• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsentrasi Bilirubin, Aktivitas Aspartat Aminotransferase dan Alanin Aminotransferase pada Anjing yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsentrasi Bilirubin, Aktivitas Aspartat Aminotransferase dan Alanin Aminotransferase pada Anjing yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

KONSENTRASI BILIRUBIN, AKTIVITAS ASPARTAT

AMINOTRANSFERASE DAN ALANIN

AMINOTRANSFERASE PADA ANJING

YANG TERINFEKSI

Babesia

sp. KRONIS

CINTHYARINDI TIFFANI LESTARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Konsentrasi Bilirubin, Aktivitas Aspartat Aminotransferase dan Alanin Aminotranferase pada Anjing yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

iv

ABSTRAK

CINTHYARINDI TIFFANI LESTARI. Konsentrasi Bilirubin, Aktivitas Aspartat Transferase dan Alanin Transferase pada Anjing yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis. Dibimbing oleh ANITA ESFANDIARI dan LENI MAYLINA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi bilirubin, aktivitas enzim aspartat aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase (ALT) pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis. Sebanyak 12 ekor anjing yang terinfeksi

Babesia sp. kronis dengan tingkat parasitemia <1% digunakan dalam penelitian ini tanpa memperhatikan umur, ras, dan jenis kelamin. Sampel darah diambil melalui

vena Cephalica antibrachii untuk dianalisis terhadap konsentrasi total bilirubin,

bilirubin conjugated, bilirubin unconjugated, aktivitas enzim AST dan ALT.

Pemeriksaan konsentrasi bilirubin total, bilirubin conjugated, aktivitas AST dan ALT dilakukan menggunakan instrumen Dialab Photometer DTN-410®. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi bilirubin total, bilirubin conjugated, bilirubin unconjugated, aktivitas AST, dan ALT berturut-turut 0.63±0.19 mg/dL, 0.39±0.19 mg/dL, 0.24±0.16 mg/dL, 55.58±15.39 IU/L, dan 60.75±26.58 IU/L. Dapat disimpulkan, dari 12 ekor anjing penderita babesiosis kronis, diperoleh gambaran kimia darah yang bervariasi berupa hiperbilirubinemia conjugated (11 ekor), peningkatan aktivitas enzim AST (9 ekor), dan peningkatan aktivitas enzim ALT (2 ekor).

Kata kunci: Babesia sp., bilirubin, AST, ALT

ABSTRACT

CINTHYARINDI TIFFANI LESTARI. Concentration of Bilirubin, Aspartate Transferase and Alanine Transferase Activity on Dogs with Chronic Babesia sp. Infection. Supervised by ANITA ESFANDIARI and LENI MAYLINA.

The aim of this experiment was to obtain the profile of bilirubin concentration, activity of aspartate aminotransferase (AST) and alanine aminotransferase (ALT) enzymes on dogs with chronic Babesia sp. infection. Twelve dogs which are chronically positive of babesiosis were used in this experiment, regardless of breed, age, and sex. Blood samples were taken through the Chephalic antibrachii vein for the examination of concentration of total bilirubin, conjugated bilirubin, unconjugated bilirubin, activity of AST and ALT. The blood examination was delivered by Dialab Photometer DTN-410® instrument. Results of this study showed that the concentration of total bilirubin, conjugated bilirubin, unconjugated bilirubin, activity of AST and ALT were 0.63±0.19 mg/dL, 0.39±0.19 mg/dL, 0.24±0.16 mg/dL, 55.58±15.39 IU/L, 60.75±26.58 IU/L respectively. In conclusion, out of twelve dogs with chronic Babesia sp infection showed various blood chemistry profile, i.e. conjugated

hyperbilirubinaemia (11 dogs), increased of AST activity (9 dogs), and increased of ALT activity (2 dogs)

(5)
(6)

vi

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

KONSENTRASI BILIRUBIN, AKTIVITAS ASPARTAT

AMINOTRANSFERASE DAN ALANIN

AMINOTRANSFERASE PADA ANJING

YANG TERINFEKSI

Babesia

sp. KRONIS

CINTHYARINDI TIFFANI LESTARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

viii

Judul Proposal : Konsentrasi Bilirubin, Aktivitas Aspartat Aminotransferase dan Alanin Aminotransferase pada Anjing yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis

Nama : Cinthyarindi Tiffani Lestari

NIM : B04090059

Disetujui oleh

Dr. Drh. Anita Esfandiari, MSi Pembimbing I

Drh. Leni Maylina, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh. Agus Setiyono MS, PhD, APVet Wakil Dekan

(9)

ix

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah “Konsentrasi Bilirubin, Aktivitas Aspartat Aminotransferase dan Alanin Aminotransferase pada Anjing yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Drh. Anita Esfandiari, MSi dan Drh. Leni Maylina, MSi selaku pembimbing skripsi atas segala ilmu dan waktu yang telah diberikan dalam membimbing selama penelitian dan penulisan tugas akhir ini. Terima kasih kepada Ibu Dr. Drh. Eva Harlina, MSi, APVet selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan nasehat selama penulis menjalankan studi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pimpinan beserta tim medis dan pasukan yang tergabung dalam K-9 Direktorat Polisi Satwa Kepolisian Republik Indonesia Kelapa Dua, Depok dan pimpinan beserta staf Laboratorium Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, FKH IPB yang telah membantu penulis selama penelitian.

