Uji Infektivitas Fusarium sp. pada Tiga Kelas Umur dan
Letak Titik Infeksi pada Tanaman Gaharu
(Aquilaria malaccensis Lamk.)
Skripsi
Oleh :
Budi El Rodo Simanjuntak
031202026/Budidaya Hutan
Departemen Kehutanan
Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
LEMBAR PENGESAHAN
Judul penelitian : Uji Infektivitas Fusarium sp. pada Tiga Kelas Umur dan Letak Titik Infeksi pada Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.)
Nama : Budi El Rodo Simanjuntak NIM : 031202026
Program Studi : Budidaya Hutan
Disetujui oleh, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS Nelly Anna, S.Hut, M.Si Ketua Anggota
Mengetahui,
ABSTRAK
Budi El Rodo Simanjuntak, Uji Infektivitas Fusarium sp. pada Tiga Kelas Umur dan Letak Titik Infeksi pada Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) di Desa Pekan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Dibimbing oleh Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS dan Nelly Anna, S.Hut, M.Si.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efektivitas infeksi Fusarium sp. pada umur 2, 3, dan 4 tahun serta untuk mengetahui letak titik inokulasi Fusarium sp. (batang bagian bawah, tengah, atau atas) yang terbaik untuk diinfeksi pada tanaman gaharu. Penelitian dilaksanakan di Desa Pekan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, yang dilaksanakan pada bulan Juli– Desember 2008. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode suntikan dengan inokulan cair. Parameter yang diamati adalah persentase infeksi dan besar infeksi selama 6 bulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase infeksi dengan letak titik infeksi batang bagian atas, tengah dan bawah terinfeksi sebesar 100%. Letak titik infeksi batang bagian bawah memberikan besar infeksi yang efektif dari batang bagian tengah dan atas. Tanaman gaharu berumur 4 tahun lebih efektif untuk diinfeksi dengan Fusarium sp. dari umur 2 tahun dan 3 tahun.
ABSTRACK
Budi El Rodo Simanjuntak, Test of Infectivity Fusarium sp. in Three Class Year and Gaharu Tree (Aquilaria malaccensis Lamk.) infection location at Pekan Bahorok Village, Kabupaten Langkat, North Sumatera. Supervised by Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS and Nelly Anna, S.Hut, M.Si.
Purpose of this research to find out the best infection of age from gaharu tree (2, 3, or 4 year) by Fusarium sp. and to find out the best inoculation for infection (lower wood, middle wood and upper wood) of gaharu trees. This research was held in Pekan Bahorok Village, Kabupaten Langkat, North Sumatera, started from July 2008 until December 2008. Inoculation method was used by melt inokulan with injection. The percentage infection and fast of infection were parameters for 6 month.
The research result show that infection percentage with the upper location infection, middle and lower location infection equal to 100%. Lower wood location infection give fast of effective infection from middle and upper wood location. The age of 4 year from gaharu tree is more effective for the infection from age of 2 year and age of 3 year.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Budi El Rodo Simanjuntak dilahirkan di Medan,
Sumatera Utara pada tanggal 27 November 1984 dari ayah Tanjung S.
Simanjuntak dan ibu Maryani br. Silalahi. Penulis merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara.
Pada tahun 1996 penulis menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar (SD)
Indorayon Porsea, pada tahun 1999 lulus dari SMP St. Maria Medan, pada tahun
2002 lulus dari SMU Immanuel Medan, pada tahun 2003 diterima di Universitas
Sumatera Utara, Fakultas Pertanian, Departemen Kehutanan, program studi
Budidaya Hutan, pada tahun 2006 menyelesaikan D-III dari STIE IBBI Medan.
Selama di bangku perkuliahan, penulis melakukan kegiatan Praktek
Pengenalan dan Pengendalian Hutan (P3H) di Taman Hutan Raya Tongkoh dan
Hutan Pantai di Bandar Kalipah. Pada tahun 2007 penulis melakukan Praktek
Kerja Lapang (PKL) di PT. Toba Pulp Lestari Tbk. Porsea Kabupaten Toba
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat karunia-Nya proposal penelitian ini dapat diselesaikan. Adapun judul
proposal penelitian ini adalah “ Uji Infektivitas Fusarium sp. pada Tiga Kelas
Umur dan Letak Titik Infeksi pada Tanaman Gaharu ”.
Gaharu merupakan hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai jual tinggi
dan banyak dicari masyarakat luas. Untuk memenuhi permintaan ekspor dan
untuk mengantisipasi kelangkaan pohon penghasil gaharu, perlu dilakukan upaya
peningkatan produksi gaharu secara lestari. Secara teknis, garis besar tahapan
rekayasa produksi gaharu dimulai dengan isolasi jamur pembentuk yang diambil
dari pohon penghasil gaharu sesuai jenis dan ekologi sebaran tumbuh pohon yang
dibudidayakan.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing skripsi saya, Bapak Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS dan Ibu
Nelly Anna, S.Hut, M.Si yang telah membimbing saya dalam penulisan proposal
ini.
Saya mengakui masih banyak kesalahan dalam penulisan proposal
penelitian ini, untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun
agar proposal penelitian ini bisa menjadi lebih baik.
Medan, November 2009
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 4
Hipotesis Penelitian ... 4
Manfaat Penelitian ... 4
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Gaharu ... 5
Syarat Tumbuh dan Penyebaran Gaharu di Indonesia ... 8
Kelas Produk Gaharu ... 9
Inokulan Pembentuk Gaharu ... 11
Teknik Inokulasi ... 16
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 19
Alat dan Bahan Penelitian ... 19
Metode Penelitian ... 19
Parameter Yang Diamati ... 20
Analisis Data ... 21
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertemuan peneliti gaharu di Desa Pekan Bahorok ... 23
Kegiatan inokulasi ... 23
Persentase infeksi ... 24
DAFTAR TABEL
Hal
1. Klasifikasi mutu produk gaharu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) ... 10
DAFTAR GAMBAR
Hal
1. Cara pengeboran lubang ... 20
2. (a) Tanaman gaharu dan tanaman salak (b). Pembibitan gaharu ... 23
3. (a) Metode sayat (b). Metode bor (c). Lilin malam ... 24
4. Tanaman gaharu berumur 2 tahun dengan indeksi setelah (a) 2 bulan (b) 3 bulan (c) 4 bulan (d) 5 bulan (e) 6 bulan ... 26
5. Tanaman gaharu berumur 3 tahun dengan indeksi setelah (a) 2 bulan (b) 3 bulan (c) 4 bulan (d) 5 bulan (e) 6 bulan ... 27
6. Tanaman gaharu berumur 4 tahun dengan indeksi setelah (a) 2 bulan (b) 3 bulan (c) 4 bulan (d) 5 bulan (e) 6 bulan ... 27
7. Besar infeksi bulan ke-2 ... 29
8. Besar infeksi bulan ke-3 ... 30
9. Besar infeksi bulan ke-4 ... 31
10.Besar infeksi bulan ke-5 ... 33
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
1. Data persentase infeksi perlakuan isolat pada letak titik infeksi
batang bagian atas, tengah dan bawah ... 40
2. Besar infeksi ... 46
3. Data hasil Mini Tabe ... 47
ABSTRAK
Budi El Rodo Simanjuntak, Uji Infektivitas Fusarium sp. pada Tiga Kelas Umur dan Letak Titik Infeksi pada Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) di Desa Pekan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Dibimbing oleh Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS dan Nelly Anna, S.Hut, M.Si.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efektivitas infeksi Fusarium sp. pada umur 2, 3, dan 4 tahun serta untuk mengetahui letak titik inokulasi Fusarium sp. (batang bagian bawah, tengah, atau atas) yang terbaik untuk diinfeksi pada tanaman gaharu. Penelitian dilaksanakan di Desa Pekan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, yang dilaksanakan pada bulan Juli– Desember 2008. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode suntikan dengan inokulan cair. Parameter yang diamati adalah persentase infeksi dan besar infeksi selama 6 bulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase infeksi dengan letak titik infeksi batang bagian atas, tengah dan bawah terinfeksi sebesar 100%. Letak titik infeksi batang bagian bawah memberikan besar infeksi yang efektif dari batang bagian tengah dan atas. Tanaman gaharu berumur 4 tahun lebih efektif untuk diinfeksi dengan Fusarium sp. dari umur 2 tahun dan 3 tahun.
