• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan dakwah dalam konsteks islam modern menurut Prof.Dr.Din Syamsuddin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gerakan dakwah dalam konsteks islam modern menurut Prof.Dr.Din Syamsuddin"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

Makhsis Sakhabi, DJ

Gerakan Dakwah Dalam Konteks Islam Modern Menurut Din Syamsuddin

Gerakan dakwah Islam adalah serangkaian aktivitas, metode, strategi dakwah yang dilakukan berdasarkan perencanaan untuk mengajak manusia kepada jalan kebaikan, kemaslahatan, serta menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagian masyarakat Islam beranggapan bahwa dakwah Islam adalah tugas pokok atau kewajiban ummat Islam secara individu dan sebagian lain menganggapnya sebagai kewajiban kolektif. Dakwah Islam kini tengah dihadapkan pada dua persoalan. Pertama, tafsir sosiologis masyarakat terhadap pengertian dakwah yang dianggap sebagai aktivitas mimbar, tabligh semata sehingga konteks sosiologisnya terabaikan dari dinamika kehidupan modern. Kedua, dakwah Islam membutuhkan tafsir ulang atas pengertian dan implementasinya dalam kehidupan masyarakat Islam maupun manusia secara keseluruhan. Sehingga dibutuhkan penyeragaman pengertian dan implementasi dakwah Islam sebagai titik penyebaran agama Islam dan pengamalan nilai-nilai kehidupan masyarakat di tengah arus modernisasi.

Kajian ini mencoba mengulas gerakan dakwah Islam dalam konteks kemodernan serta mendalami pemahaman dakwah Islam modern menurut Din Syamsuddin, sebagai bagian dari upaya menyeragamkan implementasi dakwah Islam agar tercapai sasaran dakwah tepat pada medannya. Oleh karenanya, pertanyaan yang mendasari kajian ini adalah bagaimana dakwah Islam menghadapi isu-isu Islam modern?, bagaimanakah gerakan dakwah Islam menjadi solusi bagi krisis spiritual, moral dan sosial bangsa?, serta bagaimana format ideal gerakan dakwah Islam modern?. Tentu saja pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjelaskan secara akademis tentang dakwah Islam.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan upaya pendefinisian ulang terhadap pengertian dakwah Islam di masyarakat secara universal, serta ingin mengetahui bagaimana pandangan dakwah Islam modern dalam kacamata Din Syamsuddin, serta mengetahui format ideal gerakan dakwah Islam modern.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi kualitatif melalui pendekatan sosio-historis yaitu, mengungkap latar belakang tokoh yang dijadikan sebagai subjek dalam penelitian ini, guna mengetahui pokok-pokok pikiran tokoh tersebut tentang bagaimana gerakan dakwah Islam dalam konteks Islam modern.

Pemahaman dakwah Islam merupakan aspek dasar yang harus dipahami setiap muslim secara universal dalam menjalankan kewajiban dakwah. Mengingat dakwah dipahami sebagian besar masyarakat sebagai aktifitas mimbar belaka. Begitu juga dengan frame dakwah modern yang harus dipahami seperti apa, kajian ini juga meliputi pandangan tokoh dakwah Islam modern Din Syamsuddin dalam pandangannya terhadap dakwah Islam.

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dakwah merupakan kewajiban bagi setiap muslim dalam menjalankan

ajaran Agama Islam. Hal ini termaktub dalam Al-Qur’an surat An-Nahl, 16 :125, :

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

(QS. An-Nahl, 16 : 125)

Dari berbagai pandangan ulama-ulama Mufassir, tentang kewajiban dakwah yang tertuang dalam Al-Qur’an tersebut di atas, bahwa ayat tersebut

memberikan pesan perintah, yaitu Ud’u, yang memiliki ciri kalimat perintah

(Fi’lul Amri). Maka, ayat tersebut telah mewajibkan kaum muslimin untuk selalu melakukan aktivitas dakwah di kehidupan sehari-hari. Selain ayat tersebut di atas,

ada ayat lain yang berisi tentang perintah dakwah, seperti pada surat Ali ‘Imran,

(3)

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”

(QS. Ali “Imran,3 : 104)

Hal ini pulalah yang kemudian menyebabkan beberapa perbedaan

pendapat tentang kewajiban dakwah. Sebagian ulama mengatakan perintah

dakwah adalah kewajiban individu (fardhu ‘ain), sedangkan sebagian ulama lain mengatakan kewajiban dakwah merupakan kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Tentunya masing-masing pendapat memiliki argumentasi yang kuat.

Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah,

menjelaskan bahwa : “Perintah dakwah adalah ditujukan bagi setiap muslim.

Tetapi, walaupun demikian harus ada sebagian golongan / kelompok ummat yang

menekuni kegiatan dakwah secara profesional, baik individual maupun

institusional”.1

Sementara itu, permasalahan yang kerap muncul juga pada sisi aktivitas

dakwah itu sendiri. Beberapa pandangan para pegiat dakwah telah meramaikan

kondisi dan wacana dakwah baik dalam bidang keilmuan maupun pada tataran

aktivitasnya. Pada aktivitasnya, dakwah hari ini tentu berbeda dengan dakwah

yang terjadi di masa Nabi saw. Dimana Nabi saw. Memulai dakwahnya dengan

jalan sembunyi-sembunyi (sirri) hingga dengan jalan terang-terangan. Dakwah pada masa Nabi saw. Dibagi dalam dua periode, yaitu periode Makkah dan

1

(4)

periode Madinah. Periode Makkah disebut juga sebagai periode pembinaan

Kerajaan Allah dalam hati manusia, sedangkan periode Madinah disebut juga

sebagai pembinaan Kerajaan Allah dalam masyarakat manusia2.

Dewasa ini, khususnya di Indonesia terdapat banyak organisasi-organisasi

yang bergerak dalam bidang dakwah. Mulai dari Islam garis keras (ekstrem),

Islam fundamental sampai pada Islam liberal. Tentunya semua itu memiliki

konsep dan pandangan yang berbeda-beda terhadap dakwah.

Tetapi, satu yang penulis pahami dari perbedaan pandangan gerakan

dakwah yang dimotori oleh beberapa organisasi yang bergerak di bidang dakwah

adalah kesemuanya menginginkan agar masyarakat mengikuti kehendaknya,

bukan kehendak Islam sebagai rahmat.3 Jika pada awal prosesnya saja dakwah

bertolak dari konsepsi iman dan amal shaleh, apakah kemudian dewasa ini yang

kerap dikenal dengan periode modern, konsepsi dakwah Islam akan tetap

berpangkal dengan dasar pokok keimanannya? ataukah akan menjadi

berkotak-kotak dakwah Islam di era modern ini?

Diakui bahwa dewasa ini organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga

dakwah sudah sangat banyak, tetapi harus diakui pula bahwa sebagian besar dari

semua itu juga tidak membuahkan hasil yang signifikan bagi perkembangan

gerakan dakwah Islam di era modern ini. Boleh jadi permasalahannya adalah

kurangnya militansi lembaga-lembaga dakwah terhadap gerakan dakwah Islam

secara kaffah (totalitas).

2

Prof. Hasjmi, Dutsur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), h. 281

3

(5)

Sementara itu, tokoh muslim Indonesia yakni Prof. Dr. Din Syamsuddin

memberikan pandangan yang berbeda tentunya mengenai aktivitas gerakan

dakwah dalam konteks kemodernan. Istilah modern ini lebih banyak yang

mengartikan kemajuan zaman.4 Secara eksplisit dapat dipahami memang bahwa

istilah modern ini ditujukan kepada perbedaan kurun waktu antara yang telah lalu

dan yang sekarang atau yang akan datang.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W. J. S

Poerwadarminta, kata modern memiliki arti “yang terbaru”.5 Berarti konteks

kemodernan di sini diistilahkan hal-hal yang bersifat baru dan memiliki kemajuan.

Salah satu pandangan Islam mengenai gerakan dakwah yaitu proses

penyampaian ajaran Allah yang menggunakan metode tertentu untuk

kemaslahatan ummat. Kemudian, pemahaman tersebut telah banyak memberikan

pengertian baru yang bermacam-macam pula. Sebagian orang memahami gerakan

dakwah yang seharusnya dilakukan adalah dengan jalan jihad, yaitu menaklukkan

orang-orang yang kufur terhadap Allah dengan jalan kekerasan sekalipun, maka

tidak sedikit dari mereka yang memiliki pemahaman seperti itu berani melakukan

tindakan-tindakan yang dinilai sebagai tindakan provokatif serta terorisme. Selain

itu, pandangan lain pun muncul bahwa gerakan dakwah seharusnya dilakukan

dengan jalan damai, toleran, pluralis. Sehingga mereka lebih menjaga

keharmonisan hubungan antaragama dan kepercayaan ketimbang dengan sesama

kaum muslim yang berbeda dengannya.

4

Kemajuan zaman meliputi kemajuan berpikir, teknologi, budaya, sosial, politik dan ekonomi.

5

(6)

Prof. Dr. Din Syamsuddin merupakan sosok tokoh dakwah Islam modern

yang namanya tidak hanya terdengar di pelosok nusantara tetapi juga di mata

Internasional. Aktivitasnya yang selalu tidak lepas dari kegiatan dakwah,

membuat penulis ingin menelusuri pemikiran, pemahaman sekaligus penerapan

konsep dakwah dalam konteks Islam modern. Dalam hal kemodernan yang beliau

rumuskan dalam keberagamaan, yaitu tajdid (pembaharuan) pola pikir masyarakat telah digariskan bahwa Islam akan selalu relevan dengan situasi zaman apapun.

