TESIS
TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PELEPASAN ASSET
TIDAK BERGERAK PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA
(BUMN)
OLEH :
BORNOK MARIA IRENE NABABAN
NIM.087005020/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PELEPASAN ASSET
TIDAK BERGERAK PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA
(BUMN)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Utara
OLEH :
BORNOK MARIA IRENE NABABAN
087005020/HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
JUDUL TESIS : TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PELEPASAN ASSET TIDAK BERGERAK PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN)
NAMA MAHASISWA : BORNOK MARIA IRENE NABABAN
NOMOR POKOK : 087005020/HK
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM
Menyetujui Komisi Pembimbing
Ketua
(Prof.Dr.Bismar Nasution,SH,MH)
(Prof.Dr.Ningrum N.Sirait,SH,MLI)
Anggota Anggota
(Dr.Mahmul Siregar,SH,M.Hum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof.Dr.Suhaidi,SH,MH) (Prof.Dr.Runtung,SH,M.Hum)
Telah diuji pada : Tanggal 25 Juli 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof.Dr.Bismar Nasution,S.H,M.H Anggota : 1. Prof.Dr.Ningrum N.Sirait,S.H,M.LI
ABSTRAK
Direksi dalam melakukan pelepasan asset tidak bergerak berupa pengalihan tanah eks HGU, dimana direksi harus mendapat persetujuan dari Menteri BUMN sebagai pemegang saham dan begitu juga dalam hasil pelepasan asset tidak bergerak harus masuk ke kas negara, karena tanah eks HGU menjadi milik negara maka hasil pelepasan asset tidak bergerak harus masuk ke kas negara.
Penelitian menggunakan penelitan deskriptif analitis, yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang tanggung jawab direksi dalam pelepasan asset tidak bergerak pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN
).
Dari hasil penelitian diketahui, Direksi BUMN dalam melakukan pelepasan asset tidak bergerak harus sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku yaitu berdasarkan pasal 7 ayat 1 dari Keputusan Menteri Keuangan No.89/KMK.013/1999 tentang Pedoman Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara dan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.42/HGU/BPN/2002 tentang pemberian perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha atas tanah terletak di Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara, yang menyatakan pada bagian memutuskan diktum ketiga dan keempat. Jadi direktur utama PTPN.II (Persero) tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban sebagai direksi BUMN, karena direktur utama PTPN.II (Persero) sudah melaksanakan tugasnya dengan baik dalam pelepasan asset tidak bergerak atas tanah seluas 78,16 Ha yang terletak di Desa Dagang Kerawang, Kec.Tanjung Morawa, Prop.Sumatera Utara. Direksi BUMN dalam memasukkan hasil pelepasan asset tidak bergerak yang tidak masuk ke kas negara harus berdasarkan pasal 31 ayat 1 dari Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor : PER-02/MBU/2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan Dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara. Jadi direktur utama PTPN.II (Persero) harus bertanggung jawab terhadap hasil pelepasan asset yang tidak masuk ke kas negara melainkan ke kas perusahaan yang mengakibatkan kerugian pada negara.
Disarankan kepada Direksi dalam melakukan pelepasan asset tidak bergerak harus sesuai dengan tata cara pelepasan asset tidak bergerak yang diatur dalam BUMN, sehingga tidak ada tuntutan dikemudian hari yang menyebabkan kerugian bagi direksi BUMN itu sendiri. Disarankan Direksi BUMN harus lebih berhati-hati dalam memasukkan hasil pelepasan asset tidak bergerak ke kas negara, apabila hasil pelepasan asset tidak bergerak ingin dimasukkan ke kas perusahaan terlebih dahulu harus mendapat izin dari Menteri BUMN selaku wakil negara dalam menjalankan perusahaan di BUMN dan sebagai pemegang saham di perusahaan tersebut.
ABSTRACT
Board of Directors in conducting the release of assets do not move in the form of land transfers ex HGU, where directors must be approved by the Minister of BUMNs as a shareholder, and so are the immovable asset disposal proceeds should go into state coffers, because the ex HGU land belonged to the state asset disposal proceeds should not move into the treasury.
The research uses descriptive analytical research, which describes / presents at once analyzed the responsibilities of directors in the release of assets do not move to the State Owned Company (BUMNs).
From the survey results revealed, the Board of Directors in conducting the release of state-owned immovable assets should be in accordance with the regulations that apply are based onArticle 7 paragraph 1 of the Decree of the Minister of Finance on Guidelines No.89/KMK.013/1999 transfer of Fixed Assets of State-Owned Enterprises and Decree of the Head of National Land Agency No.42/HGU/BPN/2002 on the granting of extension of time Hak Guna Usaha of land situated in Deli Serdang regency, North Sumatra Province, which states in part decide the third and fourth dictum. So the president PTPN.II (Persero) can not be requested liability as directors of state enterprises, since the maindirector PTPN.II (Persero) has been carrying out their duties properly in the release of immovable assets of the land area of 78.16 hectares located in the Village Trade filigree , Kec.TanjungMorawa, North Prop.Sumatera. Directors of state enterprises in entering the asset disposal proceeds do not move that does not go into state coffers must be based on Article 31, paragraph 1 ofRegulation of the Minister for State Enterprises Number: PER-02/MBU/2010 concerning Procedures for transfer of fixed assetsand write-State Owned Enterprises. So the president PTPN.II(Persero) shall be responsible for the release of assets that do notgo into the state treasury but to the company's cash which resulted in losses to the state.
It is recommended to the Board of Directors in conducting the release of assets do not move should be in accordance with the procedures for the release of immovable assets provided for in state enterprises, so there is no demand in the future that causes harm to directors of state enterprises themselves. Directors advised BUMNs should be more cautious in entering assetdisposal proceeds did not move into the state treasury, assetdisposal proceeds, if not move to put the cash advance companiesmust obtain permission from the Minister of BUMNs as representative of the state in running the state-owned companies and as ashareholder in the company.
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan berkatnyalah penulis dapat menyelesaikan penulis tesis ini dengan
judul “TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PELEPASAN ASSET TIDAK BERGERAK PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN)”. Penulis tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Humaniora
pada program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan,
oleh karnanya Penulis sangat berterima kasih. Rasa terima kasih tersebut secara
khusus Penulis sampaikan kepada para dosen pembimbing yaitu : Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., Ibu Prof.Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.LI., Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., atas segala bimbingan, koreksi dan perbaikan yang diberikan guna penyempurnaan penulisan Tesis ini.
Selanjutnya Penulis mengucapkan terima kasih kepada para dosen
penguji yaitu : Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., dan Bapak Dr.Dedi Harianto, S.H., M.Hum., yang walaupun dalam kapasitas sebagai penguji, namun telah memberikan bimbingan yang sangat berharga kepada Penulis.
Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan
arahan konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil
sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna
Demikian juga rasa terima kasih yang sebesar-besarnya Penulis
sampaikan dengan hormat kepada :
1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Program Studi
Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi SH, MH., Selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Hukum di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan Tesis
ini.
3. Bapak dan Ibu dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, khususnya Bapak dan Ibu dosen pada Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum,
yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat
bermanfaat kepada Penulis, selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar
mengajar di bangku kuliah.
4. Rekan-rekan mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara khususnya seangkatan penulis, yang telah banyak
membantu penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.
