• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Ketersediaan dan Penggunaan Lamtoro (Leucaena leucocephala) pada Sistem Amarasi di Kabupaten Kupang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Ketersediaan dan Penggunaan Lamtoro (Leucaena leucocephala) pada Sistem Amarasi di Kabupaten Kupang."

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN PENGGUNAAN LAMTORO

(

Leucaena leucocephala

) PADA SISTEM AMARASI DI KABUPATEN

KUPANG

MONA LASTRI LANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Ketersediaan dan Penggunaan Lamtoro (Leucaena leucocephala) pada sistem Amarasi di

Kabupaten Kupang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 10 Oktober 2014

Mona Lastri Lani

(4)

RINGKASAN

MONA LASTRI LANI. Evaluasi Ketersediaan dan Penggunaan Lamtoro (Leucaena leucocephala) untuk sapi bali pada Sistem Amarasi di Kabupaten

Kupang. Dibimbing oleh LUKI ABDULLAH dan RUDY PRIYANTO.

Sistem Amarasi adalah suatu sistem kerjasama antara peternak dan investor untuk penggemukan sapi bali dengan pemberian pakan berbasis

Leucaena leucocephala pada musim kemarau di wilayah Amarasi. Penelitian ini

bertujuan untuk mengevaluasi ketersediaan dan penggunaan hijauan pakan sapi bali pada sistem Amarasi di lahan kering.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2013 di Desa Oesena dan Desa Merbaun. Metode yang digunakan adalah survey lapang untuk mengidentifikasi hijauan pakan ternak yang terdapat di kandang, mengetahui tingkat konsumsi pakan ternak, besarnya kapasitas tampung dari kedua desa dan pertambahan bobot badan sapi bali. Data yang diperolah dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan kondisi yang ada dilapangan. Uji t digunakan untuk membandingkan nilai bobot badan dan konsumsi dari kedua desa.

Hasil penelitian menunjukkan konsumsi bahan kering hijauan lamtoro tidak memenuhi kebutuhan ternak. Selain itu kapasitas tampung dari kebun lamtoro rendah. Rataan pertambahan bobot badan harian sapi bali tidak berbeda yaitu Desa Oesena 0.76 kg hr-1 dan Desa Merbaun 0.74 kg hr-1. Tingginya pertambahan bobot badan harian sapi bali diikuti dengan tingginya kandungan nutrien yaitu protein kasar dan TDN dari hijauan lamtoro di kedua Desa. Dari hasil studi dapat disimpulkan penggemukan sapi bali menggunakan sistem amarasi memberikan dampak positif bagi performa ternak.

(5)

SUMMARY

MONA LASTRI LANI. Evaluation of Availability and Utilization of Leucaena Forage (Leucaena leucocephala) for Bali Cattle Feeding on Amarasi System in

Kupang Regency West Timor. Supervised by LUKI ABDULLAH and RUDY PRIYANTO.

Amarasi system is a sharing system between farmer and investor in cattle fattening based on full Leucaena leucocephala feeding especially developed

during on dry season in Amarasi region. This study aims to evaluate the availability and utilisation of leucaena forage for bali cattle feeding on Amarasi system in dry land area.

The study was carried out in Oesena and Merbaun villages at Amarasi district from Juli to December 2013. A field survey method was used to identify availability of the leucaena forage for the animal in the stall, feed intake, carrying capacity of leucaena plantation in the two villages and body measurement of bali cattle. The collected data were descriptively analysed to describe the observed conditions in the field. T-test method was use to examined different value of bodyweight and consumption.

The result showed that the average dry matter intake of leucaena forage did not fullfill the cattle meet due to lack availability of the leucaena forage. In addition the carrying capacity of leucaena forage in that region was low. Cattle raised at Oesena village and Merbaun village had similar growth rate which was 0.76 kg day-1 and 0.74 kg day-1 prespectively. The reratively high growth rate of the animal in both villages might be to due high content of crude protein and TDN of leucaena forage. In conclusion the amarasi sistem on bali cattle fattening gave positif impact in term of their performance.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN PENGGUNAAN LAMTORO

(

Leucaena leucocephala

) PADA SISTEM AMARASI DI KABUPATEN

KUPANG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)

Judul Tesis : Evaluasi Ketersediaan dan Penggunaan Lamtoro (Leucaena leucocephala) pada Sistem Amarasi di Kabupaten Kupang.

Nama : Mona Lastri Lani NIM : D251120121

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Luki Abdullah, MSc Agr

Ketua Dr Ir Rudy Priyanto Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

Dr Ir Dwierra Evvyernie A, MS MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala anugrah-Nya sehingga tesis yang berjudul “Evaluasi Ketersediaan dan Penggunaan Lamtoro (Leucaena Leucocephala) pada sistem Amarasi di

Kabupaten Kupang” bisa diselesaikan. Pemanfaatan lamtoro sebagai pakan mampu meningkatkan produktivitas ternak sapi bali. Tesis ini memberikan informasi tentang sistem amarasi yaitu penggunaan 100% daun lamtoro sebagai pakan sapi bali di daerah Amarasi pada musim kemarau. Hasil penelitian ini dalam proses publikasi di jurnal ilmiah Media Peternakan dengan judul “The Availability and Utilization of Lamtoro Forage (Leucaena leucocephala) as Bali Cattle feeding on Amarasi System in Kupang Regency West Timor”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Luki Abdullah, MSc Agr dan Bapak Dr Ir Rudy Priyanto selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan, saran, waktu dan tenaga sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr Ir Dwierra Evvyernie A, MS MSc dan Ibu Dr Ir Sumiati, MSc sebagai ketua dan wakil program studi Ilmu Nutrisi dan Pakan Pascasarjana IPB, kepada seluruh staf, dosen, teknisi, kepada teman-teman mahasiswa pascasarjana INP angkatan 2012, dan kepada seluruh teman yang telah berkontribusi dalam proses penyelesaian tesis ini. Terimakasih juga kepada DIKTI atas beasiswa penuh yang diberikan selama penulis menjalankan pendidikan S2. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Papa, Mama, dan seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terimakasih atas segala bantuan dari semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga tesis ini bermanfaat sebagai referensi untuk pengembangan budidaya tanaman lamtoro sebagai pendukung ketersediaan sumber hijauan untuk pakan ternak di Indonesia.

Bogor, 10 Oktober 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

Manfaat 2

2 METODOLOGI PENELITIAN 2

Waktu dan Lokasi 2

Materi 2

Metode 3

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Keadaan Umum Daerah Penelitian 5

Sistem Amarasi 6

Identifikasi Jenis Hijauan Pakan 7

Kualitas Lamtoro 8

Konsumsi Lamtoro 8

Pertambahan Bobot Badan Sapi Bali 11

Kapasitas Tampung 13

4 SIMPULAN 14

DAFTAR PUSTAKA 15

LAMPIRAN 17

(12)

DAFTAR TABEL

1 Kandungan nutrien dan konsumi nutrien lamtoro 8

2 Konsumsi bahan kering daun lamtoro 9

3 Konsumsi protein kasar 10

4 Konsumsi TDN 11

5 Produksi hijauan dan kapasitas tampung desa Oesena dan desa Merbaun 13

DAFTAR GAMBAR

1 Peta kabupaten Kupang 5

2 Pola penyediaan lamtoro pada sistem amarasi 10

3 Pengukuran lingkar dada sapi bali 12

4 Rataan Pertambahan bobot badan harian sapi bali 12

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuisioner 17

2 Hasil wawancara responden Desa Oesena 21

3 Hasil wawancara responden Desa Merbaun 22

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengembangan usaha peternakan khususnya ternak ruminansia dalam memenuhi kebutuhan pangan asal protein hewani perlu didukung oleh ketersediaan hijauan pakan baik secara kualitas, kuantitas, dan kontinuitas. Porsi hijauan dalam pakan ternak ruminansia mencapai 40-80% dari total bahan kering atau sekitar 2.7-2.9% dari bobot ternak (Kearl 1983). Secara nutrisi hijauan merupakan sumber serat, bahkan hijauan leguminosa menjadi suplementasi mineral dan protein murah bagi ternak ruminansia. Sulitnya penyediaaan hijauan dalam jumlah besar dan berkesinambungan sering terjadi di daerah beriklim tropis, kendala tersebut disebabkan oleh musim kemarau yang panjang. Kesulitan ini dapat berpengaruh terhadap peningkatan dan produktivitas ternak ruminansia.

Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu propinsi yang mengembangkan usaha ternak ruminansia. Peternakan ruminansia yang paling banyak dilakukan lebih difokuskan kepada usaha peternakan sapi pedaging. Jenis sapi bali adalah yang paling banyak dikembangkan sebagai ternak pedaging didaerah ini. Nusa Tenggara Timur sendiri memiliki populasi ternak sapi sebanyak 817 708 ekor (BPS 2014). Amarasi merupakan wilayah yang terletak di Kabupaten Kupang Propinsi NTT yang mengembangkan usaha ternak sapi pedaging dengan populasi ternak seluruhnya adalah 22 218 ekor (BPS 2011).

