Oleh
RAHMATUL HIDAYAT (106045103546)
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
Oleh:
Rahmatul Hidayat NIM : 106045103546
Di bawah Bimbingan:
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. Dr. Yunasril Ali, MA Dedy Nursyamsi, SH. M.Hum
NIP 150223823 NIP 196111011993031002
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF)” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada Program Studi Jinayah
Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam.
Jakarta, 21 Maret 2011 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
Nip: 195505051982031012
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag. (..…....…….………)
NIP. 197210101997031008
2. Sekretaris : Afwan Faizin,MA (..…....…….………)
NIP: 197210262003121001
3. Pembimbing I : Prof. Dr. H. Yunasril Ali, MA (..…....……….…………) NIP. 150223823
4. Pembimbing II: Dedy Nursyamsyi, SH, M.Hum (..…....……….…………)
NIP. 196111011993031002
5. Penguji I : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag (..…...…….…………) NIP. 150326893
i
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul “SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN DI BALI (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif)” yang merupakan kewajiban bagi Program sarjana (S-1) Program Studi Jinayah Siyasah
Konsentrasi Kepidanaan Islam pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, untuk memenuhi salah satu persyaratan dan merupakan tugas akhir
untuk memperoleh Gelar sarjana (S1).Dalam penulisan Skripsi ini, sudah tentu Penulis
banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak baik
moril maupun materil yang tentunya sangat bermanfaat dalam penulisan Skripsi ini.
Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang
setulus-tulusnya kepada :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asmawi, M.Ag. selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Afwan Faizin, MA selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
6. Seluruh Dosen/ Pengajar/ Staff, pada Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
7. Kepala dan Seluruh Staff/Karyawan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan
buku-buku referensi yang berkaitan dengan penulisan Skripsi ini.
8. Lebih khusus lagi adalah ucapan terima kasih kepada :
a. Kepada Ayahanda dan Ibunda (Abdurrohim dan Misenik) dan juga Alm. H.
Abdul Ghafar dan Almrh. H. Siti Nariyah, yang berkat do’a mereka ananda mendapatkan semangat untuk menyelesaikan Penulisan Skripsi ini.
b. Kepada kakak dan Istri (Holil Ashari dan Fifin Yusfiana), yang selalu
memberikan bantuan moril maupun materil sehingga kiranya ananda dapat
menyelesaikan masa studi kuliah di UIN Syarih Hidayatullah jakarta serta
menyelesaikan penulisan Skripsi ini, walaupun banyak kelakuan buruk yang
ananda buat.
c. Kepada seluruh kakak beserta istrinya, yang selalu memberikan dorongan
serta semangat kepada ananda untuk menyelesaikan studi ini.
9. Teman-teman PI angkatan 2006 seperti, Mahpudin, Fandi, Safrowi, Faris, Fitrah, Isa
Shaleh, Amir Syarifudin, Nuruzzaman, H. Buldan Fahmi, Muchsin, Husen, Eril,
Sumirat, Kholid, U’2, Ibro, P-men, Bonar, Chandra, Rangga, Cucun, Yuswandi,
Wismoyo, Nisa, Wahyuni dsb. Kebersamaan dan kesolidan kita bersama perkuliahan
dan pergaulan yang terkadang diselingi dengan aktivitas canda tawa memberikan arti
pentingnya sebuah persahabatan yang tek terlupakan dan menjadi catatan sejarah bagi
iii
masing semoga ikatan ini tidak akan putus dan bangga punya teman seperti kalian”.
Akhir kata, semoga tulisan ini dapat berguna bagi semua pihak yang sempat
membacanya, serta menambah wawasan keilmuan bagi yang berkepentingan dengan masalah
ini. Amin
Jakarta, 08 Maret 2011
iv
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
D. Review Pustaka ... 10
E. Metode Penelitian... 12
F. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN A. Gambaran Umum Masyarakat Bali ... 15
1. Letak Geografis ... 15
2. Profil Kependudukan ... 16
3. Sistem Kemasyarakatan ... 17
B. Sejarah dan Latar Belakang Tabuh Rah dan Tajen ... 19
C. Cara pelaksanaan ... 30
1. Tabuh Rah ... 30
v
Masyarakat ... 42
1. Tabuh Rah ... 42
2. Tajen ... 43
BAB III SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Tradisi dan Fungsi Pelaksanaan Tabuh Rah dan Tajen ... 47
B. Dasar Hukum Tentang Larangan Perjudian Sabung Ayam ... 54
BAB IV SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN
PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
A. Tradisi dan Fungsi Pelaksanaan Tabuh Rah dan Tajen ... 75
B. Dasar Hukum Tentang Larangan Perjudian Sabung Ayam ... 83
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 89
B. Saran-saran ... 91
DAFTAR PUSTAKA ... 93
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah Negara kepulauan yang berarti Indonesia terdiri dari
pulau-pulau. Hal ini juga memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia itu terdiri dari
banyak suku bangsa yang mempunyai bahasa yang berbeda-beda, kebiasaan dan
adat-istiadat yang berbeda, kepercayaan yang berbeda, kesenian, ilmu
pengetahuan, mata pencaharian dan cara berfikir yang berbeda-beda. Berkat
kekuasaan Majapahit dan penjajahan Belanda, Indonesia mulai bersatu untuk
menjadi sebuah bangsa yang merdeka. Indonesia harus mempunyai wilayah,
penduduk dan pemerintahan.
Begitu juga terdapat agama yang berkembang dan diakui oleh Negara
Indonesia, salah satunya agama Hindu, yang berpusat di Bali. Agama Hindu
Dharma disebut juga agama Hindu Bali, karena mengingat lahirnya agama
tersebut di Bali dan mayoritas pemeluknya adalah masyarakat Bali. Sebelumnya
masyarakat Bali menyebut agamanya adalah agama Tirta, keyakinan ini
merupakan hasil pencampuran dari agama Hindu Jawa dengan religi Bali asli.
Pada tahun 1958 agama Hindu-Bali diakui oleh Departemen Agama RI. Sesudah
Agama Hindu-Bali mendapat tempat di Kementrian Agama dibentuklah suatu
Dewan Agama Hindu-Bali, yang sesudah kongres tahun 1959 disebut Parisada
Hindu Dharma hingga sekarang ini, pada tahun 1969 Parisada Hindu Dharma
memiliki 11 cabang, yaitu 8 di Bali dan 3 di Jawa. Sesudah G-30-S
perkembangannya sangat pesat, terlebih-lebih di Jawa. Demikianlah agama Hindu
Dharma lahir dan berkembang sampai sekarang.1
Sedangkan agama sendiri berkaitan dengan dengan usaha-usaha manusia
untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan kehadiran alam
semesta. Agama senantiasa dipakai untuk menanamkan keyakinan baru ke dalam
hati sanubari terhadap alam gaib dan surga-surga telah didirikan di alam tersebut.
Bagi orang-orang yang hidup dalam masyarakat macam apa pun konsepsi tentang
agama merupakan bagian tak terpisahkan dari pandangan hidup dan sangat
diwarnai oleh perasaan mereka yang khas terhadap apa yang dianggap sakral
(suci).2 Tiap-tiap manusia yang lahir ke muka bumi membawa suatu akibat dalam
jiwanya, yaitu tabiat ingin mengabdi dan menyembah kepada sesuatu yang
dianggapnya Maha Kuasa. Dan pembawaan ini memang telah terwujud fitrah3
kejadian manusia, yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dalam diri mereka.
Di dalam masyarakat Bali, sabung ayam memiliki makna religius. Makna
religius tersebut adalah sebagai persembahan korban suci yang ditujukan pada
bhuta dan kala, yaitu makhluk-makhluk halus yang jahat dan makhluk-makhluk
1
Parisada Hindu Dharma, Sejarah Agama Hindu Dharna Hindu Bali,
http://faridfann.wordpress.com/2008/05/07/sejarah-agama-hindu-dharma-hindu-bali/.
2
Elizabeth K. Nothinghem, Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Cet-
8.(Jakarta: Raja Grafindo, 2002), h. 3-4.
3
Agus Salim, Perbandingan Agama Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan
halus perwujudan dewa-dewa yang bersifat merusak. Upacara penyembahan
melalui korban suci ini disebut “caru” atau “mecaru”. Upacara mecaru ini
biasanya berupa tumpahnya darah yang tercecer di tanah akibat dari sebuah
pertarungan atau penyembelihan hewan korban, yang disebut dengan Tabuh Rah
atau Labuh Getih. Salah satu cara agar terjadi tumpahnya darah dengan cara
melakukan sabung ayam (Perang Satha).
