• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bioavailabilitas Mineral Kalsium dari Tepung Tempe dan Tepung Kedelai Rebus pada Tikus Percobaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bioavailabilitas Mineral Kalsium dari Tepung Tempe dan Tepung Kedelai Rebus pada Tikus Percobaan"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BIOAVAILABILITAS MINERAL KALSIUM DARI TEPUNG

TEMPE DAN TEPUNG KEDELAI REBUS PADA TIKUS

PERCOBAAN

KHALID ASYAIFULLAH

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Bioavailabilitas Mineral Kalsium dari Tepung Tempe dan Tepung Kedelai pada Tikus Percobaan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya limpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2015

Khalid Asyaifullah

(4)

ABSTRAK

KHALID ASYAIFULLAH. Bioavailabilitas Mineral Kalsium dari Tepung Tempe dan Tepung Kedelai Rebus pada Tikus Percobaan. Dibimbing oleh SUBARNA dan MADE ASTAWAN.

Bahan pangan alternatif yang dapat menggantikan fungsi susu sebagai sumber asupan mineral dengan harga yang terjangkau dibutuhkan masyarakat Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi bioavailabilitas mineral kalsium tepung tempe dan tepung kedelai rebus terhadap kontrol (kasein), serta mengevaluasi pengaruh bioavailabilitasnya terhadap konsentrasi mineral dalam tulang, kemudian dievaluasi kemungkinannya sebagai pangan alternatif sumber mineral pengganti konsumsi susu. Penelitian dilakukan dengan menggunakan tikus percobaan sebagai model. Tikus percobaan dibagi menjadi kelompok perlakuan tepung tempe 10%, tepung tempe 20%, tepung kedelai 10% dan kasein 10% sebagai kontrol. Pemberian ransum percobaan dilakukan selama 90 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bioavailabilitas Ca tepung tempe dan tepung kedelai rebus tidak berbeda nyata dengan kontrol (kasein). Kadar dan total Ca tulang femur tikus percobaan pada semua perlakuan tidak berbeda nyata dibandingkan kontrol (Kasein). Berat kering tulang femur tikus percobaan perlakuan kontrol kasein 10% (1.11 g) tidak berbeda nyata dibandingkan semua perlakuan sampel, namun perlakuan tepung tempe 20% (1.29 g) sangat nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan tepung tempe 10% (0.98 g) dan tepung kedelai rebus 10% (0.96 g). Kata kunci: bioavailabilitas mineral, parameter tulang dan plasma, tepung kedelai

(5)

ABSTRACT

KHALID ASYAIFULLAH. Bioavailability of Mineral Calcium from Tempe Flour and Boiled Soy Flour in Rats. Supervised by SUBARNA and MADE ASTAWAN.

The food alternatives that can replace milk as a source of minerals at affordable prices is needed by Indonesian society. This study aimed to evaluate the bioavailability of minerals calcium from tempeh flour and boiled soy flour toward control (casein), and evaluate the influence of bioavailability to the mineral concentration in the bones, and then evaluate them as a possible alternative food sources of mineral to substitute milk consumption. The study was conducted using mice as a model. Mice were divided into treatment groups; tempe flour 10%, tempe flour 20%, boiled soy flour 10% and casein 10% as a control. Experiments conducted over 90 days. The results showed that the bioavailability of Ca from boiled tempe flour and soy flour was not significantly different from control (casein). Levels and total Ca in the femur of rats in all treatments were not significantly different compared to control (Casein). The dry weight of the femur of rats treated control 10% casein (1.11 g) was not significantly different compared to all the sample treatment, but the treatment of tempe flour 20% (1.29 g) was significantly higher than tempe flour 10% treatment (0.98 g) and boiled soy flour 10% (0.96 g).

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

BIOAVAILABILITAS MINERAL KALSIUM DARI TEPUNG

TEMPE DAN TEPUNG KEDELAI REBUS PADA TIKUS

PERCOBAAN

KHALID ASYAIFULLAH

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah pangan tradisional yang memiliki sifat fungsional yang baik untuk kesehatan, dengan judul Bioavailabilitas Mineral Kalsium dari Tepung Tempe dan Tepung Kedelai Rebus pada Tikus Percobaan.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pemberi dana penelitian yaitu Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kantor Pusat Jakarta melalui Kerjasama Kemitraan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nasional (KKP3N) dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Kegiatan No:64/PL.220/I.1/3/2014 tanggal 10 Maret 2014 atas nama Made Astawan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir. Subarna, MSi dan Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran, pengarahan, dan bimbingan selama penyusunan skripsi ini, serta Dr. Puspo Edi Giriwono yang telah bersedia menjadi dosen penguji tugas akhir. Di samping itu terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Tutik Wresdiyati yang telah memberi bimbingan dan bantuan dalam penelitian. Terima kasih penulis ucapkan kepada rekan selama penelitian Tessa W, Armando MG, Jefriaman S, dan teman se-dosen pembimbing Gina N yang telah bekerjasama dengan baik. Terima kasih untuk laboran dan teknisi di laboratorium SEAFAST CENTER dan laboratorium departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB; Bapak Adi, Bapak Jun, Bapak Deni, Bapak Jaenal, Bapak Rojak, Mbak Irin, dan juga staf UPT ITP yang telah memberi bimbingan dan bantuan selama penelitian berlangsung. Terima kasih untuk Bapak Yanto yang telah berbaik hati memberi pengarahan dan bantuan dalam pembuatan tempe di Rumah Tempe Indonesia. Di samping itu penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman ITP 47 yang telah memberi kebersamaan penuh arti selama kuliah dan penyelesaian tugas akhir; Anan, Disty, Vega, Alfi, Ayas, Funo, Tasa, Tep, Farisa, Nana, Qori, Tika, Anjani, Nizza, Furry, Tania, Rahmalia, Intha, Gideon Satria, Dicky dan terutama teman-teman Qobs Blasius, Bachtiar, Dil, Norman, Qabul, Uje, Tommy, Rizki, Arya, Dandy, Wawan, Rifqi, Andra, Dimas, Dani, Tirta, dan bang Nizar, serta teman-teman lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

Penulis mengharapkan segala masukan dan kritik yang membangun karena skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga skripsi tugas akhir ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan, terutama untuk perkembangan teknologi pangan. Terima kasih

Bogor, Maret 2015

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

METODE 4

Bahan 4

Alat 4

Prosedur Penelitian 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Pembuatan Tempe dan Tepung Kedelai Rebus 8

Pembuatan Tepung Tempe dan Tepung Kedelai Rebus 8

Analisis Proksimat Sampel Percobaan 9

Formulasi Ransum Pakan Percobaan 10

Bioavailabilitas Mineral Kalsium 10

Kadar Mineral Kalsium pada Serum Tikus Percobaan 12 Kadar dan Total Mineral Kalsium Tulang Femur Tikus Percobaan 13

Berat Kering Tulang Femur Tikus Percobaan 16

SIMPULAN DAN SARAN 17

Simpulan 17

Saran 17

DAFTAR PUSTAKA 18

LAMPIRAN 20

(13)