ABSTRACK
Budi El Rodo Simanjuntak, Test of Infectivity Fusarium sp. in Three Class Year and Gaharu Tree (Aquilaria malaccensis Lamk.) infection location at Pekan Bahorok Village, Kabupaten Langkat, North Sumatera. Supervised by Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS and Nelly Anna, S.Hut, M.Si.
Purpose of this research to find out the best infection of age from gaharu tree (2, 3, or 4 year) by Fusarium sp. and to find out the best inoculation for infection (lower wood, middle wood and upper wood) of gaharu trees. This research was held in Pekan Bahorok Village, Kabupaten Langkat, North Sumatera, started from July 2008 until December 2008. Inoculation method was used by melt inokulan with injection. The percentage infection and fast of infection were parameters for 6 month.
The research result show that infection percentage with the upper location infection, middle and lower location infection equal to 100%. Lower wood location infection give fast of effective infection from middle and upper wood location. The age of 4 year from gaharu tree is more effective for the infection from age of 2 year and age of 3 year.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia terkenal kaya akan hutan tropis yang menduduki peringkat ke-3
dunia. Hutan Indonesia menyimpan banyak keanekaragaman hayati yang unik dan
eksotik, dan juga menghasilkan banyak komoditi hasil hutan berupa kayu dan non
kayu maupun tanaman obat. Salah satu jenis dari keanekaragaman hayati adalah
gaharu. Gaharu merupakan hasil hutan bukan kayu yang memiliki nilai jual tinggi
dan banyak dicari masyarakat luas. Gaharu mengandung damar wangi berupa
oleoresin yang akan mengeluarkan aroma khas bila dibakar.
Gaharu sebenarnya merupakan substansi aromatik yang berbentuk
gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai kehitaman yang terbentuk
pada lapisan dalam kayu tertentu. Timbulnya gaharu ini bersifat spesifik, dimana
tidak semua pohon dapat menghasilkan substansi aromatik ini. Walaupun tidak
seorangpun yang meragukan prospek ekonominya, sejauh ini upaya peremajaan
dan budidaya gaharu belum begitu dikenal. Tidak ada penelitian yang
menunjukkan besarnya peluang pengembangannya, akan tetapi akibat lemahnya
publikasi dan tindak lanjut terhadap hasil penelitian tersebut menyebabkan usaha
pengembangan gaharu sangat jauh tertinggal dibandingkan jenis pohon lainnya,
misalnya, jati emas atau jati super yang didengung-dengungkan akan memberikan
nilai ekonomi yang cukup besar sehingga penanaman jenis ini mewabah di
mana-mana. Walaupun kemudian penanaman jenis ini tidak direkomendasikan.
Penelitian Litbang Kehutanan dan lembaga riset lainnya menunjukkan
gaharu tersebut. Para peneliti menduga terdapat tiga hal penyebab proses infeksi,
yaitu (1) infeksi jamur seperti Fusarium oxyporus, Fusarium bulbigenium dan
Fusarium laseritium, (2) perlukaan dan (3) proses non-phatology. Terjadinya luka
pada pohon dapat mendorong munculnya proses penyembuhan yang akan
menghasilkan gaharu. Penanaman dapat dilakukan pada lahan terbuka dengan
sistem monokultur, tetapi lebih disarankan di bawah tegakan seperti sengon, petai,
gamal, dan mahoni baik dengan sistem tumpang sari maupun campuran.
Populasi pohon gaharu di Sumatra dan Kalimantan umumnya kurang dari
0,3 pohon/ha. Selama kurun waktu 10 tahun terakhir, sekitar 10.000 sampai
40.000 pohon ditebang setiap tahun. Penebangan pohon dilakukan secara tidak
selektif sehingga menyebabkan pohon yang tidak mengandung gubal gaharupun
turut ditebang. Untuk memperoleh satu pohon yang mengandung gubal gaharu,
penebang dapat menebang hampir 10 pohon gaharu (Barden, dkk., 2000).
Penebangan pohon gaharu juga merusak anakan disekitar pohon induknya
sehingga mengganggu regenerasi secara alamiah (Suhartono, 1999).
Sumarna (2007) mengemukakan adanya permintaan yang cukup tinggi
dari luar negeri terhadap gaharu, menyebabkan perburuan terhadap gaharu
semakin meningkat di Indonesia. Padahal tidak semua pohon gaharu
menghasilkan inti gaharu. Para pemburu dengan pengetahuan yang minim
melakukan penebangan secara sembarangan tanpa diiringi budidaya. Akibatnya,
populasi gaharu semakin menurun, serta sumber genetik jenis Aquilaria sebagai
penghasil gaharu di hutan alam menjadi langka.
Sementara ini diketahui ada beberapa jenis mikroba penyakit pembentuk
sp., Botrydiplodia sp., Cystosphaera sp., Thielaviopsis sp., Libertella sp.,
Trichoderma sp., dan Scytalisium sp (Sumarna, 2002). Menurut Susilo (2003)
bahwa reaksi pohon penghasil gaharu tidak sama baik waktu maupun jenis gubal
gaharu yang akan dihasilkannya. Universitas Mataram telah menemukan bahwa
pembentukan kayu gaharu atau gubal disebabkan oleh Fusarium lateritium dan
Fusarium popularia tetapi badan penelitian dan pengembangan kehutanan
menemukan bahwa semua jenis Fusarium dapat menginfeksi tanaman gaharu dan
menghasilkan gubal gaharu.
Untuk memenuhi permintaan ekspor dan untuk mengantisipasi kelangkaan
pohon penghasil gaharu, perlu dilakukan upaya peningkatan produksi gaharu
secara lestari. Hal ini dapat dicapai melalui upaya konservasi, pembangunan hutan
tanaman industri gaharu yang didukung tersedianya bibit unggul, serta teknologi
bioproses gaharu yang efektif. Di samping itu, teknologi untuk mempercepat
proses panen juga telah dikembangkan melalui berbagai penelitian. Kabupaten
Langkat, tepatnya di Jalan Ampera, Desa Pekan Bahorok, salah satu daerah di
Sumatera Utara, memiliki kondisi alam yang baik sehingga cocok untuk
mengembangkan tanaman gaharu. Di hutan daerah Langkat, masih banyak jenis
Aquilaria malaccensis Lamk. sebagai sumber bibit, sangat potensial dan
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas infeksi Fusarium sp. pada umur 2, 3, dan 4 tahun serta untuk mengetahui letak titik
inokulasi Fusarium sp. (batang bagian bawah, tengah, atau atas) yang terbaik
untuk diinfeksi pada tanaman gaharu.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat perbedaan infektivitas Fusarium
sp. pada tiga kelas umur (2, 3, dan 4 tahun) tanaman gaharu dan terdapat
perbedaan infektivitas Fusarium sp. pada letak titik inokulasi (bawah, tengah, dan
atas) tanaman gaharu.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi tentang infektivitas
Fusarium sp. pada tiga kelas umur dan letak titik infeksi tanaman gaharu
(Aquilaria malaccensis Lamk.), bermanfaat bagi dunia pendidikan, informasi
penelitian, masyarakat yang bergerak dibidang budidaya gaharu, dan sebagai
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.)
Taksonomi tanaman gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) adalah :
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Divisio : Spermatophyta (tumbuhan biji)
Sub Divisio : Angiospermae (tumbuhan biji tertutup)
Class : Dicotyledonae (berbiji belah dua)
Sub Class : Dialypetale (bebas daun bermahkota)
Ordo : Myrtales (daun tunggal duduknya bersilang)
Family : Thymeleaceae (akar berserabut jala)
Genus : Aquilaria
Species : Aquilaria malaccensis Lamk.
(Tarigan, 2004).
