• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sabung ayam Tabuh Rah dan Judi Tajen di Bali ( Perspektif hukum islam dan hukum positif)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sabung ayam Tabuh Rah dan Judi Tajen di Bali ( Perspektif hukum islam dan hukum positif)"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh

RAHMATUL HIDAYAT (106045103546)

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)

Oleh:

Rahmatul Hidayat NIM : 106045103546

Di bawah Bimbingan:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Yunasril Ali, MA Dedy Nursyamsi, SH. M.Hum

NIP 150223823 NIP 196111011993031002

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

(PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF)” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai

salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada Program Studi Jinayah

Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam.

Jakarta, 21 Maret 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.

Nip: 195505051982031012

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag. (..…....…….………)

NIP. 197210101997031008

2. Sekretaris : Afwan Faizin,MA (..…....…….………)

NIP: 197210262003121001

3. Pembimbing I : Prof. Dr. H. Yunasril Ali, MA (..…....……….…………) NIP. 150223823

4. Pembimbing II: Dedy Nursyamsyi, SH, M.Hum (..…....……….…………)

NIP. 196111011993031002

5. Penguji I : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag (..…...…….…………) NIP. 150326893

(4)

i

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah

melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat

menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul “SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN DI BALI (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif)” yang merupakan kewajiban bagi Program sarjana (S-1) Program Studi Jinayah Siyasah

Konsentrasi Kepidanaan Islam pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, untuk memenuhi salah satu persyaratan dan merupakan tugas akhir

untuk memperoleh Gelar sarjana (S1).Dalam penulisan Skripsi ini, sudah tentu Penulis

banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak baik

moril maupun materil yang tentunya sangat bermanfaat dalam penulisan Skripsi ini.

Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang

setulus-tulusnya kepada :

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asmawi, M.Ag. selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Afwan Faizin, MA selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(5)

ii

6. Seluruh Dosen/ Pengajar/ Staff, pada Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

7. Kepala dan Seluruh Staff/Karyawan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan

buku-buku referensi yang berkaitan dengan penulisan Skripsi ini.

8. Lebih khusus lagi adalah ucapan terima kasih kepada :

a. Kepada Ayahanda dan Ibunda (Abdurrohim dan Misenik) dan juga Alm. H.

Abdul Ghafar dan Almrh. H. Siti Nariyah, yang berkat do’a mereka ananda mendapatkan semangat untuk menyelesaikan Penulisan Skripsi ini.

b. Kepada kakak dan Istri (Holil Ashari dan Fifin Yusfiana), yang selalu

memberikan bantuan moril maupun materil sehingga kiranya ananda dapat

menyelesaikan masa studi kuliah di UIN Syarih Hidayatullah jakarta serta

menyelesaikan penulisan Skripsi ini, walaupun banyak kelakuan buruk yang

ananda buat.

c. Kepada seluruh kakak beserta istrinya, yang selalu memberikan dorongan

serta semangat kepada ananda untuk menyelesaikan studi ini.

9. Teman-teman PI angkatan 2006 seperti, Mahpudin, Fandi, Safrowi, Faris, Fitrah, Isa

Shaleh, Amir Syarifudin, Nuruzzaman, H. Buldan Fahmi, Muchsin, Husen, Eril,

Sumirat, Kholid, U’2, Ibro, P-men, Bonar, Chandra, Rangga, Cucun, Yuswandi,

Wismoyo, Nisa, Wahyuni dsb. Kebersamaan dan kesolidan kita bersama perkuliahan

dan pergaulan yang terkadang diselingi dengan aktivitas canda tawa memberikan arti

pentingnya sebuah persahabatan yang tek terlupakan dan menjadi catatan sejarah bagi

(6)

iii

masing semoga ikatan ini tidak akan putus dan bangga punya teman seperti kalian”.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat berguna bagi semua pihak yang sempat

membacanya, serta menambah wawasan keilmuan bagi yang berkepentingan dengan masalah

ini. Amin

Jakarta, 08 Maret 2011

(7)

iv

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Review Pustaka ... 10

E. Metode Penelitian... 12

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN A. Gambaran Umum Masyarakat Bali ... 15

1. Letak Geografis ... 15

2. Profil Kependudukan ... 16

3. Sistem Kemasyarakatan ... 17

B. Sejarah dan Latar Belakang Tabuh Rah dan Tajen ... 19

C. Cara pelaksanaan ... 30

1. Tabuh Rah ... 30

(8)

v

Masyarakat ... 42

1. Tabuh Rah ... 42

2. Tajen ... 43

BAB III SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Tradisi dan Fungsi Pelaksanaan Tabuh Rah dan Tajen ... 47

B. Dasar Hukum Tentang Larangan Perjudian Sabung Ayam ... 54

BAB IV SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN

PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

A. Tradisi dan Fungsi Pelaksanaan Tabuh Rah dan Tajen ... 75

B. Dasar Hukum Tentang Larangan Perjudian Sabung Ayam ... 83

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 89

B. Saran-saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 93

(9)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah Negara kepulauan yang berarti Indonesia terdiri dari

pulau-pulau. Hal ini juga memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia itu terdiri dari

banyak suku bangsa yang mempunyai bahasa yang berbeda-beda, kebiasaan dan

adat-istiadat yang berbeda, kepercayaan yang berbeda, kesenian, ilmu

pengetahuan, mata pencaharian dan cara berfikir yang berbeda-beda. Berkat

kekuasaan Majapahit dan penjajahan Belanda, Indonesia mulai bersatu untuk

menjadi sebuah bangsa yang merdeka. Indonesia harus mempunyai wilayah,

penduduk dan pemerintahan.

Begitu juga terdapat agama yang berkembang dan diakui oleh Negara

Indonesia, salah satunya agama Hindu, yang berpusat di Bali. Agama Hindu

Dharma disebut juga agama Hindu Bali, karena mengingat lahirnya agama

tersebut di Bali dan mayoritas pemeluknya adalah masyarakat Bali. Sebelumnya

masyarakat Bali menyebut agamanya adalah agama Tirta, keyakinan ini

merupakan hasil pencampuran dari agama Hindu Jawa dengan religi Bali asli.

Pada tahun 1958 agama Hindu-Bali diakui oleh Departemen Agama RI. Sesudah

Agama Hindu-Bali mendapat tempat di Kementrian Agama dibentuklah suatu

Dewan Agama Hindu-Bali, yang sesudah kongres tahun 1959 disebut Parisada

(10)

Hindu Dharma hingga sekarang ini, pada tahun 1969 Parisada Hindu Dharma

memiliki 11 cabang, yaitu 8 di Bali dan 3 di Jawa. Sesudah G-30-S

perkembangannya sangat pesat, terlebih-lebih di Jawa. Demikianlah agama Hindu

Dharma lahir dan berkembang sampai sekarang.1

Sedangkan agama sendiri berkaitan dengan dengan usaha-usaha manusia

untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan kehadiran alam

semesta. Agama senantiasa dipakai untuk menanamkan keyakinan baru ke dalam

hati sanubari terhadap alam gaib dan surga-surga telah didirikan di alam tersebut.

Bagi orang-orang yang hidup dalam masyarakat macam apa pun konsepsi tentang

agama merupakan bagian tak terpisahkan dari pandangan hidup dan sangat

diwarnai oleh perasaan mereka yang khas terhadap apa yang dianggap sakral

(suci).2 Tiap-tiap manusia yang lahir ke muka bumi membawa suatu akibat dalam

jiwanya, yaitu tabiat ingin mengabdi dan menyembah kepada sesuatu yang

dianggapnya Maha Kuasa. Dan pembawaan ini memang telah terwujud fitrah3

kejadian manusia, yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dalam diri mereka.

Di dalam masyarakat Bali, sabung ayam memiliki makna religius. Makna

religius tersebut adalah sebagai persembahan korban suci yang ditujukan pada

bhuta dan kala, yaitu makhluk-makhluk halus yang jahat dan makhluk-makhluk

1

Parisada Hindu Dharma, Sejarah Agama Hindu Dharna Hindu Bali,

http://faridfann.wordpress.com/2008/05/07/sejarah-agama-hindu-dharma-hindu-bali/.

2

Elizabeth K. Nothinghem, Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Cet-

8.(Jakarta: Raja Grafindo, 2002), h. 3-4.

3

Agus Salim, Perbandingan Agama Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan

(11)

halus perwujudan dewa-dewa yang bersifat merusak. Upacara penyembahan

melalui korban suci ini disebut “caru” atau “mecaru”. Upacara mecaru ini

biasanya berupa tumpahnya darah yang tercecer di tanah akibat dari sebuah

pertarungan atau penyembelihan hewan korban, yang disebut dengan Tabuh Rah

atau Labuh Getih. Salah satu cara agar terjadi tumpahnya darah dengan cara

melakukan sabung ayam (Perang Satha).