Untuk memahami agama pada umumnya secara sosiologis, ibadat atau
upacara keagamaan barangkali lebih penting. Ritus (ibadat) adalah bagian dari
tingkah laku keagamaan yang aktif dan dapat diamati. Ritus ini tentu saja
mencakup semua jenis tingkah laku seperti; memakai pakaian khusus,
mengorbankan nyawa dan harta benda, mengucapkan ucapan-ucapan formal
tertentu. Dan ritus akan efektif apabila orang-orang berkumpul bersama-sama,
karena mereka saling mendorong satu sama lain. Jadi, salah satu fungsi penting
ritus adalah keyakinan masyarakat terhadap adanya dunia yang gaib dan
memberikan cara-cara pengungkapan emosi keyakinan secara simbolik.
Dalam agama Hindu terdapat banyak upacara yang senantiasa dilakukan
oleh masyarakat di sana sebagai penggambaran serta penghambaan kepada Tuhan
mereka, yakni Sang Hyang Widhi sehingga akan terjalin sebuah hubungan yang
baik antara hamba dan Tuhannya. Segala ritual atau upacara-upacara yang
umat yang dilandasi oleh 3 (tiga) unsur kerangka dasar yaitu; 4 Tatwa (filsafat),
Susila (etika), dan Upacara (ritual). Sehingga jika ketiga kerangka dasar yang di
atas telah terpenuhi maka akan tercapainya suatu tujuan (dharma) bagi umatnya,
yang disebutkan dalam Wedha, “Mokshartam Jagadhita Ya ca Iti dharma”.5
Acara Tajen di Bali sudah ada sejak jaman Majapahit. Konon, Tajen
sangat lekat dengan tradisi Tabuh Rah, yaitu salah satu upacara dalam masyarakat
Hindu Bali. Upacara Tabuh Rah, ini tak ubahnya sebuah upacara persembahan
dengan mengorbankan ternak seperti ayam, babi, kerbau, atau hewan peliharaan
lain. Persembahan ini dilakukan ada yang dengan cara menyembelih bagian leher
hewan tersebut, namun ada juga dengan cara (Perang Satha) yaitu pertarungan
ayam dalam rangkaian korban suci yang melambangkan penciptaan,
pemeliharaan, dan pemusnahan dunia. Masyarakat Bali percaya bahwa perang
Satha merupakan simbol perjuangan hidup. 6
Tradisi Tabuh Rah di Bali sering diselenggarakan dalam rangkaian
upacara buthayajna, yaitu upacara suci yang ditujukan untuk menyelaraskan
unsur-unsur alam dengan kehidupan manusia. Salah satu upacara buthayajna
adalah acara tawur yang diadakan sehari sebelum Nyepi. Dalam acara ini
4
Parisada Hindu Dharma,
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/udejournal/darma070102008.pdf.
5
Suatu cita-cita manusia dalam kehidupan manusia, baik kebahagiaan lahir dan bathin di dunia dan di akhirat, yang berlandaskan dharma. Di mana kebahagiaan lahir akan terwujud dengan terpenuhinya kebutuhan artha dan kama, dan kebahagiaan bathin adalah kedamaian.
6
Matatia.com, Tales from The Road: Tajen sabung Ayam di Bali, http://
biasanya diadakan pertarungan ayam. Selain itu dalam Prasasti Batur Abang
tahun 933 Saka dan Prasasti Batuan tahun 944 Saka juga disebutkan bahwa
sabung ayam untuk upacara Tabuh Rah diperbolehkan, namun bukan untuk
berjudi.
Dalam perkembangannya, ritual suci Tabuh Rah mengalami pergeseran
makna. Seni pertarungan ayam yang seru dan mengasyikkan kemudian sering
dijadikan ajang berjudi. Kini, banyak banjar (desa) yang menggelar Tajen yang
biasa disebut Tajen terang untuk kepentingan menggalang dana dan dilakukan
hanya dua atau tiga hari setelah diadakannya Tabuh Rah. Setiap desa di Bali
memiliki tatacara tersendiri untuk mengatur Tajen terang ini, para pecalang pun
dilibatkan untuk menjaga keamanan. Dalam tajen terang ini yang diutamakan
adalah hiburan, bukan menang atau kalah. Meski demikian, sebelum diadakan
acara Tajen terang, desa adat terlebih dahulu juga menyelenggarakan upacara
kepada Dewa Tajen agar tidak terjadi perselisihan selama acara berlangsung.
Dan yang lebih ditanyakan lagi dalam masalah sosial dimana perjudian ini
adalah tingkah laku penyimpangan (devian behaviour) yang gampang meluas dan
menjamurnya dalam masyarakat kita. Maka berlangsunglah apa yang dinamakan
devisiasi situasional komulatif yaitu suatu bentuk penyimpangan dari
norma-norma sosial atau hukum sebagai produk transportasi psikologis yang dipaksakan
oleh situasi dan kondisi lingkungan sosialnya.7
7
Untuk meregulasi perjudian dan tidak menjadikannya sebagai perbuatan
kriminal (dekriminalisasi) di Indonesia tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Tantangan terbesar adalah munculnya resistensi masyarakat karena
kondisi social budaya, kepercayaan/agama, dan kondisi masyarakat yang belum
sepenuhnya memahami tentang pluralisme hukum.8
Masalah perjudian umum nya dalam aspek hukum pidana KUHP telah
memberikan batasan tentang pengertian perjudian dalam pasal 303 ayat (3)
KUHP yang berbunyi;
“Tiap-tiap permainan, dimana pada umumnya kemungkinan mendapat
untung bergantung peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih
atau lebih mahir. Disitu termasuk segala pertaruhan tentang keputusan
perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka
yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan
lainnya”.
Meskipun masalah perjudian di Indonesia telah banyak diberantas, namun
masalah perjudian ini merupakan masalah sosial. Apalagi dalam masyarakat Bali
Tajen merupakan sebuah pertaruhan nama baik serta kebanggaan bagi sang
pemilik ayam aduan tersebut. Apalagi jika ayam aduan miliknya dapat dan
mampu mengalahkan ayam aduan milik orang lain atau musuhnya. Dan juga
8
Aziz Syamsuddin, Dekriminalisasi Tindak Pidana Perjudian: Menuju Pembangunan
ayam menjadi bagian yang terpisahkan dari kaum pria dan juga sebagai simbol
kemaskulinan mereka.
Namun, jika kita lihat dan kita tinjau asal-muasal terbentuknya tradisi
budaya Bali, yakni bertujuan menyuburkan berkembangnya kehidupan beragama.
Tanpa disadari amat disayangkan kesadaran masyarakat sekarang jurusannya
melenceng dari sasaran semula mengingat dahulu seni budaya semata-mata wujud
daya hidup sembah bhakti mereka kehadapan Hyang maha kuasa.9
Untuk itu, berdasarkan pemikiran tersebut penulis tertarik untuk menggali
masalah yang berkaitan dengan perjudian sabung ayam yang berkedok budaya.
Oleh karena itu skripsi ini penulis tuangkan dalam karya ilmiah yang berjudul
“SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN DI BALI (Perspektif
Hukum Islam dan Hukum Positif)”
B. Pembatasan dan Perumusan masalah
Dalam skripsi ini, penulis ingin mengemukakan suatu fenomena
masyarakat yang terjadi di Bali, yang dalam kehidupan beragama sebuah upacara,
Tabuh Rah merupakan sebuah alat untuk mendekatkan kepada tuhannya yakni
Sang Hyang Widhi. Akan tetapi, disalahgunakan oleh oknum sebagai perjudian.
Dari uraian di atas kiranya dapat ditemukan suatu permasalahan yang
cukup penting untuk dikaji lebih mendalam sehingga dapat ditemukan titik terang
9
I Nyoman Suarka, Ketuhanan Bali (kajian empiris dan Era baru empu Kuturan), (Surabaya:
mengenai permasalahan yang akan dikaji maka, penulis akan membatasi dalam
beberapa hal, yakni sebagai berikut;
1. Sabung ayam yang dimaksud oleh penulis adalah sebuah ritual upacara dalam
agama Hindu di Bali yang dinamakan dengan Tabuh Rah yang ditujukan
untuk Sang Hyang Widhi sebagai perwujudan sembah bhakti kepadanya,
serta dalam pelaksanaannya tanpa ada unsur taruhan.
2. Tajen yang dimaksud penulis adalah menyabungkan ayam yang dilakukan di
luar dari sebuah ritual upacara agama Hindu di Bali dan disertai dengan
taruhan.