Gaharu sebenarnya bukan nama tumbuhan, tetapi sebagai hasil dari pohon
atau kayu tertentu di hutan. Gaharu adalah sejenis resin tapi bukan resin yang
dihasilkan oleh pohon gaharu, melainkan karena adanya infeksi pada pohon
tersebut. Infeksi ini mengakibatkan sumbatan pada pengaturan makanan, sehingga
menghasilkan suatu zat phytalyosin sebagai reaksi dari infeksi tersebut. Infeksi
didapat dari hasil perlukaan yang disebabkan oleh alam (serangan hama dan
penyakit seperti serangga, jamur, bakteri) atau karena sengaja dilukai (oleh
manusia). Zat phytalyosin inilah yang merupakan resin gubal gaharu di dalam
pohon keras dari jenis Aquilaria spp. Zat yang berbau wangi jika dibakar tidak
terjadi pada tanaman yang sakit dan tidak pada pohon yang sehat. Proses inilah
yang menyebabkan terbentuknya gaharu dalam batang. Gubal gaharu adalah
bagian gubal gaharu yang mengandung damar wangi dengan konsentrasi yang
lebih rendah (Wulandari, 2000).
Gaharu terbentuk melalui proses infeksi penyakit yang spesifik yang
dikenal dengan “patogenesis”. Patogenesis tumbuhan adalah pertarungan antara
inang (pohon gaharu) dengan patogen yang "compatible" dimana hasilnya
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan serta konstitusi genetik pohon (Agrios,
1996).
Dari segi morfologi daun, bunga dan buah, tanaman gaharu mempunyai
ciri yaitu; daun lonjong memanjang dengan panjang 5–8 cm, lebar 3–4 cm,
berujung runcing, dan berwarna hijau mengkilat. Bunga berada di ujung ranting
atau ketiak atas dan bawah daun. Buah berada dalam polong berbentuk bulat telur
atau lonjong, berukuran panjang sekitar 5 cm dan lebar 3 cm. Biji bulat telur yang
ditutupi bulu – bulu halus berwarna kemerahan (Sumarna, 2007).
Simorangkir dan Dwisusanto (2000) menyatakan bahwa gaharu
merupakan kayu resin atau damar yang dihasilkan oleh pohon gaharu yang setelah
terinfeksi oleh jamur, kejadian tersebut telah diketahui beribu-ribu tahun yang
lalu. Gaharu dapat dinilai dari aromanya yang dapat digunakan untuk bahan
campur obat-obatan. Gaharu yang paling berharga adalah yang diekstraksi dari
genus Aquilaria termasuk ke dalam famili Thymeleaceae.
Penyebaran Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.)
Gaharu berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu “aguru” yang berarti kayu
khas. Gaharu sering digunakan untuk mengharumkan tubuh dengan cara fumigasi
dan pada upacara ritual keagamaan. Di Indonesia, gaharu dikenal masyarakat
sejak tahun 1200-an. Sebagian besar produksi masih merupakan produksi hutan
secara alami. Perkembangan awal perdagangan gaharu di Indonesia ditunjukkan
oleh adanya perdagangan dari Palembang dan Kalimantan ke Kwang Tung-China.
Puncak perdagangan ekspor gaharu berlangsung antara 1918–1925 dan pada masa
penjajahan Belanda dengan volume sekitar 11 ton/tahun. Setelah kemerdekaan,
ekspor gaharu terus meningkat ke beberapa negara industri yang berkembang, dan
tercatat ekspor gaharu pada tahun 2000, volume ekspor gaharu mencapai 446
ton/tahun dengan nilai US$ 2,2 Juta (Sumarna, 2007).
Gaharu adalah salah satu komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
yang bernilai sangat tinggi digunakan sebagai bahan parfum, obat-obatan dan
bahan kemenyan. Harganya persatuan berat adalah sangat tinggi dan bervariasi
tergantung dari kadar resin dan aroma yang dikeluarkan. Harga setiap kg kelas
mutu tertinggi (super) adalah lebih dari satu juta rupiah. Sedangkan mutu terendah
(kemedangan) berharga kurang dari 100 ribu rupiah. Akibat tingginya harga
gaharu dan belum tersedianya petunjuk objek yang mampu mengidentifikasi
adanya gaharu di dalam satu pohon maka sampai sekarang banyak ditebang pohon
yang tidak berisi gaharu, sehingga pohon gaharu menjadi jenis tanaman langka
dan dimasukkan ke dalam CITTES APPENDIX II
(Sumadiwangsa dan Zulnely, 1999).
Syarat Tumbuh dan Penyebaran Gaharu di Indonesia
Syarat untuk tumbuh dengan baik, gaharu tidak memilih lokasi khusus.
struktur dan tekstur yang subur, sedang, maupun ekstrem. Gaharu pun dapat
dijumpai pada kawasan hutan rawa, hutan gambut, hutan dataran rendah, ataupun
hutan pegunungan dengan tekstur tanah berpasir. Bahkan ditemukan juga jenis
gaharu yang tumbuh di celah–celah batuan (Sumarna, 2007).
Pohon gaharu umumnya dapat ditanam pada lokasi dengan ketinggian
5-700 mdpl dengan curah hujan 6 bulan dan sepanjang tahun lebih disukai.
Tanaman gaharu dapat dipanen setelah berumur 9-10 tahun. Setelah pohon
berdiameter 10 cm (kira-kira pada umur 5 tahun), proses inokulasi dapat
dilakukan dengan cara (1) melukai bagian batang pohon, (2) menyuntikkan
mikroorganisme jamur Fusarium, (3) menyuntikkan oli dan gula merah, atau
dengan (4) memasukan potongan gaharu ke dalam batang tanaman. Produksi
gubal gaharu mulai terbentuk setelah satu bulan penyuntikan dengan tanda-tanda
pohon tampak sakit, dedaunan menguning dan rontok, kulit batang rapuh, jaringan
kayu berwarna coklat tua dan mengeras, dan jika dibakar akan mengeluarkan
aroma khas mirip kemenyan. Gaharu dapat dipanen 3–4 tahun kemudian
(Sumarna, 2007).
Daerah penyebaran gaharu di Indonesia antara lain, kawasan hutan
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dan Jawa.
Secara ekologisnya, tanaman gaharu di Indonesia tumbuh pada daerah dengan
ketinggian 0–2400 mdpl. Umumnya, gaharu yang berkualitas baik tumbuh pada
daerah yang beriklim panas, dengan suhu 28º–34ºC, kelembaban 60–80%, dan
curah hujan 1000–2000 mm/tahun (Sumarna, 2007).
Dari beberapa hasil uji coba serta informasi dan pengalaman di lapangan
membatasi suatu upaya pengembangannya. Oleh karena itu, secara teknis
pengembangan gaharu dapat dilakukan pada berbagai lahan dengan variasi
kondisi lingkungan dan iklim. Namun, pertumbuhan optimal akan diperoleh pada
kondisi lahan yang struktur tanahnya lempung, dan liat berpasir, serta solum yang
dalam (Sumarna, 2007).
Kelas Produk Gaharu
Menurut Tarigan (2004), pengkelasan produk gaharu adalah syarat untuk
penentuan kualitas dan harga jual. Kualitas gaharu dapat dibagi menjadi tiga
kelompok yaitu:
a. Gubal adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil
gaharu, memiliki kandungan damar wangi dan aroma yang agak kuat,
ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat.
b. Kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon
penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang
lemah, ditandai oleh warnanya yang putih ke abu-abuan sampai
kecoklat-coklatan, berserat kasar dan kayunya yang lunak.
c. Abu (bubuk) adalah serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses
penggilingan atau penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau
pengerokan
Sesuai rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ditetapkan oleh
Dewan Standarisasi Nasional (DSN), masing-masing kelompok produk gaharu
tersebut dibagi lagi menjadi beberapa kelas seperti pada (Tabel 1).
