• Tidak ada hasil yang ditemukan

Melacak makna observasi dalam tafsir Ruh-Al-Ma'ani: kajian atas Ra'a dan Nazara pad juz 30

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Melacak makna observasi dalam tafsir Ruh-Al-Ma'ani: kajian atas Ra'a dan Nazara pad juz 30"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud.)

Oleh: Sopiyanul Arifin Nim:105034001223

JURUSAN TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjan Ushuluddin (S.Ud.)

Oleh: Sopiyanul Arifin NIM 105034001223

Pembimbing

Dr.Yusuf Rahman, M.A. NIP: 196702131992031002

JURUSAN TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

Kajian Atas Ra`â Dan Nazara dalam juz 30 yang ditulis oleh Sopiyanul Arifin, NIM: 105034001223, telah diujikan dalam sidang Munaqosyah di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 14 Maret 2011, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gekar Sarjana Ushuluddin(S.Ud.) pada program studi Tafsir Hadis.

Ciputat, 14 Maret 2011

SIDANG MUNAQASYAH

Ketua Merapat Anggota Sekertaris Merapat Anggota

Dr. M. Suryadinata, MA Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA

Nip: 19600908 198903 1005 Nip: 19711033 199903 2001 Anggota

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA Muslih, Lc, MA

Nip: 19711033 199903 2001 Nip: 19721024 200312 1002 Pembimbing

(4)

iv

Segala puji hanya milik Allah, Tuhan sekalian alam. Yang telah

menganugerahkan hidayah dan taufik-Nya kepada penulis, sehingga penulis bisa

menyelesaikan skripsi ini dengan hasil yang cukup memuaskan. Shalawat dan

salam semoga tetap terlimpah curah atas insan ma’shum yang telah diampuni

segala dosa dan kesalahannya baik yang telah lalu maupun yang akan datang,

namun beliau tetap konsisten melaksanakan rangkaian amal yang mendekatkan

dirinya kepada Allah.

Tentunya penulis sadari bahwa tidak mudah untuk menyelesaikan

pembuatan skripsi ini, banyak sekali hambatan yang penulis hadapi dalam proses

penggarapan karya ilmiah ini. Akan tetapi, Alhamdulillah dengan dukungan dari

semua pihak, akhirnya penulis bisa menyelesaikan proses pembuatan skripsi

tersebut dengan hasil yang cukup memuaskan. Tentunya semua ini berkat

dukungan dari orang-orang disekitar penulis. Oleh karena itu, penulis ingin

memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah

membantu dalam pembuatan skripsi ini,baik dalam bentuk dukungan materi,

tenaga, moral, ide atau pun gagasan. Secara khusus, penulis ingin memberikan

apresiasi kepada ibunda tecinta Umi Sahaya sareng ayahanda tercinta Ama Djazuli selaku orang tua penulis, rayi abdi anu dipikageugeut kakak Endin Saprudin dan teh Sofi, serta kakak Khaerudin dan teh Uju, tidak lupa adik tercinta

(5)

v

2. Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A., selaku Dekan Fakultas Usuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta beserta segenap pembantu Dekannya.

3. Dr. Bustamin, M.Si., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis.

4. Dr. Lilik Umi Kalsum, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.

5. Seluruh dosen dan staf pengajar pada program studi Tafsir Hadis (TH) atas

segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan pengalaman

yang mendorong penulis selama menempuh studi..

6. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan FU, UIN Syarif

Hidayatullah.

7. Dengan kerendahan hati dan rasa terima kasih saya kepada Dr. Yusuf

Rahman, M.A yang telah membimbing dan membantu saya dari mulai

merumuskan penilitian, sampai terselesaikannya skripsi ini.

8. Ucapan terima kasih dan teriring do’a kepada Bapak Kiyai Mamin pimpinan

pondok pesantren salafi Daaru At-Taufiqiyah yang telah mendidik penulis

sehingga mengenal ilmu-ilmu agama. Alhamdulillah, hasil didikan beliau

menjadi bekal dasar penulis untuk melanjutkan jenjang pendidikan di UIN

Jakarta. Semoga pendidikan Beliau dapat berguna bagi Agama dan Bangsa ini,

amin.

9. Terima kasih buat teman-teman penulis di TH Angkatan “2005”, Rasa

(6)

vi

dalam kaidah penulisan dan pencarian buku. Dan teman-teman yang

senantiasa ceria dan tak henti menyemangati penulis :(Imam, Hendi, Jurjani,

bang Dedi, bang Jhon,). Kawan-kawan di IMALA (Ikatan Mahasiswa Lebak):

Ajute, Ajuba, Firman, Rangga, Acep, Uci, Dede Uwes, Ade Suryadi. Ida, Elis,

Husna, Ucu, Lilis, Linda Arini, Lesti dan Yulia. Penghuni Kos Antala’la: Bang

Oji, Geri, Andri, Jedril, A. Deni Romdhoni (Alm), Hendra, Alex, Anam, Didi

Toing, Rohim. Thanks so much for your supporting and praying for me. Akhirny penulis berharap bahwa skripsi yang berjudul " Melacak Makna

Observasi DalamTafsir Rûh Al-Ma‘Âni: Kajian Atas Ra`Â Dan Nazara pada juz 30)" bisa bermanfa’at bagi semua pihak, terutama untuk penulis sendiri.

Ciputat, 30 April 2011

(7)

vii

HALAMAN JUDUL... i

PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... vii

PEDOMAN TRANSLITASI ... ix

BAB I: PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 9

D. Kajian Pustaka... 10

E. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan ... 11

F. Sistematika Penulisan... 12

BAB II: BIOGRAFI IMAM AL-ALÛSI DAN TAFSIRNYA... 14

A. Riwayat Hidup dan Karir Intelektual... 14

B. Karya-Karyanya... 17

C. Sekilas Tentang Kitab TafsirRuh Al-Ma`âni... 18

(8)

viii

A. Pengertian Observasi ... 26

B. Metode Ilmu Pengetahuan... 28

1. Demonstratif... 29

2. Argumentatif ... 30

3. Intuitif ... 33

E. Objek dan Subyek Observasi Dalam al-Qur’an: Penggunaan KataRa`âdanNazara ... 36

BAB IV: RA’Â DAN NAZARA PADA JUZ 30 DALAM TAFSIR RÛH AL- MA‘ÂNI... 39

A. PengertianRa`â... 39

B. PenafsiranRa`âpada Q.S al-‘Alaq 9,11,13. Q.S Al-Fîl 1. Dan Q.S Al-Fajr 6... 41

C. PengertianNazra ... 52

D. Penafsiran al-Alûsi dalam Surat al-Ghasiyah Ayat 17 ... 54

BAB V: PENUTUP... 61

A. Saran ... 61

B. Kesimpulan... 64 DAFTAR PUSTAKA

(9)

ix

أ = a ز = z ق = q

ب = b س = s ك = k

ت = t ش = sy ل = l

ث = ts ص = s م = m

ج = j ض = d ن = n

ح = h ط = t و = w

خ = kh ظ = z ه = h

د = d ع = ‘ ء = `

ذ = dz غ = gh ي = y

ر = r ف = f

2. Vokal

Vokal (a) panjang = â, contoh:َلﺎَﻗ = Qâla Vokal (i) panjang = î, contoh: َﻞْﯿِﻗ = Qîla Vokal (u) panjang = û, contoh:َنْوُد = Dûna

3. Diftong

ْو َ = au ْي َ = ai

4. Syaddah

(10)

x

Transliterasinya dibedakan antara huruf syamsiyah dengan qomariyah.

a. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah ditransliterasikan sesuai bunyinya, yaitu huruf "L" diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu. Misalnya al-Syamsu, al-Nûr.

b. Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan didepan dan sesuai bunyinya. Misalnya al-Badru, al-Watan.

5.Ta Marbûtah

(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur`an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril selama 22 tahun lebih secara berangsur-angsur. Umat Islam meyakini, bahwa siapa pun yang membacanya dinilai sebagai suatu ibadah di sisi Allah SWT. Kitab suci ini sangat multitafsir dan multiinterpretatif,1 para pembacanya selalu saja ingin mengutip dan menafsirkan, Karena itu lahirlah beragam buku, komentar tentang makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur`an.