Dari pembatasan masalah di atas, kemudian penulis merumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana tradisi dan fungsi sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen
menurut pandangan masyarakat Bali ?
2. Bagaimana mekanisme pelaksanaan sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen
pada masyarakat Bali?
3. Bagaimana perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Positif terhadap
sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
1. Untuk mengetahui bagaimana tradisi dan fungsi sabung ayam Tabuh Rah dan
judi Tajen menurut pandangan masyarakat Bali.
2. Untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan sabung ayam Tabuh Rah dan judi
Tajen pada masyarakat Bali.
3. Untuk mengetahui bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum Positif
terhadap sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen.
4. Untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang budaya Tabuh Rah dan judi
Tajen di Bali
Sedangkan untuk manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang budaya Tabuh Rah dan judi
Tajen di Bali
2. Penelitian ini setidaknya diharapkan bermanfaat menjadi sumbangan ilmiah
penulis terhadap masyarakat yang ini mengetahui budaya upacara Tabuh Rah
dan judi Tajen di Bali.
3. Untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang sabung ayam
Tabuh Rah dan judi Tajen, baik dari segi hukum Islam dan hukum Positif,
serta kaitannya dengan legalisasi perjudian berkedok budaya. Sehingga
mampu untuk membedakan dan menempatkan mana dengan benar mana yang
Tabuh Rah dan judi Tajen.
D. Review Pustaka
Penulis menggunakan beberapa literatur yang mempunyai keterkaitan
dengan judul ini yang diantaranya adalah:
Pertama karya mahasiswa (skripsi) di Fakultas Syari’ah dan Hukum yang
ditulis oleh Rahmat Hidayat yang berjudul “Peranan Kepolisian Resort
Purwakarta dalam Penanganan Tindak Pidana Perjudian”, Skripsi, yang
didalamnya dijabarkan beberapa tindak pidana perjudian seperti judi Sepak Bola
dan Judi sabung Ayam. dalam skripsi ini memiliki kesamaan yakni tentang
perjudian sabung ayam yang terjadi di Bali dan Purwakarta.
Kedua karya ilmiah mahasiswa (skripsi) di Fakultas Syari’ah dan Hukum
yang ditulis oleh Nasori yang berjudul “Perjudian Pandangan Hukum Islam dan
KUHP (Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan)”, Skripsi,
yang di dalamnya dijabarkan mulai dari pengertian, sejarah, macam-macam
perjudian serta dampaknya, bagaimana pendapat Hukum Islam dan Hukum
Positif terhadap perjudian serta menganalisis sebuah putusan pengadilan.
Ketiga Aziz Syamsuddin yang berjudul “Dekriminalisasi Tindak Pidana
Perjudian: Menuju Pembangunan Hukum Masyarakat Adil dan makmur, 2007,
Jakarta. Yang secara garis besar dalam buku ini menjelaskan tentang sejarah dan
praktik perjudian di dunia, psikologi judi, potret perjudian di Indonesia,
kriminalisasi perjudian.
Keempat Kartono Kartini yang berjudul “Patologi Sosial”, Rajawali, 1993,
dimana perjudian adalah suatu tingkah laku penyimpangan (depian behaviour)
yang merupakan suatu bentuk penyimpangan dari norma-norma social atau
hukum sebagai produk dari transportasi psikologis yang dipaksakan oleh situasi
dan kondisi lingkungan sosialnya.
Kelima Ida Pedanda Putra Pidada Kniten dan Pinandita I Nyoman
Gunanta “Tinjauan Tabuh Rah dan Judi”, Paramitha 2005, Surabaya, yang
membahas tentang bagaimana tabuh rah serta tajen yang memiliki keterkaitan
dengan ritual Tabuh Rah pada masyarakat Hindu di Bali.
Keenam Karya Ilmiah (Tesis) Mahasiswa Universita Indonesia yang
ditulis oleh Hendrik Andriyanto “Perjudian Sabung Ayam di Bali”, Jakarta, 2003,
yang dijelaskan secara detail di dalam masyarakat Bali tentang Tabuh Rah dan
Tajen dan juga adanya pengecukan atau pengambilan duit keamanan pada setiap
acara tajen yang berlangsung baik di pura maupun tempat yang memang sengaja
disediakan oleh masyarakat yang senang berjudi.
KetujuhKetut Upedhana, yang berjudul “Fraksi Partai Golkar dukung judi
Sabung ayam, Analisis Surat kabar, TEMPO Interaktif, Denpasar, 2005, yang
isinya aktivitas sabung ayam (tajen) yang selalu diikuti kegiatan perjudian harus
dilihat sebagai warisan budaya, yang erat kaitannya dengan pelaksanaan
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang
data-datanya diungkapkan melalui kata-kata, norma atau aturan-aturan,
dengan kata lain, penelitian ini memanfaatkan data kualitatif10.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normative doktriner, yaitu
penelitian yang mengkaji asas-asas dan norma-norma hukum. Penulis
mencoba menelaah dan menjelaskan aspek-aspek yang berkenaan dengan
permasalahan ini. Dan penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yakni
penelitian yang bertujuan menjelaskan satu variable.
Adapun sumber data yang dipergunakan penulis adalah;
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang diperoleh dari
perundang-undangan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), serta dalil-dalil
yang terdapat pada Al-Qur’an dan al-Hadits, sarta ketentuan-ketentuan
Fiqh yang mengatur masalah perjudian.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberi penjelasan
dalam mengkaji data primer, yaitu data-data yang diperoleh dari
buku-buku yang masih memiliki keterkaitan dengan pokok masalah yang akan
diteliti.
10
c. Bahan Hukum Tersier, bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Seperti penduduk Bali,
pelaku sabung ayam maupun sampel yang diperlukan untuk penunjang
kelengkapan data.
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Dokumentasi, alat ini dipergunakan untuk melengkapi data yang
penulis perlukan, yaitu dengan cara melihat buku-buku yang terkait
dengan pokok masalah yang akan diteliti.
3. Teknik Analisis data
Penelitian ini menggunakan analisis data secara kualitatif, yaitu
pendekatan isi (content analisis) yang menekankan pada pengambilan
kesimpulan dan analisis yang bersifat deduktif, yaitu penelaran berawal dari
hal yang umum untuk menentukan hal yang khusus sehingga mencapai suatu
kesimpulan.11
Adapun tehnik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku
Pedoman Penulisan skripsi, cetakan ke-1 yang diterbitkan Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari sub-sub Bab
sebagai berikut :
11
Bab I Merupakan Bab pendahuluan yang terdiri dari : Latar Belakang
Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Metodelogi Penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Merupakan Tradisi Sabung ayam Tabuh rah dan judi Tajen, yang
di dalamnya membahas tentang gambaran umum masyarakat Bali yang meliputi
(letak geografis, profil kependudukan, dan sistem kemasyarakatan), sejarah dan
latar belakang tradisi Tabuh Rah dan Tajen, cara pelaksanaan, fungsi
dilaksanakan, serta implikasinya.
Bab III Merupakan pembahasan sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen
dalam perspektif Hukum Islam yang meliputi bagaimana Tradisi dan fungsi
pelaksanaan Tabuh Rah dan judi Tajen, serta dasar hukum tentang larangan
perjudian Sabung Ayam.
Bab IV Merupakan pembahasan sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen
dalam perspektif Hukum Positif yang meliputi tentang Tradisi dan fungsi
pelaksanaan Tabuh Rah dan judi Tajen, serta dasar hukum tentang larangan
perjudian Sabung Ayam.
Bab V Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan
15
DAN JUDI TAJEN
A. Gambaran Umum Masyarakat Bali 1. Letak Geografis
Secara geografis Provinsi Bali terletak pada 8°3'40" - 8°50'48" Lintang
Selatan dan 114°25'53" - 115°42'40" Bujur Timur. Relief dan topografi Pulau
Bali di tengah-tengah terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke
timur. Provinsi Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Batas
fisiknya adalah sebagai berikut. Sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah
selatan dengan Samudra Indonesia, sebelah barat dengan Selat Bali atau
Provinsi Jawa Timur, dan sebelah timur dengan Selat Lombok atau Provinsi
Nusa Tenggara Barat.