No Klasifikasi dan kelas mutu Warna Kandungan
damar wangi Aroma
A A1
A2
A3
Gubal
Mutu utama (U) setara dengan mutu super
Mutu pertama (I) setara dengan mutu AB
Mutu kedua (II) setara dengan Sabah Super (SBI)
Hitam merata
Mutu II, setara SBI
Mutu II, setara TAB
Mutu IV, setara TG-C (Tanggung C)
Mutu V, setara mutu M1 (Kemedangan 1)
Mutu VI, setara mutu M2 (Kemedangan 2)
Mutu VII, setara mutu M3 (Kemedangan 3)
Gubal gaharu terakumulasi pada jaringan yang terdapat diantara xylem
sekunder dan fhloem sekunder pada batang. Jaringan pengakumulasi ini telah
terbenuk pada tanaman gaharu umur 4 bulan, penemuan ini mendasari inokulasi
pada umur muda, walaupun jaringan yang terbentuk masih sangat tipis. Gubal
Anatomi kulit bagian dalam tersusun dari jaringan floem, yang berfungsi sebagai
transport hasil asimilat dari daun ke seluruh bagian tanaman. Jaringan ini
merupakan tempat terakumulasinya resin gaharu (Rawana, 2009).
Inokulan Pembentuk Gaharu
Jamur merupakan protista nonfotosintesis yang berkembang biak dengan
spora. Jalinan filament (hifa) yang dikenal dengan sebutan miselium (mycelium).
Meskipun hifa memiliki sekat-sekat, namun sekat ini berlubang sehingga inti dan
sitoplasma bias leluasa melewatinya. Jadi secara utuh organisme ini adalah
Coenocyte (berinti banyak yang sitoplasmanya saling berhubungan) berada dalam
deretan tabung-tabung yang bercabang. Tabung-tabung ini dibentuk dari
polisakarida seperti kitin, yang mirip dengan dinding sel. Secara evolusi jamur
merupakan bagian dari protozoa. Jamur dibagi menjadi empat kelas yaitu
Zygomycotina (phycomycetes), Ascomycotina (ascomycetes), Basidiomycotina
(basidomycetes) dan Deuteromycotina (fungi imperfekti) (Brooks et al, 2001).
Jamur merupakan mikroorganisme tidak berklorofil, berbentuk hifa/sel
tunggal eukarotik, berdinding sel dari kitin atau selulosa, bereproduksi seksual
dan aseksual. Dalam dunia kehidupan jamur merupakan kingdom tersendiri
karena cara mendapatkan makanannya berbeda dari organism eukarotik lainnya,
yaitu melalui absorpsi (Gandjar et al, 1999).
Inokulasi adalah kontak awal patogen pada suatu tanaman yang mungkin
terinfeksi. Inokulum adalah bagian dari patogen yang dapat memulai infeksi.
Tidak semua inokulum mampu melakukan infeksi pada tanaman, hanya inokulum
Menurut Agrios (1996), untuk menentukan apakah jamur yang ditemukan
bersifat patogen atau saprofit maka pertama kali yang harus dipelajari adalah
morfologi miselium, struktur buah, dan sporanya di bawah mikroskop. Pada
banyak kasus, pada awal perkembangan penyakit baik struktur buah ataupun
spora tidak dijumpai pada jaringan yang sakit, dan oleh karena itu tidak ada hal
yang memungkinkan untuk mengidentifikasi jamur tersebut. Untuk beberapa jenis
jamur, telah tersedia beberapa medium biakan khusus untuk isolasi selektif,
identifikasi atau untuk merangsang sporulasi. Kebutuhan lain adalah dengan cara
menginkubasi di bawah kondisi suhu, udara, atau cahaya tertentu untuk
menghasilkan spora. Akan tetapi, pada sebagian besar kasus, struktur buah dan
spora dapat dihasilkan pada jaringan inang yang sakit jika jaringan tersebut
ditempatkan dalam gelas atau plastik “ruang lembab” (moisture chamber), yaitu
wadah yang di dalamnya ditambahkan kertas saring yang basah untuk
meningkatkan kelembaban udara dalam gelas atau plastik tersebut.
Secara teknis, garis besar tahapan rekayasa produksi gaharu dimulai
dengan isolasi jamur pembentuk yang diambil dari pohon penghasil gaharu sesuai
jenis dan ekologi sebaran tumbuh pohon yang dibudidayakan. Isolat tersebut
kemudian diidentifikasi berdasar taksonomi dan morfologi lalu dilakukan proses
skrining untuk memastikan bahwa jamur yang memberikan respon pembentukan
gaharu sesuai dengan jenis pohon penghasil gaharu agar memberikan hasil
optimal. Tahap selanjutnya adalah perbanyakan jamur pembentuk gaharu tadi,
kemudian induksi, dan terakhir pemanenan. Untuk saat ini, produksi gaharu
buatan yang dipanen pada umur 1 tahun berada pada kelas kemedangan dengan
Mengingat jenis isolat penyakit pembentuk gaharu berbeda-beda sesuai
kondisi iklim dan lingkungan maka penyedia inokulan perlu melakukan isolasi
jenis penyakit yang berprospek memproduksi gaharu. Adapun tahapan teknik
pengembangan inokulan sebagai berikut:
1. Pilih pohon gaharu alami yang sudah terinfeksi mikroba penyakit pembentuk
gaharu.
2. Ambil potongan cabang atau kupasan batang pohon gaharu terpilih. Potongan
cabang atau kupasan batang ini disebut preparat.
3. Bawa preparat tersebut ke laboratorium dan upayakan agar suhu dan
kelembapannya tetap terjaga dengan cara dimasukkan dalam kotak es.
4. Kembangkan spora dari preparat cabang dan atau batang tersebut di dalam
media agar untuk diidentifikasi jenis mikrobanya sebagai biakan murni.
5. Kembangkan spora dan miselium biakan murni tersebut ke dalam media
padat seperti serbuk gergaji pohon gaharu atau dalam media cair berisi unsur
makro dan mikro sebagai energi hidup.
6. Masukkan media berspora ke dalam inkubator pembiakan dan kondisikan
suhu dan kelembapan inkubator pembiakan tersebut pada keadaan optimal,
yaitu suhu 240–320 C dan kelembapan 80%. Biarkan sekitar 1-2 bulan.
7. Tempatkan spora yang sudah dibiakkan tersebut ke dalam wadah berupa
botol kaca, botol plastik, atau botol infus bekas.
8. Simpan botol dalam freezer inkubator. Inokulan ini sudah siap diinokulasikan
ke tanaman gaharu.
Inokulan yang diproduksi di laboratorium penyedia inokulan ada beberapa
macam, yaitu inokulan padat, inokulan cair, dan inokulan biakan murni.
a. Inokulan padat
Inolukan padat dapat dibuat dan dikembangkan di dalam media padat
berupa serbuk gergaji atau tepung yang berasal dari pohon gaharu atau jenis lain
seperti kayu sengon. Media ini harus dalam kondisi steril. Adapun tahapan
pembuatan inokulan padat tersebut sebagai berikut (Sumarna, 2007) :
1. Kumpulkan media dari kayu-kayu gaharu yang dianggap limbah.
2. Masukkan media kayu berbentuk serbuk atau tepung tersebut di dalam botol
yang sudah disterilkan dengan volume sekitar 1 ons atau 100 gram.
3. Tempatkan botol tersebut di dalam ruang biakan yang sudah dilengkapi
dengan laminair air flow dan lampu ultraviolet.
4. Ambil spora atau miselium dari biakan murni dengan menggunakan pinset.
5. Masukkan spora atau miselium tersebut ke dalam botol secara steril di atas
lampu spiritus. Ini dilakukan agar terhindar dari kontaminasi mikroba lain.
Pemasukan spora ini pun dilakukan dengan pinset.
6. Tutup botol tersebut dengan kapas steril, lalu tutup lagi dengan aluminium
foil pada ujung botol.
7. Simpan botol biakan pengembangan spora inokulan dalam ruang simpan
bersuhu kamar.