DAFTAR TABEL

1 Perhitungan Komposisi Ransum Tikus Percobaan 6 2 Rendemen Tepung Tempe dan Tepung Kedelai Rebus 9

3 Analisis Proksimat Sampel Percobaan 9

4 Komposisi bahan penyusun ransum (basis 1000g) 10 5 Total konsumsi ransum dan total asupan kalsium dalam kandang

metabolik 11

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir tahapan penelitian 5

2 Histogram daya serap dan retensi kalsium dari kasein, tepung tempe dan

tepung kedelai rebus. 11

3 Histogram kadar mineral kalsium pada serum tikus percobaan dari perlakuan kasein, tepung tempe dan tepung kedelai rebus. 13 4 Histogram kadar mineral kalsium tulang femur tikus percobaan dari

kasein, tepung tempe dan tepung kedelai rebus. 14 5 Histogram total mineral kalsium tulang femur tikus percobaan dari

kasein, tepung tempe dan tepung kedelai rebus 15 6 Histogram berat kering tulang femur tikus percobaan dari perlakuan

kasein, tepung tempe dan tepung kedelai rebus 16

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis ragam daya serap kalsium 20

2 Hasil analisis ragam retensi kalsium 21

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Asupan zat gizi makro dan mikro yang cukup dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat. Zat gizi makro meliputi karbohidrat, protein, lemak dan air. Zat gizi mikro meliputi vitamin dan mineral. Kebutuhan asupan zat gizi makro dan mikro dapat dipenuhi dengan mengonsumsi makanan yang beragam dan berimbang.

Salah satu zat gizi mikro yang diperlukan tubuh adalah mineral yang bisa diperoleh dengan mengonsumsi pangan asal hewani maupun nabati. Pangan hewani meliputi daging ruminansia, daging unggas, ikan, telur, susu serta pangan olahannya. Pangan nabati meliputi kacang-kacangan serta pangan hasil olahannya, seperti kedelai, kacang hijau, kacang tolo, tempe, tahu dan lain-lain.

Meskipun kedua kelompok pangan tersebut (pangan hewani dan pangan nabati) sama-sama mengandung mineral yang dibutuhkan tubuh, tetapi masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Secara umum pangan hewani mempunyai kandungan mineral yang lebih baik karena mineral tersebut lebih tersedia dan mudah diserap oleh tubuh. Kandungan mineral yang berasal dari sumber nabati lebih sulit untuk diserap tubuh karena umumnya pangan nabati mengandung senyawa antinutrisi yang dapat menghambat penyerapan mineral.

Pangan hewani mempunyai keunggulan dalam kemudahan penyerapan mineralnya, akan tetapi mempunyai kekurangan yaitu mengandung kolesterol dalam jumlah tinggi dan lemak jenuh. Sementara pangan nabati mempunyai keunggulan mengandung asam lemak tidak jenuh lebih tinggi, isoflavon, antioksidan dan anti-kolesterol (PGS 2014).

Untuk mewujudkan konsumsi pangan yang beragam dan berimbang, kedua macam pangan ini (hewani dan nabati) harus dikonsumsi dalam jumlah yang sesuai. Berdasarkan Pedoman Gizi Seimbang (PGS) tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI, kebutuhan pangan hewani per hari adalah 2-4 porsi (setara dengan 70-140 g/2-4 potong daging sapi ukuran sedang atau 80-160 g/2-4 potong daging ayam ukuran sedang atau 80-160 g/2-4 potong ikan ukuran sedang) sehari dan pangan protein nabati 2-4 porsi sehari (setara dengan 100-200 g/4-8 potong tempe ukuran sedang atau 200-400 g/ 4-8 potong tahu ukuran sedang) tergantung kelompok umur dan kondisi fisiologis (hamil, menyusui, lansia, anak, remaja, dewasa). Konsumsi susu asal hewan tidak dianjurkan untuk penderita diare dan lactose intolerance. Konsumsi susu nabati seperti susu dari kedelai merupakan salah satu alternatif untuk orang yang tidak dapat mengonsumsi susu asal hewan.

(16)

2

Enzim fitase secara alami ada pada kapang. Proses fermentasi yang memanfaatkan aktivitas kapang, seperti pada pembuatan tempe, enzim fitase akan diproduksi selama masa fermentasi. Kapang yang digunakan pada pembuatan tempe adalah Rhizopus oligosphorus dan Rhizopus oryzae. Penelitian yang dilakukan Almasyhuri et al. (1990) menunjukkan bahwa proses pembuatan tempe dapat menurunkan kandungan asam fitat sekitar 77.6% sampai dengan 86.9% dari kedelai mentahnya.

Penurunan kandungan asam fitat pada proses pembuatan tempe akan berpengaruh pada banyaknya mineral yang terkandung dalam tempe yang dapat diserap dan dipergunakan oleh tubuh (bioavailabilitas). Semakin besar penurunan kandungan asam fitat maka akan memperbesar bioavailabilitas dari mineral untuk digunakan oleh tubuh.

Tempe mempunyai masa simpan yang singkat, pada penyimpanan suhu ruang tempe hanya mampu bertahan 1-2 hari. Oleh karena itu diperlukan teknologi pengolahan tempe menjadi produk lain dengan umur simpan lebih panjang, seperti nuget tempe. Penelitian yang dilakukan Astawan (2014) menunjukkan nuget tempe mempunyai daya cerna protein yang tinggi secara in vitro, yaitu 82.1-83.7 persen. Upaya mengeringkan tempe dan menjadikannya berbentuk tepung juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan umur simpan tempe. Proses pembuatan tepung tempe menggunakan pengeringan oven dengan memanfaatkan panas dari api yang dihembuskan ke dalam oven. Panas yang diberikan selama pengeringan dapat mempengaruhi kandungan zat bioaktif dari tempe. Namun belum diketahui pengaruh panas yang diberikan terhadap kandungan mineral pada tepung tempe.

Upaya yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan kepadatan tulang pada massa tulang puncak adalah dengan mengonsumsi pangan sumber mineral secara mencukupi selama masa pertumbuhan. Setelah melewati usia 35 tahun, kepadatan tulang akan menurun seiring dengan proses penuaan (Lukman dan Juniarti 2009). Kepadatan tulang yang tinggi pada massa tulang puncak (peak bone mass) dapat mempertahankan deposit mineral tulang pada masa-masa selanjutnya seiring bertambahnya usia. Pangan sumber mineral yang banyak direkomendasikan oleh para ahli kesehatan saat ini adalah susu.

(17)

3 (seperti kalsium, magnesium, zink dan besi) menjadi lebih tersedia dan mudah untuk dimanfaatkan tubuh. Tempe mempunyai harga yang murah dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.

Pemodelan konsumsi pangan sumber mineral secara intensif di masa pertumbuhan dapat dilakukan dengan menggunakan tikus percobaan. Pakan yang diformulasikan dengan penambahan sampel pangan sumber mineral diberikan setiap hari mulai ketika awal masa pertumbuhan tikus percobaan, yaitu pada umur 21-28 hari, hingga masa akhir pertumbuhan tikus percobaan, yaitu pada umur sekitar 100 hari (Muchtadi 1989).

