PENGARUH KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT TERHADAP KEPATUHAN PENDERITA KANKER PAYUDARA
DALAM MENJALANKAN KEMOTERAPI DI HOPE CLINIC MEDAN
TESIS
Oleh
FRANSISKUS UWEUBUN 097032162/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT
TERHADAP KEPATUHAN PENDERITA KANKER
PAYUDARA DALAM MENJALANKAN
KEMOTERAPI DI HOPE CLINIC
MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Unuversitas Sumatera Utara
Oleh
FRANSISKUS UWEUBUN 097032162/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : PENGARUH KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT TERHADAP KEPATUHAN
PENDERITA KANKER PAYUDARA DALAM MENJALANKAN KEMOTERAPI DI HOPE CLINIC MEDAN
Nama Mahasiswa : Fransiskus Uweubun Nomor Induk Mahasiswa : 097032162
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/
Epidemiologi
Menyetujui Komisi Pembimbing
( Prof. dr. Delfi Lutan, M.Sc. Sp.OG)
Ketua Anggota (Dra. Syarifah, M.S)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah diuji
Pada Tanggal: 7 Agustus 2012
________________________________________________________________________
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. Delfi Lutan, M.Sc. Sp.OG Anggota : 1. Dra. Syarifah, M.S
PERNYATAAN
PENGARUH KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT TERHADAP KEPATUHAN PENDERITA KANKER PAYUDARA
DALAM MENJALANKAN KEMOTERAPI DI HOPE CLINIC MEDAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar keserjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Oktober 2012
ABSTRAK
Komunikasi terapeutik adalah merupakan hubungan interpersonal antara perawat dan klien, dalam hal ini perawat dan klien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional klien
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh komunikasi terapeutik perawat yaitu; sikap perawat, teknik komunikasi perawat serta isi pesan komunikasi perawat terhadap kepatuhan penderita kanker payudara dalam menjalankan kemoterapi di Hope Clinic Medan. Jenis penelitian ini adalah survei analitik: yaitu untuk menganalisis Pengaruh komunikasi terapeutik Perawat terhadap Kepatuhan Penderita Kanker Payudara dalam Menjalankan Kemoterapi di Hope Clinic Medan.
Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita kanker payudara yang terdeteksi di Hope Clinic sebanyak 78 penderita. Penderita yang dianjurkan untuk kemoterapi sebanyak 52 penderita.
Sampel merupakan bagian dari populasi yang karakteristiknya hendak diuji. Pengukuran sampel pada penelitian ini adalah seluruh penderita kanker payudara yang menjalankan kemoterapi sesuai dengan yang dianjurkan oleh dokter yang mengobatinya di Hope Clinic Medan, pada tahun 2011 dan 2012, sebanyak 32 orang penderita. Sedangkan 20 penderita yang tidak kemoterapi diwawancarai oleh peneliti di rumah penderita.
Hasil penelitian menunjukan bahwa secara statistik sikap perawat tentang kepatuhan, teknik komunikasi perawat terhadap kepatuhan, serta isi pesan perawat dalam komunikasi berpengaruh terhadap kepatuhan penderita kanker payudara dalam menjalankan kemoterapi di Hope Clinic Medan. Variabel Sikap Perawat yang paling berpengaruh terhadap kepatuhan menjalankan kemoterapi adalah dengan nilai p = 0,007
Disarankan agar Perawat yang bekerja di Hope Klinik Medan dalam menjalankan frofesinya sebagai perawat perlu meningkatkan peran dan fungsi perawat dalam menjalankan tugas sehari-hari terutama sikap komunikasi, teknik berkomunikasi serta isi dari pesan yang disampaikan kepada pasien dan keluargnya, sehingga mereka mendapat kepuasan dalam pelayanan perawat di Hope Clinic Medan.
ABSTRACT
Therapeutic communication is an interpersonal relationship between nurses and clients. In this case, nurses and clients get a common learning experience in improving the emotional experience of the clients.
The study of this analytical survey study was to analyze the influence of nurses’ therapeutic communication such as the nurses’ attitude, communication technique and the contents or message of communication on the compliance of breast cancer sufferers in conducting chemotherapy at Hope Clinic Medan.
The population of this study was all of the 78 persons detected to suffer from breast cancer at Hope Clinic Medan and 52 of them were suggested to have chemotherapy. The samples for this study were all of the 32 breast cancer sufferers having chemotherapy suggested by their doctors at Hope Clinic Medan in 2011 and 2012. The remaining 20 sufferers who did not have to have chemotherapy were interviewed by the researcher in their home.
The result of this study showed that, statistically, the attitude of nurses towards the compliance, the nurses’ communication technique towards the compliance, and the content or message of the nurses in communicating had influence on the compliance of breast cancer sufferers in conducting chemotherapy at Hope Clinic Medan. Communication technique was the most influencing variable on the compliance of breast cancer sufferers in conducting chemotherapy with p = 0.007.
The nurses working for Hope Clinic Medan are suggested to improve their role and function as nurses in implementing their daily job especially in terms of their attitude of communication, communication technique and the content or message conveyed to the patients and their families that they feel satisfied with the service provided by the nurses working at Hope Clinic Medan.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis penjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat serta pertolongan-Nya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “ Pengaruh Komunikasi
TerapeutikPerawat terhadap Kepatuhan Penderita Kanker Payudara dalam
Menjalankan Kemoterapi di Hope Clinic Medan”.Penulisan tesis ini merupakan salah
satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2
Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Dalam penyusunan tesis ini,
penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu
pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM &H,M.Sc (CTM), Sp.A(K).
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
4. Prof. dr. Delfi Lutan, M. Sc. Sp.OG selaku ketua komisi pembimbing dan Dra.
Syarifah, M.S, selaku anggota kamisi pembimbing yang dengan penuh perhatian
dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk
5. Dosen penguji tesis yang telah memberikan saran dan masukkan serta arahan
untuk kesempurnaan proposal hingga penulisan tesis ini selesai
6. Dokter Riahsyah Damanik, SpB (K) Onk, selaku derektur Hope Clinic Medan
yang telah memberi izin kepada peneliti untuk meneliti di Hope Clinic Medan.
7. Provinsial frater cmm, provinsi Indonesia beserta dewan provinsi yang telah
memberikan dukungan selama melanjutkan studi pada Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Unuversitas Sumatera Utara.
8. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat
Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
9. Rekan-rekan frater komunitas Medan yang memberikan dukungan dorongan serta
perhatian sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik
yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan
harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan dan keputusan dalam
pelayanan khususnya komunikasi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
kepada penderita yang mrmbutuhkan pelayanan yang baik, serta pengembangan ilmu
pengetahuan bagi penelitian selanjutnya
Medan, Oktober 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Fransiskus Uweubun, lahir pada tanggal 27 Maret 1964 di kepulauan Kei –
Maluku Tenggara, Provinsi Maluku, anak ke enam dari tujuh bersaudara dari
pasangan Ayahanda Bernardus Uweubun dan Ibunda Maria Farneubun.
Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di sekolah
Dasar Naskat katolik Waur, selesai Tahun 1977; Sekolah menengah pertama di SMP
Yos Sudarso Waur Maluku –Tenggara, selesai Tahun 1980, Sekolah Menengah Atas
Katolik Sanata Karya Tual Maluku-Tenggara selesai Tahun 1984; Masuk pendidikan
Kongregasi Frater CMM, Tahun 1985 di Manado Sulawesi Utara dan mengikrarkan
profesi pertama tahun 1988. Mengikuti pendidikan perawat ( SPK), di Rumah Sakit
Santa Elisabeth Medan, selesai tahun 1991; Mengikuti pendidikan diploma DIII
keperawatan di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan, selesai Tahun 1999; Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar, selesai Tahun 2004.