Untuk memahami agama pada umumnya secara sosiologis, ibadat atau

upacara keagamaan barangkali lebih penting. Ritus (ibadat) adalah bagian dari

tingkah laku keagamaan yang aktif dan dapat diamati. Ritus ini tentu saja

mencakup semua jenis tingkah laku seperti; memakai pakaian khusus,

mengorbankan nyawa dan harta benda, mengucapkan ucapan-ucapan formal

tertentu. Dan ritus akan efektif apabila orang-orang berkumpul bersama-sama,

karena mereka saling mendorong satu sama lain. Jadi, salah satu fungsi penting

ritus adalah keyakinan masyarakat terhadap adanya dunia yang gaib dan

memberikan cara-cara pengungkapan emosi keyakinan secara simbolik.

Dalam agama Hindu terdapat banyak upacara yang senantiasa dilakukan

oleh masyarakat di sana sebagai penggambaran serta penghambaan kepada Tuhan

mereka, yakni Sang Hyang Widhi sehingga akan terjalin sebuah hubungan yang

baik antara hamba dan Tuhannya. Segala ritual atau upacara-upacara yang

(12)

umat yang dilandasi oleh 3 (tiga) unsur kerangka dasar yaitu; 4 Tatwa (filsafat),

Susila (etika), dan Upacara (ritual). Sehingga jika ketiga kerangka dasar yang di

atas telah terpenuhi maka akan tercapainya suatu tujuan (dharma) bagi umatnya,

yang disebutkan dalam Wedha, “Mokshartam Jagadhita Ya ca Iti dharma”.5

Acara Tajen di Bali sudah ada sejak jaman Majapahit. Konon, Tajen

sangat lekat dengan tradisi Tabuh Rah, yaitu salah satu upacara dalam masyarakat

Hindu Bali. Upacara Tabuh Rah, ini tak ubahnya sebuah upacara persembahan

dengan mengorbankan ternak seperti ayam, babi, kerbau, atau hewan peliharaan

lain. Persembahan ini dilakukan ada yang dengan cara menyembelih bagian leher

hewan tersebut, namun ada juga dengan cara (Perang Satha) yaitu pertarungan

ayam dalam rangkaian korban suci yang melambangkan penciptaan,

pemeliharaan, dan pemusnahan dunia. Masyarakat Bali percaya bahwa perang

Satha merupakan simbol perjuangan hidup. 6

Tradisi Tabuh Rah di Bali sering diselenggarakan dalam rangkaian

upacara buthayajna, yaitu upacara suci yang ditujukan untuk menyelaraskan

unsur-unsur alam dengan kehidupan manusia. Salah satu upacara buthayajna

adalah acara tawur yang diadakan sehari sebelum Nyepi. Dalam acara ini

4

Parisada Hindu Dharma,

http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/udejournal/darma070102008.pdf.

5

Suatu cita-cita manusia dalam kehidupan manusia, baik kebahagiaan lahir dan bathin di dunia dan di akhirat, yang berlandaskan dharma. Di mana kebahagiaan lahir akan terwujud dengan terpenuhinya kebutuhan artha dan kama, dan kebahagiaan bathin adalah kedamaian.

6

Matatia.com, Tales from The Road: Tajen sabung Ayam di Bali, http://

(13)

biasanya diadakan pertarungan ayam. Selain itu dalam Prasasti Batur Abang

tahun 933 Saka dan Prasasti Batuan tahun 944 Saka juga disebutkan bahwa

sabung ayam untuk upacara Tabuh Rah diperbolehkan, namun bukan untuk

berjudi.

Dalam perkembangannya, ritual suci Tabuh Rah mengalami pergeseran

makna. Seni pertarungan ayam yang seru dan mengasyikkan kemudian sering

dijadikan ajang berjudi. Kini, banyak banjar (desa) yang menggelar Tajen yang

biasa disebut Tajen terang untuk kepentingan menggalang dana dan dilakukan

hanya dua atau tiga hari setelah diadakannya Tabuh Rah. Setiap desa di Bali

memiliki tatacara tersendiri untuk mengatur Tajen terang ini, para pecalang pun

dilibatkan untuk menjaga keamanan. Dalam tajen terang ini yang diutamakan

adalah hiburan, bukan menang atau kalah. Meski demikian, sebelum diadakan

acara Tajen terang, desa adat terlebih dahulu juga menyelenggarakan upacara

kepada Dewa Tajen agar tidak terjadi perselisihan selama acara berlangsung.

Dan yang lebih ditanyakan lagi dalam masalah sosial dimana perjudian ini

adalah tingkah laku penyimpangan (devian behaviour) yang gampang meluas dan

menjamurnya dalam masyarakat kita. Maka berlangsunglah apa yang dinamakan

devisiasi situasional komulatif yaitu suatu bentuk penyimpangan dari

norma-norma sosial atau hukum sebagai produk transportasi psikologis yang dipaksakan

oleh situasi dan kondisi lingkungan sosialnya.7

7

(14)

Untuk meregulasi perjudian dan tidak menjadikannya sebagai perbuatan

kriminal (dekriminalisasi) di Indonesia tidak semudah membalikkan telapak

tangan. Tantangan terbesar adalah munculnya resistensi masyarakat karena

kondisi social budaya, kepercayaan/agama, dan kondisi masyarakat yang belum

sepenuhnya memahami tentang pluralisme hukum.8

Masalah perjudian umum nya dalam aspek hukum pidana KUHP telah

memberikan batasan tentang pengertian perjudian dalam pasal 303 ayat (3)

KUHP yang berbunyi;

“Tiap-tiap permainan, dimana pada umumnya kemungkinan mendapat

untung bergantung peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih

atau lebih mahir. Disitu termasuk segala pertaruhan tentang keputusan

perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka

yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan

lainnya”.

Meskipun masalah perjudian di Indonesia telah banyak diberantas, namun

masalah perjudian ini merupakan masalah sosial. Apalagi dalam masyarakat Bali

Tajen merupakan sebuah pertaruhan nama baik serta kebanggaan bagi sang

pemilik ayam aduan tersebut. Apalagi jika ayam aduan miliknya dapat dan

mampu mengalahkan ayam aduan milik orang lain atau musuhnya. Dan juga

8

Aziz Syamsuddin, Dekriminalisasi Tindak Pidana Perjudian: Menuju Pembangunan

(15)

ayam menjadi bagian yang terpisahkan dari kaum pria dan juga sebagai simbol

kemaskulinan mereka.

Namun, jika kita lihat dan kita tinjau asal-muasal terbentuknya tradisi

budaya Bali, yakni bertujuan menyuburkan berkembangnya kehidupan beragama.

Tanpa disadari amat disayangkan kesadaran masyarakat sekarang jurusannya

melenceng dari sasaran semula mengingat dahulu seni budaya semata-mata wujud

daya hidup sembah bhakti mereka kehadapan Hyang maha kuasa.9

Untuk itu, berdasarkan pemikiran tersebut penulis tertarik untuk menggali

masalah yang berkaitan dengan perjudian sabung ayam yang berkedok budaya.

Oleh karena itu skripsi ini penulis tuangkan dalam karya ilmiah yang berjudul

“SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN DI BALI (Perspektif

Hukum Islam dan Hukum Positif)”

B. Pembatasan dan Perumusan masalah

Dalam skripsi ini, penulis ingin mengemukakan suatu fenomena

masyarakat yang terjadi di Bali, yang dalam kehidupan beragama sebuah upacara,

Tabuh Rah merupakan sebuah alat untuk mendekatkan kepada tuhannya yakni

Sang Hyang Widhi. Akan tetapi, disalahgunakan oleh oknum sebagai perjudian.

Dari uraian di atas kiranya dapat ditemukan suatu permasalahan yang

cukup penting untuk dikaji lebih mendalam sehingga dapat ditemukan titik terang

9

I Nyoman Suarka, Ketuhanan Bali (kajian empiris dan Era baru empu Kuturan), (Surabaya:

(16)

mengenai permasalahan yang akan dikaji maka, penulis akan membatasi dalam

beberapa hal, yakni sebagai berikut;

1. Sabung ayam yang dimaksud oleh penulis adalah sebuah ritual upacara dalam

agama Hindu di Bali yang dinamakan dengan Tabuh Rah yang ditujukan

untuk Sang Hyang Widhi sebagai perwujudan sembah bhakti kepadanya,

serta dalam pelaksanaannya tanpa ada unsur taruhan.

2. Tajen yang dimaksud penulis adalah menyabungkan ayam yang dilakukan di

luar dari sebuah ritual upacara agama Hindu di Bali dan disertai dengan

taruhan.

Dari pembatasan masalah di atas, kemudian penulis merumuskan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana tradisi dan fungsi sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen

menurut pandangan masyarakat Bali ?

