Makhsis Sakhabi, DJ
Gerakan Dakwah Dalam Konteks Islam Modern Menurut Din Syamsuddin
Gerakan dakwah Islam adalah serangkaian aktivitas, metode, strategi dakwah yang dilakukan berdasarkan perencanaan untuk mengajak manusia kepada jalan kebaikan, kemaslahatan, serta menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagian masyarakat Islam beranggapan bahwa dakwah Islam adalah tugas pokok atau kewajiban ummat Islam secara individu dan sebagian lain menganggapnya sebagai kewajiban kolektif. Dakwah Islam kini tengah dihadapkan pada dua persoalan. Pertama, tafsir sosiologis masyarakat terhadap pengertian dakwah yang dianggap sebagai aktivitas mimbar, tabligh semata sehingga konteks sosiologisnya terabaikan dari dinamika kehidupan modern. Kedua, dakwah Islam membutuhkan tafsir ulang atas pengertian dan implementasinya dalam kehidupan masyarakat Islam maupun manusia secara keseluruhan. Sehingga dibutuhkan penyeragaman pengertian dan implementasi dakwah Islam sebagai titik penyebaran agama Islam dan pengamalan nilai-nilai kehidupan masyarakat di tengah arus modernisasi.
Kajian ini mencoba mengulas gerakan dakwah Islam dalam konteks kemodernan serta mendalami pemahaman dakwah Islam modern menurut Din Syamsuddin, sebagai bagian dari upaya menyeragamkan implementasi dakwah Islam agar tercapai sasaran dakwah tepat pada medannya. Oleh karenanya, pertanyaan yang mendasari kajian ini adalah bagaimana dakwah Islam menghadapi isu-isu Islam modern?, bagaimanakah gerakan dakwah Islam menjadi solusi bagi krisis spiritual, moral dan sosial bangsa?, serta bagaimana format ideal gerakan dakwah Islam modern?. Tentu saja pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjelaskan secara akademis tentang dakwah Islam.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan upaya pendefinisian ulang terhadap pengertian dakwah Islam di masyarakat secara universal, serta ingin mengetahui bagaimana pandangan dakwah Islam modern dalam kacamata Din Syamsuddin, serta mengetahui format ideal gerakan dakwah Islam modern.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi kualitatif melalui pendekatan sosio-historis yaitu, mengungkap latar belakang tokoh yang dijadikan sebagai subjek dalam penelitian ini, guna mengetahui pokok-pokok pikiran tokoh tersebut tentang bagaimana gerakan dakwah Islam dalam konteks Islam modern.
Pemahaman dakwah Islam merupakan aspek dasar yang harus dipahami setiap muslim secara universal dalam menjalankan kewajiban dakwah. Mengingat dakwah dipahami sebagian besar masyarakat sebagai aktifitas mimbar belaka. Begitu juga dengan frame dakwah modern yang harus dipahami seperti apa, kajian ini juga meliputi pandangan tokoh dakwah Islam modern Din Syamsuddin dalam pandangannya terhadap dakwah Islam.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dakwah merupakan kewajiban bagi setiap muslim dalam menjalankan
ajaran Agama Islam. Hal ini termaktub dalam Al-Qur’an surat An-Nahl, 16 :125, :
☺
☺
☺
☺
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(QS. An-Nahl, 16 : 125)
Dari berbagai pandangan ulama-ulama Mufassir, tentang kewajiban dakwah yang tertuang dalam Al-Qur’an tersebut di atas, bahwa ayat tersebut
memberikan pesan perintah, yaitu Ud’u, yang memiliki ciri kalimat perintah
(Fi’lul Amri). Maka, ayat tersebut telah mewajibkan kaum muslimin untuk selalu melakukan aktivitas dakwah di kehidupan sehari-hari. Selain ayat tersebut di atas,
ada ayat lain yang berisi tentang perintah dakwah, seperti pada surat Ali ‘Imran,
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Ali “Imran,3 : 104)
Hal ini pulalah yang kemudian menyebabkan beberapa perbedaan
pendapat tentang kewajiban dakwah. Sebagian ulama mengatakan perintah
dakwah adalah kewajiban individu (fardhu ‘ain), sedangkan sebagian ulama lain mengatakan kewajiban dakwah merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Tentunya masing-masing pendapat memiliki argumentasi yang kuat.
Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah,
menjelaskan bahwa : “Perintah dakwah adalah ditujukan bagi setiap muslim.
Tetapi, walaupun demikian harus ada sebagian golongan / kelompok ummat yang
menekuni kegiatan dakwah secara profesional, baik individual maupun
institusional”.1
Sementara itu, permasalahan yang kerap muncul juga pada sisi aktivitas
dakwah itu sendiri. Beberapa pandangan para pegiat dakwah telah meramaikan
kondisi dan wacana dakwah baik dalam bidang keilmuan maupun pada tataran
aktivitasnya. Pada aktivitasnya, dakwah hari ini tentu berbeda dengan dakwah
yang terjadi di masa Nabi saw. Dimana Nabi saw. Memulai dakwahnya dengan
jalan sembunyi-sembunyi (sirri) hingga dengan jalan terang-terangan. Dakwah pada masa Nabi saw. Dibagi dalam dua periode, yaitu periode Makkah dan
1
periode Madinah. Periode Makkah disebut juga sebagai periode pembinaan
Kerajaan Allah dalam hati manusia, sedangkan periode Madinah disebut juga
sebagai pembinaan Kerajaan Allah dalam masyarakat manusia2.
Dewasa ini, khususnya di Indonesia terdapat banyak organisasi-organisasi
yang bergerak dalam bidang dakwah. Mulai dari Islam garis keras (ekstrem),
Islam fundamental sampai pada Islam liberal. Tentunya semua itu memiliki
konsep dan pandangan yang berbeda-beda terhadap dakwah.
Tetapi, satu yang penulis pahami dari perbedaan pandangan gerakan
dakwah yang dimotori oleh beberapa organisasi yang bergerak di bidang dakwah
adalah kesemuanya menginginkan agar masyarakat mengikuti kehendaknya,
bukan kehendak Islam sebagai rahmat.3 Jika pada awal prosesnya saja dakwah
bertolak dari konsepsi iman dan amal shaleh, apakah kemudian dewasa ini yang
kerap dikenal dengan periode modern, konsepsi dakwah Islam akan tetap
berpangkal dengan dasar pokok keimanannya? ataukah akan menjadi
berkotak-kotak dakwah Islam di era modern ini?
Diakui bahwa dewasa ini organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga
dakwah sudah sangat banyak, tetapi harus diakui pula bahwa sebagian besar dari
semua itu juga tidak membuahkan hasil yang signifikan bagi perkembangan
gerakan dakwah Islam di era modern ini. Boleh jadi permasalahannya adalah
kurangnya militansi lembaga-lembaga dakwah terhadap gerakan dakwah Islam
secara kaffah (totalitas).
2
Prof. Hasjmi, Dutsur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), h. 281
3
Sementara itu, tokoh muslim Indonesia yakni Prof. Dr. Din Syamsuddin
memberikan pandangan yang berbeda tentunya mengenai aktivitas gerakan
dakwah dalam konteks kemodernan. Istilah modern ini lebih banyak yang
mengartikan kemajuan zaman.4 Secara eksplisit dapat dipahami memang bahwa
istilah modern ini ditujukan kepada perbedaan kurun waktu antara yang telah lalu
dan yang sekarang atau yang akan datang.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W. J. S
Poerwadarminta, kata modern memiliki arti “yang terbaru”.5 Berarti konteks
kemodernan di sini diistilahkan hal-hal yang bersifat baru dan memiliki kemajuan.
Salah satu pandangan Islam mengenai gerakan dakwah yaitu proses
penyampaian ajaran Allah yang menggunakan metode tertentu untuk
kemaslahatan ummat. Kemudian, pemahaman tersebut telah banyak memberikan
pengertian baru yang bermacam-macam pula. Sebagian orang memahami gerakan
dakwah yang seharusnya dilakukan adalah dengan jalan jihad, yaitu menaklukkan
orang-orang yang kufur terhadap Allah dengan jalan kekerasan sekalipun, maka
tidak sedikit dari mereka yang memiliki pemahaman seperti itu berani melakukan
tindakan-tindakan yang dinilai sebagai tindakan provokatif serta terorisme. Selain
itu, pandangan lain pun muncul bahwa gerakan dakwah seharusnya dilakukan
dengan jalan damai, toleran, pluralis. Sehingga mereka lebih menjaga
keharmonisan hubungan antaragama dan kepercayaan ketimbang dengan sesama
kaum muslim yang berbeda dengannya.
4
Kemajuan zaman meliputi kemajuan berpikir, teknologi, budaya, sosial, politik dan ekonomi.
5
Prof. Dr. Din Syamsuddin merupakan sosok tokoh dakwah Islam modern
yang namanya tidak hanya terdengar di pelosok nusantara tetapi juga di mata
Internasional. Aktivitasnya yang selalu tidak lepas dari kegiatan dakwah,
membuat penulis ingin menelusuri pemikiran, pemahaman sekaligus penerapan
konsep dakwah dalam konteks Islam modern. Dalam hal kemodernan yang beliau
rumuskan dalam keberagamaan, yaitu tajdid (pembaharuan) pola pikir masyarakat telah digariskan bahwa Islam akan selalu relevan dengan situasi zaman apapun.