5. Seluruh staf/pegawai di Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan.
6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Posman Nababan dan Ibunda Barita Rotua
memberikan dorongan dan semangat untuk terus menuntut ilmu, sehingga
memberikan kesempatan kepada Penulis untuk melanjutkan pendidikan yang lebih
tinggi lagi, di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
7. Saudara-saudaraku Abangda Manaor Bismar Nababan, Adinda Lamtiur Imelda
Nababan, Hotma Febrina Nababan dan Christina Hasian Nauli Nababan yang telah
memberikan kasih sayang dan juga mengorbankan sebahagian kebahagiaannya,
baik waktu, tenaga maupun pikiran demi tercapaiya cita-cita Penulis untuk
menyelesaikan perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah
diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha
Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang
melimpah kepada kita semua.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari
sempurna, namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat
memberikan manfaat bukan hanya kepada diri Penulis, tetapi juga kepada
masyarakat, khususnya masyarakat dilingkungan pendidikan hukum. Semoga
penelitian ini berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya bagi
rekan-rekan praktisi hukum demi tegaknya supermasi hukum di negeri ini.
Amien.... Medan, Juli 2011
Penulis,
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Bornok Maria Irene Nababan
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tgl lahir : Medan/18 Oktober 1985
Agama : Kristen
Alamat : Jln.Jenggala No.64 Medan
PENDIDIKAN
1991-1997 : SD.Santo Yoseph Medan
1997-2000 : SLTP Methodist-I Medan
2000-2003 : SMU Methodist-I Medan
2003-2007 : Universitas HKBP Nommensen
2008-2011 : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 22
C. Tujuan Penelitian ... 23
D. Manfaat Penelitian ... 23
E. Keaslian Penelitian ... 24
F. Kerangka Teoritis dan Koseptual ... 25
1. Kerangka Teoritis ... 25
2. Kerangka Konseptual ... 36
G. Metode Penelitian ... 38
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 38
2. Sumber Data Penelitian ... 39
3. Teknik Pengumpulan Data ... 40
4. Analisis Data ... 40
A. Pengertian BUMN ... 42
B. Tujuan Pendirian BUMN ... 46
C. Penyertaan Modal Negara ... 49
D. Pemisahan Kekayaan Negara Pada BUMN Persero ... 53
E. Jenis-Jenis BUMN ... 60
1. Perusahaan Umum (Perum)... 60
2. Perusahaan Perseroan (Persero)... 62
F. Organ-Organ Persero ... 63
1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) ... 63
2. Direksi ... 64
3. Komisaris ... 71
G. Tanggung Jawab Direksi Menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas ... . 73
H. Tanggung Jawab Direksi Menurut Undang-Undang BUMN ... . 82
I. Tanggung Jawab Direksi Dalam Pelepasan Asset Tidak Bergerak Pada BUMN ... .... 85
1. Analisa Hukum Tentang Tanggung Jawab Direksi Dalam Pelep san Asset Tidak Bergerak Pada BUMN Terhadap Putusan Nomor a :1491/PID.B/2006/PN-LP... 90
BAB III TANGGUNG JAWAB HUKUM DIREKSI BUMN TERH DAP HASIL PELEPASAN ASSET TIDAK BERGERAK A YANG TIDAK MASUK KE KAS NEGARA DALAM P TUSAN NOMOR : 1491/PID.B/2006/PN-LP…………... 109
B. Tanggung Jawab Hukum Direksi Secara Pidana ... 116
C Tanggung Jawab Direksi BUMN Terhadap Hasil Pelepasan Asset Tidak Bergerak Yang Tidak Masuk Ke Kas Negara . . 128
1. Analisa Hukum Tentang Tanggung Jawab Direksi Terhadap Hasil Pelepasan Asset Tidak Bergerak Pada BUMN Terhadap Putusan Nomor: 1491/PID.B/2006/PNLP... 130
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 146
A. Kesimpulan ... 146
B. Saran ... 148
ABSTRAK
Direksi dalam melakukan pelepasan asset tidak bergerak berupa pengalihan tanah eks HGU, dimana direksi harus mendapat persetujuan dari Menteri BUMN sebagai pemegang saham dan begitu juga dalam hasil pelepasan asset tidak bergerak harus masuk ke kas negara, karena tanah eks HGU menjadi milik negara maka hasil pelepasan asset tidak bergerak harus masuk ke kas negara.
Penelitian menggunakan penelitan deskriptif analitis, yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang tanggung jawab direksi dalam pelepasan asset tidak bergerak pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN
).
Dari hasil penelitian diketahui, Direksi BUMN dalam melakukan pelepasan asset tidak bergerak harus sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku yaitu berdasarkan pasal 7 ayat 1 dari Keputusan Menteri Keuangan No.89/KMK.013/1999 tentang Pedoman Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara dan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.42/HGU/BPN/2002 tentang pemberian perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha atas tanah terletak di Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara, yang menyatakan pada bagian memutuskan diktum ketiga dan keempat. Jadi direktur utama PTPN.II (Persero) tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban sebagai direksi BUMN, karena direktur utama PTPN.II (Persero) sudah melaksanakan tugasnya dengan baik dalam pelepasan asset tidak bergerak atas tanah seluas 78,16 Ha yang terletak di Desa Dagang Kerawang, Kec.Tanjung Morawa, Prop.Sumatera Utara. Direksi BUMN dalam memasukkan hasil pelepasan asset tidak bergerak yang tidak masuk ke kas negara harus berdasarkan pasal 31 ayat 1 dari Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor : PER-02/MBU/2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan Dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara. Jadi direktur utama PTPN.II (Persero) harus bertanggung jawab terhadap hasil pelepasan asset yang tidak masuk ke kas negara melainkan ke kas perusahaan yang mengakibatkan kerugian pada negara.
Disarankan kepada Direksi dalam melakukan pelepasan asset tidak bergerak harus sesuai dengan tata cara pelepasan asset tidak bergerak yang diatur dalam BUMN, sehingga tidak ada tuntutan dikemudian hari yang menyebabkan kerugian bagi direksi BUMN itu sendiri. Disarankan Direksi BUMN harus lebih berhati-hati dalam memasukkan hasil pelepasan asset tidak bergerak ke kas negara, apabila hasil pelepasan asset tidak bergerak ingin dimasukkan ke kas perusahaan terlebih dahulu harus mendapat izin dari Menteri BUMN selaku wakil negara dalam menjalankan perusahaan di BUMN dan sebagai pemegang saham di perusahaan tersebut.
ABSTRACT
Board of Directors in conducting the release of assets do not move in the form of land transfers ex HGU, where directors must be approved by the Minister of BUMNs as a shareholder, and so are the immovable asset disposal proceeds should go into state coffers, because the ex HGU land belonged to the state asset disposal proceeds should not move into the treasury.
The research uses descriptive analytical research, which describes / presents at once analyzed the responsibilities of directors in the release of assets do not move to the State Owned Company (BUMNs).
From the survey results revealed, the Board of Directors in conducting the release of state-owned immovable assets should be in accordance with the regulations that apply are based onArticle 7 paragraph 1 of the Decree of the Minister of Finance on Guidelines No.89/KMK.013/1999 transfer of Fixed Assets of State-Owned Enterprises and Decree of the Head of National Land Agency No.42/HGU/BPN/2002 on the granting of extension of time Hak Guna Usaha of land situated in Deli Serdang regency, North Sumatra Province, which states in part decide the third and fourth dictum. So the president PTPN.II (Persero) can not be requested liability as directors of state enterprises, since the maindirector PTPN.II (Persero) has been carrying out their duties properly in the release of immovable assets of the land area of 78.16 hectares located in the Village Trade filigree , Kec.TanjungMorawa, North Prop.Sumatera. Directors of state enterprises in entering the asset disposal proceeds do not move that does not go into state coffers must be based on Article 31, paragraph 1 ofRegulation of the Minister for State Enterprises Number: PER-02/MBU/2010 concerning Procedures for transfer of fixed assetsand write-State Owned Enterprises. So the president PTPN.II(Persero) shall be responsible for the release of assets that do notgo into the state treasury but to the company's cash which resulted in losses to the state.