Rasa terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis, Dr. Ir. H. Ma’mun Sarma, MS, MEc dan Dr. Ir. Hj. Herien Puspitawati, MSc, MSc beserta keluarga dan Ibu Yani Nuraeni yang telah senantiasa memberikan doa, nasehat, dan dukungan selama masa studi sampai penulisan tugas akhir. Terima kasih kepada teman-teman penulis Geochelone 46 dan Himpro Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik atas doa dan dukungan yang telah diberikan tanpa henti. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan penelitian Yusti Maulida dan Chanifatus Sholihah atas bantuan dan kerja sama yang tak terlupakan. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dekat yang selalu memberi dukungan dan doa, yaitu Ganita Kurniasih Suryaman, Geanisa Vianda, Noer Herlina Hanum, Karenditta Maulida Cahyaningtyas, ST Nurul Muslinah, Septiana Eka Sari, Siti Nurjanah, Suannisa Nur Utami, Srimita Kristiani Sembiring, dan Wulandari Utami.

Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang memerlukan.

(10)

x

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Babesiosis pada Anjing 2

Bilirubin conjugated dan bilirubin unconjugated 3

Enzim Aspartat Aminotransferase dan Alanin Aminotransferase 5

METODE 6

Waktu dan Tempat 6

Alat dan Bahan 6

Prosedur Penelitian 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Konsentrasi Bilirubin dalam Darah 8

Aktivitas Enzim Aspartat Aminotransferase dan Alanine Aminotransferase 11

SIMPULAN DAN SARAN 14

Simpulan 14

Saran 14

DAFTAR PUSTAKA 15

(11)
(12)

xii

DAFTAR TABEL

1 Komposisi normal bilirubin dalam darah pada anjing 5

2 Aktivitas ALT dan AST normal pada anjing 6

3 Rataan konsentrasi bilirubin total, bilirubin conjugated, dan bilirubin unconjugated pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis 8 4 Rataan aktivitas enzim AST dan ALT pada anjing yang terinfeksi

Babesia sp. kronis 12

DAFTAR GAMBAR

1 Babesia gibsoni pada sel darah merah anjing 2

2 Metabolisme normal bilirubin 4

3 Konsentrasi bilirubin total pada anjing yang terinfeksi Babesia sp.

kronis 9

4 Konsentrasi bilirubin conjugated pada anjing yang terinfeksi Babesia sp.

kronis 9

5 Konsentrasi bilirubin unconjugated pada anjing yang terinfeksi Babesia

sp. kronis 11

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Manusia telah membangun hubungan erat dengan anjing liar (Canis lupus) lebih dari 10.000 tahun lalu sampai Canis lupus mengalami perubahan morfologi, perkembangan, dan perilaku hingga terdomestikasi menjadi Canis familiaris yang sekarang kita kenal sebagai anjing (Case 2005). Sifat anjing yang cerdas dan ramah menjadi alasan manusia untuk menjadikannya sebagai hewan peliharaan. Kemampuan penglihatan dan penciuman yang sangat baik membuat anjing dimanfaatkan sebagai hewan pekerja seperti anjing pelacak, anjing pemburu, anjing penggembala, dan anjing penjaga (Beck 2007).

Kemampuan anjing sebagai hewan pekerja dimanfaatkan oleh kepolisian dalam menangani permasalahan kriminalitas dan keamanan. Unit K-9 merupakan tim kepolisian yang terdiri atas dua petugas dimana salah satu petugas merupakan anjing yang telah dilatih. Kriteria anjing kepolisian antara lain harus cerdas, kuat, dan mampu menuruti perintah. Ras anjing yang sering digunakan kepolisian adalah German shepherd karena memiliki ukuran tubuh yang besar, otot yang kuat, ketahanan kerja yang tinggi, dan penciuman yang sangat baik untuk melacak narkoba dan bahan peledak (Beck 2007). Beberapa ras anjing lain yang digunakan sebagai anjing pelacak antara lain Rotweiller, Beagle, Labrador retriever, Doberman, dan Belgian malinois (POLRI 1996).

Anjing pelacak kepolisian diharapkan dapat bekerja secara optimal. Oleh karena itu, kesehatan anjing merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan. Gangguan kesehatan yang sering dialami oleh anjing adalah infestasi parasit kulit, seperti caplak. Spesies caplak yang paling banyak ditemukan di tempat praktek di Indonesia adalah Rhipicephalus sanguineus (Subronto 2006). Caplak yang juga dikenal sebagai brown dog tick atau kennel tick ini merupakan bagian dari familia Ixodidae sebagai caplak keras. Infestasi caplak menyebabkan rasa gatal dan sakit pada kulit sehingga menyebabkan ketidaknyamanan pada anjing. Namun demikian, akibat yang paling dikhawatirkan adalah terjadinya transmisi penyakit oleh parasit darah. Rhipicephalus sp. merupakan parasit yang umum pada anjing dan merupakan vektor dari transmisi Babesia sp. (Taylor et al. 2007).

Penyakit babesiosis (piroplasmosis) pada anjing disebabkan oleh parasit darah Babesia sp., yang termasuk dalam famili Babesiidae (Subronto 2006). Babesia sp. merupakan organisme yang menginvasi, merusak, dan membelah diri secara biner dalam eritrosit. Hal ini menyebabkan eritrosit ruptur sehingga melepas merozoit-merozoit yang dapat menginvasi eritrosit lainnya dan dapat mengakibatkan anemia hemolitik pada anjing. Apabila anemia berlanjut kronis, dapat menyebabkan terjadinya disfungsi pada organ-organ, termasuk organ hati. Mortalitas akibat babesiosis dapat mencapai 80 persen (Taylor et al. 2007). Babesia canis merupakan protozoa endemik di Eropa, Amerika, Afrika Selatan, dan Asia sehingga babesiosis merupakan tantangan bagi dokter hewan (Macintire 2003).