Abdullah Darraz yang dikutip M. Quraish Shihab, menulis :

“Apabila anda membaca al-Qur`an, maknanya akan jelas dihadapan anda. Tetapi apabila anda membacanya sekali lagi, akan anda temukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna-makna sebelumnya. Demikian seterusnya, sampai-sampai anda (dapat) menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam, semuanya benar atau mungkin benar. (Ayat-ayat al-Qur`an) bagaikan intan, setiap sudut memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang anda lihat.”2

Di antara pembicaraan al-Qur`an yang menarik untuk dijadikan kajian adalah pengertian dari makna Ra`â dan Nazara. Meskipun memiliki arti yang sama sebagai arti “melihat,” namunkedua istilah ini sarat dengan muatan makna.

1Salah satu ciri bahwa agama itu selalu hidup dan tak pernah mati, adalah bahwa kitab

suci agama tersebut tidak pernah berhenti ditafsirkan sampai kapan pun. Dalam hal ini, al-qur’an

termasuk kitab suc yang tidak pernah berhenti untuk ditafsirkan, setiap waktu selalu muncul penafsiran yang dibutuhkan oleh zamannya. Selengkapnya lihat Ulil Abshar Abdalla, Makna kelengkapan dan kesempurnaan al-Qur`an dalam islam liberal.com (http://Islam Liberal.com/id/Artikel/epistemologi-islam).

2M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam

(12)

Istilah ini sering dijumpai dalam al-Qur`an misalnya dalam surat al-‘Arâf ayat 143:                                                                        

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya Menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".3 Menurut kaum Mu‘tazilah ayat di atas termasuk ke dalam ayat Muhkam sehingga mempunyai isi yang tegas dan lugas, padahal kedua ayat di atas menginformasikan penolakan tentang Tuhan dilihat dengan mata kepala. Kaum Mu‘tazilah pun berpendapat ayat-ayat lain yang berlawanan dengan kedua ayat itu harus dita`wilkan dan diinterpretasikan. Ayat-ayat itu mereka sebut ayat mutasyabihât.4

Selain itu, juga dalam al-Qur`an disebutkan dalam surat al-Mâ‘ûn ayat 1, sebagai berikut :

3Departemen Agama RI,al-Qur

ʹ an dan Terjemahnya(Bandung : CV Penerbit J-ART, 2005), h. 168

4

(13)















“Apa engkau telah melihat orang yang mendustakan hari kemudian?”5

Pertanyaan yang diajukan pada ayat di atas bukan untuk diajukan demi memperoleh jawaban, karena Allah maha mengetahui, tetapi bermaksud untuk menggugah hati dan pikiran mitra bicara agar memperhatikan kandungan pembicaraan berikut. Dengan pernyataan ini ayat di atas mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama yang tanpa itu keberagamaannya dinilai sangat lemah, kalau enggan berkata nihil.6

Ayat di atas menyebutkan mengenai pentingnya mendapat pengetahuan. Tentu saja, pengetahuan yang diperoleh harus melalui pengamatan, yang dalam hal ini berarti melihat atau lebih tepatnya mengobservasi.

Juga surat al-Ghasiyah ayat 17, berikut :



 





 

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Unta itu diciptakan?”7

M. Quraish Shihab mengatakan bahwa makna kata Nazâra yang tertera dalam ayat di atas, adalah melihat atau memperhatikan untuk mendorong setiap orang melihat sampai batas akhirnya, hingga pandangan dan perhatian benar-benar menyeluruh, sempurna dan mantap agar dapat menarik darinya sebanyak

5Departemen Agama RI,

al-qur’an dan Terjemahnya, h 603

6M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah : jilid 15 halaman 546. Lihat juga,

Muhammadiyah Amin, “Ra’y”, dalam M. Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-qur’an : Kajian Kosakata(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 800.

7

(14)

mungkin bukti tentang kuasa Allah dan kehebatan ciptaan-Nya.8 Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya, untuk memperhatikan kepada makhluk ciptaan-Nya, yang semua itu menunjukan kekuasan dan kebenaran-Nya.9

Sementara itu, Zainuddin al-Razi, sebagaimana yang dikutip Fauz Noor mengartikan Nazara sebagai “melihat dengan mata ragawi,” sedangkan Ra`â dimaknai dengan “melihat secara empirik, imaginatif atau non ragawi”10 Akan tetapi, dalam beberapa tafsir yang populer di Indonesia, misalnya Tafsir Depag RI, memaknai kedua kata tersebut dengan pengertian yang sama, melihat.11 Kondisi seperti ini jelas akan membuat pembaca al-Qur`an tidak bisa mendapatkan pengertian yang sesungguhnya, terutama dalam ayat-ayat yang terdapat kedua ayat tersebut yang ada dalam al-Qur`an.

Adapun kataﻲ ﻧ ر أ arinî“nampakanlah kepadaku” yang terdapat dalam ayat 143 surat al-‘Araf di atas tentang ucapan Nabi Musa as. ﻚﯿﻟاﺮﻈﻧأ ﻲﻧرأ arinî anzur ilaikanampakanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat kepada-Mu, bukan berarti penampakan yang berbentuk rohani di satu tempat tertentu, dengan

menggunakan pandangan mata. Kata “nampakanlah” yang beliau (Nabi Musa) maksud pastilah bukan nampak dalam wujud nyata, dan memang kata yang beliau

8

M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-qur’an) cet. 1 : lentera hati th 2002 jilid 15 h 233

9Ibn KatsirTafsir Juz

‘Amacet,11 (Jakarta: Pustaka Azzam,2007), h. 235

10Dalam Al-Qur`an, begitu banyak kata

Ra’a yang diterjemahkan dengan “mengetahui”, sedangkan “mengetahui” adalah penglihatan akal, bukan penglihatan mata, seseorang bermimpi misalnya, ia “mengetahui” mimpinya, ia pun bisa menceritakan “penglihatan” nonempirikan

dalam mimpinya itu dengan kata-kata yang jelas. Lihat Fauz Noor, Berpikir Seperti Nabi : Perjalanan Menuju Kepasrahan (Yogyakarta : LKiS, 2009), h.305

11Allah menyuruh mereka memperlihatkan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaa-Nya yang

(15)

gunakan dan diabadikan oleh ayat ini digunakan oleh al-Qur`an dan bahasa arab dalam banyak pengertian.12

Berbeda dengan Nazara, selain mempunyai makna “melihat”, kata Ra`â juga mempunyai arti “mimpi.” Dari sini bisa diketahui bahwa makna “melihat” dari kataRa`â bukanlah “melihat secara empirik atau ragawi”, melainkan “melihat secara imajinatif atau khayali atau aqli atau nonragawi”, sebagaimana

“penglihatan” kita dikala bermimpi juga berada di luar realitas empirik.

Bila penulis cermati tentang pengertian dari kedua kata tersebut, maka akan didapatkan sebuah pengertian baru terkait dengan kedua kata tersebut, yakni observasi. Observasi atau mengamati merupakan langkah awal untuk memperoleh pengetahuan, dan pengetahuan mutlak harus dimiliki oleh manusia. Memang dalam al-Qur`an tidak ditemukan kosakata khusus untuk pengertian observasi. Akan tetapi, bila memahami ayat-ayat yang menjelaskan tentang pengertian kedua lafaz di atas, maka akan ditarik sebuah kesimpulan bahwa kedua kata tersebut, khususnyaNazara lebih tepat untuk dimaknai sebagai obeservasi.

Istilah observasi berasal dari bahasa Latin yang berarti ”melihat” dan

“memperhatikan”.13 Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut.14 Observasi menjadi bagian dalam penelitian berbagai disiplin ilmu, baik ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu

12Fauz Noor,Berfikir Seperti Nabi. h. 306

13Jocob Vredenbregt Metode Dan Teknik Penelitian Masyarakat (Jakarta : Gramedia,

1978), h. 72. Mengenai pengertian observasi secara mendetail, akan dibahas pada bab selanjutnya.

14Ign, Masidjo, Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa di Sekola(Bandung : Kanisius

(16)

social. Observasi dapat berlangsung dalam konteks laboratoriurn (experimental) maupun konteks alamiah

Observasi yang berarti pengamatan bertujuan untuk mendapatkan data tentang suatu masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat pembuktian terhadap informasi/keterangan yang diperoleh sebelumnya. Sebagai metode ilmiah observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan fenomena-fenomena yang diselidiki secara sistematik. Dalam arti yang luas observasi sebenarnya tidak hanya terbatas kepada pengamatan yang dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengamatan tidak langsung misalnya melaluiquestionnaire dan tes.