Wilayah Amarasi seluruhnya terdiri dari 4 (empat) kecamatan yaitu Amarasi, Amarasi Barat, Amarasi Timur, dan Amarasi Selatan. Kondisi iklim di daerah ini adalah kering yang dipengaruhi oleh angin muson yang bertiup dari Australia yang musim kemaraunya lebih panjang yaitu 8-9 bulan dibandingkan dengan musim hujan (Nulik et al. 1999). Rataan curah hujan tahun 12 mm dengan

topografi daerah ini adalah bergelombang sampai dengan berbukit (BPS 2013). Amarasi memiliki sebuah sistem yang dikembangkan dalam usaha penggemukan ternak sapi yang sering disebut paronisasi. Sistem ini dikenal dengan nama sistem amarasi. Sistem amarasi adalah suatu sistem penggemukan ternak dengan pemberian pakan yang berbasis lamtoro (Leucaena leucocephala)

pada musim kemarau di wilayah Amarasi. Pada sistem ini pemberian pakan diberikan menggunakan sistem cut and carry. Penanaman percobaan awal L. leucocephala pada tahun 1930 di bawah bimbingan pemerintah Belanda di sekitar

daerah Baun (Ormelling 1955; Metzner 1981; 1983).

Sejak sistem amarasi diperkenalkan banyak peternak yang tertarik untuk memelihara sapi potong dan bersandar sepenuhnya pada L.leucocephala sebagai

sumber pakan utama. Pemberian daun lamtoro segar sebanyak 15-20 kg perhari dapat meningkatkan berat badan sapi bali sebesar 0.5-1 kg perhari, sehingga untuk mencapai berat pasar sekitar 350 kg dari berat badan awal 150 kg hanya membutuhkan waktu 3-6 bulan dan dapat memberikan kontribusi 30-70% terhadap pendapatan petani (Djoeroemana et al. 2007). Pemanfaatan lamtoro

(14)

mengandung 100% daun lamtoro menghasilkan konsumsi bahan kering, bahan organik, dan protein kasar tertinggi serta tidak berdampak negatif terhadap pertumbuhan ternak.

Sistem amarasi mengalami serangan kutu loncat diawal tahun 1986 sehingga menghancurkan tegakan lamtoro yang berdampak langsung pada penurunan produktivitas ternak di Amarasi (Mudita dan Kapa 1987). Seiring berjalannya waktu sistem amarasi mulai membaik dan kembali dibudidayakan hingga saat ini.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap ketersediaan dan penggunaan lamtoro (Leucaena leucocephala) pada sistem amarasi di Kabupaten

Kupang.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai:

1. Informasi bagi pengembangan IPTEK, khususnya yang berhubungan dengan sistem pemeliharaan ternak di daerah yang beriklim tropis.

2. Informasi bagi instansi terkait dalam upaya peningkatan kualitas sistem amarasi untuk meningkatkan produktivitas ternak.

3. Informasi dalam upaya pengembangan, budidaya dan pelestarian sistem amarasi di Kabupaten Kupang.

2 METODE

Waktu dan Lokasi

Penelitian dilakukan di dua desa yakni Desa Merbaun Kecamatan Amarasi Barat dan Desa Oesena Kecamatan Amarasi pada bulan Agustus 2013 sampai bulan Desember 2013. Kondisi iklim pada saat penelitian adalah musim kemarau.

Materi

Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah proportional cluster random sampling. Penentuan klaster adalah dua desa dengan ketinggian

tempat yang berbeda, yaitu Desa Oesena dengan ketinggian tempat 500 mdpl dan Desa Merbaun dengan ketinggian tempat 30 mdpl. Uji t digunakan untuk mengetahui perbedaan antara bobot badan dan konsumi lamtoro. Jumlah sampel ditentukan melalui perhitungan:

(15)

Dengan:

N = jumlah peternak e = galat (10%) n = jumlah sampel

Sebanyak 76 peternak dari dua desa dan dua kecamatan dijadikan responden untuk mendapatkan informasi tentang peternak, ternak, dan pola penyediaan hijauan pakan ternak dengan menggunakan kuisioner. Ternak yang diamati dalam penelitian ini adalah ternak ruminansia besar yaitu sapi bali.

Metode Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan dua metode yaitu survei lapang yaitu melakukan pengamatan di kandang dan wawancara. Wawancara langsung dengan peternak sebagai responden dilakukan dengan menggunakan kuisioner untuk mengetahui keadaan ternak, pakan dan kondisi umum lokasi penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari survei lapang yaitu hasil penimbangan konsumsi lamtoro, identifikasi hijauan makanan ternak di kandang, pertambahan bobot badan sapi bali, dan kapasitas tampung dari kedua desa. Data sekunder diperoleh dari data pustaka dari Dinas Peternakan dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Kupang.

Data yang diperoleh dikelompokkan spesies hijauan makanan ternak yang paling dominan di dua desa penelitian. Sampel yang diambil kemudian dianalisis kandungan nutrisinya.

Identifikasi Jenis Hijauan Pakan

Identifikasi jenis hijauan dilakukan dengan cara melihat dan mengamati hijauan yang masih segar yang terdapat di kandang. Ciri-ciri hijauan yang diamati akan dibandingkan dengan literatur (text book) yang berkaitan sehingga kita dapat

menemukan nama latin hijauan tersebut.

Analisis Potensi Hijauan Pakan yang Terkonsumsi

Analisis ini dilakukan dengan cara penimbangan hijauan makanan ternak sebelum diberikan kepada ternak dan penimbangan sisa pakan pada keesokan harinya. Pengamatan dilakukan selama tujuh hari berturut. Jumlah peternak yang di survei adalah 15 peternak dan diberi kode F1, F2,..., F15.

Analisis Kapasitas Tampung

Kapasitas tampung merupakan jumlah ternak yang digembalakan pada pastura dengan menjaga kelestarian lahan, tanaman, dan ternak. Satuan ternak (ST) merupakan satuan yang dipakai untuk ternak didasarkan pada kondisi pakan. Tahapan pelaksanaan dilakukan dengan pendekatan seperti di bawah ini:

a. Penentuan cuplikan pertama secara acak.

b. Pemotongan lamtoro sebanyak lima pohon yang terdapat disekitar. c. Penimbangan berat segar hijauan per lima pohon

(16)

e. Penentuan kapasitas tampungnya.

Kapasitas Penambahan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR)

Metode pengembangan pemetaan potensi wilayah digunakan untuk mengetahui potensi wilayah. Perhitungan kapasitas penambahan populasi ternak ruminansia dihitung dengan cara pendekatan perhitungan potensi wilayah dan pengembangan ternak ruminansia (Ayuni 2005).

Nell dan Rollinson (1974) mengemukakan bahwa potensi penyediaan hijauan dari sumber-sumber tersebut dikonversikan terhadap potensi padang rumput permanen setelah mengalami serangkaian penelitian empirik dengan perhitungan sebagai berikut:

a. Daya dukung lahan (ST)

= � ��� � ��� /�ℎ�/ℎ � � �ℎ

Keterangan

1. Potensi hijauan pakan dalam bentuk BK dengan satuan kg/tahun. 2. Konsumsi atau kebutuhan ternak dengan satuan kg BK ST-1 hari-1. 3. 365 hari = 1 tahun.

b. Analisis KPPTR efektif (ST) = Daya dukung lahan – Popriil. Keterangan

Popriil adalah ternak ruminansia (ST) pada tahun tertentu.

Pertambahan Bobot Badan Sapi Bali (kg e-1 h-1)

Pertambahan bobot badan diestimasi dari lingkar dada dengan menggunakan persamaan Zurahmah (2011)

�� = . � − 9

Keterangan

BB = bobot badan (kg) LD = lingkar dada (cm)

Pertambahan bobot badan harian sapi dihitung dengan rumus sebagai berikut:

= � �� � − � �� � −

Analisis Kandungan Nutrien Hijauan Pakan

Kandungan nutrien hijauan akan dianalisis dengan menggunakan metode analisis proksimat (AOAC 2005) dan Van Soest (Tillman et al. 1998). Sampel

hijauan pakan yang dominan diambil dari dua desa penelitian.

Total digestible nutrient daun lamtoro dihitung dengan menggunakan rumus

Hartadi et al. (2005).

(17)

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan keadaan umum di lokasi penelitian yaitu kondisi iklim dan menganalisis sistem pemeliharaan ternak serta pola penyediaan hijauan makanan ternak yang dapat mendukung usaha peternakan ruminansia di Nusa Tenggara Timur.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Daerah Penelitian

Desa Oesena terletak di Kecamatan Amarasi dengan luas wilayah 18 km² dari total luasan Kecamatan Amarasi. Batas-batas wilayah desa Oesena: Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kupang Timur, Selatan berbatasan dengan Desa Tun Baun Amarasi Barat, Barat berbatasan dengan Kelurahan Kota Bes, dan Timur berbatasan dengan Kelurahan Non Bes.

Desa Merbaun terletak di Kecamatan Amarasi Barat dengan luas wilayah 29,6 km² dari total luas Kecamatan Amarasi Barat.

(18)

rendah. Usaha beternak merupakan usaha sampingan dan merupakan adat budaya yang diturunkan secara turun temurun sejak dahulu bagi peternak dengan usia produktif. Beternak dilakukan untuk menambah pendapatan keluarga dan biasanya dilakukan setelah peternak melakukan pekerjaan utama. Hasil dari beternak digunakan untuk kebutuhan sekolah anak, pernikahan anak, dan acara-acara adat lainnya. Peternak di kedua desa ini memiliki pengalaman beternak dari keluarga yang diturunkan turun temurun sejak kecil tanpa pendidikan formal tentang peternakan. Rata-rata kepemilikan sapi di kedua desa berjumlah 2-6 ekor dan berasal dari warisan orangtua serta membeli sendiri.