Mulai bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Harapan Pematang Siantar, dari
tahun 1991 sampai 1994, Bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Fatima Makale
Tana Toraja, Sulawesi Selatan dari tahun 1995 sampai 2002; bekerja sebagai staf
pengajar di Fakultas Keperawatan Universitas Della Salle Manado Sulawesi Utara,
sampai tahun 2007. Tahun 2009 penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program
Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan
Komunitas/Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
DAFTAR ISI
3.5. Variabel dan Definisi Operasional... 57
BAB 5. PEMBAHASAN ... 78
5.1. Pengaruh Sikap Perawat terhadap Kepatuhan Penderita Kanker Payudara dalam Menjalankan Kemoterapi di Hope Clinic Medan ... 78
5.2. Pengaruh Teknik Komunikasi Perawat terhadap Kepatuhan Penderita Kanker Payudara dalam Menjalankan Kemoterapi di Hope Clinic Medan... 80
5.3. Pengaruh Isi Pesan Komunikasi Perawat terhadap Kepatuhan Penderita Kanker Payudara dalam Menjalankan Kemoterapi di Hope Clinic Medan... 82
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 84
6.1. Kesimpulan ... 84
6.2. Saran ... 84
DAFTAR TABEL
4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Perawat di Hope Clinic Medan………. 70
4.8. Tabulasi Responden Berdasarkan Kategori Sikap Perawat dalam Komunikasi di Hope Clinic Medan………. 70
4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Teknik Komunikasi di Hope Clinic Medan……. ……… 71
4.10. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Teknik Komunikasi dalam Komunikasi di Hope Clinic Medan……… 72
4.11. Distribusi Responden Berdasarkan Isi Pesan Komunikasi di Hope Clinic Medan………... 72
4.12. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Isi Pesan Perawat dalam Komunikasi di Hope Clinic Medan……… 73
4.14. Distribusi Silang Teknik Komunikasi Perawat terhadap Kepatuhan
Penderita Kanker Payudara dalam Menjalankan Kemoterapi di Hope Clinic Medan tahun 2012……… 75
4.15. Distribusi Silang Isi Pesan komunikasi Perawat Terhadap Kepatuhan Penderita kanker Payudara dalam Menjalankan Kemoterapi di Hope Clinic Medan tahun 2012………. …. 76
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Skema Komunikasi Interpersonal……… 52
ABSTRAK
Komunikasi terapeutik adalah merupakan hubungan interpersonal antara perawat dan klien, dalam hal ini perawat dan klien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional klien
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh komunikasi terapeutik perawat yaitu; sikap perawat, teknik komunikasi perawat serta isi pesan komunikasi perawat terhadap kepatuhan penderita kanker payudara dalam menjalankan kemoterapi di Hope Clinic Medan. Jenis penelitian ini adalah survei analitik: yaitu untuk menganalisis Pengaruh komunikasi terapeutik Perawat terhadap Kepatuhan Penderita Kanker Payudara dalam Menjalankan Kemoterapi di Hope Clinic Medan.
Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita kanker payudara yang terdeteksi di Hope Clinic sebanyak 78 penderita. Penderita yang dianjurkan untuk kemoterapi sebanyak 52 penderita.
Sampel merupakan bagian dari populasi yang karakteristiknya hendak diuji. Pengukuran sampel pada penelitian ini adalah seluruh penderita kanker payudara yang menjalankan kemoterapi sesuai dengan yang dianjurkan oleh dokter yang mengobatinya di Hope Clinic Medan, pada tahun 2011 dan 2012, sebanyak 32 orang penderita. Sedangkan 20 penderita yang tidak kemoterapi diwawancarai oleh peneliti di rumah penderita.
Hasil penelitian menunjukan bahwa secara statistik sikap perawat tentang kepatuhan, teknik komunikasi perawat terhadap kepatuhan, serta isi pesan perawat dalam komunikasi berpengaruh terhadap kepatuhan penderita kanker payudara dalam menjalankan kemoterapi di Hope Clinic Medan. Variabel Sikap Perawat yang paling berpengaruh terhadap kepatuhan menjalankan kemoterapi adalah dengan nilai p = 0,007
Disarankan agar Perawat yang bekerja di Hope Klinik Medan dalam menjalankan frofesinya sebagai perawat perlu meningkatkan peran dan fungsi perawat dalam menjalankan tugas sehari-hari terutama sikap komunikasi, teknik berkomunikasi serta isi dari pesan yang disampaikan kepada pasien dan keluargnya, sehingga mereka mendapat kepuasan dalam pelayanan perawat di Hope Clinic Medan.
ABSTRACT
Therapeutic communication is an interpersonal relationship between nurses and clients. In this case, nurses and clients get a common learning experience in improving the emotional experience of the clients.
The study of this analytical survey study was to analyze the influence of nurses’ therapeutic communication such as the nurses’ attitude, communication technique and the contents or message of communication on the compliance of breast cancer sufferers in conducting chemotherapy at Hope Clinic Medan.
The population of this study was all of the 78 persons detected to suffer from breast cancer at Hope Clinic Medan and 52 of them were suggested to have chemotherapy. The samples for this study were all of the 32 breast cancer sufferers having chemotherapy suggested by their doctors at Hope Clinic Medan in 2011 and 2012. The remaining 20 sufferers who did not have to have chemotherapy were interviewed by the researcher in their home.
The result of this study showed that, statistically, the attitude of nurses towards the compliance, the nurses’ communication technique towards the compliance, and the content or message of the nurses in communicating had influence on the compliance of breast cancer sufferers in conducting chemotherapy at Hope Clinic Medan. Communication technique was the most influencing variable on the compliance of breast cancer sufferers in conducting chemotherapy with p = 0.007.
The nurses working for Hope Clinic Medan are suggested to improve their role and function as nurses in implementing their daily job especially in terms of their attitude of communication, communication technique and the content or message conveyed to the patients and their families that they feel satisfied with the service provided by the nurses working at Hope Clinic Medan.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kanker payudara di banyak negara merupakan kanker yang paling sering
terjadi dan penyebab kematian pada wanita. Di kebanyakan negara urutan pertama
ditempati oleh kanker leher serviks, kanker payudara memenpati urutan kedua. Di
bawah usia tiga puluh tahun, kanker payudara sangat jarang muncul.
Apabila seseorang pernah mempunyai riwayat kanker payudara pada salah
satu payudaranya maka individu tersebut mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terkena kanker pada payudara satunya, (Wenny 2011).
Di Amerika Serikat kanker payudara menduduki peringkat tertinggi diantara
kanker-kanker lainnya. Angka insiden tertinggi dapat ditemukan pada beberapa
daerah di Amerika Serikat mencapai di atas 100/100.000 berarti lebih 100 penderita
dari 100.000 orang. Swiss, 73,5/100.000, Jepang 17,6/100.000, Kuwait 17,2/100.000,
Cina 9,5/100.000. Di Indonesia, kanker payudara menduduki urutan kedua setelah
kanker serviks pada wanita. Kanker payudara menyerang wanita yang berumur di
atas 40 tahun. Namun wanita muda pun bisa terserang kanker payudara ( Purwoastuti,
2009).
Menurut Tjindarbumi dalam Dadang Hawari, (2009) mengatakan bahwa
dapat disembuhkan. Sebagai contoh, temuan dini kanker payudara amat penting bagi
keberhasikan pengobatan dengan operasi.
Penderita kanker payudara di Indonesia pada tahun 2004 sebagaimana di
kutip dari profil kesehatan Indonesia tahun 2008, sebanyak 5.207 kasus. Setahun
kemudian pada tahun 2005, jumlah penderita kanker payudara meningkat menjadi
7.850 kasus. Tahun 2006, penderita kanker payudara meningkat menjadi 8.328 kasus
dan pada tahun 2007 sebanyak 8.377. Menurut Prof. Tjandra Yoga, di Indonesia
prevalensi tumor/kanker adalah 4,3 per 1000 penduduk. Kanker merupakan penyebab
kematian nomor 7 (5,7%) setelah stroke TB, Hipertensi, cedera, perinatal, dan DM
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007). Ditambahkan, kanker tertinggi yang
diderita wanita Indonesia adalah kanker payudara dengan angka kejadian 26 per
100.000 perempuan, disusul kanker leher rahim dengan 16 per 100.000 perempuan.
Salah satu faktor risiko yang menyebabkan tingginya kejadian kanker di Indonesia
yaitu prevalensi merokok 23,7%, obesitas umumnya penduduk berusia ≥ 15 tahun
pada laki-laki 13,9% dan pada perempuan 23,8%. Prevalensi kurang konsumsi buah
dan sayur 93,6%, konsumsi makanan diawetkan 6,3%, makanan berlemak 12,8%, dan
makanan dengan penyedap 77,8%. Sedangkan prevalensi kurang aktivitas fisik
sebesar 48,2% (Riskesdas tahun 2007).
