• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Komunikasi TerapeutikPerawat terhadap Kepatuhan Penderita Kanker Payudara dalam Menjalankan Kemoterapi di Hope Clinic Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Komunikasi TerapeutikPerawat terhadap Kepatuhan Penderita Kanker Payudara dalam Menjalankan Kemoterapi di Hope Clinic Medan"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT TERHADAP KEPATUHAN PENDERITA KANKER PAYUDARA

DALAM MENJALANKAN KEMOTERAPI DI HOPE CLINIC MEDAN

TESIS

Oleh

FRANSISKUS UWEUBUN 097032162/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENGARUH KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT

TERHADAP KEPATUHAN PENDERITA KANKER

PAYUDARA DALAM MENJALANKAN

KEMOTERAPI DI HOPE CLINIC

MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Unuversitas Sumatera Utara

Oleh

FRANSISKUS UWEUBUN 097032162/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : PENGARUH KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT TERHADAP KEPATUHAN

PENDERITA KANKER PAYUDARA DALAM MENJALANKAN KEMOTERAPI DI HOPE CLINIC MEDAN

Nama Mahasiswa : Fransiskus Uweubun Nomor Induk Mahasiswa : 097032162

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/

Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

( Prof. dr. Delfi Lutan, M.Sc. Sp.OG)

Ketua Anggota (Dra. Syarifah, M.S)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal: 7 Agustus 2012

________________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Delfi Lutan, M.Sc. Sp.OG Anggota : 1. Dra. Syarifah, M.S

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT TERHADAP KEPATUHAN PENDERITA KANKER PAYUDARA

DALAM MENJALANKAN KEMOTERAPI DI HOPE CLINIC MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar keserjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2012

(6)

ABSTRAK

Komunikasi terapeutik adalah merupakan hubungan interpersonal antara perawat dan klien, dalam hal ini perawat dan klien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional klien

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh komunikasi terapeutik perawat yaitu; sikap perawat, teknik komunikasi perawat serta isi pesan komunikasi perawat terhadap kepatuhan penderita kanker payudara dalam menjalankan kemoterapi di Hope Clinic Medan. Jenis penelitian ini adalah survei analitik: yaitu untuk menganalisis Pengaruh komunikasi terapeutik Perawat terhadap Kepatuhan Penderita Kanker Payudara dalam Menjalankan Kemoterapi di Hope Clinic Medan.

Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita kanker payudara yang terdeteksi di Hope Clinic sebanyak 78 penderita. Penderita yang dianjurkan untuk kemoterapi sebanyak 52 penderita.

Sampel merupakan bagian dari populasi yang karakteristiknya hendak diuji. Pengukuran sampel pada penelitian ini adalah seluruh penderita kanker payudara yang menjalankan kemoterapi sesuai dengan yang dianjurkan oleh dokter yang mengobatinya di Hope Clinic Medan, pada tahun 2011 dan 2012, sebanyak 32 orang penderita. Sedangkan 20 penderita yang tidak kemoterapi diwawancarai oleh peneliti di rumah penderita.

Hasil penelitian menunjukan bahwa secara statistik sikap perawat tentang kepatuhan, teknik komunikasi perawat terhadap kepatuhan, serta isi pesan perawat dalam komunikasi berpengaruh terhadap kepatuhan penderita kanker payudara dalam menjalankan kemoterapi di Hope Clinic Medan. Variabel Sikap Perawat yang paling berpengaruh terhadap kepatuhan menjalankan kemoterapi adalah dengan nilai p = 0,007

Disarankan agar Perawat yang bekerja di Hope Klinik Medan dalam menjalankan frofesinya sebagai perawat perlu meningkatkan peran dan fungsi perawat dalam menjalankan tugas sehari-hari terutama sikap komunikasi, teknik berkomunikasi serta isi dari pesan yang disampaikan kepada pasien dan keluargnya, sehingga mereka mendapat kepuasan dalam pelayanan perawat di Hope Clinic Medan.

(7)

ABSTRACT

Therapeutic communication is an interpersonal relationship between nurses and clients. In this case, nurses and clients get a common learning experience in improving the emotional experience of the clients.

The study of this analytical survey study was to analyze the influence of nurses’ therapeutic communication such as the nurses’ attitude, communication technique and the contents or message of communication on the compliance of breast cancer sufferers in conducting chemotherapy at Hope Clinic Medan.

The population of this study was all of the 78 persons detected to suffer from breast cancer at Hope Clinic Medan and 52 of them were suggested to have chemotherapy. The samples for this study were all of the 32 breast cancer sufferers having chemotherapy suggested by their doctors at Hope Clinic Medan in 2011 and 2012. The remaining 20 sufferers who did not have to have chemotherapy were interviewed by the researcher in their home.

The result of this study showed that, statistically, the attitude of nurses towards the compliance, the nurses’ communication technique towards the compliance, and the content or message of the nurses in communicating had influence on the compliance of breast cancer sufferers in conducting chemotherapy at Hope Clinic Medan. Communication technique was the most influencing variable on the compliance of breast cancer sufferers in conducting chemotherapy with p = 0.007.

The nurses working for Hope Clinic Medan are suggested to improve their role and function as nurses in implementing their daily job especially in terms of their attitude of communication, communication technique and the content or message conveyed to the patients and their families that they feel satisfied with the service provided by the nurses working at Hope Clinic Medan.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis penjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

rahmat serta pertolongan-Nya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “ Pengaruh Komunikasi

TerapeutikPerawat terhadap Kepatuhan Penderita Kanker Payudara dalam

Menjalankan Kemoterapi di Hope Clinic Medan”.Penulisan tesis ini merupakan salah

satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2

Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Dalam penyusunan tesis ini,

penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu

pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM &H,M.Sc (CTM), Sp.A(K).

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat,

Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku sekretaris Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. dr. Delfi Lutan, M. Sc. Sp.OG selaku ketua komisi pembimbing dan Dra.

Syarifah, M.S, selaku anggota kamisi pembimbing yang dengan penuh perhatian

dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk

(9)

5. Dosen penguji tesis yang telah memberikan saran dan masukkan serta arahan

untuk kesempurnaan proposal hingga penulisan tesis ini selesai

6. Dokter Riahsyah Damanik, SpB (K) Onk, selaku derektur Hope Clinic Medan

yang telah memberi izin kepada peneliti untuk meneliti di Hope Clinic Medan.

7. Provinsial frater cmm, provinsi Indonesia beserta dewan provinsi yang telah

memberikan dukungan selama melanjutkan studi pada Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat, Unuversitas Sumatera Utara.

8. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat

Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi Fakultas Kesehatan

Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

9. Rekan-rekan frater komunitas Medan yang memberikan dukungan dorongan serta

perhatian sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik

yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan

harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan dan keputusan dalam

pelayanan khususnya komunikasi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan

kepada penderita yang mrmbutuhkan pelayanan yang baik, serta pengembangan ilmu

pengetahuan bagi penelitian selanjutnya

Medan, Oktober 2012

Penulis

(10)

RIWAYAT HIDUP

Fransiskus Uweubun, lahir pada tanggal 27 Maret 1964 di kepulauan Kei –

Maluku Tenggara, Provinsi Maluku, anak ke enam dari tujuh bersaudara dari

pasangan Ayahanda Bernardus Uweubun dan Ibunda Maria Farneubun.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di sekolah

Dasar Naskat katolik Waur, selesai Tahun 1977; Sekolah menengah pertama di SMP

Yos Sudarso Waur Maluku –Tenggara, selesai Tahun 1980, Sekolah Menengah Atas

Katolik Sanata Karya Tual Maluku-Tenggara selesai Tahun 1984; Masuk pendidikan

Kongregasi Frater CMM, Tahun 1985 di Manado Sulawesi Utara dan mengikrarkan

profesi pertama tahun 1988. Mengikuti pendidikan perawat ( SPK), di Rumah Sakit

Santa Elisabeth Medan, selesai tahun 1991; Mengikuti pendidikan diploma DIII

keperawatan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan, selesai Tahun 1999; Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar, selesai Tahun 2004.