Peternakan rakyat di Desa Oesena dan Desa Merbaun tersebar secara merata. Hal ini disebabkan oleh, lahan yang digunakan untuk kebun L. leucocephala juga digunakan untuk memelihara ternak secara tradisional dan semi

intensif. Selain ternak dipelihara di dalam kebun L. leucocephala ternak juga

dipelihara disekitar rumah. L. leucocephala yang ditanam sebagai tanaman pagar

di sekitar rumah dijadikan pakan untuk sapi bali yang dipelihara di lahan sekitar rumah. Sapi bali merupakan ternak ruminansia yang berpotensi sebagai ternak pedaging yang paling banyak di kembangkan di kedua desa ini bahkan diseluruh wilayah Amarasi. Populasi sapi bali di Desa Oesena adalah 539 ekor dan Desa Merbaun adalah 1 388 ekor (BPS 2011). Selain sapi bali, ruminansia kecil yaitu kambing, unggas dan monogastrik juga dipelihara di Desa Oesena dan Desa Merbaun. Sistem penggemukan ternak sapi bali di kedua desa adalah semi intensif dimana ternak diikat dan diberi makan dua kali sehari yaitu pagi dan sore. Jenis hijauan yang diberikan adalah L. leucocephala. Pola penyediaan pakan hijauan

adalah cut and carry. Sistem ini disebut juga paronisasi dan hanya dikembangkan

di wilayah Amarasi. Sisa hijauan berupa ranting dan batang yang ukurannya agak besar biasanya dikumpulkan peternak untuk dijadikan kayu bakar. Hijauan yang diberikan kepada ternak berasal dari kebun sendiri atau dari sekitar pekarangan rumah. Pemerintah desa menetapkan hukum (peraturan) sejak dahulu yaitu bila peternak mengambil hijauan yang berasal dari kebun lamtoro peternak lain akan dikenakan denda sebesar Rp. 1.000.000 peraturan tersebut mengharuskan setiap peternak menanam hijauan lamtoro sendiri. Sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan rata-rata kepemilikan lahan kebun lamtoro peternak pada Desa Oesena adalah 2.5 hektar sedangkan Desa Merbaun lebih besar yaitu 6.25 hektar.

Sistem Amarasi

Sistem amarasi diperkenalkan pada tahun 1930 lewat penanaman percobaan awal L. leucocephala di bawah bimbingan pemerintah Belanda yang

ditinggalkan sekitar Desa Baun (Ormelling 1955; Metzner 1981; 1983). Tahun 1932, para raja membuat suatu peraturan tradisional dimana setiap petani di Amarasi wajib untuk menanam L. leucocephala pada baris kontur setiap tiga

meter pada daerah tanam. Peraturan ini diperkuat pada tahun 1948 ketika pemerintah memperkenalkan peraturan tingkat lamtoro yang memaksa semua petani berpindah untuk menanam L. leucocephala disepanjang garis kontur

(Ormeling 1955). Petani menghabiskan 25-30% waktu mereka untuk menanam L. leucocephala. Peraturan yang dibuat oleh penguasa adat (Raja) membuat sistem

(19)

semua peternak di Amarasi lebih tinggi 85% dibandingkan dengan peternak-peternak di daerah lain di NTT karena mereka adalah satu-satunya wilayah yang berlimpah pakan ternak dengan sistem cut and carry. Selain itu peraturan lain

yang dibuat penguasa adat setempat ialah setiap keluarga di Amarasi wajib menggemukan 2-7 ekor ternak sapi bali.

Leucaena leucocephala ditanam sebagai tanam pagar hampir di seluruh

wilayah Amarasi. Leucaena leucocephala tumbuh di lahan pertanian dengan

kerapatan 10 000 pohon per hektar. Leucaena leucocephala merupakan tanaman

makanan ternak jenis leguminosa yang berasal dari Amerika Tropis. Dua dari tiga subspesiesnya sekarang memiliki distribusi yang baik pada iklim tropis, digunakan sebagai pakan ternak, sumber kayu bagi peternak, dan merupakan spesies reklamasi serta dapat mencegah terjadinya erosi. Leucaena leucocephala

sangat baik beradaptasi di iklim semi kering. Leucaena leucocephala merupakan

leguminosa yang kaya akan protein kasar (Jones 1979), dapat bertumbuh dengan baik pada daerah dengan curah hujan 650-3000 mm, mempunyai palatabilitas yang tinggi sehingga menjadikannya sebagai salah satu leguminosa dengan kualitas yang baik.

Sejak sistem amarasi diperkenalkan, banyak peternak yang tertarik untuk memelihara ternak sapi potong dan bersandar sepenuhnya pada L. leucocephala

sebagai sumber pakan utama. Sebelum terjadi serangan kutu loncat, penelitian tahun 1982-1986 menunjukkan bahwa produksi tahunan maximum dari daun dan batang lamtoro adalah sekitar 6000 kg bk-1 hr-1 (Piggin 2003). Namun adanya serangan kutu loncat (Heteropsylla culbana) di awal tahun 1986 telah

menghancurkan tegakan lamtoro yang berdampak langsung pada penurunan produktivitas usahatani dan ternak di Amarasi (Mudita dan Kapa 1987). Sapi potong yang kekurangan lamtoro mempunyai masa pemeliharaan yang lebih lama dan jumlah sapi yang digemukkan menjadi berkurang dari rata-rata 7 ekor menjadi 3 ekor per tahun. Dampak lainnya, peternak harus berjalan sejauh 1-3 km untuk mendapatkan hijauan bagi ternak mereka. Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah untuk menghilangkan kutu loncat namun tidak berhasil sepenuhnya. Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan dengan peternak di lapangan masih terdapat kutu loncat pada tegakan-tegakan lamtoro, namun seiring berjalannya waktu sistem ini mulai membaik.

Identifikasi Jenis Hijauan Pakan

Hasil identifikasi jenis hijauan pakan yang terdapat di kandang dari kedua desa, yakni Desa Oesena dan Desa Merbaun adalah L. leucocephala. Hal tersebut

sesuai dengan sistem yang dikembangkan di kedua desa, yaitu memberikan lamtoro sebagai pakan utama pada ternak di musim kemarau. Lamtoro mempunyai keunggulan bertahan hidup pada musim kemarau yang relatif lebih panjang di NTT dibandingkan dengan musim penghujan. Selain itu, lamtoro memiliki nilai gizi dan tingkat palatabilitas yang cukup tinggi bagi ternak. Adapun taksonomi lamtoro adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

(20)

Ordo : Fabales Famili : Fabaceae Genus : Leucaena

Spesies : Leucaena leucocephala

Saat ini Amarasi sedang mengembangkan jenis lamtoro yang lebih tahan terhadap kutu dengan produksi yang lebih cepat yaitu L. leucocephala cv.

Tarramba (Nulik et al. 2013).

Kualitas Lamtoro

Hasil analisis proksimat dan vansoest hijauan lamtoro pada Desa Oesena

dan Desa Merbaun tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi nutrienhijauan lamtoro (%) Komposisi Kimiaa) Desa Oesena Desa Merbaun

Protein kasar 27.35 19.88

Keterangan : a) Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fapet, IPB; b) Hartadi et al. 2005

Sesuai tabel diatas terlihat bahwa komposisi kimia dari hijauan lamtoro pada kedua desa penelitian tidak berbeda jauh kecuali ADF. Protein kasar pada hijauan lamtoro yang ditanam di Desa Oesena dengan kategori daerah berbukit lebih tinggi yaitu 27.35% dibanding dengan Desa Merbaun yang berada dekat pantai yaitu 19.88%. Kandungan protein daun lamtoro berkisar antara 25-32% dari bahan kering (Askar et al. 1997). Kisaran ini disebabkan oleh perbedaan

varietas, kesuburan tanah, umur panen yaitu daun muda memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan daun tua, iklim, serta komposisi campuran daun dan tangkai daun.

Konsumsi Lamtoro

Konsentrat adalah bahan pakan tunggal atau campur dengan kandungan nutrien serat kasar ≤ 18% (FAO, 1980). Berdasarkan pernyataan FAO maka lamtoro dapat dikategorikan setara dengan konsentrat karena memiliki kandungan nutrien serat kasar ≤18% (Tabel 1).

(21)

Hasil penimbangan yang dilakukan selama tujuh hari di kandang di Desa Oesena dan Desa Merbaun diperoleh konsumsi lamtoro seperti tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Konsumsi bahan kering daun lamtoro

No Rataan BB (kg e-1 hr-1) Rataan Konsumsi BK

(kg e-1 hr-1) Rataan Konsumsi BK (%)

Desa Oesena Desa Merbaun Desa

Oesena Merbaun Desa Oesena Desa Merbaun Desa

Keterangan F : Peternak; *): superskrip berbeda pada peubah yang sama menunjukkan hasil uji t

pada taraf 0.05.