Selain jumlah mineral yang cukup dalam pangan yang dikonsumsi, tingkat penyerapan kandungan mineral dari pangan tersebut juga merupakan faktor yang penting. Tingkat keterserapan yang tinggi menunjukkan bahwa kandungan mineral dari pangan dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara maksimal. Oleh karena itu diperlukan uji bioavailabilitas untuk mengetahui besarnya kandungan mineral dari sampel yang benar-benar diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh. Uji bioavailabilitas dilakukan dengan membandingkan tingkat keterserapan dan retensi mineral kalsium (Ca) dalam tepung tempe dan tepung kedelai rebus dibandingkan dengan kontrol yang berupa ransum standar kasein. Hasil penelitian digunakan untuk mengevaluasi kemampuan tepung tempe dan tepung kedelai rebus untuk menjadi alternatif pangan sumber mineral yang selama ini identik pada susu dan produk turunannya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengevaluasi bioavaibilitas kalsium dari tepung tempe dan tepung kedelai rebus dengan melihat statusnya pada urin, feses dan tulang femur tikus percobaan.

2. Membandingkan bioavailabilitas mineral dari tepung tempe dan tepung kedelai terhadap kontrol, untuk evaluasi kelayakannya sebagai pangan alternatif sumber mineral pengganti susu.

3. Mengevaluasi daya serap dan retensi mineral kalsium serta kadar mineral kalsium dalam serum darah dari perlakuan tepung tempe dan tepung kedelai rebus terhadap konsentrasi mineral dalam tulang femur tikus percobaan.

Manfaat Penelitian

(18)

4

METODE

Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kedelai (Glycine max) lokal varietas Grobogan, air dan ragi tempe. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat pakan tikus percobaan adalah pati jagung, kasein, minyak jagung,

carboximethylcelulose (CMC), campuran mineral, tepung tempe, tepung kedelai dan campuran vitamin. Bahan yang digunakan untuk pembedahan adalah ketamine

yang digunakan untuk membius tikus percobaan. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kadar mineral adalah akuades, HCl 6M, asam encer dan larutan standar kalsium.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah alat untuk membuat tepung tempe dan tepung kedelai: ember, timbangan, panci, kompor, plastik, slicer, oven, tabung gas, blancer, pin disk mill yang dilengkapi ayakan 60 meshdan sealer. Alat untuk membuat ransum: baskom besar, baskom kecil, sendok, timbangan, plastik. Alat pemeliharaan tikus percobaan: kandang pemeliharaan, kandang metabolik, wadah ransum, botol air minum, timbangan tikus. Refrigerator untuk menyimpan sampel tepung kedelai dan tepung tempe. Neraca analitik, cawan alumunium, loyang alumunium, mortar, oven, plastik klip, papan bedah, alat bedah, alat suntik 5 ml, kertas tissue, alumunium foil, pipet, labu ukur, gelas ukur, cawan porselen, tanur listrik dan spektrofotometer absorpsi atom (AAS).

Prosedur Penelitian

(19)

5

Gambar 1 Diagram alir tahapan penelitian

Pembuatan Tempe dan Kedelai Rebus

Proses pembuatan tempe dilakukan dengan mengikuti prosedur yang diterapkan di Rumah Tempe Indonesia. Proses pembutan tempe diawali dengan penyortiran kedelai, kemudian pencucian kedelai agar bersih dari pengotor, perendaman pertama selama 2 jam untuk melunakkan kedelai, perebusan selama 60 menit, perendaman kembali selama semalam, pengupasan kulit ari dengan alat

dehuller, pencucian dan pemisahan kulit ari dan tunas, penyiraman kedelai yang telah bersih dengan air panas, penirisan dan pendinginan, peragian, pengemasan, dan fermentasi selama 40 jam. Proses pembuatan kedelai rebus dimulai dari penyortiran, pencucian kedelai, perendaman selama 2 jam untuk melunakkan kedelai, perebusan selama 60 menit hingga kedelai matang. Kedelai matang kemudian dikupas dan dibersihkan dari kulit arinya dengan alat dehuller. Kemudian dilakukan pencucian dan pemisahan kulit ari dan tunas.

Pembuatan Tepung Tempe dan Tepung Kedelai

Pembuatan tepung tempe dilakukan dengan memotong tipis tempe segar menggunakan slicer yang kemudian diblansir dengan uap panas selama 30 detik. Irisan tempe blansir kemudian dikeringkan dalam pengering rak pada suhu 60 0C selama 6 jam. Tempe kering lalu digiling menggunakan pin disk mill yang dilengkapi ayakan. Pengayakan dilakukan untuk mendapatkan tepung tempe dengan ukuran butiran yang seragam. Ukuran pengayak yang digunakan adalah 60 mesh. Pembuatan tepung kedelai dilakukan dengan mengeringkan kedelai rebus dalam oven pengering rak pada suhu 60 0C selama 6 jam. Kedelai kering kemudian digiling menggunakan pin disk mill yang dilengkapi ayakan 60 mesh. Tepung yang

Pembuatan tempe dan kedelai rebus

Pembuatan tepung tempe dan tepung kedelai rebus

Pemberian pakan percobaan secara in vivo pada tikus selama 90 hari putih

Analisis mineral Ca pada pakan, urin, feses, serum dan tulang femur dengan metode AAS

(20)

6

dihasilkan dikemas dalam plastik dan disimpan di dalam refrigerator hingga digunakan.

Teknik Formulasi Ransum Tikus Percobaan

Ransum tikus percobaan diberikan sesuai dengan kebutuhan asupan harian dan komposisinya disesuaikan dengan standar AOAC (Tabel 1). Untuk memformulasikan ransum tikus percobaan diperlukan acuan kandungan zat gizi pada sampel percobaan. Oleh karena itu terlebih dahulu dilakukan analisis proksimat pada tepung tempe, tepung kedelai dan kontrol yang berupa kasein. Tabel 1 Perhitungan komposisi ransum tikus percobaan

Komponen Sumber Jumlah Perhitungan

Protein Protein standar/

Karbohidrat Pati jagung % sisanya

− lainnya

Sumber : AOAC (1995)

Pemberian Ransum pada Tikus Percobaan

(21)

7 yang terkumpul disaring dengan menggunakan kertas saring. Feses dikeringkan dengan menggunakan oven, kemudian dibersihkan dari sisa ransum yang menempel dan digerus menggunakan mortar. Setelah masa perlakuan selama 90 hari, tikus diterminasi, tulang femur dan serum darah diambil dan dilakukan analisis kadar mineral kalsium.