Maka, memasuki zaman yang sudah terlalu canggih ini, bukan lagi dalam bidang
teknologi tetapi juga dalam hal pemikiran Islam, dakwah nampaknya harus dapat
menerapkan prinsip-prinsip serta pemahaman yang disesuaikan dengan karakter
dan pengetahuan masyarakat muslim modern.
Meminjam istilah Abdul Basit, M. Ag dalam bukunya yang berjudul
Wacana Dakwah Kontemporer, dakwah di Indonesia antara kajian yang bersifat
akademik dengan relitas dakwah yang ada di masyarakat belum menunjukkan
hubungan yang sinergis dan fungsional. Di kalangan akademisi dan para pakar di
bidang dakwah, mereka lebih banyak mengkaji dakwah melalui sumber-sumber
normatif yaitu Al-Quran dan Hadits. Demikian juga dengan para aktivis dakwah
yang ada di masyarakat yang selalu memberikan materi dakwah lebih banyak
dengan metode ceramah atau mimbar. Pada lembaga-lembaga keagamaan yang
bergerak di bidang dakwah juga belum memberikan arti penting secara substansial
bagi kelangsungan Islam di era modern ini. Mereka lebih banyak mementingkan
dari sisi kuantitasnya saja dari pada kualitas masyarakatnya.
Perubahan yang begitu cepat pada masyarakat akan membawa dampak
Dalam beberapa kajian Islam modern, muncul pembahasan-pembahasan baru pula
yang akan menjadi tanggung jawab aktivis dakwah Islam di zaman modern ini.
Seperti pembahasan HAM, bagaimana Islam memandang dan menjawab
permasalahan-permasalahan di dalamnya, juga masalah Demokrasi yang sampai
hari ini para aktivis dakwah belum secara total memasukkan materi tersebut dalam
aktivitas dakwah, kemudian persoalan Kesetaraan Gender, Pluralisme,
Sekulerisme, Liberalisme, serta isu Terorisme yang belakangan ini menjadi
perbincangan masyarakat luas. Oleh karena itu, diharapkan kajian ini akan
memberikan arti penting bagi pemahaman gerakan dakwah Islam modern. Penulis
tertarik dengan pemikiran-pemikiran yang digagas oleh Prof. Dr. Din Syamsuddin
tentang dakwah Islam. Maka, kemudian penulis mengangkat judul “GERAKAN
DAKWAH DALAM KONTEKS ISLAM MODERN MENURUT PROF. DR.
DIN SYAMSUDDIN” sebagai tugas skripsi di akhir studi S1 Fakultas Ilmu
Dakwah Dan Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
B. Batasan dan Perumusan Masalah
Dalam pembahasan ini, penulis hanya ingin memberikan gambaran pokok
tentang pemikiran dan aktivitas tokoh Islam Modern yaitu Prof. Dr. Din
Syamsuddin terhadap dinamika gerakan dakwah yang terjadi di era modern ini
dalam konteks Islam modern.
Oleh karenanya, penulis ingin membatasi kajian ini pada wilayah :
- Pemikiran gerakan dakwah Islam dan kaitannya dengan isu-isu Islam
modern menurut Din Syamsuddin
Selebihnya adalah informasi-informasi yang bersumber dan sesuai dengan judul
ini.
Adapun masalah-masalah yang telah penulis rumuskan adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah gerakan dakwah Islam menghadapi isu-isu Islam modern
menurut Din Syamsuddin?
2. Bagaimanakah gerakan dakwah Islam modern menjadi solusi terhadap
krisis spiritual, moral dan sosial bangsa menurut Din Syamsuddin?
3. Bagaimanakah format ideal gerakan dakwah Islam modern menurut Din
Syamsuddin?
Dari rumusan-rumusan masalah tersebut di atas, maka penulis akan dapat
menjelajah pengetahuan secara objektif tentang gerakan dakwah dalam konteks
Islam modern. Beberapa hal yang tertulis tersebut di atas adalah acuan dasar
penulisan skripsi ini.
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk memberikan kejelasan tentang gerakan dakwah dalam konteks Islam
modern menurut Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA.
Adapun kegunaan dari penelitian ini mencakup kepada dua aspek penting,
yaitu :
1. Kegunaan Akademis
- Menambah khazanah keilmuan dakwah dan komunikasi
- Menambah referensi kepustakaan tentang gerakan dakwah
2. Kegunaan Praktis
- Memberikan acuan bagi pegiat dakwah dalam berdakwah
- Sebagai referensi bagi para aktivis dakwah
- Memberikan pemahaman terkini tentang Gerakan Dakwah pada
masyarakat Islam modern
- Sebagai strategi berdakwah pada masyarakat modern
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif dengan pendekatan Sosio-Historis, yaitu mengetahui sejarah dan latar belakang tokoh yang kemudian dijadikan sebagai suatu analisa deskriptif
dari pemikiran, aktivitas dan latar belakang tokoh tersebut.
Metode penelitian kualitatif dengan pendekatan sosio historis ini akan mengungkap sisi latar belakang tokoh dalam kehidupan sosial, pendidikan, karir
dan keilmuan yang dimiliki sampai sekarang. Dengan melihat sosio-historis dari
tokoh yang diamati, penelitian ini akan mengungkapkan fakta pemikiran dan
aktivitas tokoh yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Oleh karenanya,
penelitian ini melibatkan langsung tokoh tersebut dalam proses pengumpulan
data. Hal tersebut sama dengan yang didefinisikan oleh Taylor tentang metode
penelitian kualitatif yaitu “cara yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati”.6
6
Melalui pendekatan sosio-historis, metode dalam penelitian ini akan mengumpulkan data-data deskriptif yaitu pemaparan atau penjabaran
pokok-pokok pikiran dari Prof. Din Syamsuddin tentang konsepsi gerakan dakwah Islam
modern yang kemudian dilakukan observasi guna mengukur dan membandingkan
atas teori-teori yang sudah muncul dan berlaku bagi penelitian kualitatif.
Kemudian, data-data tersebut akan diolah dan dilakukan pengembangan untuk
kemudian mengembangkan teori pada pengamatan yang dilakukan.
2. Subjek Dan Objek Penelitian
Begitu juga dengan subjek dan objek penelitian, penulis mengemukakan
bahwa subjek penelitian ini adalah Prof. Dr. Din Syamsuddin, sedangkan yang
menjadi objek penelitian ini adalah gagasan dan pemikiran Din Syamsudin
terhadap fenomena gerakan dakwah Islam modern yang terjadi di Indonesia.
Karena penulis memandang bahwa Din Syamsuddin adalah salah satu tokoh Islam
modern di Indonesia yang memiliki perhatian khusus terhadap dakwah Islam
masa kini.
3. Data Dan Sumber Data
Adapun data-data yang akan penulis kumpulkan antara lain adalah data
deskriptif mengenai pemikiran Din Syamsudin tentang konsep gerakan dakwah dalam konteks Islam modern, data tentang isu-isu dalam Islam modern serta
data-data pendukung lainnya yang memiliki keseragaman dan relevansi dengan
penelitian ini.
a. Sumber data primer, antara lain : buku-buku tentang dakwah Islam kontemporer, tulisan-tulisan Din Syamsuddin, keterangan atau pendapat
langsung Din Syamsuddin.
b. Sumber data sekunder, antaralain : Majalah, surat kabar, internet dan buku-buku umum Islam yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Tekhnik Pengumpulan Data
Tekhnik pengumpulan data yang penulis lakukan adalah dengan cara:
a. Observasi
Observasi ini dilakukan di perpustakaan UIN Jakarta dan di
kediaman Din Syamsuddin yang memuat tulisan-tulisan Din Syamsuddin
dan tulisan-tulisan pendukung lainnya.
Observasi ini dilakukan sebagai pencatatan dan pengamatan
langsung dari fenomena dan perilaku yang diteliti.
b. Wawancara
Wawancara ini merupakan percakapan langsung antara peneliti
dengan tokoh yang diwawancarai dengan disertai pertanyaan-pertanyaan
yang telah disiapkan oleh penulis sebelumnya. Wawancara ini ditujukan
kepada Prof. Dr. Din Syamsuddin.
c. Dokumentasi
Mengumpulkan data melalui dokumentasi seperti yang diambil
dari buku-buku, surat kabar, majalah, internet, dan lain-lainnya sebagai
5. Tekhnik Analisis Data
Dalam proses analisa data, penulis menggunakan analisa data deskriptif,
yaitu mengungkapkan data dan fakta secara alamiah dan objektif. Data yang
diteliti merupakan data yang dihasilkan dari observasi, wawancara dan
dokumentasi. Ketiga perolehan data tersebut dipadukan dan kemudian
dideskripsikan.
6. Pedoman Penulisan
Tata cara penulisan skripsi ini menggunakan pedoman yang berlaku di
lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan mengacu pada buku
Panduan Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) terbitan CeQDA 2007.
E. Tinjauan Pustaka
Mengamati dari bebarapa skripsi yang memperbincangkan dakwah Islam,
sampai saat ini belum didapatkan tema-tema yang mencakup studi perilaku
dakwah era modern ini, terutama kaitannya dengan pemahaman Gerakan Dakwah
Islam Modern. Tentu saja kajian ini sangat diperlukan di era sekarang ini,
mengingat banyaknya pemahaman ajaran Islam yang melahirkan kegiatan atau
aksi radikal dengan ideologi dakwahnya. Gerakan Dakwah Dalam Konteks Islam
Modern tidak hanya sebagai judul skripsi tetapi juga sebagai kajian konsisten
yang tentu akan mengisi dan melengkapi kepustakaan seputar wacana dakwah
kontemporer, yang tidak membatasi pada wilayah normatif saja tetapi lebih
komprehensif dan universal.