Maka, memasuki zaman yang sudah terlalu canggih ini, bukan lagi dalam bidang

teknologi tetapi juga dalam hal pemikiran Islam, dakwah nampaknya harus dapat

menerapkan prinsip-prinsip serta pemahaman yang disesuaikan dengan karakter

dan pengetahuan masyarakat muslim modern.

Meminjam istilah Abdul Basit, M. Ag dalam bukunya yang berjudul

Wacana Dakwah Kontemporer, dakwah di Indonesia antara kajian yang bersifat

akademik dengan relitas dakwah yang ada di masyarakat belum menunjukkan

hubungan yang sinergis dan fungsional. Di kalangan akademisi dan para pakar di

bidang dakwah, mereka lebih banyak mengkaji dakwah melalui sumber-sumber

normatif yaitu Al-Quran dan Hadits. Demikian juga dengan para aktivis dakwah

yang ada di masyarakat yang selalu memberikan materi dakwah lebih banyak

dengan metode ceramah atau mimbar. Pada lembaga-lembaga keagamaan yang

bergerak di bidang dakwah juga belum memberikan arti penting secara substansial

bagi kelangsungan Islam di era modern ini. Mereka lebih banyak mementingkan

dari sisi kuantitasnya saja dari pada kualitas masyarakatnya.

Perubahan yang begitu cepat pada masyarakat akan membawa dampak

(7)

Dalam beberapa kajian Islam modern, muncul pembahasan-pembahasan baru pula

yang akan menjadi tanggung jawab aktivis dakwah Islam di zaman modern ini.

Seperti pembahasan HAM, bagaimana Islam memandang dan menjawab

permasalahan-permasalahan di dalamnya, juga masalah Demokrasi yang sampai

hari ini para aktivis dakwah belum secara total memasukkan materi tersebut dalam

aktivitas dakwah, kemudian persoalan Kesetaraan Gender, Pluralisme,

Sekulerisme, Liberalisme, serta isu Terorisme yang belakangan ini menjadi

perbincangan masyarakat luas. Oleh karena itu, diharapkan kajian ini akan

memberikan arti penting bagi pemahaman gerakan dakwah Islam modern. Penulis

tertarik dengan pemikiran-pemikiran yang digagas oleh Prof. Dr. Din Syamsuddin

tentang dakwah Islam. Maka, kemudian penulis mengangkat judul “GERAKAN

DAKWAH DALAM KONTEKS ISLAM MODERN MENURUT PROF. DR.

DIN SYAMSUDDIN” sebagai tugas skripsi di akhir studi S1 Fakultas Ilmu

Dakwah Dan Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

B. Batasan dan Perumusan Masalah

Dalam pembahasan ini, penulis hanya ingin memberikan gambaran pokok

tentang pemikiran dan aktivitas tokoh Islam Modern yaitu Prof. Dr. Din

Syamsuddin terhadap dinamika gerakan dakwah yang terjadi di era modern ini

dalam konteks Islam modern.

Oleh karenanya, penulis ingin membatasi kajian ini pada wilayah :

- Pemikiran gerakan dakwah Islam dan kaitannya dengan isu-isu Islam

modern menurut Din Syamsuddin

(8)

Selebihnya adalah informasi-informasi yang bersumber dan sesuai dengan judul

ini.

Adapun masalah-masalah yang telah penulis rumuskan adalah sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah gerakan dakwah Islam menghadapi isu-isu Islam modern

menurut Din Syamsuddin?

2. Bagaimanakah gerakan dakwah Islam modern menjadi solusi terhadap

krisis spiritual, moral dan sosial bangsa menurut Din Syamsuddin?

3. Bagaimanakah format ideal gerakan dakwah Islam modern menurut Din

Syamsuddin?

Dari rumusan-rumusan masalah tersebut di atas, maka penulis akan dapat

menjelajah pengetahuan secara objektif tentang gerakan dakwah dalam konteks

Islam modern. Beberapa hal yang tertulis tersebut di atas adalah acuan dasar

penulisan skripsi ini.

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah untuk memberikan kejelasan tentang gerakan dakwah dalam konteks Islam

modern menurut Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA.

Adapun kegunaan dari penelitian ini mencakup kepada dua aspek penting,

yaitu :

1. Kegunaan Akademis

- Menambah khazanah keilmuan dakwah dan komunikasi

- Menambah referensi kepustakaan tentang gerakan dakwah

(9)

2. Kegunaan Praktis

- Memberikan acuan bagi pegiat dakwah dalam berdakwah

- Sebagai referensi bagi para aktivis dakwah

- Memberikan pemahaman terkini tentang Gerakan Dakwah pada

masyarakat Islam modern

- Sebagai strategi berdakwah pada masyarakat modern

D. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif dengan pendekatan Sosio-Historis, yaitu mengetahui sejarah dan latar belakang tokoh yang kemudian dijadikan sebagai suatu analisa deskriptif

dari pemikiran, aktivitas dan latar belakang tokoh tersebut.

Metode penelitian kualitatif dengan pendekatan sosio historis ini akan mengungkap sisi latar belakang tokoh dalam kehidupan sosial, pendidikan, karir

dan keilmuan yang dimiliki sampai sekarang. Dengan melihat sosio-historis dari

tokoh yang diamati, penelitian ini akan mengungkapkan fakta pemikiran dan

aktivitas tokoh yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Oleh karenanya,

penelitian ini melibatkan langsung tokoh tersebut dalam proses pengumpulan

data. Hal tersebut sama dengan yang didefinisikan oleh Taylor tentang metode

penelitian kualitatif yaitu “cara yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati”.6

6

(10)

Melalui pendekatan sosio-historis, metode dalam penelitian ini akan mengumpulkan data-data deskriptif yaitu pemaparan atau penjabaran

pokok-pokok pikiran dari Prof. Din Syamsuddin tentang konsepsi gerakan dakwah Islam

modern yang kemudian dilakukan observasi guna mengukur dan membandingkan

atas teori-teori yang sudah muncul dan berlaku bagi penelitian kualitatif.

Kemudian, data-data tersebut akan diolah dan dilakukan pengembangan untuk

kemudian mengembangkan teori pada pengamatan yang dilakukan.

2. Subjek Dan Objek Penelitian

Begitu juga dengan subjek dan objek penelitian, penulis mengemukakan

bahwa subjek penelitian ini adalah Prof. Dr. Din Syamsuddin, sedangkan yang

menjadi objek penelitian ini adalah gagasan dan pemikiran Din Syamsudin

terhadap fenomena gerakan dakwah Islam modern yang terjadi di Indonesia.

Karena penulis memandang bahwa Din Syamsuddin adalah salah satu tokoh Islam

modern di Indonesia yang memiliki perhatian khusus terhadap dakwah Islam

masa kini.

3. Data Dan Sumber Data

Adapun data-data yang akan penulis kumpulkan antara lain adalah data

deskriptif mengenai pemikiran Din Syamsudin tentang konsep gerakan dakwah dalam konteks Islam modern, data tentang isu-isu dalam Islam modern serta

data-data pendukung lainnya yang memiliki keseragaman dan relevansi dengan

penelitian ini.

(11)

a. Sumber data primer, antara lain : buku-buku tentang dakwah Islam kontemporer, tulisan-tulisan Din Syamsuddin, keterangan atau pendapat

langsung Din Syamsuddin.

b. Sumber data sekunder, antaralain : Majalah, surat kabar, internet dan buku-buku umum Islam yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Tekhnik Pengumpulan Data

Tekhnik pengumpulan data yang penulis lakukan adalah dengan cara:

a. Observasi

Observasi ini dilakukan di perpustakaan UIN Jakarta dan di

kediaman Din Syamsuddin yang memuat tulisan-tulisan Din Syamsuddin

dan tulisan-tulisan pendukung lainnya.

Observasi ini dilakukan sebagai pencatatan dan pengamatan

langsung dari fenomena dan perilaku yang diteliti.

b. Wawancara

Wawancara ini merupakan percakapan langsung antara peneliti

dengan tokoh yang diwawancarai dengan disertai pertanyaan-pertanyaan

yang telah disiapkan oleh penulis sebelumnya. Wawancara ini ditujukan

kepada Prof. Dr. Din Syamsuddin.

c. Dokumentasi

Mengumpulkan data melalui dokumentasi seperti yang diambil

dari buku-buku, surat kabar, majalah, internet, dan lain-lainnya sebagai

(12)

5. Tekhnik Analisis Data

Dalam proses analisa data, penulis menggunakan analisa data deskriptif,

yaitu mengungkapkan data dan fakta secara alamiah dan objektif. Data yang

diteliti merupakan data yang dihasilkan dari observasi, wawancara dan

dokumentasi. Ketiga perolehan data tersebut dipadukan dan kemudian

dideskripsikan.

6. Pedoman Penulisan

Tata cara penulisan skripsi ini menggunakan pedoman yang berlaku di

lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan mengacu pada buku

Panduan Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) terbitan CeQDA 2007.