2. Bagaimana mekanisme pelaksanaan sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen

pada masyarakat Bali?

3. Bagaimana perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Positif terhadap

sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

(17)

1. Untuk mengetahui bagaimana tradisi dan fungsi sabung ayam Tabuh Rah dan

judi Tajen menurut pandangan masyarakat Bali.

2. Untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan sabung ayam Tabuh Rah dan judi

Tajen pada masyarakat Bali.

3. Untuk mengetahui bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum Positif

terhadap sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen.

4. Untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang budaya Tabuh Rah dan judi

Tajen di Bali

Sedangkan untuk manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang budaya Tabuh Rah dan judi

Tajen di Bali

2. Penelitian ini setidaknya diharapkan bermanfaat menjadi sumbangan ilmiah

penulis terhadap masyarakat yang ini mengetahui budaya upacara Tabuh Rah

dan judi Tajen di Bali.

3. Untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang sabung ayam

Tabuh Rah dan judi Tajen, baik dari segi hukum Islam dan hukum Positif,

serta kaitannya dengan legalisasi perjudian berkedok budaya. Sehingga

mampu untuk membedakan dan menempatkan mana dengan benar mana yang

Tabuh Rah dan judi Tajen.

(18)

D. Review Pustaka

Penulis menggunakan beberapa literatur yang mempunyai keterkaitan

dengan judul ini yang diantaranya adalah:

Pertama karya mahasiswa (skripsi) di Fakultas Syari’ah dan Hukum yang

ditulis oleh Rahmat Hidayat yang berjudul “Peranan Kepolisian Resort

Purwakarta dalam Penanganan Tindak Pidana Perjudian”, Skripsi, yang

didalamnya dijabarkan beberapa tindak pidana perjudian seperti judi Sepak Bola

dan Judi sabung Ayam. dalam skripsi ini memiliki kesamaan yakni tentang

perjudian sabung ayam yang terjadi di Bali dan Purwakarta.

Kedua karya ilmiah mahasiswa (skripsi) di Fakultas Syari’ah dan Hukum

yang ditulis oleh Nasori yang berjudul “Perjudian Pandangan Hukum Islam dan

KUHP (Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan)”, Skripsi,

yang di dalamnya dijabarkan mulai dari pengertian, sejarah, macam-macam

perjudian serta dampaknya, bagaimana pendapat Hukum Islam dan Hukum

Positif terhadap perjudian serta menganalisis sebuah putusan pengadilan.

Ketiga Aziz Syamsuddin yang berjudul “Dekriminalisasi Tindak Pidana

Perjudian: Menuju Pembangunan Hukum Masyarakat Adil dan makmur, 2007,

Jakarta. Yang secara garis besar dalam buku ini menjelaskan tentang sejarah dan

praktik perjudian di dunia, psikologi judi, potret perjudian di Indonesia,

kriminalisasi perjudian.

Keempat Kartono Kartini yang berjudul “Patologi Sosial”, Rajawali, 1993,

(19)

dimana perjudian adalah suatu tingkah laku penyimpangan (depian behaviour)

yang merupakan suatu bentuk penyimpangan dari norma-norma social atau

hukum sebagai produk dari transportasi psikologis yang dipaksakan oleh situasi

dan kondisi lingkungan sosialnya.

Kelima Ida Pedanda Putra Pidada Kniten dan Pinandita I Nyoman

Gunanta “Tinjauan Tabuh Rah dan Judi”, Paramitha 2005, Surabaya, yang

membahas tentang bagaimana tabuh rah serta tajen yang memiliki keterkaitan

dengan ritual Tabuh Rah pada masyarakat Hindu di Bali.

Keenam Karya Ilmiah (Tesis) Mahasiswa Universita Indonesia yang

ditulis oleh Hendrik Andriyanto “Perjudian Sabung Ayam di Bali”, Jakarta, 2003,

yang dijelaskan secara detail di dalam masyarakat Bali tentang Tabuh Rah dan

Tajen dan juga adanya pengecukan atau pengambilan duit keamanan pada setiap

acara tajen yang berlangsung baik di pura maupun tempat yang memang sengaja

disediakan oleh masyarakat yang senang berjudi.

KetujuhKetut Upedhana, yang berjudul “Fraksi Partai Golkar dukung judi

Sabung ayam, Analisis Surat kabar, TEMPO Interaktif, Denpasar, 2005, yang

isinya aktivitas sabung ayam (tajen) yang selalu diikuti kegiatan perjudian harus

dilihat sebagai warisan budaya, yang erat kaitannya dengan pelaksanaan

(20)

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang

data-datanya diungkapkan melalui kata-kata, norma atau aturan-aturan,

dengan kata lain, penelitian ini memanfaatkan data kualitatif10.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normative doktriner, yaitu

penelitian yang mengkaji asas-asas dan norma-norma hukum. Penulis

mencoba menelaah dan menjelaskan aspek-aspek yang berkenaan dengan

permasalahan ini. Dan penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yakni

penelitian yang bertujuan menjelaskan satu variable.

Adapun sumber data yang dipergunakan penulis adalah;

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang diperoleh dari

perundang-undangan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), serta dalil-dalil

yang terdapat pada Al-Qur’an dan al-Hadits, sarta ketentuan-ketentuan

Fiqh yang mengatur masalah perjudian.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberi penjelasan

dalam mengkaji data primer, yaitu data-data yang diperoleh dari

buku-buku yang masih memiliki keterkaitan dengan pokok masalah yang akan

diteliti.

10

(21)

c. Bahan Hukum Tersier, bahan hukum yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Seperti penduduk Bali,

pelaku sabung ayam maupun sampel yang diperlukan untuk penunjang

kelengkapan data.

2. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi Dokumentasi, alat ini dipergunakan untuk melengkapi data yang

penulis perlukan, yaitu dengan cara melihat buku-buku yang terkait

dengan pokok masalah yang akan diteliti.

3. Teknik Analisis data

Penelitian ini menggunakan analisis data secara kualitatif, yaitu

pendekatan isi (content analisis) yang menekankan pada pengambilan

kesimpulan dan analisis yang bersifat deduktif, yaitu penelaran berawal dari

hal yang umum untuk menentukan hal yang khusus sehingga mencapai suatu

kesimpulan.11

Adapun tehnik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku

Pedoman Penulisan skripsi, cetakan ke-1 yang diterbitkan Fakultas Syari’ah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari sub-sub Bab

sebagai berikut :

11

(22)

Bab I Merupakan Bab pendahuluan yang terdiri dari : Latar Belakang

Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,

Metodelogi Penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Merupakan Tradisi Sabung ayam Tabuh rah dan judi Tajen, yang

di dalamnya membahas tentang gambaran umum masyarakat Bali yang meliputi

(letak geografis, profil kependudukan, dan sistem kemasyarakatan), sejarah dan

latar belakang tradisi Tabuh Rah dan Tajen, cara pelaksanaan, fungsi

dilaksanakan, serta implikasinya.

Bab III Merupakan pembahasan sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen

dalam perspektif Hukum Islam yang meliputi bagaimana Tradisi dan fungsi

pelaksanaan Tabuh Rah dan judi Tajen, serta dasar hukum tentang larangan

perjudian Sabung Ayam.

Bab IV Merupakan pembahasan sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen

dalam perspektif Hukum Positif yang meliputi tentang Tradisi dan fungsi

pelaksanaan Tabuh Rah dan judi Tajen, serta dasar hukum tentang larangan

perjudian Sabung Ayam.

Bab V Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan

(23)

15

DAN JUDI TAJEN

A. Gambaran Umum Masyarakat Bali 1. Letak Geografis

Secara geografis Provinsi Bali terletak pada 8°3'40" - 8°50'48" Lintang

Selatan dan 114°25'53" - 115°42'40" Bujur Timur. Relief dan topografi Pulau

Bali di tengah-tengah terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke

timur. Provinsi Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Batas

fisiknya adalah sebagai berikut. Sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah

selatan dengan Samudra Indonesia, sebelah barat dengan Selat Bali atau

Provinsi Jawa Timur, dan sebelah timur dengan Selat Lombok atau Provinsi

Nusa Tenggara Barat.