Hasil perhitungan konsumsi terhadap bobot badan menunjukkan ternak mengalami kekurangan pakan yaitu 1.60% dari bobot badan atau sekitar 53% dari total ransum untuk Desa Oesena dan 2.16% dari bobot badan atau sekitar 72% dari total ransum untuk Desa Merbaun. Angka tersebut lebih rendah dari kebutuhan konsentrat untuk feedlot yaitu 95-97% dari total ransum.

Kekurangan pakan disebabkan oleh musim kemarau yang panjang dan adanya invasi kutu loncat sehingga ketersediaan pakan mengalami penurunan. Hasil uji t pada Tabel 2 menyatakan konsumsi bahan kering Desa Merbaun sangat signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Oesena hal ini dapat disebabkan karena luas kebun lamtoro di Desa Merbaun lebih besar dibandingkan dengan Desa Oesena.

(22)

Gambar 2 Pola penyediaan lamtoro pada sistem amarasi

Konsumsi Protein. Hasil Tabel 3 menunjukkan konsumsi protein Desa

Oesena lebih tinggi dari Desa Merbaun, hal ini seiring dengan tinggi kandungan protein kasar Desa Oesena. Angka konsumsi nutrient protein kasar pada Tabel 3 lebih tinggi dari Kearl 1983 yaitu kebutuhan protein untuk sapi dengan BB 150-200 kg e-1 dan pertambahan bobot badan harian 0.75 kg e-1 hr-1 yaitu 0.57- 0.67 kg e-1 hr-1. Kelebihan protein inilah yang dikonversi menjadi energi sehingga dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian sapi bali.

Tabel 3 Konsumsi protein kasar daun lamtoro Peternak Konsumsi PK (kg e-1 hr

-1) Konsumsi PK (g kg

-1BB

-1hr-1) Kearl (kg BBKebutuhan menurut -1hr-1)

Desa

Oesena Merbaun Desa Oesena Desa Merbaun Desa Oesena Desa Merbaun Desa

F1 1.11 0.75 5.32 3.59 0.63 0.63

F2 1.32 0.70 6.47 3.46 0.63 0.63

F3 1.28 0.71 5.80 3.16 0.65 0.66

F4 1.23 0.74 4.58 5.28 0.74 0.56

F5 0.78 0.54 3.67 3.83 0.64 0.57

F6 1.28 0.97 5.97 6.68 0.64 0.58

F7 0.85 0.72 3.60 3.71 0.68 0.62

F8 0.98 0.77 3.77 5.04 0.72 0.46

F9 1.03 0.76 4.39 4.63 0.67 0.48

F10 0.73 0.88 3.65 5.09 0.62 0.51

F11 0.98 0.81 5.33 8.26 0.61 0.44

F12 0.68 0.35 3.18 1.52 0.64 0.67

F13 1.07 0.76 3.71 3.52 0.92 0.64

F14 0.68 0.62 3.05 3.00 0.65 0.63

F15 0.76 0.62 3.22 3.41 0.67 0.53

Rataan 0.98±0.23 0.71±0.14 4.34±1.13 4.00±1.63 0.67±0.08 0.57±0.07

Keterangan PK: Protein kasar; F: Peternak

Konsumsi TDN. Tabel 4 menunjukkan konsumsi TDN kedua desa tidak

(23)

kebutuhan ternak. Berdasarkan perhitungan kebutuhan TDN sesuai dengan Keterangan TDN: Total digestible nutrient; F: Peternak

Pertambahan Bobot Badan Sapi Bali

(24)

Gambar 3 Pengukuran lingkar dada

Sesuai dengan pengkuran lingkar dada yang dilakukan selama tujuh minggu di kandang pada Desa Oesena dan Desa Merbaun diperoleh rataan pertambahan bobot badan harian sapi bali seperti tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4 Rataan pertambahan bobot badan harian sapi bali Keterangan F : Peternak

Berdasarkan Gambar 4 rataan pertambahan bobot badan harian ternak pada kedua desa bervariasi. Rataan pertambahan bobot badan harian dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu rataan yang kurang dari 0.50 kg/e/hr dan rataan yang lebih dari 0.50 kg/e/hr. Rata-rata pertambahan bobot badan harian sapi bali yang

-0.10 0.10 0.30 0.50 0.70 0.90 1.10 F1

F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 F11 F12 F13 F14 F15

Rataan PBB (kg/e/h)* Desa Merbaun

(25)

kurang dari 0.50 kg/e/hr di Desa Oesena adalah 0.17 kg/e/hari dan Desa Merbaun adalah 0.24 kg/e/hr. Ternak yang memiliki pertambahan bobot badan kurang dari 0.50 adalah ternak yang diduga sedang dalam umur pertumbuhan. Rata-rata pertambahan bobot badan harian sapi bali yang lebih dari 0.50 kg/e/hr di Desa Oesena adalah 0.76 kg/e/hr dan Desa Merbaun adalah 0.74 kg/e/hr. Tingginya pertambahan bobot badan harian sapi bali seiring dengan tingginya konsumsi nutrien terutama protein kasar. Selain itu lamtoro berfungsi melindungi degradasi protein yang berlebihan oleh mikroba rumen sehingga protein yang dapat diserap oleh usus halus menjadi lebih tinggi (Pamungkas et al. 2011).

Dahlanuddin et al. (2013) melaporkan bahwa sapi bali yang mengkonsumsi

daun lamtoro dapat meningkatkan rataan pertambahan bobot badan harian 0.47 kg/e/hr. Panjaitan et al., (2013) melaporkan bahwa pemberian lamtoro mendekati

100% memberikan rataan pertambahan bobot badan harian sapi bali sebesar 0.56-0.61 kg/e/hr. Pemberian pakan yang baik dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian sapi bali 0.7 kg/hr (jantan dewasa) dan 0.6 kg/hr (betina dewasa), range persentasi karkas dari 51.5 sampai 59.8%, dengan persentasi tulang kurang dari 15% dan lemak daging yang rendah (Pane 1991).

Kapasitas Tampung

Berdasarkan pengamatan pada 9 cuplikan yang diambil pada Desa Oesena dan Desa Merbaun diperoleh produksi hijauan dan kapasitas tampung seperti tersaji dalam Tabel 5.

Tabel 5 Produksi hijauan dan kapasitas tampung Desa Oesena dan Merbaun

No Komponen Desa Oesena Desa Merbaun

1 Rataan produksi perpohon (kg) 0.49 0.36

Produksi hijauan yang dihasilkan oleh kedua desa tidak berbeda jauh yaitu Desa Oesena 3 234 kg ha-1 dan Desa Merbaun 2 376 kg ha-1 (Tabel 5). Produksi hijauan dan kapasitas tampung dihitung berdasarkan populasi lamtoro per hektar dengan jarak tanam lamtoro 2 x 2 m. Sehingga dalam satu hektar kebun lamtoro terdapat 2500 pohon lamtoro dengan frekuensi pemotongan sebanyak tiga kali pada musim kemarau.

Musim mempunyai pengaruh terhadap produktivitas kebun lamtoro sehingga periode istirahat yang digunakan adalah 70 hari. Berdasarkan hasil perhitungan kapasitas tampung pada musim kemarau untuk Desa Oesena adalah 1.94 ST dan Desa Merbaun 1.43 ST.

(26)

serta musim hujan yang singkat membuat peternak mengalami kesulitan hijauan terutama pada musim kemarau. Selain iklim, topografi juga berpengaruh terhadap ketersediaan hijauan. Kemiringan berkaitan dengan pengelolaan lahan dan bahaya erosi serta elevasi berkaitan dengan suhu dan radiasi matahari.

4 SIMPULAN

(27)

DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of official Analytical Chemists. 2005. Official Methods of Analysis. Washington DC (US): Association of Official Analytical Chemist. Askar S. Marlina N. 1997. Komposisi Kimia beberapa Hijauan Pakan. Bulletin

Teknik Pertanian. 2 (1): 7-11.

Ayuni N. 2005. Tatalaksana Pemeliharaan dan Pengembangan Ternak Sapi Potong Berdasarkan Sumber Daya Lahan di Kabupaten Agam, Sumatera Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kupang. 2011. Kupang dalam Angka. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kupang. 2013. Kupang dalam Angka [BPS] Badan Pusat Statistik Propinsi NTT. 2014. NTT dalam Angka.

Dahlanuddin, Yanuarianto O, Poppi DP, McLennan SR, Quigley SP. 2013. Liveweight gain and feed intake of weaned Bali cattle fed grass and tree legumes in West Nusa Tenggara, Indonesia. Anim Prod Sci. 54(7): 915-921. Djoeroemana S, Myers B, Russell-Smith J, Blyth M. Salean IET Kappa MMJ.

2007. Integrated rural development in East Nusa Tenggara, Indonesia Proceedings of workshop to identify sustainable rural livelihoods, held in Kupang, Indonesia, 5-7 April 2006. ACIAR Proceedings No.126.

[FAO] Food Agricultural Organization. 1983. The use of concentrate feeds in livestockproductionsystems.http://www.fao.org/ag/againfo/programmes/en/lea

d/toolbox/Refer/fcrpsecl. pdf. Diunggah tanggal 16 September 2014. Hartadi H, Reksohadiprojo S, Tillman AD. 2005. Tabel Komposisi Pakan untuk

Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Haryanto B, Djajanegara A. 1993. Pemenuhan kebutuhan zat-zat makanan ternak ruminansia kecil. Sebelas Maret University Press. Hal 192-194.