(14)

2

organ hati. Alanin Aminotransferase merupakan enzim spesifik hati pada anjing. Peningkatan aktivitas ALT dapat menunjukkan adanya kerusakan hepatoseluler. Aspartat Aminotransferase bukan enzim spesifik hati pada anjing, namun demikian dapat digunakan sebagai indikator adanya kerusakan sel otot dan hati (Kaneko 2008).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi bilirubin, aktivitas enzim ALT dan AST pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang konsentrasi bilirubin, aktivitas enzim ALT dan AST pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis. Informasi yang diperoleh dapat menjadi landasan ilmiah dalam penanganan kasus babesiosis pada anjing.

TINJAUAN PUSTAKA

Babesiosis pada Anjing

Babesia sp. merupakan protozoa penyebab babesiosis pada anjing atau yang biasa disebut dengan canine piroplasmosis. Spesies babesia yang dapat menginfeksi anjing antara lain Babesia canis (B. canis), Babesia gibsoni (B. gibsoni), dan Babesia vogeli (B. vogeli). Organisme B. canis tersebar luas di Benua Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Protozoa ini termasuk dalam Kelas Sporozoasida dan Famili Babesiidae. Panjang Babesia sp. berkisar antara 4-5 µ dengan diameter 2-4µ (Taylor et al. 2007). Bentuk Babesia sp. runcing pada satu ujung dan bulat pada ujung lainnya seperti buah pir atau pyriform (Gambar 1). Sering juga terlihat adanya vakuol dalam sitoplasmanya. Pleomorfisme atau perubahan bentuk terjadi dari bentuk seperti amoeba sampai berbentuk cincin. Sel darah merah dapat mengandung lebih dari 10 organisme Babesia sp. dalam keadaan multiinfeksi (Subronto 2006).

(15)

3 penyebarannya. Babesia canis kemudian melakukan penetrasi menuju ovum dan memperbanyak diri menjadi bentuk bulat dan kecil sehingga dapat melakukan penyebaran secara transovarium. Telur caplak akan menetas dan pada saat larva caplak tumbuh menjadi nimfa, B. canis akan masuk ke dalam kelenjar saliva caplak. Setelah itu, B. canis membelah diri secara biner dan melakukan penetrasi ke setiap sel kelenjar saliva. Saat caplak mengisap darah, protozoa akan turut terinjeksi ke dalam tubuh inang mamalia pada saat mencapai lumen saliva.

Babesia sp. memasuki eritrosit dan memperbanyak diri di dalamnya secara biner (Barriga 1981). Jumlah Babesia sp. yang ditemukan pada setiap eritrosit anjing berupa kelipatan 1, 2, 4 atau 8. Organisme B.canis dapat menginduksi molekul adhesi pada permukaan eritrosit yang mengikat sel endotelial. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kerusakan eritrosit (Stockham dan Scott 2008). Menurut Widodo et al. (2011), babesiosis merupakan penyakit akibat parasit darah yang merusak eritrosit secara mekanis.

Stockham dan Scott (2008) juga menyatakan bahwa babesiosis dalam bentuk akut ditandai dengan ditemukannya Babesia sp. dalam eritrosit, anemia akut sampai kronis, peningkatan polikromasia, makrositosis, hiperbilirubinemia, dan kadang-kadang hemoglobinuria (kondisi dimana ditemukannya hemoglobin dalam urin). Sedangkan hasil pemeriksaan laboratorium pada babesiosis kronis adalah ditemukannya Babesia sp. dalam eritrosit dalam jumlah sedikit, limfositosis ringan, dan hasil Polymerase Chain Reaction positif terhadap Babesia sp.. Menurut Tarello (2003), diagnosa babesiosis secara umum dilakukan menggunakan metode ulas darah, yang hingga kini masih dianggap sebagai metode terbaik karena mudah dan biaya yang tidak mahal.

Bilirubin Conjugated dan Bilirubin Unconjugated

Bilirubin berasal dari metabolisme hemoglobin dan merupakan produk akhir dari degradasi heme (Kaneko 2008). Menurut Cunningham (2002), bilirubin memiliki karakteristik warna hijau, namun di dalam lumen usus bilirubin akan diubah oleh bakteri menjadi senyawa sekunder yang karakteristik warnanya berubah menjadi coklat. Menurut Cotran et al. (1999), bilirubin sebagian besar dihasilkan dari perombakan eritrosit dalam sistem fagosit mononuklear terutama pada organ limpa, hati, dan sumsum tulang (Gambar 2).

(16)

4

berkonjugasi dengan glukuronid menjadi bilirubin conjugated. Setelah itu, bilirubin conjugated ditranspor ke kanalikuli menuju usus. Bilirubin conjugated masuk ke dalam usus dan didegradasi menjadi urobilinogen. Sebagian kecil urobilinogen diserap kembali masuk ke dalam sirkulasi darah dan diekskresikan melalui urin, dan sebagian besar diekskresikan melalui feses (Stockham dan Scott 2008).