Analisis Kadar Mineral Kalsium dengan Metode Atomic Absorption Spectrophotometry After Dry Ashing (AOAC 2012)

Pada akhir percobaan, dilakukan analisis kadar kalsium dari ransum, feses, urin, serum dan tulang femur tikus percobaan dengan menggunakan instrumen

Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS). Analisis ini diawali dengan menghilangkan kandungan bahan-bahan organik dari sampel dengan menggunakan proses pengabuan menggunakan tanur pada suhu 550°C sehingga tersisa residu yang bebas dari bahan-bahan organik. Residu kemudian didestruksi dengan penambahan 5 mL HCL 6M dan pemanasan pada suhu rendah di atas hot plate hingga diperoleh residu sekitar 1 mL. Residu kemudian dilarutkan dalam asam encer untuk menyempurnakan degradasi komponen organik dan diencerkan 50 kali. Hasil pengenceran kemudian disebarkan dalam nyala api (flame) yang ada dalam AAS sehingga absorpsi atau emisi logam dari residu sampel dapat dianalisis dan diukur pada panjang gelombang tertentu. Selama pegukuran larutan sampel, secara periodik nilai standar dilihat kekonstanannya. Kemudian dibuat kurva standar untuk logam mineral yang akan dianalisis. Kurva standar digunakan untuk menghitung konsentrasi logam mineral dari sampel. Perhitungan konsentrasi logam mineral sampel dilakukan dengan rumus berikut:

Konsentrasi mineral (mg/kg) = a ×V

Keterangan: a = konsentrasi larutan sampel (mg/L) V = volume pengenceran (mL)

m = bobot sampel (kg)

Analisis Bioavailabilitas Mineral Kalsium

Analisis bioavailabilitas mineral dilakukan berdasarkan absorpsi nyata mineral yang merupakan selisih antara kandungan mineral pangan yang dikonsumsi dengan mineral yang diekskresikan lewat feses (Allen 1982). Selain itu juga dilakukan pengukuran retensi mineral yang merupakan selisih antara kandungan mineral pangan yang dikonsumsi dengan jumlah mineral yang diekskresikan lewat feses dan urin. Perhitungan bioavailabilitas dinyatakan dalam satuan persen (%) dengan rumus sebagai berikut:

Daya serap mineral = a upa i a − i a

(22)

8

Retensi mineral = a upa i a − i a − i a u i

a upa i a x 100%

Analisis selanjutnya yang dilakukan adalah uji kandungan mineral serum darah tikus percobaan. Analisis ini dilakukan untuk membandingkan kandungan mineral dalam serum antara kontrol, yaitu tikus percobaan yang diberi ransum standar kasein, dengan tikus percobaan yang diberi ransum perlakuan. Selain itu juga dilakukan uji kadar dan total mineral pada tulang femur tikus percobaan. Analisis kadar mineral dalam tulang femur tikus percobaan menggunakan instrumen AAS, hal ini sesuai dengan analisis yang dilakukan dalam penelitian Martinez-Flores et al. (2002), Sedangkan total mineral dalam tulang femur dihitung dengan cara mengalikan kadar mineral tulang femur hasil analisis dengan berat kering tulang femur yang dianalisis. Analisis terakhir yang dilakukan adalah uji berat kering tulang femur tikus percobaan. Analisis ini dilakukan untuk membandingkan berat kering tulang femur tikus percobaan kontrol dengan tikus percobaan perlakuan. Berat kering tulang femur tikus percobaan dilakukan dengan menimbang tulang femur yang telah dibersihkan dari daging yang menempel dan telah dikeringkan dengan menggunakan oven.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan Tempe dan Kedelai Rebus

Kedelai yang digunakan untuk pembuatan tempe dan kedelai rebus adalah kedelai lokal varietas grobogan. Varietas lokal ini mempunyai keunggulan umurnya lebih pendek, polongnya besar, dan tingkat kematangan polong dan daun bersamaan, sehingga pada saat dipanen daun kedelai sudah rontok (BPTPI 2010). Kedelai lokal varietas grobogan memiliki ukuran terbesar (19.53g/100 biji) dibandingkan kedelai impor GMO dan Non-GMO, serta kedelai lokal varietas Anjasmara dan Agromulyo, tetapi tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap rendemen tempe yang dihasilkan (Astawan 2013). Pembuatan tempe dilakukan berdasarkan standar pembuatan tempe higienis produksi Rumah Tempe Indonesia. Tempe yang dihasilkan memiliki tekstur yang kompak dan padat. Hal ini dikarenakan pada saat proses pembuatan tempe, kedelai yang telah dikemas dalam plastik dipadatkan dengan menggunakan alat yang terbuat dari balok kayu yang datar. Tempe yang dihasilkan memiliki bau, warna dan rasa yang normal dan khas tempe sesuai dengan standar SNI (2009).

Pembuatan Tepung Tempe dan Tepung Kedelai Rebus

(23)

9 mentah (kedelai yang tidak direbus). Tepung kedelai mentah masih mengandung banyak zat anti-nutrisi yang dapat menghambat penyerapan mineral dalam tubuh. Sedangkan pada tepung kedelai rebus telah berkurang kandungan zat anti-nutrisinya dikarenakan adanya proses perebusan. Asam fitat meskipun dapat larut dalam air dan menurun kadarnya dengan proses pemanasan, namun tidak dapat menghilangkan asam fitat dalam jumlah besar, sebab proses pemanasan yang berlebih akan merusak dan mengurangi nilai gizi kedelai (Kanetro dan Hastuti 2006). Penelitian yang dilakukan Almasyhuri et al. (1990) menunjukkan bahwa proses pembuatan tempe dapat menurunkan kandungan asam fitat sekitar 77.6%-86.9% dari kedelai mentahnya. Penelitian yang dilakukan oleh Singh (2015) menyebutkan, anti-nutrisi yang berkurang setelah dilakukan perebusan pada sayuran berdaun adalah nitrat, fitat dan oksalat. Mursyid (2014) menjelaskan dalam penelitannya bahwa secara umum nilai gizi protein tepung tempe yang terbuat dari kedelai lokal varietas grobogan memiliki kualitas yang sama dengan tepung tempe kedelai Non-GMO, tetapi lebih tinggi dibandingkan tepung tempe kedelai GMO dalam hal nilai true protein digestibility (TPD).

Proses pembuatan tepung tempe dan tepung kedelai rebus dilakukan dalam dua batch. Rendemen pembuatan tepung tempe dan tepung kedelai rebus dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel tersebut menunjukkan bahwa rataan rendemen tepung tempe lebih rendah dibandingkan rendemen tepung kedelai rebus. Rendemen tepung tempe sebesar 57.5 persen dari bahan segarnya yang berupa kedelai kering, sedangkan rendemen tepung kedelai rebus sebesar 65 persen dari bahan segar berupa kedelai kering. Rendemen tepung tempe lebih rendah dikarenakan terdapat tempe yang tertinggal selama proses, seperti pada proses blancing, terdapat bagian tempe yang terlepas dan menempel pada lubang-lubang yang terdapat pada konveyor besi. Pada proses penggilingan dan pengayakan, terdapat tepung tempe yang terbang keluar dari alat pin disk mill.

Tabel 2 Rendemen tepung tempe dan tepung kedelai rebus Bahan

Analisis proksimat dilakukan terhadap sampel percobaan yaitu tepung tempe, tepung kedelai dan kasein. Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi pada sampel percobaan. Hasil analisis proksimat (Tabel 3) digunakan untuk acuan formulasi ransum tikus percobaan.