Adapun mengenai buku-buku ataupun penelitian yang pernah penulis
1. “Wacana Dakwah Kontemporer” karangan Abdul Basith, M. Ag diterbitkan oleh STAIN Purwokerto press dan Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
2. “Dutsur Dakwah Menurut Al-Qur’an” karangan Prof. Hasjmi, diterbitkan oleh Bulan Bintang Press, Jakarta.
3. “Psikologi Dakwah Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan yang Qur’ani”
karangan Totok Jumantoro, diterbitkan oleh Amzah press, Jakarta.
4. “Banishing Violence from the World: Faiths and Cultures in Dialogue”
Makalah Din Syamsuddin pada Pertemuan Internasional Tokoh Muslim
Dunia untuk Perdamaian, Naplez, 21-23 Oktober 2007
Salah satu buku karya Abdul Basith, M. Ag yang berjudul “Wacana Dakwah Kontomporer” merupakan bagian dari kajian ini. Isinya yang melengkapi referensi kajian pemahaman dakwah secara modern begitu menjadikan
pembacanya tahu bahwa dakwah Islam memiliki arti yang sangat luas, tidak
sebatas kegiatan mimbar dari satu masjid ke masjid yang lain. Tetapi melahirkan
ide dan gagasan baru dalam rangka menjalankan tugas manusia sebagai khalifah fil ardh. Begitu penulis menginginkan Prof. Dr. Din Syamsuddin sebagai pemikir Dakwah Islam Modern, maka kajian ini akan melibatkan beliau dengan perannya
sebagai pelaku dakwah yang memiliki wawasan kemodernan serta
institusi-institusi yang memiliki perhatian secara konsisten di bidang dakwah. Beberapa
karya yang lain seperti Syaikh Ali Mahfudz dalam Hidayatul Mursyadin-nya, Prof. Hasjmi dalam Dutsur Dakwah Menurut Al-Quran, beliau memberikan pesan
seiring zaman dan situasinya. Jadi, betapa pentingnya wawasan baru tentang
gerakan dakwah Islam modern.
Wacana ini juga merupakan apresiasi penulis sekaligus kritik atas apa
yang dikemukakan oleh Abdul Basith dalam Wacana Dakwah Kontemporer.
Beberapa pandangannya mengenai gerakan dakwah era modern telah memisahkan
antara refleksi nyata akibat aktivitas dakwah dengan aktivitas dakwah dalam
proses penyampaiannya. Jika refleksi nyata atas apa yang sedang terjadi, yaitu
modernisasi pemikiran Islam dewasa ini dijadikan belenggu bagi proses
perkembangan aktivitas dakwah maka dakwah itu sendiri akan hilang secara
perlahan dari aktivitasnya.7 Sedangkan secara garis besar, Islam telah
menggariskan kewajiban dakwah ini bagi umat Islam selama ia menjalankan
kehidupannya. Nampaknya aneh memang, jika konteks dakwah selalu
dikonotasikan dengan aktivitas mimbar atau rutinitas yang syarat akan kegiatan
hari besar Islam atau lebih dikenal dengan istilah PHBI (Peringatan Hari Besar
Islam) saja, maka sesungguhnya dakwah telah diberi arti yang sangat sempit.
Sesungguhnya dakwah merupakan aktivitas mengajak untuk berbenah diri
(sebagai insan) menuju kepada sesuatu yang baik dan lebih baik, bahkan secara
luas lagi dakwah diartikan sebagai transfomasi nilai-nilai sosial.
Meskipun demikian, Abdul Basith dengan sistematis telah menjabarkan
kelemahan-kelemahan da’i yang menyampaikan ajaran Islam dengan tidak
melihat aspek keberhasilan seta hambatannya. Tentu saja hal ini akan memberikan
makna positif bagi kelangsungan kajian dakwah baik dari segi teoritis maupun
7
praktisnya. Jika saja pesan itu tidak ada, maka para da’i akan merasa lepas-lalu
saja setelah memberikan materi dakwah di hadapan mad’u-nya.
Selain itu, ia juga telah memaparkan bagaimana menyusun strategi
dakwah agar tepat sasaran kepada masyarakat modern. Sepeti yang ia kutip dari
Larry Poston, bahwa terdapat dua bentuk strategi dakwah dalam gerakannya di
masyarakat, yaitu strategi Internal-Personal dan strategi External-Institutional.
Pada strategi pertama, fokus pembangunan atau pengembangannya adalah
individu. Seperti pada masyarakat modern yang selalu mengisi waktunya dengan
kesibukan urusan pekerjaan sehingga sangat minim waktu yang diluangkan untuk
memberikan perhatiannya kepada dakwah Islam. Sedangkan strategi yang kedua
memfokuskan pada institusi atau lembaga yang memiliki kapasitas untuk bidang
dakwah. Di Indonesia telah banyak berdirinya lembaga-lembaga dakwah Islam
dengan corak dan bentuk yang bermacam-macam, tetapi semuanya memiliki satu
tujuan yaitu membentuk pribadi dan masyarakat muslim yang baik. Walaupun
demikian, sering didapati gejolak perbedaan pendapat akan konsepsi dakwah yang
disampaikan, dank arena ini pulalah sering terjadi kesenjangan ideologi atau cara
pandang mereka masing-masing dalam hal dakwah.
Kemunculan paham-paham pemikiran Islam secara modern tentu saja akan
menjadikan dakwah Islam harus semakin luas dan memasuki ruang rasio
masyarakat modern. Di kalangan cendekiawan, beberapa pandangan dan
pemikiran Islam seperti Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan Gender
sudah menjadi kajian Islam secara komprehensif dan berimbang dalam kegiatan
dakwah, baik pada lembaga maupun individu. Kajian dan wawasan Islam modern
melanjutkan kajian-kajian Islam yang menurut mereka merupakan tradisi belajar
ulama-ulama klasik.
Aktivitas dakwah yang selalu menelusuri problematika masyarakat, tentu
saja harus memiliki integritas keilmuan yang matang untuk menjawab
permasalahan-permasalahan masyarakat muslim modern serta menjaga bagaimana
perbedaan cara berdakwah agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara sesama
muslim. Secara historis, dakwah yang dilakukan oleh Nabi saw. Selalu mengikuti
perkembangan dan situasi masyarakat. Beliau tidak penah mengikuti atas
kehendak serta kemampuannya untuk membumikan Islam. Padahal, baginya
sangatlah mudah untuk bisa menanamkan nilai-nilai aqidah pada masyarakat
Quraisy pada waktu itu. Tetapi beliau tetap melakukannya dengan penyesuaian
situasi dan kondisi serta kompetensi masyarakat yang diberikan dakwahnya.
Seyogyanya demikian, agenda dakwah pada masyarakat Indonesia,
khususnya dan ummat Islam pada umumnya harus disesuaikan dengan
kompetensi dan perilaku yang ada pada masyarakatnya. Jika melihat fenomena
yang terjadi hari ini adalah dakwah yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
maupun individu nampak terlihat dengan jelas arah dan tujuannya hanya
bersandar pada apa yang dipahaminya sebagai suatu kebenaran. Maka disini,
dilihat sudut pandang dan pengertian terhadap kajian komprehensif gerakan
dakwah yang selama ini dilakukan oleh masing-masing lembaga maupun
individu.
Maka, dengan demikian bentuk apapun yang dilakukan dan dirumuskan
pada setiap lembaga dakwah sebetulnya merujuk pada sumber ajaran Islam yaitu
berbeda-beda. Dan, akibat dari perbedaan itu timbullah perelisihan paham yang
kerap menimbulkan perselisihan ideologi, bahkan sampai pada tingkat kekerasan
fisik. Oleh karena itu, pemahaman universal terhadap gerakan dakwah sangat
diperlukan guna meminimalisir konflik perbedaan yang muncul.
Melihat sejenak karakter yang ditunjukkan oleh lembaga-lembaga dakwah
di Indonesia yang beragam dan komprehensif, menambah lengkap khazanah dan
pemikiran terhadap kajian dakwah. Perkuliahan yang memuat Ilmu Dakwah
sangat efektif jika kajian ini terus diberlanjutkan sampai terbentuk pandangan
masyarakat klasik maupun modern bahwa aktivitas dan gerakan dakwah
merupakan kewajiban kolektif sebagai tugas dan tanggung jawab ummat Islam.
Selain itu, pemahaman universal terhadap gerakan dakwah pun menjadi bagian
penting dari sisi keagamaan dan kebudayaan masyarakat Islam Indonesia.
Selain itu, Totok Jumantoro juga telah memberikan kontribusi penting
dalam kajian dakwah dewasa ini. Ia memaparkan aktivitas dakwah dari sudut
psikologinya. Dalam bukunya Psikologi Dakwah Dengan Aspek-aspek Kejiwaan
yang Qur’ani, ia menulis : “Aktivitas dakwah hakikatnya tidak jauh berbeda
dengan proses komunikasi. Sebab, pada dasarnya dakwah merupakan
penyampaian informasi agama atau penyebaran ajaran Islam melalui proses
komunikasi baik dengan personal approach, family approach, ataupun social approach”.8
8
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini mengikuti sistematika sebagai berikut :
BAB I : Merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
metodologi penelitian, kajian pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II : Membahas tentang tinjauan teoritis dari dakwah Islam yang meliputi pengertian gerakan dakwah Islam modern dan Isu-isu Islam
modern.