It is recommended to the Board of Directors in conducting the release of assets do not move should be in accordance with the procedures for the release of immovable assets provided for in state enterprises, so there is no demand in the future that causes harm to directors of state enterprises themselves. Directors advised BUMNs should be more cautious in entering assetdisposal proceeds did not move into the state treasury, assetdisposal proceeds, if not move to put the cash advance companiesmust obtain permission from the Minister of BUMNs as representative of the state in running the state-owned companies and as ashareholder in the company.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Perekonomian yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang
kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, untuk lebih
meningkatkan pembangunan perekonomian nasional dan sekaligus memberikan
landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perekonomian dunia dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada era globalisasi sekarang dan akan
terus berlanjut pada masa yang akan datang, juga perlu dukungan lembaga perseroan
terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif
yang tentunya digerakkan dalam kerangka yang kokoh dari undang-undang yang
mengatur tentang perseroan terbatas.1
Perseroan terbatas merupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang paling
disukai saat ini, di samping karena pertanggung jawabannya yang bersifat terbatas,
perseroan terbatas juga memberikan kemudahan bagi pemilik atau pemegang
sahamnya untuk mengalihkan perusahaannya kepada setiap orang dengan menjual
1
seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut.2
Perseroan terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum
yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya.3
Perseroan terbatas merupakan subjek hukum yang berhak menjadi pemegang
hak dan kewajiban, termasuk menjadi pemilik dari suatu benda atau kekayaan
tertentu. Hanya subjek hukum yang merupakan individu (orang-perorangan) yang
dinilai memiliki kecakapan melakukan perbuatan melawan hukum serta
mempertahankan haknya di dalam hukum, juga badan hukum yang merupakan
artificial person yaitu sesuatu yang diciptakan oleh hukum untuk memenuhi
perkembangan kebutuhan kehidupan masyarakat.4
Sebagai badan hukum, pada prinsipnya perseroan terbatas dapat memiliki
segala hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh perorang, dengan pengecualian
hal-hal yang bersifat pribadi, dan hanya mungkin dilaksanakan oleh orang-perorang,
seperti yang diatur dalam buku pertama Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), dan sebagian dari buku kedua KUHPerdata tentang kewarisan.
Salah satu yang paling penting dalam menjalankan kegiatan perseroan
2
Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan tentang Perseroan Terbatas, (Bandung : CV.Nuansa Aulia, 2006), hlm.43.
3
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 4
adalah direksi. Di samping cukup penting karena direksilah yang mengendalikan
perusahaan dan kegiatan sehari-hari. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika
masyarakat awam berpandangan posisi direksi dalam suatu perusahan acap kali
diidentikkan dengan pemilik perusahaan. Pandangan demikian tidaklah sepenuhnya
dapat disalahkan, terlebih lagi dalam perusahan tertutup dimana pemegang sahamnya
didominasikan oleh kalangan keluarga, hampir dapat dipastikan yang duduk diposisi
direksi pun adalah kalangan keluarga, hampir dapat dipastikan yang duduk diposisi
direksi pun adalah kalangan perusahaan sendiri.5
Keberadaan direksi dalam suatu perusahaan merupakan keharusan atau
dengan kata lain wajib memiliki direksi. Direksi dalam perseroan terbatas ibarat
nyawa bagi perseroan jadi tidak mungkin suatu perseroan tanpa adanya direksi.
Sebaliknya tidak mungkin direksi tanpa adanya perseroan. Oleh karena itu
keberadaan direksi bagi perseroan sangat penting sekalipun perseroan terbatas
sebagai badan hukum yang mempunyai kekayaan terpisah dengan direksi. Tetapi hal
itu berdasarkan fiksi hukum bahwa perseroan dianggap seakan-akan sebagai subyek Menurut pasal 1 angka 5 dari
Undang-Undang Nomor : 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) direksi
adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun di luar Pengadilan sesuai
dengan ketentuan anggaran dasar.
5
hukum sama seperti manusia. Di dalam menjalankan tugas tersebut, direksi diberikan
hak dan kekuasaan penuh dengan konsekuensi bahwa setiap tindakan dan perbuatan
yang dilakukan direksi dianggap dan diperlukan sebagai tindakan dan perbuatan
perseroan sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam
anggaran dasar perseroan, maka perseroan yang akan menanggung akibat dari
perbuatan direksi. Sedangkan tindakan direksi yang merugikan perseroan, yang
dilakukan diluar batas dari kewenangan yang diberikan kepadanya oleh anggaran
dasar, dapat tidak diakui oleh perusahaan. Dengan demikian direksi bertanggung
jawab secara pribadi atas setiap tindakannya diluar batas kewenangan yang diberikan
dalam anggaran dasar perseroan.6
Di Indonesia, hubungan antara direksi dengan perusahaan adalah hubungan
bersifat kontraktual, yang artinya meskipun secara faktual antara direksi dengan
perusahaan tidak menandatangani suatu kontrak apapun, tetapi dalam hukum
dianggap ada kontrak pemberian kuasa. Sebagai konsekuensi yuridisnya, Direksi
sebagai pemegang kuasa tidak boleh bertindak melebihi dari kekuasaan yang
diberikan kepadanya dimana kekuasan direksi dapat dilihat dalam anggaran dasar
perseroan.
Dalam melaksanakan kepengurusan terhadap perseroan, direksi tidak hanya
bertanggung jawab kepada perseroan dan pemegang saham perseroan melainkan juga
kepada pihak ketiga yang berhubungan dengan perseroan baik langsung maupun
6
tidak langsung dengan perseroan. Oleh karena itu direksi dalam kewajiban atau
tindakan hukum berdasarkan kemauan serta kehati-hatian (duty of skill and care)
yang bermanfaat bagi pemegang saham secara keseluruhan karena kepentingan
perseroan adalah identik dengan kepentingan pemegang saham dan juga termasuk
didalamnya kepentigan pihak kreditor perseroan.7
Dalam fiduciary duty, direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak
atas nama dan untuk kepentingan perseroan dalam batas-batas yang diizinkan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam anggaran dasar. Setiap tindakan
yang dilakukan oleh direksi diluar kewenangan yang diberikan tersebut tidak
mengikat perseroan. Ini berarti direksi memiliki legitimasi dalam bertindak atas nama
dan untuk kepentingan perseroan. 8
Pada dasarnya direksi dalam menjalankan tugas kepengurusannya harus
senantiasa bertindak dengan itikad baik, senantiasa memperhatikan kepentingan
perseroan dan bukan kepentingan dari pemegang saham semata-mata, kepengurusan
perseroan harus dilakukan dengan baik sesuai dengan tugas dan kewenangan yang
diberikan kepadanya dengan tingkat kecermatan yang wajar dengan ketentuan bahwa
Direksi tidak diperkenankan untuk memperluas maupun mempersempit ruang
lingkup geraknya sendiri dan tidak diperkenankan melakukan tindakan yang dapat
menyebabkan benturan kepentingan antara kepentingan perseroan dengan
7
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, (Bandung : PT.Citra Aditya Bhakti, 2002), hlm.20-21.
