpsi Fe(III) dari kitosan-GA dalam larutan HCl 0,1 M
selama 150 menit 28
C 27
17 Warna minyak akar wangi sesudah (kiri) dan sebelum (kanan)
DAFTAR LAMPIRAN
1 Penentuan Derajat Deasetilasi Kitosan 33
2 Hasil Analisis Respon Surface Box Behnken Adsorpsi Ion Fe(III)
oleh Kitosan-GA 34
3 Data Hasil Percobaan Isotermal Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 35 4 Data Hasil Analisis Isotermal Langmuir dan Freundlich Adsorpsi
Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 36
5 Perhitungan Konstanta Isoterm Langmuir dan Freundlich Adsorpsi
Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 37
6 Data Hasil Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA pada Dua Variasi
Konsentrasi Beserta Hasil Perhitungan Kapasitas Adsorpsinya 38 7 Data Analisis Kinetika Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 39 8 Perhitungan Parameter Kinetika Adsorpsi Fe(III) oleh Kitosan-GA 40 9 Data Laju Orde Kedua Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA pada
Dua Variasi Suhu 42
10 Data Analisis Kinetika Orde Kedua Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA Pada Dua Variasi Suhu dan Perhitungan Ea 43 11 Data Analisis Pengaruh Suhu dan Perhitungan Parameter
Termodinamika Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA 44 12 Data Hasil Penelitian Desorpsi Kitosan-GA-Fe oleh HCl 0,1 M 45 13 Data Hasil Percobaan Pengaruh Ion Cu(II) terhadap Adsorpsi
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Minyak akar wangi adalah salah satu komoditas ekspor non-migas Indonesia. Minyak ini dalam dunia perdagangan internasional sering disebut Java Vetiver oil. Minyak ini dihasilkan melalui proses penyulingan terhadap hasil budi daya tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides). Minyak akar wangi bermutu tinggi banyak digunakan sebagai zat pengikat bau (fixative) untuk parfum, sedangkan minyak akar wangi bermutu rendah banyak digunakan sebagai pewangi sabun.
Pembeli produk minyak akar wangi ini adalah para pengusaha pabrikan atau importir. Sebagian besar konsumen produk ini adalah pembeli luar negeri, kalaupun ada pembeli dalam negeri jumlahnya sangat sedikit. Tabel 1 menunjukkan kebutuhan pasar dunia terhadap minyak akar wangi.
Tabel 1 Jumlah kebutuhan pasar dunia terhadap minyak akar wangi
No Negara Tujuan Volume/Ton/Tahun
1 Amerika Serikat 80
Sumber : Disperindag Kab. Garut (2012)
Tabel 1 menunjukkan bahwa total kebutuhan pasar dunia terhadap minyak akar wangi mencapai 270 ton pertahunnya, sedangkan minyak akar wangi yang diproduksi para penyuling di Kabupaten Garut dapat mencapai 50 - 75 ton/tahun. Hal ini tentu saja bergantung kepada ketersediaan bahan baku, cuaca, dan permintaan. Minyak akar wangi dari Garut tidak mempunyai saingan produk sejenis di dalam negeri, namun di luar negeri produk serupa dihasilkan oleh beberapa negara, seperti negara Bourbon, Haiti, China, dan India. Tabel 2 menunjukkan data negara pengekspor utama minyak akar wangi.
Tabel 2 Volume minyak akar wangi yang dihasilkan oleh beberapa negara No Negara Volume (ton/tahun)
1 Bourbon ± 36 2 Indonesia ± 52 3 Haiti ± 82
Sumber : Disperindag Kab. Garut (2012)
2
Tabel 2 menunjukkan bahwa produksi minyak akar wangi Indonesia dari segi volume dapat bersaing dengan negara-negara lain, akan tetapi dari segi harga masih terbilang rendah. Sebagai perbandingan, pada tahun 2011 harga terendah produk minyak akar wangi Indonesia adalah 111,11 USD/Kg, sedangkan produk minyak akar wangi Haiti memiliki harga terendah sebesar 150,10 USD/Kg. Penyebab utama terjadinya perbedaan harga ini adalah karena perbedaan mutu.
Hasil observasi menunjukkan bahwa minyak hasil penyulingan akar wangi di Garut masih terlihat lebih gelap dan berwarna kehitaman. Menurut Hernani (2006), minyak yang terlihat lebih gelap dan berwarna kehitaman itu akibat adanya kontaminasi dari logam Fe dan Cu.
Pemurnian adalah salah satu proses yang digunakan untuk meningkatkan kualitas minyak agar mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Proses pemurnian minyak akar wangi dapat dilakukan secara kimia ataupun fisika. Proses pemurnian secara fisika dapat dilakukan dengan mendestilasi ulang minyak yang dihasilkan (redestillation). Pemurnian secara fisika menghasilkan minyak yang warnanya lebih jernih dan konsentrat komponen utamanya menjadi lebih tinggi, namun cara ini memerlukan peralatan penunjang yang cukup spesifik dan biaya operasional yang relatif mahal.
Pemurnian secara kimia dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya adalah metoda adsorpsi. Adsorpsi adalah metoda yang tepat dan mudah dalam menjerap ion logam. Metoda adsorpsi menggunakan peralatan yang lebih sederhana, karena hanya diperlukan pencampuran dengan adsorben pada kondisi tertentu (Firdaus 2009).
Penelitian yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas minyak akar wangi dengan menggunakan adsorben sudah banyak dilakukan. Beberapa adsorben tersebut misalnya adalah bentonit 2% (b/v) yang diaplikasikan pada minyak akar wangi dapat meningkatkan kadar vetiverol dari 48,67% menjadi 49,18%, kemudian kadar logam Fe berkurang dari 2,76 ppm menjadi 2,53 ppm dan kadar logam Cu berkurang dari 2,13 ppm menjadi 1,96 ppm (Hernani 2006). Pada penelitian yang dilakukan oleh Firdaus (2009), dilaporkan bahwa penggunaan zeolit 2% (b/v) pada minyak akar wangi dapat meningkatkan kadar vetiverol dari 51,90% menjadi 78,68%, namun kandungan asamnya masih melebihi batas standar. Selain itu, penggunaan arang aktif pada minyak akar wangi telah dilaporkan dapat menyerap zat warna sebanyak 90% dari jumlah zat warna yang terdapat dalam minyak, namun arang aktif mempunyai pori-pori yang dapat menyebabkan minyak terjerap ke dalamnya. Minyak yang sudah masuk ke dalam pori-pori arang aktif ini sangat sulit untuk dipisahkan (Sani 2011).
Adsorben yang sedang marak dikembangkan adalah kitosan. Kitosan merupakan polimer yang melimpah di alam yang dihasilkan dari proses deasetilisasi kitin. Penelitian mengenai kitosan sebagai adsorben dengan atau tanpa modifikasi telah banyak dilaporkan. Kemampuan kitosan untuk menarik ion-ion logam melalui mekanisme pengkelatan atau pertukaran ion (bergantung kepada jenis ion logam dan pH larutan) disebabkan karena gugus amino dan hidroksida pada struktur kimia kitosan.
3
sering digunakan adalah glutaraldehida (GA). GA ini dipilih sebagai penaut silang karena dapat meningkatkan sifat mekanik dari kitosan sehingga stabilitas struktur kitosan meningkat baik secara termal maupun dalam asam (Muharam et al. 2010). Penelitian terkait aplikasi kitosan-GA pada minyak pernah dilakukan oleh Rahmi dan Julinawati (2009), yang telah melaporkan bahwa penggunaan 5 gram kitosan-GA pada minyak solar untuk adsorpsi ion logam Cu(II) pada suhu 70 oC selama 75 menit menghasilkan persen adsorpsi sebesar 73%. Penelitian lain dilakukan oleh Muharam et al. (2010), yang telah melaporkan bahwa penggunaan 0,875 gram kitosan-GA untuk mengadsorpsi ion [Au(CN)4]
-Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dilakukan penelitian mengenai pembuatan serpih kitosan bertaut silang glutaraldehida untuk mengadsorpsi ion logam Fe(III) dan Cu(II) pada minyak akar wangi. Sebagai pembanding, maka dilakukan studi adsorpsi ion logam Fe(III) dalam larutan FeCl
pada pH 2 selama 120 menit menghasilkan persen adsorpsi sebesar 97,874%. Penelitian penggunaan kitosan-GA sebagai adsorben ion logam pada minyak akar wangi sampai saat ini belum dilakukan.