Jones RJ. 1979. The value of Leucaena leucocephala as a feed for ruminants in tropics. World Anim. Rev. No. 31. P 13-23.

Kearl LC. 1982. Nutrient requirements of ruminants in developing countries. International Feedstuffs Institute. Utah Agricultural Experiment Station. Utah State University, Logan Utah.

Lowry JB. 1982. Detoxification of leucaena by enzimatic or microbial processes. In Proc. Leucaena reasearch in the Asian-Pasific Region. IDRC, 211-e. Hal 49-54.

Manurung T. 1996. Penggunaan hijauan leguminosa pohon sebagai protein ransum sapi potong. Jurnal Ilmu Ternak danVeteriner. 1(3): 143-147.

Mastika. 2003. Feeding strategies to improve the production performance and meat quality of Bali cattle (Bos sondaicus). In “strategies to improve Bali cattle in eastern Indonesia”. (Eds. K. Entwistle, D.Lindsay) ACIAR Proceedings No. 110, 10-13.

Metzner JK. 1983 Innovations in Agriculture Incorporating Traditional Production Methods: The Case of Amarasi. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 19: 94-105.

(28)

Mudita IW, Kapa MMJ. 1987. Dampak Serangan Kutu Loncat pada Lamtoro terhadap Sistem Pemeliharaan Ternak Sapi Paron. Laporan Penelitian sub-kelompok penelitian dasar program litbang pertanian lahan kering, Kepas. Undana. Kupang.

Nell AJ, Rollinson DHL. 1974. The Requirement and Availability of Livestock Feed in Indonesia, Jakarta.

Nulik J, Hosang E, Lidjang IK. 1999. Profil dan Karakter Zona Agroekologi pada Delapan Kabupaten-Perakitan Teknologi di Nusa Tenggara Timur. Makalah Yang disampaikan pada Pertemuan Aplikasi Paket Teknologi di BPTP Naibonat Kupang, 30 September – 1 Oktober 1999.

Nulik J, Dahlanuddin, D Kana Hau, C Pakereng, RG Edison, D Liubana, SP Ara, HE Giles. 2013. Esthablisment of Leucaena leucocephala cv. Tarramba in

Eastern Indonesia. Trop. Grasslands – Forajes Tropicales. Vol 1: 111-113.

Ormeling FJ. 1955. ‘The Timor Problem: a Geographical Interpretation of an Underdeveloped Island.’ J.B. Wolters (Ed). Jakarta.

Pamungkas D, Anggraeny YN, Kusmartono, Hartutik, Quigley SP, Poppi DP. 2011. Penggunaan daun lamtoro (L.leucocephala) dalam ransum terhadap konsumsi, kecernaan, dan pertambahan bobot badan sapi bali jantan lepas sapih. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Pane I. 1991. Produktivitas dan breeding sapi Bali. Proceeding Seminar Nasional Sapi Bali. Ujung Pandang. 2-3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. p: 50-69.

Panjaitan T. 2012. Performance of male Bali cattle in village system of Lombok. In “Improving smallholder and industrial livestock production for enchaging food security, environment and human welfare”. (Eds. S Koonawootrittriron, T Suwanasopee, D Jattawa, K Boonyanuwat and P Sunmun). Proceeding 15th AAAP, 26-23 Nov 2012. Bangkok, Thailand. Vol 11. 181.

Panjaitan T, Fauzan M, Dahlanuddin, Halliday MJ, Shelton HM. 2013. Growth of Bali bulls fattened with forage tree legumes in Eastern Indonesia: Leucaena leucocephala in Sumbawa. In “Improving quality of livestock products to meet and community demands”. Proceeding of the 22nd International grassland congress.

Piggin C. 2003. The Role of Leucaena in Swidden Cropping and Livestock Production in Nusa Tenggara Timur Province, Indonesia. ACIAR Proceedings No. 113.

Siregar B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Jakarta (ID). Penebar Swadaya. Hal

16.

Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusomo S, Lebdosoekojo S. 1983. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada

University.

Zurahmah N. 2011. Penduga bobot badan calon pejantan sapi bali menggunakan dimensi ukuran tubuh. Bulletin peternakan Vol. 35 (3): 160-164, Oktober

(29)

LAMPIRAN

Lampiran1 Kuisioner peternak

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN PAKAN

Jl. Agatis Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680 Telp./Fax. (0251) 8626213, 8628149 Web: http://intp.fapet.ac.id , Email: intp@ipb.ac.id

EVALUASI KETERSEDIAAN DAN PENGGUNAAN LAMTORO (LEUCAENA LEUCOCEPHALA) PADA SISTEM AMARASI DI

KABUPATEN KUPANG

Enumerator : Mona Lastri Lani (D251120121)

I. Data Umum Peternak

1. Nama :

2. Status Peternak :

3. Asal :

4. Umur :

5. Mata Pencaharian Pokok : 6. Mata Pencaharian Sampingan :

7. Pendapatan per bulan : > 500 ribu 500bu – 1 juta

> 2 juta ...

(30)

III. Panduan Pertanyaan (Wawancara Responden Peternak)

1. Apakah beternak menjadi pekerjaan tetap? (Ya/Tidak)

2. Mengapa Anda menjadi peternak? Dan mulai beternak tahun berapa? Alasan: ... 3. Apakah dengan beternak, dapat memenuhi kebutuhan keluarga terutama

dalam hal konsumsi?

4. Jumlah tenaga kerja yang ikut serta dalam memelihara ternak : a. Dari dalam keluarga ... orang

b. Dari luar keluarga ... orang 5. Berapa lama ternak digembalakan?

IV. Panduan Pertanyaan

a. Keterangan Tentang Ternak

N No

Nama ternak

No. Ear tag

Tanggal lahir

Berat lahir

Umur Lama

diternakkan

b. Manajemen Peternakan dan Kesehatan Hewan

1. Sistem pemeliharaan : kandang individual/campur dengan sesama anak. 2. Sistem pemeliharaan : (pilih salah satu)

a. Selalu dikandangkan (sistem intensif)

b. Dikandangan dan digembalakan (sistem semi intensif) c. Digembalakan (sistem ekstensif)

3. Berapa kali pemberian pakan terhadap ternak? 4. Pemberian pakan :

a. Pakan Hijauan :

 Jenis hijauan diberikan pada ternak : ...

 Waktu memberikan pakan hijauan : ...

(31)

1. Setiap pagi hari ...kg 2. Setiap siang hari ...kg 3. Setiap sore hari ...kg b. Pakan hijauan biasanya diperoleh dari :

(budidaya sendiri/mengarit dari tenpat lain/membeli) c. Nama lokal hijauanpakan ternak : ... d. Bila budidaya sendiri, biasanya dilakukan di :

1. Lahan kosong yang tidak diusahakan untuk pertanian 2. Pekarangan rumah

3. Pinggir jalan 4. Galengan sawah

5. Lainnya ... e. Alat yang digunakan dalam mendapatkan (menyediakan) hijauan

pakan? ... f. Berapa jauh jarak pengambilan Hijauan Pakan Ternak dari

rumah? ... g. Berapa jauh jarak rumah dengan kandang? ... h. Alat angkut untuk membawa hijauan pakan ternak ke kandang

(ada/tidak), bila ada yaitu... i. Bila diperoleh dengan cara membeli harganya :

1. Legum : Rp ... /kg 2. Rumput : Rp ... /kg

j. Apakah musim mempengaruhi penyediaan hijauan pakan? (Ya/Tidak)

k. Adakah kesulitan dalam memperoleh hijauan pakan dimusim kemarau?(Ya/Tidak)

Alasannya... Solusinya ... l. Konsentrat diberikan/tidak diberikan : banyaknya ... /kg m. Pakan konsentrat :

(32)

p. Apakah ternak anda pernah sakit ? (Ya/Tidak) Jika ya, yaitu : ... q. Apakah ternak anda pernah divaksin? (Ya/Tidak) Jika ya,

yaitu : ...

(33)
(34)
(35)

33 Yoksan Takoy 37 SD Laki-Laki Peternak Rp. 500.000 2 jantan, 1 betina Sapi bali semi intensif 1999 Lamtoro 40 kg pagi dan sore Belakang Rumah 2 orang 34 Rehuel Takoy 41 SMP Laki-Laki Peternak Rp. 500.000 2 jantan Sapi bali semi intensif 1997 Lamtoro 40 kg pagi dan sore Belakang Rumah 1 orang 35 Melkias Boymau 43 SMP Laki-Laki Petani Rp. 500.000 2 jantan Sapi bali semi intensif 1993 Lamtoro 60 kg pagi dan sore ± 3 km 1 orang

Lampiran 4 Data penimbangan konsumsi lamtoro di Desa Oesena

Lampiran 5 Data penimbangan konsumsi lamtoro di Desa Merbaun Nama Peternak

Jumlah Ternak

(e) Berat Pakan Segar (kg/hr) Berat Pakan Sisa (kg/hr)

1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7

Yonatan Matta 4 84 81 79 83 75 69 77.8 16.8 18 13.7 10.3 7 12.8 12 Oktofianus Matta 3 60 62.5 61 63 58 57.3 61 13 17 14.5 18.6 12.6 13 10.9 Jhonisius Matta 3 70 62 65 58 51.6 54 63.7 18 14.3 15.7 10 11 12 16 Melianus 1 20.3 32.3 23.4 25 37.8 20 18 9.3 10.6 9 8.5 11 8 6.5 Nama Peternak