8
kepentingan direksi. Keempat hal tersebut menjadi penting artinya karena empat hal
tersebut mencerminkan bahwa antara direksi dan perseroan terdapat suatu bentuk
hubungan saling ketergantungan dimana perseroan bergantung kepada direksi sebagai
organ yang dipercayakan untuk melakukan kepengurusan sedangkan perseroan
merupakan sebab keberadaan direksi tanpa perseroan, tidak pernah ada direksi. Dari
penjelasan dapat disimpulkan bahwa direksi merupakan organ kepercayaan perseroan
yang akan bertindak mewakili perseroan dalam segala macam tindakan hukumnya
untuk mencapai tujuan dan kepentingan perseroan.9
Pelanggaran terhadap fiduciary duty adalah pelanggaran-pelanggaran hukum
dan memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dan atas namanya
melakukan gugatan terhadap pihak yang menerbitkan kerugian tersebut. Dalam hal
pelanggaran fiduciary duty oleh direksi, ada kepentingan yang harus diperhatikan
yaitu kepentingan perseroan, kepentingan pemegang saham perseroan khususnya
pemegang saham minoritas dan kepentingan pihak ketiga yang berhubungan hukum
dengan perseroan khususnya kepentingan dari para kreditor perseroan.10
Pertanggung jawaban secara pribadi sampai harta kekayaan pribadi bagi
direksi, atas keputusan bisnis yang merugikan perseroan telah menjadi perdebatan
yang sejak lama. Di Amerika mengenal istilah business judgment rule, yang artinya
untuk melindungi kepentingan anggota direksi dari pertanggung jawaban diambilnya
9
Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.22-24.
10
keputusan suatu usaha tertentu yang mengakibatkan kerugian bagi perseroan.
Menurut business judgment rule, pertimbangan bisnis para anggota direksi tidak
dapat diganggu gugat lagi atau ditolak oleh pengadilan atau pemegang saham. Para
anggota direksi tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul
karena telah diambilnya pertimbangan bisnis oleh anggota direksi yang bersangkutan
sekalipun pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu.11
Beberapa Pengadilan berpendapat bahwa pertimbangan seorang anggota
direksi tidak dapat diganggu gugat lagi kecuali apabila pertimbangan tersebut
didasarkan atas kecurangan, menimbulkan benturan kepentingan, atau merupakan
perbuatan yang melanggar hukum. Perlindungan business judgment rule dikatakan
tidak berlaku bagi anggota direksi perseroan jika dalam transaksi bisnis yang
dilakukan oleh direksi, bahwa direksi tersebut telah berupaya mengedepankan
kepentigan pribadinya atau telah terdorong untuk membuat syarat-syarat transaksi
yang dilakukannya demi kepentingan pribadinya. Jadi business
judgment rule, para direksi tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan apabila
anggota direksi dalam mengambil suatu pertimbangan diketahui telah melakukannya
dengan itikad baik.12
Dalam Pasal 97 ayat (5) menyebutkan ”bahwa anggota direksi tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pribadi atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jika dapat membuktikan kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, telh melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
11
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Moderen dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm.99.
12
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan telah mengambil tindakan untuk mencegah timbulnya atas berlanjutnya kerugian tersebut.
Tanggung jawab direksi perseroan berdasarkan ketentuan UUPT dapat
diimplementasikan dalam ketentuan direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
khususnya Perseroan. Hal ini didasarkan ketentuan Pasal 11 UU No. 19 Tahun
2003 tentang BUMN yang menyatakan BUMN yang khususnya Persero berlaku
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas sebagaiamana
telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor : 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
Pada saat menyusun Undang-Undang Dasar 1945, para perintis kemerdekaan
menyadari bahwa Indonesia sebagai kolektivitas politik masih belum memiliki modal
yang cukup untuk melaksanakan pembangunan ekonomi. Indonesia hanya memiliki
sumber daya alam dan sumber daya manusia, sementara faktor produksi yang lain
seperti modal dan teknologi belum tersedia. Atas dasar kenyataan inilah kemudian
dirumuskan landasan hukum tentang asas keadilan di bidang ekonomi dan
kesejahteraan sebagaimana tertera dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Berawal dari pasal 33 UUD 1945 dirumuskanlah strategi politik ekonomi Indonesia.
Dalam strategi ini negara mengambil peran penting di bidang ekonomi untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat dan pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan
mendirikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui Nasionalisasi
Secara eksplisit Pasal 33 UUD 1945 ini menyatakan bahwa negara akan
mengambil peran dalam kegiatan ekonomi. Oleh karena itu pasal 33 UUD 1945
masih tercantum dalam konstitusi, selama itu pula keterlibatan Pemerintah (termasuk
BUMN) dalam perekonomian Indonesia masih tetap diperlukan. Namun demikian,
dalam realitanya seberapa jauh BUMN mampu menjadi alat negara untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan bangsa ini tergantung pada tingkat efisiensi
dan kinerja dari BUMN itu sendiri.13
Dalam sistem perekonomian nasional, BUMN ikut berperan menghasilkan
barang dan jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya
kemakmuran masyarakat. Untuk dapat mengoptimalkan perannya dan mampu
mempertahankan keberadaanya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin
terbuka dan kompetitif, BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan
profesionalisme antara lain melalui pembenahan pengurusan dan pengawasannya.
Pengurusan dan pengawasan BUMN harus dilakukan berdasarkan prinsip tata kelola
perusahaan. Peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelopor atau perintis
dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati usaha swasta. Di samping itu BUMN
juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan pengembangan usaha
kecil atau koperasi. BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan Negara
yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis pajak, deviden dan hasil privitasasi.
13
Pelaksanaan peran BUMN tersebut diwujudkan dalam kegiatan usaha pada hampir
seluruh sektor perekonomian, seperti sektor pertanian, perikanan, perkebunan,
kehutanan,dll.14
Pada saat ini permasalahan yang menyangkut BUMN khususnya yang
berbentuk perseroan terbatas (Persero) banyak mendapat sorotan dan perhatian publik
baik dari pakar ahli hukum, lembaga swadaya masyarakat maupun dari aparat
penegak hukum. Fenomena ini muncul sejak reformasi pada tahun 1998 yang
menuntut dilaksanakan perubahan secara total. Pengaturan tentang perseroan terbatas
sebagai suatu badan hukum telah ada dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas selanjutnya disebut UUPT. Di dalam UUPT juga terdapat
ketentuan mengenai tanggung jawab direksi atas pengurusan perseroan. Hal ini dapat
dilihat dalam Pasal 92 ayat 1 UUPT dan Pasal 98 ayat 1 UUPT.
Tujuan didirikannya BUMN diarahkan untuk mencapai dua tujuan yaitu
tujuan komersial dan tujuan sosial. Komersial karena dituntut untuk mengejar
keuntungan, sedangkan sosial dituntut untuk mengembangkan misi sosial dengan cara
memberikan bimbingan dan bantuan kepada ekonomi lemah, koperasi dan
masyarakat. Di dalam UU BUMN dinyatakan bahwa terhadap BUMN berlaku
undang-undang ini, anggaran dasar dan ketentuan perundangan lainnya. Yang
dimaksud dalam perundangan lainnya adalah undang-undang Nomor 1 Tahun 1995
(saat ini telah diganti dengan UU No.40 tahun 2007) termasuk perubahannya jika ada
14
dan peraturan pelaksanannya serta peraturan perundang-undangan sektoral yang
mengatur bidang usaha BUMN dan swasta yang dikeluarkan oleh Departemen/
lembaga non departemen.15
Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN adalah badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.16
Badan Usaha Milik Negara atau BUMN merupakan suatu unit usaha yang sebagian
besar atau seluruh modal berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan serta
membuat suatu produk atau jasa yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
BUMN juga sebagai salah satu sumber penerimaan keuangan negara yang nilainya
cukup besar
Untuk menjalankan perseroan harus mempunyai organ-organ perseroan.
Organ yang dimaksud adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Komisaris, dan
Direksi.
. Dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa pendirian, pengurusan dan
pengawasan dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
dibidang Perseroan Terbatas. Yang artinya adalah bahwa terhadap BUMN Persero
berlaku undang-undang perseroan terbatas yaitu undang-undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang perseroan terbatas.