Secara administrasi, Provinsi Bali terbagi menjadi delapan kabupaten
dan satu kota, yaitu Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar,
Karangasem, Klungkung, Bangli, Buleleng, dan Kota Denpasar yang juga
merupakan ibukota provinsi. Selain itu, pulau Bali terdiri dari pulau-pulau
kecil lainnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan
di wilayah Kabupaten Klungkung, Pulau Serangan di wilayah Kota Denpasar,
dan Pulau Menjangan di Kabupaten Buleleng. Luas total wilayah Provinsi
Tabel Luas Wilayah Tiap Kabupaten di Provinsi Bali1
Kabupaten/Kota Ibukota
Luas (km²)
Persentase (%)
Jembrana Negara 841,80 14,94
Tabanan Tabanan 839,30 14,90
Badung Badung 420,09 7,43
Denpasar Denpasar 123,98 2,20
Gianyar Gianyar 368,00 6,53
Klungkung Semarapura 315,00 5,59
Bangli Bangli 520,81 9,25
Karangasem Amlapura 839,54 14,90
Buleleng Singaraja 1.365,88 24,25
Jumlah 5.634,40 100,00
Sumber: Master Plan Penunjang Investasi Provinsi Bali Tahun 2006-2010
2. Profil Kependudukan
Wilayah Bali secara umum beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin
musim. Terdapat musim kemarau dan musim hujan yang diselingi oleh musim
pancaroba, dengan curah hujan berkisar antara 0,0 – 425,4 milimeter. Rata-rata
1
Departemen Kebudayaan Provinsi Bali, Geografis, dematografi dan sistem kemasyarakatn
suhu maksimum antara 29,8 – 33,4 derajat Celcius dan rata-rata suhu minimum
antara 21,9 – 32,5 derajat Celcius. Temperatur tertinggi terjadi sekitar November
dan terendah sekitar Juli dan kelembaban udara antara 73,3 hingga 82,1 %.
Penduduk Bali sebagaian besar memeluk agama Hindu. Khusus untuk Kota
Denpasar persentase pemeluk Agama Hindu 67,94 %, Islam 23,03 %, Kristen
2,24 %, Protestan dan 4,87 Budha 1,91 %. Sejalan dengan mayoritas penduduk
yang beragama Hindu, demikian halnya ketersediaan fasilitas peribadatan
didominasi oleh Pura, dengan jumlah keseluruhan mencapai 457 buah Pura. Dari
sejumlah tersebut 105 buah diantaranya merupakan Kahyangan Tiga , 3 buah
merupakan Sad Dang Kahyangan fasilitas peribadatan lainnya berupa Mesjid 28
buah, Langgar 0 buah, Musholla 77 buah serta Gereja 73 buah. Vihara dan
Kelenteng juga 9 buah.2
3. Sistem Kemasyarakatan
Masyarakat Bali menganut sistem sosial yang mengikat yang terdiri atas
empat sistem sosial, yaitu sistem klan (dadia), sistem tingkatan (kasta), sistem
kemasyarakatan (banjar), dan sistem kelompok dalam minat dan pekerjaan
(seka). Sistem dadia meliputi gabungan keluarga besar dari leluhur yang sama.
Dalam hubungan ini, anggota keluarga secara berkala bertemu bersama pada
suatu tempat untuk menyembah tuhan, di tempat sembahyangan di rumah
2
Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Denpasar, Kondisi Sosial Budaya Bali,
(sanggah/pamarajan) untuk keluarga dekat atau di pura untuk keluarga besar
(pura dadia atau paibon/pamarajan agung).
Pembagian kasta, asalnya dari Hindu didasarkan atas fungsinya di
masayarakat, yakni Brahmana merupakan kasta tertinggi (meliputi Pedanda)
bertanggung jawab atas upacara agama. Ksatriya (meliputi raja, pejabat dan
keluraganya, termasuk pemimpin irigasi atau kepala desa). Vaisya terlibat dalam
wirausaha dan kegiatan kesejahteraan masyarakat, dan Sudra adalah para petani
dan yang melaksanakan tugas (buruh) bagi kasta lainnya.
Sistem sosial yang ketiga yang mengikat orang Bali adalah sistem banjar.
Banjar sering dibedakan menjadi dua jenis yakni banjar adat dan banjar dinas.
Banjar adat sering disebut banjar patus (mempunyai tugas dan kewajiban khusus
dalam kaitannya dengan upacara agama Hindu) atau banjar suka-duka, sedangkan
banjar dinas merupakan perpanjangan tangan dari organisasi pemerintahan negara
di bawa desa dinas. Banjar adat merupakan organisasi di bawah pemerintahan
desa adat yang kini berdasarkan Peraturan Daerah Bali (Perda) No.3 Tahun 2001
pasal 1 ayat 4, disebut dengan desa pakraman, yakni batasannya disebutkan
sebagai berikut.
“Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali,
yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup
masyrakat umat Hindu secara turun-temurun, dalam ikatan kahyangan tiga,
kahyanga desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan serta
Tiap-tiap masyarakat terbentuk oleh banyak kelompok, setiap kelompok
terdiri atas individu-individu yang datang bersama-sama untuk kegiatan kerja
sama dengan minat khusus. Kelompok ini disebut seka. Nama seka sesuai dengan
kegiatan khususnya. Ada kelompok kerja, seperti: seka manyi untuk menanam
padi, seka semal untuk menghalau tupai yang merusak buah kelapa, seka membeg
untuk mengolah tanah, di samping ada kelompok yang berminat pada seni,
misalnya seka gong gamelan, seka drama, seka barong yang bertanggung jawab
atas pemeliharaan dan tarian barong, seka kecak (kelompok penari kecak), malah
ada kelompok peminum tuak atau seka tuak. Para pemuda, misalnya remaja yang
belum menikah, juga merupakan anggota masyarakat khusus yang disebut seka
taruna-taruni. Persamaan dan kerja sama anggota merupakan peraturan pertama
kelompok itu.
B. Sejarah dan Latar Belakang Tradisi Tabuh Rah dan Tajen
Sebelum kedatangan Agama Hindu di Nusantara3, masyarakat masih
memeluk keyakinan primitif, yaitu Animisme dan Dinamisme. Pengaruh agama
Hindu yang paling besar terdapat di pulau Jawa, khususnya diantara suku Jawa.
Agama Hindu masuk di Indonesia belum dapat diketahui secara pasti. Namun
dibeberapa daerah ditemukan adanya bukti-bukti sejarah seperti patung, candi,
prasasti dan yang lainnya.
3
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, Sejarah Perkembangan Hindu Agama Hindu,
Prasasti-prasasti yang berasal dari abad ke-5 SM hingga abad ke-7 M,
terdapat di kutai (Kalimantan Timur) dan Jawa Barat, dari prasasti-prasasti
tersebut, kita dapat mengetahui bahwa pada waktu itu ada raja yang memiliki
nama yang berasal dari India. Seperti Mulawarman di Kutai dan Purnawarman di
Jawa Barat. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa raja-raja itu adalah orang
India. Mungkin mereka orang Indonesia asli, yang sudah memeluk agama yang
datang dari India. Sumber-sumber pengetahuan kita tentang agama Hindu agak
terbatas dibandingkan dengan sumber-sumber agama Budha.
Maka dari sini untuk memudahkan para pembaca kami bagi menjadi 3
periode tentang sejarah Hindu yang ada di Jawa Timur :
1. Zaman Mpu Sendok hingga akhir pemerintahan Erlangga (1929-1092 M).
Pada zaman ini agama yang berkembang adalah agama Siwa dan
agama Buddha, kedua agama ini sebelumnya sudah berkembang di Jawa
Tengah, yaitu pertumbuhan agama Siwa dan agama Budha menjadi satu,
kemudian menjadi nyata di Jawa Timur, dengan adanya keyakinan yang
dipadukan antara agama Siwa dengan agama Budha, serta menyebutnya
Siwa-Buddha, bukan lagi Siwa dan Budha, melainkan Siwa-Budha menjadi satu
Tuhan. Pada masa ini juga telah didapati kepustakaan terkuno yang terdiri dari
ayat-ayat dalam sansekerta, yang diikuti oleh keterangan bebas didalam
bahasa Jawa kuno. Hal ini menunjukkan bahwa ayat-ayat itu berasal dari
2. Zaman kerajaan Kediri dan Singosari (1042-1292 M)
Agama yang berkembang Pada zaman ini adalah agama Wisnu, para
raja dianggap sebagai titisan Wisnu. Pada zaman ini kepustakaan Jawa Kuno
yang tidak bersifat keagamaan secara khas sangat berkembang sekali. Ada
banyak syair kepahlawanan yaitu kepustakaan kakawin.