Mulai bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Harapan Pematang Siantar, dari

tahun 1991 sampai 1994, Bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Fatima Makale

Tana Toraja, Sulawesi Selatan dari tahun 1995 sampai 2002; bekerja sebagai staf

pengajar di Fakultas Keperawatan Universitas Della Salle Manado Sulawesi Utara,

sampai tahun 2007. Tahun 2009 penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program

Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan

Komunitas/Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

(11)

DAFTAR ISI

3.5. Variabel dan Definisi Operasional... 57

(12)

BAB 5. PEMBAHASAN ... 78

5.1. Pengaruh Sikap Perawat terhadap Kepatuhan Penderita Kanker Payudara dalam Menjalankan Kemoterapi di Hope Clinic Medan ... 78

5.2. Pengaruh Teknik Komunikasi Perawat terhadap Kepatuhan Penderita Kanker Payudara dalam Menjalankan Kemoterapi di Hope Clinic Medan... 80

5.3. Pengaruh Isi Pesan Komunikasi Perawat terhadap Kepatuhan Penderita Kanker Payudara dalam Menjalankan Kemoterapi di Hope Clinic Medan... 82

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

6.1. Kesimpulan ... 84

6.2. Saran ... 84

(13)

DAFTAR TABEL

4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Perawat di Hope Clinic Medan………. 70

4.8. Tabulasi Responden Berdasarkan Kategori Sikap Perawat dalam Komunikasi di Hope Clinic Medan………. 70

4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Teknik Komunikasi di Hope Clinic Medan……. ……… 71

4.10. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Teknik Komunikasi dalam Komunikasi di Hope Clinic Medan……… 72

4.11. Distribusi Responden Berdasarkan Isi Pesan Komunikasi di Hope Clinic Medan………... 72

4.12. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Isi Pesan Perawat dalam Komunikasi di Hope Clinic Medan……… 73

(14)

4.14. Distribusi Silang Teknik Komunikasi Perawat terhadap Kepatuhan

Penderita Kanker Payudara dalam Menjalankan Kemoterapi di Hope Clinic Medan tahun 2012……… 75

4.15. Distribusi Silang Isi Pesan komunikasi Perawat Terhadap Kepatuhan Penderita kanker Payudara dalam Menjalankan Kemoterapi di Hope Clinic Medan tahun 2012………. …. 76

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Skema Komunikasi Interpersonal……… 52

(16)

ABSTRAK

Komunikasi terapeutik adalah merupakan hubungan interpersonal antara perawat dan klien, dalam hal ini perawat dan klien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional klien

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh komunikasi terapeutik perawat yaitu; sikap perawat, teknik komunikasi perawat serta isi pesan komunikasi perawat terhadap kepatuhan penderita kanker payudara dalam menjalankan kemoterapi di Hope Clinic Medan. Jenis penelitian ini adalah survei analitik: yaitu untuk menganalisis Pengaruh komunikasi terapeutik Perawat terhadap Kepatuhan Penderita Kanker Payudara dalam Menjalankan Kemoterapi di Hope Clinic Medan.

Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita kanker payudara yang terdeteksi di Hope Clinic sebanyak 78 penderita. Penderita yang dianjurkan untuk kemoterapi sebanyak 52 penderita.

Sampel merupakan bagian dari populasi yang karakteristiknya hendak diuji. Pengukuran sampel pada penelitian ini adalah seluruh penderita kanker payudara yang menjalankan kemoterapi sesuai dengan yang dianjurkan oleh dokter yang mengobatinya di Hope Clinic Medan, pada tahun 2011 dan 2012, sebanyak 32 orang penderita. Sedangkan 20 penderita yang tidak kemoterapi diwawancarai oleh peneliti di rumah penderita.

Hasil penelitian menunjukan bahwa secara statistik sikap perawat tentang kepatuhan, teknik komunikasi perawat terhadap kepatuhan, serta isi pesan perawat dalam komunikasi berpengaruh terhadap kepatuhan penderita kanker payudara dalam menjalankan kemoterapi di Hope Clinic Medan. Variabel Sikap Perawat yang paling berpengaruh terhadap kepatuhan menjalankan kemoterapi adalah dengan nilai p = 0,007

Disarankan agar Perawat yang bekerja di Hope Klinik Medan dalam menjalankan frofesinya sebagai perawat perlu meningkatkan peran dan fungsi perawat dalam menjalankan tugas sehari-hari terutama sikap komunikasi, teknik berkomunikasi serta isi dari pesan yang disampaikan kepada pasien dan keluargnya, sehingga mereka mendapat kepuasan dalam pelayanan perawat di Hope Clinic Medan.

(17)

ABSTRACT

Therapeutic communication is an interpersonal relationship between nurses and clients. In this case, nurses and clients get a common learning experience in improving the emotional experience of the clients.

The study of this analytical survey study was to analyze the influence of nurses’ therapeutic communication such as the nurses’ attitude, communication technique and the contents or message of communication on the compliance of breast cancer sufferers in conducting chemotherapy at Hope Clinic Medan.

The population of this study was all of the 78 persons detected to suffer from breast cancer at Hope Clinic Medan and 52 of them were suggested to have chemotherapy. The samples for this study were all of the 32 breast cancer sufferers having chemotherapy suggested by their doctors at Hope Clinic Medan in 2011 and 2012. The remaining 20 sufferers who did not have to have chemotherapy were interviewed by the researcher in their home.

The result of this study showed that, statistically, the attitude of nurses towards the compliance, the nurses’ communication technique towards the compliance, and the content or message of the nurses in communicating had influence on the compliance of breast cancer sufferers in conducting chemotherapy at Hope Clinic Medan. Communication technique was the most influencing variable on the compliance of breast cancer sufferers in conducting chemotherapy with p = 0.007.

The nurses working for Hope Clinic Medan are suggested to improve their role and function as nurses in implementing their daily job especially in terms of their attitude of communication, communication technique and the content or message conveyed to the patients and their families that they feel satisfied with the service provided by the nurses working at Hope Clinic Medan.

(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kanker payudara di banyak negara merupakan kanker yang paling sering

terjadi dan penyebab kematian pada wanita. Di kebanyakan negara urutan pertama

ditempati oleh kanker leher serviks, kanker payudara memenpati urutan kedua. Di

bawah usia tiga puluh tahun, kanker payudara sangat jarang muncul.

Apabila seseorang pernah mempunyai riwayat kanker payudara pada salah

satu payudaranya maka individu tersebut mempunyai resiko lebih tinggi untuk

terkena kanker pada payudara satunya, (Wenny 2011).

Di Amerika Serikat kanker payudara menduduki peringkat tertinggi diantara

kanker-kanker lainnya. Angka insiden tertinggi dapat ditemukan pada beberapa

daerah di Amerika Serikat mencapai di atas 100/100.000 berarti lebih 100 penderita

dari 100.000 orang. Swiss, 73,5/100.000, Jepang 17,6/100.000, Kuwait 17,2/100.000,

Cina 9,5/100.000. Di Indonesia, kanker payudara menduduki urutan kedua setelah

kanker serviks pada wanita. Kanker payudara menyerang wanita yang berumur di

atas 40 tahun. Namun wanita muda pun bisa terserang kanker payudara ( Purwoastuti,

2009).

Menurut Tjindarbumi dalam Dadang Hawari, (2009) mengatakan bahwa

(19)

dapat disembuhkan. Sebagai contoh, temuan dini kanker payudara amat penting bagi

keberhasikan pengobatan dengan operasi.

Penderita kanker payudara di Indonesia pada tahun 2004 sebagaimana di

kutip dari profil kesehatan Indonesia tahun 2008, sebanyak 5.207 kasus. Setahun

kemudian pada tahun 2005, jumlah penderita kanker payudara meningkat menjadi

7.850 kasus. Tahun 2006, penderita kanker payudara meningkat menjadi 8.328 kasus

dan pada tahun 2007 sebanyak 8.377. Menurut Prof. Tjandra Yoga, di Indonesia

prevalensi tumor/kanker adalah 4,3 per 1000 penduduk. Kanker merupakan penyebab

kematian nomor 7 (5,7%) setelah stroke TB, Hipertensi, cedera, perinatal, dan DM

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007). Ditambahkan, kanker tertinggi yang

diderita wanita Indonesia adalah kanker payudara dengan angka kejadian 26 per

100.000 perempuan, disusul kanker leher rahim dengan 16 per 100.000 perempuan.

Salah satu faktor risiko yang menyebabkan tingginya kejadian kanker di Indonesia

yaitu prevalensi merokok 23,7%, obesitas umumnya penduduk berusia ≥ 15 tahun

pada laki-laki 13,9% dan pada perempuan 23,8%. Prevalensi kurang konsumsi buah

dan sayur 93,6%, konsumsi makanan diawetkan 6,3%, makanan berlemak 12,8%, dan

makanan dengan penyedap 77,8%. Sedangkan prevalensi kurang aktivitas fisik

sebesar 48,2% (Riskesdas tahun 2007).