8. Amati dan uji kenampakan pertumbuhan spora dan miselium yang terbentuk.
9. Simpan botol dalam inkubator atau freezer bila miselium sudah memenuhi
(didormankan). Setelah itu, inokulan sudah siap diinokulasikan ke tanaman
gaharu.
b. Inokulan cair
Selain padat, inokulan pun dapat diproduksi dalam bentuk cairan. Seperti
halnya inokulan padat, inokulan cair pun dimasukkan dalam botol dengan volume
tertentu. Botol infus bekas di rumah sakit dapat digunakan sebagai wadah
inokulan cair, tetapi harus melalui tindakan sterilisasi. Adapun tahapan produksi
inokulan cair ini sebagai berikut (Sumarna, 2007) :
1. Larutkan media cair yang berisi energi berupa mineral, karbohidrat, dan
vitamin dengan aquadest (air murni).
2. Sterilkan media tersebut dalam autoclave.
3. Masukkan media cair tersebut ke dalam botol infus bekas.
4. Beri lubang pada bagian atas botol infus untuk memudahkan pemasukan
spora inokulan ke dalam botol.
5. Tempatkan botol infus dalam ruang pembiakan inokulan yang dilengkapi
dengan lampu ultraviolet.
6. Ambil biakan murni inokulan, lalu masukkan ke dalam botol infus bekas.
Pemasukan inokulan ini dilakukan di atas nyala spiritus agar steril.
7. Tutup lubang pada botol yang digunakan untuk pemasukan spora dengan
selotip.
8. Simpan botol tersebut pada rak inkubasi dalam suhu kamar.
9. Biarkan spora berkembang dalam waktu sekitar sebulan.
10.Amati pertumbuhan spora di bawah mikroskop. Bila dijumpai koloni spora
diistirahatkan di dalam inkubator atau freezer. Setelah itu, inokulan sudah
bisa diinokulasikan ke tanaman gaharu.
c. Biakan murni
Biakan murni mikroba penyakit pembentuk gaharu perlu tetap tersedia di dalam
laboratorium pengembangan. Bahkan biakan murni tersebut harus selalu
diperbaharui secara berkala setiap dua bulan sekali. Hal ini sangat diperlukan bila
sewaktu-waktu inokulan tersebut diperlukan (Sumarna, 2007).
Teknik Inokulasi
Teknik inokulasi dengan inokulan terhadap pohon gaharu berbeda-beda
sesuai dengan inokulannya. Pada pelaksanaannya penginokulasian terhadap pohon
gaharu ini, harus diperhatikan umur dan diameter batangnya. Batas minimal suatu
pohon dapat diinokulasi ditandai dengan pohon yang mulai berbunga. Biasanya
umur tanaman tersebut sekitar 4-5 tahun atau diameter batang sudah mencapai
8-10 cm (Sumarna, 2007).
a. Inokulasi dengan inokulan padat
Teknik inokulasi pohon gaharu menggunakan inokulan padat dilaksanakan
dengan cara sebagai berikut:
1. Buat lubang pada batang kayu gaharu dengan menggunakan bor. Diameter
lubang bor sekitar 0,8-1 cm. Kedalaman optimal pemboran ini perlu
disesuaikan dengan ukuran diameter batang, biasanya sekitar 5 cm. Setiap
batang dibuatkan banyak lubang dengan jarak antar lubang bor sekitar 20 cm.
2. Bersihkan tangan pelaku inokulasi dengan air hingga bersih dan dibilas
3. Masukkan inokulasi padat ke dalam setiap lubang. Jumlah inokulan yang
dimasukkan disesuaikan dengan kedalaman lubang. Sebagai patokan,
pemasukan ini dilakukan hingga terisi penuh dengan inokulan. Agar
pemasukan inokulan menjadi mudah, gunakan potongan kayu atau bambu
yang ukurannya sesuai diameter lubang.
4. Tutup setiap lubang yang sudah diberi inokulan untuk menghindari masuknya
air ke dalam lubang. Penutupan lubang ini dilakukan dengan pasak kayu
gaharu. Penutupan pun dapat dilakukan dengan “lilin malam”.
(Sumarna, 2007).
b. Inokulasi dengan inokulasi cair
Teknik inokulasi menggunakan inokulan cair dilaksanakan dengan cara
sebagai berikut:
1. Lakukan pengeboran pada pangkal batang pohon dengan posisi miring ke
bawah. Kedalaman pemboran disesuaikan dengan diameter batang pohon,
biasanya sekitar 1/3 diameter batang. Sementara mata bor yang digunakan
berukuran sama dengan selang infus sekitar 0,5 cm. Selang infus tersebut
biasanya sudah disediakan produsen inokulan pada saat pembelian inokulan.
Namun, bila belum tersedia, selang infus dapat disediakan sendiri oleh petani.
2. Masukkan selang infus yang ada pada botol inokulan cair ke dalam lubang.
3. Atur besarnya aliran inokulan cair tersebut. Hentikan aliran infus bila cairan
inokulan sudah keluar dari lubang.
5. Ulangi pengaturan aliran masuknya cairan infus ke dalam lubang setiap 1-2
hari, tergantung keadaan cairan dalam lubang. Pengaturan aliran dilakukan
bila lubang sudah tidak terdapat lagi cairan inokulasi.
6. Laksanakan penginokulasian ini hingga inokulan cair di dalam botol infus
tersebut habis. Penginokulasian diulang kembali dengan botol inokulasi baru
bila belum ada tanda-tanda kematian fisik dan fisiologis
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2008–Oktober 2009 di Desa Pekan
Bahorok, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bor kayu, spidol
permanen, cat, kapas, alkohol, lilin malam, meteran.
Bahan yang digunakan adalah tanaman A. malaccensis sp. dan isolat
Fusarium sp. yang berasal dari Laboratorium Bioteknologi Hutan, Departemen
Kehutanan Universitas Sumatera Utara.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode inokulasi
dengan inokulan cair. Teknik inokulasi menggunakan inokulan cair dilaksanakan
dengan cara sebagai berikut:
1. Dipilih 5 tanaman gaharu secara acak untuk setiap kelas umur yaitu 2 tahun,
3 tahun, dan 4 tahun. Kemudian pohon ditandai dengan diberi cat warna
merah.
2. Setiap tinggi pohon dibagi menjadi 3 bagian dan diberi cat warna kuning
untuk setiap batasnya. Setiap bagian pohon dibuat 5 lubang. Jarak lubang
pertama adalah 20 cm dari permukaan tanah. Jarak antar lubang ke lubang
lainnya adalah 10 cm.
4. Lubang bor dibuat di setiap sepertiga lingkaran pohon, setiap pemboran satu
lubang selesai, segera mata bor disterilkan.
5. Lakukan pengeboran pada pangkal batang pohon dengan posisi miring ke
bawah. Kedalaman pemboran disesuaikan dengan diameter batang pohon,
biasanya sekitar 1/3 diameter batang. Sementara mata bor yang digunakan
berukuran 5 mm.
6. Disuntikkan inokulan cair ke dalam lubang bor.
7. Suntikkan inokulan cair tersebut ke dalam lubang secukupnya.
8. Tutup lubang dengan menggunakan “lilin malam”.
Gambar 1. Cara pengeboran lubang
Parameter yang Diamati
Persen infeksi Fusarium sp pada gaharu
Persen infeksi diamati setelah 1-2 bulan proses inokulasi. Tanda-tanda
tanaman yang terinfeksi dengan melihat lubang infeksi terlihat kecoklatan sampai
menghitam dan di sekitar lubang infeksi akan terlihat batang menjadi kecoklat-permukaan tanah
Pohon gaharu
arah pengeboran
Batas pohon
10 cm
coklatan. Dengan adanya tanda maka tanaman dikatakan terinfeksi dan dapat
dihitung jumlah tanaman yang terinfeksi.
% Infeksi = ∑ tanaman yang terinfeksi x 100% ∑ tanaman
Besar infeksi
Besar infeksi dihitung dengan cara mengukur perkembangan gejala pada
titik infeksi dengan menggunakan alat ukur/penggaris. Penyebaran infeksi diukur
dengan melihat tanda-tanda di sekitar lubang infeksi, akan terlihat kecoklatan dan
sampai kehitaman. Cara mengukur penyebaran infeksi adalah dengan melihat
infeksi yang terbesar yang terjadi pada tanaman. Batas penyebaran infeksi yang
akan diukur adalah dari titik batang infeksi sampai batas terakhir terjadinya
infeksi atau kelihatan batas antara batang yang tidak kelihatan coklat lagi. Besar
infeksi diamati pada bulan ke-2 setelah inokulasi.