3. Zaman kerajaan Majapahit (1293-1528 M)
Pada zaman ini agama yang berkembang adalah sinkretisme dari tiga
agama, yaitu agama Siwa, Wisnu dan Budha Mahayana. Segala macam
upacara keagamaan dalam tiga agama tersebut bisa berjalan secara
berdampingan, hal ini menandakan bahwa proses sinkretisme yang
menjadikan agama Hindu dan Budha yang dipandang sebagai bentuk yang
bermacam-macam yang ditampakkan oleh satu kebenaran. Proses sinkretisme
ini sudah dimulai pada zaman Jawa Tengah, serta dikembangkan pada zaman
Empu Sendok, Kediri dan Singosari, kemudian mencapai puncaknya pada
zaman Majapahit. Menurut orang Bali sejarah kebudayaan dan
kemasyarakatan di Bali di mulai dengan kedatangan orang-orang Majapahit di
Bali. Menurut orang-orang Bali zaman–zaman terdahulu dianggap atau
dipandang sebagai zaman yang gelap dan dikuasai oleh roh-roh jahat, serta
makhluk-makhluk yang ghaib.
Berbagai upacara keagamaan hampir setiap hari dapat disaksikan di pulau
Bali. Umat Hindu selalu melakukan upacara pancayajna, yakni lima macam
Maha Esa, para dewa manifestasi Tuhan Yang Maha esa, dan roh suci para
leluhur yang dipuja melalui pura atau tempat yang dipandang suci lainnya; (2)
pitrayajna ditujukan kepada para leluhur sejak yang bersangkutan meninggal
sampai rohnya disucikan dan di-shata-kan pada pura keluarga; (3) rsiyajna
ditujukan kepada para rsi atau pandita sejak upacara inisiasi sampai yang
bersangkutan meninggal dunia; (4) manusayajna ditujukan kepada manusia sejak
bayi dalam kandungan sampai upacara penyucian diri (pawintenan); dan (5)
bhutayajna ditujukan kepada makhluk rendahan dan kekuatan-kekuatan negatif.
Bhutayajna juga disebut sebagai upacara penyucian alam semesta dari gangguan
kekuatan bhutakala, yakni roh-roh jahat yang menimbulkan masalah bagi umat
manusia, baik dalam skala besar maupun kecil.4
Kata “Tabuh Rah” adalah suatu kata majemuk yang terdiri dari kata tabuh
dan rah. Kata tabuh sama dengan kata tabur, tawur atau kata taur yang berarti
bayar. Sedangkan kata rah, berasal dari kata darah. Jadi dari uraian di atas, maka
kata tabuh rah berarti tawur darah, yaitu pembayaran dengan darah.
Tradisi adalah merupakan faktor penting dalam tata cara pergaulan hidup
di masyarakat dan lebih-lebih di dalam hubungannya dengan tata cara
pelaksanaan upacara agama Hindu di Bali. Peranan tradisi demikian kuatnya di
dalam kehidupan agama Hindu di Bali, sehingga dengan demikian setiap individu
yang taat beragama merasakan pentingnya arti ikatan terhadap tradisi-tradisi yang
4
I Made Titib, Persepsi Umat Hindu Di Bali Terhadap Svarga, Naraka, dan Moksa Dalam
mereka warisi dari leluhurnya. Demikian pula halnya Tabuh Rah di Bali yang
sudah menjadi tradisi berlangsung turun-temurun dimasyarakat dari sejak dahulu
hingga kini, di samping juga secara filosofis mengadung arti yang penting bagi
upacara-upacara di dalam agama Hindu.
Namun, dari beberapa istilah mengenai Tabuh Rah yang biasa dilakukan
di Bali. Sampai saat kini belum ada kesamaan pendapat atau pengertian mengenai
Tabuh Rah itu. Ketidaksamaan itu juga didapati pada beberapa prasasti dan
lontar-lontar, yang ditemukan di Bali.5
1. Di dalam prasasti Bali kuno dan terutama pada prasasti Sukawan A.I.
yangberangka tahun 804 Saka (882 A.D), ada terdapat kata : “Blindarah”, Dr.
R.Goris mengartikan kata blindarahitu sebagai “blodoffer voor velerlei godsd
verrichtingen yaitu: korban darah untuk berbagai tindakan keagamaan.
2. Di dalam prasasti Batur Abang A. Yang berangka tahun 933 Saka (1011 A.
D) disebutkan sebagai berikut:
“... mwang yan pakaryyakarya, msanga kunang wgila ya manawunga
makantang tlung parahatan, i thaniya, yan pamwita, tan pawwata ring
nayaka saksi...”
Artinya “... lagi pula bila mengadakan upacara-upacara tawur kesanga,
patutlah mengadakan sabungan ayam tiga ronde (leban) di desanya, tidaklah
minta izin, tidaklah membawa (memberitahukan) kepada pemerintah...”.
5
Tabuh Rah, keputusan seminar tafsir agama Hindu ke III tahun 1976, (Diterbitkan Oleh
3. Di dalam prasasti Batuan yang berangka tahun 944 Saka (1022 A.D.), ada
kalimat sebagi berikut:
“... kunang yan manawunga ing pangudwan makantang tlun parahatan, tan
pamwita ring nyaka saksi mwang sawung tunggur, tan knana minta pamli...”
Artinya “... adapun bila mengadu ayam ditempat suci dilakukan tiga ronde
(leban) tidak meminta izin kepada pemerintah dan juga kepada pengawas
sabungan, tidak dikenakan pajak...”.
4. Di dalam lontar Ciwatatwapurana, disebutkan sebagai berikut:
“mwah ri tileming ke sanga, hulun megawe yoga, teka wnang wang ing
madyapada megae taur kasowangan, denhana pranging satha, wnang nyepi
sadina ika labain sang kala daca bhumi, yanora samangkana rug ikang
wanging madyapada...”
Artinya “lagi pada tilem kesanga aku (dewa Siwa) mengadakan yoga,
berkewajibanlah orang bumi ini membuat persembahan masing-masing, lalu
adakan pertarungan ayam, dan Nyepi sehari, (ketika) itu beri hidangan sang
kala dacabhumi, jika tidak rusaklah manusia di bumi...”.
5. Di dalam lontar Sandharigama, disebutkan bahwa di dalam rangkaian
melakukan tawur atau bhutayajna disertai dengan “tetabuhan”.
Dari beberapa kutipan tersebut di atas, jelaslah adanya perbedaan istilah
yang dipergunakan di dalam korban darah yang berhubungan dengan upacara
keagamaan. Diantara istilah-istilah itu maka istilah blindarah ada persesuaiannya
Sedangkan istilah perang Satha dan Manawung sudah mengandung kekaburan
mengenai makna Tabuh Rah. Kekaburannya disebabkan karena bukan dititik
beratkan kepada korban darah, melainkan ditekankan kepada pertarungan ayam,
sehingga dengan demikian sering timbul anggapan bahwa Tabuh Rah itu adalah
sabungan ayam.
Jika kita perhatikan dengan seksama seluruh kegiatan keupacaraan yang
dilakukan umat Hindu di Bali, ada sesuatu yang dipahami, yang sangat dihormati,
yang diperlakukan sebagai tamu agung, yang dipandang maha suci, yakni Sang
Hyang Widhi wasa (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai penguasa alam semesta
beserta seluruh isinya, yang dimohon hadir untuk menganugerahkan kasih sayang,
perlindungan, keselamatan, kesejahteraan hidup lahir serta bathin. Begitu juga
pada pelaksanaan Tabuh Rah sendiri.
Tradisi adalah merupakan faktor penting dalam tata cara pergaulan hidup
di masyarakat dan lebih-lebih didalam hubungannya dengan tata cara pelaksanaan
upacara agama Hindu di Bali. Peranan tradisi demikian kuatnya di dalam
kehidupan agama Hindu di Bali, sehingga dengan demikian setiap individu yang
taat beragama merasakan pentingnya arti ikatan terhadap tradisi-tradisi yang
mereka warisi dari leluhurnya.
Pelaksanaan agama dipandang kurang mantap dan dirasakan seolah-olah
tidak akan mendatangkan suatu pahala yang baik, jika dilakukan tidak mengikuti
cara yang tradisional di masyarakat. Tetapi hal yang demikian itu tidak lah berarti
menempuh kehidupan yang fleksibel, elastis yang demikian itulah dijumpai pada
umat Hindu di Bali yang mempunyai pandangan, bahwa apa yang diwarisi dari
leluhurnya merupakan suatu pusaka suci, baik warisan itu berupa benda atau
berupa pandangan hidup. Disebabkan oleh adanya rasa bhakti dan hormat
terhadap leluhur inilah mengapa tradisi dapat dipelihara dengan baik oleh
generasi-generasi berikutnya.