(17)

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

Sebelum membahas pada rumusan masalah yang akan diteliti, penulis telah melacak dan mengklasifikasikan kata Ra`â danNazara dalam al-Qur`an. di dalam al-Qur`an terdapat 448 kata Ra`â dan Nazara, dengan jumlah

masing-masing 319 kataRa`â dan 129 kataNazara. Hanya , ,dan

Kemudian setelah melacak dan mengklasifikasikan kata Ra`â danNazara dalam al-Qur`an. Penulis dapat menemukan beberapa permasalahan yang harus diidentifikasi, di antaranya :

1. Apa perbedaan prinsipil antaraRa`âdanNazara?

2. Dalam konteks apa masing-masing dari kedua kata itu digunakan, sehingga kedua kata tersebut merupakan sebuah kerangka awal yang digunakan untuk mendapat pengetahuan?

3. Siapa saja (baik Subjek maupun Objek) yang mempergunakan kata-kata itu dalam al-Qur`an ?

4. Ayat mana saja dari al-Qur`an yang memberikan makna yang komprehensif dari kedua makna tersebut?

5. Siapa mufassir yang mengkaji kedua kata itu secara mendetail?

(18)

Itu pun yang digunakan dalam bentuk istifham. Selain itu, penulis juga hanya

memfokuskan pada ayat-ayat yang didahului dengan kata tanya, seperti

,

,

dan

.

Pembatasan tersebut dipilih dengan alasan sebagai berikut :

1. Setelah melakukan pengklasifikasian terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang

terkait dengan penggunaan kata “melihat” dalam al-Qur`an, maka penulis berkesimpulan bahwa pada juz 30 kata Ra`â dan Nazara cukup mewakili terhadap ayat-ayat yang ada pada juz lainnya yang telah diklasifikasikan

tersebut, yang membahas tentang pengertian kata “melihat” dalam al-Qur`an.

2. Karena juz 30 tersebut yang paling banyak terdapat kataRa`â danNazara dalam al-Qur`an serta paling dominan dikaji oleh para mufassir dibandingkan dengan juz lainnya yang terdapat dua kata tersebut, sehingga akan memudahkan penulis untuk meneliti makna kedua kata tersebut yang ada hubungannya dengan observasi.

3. Masing-masing objek dari kedua kata tersebut yang terdapat dalam juz 30 sudah cukup jelas. Dengan demikian, akan mudah dibedakan mana yang paling tepat untuk dimaknai sebagai pengertian observasi.

(19)

penjelasan tentang term Ra`â dan Nazara dalam tafsir tersebut cukup komprehensif dibanding dengan tafsir yang lainnya. Adapun mengapa penelitian ini hanya difokuskan pada ayat-ayat yang diawali dengan kata tanya karena sebagaimana mengambil pernyataan Adelbert Snijders15 bahwa pertanyaan dimungkinkan terjadi karena adanya prapengetahuan, sehingga jika seseorang bertanya, maka seseorang telah melakukan suatu observasi untuk memasuki sebuah pengetahuan yang akan dialaminya.16

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu : Bagaimana term Araita, Alam Tarâ dan Afalâ Yanzurûna menjadi bagian dari observasi Qur`ani dalam perspektif Tafsir Rûh al-Ma`âni karya al-Alûsi yang terdapat dalam juz 30?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Ayat yang penulis teliti dalam masalah ini hanya ayat-ayat yang terdapat kata Ra`â danNazara yang terdapat dalam juz 30. Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini diharapkan bisa menemukan makna utuh dari pengertian kedua kata tersebut dalam al-Qur`an. Terutama kaitannya untuk menemukan makna observasi sebagai langkah untuk mendapatkan pengetahuan.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini, dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori. Yaitu kategori teoritis dan praktis. Pada tataran teoritis, penelitian ini diharapkan bisa menjadi tolak ukur bagi penelitian selanjutnya untuk mencari

15Dosen filsafat di Philosophicum Ordo Kapusin, Helmond, Belanda dan di Fakultas

Filsafat Agama, Universitas Katolik St. Thomas, Medan.

16Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran : Sebuah Filsafat Pengetahuan

(20)

kata yang tepat sebagai terjemahan dalam al-Qur`an dalam kosakata lainnya. Adapun pada tararan praktis, penelitian ini diharpakan bisa memberikan sumbangan bagi khazanah penafsiran al-Qur`an terutama dalam bidang kajian tafsir.

D. Kajian Pustaka

Sudah banyak karya tulis, makalah ataupun buku yang membahas masalah kata Ra`â dan Nazara. Di antara karya-karya tersebut, yang berhasil penulis temukan adalah buku Berfikir Seperti Nabi karya Fauz Noor.17Dalam buku ini, diulas sedikit tentang pengertian dari kata Ra`â dan Nazara, serta dibedakan mengenai penggunaan masing-masing kedua ayat tersebut dalam al-Qur`an. Hanya saja dalam buku ini, ayat-ayat yang terkait langsung dengan kedua kata tersebut tidak dibahas secara luas, sehingga dapat menyebabkan pemahaman yang tidak representatif terhadap kedua kata tersebut.

Kemudian buku Biarkan Hatimu Bicara18 yang diterjemahkan dari buku Bayan al-Farq al-Sadar Wa al-Qalb, Wa al-Fu`ad, Wa al-Lubb karya ‘Abd Allah

Ibn ‘Ali al-Hakim al-Tirmizi. Dalam buku ini pun diulas tentang pengertian dari kedua kata yang menjadi fokus kajian penulis dalam skripsi ini, akan tetapi dalam buku ini hanya menjelaskan pengertian kedua kata tersebut tanpa menyebutkan ayat-ayat yang terkait langsung.

17Fauz Noor,Berfikir Seperti Nabi: Perjalanan Menuju Kepasrahan (Yogyakarata: LKiS

2009)

18

(21)

Kemudian dalam bukuSepuluh Peristiwa Besar Menjelang Kiamat Kubra (Berdasarkan Al-Qur`an dan Keterangan Ulama) karya Ariskum Al-Mashudi dan Arif Nuryadi, dalam buku ini diungkapkan tentang pengertian melihat Allah. Baik di dunia maupun di akhirat kelak. Term yang digunakan untuk objek melihat dalam buku ini banyak menggunakan kataRa`â danNazara. Akan tetapi, lagi-lagi dalam buku ini hanya membahas segi kosakatanya saja tanpa menyertakan ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan langsung.19

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Sebagai kajian di tingkat wacana, maka metodologi penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan referensi primer berupa karya ilmiah dari Syihâb Dîn Sayyid Mahmud al-Fandi al-Alûsî, yaitu tafsirRûh al-Ma`âni.20

Referensi primer itu didukung oleh referensi sekunder untuk melacak makna dari kedua kata yang penulis jadikan kajian, di antaranya Tafsir al-Mishbah21, Tafsir al-Azhar22 serta referensi lain dari buku dan artikel yang mengulas makna kedua kata tersebut di antaranya bukuBerfikir Seperti Nabi.23

19Ariskum Al Mashudi dan Arif Nuryadi,Sepuluh Peristiwa Besaar Menjelang Kiamat

Kubro(Jakarta :Al-Ihsan Media Utama, 2006), h. 157-158

20Mann

i’‘Abd al- Halim,Manâhij al-Mufasirîn (Bairut: Dâr al-Kitâb al-Hanâni, 1976). 21M.Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah: Pesan Kesan dan Keserasian al-qur’an (Jakarta :

Lentera Hati, 2003).

22Hamka,Tafsir al-Azhar (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1984).

23Fauz Noor,Berfikir Seperti Nabi : Perjalanan Menuju Kepasrahan (Yogyakarta : LKiS,

(22)

Penelitian kepustakaan ini akan disajikan dengan pendekatan deskriptif-analitis agar perangkat teoritik yang tersedia dalam referensi sekunder tadi dapat berkorelasi dengan data-data yang ditemukan dalam referensi primer.