Analisis Data
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap pola faktorial. Model matematis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + €ijk
Dimana :
Yijk = Pengamatan pengaruh umur taraf ke– i, pengaruh letak titik taraf
ke–j, serta ulangan ke–k
Ai = Pengaruh umur tanaman gaharu ke-i
Bj = Pengaruh letak titik infeksi ke-j
ABij = Interaksi umur ke-i dan letak titik infeksi ke-j
€ijk = Pengaruh galat pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan ulangan
ke-k
Ket : i = 2, 3, 4 tahun
j = atas, tengah, bawah
k = 5
Data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan
Analisis Keragaman dengan uji F. Jika terjadi perbedaan nyata (pada analisis nilai
rata-rata yang diperoleh) maka akan dilanjutkan dengan uji jarak berganda
Duncan Multiple Range-Test (DMRT) untuk membedakan rata-rata antara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertemuan peneliti gaharu di Desa Pekan Bahorok
Lokasi penelitian berada di Kabupaten Langkat tepatnya di Desa Pekan
Bahorok yang terletak pada 3045’-4000’ LU dan 98015’-99000’ BT. Sebelum
dilakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu melakukan pertemuan dengan para
ahli gaharu di Desa Pekan Bahorok Kabupaten Langkat. Pertemuan ini membahas
teknik inokulasi yang tepat untuk tanaman gaharu. Berdasarkan pengamatan di
lapangan, tanaman gaharu tumbuh berdampingan dengan tanaman salak. Di desa
ini juga telah dibuat suatu pembibitan gaharu yang dilakukan oleh masyarakat
lokal.
2(a) 2(b)
Gambar 2. (a) Tanaman gaharu dan tanaman salak (b). Pembibitan gaharu
Kegiatan inokulasi
Hasil pengamatan di lapangan, para peneliti memiliki 2 (dua) teknik
inokulasi. Metode inokulasi yang dilakukan oleh masyarakat lokal ialah dengan
menyayat kulit batang pohon gaharu dengan arah memanjang ke bawah.
Sementara para ahli gaharu yang lain menggunakan metode inokulasi dengan
pohon gaharu dapat menyebabkan pohon terkontaminasi dengan masuknya
patogen yang tidak diinginkan karena tidak terlindungi. Sementara dengan teknik
bor lebih aman karena ditutup dengan lilin malam agar tidak terkontaminasi dan
memiliki hasil produksi gaharu yang lebih besar.
2(a) 2(b) 2(c)
Gambar 3. (a) Metode sayat (b). Metode bor (c). Lilin malam
Persentase infeksi
Hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan, diperoleh data mengenai
persentase infeksi tanaman gaharu. Fusarium sp. disuntikkan pada saat yang
bersamaan pada setiap kelas umur tanaman dan hasilnya pada setiap umur
tanaman gaharu mengalami infeksi setelah 1 bulan disuntik. Situmorang (2007)
menyatakan produksi gubal gaharu akan dapat diamati mulai terbentuk setelah
satu bulan perlakuan. Pemanenan gubal gaharu akan dilakukan mulai dari 3, 4, 5
sampai waktu lebih lama setelah bioproses gaharu. Kualitas gubal gaharu yang
dihasilkan sangat berbanding lurus (ditentukan) oleh lamanya bioproses artinya
semakin lama bioproses semakin tinggi kualitas dan kuantitas gubal gaharu yang
Tabel 2. Persentase infeksi pada perlakuan isolat dengan letak infeksi batang bagian atas, tengah dan bawah.
Bulan ke- Persentase infeksi (%)
1 0
2 100
3 100
4 100
5 100
6 100
Hasil pengamatan (Lampiran 1), persentase infeksi setelah 1 bulan
dilakukan inokulasi pada batang tanaman yaitu batang atas, tengah dan bawah
adalah sebesar 100%. Batang tanaman yang terinfeksi terlihat berwarna
kecoklatan. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan Fusarium sp. pada
tanaman gaharu sangat baik dimana Fusarium sp. dapat berasosiasi dengan
gaharu.
Hasil pengamatan pada tanaman gaharu yang terinfeksi akan mengalami
perubahan fisiologis pada pertumbuhan gaharu tersebut. Tarigan (2004)
menyatakan bahwa tanda-tanda secara fisiologis terbentuknya gubal gaharu akan
ditunjukkan oleh kondisi pohon. Adapun tanda-tanda suatu pohon sudah terbentuk
gubal gaharu antara lain seperti daun pada tajuk pohon sudah menguning
bertahap, tanda ini relatif sama dengan adanya gangguan penyakit. Daun yang
menguning mulai rontok, ranting kehilangan daun dan mulai mengering dan
secara fisik proses pertumbuhan terhenti. Kulit batang mulai mengering dan
kehilangan kadar air. Ranting dan cabang mulai meranggas dan mudah patah.
Batang, cabang dan ranting berwarna putih berserat cokelat hitam dengan teras
mengeluarkan asap yang pekat dan mengeluarkan aroma yang harum dan aroma
tersebut memiliki ke khasan tersendiri.
Menurut Abadi (2003) bahwa tumbuhan dapat terinfeksi jika terinokulasi
suatu parasit dimana inokulasi merupakan terjadinya kontak antara patogen
dengan inangnya. Inokulum jamur dapat berupa potongan miselium (hifa), spora
dan sklerotia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa infeksi terjadi pada
masing-masing letak infeksi (batang bagian atas, tengah dan bawah) dengan hasil yang
berbeda.
(a) (b) (c)
(d) (e)
Gambar 4. Tanaman gaharu berumur 2 tahun dengan indeksi setelah (a) 2 bulan (b) 3 bulan (c) 4 bulan (d) 5 bulan (e) 6 bulan
Dari tanaman umur 2 tahun yang terinfeksi pada bulan ke-2 (Gambar 4a.),
batang tanaman yang terinfeksi terlihat berwarna kecoklatan. Diperoleh besar
infeksi rata-rata 0,4 cm untuk batang bagian atas, 0,44 cm untuk batang bagian
besar infeksi rata-rata menjadi 0,82 cm untuk batang bagian atas, 1,68 cm untuk
batang bagian tengah, dan 2,02 cm untuk batang bagian bawah. Pada bulan ke-4
(Gambar 4c.) besar infeksi rata-rata menjadi 1,26 cm untuk batang bagian atas,
1,36 cm untuk batang bagian tengah, dan 1,42 cm untuk batang bagian bawah.
Pada bulan ke-5 (Gambar 4d.) besar infeksi rata-rata menjadi 1,74 cm untuk
batang bagian atas, 1,8 cm untuk batang bagian tengah, dan 1,9 cm untuk batang
bagian bawah. Pada bulan ke-6 (Gambar 4e.) tidak terjadi perubahan besar infeksi
untuk batang bagian atas, tengah dan bawah.
(a) (b) (c)
(d) (e) Gambar 5. Tanaman gaharu berumur 3 tahun dengan indeksi setelah (a) 2 bulan
(a) (b) (c)
(d) (e) Gambar 6. Tanaman gaharu berumur 4 tahun dengan indeksi setelah (a) 2 bulan
(b) 3 bulan (c) 4 bulan (d) 5 bulan (e) 6 bulan
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa Fusarium sp. dapat bekerja
dengan baik untuk menginfeksi tanaman Aquilaria malaccensis Lamk.
Keberadaan inokulum patogen menjadi sangat penting dalam perkembangan
penyakit karena inokulum merupakan cikal bakal terjadinya suatu penyakit
tumbuhan. Rukmana dan Saputra (1997) menyatakan tidak semua inokulum
mampu melakukan infeksi pada tanaman, hanya inokulum patogen berpotensi
untuk menginfeksi tumbuhan. Inokulum memiliki mekanisme bertahan, misalnya
dorman pada kondisi inang dan atau lingkungan yang kurang sesuai. Inokulum
adalah struktur dari patogen yang dapat menimbulkan infeksi.