3.6H2O oleh kitosan-GA. Ion logam Fe(III) dipilih karena kadar ion logam Fe(III) dalam minyak akar wangi lebih tinggi dibandingkan dengan ion logam Cu(II). Studi adsorpsi tersebut meliputi sintesis kitosan-GA beserta karakterisasinya menggunakan Spektroskopi IR dan DTA (Differential Thermal Analysis) / TGA (Thermogravimetric Analysis). Setelah itu dilakukan optimasi proses adsorpsi dengan parameter bobot adsorben, waktu, dan suhu. Selanjutnya dilakukan penelitian mengenai kinetika, termodinamika dan isotermal adsorpsi. Setelah itu dilakukan penelitian mengenai desorpsi kitosan-GA dan pengaruh ion logam Cu(II) terhadap adsorpsi ion logam Fe(III) oleh kitosan-GA kemudian diaplikasikan pada sampel minyak akar wangi hasil penyulingan yang berasal dari Garut. Tahap yang terakhir adalah analisis perubahan warna dari minyak akar wangi sebelum dan sesudah dilakukan adsorpsi ion logam oleh kitosan-GA.
Tujuan Penelitian
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Minyak Akar Wangi
Rumpun tanaman akar wangi (Vetiveria zizanioides) ditemukan tumbuh secara liar, setengah liar, maupun sengaja ditanam di berbagai negara beriklim tropis dan subtropis. Bagian tanaman dalam tanah terdiri dari sejumlah akar halus, berwarna kuning pucat atau abu-abu sampai kemerahan, dan mengandung minyak atsiri berwujud kental dengan bau khas dan tahan lama (Guenther 2006).
Akar wangi (Gambar 1) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang potensial. Tanaman dari keluarga rumput-rumputan (Graminae) ini telah dikenal lama di Indonesia, yakni sebelum Perang Dunia II, bahkan pada tahun 1918 telah tercatat sebagai komoditas ekspor meskipun masih dalam bentuk akar (Kardinan 2005).
Gambar 1 Akar wangi kering siap suling
Tanaman akar wangi di Indonesia umumnya masih diusahakan dalam skala kecil. Hanya sebagian kecil yang diusahakan oleh perkebunan/swasta terutama di wilayah Jawa Barat. Daerah tanam akar wangi di Indonesia adalah di Jawa Barat, meliputi Garut, Sukabumi, Bandung, Sumedang, dan Kuningan; Jawa Tengah, meliputi Wonosobo dan Purwokerto; dan sebagian wilayah Sumatera Utara. Wilayah yang menjadi pusat penyulingan minyak akar wangi di Indonesia adalah Kabupaten Garut yang tersebar di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Leles, Cilawu, Bayongbong dan Samarang. Luas lahan yang diizinkan untuk ditanami akar wangi adalah 2.400 Ha. Sedangkan jumlah penyuling yang sampai saat ini masih beroperasi sebanyak ± 30 penyuling dengan jumlah ketel sebanyak 48 buah (Disperindag Kab. Garut 2012).
Akar wangi yang kering bermutu baik menghasilkan randemen minyak sekitar 1,5% - 2% berat kering, dan jarang mencapai rendemen sampai 3 %. Akar segar (belum kering) menghasilkan rendemen minyak lebih kecil (Sani 2011).
Luu (2007) menyebutkan komponen utama penyusun minyak akar wangi
5
tersebut, α-vetivone, β-vetivone, dan khusimone merupakan komponen utama sebagai penentu aroma minyak akar wangi, sedangkan komponen terbesar yang menjadi salah satu parameter mutu adalah vetiverol (Gambar 2).
Gambar 2 Struktur vetiverol
Minyak akar wangi yang baik umumnya ditandai oleh bobot jenis yang tinggi, komposisi bau yang lebih sempurna, dan ketahanan bau yang lebih lama. Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu minyak akar wangi antara lain umur atau waktu panen, kondisi bahan baku, cara penanganan dan pengolahan bahan baku, bahan konstruksi alat penyulingan, metode ekstraksi, metode penyulingan, lama penyulingan, dan penanganan minyak hasil ekstraksi. Standar mutu minyak akar wangi dalam perdagangan internasional belum seragam karena masing-masing negara penghasil dan pengimpor menentukan standar mutu minyak akar wangi menurut kebutuhan sendiri (Suhirman 2007). Negara Indonesia sendiri telah menetapkan standar mutu untuk minyak akar wangi seperti yang terlihat pada Tabel 3.
Pemurnian minyak akar wangi bertujuan untuk menghilangkan zat-zat yang tidak dikehendaki dalam minyak, diantaranya ion logam dan polimer yang menyebabkan warna minyak menjadi gelap. Warna minyak atsiri sangat memengaruhi mutu, penggunaan, dan harganya. Minyak yang keruh dan berwarna gelap mempunyai mutu yang rendah. Pengotor dalam minyak juga dapat mempercepat kerusakan minyak terutama selama penyimpanan dan pengolahan lebih lanjut (Hernani 2006).
Tabel 3 Standar Nasional Indonesia nomor 06-2386-2006 untuk minyak akar wangi (SNI 2006)
Parameter Uji Persyaratan Warna
Kelarutan dalam etanol 95% C)
Bilangan asam Bilangan ester
Bilangan ester setelah asetilasi Vetiverol total
Kuning muda – cokelat kemerahan Khas akar wangi
0,980 – 1,003 1,520 – 1,530
1:1 jernih, seterusnya jernih 10 – 35
6
Kerusakan yang sering terjadi pada minyak atsiri adalah kerusakan komponen kimia, yang disebabkan oleh proses hidrolisis, oksidasi, polimerisasi, pencampuran dengan bahan lain, dan pencemaran oleh wadah kemasan. Hidrolisis terjadi dalam minyak yang mengandung ester, jika tedapat air dan asam sebagai katalis. Asam organik hasil hidrolisis ester terdapat secara alamiah dan golongan fenol dapat bereaksi dengan ion logam dan membentuk garam, mengakibatkan minyak berubah warna menjadi gelap. Oksidasi pada minyak atsiri terutama terjadi pada ikatan rangkap dalam terpena. Peroksida yang dihasilkan bersifat labil dan dapat berisomerisasi dengan adanya air membentuk senyawa aldehida dan asam organik yang menimbulkan bau yang tidak dikehendaki (Suhirman 2007).
Kitosan
Kitosan (poli-β(1→4)-2-amino-2-deoksi-D-glukopiranosa) merupakan biopolimer karbohidrat yang didapat dari proses deasetilasi kitin (poli-β(1→4) -2-asetamida-2-deoksi-D-glukopiranosa) dengan menggunakan basa. Secara alami kitosan dapat dihasilkan dari beberapa jenis jamur, sedangkan kitin merupakan zat penyusun utama pada kulit/cangkang Crustaceace. Suatu kitin dapat dikatakan telah menjadi kitosan apabila derajat deasetilasinya telah mencapai minimal 70%. Perbedaan struktur selulosa, kitin dan kitosan terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Struktur kitin (a) dan kitosan (b)
Hasil penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan kitosan dapat mengikat logam berat 4 sampai 5 kali lebih besar dari kitin, hal ini terkait dengan adanya gugus amina terbuka sepanjang rantai kitosan dan gugus hidroksil (terutama pada posisi C-3) (Guibal 2004). Gugus-gugus reaktif tersebut akan berinteraksi dengan ion logam melalui mekanisme yang beragam bergantung kepada jenis logam, pH dan medium larutan. Sepasang elektron bebas pada nitrogen dapat mengikat kation logam pada pH netral, di lain pihak protonasi gugus amina dalam larutan asam menghasilkan perilaku polimer kationik dan berpotensi untuk mengikat anion senyawa logam.