BAB III : Membahas tentang riwayat hidup Din Syamsuddin, meliputi latar belakang keluarga, pendidikan, serta aktivitasnya di bidang dakwah
yang meliputi pandangannya tentang dakwah Islam dan kemodernan.
BAB IV : Merupakan pembahasan tentang Gerakan Dakwah Dalam Konteks Islam Modern menurut Prof. Dr. Din Syamsuddin, yang meliputi tentang
dakwah Islam menghadapi isu-isu aktual, dakwah sebagai solusi krisis spiritual,
moral dan sosial bangsa, dakwah kultural dan struktural, serta format ideal
gerakan dakwah Islam modern.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Gerakan Dakwah Islam
1. Pengertian Gerakan Dakwah Islam
Memahami arti dari pada gerakan dakwah tidaklah cukup mengetahui kata
per kata saja melainkan dibutuhkan pula konteks pemahaman gerakan dakwah
secara partikular. Hal tersebut meliputi konteks zaman dan keilmuan. Secara
terpisah, kata gerakan dakwah tersusun dari dua kata yang masing-masing
memiliki arti berbeda. Kata gerakan memiliki arti perbuatan atau keadaan
bergerak1. Dalam istilah dakwah, gerakan dapat diartikan sebagai aktivitas
tindakan, berbuat menuju ke arah sesuatu yang memiliki nilai baik. Istilah ini
seringkali muncul pada suatu fenomena yang dianggap memiliki pengaruh kuat
bagi situasi ataupun lingkungan sekelilingnya. Sedangkan kata dakwah terambil
dari bahasa Arab, yaitu bentuk mashdar dari da’a-yad’u-da’watan yang berarti seruan, panggilan2. Kata dakwah seringkali diistilahkan sebagai suatu ajakan
kepada manusia untuk menuju kepada kebaikan dan kebahagiaan dunia dan
akhirat. Syaikh Ali Mahfudz dalam kitabnya Hidayatul Mursyidin menjelaskan bahwa dakwah memiliki arti :
ﻦ
ﻲﻬﻨ او
فوﺮ ﺎﺑ
ﺮ ﻻاو
ىﺪﻬ او
ﺮﻴﺨ ا
ﻰ
سﺎﻨ ا
ﺚﺣ
ﺎ ﺴﺑ
زﻮﻔﻴ
ﺮﻜﻨ ا
ﺟﻻاو
ﺟﺎ ا
ةد
1
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007) Cet. 4
2
Artinya : Mendorong (memotivasi) manusia untuk melakukan kebaikan dan mengikuti petunjuk, memerintahkan mereka berbuat ma’ruf dan mencegahnya dari perbuatan munkar agar mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.3
Dakwah dalam Islam juga memiliki arti mengajak, mendorong dan
memotivasi orang lain berdasarkan bashirah untuk meniti jalan Allah serta berjuang bersama meninggikan agama-Nya. Dikatakan bahwa ajakan ataupun
seruan yang dimaksud dari pengertian dakwah Islam ini merupakan suatu
tindakan komunikasi antara yang mengajak (da’i) dengan yang diajak (mad’u).
Dan tentu saja isi materi ajakannya adalah jalan menuju Allah serta
kebaikan-kebaikan yang diajarkan-Nya melalui kitab suci Al-Quran. Meskipun demikian,
telah banyak pengertian dakwah Islam yang semuanya akan menjadikan
pengertian tersebut di atas kuat dan memiliki kesamaan maksud, diantaranya
adalah :
- Prof. Hasjmi (1974) menjelaskan bahwa “dakwah Islamiyah itu mengajak
orang untuk meyakini dan mengamalkan akidah dan syariah Islamiyah
yang terlebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah
sendiri”.4
- Prof. Dr. Abu Bakar Aceh (1971) menulis : “Dakwah ialah perintah
mengadakan seruan kepada semua manusia untuk kembali dan hidup
sepanjang ajaran Allah yang benar, dilakukan dengan penuh kebijaksanaan
dan nasihat yang baik”.5
3 Syaikh Ali MAhfudz, Hidayatul Mursyidin, (Kairo: Daarul Qutub al-Arabiyah, 1952)
4
Prof. Hasjmi, Dutsur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974)
5
- Toha Yahya Oemar (1976) mengatkan bahwa “dakwah adalah mengajak
manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan
perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan
akhirat”.6
- Drs. H.M. Arifin, M. Ed (1977) memberi batasan dakwah dengan pengertian :
“sebagai suatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku, dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain baik secara individual maupun secara kelompok agar supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap, penghayatan, serta pengamalan terhadap ajakan agama sebagai message yang disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya unsur-unsur paksaan.”7
Pengertian-pengertian tersebut di atas senantiasa mengisyaratkan suatu ajakan
kepada manusia untuk menuju kepada jalan yang dikehendaki Allah SWT. Maka,
dapat diambil pengertian dakwah Islam secara istilah yaitu mengajak, menyeru,
memotivasi manusia untuk menuju ke jalan yang dikehendaki Allah SWT. Serta
menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar agar tercapai kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.
Pada tahun 1873, Max Muller, seorang intelektual Barat telah
memperkenalkan sistem klasifikasi agama, yaitu agama terbagi menjadi dua
kategori : agama dakwah (missionary) dan agama non-dakwah (non-missionary).8 Klasifikasi tersebut telah memberikan arti dakwah sebagai tabligh dan juga
sebagai pengelolaan dan pengajaran ajaran Islam. Jadi, dapat dikatakan bahwa
6
Thoha Yahya Umar, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1971)
7
Drs. Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan Yang Qur’ani,
(Jakarta : Amzah press, 2001), cet.1, h.18
8
dalam konteks keagamaan, dakwah memiliki makna sebagai tabligh, tatbiq, dan juga tandhim. Tabligh berarti penyampaian, tatbiq berarti pengamalan dan
tandhim berarti pengelolaan.9 Ketiga anashir tersebut haruslah berjalan seirama agar dapat memenuhi kelengkapan dan kesempurnaan gerakan dakwah Islam.
Setelah melakukan penelaahan terhadap pengertian-pengertian dakwah
Islam, maka istilah gerakan dakwah memiliki posisi yang sangat penting dengan
pengertian dasar dakwah Islam. Gerakan dakwah Islam diartikan sebagai aktivitas
dakwah Islam seseorang atau kelompok yang dilakukan melalui individu maupun
institusi kepada ummat untuk mencapai keberhasilan menyampaiakan ajaran
Allah SWT.
2. Pola-pola Gerakan Dakwah Islam
Seringkali kita melihat fenomena dakwah di masyarakat yang selalu
mengkaitkan kegiatan dakwah dengan ceramah tabligh melalui mimbar. Ceramah
tabligh merupakan salah satu dari bentuk-bentuk aktivitas dakwah Islam, namun
bukanlah satu-satunya bentuk dakwah yang ada di dalam kegiatan dakwah.
Persepsi yang telah sekian lama melekat di masyarakat tersebut tidaklah salah,
akan tetapi perlu adanya evaluasi terhadap masyarakat untuk tidak selalu
mengkonotasikan kegiatan dakwah sebagai ceramah tabligh.
Selain dari pada itu, gerakan dakwah Islam memiliki pola-pola yang
mengemas aktivitas dakwah menjadi teratur, terencana dan tercapai. Dr. Yusuf
Qardhawi dalam bukunya yang berjudul Retorika Islam, menjelaskan :
“Dakwah kepada Allah dapat dilakukan dengan menulis buku-buku, mempresentasikan ceramah-ceramah di perguruan tinggi atau pusat
9
keilmuan, atau menyampaikan khutbah Jumat, pengajian dan pengajaran agama, di masjid dan tempat-tempat lain. Dan, ada juga yang melakukan dakwah dengan kalimat Thayibah, pergaulan yang baik dan keteladanan. Dan ada lagi, orang yang berdakwah dengan menyediakan fasilitas-fasilitas material demi kemaslahatan dakwah; memberi infak untuk para dai, atau menyebarkan produktivitas dakwah, atau membangun pusat aktivitasnya.”10
Begitu banyak bentuk-bentuk dakwah yang bisa dilakukan oleh setiap
orang ataupun kelompok. Dan tidak juga harus menjadi pelaku dakwah tetapi
pendorong dan penyedia sarana dakwah pun bisa dikatakan berdakwah. Dalam
ceramahnya pada penyelenggaraan Muktamar ke-VI menteri-menteri wakaf dan
urusan Islam di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 1997, Abdullah Ibn Abdul
Muhsin Atturki11 mengungkapkan prinsip-prinsip serta pola dalam berdakwah,
antara lain :
- Hanya menyembah Allah semata
Ia percaya bahwa berdakwah dengan mengikuti pola-pola Nabi Muhammad
SAW. maka akan tersyiar kebaktian kepada Allah SWT. semata. Tidak ada
yang lain selain diri-Nya. Dengan hanya karena Allah SWT, maka dakwah
Islam dimanapun, kapanpun, dalam situasi apapun akan berjalan dengan
harapan dan kejayaan.
