• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isu Pluralisme, Liberalisme, Sekularisme

a. Pluralisme

41

Azyumardi Azra, Contemporary Islamic Militan Movements in Indonesia, makalah simposium internasional, IACS, Tokyo, 2005

42

Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang layaknya agama- agama lain. Ia tidak sekedar menghendaki kerukunan bagi umat Islam saja tetapi bagi semua makhluk di dunia ini. Dan, Islam juga membenci kekerasan dan kemunafikan. Tak ada jaminan yang lebih jelas untuk menghindari kedua hal buruk tersebut kecuali ajakan Al-Qur’an kepada ummat manusia untuk menghormati keyakinan-keyakinan agama di dunia ini. Keragaman yang terjadi di dunia ini adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh siapapun dan kapanpun serta dimanapun. Nabi Muhammad saw. telah menggariskan perbedaan sebagai rahmat Allah SWT. untuk makhluk hidup di bumi.

Harold Coward dalam bukunya Pluralisme Tantangan Bagi Agama- Agama, menginventarisasi tantangan atas isu pluralisme keagamaan yang menghasilkan beberapa prinsip umum, diantaranya; pertama, pluralisme dapat dipahami dengan baik dan logis, jika dapat memahami al-Ahad berwujud dalam yang banyak. Hal ini memang bisa dimengerti bahwa Tuhan hanya Satu dan sama bagi semua agama. Maka hidup berdampingan dengan tanpa memperbandingkan secara timbal balik, masih dimungkinkan. Dan hambatan teologis dalam berbagai dialog keagamaan relatif tidak tampak. Kedua, adanya pengalaman bersama mengenal kualitas pengalaman agama partikular sebagai alat. Di sini dapat dimengerti bahwa agama sebagai alat kompetisi sehat, alat pengendali kehidupan manusia, dan sebagai alat untuk mencapai Tuhan yang sama. Dalam hal ini tentu juga harus diwaspadai soal kemungkinan munculnya faham relativisme43 dan liberalisme beragama. Karena pada dasarnya, sejauh mana pun seorang pluralis

43

Menurut WJS. Poerwadarminta, Relative itu sesuatu yang dapat berubah-ubah dan tidak mutlak.

harus tetap bersandar pada satu agama yang diyakininya dengan penuh konsisten serta harus mampu bersikap bijaksana terhadap agama lain.44

Menanggapi berbagai macam kondisi tersebut di atas bahwa keberagaman (pluralitas) sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Islam, maka kalangan agamawan pun turut bicara tentang pluralitas tersebut. Dan, kini ia menjadi isu dalam kajian Islam modern. Pluralitas adalah bentuk kemajemukan yang terdapat dalam kehidupan beragama dan tidak bisa dihindari. Namun, di satu sisi nilai pluralitas ini kerap menimbulkan konflik agama yang berkepanjangan. Ia juga bisa menjadikan suatu penganut agama menjadi radikal untuk mencegah nilai pluralitas ini. Dan, di sisi lain ada tugas dan tanggung jawab sebagai manusia yang harus menjaga nilai-nilai pluralitas ini menjadi karakter baik, saling menghormati dan saling menghargai.45

Pada dasarnya pengertian pluralisme tidak berada pada satu kesepakatan umum yang menggariskan bahwa pluralisme sebagai suatu paham yang meng-

cover perbedaan menjadi persatuan dan persamaan. Namun diskursus kajian Islam tentang pluralisme telah mendapat perhatian banyak kalangan dan terutama pada dekade 1980-an. Tema ini juga telah menjadi isu bagi bangsa Indonesia yang memiliki kemajemukan. Bertolak dari pandangan bahwa Islam adalah agama fithrah, yang membuat cita-citanya sejajar dengan cita-cita kemanusiaan universal, Islam juga dikenal sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.46

44

Harold Coward, Pluralisme Tantangan bagi Agama-agama, terj. Basco Carvallo, (Yogyakarta: Kanisius, 1992)