Bilirubin conjugated

Albumin Masuk ke hati

Destruksi eritrosit di makrofag

(sel kupffer di hati, sel makrofag perivaskular sinusoidal di limpa dan sumsum tulang)

Heme oksigenase Heme

Biliverdin

Bilirubin unconjugated

Albumin Bilirubin unconjugated

Biliverdin reduktase

Glukuronid Bilirubin unconjugated

Keluar makrofag

Diserap kembali Usus Kanalikuli

Ekskresi Bilirubin conjugated

Urobilinogen

Globulin

(17)

5 Pembentukan bilirubin conjugated meliputi penyerapan di membran sinusoidal, konjugasi asam glukoronat oleh bilirubin uridin difosfat-glukuronosil transferase dalam retikulum plasma, dan ekskresi bilirubin glukuronid ke kantung empedu. Sebagian besar bilirubin glukuronid didekonjugasi oleh bakteri β -glucuronidases dan didegradasi menjadi urobilinogen yang tidak berwarna (Cotran et al. 1999). Sebagian kecil urobilinogen diserap kembali masuk ke dalam sirkulasi darah, dan diekskresikan melalui urin. Sebagian besar diekskresikan melalui feses bersama residu pigmen (Stockham dan Scott 2008). Nilai acuan komposisi normal bilirubin dalam darah pada anjing dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi normal bilirubin dalam darah pada anjing (Morgan 2008)

Parameter Kisaran normal (mg/dl)

Bilirubin total 0.1-0.6

Bilirubin conjugated 0.0-0.14

Bilirubin unconjugated 0.07-0.6

Hiperbilirubinemia merupakan kondisi dimana terjadi peningkatan konsentrasi bilirubin dalam sirkulasi darah. Hiperbilirubinemia terjadi apabila tingkat produksi bilirubin unconjugated melebihi tingkat penyerapan bilirubin unconjugated oleh hepatosit, atau apabila tingkat pembentukan bilirubin conjugated di hepatosit melebihi tingkat ekskresi bilirubin conjugated menuju kantung empedu (Stockham dan Scott 2008).

Menurut Stockham dan Scott (2008), beberapa kondisi patologis dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, antara lain peningkatan bilirubin unconjugted karena hemolitik, penurunan pengambilan bilirubin unconjugated oleh hepatosit karena penurunan fungsi hati, penurunan konjugasi bilirubin unconjugated karena penurunan fungsi hati, dan penurunan ekskresi bilirubin conjugated menuju kantung empedu karena kolestasis obstruktif dan kolestatis fungsional. Kolestasis obstruktif merupakan kondisi patologis dimana aliran keluar bilirubin conjugated terhambat akibat penyempitan kanalikuli atau saluran empedu yang dapat disebabkan karena kebengkakan hepatoseluler, lesio periportal, batu empedu pada saluran, atau neoplasma. Kolestasis fungsional merupakan gangguan ekskresi bilirubin conjugated yang tidak disebabkan akibat adanya obstruksi saluran empedu.

Enzim Alanin Aminotransferase dan Aspartat Aminotransferase Alanine aminotransferase (ALT) merupakan enzim sitoplasmik yang mengkatalitasis reaksi reversible yang melibatkan deaminasi alanin untuk pembentukan piruvat, dimana piruvat akan mengikuti proses glukoneogenesis atau siklus Krebs (Stockham dan Scott 2008). Fungsi ALT pada hati anjing adalah sebagai enzim spesifik organ hati. Oleh karena itu, peningkatan aktivitas ALT dalam darah anjing dikaitkan dengan adanya kerusakan hepatoseluler. Kelainan hati dalam keadaan akut menyebabkan kerusakan membran atau nekrosa sel sehingga aktivitas ALT dalam serum meningkat (Kaneko 2008).

(18)

6

katalisis enzim ALT (Stockham dan Scott 2008). Selain kerusakan hepatosit, peningkatan ALT juga dapat dihubungkan dengan glucocorticoid-induced hepatopathy akibat pemberian terapi glukokortikoid. Alanin aminotransferase dalam serum anjing dapat juga meningkat akibat pemberian fenobarbital (Stockham dan Scott 2008).

Aspartat aminotransferase (AST) merupakan enzim yang terdapat dalam mitokondria dan sitosol pada hampir seluruh sel dan plasma. Fungsi AST adalah untuk mengkatalisis reaksi yang melibatkan transaminasi aspartat menjadi oksaloasetat, dimana oksaloasetat akan mengikuti siklus Krebs. Keberadaan AST dalam banyak jaringan membuat enzim ini menjadi enzim non spesifik hati. Namun demikian, apabila dihubungkan dengan enzim lain, seperti ALT, dapat digunakan sebagai indikator adanya kerusakan sel hati dan otot (Kaneko 2008).

Aktivitas enzim ALT dan AST dalam serum mengalami peningkatan ketika sel parenkim hati rusak atau adanya peningkatan permeabilitas membran sel. Menurut Kaneko (2008), aktivitas enzim ALT dan AST tidak dapat memberikan gambaran tentang tingkat keparahan suatu penyakit, tipe lesio, maupun status fungsional organ hati. Namun demikian dapat digunakan untuk mengestimasi tingkat nekrosis hati. Aktivitas ALT dan AST normal pada anjing dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Aktivitas ALT dan AST normal pada anjing (Morgan 2008)

Parameter Kisaran normal (IU/L)

ALT 15-70

AST 11-50

Terdapat dua jenis enzim yang aktivitasnya meningkat dalam darah seiring dengan terjadinya nekrosis hati, yaitu enzim spesifik hati dan non spesifik hati. Enzim spesifik hati pada anjing adalah ALT. Pengukuran aktivitas enzim spesifik hati merupakan tes yang paling sensitif dan dapat diandalkan untuk kasus nekrosis hati ringan sampai berat. Aspartat Aminotransferase merupakan enzim non spesifik hati yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat nekrosis hati apabila jaringan organ lain selain hati dipastikan bebas dari adanya gangguan. Peningkatan aktivitas AST dihubungkan dengan adanya nekrosa sel dari berbagai jenis jaringan, seperti otot jantung, jaringan skeletal, dan parenkim hati (Kaneko 2008).