Modifikasi Kitosan
7
Modifikasi kitosan ini bertujuan untuk: (1) meningkatkan stabilitas struktur kitosan baik secara termal, maupun dalam asam (2) meningkatkan sifat penyerapan logam yang meliputi kapasitas dan selektivitasnya (Muharam 2010). Salah satu modifikasi kimia kitosan yang paling banyak digunakan adalah penaut silangan dengan glutaraldehida melalui reaksi pembentukan basa Schiff (imina tersubstitusi, -CH=NR) antara gugus aldehida ujung pada glutaraldehida (GA) dengan gugus amino kitosan (Chang dan Chen 2006). Reaksi penautsilangan glutaraldehida dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Reaksi penautsilangan kitosan dengan glutaraldehida
Jumlah tautan silang tersebut meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah glutaraldehida yang ditambahkan. Tautan silang ini telah terbukti dapat meningkatkan sifat mekanik dari adsorben kitosan. Kitosan menjadi tidak rapuh dan lebih sulit didegradasi secara biologis serta tidak mudah larut dalam asam. Manik kitosan-GA dengan derajat tautan silang 18,4 dan 34,7% dapat stabil pada kisaran pH 2-4. Namun, derajat tautan silang yang terlalu tinggi juga akan menurunkan jumlah –NH2
Hal yang mempengaruhi nilai kapasitas adsorpsi adalah suhu, pH, konsentrasi logam, bobot adsorben, serta waktu kontak. Hal ini didukung oleh penelitian Wahyono (2006) yang telah dilaporkan bahwa kapasitas adsorpsi ion Cu(II) oleh kitosan-alginat bertaut silang glutaraldehida lebih besar pada kondisi larutan pH 6 dan konsentrasi logam 1000 ppm, dibandingkan dengan kondisi larutan pH 3 dan konsentrasi logam 500 ppm. Penelitian lain menjelaskan bahwa kapasitas adsorpsi optimum untuk adsorpsi ion Au(III) diperoleh pada kondisi pH 2, selang waktu 120 menit, dan bobot kitosan-GA yang digunakan 0,875 g (Muharam et. al. 2010).
8
Afinitas penjerapan kitosan-GA juga dipengaruhi jenis dan muatan logam. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Rojas et al. (2005); dilaporkan bahwa afinitas penjerapan kitosan-GA terhadap Cr6+ lebih besar dibadingkan dengan afinitasnya terhadap Cr3+. Penelitian lain, menjelaskan bahwa afinitas penjerapan kitosan-GA terhadap Cu2+ lebih besar dibandingkan dengan afinitasnya terhadap Co2+
Kitosan-GA juga dapat dimodifikasi secara fisika, yaitu dibuat serpih, butir, gel dan membran (Beppu et al. 2007). Setiap modifikasi bentuk kitosan-GA tersebut memiliki kemampuan yang berbeda dalam mengadsorpsi logam. Muharam et. al. (2010) telah melaporkan bahwa penggunaan kitosan-GA pada larutan [Au(CN)
(Cestari et al. 2007).
4]
Besarnya kemampuan kitosan dalam mengikat logam tergantung dari karakteristik makrostruktur kitosan yang dipengaruhi oleh sumber dan kondisi proses isolasi. Perbedaan bentuk kitosan tersebut dipakai bergantung pada aplikasinya dalam berbagai bidang. Semakin kecil ukuran kitosan maka semakin besar luas permukaan kitosan, akibatnya proses adsorpsi semakin baik. Kestabilan gel dipengaruhi oleh konsentrasi, bobot molekul, pH, suhu, polielektrolit dan hidrokoloid lain (Sugita et al. 2009).
dalam bentuk serpih, butir, membran dan gel memiliki kapasitas adsorpsi (mg/g) berturut-turut 0,489; 0,485; 0,016 dan 0,480. Berdasarkan data tersebut, kitosan-GA bentuk serpih memiliki kapasitas adsorpsi yang paling tinggi.
Isoterm Adsorpsi
Proses adsorpsi dapat dipelajari dengan cara membuat salah satu faktornya tetap. Salah satu kondisi yang dapat dipilih ialah isoterm (suhu tetap). Isoterm adsorpsi merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk mewakili keadaan kesetimbangan sistem adsorpsi karena dapat memberikan keterangan berguna yang berkaitan dengan adsorbat, adsorben, proses adsorpsi, penentuan luas permukaan adsorben, volume dan distribusi ukuran pori, kalor adsorpsi, serta adsorbilitas relatif gas atau uap pada suatu adsorben. (Sugita et al. 2009)
Persamaan yang sering digunakan untuk menjelaskan adsorpsi isotermal adalah persamaan Langmuir dan Freundlich. Ada tiga pendekatan teoritis yang dapat digunakan untuk menentukan jenis isoterm adorpsi, yaitu pendekatan kinetika, statistika, dan termodinamika. Pada pendekatan kinetika, laju adsorpsi sama dengan laju desorpsi pada saat setimbang, sehingga persamaan kedua laju dalam persamaan isoterm dapat diperoleh. Sementara pada pendekatan secara statistika, tetapan kesetimbangan mewakili perbandingan fungsi permukaan adsorben yang kosong, yang sudah menyerap molekul, dan molekul bebas pada fase bebas. Persamaan isoterm dapat diperoleh dengan menyamakan perbandingan tersebut dan konsentrasi. Sementara pendekatan termodinamika menyatakan bahwa kerja yang dilakukan saat terjadi perpindahan sejumlah kecil gas dari fase gas ke permukaan pada suhu tetap sama dengan nol, atau dapat juga menggunakan persamaan adsorpsi Gibbs (Sugita et al. 2009).
Persamaan Isoterm Langmuir
9
Isoterm ini mengasumsikan bahwa adsorbat hanya membentuk lapisan tunggal di atas permukaan adsorben yang homogen. Persamaan Langmuir diperoleh melalui penurunan termodinamik dan statistik, tetapi dibatasi dengan pendekatan kinetik. Pada pendekatan kinetik, kesetimbangan diasumsikan dinamis apabila laju molekul fasa gas atau cairan yang menumbuk permukaan padatan dan berkondensasi pada tempat kosong sama dengan laju molekul yang menguap dari lokasi yang telah terisi. Dengan kata lain seluruh permukaan adsorben mempunyai afinitas yang relatif sama karena laju adsorpsi sama dengan laju desorpsi. Persamaan empiris untuk isoterm Langmuir dituliskan pada Persamaan (1).
�� = �����
1+��� (1)
dimana qe adalah jumlah adsorbat pada saat kesetimbangan (mg/g), Ce adalah konsentrasi adsorbat pada saat kesetimbangan (mg/L), qm adalah konstanta kapasitas adsorpsi Langmuir (mg/g) dan b adalah konstanta energi adsorpsi Langmuir (L/g).
Persamaan (1) dapat ditulis dalam bentuk persamaan linier sebagaimana dituliskan pada Persamaan (2).
��
dengan memplotkan nilai Ce terhadap Ce/qe maka dapat ditentukan kostanta qm
dan b untuk setiap kondisi percobaan.
Parameter penting lain dari proses adsorpsi adalah RSF, yang disebut dengan parameter kesetimbangan untuk menentukan menguntungkan atau tidaknya sistem adsorpsi. Persamaan yang digunakan untuk menghitung RSF dituliskan pada Persamaan (3).
��� = 1+1��� (3)
dimana Co adalah konsentrasi awal adsorbat (mg/g). Nilai RSF antara 0–1 menunjukkan bahwa sistem adsorpsi menguntungkan. (Wu et al. 2010)
Persamaan Isoterm Freundlich
Isoterm Freundlich adalah bentuk terbatas dari isoterm Langmuir. Pada isoterm Freundlich, adsorpsi terjadi pada lebih dari satu lapisan tunggal (multilayer) dengan permukaan yang heterogen sehingga ikatan masing-masing adsorbat terhadap adsorben berbeda-beda. Persamaan empiris untuk isoterm Freundlich dituliskan pada Persamaan 4:
�� =����1/� (4)
10
Persamaan (4) dapat ditulis dalam bentuk persamaan linier sebagaimana dituliskan pada Persamaan (5).
Log qe = Log Kf + 1
������ (5)
dengan memplotkan nilai log qe terhadap log Ce maka dapat ditentukan kostanta adsorpsi isoterm Freundlich. (Chalid et. al. 2010)
Kinetika Adsorpsi
Kinetika adsorpsi menyatakan adanya proses penyerapan suatu zat oleh adsorben dalam fungsi waktu. Kinetika adsorpsi dapat dipelajari melalui persamaan kinetika orde pertama semu (Pseudo-first-order) dan orde kedua (second-order). Persamaan Lagergren dapat diterapkan sebagai orde pertama, dengan asumsi jumlah ion logam melebihi jumlah sisi aktif permukaan adsorben. Nilai konstanta rata-rata orde pertama, k1, diperoleh dari Persamaan (7) (Mohan et al. 2006; Fan et al. 2008; Gupta et al. 2008).
���
�� = �1(�� − ��) (7)
Integrasi persamaan (7) dari qt = 0 pada t = 0 menghasilkan persamaan linier yang dituliskan pada Persamaan (8).