Kecemasan yang dirasakan penderita umumnya bercampur dengan gangguan
suasana hati lainnya: ketidakpastian, ancaman terhadap kelangsungan hidup dan
kemungkinan cacat atau kehilangan fungsi tubuh. Penerimaan dapat dipengaruhi
kurangnya dukungan karena kurang terbukanya dokter atau pemberi bantuan lainnya,
masalah-masalah di dalam keluarga, atau kesulitan di dalam hubungan dengan orang
tercinta. Tidak jarang, penderita dikuasai perasaan tidak berguna, kekhawatiran
karena merasa hanya menjadi beban bagi orang lain, dan rasa malu karena tidak
mempunyai arti bagi orang lain (Jong, 2005).
Penderita kanker payudara selalu mengalami kecemasan dan perasaan takut
yang terus menerus, sehingga membutuhkan pendampingan serta perawatan dan
pengobatan agar mengurangi perasaan cemas dan takut tersebut melalui komunikasi
yaitu komunikasi terapeutik dengan sikap empati dari seorang perawat dan dokter
dalam memberikan asuhan keperawatan maupun pengobatan kepada penderita kanker
payudara, (Fatmawati,2010).
Komunikasi merupakan cara untuk membina hubungan yang terapeutik.
Dalam proses komunikasi terjadi penyampaian informasi dan pertukaran perasaan
dan pikiran. Maksud komunikasi adalah memengaruhi perilaku orang lain. Hubungan
perawat dan klien yang terapeutik tidak mungkin tercapai tanpa komunikasi
(Ermawati 2009).
Komunikasi merupakan alat yang efektif untuk memengaruhi tingkah laku
manusia, sehingga komunikasi dikembangkan dan dipelihara secara terus menerus.
(Mundakir 2006) Komunikasi therapeutik termasuk komunikasi interpersonal yaitu
komunikasi antara orang-orang secara tatap muka yang memungkinkan setiap
pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun
Komunikasi terapeutik adalah kemampuan perawat untuk membantu klien
beradaptasi terhadap stres, mengatasi gangguan psikologis dan belajar bagaimana
berhubungan dengan orang lain, Norhouse dalam Nunung Nurhasanah, (2010).
Karena komunikasi merupakan proses yang sangat khusus dan paling bermakna
perilaku manusia. Pada profesi keperawatan, komunikasi menjadi lebih bermakna
karena merupakan metode utama dalam mengimplementasikan tindakan yang
menyangkut dalam bidang kesehatan (Christina Lia Uripni 2003).
Komunikasi terapeutik didefinisikan sebagai komunikasi yang direncanakan
secara sadar, bertujuan dan kegiatannya difokuskan untuk kesembuhan pasien, dan
merupakan komunikasi profesional yang mengarah pada tujuan untuk penyembuhan
pasien yang dilakukan oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya, (Christina Lia
Uripni 2003). Hubungan perawat-pasien yang terapeutik adalah pengalaman belajar
bersama dan pengalaman perbaikan emosi klien. Dalam hal ini perawat memaknai
dirinya secara terapeutik dengan menggunakan berbagai teknik komunikasi agar
perilaku klien berubah ke arah yang positif. Komunikasi terapeutik tidak dapat
berlangsung dengan sendirinya, tapi harus direncanakan, dipertimbangkan, dan
dilaksanakan secara profesional. Seorang perawat tidak akan dapat mengetahui
tentang kondisi klien jika tidak ada kemampuan menghargai keunikan klien. Melalui
komunikasi terapeutik diharapkan perawat dapat menghadapi, mempersepsikan,
bereaksi, dan menghargai keunikan klien.
Salah satu faktor kegagalan menjalankan terapi adalah ketidakpatuhan
kerabat. Hal ini didukung oleh penelitian Cahyadi 2006, di Ruang Cendana I RSUD
Dr. Moewardi Surakarta tentang hubungan antara support system keluarga dengan
kepatuhan pengobatan pada pasien yang mendapat kemoterapi membuktikan ada
hubungan yang bermakna antara support system keluarga dengan kepatuhan berobat
jalan.
Berdasarkan penelitian Uli Asima Simanjuntak tentang Hubungan
Pengetahuan Perawat tentang Komunikasi Terapeutik Terhadap Penurunan Tingkat
Kecemasan Pasien Pre Operatif di RS.Elisabeth Medan 2011 menggambarkan bahwa
situasi operasi merupakan situasi yang diwarnai suasana cemas, baik bagi pasien dan
keluarganya. Sehingga peran perawat dan tenaga kesehatan lain perlu memberikan
perhatian dalam upaya mengurangi kecemasan sekaligus menurunkan resiko operasi
yang dapat timbul karena pasien tidak kooperatif dan mengganggu proses
penyembuhan. Oleh sebab itu, bila perawat tidak berperan aktif dalam memberikan
dukungan dan motivasi kepada pasien maka tingkat kecemasan pasien akan terus
meningkat dan merasa takut dalam menjalani tindakan keperawatan sebelum operasi.
Untuk itu, pasien yang akan menjalani operasi harus diberi komunikasi terapeutik
untuk menurunkan atau mengurangi gejala kecemasan serta dapat meningkatkan
pengetahuan kesehatan pada pasien.
Pasien yang diajak mendiskusikan masalah kesehatan yang dihadapinya, akan
merasa terayomi dan mendapat perhatian yang penuh dari perawat sehingga bisa
menurunkan kecemasannya. Komunikasi yang terjadi antara perawat dan pasien
pengkajian sampai pada evaluasi dari hasil tindakan dari kebuntuan komunikasi
terapeutik Abdul Nasir dalam Siti Fatmawati, (2010).
Disamping itu, perawat harus lebih berkompeten menjadi seseorang
komunikator yang efektif, perawat memakai dirinya secara terapeutik dengan
menggunakan teknik komunikasi agar perilaku pasien berubah kearah yang positif
seoptimal mungkin dan perawat dapat menghadapi, mempersepsikan, bereaksi dan
menghargai keunikan klien (Mundakhir, 2006).
Dengan demikian, komunikasi terapeutik perawat adalah hal yang sangat
penting karena komunikasi terapeutik adalah salah satu bentuk intervensi dalam
pemberian asuhan keperawatan pada pasien di suatu instansi/ rumah sakit.
Salah satu pengobatan yang berkembang dengan cepat saat ini adalah
kemoterapi yaitu penggunaan preparat anti neoplasma, sebagai upaya untuk
membunuh sel-sel tumor yang mengganggu fungsi reproduksi seluler. Biasanya
kemoterapi dilakukan pada beberapa penyakit kanker yang spesifik seperti kanker
payudara, kanker rahim, kanker paru, leukemia tetapi selalu ada laporan baru tentang
neoplasma yang sebelumnya tidak dapat diatasi. Obat kemoterapi digunakan untuk
membunuh dan menghambat perkembangan sel kanker payudara. Obat kemoterapi
sangat efektif ketika sel-sel sedang membelah, namun obat ini tidak dapat
membedakan sel sehat yang sedang membelah seperti folikel rambut yang dapat
mengakibatkan efek samping pada rambut sehingga menjadi rontok. Sel-sel normal
dapat pulih kembali dalam waktu yang singkat, namun sel-sel kanker payudara yang
Kemoterapi adalah obat yang dibuat secara kimiawi yang bekerja
menghambat atau mematikan mikroorganisme yang membuat sakit, misalnya bakteri
atau sel-sel tumor. Kemoterapi merupakan terapi sistematis yang ditambahkan pada
tubuh, berarti pada seluruh sistem. Kemoterapi menyebar tanpa bergantung pada jalan
masuknya, melalui sirkulasi darah, jadi tanpa halangan sampai di semua jaringan dan
semua organ bahkansampai di semua sel tubuh, Wim de Jong (2005).
Dari data Medikal Record Rumah Sakit Dr.Pirngadi Medan (2009), jumlah
pasien yang berobat di Poli Bedah Bagian Onkologi Rumah Sakit Dr. Pirngadi
Medan adalah 1232 orang, yang terdiagnosa kanker payudara 323 orang atau
sebesar (26,21 %) . Penderita yang dirawat sebanyak 315 orang , sedangkan yang
menjalani pengobatan kemoterapi sebanyak 36 orang 11,42%). Dari tingginya angka
kejadian tersebut peneliti merasa tertarik untuk meneliti bagaimana komunikasi
terapeutik yakni sikap perawat, teknik komunikasi dan isi pesan dapat berpengaruh
terhadap pengobatan kemoterapi penderita kanker payudara.