- Percaya dengan teguh kepada Al-Qur’an.
Selain ikhlas berdakwah karena Allah SWT. semata, Abdullah Ibn Abdul
Muhsin Atturki juga menegaskan untuk selalu percaya teguh pada
Al-Qur’an, kemudian Sunnah serta tata hukum yang dihasilkan para imam dan
10
Yusuf Qardhawi, Retorika Islam, terj. Abdillah Noor Ridho, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004)
11
mujtahid terdahulu. Menurutnya, ini akan menjadikan dakwah Islam
memiliki kekuatan hukum dan sumber materi dakwah yang jelas dan tidak
ada keraguan.
- Ketulusan, kerendahan hati dan kehalusan budi.
Seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad saw. ketika beliau berdakwah
senantiasa menunjukkan sikap ketulusan dan kerendahan hati serta
kehalusan budi. Dengan demikian, dakwah Islam akan menjadi santun dan
dengan mudah diterima oleh masyarakat.12
Berdasarkan pola-polanya, gerakan dakwah Islam memiliki
macam-macam bentuk dalam pelaksanaannya, antara lain :
a. Dakwah Bil Hal
Sejalan dengan yang disampaikan Allah SWT. dalam QS. An-Nahl (16) :
125 bahwa dakwah dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti dengan Hikmah,
Ketauladanan serta Berdialog (Mujadalah). Beberapa peristiwa penting dalam sejarah dakwah Nabi Muhammad saw. telah menggariskan bahwa pencapaian
dakwah memiliki tugas dan fungsi dalam pembinaan ummatnya atau yang disebut
dengan mad’u. Salah satu tugas dan fungsi pencapaian dakwah yang telah
Rasulullah saw. contohkan adalah penegakan persatuan dan kesatuan ummat.
Pembentukan kesatuan ummat telah menjadi tujuan dakwah, dan hal ini telah
terjadi sejak zamannya dakwah Rasulullah saw. sampai sekarang. Rasulullah saw.
sebagai seorang Nabi juga sebagai seorang kepala negara. Beliau membangun
pemerintahan di kota Yatsrib sesudah beliau meninggalkan kota tersebut dan
12
berpindah menuju kota yang hendak disampaikannya ajaran Islam. Di kota
Yatsrib Rasulullah saw. telah membentuk suatu pemerintahan yang memiliki
tentara, perwakilan diplomatik, peraturan-peraturan, serta dutsur dan majelis
syura’. Dakwah yang dilakukan Rasulullah saw. tidaklah menggunakan cara-cara
kekerasan ataupun paksaan melainkan dengan halus dan mengutamakan
kesantunan. Orientasi dakwah Rasulullah adalah untuk menyatukan ummat dari
perpecahan dan memeluk agama Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Dengan demikian, setiap orang akan memperoleh kemerdekaan penuh untuk
memeluk agama yang diinginkannya. Oleh karena itu, Allah SWT. berfirman di
dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah,2:256 :
⌧
☺
☺
⌧
¸
Artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut13 dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah, 2:256)
Rasulullah saw. selalu menganjurkan dakwah Islam dilakukan dengan
jalan damai dan penuh toleransi sesama ummat manusia. Nampaknya, anjuran
beliau kini sudah banyak yang telah melupakannya sehingga yang ada hanyalah
egoisme kelompok dan tidak jarang kita menemukan aksi dakwah yang cenderung
13
provokatif dan mengadu domba. Sebagai ummat nabi Muhammad SAW. kita
harus senantiasa menjaga dan melestarikan cara berdakwah yang dicontohkan
nabi. Dakwah-dakwah yang pernah dilakukan Nabi Muhammad saw. sangatlah
dekat dengan ummat dan mengutamakan perdamaian sehingga Islam tumbuh di
hati para pemeluknya sebagai agama yang ramah, damai, selamat, serta saling
menghargai.
Dakwah bil hal disebut juga sebagai dakwah dengan memberikan contoh suri tauladan (mau’idzoh) yang baik kepada masyarakat. Pada hakekatnya,
dakwah bil hal merupakan pola singkat, tidak sulit dan mudah dilakukan di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Pada prinsipnya dakwah bil hal adalah suatu keharusan yang dilakukan oleh setiap dai. Karena dalam setiap menyampaikan
dakwah Islam kepada masyarakat, seorang dai harus lebih dulu mengamalkan dan
mencontohkannya kepada masyarakat yang didakwahinya.14 Meminjam istilah
Abdul Basith, dakwah bil hal juga merupakan kajian utama dari pengembangan masyarakat Islam.15 Maka di perguruan tinggi Islam terdapat studi Pengembangan
Masyarakat Islam (PMI) pada fakultas dakwah dan komunikasi sebagai agenda
pengembangan pola dakwah Islam dalam bentuk bil hal. Selain itu ia merupakan pola gerakan dakwah yang menonjolkan amal saleh.
b. Dakwah Bil Qalam
Pola gerakan dakwah Islam yang termuat dalam bentuk dakwah bil qolam
memiliki kriteria yang berbeda dengan pola-pola lainnya. Pertama, dakwah bil
14 Drs. Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan Yang
Qur’ani, (Jakarta : Amzah press, 2001)
15
qolam tidak bisa dilakukan oleh semua kalangan. Hanya kalangan tertentu saja yang dapat melakukannya, seperti akademisi, guru, penulis buku, cendekiawan,
ulama, serta orang-orang yang memiliki kemampuan dalam berbahasa tulisan.
Karena caranya menggunakan tulisan, dakwah bil qolam pun tidak bisa didapat oleh semua kalangan, apalagi pada masyarakat pedesaan yang jauh dari
perkembangan teknologi informasi.
Pola gerakan dakwah bil qolam biasanya lebih banyak dilakukan pada masyarakat urban, di kota-kota besar dan pada masyarakat modern, yang sudah
dimasuki perkembangan teknologi dan informasi. Bentuk dan jenisnya bisa
bermacam-macam, antara lain ; buku, majalah, surat kabar, internet, dan
semacamnya.
Kedua, dakwah bil qolam tidak memiliki dampak ke semua lini. Hal ini disebabkan tidak lain adalah karena dakwah bil qolam lebih beredar dan dilakukan oleh masyarakat terbatas saja. Seperti pada masyarakat kota,
perumahan, dan semacamnya. Dan, sebaliknya ia tidak beredar di masyarakat
tradisional, pedesaan, dan tempat-tempat yang jauh dari perkembangan teknologi
informasi. Ketiga, pola ini memiliki struktur penerima (mad’u). Tidak semua
masyarakat kota memiliki akses informasi yang cepat meskipun faktor
teknologinya sangat mendukung. Hal ini bisa saja terjadi karena faktor kemauan
dan kesadaran individu yang rendah untuk membaca dan menggali informasi.
Dan, masyarakat kota semacam ini lebih suka mendengarkan dari pada membaca,
seperti halnya masyarakat tradisional.
Di zaman Rasulullah saw. dakwah dengan model seperti ini seringkali
Kaisar Romawi Herkules, Qubaz kisro Persia dan Negus kaisar Etiopia. Itu
artinya, Rasulullah saw. menggunakan pola dakwah seperti ini hanya untuk
kalangan tertentu saja, tidak semua masyarakat diberikan dakwah dengan cara ini.
Melalui cara demikian, Rasulullah saw. bisa berhasil meluluhkan hati para raja
untuk memeluk agama Islam.16
Meskipun sangat terasa dampak positifnya bagi masyarakat kota (red.
modern), dakwah bil qolam justeru tidak memiliki tempat di masyarakat pedesaan (tradisional). Hal ini pulalah yang menjadikan perbedaan masyarakat kota dan
masyarakat desa dalam berdakwah sehingga pada masyarakat desa cenderung
memahami dakwah sebagai aktivitas ceramah tabligh, karena itulah dakwah bil qolam tidak memiliki pengaruh secara merata bagi semua kalangan.
c. Dakwah Bil Lisan
Dakwah bil lisan disebut juga sebagai dakwah bil qaul. Aktivitasnya yang selalu menggunakan komunikasi lisan, dakwah semacam ini sering kali ada di
majelis taklim, masjid-masjid, khutbah hari raya, khutbah Jumat, dan
semacamnya.
Dakwah bil lisan ini merupakan pola yang sering digunakan untuk berdakwah di tengah kehidupan masyarakat. dakwah bil lisan memang bisa dilakukan di semua kalangan masyarakat. baik masyarakat kota maupun
masyarakat desa, modern maupun tradisional. Akan tetapi, dakwah semacam ini
pun tidak bisa dilakukan dengan sembarang bicara. Rasulullah saw.
menyampaikannya dalam sebuah hadits shahih :
16
ﻢﳍﻮ
رﺪ
ﻰ
سﺎ ا
اﻮﺒﻃﺎﺧ
“Ajaklah manusia berbicara sesuai dengan tingkat pemahamannya”
Dari sabda Nabi Muhammad saw. tersebut, dapat diambil sebuah kesimpulan
yaitu setiap masyarakat memiliki kadar pemahaman atas sesuatu. Hal ini akan
berpengaruh pada pola dakwah Islam yang menggunakan metode ceramah. Maka
dari itu, penyesuaian terhadap masyarakat (mad’u) sangatlah penting guna
mencapai tujuan dakwah secara baik dan merata. Dalam kaitannya, Allah SWT.
berfirman dalam Qur’an surat Ibrahim, : 4 :
Artinya : “Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya17, supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (QS. Ibrahim, 14:4)
Dari keterangan-keterangan Rasulullah saw. serta firman Allah SWT. di dalam
Al-Qur’an memberitahukan kepada siapa saja yang melakukan dakwah Islam
haruslah menyesuaikan dengan kemampuan si penerima dakwahnya (mad’u).