Secara administrasi, Provinsi Bali terbagi menjadi delapan kabupaten

dan satu kota, yaitu Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar,

Karangasem, Klungkung, Bangli, Buleleng, dan Kota Denpasar yang juga

merupakan ibukota provinsi. Selain itu, pulau Bali terdiri dari pulau-pulau

kecil lainnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan

di wilayah Kabupaten Klungkung, Pulau Serangan di wilayah Kota Denpasar,

dan Pulau Menjangan di Kabupaten Buleleng. Luas total wilayah Provinsi

(24)
[image:24.612.114.502.123.509.2]

Tabel Luas Wilayah Tiap Kabupaten di Provinsi Bali1

Kabupaten/Kota Ibukota

Luas (km²)

Persentase (%)

Jembrana Negara 841,80 14,94

Tabanan Tabanan 839,30 14,90

Badung Badung 420,09 7,43

Denpasar Denpasar 123,98 2,20

Gianyar Gianyar 368,00 6,53

Klungkung Semarapura 315,00 5,59

Bangli Bangli 520,81 9,25

Karangasem Amlapura 839,54 14,90

Buleleng Singaraja 1.365,88 24,25

Jumlah 5.634,40 100,00

Sumber: Master Plan Penunjang Investasi Provinsi Bali Tahun 2006-2010

2. Profil Kependudukan

Wilayah Bali secara umum beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin

musim. Terdapat musim kemarau dan musim hujan yang diselingi oleh musim

pancaroba, dengan curah hujan berkisar antara 0,0 – 425,4 milimeter. Rata-rata

1

Departemen Kebudayaan Provinsi Bali, Geografis, dematografi dan sistem kemasyarakatn

(25)

suhu maksimum antara 29,8 – 33,4 derajat Celcius dan rata-rata suhu minimum

antara 21,9 – 32,5 derajat Celcius. Temperatur tertinggi terjadi sekitar November

dan terendah sekitar Juli dan kelembaban udara antara 73,3 hingga 82,1 %.

Penduduk Bali sebagaian besar memeluk agama Hindu. Khusus untuk Kota

Denpasar persentase pemeluk Agama Hindu 67,94 %, Islam 23,03 %, Kristen

2,24 %, Protestan dan 4,87 Budha 1,91 %. Sejalan dengan mayoritas penduduk

yang beragama Hindu, demikian halnya ketersediaan fasilitas peribadatan

didominasi oleh Pura, dengan jumlah keseluruhan mencapai 457 buah Pura. Dari

sejumlah tersebut 105 buah diantaranya merupakan Kahyangan Tiga , 3 buah

merupakan Sad Dang Kahyangan fasilitas peribadatan lainnya berupa Mesjid 28

buah, Langgar 0 buah, Musholla 77 buah serta Gereja 73 buah. Vihara dan

Kelenteng juga 9 buah.2

3. Sistem Kemasyarakatan

Masyarakat Bali menganut sistem sosial yang mengikat yang terdiri atas

empat sistem sosial, yaitu sistem klan (dadia), sistem tingkatan (kasta), sistem

kemasyarakatan (banjar), dan sistem kelompok dalam minat dan pekerjaan

(seka). Sistem dadia meliputi gabungan keluarga besar dari leluhur yang sama.

Dalam hubungan ini, anggota keluarga secara berkala bertemu bersama pada

suatu tempat untuk menyembah tuhan, di tempat sembahyangan di rumah

2

Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Denpasar, Kondisi Sosial Budaya Bali,

(26)

(sanggah/pamarajan) untuk keluarga dekat atau di pura untuk keluarga besar

(pura dadia atau paibon/pamarajan agung).

Pembagian kasta, asalnya dari Hindu didasarkan atas fungsinya di

masayarakat, yakni Brahmana merupakan kasta tertinggi (meliputi Pedanda)

bertanggung jawab atas upacara agama. Ksatriya (meliputi raja, pejabat dan

keluraganya, termasuk pemimpin irigasi atau kepala desa). Vaisya terlibat dalam

wirausaha dan kegiatan kesejahteraan masyarakat, dan Sudra adalah para petani

dan yang melaksanakan tugas (buruh) bagi kasta lainnya.

Sistem sosial yang ketiga yang mengikat orang Bali adalah sistem banjar.

Banjar sering dibedakan menjadi dua jenis yakni banjar adat dan banjar dinas.

Banjar adat sering disebut banjar patus (mempunyai tugas dan kewajiban khusus

dalam kaitannya dengan upacara agama Hindu) atau banjar suka-duka, sedangkan

banjar dinas merupakan perpanjangan tangan dari organisasi pemerintahan negara

di bawa desa dinas. Banjar adat merupakan organisasi di bawah pemerintahan

desa adat yang kini berdasarkan Peraturan Daerah Bali (Perda) No.3 Tahun 2001

pasal 1 ayat 4, disebut dengan desa pakraman, yakni batasannya disebutkan

sebagai berikut.

“Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali,

yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup

masyrakat umat Hindu secara turun-temurun, dalam ikatan kahyangan tiga,

kahyanga desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan serta

(27)

Tiap-tiap masyarakat terbentuk oleh banyak kelompok, setiap kelompok

terdiri atas individu-individu yang datang bersama-sama untuk kegiatan kerja

sama dengan minat khusus. Kelompok ini disebut seka. Nama seka sesuai dengan

kegiatan khususnya. Ada kelompok kerja, seperti: seka manyi untuk menanam

padi, seka semal untuk menghalau tupai yang merusak buah kelapa, seka membeg

untuk mengolah tanah, di samping ada kelompok yang berminat pada seni,

misalnya seka gong gamelan, seka drama, seka barong yang bertanggung jawab

atas pemeliharaan dan tarian barong, seka kecak (kelompok penari kecak), malah

ada kelompok peminum tuak atau seka tuak. Para pemuda, misalnya remaja yang

belum menikah, juga merupakan anggota masyarakat khusus yang disebut seka

taruna-taruni. Persamaan dan kerja sama anggota merupakan peraturan pertama

kelompok itu.

B. Sejarah dan Latar Belakang Tradisi Tabuh Rah dan Tajen

Sebelum kedatangan Agama Hindu di Nusantara3, masyarakat masih

memeluk keyakinan primitif, yaitu Animisme dan Dinamisme. Pengaruh agama

Hindu yang paling besar terdapat di pulau Jawa, khususnya diantara suku Jawa.

Agama Hindu masuk di Indonesia belum dapat diketahui secara pasti. Namun

dibeberapa daerah ditemukan adanya bukti-bukti sejarah seperti patung, candi,

prasasti dan yang lainnya.

3

Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, Sejarah Perkembangan Hindu Agama Hindu,

(28)

Prasasti-prasasti yang berasal dari abad ke-5 SM hingga abad ke-7 M,

terdapat di kutai (Kalimantan Timur) dan Jawa Barat, dari prasasti-prasasti

tersebut, kita dapat mengetahui bahwa pada waktu itu ada raja yang memiliki

nama yang berasal dari India. Seperti Mulawarman di Kutai dan Purnawarman di

Jawa Barat. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa raja-raja itu adalah orang

India. Mungkin mereka orang Indonesia asli, yang sudah memeluk agama yang

datang dari India. Sumber-sumber pengetahuan kita tentang agama Hindu agak

terbatas dibandingkan dengan sumber-sumber agama Budha.

Maka dari sini untuk memudahkan para pembaca kami bagi menjadi 3

periode tentang sejarah Hindu yang ada di Jawa Timur :

1. Zaman Mpu Sendok hingga akhir pemerintahan Erlangga (1929-1092 M).

Pada zaman ini agama yang berkembang adalah agama Siwa dan

agama Buddha, kedua agama ini sebelumnya sudah berkembang di Jawa

Tengah, yaitu pertumbuhan agama Siwa dan agama Budha menjadi satu,

kemudian menjadi nyata di Jawa Timur, dengan adanya keyakinan yang

dipadukan antara agama Siwa dengan agama Budha, serta menyebutnya

Siwa-Buddha, bukan lagi Siwa dan Budha, melainkan Siwa-Budha menjadi satu

Tuhan. Pada masa ini juga telah didapati kepustakaan terkuno yang terdiri dari

ayat-ayat dalam sansekerta, yang diikuti oleh keterangan bebas didalam

bahasa Jawa kuno. Hal ini menunjukkan bahwa ayat-ayat itu berasal dari

(29)

2. Zaman kerajaan Kediri dan Singosari (1042-1292 M)

Agama yang berkembang Pada zaman ini adalah agama Wisnu, para

raja dianggap sebagai titisan Wisnu. Pada zaman ini kepustakaan Jawa Kuno

yang tidak bersifat keagamaan secara khas sangat berkembang sekali. Ada

banyak syair kepahlawanan yaitu kepustakaan kakawin.

3. Zaman kerajaan Majapahit (1293-1528 M)

Pada zaman ini agama yang berkembang adalah sinkretisme dari tiga

agama, yaitu agama Siwa, Wisnu dan Budha Mahayana. Segala macam

upacara keagamaan dalam tiga agama tersebut bisa berjalan secara

berdampingan, hal ini menandakan bahwa proses sinkretisme yang

menjadikan agama Hindu dan Budha yang dipandang sebagai bentuk yang

bermacam-macam yang ditampakkan oleh satu kebenaran. Proses sinkretisme

ini sudah dimulai pada zaman Jawa Tengah, serta dikembangkan pada zaman

Empu Sendok, Kediri dan Singosari, kemudian mencapai puncaknya pada

zaman Majapahit. Menurut orang Bali sejarah kebudayaan dan

kemasyarakatan di Bali di mulai dengan kedatangan orang-orang Majapahit di

Bali. Menurut orang-orang Bali zaman–zaman terdahulu dianggap atau

dipandang sebagai zaman yang gelap dan dikuasai oleh roh-roh jahat, serta

makhluk-makhluk yang ghaib.