Jumlah Ternak

(e) Berat Pakan Segar (kg hr-1) Berat Pakan Sisa (kg hr-1)

1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7

M.E Tofas 2 41.8 50 61 55 53 53 49 12 18 20.6 17.9 18 15.7 13.1 Okto Mnir 1 35 37.5 24 24.7 25 29.9 40 9.5 11.5 7.7 8.9 8.3 10.6 13 Yermias Ora 1 37 32 33 30.5 22.7 27 33.2 12.3 13.6 14.5 8 7.4 9 8.6 Onisimus Ora 1 30.4 27.5 29 36 29.5 33 37 11.8 9 11.7 15 10.4 13 14.6 Gabriel Mnir 2 27.6 33.6 37.4 40.7 31.6 32.5 42.4 6.3 9.2 10.7 13 9 11.6 13.3 Rahab 1 21.1 18.3 36.7 28 25.7 44.5 35.4 7.9 7.7 11 9.9 8.1 13.8 9 Maxem Ton 1 20 18 15.5 15.8 16.7 17 28 6 5.3 3.8 5.9 5.5 4.3 5.1 Anderia Tones 1 19 21 29 18.7 16 18 25 3.9 4.2 10.4 3.3 4.8 4 6.7 Filmon Boymau 1 35 21.5 34 20 15.3 24 11 10 7 7 5.8 5 7.8 3.8 Joni 1 15.3 18.1 15 19.5 13.2 13.9 21 5 4.3 4 5.9 2.9 4.2 8 Arnolus Bani 1 27 21 18 20 18 23 25.5 7.8 6.8 5 7 4.5 6.3 6 Zadrak 1 19 10 12.5 13 16 18 11.7 4.5 2.3 3.2 4.4 3.2 5 2 Kostan Rini 1 18.7 22.5 25 21 25 24 27 5 6.3 7.1 6.9 6 7 5.9 Benyamin Rini 1 12 14 13 18 13.3 15 12.3 2 3.5 3.1 4.8 3 2.5 3 Atri 1 17 19.2 19 12.3 11.4 14.5 18 4 5 5.2 2 2.6 3.3 4.7

(36)

Eka Matta 1 18.1 10.5 18.5 19.5 24.2 23 26.5 7 4.8 8 7.5 9.6 9 11 Musa Takoy 1 29 36.3 30 42 43.4 24 38.3 10.6 13 11 17.8 18 10.4 13 Fredik Puay 2 40 38.9 41 43 37 35 40.6 8 7 9 10 6.5 6 8.9 Naema 1 23.5 19.5 24.9 41.6 44.3 30.4 24.1 11 8.9 10 18 20.5 12 9

Yonas 2 42 43.5 39 45 40 38 41 7.8 6.7 10.3 7 11 6.5 6.9

(37)

Nama Peternak Lingkar Dada Oesena (cm/e/mg)

Lampiran 7 Pengukuran lingkar dada sapi bali di Desa Merbaun Nama Peternak Lingkar Dada Merbaun (cm/e/mg)

(38)
(39)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengembangan usaha peternakan khususnya ternak ruminansia dalam memenuhi kebutuhan pangan asal protein hewani perlu didukung oleh ketersediaan hijauan pakan baik secara kualitas, kuantitas, dan kontinuitas. Porsi hijauan dalam pakan ternak ruminansia mencapai 40-80% dari total bahan kering atau sekitar 2.7-2.9% dari bobot ternak (Kearl 1983). Secara nutrisi hijauan merupakan sumber serat, bahkan hijauan leguminosa menjadi suplementasi mineral dan protein murah bagi ternak ruminansia. Sulitnya penyediaaan hijauan dalam jumlah besar dan berkesinambungan sering terjadi di daerah beriklim tropis, kendala tersebut disebabkan oleh musim kemarau yang panjang. Kesulitan ini dapat berpengaruh terhadap peningkatan dan produktivitas ternak ruminansia.

Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu propinsi yang mengembangkan usaha ternak ruminansia. Peternakan ruminansia yang paling banyak dilakukan lebih difokuskan kepada usaha peternakan sapi pedaging. Jenis sapi bali adalah yang paling banyak dikembangkan sebagai ternak pedaging didaerah ini. Nusa Tenggara Timur sendiri memiliki populasi ternak sapi sebanyak 817 708 ekor (BPS 2014). Amarasi merupakan wilayah yang terletak di Kabupaten Kupang Propinsi NTT yang mengembangkan usaha ternak sapi pedaging dengan populasi ternak seluruhnya adalah 22 218 ekor (BPS 2011).

Wilayah Amarasi seluruhnya terdiri dari 4 (empat) kecamatan yaitu Amarasi, Amarasi Barat, Amarasi Timur, dan Amarasi Selatan. Kondisi iklim di daerah ini adalah kering yang dipengaruhi oleh angin muson yang bertiup dari Australia yang musim kemaraunya lebih panjang yaitu 8-9 bulan dibandingkan dengan musim hujan (Nulik et al. 1999). Rataan curah hujan tahun 12 mm dengan

topografi daerah ini adalah bergelombang sampai dengan berbukit (BPS 2013). Amarasi memiliki sebuah sistem yang dikembangkan dalam usaha penggemukan ternak sapi yang sering disebut paronisasi. Sistem ini dikenal dengan nama sistem amarasi. Sistem amarasi adalah suatu sistem penggemukan ternak dengan pemberian pakan yang berbasis lamtoro (Leucaena leucocephala)

pada musim kemarau di wilayah Amarasi. Pada sistem ini pemberian pakan diberikan menggunakan sistem cut and carry. Penanaman percobaan awal L. leucocephala pada tahun 1930 di bawah bimbingan pemerintah Belanda di sekitar

daerah Baun (Ormelling 1955; Metzner 1981; 1983).

Sejak sistem amarasi diperkenalkan banyak peternak yang tertarik untuk memelihara sapi potong dan bersandar sepenuhnya pada L.leucocephala sebagai

sumber pakan utama. Pemberian daun lamtoro segar sebanyak 15-20 kg perhari dapat meningkatkan berat badan sapi bali sebesar 0.5-1 kg perhari, sehingga untuk mencapai berat pasar sekitar 350 kg dari berat badan awal 150 kg hanya membutuhkan waktu 3-6 bulan dan dapat memberikan kontribusi 30-70% terhadap pendapatan petani (Djoeroemana et al. 2007). Pemanfaatan lamtoro

(40)

mengandung 100% daun lamtoro menghasilkan konsumsi bahan kering, bahan organik, dan protein kasar tertinggi serta tidak berdampak negatif terhadap pertumbuhan ternak.

Sistem amarasi mengalami serangan kutu loncat diawal tahun 1986 sehingga menghancurkan tegakan lamtoro yang berdampak langsung pada penurunan produktivitas ternak di Amarasi (Mudita dan Kapa 1987). Seiring berjalannya waktu sistem amarasi mulai membaik dan kembali dibudidayakan hingga saat ini.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap ketersediaan dan penggunaan lamtoro (Leucaena leucocephala) pada sistem amarasi di Kabupaten

Kupang.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai:

1. Informasi bagi pengembangan IPTEK, khususnya yang berhubungan dengan sistem pemeliharaan ternak di daerah yang beriklim tropis.

2. Informasi bagi instansi terkait dalam upaya peningkatan kualitas sistem amarasi untuk meningkatkan produktivitas ternak.

3. Informasi dalam upaya pengembangan, budidaya dan pelestarian sistem amarasi di Kabupaten Kupang.

2 METODE

Waktu dan Lokasi

Penelitian dilakukan di dua desa yakni Desa Merbaun Kecamatan Amarasi Barat dan Desa Oesena Kecamatan Amarasi pada bulan Agustus 2013 sampai bulan Desember 2013. Kondisi iklim pada saat penelitian adalah musim kemarau.

Materi

Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah proportional cluster random sampling. Penentuan klaster adalah dua desa dengan ketinggian

tempat yang berbeda, yaitu Desa Oesena dengan ketinggian tempat 500 mdpl dan Desa Merbaun dengan ketinggian tempat 30 mdpl. Uji t digunakan untuk mengetahui perbedaan antara bobot badan dan konsumi lamtoro. Jumlah sampel ditentukan melalui perhitungan:

(41)

Dengan:

N = jumlah peternak e = galat (10%) n = jumlah sampel

Sebanyak 76 peternak dari dua desa dan dua kecamatan dijadikan responden untuk mendapatkan informasi tentang peternak, ternak, dan pola penyediaan hijauan pakan ternak dengan menggunakan kuisioner. Ternak yang diamati dalam penelitian ini adalah ternak ruminansia besar yaitu sapi bali.

Metode Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan dua metode yaitu survei lapang yaitu melakukan pengamatan di kandang dan wawancara. Wawancara langsung dengan peternak sebagai responden dilakukan dengan menggunakan kuisioner untuk mengetahui keadaan ternak, pakan dan kondisi umum lokasi penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari survei lapang yaitu hasil penimbangan konsumsi lamtoro, identifikasi hijauan makanan ternak di kandang, pertambahan bobot badan sapi bali, dan kapasitas tampung dari kedua desa. Data sekunder diperoleh dari data pustaka dari Dinas Peternakan dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Kupang.