Log (qe-qt) = log qe - �1�
2,303 (8)
dimana qe adalah jumlah logam teradsorpsi pada kesetimbangan, qt adalah jumlah logam teradsorpsi pada waktu t dan k1 adalah konstanta laju orde pertama. qe dan k1 dihitung dari intersep dan kemiringan plot kurva linier log (qe-qt) dan t.
Jika validitas kinetika orde pertama semu rendah, maka kinetika adsorpsi dicoba untuk mekanisme orde kedua dengan menggunakan Persamaan (9).
���
�� = �2(�� − ��)2 (9)
Integrasi persamaan (9) dari qt = 0 pada t = 0 menghasilkan persamaan linier yang dituliskan pada Persamaan (10).
� �� =
1 �2��2+
1
��� (10)
11
Termodinamika Adsorpsi
Kajian termodinamika adsorpsi sangat penting dilakukan untuk mengidentifikasi proses adsorpsi ditinjau dari aspek energi yang terlibat. Besaran-besaran yang dihitung dalam hal ini adalah energi bebas Gibbs (∆G), perubahan entropi (∆S), perubahan entalpi (∆H), dan energi aktivasi (Ea).
Faktor perubahan entropi dan energi bebas Gibbs harus dipertimbangkan untuk mengetahui kespontanan proses adsorpsi. Parameter perubahan entalpi digunakan untuk dapat mengetahui jumlah kalor yang terlibat dalam proses adsorpsi. Parameter energi aktivasi digunakan untuk dapat mengetahui total energi yang dibutuhkan dalam melakukan proses adsorpsi.
Parameter termodinamika seperti perubahan entalpi, energi bebas Gibbs dan perubahan entropi, dapat diperkirakan menggunakan konstanta kesetimbangan dengan perubahan suhu sebagai variabel bebasnya. Nilai-nilai perubahan energi bebas Gibbs standar untuk proses adsorpsi dievaluasi dengan menggunakan nilai yang diperoleh dari Kd (koefisien distribusi adsorpsi) atau (qe/Ce) pada temperatur yang berbeda. Persamaan yang digunakan untuk menentukan energi bebas Gibbs dituliskan pada Persamaan (11).
∆G = -RT ln Kd (11)
Nilai perubahan entalpi dan perubahan entropi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (12).
Log Kd = ∆�
2,303�−
∆�
2,303�� (12)
Nilai energi aktivasi (Ea) dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan (13).
Ln k = Ln A - �� � 1
� (13)
12
3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan Desember 2013 yang bertempat di Laboratorium Kimia Organik IPB, Laboratorium Bersama IPB, Laboratorium Mineralogi Deptartemen Tanah Faperta IPB, dan Laboratorium Terpadu IPB.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah Spektrofotometer Serapan Atom (AAS) Model Shimadzu AA 7000, (DTA) dan Thermogravimetric / Differential Thermal
Analysis (TG/DTA) Model Shimadzu DTG-60H FC-60A TA-60WS,
Spektrometer Fourier Transform Infrared (FTIR) Model Brucker Tensor 37, Spektrofotometer UV-Vis Model Shimadzu, Tanur, Termometer, Water Bath, labu takar, gelas kimia, dan labu erlenmeyer.
Bahan-bahan yang digunakan adalah minyak akar wangi, kitosan (Brataco, derajat deasetilasi = 78%), FeCl3.6H2O, CuSO4.5H2O, HCl, GA, dan aquades.
Metode Penelitian
Tahapan penelitian ini terdiri dari:
1. Analisis kadar ion logam Fe(III) dan Cu(II) dalam minyak akar wangi yang dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 dan 324,7 nm secara berturut-turut.
Hasil analisis ini dijadikan pertimbangan untuk tahapan selanjutnya. Jika di dalam minyak akar wangi terdapat ion logam Fe(III) dan Cu(II) maka kemudian dilanjutkan ke tahap yang berikutnya.
2. Pembuatan serpih kitosan bertaut silang GA dan karakterisasinya yang dilakukan dengan menggunakan FTIR dan DTA/TGA.
Hasil dari percobaan ini berkaitan dengan perbandingan stabilitas termal dan analisis gugus fungsi antara kitosan sebelum dan sesudah ditaut silang dengan GA. Hal ini dapat dijadikan parameter telah terbentuknya kitosan-GA.
3. Optimasi proses adsorpsi kitosan-GA terhadap ion Fe(III) yang dilakukan dengan menggunakan metoda batch dengan parameter optimasi adalah waktu kontak, suhu dan bobot adsorben, sedangkan model rancangan percobaan yang digunakan adalah respon permukaan Box Behnken.
Hasil dari tahap ini adalah kondisi optimum adsorpsi kitosan-GA terhadap ion Fe(III). Kondisi optimum ini digunakan dalam percobaan isotermal dan kinetika adsorpsi serta pengaruh logam asing.
4. Percobaan isotermal adsorpsi yang dilakukan adalah penentuan isotermal Langmuir dan Freundlich.
Hasil yang dapat diperoleh dari tahap ini adalah informasi tentang pengaruh konsentrasi awal ion logam terhadap kapasitas adsorpsi dan juga informasi mengenai mekanisme adsorpsi.
13
6. Penelitian desorpsi ion Fe(III) oleh HCl.
Hasil dari percobaan ini berkaitan dengan kemampuan adsorben untuk dapat digunakan kembali.
7. Percobaan adsorpsi ion Fe(III) dengan adanya pengaruh ion asing dari Cu(II). Hasil dari percobaan ini berkaitan dengan informasi mengenai kemampuan kitosan-GA dalam menjerap logam Fe(III) dan Cu(II) secara simultan. Awalnya dilakukan simulasi buatan untuk larutan Fe(III) dan Cu(II) dengan perbandingan 50% : 50%. Setelah itu penjerapan logam oleh kitosan-GA diaplikasikan pada minyak akar wangi.
8. Analisis perubahan warna minyak akar wangi sebelum dan sesudah diberikan perlakuan.
Hasil dari percobaan ini berkaitan dengan informasi mengenai peningkatan mutu dalam hal warna minyak akar wangi.
Analisis Kadar Ion Fe(III) dan Cu(II) dalam Minyak Akar Wangi
Sejumlah sampel minyak akar wangi yang berasal dari penyulingan akar wangi di Garut diambil ± 2,5 gram kemudian ditimbang setelah itu ditanur sampai suhu 600 oC selama 5 jam. Abu hasil tanur dilarutkan dengan HCl p.a sebanyak 5 mL kemudian dipanaskan secara hati-hati sampai volume berkurang setengah dari volume awal. Campuran disaring, kemudian filtratnya dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL. Setelah itu dilakukan analisis awal kadar ion Fe(III) dan Cu(II) oleh spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 dan 324,7 nm.
Pembuatan Serpih Kitosan-GA dan Karakterisasinya
Pembuatan serpih kitosan bertaut silang glutaraldehida ini dilakukan dengan mengacu kepada metode yang dilakukan oleh Muharam et. al. (2010). Prosedurnya, serpih kitosan ditimbang sebanyak 5 gram kemudian direndam dalam 75 mL glutaraldehida 2,5% sambil diagitasi selama 24 jam pada 220 rpm dan pada suhu kamar. Selanjutnya serpih kitosan-GA dicuci dan dikeringkan pada suhu kamar. Kitosan dan kitosan-GA yang telah terbentuk kemudian dilakukan analisa termal dengan menggunakan DTA/TGA dan analisis gugus fungsi dengan menggunakan FTIR, untuk memastikan kitosan telah tertaut silang dengan GA.
Optimasi Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA
14
Tabel 4. Rancangan percobaan respon permukaan Box Behnken
No X1 X2 X3 Waktu (menit) Suhu (o
Percobaan Isotermal dan Kinetika Adsorpsi
Parameter optimal (waktu, suhu, dan bobot adsorben) hasil dari percobaan optimasi digunakan untuk kondisi percobaan isotermal dan kinetika adsorpsi.
Isotermal adsorpsi
Kitosan-GA ditambahkan ke dalam 50 mL larutan Fe(III) dengan konsentrasi 10, 20, 30, 40, 50 mg/L, kemudian diaduk pada kondisi optimal. Selanjutnya kitosan-GA disaring dan kadar ion Fe(III) dalam filtrat dianalisis oleh spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm.