E. Tinjauan Pustaka

Mengamati dari bebarapa skripsi yang memperbincangkan dakwah Islam,

sampai saat ini belum didapatkan tema-tema yang mencakup studi perilaku

dakwah era modern ini, terutama kaitannya dengan pemahaman Gerakan Dakwah

Islam Modern. Tentu saja kajian ini sangat diperlukan di era sekarang ini,

mengingat banyaknya pemahaman ajaran Islam yang melahirkan kegiatan atau

aksi radikal dengan ideologi dakwahnya. Gerakan Dakwah Dalam Konteks Islam

Modern tidak hanya sebagai judul skripsi tetapi juga sebagai kajian konsisten

yang tentu akan mengisi dan melengkapi kepustakaan seputar wacana dakwah

kontemporer, yang tidak membatasi pada wilayah normatif saja tetapi lebih

komprehensif dan universal.

Adapun mengenai buku-buku ataupun penelitian yang pernah penulis

(13)

1. “Wacana Dakwah Kontemporer” karangan Abdul Basith, M. Ag diterbitkan oleh STAIN Purwokerto press dan Pustaka Pelajar,

Yogyakarta.

2. “Dutsur Dakwah Menurut Al-Qur’an” karangan Prof. Hasjmi, diterbitkan oleh Bulan Bintang Press, Jakarta.

3. “Psikologi Dakwah Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan yang Qur’ani”

karangan Totok Jumantoro, diterbitkan oleh Amzah press, Jakarta.

4. “Banishing Violence from the World: Faiths and Cultures in Dialogue”

Makalah Din Syamsuddin pada Pertemuan Internasional Tokoh Muslim

Dunia untuk Perdamaian, Naplez, 21-23 Oktober 2007

Salah satu buku karya Abdul Basith, M. Ag yang berjudul “Wacana Dakwah Kontomporer” merupakan bagian dari kajian ini. Isinya yang melengkapi referensi kajian pemahaman dakwah secara modern begitu menjadikan

pembacanya tahu bahwa dakwah Islam memiliki arti yang sangat luas, tidak

sebatas kegiatan mimbar dari satu masjid ke masjid yang lain. Tetapi melahirkan

ide dan gagasan baru dalam rangka menjalankan tugas manusia sebagai khalifah fil ardh. Begitu penulis menginginkan Prof. Dr. Din Syamsuddin sebagai pemikir Dakwah Islam Modern, maka kajian ini akan melibatkan beliau dengan perannya

sebagai pelaku dakwah yang memiliki wawasan kemodernan serta

institusi-institusi yang memiliki perhatian secara konsisten di bidang dakwah. Beberapa

karya yang lain seperti Syaikh Ali Mahfudz dalam Hidayatul Mursyadin-nya, Prof. Hasjmi dalam Dutsur Dakwah Menurut Al-Quran, beliau memberikan pesan

(14)

seiring zaman dan situasinya. Jadi, betapa pentingnya wawasan baru tentang

gerakan dakwah Islam modern.

Wacana ini juga merupakan apresiasi penulis sekaligus kritik atas apa

yang dikemukakan oleh Abdul Basith dalam Wacana Dakwah Kontemporer.

Beberapa pandangannya mengenai gerakan dakwah era modern telah memisahkan

antara refleksi nyata akibat aktivitas dakwah dengan aktivitas dakwah dalam

proses penyampaiannya. Jika refleksi nyata atas apa yang sedang terjadi, yaitu

modernisasi pemikiran Islam dewasa ini dijadikan belenggu bagi proses

perkembangan aktivitas dakwah maka dakwah itu sendiri akan hilang secara

perlahan dari aktivitasnya.7 Sedangkan secara garis besar, Islam telah

menggariskan kewajiban dakwah ini bagi umat Islam selama ia menjalankan

kehidupannya. Nampaknya aneh memang, jika konteks dakwah selalu

dikonotasikan dengan aktivitas mimbar atau rutinitas yang syarat akan kegiatan

hari besar Islam atau lebih dikenal dengan istilah PHBI (Peringatan Hari Besar

Islam) saja, maka sesungguhnya dakwah telah diberi arti yang sangat sempit.

Sesungguhnya dakwah merupakan aktivitas mengajak untuk berbenah diri

(sebagai insan) menuju kepada sesuatu yang baik dan lebih baik, bahkan secara

luas lagi dakwah diartikan sebagai transfomasi nilai-nilai sosial.

Meskipun demikian, Abdul Basith dengan sistematis telah menjabarkan

kelemahan-kelemahan da’i yang menyampaikan ajaran Islam dengan tidak

melihat aspek keberhasilan seta hambatannya. Tentu saja hal ini akan memberikan

makna positif bagi kelangsungan kajian dakwah baik dari segi teoritis maupun

7

(15)

praktisnya. Jika saja pesan itu tidak ada, maka para da’i akan merasa lepas-lalu

saja setelah memberikan materi dakwah di hadapan mad’u-nya.

Selain itu, ia juga telah memaparkan bagaimana menyusun strategi

dakwah agar tepat sasaran kepada masyarakat modern. Sepeti yang ia kutip dari

Larry Poston, bahwa terdapat dua bentuk strategi dakwah dalam gerakannya di

masyarakat, yaitu strategi Internal-Personal dan strategi External-Institutional.

Pada strategi pertama, fokus pembangunan atau pengembangannya adalah

individu. Seperti pada masyarakat modern yang selalu mengisi waktunya dengan

kesibukan urusan pekerjaan sehingga sangat minim waktu yang diluangkan untuk

memberikan perhatiannya kepada dakwah Islam. Sedangkan strategi yang kedua

memfokuskan pada institusi atau lembaga yang memiliki kapasitas untuk bidang

dakwah. Di Indonesia telah banyak berdirinya lembaga-lembaga dakwah Islam

dengan corak dan bentuk yang bermacam-macam, tetapi semuanya memiliki satu

tujuan yaitu membentuk pribadi dan masyarakat muslim yang baik. Walaupun

demikian, sering didapati gejolak perbedaan pendapat akan konsepsi dakwah yang

disampaikan, dank arena ini pulalah sering terjadi kesenjangan ideologi atau cara

pandang mereka masing-masing dalam hal dakwah.

Kemunculan paham-paham pemikiran Islam secara modern tentu saja akan

menjadikan dakwah Islam harus semakin luas dan memasuki ruang rasio

masyarakat modern. Di kalangan cendekiawan, beberapa pandangan dan

pemikiran Islam seperti Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan Gender

sudah menjadi kajian Islam secara komprehensif dan berimbang dalam kegiatan

dakwah, baik pada lembaga maupun individu. Kajian dan wawasan Islam modern

(16)

melanjutkan kajian-kajian Islam yang menurut mereka merupakan tradisi belajar

ulama-ulama klasik.

Aktivitas dakwah yang selalu menelusuri problematika masyarakat, tentu

saja harus memiliki integritas keilmuan yang matang untuk menjawab

permasalahan-permasalahan masyarakat muslim modern serta menjaga bagaimana

perbedaan cara berdakwah agar tidak terjadi kesalahpahaman di antara sesama

muslim. Secara historis, dakwah yang dilakukan oleh Nabi saw. Selalu mengikuti

perkembangan dan situasi masyarakat. Beliau tidak penah mengikuti atas

kehendak serta kemampuannya untuk membumikan Islam. Padahal, baginya

sangatlah mudah untuk bisa menanamkan nilai-nilai aqidah pada masyarakat

Quraisy pada waktu itu. Tetapi beliau tetap melakukannya dengan penyesuaian

situasi dan kondisi serta kompetensi masyarakat yang diberikan dakwahnya.

Seyogyanya demikian, agenda dakwah pada masyarakat Indonesia,

khususnya dan ummat Islam pada umumnya harus disesuaikan dengan

kompetensi dan perilaku yang ada pada masyarakatnya. Jika melihat fenomena

yang terjadi hari ini adalah dakwah yang dilakukan oleh lembaga-lembaga

maupun individu nampak terlihat dengan jelas arah dan tujuannya hanya

bersandar pada apa yang dipahaminya sebagai suatu kebenaran. Maka disini,

dilihat sudut pandang dan pengertian terhadap kajian komprehensif gerakan

dakwah yang selama ini dilakukan oleh masing-masing lembaga maupun

individu.

Maka, dengan demikian bentuk apapun yang dilakukan dan dirumuskan

pada setiap lembaga dakwah sebetulnya merujuk pada sumber ajaran Islam yaitu

(17)

berbeda-beda. Dan, akibat dari perbedaan itu timbullah perelisihan paham yang

kerap menimbulkan perselisihan ideologi, bahkan sampai pada tingkat kekerasan

fisik. Oleh karena itu, pemahaman universal terhadap gerakan dakwah sangat

diperlukan guna meminimalisir konflik perbedaan yang muncul.

Melihat sejenak karakter yang ditunjukkan oleh lembaga-lembaga dakwah

di Indonesia yang beragam dan komprehensif, menambah lengkap khazanah dan

pemikiran terhadap kajian dakwah. Perkuliahan yang memuat Ilmu Dakwah

sangat efektif jika kajian ini terus diberlanjutkan sampai terbentuk pandangan

masyarakat klasik maupun modern bahwa aktivitas dan gerakan dakwah

merupakan kewajiban kolektif sebagai tugas dan tanggung jawab ummat Islam.

Selain itu, pemahaman universal terhadap gerakan dakwah pun menjadi bagian

penting dari sisi keagamaan dan kebudayaan masyarakat Islam Indonesia.