Adapun tehnik penulisan skripsi ini merujuk pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi” yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press pada tahun 2007.24

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisannya, penulis membagi skripsi ini dalam lima bab dengan perincian sebagai berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan. Di dalamnya dikemukakan mengenai latar belakang masalah yang merupakan alasan pemilihan judul skripsi ini, kemudian batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kemudian kajian pustaka yang di dalamnya penulis menjelaskan beberapa karya ilmiah yang hampir sama dengan skripsi ini, selanjutnya metodologi penelitian serta metode dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi seputar biografi al-alûsi dan tafsirnya yang berisikan tentang latar belakang riwayat hidup, karya-karya, sekilas tentang kitabTafsir Rûh al-Ma‘âni metode dan corak.

Bab ketiga secara khusus penulis akan menjelaskan tentang pengertian dari lafaz Ra`â dalam Tafsir Rûh al-Ma‘âni, terutama sebagai langkah untuk mendapat ilmu pengetahuan. Pembahasan ini meliputi, klasifikasi lafadz Ra`â

24CeQDA UIN Syarif Hidayatullah jakarta, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi,

(23)

dalam al-Qur`an juz 30, dan Proses mendapatkan ilmu denganRa`âpenulis secara khusus penulis akan menjelaskan tentang seputar observasi, terutama kaitannya dengan proses mendapat pengetahuan. Pembahasan ini meliputi : pengertian observasi dan ruang lingkup observasi.

Bab keempat secara khusus penulis akan membahas bagian paling penting dari penulisan skripsi ini, yakni mengungkap makna Ra`âdanNazarapengertian Ra`â dan Nazar beberapa objek dan subjek observasi yang terdapat dalam

al-Qur’an.dalam pandangan tafsirRûh al-Ma'âni.

(24)

BAB II

BIOGRAFI AL-ALÛSI

A. Riwayat Hidup Al-Alûsi

Nama lengkapnya adalah Syihâb al-Dîn al-Sayyid Muhammad Ibn ‘Abd Allah Ibn Mahmud al-Alûsi. Ia dilahirhan pada hari jum`at, tanggal 15 Sya`ban 1217 H. di pinggiran kota Kurkh, Baghdad, Irak.1Al-Alûsi meninggal pada tahun 1270 H, tepatnya pada hari jum'at 25 Dzu al-Qa`dah. Ia dimakamkan di Pemakaman keluarga yaitu di Kurkhi berdampingan dengan syaikh Ma`ruf al-Kurkhi.2

Nama al-Alûsi diambil dari nama sebuah keluarga, yang mana dari marga ini telah banyak menjadi intelektual-intelektual (ulama) terkemuka di Baghdad pada abad 19 dan 20. Pada awalnya penamaan tersebut adalah dinisbatkan dari nama salah satu daerah, yakni al-Alûsi yang berada di tepi Barat sungai Eufrat antara Abu Kamal dan Ramadi.3

1Hasan Yunus ‘Abidu,Dirasat Wa Mabâhits fi al-Tafsir Wa Manahij al-Mufassîr(Kairo:

Markaz Kitab al-Nasyr, 1991), h. 140.

2Manni’‘abd al- Halim, Manâhij al-Mufasirîn (Bairut: Dâr al-Kitâb al-Hanâni, 1976), h

282. Nama lengkanya syaikh Ma’rûf al-Karakhî adalah Abû Mahfûz Ma’rûf Ibn Fayrûz al-Karakhî, ia berasal dari persia, namun hidupnya lebih lama di Baghdad, yaitu pada masa pemerintahan khalifah harun al-Rasyîd. Kemudian, Dia meninggal dunia di kota ini pada 200H/815M pada usia 78 tahun. Ma’rûf al-karakhî dikenal sebagai seorang sufi yang selalu diliputi rasa rindu kepada allah sehingga ia digolongkan kedalam kelompok awliâ. Berkenaan dengan ini, salah seorang muridnya, sârî al-Saqatî (w.253H/867M) menceritakan,”dalam tidurku aku telah melihat Ma’rûf al-karakhî berada di atas Arasy”. Pada waktu itu Allah bertanya pada para malaikat: “siapa Dia?” para malaikat menjawab: “engkau lebih mengetahui daripada kami, Wahai, Allah”. Maka Allah pun berfirman “orang itu adalah Ma’rûf al-karakhî yang sedang mabuk cinta pada-Ku. Lihat slengkapnya Azyumardi Azra dkkEnsiklopedi tasawuf(Bandung:Angkasa 2008 Cet I Jilid 2) h.808

3

(25)

Pada usia mudanya, ia dibimbing oleh orang tuanya sendiri, yaitu Syekh al-Suwaidi dan juga berguru kepada Syeikh al-Naqsabandy. Pada guru yang terakhir ini ia banyak belajar tasawuf, sehingga wajar pada saat menulis tafsir, dia sering memasukan uraian-uraian sufistik sebagai upaya untuk menguak makna-makna (esoteris)4

Al-Alûsi termasuk orang yang masyhur pada masanya. Keterangannya merupakan hal yang logis sebab al-Alûsi memiliki kepastian keilmuan yang luas, Ia juga dikenal sebagaimuhaddits fuqaha, danmufassir dari Irak. Ketika al-Alûsi berusia 13 tahun, kegiatan-kegiatan ilmiahnya begitu marak. Dia belajar di sejumlah madrasah. Selain itu, ia juga rajin dalam menyampaikan ilmu yang ia miliki kepada para pelajar. Dia dikenal sebagai seorang pendidik yang memiliki wawasan yang luas dan mendiktekan penjelasan-penjelasannya dengan cara yang sangat mudah ditangkap dan mengemukakan perumpamaan-perumpamaan dalam kuliahnya.5

Ia dikenal sebagai orang yang gigih dalam menuntut ilmu dan memberi ilmu kepada pelajar pada waktu yang lain. Pada suatu saat ia menulis syair, di antara syair al-Alûsi yang masyhur adalah:

“Begadangku, aku gunakan untuk kajian ilmu yang bermanfaat, untuk memperoleh kemampuan dan kebaikan ilmu."

Ia merupakan ulama yang mengetahui dan mendalami berbagai perbedaan pendapat mazhab. Ia menganut akidah salafi tetapi di dalam berbagai masalah, ia banyak sependapat dengan Imam Hanafi dan tetapi bermazhab Syafi’i dalam

4Abdul Mustaqim,Studi Kitab Tafsir (Depok: Teras, 2004), h. 154.

(26)

berbagai masalah, sementara dalam bidang akidah mengikuti mazhab Salafiyah, ia banyak sependapat dengan Imam Hanafi, namun ia juga memiliki kecenderungan untuk berijtihad dalam beberapa hal dan bersifat inklusif terhadap pandangan yang lain.6

Al-Alûsi memiliki pengetahuan yang luas, sehingga ia dikenal sebagai

‘Allamah(ulama besar), baik dalam bidang ilmunaqli (berdasarkan al-Qur’an al-Hadis) maupun 'aqli (berdasarkan akal), dengan apresiasi yang dalam setiap cabang dan dasar kedua bidang tersebut. Sejak muda ia sudah giat mengajar dan mengarang. Ia mengajar di berbagai perguruan. Selain di negeri ia tempat belajar, murid-muridnya berasal dari berbagai negeri yang jauh. Banyak anak didiknya yang menjadi tokoh di negerinya masing-masing. Al-Alûsi tercatat sebagai penanggung jawab wakaf Madrasah Marjaniyah sebuah yayasan pendidikan yang mensyaratkan penanggung jawabnya harus seorang tokoh ilmuan di negeri itu.7

Al-Alûsi juga dikenal sebagai seorang pendidik yang sangat memperhatikan sandang, pangan, dan perumahan bagi anak didiknya. Ia memberi mereka pedoman yang lebih baik dari tempat tinggalnya sendiri.8

Mengenai kualitas pribadinya dalam nilai-nilai spiritual, ia sudah sejak kecil berusaha untuk menemukan rahasia kebesaran Tuhan. Di kala teman-teman sebayanya asik bermain, ia justru asik dalam pencariannya terhadap ilmu-ilmu Allah. Al-Alûsi juga rela meninggalkan kesenangan nafsunya bermain dan bersenda gurau dengan menggantinya kepada pencarian jati dirinya di hadapan

6Kafrawi Ridwan, dkk,Ensiklopedi Islam, h. 130. Namun dalam keterangan lain, al-Alûsi

lebih menekankan pada mazhab Hanafi. Lihat Harun Nasution (ed),Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Jambatan,1992), h. 109.