45 Ibid.

46 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf

Nurcholish Madjid (alm.) berpendapat bahwa cita-cita masyarakat Islam di Indonesia sejajar dengan cita-cita masyarakat Indonesia pada umumnya. Oleh karenanya, ia meyakini pluralisme sebagai bagian penting dari pandangan hidup keberagamaan masyarakat Indonesia.47 Kesadaran masyarakat Indonesia tentang keberadaan bangsanya yang sangat pluralistik, baik dari segi etnis, adat istiadat maupun agama membuat Islam di Indonesia menjawab realitas itu sebagai nilai positif bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Islam menunjukkan bahwa hampir semua agama, khususnya agama-agama besar dapat berkembang subur dan terwakili aspirasinya di Indonesia. Dalam hal ini Nucholish Madjid menyatakan :

“Kenyataan bahwa sebagian besar bangsa Indonesia beragama Islam disebut sebagai dukungan, karena Islam adalah agama yang pengalamannya dalam melaksanakan toleransi dan pluralisme adalah unik dalam sejarah agama-agama. Sampai sekarang bukti hal itu kurang lebih tampak jelas dan nyata pada berbagai masyarakat dunia: dimana agama Islam merupakan anutan mayoritas, agama-agama lain tidak mengalami kesulitan berarti; tapi sebaliknya di mana mayoritas bukan Islam dan kaum Muslim menjadi minoritas, mereka ini selalu mengalami kesulitan yang tidak kecil, kecuali di Negara-negara demokratis Barat. Di sana sejauh ini umat Islam masih memperoleh kebebasan beragama yang menjadi hak mereka.”48

Cita-cita Islam di Indonesia nampak terlihat mengarah kepada esensi pluralisme sebagai gambaran kemajemukan bangsa Indonesia. Terlebih lagi M. Syafi’i Anwar juga menegaskan bahwa universalitas Islam juga mengandung pengertian teologis, yaitu perkataan àl-Islam yang berarti “sikap pasrah kepada

Tuhan.” Dengan pengertian tersebut Nucholish Madjid berpendapat semua

47

M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995). Cet. 1, h. 229

48

Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992).

agama yang benar pasti bersifat àl-Islam karena mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan. Syafi’i Anwar melanjutkan pandangannya jika tafsir àl-Islam seperti ini akan bermuara pada konsep kesatuan kenabian (the unity of prophecy), kesatuan kemanusiaan (the unity of humanity).49 Kedua konsep tersebut merupakan kelanjutan dari konsep ke-Maha Esa-an Tuhan (the unity of God) atau lebih jelasnya adalah konsep Tauhid. Semua konsepsi kesatuan ini menjadikan Islam bersifat kosmopolit dan menjadi rahmat seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).

Posisi seperti ini menjadikan Islam sebagai penengah (al-wasith) dan saksi diantara sesama manusia.

Sikap pluralisme yang ditunjukkan oleh Nurcholish Madjid ini merupakan bagian dari teologi inklusif yakni memberikan formulasi bahwa Islam itu merupakan agama terbuka (open religion) dan sebaliknya tidak menghendaki adanya penyempitan tafsir terhadap Islam sebagai agama yang diperuntukkan bagi umat manusia. Sebagai konsekuensi dari paham kemajemukan beragama ini, umat Islam di Indonesia harus menjadi mediator sekaligus moderator di tengah pluralitas agama-agama di Indonesia. Problem umat Islam di era moden ini adalah bagaimana menyikapi pemahaman pluralisme ini. Maka dengan demikian, hendaknya setiap para da’i memuatkan materi pluralisme pada aktivitas dakwahnya. Hal ini diperuntukkan agar masyarakat mampu memahami pluralisme dengan objektif mengingat pluralisme bagian dari isu-isu Islam modern.

Dengan demikian, pluralisme merupakan topik terkini untuk dakwah dalam rangka membina masyarakat Islam agar terhindar dari hal-hal yang menyebabkan terjadinya kesalahpahaman dalam mengartikan pluralisme.