Selain itu, Totok Jumantoro juga telah memberikan kontribusi penting

dalam kajian dakwah dewasa ini. Ia memaparkan aktivitas dakwah dari sudut

psikologinya. Dalam bukunya Psikologi Dakwah Dengan Aspek-aspek Kejiwaan

yang Qur’ani, ia menulis : “Aktivitas dakwah hakikatnya tidak jauh berbeda

dengan proses komunikasi. Sebab, pada dasarnya dakwah merupakan

penyampaian informasi agama atau penyebaran ajaran Islam melalui proses

komunikasi baik dengan personal approach, family approach, ataupun social approach”.8

8

(18)

F. Sistematika Penulisan

Penelitian ini mengikuti sistematika sebagai berikut :

BAB I : Merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,

metodologi penelitian, kajian pustaka dan sistematika penulisan.

BAB II : Membahas tentang tinjauan teoritis dari dakwah Islam yang meliputi pengertian gerakan dakwah Islam modern dan Isu-isu Islam

modern.

BAB III : Membahas tentang riwayat hidup Din Syamsuddin, meliputi latar belakang keluarga, pendidikan, serta aktivitasnya di bidang dakwah

yang meliputi pandangannya tentang dakwah Islam dan kemodernan.

BAB IV : Merupakan pembahasan tentang Gerakan Dakwah Dalam Konteks Islam Modern menurut Prof. Dr. Din Syamsuddin, yang meliputi tentang

dakwah Islam menghadapi isu-isu aktual, dakwah sebagai solusi krisis spiritual,

moral dan sosial bangsa, dakwah kultural dan struktural, serta format ideal

gerakan dakwah Islam modern.

(19)

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Gerakan Dakwah Islam

1. Pengertian Gerakan Dakwah Islam

Memahami arti dari pada gerakan dakwah tidaklah cukup mengetahui kata

per kata saja melainkan dibutuhkan pula konteks pemahaman gerakan dakwah

secara partikular. Hal tersebut meliputi konteks zaman dan keilmuan. Secara

terpisah, kata gerakan dakwah tersusun dari dua kata yang masing-masing

memiliki arti berbeda. Kata gerakan memiliki arti perbuatan atau keadaan

bergerak1. Dalam istilah dakwah, gerakan dapat diartikan sebagai aktivitas

tindakan, berbuat menuju ke arah sesuatu yang memiliki nilai baik. Istilah ini

seringkali muncul pada suatu fenomena yang dianggap memiliki pengaruh kuat

bagi situasi ataupun lingkungan sekelilingnya. Sedangkan kata dakwah terambil

dari bahasa Arab, yaitu bentuk mashdar dari da’a-yad’u-da’watan yang berarti seruan, panggilan2. Kata dakwah seringkali diistilahkan sebagai suatu ajakan

kepada manusia untuk menuju kepada kebaikan dan kebahagiaan dunia dan

akhirat. Syaikh Ali Mahfudz dalam kitabnya Hidayatul Mursyidin menjelaskan bahwa dakwah memiliki arti :

ﻲﻬﻨ او

فوﺮ ﺎﺑ

ﺮ ﻻاو

ىﺪﻬ او

ﺮﻴﺨ ا

سﺎﻨ ا

ﺚﺣ

ﺎ ﺴﺑ

زﻮﻔﻴ

ﺮﻜﻨ ا

ﺟﻻاو

ﺟﺎ ا

ةد

1

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007) Cet. 4

2

(20)

Artinya : Mendorong (memotivasi) manusia untuk melakukan kebaikan dan mengikuti petunjuk, memerintahkan mereka berbuat ma’ruf dan mencegahnya dari perbuatan munkar agar mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.3

Dakwah dalam Islam juga memiliki arti mengajak, mendorong dan

memotivasi orang lain berdasarkan bashirah untuk meniti jalan Allah serta berjuang bersama meninggikan agama-Nya. Dikatakan bahwa ajakan ataupun

seruan yang dimaksud dari pengertian dakwah Islam ini merupakan suatu

tindakan komunikasi antara yang mengajak (da’i) dengan yang diajak (mad’u).

Dan tentu saja isi materi ajakannya adalah jalan menuju Allah serta

kebaikan-kebaikan yang diajarkan-Nya melalui kitab suci Al-Quran. Meskipun demikian,

telah banyak pengertian dakwah Islam yang semuanya akan menjadikan

pengertian tersebut di atas kuat dan memiliki kesamaan maksud, diantaranya

adalah :

- Prof. Hasjmi (1974) menjelaskan bahwa “dakwah Islamiyah itu mengajak

orang untuk meyakini dan mengamalkan akidah dan syariah Islamiyah

yang terlebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah

sendiri”.4

- Prof. Dr. Abu Bakar Aceh (1971) menulis : “Dakwah ialah perintah

mengadakan seruan kepada semua manusia untuk kembali dan hidup

sepanjang ajaran Allah yang benar, dilakukan dengan penuh kebijaksanaan

dan nasihat yang baik”.5

3 Syaikh Ali MAhfudz, Hidayatul Mursyidin, (Kairo: Daarul Qutub al-Arabiyah, 1952)

4

Prof. Hasjmi, Dutsur Dakwah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974)

5

(21)

- Toha Yahya Oemar (1976) mengatkan bahwa “dakwah adalah mengajak

manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan

perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan

akhirat”.6

- Drs. H.M. Arifin, M. Ed (1977) memberi batasan dakwah dengan pengertian :

“sebagai suatu kegiatan ajakan baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku, dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam usaha mempengaruhi orang lain baik secara individual maupun secara kelompok agar supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian, kesadaran, sikap, penghayatan, serta pengamalan terhadap ajakan agama sebagai message yang disampaikan kepadanya dengan tanpa adanya unsur-unsur paksaan.”7

Pengertian-pengertian tersebut di atas senantiasa mengisyaratkan suatu ajakan

kepada manusia untuk menuju kepada jalan yang dikehendaki Allah SWT. Maka,

dapat diambil pengertian dakwah Islam secara istilah yaitu mengajak, menyeru,

memotivasi manusia untuk menuju ke jalan yang dikehendaki Allah SWT. Serta

menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar agar tercapai kebahagiaan di

dunia dan di akhirat.

Pada tahun 1873, Max Muller, seorang intelektual Barat telah

memperkenalkan sistem klasifikasi agama, yaitu agama terbagi menjadi dua

kategori : agama dakwah (missionary) dan agama non-dakwah (non-missionary).8 Klasifikasi tersebut telah memberikan arti dakwah sebagai tabligh dan juga

sebagai pengelolaan dan pengajaran ajaran Islam. Jadi, dapat dikatakan bahwa

6

Thoha Yahya Umar, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1971)

7

Drs. Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan Yang Qur’ani,

(Jakarta : Amzah press, 2001), cet.1, h.18

8

(22)

dalam konteks keagamaan, dakwah memiliki makna sebagai tabligh, tatbiq, dan juga tandhim. Tabligh berarti penyampaian, tatbiq berarti pengamalan dan

tandhim berarti pengelolaan.9 Ketiga anashir tersebut haruslah berjalan seirama agar dapat memenuhi kelengkapan dan kesempurnaan gerakan dakwah Islam.

Setelah melakukan penelaahan terhadap pengertian-pengertian dakwah

Islam, maka istilah gerakan dakwah memiliki posisi yang sangat penting dengan

pengertian dasar dakwah Islam. Gerakan dakwah Islam diartikan sebagai aktivitas

dakwah Islam seseorang atau kelompok yang dilakukan melalui individu maupun

institusi kepada ummat untuk mencapai keberhasilan menyampaiakan ajaran

Allah SWT.

2. Pola-pola Gerakan Dakwah Islam

Seringkali kita melihat fenomena dakwah di masyarakat yang selalu

mengkaitkan kegiatan dakwah dengan ceramah tabligh melalui mimbar. Ceramah

tabligh merupakan salah satu dari bentuk-bentuk aktivitas dakwah Islam, namun

bukanlah satu-satunya bentuk dakwah yang ada di dalam kegiatan dakwah.

Persepsi yang telah sekian lama melekat di masyarakat tersebut tidaklah salah,

akan tetapi perlu adanya evaluasi terhadap masyarakat untuk tidak selalu

mengkonotasikan kegiatan dakwah sebagai ceramah tabligh.

Selain dari pada itu, gerakan dakwah Islam memiliki pola-pola yang

mengemas aktivitas dakwah menjadi teratur, terencana dan tercapai. Dr. Yusuf

Qardhawi dalam bukunya yang berjudul Retorika Islam, menjelaskan :

“Dakwah kepada Allah dapat dilakukan dengan menulis buku-buku, mempresentasikan ceramah-ceramah di perguruan tinggi atau pusat

9

(23)

keilmuan, atau menyampaikan khutbah Jumat, pengajian dan pengajaran agama, di masjid dan tempat-tempat lain. Dan, ada juga yang melakukan dakwah dengan kalimat Thayibah, pergaulan yang baik dan keteladanan. Dan ada lagi, orang yang berdakwah dengan menyediakan fasilitas-fasilitas material demi kemaslahatan dakwah; memberi infak untuk para dai, atau menyebarkan produktivitas dakwah, atau membangun pusat aktivitasnya.”10

Begitu banyak bentuk-bentuk dakwah yang bisa dilakukan oleh setiap

orang ataupun kelompok. Dan tidak juga harus menjadi pelaku dakwah tetapi

pendorong dan penyedia sarana dakwah pun bisa dikatakan berdakwah. Dalam

ceramahnya pada penyelenggaraan Muktamar ke-VI menteri-menteri wakaf dan

urusan Islam di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 1997, Abdullah Ibn Abdul

Muhsin Atturki11 mengungkapkan prinsip-prinsip serta pola dalam berdakwah,

antara lain :

- Hanya menyembah Allah semata

Ia percaya bahwa berdakwah dengan mengikuti pola-pola Nabi Muhammad

SAW. maka akan tersyiar kebaktian kepada Allah SWT. semata. Tidak ada

yang lain selain diri-Nya. Dengan hanya karena Allah SWT, maka dakwah

Islam dimanapun, kapanpun, dalam situasi apapun akan berjalan dengan

harapan dan kejayaan.