(27)

Allah. Kesenangan dan kegembiraan teman-temannya dalam bermain tidak mampu menggodanya dalam kesyahduan dan munajat kepada Allah untuk mencapai hakikat-hakikatnya.9

Ia dikenal sebagai orang yang gigih dalam menuntut ilmu dan memberi ilmu kepada pelajar pada waktu yang lain. Ia juga dikenal sebagai seorang tokoh yang bekerjasama dengan pemerintah. Ia menduduki jabatan-jabatan penting di antaranya: Ia diangkat menjadi pemimpin bagian wakaf pada perguruan al-Marjaniyah, jabatan yang hanya diberikan kepada orang-orang yang terpandai di dalam Negeri. Beberapa bulan kemudian Ia diserahi jabatan sebagai Mufti besar Mazhab Hanafi di Baghdad. Kemudian Ia membulatkan perhatian untuk menyelesaikan tafsirnya.10

B. Beberapa Karya-Karya Al-Alûsi

Adapun karya-karya al-Alûsi tidak hanya pada tafsir saja, namun juga mencakup mengenai beberapa disiplin lainnya. Di antara karya-karyanya adalah:

1. Hasyiah ‘Ala al-Qathri Fi al-Nahwu. Yaitu suatu karya dalam bidang gramatika bahasa Arab (Nahwu). Kitab tersebut hanya sempat dia

selesaikan pada pembahasan “Hal” dan setelah ia wafat anaknya al-Sayyid Nu’man Alûsi menyempurnakan kitab tersebut.

2. Dalam bidang Tasawuf ia mengarang sebuah kitab yang dinamakan

“Durrat al-Ghawas Fi Awham al-Khawas”.

9

Syihab al-din al-Alûsi,Rûh al-Ma’âni,(Beirut : Ihya` al-Turâts al-‘Arabiy,tt), jilid I, h. 4.

(28)

3. Dalam bidang sastra dia telah menyusun sebuah kitab yaitu “al-Fawa’id al-Saniah Fi Adab al-Bahts”.11

Itulah beberapa karya al-Alûsi selain kitab Tafsir, dan masih banyak tulisan-tulisannya yang masih terpisah-pisah yang tidak dalam bentuk sebuah kitab sendiri.

C. Sekilas Tentang Kitab TafsirRûh Al-Ma‘âni

Agar lebih mengetahui kepiawaian al-Alûsi dalam ilmu-ilmu yang dimilikinya, maka dengan sedikit banyak menelaah kitab tafsirnya akan di temukan beberapa jawaban yang cukup membuka pada pembuktian kelebihan al-Alûsi.

Dalam kitab Rûh al-Ma‘âni” metode yang ia gunakan dalam penulisan maupun pembahasan cukup jelas dan luas yaitu:

1. Al-Alûsi memadukan antara cara ulamasalaf dengan ulamakhalaf dengan penuh kehati-hatian. Hal ini diketahui dengan adanya beberapa ringkasan tafsir dari beberapa ulama tafsir lainnya yang dikumpulkan oleh al-Alûsi dalam kitab tersebut. Di antara tafsirnya yang diangkat oleh al-Alûsi dalam kitabnya yaitu: Tafsir Ibnu ‘Atiah, tafsir Ibnu Hayyan, Tafsir

al-Kasyaf, Tafsir Abu Su’ud, Tafsir al-Baydhawi, dan Tafsir Fakhr al-Razi.12 2. Cara penukilan terhadap orang lain, ia menggunakan beberapa istilah yaitu

apabila menukil dari Abu Su’ud maka ditulis dengan ﺳﻻا ﺦﯿﺷ لﺎﻗ, bila

dari al-Baydhawi ditulis dengan ﻲ ﺿ ﺎ ﻘ ﻟ ا ل ﺎ ﻗ bila menukil dari Fakhr

al-11

Manni’‘Abd al- Halim,Manâhij al-Mufasirîn,h. 282.

12Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir Wa al-Mufassirun (Kairo: Dar Kutub

(29)

Razi ditulis dengan م ﺎ ﻣ ﻻ ا ل ﺎ ﻗ dan terkadang al-Alûsi mengutip tanpa laqab tertentu.

3. Pembahasan mengenai kalam dan akidah, al-Alûsi menggunakan‘aqidah ahl al-sunnah wa al-jama`ah, sebab, dia bermazhab salaf dan beraqidah sunni.

4. Pembahasaan ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah fiqih, al-Alûsi mengumpulkan pendapat berbagai mazhab tentang ayat-ayat tersebut, lalu mentarjih-nya untuk mengetahui yang lebih kuat tanpa didasari fanatisme terhadap mazhab tertentu.

5. Dalam hal qira’at, munasabah al-ayat dan asbab al-nuzul, al-Alûsi banyak mengupasnya termasuknâsikh al-mansûkh.13

6. Al-Alûsi juga dalam kitab tafsirnya banyak berbicara tentang tafsirIsyari. Hal tersebut dilakukan setelah beliau menafsirkan ayat secara dzahir dengan berbagai aspeknya. Lalu beliau mencoba mengangkat makna isyarat yang dimiliki ayat tersebut.

Itulah hal-hal yang diangkat oleh al-Alûsi sebagai metode dan caranya dalam mengupas ayat-ayat al-Qur’an yang termasuk dalam kitab tafsirnya Rûhul

Ma‘âni.

Sedangkan keadaan fisik dari kitab tafsir al-Alûsi terdiri atas 15 jilid besar yang berisi tafsir al-Qur’an 30 juz. Di dalamnya dilengkapi dengan keterangan sumber-sumber pemikiran. Pada jilid pertama di halaman muka, al-Alûsi menulis muqaddimahnya dengan memaparkan beberapa peristiwa hidup yang dialaminya,

13Hasan Yunus ‘Abidu, Dirasat Wa Mabâhits Fi al-Tafsir Wa Manâhij al-Mufasiriîn

(30)

baik ketika kecil maupun ketika setelah dewasa dan pengalaman-pengalaman batin tatkala menyusun tafsirnya tersebut.

Al-Alûsi menulis tafsirnya yaitu pada malam ke 16 bulan Sya‘ban tahun

1263 H, dan selesai pada malam Selasa tanggal 4 di bulan Rabi‘ul Akhir, tahun

1267 H. sedangkan nama “Rûh al-Ma’âni Fi Tafsîr al-Qur’ân al-Azim wa al-Sab’ al-Matsani” diberikan oleh Ali Ridha Pasha.14

D. Metode dan Corak Tafsir Al-Alûsi

Tafsir ini termasuk pada penggunaan metode tahlilî, di sini beliau menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dari seluruh aspeknyam, dengan memberikan dan menguraikan arti kosakata serta lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki saran yang dituju dari kandungan ayat yaitu unsur I‘jaz,balâghah, dan keindahan susunan kalimat. Menjelaskan apa yang diinstinbatkan dari ayat

yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, aqidah atau tauhid, perintah atau larangan, janji dan ancaman, haqiqat, majaz,

14Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun,h. 335. Ali al-ridha adalah

ia lahir d Madinah pada 11dzulqa’dah 148H/765M) namun menurut Syaikh Sadûd (w,381H/991M) dalam kitab Uyûn al-Akhbâr al-ridhâ Alaihim al-Salâm disebutkan, bahwa ia lahir pada kamis, 11 Rabiul awal 153h/770M, lima tahun setelah wafatnya Imam ja’far al-Sâdiq, dan meninggal dunia pada 203H/817M. Ayahnya adalah Imam Mûsâ al-kâzim, sedangkan ibunya Taktamm, putri seorang budak yang dibeli ibu Mûsâ al-Kâzim. Ibu mûsâ sangat kagum kepada budaknya. Suatu hari ia berkata kepada putranya, “wahai anakku, sesungguhnya aku tidak pernah melihat seorang budak perempuan yang lebih utama daripada tahtamm ini, dan aku tidak merasa ragu bahwa Allah akan mengeluarkan nketurunannya jia dia (ditakdirkan) mempunyai keturunan.

Aku telah melah memberikan kepadamu maka berwasiatlah dengan kebaikan kepadanya”. Lihat

(31)

kinayah,isti’arah,serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surah sebelumnya.15

Kesamaan itu, dijelaskan dengan cara yang mudah dipahami dan dalam ungkapan Balaghah yang menarik berdasarkan syair-syair (puisi-puisi) ahli balaghah terdahulu, ucapan-ucapan ahli hikmah yang ‘arif, teori-teori ilmiah modern yang benar, kajian-kajian bahasa, atau berdasarkan pemahamannnya, dan hal yang lain yang dapat membantu untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an.