Kecemasan yang dirasakan penderita umumnya bercampur dengan gangguan

suasana hati lainnya: ketidakpastian, ancaman terhadap kelangsungan hidup dan

kemungkinan cacat atau kehilangan fungsi tubuh. Penerimaan dapat dipengaruhi

(20)

kurangnya dukungan karena kurang terbukanya dokter atau pemberi bantuan lainnya,

masalah-masalah di dalam keluarga, atau kesulitan di dalam hubungan dengan orang

tercinta. Tidak jarang, penderita dikuasai perasaan tidak berguna, kekhawatiran

karena merasa hanya menjadi beban bagi orang lain, dan rasa malu karena tidak

mempunyai arti bagi orang lain (Jong, 2005).

Penderita kanker payudara selalu mengalami kecemasan dan perasaan takut

yang terus menerus, sehingga membutuhkan pendampingan serta perawatan dan

pengobatan agar mengurangi perasaan cemas dan takut tersebut melalui komunikasi

yaitu komunikasi terapeutik dengan sikap empati dari seorang perawat dan dokter

dalam memberikan asuhan keperawatan maupun pengobatan kepada penderita kanker

payudara, (Fatmawati,2010).

Komunikasi merupakan cara untuk membina hubungan yang terapeutik.

Dalam proses komunikasi terjadi penyampaian informasi dan pertukaran perasaan

dan pikiran. Maksud komunikasi adalah memengaruhi perilaku orang lain. Hubungan

perawat dan klien yang terapeutik tidak mungkin tercapai tanpa komunikasi

(Ermawati 2009).

Komunikasi merupakan alat yang efektif untuk memengaruhi tingkah laku

manusia, sehingga komunikasi dikembangkan dan dipelihara secara terus menerus.

(Mundakir 2006) Komunikasi therapeutik termasuk komunikasi interpersonal yaitu

komunikasi antara orang-orang secara tatap muka yang memungkinkan setiap

pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun

(21)

Komunikasi terapeutik adalah kemampuan perawat untuk membantu klien

beradaptasi terhadap stres, mengatasi gangguan psikologis dan belajar bagaimana

berhubungan dengan orang lain, Norhouse dalam Nunung Nurhasanah, (2010).

Karena komunikasi merupakan proses yang sangat khusus dan paling bermakna

perilaku manusia. Pada profesi keperawatan, komunikasi menjadi lebih bermakna

karena merupakan metode utama dalam mengimplementasikan tindakan yang

menyangkut dalam bidang kesehatan (Christina Lia Uripni 2003).

Komunikasi terapeutik didefinisikan sebagai komunikasi yang direncanakan

secara sadar, bertujuan dan kegiatannya difokuskan untuk kesembuhan pasien, dan

merupakan komunikasi profesional yang mengarah pada tujuan untuk penyembuhan

pasien yang dilakukan oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya, (Christina Lia

Uripni 2003). Hubungan perawat-pasien yang terapeutik adalah pengalaman belajar

bersama dan pengalaman perbaikan emosi klien. Dalam hal ini perawat memaknai

dirinya secara terapeutik dengan menggunakan berbagai teknik komunikasi agar

perilaku klien berubah ke arah yang positif. Komunikasi terapeutik tidak dapat

berlangsung dengan sendirinya, tapi harus direncanakan, dipertimbangkan, dan

dilaksanakan secara profesional. Seorang perawat tidak akan dapat mengetahui

tentang kondisi klien jika tidak ada kemampuan menghargai keunikan klien. Melalui

komunikasi terapeutik diharapkan perawat dapat menghadapi, mempersepsikan,

bereaksi, dan menghargai keunikan klien.

Salah satu faktor kegagalan menjalankan terapi adalah ketidakpatuhan

(22)

kerabat. Hal ini didukung oleh penelitian Cahyadi 2006, di Ruang Cendana I RSUD

Dr. Moewardi Surakarta tentang hubungan antara support system keluarga dengan

kepatuhan pengobatan pada pasien yang mendapat kemoterapi membuktikan ada

hubungan yang bermakna antara support system keluarga dengan kepatuhan berobat

jalan.

Berdasarkan penelitian Uli Asima Simanjuntak tentang Hubungan

Pengetahuan Perawat tentang Komunikasi Terapeutik Terhadap Penurunan Tingkat

Kecemasan Pasien Pre Operatif di RS.Elisabeth Medan 2011 menggambarkan bahwa

situasi operasi merupakan situasi yang diwarnai suasana cemas, baik bagi pasien dan

keluarganya. Sehingga peran perawat dan tenaga kesehatan lain perlu memberikan

perhatian dalam upaya mengurangi kecemasan sekaligus menurunkan resiko operasi

yang dapat timbul karena pasien tidak kooperatif dan mengganggu proses

penyembuhan. Oleh sebab itu, bila perawat tidak berperan aktif dalam memberikan

dukungan dan motivasi kepada pasien maka tingkat kecemasan pasien akan terus

meningkat dan merasa takut dalam menjalani tindakan keperawatan sebelum operasi.

Untuk itu, pasien yang akan menjalani operasi harus diberi komunikasi terapeutik

untuk menurunkan atau mengurangi gejala kecemasan serta dapat meningkatkan

pengetahuan kesehatan pada pasien.

Pasien yang diajak mendiskusikan masalah kesehatan yang dihadapinya, akan

merasa terayomi dan mendapat perhatian yang penuh dari perawat sehingga bisa

menurunkan kecemasannya. Komunikasi yang terjadi antara perawat dan pasien

(23)

pengkajian sampai pada evaluasi dari hasil tindakan dari kebuntuan komunikasi

terapeutik Abdul Nasir dalam Siti Fatmawati, (2010).

Disamping itu, perawat harus lebih berkompeten menjadi seseorang

komunikator yang efektif, perawat memakai dirinya secara terapeutik dengan

menggunakan teknik komunikasi agar perilaku pasien berubah kearah yang positif

seoptimal mungkin dan perawat dapat menghadapi, mempersepsikan, bereaksi dan

menghargai keunikan klien (Mundakhir, 2006).

Dengan demikian, komunikasi terapeutik perawat adalah hal yang sangat

penting karena komunikasi terapeutik adalah salah satu bentuk intervensi dalam

pemberian asuhan keperawatan pada pasien di suatu instansi/ rumah sakit.

Salah satu pengobatan yang berkembang dengan cepat saat ini adalah

kemoterapi yaitu penggunaan preparat anti neoplasma, sebagai upaya untuk

membunuh sel-sel tumor yang mengganggu fungsi reproduksi seluler. Biasanya

kemoterapi dilakukan pada beberapa penyakit kanker yang spesifik seperti kanker

payudara, kanker rahim, kanker paru, leukemia tetapi selalu ada laporan baru tentang

neoplasma yang sebelumnya tidak dapat diatasi. Obat kemoterapi digunakan untuk

membunuh dan menghambat perkembangan sel kanker payudara. Obat kemoterapi

sangat efektif ketika sel-sel sedang membelah, namun obat ini tidak dapat

membedakan sel sehat yang sedang membelah seperti folikel rambut yang dapat

mengakibatkan efek samping pada rambut sehingga menjadi rontok. Sel-sel normal

dapat pulih kembali dalam waktu yang singkat, namun sel-sel kanker payudara yang

(24)

Kemoterapi adalah obat yang dibuat secara kimiawi yang bekerja

menghambat atau mematikan mikroorganisme yang membuat sakit, misalnya bakteri

atau sel-sel tumor. Kemoterapi merupakan terapi sistematis yang ditambahkan pada

tubuh, berarti pada seluruh sistem. Kemoterapi menyebar tanpa bergantung pada jalan

masuknya, melalui sirkulasi darah, jadi tanpa halangan sampai di semua jaringan dan

semua organ bahkansampai di semua sel tubuh, Wim de Jong (2005).

Dari data Medikal Record Rumah Sakit Dr.Pirngadi Medan (2009), jumlah

pasien yang berobat di Poli Bedah Bagian Onkologi Rumah Sakit Dr. Pirngadi

Medan adalah 1232 orang, yang terdiagnosa kanker payudara 323 orang atau

sebesar (26,21 %) . Penderita yang dirawat sebanyak 315 orang , sedangkan yang

menjalani pengobatan kemoterapi sebanyak 36 orang 11,42%). Dari tingginya angka

kejadian tersebut peneliti merasa tertarik untuk meneliti bagaimana komunikasi

terapeutik yakni sikap perawat, teknik komunikasi dan isi pesan dapat berpengaruh

terhadap pengobatan kemoterapi penderita kanker payudara.

Hubungan saling percaya yang telah dibangun diantara perawat dan pasien tersebut

akan mempermudah pelaksanaan dan keberhasilan program pengobatan Stuart dalam

Nunung Nurhasanah (2010). Komunikasi yang baik dapat meningkatkan kepatuhan

klien dalam hal pengobatan dan perawatan penyakitnya.