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

(19)

7 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain instrumen Dialab Photometer DTN-410®, syringe 3 ml dan vacutainer berisi antikoagulan Kalium-Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (K3EDTA). Bahan dan reagen yang dipergunakan adalah kit khusus instrumen Dialab Photometer DTN-410® untuk pemeriksaan Aspartat aminotransferase (AST), Alanine aminotranferase (ALT), bilirubin total, bilirubin conjugated, kapas dan alkohol 70%.

Prosedur Penelitian Persiapan Hewan

Hewan yang digunakan pada penelitian ini berupa 12 ekor anjing (umur berkisar antara 3-5 tahun, tanpa membedakan jenis kelamin) yang positif terinfeksi Babesia sp kronis dengan tingkat parasitemia <1%. Ras anjing terdiri atas Rotweiler, Belgian malinois, Beagle, German sheperd, dan Labrador retriever.

Pengambilan Sampel Darah

Sampel darah diambil melalui vena Cephalica antibrachii sebanyak 2 ml dengan menggunakan syiringe. Sampel darah kemudian dimasukkan ke dalam vacutainer berantikoagulan K3EDTA untuk dianalisis terhadap beberapa parameter kimia darah.

Pemeriksaan Kimia Darah

Pemeriksaan kimia darah meliputi parameter aktivitas enzim ALT dan AST, konsentrasi bilirubin total, dan bilirubin conjugated menggunakan instrumen Dialab Photometer DTN-410® (Maylina 2013). Bilirubin unconjugated diperoleh dari hasil pengurangan konsentrasi bilirubin total dengan bilirubin conjugated. Analisis Data

Data yang diperoleh diolah secara deskriptif meliputi nilai rata-rata, nilai maksimum, nilai minimum, dan standar deviasi. Software yang digunakan untuk menganalisis data adalah SPSS 16.0 for windows dan MS Office Excell 2007.

HASIL DAN PEMBAHASAN

(20)

8

diperoleh, yaitu derajat infeksi ringan (persentase parasitemia <1%), derajat infeksi sedang (parasitemia 1-5%), dan derajat infeksi berat (parasitemia >5%).

Tingkat parasitemia pada penelitian ini termasuk rendah, dimana persentase eritrosit berparasit Babesia sp. <1% (Solihah 2013). Tingkat parasitemia yang besarnya <1% menunjukkan bahwa anjing-anjing ras pada penelitian ini mengalami infeksi dalam tingkat atau derajat ringan. Stockham dan Scott (2008) menyatakan bahwa Babesia sp. ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit pada infeksi kronis. Hal ini menunjukkan bahwa 12 ekor anjing yang digunakan pada penelitian ini mengalami infeksi Babesia sp. pada tahap kronis. Menurut Barriga (1981), faktor-faktor yang mempengaruhi derajat parasitemia adalah spesies hewan, imunitas hewan, periode infeksi parasit, resistensi hewan terhadap vektor, dan periode infestasi vektor. Berdasarkan penelitian Solihah (2013), anjing yang terinfeksi Babesia sp. secara kronis cenderung mengalami anemia normositik normokromik.

Kosentrasi Bilirubin dalam Darah

Tabel 3 memperlihatkan rataan konsentrasi bilirubin total, bilirubin conjugated, dan bilirubin unconjugated pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis. Menurut laporan Furlanello et al. (2005), sebagian besar kasus anjing yang terinfeksi Babesia sp. mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin total dalam darah (hiperbilirubinemia).

Tabel 3. Rataan konsentrasi bilirubin total, bilirubin conjugated, dan bilirubin unconjugated pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis

Parameter Hasil pengamatan (mg/dL) Kisaran normal (mg/dL) *

Bilirubin total 0.63 ± 0.19 (0.44-0.82) 0.1-0.6 Bilirubin conjugated 0.39 ± 0.19 (0.2-0.58) 0.0-0.14 Bilirubin unconjugated 0.24 ± 0.16 (0.08-0.40) 0.07-0.6

*Morgan (2008)

Rataan konsentrasi bilirubin total, bilirubin conjugated, dan bilirubin unconjugated pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil pengamatan menunjukan bahwa rataan konsentrasi bilirubin total sebesar 0.63 ± 0.19 mg/dL (kisaran 0.44 – 0.82 mg/dL). Konsentrasi bilirubin total pada anjing normal menurut Morgan (2008) berkisar antara 0.1 – 0.6 mg/dL. Secara umum, dari 12 ekor anjing yang diamati, 7 ekor diantaranya memiliki konsentrasi bilirubin total yang berada dalam interval normal. Sebanyak lima ekor anjing memiliki konsentrasi bilirubin total diatas nilai interval normal (Gambar 3).

(21)

9

Gambar 3. Konsentrasi bilirubin total pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis (daerah yang ditandai menunjukkan konsentrasi total bilirubin dalam

kisaran normal menurut Morgan (2008))

Menurut Stockham dan Scott (2008), beberapa kondisi dapat menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia, antara lain peningkatan konsentrasi bilirubin unconjugated akibat hemolitik, penurunan pengambilan unconjugated oleh hepatosit karena penurunan fungsi hati, penurunan konjugasi bilirubin unconjugated akibat penurunan fungsi hati, dan penurunan ekskresi bilirubin conjugated menuju kantung empedu oleh karena kolestasis obstruktif dan kolestatis fungsional.