Kinetika adsorpsi
Percobaan pengaruh konsentrasi awal larutan Fe(III) terhadap kinetika adsorpsi dilakukan sebagai berikut: kitosan-GA masing-masing ditambahkan ke dalam 50 mL larutan Fe(III) dengan konsentrasi 10 dan 30 mg/L kemudian diaduk pada kondisi optimal. Pada selang waktu 150 menit setiap 30 menit diambil 10 mL aliquot. Selanjutnya kadar ion Fe(III) dalam aliquot dianalisa oleh spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm.
15
Percobaan Desorpsi ion Fe(III) dari Kitosan-GA
Kitosan-GA dimasukkan ke dalam 50 mL larutan Fe(III) 10 mg/L sambil diaduk pada kondisi optimal. Kitosan-GA yang mengandung ion Fe(III) disaring dan dikeringkan. Kadar ion Fe(III) dalam filtrat dianalisis oleh spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm. Selisih antara kadar ion Fe(III) mula-mula dengan hasil analisis kadar ion Fe(III) dalam filtrat ditetapkan sebagai jumlah ion Fe(III) awal yang ada dalam kitosan-GA.
Uji desorpsi dilakukan dengan pengadukan sejumlah kitosan-GA-Fe pada 100 mL larutan asam klorida (HCl) 0,1 M pada suhu kamar selama 2,5 jam dan setiap 30 menit diambil 10 mL aliquot. Selanjutnya terhadap setiap aliquot dilakukan analisis kadar ion Fe(III) oleh spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 248,3 nm.
Percobaan Pengaruh Ion Cu(II) terhadap Adsorpsi Ion Fe(III)
Percobaan pengaruh ion Cu(II) terhadap adsorpsi ion Fe(III) ini dilakukan dengan dua kondisi. Kondisi yang pertama adalah kondisi buatan dan yang kedua adalah kondisi alami. Kondisi buatan yang dimaksud adalah pembuatan larutan sampel yang berisi ion Fe(III) dan ion Cu(II) dengan perbandingan konsentrasi 50% : 50%. Sedangkan kondisi alami yang dimaksud adalah aplikasi kitosan-GA terhadap minyak akar wangi.
Uji pengaruh ion asing ini dilakukan dengan pengadukan sejumlah kitosan-GA pada 50 mL larutan sampel kondisi buatan dan alami pada suhu kamar selama 6 jam. Selanjutnya kitosan-GA disaring dan kadar Fe dan Cu dalam filtrat dianalisa oleh spektrofotometer serapan atom dengan cara yang sama seperti pengukuran kadar logam awal.
Analisis Perubahan Warna Minyak Akar Wangi (SNI 2006)
16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Awal Ion Fe(III) dan Cu(II) dalam Minyak Akar Wangi
Sampel minyak akar wangi diperoleh dari salah satu penyulingan di Kab. Garut. Analisis kadar ion Fe(III) dan Cu(II) dalam minyak akar wangi dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom (AAS) pada panjang gelombang 248,3 dan 324,7 nm secara berturut-turut. Hasilnya didapat bahwa sampel minyak akar wangi mengandung ion logam Fe(III) sebesar 2,1724 ppm dan ion logam Cu(II) sebesar 0,3937 ppm.
Kontaminasi ion Fe(III) dan Cu(II) ini diduga berasal dari mineral dalam tanah, alat penyulingan, serta drum penyimpanan minyak akar wangi. Supriyanto dan Zainul (2006) telah melaporkan bahwa kandungan besi dan tembaga dalam tanah dapat mencapai 360,59 dan 0,355 ppm secara berturut-turut. Unsur besi dan tembaga termasuk ke dalam golongan unsur hara mikro esensial yang dibutuhkan oleh tanaman. Tanaman dapat menyerap unsur logam ini berupa ion atau senyawa kompleks. Unsur ini sangat berperan dalam proses metabolisme dalam tanaman. Hal ini memperkuat dugaan bahwa kontaminasi ion Fe(III) dan Cu(II) pada minyak akar wangi sebagian berasal dari tanah.
Alat penyulingan dan penyimpanan minyak akar wangi terbuat dari logam yang mengandung unsur besi dan tembaga. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa selama proses penyulingan dan penyimpanan, terjadi reaksi pembentukan senyawa kompleks antara ion logam dengan komponen-komponen senyawa organik dalam minyak akar wangi.
Hasil Pembuatan Serpih Kitosan-GA dan Karakterisasinya
Hasil pembuatan serpih kitosan-GA dari setiap proses dihomogenisasi terlebih dahulu sebelum dilakukan karakterisasi. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh dapat mewakili seluruh kitosan-GA yang dihasilkan dari setiap proses pembuatannya. Gambar 5 menunjukkan kitosan-GA yang dihasilkan setelah dihomogenisasi.
17
Setelah itu, kitosan dan kitosan-GA hasil sistesis tersebut di analisis gugus fungsinya dengan menggunakan FTIR. Analisis gugus fungsi kitosan dan kitosan-GA dilakukan untuk dapat mengetahui keberhasilan sintesis kitosan-kitosan-GA.
Spektrum FTIR dari kitosan dan kitosan-GA ditampilkan pada Gambar 6. Puncak serapan yang dapat ditandai untuk kitosan dan kitosan-GA berdasarkan hasil analisis FTIR disajikan pada Tabel 5.
Gambar 6 Spektrum IR Kitosan (hitam) dan Kitosan-GA (merah)
Tabel 5 Analisis gugus fungsi kitosan dan kitosan-GA berdasarkan spektrum IR
No Bilangan gelombang (cm -1
Vibrasi Ulur )
Literatur (Pavia et al. 2001) Kitosan Kitosan-GA
1 3400-3200 (O-H)
3500-3100 (N-H) 3427,97 3431,01
N-H dan O-H (Overlap) 2 3000-2850 2924,59 2926,65 C-H 3 1690-1650 - 1654,10 C=N 4 1300-1000 1045,94 1079,25 C-O
Hasil analisis gugus fungsi yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan spektrum IR antara kitosan dan kitosan yang telah tertaut silang GA. Bilangan gelombang untuk vibrasi ulur gugus O-H, C-H, dan C-O terlihat bergeser ke bilangan gelombang yang lebih tinggi. Pergeseran bilangan gelombang ini disebabkan adanya tautan silang yang sudah terbentuk antara polimer kitosan. Tautan silang ini menyebabkan pergerakan molekul menjadi lebih terbatas, sehingga dibutuhkan energi yang lebih besar untuk melakukan vibrasi. Besaran energi dan bilangan gelombang berbanding lurus, sesuai dengan persamaan : E = hc�̅. Sehingga jika bilangan gelombangnya lebih besar, maka artinya energinya pun lebih besar.
18
munculnya puncak serapan pada bilangan gelombang 1654,10 cm-1 yang merupakan vibrasi regangan C=N. Hal serupa juga telah dilakukan oleh Bin et. al.
(2013) yang telah melaporkan bahwa terdapat puncak serapan pada bilangan gelombang 1659 cm-1
Analisis termal kitosan dan kitosan-GA dilakukan untuk dapat mengetahui seberapa besar pengaruh suhu terhadap kestabilan zat. Analisis termal dilakukan dengan menggunakan TG/DTA. Hasil pengujian TG/DTA untuk kitosan dan kitosan-GA ditampilkan pada Gambar 7.
yang ditandai sebagai vibrasi regangan C=N (basa Schiff) pada kitosan-GA.
Gambar 7 Termogram DTA / TGA Kitosan (hitam) Kitosan-GA (merah)
Berdasarkan termogram TGA dari kitosan dan kitosan-GA pada Gambar 7, secara umum diperoleh tiga kurva miring yang menunjukkan adanya perubahan massa. Kalor yang terlibat pada setiap proses perubahan massa tersebut dapat diketahui dari termogram DTA. Hasil analisis TGA dan DTA dari kitosan dan kitosan-GA dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Analisis TGA dan DTA dari kitosan dan kitosan-GA
Kurva miring
Pengurangan bobot
Proses Rentang
Suhu Kitosan
Rentang
Suhu Kitosan-GA
I 40-230 3,8 mg 40-240 3,0 mg Endoterm II 230-330 11,5 mg 240-340 10,5 mg Eksoterm III 330-400 14,1 mg 340-400 12,5 mg Eksoterm
19
kitosan-GA. Proses dehidrasi ini merupakan proses endoterm yang ditunjukkan oleh munculnya puncak ke bawah termogram DTA. Selain itu, berdasarkan termogram TGA dapat diketahui bahwa pengurangan bobot kitosan lebih besar daripada kitosan-GA. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kitosan yang digunakan lebih banyak menyimpan molekul air dibandingkan dengan kitosan-GA.