Metode tahlily adalah metode yang dipergunakan oleh kebanyakan para ulama pada masa dahulu. Kebanyakan para penafsir tahlily biasanya ada yang terlalu bertele-tele dan adapula yang sebaliknya, yang sederhana dan ringkas.

Sedangkan coraknya, dalam kitab tafsir ini al-Alûsi, mengemukakan bahwa apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sufi tentang al-Qur`an adalah termasuk pada bab isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang-orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki.16 Hal ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati, corak tafsir al-Alûsi adalah merupakan bagian dari tafsir sufi yang sarat dengan tafsir isyari, dimana tafsir ini menginginkan dan menghendaki maknanya makna batin.17

15Abdul Hayy al-Farmawi,

Metode Tafsir Maudu’I,(Jakarta:PT. Raja Garfindo Persada, 1996), Cet Ke-2, h.12

16Ali Hasan al-‘AridlPengantar Ilmu Tafsir,(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992) Cet-2,

h.55

(32)
(33)

23

Membicarakan pengetahuan sebagai hal yang sangat penting, sebenarnya sudah cukup jelas. Manusia tidak dapat hidup sebagai manusia tanpa pengetahuan. Agar manusia hidup sebagai manusia, maka ia memerlukan pengetahuan. Baik pengetahuan praktis maupun teoritis, baik pengetahuan sehari-hari yang masih bersifat pra-ilmiah maupun pengetahuan ilmiah.

Manusia tidak dapat hidup di dunia ini hanya berdasarkan instingnya saja. Pada manusia, pengetahuan yang didasarkan atas insting amatlah terbatas. Seandainya manusia hanya hidup dari instingnya, maka manusia akan menjadi binatang paling malang di dunia ini. Tetapi berkat akal budinya, manusia dapat memperoleh dan mengembangkan pengetahuan tentang segala macam hal, dan hal itu amat berpengaruh terhadap cara beradanya sebagai manusia.1

Dengan demikian, maka manusia perlu untuk mencari pengetahuan, selain dengan menggunakan indera dan potensi akalnya, juga dengan menggunakan akal budinya. Tetapi, itu semua perlu sebuah tindakan observasi atau penelitian sebagai langkah awal mendapat pengetahuan.

1

J. Sudarminta, “Epistemologi : Masihkah Kita Perlukan?”, dalam Diskursus : Jurnal

Filsafat dan Teologi-Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Vol. 8, No. 2. Oktober 2009, (Jakarta: Lembaga Penelitian Filsafat dan Teologi, 2009), h. 151. Bandingkan dengan pendapat Nurcholish Madjid, menurutnya manusia memerlukan sesuatu yang lebih dari pada ilmu pengetahuan, yaitu ajaran-ajaran moral ataukalimat dari Tuhan yang bila diikuti akan menghindarkan manusia dari

(34)

Dalam kerangka Epistemologi Islam, pengetahuan dapat diperoleh melalui dua cara: pertama melalui pemberian yang berupa wahyu, pengenalan langsung (ma‘rifah), penyingkapan spiritual (kasyf) dan kearifan spiritual (ilmu Al-laduniyy). Sedangkan cara yang kedua melalui usaha manusia dengan instrumen yang dimilikinya, seperti indra, akal, dan intuisi. Dengan alat-alat tersebut manusia melakukan pengamatan, penyelidikan, pemikiran, perenungan dan penyelaman hingga bisa memperoleh berbagai jenis pengetahuan dan kebenaran walaupun sifatnya nisbi dan relatif.2

Epistemologi merupakan sub system filsafat, pengertian epistemologi memiliki keragaman pandangan yang berbeda ketika mengungkapannya, sehingga menghasilkan pengertian-pengertian yang berbeda pula, bukan saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi persoalannya. Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa di abaikan. Pengertian epistemologi memperlancar pembahasan. Seluk beluk yang terkait dengan epistemiologi itu. Mujamil Komar mengungkapkan beberapa pengertian epistemologi yang di ungkapkan para ahli yang dapat dijadikan dasar untuk menangkap pengertian epistemologi, seperti:

1. P. Hardono Hadi mengetakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope

2S. Hamdani, Epistemologi Islam Sebagai Epistemologi Alternatif : Jurnal Kajian

(35)

pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang di miliki.3

2. D.W. Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang bernuansa dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat di andalkan sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.4

3. Dagobert D. Runes, mengatakan bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas sumber stuktur , metode dan validitas pengetahuan.5

4. Azumardi Azra memberi pengertian tentang epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, stuktuir, metode dan validitas ilmu pengetahuan.6

Dari pengertian-pengertian epistemologi di atas bisa di ambil kesimpulan bahwa epistemologi intinya adalah mengkaji pengertian secara mendasar dan mengkomprehensip baik subtansi pengetahuan maupun metode serta stukturnya sehingga mendapatkan teori pengetahuan yang utuh. Pengertian-pengertian epistemologi yang disebut di atas dapat menemukan benang merah tentang ruang lingkup epistemologi meliputi hakikat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlar Achmad merinci ruang lingkup epistemologoi menjadi enam aspek yaitu: hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan.7

3P.Hardono HadiEpistemologi Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta Kanisius, 1994), h. 5 4

D.W Hamlyn History Of Epistemology, dalam Paul Edwars, The Encylopedia Of Philosophy, vol.3 1967, h. 8-9.

5Dagobert D. Runes,Dictionary Of Philosophy, (New Jersey: Little Field Adams & CO,

1963), 49

6

Azumardi Azra Pendidikan Islam Tradisi Dan Moderenisasi Menuju Milinium Baru, (Bandung:Trigenda Karya,1994), 61

(36)

Dari penjelasan epistemologi tersebut ternyata kajian sangat luas sekali untuk mendapatkan pengetahuan sehingga teori pengetahuan yang meliputi hakikat, keorisinilan, sumber, stuktur metode, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat, peranggungjawaban dan skope pengetahuan.

A. Pengertian Observasi

Istilah observasi berasal dari bahasa Latin yang berarti ”melihat” dan

“memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi menjadi bagian dalam penelitian berbagai disiplin ilmu, baik ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu sosial, Observasi dapat berlangsung dalam konteks laboratoriurn (experimental) maupun konteks alamiah.8

Observasi yang berarti pengamatan bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi tentang suatu masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat dan pembuktian terhadap informasi/keterangan yang diperoleh sebelumnya. Sebagai metode ilmiah observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan fenomena-fenomena yang diselidiki secara sistematik. Dalam arti yang luas observasi sebenarnya tidak hanya terbatas kepada pengamatan yang dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengamatan tidak langsung misalnya melaluiquestionnaire dan tes.

8Iin Tri Rahayu dan Tristriadi Ardi Ardiani,Observasi dan Wawancara (Malang : Bayu

(37)

Metode observasi berkaitan dengan pengamatan indrawi, dan cocok digunakan untuk meneliti objek-objek fisik. Untuk memeperoleh pengetahuan yang objektif tentang objek-objek ini diperlukan cara-cara dan alat bantu bagi indera.