Pada penelitian ini, peneliti memilih lokasi penelitian yang sesuai dengan

judul penelitian ini tentang kepatuhan penderita kanker payudara menjalankan

kemoterapi, maka lokasi penelitian yang di pilih adalah Hope Clinic sebagai tempat

(25)

No.14 Medan. Sebagai data awal, peneliti memperoleh informasi langsung dari

perawat serta status pasien yang menjalankan pemeriksaan dan konsultasi di Hope

Clinic, terdapat 78 orang penderita kanker payudara, selama tahun 2011 dan tahun

2012. Dari jumlah 78 penderita kanker payudara yang dianjurkan dokter untuk

menjalanakkan kemoterapi sebanyak 52 penderita. Namun hanya 32 penderita,

(61,54%) yang menjalanakan kemoterapi sesuai dengan anjuran dokter yang

merawatnya.

1.2. Permasalahan

Dari permasalahan di atas yang menjadi permasalahan penelitian adalah bagaimana

pengaruh komunikasi terapeutik perawat terhadap kepatuhan penderita kanker

payudara dalam menjalankan kemoterapi di Hope Clinic Medan.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah menganalisis pengaruh komunikasi terapeutik perawat

terhadap kepatuhan penderita kanker payudara dalam menjalankan kemoterapi di

Hope Clinic Medan.

1.4. Hipotesis

Hipotesa dalam penelitian ini adalah (H1) apabila ada pengaruh komunikasi

(26)

kemoterapi atau (Ho) apabila tidak ada pengaruh komunikasi terapeutik perawat

terhadap kepatuhan penderita kanker payudara dalam menjalankan kemoterapi.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan

yang berkaitan dengan pengaruh komunikasi terapeutik terhadap kepatuhan

penderita kanker payudara menjalankan kemoterapi.

2. Tenaga Kesehatan ( Perawat )

Diharapkan Sebagai masukan bagi perawat dalam meningkatkan pelayanan

keperawatan yang berhubungan dengan penerapan komunikasi terapeutik untuk

meningkatkan kepatuhan penderita kanker payudara dalam menjalankan

kemoterapi.

3. Hope Clinic

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi Hope Clinic

Medan, bahwa pentingnya penerapan komunikasi terapeutik dari seorang

perawat yang berdampak pada kepatuhan penderita kanker payudara dalam

menjalankan kemoterapi, sehingga dapat meningkatkan kemauan dan

(27)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komunikasi Terapeutik 2.1.1. Pengertian

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan atau dirancang

untuk tujuan terapi. Seorang penolong atau perawat dapat membantu klien mengatasi

masalah yang dihadapinya melalui komunikasi, (Suryani 2005). Menurut Purwanto

yang dikutip oleh (Mundakir 2006), komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang

direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan

pasien. Pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi professional

yang mengarah pada tujuan yaitu penyembuhan pasien, (Siti Fatmawati 2010).

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar,

bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien, Indrawati, dalam

Siti Fatmawati, (2010).

Menurut (Stuart 1998) komunikasi terapeutik adalah merupakan hubungan

interpersonal antara perawat dan klien, dalam hal ini perawat dan klien memperoleh

pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional

klien. Menurut (Potter-Perry 2000), proses dimana perawat menggunakan

pendekatan terencana dalam mempelajari klien.

Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa komunikasi terapeutik

(28)

yang mempunyai efek penyembuhan. Komunikasi terapeutik merupakan salah satu

cara untuk membina hubungan saling percaya terhadap pasien dan pemberian

informasi yang akurat kepada pasien, sehingga diharapkan dapat berdampak pada

perubahan yang lebih baik pada pasien dalam menjalanakan terapi dan membantu

pasien dalam rangka mengatasi persoalan yang dihadapi pada tahap perawatan.

2.1.2. Tujuan Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik bertujuan untuk mengembangkan pribadi klien kearah

yang lebih positif atau adaptif dan diarahkan pada pertumbuhan klien yang meliputi:

Pertama, realisasi diri, penerimaan diri, dan peningkatan penghormatan diri.

Melalui komunikasi terapeutik diharapkan terjadi perubahan dalam diri klien. Klien

yang tadinya tidak biasa menerima apa adanya atau merasa rendah diri, setelah

berkomunikasi terapeutik dengan perawat akan mampu menerima dirinya.

Kedua, kemampuan membina hubungan interpersonal dan saling bergantung

dengan orang lain. Melalui komunikasi terapeutik, klien belajar bagaimana menerima

dan diterima orang lain. Dengan komunikasi yang terbuka, jujur dan menerima klien

apa adanya, perawat akan dapat meningkatkan kemampuan klien dalam membina

hubungan saling percaya .

Ketiga, peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan

serta mencapai tujuan yang realistis. Terkadang klien menetapkan ideal diri atau

tujuan yang terlalu tinggi tanpa mengukur kemampuannya.

Keempat, rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri.

(29)

mengalami gangguan identitas personal biasanya tidak mempunyai rasa percaya diri

dan mengalami harga diri rendah. Melalui komunikasi terapeutik diharapkan perawat

dapat membantu klien meningkatkan integritas dirinya dan identitas diri yang jelas.

Dalam hal ini perawat berusaha menggali semua aspek kehidupan klien di masa

sekarang dan masa lalu. Kemudian perawat membantu meningkatkan integritas diri

klien melalui komunikasinya dengan klien, (Suryani 2005).

2.1.3. Prinsip Dasar Komunikasi Terapeutik

Menurut (Suryani 2000), ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami

dalam membangun dan mempertahankan hubungan yang terapeutik:

Pertama, hubungan perawat dengan klien adalah hubungan terapeutik yang

saling menguntungkan. Hubungan ini didasarkan pada prinsip” humanity of nurse

and clients”. Kualitas hubungan perawat-klien ditentukan oleh bagaimana perawat

mendefinisikan dirinya sebagai manusia. Hubungan perawat dengan klien tidak hanya

sekedar hubungan seorang penolong dengan kliennya tetapi lebih dari itu, hubungan

antar manusia yang bermartabat.

Kedua, perawat harus menghargai keunikan klien. Tiap individu mempunyai

karakter yang berbeda-beda, karena itu perawat perlu memahami perasaan dan

perilaku klien dengan melihat perbedaan latar belakang keluarga, budaya, dan

keunikan tiap individu.

Ketiga, semua komuikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri

pemberi maupun penerima pesan, dalam hal ini perawat harus mampu menjaga harga

(30)

Keempat, komunikasi yang menciptakan tumbuhnya hubungan saling percaya

harus dicapai terlebih dahulu sebelum menggali permasalahan dan memberikan

alternative pemecahan masalah. Hubungan saling percaya antara perawat dan klien

adalah kunci dari komunikasi terapeutik.

2.1.4. Komunikasi Terapeutik sebagai Tanggung Jawab Moral Perawat

Perawat disebutkan sebagai tenaga terpenting karena sebagian terbesar

pelayanan Rumah Sakit adalah pelayanan keperawatan. Perawat bekerja dan selalu

bertemu dengan pasien selama 24 jam penuh dalam satu siklus shift, karena itu

perawat menjadi ujung tombak bagi suatu Rumah Sakit dalam memberikan pelayanan

kesehatan kepada pasien. Dalam memberikan intervensi keperawatan diperlukan

suatu komunikasi terapeutik, dengan demikian diharapkan seorang perawat memiliki

kemampuan khusus mencakup ketrampilan intelektual, teknikal dan interpersonal dan

penuh kasih sayang dalam melakukan komunikasi dengan pasien. Perawat harus

memiliki tanggung jawab moral tinggi yang didasari atas sikap peduli dan penuh

kasih sayang, serta perasaan ingin membantu orang lain untuk kesembuhan pasien.

Menurut Addalati, dalam Abdul Nasir (2009) menambahkan bahwa seorang

beragama, perawat tidak dapat bersikap tidak peduli terhadap orang lain dan adalah

seorang pendosa apabila perawat mementingkan dirinya sendiri.

2.1.5. Teknik Komunikasi Terapeutik

Teknik komunikasi terapeutik dengan menggunakan referensi dari Stuart dan

(31)

1. Mendengarkan (lestening)

Mendengar ( listening) merupakan dasar utama dalam komunikasi terapeutik (

Keliat 1992). Mendengarkan adalah proses aktif dan penerimaan informasi serta

penelaahan reaksi seseorang terhadap pesan yang diterima , Hubson, S dalam

Suryani, (2005). Untuk member kesempatan lebih banyak pada klien untuk

berbicara, maka perawat harus menjadi pendengar yang aktif. Selama

mendengarkan, perawat harus mengikuti apa yang dibicarakan klien dengan

penuh perhatian. Perawat memberikan tanggapan dengan tepat dan tidak

memotong pembicaraan klien. Tunjukkan perhatian bahwa perawat mempunyai

waktu untuk mendengarkan.