- Percaya dengan teguh kepada Al-Qur’an.

Selain ikhlas berdakwah karena Allah SWT. semata, Abdullah Ibn Abdul

Muhsin Atturki juga menegaskan untuk selalu percaya teguh pada

Al-Qur’an, kemudian Sunnah serta tata hukum yang dihasilkan para imam dan

10

Yusuf Qardhawi, Retorika Islam, terj. Abdillah Noor Ridho, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004)

11

(24)

mujtahid terdahulu. Menurutnya, ini akan menjadikan dakwah Islam

memiliki kekuatan hukum dan sumber materi dakwah yang jelas dan tidak

ada keraguan.

- Ketulusan, kerendahan hati dan kehalusan budi.

Seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad saw. ketika beliau berdakwah

senantiasa menunjukkan sikap ketulusan dan kerendahan hati serta

kehalusan budi. Dengan demikian, dakwah Islam akan menjadi santun dan

dengan mudah diterima oleh masyarakat.12

Berdasarkan pola-polanya, gerakan dakwah Islam memiliki

macam-macam bentuk dalam pelaksanaannya, antara lain :

a. Dakwah Bil Hal

Sejalan dengan yang disampaikan Allah SWT. dalam QS. An-Nahl (16) :

125 bahwa dakwah dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti dengan Hikmah,

Ketauladanan serta Berdialog (Mujadalah). Beberapa peristiwa penting dalam sejarah dakwah Nabi Muhammad saw. telah menggariskan bahwa pencapaian

dakwah memiliki tugas dan fungsi dalam pembinaan ummatnya atau yang disebut

dengan mad’u. Salah satu tugas dan fungsi pencapaian dakwah yang telah

Rasulullah saw. contohkan adalah penegakan persatuan dan kesatuan ummat.

Pembentukan kesatuan ummat telah menjadi tujuan dakwah, dan hal ini telah

terjadi sejak zamannya dakwah Rasulullah saw. sampai sekarang. Rasulullah saw.

sebagai seorang Nabi juga sebagai seorang kepala negara. Beliau membangun

pemerintahan di kota Yatsrib sesudah beliau meninggalkan kota tersebut dan

12

(25)

berpindah menuju kota yang hendak disampaikannya ajaran Islam. Di kota

Yatsrib Rasulullah saw. telah membentuk suatu pemerintahan yang memiliki

tentara, perwakilan diplomatik, peraturan-peraturan, serta dutsur dan majelis

syura’. Dakwah yang dilakukan Rasulullah saw. tidaklah menggunakan cara-cara

kekerasan ataupun paksaan melainkan dengan halus dan mengutamakan

kesantunan. Orientasi dakwah Rasulullah adalah untuk menyatukan ummat dari

perpecahan dan memeluk agama Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Dengan demikian, setiap orang akan memperoleh kemerdekaan penuh untuk

memeluk agama yang diinginkannya. Oleh karena itu, Allah SWT. berfirman di

dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah,2:256 :

¸

Artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut13 dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah, 2:256)

Rasulullah saw. selalu menganjurkan dakwah Islam dilakukan dengan

jalan damai dan penuh toleransi sesama ummat manusia. Nampaknya, anjuran

beliau kini sudah banyak yang telah melupakannya sehingga yang ada hanyalah

egoisme kelompok dan tidak jarang kita menemukan aksi dakwah yang cenderung

13

(26)

provokatif dan mengadu domba. Sebagai ummat nabi Muhammad SAW. kita

harus senantiasa menjaga dan melestarikan cara berdakwah yang dicontohkan

nabi. Dakwah-dakwah yang pernah dilakukan Nabi Muhammad saw. sangatlah

dekat dengan ummat dan mengutamakan perdamaian sehingga Islam tumbuh di

hati para pemeluknya sebagai agama yang ramah, damai, selamat, serta saling

menghargai.

Dakwah bil hal disebut juga sebagai dakwah dengan memberikan contoh suri tauladan (mau’idzoh) yang baik kepada masyarakat. Pada hakekatnya,

dakwah bil hal merupakan pola singkat, tidak sulit dan mudah dilakukan di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja. Pada prinsipnya dakwah bil hal adalah suatu keharusan yang dilakukan oleh setiap dai. Karena dalam setiap menyampaikan

dakwah Islam kepada masyarakat, seorang dai harus lebih dulu mengamalkan dan

mencontohkannya kepada masyarakat yang didakwahinya.14 Meminjam istilah

Abdul Basith, dakwah bil hal juga merupakan kajian utama dari pengembangan masyarakat Islam.15 Maka di perguruan tinggi Islam terdapat studi Pengembangan

Masyarakat Islam (PMI) pada fakultas dakwah dan komunikasi sebagai agenda

pengembangan pola dakwah Islam dalam bentuk bil hal. Selain itu ia merupakan pola gerakan dakwah yang menonjolkan amal saleh.

b. Dakwah Bil Qalam

Pola gerakan dakwah Islam yang termuat dalam bentuk dakwah bil qolam

memiliki kriteria yang berbeda dengan pola-pola lainnya. Pertama, dakwah bil

14 Drs. Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah Dengan Aspek-Aspek Kejiwaan Yang

Qur’ani, (Jakarta : Amzah press, 2001)

15

(27)

qolam tidak bisa dilakukan oleh semua kalangan. Hanya kalangan tertentu saja yang dapat melakukannya, seperti akademisi, guru, penulis buku, cendekiawan,

ulama, serta orang-orang yang memiliki kemampuan dalam berbahasa tulisan.

Karena caranya menggunakan tulisan, dakwah bil qolam pun tidak bisa didapat oleh semua kalangan, apalagi pada masyarakat pedesaan yang jauh dari

perkembangan teknologi informasi.

Pola gerakan dakwah bil qolam biasanya lebih banyak dilakukan pada masyarakat urban, di kota-kota besar dan pada masyarakat modern, yang sudah

dimasuki perkembangan teknologi dan informasi. Bentuk dan jenisnya bisa

bermacam-macam, antara lain ; buku, majalah, surat kabar, internet, dan

semacamnya.

Kedua, dakwah bil qolam tidak memiliki dampak ke semua lini. Hal ini disebabkan tidak lain adalah karena dakwah bil qolam lebih beredar dan dilakukan oleh masyarakat terbatas saja. Seperti pada masyarakat kota,

perumahan, dan semacamnya. Dan, sebaliknya ia tidak beredar di masyarakat

tradisional, pedesaan, dan tempat-tempat yang jauh dari perkembangan teknologi

informasi. Ketiga, pola ini memiliki struktur penerima (mad’u). Tidak semua

masyarakat kota memiliki akses informasi yang cepat meskipun faktor

teknologinya sangat mendukung. Hal ini bisa saja terjadi karena faktor kemauan

dan kesadaran individu yang rendah untuk membaca dan menggali informasi.

Dan, masyarakat kota semacam ini lebih suka mendengarkan dari pada membaca,

seperti halnya masyarakat tradisional.

Di zaman Rasulullah saw. dakwah dengan model seperti ini seringkali

(28)

Kaisar Romawi Herkules, Qubaz kisro Persia dan Negus kaisar Etiopia. Itu

artinya, Rasulullah saw. menggunakan pola dakwah seperti ini hanya untuk

kalangan tertentu saja, tidak semua masyarakat diberikan dakwah dengan cara ini.

Melalui cara demikian, Rasulullah saw. bisa berhasil meluluhkan hati para raja

untuk memeluk agama Islam.16

Meskipun sangat terasa dampak positifnya bagi masyarakat kota (red.

modern), dakwah bil qolam justeru tidak memiliki tempat di masyarakat pedesaan (tradisional). Hal ini pulalah yang menjadikan perbedaan masyarakat kota dan

masyarakat desa dalam berdakwah sehingga pada masyarakat desa cenderung

memahami dakwah sebagai aktivitas ceramah tabligh, karena itulah dakwah bil qolam tidak memiliki pengaruh secara merata bagi semua kalangan.

c. Dakwah Bil Lisan

Dakwah bil lisan disebut juga sebagai dakwah bil qaul. Aktivitasnya yang selalu menggunakan komunikasi lisan, dakwah semacam ini sering kali ada di

majelis taklim, masjid-masjid, khutbah hari raya, khutbah Jumat, dan

semacamnya.

Dakwah bil lisan ini merupakan pola yang sering digunakan untuk berdakwah di tengah kehidupan masyarakat. dakwah bil lisan memang bisa dilakukan di semua kalangan masyarakat. baik masyarakat kota maupun

masyarakat desa, modern maupun tradisional. Akan tetapi, dakwah semacam ini

pun tidak bisa dilakukan dengan sembarang bicara. Rasulullah saw.

menyampaikannya dalam sebuah hadits shahih :

16

(29)

ﻢﳍﻮ

رﺪ

سﺎ ا

اﻮﺒﻃﺎﺧ

“Ajaklah manusia berbicara sesuai dengan tingkat pemahamannya”

Dari sabda Nabi Muhammad saw. tersebut, dapat diambil sebuah kesimpulan

yaitu setiap masyarakat memiliki kadar pemahaman atas sesuatu. Hal ini akan

berpengaruh pada pola dakwah Islam yang menggunakan metode ceramah. Maka

dari itu, penyesuaian terhadap masyarakat (mad’u) sangatlah penting guna

mencapai tujuan dakwah secara baik dan merata. Dalam kaitannya, Allah SWT.

berfirman dalam Qur’an surat Ibrahim, : 4 :

Artinya : “Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya17, supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (QS. Ibrahim, 14:4)

Dari keterangan-keterangan Rasulullah saw. serta firman Allah SWT. di dalam

Al-Qur’an memberitahukan kepada siapa saja yang melakukan dakwah Islam

haruslah menyesuaikan dengan kemampuan si penerima dakwahnya (mad’u).