Hasil penelitian menunjukkan adanya batang tanaman yang terlihat
kecoklatan. Sumarna (2002) menyatakan infeksi yang disebabkan jamur
zat phytalyosin sebagai reaksi dari infeksi patogen. Akibat dari infeksi tersebut,
sistem fisiologi tanaman menjadi terganggu dan secara visual dapat dilihat pada
daerah yang terinfeksi berwarna cokelat sampai hitam dan memiliki aroma yang
wangi.
Besar infeksi
Data besar infeksi (Lampiran 2) diperoleh dari pengamatan yang
dilakukan pada setiap bulan. Data tersebut kemudian diolah dengan Mini Tabe
sehingga diperoleh data rataan setiap bulan (Lampiran 3). Data untuk bulan
pertama tidak ada karena infeksi masih belum terjadi sampai pada bulan ke-2.
Gambar 7. Besar infeksi bulan ke-2
Dari hasil nilai rataan (Gambar 7) dapat dilihat bahwa besar infeksi pada
A1B1 tidak berbeda nyata dengan A1B2 dan A1B3. Besar infeksi pada A1B1,
A1B2, A1B3 berbeda nyata dengan A2B1. Besar infeksi pada A2B1 berbeda
nyata dengan A2B2. Besar infeksi pada A2B2 berbeda nyata dengan A2B3. Besar
infeksi A2B3 berbeda nyata dengan A3B1. Besar infeksi A3B1 berbeda nyata
dengan A3B2. Besar infeksi A3B2 berbeda nyata dengan A3B3.
0
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3 Bulan 2
Dari hasil analisa yang didapatkan pada taraf perlakuan 5% pada bulan
ke-2 (Lampiran 3) diketahui bahwa perlakuan A berpengaruh nyata demikian juga
dengan perlakuan B, sedangkan interaksi kedua perlakuan tersebut tidak
berpengaruh nyata pada penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa pada
perlakuan kelas umur dan letak titik infeksi memberikan pengaruh nyata terhadap
infeksi Fusarium sp.
Tabel 3. Uji lanjutan Duncan Multiple Range-Test (DMRT) bulan ke-2
Perlakuan besar infeksi Lambang perlakuan
A1B1 0.4 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT
Hasil analisis uji lanjut menunjukkan bahwa besar infeksi yang tertinggi
pada tanaman umur 4 tahun dengan letak titik infeksi bagian bawah yaitu 1,48 cm,
sedangkan besar infeksi yang terendah pada tanaman umur 2 tahun dengan letak
titik infeksi bagian atas sebesar 0,4 cm.
Gambar 8. Besar infeksi bulan ke-3
Dari hasil nilai rataan (Gambar 8) dapat dilihat bahwa besar infeksi pada
A1B1 berbeda nyata dengan A1B2. Besar infeksi pada A1B2 berbeda nyata
dengan A1B3. Besar infeksi pada A1B3 tidak berbeda nyata dengan A2B1 tetapi
berbeda nyata dengan A2B2. Besar infeksi pada A2B2 berbeda nyata dengan
A2B3. Besar infeksi pada A2B3 berbeda nyata dengan A3B1. Besar infeksi A3B1
tidak berbeda nyata dengan A3B2 tetapi berbeda nyata dengan A3B3.
Dari hasil analisa yang didapatkan pada taraf perlakuan 5% pada bulan
ke-3 (Lampiran 3) diketahui bahwa perlakuan A berpengaruh nyata demikian
juga dengan perlakuan B dan interaksi kedua perlakuan berpengaruh nyata pada
penelitian ini.
Tabel 4. Uji lanjutan Duncan Multiple Range-Test (DMRT) bulan ke-3
Perlakuan besar infeksi lambang perlakuan
A1B1 0.82 a
0.054986 A1B2 1.68 b
0.05784 A1B3 2.02 c
0.059362 A2B1 1.68 c
0.060884 A2B2 1.78 d
0.061835 A2B3 2.02 e
0.062597 A3B1 2.34 f
0.063167 A3B2 2.4 f
0.063738 A3B3 2.48 g
Dari hasil analisis uji lanjut menunjukkan bahwa besar infeksi yang
tertinggi pada tanaman umur 4 tahun dengan letak titik infeksi bagian bawah yaitu
2,48 cm, sedangkan besar infeksi yang terendah pada tanaman umur 2 tahun
Gambar 9. Besar infeksi bulan ke-4
Dari hasil nilai rataan (Gambar 9) dapat dilihat bahwa besar infeksi pada
A1B1 berbeda nyata dengan A1B2. Besar infeksi pada A1B2 tidak berbeda nyata
dengan A1B3 tetapi berbeda nyata dengan A2B1. Besar infeksi pada A2B1
berbeda nyata dengan A2B2. Besar infeksi pada A2B2 berbeda nyata dengan
A2B3. Besar infeksi A2B3 berbeda nyata dengan A3B1. Besar infeksi A3B1
berbeda nyata dengan A3B2. Besar infeksi A3B2 berbeda nyata dengan A3B3.
Dari hasil analisa yang didapatkan pada taraf perlakuan 5% pada bulan
ke-4 (Lampiran 3) diketahui bahwa perlakuan A berpengaruh nyata demikian juga
dengan perlakuan B, sedangkan interaksi kedua perlakuan tersebut tidak
berpengaruh nyata pada penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa pada
perlakuan kelas umur dan letak titik infeksi memberikan pengaruh nyata terhadap
infeksi Fusarium sp.
0 5 10 15 20 25 30 35 40
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Bulan 4
Tabel 5. Uji lanjutan Duncan Multiple Range-Test (DMRT) bulan ke-4
perlakuan besar infeksi lambang perlakuan
A1B1 1.26 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT
Dari hasil analisis uji lanjut menunjukkan bahwa besar infeksi yang
tertinggi pada tanaman umur 4 tahun dengan letak titik infeksi bagian bawah yaitu
3,48 cm, sedangkan besar infeksi yang terendah pada tanaman umur 2 tahun
dengan letak titik infeksi bagian atas sebesar 1,26 cm.
Gambar 10. Besar infeksi bulan ke-5
Dari hasil nilai rataan (Gambar 10) dapat dilihat bahwa besar infeksi pada
A1B1 tidak berbeda nyata dengan A1B2 tetapi berbeda nyata dengan A1B3.
Besar infeksi pada A1B3 berbeda nyata dengan A2B1. Besar infeksi pada A2B1
berbeda nyata dengan A2B2. Besar infeksi pada A2B2 berbeda nyata dengan
A2B3. Besar infeksi A2B3 berbeda nyata dengan A3B1. Besar infeksi A3B1 tidak
berbeda nyata dengan A3B2 dan A3B3.
0
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Bulan 5
Dari hasil analisa yang didapatkan pada taraf perlakuan 5% pada bulan
ke-5 (Lampiran 3) diketahui bahwa perlakuan A berpengaruh nyata demikian
juga dengan perlakuan B dan interaksi kedua perlakuan berpengaruh nyata pada
penelitian ini.
Tabel 6. Uji lanjutan Duncan Multiple Range-Test (DMRT) bulan ke-5
perlakuan besar infeksi lambang perlakuan
A1B1 1.74 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT
Dari hasil analisis uji lanjut menunjukkan bahwa besar infeksi yang
tertinggi pada tanaman umur 4 tahun dengan letak titik infeksi bagian bawah yaitu
4,48 cm, sedangkan besar infeksi yang terendah pada tanaman umur 2 tahun
dengan letak titik infeksi bagian atas sebesar 1,74 cm.
Gambar 11. Besar infeksi bulan ke-6
0
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3 Bulan 6
Dari hasil nilai rataan (Gambar 11) dapat dilihat bahwa besar infeksi pada
A1B1 tidak berbeda nyata dengan A1B2 dan A1B3 tetapi berbeda nyata dengan
A2B1. Besar infeksi pada A2B1 berbeda nyata dengan A2B2. Besar infeksi pada
A2B2 berbeda nyata dengan A2B3. Besar infeksi A2B3 berbeda nyata dengan
A3B1. Besar infeksi A3B1 tidak berbeda nyata dengan A3B2 dan A3B3.