Ketrampilan mendengarkan penuh perhatian adalah dengan:

a. Pandang klien ketika sedang bicara

b. Pertahankan kontak mata yang memancarkan keinginan untuk mendengarkan

c. Sikap tubuh yang menunjukan perhatian dengan tidak menyilangkan kaki atau

tangan

d. Hindarkan gerakan yang tidak perlu

e. Angkat kepala jika klien membicarakan hal penting atau memerlukan umpan

balik

f. Condongkan tubuh kearah lawan bicara (pasien).

2. Bertanya

Bertanya (question) merupakan teknik yang dapat mendorong klien untuk

(32)

Teknik berikut sering digunakan pada tahap orientasi:

a. Pertanyaan fasilitatif (fasilitatif question)

Pertanyaan fasilitatif (facilitative question) terjadi jika pada saat bertanya

perawat sensitive terhadap pikiran dan perasaan serta secara langsung

berhubungan dengan masalah klien, sedangkan pertanyaan non fasilitatif (non

facilitative question) adalah pertanyaan yang tidak efektif karena memberikan

pertanyaan yang tidak fokus pada masalah atau pembicaraan, bersifat

mengancam, dan tampak kurang pengertian terhadap klien Gerald, D dalam

Suryani,(2005).

b. Pertanyaan terbuka atau tertutup

Pertanyaan terbuka (open question) digunakan apabila perawat membutuhkan

jawaban yang banyak dari klien. Dengan pertanyaan terbuka, perawat mampu

mendorong klien mengekspresikan dirinya Antai-Otong dalam Suryani,

(2005).

Pertanyaan tertutup (closed question) digunakan ketika perawat membutuhkan

jawaban yang singkat.

3. Penerimaan

Yaitu mendukung dan menerima informasi dengan tingkah laku yang

menunjukkan ketertarikan dan tidak menilai. Penerimaan bukan berarti

persetujuan. Penerimaan berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa

(33)

ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang menunjukkan tidak setuju, seperti

mengerutkan kening atau menggelengkan kepala seakan tidak percaya.

4. Mengulangi (restating)

Mengulangi (restating) yaitu mengulang pokok pikiran yang diungkapkan klien

maksudnya adalah mengulangi pokok pikiran yang diungkapkan klien dengan

menggunakan kata-kata sendiri. Gunanya untuk menguatkan ungkapan klien dan

member indikasi perawat mengikuti pembicaraan atau memperhatikan klien dan

mengharapkan komunikasi berlanjut klien (Keliat, Budi Anna, 1992 ).

5. Klarifikasi (clarification)

Klasifikasi (clarification) adalah penjelasan kembali ke ide atau pikiran klien

yang tidak jelas atau meminta klien untuk menjelaskan arti dari ungkapannya

Gerald,d dan Suryani, (2005). Dilakukan bila perawat ragu, tidak jelas, tidak

mendengar atau klien malu mengemukakan informasi, informasi yang diperoleh

tidak lengkap atau mengemukakannya berpindah-pindah. Pada saat klarifikasi

perawat tidak boleh menginterpretasikan apa yang dikatakan klien, juga tidak

boleh menambahkan informasi Gerald, D dalam Suryani, (2005). Fokus utama

klarifikasi adalah pada perasaan, karena pengertian terhadap perasaan klien

sangat penting dalam memahami klien.

6. Refleksi ( reflection )

Refleksi (reflection) adalah mengarahkan kembali ide, perasaan, pertanyaan, dan

(34)

perawat tentang apa yang diucapkan klien dan menekankan empati, minat, dan

penghargaan terhadap klien Antai-Otong dalam Suryani, (2005).

Refleksi menganjurkan klien untuk mengungkapkan dan menerima ide dan

perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri. Apabila klien bertanya apa yang

harus ia pikirkan dan kerjakan atau rasakan maka perawat dapat menjawab;

bagaimana menurutmu? Dengan demikian perawat mengindikasikan bahwa

pendapat klien adalah berharga dank lien mempunyai hak untuk mampu

melakukan hal tersebut, maka iapun akan berpikir bahwa dirinya adalah manusia

yang mempunyai kapasitas dan kemampuan sebagai individu yang terintegrasi

dan bukan sebagai bagian dari orang lain.

7. Memfokuskan (focusing)

Memfokuskan (focusing) adalah bertujuan memberikan kesempatan kepada klien

untuk membahas masalah inti dan mengarahkan komunikasi klien pada

pencapaian tujuan Stuart, G.W dalam Suryani, (2005). Metode ini dilakukan

dengan tujuan membatasi bahan pembicaraan sehingga pembahasan masalah

lebih spesifik dan dimengerti dan mengarahkan komunikasi klien pada

pencapaian tujuan.

8. Diam ( silence )

Teknik diam digunakan untuk memberikan kesempatan pada klien sebelum

menjawab pertanyaan perawat. Diam akan memberikan kesempatan kepada

perawat dan klien untuk Mengorganisasi pikiran masing-masing Stuart dan

(35)

9. Memberikan Informasi ( informing )

Memberikan informasi tambahan merupakan tindakan penyuluhan kesehatan

untuk klien. Teknik ini sangat membantu dalam mengajarkan kesehatan atau

pendidikan pada klien tentang aspek-aspek yang relevan dengan perawatan diri

dan penyembuhan klien. Informasi tambahan yang diberikan pada klien harus

dapat memberikan pengertian dan pemahaman yang lebih baik tentang masalah

yang dihadapi klien serta membantu dalam memberikan alternative pemecahan

masalah, (Suryani 2005).

10. Menyimpulkan (summerizing)

Menyimpulkan adalah teknik komunikasi yang membantu klien mengeksporasi

point penting dari interaksi perawat-klien. Teknik ini membantu perawat dank

lien untuk memiliki pikiran dan ide yang sama saat mengakhiri pertemuan.

11. Mengubah Cara Pandang (reframing)

Teknik ini digunakan untuk memberikan cara pandang lain sehingga klien tidak

melihat sesuatu atau masalah dari aspek negatifnya saja Gerald,D dalam

Suryani, (2005 ) sehingga memungkinkan klien untuk membuat perencanaan

yang lebih baik dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.

12. Eksplorasi

Teknik ini bertujuan untuk mencari atau menggali lebih dalam masalah yang

dialami klien, Antai-Otong dalam suryani, (2005) supaya masalah tersebut bias

diatasi. Teknik ini bermanfaat pada tahap kerja untuk mendapatkan gambaran

(36)

13. Membagi Persepsi (Sharing perception)

Stuart G.W. dalam Suryani, (2005), menyatakan membagi persepsi (sharing

perception) adalah meminta pendapat klien tentang hal yang perawat rasakan

atau pikirkan. Teknik ini digunakan ketika perawat merasakan atau melihat ada

perbedaan antara respons verbal atau respons nonverbal dari klien.

14. Identifikasi tema

Perawat harus tanggap terhadap cerita yang disampaikan klien dan harus mampu

menangkap tema dari seluruh pembicaraan tersebut. Gunanya untuk

meningkatkan pengertian dan menggali masalah penting. (Stuart dan Sundeen,

dalam Suryani, 2005).teknik ini sangat bermanfaat pada tahap awal kerja untuk

memfokuskan pembicaraan pada awal masalah yang benar-benar dirasakan klien.

15. Menganjurkan untuk Melanjutkan Pembicaraan

Teknik ini menganjurkan klien untuk mengarahkan hampir seluruh pembicaraan

yang mengidentifikasikan bahwa klien sedang mengikuti apa yang dibicarakan

dan tertarik dengan apa yang dibicarakan selanjutnya. Perawat lebih berusaha

untuk menaksirkan dari pada mengarahkan diskusi/pembicaraan.

16. Humor

Sullivan dan Deane dalam Suryani,( 2005), melaporkan bahwa humor

merangsang produksi catecholamine dan hormone yang menimbulkan perasaan

sehat, meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas,

(37)

rasa takut dan tidak enak atau menutupi ketidak mampuannya untuk

berkomunikasi dengan klien.

17. Memberikan Pujian

Memberikan pujian (reinforcement) merupakan keuntungan psikologis yang

didapatkan klien ketika berinteraksi dengan perawat. Reinforcement berguna

untuk meningkatkan harga diri dan menguatkan perilaku klien Gerald, D dalam

Suryani, (2005). Reinforcement bias diungkapkan dengan kata-kata ataupun

melalui inyarat nonverbal.