Berbagai upacara keagamaan hampir setiap hari dapat disaksikan di pulau

Bali. Umat Hindu selalu melakukan upacara pancayajna, yakni lima macam

(30)

Maha Esa, para dewa manifestasi Tuhan Yang Maha esa, dan roh suci para

leluhur yang dipuja melalui pura atau tempat yang dipandang suci lainnya; (2)

pitrayajna ditujukan kepada para leluhur sejak yang bersangkutan meninggal

sampai rohnya disucikan dan di-shata-kan pada pura keluarga; (3) rsiyajna

ditujukan kepada para rsi atau pandita sejak upacara inisiasi sampai yang

bersangkutan meninggal dunia; (4) manusayajna ditujukan kepada manusia sejak

bayi dalam kandungan sampai upacara penyucian diri (pawintenan); dan (5)

bhutayajna ditujukan kepada makhluk rendahan dan kekuatan-kekuatan negatif.

Bhutayajna juga disebut sebagai upacara penyucian alam semesta dari gangguan

kekuatan bhutakala, yakni roh-roh jahat yang menimbulkan masalah bagi umat

manusia, baik dalam skala besar maupun kecil.4

Kata “Tabuh Rah” adalah suatu kata majemuk yang terdiri dari kata tabuh

dan rah. Kata tabuh sama dengan kata tabur, tawur atau kata taur yang berarti

bayar. Sedangkan kata rah, berasal dari kata darah. Jadi dari uraian di atas, maka

kata tabuh rah berarti tawur darah, yaitu pembayaran dengan darah.

Tradisi adalah merupakan faktor penting dalam tata cara pergaulan hidup

di masyarakat dan lebih-lebih di dalam hubungannya dengan tata cara

pelaksanaan upacara agama Hindu di Bali. Peranan tradisi demikian kuatnya di

dalam kehidupan agama Hindu di Bali, sehingga dengan demikian setiap individu

yang taat beragama merasakan pentingnya arti ikatan terhadap tradisi-tradisi yang

4

I Made Titib, Persepsi Umat Hindu Di Bali Terhadap Svarga, Naraka, dan Moksa Dalam

(31)

mereka warisi dari leluhurnya. Demikian pula halnya Tabuh Rah di Bali yang

sudah menjadi tradisi berlangsung turun-temurun dimasyarakat dari sejak dahulu

hingga kini, di samping juga secara filosofis mengadung arti yang penting bagi

upacara-upacara di dalam agama Hindu.

Namun, dari beberapa istilah mengenai Tabuh Rah yang biasa dilakukan

di Bali. Sampai saat kini belum ada kesamaan pendapat atau pengertian mengenai

Tabuh Rah itu. Ketidaksamaan itu juga didapati pada beberapa prasasti dan

lontar-lontar, yang ditemukan di Bali.5

1. Di dalam prasasti Bali kuno dan terutama pada prasasti Sukawan A.I.

yangberangka tahun 804 Saka (882 A.D), ada terdapat kata : “Blindarah”, Dr.

R.Goris mengartikan kata blindarahitu sebagai “blodoffer voor velerlei godsd

verrichtingen yaitu: korban darah untuk berbagai tindakan keagamaan.

2. Di dalam prasasti Batur Abang A. Yang berangka tahun 933 Saka (1011 A.

D) disebutkan sebagai berikut:

“... mwang yan pakaryyakarya, msanga kunang wgila ya manawunga

makantang tlung parahatan, i thaniya, yan pamwita, tan pawwata ring

nayaka saksi...”

Artinya “... lagi pula bila mengadakan upacara-upacara tawur kesanga,

patutlah mengadakan sabungan ayam tiga ronde (leban) di desanya, tidaklah

minta izin, tidaklah membawa (memberitahukan) kepada pemerintah...”.

5

Tabuh Rah, keputusan seminar tafsir agama Hindu ke III tahun 1976, (Diterbitkan Oleh

(32)

3. Di dalam prasasti Batuan yang berangka tahun 944 Saka (1022 A.D.), ada

kalimat sebagi berikut:

“... kunang yan manawunga ing pangudwan makantang tlun parahatan, tan

pamwita ring nyaka saksi mwang sawung tunggur, tan knana minta pamli...”

Artinya “... adapun bila mengadu ayam ditempat suci dilakukan tiga ronde

(leban) tidak meminta izin kepada pemerintah dan juga kepada pengawas

sabungan, tidak dikenakan pajak...”.

4. Di dalam lontar Ciwatatwapurana, disebutkan sebagai berikut:

“mwah ri tileming ke sanga, hulun megawe yoga, teka wnang wang ing

madyapada megae taur kasowangan, denhana pranging satha, wnang nyepi

sadina ika labain sang kala daca bhumi, yanora samangkana rug ikang

wanging madyapada...”

Artinya “lagi pada tilem kesanga aku (dewa Siwa) mengadakan yoga,

berkewajibanlah orang bumi ini membuat persembahan masing-masing, lalu

adakan pertarungan ayam, dan Nyepi sehari, (ketika) itu beri hidangan sang

kala dacabhumi, jika tidak rusaklah manusia di bumi...”.

5. Di dalam lontar Sandharigama, disebutkan bahwa di dalam rangkaian

melakukan tawur atau bhutayajna disertai dengan “tetabuhan”.

Dari beberapa kutipan tersebut di atas, jelaslah adanya perbedaan istilah

yang dipergunakan di dalam korban darah yang berhubungan dengan upacara

keagamaan. Diantara istilah-istilah itu maka istilah blindarah ada persesuaiannya

(33)

Sedangkan istilah perang Satha dan Manawung sudah mengandung kekaburan

mengenai makna Tabuh Rah. Kekaburannya disebabkan karena bukan dititik

beratkan kepada korban darah, melainkan ditekankan kepada pertarungan ayam,

sehingga dengan demikian sering timbul anggapan bahwa Tabuh Rah itu adalah

sabungan ayam.

Jika kita perhatikan dengan seksama seluruh kegiatan keupacaraan yang

dilakukan umat Hindu di Bali, ada sesuatu yang dipahami, yang sangat dihormati,

yang diperlakukan sebagai tamu agung, yang dipandang maha suci, yakni Sang

Hyang Widhi wasa (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai penguasa alam semesta

beserta seluruh isinya, yang dimohon hadir untuk menganugerahkan kasih sayang,

perlindungan, keselamatan, kesejahteraan hidup lahir serta bathin. Begitu juga

pada pelaksanaan Tabuh Rah sendiri.

Tradisi adalah merupakan faktor penting dalam tata cara pergaulan hidup

di masyarakat dan lebih-lebih didalam hubungannya dengan tata cara pelaksanaan

upacara agama Hindu di Bali. Peranan tradisi demikian kuatnya di dalam

kehidupan agama Hindu di Bali, sehingga dengan demikian setiap individu yang

taat beragama merasakan pentingnya arti ikatan terhadap tradisi-tradisi yang

mereka warisi dari leluhurnya.

Pelaksanaan agama dipandang kurang mantap dan dirasakan seolah-olah

tidak akan mendatangkan suatu pahala yang baik, jika dilakukan tidak mengikuti

cara yang tradisional di masyarakat. Tetapi hal yang demikian itu tidak lah berarti

(34)

menempuh kehidupan yang fleksibel, elastis yang demikian itulah dijumpai pada

umat Hindu di Bali yang mempunyai pandangan, bahwa apa yang diwarisi dari

leluhurnya merupakan suatu pusaka suci, baik warisan itu berupa benda atau

berupa pandangan hidup. Disebabkan oleh adanya rasa bhakti dan hormat

terhadap leluhur inilah mengapa tradisi dapat dipelihara dengan baik oleh

generasi-generasi berikutnya.

Demikian pula halnya Tabuh Rah di Bali yang sudah menjadi tradisi

berlangsung turun-temurun di masyarakat dari sejak dahulu hingga kini,

disamping juga secara filosofis mengandung arti yang penting bagi

upacara-upacara di dalam agama Hindu.

Tentang munculnya Tabuh Rah dalam hubungannya dengan upacara

bhutayajna di Bali, rupa-rupanya berpangkal pada bentuk upacara berkorban

sejak zaman purba. Kadang-kadang berkurban itu ada hubungannya dengan kaul

dan berhubungan dengan keharmonisan antar bhuanagung dan bhuanaalit dimana

hal ini terdapat adanya hubungan yang erat antara para roh leluhur dengan dunia

gaib.6

Dalam agama Hindu mitos memiliki peranan yang penting. Karena dalam

mitos tersebut diyakini, diikuti, dan bahkan menjadi pedoman serta berguna

meskipun tidak rasional bagi kita. Begitu juga dengan masalah Tabuh Rah sendiri.