49

Berbicara pluralisme sebagai isu atas Islam modern, juga memberikan pandangan khusus bagi kaum liberal. Masyarakat muslim Indonesia dihadapkan pada isu-isu agama yaitu Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme. Wacana tersebut telah menjadi diskursus kajian pada lembaga-lembaga Islam yang memiliki tajuk modernisme. Jika pluralisme telah menempatkan manusia sebagai satu kesatuan (unity of humanism), maka liberalisme hadir sebagai penyambung atas berkembangnya paham pluralisme.

b. Liberalisme

Liberalisme sejatinya ingin membebaskan pemikiran-pemikiran masyarakat tentang doktrin baku ulama-ulama terdahulu dengan tidak meninggalkan keabsahan pendapat para ulama terdahulu itu. Ia mencoba mengubah pola pikir masyarakat modern untuk terbuka luas dalam berijtihad. Pada dasarnya, isu Islam liberal ini menghendaki adanya kebangkitan kesadaran kaum muslimin, di mana umat Islam bebas mengartikulasikan kesadaran budaya dan peradaban manusia. Kebebasan dalam format liberalisme merupakan faktor utama dalam memberikan kemajuan bangsa dan negara. Dan, sebaliknya, hilangnya kebebasan berfikir berarti hilangnya kebebasan berijtihad dalam Islam.

Prinsip dasar liberalisme adalah keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan dan ucapan. Oleh kelompok liberal prinsip-prinsip tersebut bertujuan untuk terbukanya Islam secara maknawi bukan secara harfi. Isu ini menjadi perdebatan hangat ketika tidak semua masyarakat menerimanya dengan lapang. Tidak jarang masyarakat Islam yang menolak paham liberalisme dalam Islam ini memboikot pemikiran-pemikiran

liberal dari dunia Islam. Menurut mereka yang kontradikitif terhadap isu liberalisme Islam ini adalah penistaan sekaligus dusta dalam agama Islam.

Dalam kajian akademik, isu pluralisme, liberalisme dan sekularisme memang tidak pernah mendapatkan kesepakatan umum terhadap pengertian maupun pemahamannya. Melalui Musyawarah Nasional (MUNAS) VII Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memberikan pengertian yang membedakan antara pluralisme dengan pluralitas, yaitu pluralisme dipahami sebagai “suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.” Sedangkan pluralitas memiliki pengertian bahwa “di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.”50

c. Sekularisme

Atas dasar larangan MUI tentang pluralisme, liberalisme dan sekularisme itu maka masyarakat Islam Indonesia secara umum menolak paham-paham tersebut sebagai bagian dari Islam. Terlepas dari pro-kontra, isu pluralisme, liberalisme, sekularisme tengah menjadi tantangan besar dakwah Islam modern hari ini. terlebih lagi jika isu tersebut sampai pada wacana sekularisme, yang mendapat tentangan lebih keras lagi dari kalangan umat Islam. MUI memberikan penjelasan mengenai sekularisme ini sebagai “suatu paham yang memisahkan urusan dunia dari agama, agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan

50

pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial”.51

Sekularisme menjadi perdebatan di kalangan umat Islam semenjak ada isu pemisahan urusan agama dan negara. Sejumlah ormas-ormas Islam di berbagai daerah pun menyiapkan diri untuk menghadang paham tersebut jika menyebarluas di daerah-daerah Indonesia. Tetapi yang terjadi adalah isu sekularisme ini hanya sampai pada permukaan masyarakat kota saja tidak sampai ke pelosok nusantara. Bagi sebagian kalangan akademisi seperti Dawam Raharjo, Nurcholish Madjid yang menganggap sekularisme sebagai pembenahan sistem beragama52 memang diperlukan adanya untuk menegaskan kepada umat Islam bahwa urusan ibadah syar’iyah tidak boleh dikaitkan dan dicampuradukan dengan urusan dunia atau negara. Namun oleh sebagaian lagi perjuangan Nurcholish dan teman-temannya itu dianggap sebagai provokasi untuk membalikan pikiran umat Islam tentang negara dan agama.