Tabel 3 Analisis proksimat sampel percobaan

Sampel Kadar (%bb)

Air Abu Protein Lemak Serat kasar

Kasein 9.88 0.59 89.44 0.30 0.52

Tepung tempe 4.34 1.80 51.73 25.36 6.46

(24)

10

Formulasi Ransum Tikus Percobaan

Hasil analisis proksimat sampel percobaan yang didapat kemudian dijadikan acuan untuk formulasi ransum tikus percobaan. Formulasi bahan-bahan yang digunakan untuk ransum masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4. Pada formulasi ransum selain kelompok kasein tidak ditambahkan CMC (carboximethylcelulose) dikarenakan dari hasil uji proksimat diketahui bahwa kandungan serat yang terkandung dalam sampel sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan asupan untuk ransum tikus percobaan. Pada formulasi ransum kelompok perlakuan tepung tempe 20% juga tidak ditambahkan minyak jagung dikarenakan jumlah lemak yang terkandung di dalamnya sudah memenuhi kebutuhan asupan ransum tikus percobaan.

Tabel 4 Komposisi bahan penyusun ransum (basis1000g) Kelompok

Kasein 10% : 10% protein dalam ransum berasal dari kasein

Tepung kedelai rebus 10% : 10% protein dalam ransum berasal dari tepung kedelai rebus

Tepung tempe 10% : 10% protein dalam ransum berasal dari tepung tempe Tepung tempe 20% : 20% protein dalam ransum berasal dari tepung tempe

Bioavailabilitas Mineral Kalsium

(25)

11 untuk pertumbuhan, masa kehamilan dan menyusui. Selain pengukuran daya serap, analisis bioavailabilitas dengan metode keseimbangan mineral juga dilihat dari retensi mineral tersebut (Allen 1982; Sabatier et al. 2002). Pengukuran retensi dilakukan untuk melihat banyaknya mineral yang dapat ditahan oleh tubuh setelah diserap.

Tabel 5 Total konsumsi ransum dan total asupan kalsium selama dalam kandang metabolik

Perlakuan Total Konsumsi Ransum (g)

Total Asupan Kalsium (mg)

Kasein 10% (kontrol) 133.09±8.2a 2121.86±131.1bc Tepung kedelai rebus 10% 116.09±6.6b 1639.30±93.3c Tepung tempe 10% 123.63±15.8a 1822±232.2a Tepung tempe 20% 153.93±17.5a 2424.92±276.3ab

Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan *berbeda nyata (p<0.05) atau **berbeda sangat nyata (p<0.01)

Bioavailabilitas penting untuk diketahui dikarenakan kandungan mineral yang tinggi dalam bahan pangan tidak menjamin daya serapnya tinggi pula. Hasil analisis daya serap dan retensi kalsium dari perlakuan kasein 10% sebagai kontrol, tepung tempe 10%, tepung tempe 20% dan tepung kedelai 10% pada tikus percobaan, serta hasil analisis statistikanya ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Histogram daya serap dan retensi kalsium dari kasein, tepung tempe dan tepung kedelai rebus.

Hasil analisis ragam (Lampiran 1) menunjukkan perlakuan ransum tikus percobaan tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap daya serap kalsium. Hal ini menunjukkan bahwa semua kelompok perlakuan yaitu tepung kedelai rebus 10%, tepung tempe 10% dan tepung tempe 20 % dapat dikatakan mempunyai daya serap kalsium yang tidak berbeda dengan kontrol kasein 10%. Artinya semua perlakuan sampel tersebut dapat dijadikan pangan sumber kalsium

72.65±5.7a 72.54±5.7a

(26)

12

alternatif pengganti susu, dikarenakan mempunyai daya serap yang tidak berbeda dengan susu yang diwakilkan oleh daya serap kontrol berupa kasein 10%.

Retensi mineral diperlukan untuk mengevaluasi banyaknya mineral yang dapat ditahan oleh tubuh untuk dimetabolisme. Retensi mineral diperoleh dari selisih mineral yang dikonsumsi dengan mineral yang diekskresikan melalui feses dan urin. Mineral yang diekskresikan melalui feses menunjukkan mineral yang tidak diserap oleh tubuh. Mineral yang diekskresikan melalui urin menunjukkan mineral yang tidak digunakan untuk metabolisme tubuh. Hasil analisis ragam retensi kalsium (Lampiran 2) menunjukkan perlakuan ransum tikus percobaan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap retensi kalsium. Hal ini menunjukkan bahwa retensi kalsium dari semua perlakuan sampel yang dilakukan tidak berbeda dibandingkan dengan retensi dari kontrol yang dianalogikan sebagai retensi kalsium susu. Jika dilihat dari sisi retensi kalsium, maka semua perlakuan, baik tepung kedelai rebus 10%, tepung tempe 10% maupun tepung tempe 20% dapat dijadikan sebagai pangan alternatif pengganti susu.

Hasil analisis statistik bioavailabilitas mineral memperlihatkan bahwa, daya serap dan retensi kalsium dari semua perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan kasein 10%. Daya serap dan retensi perlakuan tepung kedelai rebus 10% terhadap kasein 10% pada penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kamao et al. (2000) yang melakukan penelitian sejenis dengan menggunakan sampel perlakuan berupa isolat protein kedelai (SPI) dan kasein. Daya serap dan retensi kalsium pada SPI tidak berbeda nyata dibandingkan daya serap dan retensi perlakuan kasein. Sebaliknya, daya serap dan retensi perlakuan tepung tempe 10% dan 20% terhadap kasein10% pada penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang juga dilakukan oleh Kamao et al. (2000), yang mana menyebutkan bahwa, daya serap dan retensi kalsium dari sampel ransum protein kedelai bebas fitat (PFS) nyata lebih tinggi dibandingkan daya serap dan retensi dari ransum kasein. Perbedaan ini kemungkinan dikarenakan pada sampel PFS yang digunakan pada penelitian Kamao et al. (2000) benar-benar hampir bebas fitat (kurang lebih 0.15%). PFS disiapkan dengan pengendapan asam menggunakan larutan NaCl berkonsentrasi tinggi. Sementara itu, kandungan fitat pada produk tepung tempe lebih tinggi dibandingkan PFS. Penelitian yang dilakukan Reyes-Bastidas (2010) tentang pengaruh fermentasi terhadap kandungan fisikokimia dan nutrisi tepung tempe yang berasal dari kacang common (Phaseolus vulgaris L.), menghasilkan penurunan kandungan asam fitat sebesar 58.3%. Penelitian yang dilakukan Haron et al. (2010) yang menyatakan bahwa daya serap kalsium dari tempe tersedia dalam jumlah yang sama dibandingkan susu. Pernyataan tersebut mendukung hasil penelitian ini pada daya serap kalsium perlakuan tepung tempe 10% dan 20%.

Kadar Mineral Kalsium pada Serum Tikus Percobaan

(27)

13 tubuh ditemukan pada tulang dan gigi, sementara sekitar 1% ditemukan didalam cairan ekstrasel, seperti serum dan plasma darah. Kalsium selain berperan utama sebagai pembentuk dan pemelihara tulang dan gigi, juga mempunyai peran fisiologis dalam proses pembekuan darah dan kontraksi otot, yaitu untuk merelaksasikan otot setelah berkontraksi (Nieves 2005). Keseimbangan kalsium di dalam serum diatur oleh tubuh melalui pengukuran level kalsium. Level kalsium yang rendah akan merangsang sistem pencernaan untuk meningkatkan penyerapan kalsium terhadap makanan yang masuk saluran pencernaan, sedangkan ketika level kalsium telah tinggi, akan merangsang sistem pencernaan untuk mengurangi penyerapan kalsium. Selain itu faktor lain yang mempengaruhi penyerapan kalsium yaitu jumlah asupan harian kalsium, kerja hormon seperti parathormon (PTH) dan 1,25 dihydroxyvitamin D3, dan estrogen (Ghosh dan Joshi 2008).