Data yang diperoleh dikelompokkan spesies hijauan makanan ternak yang paling dominan di dua desa penelitian. Sampel yang diambil kemudian dianalisis kandungan nutrisinya.

Identifikasi Jenis Hijauan Pakan

Identifikasi jenis hijauan dilakukan dengan cara melihat dan mengamati hijauan yang masih segar yang terdapat di kandang. Ciri-ciri hijauan yang diamati akan dibandingkan dengan literatur (text book) yang berkaitan sehingga kita dapat

menemukan nama latin hijauan tersebut.

Analisis Potensi Hijauan Pakan yang Terkonsumsi

Analisis ini dilakukan dengan cara penimbangan hijauan makanan ternak sebelum diberikan kepada ternak dan penimbangan sisa pakan pada keesokan harinya. Pengamatan dilakukan selama tujuh hari berturut. Jumlah peternak yang di survei adalah 15 peternak dan diberi kode F1, F2,..., F15.

Analisis Kapasitas Tampung

Kapasitas tampung merupakan jumlah ternak yang digembalakan pada pastura dengan menjaga kelestarian lahan, tanaman, dan ternak. Satuan ternak (ST) merupakan satuan yang dipakai untuk ternak didasarkan pada kondisi pakan. Tahapan pelaksanaan dilakukan dengan pendekatan seperti di bawah ini:

a. Penentuan cuplikan pertama secara acak.

b. Pemotongan lamtoro sebanyak lima pohon yang terdapat disekitar. c. Penimbangan berat segar hijauan per lima pohon

(42)

e. Penentuan kapasitas tampungnya.

Kapasitas Penambahan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR)

Metode pengembangan pemetaan potensi wilayah digunakan untuk mengetahui potensi wilayah. Perhitungan kapasitas penambahan populasi ternak ruminansia dihitung dengan cara pendekatan perhitungan potensi wilayah dan pengembangan ternak ruminansia (Ayuni 2005).

Nell dan Rollinson (1974) mengemukakan bahwa potensi penyediaan hijauan dari sumber-sumber tersebut dikonversikan terhadap potensi padang rumput permanen setelah mengalami serangkaian penelitian empirik dengan perhitungan sebagai berikut:

a. Daya dukung lahan (ST)

= � ��� � ��� /�ℎ�/ℎ � � �ℎ

Keterangan

1. Potensi hijauan pakan dalam bentuk BK dengan satuan kg/tahun. 2. Konsumsi atau kebutuhan ternak dengan satuan kg BK ST-1 hari-1. 3. 365 hari = 1 tahun.

b. Analisis KPPTR efektif (ST) = Daya dukung lahan – Popriil. Keterangan

Popriil adalah ternak ruminansia (ST) pada tahun tertentu.

Pertambahan Bobot Badan Sapi Bali (kg e-1 h-1)

Pertambahan bobot badan diestimasi dari lingkar dada dengan menggunakan persamaan Zurahmah (2011)

�� = . � − 9

Keterangan

BB = bobot badan (kg) LD = lingkar dada (cm)

Pertambahan bobot badan harian sapi dihitung dengan rumus sebagai berikut:

= � �� � − � �� � −

Analisis Kandungan Nutrien Hijauan Pakan

Kandungan nutrien hijauan akan dianalisis dengan menggunakan metode analisis proksimat (AOAC 2005) dan Van Soest (Tillman et al. 1998). Sampel

hijauan pakan yang dominan diambil dari dua desa penelitian.

Total digestible nutrient daun lamtoro dihitung dengan menggunakan rumus

Hartadi et al. (2005).

(43)

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan keadaan umum di lokasi penelitian yaitu kondisi iklim dan menganalisis sistem pemeliharaan ternak serta pola penyediaan hijauan makanan ternak yang dapat mendukung usaha peternakan ruminansia di Nusa Tenggara Timur.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Daerah Penelitian

Desa Oesena terletak di Kecamatan Amarasi dengan luas wilayah 18 km² dari total luasan Kecamatan Amarasi. Batas-batas wilayah desa Oesena: Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kupang Timur, Selatan berbatasan dengan Desa Tun Baun Amarasi Barat, Barat berbatasan dengan Kelurahan Kota Bes, dan Timur berbatasan dengan Kelurahan Non Bes.

Desa Merbaun terletak di Kecamatan Amarasi Barat dengan luas wilayah 29,6 km² dari total luas Kecamatan Amarasi Barat.

(44)

rendah. Usaha beternak merupakan usaha sampingan dan merupakan adat budaya yang diturunkan secara turun temurun sejak dahulu bagi peternak dengan usia produktif. Beternak dilakukan untuk menambah pendapatan keluarga dan biasanya dilakukan setelah peternak melakukan pekerjaan utama. Hasil dari beternak digunakan untuk kebutuhan sekolah anak, pernikahan anak, dan acara-acara adat lainnya. Peternak di kedua desa ini memiliki pengalaman beternak dari keluarga yang diturunkan turun temurun sejak kecil tanpa pendidikan formal tentang peternakan. Rata-rata kepemilikan sapi di kedua desa berjumlah 2-6 ekor dan berasal dari warisan orangtua serta membeli sendiri.

Peternakan rakyat di Desa Oesena dan Desa Merbaun tersebar secara merata. Hal ini disebabkan oleh, lahan yang digunakan untuk kebun L. leucocephala juga digunakan untuk memelihara ternak secara tradisional dan semi

intensif. Selain ternak dipelihara di dalam kebun L. leucocephala ternak juga

dipelihara disekitar rumah. L. leucocephala yang ditanam sebagai tanaman pagar

di sekitar rumah dijadikan pakan untuk sapi bali yang dipelihara di lahan sekitar rumah. Sapi bali merupakan ternak ruminansia yang berpotensi sebagai ternak pedaging yang paling banyak di kembangkan di kedua desa ini bahkan diseluruh wilayah Amarasi. Populasi sapi bali di Desa Oesena adalah 539 ekor dan Desa Merbaun adalah 1 388 ekor (BPS 2011). Selain sapi bali, ruminansia kecil yaitu kambing, unggas dan monogastrik juga dipelihara di Desa Oesena dan Desa Merbaun. Sistem penggemukan ternak sapi bali di kedua desa adalah semi intensif dimana ternak diikat dan diberi makan dua kali sehari yaitu pagi dan sore. Jenis hijauan yang diberikan adalah L. leucocephala. Pola penyediaan pakan hijauan

adalah cut and carry. Sistem ini disebut juga paronisasi dan hanya dikembangkan

di wilayah Amarasi. Sisa hijauan berupa ranting dan batang yang ukurannya agak besar biasanya dikumpulkan peternak untuk dijadikan kayu bakar. Hijauan yang diberikan kepada ternak berasal dari kebun sendiri atau dari sekitar pekarangan rumah. Pemerintah desa menetapkan hukum (peraturan) sejak dahulu yaitu bila peternak mengambil hijauan yang berasal dari kebun lamtoro peternak lain akan dikenakan denda sebesar Rp. 1.000.000 peraturan tersebut mengharuskan setiap peternak menanam hijauan lamtoro sendiri. Sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan rata-rata kepemilikan lahan kebun lamtoro peternak pada Desa Oesena adalah 2.5 hektar sedangkan Desa Merbaun lebih besar yaitu 6.25 hektar.

Sistem Amarasi

Sistem amarasi diperkenalkan pada tahun 1930 lewat penanaman percobaan awal L. leucocephala di bawah bimbingan pemerintah Belanda yang

ditinggalkan sekitar Desa Baun (Ormelling 1955; Metzner 1981; 1983). Tahun 1932, para raja membuat suatu peraturan tradisional dimana setiap petani di Amarasi wajib untuk menanam L. leucocephala pada baris kontur setiap tiga

meter pada daerah tanam. Peraturan ini diperkuat pada tahun 1948 ketika pemerintah memperkenalkan peraturan tingkat lamtoro yang memaksa semua petani berpindah untuk menanam L. leucocephala disepanjang garis kontur

(Ormeling 1955). Petani menghabiskan 25-30% waktu mereka untuk menanam L. leucocephala. Peraturan yang dibuat oleh penguasa adat (Raja) membuat sistem

(45)

semua peternak di Amarasi lebih tinggi 85% dibandingkan dengan peternak-peternak di daerah lain di NTT karena mereka adalah satu-satunya wilayah yang berlimpah pakan ternak dengan sistem cut and carry. Selain itu peraturan lain

yang dibuat penguasa adat setempat ialah setiap keluarga di Amarasi wajib menggemukan 2-7 ekor ternak sapi bali.

Leucaena leucocephala ditanam sebagai tanam pagar hampir di seluruh

wilayah Amarasi. Leucaena leucocephala tumbuh di lahan pertanian dengan

kerapatan 10 000 pohon per hektar. Leucaena leucocephala merupakan tanaman

makanan ternak jenis leguminosa yang berasal dari Amerika Tropis. Dua dari tiga subspesiesnya sekarang memiliki distribusi yang baik pada iklim tropis, digunakan sebagai pakan ternak, sumber kayu bagi peternak, dan merupakan spesies reklamasi serta dapat mencegah terjadinya erosi. Leucaena leucocephala

sangat baik beradaptasi di iklim semi kering. Leucaena leucocephala merupakan

leguminosa yang kaya akan protein kasar (Jones 1979), dapat bertumbuh dengan baik pada daerah dengan curah hujan 650-3000 mm, mempunyai palatabilitas yang tinggi sehingga menjadikannya sebagai salah satu leguminosa dengan kualitas yang baik.