Demikian pula halnya Tabuh Rah di Bali yang sudah menjadi tradisi
berlangsung turun-temurun di masyarakat dari sejak dahulu hingga kini,
disamping juga secara filosofis mengandung arti yang penting bagi
upacara-upacara di dalam agama Hindu.
Tentang munculnya Tabuh Rah dalam hubungannya dengan upacara
bhutayajna di Bali, rupa-rupanya berpangkal pada bentuk upacara berkorban
sejak zaman purba. Kadang-kadang berkurban itu ada hubungannya dengan kaul
dan berhubungan dengan keharmonisan antar bhuanagung dan bhuanaalit dimana
hal ini terdapat adanya hubungan yang erat antara para roh leluhur dengan dunia
gaib.6
Dalam agama Hindu mitos memiliki peranan yang penting. Karena dalam
mitos tersebut diyakini, diikuti, dan bahkan menjadi pedoman serta berguna
meskipun tidak rasional bagi kita. Begitu juga dengan masalah Tabuh Rah sendiri.
Banyaknya cerita yang menggambarkan ritual tersebut yang harus dilaksanakan
6
Utarayana, Pengayam-ayaman, (Denpasar-Bali, Percetakan Offset dan Toko Buku RIA,
oleh umat agama Hindu berdasarkan lontar-lontar. Meskipun banyak yang belum
atau tidak dapat dijelaskan dengan akal (rasio). Dan hingga sekarang sebagian
masyarakat Bali (umat Hindunya) masih memahami serta menghayatai
mythology, yang ternyata masih besar faedahnya itu.
Tabuh Rah biasanya dilaksanakan dalam beberapa cara dan selalu
berhubungan dengan bhutayajna atau lazim di Bali disebut dengan mecaru
(membuat upacara korban). Bhutayajna itu sering dilakukan dengan mecaru
karena makna dari bhutayajna itu adalah mengharmoniskan hubungan
unsur-unsur Panca Mahabhuta di bhuanaagung dan bhuanaalit.
Berkorban atau bersaji adalah suatu usaha untuk berhubungan dengan
dunia gaib dalam artian memberi barang sesuatu kepada dunia gaib dengan
pengaharapan untuk mendapatkan penggantiannya. Hal ini sering terlihat dengan
jelas pada beberapa agama di Indonesia sekarang dan dapat dibandingkan dengan
adanya janji atau kaul pada kepercayaan sekarang, bahwa akan mengadakan
keselamatan sesudah maksud tercapai. Selain itu juga ada juga korban yang
berupa makanan-makanan yang juga oleh manusia dipandang lezat, sehingga di
dalam pikiran manusia ada anggapan bahwa apa yang dipandang oleh enak
dirinya, juga akan digemari oleh dunia gaib atau roh-roh. Makan bersama-sama
dengan para roh-roh leluhur atau dunia gaib adalah untuk mengeratkan hubungan
manusia dengan dunia gaib atau roh-roh.
Tabuh Rah pada mulanya mempergunakan darah manusia, darah manusia
yang dianggap sebagai roh, selain bermaksud penebusan dosa manusia, namun
juga dianggap sebagai sarana demi eratnya hubungan manusia dengan dunia gaib
atau roh-roh itu. Di samping dijadikan korban seperti itu darah manusia juga
dimakan bersama-sama sebagai pernyataan tanda bergembira, demi eratnya
persahabatan antara sesamanya dan pula merupakan tanda turut berduka cita
sebagai pernyataan solider terhadap sesamanya yang ditimpa mala petaka.
Lalu penggunaan korban manusia diganti dengan darah binatang karena
dianggap tidak sesuai lagi dengan perikemanusiaan. Binatang korban itu yang
dipakai pengganti korban manusia adalah binatang peliharaan yang dianggap
sebagai anggota dari masyarakat, sehingga dengan demikian yang dipakai korban
adalah darah salah satu dari anggota masyarakat juga. Sehingga di dalam setiap
jenis korban di Bali dipakailah ayam sebagai binatang korban pokok, sedangkan
binatang-binatang korban lainnya adalah merupakan perubahan menurut besar
kecilnya tingkatan korban itu.
Darah pada banyak bangsa-bangsa dianggap suatu zat yang mengandung
kekuatan magis. Pada beberapa suku Dayak, tiang-tiang rumah yang baru
didirikan, dipoles dengan darah untuk memberikan kekuatan secara spiritual
kepada rumah itu. Hal itu dapat dibandingkan dengan di Bali, bilamana orang
mendirikan rumah baru, maka pada saat upacara peresmiannya (melaspas),
tiang-tiang (pilar) dari bangunan itu dipoles dengan darah ayam hitam, yang disebut
pengurip-urip, guna memberikan kekuatan spiritual dalam artian suasana baik
magis, sakti, paralel dengan kepercayaan bangsa purba mengenai adanya
kekuatan sakti di dalam segala hal yang luar biasa yang disebut dinamisme, maka
dari itulah manusia purba menggunakan darah sebagai sarana yang paling urgen
di dalam berkorban. Selanjutnya di dalam filsafat Hindu yang berkembang lebih
demikian, maka anggapan seperti itu lalu menjadi suatu faham yang mengandung
perlu adanya sarana-sarana untuk memelihara keseimbangan antara bhuana
agung dan bhuana alit.
Acara Tajen di Bali sudah ada sejak jaman Majapahit. Konon, Tajen
sangat lekat dengan tradisi Tabuh Rah, yaitu salah satu upacara dalam masyarakat
Hindu Bali. Upacara Tabuh Rah, ini tak ubahnya sebuah upacara persembahan
dengan mengorbankan ternak seperti ayam, babi, kerbau, atau hewan peliharaan
lain. Persembahan ini dilakukan ada yang dengan cara menyembelih bagian leher
hewan tersebut, namun ada juga dengan cara (Perang Satha) yaitu pertarungan
ayam dalam rangkaian korban suci yang melambangkan penciptaan,
pemeliharaan, dan pemusnahan dunia. Masyarakat Bali percaya bahwa perang
sata merupakan simbol perjuangan hidup. 7
Kemudian setelah masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia yang
selanjutnya berkembang dan akulturasi dengan kebudayaan asli Indonesia, bentuk
dari pada korban darah itu berbeda-beda dilakukan dibeberapa daerah di
Indonesia khususnya di Bali korban darah itu telah banyak mengalami
7 Matatia.com, Tales from The Road: Tajen sabung Ayam di Bali,
bentuk perkembangan disertai variasi-variasi, sehingga hal itu disebutlah dengan
berbagai istilah yang berlain-lainan seperti yang diuraikan dibeberapa prasasti dan
lontar-lontar.8
Kendatipun demikian, namun prinsip yang dikandungnya tidaklah jauh
menyimpang dari pada prinsipnya yang semula perubahan bentuk, dan istilah
korban darah itu adalah logis terjadi sebagai akibat adanya perkembangan
kebudayaan Indonesia dan meningkatnya kemampuan daya pikir bangsa
Indonesia di dalam menganalisa suatu persoalan.
C. Cara Pelaksanaan 1. Tabuh Rah
Tabuh Rah pada mulanya mempergunakan darah manusia lalu diganti
dengan darah binatang. Binatang yang dijadikan korban adalah jenis binatang
yang erat hubungannya dengan kehidupan manusia, yaitu: ayam, itik, angsa,
babi dll. Oleh sebab itu maka binatang dijadikan korban, karena binatang
adalah sebagai wakil dari anggota kelompok manusia. Maka dalam setiap
jenis caru di dipilah ayam sebagai saran yang terutama di dalam caru. Dalam
lontar Kandhapat yang dihubungkan dengan mantra-mantar tentang caru,
maka terdapat kesesuaian. Karena, ayam memiliki bermacam-macam warna,
baik memiliki satu warna dan juga ada yang berwarna campuran. Begitu juga
8
Tabuh Rah, keputusan seminar tafsir agama Hindu ke III tahun 1976, (Diterbitkan Oleh
dengan bhuta yang memiliki warna yang dapat disimbolkan dengan warna
ayam yang bermacam-macam yang juga dapat mencapai keharmonisan,
karena memiliki persesuaian warna dengan bhuta itu, misal: bhuta putih
diberi caru ayam putih, bhuta abang diberi caru ayam biying, bhuta hitam
diberi caru ayam brumbun.