Kadar dari mineral kalsium pada serum tikus percobaan dari berbagai kelompok perlakuan, yaitu perlakuan tepung kedelai 10%, tepung tempe 10%, tepung tempe 20% dan kontrol kasein 10% dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Histogram kadar mineral kalsium pada serum tikus percobaan dari perlakuan kasein, tepung tempe dan tepung kedelai rebus.

Hasil analisis ragam (Lampiran 3) menunjukkan perlakuan ransum tikus tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap kadar kalsium serum tikus percobaan. Hal ini menunjukkan kadar mineral kalsium serum darah tikus percobaan dari semua perlakuan baik tepung kedelai rebus 10%, tepung tempe 10% maupun tepung tempe 20% tidak berbeda dibandingkan kontrol kasein 10%.

Kadar dan Total Mineral Kalsium Tulang Femur Tikus Percobaan

Sekitar 99% kalsium dalam tubuh ditemukan dalam tulang dan gigi dan hanya sekitar 1% ditemukan pada cairan ekstrasel (Bulshinsky dan Monk 1998). Asupan dan bioavailabilitas kalsium yang mencukupi terutama pada masa pertumbuhan, akan berpengaruh terhadap kepadatan massa tulang di masa puncaknya. Kepadatan tulang yang maksimal di masa puncak terkait dengan kesehatan tulang karena

(28)

14

berpengaruh terhadap penurunan kecepatan terkikisnya massa tulang akibat penyerapan kembali mineral-mineral tulang di usia tua.

Kadar kalsium tulang femur tikus percobaan menunjukkan banyaknya kalsium yang terendapkan pada tulang femur tersebut. Pengukuran kadar kalsium ini dilakukan pada saat tikus percobaan mencapai akhir masa pertumbuhannya, yang dianalogikan dengan masa akhir pertumbuhan manusia pada umur sekitar 30 tahun, yang mana merupakan masa puncak densitas massa tulang. Kalsium yang berasal dari susu merupakan sumber kalsium utama yang direkomendasikan. Kebiasaan mengonsumsi pangan sumber kalsium dapat memberikan cadangan kalsium yang diperlukan dalam pertumbuhan dan pembentukan tulang yang tercermin pada densitas tulang dan ukuran tulang (Hardinsyah et al. 2008).

Hasil analisis kadar mineral kalsium pada tulang femur tikus percobaan pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Histogram kadar mineral kalsium tulang femur tikus percobaan dari kasein, tepung tempe dan tepung kedelai rebus.

Hasil analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan perlakuan ransum tikus tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap kadar kalsium tulang femur tikus percobaan. Hal tersebut menunjukkan kadar kalsium tulang femur tikus percobaan dari semua perlakuan tidak berbeda nyata dibandingkan kontrol kasein 10%. Hal ini menandakan konsumsi kalsium yang berasal dari protein tepung kedelai rebus 10% dan protein tepung tempe 10% maupun 20% menghasilkan kadar kalsium yang tidak berbeda dengan konsumsi kalsium dari susu, sehingga ketiganya mempunyai peluang untuk menggantikan susu sebagai sumber kalsium. Oleh karena konsumsi protein tepung tempe 10% saja sudah menghasilkan kadar kalsium dalam tulang femur yang tidak berbeda dengan susu, maka konsumsi dalam konsentrasi yang lebih besar tidak diperlukan.

Kadar mineral dalam tulang femur tikus percobaan dapat diukur langsung dari hasil analisis dengan instrument AAS, sedangkan total mineral tulang femur tikus percobaan pada umumnya dihitung dengan mengalikan kadar mineral tulang femur hasil analisis dengan berat kering tulang femur yang dianalisa. Total mineral tulang femur tikus percobaan menunjukkan jumlah riil mineral dalam tulang femur

48540±13720a

(29)

15 tersebut. Hasil analisis total mineral kalsium pada tulang femur tikus percobaan pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 5.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa ransum perlakuan tikus memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap total kalsium (Lampiran 5) tulang femur tikus percobaan pada semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa total kalsium tulang femur tikus percobaan dari semua perlakuan sampel tidak berbeda dibandingkan kontrol kasein 10%. Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Kamao et al. (2000) yang menyatakan konsentrasi Ca pada femur tikus percobaan yang diberi pakan protein kedelai bebas fitat dan isolat protein kedelai selama 5 minggu tidak berbeda dibandingkan yang diberi pakan kasein.

Gambar 5 Histogram total mineral kalsium tulang femur tikus percobaan dari kasein, tepung tempe dan tepung kedelai rebus

Evaluasi daya serap dan retensi mineral kalsium, serta kadar mineral kalsium dalam serum darah dari perlakuan tepung tempe dan tepung kedelai rebus terhadap konsentrasi mineral dalam tulang femur tikus percobaan menunjukkan, dari uji statistika baik kadar maupun total mineral kalsium tulang femur tidak berbeda nyata antar semua perlakuan. Namun jika dilihat dari tren grafik yang dihasilkan, kadar kalsium tulang femur tren grafiknya berbeda dengan total kalsium tulang femur. Grafik kadar kalsium tulang femur menunjukkan perlakuan tepung tempe 10% lebih tinggi grafiknya dibandingkan perlakuan tepung tempe 20%, akan tetapi pada grafik total kalsium tulang femur menunjukkan perlakuan tepung tempe 20% lebih tinggi grafiknya dibandingkan tepung tempe 10%. Hal ini terjadi dikarenakan berat tulang femur kering perlakuan tepung tempe 20% lebih tinggi dibandingkan tepung tempe 10%. Sehingga meskipun kadar kalsium hasil analisis perlakuan tepung tempe 20% lebih rendah dari tepung tempe 10%, perhitungan total kalsium menunjukkan perlakuan tepung tempe 20% lebih tinggi dibandingkan tepung tempe 10%.

(30)

16

Berat Kering Tulang Femur Tikus Percobaan

Puncak pembentukan massa tulang terjadi di akhir masa pertumbuhan. Pada manusia terjadi pada usia sekitar 30 tahun. Konsumsi dan penyerapan yang cukup mineral-mineral pembentuk massa tulang di masa muda dan remaja akan memaksimalkan kepadatan dan ukuran tulang pada massa tulang puncak (peak bone mass) (Hardinsyah et al. 2008). Semakin tinggi kepadatan dan massa tulang, tentunya akan berpengaruh terhadap meningkatnya berat tulang tersebut. Pada penelitian ini, hal tersebut diuji coba dengan menggunakan tikus percobaan sebagai model. Pakan perlakuan diberikan setiap hari mulai ketika awal masa pertumbuhan tikus percobaan, yaitu pada umur 21-28 hari, hingga masa akhir pertumbuhan tikus percobaan, yaitu pada umur sekitar 100 hari (Muchtadi 1989). Setelah dilakukan terminasi dan pembedahan untuk mengambil tulang femur tikus percobaan, kemudian dilakukan penimbangan terhadap tulang femur yang telah dikeringkan terlebih dahulu.