Hubungan saling percaya yang telah dibangun diantara perawat dan pasien tersebut
akan mempermudah pelaksanaan dan keberhasilan program pengobatan Stuart dalam
Nunung Nurhasanah (2010). Komunikasi yang baik dapat meningkatkan kepatuhan
klien dalam hal pengobatan dan perawatan penyakitnya.
Pada penelitian ini, peneliti memilih lokasi penelitian yang sesuai dengan
judul penelitian ini tentang kepatuhan penderita kanker payudara menjalankan
kemoterapi, maka lokasi penelitian yang di pilih adalah Hope Clinic sebagai tempat
No.14 Medan. Sebagai data awal, peneliti memperoleh informasi langsung dari
perawat serta status pasien yang menjalankan pemeriksaan dan konsultasi di Hope
Clinic, terdapat 78 orang penderita kanker payudara, selama tahun 2011 dan tahun
2012. Dari jumlah 78 penderita kanker payudara yang dianjurkan dokter untuk
menjalanakkan kemoterapi sebanyak 52 penderita. Namun hanya 32 penderita,
(61,54%) yang menjalanakan kemoterapi sesuai dengan anjuran dokter yang
merawatnya.
1.2. Permasalahan
Dari permasalahan di atas yang menjadi permasalahan penelitian adalah bagaimana
pengaruh komunikasi terapeutik perawat terhadap kepatuhan penderita kanker
payudara dalam menjalankan kemoterapi di Hope Clinic Medan.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah menganalisis pengaruh komunikasi terapeutik perawat
terhadap kepatuhan penderita kanker payudara dalam menjalankan kemoterapi di
Hope Clinic Medan.
1.4. Hipotesis
Hipotesa dalam penelitian ini adalah (H1) apabila ada pengaruh komunikasi
kemoterapi atau (Ho) apabila tidak ada pengaruh komunikasi terapeutik perawat
terhadap kepatuhan penderita kanker payudara dalam menjalankan kemoterapi.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan
yang berkaitan dengan pengaruh komunikasi terapeutik terhadap kepatuhan
penderita kanker payudara menjalankan kemoterapi.
2. Tenaga Kesehatan ( Perawat )
Diharapkan Sebagai masukan bagi perawat dalam meningkatkan pelayanan
keperawatan yang berhubungan dengan penerapan komunikasi terapeutik untuk
meningkatkan kepatuhan penderita kanker payudara dalam menjalankan
kemoterapi.
3. Hope Clinic
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi Hope Clinic
Medan, bahwa pentingnya penerapan komunikasi terapeutik dari seorang
perawat yang berdampak pada kepatuhan penderita kanker payudara dalam
menjalankan kemoterapi, sehingga dapat meningkatkan kemauan dan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi Terapeutik 2.1.1. Pengertian
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan atau dirancang
untuk tujuan terapi. Seorang penolong atau perawat dapat membantu klien mengatasi
masalah yang dihadapinya melalui komunikasi, (Suryani 2005). Menurut Purwanto
yang dikutip oleh (Mundakir 2006), komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan
pasien. Pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi professional
yang mengarah pada tujuan yaitu penyembuhan pasien, (Siti Fatmawati 2010).
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar,
bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien, Indrawati, dalam
Siti Fatmawati, (2010).
Menurut (Stuart 1998) komunikasi terapeutik adalah merupakan hubungan
interpersonal antara perawat dan klien, dalam hal ini perawat dan klien memperoleh
pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional
klien. Menurut (Potter-Perry 2000), proses dimana perawat menggunakan
pendekatan terencana dalam mempelajari klien.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa komunikasi terapeutik
yang mempunyai efek penyembuhan. Komunikasi terapeutik merupakan salah satu
cara untuk membina hubungan saling percaya terhadap pasien dan pemberian
informasi yang akurat kepada pasien, sehingga diharapkan dapat berdampak pada
perubahan yang lebih baik pada pasien dalam menjalanakan terapi dan membantu
pasien dalam rangka mengatasi persoalan yang dihadapi pada tahap perawatan.
2.1.2. Tujuan Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik bertujuan untuk mengembangkan pribadi klien kearah
yang lebih positif atau adaptif dan diarahkan pada pertumbuhan klien yang meliputi:
Pertama, realisasi diri, penerimaan diri, dan peningkatan penghormatan diri.
Melalui komunikasi terapeutik diharapkan terjadi perubahan dalam diri klien. Klien
yang tadinya tidak biasa menerima apa adanya atau merasa rendah diri, setelah
berkomunikasi terapeutik dengan perawat akan mampu menerima dirinya.
Kedua, kemampuan membina hubungan interpersonal dan saling bergantung
dengan orang lain. Melalui komunikasi terapeutik, klien belajar bagaimana menerima
dan diterima orang lain. Dengan komunikasi yang terbuka, jujur dan menerima klien
apa adanya, perawat akan dapat meningkatkan kemampuan klien dalam membina
hubungan saling percaya .
Ketiga, peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan
serta mencapai tujuan yang realistis. Terkadang klien menetapkan ideal diri atau
tujuan yang terlalu tinggi tanpa mengukur kemampuannya.
Keempat, rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri.
mengalami gangguan identitas personal biasanya tidak mempunyai rasa percaya diri
dan mengalami harga diri rendah. Melalui komunikasi terapeutik diharapkan perawat
dapat membantu klien meningkatkan integritas dirinya dan identitas diri yang jelas.
Dalam hal ini perawat berusaha menggali semua aspek kehidupan klien di masa
sekarang dan masa lalu. Kemudian perawat membantu meningkatkan integritas diri
klien melalui komunikasinya dengan klien, (Suryani 2005).
2.1.3. Prinsip Dasar Komunikasi Terapeutik
Menurut (Suryani 2000), ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami
dalam membangun dan mempertahankan hubungan yang terapeutik:
Pertama, hubungan perawat dengan klien adalah hubungan terapeutik yang
saling menguntungkan. Hubungan ini didasarkan pada prinsip” humanity of nurse
and clients”. Kualitas hubungan perawat-klien ditentukan oleh bagaimana perawat
mendefinisikan dirinya sebagai manusia. Hubungan perawat dengan klien tidak hanya
sekedar hubungan seorang penolong dengan kliennya tetapi lebih dari itu, hubungan
antar manusia yang bermartabat.
Kedua, perawat harus menghargai keunikan klien. Tiap individu mempunyai
karakter yang berbeda-beda, karena itu perawat perlu memahami perasaan dan
perilaku klien dengan melihat perbedaan latar belakang keluarga, budaya, dan
keunikan tiap individu.
Ketiga, semua komuikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri
pemberi maupun penerima pesan, dalam hal ini perawat harus mampu menjaga harga
Keempat, komunikasi yang menciptakan tumbuhnya hubungan saling percaya
harus dicapai terlebih dahulu sebelum menggali permasalahan dan memberikan
alternative pemecahan masalah. Hubungan saling percaya antara perawat dan klien
adalah kunci dari komunikasi terapeutik.
2.1.4. Komunikasi Terapeutik sebagai Tanggung Jawab Moral Perawat
Perawat disebutkan sebagai tenaga terpenting karena sebagian terbesar
pelayanan Rumah Sakit adalah pelayanan keperawatan. Perawat bekerja dan selalu
bertemu dengan pasien selama 24 jam penuh dalam satu siklus shift, karena itu
perawat menjadi ujung tombak bagi suatu Rumah Sakit dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada pasien. Dalam memberikan intervensi keperawatan diperlukan
suatu komunikasi terapeutik, dengan demikian diharapkan seorang perawat memiliki
kemampuan khusus mencakup ketrampilan intelektual, teknikal dan interpersonal dan
penuh kasih sayang dalam melakukan komunikasi dengan pasien. Perawat harus
memiliki tanggung jawab moral tinggi yang didasari atas sikap peduli dan penuh
kasih sayang, serta perasaan ingin membantu orang lain untuk kesembuhan pasien.
Menurut Addalati, dalam Abdul Nasir (2009) menambahkan bahwa seorang
beragama, perawat tidak dapat bersikap tidak peduli terhadap orang lain dan adalah
seorang pendosa apabila perawat mementingkan dirinya sendiri.