Kini dakwah Islam dihadapkan pada tantangan isu tersebut. Selain diperlukan pendalaman pemahaman terhadap isu tersebut, lembaga dakwah Islam harus mampu menjadi penengah atas pro-kontra isu pluralisme, liberalisme, sekularisme di kalangan umat Islam. Prof. Dr. Din Syamsuddin memandang bahwa isu pluralisme, liberalisme dan sekularisme hanya berpengaruh pada masyarakat kota atau modern saja53 karena sikap dan perilaku kelompok pluralis, liberalis, sekularis tidak diterima oleh kalangan masyarakat muslim di pedesaan

51 Ibid.

52

M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995)

53

atau tradisional. Dengan demikian, isu-isu tersebut menjadi tantangan bagi dakwah Islam yang berada di kota-kota besar dan di kalangan akademisi dan cendekiawan.

5. Isu HAM, Demokrasi, Kesetaraan Gender

Kendatipun bukan merupakan hal yang baru dalam Islam, persoalan HAM, Demokrasi dan Gender terus mengalami perkembangan sehingga berbagai problematika baru bermunculan di tengah masyarakat modern. Sehingga dakwah Islam juga bertanggung jawab atas masalah-masalah kontemporer yang kian muncul di tengah kehidupan manusia.

Secara sosiologis Islam modern merupakan konteks sekaligus determinasi sosiologis relevansi internalisasi dan pelembagaan prinsip-prinsip moral hak asasi manusia baik yang berpijak pada piagam HAM maupun yang merujuk pada tradisi Islam. Yang menjadi perhatian dakwah Islam atas permasalahan krusial HAM fundamental adalah hak-hak ekonomi, sosial, budaya, keterbelakangan pendidikan, gizi buruk, kelaparan, kemiskinan, pengangguran dan rendahnya apresiasi terhadap kemajemukan identitas (etnis, ideologi, agama). ini tentu saja akan menjadi peluang sekaligus tantangan besar bagi gerakan dakwah Islam.

Dalam sejarah Islam isu HAM sebenarnya merujuk pada deklarasi hukukul insaniyah (hak-hak kemanusiaan) yang diucapkan oleh Nabi Muhammad saw. dalam dua kesempatan. Pertama, dalam Piagam Madinah yang merupakan tindakan politis untuk mengatur masyarakat Madinah pada dasarnya mengandung nilai-nilai perlindungan terhadap hak-hak masyarakat Madinah. Dari sisi ini kemudian dipahami bahwa Islam sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan perlindungan hak-hak kemanusiaan. Kedua, khutbah Haji Wada’

yang disampaikan Nabi Muhammad saw. pada tanggal 9 Dzulhijjah di Padang Arafah. Berikut petikan pidato Nabi saw. dalam peristiwa Haji Wada’ :

“Wahai manusia! Dengarkan kata-kataku. Wahai manusia, harta dan darah kamu adalah tabu (haram) di antara kamu seperti haramnya hari ini di tempat kamu ini. Begitu sampai kamu bertemu dengan Tuhanmu, ketika Tuhan kamu meminta pertanggung jawaban kamu. Maka, hendaklah yang diberi amanat segera menyampaikan amanat itu.”54 Dalam Islam, harta dan darah adalah hak dasar

Hukukul Insaniyah (hak-hak kemanusiaan) yaitu sebagai hak hidup. Begitulah sekiranya Islam memandang hak kemanusiaan sebagai bagian dari prinsip hidup serta berujung pada penanaman nilai-nilai demokrasi.