Dari hasil analisa yang didapatkan pada taraf perlakuan 5% pada bulan
ke-6 (Lampiran 3) diketahui bahwa perlakuan A berpengaruh nyata demikian
juga dengan perlakuan B dan interaksi kedua perlakuan berpengaruh nyata pada
penelitian ini.
Tabel 7. Uji lanjutan Duncan Multiple Range-Test (DMRT) bulan ke-6
perlakuan besar infeksi lambang perlakuan
A1B1 1.74 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT
Dari hasil analisis uji lanjut menunjukkan bahwa besar infeksi yang
tertinggi pada tanaman umur 4 tahun dengan letak titik infeksi bagian bawah yaitu
4,48 cm, sedangkan besar infeksi yang terendah pada tanaman umur 2 tahun
dengan letak titik infeksi bagian atas sebesar 1,74 cm.
Penyebaran infeksi yang terjadi berbeda-beda pada setiap pohon. Hal ini
dipengaruhi oleh infeksi Fusarium sp. pada letak titik infeksi dan perbedaan kelas
inokulum yang dibentuk, pembebasan inokulum dari tubuh buah atau substrat,
ketahanan inokulum terhadap keadaan yang tidak baik luas dan lamanya
penyebaran serta faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran inokulum dan
infeksi. Penyebaran infeksi adalah besarnya infeksi yang terdapat pada bagian
tanaman yang terserang oleh jamur patogen sehingga menyebabkan terganggunya
aktivitas dari bagian tanaman. Abadi (2003) menyatakan bahwa jamur patogen
dapat masuk ke dalam bagian tanaman melalui luka, lubang alami seperti mulut
kulit atau langsung menembus permukaan tumbuhan yang utuh. Infeksi dapat
dilihat dengan adanya gejala pada bagian tanaman yang terinfeksi misalnya
batang tanaman di sekitar titik infeksi terlihat kecoklatan sampai kehitaman dan
terlihat seperti berpenyakit. Penyebaran infeksi dapat diukur dengan mengukur
bagian di sekitar titik infeksi yang berwarna kecoklatan sampai kehitaman.
Dari hasil bulan ke-2 sampai bulan ke-6 yang diperoleh dapat dilihat
bahwa besar infeksi yang terbesar terdapat pada letak titik batang bagian bawah
sedangkan besar infeksi yang terkecil terdapat pada batang bagian atas. Hasil ini
sesuai dengan pernyataan Sumadiwangsa dan Zulnely (1999) yeng menyatakan
bahwa gaharu terbentuk pada cabang, akar dan batang tetapi gubal gaharu
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Persentase infeksi dengan letak titik infeksi batang bagian atas, tengah dan
bawah adalah sebesar 100%.
2. Letak titik infeksi batang bagian bawah memberikan besar infeksi yang
efektif dari batang bagian tengah dan atas.
3. Besar infeksi yang tertinggi pada tanaman umur 4 tahun dengan letak titik
infeksi bagian bawah sedangkan besar infeksi yang terendah pada tanaman
umur 2 tahun dengan letak titik infeksi bagian atas
Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi kualitas gaharu
yang diproduksi dari daerah Desa Pekan Bahorok, Kabupaten Langkat, Propinsi
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, L.A. 2003. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Banyumedia Publishing. Malang
Agrios, G. N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Penerjemah: Munzir Busnia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Barden A, Anak NA, Mulliken T, Song M. 2000. Heart of the matter: agarwood use and trade and cites implementation for Aquilaria malaccensis. Cambridge, UK: TRAFFIC NETWORK REPORT.
Brooks, G. F., J. S. Butel dan S. A. Morse. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Pertama. Salemba Medika. Jakarta.
Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2008. Mempercepat Produksi Gaharu dengan Teknologi Inokulasi. http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/3947
Direktorat Bina Usaha Perhutanan Rakyat. 2002. Pedoman Pengembangan Usaha Budidaya Gaharu. Jakarta.
Gandjar, I., R. A Samson., K. T. Vermenten., A. Oetani dan I. Santoso. 1999. Pengenalan Kapang Troik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Hartal dan Guswarni Anwar. 2007. Jurnal Imu-Ilmu Pertanian Indonesia. Edisi Khusus No. 3. Teknologi peningkatan kualitas kayu gubal gaharu (Aquilaria malaccencis Lamk.) di kawasan pesisir Bengkulu dengan inokulasi jamur penginduksi resin.
Dikutip tanggal 10 November 2009. Pukul 12.00 Wib.
Isnaini, Y., dan J. Situmorang. 2005. Aplikasi bioteknologi untuk pengembangan tanaman gaharu (Aquillaria spp.) di Indonesia (Studi kasus: Perkembangan penelitian gaharu di SEAMEO Biotrop). Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia. Malang. Jurnal
Agro Biogen 1(2) : 62 – 67.
Dikutip tanggal 26 Juni 2009. Pukul 16.00 Wib.
Rawana. 2009.
&id=25
Rukmana, R dan S. Saputra. 1997. Penyakit Tanaman Dan Teknik Pengendalian. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Sastrosupardi, A. 1997. Rancangan Percobaan Praktis Untuk Bidang Pertanian. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Simorangkir, B.D.A.S dan F.X.Dwisusanto. 2000. Riap Gaharu (Aquilaria malacencis Lamk) Pada Lebar Jalur Tanam yang Berbeda di Hutan Koleksi Universitas Mulawarman Lempake. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Hal:63-66.
Situmorang, Jonner. 2009. Upaya peningkatan produksi gaharu. Menuju Produksi Gaharu Secara Lestari.
http://gaharulestari.blogspot.com/2009/02/menuju-produksi-gaharu-secara -lestari.html .
Dikutip tanggal 10 November 2009. Pukul 12.00 Wib.
Suhartono TR. 1999. Status and Distribution of Aquilaria spp. In Indonesia and the Sustainability of the Gaharu Trade. [Phd. Thesis]. Edinburg: Institute of Ecology and Resource Management.
Sumarna, Y. 2007. Budidaya Gaharu. Cetakan ke – 4. Penebar Swadaya. Jakarta.
Susilo, K. A. 2003. Sudah Gaharu Super Pula : Budidaya Gaharu dan Masalahnya. PT. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Timur.
Suwadiwangsa, S dan Zulnely. 1999. Catatan Mengenai Gaharu Di Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat. Info Hasil Hutan Badan Penelitian Kehutanan dan Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Hal:80-90.
Tarigan, K. 2004. Profil Pengusahaan (Budidaya) Gaharu. Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Lampiran 1. Data persentase infeksi perlakuan isolat pada letak titik infeksi batang bagian atas, tengah dan bawah.
UMUR Daerah
infeksi Titik infeksi
A1b = pohon 2 umur 2 tahun − = Tidak terinfeksi
Lampiran 2. Besar Infeksi
BULAN 2
BULAN 3
PERLAKUAN ULANGAN
BESAR INFEKSI
(cm) PERLAKUAN ULANGAN
5 0,8 5 1,7
Lampiran 3. Data hasil Mini Tabe Rataan besar infeksi bulan 2
Lampiran 4. Hasil uji lanjutan Duncan Multiple Range-Test (DMRT)
Uji lanjutan Duncan Multiple Range-Test (DMRT) bulan ke-2
Perlakuan besar infeksi
Lambang
Keterangan : Angka-angka yang diikuti notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT
Uji lanjutan Duncan Multiple Range-Test (DMRT) bulan ke-3 Perlakuan besar infeksi lambang perlakuan
A1B1 0.82 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT
Uji lanjutan Duncan Multiple Range-Test (DMRT) bulan ke-4
perlakuan besar infeksi
lambang
Uji lanjutan Duncan Multiple Range-Test (DMRT) bulan ke-5
perlakuan besar infeksi
lambang
Keterangan : Angka-angka yang diikuti notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT
Uji lanjutan Duncan Multiple Range-Test (DMRT) bulan ke-6 perlakuan besar infeksi lambang perlakuan
A1B1 1.74 a