Banyaknya cerita yang menggambarkan ritual tersebut yang harus dilaksanakan

6

Utarayana, Pengayam-ayaman, (Denpasar-Bali, Percetakan Offset dan Toko Buku RIA,

(35)

oleh umat agama Hindu berdasarkan lontar-lontar. Meskipun banyak yang belum

atau tidak dapat dijelaskan dengan akal (rasio). Dan hingga sekarang sebagian

masyarakat Bali (umat Hindunya) masih memahami serta menghayatai

mythology, yang ternyata masih besar faedahnya itu.

Tabuh Rah biasanya dilaksanakan dalam beberapa cara dan selalu

berhubungan dengan bhutayajna atau lazim di Bali disebut dengan mecaru

(membuat upacara korban). Bhutayajna itu sering dilakukan dengan mecaru

karena makna dari bhutayajna itu adalah mengharmoniskan hubungan

unsur-unsur Panca Mahabhuta di bhuanaagung dan bhuanaalit.

Berkorban atau bersaji adalah suatu usaha untuk berhubungan dengan

dunia gaib dalam artian memberi barang sesuatu kepada dunia gaib dengan

pengaharapan untuk mendapatkan penggantiannya. Hal ini sering terlihat dengan

jelas pada beberapa agama di Indonesia sekarang dan dapat dibandingkan dengan

adanya janji atau kaul pada kepercayaan sekarang, bahwa akan mengadakan

keselamatan sesudah maksud tercapai. Selain itu juga ada juga korban yang

berupa makanan-makanan yang juga oleh manusia dipandang lezat, sehingga di

dalam pikiran manusia ada anggapan bahwa apa yang dipandang oleh enak

dirinya, juga akan digemari oleh dunia gaib atau roh-roh. Makan bersama-sama

dengan para roh-roh leluhur atau dunia gaib adalah untuk mengeratkan hubungan

manusia dengan dunia gaib atau roh-roh.

Tabuh Rah pada mulanya mempergunakan darah manusia, darah manusia

(36)

yang dianggap sebagai roh, selain bermaksud penebusan dosa manusia, namun

juga dianggap sebagai sarana demi eratnya hubungan manusia dengan dunia gaib

atau roh-roh itu. Di samping dijadikan korban seperti itu darah manusia juga

dimakan bersama-sama sebagai pernyataan tanda bergembira, demi eratnya

persahabatan antara sesamanya dan pula merupakan tanda turut berduka cita

sebagai pernyataan solider terhadap sesamanya yang ditimpa mala petaka.

Lalu penggunaan korban manusia diganti dengan darah binatang karena

dianggap tidak sesuai lagi dengan perikemanusiaan. Binatang korban itu yang

dipakai pengganti korban manusia adalah binatang peliharaan yang dianggap

sebagai anggota dari masyarakat, sehingga dengan demikian yang dipakai korban

adalah darah salah satu dari anggota masyarakat juga. Sehingga di dalam setiap

jenis korban di Bali dipakailah ayam sebagai binatang korban pokok, sedangkan

binatang-binatang korban lainnya adalah merupakan perubahan menurut besar

kecilnya tingkatan korban itu.

Darah pada banyak bangsa-bangsa dianggap suatu zat yang mengandung

kekuatan magis. Pada beberapa suku Dayak, tiang-tiang rumah yang baru

didirikan, dipoles dengan darah untuk memberikan kekuatan secara spiritual

kepada rumah itu. Hal itu dapat dibandingkan dengan di Bali, bilamana orang

mendirikan rumah baru, maka pada saat upacara peresmiannya (melaspas),

tiang-tiang (pilar) dari bangunan itu dipoles dengan darah ayam hitam, yang disebut

pengurip-urip, guna memberikan kekuatan spiritual dalam artian suasana baik

(37)

magis, sakti, paralel dengan kepercayaan bangsa purba mengenai adanya

kekuatan sakti di dalam segala hal yang luar biasa yang disebut dinamisme, maka

dari itulah manusia purba menggunakan darah sebagai sarana yang paling urgen

di dalam berkorban. Selanjutnya di dalam filsafat Hindu yang berkembang lebih

demikian, maka anggapan seperti itu lalu menjadi suatu faham yang mengandung

perlu adanya sarana-sarana untuk memelihara keseimbangan antara bhuana

agung dan bhuana alit.

Acara Tajen di Bali sudah ada sejak jaman Majapahit. Konon, Tajen

sangat lekat dengan tradisi Tabuh Rah, yaitu salah satu upacara dalam masyarakat

Hindu Bali. Upacara Tabuh Rah, ini tak ubahnya sebuah upacara persembahan

dengan mengorbankan ternak seperti ayam, babi, kerbau, atau hewan peliharaan

lain. Persembahan ini dilakukan ada yang dengan cara menyembelih bagian leher

hewan tersebut, namun ada juga dengan cara (Perang Satha) yaitu pertarungan

ayam dalam rangkaian korban suci yang melambangkan penciptaan,

pemeliharaan, dan pemusnahan dunia. Masyarakat Bali percaya bahwa perang

sata merupakan simbol perjuangan hidup. 7

Kemudian setelah masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia yang

selanjutnya berkembang dan akulturasi dengan kebudayaan asli Indonesia, bentuk

dari pada korban darah itu berbeda-beda dilakukan dibeberapa daerah di

Indonesia khususnya di Bali korban darah itu telah banyak mengalami

7 Matatia.com, Tales from The Road: Tajen sabung Ayam di Bali,

(38)

bentuk perkembangan disertai variasi-variasi, sehingga hal itu disebutlah dengan

berbagai istilah yang berlain-lainan seperti yang diuraikan dibeberapa prasasti dan

lontar-lontar.8

Kendatipun demikian, namun prinsip yang dikandungnya tidaklah jauh

menyimpang dari pada prinsipnya yang semula perubahan bentuk, dan istilah

korban darah itu adalah logis terjadi sebagai akibat adanya perkembangan

kebudayaan Indonesia dan meningkatnya kemampuan daya pikir bangsa

Indonesia di dalam menganalisa suatu persoalan.

C. Cara Pelaksanaan 1. Tabuh Rah

Tabuh Rah pada mulanya mempergunakan darah manusia lalu diganti

dengan darah binatang. Binatang yang dijadikan korban adalah jenis binatang

yang erat hubungannya dengan kehidupan manusia, yaitu: ayam, itik, angsa,

babi dll. Oleh sebab itu maka binatang dijadikan korban, karena binatang

adalah sebagai wakil dari anggota kelompok manusia. Maka dalam setiap

jenis caru di dipilah ayam sebagai saran yang terutama di dalam caru. Dalam

lontar Kandhapat yang dihubungkan dengan mantra-mantar tentang caru,

maka terdapat kesesuaian. Karena, ayam memiliki bermacam-macam warna,

baik memiliki satu warna dan juga ada yang berwarna campuran. Begitu juga

8

Tabuh Rah, keputusan seminar tafsir agama Hindu ke III tahun 1976, (Diterbitkan Oleh

(39)

dengan bhuta yang memiliki warna yang dapat disimbolkan dengan warna

ayam yang bermacam-macam yang juga dapat mencapai keharmonisan,

karena memiliki persesuaian warna dengan bhuta itu, misal: bhuta putih

diberi caru ayam putih, bhuta abang diberi caru ayam biying, bhuta hitam

diberi caru ayam brumbun.

Pelaksanaan upacara Tabuh Rah memerlukan waktu (dewasa). Yang

umumnya dilaksanakan oleh masyarakat Bali yaitu pada pukul 12 siang pada saat

hari tilem (bulan tidak kelihatan sama sekali) atau bisa juga pada saat sore hari

pada pukul 5 sore. Prosesi Tabuh Rah adalah prosesi yang sakral, prosesi yang

suci. Ada tata cara keagamaan dan larangan-larangan atau

persyaratan-persyaratan di dalamnya. Salah satu persyaratan-persyaratan adalah harus ada ayam yang

kalah dan menang, karena kalau dari hasil pertarungan ayam hasilnya seri maka

pertarungan tersebut akan diulang dan pendeta akan menaburkan arak dilokasi

hingga dalam pertarungan berikutnya tidak ada hasil yang seri lagi.