Kurva miring II terjadi pada rentang suhu 230-330 oC untuk kitosan dan 240-340 oC untuk kitosan-GA. Pada kurva miring II ini proses yang terjadi adalah pemutusan ikatan C-N yang bersifat eksoterm karena terbentuk puncak pada termogram DTA. Hal ini didasarkan kepada nilai energi ikatan rata-rata yang kecil untuk ikatan C-N, yaitu sebesar 73 kkal/mol sehingga mudah diputuskan. Pada kitosan, ikatan C-N yang terjadi adalah antara atom karbon dengan gugus amina (R-NH2), sedangkan pada kitosan-GA sebagian gugus amina pada kitosan sudah tertaut silang dengan GA membentuk imina (basa Schiff). Ikatan C-N pada imina jauh lebih kuat disebabkan karena adanya dorongan elektron dari alkil pada GA. Hal ini menyebabkan dekomposisi kitosan-GA pada tahap ini dimulai dan diakhiri pada suhu yang lebih tinggi. Asumsi ini diperkuat oleh hasil penelitian Jiao et. al.
(2011) yang menyatakan bahwa pada rentang suhu 214,3-351,3 o
Kurva miring III terjadi pada rentang suhu 330-400
C terjadi dekomposisi basa Schiff yang prosesnya melepaskan kalor (eksoterm).
o
C untuk kitosan dan 340-400 oC untuk kitosan-GA. Pada kurva miring III ini proses yang terjadi adalah pemutusan ikatan C-C (degradasi dari unit-unit kitosan). Proses ini pun merupakan proses eksoterm yang ditunjukkan oleh kurva DTA yang nilainya berada di atas 0 µV. Asumsi ini pun diperkuat oleh hasil penelitian Jiao et. al.
(2011) yang menyatakan bahwa pada rentang suhu 351,3-600 o
Analisis TGA menunjukkan bahwa total pengurangan bobot kitosan-GA lebih kecil dibandingkan dengan kitosan. Sedangkan analisis pergeseran suhu dekomposisi menunjukkan bahwa kitosan-GA mulai terdekomposisi pada suhu yang lebih tinggi. Berdasarkan kepada kedua analisis ini maka dapat disimpulkan bahwa kitosan-GA lebih stabil secara termal dibandingkan dengan kitosan.
C terjadi dekomposisi kerangka kitosan.
Hasil Optimasi Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA
Optimasi adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA telah dilakukan dengan menggunakan tiga variabel bebas, yaitu bobot adsorben, suhu, dan waktu kontak, sedangkan yang dijadikan variabel terikat atau responnya adalah konsentrasi ion Fe(III) pada kesetimbangan dalam adsorben. Hasil pengukuran responnya disajikan pada Tabel 7.
Analisis yang dilakukan terhadap data respon surface tersebut meliputi analisis perkiraan koefisien regresi dan analisis variansi. Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan software MINITAB
Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA mengikuti pola linier, kuadrat, dan interaksi. Hal ini didasarkan kepada besarnya nilai P (P-value 0,000) yang lebih kecil dari nilai signifikansinya
(α = 0,050). Jika variabel waktu, suhu, bobot adsorben, dan respon disimbolkan
sebagai X
14 yang hasilnya disajikan pada Lampiran 2.
20
perkiraan koefisien regresi dapat disimpulkan model respon surface mengikut i persamaan:
Y = - 1,99638 + 0,01798X1 + 0,11063X2 + 5,93142X3 - 0,00001X12 - 0,00218X22 - 2,38960X32 + 0,00001X1X2 - 0,01070X1X3 + 0,03558 X2X3
Tabel 7 Hasil pengukuran respon surface Box Behnken dari adsorpsi ion Fe(III) oleh Kitosan-GA
No Waktu
Awal Larutan Adsorben
1 360 35 0,50 9,9815 0,9981 8,9834
21
terhadap respon sebesar 94,8%. Besarnya pengaruh dari interaksi antara dua variabel bebas terhadap respon disajikan dalam bentuk kontur pada Gambar 8.
Gambar 8 Kontur Respon Surface adsorpsi ion Fe(III) oleh serpih kitosan-GA
Gambar 8a dan 8c menunjukkan bahwa secara umum respon akan meningkat apabila waktu kontak semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa waktu kontak sangat berpengaruh terhadap jumlah ion logam Fe(III) yang terikat pada kitosan-GA. Semakin lama waktu kontak maka jumlah ion logam Fe(III) yang teradsorpsi juga semakin banyak sampai tercapai kesetimbangan.
Variabel bebas yang lain adalah suhu. Gambar 8a dan 8b menunjukkan bahwa secara umum daerah respon optimal dihasilkan pada suhu sekitar 30–35 oC. Peningkatan suhu memang dapat meningkatkan laju adsorpsi, namun pada suhu tinggi dapat terjadi kerusakan gugus fungsi yang menyebabkan berkurangnya pusat aktif adsorpsi sehingga semakin sedikit ion logam yang dapat dijerap. Jika proses adsorpsi diaplikasikan pada minyak akar wangi maka sebaiknya suhu yang digunakan adalah pada 25 oC. Hal ini dilakukan karena jika suhu dinaikkan, maka dikhawatirkan akan ada komponen minyak yang menguap. Gambar 8a menunjukkan bahwa pada suhu 25 oC, respon optimal dapat dicapai pada waktu kontak sekitar 280–360 menit. Sedangkan Gambar 8b menunjukkan bahwa pada suhu 25 o
22
menjadi turun. Hal ini disebabkan karena pengaruh suhu yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Berdasarkan hasil percobaan respon surface Box Behnken ini diambil keputusan untuk menggunakan kondisi: bobot adsorben 0,75 gram, suhu 25 oC, dan waktu kontak 360 menit. Keputusan ini diambil karena adsorpsi ion logam Fe(III) oleh kitosan-GA pada kondisi ini menghasilkan persen adsorpsi yang paling besar yaitu sebesar 91,9521%.
Hasil Percobaan Isotermal Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA
Penentuan isotermal adsorpsi dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi awal ion logam terhadap jumlah ion logam yang diadsorpsi oleh adsorben pada kondisi optimum serta interaksi yang terjadi antara adsorben dengan adsorbat. Data hasil percobaan isotermal adsorpsi kitosan-GA terhadap ion Fe(III) disajikan pada Lampiran 3.
Gambar 9 menunjukkan hubungan antara kapasitas adsorpsi dengan konsentrasi awal ion Fe(III). Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa pada awalnya kurva terlihat naik secara signifikan kemudian cenderung konstan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi Fe(III) meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi awal Fe(III). Hal ini dapat dipahami dengan konsep bahwa jika konsentrasi adsorbat meningkat maka jumlah ion Fe(III) yang berinteraksi semakin bertambah pada tahap awal dan selanjutnya akan cenderung konstan karena permukaan kitosan-GA sudah mulai mengalami kejenuhan.
Gambar 9 Kurva hubungan antara kapasitas adsorpsi dengan konsentrasi awal ion Fe(III)
Analisis isotermal adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA dilakukan dengan menggunakan dua model, yaitu model Langmuir dan Freundlich. Analisis model Langmuir dan Freundlich dilakukan dengan membuat persamaan garis linear antara Ce terhadap Ce/qe untuk model Langmuir dan Log Ce terhadap Log qe untuk model Freundlich. Data hasil analisis isoterm Langmuir dan Freundlich disajikan pada Lampiran 4. Berdasarkan data yang terdapat pada Lampiran 4, kemudian dibuat kurva isotermal Langmuir dan Freundlich yang disajikan pada Gambar 10a dan 10b secara berturut-turut.
23
Gambar 10 Kurva Adsorpsi Isotermal Langmuir (a) dan Freundlich (b) Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA
Nilai parameter isotermal (qm, b, RSF, Kf, dan n) dapat ditentukan berdasarkan persamaan garis yang diperoleh dari kurva adsorpsi isotermal Langmuir dan Freundlich. Tabel 8 menunjukkan nilai parameter isotermal adsorpsi Langmuir dan Freundlich yang perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 5.