17
15
Lihat Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
Di dalam hukum perusahaan mengajarkan bahwa diantara ketiga organ
perusahaan tersebut, RUPS merupakan organ dengan kekuasaan yang tertinggi dalam
16
Lihat Pasal 1 angka (1). 17
suatu perseroan terbatas. Dalam kedudukannya selaku RUPS, pengangkatan dan
pemberhentian cukup dilakukan dengan Keputusan Menteri. Keputusan Menteri
tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keputusan yang diambil
secara sah dalam RUPS. Karena modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau
paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik
Indonesia yang diwakili oleh Menteri. Menteri yang ditunjuk mewakili Negara selaku
pemegang saham dalam setiap keputusan tertulis yang berhubungan dengan persero
adalah merupakan keputusan RUPS.18
Salah satu organ yang cukup penting dalam menjalankan kegiatan persero
adalah direksi. Disamping cukup penting, karena direksilah yang mengendalikan
perusahaan dan kegiatan sehari-hari.
RUPS dapat melakukan tindakan berupa
pemberhentian sementara atau tetap terhadap direksi perseroan apabila ditemukan
bukti-bukti penyimpangan yang merugikan perusahaan atau merugikan keuangan
negara serta dapat melaporkan kepada aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian
atau kejaksaan maupun kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk di
proses secara pidana. Di samping itu pemegang saham dengan hak suara minimal 10
% (sepuluh persen) dapat menggugat direksi untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan atau tindakannya yang merugikan perseroan.
19
18
Pasal 14 ayat 1Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Menurut pasal 1 angka 9 dari Undang-Undang
No.19 Tahun 2003 tentang BUMN ”direksi adalah organ BUMN yang bertanggung
19
jawab atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta
mewakili BUMN baik di dalam maupun di luar pengadilan.”
Kalau dikaji lebih dalam bukankah kewenangan perwakilan yang diemban
direksi itu timbul karena adanya pengangkatan oleh rapat umum pemegang saham
sebagai organ persero yang mempunyai wewenang mengangkat direksi, sesuai
dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU BUMN. Pengangkatan ini bersifat sepihak,
sebab pengangkatan adalah perintah untuk melakukan pengurusan perseroan untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan BUMN, mewakili BUMN didalam
maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Kewenangan
untuk mewakili berdasarkan pengangkatan itu menjadi hapus atau tidak ada ketika
kewenangan mewakili itu ditarik kembali atau orang yang mewakili meninggal dunia.
Oleh sebab itu Pasal 16 ayat (4) UU BUMN, yang mengatakan bahwa anggota direksi
diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat kembali. Keputusan RUPS
untuk mengangkat direksi itu biasanya disertai dengan penetapan gaji, honorium dan
fasilitas lainnya didelegasikan dengan dewan komisaris.
Pengaturan mengenai pengurusan BUMN diatur dalam UU BUMN yang
menyatakan bahwa20
1. Pengurusan BUMN dilakukan oleh Direksi. :
2. Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN serta mewakili BUMN baik didalam maupun diluar Pengadilan. 3. Dalam melaksanakan tugasnya, anggota Direksi harus mematuhi anggaran dasar
BUMN dan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas,
20
pertanggung jawaban serta kewajaran.
Meskipun kedudukan Menteri selaku wakil pemerintah telah dikuasakan
kepada perorangan dan badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS, untuk hal-hal
tertentu Penerima kuasa wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Menteri
yang berwenang. Hal ini perlu mendapat perhatian terlebih dahulu dari Menteri
mengingat sifatnya yang sangat strategis bagi kelangsungan persero.21
Kewenangan pengurusan perseroan diberikan oleh undang-undang
kepada direksi agar direksi dapat melakukan tindakan hukum yang diperlukan.
Atau kewenangan pengurusan dipercayakan kepada direksi agar direksi dengan
itikad baik senantiasa bertindak semata-mata demi kepentingan dan tujuan
perseroan. Namun demikian ada kalanya dalam pengurusan dijumpai hal-hal
sebagai berikut. Sebagai contoh terkaitnya "pertentangan/benturan
kepentingan" antara direksi secara pribadi dengan perseroan22
1. Direktur tidak boleh menggunakan kekayaan atau uang perseroan untuk membuat keuntungan bagi dirinya.
, antara lain
sebagai berikut:
2. Direktur tidak boleh menggunakan informasi yang diperoleh atas dasar jabatan untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya.
3. Direktur tidak boleh menggunakan jabatannya mendapatkan keuntungan pribadi.
4. Direktur tidak boleh menahan keuntungan yang dibuat dengan alasan dan di dalam hubungan fidusianya dengan perusahaan.
21
Pasal 14 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
22
Setiap jabatan memiliki tugas dan kewajiban serta wewenang yang harus
dilaksanakan dengan baik. Jika tugas dan kewajiban tersebut dilalaikan atau
telah terjadi penyalahgunaan jabatan atau membawa konsekuensi terhadap
pejabat yang bersangkutan. Demikian direksi bertanggung jawab penuh atas
pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta mewakili
perseroan baik di dalam maupun diluar pengadilan. Direksi dalam menjalankan
jabatannya harus berorientasi semata-mata untuk kepentingan dan tujuan
perseroan. Semua tindakan dan keputusan yang diambil harus dilakukan demi
kepentingan umum dan tujuan perseroan.
Dalam hal direksi melakukan penyimpangan atas ketentuan dimaksud,
komisaris dapat mengusulkan pemberhentian direksi. Tidak jarang terjadi bahwa
walaupun komisaris, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ataupun akuntan publik
tidak menemukan adanya penyimpangan keuangan negara atau perseroan dan laporan
pertanggung jawaban direksi telah diterima oleh RUPS tidak menjamin bagi Direksi
untuk tidak diperiksa oleh aparat penegak hukum. Alasan pemeriksaan sering
didasarkan hanya pada adanya laporan dan pengaduan masyarakat. Tindakan ini tidak
logis dari segi analisis yuridis, karena secara yuridis apabila pertanggung jawaban
direksi telah diterima dan disetujui oleh RUPS selaku pihak yang berkepentingan
melindungi perseroan dari kerugian yang diakibatkan direksi atau selaku pemegang
kekuasaan tertinggi dalam perseroan maka pihak lain (instansi/lembaga pemerintahan
Hal ini timbul karena kurang pemahaman tentang hukum perusahaan dan
adanyan disharmonisasi antara hukum perusahaan dengan hukum keuangan negara.
Sehingga aparat penegak hukum selalu mengedepankan peraturan-peraturan atau
hukum publik sebagai suatu alat untuk menekan direksi atau pekerja BUMN.
Kesewenang-wenangan penyelenggara negara atau aparat hukum telah menimbulkan
rasa ketakutan kepada direksi atau pekerja BUMN. Intervensi yang
mengatasnamakan kepentingan publik atau masyarakat dijadikan dasar atau alasan
untuk secara langsung masuk melakukan pemeriksaan terhadap perangkat organisasi
atau terhadap pekerja BUMN. Sehingga patut direnungkan kembali konsep hukum
pembangunan dalam konteks perkembangan hukum yang menjunjung tinggi
demokrasi dan hak asasi manusia. Perangkat kaidah-kaidah dan asas-asas yang
mengatur kehidupan masyarakat termasuk didalamnya lembaga-lembaga dan
proses-proses yang mewujudkan hukum dalam kenyataan. Dalam pengurusan dan
pengelolaan kegiatan di BUMN merupakan picu terjadinya situasi dan kondisi yang
tidak memungkinkan bagi direksi dapat mengurus dan mengelola kegiatan usaha
BUMN secara optimal.23
23
Riant Nugroho, Op Cit., hlm.16-17.