Sehingga pencapaian dakwah dapat berjalan dan terlaksana sesuai dengan

tujuannya.

Pola gerakan dakwah Islam seperti ini telah banyak dilakukan oleh

berbagai kalangan. Dari mulai guru, politisi, pengusaha, akademisi dan juga

profesional. Mereka semua menggunakan pola dakwah ini dalam keseharian dan

aktivitas mereka. Melalui penyampaian lisan, seorang da’i dapat dengan langsung

berdialog dengan para jamaahnya. Sehingga para jamaahnya pun dapat secara

langsung menerima pesan dari da’i nya, dan jika ada sesuatu yang tidak dipahami

17

(30)

mad’u, maka mad’u dapat dengan langsung bertanya kepada da’i nya. Pola ini

banyak digunakan oleh para da’i dalam menyampaikan ajaran Islam.

3. Gerakan Dakwah Islam Klasik dan Islam Modern

a. Gerakan Dakwah Islam Klasik

Periode dakwah Islam klasik dimulai sejak abad ke-18 sampai abad ke-19.

Pada waktu itu, pesantren merupakan pusat kegiatan dakwah yang sering

digunakan sebagai media dakwah oleh masyarakat Islam. Selain sebagai pusat

transformasi ilmu-ilmu agama, pesantren juga sebagai tempat dakwah dan

musyawarah bagi masyarakat.

Dari lingkungan terbatas di pesantren, orang dapat melihat perkembangan

Islam di Indonesia dalam bentuk gerakan yang terorganisasi dan terlembagakan

yang mendasari munculnya gerakan-gerakan keagamaan yang lebih besar lagi di

awal abad ke-20. Di akhir abad ke-19, gerakan-gerakan keagamaan yang lahir dari

pesantren maupun dengan perkembangan literatur Islam, maka Islam Indonesia

menjadi lebih baik dan berada pada tahap menuju kemurniannya, sebagaimana

yang diajarkan oleh sumber-sumber doktrin yang asli.

Gerakan dakwah Islam klasik tidak serta merta menempatkan pesantren

sebagai pusat dakwah. Selain itu, kesenian dalam tradisi masyarakat jawa seperti

wayang golek, syair-syair jawa, serta adat istiadat masyarakat Indonesia juga

dijadikan sebagai media dakwah Islam pada saat itu.

b. Gerakan Dakwah Islam Modern

Seiring dengan pekembangan zaman dan pola pikir masyarakat muslim di

abad ke-20 ini telah melahirkan suatu peradaban baru, zaman baru di dunia Islam

(31)

dengan kompleksitas literatur-literatur Islam yang tidak hanya mengkaji Islam

dari sisi syariat dan ibadah saja tetapi juga teologi, filsafat, tasawuf, moralitas, dan

lain-lainnya.

Perkembangan Islam di abad ke-20 ini telah banyak melahirkan paradigma

baru yang bekaitan dengan gerakan pemurnian agama atau yang disebut sebagai

purifikasi Islam. Maka kemudian, cita-cita dakwah Islam pun harus mampu

menjadi pelopor dalam rangka purifikasi Islam tersebut.

Di Indonesia, gerakan dakwah Islam modern ditandai dengan agenda

sosial politik yang oleh kalangan modernis diakui sebagai suatu jalan menuju

masyarakat yang berkeadilan, sejahtera, pluralis, demokratis, rasionalis, inklusive

dan toleran.18 Ada tiga agenda penting dalam gerakan dakwah Islam modern,

yaitu :

1. Membentuk Masyarakat Madani

Prof. Dr. Azyumardi azra menyebut masyarakat madani atau “civil society” sebagai agenda penting pasca orde baru. Bahwa kondisi Islam saat ini tengah berada pada kemajuan juga sekaligus kemunduran. Masyarakat Islam di

Indonesia hari ini mengalami kemajuan dalam hal berpikir, berperadaban dan

berkemanusiaan tetapi sedang mengalami kemunduran pada sisi ekonomi, politik

dan sosial. Setelah kurang lebih selama 32 tahun gerakan-gerakan Islam di

Indonesia merasa terkunci dalam lubang kekuasaan orde baru, maka setelahnya

Islam kembali muncul dengan berbagai macam bentuk wajahnya. Hal ini

18

(32)

disebabkan akibat dari tekanan penguasa orde baru terhadap gerakan-gerakan

Islam. Dalam hal ini Prof. Dr. Azyumardi Azra menjelaskan :

“The Soeharto new order regime at least in the period of 1970’s and 1980’s was not on good terms with muslims political forces in general. In fact, there was a lot of mutual suspicion and hostilities between the two sides, president Soeharto took very harsh measures against any expression of Islamic extremism. But at the same time, it is widely believed that certain military generals such as Ali Murtopo and Benny Murdani recruited ex DI/TII to form “Komando Jihad” (Jihad Command), conducting subversive activities, in order to discredit Islam and Muslims.”19

(Rezim Orde Baru Soeharto di akhir masa 1970 dan 1980 secara umum telah berada pada kondisi kekuatan politik ummat Islam yang tidak baik. Sebenarnya terdapat banyak saling kecurigaan dan permusuhan diantara kedua pihak, Presiden Soeharto mengambil langkah keras melawan ekspresi Islam garis keras. Tetapi pada saat yang sama, Presiden Soeharto mempercayai penuh bahwa jenderal militer yang dapat dipercaya seperti Ali Murtopo dan Benny Murdani telah direkrut mantan DI/TII untuk membentuk Komando Jihad, melaksanakan aktivitas gerakan bawah tanah, dengan maksud mendiskreditkan Islam dan masyarakatnya.)

Sangat terlihat tajam pada kekuasaan orde baru pada saat itu gerakan Islam yang

kerap dianggap menghalau jalannya kekuasaan maka spontanitas dilakukan

penghentian oleh kekuatan Soeharto. Jadi, aktivitas dakwah Islam pun menjadi

rapuh dan tidak memiliki ruang bebas di hadapan publik.

Konsep masyarakat madani tentu saja dekat dengan historikal intelektual

dan sosial Eropa Barat. Wacana ini di Indonesia kemudian disebut sebagai

masyarakat madani, yang menekankan pada penolakan terhadap segala jenis

otoritarianisme dan totalitarianisme.20 Pada era orde baru, di Indonesia memang

dikenal sebagai era pengekangan terhadap gerakan-gerakan sosial politik

19

Azyumardi Azra, Contemporary Islamic Militant Movements In Indonesia, makalah Simposium Internasional, Institute Of Asian Culture Studies, Tokyo, 2005.

20

Hendro Prasetyo, dkk., Islam dan Civil Society; Pandangan Muslim di Indonesia,

(33)

masyarakat yang dilakukan oleh penguasa. Dan tentu saja berpengaruh pada

proses pembentukan masyarakat madani sebagai bagian dari upaya kalangan

modernis untuk menunjukkan kearifan dan keragaman kerukunan beragama dan

berbangsa di Indonesia ini.

Pergumulan wacana civil society di Indonesia menjadikan masyarakat muslim sangat penting untuk dipertimbangkan, karena ia adalah salah satu

kelompok agama mayoritas di Indonesia. Oleh karena itu, upaya pengembangan

civil society di Indonesia tidak lepas dari peranan ummat Islam. Ummat Islam merupakan basis perubahan politik dan sosial di Indonesia, dan ia pun memiliki

potensi sangat besar dalam menentukan format dan kehidupan politik di

Indonesia. Apalagi melalui jalur lembaga-lembaga dakwah yang dianggap sebagai

kendaraan pilihan masyarakat Indonesia dalam membentuk kesejahteraan

masyarakat selain partai politik.

Civil society merupakan agenda dakwah Islam dikarenakan untuk menekan angka kemajuan dan kesejahteraan masyarakat muslim khususnya dan

masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini tidak lepas dari peranan para da’i

sebagai bagian dari unsur pelaksanaan dakwah. Dengan memasukkan materi

tersebut sebagai bahan informasi menuju masyarakat berkeadilan, sejahtera,

pluralis, demokratis, rasionalis, dan sebagainya.

Gerakan civil society yang terus diwacanakan ini telah menadapatkan perhatian banyak kalangan, diantaranya adalah Nucholish Madjid, M. Dawam

Rahardjo, Amien Rais, Kuntowijoyo, Abdurrahman Wahid, Din Syamsuddin serta

tokoh-tokoh lainnya. Lalu kemudian, mereka merumuskannya kembali dalam

(34)

mengupayakan untuk menyebarkan visi dari masyarakat madani tersebut

diantaranya adalah membentuk masyarakat muslim menjadi modern, rasional,

cerdas.