Ibn Haitsam, sebagaimana dikutip oleh Mulyadhi Kartanegara menyebutkan bahwa observasi memerlukan alat bantu bagi indera, karena ia sangat menyadari kelemahan pengamatan indrawi khususnya pengamatan mata. Lanjut Ibn Haitsam dalam karyanya Al-Manâzhir, ia menunjukan kelemahan pandangan mata dengan menunjukan secara terperinci kekeliruan pandangan mata yang ditimbulkan oleh beberapa faktor, seperti jarak, posisi, tranparansi, keburaman, lamanya memandang, dan kondisi mata.9

Di sisi lain, observasi pun disempurnakan oleh para astronom muslim dengan menggunakan alat bantu berupa observatorium untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang benda-benda angkasa termasuk ukurannya daripada gambaran yang bisa diperoleh dari pengamatan langsung indra.10

Al-Biruni, seorang ensiklopedi muslim menggunakan metode observasi dan ekperimen dalam penelitiannya. Sebagaimana dikatakan Mulyadhi, al-Biruni berusaha untuk mengukur keliling bumi. Namun, karena pengadaan pelayaran keliling dunia hampir mustahil dilakukan pada saat itu serta biaya tidak

9

Mulyadhi KartanegaraEpistemologi Islam(Jakarta: Serambi 2005), h, 53

10Kartanegara, Menebus Batas Waktu Panoramafilsafat Islam (Bandung Mizan Media

[image:37.612.133.533.58.440.2]
(38)

terjangkau, maka dia melakukan eksperimen dengan menggabungkan metode observasi dalam teori-teori, terutama apa yang disebut trigonometri.11

B. Metode Ilmu Pengetahuan

Islam memberi motivasi kepada akal dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan menyingkap bentangan kejadian alam di hadapannya. Sebagaimana al-Qur`an telah mengajak akal untuk merenungkan apa yang ada di Langit dan di Bumi. Tidak ada satu pun kejadian yang ditutup oleh Allah dihadapan akal. Dalam al-Qur`an Allah Swt, menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan mempunyai cakrawala yang sangat luas :

ð









Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.al-lukman ayat 27).12

Dalam pembahasan ini, penulis akan memaparkan mengenai metode-metode ilmiah yang digunakan untuk mendapat ilmu pengetahuan. Metode ilmiah ini, harus sesuai dengan sifat dasar dan objek-objeknya. Sebab, objek-objek ilmu memliki sifat dasar, karakter dan status ontologis yang berbeda, maka metode

11Untuk mengetahui observasi yang dilakukan oleh al-Biruni, lihat selengkapnya dalam

Kartanegara,Epistemologi Islam h 55

12Departemen Agama RI,al-Qur’an dan Terjemahnya(Bandung : CV Penerbit J-ART,

(39)

ilmiah juga beragam sesuai dengan objek-objeknya. Selama ini, dapat ditemukan dalam dunia Islam beberapa metode ilmiah, yakni metode observasi (sebagaimana telah dijelaskan di atas), metode logis dan metode intuitif.

1. Argumentatif

Objek ilmu dalam tradisi ilmiah Islam tidah di batasi hanya pada objek-objek fisik, tapi juga pada objek-objek non fisik, Al-Ghazali mengatakan bahwa indra tidak bisa menjangkau objek-objek non-fisik, karenanya untuk memahamin objek-objek non- fisik itu membutuhkan sebuah metode yang tepat untuk melakukan penelitian yang tidak mampu dijangkau oleh metode observasi dan ekperimental, dalam hal ini alat yang di maksud adalah akal.13

Al-Ghazali memberikan perincian yang menarik tentang kelebihan akal dibanding dengan indra, khususnya mata. Pertama, tidak seperti mata yang tidak bisa melihat pada dirinya, akal mampu melihat, dalam arti memahami, bukan hanya objek-objek yang lain tapi juga dirinya sendri. Kedua sementara mata tidak dapat melihat apa yang terlalu jauh ataupun yang amat dekat dengannya, akal mampu mempresepsinya, karena jauh dan dekat tidak berpengaruh bagi akal, atau sama saja bagi akal, Ketiga, sementara mata tidak bisa melihat apa yang ada dibalik cadar atau tembok,

akal dapat dengan bebas bergerak sekitar ‘Arasy, yang terletak di balik

berbagai hijab langit-langit, seperti juga ia dapat bergerak bebas seputar

13Anton Bakker dan Achmad Charris ZubairMetodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta

(40)

dunianya bahkan tubuhnya sendiri, Keempat, sementara mata tidak bisa melihat dimensi batin sebuah objek, akal dapat menembus dimensi batin dan rahasia benda-benda, melihat realitas mereka dan ruh-ruh mereka, Terakhir sementara mata hanya bisa melihat yang lahiriah, akal mampu melihat hal-hal yang tersembunyi, seperti sifat-sifat batin jiwa, seperti rasa senang, bahagia, sedih, cinta, kekuasaan, pengetahuan dan lain sebagainya.14

2. Demonstratif

Metode demonstratif dipandang sebagai metode yang paling ilmiah, yang diharapkan dapat menangkap realitas, objek-objek yang ditelitinya dengan tepat, karena telah terhindar dari kekeliruan-kekeliruan logis.

Metode demonstratif pada dasarnya adalah metode logika atau penalaran rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari sebuah pernyataan atau teori-teori ilmiah dan filosofis dengan cara memperhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah. Dalam hal ini bisa dilakukan dengan memperhatikan validitas pernyataan-pernyataan yang ada dalam premis-premis mayor atau minornya, serta ada atau tidaknya middle term yang sah untuk menjembatani kedua premis tersebut.15

(41)

Sebagai bagian terpenting dari logika, metode demonstratif memiliki tujaun yang dapat digambarkan sebagai berikut. Pertama, metode demonstratif digunakan untuk mengatur dan menuntun akal ke arah pemikiran yang benar dalam hubungannya dengan setiap pengetahuan yang mungkin salah, Kedua, selain mengatur dan menuntun juga untuk melindungi pengetahuan tersebut dari kemungkinan salah, dan Ketiga, untuk memberi sebuah alat bantu dalam menguji dan memeriksa pengetahuan yang mungkin tidak bebas dari kesalahan.16

Bentuk formal metode demonstratif ini adalah silogisme. Yakni pengambilan kesimpulan dari premis premis mayor dan minor yang keduanya mengandung unsur yang sama, yang disebut middle term. Sebuah silogisme bisa dikatakan demonstratif bila premis-premisnya didasarkan bukan pada opini, melainkan pada kebenaran-kebenaran yang telah teruji atau kebenaran-kebenaran yang utama. Apabila premis-premisnya benar, kesimpulannya dapat dipastikan benar, namun, bila premis-premisnya didasarkan pada kebenaran yang teruji, kesimpulannya juga akan meragukan bahkan bisa keliru. Dalam hal ini Imam al-Ghazali telah memberikan sebuah perumpamaan yang ia simpulkan dari satu ayat al-Qur`an surat al-Baqarah ayat 106:













(42)

Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.17

Dari ayat tersebut dapat diambil sebuah pengetahuan berdasakan metode demonstratif. Pertama, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Kedua, diantara segala sesuatu itu adalah memunculkan dan menenggelamkan matahari, sebagaimana yang tertulis dalam surat al-Baqarah ayat 258:





































Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) Karena Allah Telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan".Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.18

17

Departemen Agama RI,al-Qur’an dan Terjemahnya(Bandung : CV Penerbit J-ART, 2005), h.17

(43)

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa Allah yang Memunculkan dan Menenggelamkan matahari.19 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa logika adalah alat atau metode berfikir yang termasuk di dalamnya metode demonstratif. Tentu saja, logika dapat digunakan tidak hanya dalam bidang filsafat tapi juga dalam bidang empiris. Oleh karena itu, para ilmuan banyak menggunakan metode demonstratif ini dalam menganalisis data-data inderawi yang diperoleh lewat observasi maupun ketika menelaah premis-premis atau proposisi filosofis.20

Ada perbedaan antara metode demonstratif dan metode observasi. Metode demonstratif tidak secara langsung menangkap objeknya, dengan kata lain, dengan metode demonstratif manusia tidak hanya mengetahui objek-objek fisik, tetapi juga non fisik seperti Tuhan dan entitas-entitas immateril yang lain, termasuk ide-ide dan malaikat.21

3. Intuitif

Apabila metode observasi berkaitan dengan pengamatan inderawi, metode demonstratif dengan akal, maka metode intuitif melibatkan hati (qalb). Dalam mistisisme Hindu, intuisi disebut prajna atau pratiba. Pra artinya adalah sebelum, dan jna berasal dari kata jnana yang berarti pengetahuan mendalam atau makrifah. Dari kata ini lahirlah sebuah

19Al-Ghazali menggunakan metode ini dengan berbagai perumpamaan yang sangat

banyak yang ia ambil sendiri dari ayat-ayat al-Qur’an. Untuk mengetahui perump amaan-perumpamaan yang ia ambil dalam ayat al-Qur’an tersebut, bisa dilihat selengkapnya dalam, al

-Ghazali, Meretas Jalan Kebenaran: di Belantara Pertentangan Pemikiran dan Madzhab. Penerjemah. Masyhur Abadi dan Ahmad Frenk (Surabaya: Pustaka Progresif, 2003), h. 67-77.