18. Menawarkan Diri

Bukan tidak mungkin bahwa klien belum siap untuk berkomunikasi secara verbal

dengan orang lain atau klien tidak mampu untuk membuat dirinya dimengerti.

Perawat menyediakan diri tanpa renpons bersyarat atau respons yang diharapkan.

19. Memberikan Penghargaan

Memberi salam pada klien dan keluarga dengan menyebut namanya, menunjukan

kesadaran tentang perubahan yang terjadi, untuk menghargai klien dan keluarga

sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai hak dan tanggung jawab atas

dirinya sendiri sebagai individu.

20. Asertif

Asertif adalah kemampuan dengan cara meyakinkan dan nyaman untuk

(38)

2.1.6. Sikap Perawat dalam Komunikasi Terapeutik

Elsa Roselina, 2009 mengidentifikasikan lima sikap atau cara untuk dapat

menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi terapeutik:

1. Berhadapan

Posisi ini memiliki arti bahwa saya siap untuk anda

2. Mempertahankan kontak mata

Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien dan menyatakan

keinginan untuk tetap berkomunikasi

3. Membungkuk kearah klien

Pada posisi ini menunjukkan keinginan untuk menyatakan atau mendengarkan

sesuatu

4. Memperlihatkan sikap terbuka

Dalam posisi ini diharapkan tidak melipat kaki atau tangan untuk menyatakan

atau mendengarkan sesuatu

5. Tetap rileks

Tetap dapat mengendalikan keseimbangan, antara ketegangan dan relaksasi

dalam memberikan respons kepada pasien, meskipun dalam situasi yang kurang

menyenangkan.

2.1.7. Memberikan Umpan Balik

Ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan oleh seorang perawat dalam

(39)

1. Pelajari hasil kerjanya dengan teliti. Beri tanda pada hal-hal yang perlu

diperbaiki

2. Ketika menyampaikan umpan balik perhatikan contoh-contoh dari kesalahan

yang telah dibuat

3. Kembangkan argument mengenai dampak negative yang biasa muncul dari

kesalahan yang dibuat

4. Pastikan penerima umpan balik menyadari kekeliruan, kekurangan, atau

kesalahan

5. Gali lebih dalam lagi mengenai hambatan yang ditemui

6. Dorong penerima umpan balik untuk menemukan jalan keluar dan

langkah-langkah untuk memperbaiki tugasnya atau cara kerjanya

7. Buat kesepakatan mengenai perbaikan yang akan dilakukan.

2.1.8. Sikap Perawat dalam Memberikan Umpan Balik 1. Jangan bersikap seperti hakim yang mengadili

2. Mulai dengan hal-hal yang positif

3. Jangan mengungkapkan kebaikan dan kelemahan secara bersamaan

4. Sampaikan fakta, tunjukkan dimana letak kesalahan, kekeliruan, atau kekurangan

5. Berikan pujian dengan tulus

6. Jangan memanipulasi fakta

(40)

2.1.9. Isi Pesan

Pesan adalah segala sesuatu yang akan disampaikan. Pesan dapat berupa

ide, pendapat, pikiran dan saran. Pesan adalah keseluruhan dari apa yang

disampaikan oleh komunikator. Pesan ini mempunyai inti pesan yang sebenarnya

menjadi pengarah di dalam suatu usaha mencoba mengubah sikap dan tingkah laku

komunikan, (Ernawati Dalami, 2009). Menurut Arita Murwani, isi pesan harus dirasa

penting dan berguna bagi sasaran. Bila seorang pasien diberi nasihat atau informasi

berupa pesan-pesan yang kurang bermanfaat dan tidak jelas, maka pasien akan

enggan melakukannya. Pesan dapat disampaikan dengan cara langsung atau lisan,

tatap muka, dan dapat pula melalui media atau saluran. Pesan yang disampaikan

memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

a. Pesan harus direncanakan dengan baik sesuai kebutuhan

b. Penyampaian pesan dengan menggunakan bahasa yang baik dan mudah

dimengerti oleh kedua belah pihak

c. Pesan harus menarik minat dan kebutuhan pribadi penerima serta menimbulkan

kepuasan, ( Mundakir 2006).

2. 2. Kepatuhan Menjalankan Kemoterapi 2.2. 1. Pengertian

Menurut Sackett dalam Niven (2000) kepatuhan adalah sejauhmana perilaku

(41)

Sedangkan menurut (Kozier 2010), kepatuhan adalah tingkat perilaku individu

(misalnya minum obat, mematuhi diet, atau melakukan perubahan gaya hidup),

sesuai anjuran terapi atau kesehatan. Tingkat kepatuhan dapat dimulai dari

mengindahkan setiap aspek anjuran hingga mematuhi semua rencana terapi.

Menurut (Perry dan Potter 2009), kepatuhan adalah ketaatan klien pada

terapi yang ditetapkan. Tetapi tidak semua orang ingin mempertahankan

kesehatannya. Banyak orang yang tidak mau mengadobsi prilaku sehat atau

mengubah prilaku yang tidak sehat. Berbeda dengan orang-orang yang menganggap

penyakit sebagai ancaman, biasanya mereka akan mengatasi keterbatasan dalam

praktik kesehatan yang berubah dan melihat keuntungan dalam mengadobsi perilaku

yang baru. Sebagai contoh penderita diabetes mellitus terus mengikuti pola makan

seperti biasa. Terapi tidak akan berpengaruh kecuali penderita diabetes mellitus

menganggap kesehatan sebagai hal penting. Petugas kesehatan harus mengkaji

motivasi belajar dan kebutuhan pengetahuan penderita agar dapat membentuk

kepatuhan.

Berdasarkan pendapat Lukman dalam Suprayanto (2010) dapat disimpulkan

bahwa kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdidisiplin melakukan

perintah/nasehat atau aturan yang diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai,

setelah memahami betul apa yang dianjurkan/disarankan. Seseorang dikatakan patuh

menjalankan kemoterapi apabila mau menjalankan pola hidup sehat dan mengontrol

(42)

lama setiap 2 bulan sekali sesuai dengan ketentuan, sehingga terhindar dari mestastasi

atau penyulit .

Kepatuhan adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan ketaatan atau pasrah

pada tujuan yang telah ditentukan. Kepatuhan memiliki nada yang cenderung

memanipulasi atau otoriter dimana penyelenggaraan perawatan kesehatan atau

pendidik dianggap sebagai tokoh yang berwenang, peserta didik anggap bersikap

patuh. Kepatuhan pada program kesehatan merupakan perilaku yang dapat

diobservasi. Menurut Eraker dan Levanthal serta Cameron dalam Niven,( 2002)

mengatakan kepatuhan pasien program kesehatan dapat ditinjau dari berbagai

perspektif teoritis: Teori perilaku/ pembelajaran sosial, yang menggunakan

pendekatan behavioristik dalam hal reward , petunjuk, kontrak, dan dukungan sosial.

Teori keyakinan rasional, yang menimbang manfaat pengobatan dan resiko penyakin

melalui penggunaan logika cost benefit. Sistem mengatur diri, pasien dilihat sebagai

pemecahan masalah yang mengatur perilakunya berdasarkan persepsi atas penyakit.

Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo,(2005), menjelaskan bahwa perilaku

seseorang dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok, yakni faktor

predisposisi (predisposing factor), faktor yang mendukung (enabling factor) dan

faktor yang memperkuat atau mendorong ( reinforcing factor). Jadi ada hubungan

antara perilaku seseorang dengan kepatuhan dalam menjalanakan kemoterapi

Berdasarkan penelitian Direktorat Bina farmasi Klinik Direktorat Jenderal

Bina Kefarmasian dan alat kesehatan Depkes RI, (2005) mengemukan salah satu

(43)

disebabkan oleh kurangnya dukungan sosial dari keluarga atau kerabat. Hal ini

didukung oleh penelitian (Cahyadi 2006) di Ruang Cendana I RSUD Dr. Moewardi

Surakarta tentang hubungan antara support system keluarga dengan kepatuhan

pengobatan pada pasien yang mendapat kemoterapi membuktikan ada hubungan yang

bermakna antara support system keluarga dengan kepatuhan berobat jalan. Menurut

penelitian Yulian (2008) di Rumah Sakit Umum Jiwa Daerah Surakarta tentang

hubungan support system keluarga terhadap kepatuhan klien berobat jalan

menunjukkan ada hubungan antara support system keluarga terhadap kepatuhan klien

berobat jalan. Penelitian di atas menunjukkan bahwa dukungan keluarga sangat

penting untuk kepatuhan menjalankan kemoterapi.

Patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah atau aturan. Sedangkan

kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin, Kamus Besar Bahasa

Indonesia 1988.

Menurut Sacket dalam Niven (2000) kepatuhan adalah sejauh mana perilaku

pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan. Salah

satu pengobatan yang berkembang dengan cepat saat ini adalah kemoterapi yaitu

penggunaan preparat anti neoplasma, sebagai upaya untuk membunuh sel-sel tumor

dengan mengganggu fungsi reproduksi seluler. Biasanya kemoterapi dilakukan pada

beberapa penyakit kanker yang spesifik seperti kanker payudara, kanker rahim,

kanker paru, leukemia tetapi selalu ada laporan baru tentang neoplasma yang

(44)

kemoterapi digunakan untuk membunuh dan menghambat perkembangan sel kanker

payudara.

2.2.2. Penyebab Terjadinya Kepatuhan

Kepatuhan yang terjadi dalam menjalankan sesuatu dalam kehidupan apakah

dalam mengatasi masalah kesehatan atau penyakit dapat disebabkan banyak hal

yaitu: (1) kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman

tentang pentingnya perilaku yang baru itu, (2) kepatuhan demi menjaga hubungan

baik dengan petugas kesehatan atau tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut, (3)

kepatuhan timbul karena individu merasa tertarik atau mengagumi petugas

kesehatan atau tokoh tersebut, sehingga ingin mematuhi apa yang dianjurkan atau

diinstruksikan tanpa memahami sepenuhnya arti dan mamfaat dari tindakan tersebut,

tahap ini disebut proses identifikasi. Motivasi untuk mengubah perilaku individu

dalam tahap ini lebih baik dari pada dalam tahap kesediaan, namun motivasi ini

belum dapat menjamin kelestarian perilaku itu karena individu belum dapat

menghubungkan perilaku tersebut dengan nilai-nilai lain dalam hidupnya, sehingga

jika dia ditinggalkan petugas atau tokoh idolanya itu maka dia merasa tidak perlu

melanjutkan perilaku tersebut.

2.2. 3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kepatuhan

Menurut teori Feuerstein dalam Niven (2000) ada 5 faktor yang mendukung

kepatuhan pasien, yaitu pendidikan, akomodasi, modifikasi, faktor lingkungan dan

sosial, perubahan model terapi dan meningkatnya interaksi profesional kesehatan

(45)

Pendidikan, tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan

sepanjang pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif, yang diperoleh

secara mandiri, lewat tahapan-tahapan tertentu mulai dari tingkat dasar sampai

perguruan tinggi. Pendidikan ini dapat juga diperoleh secara mandiri dengan

menggunakan buku-buku dan kaset sebagai alat penuntun bejajar.

Berdasarkan pendapat Feuer Stein et.al. dalam Niven, (2002), dapat

disimpulkan bahwa tingkat pendidikan pasien/penderita dapat meningkatkan

kepatuhan menjalankan kemoterapi , sepanjang pendidikan tersebut merupakan

pendidikan yang aktif yang diperoleh secara mandiri, lewat tahapan-tahapan tertentu

sesuai dengan kemampuan belajar yang dimiliki oleh pasien/penderita. Pendidikan

yang diperoleh akan mendasari kepatuhan dalam menjalankan kemoterapi , sehingga

penderita tidak asal ikut-ikutan saja tetapi tindakan yang dilakukan sudah berdasarkan

pertimbangan tentang baik buruknya atau untung ruginya mematuhi instruksi petugas

kesehatan dalam menjalankan kemoterapi.

Akomodasi, suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian

pasien yang dapat memengaruhi kepatuhan. Sebagai contoh pasien yang lebih

mandiri, harus merasakan bahwa dia dilibatkan secara aktif dalam program

pengobatan, sementara pasien yang mengalami ansietas menghadapi sesuatu, harus

diturunkan terlebih dahulu tingkat ansietasnya dengan cara menyakinkan dia atau

dengan teknik-teknik lain sehingga dia termotivasi untuk mengikuti anjuran

(46)

Modifikasi faktor lingkungan dan sosial, hal ini berarti membangun dukungan

sosial dari keluarga dan teman-teman sangat penting. Kelompok-kelompok

pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap program-program

pengobatan seperti pengurangan berat badan, berhenti merokok dan menurunkan

konsumsi alkohol.

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan

keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program

pengobatan yang dapat mereka terima. Pratt dalam Niven (2002) telah

memperhatikan bahwa peran yang dimainkan keluarga dalam pengembangan

kebiasaan kesehatan dan pengajaran terhadap anak-anak mereka. Keluarga juga

memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota

keluarga yang sakit.

Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga

yang lain, teman, waktu, dan uang merupakan faktor-faktor penting dalam kepatuhan

terhadap program–program medis. Contoh yang sederhana, tidak memiliki pengasuh,

transportasi tidak ada, dan ada anggota keluarga yang sakit, dapat mengurangi

kepatuhan pasien. Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi ansietas, yang

disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan

ketidaktaatan, dan mereka seringkali dapat menjadi kelompok pendukung untuk

mencapai kepatuhan, (Niven 2002).

Keyakinan, sikap dan kepribadian Becker et al dalam Niven (2002),

(47)

program pengobatan yang kompleks, meliputi diet, pembatasan cairan dan

pengobatan. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan, bahwa keyakinan, sikap dan

kepribadian akan kesehatan pasien berguna memperkirakan adanya ketidakpatuhan.

tentang terapi yang harus dijalankannya bisa saja dipengaruhi oleh bagaimana cara

keluarga memberi memotivasi untuk pasien bisa bangkit dari keterpurukan akan

penyakit dan menjalankan terapi kemoterapi.

Perubahan model terapi, program-program pengobatan dapat dibuat

sesederhana mungkin, dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.

Dengan cara ini komponen-komponen sederhana dalam program pengobatan dapat

diperkuat, untuk selanjutnya dapat mematuhi komponen-komponen yang lebih

kompleks.

Anderson dalam Niven (2002) dalam penelitiannya tentang komunikasi

dokter, perawat dan pasien di Hongkong, mendapatkan bahwa pasien yang rata-rata

diberi 18 jenis informasi untuk diingat dalam setiap konsultasi, hanya mampu

mengingat 31 % saja. Dari penjabaran dan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan

bahwa komunikasi yang efektif sangat diperlukan . Tenaga kesehatan harus

memberikan informasi yang lengkap guna meningkatkan pemahaman penderita

sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam mnjalankan terapi.

Kualitas interaksi juga merupakan hal yang penting dalam menentukan

derajat kepatuhan. Korsch dan Negrete dalam Niven (2002) telah mengamati 800

kunjungan orangtua dan anak-anaknya ke rumah sakit anak di Los Angeles. Selama

(48)

nasehat-nasehat yang diberikan oleh dokter, mereka menemukan ada hubungan yang

erat antara kepuasan ibu terhadap konsultasi dengan seberapa jauh mereka mematuhi

nasehat dokter, tidak ada kaitan antara lamanya konsultasi dengan kepuasan ibu. Jadi

konsultasi yang pendek tidak akan tidak produktif. Jika diberikan perhatian untuk

meningkatkan kualitas interaksi.

Beberapa keluhan yang specifik adalah kurangnya minat yang diperlihatkan

oleh dokter, pengguaan istilah medis yang berlebihan, kurangnya empati dan hampir

setengah dari ibu-ibu tersebut tidak memperoleh kejelasan tentang penyebab penyakit

anaknya, yang sering kali menimbulkan kecemasan. Dari penelitian ini, dapat dilihat

bahwa kesalahan seperti ini dengan mudah diatasi dengan ketrampilan komunikasi

terapeutik yang dibina antara pasien dan pasien dengan tenaga kesehatan.

Menurut Ley dan Spelman dalam Niven (2002), menemukan bahwa lebih

dari 60% responden yang di wawancarai setelah bertemu dengan dokter salah

mengerti tentang instruksi yang diberikan kepada mereka. Kadang kadang hal ini

disebabkan oleh kegagalan/ kesalahan profesional dalam memberikan informasi

lengkap, penggunaan istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang

harus diingat oleh penderita.

Pemahaman tentang instruksi petugas kesehatan sangat perlu, jika seseorang

tidak memahami instruksi maka konsekwensi yang akan didapat adalah

ketidakpatuhan. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien, adalah

suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh

(49)

penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Suatu

penjelasan tentang penyebab penyakit dan bagaimana pengobatannya, dapat

membantu meningkatkan kepercayaan pasien. Untuk melakukan konsultasi dan

selanjutnya meningkatkan kepatuhan.