Pelaksanaan upacara Tabuh Rah memerlukan waktu (dewasa). Yang
umumnya dilaksanakan oleh masyarakat Bali yaitu pada pukul 12 siang pada saat
hari tilem (bulan tidak kelihatan sama sekali) atau bisa juga pada saat sore hari
pada pukul 5 sore. Prosesi Tabuh Rah adalah prosesi yang sakral, prosesi yang
suci. Ada tata cara keagamaan dan larangan-larangan atau
persyaratan-persyaratan di dalamnya. Salah satu persyaratan-persyaratan adalah harus ada ayam yang
kalah dan menang, karena kalau dari hasil pertarungan ayam hasilnya seri maka
pertarungan tersebut akan diulang dan pendeta akan menaburkan arak dilokasi
hingga dalam pertarungan berikutnya tidak ada hasil yang seri lagi.
Dalam penaburah darah ada beberapa macam dan disertai variasi tertentu
yakni sebagai berikut:
a. Daerah Buleleng bagian barat yaitu daerah Ngenjung, pada waktu
mengadakan yajna besar (karya agung), binatang yang dijadikan caru terlebih
dahulu dikelilingkan tiga kali ditempat upacara (mapadhapa) dan pada tiap
penjuru tempat upacara (pura), binatang korban itu ditombak-tombak
sehingga darahnya berceceran ditempat upacara. Menurut istilah disana
b. Di Pura Penatran Agung di desa Pangotan Daerah Tk. II Bangli, tiap-tiap lima
tahun sekali yaitu hari purnama kedasa, orang desa disana mengadakan karya
Ngasaba setelah bhatara-bhatara dalam wujud pratima-pratima atau
arca-arca dikelilingkan berjajar di balai panjang dijaba tengah, lalu seekor kerbau
hitam yang akan dijadikan korban atau caru diikatkan pada pohon yang ada di
depan balai panjang itu. Setelah kerbau itu terlebih dahulu diupacarai, lalu
ditikam dengan keris khusus untuk itu oleh seorang petugas tertentu (Jero
Bahu), sehingga darahnya membasahi tanah tempat upacara yang akan
diadakan lebih lanjut.
c. Di desa Cemagi Daerah Tk. II Badung dan juga desa-desa lainnya umumnya
Bali, setiap mengadakan pecaruan atau karya (upacara-upacara) dipura atau di
dalam perumahan, maka disaat mengakhiri pecaruan atau upacara, lalu
dilakukan penyembelihan yaitu: seekor ayam kecil atau babi butuhan
dipotong lehernya dengan keris lalu darahnya ditaburkan ditempat upacara
tersebut. Hal ini ada persesuaiannya dengan keadaan di jaman Majapahit
dahulu, dimana juga dilakukan pemotongan kepala ayam sebagai upacara
berkorban.
d. Hampir diseluruh Bali orang beranggapan bahwa tabuh rah itu adalah
sabungan ayam. Secara sepintas anggapan hal ini nampaknya beralasan juga
seperti di dalam prasasti Batur Agung A (933 Saka), prasasti Batuan (944
Saka) dengan istilah: “manawung” dan lontar Ciwatattwa purana menyebut
Jadi dapat disimpulkan dalam membuat caru atau korban binatang kepada
bhuta kala terdapat berbagai variasi menurut tradisi dan kondisi setempat, karena
masing-masing desa adat di Bali, mempunyai corak kekhususan tersendiri,
sehingga sulitlah menemukan suatu bentuk upakara dan upacara yang persis
sama. Sehingga Tabuh Rah dalam bhutayajna adalah perlu bukan merupakan
suatu saran yang prinsipil karena mengandung makna mengharmoniskan
hubungan Panca Mahabhuta di bhuana agung dengan Panca Mahabhuta di
bhuana alit.
Prosesi pelaksanaan Tabuh Rah di Pura daerah Denpasar,9 bahwa setiap
pelaksanaan upacara tersebut diwajibkan menggunakan pakaian adat, dengan
membawa banten (sesaji) dan perlengkapannya yang di dalamnya terdapat
“kelapa, telor, canang sari (dupa, beras, uang kepeng), dan kelapa tadi dililit
dengan benang warna (merah, putih dan hitam), kemudian banten tersebut
diberikan kepada pemangku atau orang yang dianggap suci, barulah binatang
tersebut dikelilingkan atau dilepaskan dalam pura tempat yang akan diadakan
Tabuh Rah yang dilaksanakan dengan perang Satha hingga binatang tersebut
mengeluarkan darah pada tempat pelaksanaan Tabuh Rah (pura) tersebut, baru
setelah itu dilanjutkan dengan adu kelapa dan telur dengan disertakan ucapan
mantra-mantra oleh pemangku tersebut sebagai akhir dari sebuah ritual upacara.
Jadi dalam hal ini yang bisa dikatakan Tabuh Rah hanya ronde pertama saja.
9
Hasil pengamatan yang dilakukan penulis pada pelaksanaan ritual tabuh rah di pura Padang
2. Tajen
Tajen berasal dari kata taji yang artinya susuh pada kaki ayam. Kata tajen
kadang didwi purnakan menjadi tatajen. Pengertian taji itu ada hubungannya
dengan tajam dalam bahasa Indonesia yang bermakna sesuatu yang runcing.
Adanya anggapan umum di Bali yang menyebut sabungan ayam itu adalah tajen,
dikaitkan pada taji yang dipakai oleh ayam yang akan diadu. Sehingga ada ucapan
pada masyarakat Bali dengan “metajen”.
Perang satha yang sebenarnya untuk sebuah acara bhutayajna, lama
kelamaan senang digemari oleh orang karena mengandung nila-nilai hiburan bagi
para penggemarnya. Yang menurut mereka gerak-gerik ayam pada saat bertarung
mereka anggap seni. Jadi wajar jika perang Satha tersebut digemari oleh banyak
orang jadi tidak menutup kemungkinan acara tersebut dijadikan untuk berjudi.
Jadi di sini terlah terjadi pergeseran atau erosi nilai-nilai kesakralan Tabuh Rah.
Tabuh Rah yang tadinya adalah prosesi yang sakral, oleh para penjudi dijadikan
ajang untuk bertaruh, dijadikan mata pencaharian kehidupan sehari-hari dengan
mengadakan perjudian sabung ayam yaitu sesuatu yang duniawi untuk memenuhi
kebutuhan hidup.
Menurut antropholog John Roberts yang melakukan penelitian terhadap
permainan-permainan atau games (tidak selalu pemainan judi) yang dimainkan
oleh bebagai suku bangsa, menunjukkan bahwa di dalam kebudayaan-kebudayaan
yang menganut permainan yang hanya mendasarkan pada untung-untungan saja
tuhan atau roh-roh yang penuh kebaikan dan dapat memaksa, atau dengan kata
lain, permainan untung-untungan tersebut dikaitkan dengan kekuasaan
supranatual.10
Identifikasi psikologi yang mendalam tentang kaum pria di Bali dengan
ayam mereka tidak dapat dipisahkan. Bateson dan Mead mengatakan jika
dikaitkan dengan konsepsi masyarakat Bali tentang tubuh sebagai satu bagian
terpisah dari kehidupan, maka ayam di gambarkan sebagai bagian terpisah alat
ambulant genital dengan kehidupan mereka sendiri. Pada kenyataannya
ayam-ayam tersebut merupakan simbol dari kemaskulinan mereka.11
Sedang pelaksanaan Tajen sendiri, tidak menggunakan ritual upacara
layaknya tabuh. Biasanya tajen dilakukan pada tempat yang telah disediakan oleh
pura, dan pasti setiap pura memiliki wantilan dan hampir dimiliki setiap desa
adat yang berukuran 50 x 50 meter. Dibuat berundak-undak menurun ke tengah.
Tetapi persis di tengah itu dibuat meninggi lagi, inilah arena pekelahian ayam.
Arena ini bentuknya bujur sangkar dengan sisi sepuluh langkah kaki orang
dewasa. Di tengah-tengah arena, ada lagi bujur sangkar kecil bersisi satu langkah,
ditandai dengan garis.
10
Hendrik Andrianto, Perjudian Sabung Ayam di Bali,Tesis Pasca Sarjana Universitas
Indonesia,(Jakarta: 2003, Perpustakaan Umum UI) h. 18.
11 Clifford Geertz, Notes On The Balinese Cookfight,
Ayam yang siap dengan taji dibawa oleh “pakembar”.12 Bagi pakembar
yang fanatik, ia pasti ke tengah arena lebih awal, untuk kemudian memilih dari
arah mana ia akan melepas ayamnya. Kalau pakembar pertama berada di timur,
mau-mau tak mau pakembar yang kedua harus berada di barat.