Gambar 4. Konsentrasi bilirubin conjugated pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis (daerah yang ditandai menunjukkan konsentrasi bilirubin

conjugated dalam kisaran normal menurut Morgan (2008))

(22)

10

Gambar 4 menunjukkan hampir semua anjing penelitian (11 ekor) memiliki konsentrasi bilirubin conjugated diatas nilai interval normal menurut Morgan (2008). Konsentrasi bilirubin conjugated yang berada dalam nilai interval normal ditemukan hanya pada satu ekor anjing (0.10 mg/dL). Rata-rata peningkatan konsentrasi bilirubin conjugated pada 11 ekor anjing sebesar 200% dari batas atas nilai interval normal menurut Morgan (2008) (Tabel 3). Secara umum, hasil penelitian ini mirip dengan penelitian Maylina (2013), dimana terdapat peningkatan bilirubin conjugated pada anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis.

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Rothuizen dan van den Brom (1987) yang melaporkan bahwa babesiosis pada anjing ditandai dengan adanya peningkatan konsentrasi bilirubin unconjugated. Perbedaan ini disebabkan anjing-anjing yang digunakan pada penelitian ini mengalami infeksi Babesia sp. tahap kronis, sedangkan penelitian yang dilakukan Rothuizen dan van den Brom (1987) menggunakan anjing-anjing yang terinfeksi Babesia sp. tahap akut.

Bilirubin conjugated merupakan hasil konjugasi dari bilirubin unconjugated oleh asam glukuronid dalam hati. Tujuan dari proses konjugasi ini adalah untuk meningkatkan kelarutan bilirubin dan membatasi akses billirubin ke dalam sel. Kedua tujuan tersebut memungkinkan proses ekskresi bilirubin dari tubuh. Bilirubin conjugated diekskresikan melalui saluran empedu menuju kantung empedu, kemudian dilepaskan ke saluran intestinal (Ettinger 2010). Peningkatan bilirubin conjugated dalam peneltian ini diduga disebabkan karena adanya gangguan pada ekskresi bilirubin conjugated.

Menurut Stockham dan Scott (2008), salah satu penyebab terjadinya hiperbilirubinemia adalah karena terjadinya penurunan ekskresi bilirubin conjugated. Penurunan ekskresi dapat disebabkan oleh kholestasis obstruktif atau kolestasis fungsional. Kolestasis obstruktif merupakan kondisi patologis dimana terjadi obstruksi atau penyumbatan aliran bilirubin dalam saluran empedu, baik secara intrahepatik maupun ekstrahepatik. Hal ini dapat disebabkan adanya pembengkakan hepatoseluler, lesio periportal, infeksi, dan penyumbatan saluran empedu karena batu empedu, parasit, dan neoplasma.

(23)

11

Gambar 5. Konsentrasi bilirubin unconjugated pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis (daerah yang ditandai menunjukkan konsentrasi bilirubin

unconjugated dalam kisaran normal menurut Morgan (2008))

Gambar 5 menunjukkan konsentrasi bilirubin unconjugated pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis. Rata-rata konsentrasi bilirubin unconjugated

anjing penderita babesiosis pada penelitian ini sebesar 0.24±0.16 mg/dL (dengan

kisaran 0.08-0.40 mg/dL). Kisaran normal konsentrasi bilirubin unconjugated

menurut Morgan (2008) berkisar antara 0.07-0.6 mg/dL. Hasil ini menunjukkan,

secara umum anjing pada penelitian ini memiliki konsentrasi bilirubin unconjugated

yang berada dalam kisaran nilai interval normal.

Penelitian Rothuizen dan van den Brom (1987) menunjukkan bahwa hiperbilirubinemia ditemukan pada kelainan hepatobilier dan hemolisis. Hiperbilirubinemia unconjugated mengindikasikan adanya hemolisis, sedangkan hiperbilirubinemia conjugated mengindikasikan adanya kelainan hepatobilier. Hal ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan bilirubin unconjugated merupakan karakteristik dari babesiosis anjing.

Hasil penelitian ini mirip dengan hasil penelitian Maylina (2013), dimana konsentrasi bilirubin unconjugated pada anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp kronis. berada dalam kisaran nilai interval normal. Menurut Stockham dan Scott (2008), bentuk kronis dari anemia hemolitik akibat babesiosis ditandai dengan rendahnya persentase organisme (Babesia sp.) dalam darah. Rendahnya presentase organisme dalam darah menyebabkan menurunnya tingkat hemolisis yang terjadi. Diduga hal ini menyebabkan konsentrasi bilirubin unconjugated berada dalam kisaran nilai interval normal.

Aktivitas Enzim Aspartat Aminotransferase dan Alanine Aminotransferase Aktivitas enzim AST dan ALT pada anjing yang terinfeksi Babesia sp kronis dapat dilihat pada Tabel 4. Aktivitas enzim AST dan ALT merupakan parameter biokimia darah yang digunakan sebagai penunjang diagnosa klinis yang

(24)

12

memiliki korelasi dengan disfungsi hati (Gitnick 1991). Hasil penelitian Furlanello et al. (2005) menunjukkan bahwa sebagian besar anjing yang terinfeksi Babesia sp. memperlihatkan adanya peningkatan aktivitas AST dan ALT dalam darah.