Bahkan yang terlihat adalah kekhawatiran dan ketakutan
untuk mengambil suatu keputusan atau kebijakan karena takut diperiksa oleh aparat
hukum. Masih banyak pandangan negatif yang mengarah pada pembentukan opini
tentang ketidak beresan dan ketidak profesionalisme direksi dalam mengurus
pengelolaan BUMN tanpa didasari pemahaman yang komperhensif sampai sejauh
mana tanggung jawab direksi dalam pengurusan BUMN dan mengapa kinerja BUMN
tidak seperti yang diharapkan.
Tanggung jawab direksi dalam pengelolaan asset BUMN banyak mendapat
sorotan. Asset atau aktiva adalah sumber ekonomi yang diharapkan memberikan
manfaat usaha di kemudian hari yang dimiliki oleh perusahaan. Menurut Afryan
Thamrim, asset biasanya dikelompokkan menjadi beberapa kategori,24
1. Asset lancar
seperti:
Adalah asset yang biasanya akan dijual, dipertukarkan, dikonversi ke uang
tunai, atau digunakan sampai dalam satu tahun. Asset ini dikelompokkan menjadi
asset lancar dan asset tidak lancar. Aktiva lancar meliputi kas dan setara kas (mata
uang, uang yang disimpan dalam rekening bank, cek, money order, dll), Investasi
jangka pendek (misalnya saham dibeli dan dimiliki untuk dijual dalam waktu dekat),
piutang (uang yang dimiliki oleh debitur), persediaan (stock) dan biaya dibayar
dimuka (misalnya asuransi atau jasa yang dibayar, tetapi yang belum dipergunakan).
2. Investasi jangka panjang
Adalah asset yang dibeli dan dimiliki untuk jangka waktu yang panjang,
dengan tujuan mencapai pertumbuhan modal dalam nilai asset, dan / atau penghasilan
dividen. Investasi jangka panjang termasuk investasi pada efek (misalnya obligasi,
saham, dan panjang catatan panjang), aktiva yang tidak digunakan dalam usaha
(properti misalnya) dan investasi atau pensiun dana pensiun.
3. Asset tetap
adalah asset berwujud yang digunakan dalam operasi perusahaan tidak
dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal perusahaan dan mempunyai
masa manfaat lebih dari satu tahun. Asset ini dikelompokkan menjadi asset tetap
bergerak adalah asset tetap yang secara fisik dapat bergerak atau dipindahkan,
merupakan alat/sarana atau prasarana yang dipergunakan langsung atau tidak
langsung dalam kegiatan usaha perusahaan yang bersangkutan, contohnya properti,
bangunan, pabrik, alat-alat produksi, mesin, kendaraan bermotor, perabotan,
perlengkapan kantor, komputer, dan lain-lain. Dan asset tetap tidak bergerak adalah
asset tetap yang secara fisik tidak dapat bergerak atau tidak dapat dipindahkan,
contohnya tanah, gedung,dan lain-lain.
4. Asset berwujud
Adalah aktiva yang memiliki substansi. Contohnya properti, peralatan,
kendaraan dan komputer.
5. Asset tidak berwujud
Aktiva tidak berwujud adalah aktiva yang memiliki nilai, tetapi tidak memiliki
substansi. Yang termasuk asset ini seperti hak cipta, paten, merek dagang dan
goodwill.
6. Asset Lainnya
Adalah perkiraan atau akun yang tidak dapat dikategorikan pada harta atau
lancar. Contoh : Mesin rusak, uang jaminan, harta yang masih dalam proses
kepengurusan yang sah, dan lain-lain.
Harus diakui ini dalam pengelolaan asset BUMN masih banyak ditemui
kendala yang sulit diatasi dengan tepat dan cepat. Salah satu kendalanya adalah masih
kuatnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun, bila diamati lebih lanjut,
ternyata banyak asset BUMN yang belum dikelola secara profesional dan efisien.
Selain itu, masih terdapat beberapa asset di BUMN yang tidak digunakan secara
produktif dan tidak digunakan dalam proses produksi. Bahkan masih terdapat asset
yang dibiarkan tidak terurus (terlantar). Hal itu dapat mengakibatkan rendahnya
pencapaian bagi BUMN yang bersangkutan. Asset-asset BUMN yang dibiarkan
terlantar, misalnya tanah atau bangunan, kemungkinan dimanfaatkan oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Akhirnya dapat menimbulkan sengketa, dan
penyelesaiannya memerlukan waktu berlarut-larut. Oleh karena itu, sudah saatnya
BUMN melakukan pengkajian secara komprehensif terhadap asset-asset yang
dimilikinya. Setiap asset yang dikelola oleh BUMN seharusnya dapat dimanfaatkan
untuk menghasilkan profit dalam bentuk pemasukan kas sehingga bernilai tambah.
Sering terjadi kasus adanya pelepasan asset tanah dan bangunan milik BUMN dengan
pihak ketiga yang berakibat merugikan BUMN. Pada saat ini seharusnya hal tersebut
dapat dihindari oleh manajemen BUMN.
Pengelolaan asset BUMN harus dapat memenuhi prinsip
pertanggungjawaban. Artinya asset BUMN dikelola sesuai dengan peraturan
Manajemen BUMN juga perlu memperhatikan adanya keputusan Menteri Keuangan
maupun Menteri BUMN yang mengatur tentang pengelolaan asset (aktiva tetap),
termasuk ketentuan yang mengatur masalah pelepasan aset atau penjualan asset non
produktif.
Pengelolaan asset BUMN harus memenuhi prinsip kewajaran. Artinya perlu
diperhatikan masalah keadilan dan kesetaraan. Bila terdapat kontrak/kerja sama yang
terkait dengan pihak ketiga dalam pengelolaan aset BUMN. Bila manajemen BUMN
dapat mengelola assetnya diharapkan dapat diperoleh 5 (lima) manfaat. Pertama,
BUMN memperoleh nilai perusahaan secara maksimal. Kedua, BUMN memiliki
daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional. Ketiga, kontribusi
BUMN kepada pemerintah berupa dividen dan pajak lebih meningkat, sehingga dapat
mendukung bangkitnya perekonomian nasional. Keempat, pengelolaan BUMN lebih
transparan, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Kelima,
kinerja BUMN akan lebih bagus karena pencapaian lebih baik.25
Persetujuan pelepasan asset oleh Menteri Negara BUMN kepada
perusahaan dilakukan sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya sebagai
wakil pemerintah sebagai pemegang saham melalui RUPS berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 Tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas dan
Kewenangan Menteri Keuangan Pada Perusahaan Perseroan (Persero),
25
Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Jawatan (Perjan) Kepada Menteri
Negara BUMN. Pemberian persetujuan didasarkan kepada Peraturan Menteri
Negara BUMN Nomor : PER-02/MBU/2010 Tentang Tata Cara
Penghapusbukuan Dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik
Negara dan ketentuan sebagaimana diatur anggaran dasar perusahaan, dimana
perusahaan harus mendapatkan persetujuan Menteri Negara BUMN dalam
pelepasan aktiva perusahaan. Pelepasan Asset dapat dilakukan dengan
pemindahantanganan.
Pemindahantanganan adalah setiap tindakan mengalihkan aktiva tetap
Badan Usaha Milik Negara dengan cara penjualan, tukar menukar, penghibahan
dan cara-cara lain yang mengakibatkan beralihnya hak pemilikan/penguasaan
atas aktiva tetap Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan kepada Pihak
Lain. Apabila tidak melalui RUPS maka pelepasan asset itu bisa dianggap
korupsi.