Tabel 8 Parameter isotermal adsorpsi Langmuir dan Freundlich Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA
Langmuir Freundlich
RSF qm B R2 Kf N R2
1,7671 0,44097 0,9887 0,7418 3,9777 0,9994 0,0434
Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa nilai R2 model Freundlich lebih besar dibandingkan dengan model Langmuir. Persamaan isoterm adsorpsi Freundlich didasarkan pada asumsi (1) terbentuknya adsorpsi beberapa lapisan (multilayer) dari molekul-molekul adsorbat pada adsorben, (2) bagian tapak aktif pada permukaan adsorben bersifat heterogen, dan (3) hanya melibatkan gaya Van der Waals sehingga adsorbat dapat bergerak dari satu bagian permukaan ke bagian permukaan lain dari adsorben (Atkins 1996). Penelitian lain dilakukan oleh Muharam et al. (2010) yang telah melaporkan bahwa penggunaan serpih kitosan-GA untuk adsorpsi ion Au(CN)4
-Parameter lain yang berhubungan dengan proses adsorpsi adalah R
juga mengikuti model isotermal Freundlich. Penggunaan kitin untuk adsorpsi ion logam Fe(III) juga mengikuti model isotermal Freundlich (Kartikeyan et. al. 2005). Adsorpsi ion logam Fe(III) oleh batang zaitun juga mengikuti model isotermal Freundlich (Zaid dan Mohammed 2008).
24
menunjukkan bahwa nilai RSF untuk proses adsorpsi Fe(III) oleh kitosan-GA berada pada rentang nilai 0 < RSF < 1. Hal ini menunjukkan proses adsorpsinya menguntungkan karena dapat dilakukan proses desorpsi (Ho 2003). Proses desorpsi dapat terjadi karena interaksi yang terjadi antara ion logam Fe(III) dan kitosan-GA adalah interaksi fisik dengan menggunakan gaya Van der Waals. Gaya Van der Waals merupakan gaya antar molekul yang interaksinya relatif lemah sehingga mudah diputuskan.
Hasil Percobaan Kinetika Adsorpsi Ion Fe(III) oleh Kitosan-GA
Pengaruh Konsentrasi
Kinetika adsorpsi menjelaskan laju pengambilan zat terlarut oleh adsorben selama penjerapan berlangsung. Gambar 11 menunjukkan hubungan kapasitas adsorpsi dengan waktu kontak pada dua kondisi konsentrasi awal yang berbeda. Data untuk Gambar 11 terdapat pada Lampiran 6. Berdasarkan Gambar 11 tersebut terlihat bahwa kapasitas adsorpsi meningkat secara signifikan setelah 30 menit baik pada larutan dengan konsentrasi awal ion Fe(III) 10 ppm maupun 30 ppm. Kemudian kapasitas adsorpsi naik secara perlahan setelah 60–150 menit. Kenaikan secara perlahan ini menunjukkan telah tercapainya kejenuhan adsorpsi.
Hal lain yang dapat dijelaskan adalah pengaruh konsentrasi awal terhadap kapasitas adsorpsi. Berdasarkan kepada Gambar 11, dapat disimpulkan bahwa nilai kapasitas adsorpsi akan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi awal ion Fe(III). Hal ini menunjukkan semakin tinggi konsentrasi maka interaksi ion Fe(III) dengan kitosan-GA semakin besar.
Gambar 11 Kurva hubungan kapasitas adsorpsi dengan waktu kontak pada dua kondisi konsentrasi awal ion Fe(III) 10 dan 30 ppm.
25
Gambar 12 Plot kinetika orde pertama semu adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA pada dua variasi konsentrasi awal 10 dan 30 ppm
Gambar 13 Plot kinetika orde kedua adsorpsi ion Fe(III) oleh
kitosan-GA pada dua variasi konsentrasi awal 10 dan 30 ppm
Tabel 9 Perbandingan konstanta laju orde pertama semu dan orde kedua serta nilai qe
Model kinetika
hasil perhitungan dan percobaan Parameter qe percobaan (mg/g) 0,5016 0,8157
Keterangan
: Kapasitas adsorpsi ion Fe(III) dalam kesetimbangan
1
k
: Konstanta laju orde pertama semu
2
R
: Konstanta laju orde kedua
26
Berdasarkan Tabel 9, nilai koefisien korelasi orde kedua lebih besar daripada orde pertama semu. Selain itu, nilai qe hitung untuk orde kedua lebih mendekati kepada nilai qe hasil percobaan. Sehingga pada penelitian ini mekanisme adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA dikendalikan oleh model kinetika orde kedua. Model kinetika orde kedua ini didasarkan kepada asumsi bahwa jumlah ion logam tidak melebihi jumlah tempat adsorpsi di permukaan adsorben, sehingga penambahan konsentrasi awal ion logam mempengaruhi kinetika secara konstan dari proses adsorpsi (Chen et al. 2008). Penelitian lain menyebutkan bahwa penggunaan kitosan bertaut silang tiourea sebagai adsorben untuk menjerap ion logam Fe(II) dan Fe(III) juga mengikuti kinetika orde kedua (Dai et al. 2012).
Pengaruh Suhu
Pengaruh suhu pada kinetika adsorpsi Fe(III) oleh serpih kitosan-GA yang diteliti menggunakan konsentrasi Fe(III) awal 30 ppm dan variasi suhu 25 oC dan 45 oC ditunjukkan oleh Gambar 14 (Lampiran 9). Hasilnya menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi pada suhu 45 oC awalnya lebih tinggi (pada t = 30 menit) kemudian lebih rendah jika dibandingkan dengan yang larutan yang dikondisikan pada suhu 25 oC. Peningkatan suhu artinya sistem diberikan energi sehingga kation-kation dalam larutan bergerak lebih cepat. Proses adsorpsi pun kecepatannya menjadi lebih besar sehingga kapasitas adsorpsi meningkat pada waktu 30 menit. Pada menit berikutnya terlihat kapasitas adsorpsi pada suhu 45 oC lebih rendah daripada larutan dengan suhu 25 oC. Hal ini menunjukkan bahwa proses adsorpsi berlangsung eksotermis atau melepaskan kalor. Kalor yang dilepaskan ini menyebabkan kelarutan ion logam bertambah sehingga jumlah ion logam yang menempel pada adsorben menjadi berkurang.
Gambar 14 Kurva hubungan kapasitas adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA dengan waktu kontak pada dua kondisi suhu 25 oC dan 45 oC
27
Gambar 15 Plot kinetika orde kedua adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA pada dua variasi suhu 25 oC dan 45 oC
Berdasarkan hasil analisis pada Lampiran 10, diketahui bahwa kinetika orde kedua masih menunjukkan proses adsorpsi yang baik, terlihat dari nilai koefisien korelasi (R2) mendekati nilai 1 dan nilai qe hitung cukup dekat dengan qe
Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 10, diketahui energi aktivasi (Ea) dari proses adsorpsi adalah sebesar 22,912 kJ/mol. Nilai ini termasuk ke dalam rentang nilai energi aktivasi adsorpsi fisika, yaitu sebesar 5-40 kJ/mol, sementara energi aktivasi untuk adsorpsi kimia berkisar 40-800 kJ/mol (Chang dan Chen 2006). Hal ini memperkuat dugaan bahwa adsorpsi ion Fe(III) oleh kitosan-GA merupakan adsorpsi fisika yang melibatkan gaya van der waals.
percobaan.
Perhitungan parameter termodinamika adsorpsi Fe(III) oleh kitosan-GA dapat dilihat pada Lampiran 11. Berdasarkan perhitungan tersebut didapatkan nilai perubahan entalpi (∆H) sebesar -6,2134 kJ/mol. Nilai ∆H yang bertanda negatif ini menunjukkan proses adsorpsi melepaskan kalor, kemudian besar kalor yang dilepaskannya adalah sebesar 6,2134 kJ/mol.
Adsorpsi Fe(III) oleh kitosan-GA memiliki nilai perubahan entropi (∆S) sebesar -0,04647 kJ/mol dan nilai perubahan energi bebas Gibbs (∆G) sebesar 7,6347 dan 8,5640 kJ/mol untuk suhu 25 oC dan 45 oC secara beruturut-turut. Nilai ∆S yang bertanda negatif menunjukkan penurunan ketidakteraturan pada antar muka adsorben dan adsorbat. Nilai ∆G yang bertanda positif ini menunjukkan proses adsorpsi pada suhu 25 oC dan 45 oC berjalan tidak spontan. Proses adsorpsi yang tidak spontan ini menunjukkan bahwa sistem memerlukan energi dari luar yang lebih besar dari Ea sehingga proses adsorpsi dapat terus berlangsung. Berdasarkan kepada nilai ∆H dan ∆S yang bertanda negatif, maka proses adsorpsi dapat berlangsung spontan pada suhu yang lebih rendah.