2. Melembagakan kegiatan dakwah (Institutionalized)

Bahwa dakwah yang dilakukan kalangan muslim abad 20 ini telah

memasuki dinamika kehidupan yang kompleks dan syarat akan nilai-nilai agama

dan budaya. Jika pada periode klasik pesantren dijadikan sebagai pusat kegiatan

dakwah, maka hari ini dakwah Islam telah mendapatkan banyak tempat untuk

mengembangkan dan menyebarluaskan aktivitasnya. Tidak hanya melalui

pesantren tradisional saja tetapi juga pada pesantren-pesantren modern, atau

bahkan pada lembaga-lembaga yang dengan sengaja dikhususkan sebagai pusat

kegiatan dakwah Islam. Seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII),

Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama

(LDNU), Majelis Tarjih Muhamadiyah, dan organisasi-organisasi lainnya yang

memiliki visi-misi dakwah Islam.

Selain dari pada itu, dakwah Islam kini tengah memasuki pada aspek

kajian akademik. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya Fakultas Dakwah di

berbagai perguruan tinggi Islam, baik negeri maupun swasta. Upaya untuk

melembagakan kegiatan dakwah Islam merupakan aplikasi dari Al-Qur’an Surat

Al-Mudatsir (74) ayat 1-7 :

(35)

Artinya : “Hai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu berilah peringatan!. Dan Tuhanmu agungkanlah!. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.”(QS. Al-Mudatsir, 74:1-7)

Ayat tersebut di atas merupakan bekal dakwah Rasulullah saw. untuk yang

pertama kalinya. Dakwah Rasulullah saw. pertama kali diawali dengan cara

sembunyi-sembunyi kurang lebih selama tiga tahun.21 Setelah itu, baru kemudian

Rasulullah mendapat wahyu berikutnya untuk menjalankan dakwah Islam dengan

terang-terangan :

Artinya : “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Hijr, 15:94)

Perintah dakwah Islam tersebut selanjutnya diemban oleh Rasulullah saw. selama

dua puluh tahun.22

Oleh karena itu, dakwah Islam harus sudah berada pada tingkat

profesionalitas.23 Surat Al-Mudatsir dan surat Al-Hijr tersebut memberikan pesan

bahwa dakwah Islam harus mengalami kemajuan seiring dengan kemajuan ilmu

pengetahuan dan perkembangan zaman. Mula-mula Allah memerintahkan dakwah

kepada Nabi Muhammad saw. dengan sembunyi-sembunyi lalu kemudian

memerintahkannya dengan terang-terangan. Artinya, bahwa kegiatan dakwah

21

Muhammad Abu Al-Fath Al-Bayanuni, Al Madkhal Ila ‘Ilm Ad Da’wah, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1991), h. 76

22

Abdul Basith, M. Ag, Wacana Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: STAIN Purwokerto press dan Pustaka Pelajar, 2005), h. 34

23

(36)

dewasa ini akan lebih terarah dan tercapai tujuannya melalui lembaga dakwah

yang terorganisasi. Dengan demikian, kegiatan dakwah di era modern ini akan

lebih sempurna dan terencana jika ada lembaga yang secara konsisten

mengarahkan dakwah Islam.

3. Transformasi Sosial (social transformation)

Selanjutnya adalah dakwah Islam sebagai transformasi kehidupan sosial.

Dakwah Islam memang tidak lepas dari perundingan sosial, dimana setiap

gerakan yang digelontorkan akan membentuk suatu pola dan tatanan kehidupan

masyarakat. Ini merupakan agenda khusus lembaga-lembaga dakwah dalam

upayanya menjadikan masyarakat sejahtera, adil dan takwa kepada Allah SWT.

Sisi lain dakwah sebagai transformasi sosial adalah dapat membentuk

etika dan moral masyarakat menjadi baik dan saling menjadi tauladan. Di dalam

suatu masyarakat terdapat beberapa orang yang dipandang sebagai “public

opinion” atau sebagai tokoh masyarakat. Seseorang yang dipandang berpengaruh

di masyarakat memiliki potensi untuk menyampaikan pesan-pesan agama. Maka,

kebanyakan orang menyebutnya sebagai ustadz, kiyai atau yang lebih umum lagi

adalah tokoh masyarakat.

Dakwah sebagai transformasi nilai-nilai sosial dikarenakan materi dakwah

sangat dekat dengan problematika umat dan bangsa. Proyeksi kemudian adalah

terbentuknya pribadi muslim yang taat beragama dan selalu menjalankan perintah

Allah SWT. melalui aktivitas dakwah inilah kemudian terpancar energi positif

yang membentuk sifat, karakter dan kebiasaan masyarakat yang baik, dan akan

saling menjadi bagian satu sama lainnya di masyarakat. Jika ini sudah terlaksana

(37)

telah digariskan dalam khittah dakwah nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadits yang menyatakan :

سﺎ

ﻢﻬ ﻔ أ

سﺎ ا

ﲑﺧ

“Sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi manusia lainnya”.

B. Islam Modern Dan Isu-Isunya

1. Pengertian Islam Modern dan Cita-citanya

Kemunculan kaum modernis dalam Islam sebenarnya merujuk pada

polarisasi model keberagamaan dalam Islam yang mengemuka pada pergantian

abad ke-19. Islam modern ini berasal dari gerakan sosial-politik dan keagamaan

yang diprakarsai oleh Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid

Ridha di Mesir. Mereka melakukan modernisasi terhadap Islam disebabkan

karena mereka ingin membebaskan ummat Islam dari penjajahan Barat24.

Kemudian, untuk meneruskan cita-cita gerakan Jamaludin Al-Afghani, maka

Abduh melakukan reformasi terhadap paham keagamaan yang telah dipraktikkan

oleh sebagian besar masyarakat muslim. Sedangkan Rasyid Ridha yang juga

sebagai murid dari Muhammad Abduh menjabarkan ide-ide kedua pendahulunya

itu kedalam sesuatu yang lebih bersifat praktis. Seperti pendidikan, ekonomi,

kesehatan dan sebagainya.

Modernisasi yang telah dilakukan oleh al-Afghani, M. Abduh dan Rasyid

Ridha tersebut sebenarnya bukanlah suatu gerakan baru. Dua nama besar yakni

Taqiyuddin dan Ibn Taimiyyah juga telah melakukan reformasi Islam

sebelumnya. Kedua tokoh ini telah merevisi paham keagamaan yang dipraktikkan

24

(38)

oleh sebagian besar masyarakat muslim pada masanya. Gerakan pembaharuan

(tajdid) yang mereka lakukan itu terletak pada upaya mengevaluasi paham keagamaan yang ada dalam rangka menemukan titik-titik kelemahan, baik berupa

penyimpangan, ketidaksesuaian serta pencampuradukan dengan unsur-unsur dari

luar Islam, kemudian ditetapkannya sebagai bentuk islah agama yang berada pada

garis yang benar. Berangkat dari pemikiran kedua tokoh tersebut, kritik dan

sangkalan-sangkalan pun muncul sebagai gerakan purifikasi Islam. Gerakan ini

dibangun oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Ia menilai kerangka modernisasi

Islam yang dilakukan oleh kalangan tersebut di atas adalah bentuk

penyimpangan-penyimpangan baru sepanjang sejarah Islam. Gerakan yang diprakarsai oleh

Wahhab ini kemudian dikenal sebagai gerakan Wahhabiah, atau masyarakat

Indonesia menyebutnya sebagai kaum Wahhabi. Abdul Wahhab menyerang

praktik-praktik keagamaan popular seperti pemujaan terhadap guru-guru sufi,

taqlid atau tawassul. Menurut gerakan dan konsep yang dibangunnya praktik keagamaan semacam itu telah melenceng dan patut dikatakan bid’ah, karena telah menyebabkan degradasi moral. Maka, pendapatnya menganjurkan kepada ummat

Islam pada waktu itu untuk tidak tenggelam dalam suasana tahayyul dan khurafat. Gerakan yang dibawa oleh Abdul Wahhab ini telah mendapatkan dukungan politis

dari penguasa Dariyah, Saudi Arabia yakni Muhammad ibn Saud. Maka, Abdul

Wahhab menyebarkan gagasan-gagasannya dengan keras, bahkan keduanya tidak

segan-segan mengerahkan kekuatan militer untuk melawan mereka yang dianggap

(39)

Wahhab tersebut berhasil menguasai sebagian besar Jazirah Arab, bahkan gerakan

ini telah menjadi aliran keagamaan yang resmi di kerajaan Arab Saudi25.

Sementara, yang terjadi di Indonesia bahwa Islam modern tumbuh dan

berkembang tidak jauh akibat dari pergulatan wacana Islam di Timur Tengah.

Akan tetapi tidaklah sepenuhnya sama pemikiran Islam modern di Indonesia

dengan para tokoh modernis di Timur tengah. Pada awal abad ke-19 khazanah

Wahhabiah dan Ibnu Taimiyah telah memasuki Indonesia, dan akibat dari

munculnya beberapa paham keagamaan modern ini, muncul pergolakan

sosial-politik di Indonesia. Hal tersebut didasarkan atas pemahaman masyarakat muslim

di Indonesia yang dipengaruhi oleh tradisi dan budaya. Sebagian masyarakat

menilai bahwa Islam yang digariskan oleh pemikiran Wahhabiah dan Ibnu

Taimiyah adalah bentuk pergeseran budaya bangsa serta arabisasi Islam di

Indonesia. Sedangkan yang berbeda dengan kelompok tradisional tersebut

memandang Islam modern Wahhabi dan Ibnu Taimiyah adalah bentuk pemurnian

ajaran Islam dalam perihal ibadah, syari’ah dan muamalah.