Contohnya direktur utama PTPN.II (Persero) dalam melakukan
pelepasan asset tetap tidak bergerak berupa pengalihan tanah eks HGU tanpa
mendapat rekomendasi dari dewan komisaris dan tidak ada persetujuan
pemegang saham melalui RUPS dan hasil pelepasan asset tidak bergerak
dimasukkan ke kas PTPN.II (Persero). Dengan berakhirnya HGU (hak guna
usaha), maka status tanah menjadi tanah negara. HGU adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu
peternakan (dalam pasal 28 ayat 1 UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria). Menurut pasal 18 ayat 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai Atas Tanah, konsekuensi dari HGU yang hapus dan tidak diperpanjang
atau diperbaharui itu adalah bekas pemegang hak wajib membongkar
bangunan-bangunan dan benda-benda yang ada diatasnya, menyerahkan tanah dan tanaman
yang ada di atas tanah bekas HGU tersebut kepada Negara dalam batas waktu
yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang
keagrarian/pertanahan. Jadi pelepasan tanah bekas HGU sebagai asset
perusahaan, yang berwenang adalah Menteri Negara BUMN selaku pemegang
saham perusahaan dan juga tentang ganti rugi atas pelepasan asset harus masuk
ke kas negara dan penggunaan uang tersebut harus mendapat izin dari Menteri
BUMN selaku pemegang saham. Berdasarkan pemikiran latar belakang
permasalahan ini, penulis menganggap perlu melakukan penelitian dengan
mengambil judul “Tanggung jawab direksi dalam pelepasan asset tidak bergerak
pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)”.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang sebelumnya maka dapat dikemukakan perumusan
masalah sebagai berikut :
2. Bagaimanakah tanggung jawab direksi terhadap pelepasan asset tidak
3. Bagaimanakah tanggung jawab hukum direksi BUMN terhadap hasil
pelepasan asset tidak bergerak yang tidak masuk ke kas Negara dalam
putusan nomor : 1491/Pid.B/2006/PN-LP ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan maksud :
1. Untuk mengetahui tanggung jawab direksi terhadap pelepasan asset tidak
bergerak pada BUMN dalam putusan nomor : 1491/Pid.B/2006/PN-LP.
2. Untuk mengetahui tanggung jawab hukum direksi BUMN terhadap hasil
pelepasan asset tidak bergerak yang tidak masuk ke kas negara dalam
putusan nomor : 1491/Pid.B/2006/PN-LP.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis :
Penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan sumbangan
pemikiran dan memeperkaya perkembangan ilmu hukum bisnis dan
perusahaan khususnya tanggung jawab Direksi Dalam Pelepasan Asset
BUMN tidak bergerak.
2. Manfaat Praktis :
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang besar untuk
kepentingan baik bagi pemerintah, Perusahaan dan masyarakat dalam
bergerak.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan di
perpustakaan Universitas Sumatera Utara, penelitian yang membahas judul Tanggung
jawab direksi dalam pelepasan asset BUMN tidak bergerak belum pernah dilakukan
baik dalam judul, topik, dan objek permasalahan yang sama. Penelitian ini spesifik
mengenai “Tanggung jawab direksi dalam pelepasan asset tidak bergerak pada
Badan Usaha Milik Negara (BUMN)”. Namun pada tesis sebelumnya terdapat
penelitian sejenis yang dilakukan oleh 3 (tiga) orang mahasiswa Pascasarjana Ilmu
Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu:
1) Rudi Dogar Harahap dengan judul Penerapan Business Judgement Rule dalam
Pertanggungjawaban Direksi Bank pada tahun 2008. Dalam judul penelitian tesis
tersebut yang dibahas adalah mengenai prinsip pembelaan direksi sebagai
penyeimbang prinsip fiduciary duty.
2) Bustanul Arifin dengan judul Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terhadap
Perseroan Yang Dinyatakan Pailit pada tahun 2009. Dalam judul penelitian tesis
ini yang dibahas adalah mengenai secara umum ketentuan-ketentuan kewenangan
dan tanggung jawab direksi perseroan terbatas jika Perseroan yang diurusnya
mengalami pailit.
3) Jujur Hutabarat dengan judul Analisis Yuridis Terhadap Tanggung Jawab Direksi
Dalam penelitian ini yang dibahas merupakan cakupan pembahasan tanggung
jawab direksi dalam melakukan pengurusan dan pengelolaan BUMN .
Dengan demikian, berdasarkan penelusuran pada beberapa penelitian
sebelumnya, penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini
telah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena penulis
memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung
tinggi. Jadi penelitian ini adalah baru dan asli karena dengan asas-asas keilmuan
yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka.
F. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Dalam setiap penelitian harus disertai pemikirkan secara teoritis, karena
ada hubungannya antara teori dengan kegiatan pengumpulan data, pengolahan
dan analisis data.26 Teori menguraikan jalan pemikiran menurut kerangka yang
logis yang artinya yang mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan
dalam kerangka teoritis yang relevan yang mampu menerangkan masalah
tersebut.27
Oleh sebab itu kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan28
26
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hlm.122.
sebagai berikut:
27
Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta: Andi, 2006), hlm. 6.
28
1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta
yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.
2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klarifikasi fakta, membina,
struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi-defenisi.
3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang diteliti.
4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena
telah diketahui sebab-sebab terjadinya faakta tersebut dan mungkin faktor-faktor
tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa teori yang
dipergunakan dalam menjawab permasalahan ini antara lain sebagai berikut:
1. Teori Organisme
Menurut Teori Organisme dari OTTO VON GIERKE: “ Direksi adalah
organ atau alat perlengkapan badan hukum. Sama seperti halnya manusia
mempunyai organ-organ seperti tangan, kaki, mata, telinga dan seterusnya dan
karena setiap gerakan organ-organ itu dikehendaki atau diperintahkan oleh otak
manusia, maka setiap gerakan atau aktifitas Direksi badan hukum dikehendaki
atau diperintah oleh badan hukum sendiri.29
2. Teori Tanggung Jawab
Menurut Hans Kelsen “satu konsep yang berhubungan dengan konsep
29
kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum”. Bahwa seseorang
bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia
memikul tanggung jawab hukum berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu
sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan. Biasanya yakni dalam hal sanksi
ditujukan kepada pelaku langsung, seseorang bertanggung jawab atas
perbuatannya sendiri.30
Pembenahan pertanggungjawaban perdata terhadap direksi harus
merujuk kepada hukum perusahaan dan anggaran dasar perseroan itu sendiri.
Artinya sepanjang direksi perseroan telah melakukan tugas dan kewenangannya
dengan segala kemampuan profesionalitasnya, kehati-hatian dan dengan itikad
baik untuk kepentingan perseroan sesuai maksud dan tujuan perseroan, maka
direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk mengganti kerugian yang
diderita perseroan.
Teori pertanggungjawaban ada secara perdata dan
pidana. Menurut pertanggungjawaban perdata, tiap perbuatan melanggar hukum
yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Artinya tidak ada
kewajiban yang mengganti kerugian tanpa ada kesalahan. Sedangkan
pertanggungjawaban pidana “tidak ada pidana tanpa kesalahan.
Kedua teori ini tidak terlepas dari hak dan kewajiban yang sering
30
dikaitkan dengan pertanggung jawaban hukum. Dalam Hal ini Anggota Direksi
berkewajiban melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya memenuhi
kepentingan ini merupakan kewajiban sedangkan melalaikan adalah kesalahan.
Di samping dua teori ini tersebut, teori lain yang relevan adalah teori fiduciary
duty. Fiduciary of duty adalah suatu tugas yang disebut dari trustee yang terbit
dari suatu hubungan hukum antara trustee dengan pihak lain. Trustee adalah pihak
yang memegang suatu kepercayaan untuk kepentingan orang lain.
Dalam teori fiduciary duty, direksi hanya berhak dan berwenang untuk
bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan dalam batas-batas yang
diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam anggaran
dasar. Ini berarti direksi memiliki limitasi dalam bertindak atas nama dan untuk
kepentingan perseroan.31
31
Gunawan Widjaja, Op Cit., hlm.22-24.