2.1.5. Teknik Komunikasi Terapeutik
Teknik komunikasi terapeutik dengan menggunakan referensi dari Stuart dan
1. Mendengarkan (lestening)
Mendengar ( listening) merupakan dasar utama dalam komunikasi terapeutik (
Keliat 1992). Mendengarkan adalah proses aktif dan penerimaan informasi serta
penelaahan reaksi seseorang terhadap pesan yang diterima , Hubson, S dalam
Suryani, (2005). Untuk member kesempatan lebih banyak pada klien untuk
berbicara, maka perawat harus menjadi pendengar yang aktif. Selama
mendengarkan, perawat harus mengikuti apa yang dibicarakan klien dengan
penuh perhatian. Perawat memberikan tanggapan dengan tepat dan tidak
memotong pembicaraan klien. Tunjukkan perhatian bahwa perawat mempunyai
waktu untuk mendengarkan.
Ketrampilan mendengarkan penuh perhatian adalah dengan:
a. Pandang klien ketika sedang bicara
b. Pertahankan kontak mata yang memancarkan keinginan untuk mendengarkan
c. Sikap tubuh yang menunjukan perhatian dengan tidak menyilangkan kaki atau
tangan
d. Hindarkan gerakan yang tidak perlu
e. Angkat kepala jika klien membicarakan hal penting atau memerlukan umpan
balik
f. Condongkan tubuh kearah lawan bicara (pasien).
2. Bertanya
Bertanya (question) merupakan teknik yang dapat mendorong klien untuk
Teknik berikut sering digunakan pada tahap orientasi:
a. Pertanyaan fasilitatif (fasilitatif question)
Pertanyaan fasilitatif (facilitative question) terjadi jika pada saat bertanya
perawat sensitive terhadap pikiran dan perasaan serta secara langsung
berhubungan dengan masalah klien, sedangkan pertanyaan non fasilitatif (non
facilitative question) adalah pertanyaan yang tidak efektif karena memberikan
pertanyaan yang tidak fokus pada masalah atau pembicaraan, bersifat
mengancam, dan tampak kurang pengertian terhadap klien Gerald, D dalam
Suryani,(2005).
b. Pertanyaan terbuka atau tertutup
Pertanyaan terbuka (open question) digunakan apabila perawat membutuhkan
jawaban yang banyak dari klien. Dengan pertanyaan terbuka, perawat mampu
mendorong klien mengekspresikan dirinya Antai-Otong dalam Suryani,
(2005).
Pertanyaan tertutup (closed question) digunakan ketika perawat membutuhkan
jawaban yang singkat.
3. Penerimaan
Yaitu mendukung dan menerima informasi dengan tingkah laku yang
menunjukkan ketertarikan dan tidak menilai. Penerimaan bukan berarti
persetujuan. Penerimaan berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa
ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang menunjukkan tidak setuju, seperti
mengerutkan kening atau menggelengkan kepala seakan tidak percaya.
4. Mengulangi (restating)
Mengulangi (restating) yaitu mengulang pokok pikiran yang diungkapkan klien
maksudnya adalah mengulangi pokok pikiran yang diungkapkan klien dengan
menggunakan kata-kata sendiri. Gunanya untuk menguatkan ungkapan klien dan
member indikasi perawat mengikuti pembicaraan atau memperhatikan klien dan
mengharapkan komunikasi berlanjut klien (Keliat, Budi Anna, 1992 ).
5. Klarifikasi (clarification)
Klasifikasi (clarification) adalah penjelasan kembali ke ide atau pikiran klien
yang tidak jelas atau meminta klien untuk menjelaskan arti dari ungkapannya
Gerald,d dan Suryani, (2005). Dilakukan bila perawat ragu, tidak jelas, tidak
mendengar atau klien malu mengemukakan informasi, informasi yang diperoleh
tidak lengkap atau mengemukakannya berpindah-pindah. Pada saat klarifikasi
perawat tidak boleh menginterpretasikan apa yang dikatakan klien, juga tidak
boleh menambahkan informasi Gerald, D dalam Suryani, (2005). Fokus utama
klarifikasi adalah pada perasaan, karena pengertian terhadap perasaan klien
sangat penting dalam memahami klien.
6. Refleksi ( reflection )
Refleksi (reflection) adalah mengarahkan kembali ide, perasaan, pertanyaan, dan
perawat tentang apa yang diucapkan klien dan menekankan empati, minat, dan
penghargaan terhadap klien Antai-Otong dalam Suryani, (2005).
Refleksi menganjurkan klien untuk mengungkapkan dan menerima ide dan
perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri. Apabila klien bertanya apa yang
harus ia pikirkan dan kerjakan atau rasakan maka perawat dapat menjawab;
bagaimana menurutmu? Dengan demikian perawat mengindikasikan bahwa
pendapat klien adalah berharga dank lien mempunyai hak untuk mampu
melakukan hal tersebut, maka iapun akan berpikir bahwa dirinya adalah manusia
yang mempunyai kapasitas dan kemampuan sebagai individu yang terintegrasi
dan bukan sebagai bagian dari orang lain.
7. Memfokuskan (focusing)
Memfokuskan (focusing) adalah bertujuan memberikan kesempatan kepada klien
untuk membahas masalah inti dan mengarahkan komunikasi klien pada
pencapaian tujuan Stuart, G.W dalam Suryani, (2005). Metode ini dilakukan
dengan tujuan membatasi bahan pembicaraan sehingga pembahasan masalah
lebih spesifik dan dimengerti dan mengarahkan komunikasi klien pada
pencapaian tujuan.
8. Diam ( silence )
Teknik diam digunakan untuk memberikan kesempatan pada klien sebelum
menjawab pertanyaan perawat. Diam akan memberikan kesempatan kepada
perawat dan klien untuk Mengorganisasi pikiran masing-masing Stuart dan
9. Memberikan Informasi ( informing )
Memberikan informasi tambahan merupakan tindakan penyuluhan kesehatan
untuk klien. Teknik ini sangat membantu dalam mengajarkan kesehatan atau
pendidikan pada klien tentang aspek-aspek yang relevan dengan perawatan diri
dan penyembuhan klien. Informasi tambahan yang diberikan pada klien harus
dapat memberikan pengertian dan pemahaman yang lebih baik tentang masalah
yang dihadapi klien serta membantu dalam memberikan alternative pemecahan
masalah, (Suryani 2005).
10. Menyimpulkan (summerizing)
Menyimpulkan adalah teknik komunikasi yang membantu klien mengeksporasi
point penting dari interaksi perawat-klien. Teknik ini membantu perawat dank
lien untuk memiliki pikiran dan ide yang sama saat mengakhiri pertemuan.
11. Mengubah Cara Pandang (reframing)
Teknik ini digunakan untuk memberikan cara pandang lain sehingga klien tidak
melihat sesuatu atau masalah dari aspek negatifnya saja Gerald,D dalam
Suryani, (2005 ) sehingga memungkinkan klien untuk membuat perencanaan
yang lebih baik dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.
12. Eksplorasi
Teknik ini bertujuan untuk mencari atau menggali lebih dalam masalah yang
dialami klien, Antai-Otong dalam suryani, (2005) supaya masalah tersebut bias
diatasi. Teknik ini bermanfaat pada tahap kerja untuk mendapatkan gambaran
13. Membagi Persepsi (Sharing perception)
Stuart G.W. dalam Suryani, (2005), menyatakan membagi persepsi (sharing
perception) adalah meminta pendapat klien tentang hal yang perawat rasakan
atau pikirkan. Teknik ini digunakan ketika perawat merasakan atau melihat ada
perbedaan antara respons verbal atau respons nonverbal dari klien.
14. Identifikasi tema
Perawat harus tanggap terhadap cerita yang disampaikan klien dan harus mampu
menangkap tema dari seluruh pembicaraan tersebut. Gunanya untuk
meningkatkan pengertian dan menggali masalah penting. (Stuart dan Sundeen,
dalam Suryani, 2005).teknik ini sangat bermanfaat pada tahap awal kerja untuk
memfokuskan pembicaraan pada awal masalah yang benar-benar dirasakan klien.