Penimbangan tulang femur kering tikus percobaan dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh perlakuan terhadap kondisi tulang tikus percobaan. Bioavailabilitas mineral yang lebih tinggi dari sampel perlakuan tentunya akan berpengaruh terhadap berat tulang femur yang lebih tinggi pula. Hasil analisis berat kering tulang femur tikus percobaan dapat dilihat pada Gambar 6.

Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa berat kering tulang femur tikus percobaan yang tertinggi terdapat pada perlakuan tepung tempe 20%, kemudian diikuti oleh perlakuan kontrol kasein 10%, perlakuan tepung tempe 10% dan yang terendah pada perlakuan tepung kedelai rebus 10%. Hal ini menunjukkan bahwa berat tulang tertinggi diperoleh pada ransum tikus percobaan dengan perlakuan tepung tempe 20%, dan yang terendah pada perlakuan tepung kedelai rebus 10%.

Gambar 6 Histogram berat kering tulang femur tikus percobaan dari perlakuan kasein, tepung tempe dan tepung kedelai rebus

Hasil analisis ragam terhadap berat kering tulang femur tikus percobaan (Lampiran 6) menunjukkan ransum perlakuan tikus yang diberikan berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap berat kering tulang femur tikus percobaan. Hasil uji beda lanjut Duncan (Lampiran 6) menunjukkan bahwa berat kering tulang femur

1.11±0.2ab

(31)

17 tikus percobaan perlakuan kontrol kasein 10% tidak berbeda nyata dibandingkan semua perlakuan sampel, namun perlakuan tepung tempe 20% sangat nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan tepung tempe 10% dan tepung kedelai rebus 10%. Hal ini kemungkinan terjadi dikarenakan kadar protein dari ransum perlakuan tepung tempe 20% lebih tinggi dibandingkan perlakuan tepung tempe 10% dan tepung kedelai 10%. Menurut NIH (2012) tulang tidak hanya tersusun dari mineral. Penyusun terbesar tulang adalah kolagen. Kolagen merupakan protein yang menjadi kerangka lembut dari tulang, dan dengan adanya mineral berupa kalsium fosfat, kerangka dari kolagen tersebut menjadi bertambah kekuatan dan kekerasannya. Kombinasi kolagen dan kalsium membuat tulang menjadi kuat dan cukup lentur untuk menahan tekanan. Penelitian yang dilakukan Haron et al. (2010) yang menyatakan, konsumsi tempe dapat memenuhi keterserapan kalsium secara signifikan bagi wanita postmenopause di Malaysia. Keterserapan kalsium yang lebih tinggi akan berpengaruh terhadap berat tulang menjadi lebih tinggi pula. Selain itu hasil penelitian yang dilakukan Kamao et al. (2000) pada tulang femur tikus percobaan yang diberi perlakuan pakan protein kedelai bebas fitat, isolat protein kedelai dan kasein, menghasilkan data bahwa pada parameter kepadatan mineral tulang, berat abu tulang dan kekuatan mekanik tulang, tidak berbeda pada ketiga perlakuan tersebut, kecuali pada kepadatan mineral tulang femur perlakuan protein kedelai bebas fitat yang nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan isolat protein kedelai.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Bioavailabilitas mineral kalsium dari konsumsi tepung kedelai rebus dengan kadar protein ransum 10% dan tepung tempe dengan kadar protein ransum 10% dan 20% tidak berbeda nyata dengan kontrol kasein 10%.

Evaluasi daya serap dan retensi mineral kalsium serta kadar mineral kalsium dalam serum darah dari perlakuan tepung tempe dan tepung kedelai rebus terhadap konsentrasi mineral dalam tulang femur tikus percobaan menunjukkan bahwa, mineral kalsium dari perlakuan tepung tempe 20% banyak menumpuk pada tulang, yang menyebabkan berat kering tulang femur tikus percobaan perlakuan tepung tempe 20% nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan tepung tempe 10% dan tepung kedelai rebus 10%.

Berdasarkan aspek bioavailabilitas mineral kalsium, kadar mineral kalsium serum, kadar dan total mineral kalsium, serta berat kering tulang femur tikus percobaan, perlakuan tepung kedelai rebus 10%, tepung tempe 10% dan 20% mempunyai pengaruh yang sama atau bahkan nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol (kasein). Hal ini menandakan tepung tempe maupun tepung kedelai rebus layak menjadi makanan alternatif pengganti susu sebagai sumber mineral kalsium

Saran

(32)

18

pengujian dengan subjek manusia, sehingga diketahui pengaruh riil konsumsi sampel terhadap kondisi tulang dan kondisi fungsi fisiologis tubuh pada manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Allen LH. 1982. Calcium bioavailability and absorption: a review. Am J Clin Nutr. Almasyhuri, Yuniati H, Slamet DS. 1990. Kandungan asam fitat dan tanin dalam

kacang-kacangan yang dibuat tempe. JPGM 13:65-72.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemistry (US). 1995. Official Method of Analysis AOACInternational: Maryland,USA.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemistry (US). 2012. AOAC Official Method 942.05. Ash of Animal Feed, AOACInternational: Maryland, USA. Astawan M. 2008. Sehat dengan Tempe. Jakarta (ID): Dian Rakyat.

Astawan M. 2009. Sehat Dengan Hidangan Kacang dan Biji-Bijian. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Astawan M, Wresdiyati T, Widowati S, Bintari SH, Ichsani N. 2013. Karakter fisikokimia dan sifat fungsional tempe yang dihasilkan dari berbagai varietas kedelai. Pangan 22(3):209-286.

Astawan M, Adiningsih NR, Palupi NS. 2014. Evaluasi kualitas nuget tempe dari berbagai varietas kedelai. Pangan 23(3):244-255.

[BPS] Badan Pusat Statistik (ID).2013. Survei Sosial Ekonomi Nasional 2013: Jakarta, Indonesia.

[BPTPI] Bank Pengetahuan Tanaman Pangan Indonesia (ID). 2010. Informasi Ringkas Kedelai Varietas Lokal Grobogan. Bank Pengetahuan Tanaman Pangan Indonesia: Jakarta, Indonesia.

Bulshinsky DA, Monk RD. 1998. Electrolyte Quintet: Calcium. Lancet 11: 352:306.

[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations (IT). 2015. Milk and milk products facts: Roma, Italia.

Ghosh AK, Joshi SR. 2008. Disorders of calcium, phosphorus and magnesium metabolism. J Assoc Physic Ind 56:613-621.

Hardinsyah, Damayanthi E, Zulianti W. 2008. Hubungan konsumsi susu dan kalsium dengan densitas tulang dan tinggi badan remaja. J Giz Pang 3(1):43-48.

Haron H, Shahar S, O’brien KO, Ismail A, Kamaruddin N, Rahman SA. 2010.

Absorption of calcium from milk and tempeh consumed by postmenopausal Malay women using the dual stable isotope technique. Intern J Food Scien Nutr

(33)

19 Khomsan A. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta(ID):

Gramedia Widiasarana Indonesia.