Langkah awal adalah memperkenalkan kedua ayam kepada petarung yang
mengelilingi arena. Caranya, kedua pakembar membawa ayamnya ke tengah
bujur sangkar kecil, dihadap-hadapkan, diadu, tetapi tidak dilepas (bongbongan).
Akan kelihatan bagaimana kedua jago ini berdiri tegak dengan leher menjulang.
Atau ketika diadu perkenalan ketika sudah cukup perkenalan itu, dan pakembar
berdiri, penjudi di luar arena mulai bertaruh. Pakembar itu pun
mengacung-acungkan tangannya yang memegang ayam. Tak jarang, dia juga mencari lawan
taruhan lagi, mungkin tidak puas bertaruh dengan pakembar lawannya, apalagi
kalau ayamnya itu unggulan.
Pada setiap pertarungan, selalu ada ayam unggulan. Begitu pakembar
mengadakan perkenalan singkat berhadap-hadapan di bujur sangkar kecil,
seseorang berteriak: bihing... bihing...13 . Kalau sampai pakembar berdiri tidak
ada teriakan yang lain, berarti ayam bihing itulah ayam unggulan. Suara petaruh
12
Salah satu diantara yang mempunyai tugas dalam sebuah sabung ayam, sebagai pemegang ayam sebelum ayam diadu dan juga harus memiliki keahlihan dalam membaca situasi apabila ingin mengadu dan memenagkan setiap sabung ayam.
13
selanjutnya tidak lagi bihing atau menyebut nama ayam tetapi sebutan yang
mengarah ke sistem taruhan: cok, gasal, dapang, tindo, apit, satu teng.14
Seorang petaruh cukup meneriakkan sistem taruhan, dan yang berminat
melawannya tinggal mengangkat tangan, tanpa berteriak apa-apa. Jadi, petaruh
yang berpihak ke ayam bukan unggulan saja yang berteriak-teriak, karena ia
berkepentingan mengajukan penawaran sistem taruhan. Kecuali kalau dua ayam
yang bertarung itu “padu baret”.15 Dalam situasi seperti ini, nama ayam masih
sering disebut-sebut.
Dalam tajen ini ada juga posisi yang sangat vital yakni; “Saya”16, dia
memiliki peran sebagai penengah yang menentukan menang-kalah dalam
kegiatan tersebut dan keputusannya tidak memihak salah satu diantara mereka,
sehingga sabung ayam dapat terlaksana dengan aman dan tertib. Kejujuran serta
keadilan harus dimiliki oleh “Saya”, karena dengan modal tersebut segala
keputusannya membuat para bobotoh puas dan menerima kemenangannya, serta
yang kalah menerima dengan lapang dada.
Para penjudi bisa melakukan transaksi taruhan dari jarak jauh. Tanpa
harus berhadap-hadapan. Para penjudi itu memakai kode jari tangannya,
14System taruhan yang digunakan pada tajen. “
ngelimin 5:2, apit 2:1, telewin 5:3, teludo 3:2, cok 4:3, gasal 5:4, dapang 10:9.
15
Padu baret dalam istilah sabung ayam menyebut antara kedua ayam yang akan diadu seimbang atau kelihatan seimbang.
16
Saya, disini bukan dalam arti aku, melainkan juri dalam acara ritual Tabuh Rah maupun
dalam Tajen. Saya disini memiliki peranan penting dalam menentukan arah kebijakan dalam sebuah
sementara uang taruhan tetap di saku atau dompet masing-masing. Kalau
pertandingan usai, justru yang kalah yang datang ketempat yang menang. Atau
kalau jarak cukup dekat, uang digulung dan dilemparkan. Dan uang yang
dilemparkan tidak akan disabet oleh orang lain yang tak berhak. Mereka masih
mengenal etika, apalagi jika kalah mereka tidak akan buru-buru kabur atau
bahkan menyelinap dan pergi. Karena mereka yakin suatu saat pasti akan bertemu
lagi ditempat lain.
Dengan melihat tabel mungkin dapat memberikan penjelasan secara
singkat perbedaan antara tabuh rah dan tajen :
NO Tabuh Rah Tajen
1 Sabungan ayam dilaksanakan hanya 3 set (telung parahatan)
Sabungan ayam dilaksanakan lebih
dari 3 set (telung parahatan)
2 Sabungan ayam dilengkapi dengan adu kemiri, telur,
kelapa.
Tidak dilengkapi dengan adua-aduan
kemiri, telur, kelapa.
3 Disertai upakara yajna, untuk upacara pada suatu tempat.
Tidak disertai upakara yajna.
4 Ada toh dedamping tidak bermotif judi sebagai
perwujudan ikhlas berkurban
untuk upacara
Ada taruhan, dengan harapa untuk
D. Fungsi pelaksanaan Tabuh Rah dan Tajen
Tabuh Rah di Bali yang sudah menjadi tradisi berlangsung turun-temurun
dimasyarakat dari sejak dahulu hingga kini, di samping juga secara filosofis
mengadung arti yang penting bagi upacara-upacara di dalam agama Hindu. Tabuh
Rah erat kaitannya denga bhutayajna. Bhutayajna berarti suatu korban suci
kepada bhuta dan kala yang dalam pengertiannya adalah sesuatu kekuatan negatif
yang timbul akibat terjadi ketidak harmonisan antara macrocosmos (bhuana
agung) dengan microcosmos (bhuana alit) yang dapat dikatakan seperti makhluk
halus yang selalu menggangu ketentraman hidup manusia.
Bhuana agung dan bhuana alit yang terdiri dari lima unsur yaitu: pritiwi
(unsur zat padat), apah (unsur zat cair), teja (sinar atau panas), wayu (udara), dan
akasa (ether). Jadi antara Panca Mahabhuta di dalam bhuana agung hendaknya
senantiasa harmonis dengan Panca Mahabhuta di bhuana alit.
Selanjutnya mengenai kala, lontar Kalatattwa menyebutkan, bahwa kala
itu adalah putra Dewa Siwa yang lahir di laut. Karenanya Dewa Siwa itu disebut
Mahakala yaitu, sebutan terhadap kekuatan Dewa Siwa yang maha hebat yang
pada waktu melakukan pralina. Mahakala juga berarti energi yang maha besar. Di
dalam lontar Kalatattwa itu juga disebutkan bahwa bhuta kala apabila diaci, ia
tidak akan menggangu manusia melainkan membantunya di dalam kehidupan,
sebab bhuta kala itu bukan hanya bersifat negatif saja melainkan juga bersifat
Jadi dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa perlulah dijaga
keharmonisan Panca Mahabhuta itu dengan salah satu cara mengadakan aci atau
yajna. Jadi makna dari pada bhutayajna itu adalah usaha untuk
mengharmoniskan perhubungan Panca Mahabhuta di bhuana agung dengan
Panca Mahabhuta di bhuana alit.
Dalam kitab Agastya Parwa menyatakan Bhutayajna itu sebagai berikut:
“Bhuta yajna ngarania tawur muang sang kapujan ring tuwuh”
“Bhutayajna itu adalah mengembalikan (Unsur-unsur alam) dan melestarikan
tumbuh-tumbuhan”.
Itulah sesungguhnya inti dari bhutayajna menurut Agastya Parwa.
Betapun besar atau kecilnya upacara bhutayajna hendaknya jangan sampai tidak
memuat nilai universal dari bhutayajna tersebut. Dalam Sataphata Brahmana
bagian dari Rgveda bhutayajna itu adalah persembahan pada bhuta. Sembah
dalam Jawa kuna artinya menyayangi, menghormati/memuji, memohon,
menyerahkan diri dan menyatukan diri. 17
Dalam agama Hindu, tubuh manusia itu dibentuk oleh zat yang sama
dengan alam semesta, karena itu dikenal dengan istilah bhuana agung dan bhuana
alit. Seseorang yang meninggal dunia, tubuhnya ditinggal pergi oleh roh (sang
atma). Maka, tubuh itu tak ubahnya sebagai benda rongsokan. Ibarat sampah, ia
17
I Ketut Wiana, M.Ag, Tri Hita karana menurut Konsep Hindu , (Surabaya: Paramitha,
harus segera dihanguskan, supaya berbaur dengan alam semeseta. Unsur-unsur di
dalam tubuh (bhuana alit) sama seperti yang ada di jagat raya (bhuana agung).18
Pengharmonisan antara bhuana agung dan bhuana alit sebagai pencapaian
ketentraman hidup lahir dan bathin. Menurut keterangan para “sulinggih”19 yang
mengatakan bahwa bhuana agung dan bhuana