15. Menganjurkan untuk Melanjutkan Pembicaraan
Teknik ini menganjurkan klien untuk mengarahkan hampir seluruh pembicaraan
yang mengidentifikasikan bahwa klien sedang mengikuti apa yang dibicarakan
dan tertarik dengan apa yang dibicarakan selanjutnya. Perawat lebih berusaha
untuk menaksirkan dari pada mengarahkan diskusi/pembicaraan.
16. Humor
Sullivan dan Deane dalam Suryani,( 2005), melaporkan bahwa humor
merangsang produksi catecholamine dan hormone yang menimbulkan perasaan
sehat, meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas,
rasa takut dan tidak enak atau menutupi ketidak mampuannya untuk
berkomunikasi dengan klien.
17. Memberikan Pujian
Memberikan pujian (reinforcement) merupakan keuntungan psikologis yang
didapatkan klien ketika berinteraksi dengan perawat. Reinforcement berguna
untuk meningkatkan harga diri dan menguatkan perilaku klien Gerald, D dalam
Suryani, (2005). Reinforcement bias diungkapkan dengan kata-kata ataupun
melalui inyarat nonverbal.
18. Menawarkan Diri
Bukan tidak mungkin bahwa klien belum siap untuk berkomunikasi secara verbal
dengan orang lain atau klien tidak mampu untuk membuat dirinya dimengerti.
Perawat menyediakan diri tanpa renpons bersyarat atau respons yang diharapkan.
19. Memberikan Penghargaan
Memberi salam pada klien dan keluarga dengan menyebut namanya, menunjukan
kesadaran tentang perubahan yang terjadi, untuk menghargai klien dan keluarga
sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai hak dan tanggung jawab atas
dirinya sendiri sebagai individu.
20. Asertif
Asertif adalah kemampuan dengan cara meyakinkan dan nyaman untuk
2.1.6. Sikap Perawat dalam Komunikasi Terapeutik
Elsa Roselina, 2009 mengidentifikasikan lima sikap atau cara untuk dapat
menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi terapeutik:
1. Berhadapan
Posisi ini memiliki arti bahwa saya siap untuk anda
2. Mempertahankan kontak mata
Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien dan menyatakan
keinginan untuk tetap berkomunikasi
3. Membungkuk kearah klien
Pada posisi ini menunjukkan keinginan untuk menyatakan atau mendengarkan
sesuatu
4. Memperlihatkan sikap terbuka
Dalam posisi ini diharapkan tidak melipat kaki atau tangan untuk menyatakan
atau mendengarkan sesuatu
5. Tetap rileks
Tetap dapat mengendalikan keseimbangan, antara ketegangan dan relaksasi
dalam memberikan respons kepada pasien, meskipun dalam situasi yang kurang
menyenangkan.
2.1.7. Memberikan Umpan Balik
Ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan oleh seorang perawat dalam
1. Pelajari hasil kerjanya dengan teliti. Beri tanda pada hal-hal yang perlu
diperbaiki
2. Ketika menyampaikan umpan balik perhatikan contoh-contoh dari kesalahan
yang telah dibuat
3. Kembangkan argument mengenai dampak negative yang biasa muncul dari
kesalahan yang dibuat
4. Pastikan penerima umpan balik menyadari kekeliruan, kekurangan, atau
kesalahan
5. Gali lebih dalam lagi mengenai hambatan yang ditemui
6. Dorong penerima umpan balik untuk menemukan jalan keluar dan
langkah-langkah untuk memperbaiki tugasnya atau cara kerjanya
7. Buat kesepakatan mengenai perbaikan yang akan dilakukan.
2.1.8. Sikap Perawat dalam Memberikan Umpan Balik 1. Jangan bersikap seperti hakim yang mengadili
2. Mulai dengan hal-hal yang positif
3. Jangan mengungkapkan kebaikan dan kelemahan secara bersamaan
4. Sampaikan fakta, tunjukkan dimana letak kesalahan, kekeliruan, atau kekurangan
5. Berikan pujian dengan tulus
6. Jangan memanipulasi fakta
2.1.9. Isi Pesan
Pesan adalah segala sesuatu yang akan disampaikan. Pesan dapat berupa
ide, pendapat, pikiran dan saran. Pesan adalah keseluruhan dari apa yang
disampaikan oleh komunikator. Pesan ini mempunyai inti pesan yang sebenarnya
menjadi pengarah di dalam suatu usaha mencoba mengubah sikap dan tingkah laku
komunikan, (Ernawati Dalami, 2009). Menurut Arita Murwani, isi pesan harus dirasa
penting dan berguna bagi sasaran. Bila seorang pasien diberi nasihat atau informasi
berupa pesan-pesan yang kurang bermanfaat dan tidak jelas, maka pasien akan
enggan melakukannya. Pesan dapat disampaikan dengan cara langsung atau lisan,
tatap muka, dan dapat pula melalui media atau saluran. Pesan yang disampaikan
memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
a. Pesan harus direncanakan dengan baik sesuai kebutuhan
b. Penyampaian pesan dengan menggunakan bahasa yang baik dan mudah
dimengerti oleh kedua belah pihak
c. Pesan harus menarik minat dan kebutuhan pribadi penerima serta menimbulkan
kepuasan, ( Mundakir 2006).
2. 2. Kepatuhan Menjalankan Kemoterapi 2.2. 1. Pengertian
Menurut Sackett dalam Niven (2000) kepatuhan adalah sejauhmana perilaku
Sedangkan menurut (Kozier 2010), kepatuhan adalah tingkat perilaku individu
(misalnya minum obat, mematuhi diet, atau melakukan perubahan gaya hidup),
sesuai anjuran terapi atau kesehatan. Tingkat kepatuhan dapat dimulai dari
mengindahkan setiap aspek anjuran hingga mematuhi semua rencana terapi.
Menurut (Perry dan Potter 2009), kepatuhan adalah ketaatan klien pada
terapi yang ditetapkan. Tetapi tidak semua orang ingin mempertahankan
kesehatannya. Banyak orang yang tidak mau mengadobsi prilaku sehat atau
mengubah prilaku yang tidak sehat. Berbeda dengan orang-orang yang menganggap
penyakit sebagai ancaman, biasanya mereka akan mengatasi keterbatasan dalam
praktik kesehatan yang berubah dan melihat keuntungan dalam mengadobsi perilaku
yang baru. Sebagai contoh penderita diabetes mellitus terus mengikuti pola makan
seperti biasa. Terapi tidak akan berpengaruh kecuali penderita diabetes mellitus
menganggap kesehatan sebagai hal penting. Petugas kesehatan harus mengkaji
motivasi belajar dan kebutuhan pengetahuan penderita agar dapat membentuk
kepatuhan.
Berdasarkan pendapat Lukman dalam Suprayanto (2010) dapat disimpulkan
bahwa kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdidisiplin melakukan
perintah/nasehat atau aturan yang diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai,
setelah memahami betul apa yang dianjurkan/disarankan. Seseorang dikatakan patuh
menjalankan kemoterapi apabila mau menjalankan pola hidup sehat dan mengontrol
lama setiap 2 bulan sekali sesuai dengan ketentuan, sehingga terhindar dari mestastasi
atau penyulit .
Kepatuhan adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan ketaatan atau pasrah
pada tujuan yang telah ditentukan. Kepatuhan memiliki nada yang cenderung
memanipulasi atau otoriter dimana penyelenggaraan perawatan kesehatan atau
pendidik dianggap sebagai tokoh yang berwenang, peserta didik anggap bersikap
patuh. Kepatuhan pada program kesehatan merupakan perilaku yang dapat
diobservasi. Menurut Eraker dan Levanthal serta Cameron dalam Niven,( 2002)
mengatakan kepatuhan pasien program kesehatan dapat ditinjau dari berbagai
perspektif teoritis: Teori perilaku/ pembelajaran sosial, yang menggunakan
pendekatan behavioristik dalam hal reward , petunjuk, kontrak, dan dukungan sosial.
Teori keyakinan rasional, yang menimbang manfaat pengobatan dan resiko penyakin
melalui penggunaan logika cost benefit. Sistem mengatur diri, pasien dilihat sebagai
pemecahan masalah yang mengatur perilakunya berdasarkan persepsi atas penyakit.
Menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo,(2005), menjelaskan bahwa perilaku
seseorang dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok, yakni faktor
predisposisi (predisposing factor), faktor yang mendukung (enabling factor) dan
faktor yang memperkuat atau mendorong ( reinforcing factor). Jadi ada hubungan
antara perilaku seseorang dengan kepatuhan dalam menjalanakan kemoterapi
Berdasarkan penelitian Direktorat Bina farmasi Klinik Direktorat Jenderal
Bina Kefarmasian dan alat kesehatan Depkes RI, (2005) mengemukan salah satu
disebabkan oleh kurangnya dukungan sosial dari keluarga atau kerabat. Hal ini
didukung oleh penelitian (Cahyadi 2006) di Ruang Cendana I RSUD Dr. Moewardi
Surakarta tentang hubungan antara support system keluarga dengan kepatuhan
pengobatan pada pasien yang mendapat kemoterapi membuktikan ada hubungan yang
bermakna antara support system keluarga dengan kepatuhan berobat jalan. Menurut
penelitian Yulian (2008) di Rumah Sakit Umum Jiwa Daerah Surakarta tentang
hubungan support system keluarga terhadap kepatuhan klien berobat jalan
menunjukkan ada hubungan antara support system keluarga terhadap kepatuhan klien
berobat jalan. Penelitian di atas menunjukkan bahwa dukungan keluarga sangat
penting untuk kepatuhan menjalankan kemoterapi.
Patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah atau aturan. Sedangkan
kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin, Kamus Besar Bahasa
Indonesia 1988.
Menurut Sacket dalam Niven (2000) kepatuhan adalah sejauh mana perilaku
pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan. Salah
satu pengobatan yang berkembang dengan cepat saat ini adalah kemoterapi yaitu
penggunaan preparat anti neoplasma, sebagai upaya untuk membunuh sel-sel tumor
dengan mengganggu fungsi reproduksi seluler. Biasanya kemoterapi dilakukan pada
beberapa penyakit kanker yang spesifik seperti kanker payudara, kanker rahim,
kanker paru, leukemia tetapi selalu ada laporan baru tentang neoplasma yang
kemoterapi digunakan untuk membunuh dan menghambat perkembangan sel kanker
payudara.
2.2.2. Penyebab Terjadinya Kepatuhan
Kepatuhan yang terjadi dalam menjalankan sesuatu dalam kehidupan apakah
dalam mengatasi masalah kesehatan atau penyakit dapat disebabkan banyak hal
yaitu: (1) kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman
tentang pentingnya perilaku yang baru itu, (2) kepatuhan demi menjaga hubungan
baik dengan petugas kesehatan atau tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut, (3)
kepatuhan timbul karena individu merasa tertarik atau mengagumi petugas
kesehatan atau tokoh tersebut, sehingga ingin mematuhi apa yang dianjurkan atau
diinstruksikan tanpa memahami sepenuhnya arti dan mamfaat dari tindakan tersebut,
tahap ini disebut proses identifikasi. Motivasi untuk mengubah perilaku individu
dalam tahap ini lebih baik dari pada dalam tahap kesediaan, namun motivasi ini
belum dapat menjamin kelestarian perilaku itu karena individu belum dapat
menghubungkan perilaku tersebut dengan nilai-nilai lain dalam hidupnya, sehingga
jika dia ditinggalkan petugas atau tokoh idolanya itu maka dia merasa tidak perlu
melanjutkan perilaku tersebut.
2.2. 3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kepatuhan
Menurut teori Feuerstein dalam Niven (2000) ada 5 faktor yang mendukung
kepatuhan pasien, yaitu pendidikan, akomodasi, modifikasi, faktor lingkungan dan
sosial, perubahan model terapi dan meningkatnya interaksi profesional kesehatan
Pendidikan, tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan
sepanjang pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif, yang diperoleh
secara mandiri, lewat tahapan-tahapan tertentu mulai dari tingkat dasar sampai
perguruan tinggi. Pendidikan ini dapat juga diperoleh secara mandiri dengan
menggunakan buku-buku dan kaset sebagai alat penuntun bejajar.
Berdasarkan pendapat Feuer Stein et.al. dalam Niven, (2002), dapat
disimpulkan bahwa tingkat pendidikan pasien/penderita dapat meningkatkan
kepatuhan menjalankan kemoterapi , sepanjang pendidikan tersebut merupakan
pendidikan yang aktif yang diperoleh secara mandiri, lewat tahapan-tahapan tertentu
sesuai dengan kemampuan belajar yang dimiliki oleh pasien/penderita. Pendidikan
yang diperoleh akan mendasari kepatuhan dalam menjalankan kemoterapi , sehingga
penderita tidak asal ikut-ikutan saja tetapi tindakan yang dilakukan sudah berdasarkan
pertimbangan tentang baik buruknya atau untung ruginya mematuhi instruksi petugas
kesehatan dalam menjalankan kemoterapi.
Akomodasi, suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian
pasien yang dapat memengaruhi kepatuhan. Sebagai contoh pasien yang lebih
mandiri, harus merasakan bahwa dia dilibatkan secara aktif dalam program
pengobatan, sementara pasien yang mengalami ansietas menghadapi sesuatu, harus
diturunkan terlebih dahulu tingkat ansietasnya dengan cara menyakinkan dia atau
dengan teknik-teknik lain sehingga dia termotivasi untuk mengikuti anjuran
Modifikasi faktor lingkungan dan sosial, hal ini berarti membangun dukungan
sosial dari keluarga dan teman-teman sangat penting. Kelompok-kelompok
pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap program-program
pengobatan seperti pengurangan berat badan, berhenti merokok dan menurunkan
konsumsi alkohol.
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan
keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program
pengobatan yang dapat mereka terima. Pratt dalam Niven (2002) telah
memperhatikan bahwa peran yang dimainkan keluarga dalam pengembangan
kebiasaan kesehatan dan pengajaran terhadap anak-anak mereka. Keluarga juga
memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota
keluarga yang sakit.
Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga
yang lain, teman, waktu, dan uang merupakan faktor-faktor penting dalam kepatuhan
terhadap program–program medis. Contoh yang sederhana, tidak memiliki pengasuh,
transportasi tidak ada, dan ada anggota keluarga yang sakit, dapat mengurangi
kepatuhan pasien. Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi ansietas, yang
disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan
ketidaktaatan, dan mereka seringkali dapat menjadi kelompok pendukung untuk
mencapai kepatuhan, (Niven 2002).
Keyakinan, sikap dan kepribadian Becker et al dalam Niven (2002),
program pengobatan yang kompleks, meliputi diet, pembatasan cairan dan
pengobatan. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan, bahwa keyakinan, sikap dan
kepribadian akan kesehatan pasien berguna memperkirakan adanya ketidakpatuhan.
tentang terapi yang harus dijalankannya bisa saja dipengaruhi oleh bagaimana cara
keluarga memberi memotivasi untuk pasien bisa bangkit dari keterpurukan akan
penyakit dan menjalankan terapi kemoterapi.
Perubahan model terapi, program-program pengobatan dapat dibuat
sesederhana mungkin, dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.
Dengan cara ini komponen-komponen sederhana dalam program pengobatan dapat
diperkuat, untuk selanjutnya dapat mematuhi komponen-komponen yang lebih
kompleks.
Anderson dalam Niven (2002) dalam penelitiannya tentang komunikasi
dokter, perawat dan pasien di Hongkong, mendapatkan bahwa pasien yang rata-rata
diberi 18 jenis informasi untuk diingat dalam setiap konsultasi, hanya mampu
mengingat 31 % saja. Dari penjabaran dan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan
bahwa komunikasi yang efektif sangat diperlukan . Tenaga kesehatan harus
memberikan informasi yang lengkap guna meningkatkan pemahaman penderita
sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam mnjalankan terapi.
Kualitas interaksi juga merupakan hal yang penting dalam menentukan
derajat kepatuhan. Korsch dan Negrete dalam Niven (2002) telah mengamati 800
kunjungan orangtua dan anak-anaknya ke rumah sakit anak di Los Angeles. Selama
nasehat-nasehat yang diberikan oleh dokter, mereka menemukan ada hubungan yang
erat antara kepuasan ibu terhadap konsultasi dengan seberapa jauh mereka mematuhi
nasehat dokter, tidak ada kaitan antara lamanya konsultasi dengan kepuasan ibu. Jadi
konsultasi yang pendek tidak akan tidak produktif. Jika diberikan perhatian untuk
meningkatkan kualitas interaksi.