Sehingga pencapaian dakwah dapat berjalan dan terlaksana sesuai dengan
tujuannya.
Pola gerakan dakwah Islam seperti ini telah banyak dilakukan oleh
berbagai kalangan. Dari mulai guru, politisi, pengusaha, akademisi dan juga
profesional. Mereka semua menggunakan pola dakwah ini dalam keseharian dan
aktivitas mereka. Melalui penyampaian lisan, seorang da’i dapat dengan langsung
berdialog dengan para jamaahnya. Sehingga para jamaahnya pun dapat secara
langsung menerima pesan dari da’i nya, dan jika ada sesuatu yang tidak dipahami
17
mad’u, maka mad’u dapat dengan langsung bertanya kepada da’i nya. Pola ini
banyak digunakan oleh para da’i dalam menyampaikan ajaran Islam.
3. Gerakan Dakwah Islam Klasik dan Islam Modern
a. Gerakan Dakwah Islam Klasik
Periode dakwah Islam klasik dimulai sejak abad ke-18 sampai abad ke-19.
Pada waktu itu, pesantren merupakan pusat kegiatan dakwah yang sering
digunakan sebagai media dakwah oleh masyarakat Islam. Selain sebagai pusat
transformasi ilmu-ilmu agama, pesantren juga sebagai tempat dakwah dan
musyawarah bagi masyarakat.
Dari lingkungan terbatas di pesantren, orang dapat melihat perkembangan
Islam di Indonesia dalam bentuk gerakan yang terorganisasi dan terlembagakan
yang mendasari munculnya gerakan-gerakan keagamaan yang lebih besar lagi di
awal abad ke-20. Di akhir abad ke-19, gerakan-gerakan keagamaan yang lahir dari
pesantren maupun dengan perkembangan literatur Islam, maka Islam Indonesia
menjadi lebih baik dan berada pada tahap menuju kemurniannya, sebagaimana
yang diajarkan oleh sumber-sumber doktrin yang asli.
Gerakan dakwah Islam klasik tidak serta merta menempatkan pesantren
sebagai pusat dakwah. Selain itu, kesenian dalam tradisi masyarakat jawa seperti
wayang golek, syair-syair jawa, serta adat istiadat masyarakat Indonesia juga
dijadikan sebagai media dakwah Islam pada saat itu.
b. Gerakan Dakwah Islam Modern
Seiring dengan pekembangan zaman dan pola pikir masyarakat muslim di
abad ke-20 ini telah melahirkan suatu peradaban baru, zaman baru di dunia Islam
dengan kompleksitas literatur-literatur Islam yang tidak hanya mengkaji Islam
dari sisi syariat dan ibadah saja tetapi juga teologi, filsafat, tasawuf, moralitas, dan
lain-lainnya.
Perkembangan Islam di abad ke-20 ini telah banyak melahirkan paradigma
baru yang bekaitan dengan gerakan pemurnian agama atau yang disebut sebagai
purifikasi Islam. Maka kemudian, cita-cita dakwah Islam pun harus mampu
menjadi pelopor dalam rangka purifikasi Islam tersebut.
Di Indonesia, gerakan dakwah Islam modern ditandai dengan agenda
sosial politik yang oleh kalangan modernis diakui sebagai suatu jalan menuju
masyarakat yang berkeadilan, sejahtera, pluralis, demokratis, rasionalis, inklusive
dan toleran.18 Ada tiga agenda penting dalam gerakan dakwah Islam modern,
yaitu :
1. Membentuk Masyarakat Madani
Prof. Dr. Azyumardi azra menyebut masyarakat madani atau “civil society” sebagai agenda penting pasca orde baru. Bahwa kondisi Islam saat ini tengah berada pada kemajuan juga sekaligus kemunduran. Masyarakat Islam di
Indonesia hari ini mengalami kemajuan dalam hal berpikir, berperadaban dan
berkemanusiaan tetapi sedang mengalami kemunduran pada sisi ekonomi, politik
dan sosial. Setelah kurang lebih selama 32 tahun gerakan-gerakan Islam di
Indonesia merasa terkunci dalam lubang kekuasaan orde baru, maka setelahnya
Islam kembali muncul dengan berbagai macam bentuk wajahnya. Hal ini
18
disebabkan akibat dari tekanan penguasa orde baru terhadap gerakan-gerakan
Islam. Dalam hal ini Prof. Dr. Azyumardi Azra menjelaskan :
“The Soeharto new order regime at least in the period of 1970’s and 1980’s was not on good terms with muslims political forces in general. In fact, there was a lot of mutual suspicion and hostilities between the two sides, president Soeharto took very harsh measures against any expression of Islamic extremism. But at the same time, it is widely believed that certain military generals such as Ali Murtopo and Benny Murdani recruited ex DI/TII to form “Komando Jihad” (Jihad Command), conducting subversive activities, in order to discredit Islam and Muslims.”19
(Rezim Orde Baru Soeharto di akhir masa 1970 dan 1980 secara umum telah berada pada kondisi kekuatan politik ummat Islam yang tidak baik. Sebenarnya terdapat banyak saling kecurigaan dan permusuhan diantara kedua pihak, Presiden Soeharto mengambil langkah keras melawan ekspresi Islam garis keras. Tetapi pada saat yang sama, Presiden Soeharto mempercayai penuh bahwa jenderal militer yang dapat dipercaya seperti Ali Murtopo dan Benny Murdani telah direkrut mantan DI/TII untuk membentuk Komando Jihad, melaksanakan aktivitas gerakan bawah tanah, dengan maksud mendiskreditkan Islam dan masyarakatnya.)
Sangat terlihat tajam pada kekuasaan orde baru pada saat itu gerakan Islam yang
kerap dianggap menghalau jalannya kekuasaan maka spontanitas dilakukan
penghentian oleh kekuatan Soeharto. Jadi, aktivitas dakwah Islam pun menjadi
rapuh dan tidak memiliki ruang bebas di hadapan publik.
Konsep masyarakat madani tentu saja dekat dengan historikal intelektual
dan sosial Eropa Barat. Wacana ini di Indonesia kemudian disebut sebagai
masyarakat madani, yang menekankan pada penolakan terhadap segala jenis
otoritarianisme dan totalitarianisme.20 Pada era orde baru, di Indonesia memang
dikenal sebagai era pengekangan terhadap gerakan-gerakan sosial politik
19
Azyumardi Azra, Contemporary Islamic Militant Movements In Indonesia, makalah Simposium Internasional, Institute Of Asian Culture Studies, Tokyo, 2005.
20
Hendro Prasetyo, dkk., Islam dan Civil Society; Pandangan Muslim di Indonesia,
masyarakat yang dilakukan oleh penguasa. Dan tentu saja berpengaruh pada
proses pembentukan masyarakat madani sebagai bagian dari upaya kalangan
modernis untuk menunjukkan kearifan dan keragaman kerukunan beragama dan
berbangsa di Indonesia ini.
Pergumulan wacana civil society di Indonesia menjadikan masyarakat muslim sangat penting untuk dipertimbangkan, karena ia adalah salah satu
kelompok agama mayoritas di Indonesia. Oleh karena itu, upaya pengembangan
civil society di Indonesia tidak lepas dari peranan ummat Islam. Ummat Islam merupakan basis perubahan politik dan sosial di Indonesia, dan ia pun memiliki
potensi sangat besar dalam menentukan format dan kehidupan politik di
Indonesia. Apalagi melalui jalur lembaga-lembaga dakwah yang dianggap sebagai
kendaraan pilihan masyarakat Indonesia dalam membentuk kesejahteraan
masyarakat selain partai politik.
Civil society merupakan agenda dakwah Islam dikarenakan untuk menekan angka kemajuan dan kesejahteraan masyarakat muslim khususnya dan
masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini tidak lepas dari peranan para da’i
sebagai bagian dari unsur pelaksanaan dakwah. Dengan memasukkan materi
tersebut sebagai bahan informasi menuju masyarakat berkeadilan, sejahtera,
pluralis, demokratis, rasionalis, dan sebagainya.
Gerakan civil society yang terus diwacanakan ini telah menadapatkan perhatian banyak kalangan, diantaranya adalah Nucholish Madjid, M. Dawam
Rahardjo, Amien Rais, Kuntowijoyo, Abdurrahman Wahid, Din Syamsuddin serta
tokoh-tokoh lainnya. Lalu kemudian, mereka merumuskannya kembali dalam
mengupayakan untuk menyebarkan visi dari masyarakat madani tersebut
diantaranya adalah membentuk masyarakat muslim menjadi modern, rasional,
cerdas.