Dalam penaburah darah ada beberapa macam dan disertai variasi tertentu

yakni sebagai berikut:

a. Daerah Buleleng bagian barat yaitu daerah Ngenjung, pada waktu

mengadakan yajna besar (karya agung), binatang yang dijadikan caru terlebih

dahulu dikelilingkan tiga kali ditempat upacara (mapadhapa) dan pada tiap

penjuru tempat upacara (pura), binatang korban itu ditombak-tombak

sehingga darahnya berceceran ditempat upacara. Menurut istilah disana

(40)

b. Di Pura Penatran Agung di desa Pangotan Daerah Tk. II Bangli, tiap-tiap lima

tahun sekali yaitu hari purnama kedasa, orang desa disana mengadakan karya

Ngasaba setelah bhatara-bhatara dalam wujud pratima-pratima atau

arca-arca dikelilingkan berjajar di balai panjang dijaba tengah, lalu seekor kerbau

hitam yang akan dijadikan korban atau caru diikatkan pada pohon yang ada di

depan balai panjang itu. Setelah kerbau itu terlebih dahulu diupacarai, lalu

ditikam dengan keris khusus untuk itu oleh seorang petugas tertentu (Jero

Bahu), sehingga darahnya membasahi tanah tempat upacara yang akan

diadakan lebih lanjut.

c. Di desa Cemagi Daerah Tk. II Badung dan juga desa-desa lainnya umumnya

Bali, setiap mengadakan pecaruan atau karya (upacara-upacara) dipura atau di

dalam perumahan, maka disaat mengakhiri pecaruan atau upacara, lalu

dilakukan penyembelihan yaitu: seekor ayam kecil atau babi butuhan

dipotong lehernya dengan keris lalu darahnya ditaburkan ditempat upacara

tersebut. Hal ini ada persesuaiannya dengan keadaan di jaman Majapahit

dahulu, dimana juga dilakukan pemotongan kepala ayam sebagai upacara

berkorban.

d. Hampir diseluruh Bali orang beranggapan bahwa tabuh rah itu adalah

sabungan ayam. Secara sepintas anggapan hal ini nampaknya beralasan juga

seperti di dalam prasasti Batur Agung A (933 Saka), prasasti Batuan (944

Saka) dengan istilah: “manawung” dan lontar Ciwatattwa purana menyebut

(41)

Jadi dapat disimpulkan dalam membuat caru atau korban binatang kepada

bhuta kala terdapat berbagai variasi menurut tradisi dan kondisi setempat, karena

masing-masing desa adat di Bali, mempunyai corak kekhususan tersendiri,

sehingga sulitlah menemukan suatu bentuk upakara dan upacara yang persis

sama. Sehingga Tabuh Rah dalam bhutayajna adalah perlu bukan merupakan

suatu saran yang prinsipil karena mengandung makna mengharmoniskan

hubungan Panca Mahabhuta di bhuana agung dengan Panca Mahabhuta di

bhuana alit.

Prosesi pelaksanaan Tabuh Rah di Pura daerah Denpasar,9 bahwa setiap

pelaksanaan upacara tersebut diwajibkan menggunakan pakaian adat, dengan

membawa banten (sesaji) dan perlengkapannya yang di dalamnya terdapat

“kelapa, telor, canang sari (dupa, beras, uang kepeng), dan kelapa tadi dililit

dengan benang warna (merah, putih dan hitam), kemudian banten tersebut

diberikan kepada pemangku atau orang yang dianggap suci, barulah binatang

tersebut dikelilingkan atau dilepaskan dalam pura tempat yang akan diadakan

Tabuh Rah yang dilaksanakan dengan perang Satha hingga binatang tersebut

mengeluarkan darah pada tempat pelaksanaan Tabuh Rah (pura) tersebut, baru

setelah itu dilanjutkan dengan adu kelapa dan telur dengan disertakan ucapan

mantra-mantra oleh pemangku tersebut sebagai akhir dari sebuah ritual upacara.

Jadi dalam hal ini yang bisa dikatakan Tabuh Rah hanya ronde pertama saja.

9

Hasil pengamatan yang dilakukan penulis pada pelaksanaan ritual tabuh rah di pura Padang

(42)

2. Tajen

Tajen berasal dari kata taji yang artinya susuh pada kaki ayam. Kata tajen

kadang didwi purnakan menjadi tatajen. Pengertian taji itu ada hubungannya

dengan tajam dalam bahasa Indonesia yang bermakna sesuatu yang runcing.

Adanya anggapan umum di Bali yang menyebut sabungan ayam itu adalah tajen,

dikaitkan pada taji yang dipakai oleh ayam yang akan diadu. Sehingga ada ucapan

pada masyarakat Bali dengan “metajen”.

Perang satha yang sebenarnya untuk sebuah acara bhutayajna, lama

kelamaan senang digemari oleh orang karena mengandung nila-nilai hiburan bagi

para penggemarnya. Yang menurut mereka gerak-gerik ayam pada saat bertarung

mereka anggap seni. Jadi wajar jika perang Satha tersebut digemari oleh banyak

orang jadi tidak menutup kemungkinan acara tersebut dijadikan untuk berjudi.

Jadi di sini terlah terjadi pergeseran atau erosi nilai-nilai kesakralan Tabuh Rah.

Tabuh Rah yang tadinya adalah prosesi yang sakral, oleh para penjudi dijadikan

ajang untuk bertaruh, dijadikan mata pencaharian kehidupan sehari-hari dengan

mengadakan perjudian sabung ayam yaitu sesuatu yang duniawi untuk memenuhi

kebutuhan hidup.

Menurut antropholog John Roberts yang melakukan penelitian terhadap

permainan-permainan atau games (tidak selalu pemainan judi) yang dimainkan

oleh bebagai suku bangsa, menunjukkan bahwa di dalam kebudayaan-kebudayaan

yang menganut permainan yang hanya mendasarkan pada untung-untungan saja

(43)

tuhan atau roh-roh yang penuh kebaikan dan dapat memaksa, atau dengan kata

lain, permainan untung-untungan tersebut dikaitkan dengan kekuasaan

supranatual.10

Identifikasi psikologi yang mendalam tentang kaum pria di Bali dengan

ayam mereka tidak dapat dipisahkan. Bateson dan Mead mengatakan jika

dikaitkan dengan konsepsi masyarakat Bali tentang tubuh sebagai satu bagian

terpisah dari kehidupan, maka ayam di gambarkan sebagai bagian terpisah alat

ambulant genital dengan kehidupan mereka sendiri. Pada kenyataannya

ayam-ayam tersebut merupakan simbol dari kemaskulinan mereka.11

Sedang pelaksanaan Tajen sendiri, tidak menggunakan ritual upacara

layaknya tabuh. Biasanya tajen dilakukan pada tempat yang telah disediakan oleh

pura, dan pasti setiap pura memiliki wantilan dan hampir dimiliki setiap desa

adat yang berukuran 50 x 50 meter. Dibuat berundak-undak menurun ke tengah.

Tetapi persis di tengah itu dibuat meninggi lagi, inilah arena pekelahian ayam.

Arena ini bentuknya bujur sangkar dengan sisi sepuluh langkah kaki orang

dewasa. Di tengah-tengah arena, ada lagi bujur sangkar kecil bersisi satu langkah,

ditandai dengan garis.

10

Hendrik Andrianto, Perjudian Sabung Ayam di Bali,Tesis Pasca Sarjana Universitas

Indonesia,(Jakarta: 2003, Perpustakaan Umum UI) h. 18.

11 Clifford Geertz, Notes On The Balinese Cookfight,

(44)

Ayam yang siap dengan taji dibawa oleh “pakembar”.12 Bagi pakembar

yang fanatik, ia pasti ke tengah arena lebih awal, untuk kemudian memilih dari

arah mana ia akan melepas ayamnya. Kalau pakembar pertama berada di timur,

mau-mau tak mau pakembar yang kedua harus berada di barat.

Langkah awal adalah memperkenalkan kedua ayam kepada petarung yang

mengelilingi arena. Caranya, kedua pakembar membawa ayamnya ke tengah

bujur sangkar kecil, dihadap-hadapkan, diadu, tetapi tidak dilepas (bongbongan).

Akan kelihatan bagaimana kedua jago ini berdiri tegak dengan leher menjulang.

Atau ketika diadu perkenalan ketika sudah cukup perkenalan itu, dan pakembar

berdiri, penjudi di luar arena mulai bertaruh. Pakembar itu pun

mengacung-acungkan tangannya yang memegang ayam. Tak jarang, dia juga mencari lawan

taruhan lagi, mungkin tidak puas bertaruh dengan pakembar lawannya, apalagi

kalau ayamnya itu unggulan.

Pada setiap pertarungan, selalu ada ayam unggulan. Begitu pakembar

mengadakan perkenalan singkat berhadap-hadapan di bujur sangkar kecil,

seseorang berteriak: bihing... bihing...13 . Kalau sampai pakembar berdiri tidak

ada teriakan yang lain, berarti ayam bihing itulah ayam unggulan. Suara petaruh

12

Salah satu diantara yang mempunyai tugas dalam sebuah sabung ayam, sebagai pemegang ayam sebelum ayam diadu dan juga harus memiliki keahlihan dalam membaca situasi apabila ingin mengadu dan memenagkan setiap sabung ayam.