Teori fiduciary duty perkembangannya masih baru di
Indonesia sehingga diperlukan pengembangan terhadap teori tersebut. Dalam
hukum perseroan, untuk mengerakkan perseroan, perseroan dibagi-bagi ke dalam
organ-organ, yang masing-masing organ memiliki tugas dan kewenangannya
sendiri. Di Indonesia, ada tiga jenis organ yang dikenal dan dari yang ketiga
jenis organ tersebut yang ada dalam perseroan adalah direksi organ yang
undang-undang diberikan hak dan kewajiban/diberikan tugas
melakukan/melaksanakan kegiatan pengurusan dan dibawah pengawasan dewan
fiktif. Untuk menjadikannya konkrit, maka organ-organ tersebut dilengkapi
dengan anggota-anggota yang merupakan orang-orang yang memiliki kehendak
yang akan menjalankan perseroan tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan
pendirian perseroan. Dengan demikian berarti pada dasarnya Perseroan juga
dijalankan oleh orang perorangan yang duduk dan menjabat sebagai pengurus
perseroan yang berada dalam satu wadah/organ yang dikenal dengan nama
direksi.32
Dalam menjalankan kegiatan dan aktivitasnya sehari-hari, perseroan
memiliki maksud dan tujuan perseroan yang dimuat dalam setiap akta pendirian
dan anggaran dasar perseroan.
Praktik hukum perseroan menunjukkan adanya 2 tindakan yang
merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan anggaran dasar perseroan 33
1. Tindakan yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta
anggaran dasar perseroan adalah tindakan yang berada diluar maksud dan
tujuan perseroan.
yaitu
:
2. Tindakan dari direksi perseroan yang berada diluar kewenangan yang
diberikan kepadanya berdasarkan ketentuan yang berlaku termasuk anggaran
dasar perseroan terbatas.
32
Try Widiyono, Op Cit., hlm.40. 33
Direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak atas nama dan
untuk kepentingan perseroan dalam batas-batas yang diizinkan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan anggaran dasar perseroan. Setiap
tindakan yang dilakukan oleh direksi diluar kewenangan yang diberikan tersebut
tidak mengikat perseroan, kecuali dalam hal ini diatur lain oleh undang-undang.
Ini berarti direksi memiliki limitasi dalam bertindak atas nama dan untuk
kepentingan perseroan.
Dalam tugas fidusia bagi direksi terhadap perseroan terbatas yang telah
mengangkatnya sebagai pengurus dan perwakilan bagi perseroan terbatas, dalam
segala macam tindakan hukumnya untuk mencapai maksud dan tujuan, serta
untuk kepentingan perseroan terbatas.
Ada 2 macam kewajiban Direksi 34
1. Kewajiban berdasarkan tugas hukum
yaitu :
adalah suatu kewajiban dari direksi yang secara tegas dinyatakan dalam
perundang-undangan dan anggaran dasar perseroan terbatas.
2. Kewajiban berdasarkan tugas fidusia.
adalah suatu kepercayaan yang diberikan dari pihak perseroan kepada direksi
untuk menjalankan tugas dan itikad baik dan loyal yang tinggi.
Philip Lipton dan Abraham Herzberg membagi tugas Fidusia ada 5
34
macam yaitu :
1. Duty To Act Bona Fide In The Interest Of The Company (Tugas untuk
kepentingan perseroan semata-mata), yang artinya kewajiban direksi untuk
melakukan kepengurusan perseroan hanya untuk kepentingan perseroan
semata-mata. Untuk menentukan sampai seberapa jauh suatu tindakan yang
diambil oleh direksi perseroan telah dilakukan untuk kepentingan perseroan,
maka hal tersebut harus dipulangkan kembali kepada direksi perseroan.
Direksi perseroan Harus mengetahu dan memiliki penilaian sendiri tentang
tindakan yang menurut pertimbangannya adalah sesuatu yang harus atau tidak
dilakukan untuk kepentingan perseroan. 35
2. Duty To Exercise Power For Their Proper Purpose (Tugas untuk melatih
kekuatan direksi dengan tujuan yang tepat),
35
Gunawan Widjaja, Op Cit., hlm.50.
yang artinya untuk dapat
melaksanakan tugasnya, direksi yang diberikan hak dan wewenang untuk
bertindak untuk dan atas nama serta bagi perseroan terbatas. Hal ini
membawa konsekwensi bahwa jalannya perseroan terbatas, termasuk
pengelolaan harta kekayaan erseroan terbatas. Sebagai orang kepercayaan
perseroan terbatas yang diangkat oleh rapat pemegang saham untuk
kepentingan para pemegang saham secara keseluruhan, direksi diharapkan
dapat bertindak adil dalam memberikan manfaat yang optimal bagi pemegang
sudah selayaklah jika dalam melakukan tindakan atau perbuatan yang
mengatasnamakan kepentingan perseroan terbatas, direksi harus
melakukannya secara benar dan tidak memihak bagi keuntungan atau
kepentingan manapun juga. Direksi diberikan kepercayaan kepercayaan oleh
pemegang saham melalui mekanisme rapat pemegang saham. Setelah rapat
pemegang saham menyetujui pengangkatan direksi perseroan, maka
pemegang saham tidak lagi berhubungan dengan direksi perseroan dan oleh
karena itu maka direksi tidak dapat mempergunakan kepercayaan yang
diberikan kepadanya tersebut dipergunakan dalam kapasitasnya untuk
merugikan satu atau lebih pemegang saham tertentu dalam perseroan.36
3. Duty To Retain Their Discrenatory Powers (Tugas untuk mempertahankan
kekuatan direksi),
36
Ibid., hlm.52.
yang artinya direksi dalam undang-undang dan anggaran
dasar dan kadang kala melalui rapat pemegang saham telah diberikan
kewenangan fiduciary untuk bertindak seluas-luasnya, namun demikian hal
tersebut haruslah dilakukan dan diselenggarakan untuk kepentingan
perseroan, dan oleh karena itu maka tidak selayaknyalah jika direksi
kemudian melakukan pembatasan dini atau membuat untuk bertindak untuk
tujuan dan kepentingan perseroan. Dalam hal ini tidak berarti direksi tidak
boleh mengadakan, membuat atau menandatangani suatu kesepakatan
tangani. Pada saat perjanjian yang mengikat tersebut dibuat dan ditanda
tangani, direksi sudah harus mempunyai pandangan, sikap dan kepastian
bahwa tindakan yang dilakukan tersebut hanya memberikan manfaat bagi
kepentingan perseroan terbatas.37
4. Duty To Avoid Conflicts Of Interests (Tugas untuk menghindari konflik
kepentingan perseroan),
37
Ibid., hlm.54.
yang artinya direksi memiliki kewajiban untuk
menghindari diadakan, dibuat atau ditanda tanganinya perjanjian atau
dilakukan perbuatan yang menempatkan direksi tersebut dapat suatu keadaan
yang tidak memungkinkan dirinya untuk bertindak secara wajar demi tujuan
dan kepentingan perseroan. Kewajiban ini bertujuan untuk mencegah direksi
secara tidak layak memperoleh keuntungan dari perseroan yang mengangkat
dirinya menjadi direksi. Kewajiban ini sebenarnya melarang dengan
mencegah direksi untuk menempatkan dirinya pada satu keadaan yang
memungkinkan direksi bertindak untuk kepentingan mereka sendiri, pada saat
yang bersamaan mereka harus bertindak mewakili untuk dan atas nama
perseroan. Jadi sesunguhnya kewajiban tersebut bukan untuk melakukan
penghukuman atas terjadinya suatu tindakan yang mengadung unsur benturan
kepentingan, melainkan merupakan suatu bentuk pencegahan sebelum suatu
tindakan, perbuatan atau keputusan yang mengandung unsur benturan