2. Melembagakan kegiatan dakwah (Institutionalized)
Bahwa dakwah yang dilakukan kalangan muslim abad 20 ini telah
memasuki dinamika kehidupan yang kompleks dan syarat akan nilai-nilai agama
dan budaya. Jika pada periode klasik pesantren dijadikan sebagai pusat kegiatan
dakwah, maka hari ini dakwah Islam telah mendapatkan banyak tempat untuk
mengembangkan dan menyebarluaskan aktivitasnya. Tidak hanya melalui
pesantren tradisional saja tetapi juga pada pesantren-pesantren modern, atau
bahkan pada lembaga-lembaga yang dengan sengaja dikhususkan sebagai pusat
kegiatan dakwah Islam. Seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII),
Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama
(LDNU), Majelis Tarjih Muhamadiyah, dan organisasi-organisasi lainnya yang
memiliki visi-misi dakwah Islam.
Selain dari pada itu, dakwah Islam kini tengah memasuki pada aspek
kajian akademik. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya Fakultas Dakwah di
berbagai perguruan tinggi Islam, baik negeri maupun swasta. Upaya untuk
melembagakan kegiatan dakwah Islam merupakan aplikasi dari Al-Qur’an Surat
Al-Mudatsir (74) ayat 1-7 :
☺
Artinya : “Hai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu berilah peringatan!. Dan Tuhanmu agungkanlah!. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.”(QS. Al-Mudatsir, 74:1-7)
Ayat tersebut di atas merupakan bekal dakwah Rasulullah saw. untuk yang
pertama kalinya. Dakwah Rasulullah saw. pertama kali diawali dengan cara
sembunyi-sembunyi kurang lebih selama tiga tahun.21 Setelah itu, baru kemudian
Rasulullah mendapat wahyu berikutnya untuk menjalankan dakwah Islam dengan
terang-terangan :
☺
☺
Artinya : “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Hijr, 15:94)
Perintah dakwah Islam tersebut selanjutnya diemban oleh Rasulullah saw. selama
dua puluh tahun.22
Oleh karena itu, dakwah Islam harus sudah berada pada tingkat
profesionalitas.23 Surat Al-Mudatsir dan surat Al-Hijr tersebut memberikan pesan
bahwa dakwah Islam harus mengalami kemajuan seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan perkembangan zaman. Mula-mula Allah memerintahkan dakwah
kepada Nabi Muhammad saw. dengan sembunyi-sembunyi lalu kemudian
memerintahkannya dengan terang-terangan. Artinya, bahwa kegiatan dakwah
21
Muhammad Abu Al-Fath Al-Bayanuni, Al Madkhal Ila ‘Ilm Ad Da’wah, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1991), h. 76
22
Abdul Basith, M. Ag, Wacana Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: STAIN Purwokerto press dan Pustaka Pelajar, 2005), h. 34
23
dewasa ini akan lebih terarah dan tercapai tujuannya melalui lembaga dakwah
yang terorganisasi. Dengan demikian, kegiatan dakwah di era modern ini akan
lebih sempurna dan terencana jika ada lembaga yang secara konsisten
mengarahkan dakwah Islam.
3. Transformasi Sosial (social transformation)
Selanjutnya adalah dakwah Islam sebagai transformasi kehidupan sosial.
Dakwah Islam memang tidak lepas dari perundingan sosial, dimana setiap
gerakan yang digelontorkan akan membentuk suatu pola dan tatanan kehidupan
masyarakat. Ini merupakan agenda khusus lembaga-lembaga dakwah dalam
upayanya menjadikan masyarakat sejahtera, adil dan takwa kepada Allah SWT.
Sisi lain dakwah sebagai transformasi sosial adalah dapat membentuk
etika dan moral masyarakat menjadi baik dan saling menjadi tauladan. Di dalam
suatu masyarakat terdapat beberapa orang yang dipandang sebagai “public
opinion” atau sebagai tokoh masyarakat. Seseorang yang dipandang berpengaruh
di masyarakat memiliki potensi untuk menyampaikan pesan-pesan agama. Maka,
kebanyakan orang menyebutnya sebagai ustadz, kiyai atau yang lebih umum lagi
adalah tokoh masyarakat.
Dakwah sebagai transformasi nilai-nilai sosial dikarenakan materi dakwah
sangat dekat dengan problematika umat dan bangsa. Proyeksi kemudian adalah
terbentuknya pribadi muslim yang taat beragama dan selalu menjalankan perintah
Allah SWT. melalui aktivitas dakwah inilah kemudian terpancar energi positif
yang membentuk sifat, karakter dan kebiasaan masyarakat yang baik, dan akan
saling menjadi bagian satu sama lainnya di masyarakat. Jika ini sudah terlaksana
telah digariskan dalam khittah dakwah nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadits yang menyatakan :
سﺎ
ﻢﻬ ﻔ أ
سﺎ ا
ﲑﺧ
“Sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi manusia lainnya”.
B. Islam Modern Dan Isu-Isunya
1. Pengertian Islam Modern dan Cita-citanya
Kemunculan kaum modernis dalam Islam sebenarnya merujuk pada
polarisasi model keberagamaan dalam Islam yang mengemuka pada pergantian
abad ke-19. Islam modern ini berasal dari gerakan sosial-politik dan keagamaan
yang diprakarsai oleh Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid
Ridha di Mesir. Mereka melakukan modernisasi terhadap Islam disebabkan
karena mereka ingin membebaskan ummat Islam dari penjajahan Barat24.
Kemudian, untuk meneruskan cita-cita gerakan Jamaludin Al-Afghani, maka
Abduh melakukan reformasi terhadap paham keagamaan yang telah dipraktikkan
oleh sebagian besar masyarakat muslim. Sedangkan Rasyid Ridha yang juga
sebagai murid dari Muhammad Abduh menjabarkan ide-ide kedua pendahulunya
itu kedalam sesuatu yang lebih bersifat praktis. Seperti pendidikan, ekonomi,
kesehatan dan sebagainya.
Modernisasi yang telah dilakukan oleh al-Afghani, M. Abduh dan Rasyid
Ridha tersebut sebenarnya bukanlah suatu gerakan baru. Dua nama besar yakni
Taqiyuddin dan Ibn Taimiyyah juga telah melakukan reformasi Islam
sebelumnya. Kedua tokoh ini telah merevisi paham keagamaan yang dipraktikkan
24
oleh sebagian besar masyarakat muslim pada masanya. Gerakan pembaharuan
(tajdid) yang mereka lakukan itu terletak pada upaya mengevaluasi paham keagamaan yang ada dalam rangka menemukan titik-titik kelemahan, baik berupa
penyimpangan, ketidaksesuaian serta pencampuradukan dengan unsur-unsur dari
luar Islam, kemudian ditetapkannya sebagai bentuk islah agama yang berada pada
garis yang benar. Berangkat dari pemikiran kedua tokoh tersebut, kritik dan
sangkalan-sangkalan pun muncul sebagai gerakan purifikasi Islam. Gerakan ini
dibangun oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Ia menilai kerangka modernisasi
Islam yang dilakukan oleh kalangan tersebut di atas adalah bentuk
penyimpangan-penyimpangan baru sepanjang sejarah Islam. Gerakan yang diprakarsai oleh
Wahhab ini kemudian dikenal sebagai gerakan Wahhabiah, atau masyarakat
Indonesia menyebutnya sebagai kaum Wahhabi. Abdul Wahhab menyerang
praktik-praktik keagamaan popular seperti pemujaan terhadap guru-guru sufi,
taqlid atau tawassul. Menurut gerakan dan konsep yang dibangunnya praktik keagamaan semacam itu telah melenceng dan patut dikatakan bid’ah, karena telah menyebabkan degradasi moral. Maka, pendapatnya menganjurkan kepada ummat
Islam pada waktu itu untuk tidak tenggelam dalam suasana tahayyul dan khurafat. Gerakan yang dibawa oleh Abdul Wahhab ini telah mendapatkan dukungan politis
dari penguasa Dariyah, Saudi Arabia yakni Muhammad ibn Saud. Maka, Abdul
Wahhab menyebarkan gagasan-gagasannya dengan keras, bahkan keduanya tidak
segan-segan mengerahkan kekuatan militer untuk melawan mereka yang dianggap
Wahhab tersebut berhasil menguasai sebagian besar Jazirah Arab, bahkan gerakan
ini telah menjadi aliran keagamaan yang resmi di kerajaan Arab Saudi25.
Sementara, yang terjadi di Indonesia bahwa Islam modern tumbuh dan
berkembang tidak jauh akibat dari pergulatan wacana Islam di Timur Tengah.
Akan tetapi tidaklah sepenuhnya sama pemikiran Islam modern di Indonesia
dengan para tokoh modernis di Timur tengah. Pada awal abad ke-19 khazanah
Wahhabiah dan Ibnu Taimiyah telah memasuki Indonesia, dan akibat dari
munculnya beberapa paham keagamaan modern ini, muncul pergolakan
sosial-politik di Indonesia. Hal tersebut didasarkan atas pemahaman masyarakat muslim
di Indonesia yang dipengaruhi oleh tradisi dan budaya. Sebagian masyarakat
menilai bahwa Islam yang digariskan oleh pemikiran Wahhabiah dan Ibnu
Taimiyah adalah bentuk pergeseran budaya bangsa serta arabisasi Islam di
Indonesia. Sedangkan yang berbeda dengan kelompok tradisional tersebut
memandang Islam modern Wahhabi dan Ibnu Taimiyah adalah bentuk pemurnian
ajaran Islam dalam perihal ibadah, syari’ah dan muamalah.