Selain itu, permasalahan gender merupakan bagian dari agenda Islam modern, yaitu mendudukan isu gender/perempuan sejajar dengan lai-laki. Ada hak-hak perempuan yang dirasakan tertutupi atau terhalang oleh laki-laki seperti kebebasan berkarya, kebebasan berek0spresi dan bekerja. Islam sangat menjunjung nilai-nilai kebebasan berkarya yang dilakukan oleh perempuan dengan syarat kewajiban-kewajibannya terhadap identitasnya sebagai perempuan tetap terpenuhi, seperti mengurus suami (bagi yang sudah bersuami), mengurus anak-anak, mengurus rumah tangga, serta selalu menampilkan dirinya sebagai perempuan.

Dari sanalah telah dimengerti bahwa kewajiban dakwah Islam tidak hanya berpijak pada ajakan dan dorongan semata. Terlebih dari itu, kompleksitas permaslahan kaum modern sangat membutuhkan peranan dakwah Islam sebagai

54

Syu’bah Asa, HAM dalam Kajian Khutbah Haji Wada’, dalam Islam, HAM, Keindonesiaan; Refleksi dan Agenda Aksi Untuk Pendidikan Agama, (Jakarta: Ma’arif Institute, 2007)

bagian dari dinamika pergeseran pemikiran Islam modern. Isu HAM, Demokrasi dan kesetaraan gender memang tengah menjadi perbincangan akademik seperti halnya isu pluralisme, liberalsme, sekularisme. Namun, isu ini cukup dekat dengan masyarakat muslim, tidak saja di kalangan akademisi, profesi, masyarakat modern tetapi juga sampai pada masyarakat tradisional, pedesaan.

Falsafah dasar HAM di dalam ajaran Islam berasal dari pemahaman terhadap tauhid. Tauhid mengajarkan kepada manusia bahwa yang memiliki kehidupan ini adalah Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Makhluk-makhluk nya (manusia, tumbuhan, hewan, dll) adalah dari Allah Yang Maha Esa. Oleh karenanya keberadaan manusia adalah sejajar (egaliter) dan kemudian timbulah konsep persamaan hak dan kewajiban dasar sesama manusia lainnya.

¸¸¸

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya55 Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain56, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim...” (QS. An- Nisa’,4:1)

55

maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.

56

menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti : as aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.

º

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hijr,49:13)

Isu tentang HAM adalah bahwa setiap pemerintah demokrasi, agama harus memperhatikan sisi dalam dan sisi luar agama supaya tetap selaras dengan landasannya. Pada dasarnya, para masyarakat Islam pendukung HAM tidak bisa juga mengklaim atas monopoli keadilan dan kebenaran. Kendati demikian, masyarakat Islam karena sifat keislamannya harus benar-benar terlibat dalam perbincangan isu-isu yang diajukannya. Menjalankan HAM bukan saja menjamin terhadap karakter demokrasi suatu pemerintahan melainkan juga karakter keislamannya.

Dalam konteks Islam modern, HAM, Demokrasi dan Gender adalah serangkaian isu yang menjadi latar belakang pemikiran masyarakat muslim modern. Dengannya masyarakat akan dapat memahami nilai-nilai kemanusiaan yang sudah semakin menipis dan individualis masyarakat kota. Selain itu, masyarakat Islam modern dikehendaki untuk mengimplementasikan demokrasi di tengah kehidupan yang begitu kompleks dan urban. Serta menjunjung tinggi konsep persamaan (egaliterianisme) antara perempuan dan laki-laki.

Dalam kaitannya, demokrasi juga bisa dijadikan sebagai pendidikan bagi warga negara, mengingat ini adalah upaya pendalaman tentang implementasi demokrasi di negara mayoritas muslim seperti Indonesia ini. Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra postulat yang berada di balik penerapan pendidikan demokrasi ini tidak diwariskan begitu saja oleh orang-orang terdahulu tetapi sebaliknya, harus diajarkan terlebih dahulu baik melalui institusi maupun perorangan.57 Hal

tersebut telah mendudukan isu demokrasi sebagai muatan materi dalam dakwah Islam dalam rangka mengajarkan pendidikan demokrasi bagi setiap warga negara muslim.