Tabel 4. Rataan aktivitas enzim AST dan ALT pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis

Parameter Hasil pengamatan (IU/L) Kisaran normal (IU/L) *

AST 55.58 ± 15.39 (40.19-70.97) 10-50

ALT 60.75 ± 26.58 (34.17-87.33) 15-70

*Morgan (2008)

Stockham dan Scott (2008) menyatakan bahwa AST bukan enzim spesifik hati, karena terdapat dalam mitokondria dan sitosol pada hampir semua sel. Menurut Kaneko (2008), AST dapat dijadikan indikator adanya kerusakan sel hati dan otot. Karena AST bukan merupakan enzim spesifik hati, AST hanya dapat digunakan untuk membantu mendiagnosis adanya kerusakan hati apabila jaringan organ lain dipastikan tidak mengalami kerusakan. Beberapa kemungkinan penyebab peningkatan aktivitas enzim AST menurut Stockham dan Scott (2008) antara lain kerusakan hepatosit pada fase perbaikan hati, kerusakan otot, dan hemolisis.

Gambar 6. Aktivitas enzim AST pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis (AST: aspartate aminotransferase; daerah yang ditandai menunjukkan

aktivitas enzim AST dalam kisaran normal menurut Morgan (2008))

Gambar 6 menunjukkan bahwa hampir semua anjing (9 ekor) yang terinfeksi babesiosis kronis pada penelitian ini memiliki aktivitas enzim AST diatas kisaran nilai interval normal. Tiga ekor anjing merupakan anjing dengan aktivitas enzim AST berada dalam kisaran nilai interval normal menurut Morgan (2008). Satu ekor anjing memiliki aktivitas enzim AST tertinggi yaitu sebesar 98 IU/L atau mengalami peningkatan sebesar 96% dari kisaran nilai interval normal.

(25)

13 Rata-rata aktivitas enzim AST pada penelitian ini sebesar 55.58±15.39 IU/L, meningkat 11.16% diatas kisaran nilai interval normal (Tabel 4).

Terdapat lima mekanisme yang dapat menyebabkan peningkatan aktivitas enzim menurut Stockham dan Scott (2008), yaitu adanya pelepasan enzim karena kerusakan sel, induksi enzim sintetis, proliferasi sel, menurunnya pembuangan enzim, dan absorpsi. Menurut Kaneko (2008) dan Stockham dan Scott (2008), adanya kerusakan sel hati atau otot akan menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas enzim AST. Enzim AST akan bocor dari sel yang rusak karena perubahan permeabilitas membran sel, sehingga enzim di dalam sirkulasi darah akan meningkat (Stockham dan Scott 2008). Aktivitas enzim AST pada anjing meningkat saat terdapat kelainan terhadap hati, jantung, dan periodontal (Chambers 1984).

Enzim ALT merupakan enzim spesifik organ hati pada anjing. Oleh karena itu, adanya peningkatan aktivitas enzim ALT dalam plasma anjing biasanya dikaitkan dengan adanya kerusakan hepatoseluler. Kelainan hati dalam keadaan akut menyebabkan kerusakan membran atau nekrosa sel sehingga aktivitas enzim ALT dalam plasma meningkat (Kaneko 2008). Sesuai dengan Stockham dan Scott (2008), aktivitas enzim ALT meningkat pada tahap kerusakan atau nekrosa hepatosit karena enzim sitoplasmik akan dilepaskan saat terjadi perubahan permeabilitas sel.

Gambar 7. Aktivitas enzim ALT pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis (ALT: alanine aminotransferase; daerah yang ditandai menunjukkan

aktivitas enzim ALT dalam kisaran normal menurut Morgan (2008))

(26)

14

Kaneko (2008) melaporkan bahwa peningkatan aktivitas enzim ALT pada umumnya terjadi pada gangguan hati yang akut. Menurut Webster (2005), aktivitas enzim transaminase meningkat pada kerusakan hepatosit, kelainan gastrointestinal dan pankreas, pemberian phenobarbital dan kortikosteroid, diabetes mellitus, hiperadrenokotisisme, hipoksia, hipotensi, dan infeksi sistemik.

Mekanisme terjadinya penyimpangan beberapa parameter kimia darah pada beberapa ekor anjing penderita babesiosis kronis pada penelitian ini berupa

hiperbilirubinemia, hiperbilirubinemia conjugated dan peningkatan aktivitas enzim

AST belum bisa diterangkan secara jelas. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi gambaran parameter kimia darah. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan pemeriksaan yang lebih detail meliputi anamnese, pemeriksaan klinis dan beberapa pemeriksaan laboratorium penunjang lainnya untuk menyimpulkan penyebab terjadinya penyimpangan parameter kimia darah tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada 12 ekor anjing penderita babesiosis kronis diperoleh gambaran kimia darah yang bervariasi berupa

hiperbilirubinemia conjugated (11 ekor), peningkatan aktivitas enzim AST (9 ekor)

dan ALT (2 ekor).

Saran

(27)

15

DAFTAR PUSTAKA

Barriga, OO. 1981. The Immunology of Parasitic Infections. Baltimore (USA): Maple Press Company.

Beck P. 2007. Uncover A Dog. San Diego (USA): Silver Dolphin.

Boozer L, Macintire D. 2005. Babesia gibsoni: An emerging pathogen in dogs. Compendium Vet. 2: 33-41

Case LP. 2005. The Dog: Its Behavior, Nutrition, and Health. Ames (USA): Balckwell Publishing.