Di tengah semakin derasnya arus pemikiran Islam modern di kalangan

intelektual muslim di Indonesia, melahirkan beberapa pandangan baru terhadap

modernisasi Islam dengan tidak mengusik tradisi dan budaya bangsa. Salah satu

contoh adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1912, Muhammadiyah, telah

menggariskan secara komprehensif bahwa Islam modern pada prinsipnya

memiliki cara beragama dengan mengutamakan akal, menentang taqlid,

menganjurkan Ijtihad, kembali pada Qur’an dan Hadits, anti tahayyul, bid’ah dan

khurafat. Ciri-ciri tersebut juga merupakan cara pandang Islam modern menurut

25

(40)

Muhammad Abduh, tetapi dalam perbandingannya kaum Muhammadiyah lebih

senada dengan kaum Wahhabi ketimbang M. Abduh. Sebagai organisasi Islam

modern terbesar di Indonesia, Muhammadiyah memiliki Majlis Tarjih, yang secara khusus menangani persoalan keagamaan26.

Selain sebagai paham keagamaan, istilah tradisionalis-modernis juga

dipandang sebagai identitas budaya. Tentu saja ini merupakan dimensi

non-keagamaan, dan nampaknya lebih penting diperhitungkan dalam polarisasi

tradisionalis-modernis27. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern

terbesar di Indonesia memulai aktivitasnya bukan pada sisi keagamaan, melainkan

sosial, pendidikan, dan ekonomi. Hal ini telah dibuktikan dengan hasil karyanya

seperti panti asuhan, sekolah-sekolah, rumah sakit, poliklinik, universitas dan

koperasi masyarakat.28 Munculnya paradigma Islam modern ini diukur dari

keadaan ummat Islam yang pernah terjajah oleh bangsa-bangsa Eropa. Apalagi

bagi mereka yang pernah merasakan kejayaan Islam, maka akan merasa seperti

diinjak-injak bahkan hilang harga dirinya karena ummat Islam tengah dijajah oleh

bangsa Eropa.

Islam modern yang dibangun atas dasar perkembangan, kemajuan dan

peradaban manusia bukanlah suatu tujuan akhir dalam menciptakan masyarakat

beragama, namun pada komposisinya, Islam modern mengajak masyarakat untuk

berpikir maju dan mengamalkan ajaran-ajaran pokok Islam dalam kehidupan

26

Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995)

27

Hendro Prasetyo, dkk. Islam dan Civil Society; pandangan muslim di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002)

28

(41)

sehari-hari. Fazlur Rahman berpendapat bahwa Islam modern merupakan sebuah

tuntutan beragama dengan melibatkan unsur fikriyah sebagai interpretasi Al-Qur’an dan Hadits. Lebih lanjut ia mengatakan “Islam modern mengarah pada

cara-cara berpikir baru pada umat Islam yang terbelakang (jumud) dengan

merombak cara Islam diinterpretasikan”29

Modernisme kini sudah menjadi sebuah paham dalam dimensi sosial yang

mensyaratkan pada peranan akal yang dominan. Ini berarti mengharuskan cita-cita

sosial kepada arah kemajuan dan peradaban baru. Adalah benar bahwa

kemodernan memiliki kapasitas berpikir yang panjang dan luas. Oleh karenanya,

karakter-karakter yang terbentuk pun tidak jauh dari rasionalitas akal pikiran

seseorang atau cara berpikirnya. Berkaitan dengan hal ini, Dr. Yusuf Qardhawi

menjelaskan karakteristik kemodernan, diantaranya adalah :

- Rasional Ilmiah

Dalam dimensi sosial, kehidupan masyarakat modern telah disandarkan pada cara

berpikir dalam menilai dan menentukan sesuatu. Segala sesuatu harus disandarkan

kepada ilmu dan dipertimbangkan melalui logika. Di era modern, masyarakat

Islam harus mampu menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam

maupun yang berkaitan dengan kehidupan sosial melalui nalar rasional-ilmiah.

Pendapat-pendapat yang tidak dilandasi dengan cara berpikir ilmiah tidak akan

dapat diterima oleh masyarakat modern. Islam pun senada dengan cara berpikir

demikian. Karena pada dasarnya, Islam tidak menerima prinsip-prinsip mistisisme

yang kerap dilakukan oleh paranormal dan Islam mengkategorikan tindakan ini

sebagai tindakan kufur dan syirik yaitu menyekutukan kekuatan Allah SWT.

29

(42)

Dengan demikian, karakter masyarakat Islam modern merubah pola

pikirnya dengan mengedepankan rasional-ilmiah. Selain itu, Al-Qur’an juga

mendeklarasikan peperangan melawan kejumudan dan taklid kepada nenek

moyang, pembesar-pembesar kaum serta kepada masyarakat awam.30

- Pembaruan (tajdid)

Karakteristik kemodernan yang kedua adalah pembaruan (tajdid).

Pembaruan ini merupakan bentuk kondisi masyarakat modern. Umumnya,

masyarakat muslim modern selalu berpikir menatap ke arah masa depan. Mereka

tidak tinggal diam menghadapi problematika baru dengan penyelesaian dari

pendapat-pendapat lama yang cenderung membeku. Islam melarang adanya

pembekuan dalam kehidupan, pemikiran, keilmuan, dan ijtihad. Dan sebaliknya,

Islam menghendaki seseorang untuk terus mengupayakan adanya regenerasi dan

perubahan-perubahan peradaban manusia, serta untuk melakukan ijtihad terkait

dengan persoalan-persoalan baru yang dihadapi dalam kemodernan.

Pembaruan yang dimaksud dalam modernisme Islam adalah pembaruan

dalam hal cara berpikir masyarakat yang menyertakan pada prinsip

rasional-ilmiah, serta gerakan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah. Lebih lanjut, Dr.

Yusuf Qardhawi mengingatkan kepada masyarakat modern bahwa pembaruan

bukan berarti memungkiri yang lama.

“Ingat, bahwa pembaruan yang dimaksudkan tidak berarti menginterupsi hubungan dengan turats, dan mengingkari yang lama. Karena tidak semua yang lama adalah buruk, sebagaimana tidak semua yang baru adalah baik. Berapa banyak hal yang lama dan terus bermanfaat secara signifikan, dan membawa berkah secara melimpah. Dan berapa banyak hal yang baru tidak membuahkan kebaikan bahkan mengandung bahaya laten dan nyata. Permasalahan baru dan lama adalah relatif, yang

30

(43)

dianggap lama pada hari ini sebenarnya adalah baru pada waktu lalu, dan yang dianggap baru hari ini ia menjadi lama esok lusa. ”31

Begitu pun dengan apa yang telah diprinsipkan oleh Nahdlatul Ulama

(NU) bahwa menjaga sesuatu yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang

baru yang benar adalah perbuatan terpuji32. Dengan demikian, prinsip pembaruan

tidak akan mengacak-acak pendapat lama. Inilah yang kemudian dimaksud

dengan pembaruan (tajdid).

2. Pengertian Isu dan Isu Islam Modern

Sebelum lebih jauh membicarakan isu-isu Islam modern. terlebih dahulu

kita memahami isu sebagai apa, dari siapa dan untuk siapa. Dalam kamus umum

Bahasa Indonesia, kata isu memiliki arti “kabar yang tidak jelas asal usulnya dan

tidak terjamin kebenarannya” atau dalam arti lainnya adalah kabar angin,

desas-desus.33 Dalam konteks isu Islam modern, isu diistilahkan sebagai suatu fenomena

problematika Islam yang menimpa masyarakat. Dengan demikian, isu merupakan

fenomena masalah yang terjadi di permukaan masyarakat. Sifatnya belum

dikatakan sebagai keputusan tetapi ia adalah pergeseran wacana. Isu datang dari

persoalan masyarakat yang mengalami pergeseran wacana dari semula. Seperti

Islam Indonesia yang sejak dulu dikenal sebagai Islam yang ramah, santun,

bijaksana, arif dan toleran akan berubah menjadi keras, kasar, teroris disebabkan

oleh aksi radikal yang dilakukan oleh segelintir masyarakat yang

31

Yusuf Qardhawi, Ibid., h. 169-170

32 Aceng Abdul Aziz, dkk., Islam Ahlu Sunnah Wal Jamaah di Indonesia, (Jakarta:

Pustaka Ma’arif NU, 2006)

33

(44)

mengatasnamakan Islam. Sehingga kemudian munculah isu Islam Indonesia tidak

lagi seperti yang tergambarkan dahulu melainkan radikal, teroris.

Dikarenakan sifatnya sebagai pergeseran wacana, maka isu dapat juga

dijadikan sebagai momentum politik bagi sekelompok golongan yang hendak

mencapai tujuan dan cita-citanya. Dengan demikian isu sangat rentan dengan

wacana kajian dan dialog. Jadi, dakwah Islam mesti turut serta dalam menghadapi

isu-isu Islam modern. berikut ini adalah isu-isu Islam modern yang melahirkan

dialog dan literatur. Dengan demikian, dapat disederhanakan pengertian isu yang

berarti gejala sosial yang menjadi fenomena dalam kehidupan masyarakat.

Sedangkan Isu Islam modern adalah gejala-gejala sosial masyarakat yang

menjadi fenomena agama dan berkembang menjadi pengetahuan. Isu Islam

modern bagian dari pergeseran wacana klasik ke dalam wacana modern. Ada

banyak macam isu-isu Islam modern, diantaranya adalah Isu pluralisme,

liberalisme, sekularisme, hak asa

Referensi

Dokumen terkait