20

Mulyadhi Kartanegara,Epistemologi Islam. (jakarta: serambi 2005)h. 57.

21Mulyadhi Kartanegara,Epistemolgi Islam, h. 59. lihat juga, Kartanegara,Panorama

(44)

pengertian yang berarti sebagai kemampuan terpendam dalam jiwa yang ada pada setiap orang dan muncul melalui proses pencerahan batin. Kemudia kesadaran tersebut menerangi pikiran, nalar, akal dan intelegensia, dan hasilnya ialah kemampuan melihat objek secara mendalam.22

Persamaan metode intuitif dengan metode observasi adalah bahwa kedua metode itu menangkap objeknya secara langsung. Mata, misalnya dapat menangkap langsung objek yang dilihatnya, telinga juga dapat menangkap secara langsung suara yang didengarnya. Demikian pula dengan metode intuitif dapat menangkap objeknya secara langsung, akan tetapi sifat objeknya yang berbeda. Observasi berhubungan dengan objek-objek fisik sedangkan objek-objek instuisi bersifat lebih abstrak, seperti rasa cinta, benci, kecewa dan bahagia.

Sedangkan perbedaan dengan metode demonstratif, bersifat tidak langsung karena menangkap objeknya melalui penarikan kesimpulan dari premis-premis yang telah diketahui sebelumnya, dan karena itu secara jelas berbeda dengan metode intuitif yang bersifat langsung.23

Dalam menangkap objeknya, metode intuitif memiliki ciri khas yang bisa dibedakan dengan metode yang lain, Pertama, metode intuitif

22

Abdul Hadi W.M,Hermeneutika, Estetika, dan Religiusutas: Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa(Yogyakarta: Matahari, 2004), h. 168.

(45)

bisa dicapai melalui pengalaman, yaitu dengan mengalami sendiri objeknya. Hal ini bukan penalaran seperti yang dilakukan oleh akal.24

Kedua, sifat langsung pengetahuan intuitif bisa dilihat dari apa

yang sering disebut sebagai ‘Ilm hudhûrî.25 Yakni objek pengetahuan dicapai tanpa melalui perantaraan apapun, baik itu berupa simbol, konsep maupun representasi, dan ini berbeda dengan pengenalan yang lain yang disebut ilmu husuli atau pengetahuan melalui pencapaian, di mana pengenalan bisa berkorespondensi secara positif atau negatif, dan karena itu bisa benar atau salah.26

Ketiga, pengetahuan intuitif adalah pengetahuan “eksperiensial”

atau pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman. Ia mengerti “manis” bukan dari kata orang ataupun melalui bacaan, melainkan justru dengan mencicipinya dan merasakannya. Pengenalan instuisi sebagai metode untuk mendapat pengetahuan ini membuat pengenalan intuitif lebih akurat dan langsung menyentuh objek-objek partikular dengan segala karakteristik dan keunikannya.27

24Misalnya, seseorang tidak akan mengetahui atau memahami cinta semata dengan

membaca literatur tentang cinta, tetapi dengan mengalaminya. Lihat Kartanegara, Epistemologi Islam,h. 60.

25Istilah ilmu hudhûrî, dikenal dari tradisi filsafat iluminasi atau hikmah

al-Isyrâqiyyah.Ilmu ini di perkenalkan oleh Suhrawardi, menurutnya semua pengetauhuan seseorang semuanya diterangi oleh prinsip-prinsip dan kekuatan-kekuatan yang terletak di atas dan di balik

kita. Lihat Tholhatul Choir, “Epistemologi IlmuHudhûrî Mehdi Ha’iri Yazdi” ed. Nawawi Abdul

Azis, dalam an-Nûr :Jurnal Studi Islam vol. 1, no. 1, September 2004. (Yogyakarta : Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an An-Nur, 2004), 64.

(46)

Demikian ketiga sifat yang menjadi ciri khas dari metode dan pengenalan intuitif yang bisa dibedakan dengan pengenalan inderawi maupun pengenalan rasional.

C. SUBJEK DAN OBJEK OBSERVASI DALAM AL-QUR`AN: Penggunaan KataRa`âdan Nazara

Kata Ra`â dan Nazara banyak tersebar dalam surat-surat al-Qur`an. Setelah penulis mengadakan penelitian dalam mu‘jam al-mu’fahras:Liâlfadi al -Qur`an Al-Karim karya Muhammad Fu`ad Abd al-Bâqi, maka dapat ditemukan kata Ra`â dan Nazara di dalam al-Qur`an terdapat 448 kali, dengan jumlah masing-masing 319 untuk kataRa`â dan 129 untuk kataNazara.28

Kata/ra`â( ) yang berdiri sendiri dalam satu redaksi terulang hanya dua

kali yaitu pada surat Âli Imran ayat 13 dan Q.S Hûd ayat 27, kata ri’yan ( )

terdapat pada Maryâm ayat 74yang merupakan satu-satunya di dalam al-Qur`an.

Pada sisi lain kataal-ru`yâ ( ) yang terulang empat kali yang digunakan dalam

arti mimpi itu terlihat pada surat Q.S Yusuf ayat 43. Penggunaan kata ra`â ( )

itu terdapat 13 kali yang d artikan sebagai “melihat dengan mata” hal ini terlihat

pada al-An`âm ayat 76,77,dan 78. Kata ‘ra`âita/ra’aitu ( ) terdapat 18 kali

dalam kaitan ini sepuluh kata tersebut di tulis dengan di awali hamzah yang d baca “a” (أ) huruf ini berfungsi sebagai pertanyaan sehingga para mufasir

28 Muhammad Fu’ad Abd Baqi Mu‘jam al-Mu’fahras:Liâlfadi al-Qur`an Al-Karim

(47)

memahami sebagai “taukah kamu”.Demikian juga dengantarâى ﺮ ﺗ berjumlah 31 kali dan kesemuanya diawali dengan kata `alam ﻢ ﻟ أ yang juga mengandung pertanyaan sehingga bias di artikan “tidakah kamu perhatikan” sedangkan kata tarâ yang tidak di awali dengan kata alam tarâitu berlangsung 36 kali dalam al-Qur`an29

Sedangkan kata “nazara” belum tentu bermakna “melihat”, tapi bisa juga mempunyai makna lain yaitu “menunggu”, “tafakkur” dan lain-lain. Bantahan terhadap mereka adalah bahwa memang kata “nazara” dapat memiliki beberapa makna, tetapi kita dapat mengetahui makna yang dimaksud dengan

memperhatikan “huruf bantu”nya

1. Jika kata “nazara” disebutkan tanpa huruf bantu, maka bermakna

“menunggu” Seperti ayat Allah:











Maka tunggulah (azab itu), Sesungguhnya Aku juga termasuk orang yamg menunggu bersama kamu".(Q.S al-A‘raf 7130

2. Jika kata “nazara” disebutkan dengan huruf bantu “fie”, maka berma

Gambar

gambaran yang lebih akurat tentang benda-benda angkasa termasuk ukurannya

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tindakan demikian diklasifikasikan sebagai penelitian tindakan kolaboratif atau collaborative action research (Oja & Sumarjan, 1989, Stinger,

itu dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang berarti pada peningkatan kosakata bahasa inggris oleh siswa kelas empat SD N Bageng 02 Gembong Pati pada tahun

mungkin mereleksikan peran tipe serabut otot skeletal. Otot yang berperan dalam penutupan glottis %m.thyroarytenoid& adalah tipe kontraksi cepat# di mana m.adductor

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dilakukan di lokasi rencana program ini akan dilaksanakan, diperoleh kesimpulan bahwa ada seperangkat permasalahan yang

Sebagian besar wanita pedagang asongan di Terminal Bayuangga Probolinggo melakukan aktivitasnya sebagai pedagang asongan dikarenakan penghasilan yang diperoleh suami

1) Semua Tim wajib membuat dan mengumpulkan proposal Proyek Sains sesuai dengan ketentuan yang ada di panduan. 2) Semua Tim wajib membuat Poster Proyek Sains sesuai

lebih baik tentang perusahaannya akan terdorong untuk mengungkapkan informasi tersebut kepada calon investor dimana perusahaan dapat menaikkan nilai perusahaan melalui

Darendeliler F, Ranke MB, Bakker B, Lindberg A, Cowell CT, Albertsson- Wikland K, Reiter EO, David A: Bone age progression during the first year of growth hormone therapy