Kozier dkk. (2010) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi

kepatuhan yaitu motivasi klien untuk sembuh, dan durasi terapi yang dianjurkan

yakni tingkat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan, persepsi keparahan masalah

kesehatan, nilai upaya mengurangi ancaman kesehatan, kesulitan memahami dan

melakukan perilaku yang dianjurkan, tingkat gangguan penyakit atau rangkaian

terapi, keyakinan bahwa terapi atau rejimen yang diprogramkan akan membantu,

kerumitan, efek samping, warisan budaya tertentu yang membuat kepatuhan menjadi

sulit dilakukan, tingkat kepuasan, kualitas dan jenis hubungan dengan penyedia

pelayanan kesehatan serta seluruh terapi yang diprogramkan.

2.2.4. Strategi untuk Meningkatkan Kepatuhan

Menurut Smet dalam Niven (2002) berbagai strategi untuk meningkatkan

kepatuhan adalah dukungan profesional kesehatan, profesional kesehatan sangat

diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan, contohnya adalah meningkatkan

komunikasi, karena komunikasi memegang peranan penting maka komunikasi

diberikan oleh dokter/perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.

Strategi lain dukungan social, dukungan social yang dimaksud adalah

keluarga. Para profesional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk

(50)

Modifikasi perilaku sehat juga sangat diperlukan. Modifikasi gaya hidup dengan

mengatur makanan, melakukan aktivitas/olahraga dan control secara teratur

melakukan pengontrolan dengan pemeriksaan darah rutin, USG, kolonoscopy dan

gastroscopy yang perlu untuk penderita kanker payudara.

Strategi terakhir pemberian informasi, pemberian informasi yang jelas

pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang dideritanya serta cara

pengobatannya. Dalam hal ini pemberian informasi yang jelas tentang perencanaan

makan, aktivitas dan kontrol darah lengkap, serta pemeriksaan endoscopy yang

teratur pada penderita kanker payudara sehingga penderita paham dan akhirnya

patuh menjalankannya.

Kepatuhan adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan ketaatan ataupasrah

pada tujuan yang telah ditentukan. Kepatuhan memiliki nada yang cenderung

memanipulasi atau otoriter dimana penyelenggaraan perawatan kesehatan atau

pendidik dianggap sebagai tokoh yang berwenang, peserta didik anggap bersikap

patuh. Kepatuhan pada program kesehatan merupakan perilaku yang dapat

diobservasi dan dengan begitu dapat diukur.

2.2.5. Langkah-langkah Mengidentifikasi Adanya Ketidakpatuhan

Menurut Kozier dkk. (2010) untuk meningkatkan kepatuhan, perawat perlu

memastikan bahwa klien mampu melakukan terapi yang diprogramkan, memahami

instruksi yang penting, menjadi partisipan yang mau berusaha mencapai tujuan

(51)

Menurut Anderson dalam Niven (2002) dalam penelitiannya tentang

komunikasi dokter dan pasien di Hongkong, mendapatkan bahwa pasen yang

rata-rata diberi 18 jenis informasi untuk diingat dalam setiap konsultasi, hanya mampu

mengingat 31 % saja. Dari penjabaran dan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan

bahwa komunikasi yang efektif sangat diperlukan . Tenaga kesehatan harus

memberikan informasi yang lengkap guna meningkatkan pemahaman penderita

sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam mnjalankan

terapi.

Langkah-langkah mengidentifikasi adanya ketidakpatuhan adalah:

1. Memastikan alasan klien tidak mematuhi program. Berdasarkan alasan klien,

perawat dapat memberikan informasi,mengoreksi kesalahpahaman, menganjukan

konseling bila masalah psikologis menghambat kepatuhan. Perawat juga perlu

mengevaluasi kembali kesesuaian anjuuran yang diberikan. Jika kepercayaan,

budaya dan usia bertentangan dengan rencana terapi yang diberikan.

2. Menunjukan kepedulian. Perlihatkan perhatian yang tulus terhadap masalah dan

keputusan klien serta pada saat yang sama mengakui hak-hak klien terhadap

rangkaian tindakan, misalnya perawat memberi tahu agar jangan lupa minum

obat untuk kemoterapi.

3. Memotivasi klien untuk berperilaku sehat. Apabila penderita kanker payudara

melakukan latihan fisik setiap pagi, perawat dapat memberi pujian untuk

(52)

4. Menggunakan brosur, gambar untuk memberikan penyuluhan. Contoh, perawat

dapat meninggalkan brosur atau gambar untuk dibaca klien setelah penyuluhan,

juga membuat jadwal pemberian obat kemoterapi pada selembar kertas dengann

arah jarum jam dan tanggal pemberian.

5. Memberi hubungan terapeutik yang tidak kaku, saling mengerti dan tanggung

jawab bersama dengan klien dan keluarga sebagai pemberi dukungan kepada

klien.

2.2.6. Proses Perubahan Sikap dan Perilaku

Menurut Kelman perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap

kepatuhan, identifikasi kemudian baru menjadi internalisasi Mula-mula individu

mematuhi anjuran atau instruksi petugas tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan

tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman/sanksi jika tidak patuh

atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut tahap

ini disebut tahap kesediaan, biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat

sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan

petugas. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun

ditinggalkan.

Pengawasan itu tidak perlu berupa kehadiran fisik petugas atau tokoh otoriter,

melainkan cukup rasa takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika individu

tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam tahap ini pengaruh tekanan kelompok

sangatlah besar, individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku mayoritas

(53)

keluar dari kelompok tersebut, kemungkinan perilakunya akan berubah menjadi

perilakunya sendiri.

Kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang

pentingnya perilaku yang baru itu dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda,

yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan atau tokoh

yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent). Biasanya kepatuhan ini

timbul karena individu merasa tertarik atau mengagumi petugas atau tokoh tersebut,

sehingga ingin mematuhi apa yang dianjurkan atau diinstruksikan tanpa memahami

sepenuhnya arti dan mamfaat dari tindakan tersebut, tahap ini disebut proses

identifikasi. Meskipun motivasi untuk mengubah perilaku individu dalam tahap ini

lebih baik dari pada dalam tahap kesediaan, namun motivasi ini belum dapat

menjamin kelestarian perilaku itu karena individu belum dapat menghubungkan

perilaku tersebut dengan nilai-nilai lain dalam hidupnya, sehingga jika dia

ditinggalkan petugas atau tokoh idolanya itu maka dia merasa tidak perlu melanjutkan

perilaku tersebut Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika

perubahan tersebut terjadi melalui proses internalisasi, dimana perilaku yang baru itu

dianggap bernilai positif bagi diri individu dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain

dari hidupnya.

Proses internalisasi ini dapat dicapai jika petugas atau tokoh merupakan

seseorang yang dapat dipercaya (kredibilitasnya tinggi) yang dapat membuat individu

memahami makna dan penggunaan perilaku tersebut serta membuat mereka mengerti

Gambar

Gambar 2.1. Skema  Komunikasi Interpersonal  Teori  Feurstein  dalam  Niven
Gambar 2.2   Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 4.1.  Distribusi  Jenis Tenaga di Hope Clinic Medan Tahun  2012
Tabel 4.3. Distribusi  Identitas Responden  di Hope Clinic Medan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Diabetes mellitus merupakan keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik

Latar Belakang Pendidikan Kepala Daerah, Ukuran DPRD, dan Komposisi DPRD berpengaruh terhadap Ketepatan Waktu dalam menetapkan APBD, namun Size Pemerintah Daerah dan

Melalui kegiatan membaca teks “Kegiatan Saat Jam Istirahat” pada salindia yang diberikan melalui google form , peserta didik dapat mengidentifikasi ungkapan atau

(2) Pejabat yang berwenang dan Bupati, Wakil Bupati, Pimpinan dan Anggota DPRD, Pegawai ASN, dan/atau Pegawai Tidak Tetap yang melakukan perjalanan dinas

jadi laba bersih UKM setiap satu ikan asap yaitu Rp.205/buah (wawancara Ibu Maryati, 2016). Untuk gaji karyawan model harian yaitu karyawan laki-laki Rp.60.000/hari dan

Pada penderita pneumonia yang disebabkan oleh bakteri terapi yang diberikan yaitu dimulai dengan pemberian antibiotik secara empiris dengan antibiotik yang

, Job Involvement, dan Job Satisfaction terhadap Kinerja Perawat yang Bekerja di Rumah Sakit Bhakti Timah Kota Pangkal pinang”. 1.2

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran Project Based Learning (PjBL) dapat meningkatkan kreativitas dan hasil