Chambers DA, Crawford JM, Mukherjee S, Cohen RL. 1984. Aspartate aminotransferase increases in crevicular fluid during experimental periodontitis in beagle dogs. J of Periodont. 55 (9): 526-530

Cotran RS, Kumar V, Collins T. 1999. Robbins Pathologic Basis of Disease. Philadelphia (USA): W.B. Saunders Company.

Cunningham JG. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. Philadelphia (USA): W.B. Saunders Company.

Ettinger SJ. 2010. Textbook of Veterinary Internal Medicine. Volume 7. Philadhelpia (USA): W.B. Saunders Company.

French TW, Blue JT, Stokol T. 1996. Clinical Pathology Resource Modules. Ithaca (USA): Cornell University.

Furlanello T, Fiorio F, Caldin M, Lubas G, Solano-Gallego L. 2005. Clinicopathological findings in naturally occurring cases of babesiosis caused by large form Babesia from dogs of northeastern Italy. Vet. Par. 134 (1): 77-85.

Gitnick G. 1991. Current Hepatology Volume 11. St. Louis (USA): Mosby-Year Book.

Kaneko JJ. 2008. Clinical Biochemistry of Domestic Animals. London (UK): Academic Press, Inc.

Macintire DK. 2003. Clinicopathological findings in dogs naturally infected dogs with Babesia. ProQuest Agric. J. 6:7-11.

Maylina L. 2013. Profil Hematologi dan Kimia darah Anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Morgan RV. 2008. Handbook of Small Animal Practice. Ed ke-5. Vol 2. Philadelphia (USA): Saunders.

Ndungu SG, Brown CGD, Dolan TT. 2005. In vivo comparison of susceptibility between Bos indicus and Bos Taurus cattle types to Theileria parva infection. Onderstepoort J Vet Res (72):13–22

[POLRI] Kepolisian Republik Indonesia. 1996. Hut Satwa POLRI ke 37. Jakarta: Direktorat Samapta POLRI Sub Direktorat Satwa.

Rothuizen J, van den Brom WE. 1987. Bilirubin metabolism in canine hepatobiliary and haemolytic disease. The Veterinary Quarterly. 9(3): 235-240.

Solihah. 2013. Profil eritrosit anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(28)

16

Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Tarello, W. 2003. Concurrent cutaneous lesions in dogs with Babesia gibsoni infection in Italy. Revue Méd. Vét. 154 (4): 281-287.

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. Ames (USA): Blackwell Publishing.

Webster CRL. 2005. Interpretation of serum transaminase levels in dogs and cats. NAVC Clinical Brief. 11: 13-19.

Widodo S, Sajuthi D, Choliq C, Wijaya A, Wulansari R, Lelana RPA. 2011. Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Bogor (ID): IPB Press.

(29)

17

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ames, Iowa USA pada tanggal 19 Januari 1991. Penulis

merupakan anak tunggal dari pasangan Bapak Dr. Ma’mun Sarma dan Ibu Dr. Herien

Puspitawati.

Penulis menempuh pendidikan dasar di Sawyer Elementary School Ames Iowa sampai 1998 dan SD Bina Insani Bogor sampai 2003. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan SMP Negeri 4 Bogor dan lulus pada tahun 2006. Pendidikan selanjutnya penulis tempuh di SMA Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2009. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Pertanian Bogor melalui jalur undangan seleksi masuk IPB (USMI). Sebagai

Gambar

Gambar 4. Konsentrasi bilirubin conjugated Babesiapada anjing yang terinfeksi  sp. kronis (daerah yang ditandai  menunjukkan konsentrasi bilirubin conjugated dalam kisaran normal menurut Morgan (2008))
Gambar 5. Konsentrasi bilirubin unconjugated pada anjing yang terinfeksi

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH METODE LATIHAN DENGAN MEDIA KOMPUTER TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP (Quasi Eksperimen Siswa Kelas X Administrasi Perkantoran SMK Negeri 1 Bandung Pada Mata Pelajaran

menggunakn bahan/barang yang ditemukan di lingkungan tempat tinggal siswa. Melihat penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa KIT IPA merupakan alat yang berguna

TANGGUNG JAWAB KEPERDATAAN ATAS KEHILANGAN DAN/ATAU KERUSAKAN BARANG BAGASI TERCATAT MILIK PENUMPANG DALAM ANGKUTAN UDARA (Studi Kasus di Bandara Adi Soemarmo

• Mencegah atau mengurangi faktor resiko gangguan kesehatan • Mengoptimalkan status kesehatan dan kebugaran. Terapi latihan dirancang untuk menyesuaikan kebutuhan individual

4.1 Hasil Wawancara Peneliti Terhadap Konselor Kelas VIII H Pra Penelitian Layanan Bimbingan Kelompok dengan Teknik Sosiodrama 106 4.2 Hasil Observasi Peneliti Terhadap

21/1 @ 2009 Hak Cipta IPNT SULIT [Lihat sebelah.. 4) Maklumat berikut berkait dengan Bendahara Tun Abdul Jalil?. · Pada taboo 1699, telah dilantik menjadi sultan Johor dengan

Pada tanggal 2 Januari 1991, nama PJKA secara resmi diubah menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) dan semenjak tanggal 1 Juni 1999 diubah menjadi PT Kereta Api Indonesia

Daripada hasil kajian antara kedua-dua buah NGO Islam menunjukkan bahawa tahap amalan dialog antara agama bagi ahli kedua-dua pertubuhan mencatatkan perbezaan, iaitu tahap amalan