13

(45)

selanjutnya tidak lagi bihing atau menyebut nama ayam tetapi sebutan yang

mengarah ke sistem taruhan: cok, gasal, dapang, tindo, apit, satu teng.14

Seorang petaruh cukup meneriakkan sistem taruhan, dan yang berminat

melawannya tinggal mengangkat tangan, tanpa berteriak apa-apa. Jadi, petaruh

yang berpihak ke ayam bukan unggulan saja yang berteriak-teriak, karena ia

berkepentingan mengajukan penawaran sistem taruhan. Kecuali kalau dua ayam

yang bertarung itu “padu baret”.15 Dalam situasi seperti ini, nama ayam masih

sering disebut-sebut.

Dalam tajen ini ada juga posisi yang sangat vital yakni; “Saya”16, dia

memiliki peran sebagai penengah yang menentukan menang-kalah dalam

kegiatan tersebut dan keputusannya tidak memihak salah satu diantara mereka,

sehingga sabung ayam dapat terlaksana dengan aman dan tertib. Kejujuran serta

keadilan harus dimiliki oleh “Saya”, karena dengan modal tersebut segala

keputusannya membuat para bobotoh puas dan menerima kemenangannya, serta

yang kalah menerima dengan lapang dada.

Para penjudi bisa melakukan transaksi taruhan dari jarak jauh. Tanpa

harus berhadap-hadapan. Para penjudi itu memakai kode jari tangannya,

14System taruhan yang digunakan pada tajen. “

ngelimin 5:2, apit 2:1, telewin 5:3, teludo 3:2, cok 4:3, gasal 5:4, dapang 10:9.

15

Padu baret dalam istilah sabung ayam menyebut antara kedua ayam yang akan diadu seimbang atau kelihatan seimbang.

16

Saya, disini bukan dalam arti aku, melainkan juri dalam acara ritual Tabuh Rah maupun

dalam Tajen. Saya disini memiliki peranan penting dalam menentukan arah kebijakan dalam sebuah

(46)

sementara uang taruhan tetap di saku atau dompet masing-masing. Kalau

pertandingan usai, justru yang kalah yang datang ketempat yang menang. Atau

kalau jarak cukup dekat, uang digulung dan dilemparkan. Dan uang yang

dilemparkan tidak akan disabet oleh orang lain yang tak berhak. Mereka masih

mengenal etika, apalagi jika kalah mereka tidak akan buru-buru kabur atau

bahkan menyelinap dan pergi. Karena mereka yakin suatu saat pasti akan bertemu

lagi ditempat lain.

Dengan melihat tabel mungkin dapat memberikan penjelasan secara

singkat perbedaan antara tabuh rah dan tajen :

NO Tabuh Rah Tajen

1 Sabungan ayam dilaksanakan hanya 3 set (telung parahatan)

Sabungan ayam dilaksanakan lebih

dari 3 set (telung parahatan)

2 Sabungan ayam dilengkapi dengan adu kemiri, telur,

kelapa.

Tidak dilengkapi dengan adua-aduan

kemiri, telur, kelapa.

3 Disertai upakara yajna, untuk upacara pada suatu tempat.

Tidak disertai upakara yajna.

4 Ada toh dedamping tidak bermotif judi sebagai

perwujudan ikhlas berkurban

untuk upacara

Ada taruhan, dengan harapa untuk

(47)

D. Fungsi pelaksanaan Tabuh Rah dan Tajen

Tabuh Rah di Bali yang sudah menjadi tradisi berlangsung turun-temurun

dimasyarakat dari sejak dahulu hingga kini, di samping juga secara filosofis

mengadung arti yang penting bagi upacara-upacara di dalam agama Hindu. Tabuh

Rah erat kaitannya denga bhutayajna. Bhutayajna berarti suatu korban suci

kepada bhuta dan kala yang dalam pengertiannya adalah sesuatu kekuatan negatif

yang timbul akibat terjadi ketidak harmonisan antara macrocosmos (bhuana

agung) dengan microcosmos (bhuana alit) yang dapat dikatakan seperti makhluk

halus yang selalu menggangu ketentraman hidup manusia.

Bhuana agung dan bhuana alit yang terdiri dari lima unsur yaitu: pritiwi

(unsur zat padat), apah (unsur zat cair), teja (sinar atau panas), wayu (udara), dan

akasa (ether). Jadi antara Panca Mahabhuta di dalam bhuana agung hendaknya

senantiasa harmonis dengan Panca Mahabhuta di bhuana alit.

Selanjutnya mengenai kala, lontar Kalatattwa menyebutkan, bahwa kala

itu adalah putra Dewa Siwa yang lahir di laut. Karenanya Dewa Siwa itu disebut

Mahakala yaitu, sebutan terhadap kekuatan Dewa Siwa yang maha hebat yang

pada waktu melakukan pralina. Mahakala juga berarti energi yang maha besar. Di

dalam lontar Kalatattwa itu juga disebutkan bahwa bhuta kala apabila diaci, ia

tidak akan menggangu manusia melainkan membantunya di dalam kehidupan,

sebab bhuta kala itu bukan hanya bersifat negatif saja melainkan juga bersifat

(48)

Jadi dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa perlulah dijaga

keharmonisan Panca Mahabhuta itu dengan salah satu cara mengadakan aci atau

yajna. Jadi makna dari pada bhutayajna itu adalah usaha untuk

mengharmoniskan perhubungan Panca Mahabhuta di bhuana agung dengan

Panca Mahabhuta di bhuana alit.

Dalam kitab Agastya Parwa menyatakan Bhutayajna itu sebagai berikut:

“Bhuta yajna ngarania tawur muang sang kapujan ring tuwuh”

Bhutayajna itu adalah mengembalikan (Unsur-unsur alam) dan melestarikan

tumbuh-tumbuhan”.

Itulah sesungguhnya inti dari bhutayajna menurut Agastya Parwa.

Betapun besar atau kecilnya upacara bhutayajna hendaknya jangan sampai tidak

memuat nilai universal dari bhutayajna tersebut. Dalam Sataphata Brahmana

bagian dari Rgveda bhutayajna itu adalah persembahan pada bhuta. Sembah

dalam Jawa kuna artinya menyayangi, menghormati/memuji, memohon,

menyerahkan diri dan menyatukan diri. 17

Dalam agama Hindu, tubuh manusia itu dibentuk oleh zat yang sama

dengan alam semesta, karena itu dikenal dengan istilah bhuana agung dan bhuana

alit. Seseorang yang meninggal dunia, tubuhnya ditinggal pergi oleh roh (sang

atma). Maka, tubuh itu tak ubahnya sebagai benda rongsokan. Ibarat sampah, ia

17

I Ketut Wiana, M.Ag, Tri Hita karana menurut Konsep Hindu , (Surabaya: Paramitha,

(49)

harus segera dihanguskan, supaya berbaur dengan alam semeseta. Unsur-unsur di

dalam tubuh (bhuana alit) sama seperti yang ada di jagat raya (bhuana agung).18

Pengharmonisan antara bhuana agung dan bhuana alit sebagai pencapaian

ketentraman hidup lahir dan bathin. Menurut keterangan para “sulinggih”19 yang

mengatakan bahwa bhuana agung dan bhuana

Gambar

Tabel Luas Wilayah Tiap Kabupaten di Provinsi Bali1

Referensi

Dokumen terkait

Kedua , Untuk peran/upaya Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana perjudian sabung ayam dalam masyarakat di wilayah hukum Kabupaten Magetan adalah sebagai berikut:

Pengaruh faktor keluarga pada remaja usia produktif melakukan judi sabung ayam cenderung sangat tinggi, hal tersebut disebabkan antara lain karena pendapatan yang

Etnis Bali yang beragama Hindu meyakini bahwa apabila tidak ingin diganggu bhuta kala maka mereka harus memberikan persembahan berupa darah dari hewan (ayam) yang lebih dikenal

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Tinjauan Jual Beli Telur Ayam Gagal Menetas Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif (Studi Kasus di Desa Nambah Dadi Kecamatan

Penelitian yang mengangkat tema Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Perilaku Transgender di Indonesia, sumber data yang diambil berupa buku-buku atau karya tulis

Pada awalnya tabuh rah merupakan kegiatan mengadu dua ekor ayam jantan yang diadakan pada saat upacara bhuta yajña mengalami transformasi yang terjadi dalam

Skripsi yang berjudul Analisis hukum Islam terhadap kebijakan pemerintah desa tentang sewa arena sabung ayam di Desa Sidowungu Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik

Tujuan tulisan ini adalah melihat perspektif dari Tajen itu sendiri menurut hukum positif, hukum agama yang menjadi landasan hukum adat Bali, serta kondisi