Di tengah semakin derasnya arus pemikiran Islam modern di kalangan
intelektual muslim di Indonesia, melahirkan beberapa pandangan baru terhadap
modernisasi Islam dengan tidak mengusik tradisi dan budaya bangsa. Salah satu
contoh adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1912, Muhammadiyah, telah
menggariskan secara komprehensif bahwa Islam modern pada prinsipnya
memiliki cara beragama dengan mengutamakan akal, menentang taqlid,
menganjurkan Ijtihad, kembali pada Qur’an dan Hadits, anti tahayyul, bid’ah dan
khurafat. Ciri-ciri tersebut juga merupakan cara pandang Islam modern menurut
25
Muhammad Abduh, tetapi dalam perbandingannya kaum Muhammadiyah lebih
senada dengan kaum Wahhabi ketimbang M. Abduh. Sebagai organisasi Islam
modern terbesar di Indonesia, Muhammadiyah memiliki Majlis Tarjih, yang secara khusus menangani persoalan keagamaan26.
Selain sebagai paham keagamaan, istilah tradisionalis-modernis juga
dipandang sebagai identitas budaya. Tentu saja ini merupakan dimensi
non-keagamaan, dan nampaknya lebih penting diperhitungkan dalam polarisasi
tradisionalis-modernis27. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern
terbesar di Indonesia memulai aktivitasnya bukan pada sisi keagamaan, melainkan
sosial, pendidikan, dan ekonomi. Hal ini telah dibuktikan dengan hasil karyanya
seperti panti asuhan, sekolah-sekolah, rumah sakit, poliklinik, universitas dan
koperasi masyarakat.28 Munculnya paradigma Islam modern ini diukur dari
keadaan ummat Islam yang pernah terjajah oleh bangsa-bangsa Eropa. Apalagi
bagi mereka yang pernah merasakan kejayaan Islam, maka akan merasa seperti
diinjak-injak bahkan hilang harga dirinya karena ummat Islam tengah dijajah oleh
bangsa Eropa.
Islam modern yang dibangun atas dasar perkembangan, kemajuan dan
peradaban manusia bukanlah suatu tujuan akhir dalam menciptakan masyarakat
beragama, namun pada komposisinya, Islam modern mengajak masyarakat untuk
berpikir maju dan mengamalkan ajaran-ajaran pokok Islam dalam kehidupan
26
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995)
27
Hendro Prasetyo, dkk. Islam dan Civil Society; pandangan muslim di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002)
28
sehari-hari. Fazlur Rahman berpendapat bahwa Islam modern merupakan sebuah
tuntutan beragama dengan melibatkan unsur fikriyah sebagai interpretasi Al-Qur’an dan Hadits. Lebih lanjut ia mengatakan “Islam modern mengarah pada
cara-cara berpikir baru pada umat Islam yang terbelakang (jumud) dengan
merombak cara Islam diinterpretasikan”29
Modernisme kini sudah menjadi sebuah paham dalam dimensi sosial yang
mensyaratkan pada peranan akal yang dominan. Ini berarti mengharuskan cita-cita
sosial kepada arah kemajuan dan peradaban baru. Adalah benar bahwa
kemodernan memiliki kapasitas berpikir yang panjang dan luas. Oleh karenanya,
karakter-karakter yang terbentuk pun tidak jauh dari rasionalitas akal pikiran
seseorang atau cara berpikirnya. Berkaitan dengan hal ini, Dr. Yusuf Qardhawi
menjelaskan karakteristik kemodernan, diantaranya adalah :
- Rasional Ilmiah
Dalam dimensi sosial, kehidupan masyarakat modern telah disandarkan pada cara
berpikir dalam menilai dan menentukan sesuatu. Segala sesuatu harus disandarkan
kepada ilmu dan dipertimbangkan melalui logika. Di era modern, masyarakat
Islam harus mampu menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam
maupun yang berkaitan dengan kehidupan sosial melalui nalar rasional-ilmiah.
Pendapat-pendapat yang tidak dilandasi dengan cara berpikir ilmiah tidak akan
dapat diterima oleh masyarakat modern. Islam pun senada dengan cara berpikir
demikian. Karena pada dasarnya, Islam tidak menerima prinsip-prinsip mistisisme
yang kerap dilakukan oleh paranormal dan Islam mengkategorikan tindakan ini
sebagai tindakan kufur dan syirik yaitu menyekutukan kekuatan Allah SWT.
29
Dengan demikian, karakter masyarakat Islam modern merubah pola
pikirnya dengan mengedepankan rasional-ilmiah. Selain itu, Al-Qur’an juga
mendeklarasikan peperangan melawan kejumudan dan taklid kepada nenek
moyang, pembesar-pembesar kaum serta kepada masyarakat awam.30
- Pembaruan (tajdid)
Karakteristik kemodernan yang kedua adalah pembaruan (tajdid).
Pembaruan ini merupakan bentuk kondisi masyarakat modern. Umumnya,
masyarakat muslim modern selalu berpikir menatap ke arah masa depan. Mereka
tidak tinggal diam menghadapi problematika baru dengan penyelesaian dari
pendapat-pendapat lama yang cenderung membeku. Islam melarang adanya
pembekuan dalam kehidupan, pemikiran, keilmuan, dan ijtihad. Dan sebaliknya,
Islam menghendaki seseorang untuk terus mengupayakan adanya regenerasi dan
perubahan-perubahan peradaban manusia, serta untuk melakukan ijtihad terkait
dengan persoalan-persoalan baru yang dihadapi dalam kemodernan.
Pembaruan yang dimaksud dalam modernisme Islam adalah pembaruan
dalam hal cara berpikir masyarakat yang menyertakan pada prinsip
rasional-ilmiah, serta gerakan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah. Lebih lanjut, Dr.
Yusuf Qardhawi mengingatkan kepada masyarakat modern bahwa pembaruan
bukan berarti memungkiri yang lama.
“Ingat, bahwa pembaruan yang dimaksudkan tidak berarti menginterupsi hubungan dengan turats, dan mengingkari yang lama. Karena tidak semua yang lama adalah buruk, sebagaimana tidak semua yang baru adalah baik. Berapa banyak hal yang lama dan terus bermanfaat secara signifikan, dan membawa berkah secara melimpah. Dan berapa banyak hal yang baru tidak membuahkan kebaikan bahkan mengandung bahaya laten dan nyata. Permasalahan baru dan lama adalah relatif, yang
30
dianggap lama pada hari ini sebenarnya adalah baru pada waktu lalu, dan yang dianggap baru hari ini ia menjadi lama esok lusa. ”31
Begitu pun dengan apa yang telah diprinsipkan oleh Nahdlatul Ulama
(NU) bahwa menjaga sesuatu yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang
baru yang benar adalah perbuatan terpuji32. Dengan demikian, prinsip pembaruan
tidak akan mengacak-acak pendapat lama. Inilah yang kemudian dimaksud
dengan pembaruan (tajdid).
2. Pengertian Isu dan Isu Islam Modern
Sebelum lebih jauh membicarakan isu-isu Islam modern. terlebih dahulu
kita memahami isu sebagai apa, dari siapa dan untuk siapa. Dalam kamus umum
Bahasa Indonesia, kata isu memiliki arti “kabar yang tidak jelas asal usulnya dan
tidak terjamin kebenarannya” atau dalam arti lainnya adalah kabar angin,
desas-desus.33 Dalam konteks isu Islam modern, isu diistilahkan sebagai suatu fenomena
problematika Islam yang menimpa masyarakat. Dengan demikian, isu merupakan
fenomena masalah yang terjadi di permukaan masyarakat. Sifatnya belum
dikatakan sebagai keputusan tetapi ia adalah pergeseran wacana. Isu datang dari
persoalan masyarakat yang mengalami pergeseran wacana dari semula. Seperti
Islam Indonesia yang sejak dulu dikenal sebagai Islam yang ramah, santun,
bijaksana, arif dan toleran akan berubah menjadi keras, kasar, teroris disebabkan
oleh aksi radikal yang dilakukan oleh segelintir masyarakat yang
31
Yusuf Qardhawi, Ibid., h. 169-170
32 Aceng Abdul Aziz, dkk., Islam Ahlu Sunnah Wal Jamaah di Indonesia, (Jakarta:
Pustaka Ma’arif NU, 2006)
33
mengatasnamakan Islam. Sehingga kemudian munculah isu Islam Indonesia tidak
lagi seperti yang tergambarkan dahulu melainkan radikal, teroris.
Dikarenakan sifatnya sebagai pergeseran wacana, maka isu dapat juga
dijadikan sebagai momentum politik bagi sekelompok golongan yang hendak
mencapai tujuan dan cita-citanya. Dengan demikian isu sangat rentan dengan
wacana kajian dan dialog. Jadi, dakwah Islam mesti turut serta dalam menghadapi
isu-isu Islam modern. berikut ini adalah isu-isu Islam modern yang melahirkan
dialog dan literatur. Dengan demikian, dapat disederhanakan pengertian isu yang
berarti gejala sosial yang menjadi fenomena dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan Isu Islam modern adalah gejala-gejala sosial masyarakat yang
menjadi fenomena agama dan berkembang menjadi pengetahuan. Isu Islam
modern bagian dari pergeseran wacana klasik ke dalam wacana modern. Ada
banyak macam isu-isu Islam modern, diantaranya adalah Isu pluralisme,
liberalisme, sekularisme, hak asa