Hasil Percobaan Desorpsi ion Fe(III) dari Kitosan-GA
Adsorben yang menguntungkan adalah jika adsorbat mudah dilepaskan kembali dan adsorben dapat didaur ulang. Pada penelitian ini efisiensi desorpsi Fe(III) dari kitosan-GA dilakukan pada 100 mL larutan HCl 0,1 M. Hasil penelitiannya ditunjukkan pada Gambar 16 (Lampiran 12).
28
Gambar 16 Kurva desorpsi ion Fe(III) dari kitosan-GA dalam larutan HCl 0,1 M selama 150 menit
Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa persen desorpsi semakin meningkat seiring dengan bertambahnya waktu kontak. Persen desorpsi terbesar dicapai pada waktu kontak 150 menit dengan nilai sebesar 9,0605%. Nilai persen desorpsi ini sangat rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Muharam (2010) yang telah melaporkan bahwa penggunaan larutan NaCN untuk mendesorpsi ion [Au(CN)4]- dari kitosan-GA menghasilkan nilai persen desorpsi sebesar 100% dengan waktu kontak hanya 90 menit. Penyebab nilai persen desorpsi yang rendah ini dapat dikaitkan dengan nilai RSF
Proses desorpsi ini nampaknya masih terus berlanjut, karena perubahan persen desorpsi masih meningkat secara signifikan. Proses desorpsi terjadi karena lingkungan yang sangat asam menyebabkan gugus ion Fe(III) yang telah terikat kepada gugus amina kitosan-GA menjadi terlepas. Ion H
yang telah dihitung sebelumnya, yaitu sebesar 0,0434. Nilai ini hampir mendekati 0 yang menunjukkan bahwa proses adsorpsi bersifat hampir irreversible sehingga agak sulit untuk dilakukan desorpsi.
+
merupakan asam yang lebih keras dibandingkan dengan ion Fe(III) sehingga gugus amina pada adsorben kitosan-GA yang juga merupakan basa keras akan lebih memilih menarik ion H+ dibandingkan dengan ion Fe(III). Setelah terjadi desorpsi, maka gugus amina pada kitosan-GA menjadi bermuatan positif dengan menangkap ion H+.
Hasil Percobaan Pengaruh Ion Cu(II) terhadap Adsorpsi Ion Fe(III)
Penelitian pengaruh ion Cu(II) terhadap adsorpsi ion Fe(III) telah dilakukan pada kondisi buatan dan alami. Kondisi buatan adalah larutan yang terdiri atas ion logam Fe(III) dan Cu(II) dengan perbandingan konsentrasi 1:1. Sedangkan kondisi alami adalah minyak akar wangi. Hasil penelitian ini disajikan pada Tabel 10. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13.
Tabel 10 Persen adsorpsi simultan ion Fe(III) dan Cu(II) oleh kitosan-GA
29
Berdasarkan Tabel 10, persen adsorpsi ion Fe(III) yang awalnya 91,8439% mengalami penurunan menjadi 79,7244% akibat adanya ion Cu(II). Peristiwa penurunan persen adsorpsi ini menunjukkan bahwa terjadi persaingan penjerapan antara ion Fe(III) dan Cu(II). Sisi aktif adsorben yang awalnya menjerap seluruh ion Fe(III) kemudian dengan adanya ion Cu(II) maka adsorben juga menggunakan sebagian sisi aktifnya untuk menjerap ion Cu(II) dengan persen adsorpsi sebesar 29,7226%.
Persen adsorpsi untuk adsorpsi ion Fe(III) lebih besar dibandingkan dengan ion Cu(II). Hal ini dapat dijelaskan melalui teori HSAB (Hard Soft Acid Base). Ion Fe(III) termasuk ke dalam asam keras karena memiliki ukuran ion kecil dan muatan ion yang besar serta keelektronegatifan yang kecil (0,7-1,6) sedangkan ion Cu(II) termasuk ke dalam borderline (daerah peralihan antara asam keras dan asam lunak). Gugus aktif adsorben kitosan-GA adalah gugus amina (RNH2
Tabel 10 juga menyajikan data persen adsorpsi dari adsorpsi ion logam Fe(III) dan ion logam Cu(II) pada minyak akar wangi oleh kitosan-GA. Hasilnya terlihat bahwa terjadi penurunan persen adsorpsi baik untuk adsorpsi ion logam Fe(III) maupun Cu(II). Hal ini disebabkan karena ion-ion logam dalam minyak akar wangi mobilitasnya lebih rendah dibandingkan dengan kondisi buatan, sehingga laju adsorpsinya menurun. Selain itu ion logam Fe(III) dan Cu(II) dalam minyak akar wangi dapat membentuk kompleks yang cukup kuat dengan komponen-komponen penyusun minyak seperti vetiverol. Ligan ini lebih meruah dibandingkan dengan air, sehingga adsorpsi ion logam dalam minyak akar wangi menjadi lebih sulit.
) dan hidroksi (ROH) tergolong ke dalam basa keras karena memiliki atom yang sangat elektronegatif (Sugiyarto 2000). Asam keras dan basa keras akan menghasilkan interaksi yang lebih kuat dibandingkan dengan interaksi antara asam lunak atau borderline dengan basa keras.
Hasil Analisis Perubahan Warna Minyak Akar Wangi
Warna minyak akar wangi merupakan salah satu parameter mutu yang menjadi fokus pada penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak akar wangi yang awalnya berwarna gelap kemudian berubah menjadi cokelat kemerahan. Warna coklat kemerahan ini merupakan salah satu warna yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Indonesia. Perubahan warna minyak akar wangi disajikan pada Gambar 17.
Gambar 17 Warna minyak akar wangi sebelum (kiri) dan sesudah (kanan) dilakukan adsorpsi ion-ion logam oleh kitosan-GA
30
utama minyak akar wangi adalah vetiverol yang memiliki gugus hidroksil (OH). Atom hidrogen pada gugus hidroksil ini dapat disubstitusi oleh ion logam Fe(III) dan Cu(II), sehingga membentuk kompleks vetiverol-Fe dan vetiverol-Cu. Penggunaan kitosan-GA sebagai adsorben dapat menjerap ion logam Fe(III) dan Cu(II) yang terikat pada vetiverol. Analisis ini sesuai dengan hasil penelitian Tri
et al. (2007) yang telah melaporkan penggunaan asam sitrat untuk pemucatan minyak daun cengkeh. Mekanisme adsorpsi ion logam tersebut dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18 Mekanisme adsorpsi ion logam Fe(III) dan Cu(II) oleh kitosan-GA
Berdasarkan Gambar 18 dapat dilihat bahwa logam Fe(III) dan Cu(II) diadsorpsi oleh kitosan-GA melalui interaksi dengan gugus fungsi amina (NH2) dan imina (CH=NR). Gaya yang terlibat dalam interaksi ini adalah gaya Van der Waals, karena sebelumnya telah dibahas bahwa proses adsorpsi lebih mengikuti model isotermal Freundlich yang menggunakan asumsi adsorpsi fisika.
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kondisi optimum proses adsorpsi ion Fe(III) oleh serpih kitosan-GA adalah bobot adsorben 0,75 gram, suhu 25oC, dan waktu kontak 360 menit. Proses adsorpsi ion Fe(III) oleh serpih kitosan-GA cenderung mengikut i model isotermal Freundlich, kinetika reaksi orde kedua, eksotermis dan tidak spontan. Persen desorpsi kitosan-GA-Fe oleh HCl 0,1 M sebesar 9,0605% dicapai pada waktu kontak 150 menit. Keberadaan ion Cu(II) dapat menurunkan persen adsorpsi kitosan-GA terhadap ion Fe(III). Warna minyak akar wangi berubah dari coklat gelap menjadi coklat kemerahan.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai penggunaan kitosan-GA dengan derajat deasetilisasi lebih tinggi untuk melihat efisiensi bobot adsorben sehingga kapasitas adsorpsi maksimumnya meningkat.
Perlu dilakukan optimasi lebih lanjut untuk proses desorpsi Fe(III) dari kitosan-GA untuk mendapatkan persen desorpsi yang optimum.
Perlu dilakukan penelitian mengenai analisis parameter mutu yang lainnya dari minyak akar wangi sebelum dan sesudah dilakukan adsorpsi oleh kitosan-GA.
Kitosan-GA