Sejak sistem amarasi diperkenalkan, banyak peternak yang tertarik untuk memelihara ternak sapi potong dan bersandar sepenuhnya pada L. leucocephala

sebagai sumber pakan utama. Sebelum terjadi serangan kutu loncat, penelitian tahun 1982-1986 menunjukkan bahwa produksi tahunan maximum dari daun dan batang lamtoro adalah sekitar 6000 kg bk-1 hr-1 (Piggin 2003). Namun adanya serangan kutu loncat (Heteropsylla culbana) di awal tahun 1986 telah

menghancurkan tegakan lamtoro yang berdampak langsung pada penurunan produktivitas usahatani dan ternak di Amarasi (Mudita dan Kapa 1987). Sapi potong yang kekurangan lamtoro mempunyai masa pemeliharaan yang lebih lama dan jumlah sapi yang digemukkan menjadi berkurang dari rata-rata 7 ekor menjadi 3 ekor per tahun. Dampak lainnya, peternak harus berjalan sejauh 1-3 km untuk mendapatkan hijauan bagi ternak mereka. Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah untuk menghilangkan kutu loncat namun tidak berhasil sepenuhnya. Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan dengan peternak di lapangan masih terdapat kutu loncat pada tegakan-tegakan lamtoro, namun seiring berjalannya waktu sistem ini mulai membaik.

Identifikasi Jenis Hijauan Pakan

Hasil identifikasi jenis hijauan pakan yang terdapat di kandang dari kedua desa, yakni Desa Oesena dan Desa Merbaun adalah L. leucocephala. Hal tersebut

sesuai dengan sistem yang dikembangkan di kedua desa, yaitu memberikan lamtoro sebagai pakan utama pada ternak di musim kemarau. Lamtoro mempunyai keunggulan bertahan hidup pada musim kemarau yang relatif lebih panjang di NTT dibandingkan dengan musim penghujan. Selain itu, lamtoro memiliki nilai gizi dan tingkat palatabilitas yang cukup tinggi bagi ternak. Adapun taksonomi lamtoro adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

(46)

Ordo : Fabales Famili : Fabaceae Genus : Leucaena

Spesies : Leucaena leucocephala

Saat ini Amarasi sedang mengembangkan jenis lamtoro yang lebih tahan terhadap kutu dengan produksi yang lebih cepat yaitu L. leucocephala cv.

Tarramba (Nulik et al. 2013).

Kualitas Lamtoro

Hasil analisis proksimat dan vansoest hijauan lamtoro pada Desa Oesena

dan Desa Merbaun tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi nutrienhijauan lamtoro (%) Komposisi Kimiaa) Desa Oesena Desa Merbaun

Protein kasar 27.35 19.88

Keterangan : a) Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fapet, IPB; b) Hartadi et al. 2005

Sesuai tabel diatas terlihat bahwa komposisi kimia dari hijauan lamtoro pada kedua desa penelitian tidak berbeda jauh kecuali ADF. Protein kasar pada hijauan lamtoro yang ditanam di Desa Oesena dengan kategori daerah berbukit lebih tinggi yaitu 27.35% dibanding dengan Desa Merbaun yang berada dekat pantai yaitu 19.88%. Kandungan protein daun lamtoro berkisar antara 25-32% dari bahan kering (Askar et al. 1997). Kisaran ini disebabkan oleh perbedaan

varietas, kesuburan tanah, umur panen yaitu daun muda memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan daun tua, iklim, serta komposisi campuran daun dan tangkai daun.

Konsumsi Lamtoro

Konsentrat adalah bahan pakan tunggal atau campur dengan kandungan nutrien serat kasar ≤ 18% (FAO, 1980). Berdasarkan pernyataan FAO maka lamtoro dapat dikategorikan setara dengan konsentrat karena memiliki kandungan nutrien serat kasar ≤18% (Tabel 1).

(47)

Hasil penimbangan yang dilakukan selama tujuh hari di kandang di Desa Oesena dan Desa Merbaun diperoleh konsumsi lamtoro seperti tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Konsumsi bahan kering daun lamtoro

No Rataan BB (kg e-1 hr-1) Rataan Konsumsi BK

(kg e-1 hr-1) Rataan Konsumsi BK (%)

Desa Oesena Desa Merbaun Desa

Oesena Merbaun Desa Oesena Desa Merbaun Desa

Keterangan F : Peternak; *): superskrip berbeda pada peubah yang sama menunjukkan hasil uji t

pada taraf 0.05.

Hasil perhitungan konsumsi terhadap bobot badan menunjukkan ternak mengalami kekurangan pakan yaitu 1.60% dari bobot badan atau sekitar 53% dari total ransum untuk Desa Oesena dan 2.16% dari bobot badan atau sekitar 72% dari total ransum untuk Desa Merbaun. Angka tersebut lebih rendah dari kebutuhan konsentrat untuk feedlot yaitu 95-97% dari total ransum.

Kekurangan pakan disebabkan oleh musim kemarau yang panjang dan adanya invasi kutu loncat sehingga ketersediaan pakan mengalami penurunan. Hasil uji t pada Tabel 2 menyatakan konsumsi bahan kering Desa Merbaun sangat signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Oesena hal ini dapat disebabkan karena luas kebun lamtoro di Desa Merbaun lebih besar dibandingkan dengan Desa Oesena.

(48)

Gambar 2 Pola penyediaan lamtoro pada sistem amarasi

Konsumsi Protein. Hasil Tabel 3 menunjukkan konsumsi protein Desa

Oesena lebih tinggi dari Desa Merbaun, hal ini seiring dengan tinggi kandungan protein kasar Desa Oesena. Angka konsumsi nutrient protein kasar pada Tabel 3 lebih tinggi dari Kearl 1983 yaitu kebutuhan protein untuk sapi dengan BB 150-200 kg e-1 dan pertambahan bobot badan harian 0.75 kg e-1 hr-1 yaitu 0.57- 0.67 kg e-1 hr-1. Kelebihan protein inilah yang dikonversi menjadi energi sehingga dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian sapi bali.

Tabel 3 Konsumsi protein kasar daun lamtoro Peternak Konsumsi PK (kg e-1 hr

-1) Konsumsi PK (g kg

-1BB

-1hr-1) Kearl (kg BBKebutuhan menurut -1hr-1)

Desa

Oesena Merbaun Desa Oesena Desa Merbaun Desa Oesena Desa Merbaun Desa

F1 1.11 0.75 5.32 3.59 0.63 0.63

F2 1.32 0.70 6.47 3.46 0.63 0.63

F3 1.28 0.71 5.80 3.16 0.65 0.66

F4 1.23 0.74 4.58 5.28 0.74 0.56

F5 0.78 0.54 3.67 3.83 0.64 0.57

F6 1.28 0.97 5.97 6.68 0.64 0.58

F7 0.85 0.72 3.60 3.71 0.68 0.62

F8 0.98 0.77 3.77 5.04 0.72 0.46

F9 1.03 0.76 4.39 4.63 0.67 0.48

F10 0.73 0.88 3.65 5.09 0.62 0.51

F11 0.98 0.81 5.33 8.26 0.61 0.44

F12 0.68 0.35 3.18 1.52 0.64 0.67

F13 1.07 0.76 3.71 3.52 0.92 0.64

F14 0.68 0.62 3.05 3.00 0.65 0.63

F15 0.76 0.62 3.22 3.41 0.67 0.53

Rataan 0.98±0.23 0.71±0.14 4.34±1.13 4.00±1.63 0.67±0.08 0.57±0.07

Keterangan PK: Protein kasar; F: Peternak

Konsumsi TDN. Tabel 4 menunjukkan konsumsi TDN kedua desa tidak

(49)

kebutuhan ternak. Berdasarkan perhitungan kebutuhan TDN sesuai dengan Keterangan TDN: Total digestible nutrient; F: Peternak

Pertambahan Bobot Badan Sapi Bali

(50)

Gambar 3 Pengukuran lingkar dada

Sesuai dengan pengkuran lingkar dada yang dilakukan selama tujuh minggu di kandang pada Desa Oesena dan Desa Merbaun diperoleh rataan pertambahan bobot badan harian sapi bali seperti tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4 Rataan pertambahan bobot badan harian sapi bali Keterangan F : Peternak

Berdasarkan Gambar 4 rataan pertambahan bobot badan harian ternak pada kedua desa bervariasi. Rataan pertambahan bobot badan harian dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu rataan yang kurang dari 0.50 kg/e/hr dan rataan yang lebih dari 0.50 kg/e/hr. Rata-rata pertambahan bobot badan harian sapi bali yang

-0.10 0.10 0.30 0.50 0.70 0.90 1.10 F1

F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 F11 F12 F13 F14 F15

Rataan PBB (kg/e/h)* Desa Merbaun

Gambar

Gambar 1 Peta Kabupaten Kupang (Sumber BPS Kab. Kupang 2014)
Tabel 2 Konsumsi bahan kering daun lamtoro
Tabel 3 Konsumsi protein kasar daun lamtoro
Tabel 4 Konsumsi TDN daun lamtoro
+7

Referensi

Dokumen terkait