Beberapa keluhan yang specifik adalah kurangnya minat yang diperlihatkan
oleh dokter, pengguaan istilah medis yang berlebihan, kurangnya empati dan hampir
setengah dari ibu-ibu tersebut tidak memperoleh kejelasan tentang penyebab penyakit
anaknya, yang sering kali menimbulkan kecemasan. Dari penelitian ini, dapat dilihat
bahwa kesalahan seperti ini dengan mudah diatasi dengan ketrampilan komunikasi
terapeutik yang dibina antara pasien dan pasien dengan tenaga kesehatan.
Menurut Ley dan Spelman dalam Niven (2002), menemukan bahwa lebih
dari 60% responden yang di wawancarai setelah bertemu dengan dokter salah
mengerti tentang instruksi yang diberikan kepada mereka. Kadang kadang hal ini
disebabkan oleh kegagalan/ kesalahan profesional dalam memberikan informasi
lengkap, penggunaan istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang
harus diingat oleh penderita.
Pemahaman tentang instruksi petugas kesehatan sangat perlu, jika seseorang
tidak memahami instruksi maka konsekwensi yang akan didapat adalah
ketidakpatuhan. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien, adalah
suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh
penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Suatu
penjelasan tentang penyebab penyakit dan bagaimana pengobatannya, dapat
membantu meningkatkan kepercayaan pasien. Untuk melakukan konsultasi dan
selanjutnya meningkatkan kepatuhan.
Kozier dkk. (2010) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi
kepatuhan yaitu motivasi klien untuk sembuh, dan durasi terapi yang dianjurkan
yakni tingkat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan, persepsi keparahan masalah
kesehatan, nilai upaya mengurangi ancaman kesehatan, kesulitan memahami dan
melakukan perilaku yang dianjurkan, tingkat gangguan penyakit atau rangkaian
terapi, keyakinan bahwa terapi atau rejimen yang diprogramkan akan membantu,
kerumitan, efek samping, warisan budaya tertentu yang membuat kepatuhan menjadi
sulit dilakukan, tingkat kepuasan, kualitas dan jenis hubungan dengan penyedia
pelayanan kesehatan serta seluruh terapi yang diprogramkan.
2.2.4. Strategi untuk Meningkatkan Kepatuhan
Menurut Smet dalam Niven (2002) berbagai strategi untuk meningkatkan
kepatuhan adalah dukungan profesional kesehatan, profesional kesehatan sangat
diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan, contohnya adalah meningkatkan
komunikasi, karena komunikasi memegang peranan penting maka komunikasi
diberikan oleh dokter/perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.
Strategi lain dukungan social, dukungan social yang dimaksud adalah
keluarga. Para profesional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk
Modifikasi perilaku sehat juga sangat diperlukan. Modifikasi gaya hidup dengan
mengatur makanan, melakukan aktivitas/olahraga dan control secara teratur
melakukan pengontrolan dengan pemeriksaan darah rutin, USG, kolonoscopy dan
gastroscopy yang perlu untuk penderita kanker payudara.
Strategi terakhir pemberian informasi, pemberian informasi yang jelas
pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang dideritanya serta cara
pengobatannya. Dalam hal ini pemberian informasi yang jelas tentang perencanaan
makan, aktivitas dan kontrol darah lengkap, serta pemeriksaan endoscopy yang
teratur pada penderita kanker payudara sehingga penderita paham dan akhirnya
patuh menjalankannya.
Kepatuhan adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan ketaatan ataupasrah
pada tujuan yang telah ditentukan. Kepatuhan memiliki nada yang cenderung
memanipulasi atau otoriter dimana penyelenggaraan perawatan kesehatan atau
pendidik dianggap sebagai tokoh yang berwenang, peserta didik anggap bersikap
patuh. Kepatuhan pada program kesehatan merupakan perilaku yang dapat
diobservasi dan dengan begitu dapat diukur.
2.2.5. Langkah-langkah Mengidentifikasi Adanya Ketidakpatuhan
Menurut Kozier dkk. (2010) untuk meningkatkan kepatuhan, perawat perlu
memastikan bahwa klien mampu melakukan terapi yang diprogramkan, memahami
instruksi yang penting, menjadi partisipan yang mau berusaha mencapai tujuan
Menurut Anderson dalam Niven (2002) dalam penelitiannya tentang
komunikasi dokter dan pasien di Hongkong, mendapatkan bahwa pasen yang
rata-rata diberi 18 jenis informasi untuk diingat dalam setiap konsultasi, hanya mampu
mengingat 31 % saja. Dari penjabaran dan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan
bahwa komunikasi yang efektif sangat diperlukan . Tenaga kesehatan harus
memberikan informasi yang lengkap guna meningkatkan pemahaman penderita
sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam mnjalankan
terapi.
Langkah-langkah mengidentifikasi adanya ketidakpatuhan adalah:
1. Memastikan alasan klien tidak mematuhi program. Berdasarkan alasan klien,
perawat dapat memberikan informasi,mengoreksi kesalahpahaman, menganjukan
konseling bila masalah psikologis menghambat kepatuhan. Perawat juga perlu
mengevaluasi kembali kesesuaian anjuuran yang diberikan. Jika kepercayaan,
budaya dan usia bertentangan dengan rencana terapi yang diberikan.
2. Menunjukan kepedulian. Perlihatkan perhatian yang tulus terhadap masalah dan
keputusan klien serta pada saat yang sama mengakui hak-hak klien terhadap
rangkaian tindakan, misalnya perawat memberi tahu agar jangan lupa minum
obat untuk kemoterapi.
3. Memotivasi klien untuk berperilaku sehat. Apabila penderita kanker payudara
melakukan latihan fisik setiap pagi, perawat dapat memberi pujian untuk
4. Menggunakan brosur, gambar untuk memberikan penyuluhan. Contoh, perawat
dapat meninggalkan brosur atau gambar untuk dibaca klien setelah penyuluhan,
juga membuat jadwal pemberian obat kemoterapi pada selembar kertas dengann
arah jarum jam dan tanggal pemberian.
5. Memberi hubungan terapeutik yang tidak kaku, saling mengerti dan tanggung
jawab bersama dengan klien dan keluarga sebagai pemberi dukungan kepada
klien.
2.2.6. Proses Perubahan Sikap dan Perilaku
Menurut Kelman perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap
kepatuhan, identifikasi kemudian baru menjadi internalisasi Mula-mula individu
mematuhi anjuran atau instruksi petugas tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan
tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman/sanksi jika tidak patuh
atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut tahap
ini disebut tahap kesediaan, biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat
sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan
petugas. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun
ditinggalkan.
Pengawasan itu tidak perlu berupa kehadiran fisik petugas atau tokoh otoriter,
melainkan cukup rasa takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika individu
tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam tahap ini pengaruh tekanan kelompok
sangatlah besar, individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku mayoritas
keluar dari kelompok tersebut, kemungkinan perilakunya akan berubah menjadi
perilakunya sendiri.
Kepatuhan individu berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang
pentingnya perilaku yang baru itu dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda,
yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan petugas kesehatan atau tokoh
yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent). Biasanya kepatuhan ini
timbul karena individu merasa tertarik atau mengagumi petugas atau tokoh tersebut,
sehingga ingin mematuhi apa yang dianjurkan atau diinstruksikan tanpa memahami
sepenuhnya arti dan mamfaat dari tindakan tersebut, tahap ini disebut proses
identifikasi. Meskipun motivasi untuk mengubah perilaku individu dalam tahap ini
lebih baik dari pada dalam tahap kesediaan, namun motivasi ini belum dapat
menjamin kelestarian perilaku itu karena individu belum dapat menghubungkan
perilaku tersebut dengan nilai-nilai lain dalam hidupnya, sehingga jika dia
ditinggalkan petugas atau tokoh idolanya itu maka dia merasa tidak perlu melanjutkan
perilaku tersebut Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika
perubahan tersebut terjadi melalui proses internalisasi, dimana perilaku yang baru itu
dianggap bernilai positif bagi diri individu dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain
dari hidupnya.
Proses internalisasi ini dapat dicapai jika petugas atau tokoh merupakan
seseorang yang dapat dipercaya (kredibilitasnya tinggi) yang dapat membuat individu
memahami makna dan penggunaan perilaku tersebut serta membuat mereka mengerti