Lukman M, Juniarti N. 2009. Skrining Osteoporosis: Hubungan Usia dan Jenis Kelamin dengan Kejadian Osteoporosis di Desa Cijambu Kecamatan Tanjungsari. Maj Keper Unpad 10(19):18-26.

Martinez-Flores HE, Figueroa JDC, Martinez-Bustos F, Gonzalez-Fernandez J, Rodriguez-Garcia ME, Banos-Lopez AML, Garnica-Romo MG. 2002. Physical properties and composition of femurs of rat fed with diet based on corn tortillas made from different processes. Int J Food Sci Nutr 53:155-162.

Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Mursyid, Astawan M, Muchtadi D, Wresdiyati T, Widowati S, Bintari SH, Suwarno M. 2014. Evaluasi nilai gizi protein tepung tempe yang terbuat dari varietas kedelai impor dan lokal. Pangan 23(1):33-42.

Nieves JW. 2005. Osteoporosis : the role of micronutrients. Am J Clin Nutr

81:1232S-1239S.

[NIH] National Institutes of Health (US). 2012. What Is Bone?. NIH Osteoporosis and Related Bone Desease-National Resource Center: Bethesda, USA.

[PGS] Pedoman Gizi Seimbang (ID). 2014. Pedoman Gizi Seimbang. Kementrian Kesehatan RI: Jakarta, Indonesia.

Reyes-Bastidas M, Reyes-Fernandez EZ, Lopez-Cervantes J, Milan-Carrillo J, Loarca-Pina GF, Reyes-Moreno C. 2010. Physicochemical, nutritional and antioxidant properties of tempeh flour from common bean (Phaseolus vulgaris

L.). Food Sci Tech Int 16(5):0427-0434.

Sabatier M, Arnaud MJ, Kastenmayer P, Rytz A, Barclay DV. 2002. Meal effect on magnesium bioavailability from mineral water in healthy women. Am J Clin Nutr 75:65-71

Singh S, Swain S, Singh DR, Salim KM, Nayak D, Roy SD. 2015. Changes in phytochemicals, anti-nutrients and antioxidant activity in leafy vegetables by microwave boiling with normal and 5% NaCl solution. Food Chem 176:244-253.

(34)

20

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil analisis ragam daya serap kalsium Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Daya_serap_Ca

Source Type III Sum of

Squares

df Mean Square F Sig.

Corrected Model 202.528a 3 67.509 1.610 .226

Intercept 95436.783 1 95436.783 2276.018 .000

Perlakuan 202.528 3 67.509 1.610 .226

Error 670.904 16 41.931

Total 96310.215 20

Corrected Total 873.432 19

(35)

21 Lampiran 2 Hasil analisis ragam retensi kalsium

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Retensi_Ca

Source Type III Sum of

Squares

df Mean Square F Sig.

Corrected Model 205.497a 3 68.499 1.625 .223

Intercept 94978.653 1 94978.653 2252.741 .000

Perlakuan 205.497 3 68.499 1.625 .223

Error 674.582 16 42.161

Total 95858.732 20

Corrected Total 880.079 19

(36)

22

Lampiran 3 Hasil analisis ragam kadar kalsium serum tikus percobaan Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Kadar_Ca_serum

Source Type III Sum of

Squares

df Mean Square F Sig.

Corrected Model 3.211a 3 1.070 2.290 .117

Intercept 5740.966 1 5740.966 12280.010 .000

Perlakuan 3.211 3 1.070 2.290 .117

Error 7.480 16 .468

Total 5751.657 20

Corrected Total 10.691 19

(37)

23 Lampiran 4 Hasil analisis ragam kadar Ca tulang femur tikus percobaan

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Kadar_Ca_tulang_femur

Source Type III Sum of

Squares

df Mean Square F Sig.

Corrected Model 526598983.602a 3 175532994.534 3.127 .055

Intercept 33106813491.4

20 1

33106813491.4

20 589.856 .000

Perlakuan 526598983.602 3 175532994.534 3.127 .055

Error 898031129.802 16 56126945.613

Total 34531443604.8

25 20

Corrected Total 1424630113.40

5 19

(38)

24

Lampiran 5 Hasil analisis ragam total Ca tulang femur tikus percobaan Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Total_Ca_tulang_femur

Source Type III Sum of

Squares

df Mean Square F Sig.

Corrected Model 101194.035a 3 33731.345 3.250 .050

Intercept 3900825.048 1 3900825.048 375.873 .000

perlakuan 101194.035 3 33731.345 3.250 .050

Error 166048.465 16 10378.029

Total 4168067.548 20

Corrected Total 267242.500 19

(39)

25 Lampiran 6 Hasil analisis ragam berat kering tulang femur tikus percobaan

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Berat_tulang_kering

Source Type III Sum of

Squares

df Mean Square F Sig.

Corrected Model .339a 3 .113 8.906 .001

Intercept 23.588 1 23.588 1860.246 .000

perlakuan .339 3 .113 8.906 .001

Error .203 16 .013

Total 24.130 20

Corrected Total .542 19

a. R Squared = .625 (Adjusted R Squared = .555)

Berat_tulang_kering

Duncan

perlakuan N Subset

1 2

tepung kedelai rebus 10% 5 .9600

tepung tempe 10% 5 .9840

kasein10% 5 1.1120 1.1120

tepung tempe 20% 5 1.2880

Sig. .059 .025

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = .013.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.

(40)

26

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1 Diagram alir tahapan penelitian
Tabel 2 Rendemen tepung tempe dan tepung kedelai rebus
Tabel 4 Komposisi bahan penyusun ransum (basis1000g)
Gambar 2  Histogram daya serap dan retensi kalsium dari kasein, tepung tempe dan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Ket Rekapitulasi Hasil Monitoring Bantuan Perkuatan KUMKM Tahun 2000-2007. PERIODE : SEMESTER II TAHUN 2014 Provinsi

Pokja Pengadaan untuk Paket Pengadaan Pengadaan Alat LAb IPA SMP (Bantuan Provinsi) pada Dinas Pendidikan Kabupaten Wonogiri Tahun Anggaran 2016 ULP

(nilai yang ditanamkan: Disiplin, Kerja keras, Kreati, Rasa ingin tahu, Cinta Tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat, Cinta damai, Gemar membaca,

Alat yang digunakan untuk analisis dalam penelitian ini adalah analisis pertumbuhan ekspor, analisis kontribusi ekspor, dan untuk mengetahui pengaruh output produksi

Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Febrina (2011) dapat dikatakan bahwa leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap kebijakan pengungkapan

Upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga sistem pernapasan diantaranya ialah dengan menggunakan masker jika berada di jalan raya atau ketika sedang bersih-bersih, tidak

Analisis aspek pasar menilai besar pangsa pasar dari mesin tersebut, analisis aspek teknis dengan menganalisis kebutuhan ruang untuk mesin tersebut dan juga melihat kapasitas

Pada level ini seseorang dituntut mampu melaksanakan tugas/pekerjaan yang bersifat dengan pilihan-pilihan yang sangat luas terhadap sejumlah prosedur yang baku dan tidak