Pada dasarnya Islam dan Demokrasi merupakan dua sistem politik yang berbeda. Memang, Islam tidak bisa disubordinatkan dengan demokrasi tetapi Islam merupakan sistem politik self-sufficient. Hubungan keduanya bersifat

mutually exclusive, yaitu saling berbarengan dalam menerapkan dua sistem yang berbeda tersebut. Islam sebagai sistem nilai yang membenarkan dan mendukung sistem politik demokrasi, dan demokrasi dalam pengertian negara-negara Barat sebagai sistem politik yang mengatur kedaulatan berada di tangan rakyat.58

Begitu juga dengan isu kesetaraan gender. Pada dasarnya ini juga merupakan kelanjutan dari sistem penegakan HAM dan demokrasi. Di mana prinsip egaliterianisme dijunjung tinggi sebagai upaya pemecahan tafsir yang mendiskreditkan perempuan dalam masyarakat madani. Isu gender bukanlah hal baru di dunia Islam, ini pernah menghebohkan zaman nabi Musa as. ketika itu,

57

Azyumardi Azra, kata pengantar pada Demokrasi, HAM, Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media, 2005) Cet. 2

58

Dede Rosyada, dkk., HAM, Demokrasi dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media, 2005) Cet. 2, h. 142

perempuan tidak boleh hidup lantaran dianggap sebagai penghancur kerajaan sekaligus tidak memiliki kegunaan dalam berperang.59 Tentu saja jalan pikiran tersebut mengundang Islam untuk menjawab sekaligus menampik pola pikir jumud masyarakat pada saat itu. Islam secara tegas mendudukan posisi perempuan sejajar dengan laki-laki.

º

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hijr,49:13)

Bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya dua makhluk Allah SWT. yang diciptakan untuk melengkapi kekurangan diantara keduanya. Lebih lanjut Allah SWT. dengan tegas menyatakan bahwa pembedaan keduanya adalah tingkat ketakwaannya terhadap Allah SWT.

Menurut Mansour Fakih, analisa yang digunakan masyarakat Islam yang berpikiran partilineal ini diakibatkan karena memahami teks kitab suci yang hanya pada sisi literalnya saja.60 Ketika analisa gender ditemukan pada ilmu-ilmu sosial

59

Muhamad Mustafa Atha’, Sejarah Dakwah Islam, penerj. Drs. HM. Asywadie Syukur, Lc, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982)

60

Mansour Fakih, Kekerasan Gender dalam Pembangunan, (makalah halaqah P3M, Jakarta, 1996)

barulah terasa ada yang tidak beres, sehingga terkadang Islam mendapat kecaman dari dunia moden bahwa Islam sangat merendahkan kaum perempuan, Islam tidak adil dalam mendudukan perempuan, Islam menindas kaum perempuan dan berbagai macam tudingan lainnya yang ditujukan terhadap Islam. Di sini arti penting dakwah Islam dalam menghadapi konteks kemodernan.

Padahal, Islam menggunakan nama perempuan (an-Nisa’) sebagai salah satu nama surat di dalam Al-Qur’an. Betapa itu menunjukkan bahwa Islam mendudukan perempuan kepada posisi yang sangat terhormat. Segala macam persoalan terdapat di dalam surat tersebut. Kesetaraan gender bagi kaum perempuan adalah kemerdekaan baginya yang selama ini dilegitimasikan kaum lelaki sebagai nomor dua. Persoalan ini akan beranggapan bahwa Islam yang mendudukan laki-laki sebagai imamnya perempuan jika dipahami sebatas literal saja akan membawa dampak historis dan ketakutan dunia modern terhadap Islam. Dimana perempuan kini telah berdiri sejajar dengan kaum laki-laki. Namun jika tidak dilakukan penafsiran yang relevan, Islam akan menjadi kandas dan dipandang masyarakat modern sebagai belenggu kaum perempuan.