• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pekerja/Buruh Yang Terkena PHK Akibat Efisiensi Dalam Suatu Perusahaan (Studi Kasus : Keputusan MA No. 37 K/PHI/2006 antara K,kkkkPT. Manunggal Punduh Sakti Vs Sustiningsih dan Winarki)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pekerja/Buruh Yang Terkena PHK Akibat Efisiensi Dalam Suatu Perusahaan (Studi Kasus : Keputusan MA No. 37 K/PHI/2006 antara K,kkkkPT. Manunggal Punduh Sakti Vs Sustiningsih dan Winarki)"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PHK AKIBAT EFISIENSI DALAM SUATU PERUSAHAAN

(Studi Kasus : Keputusan MA No. 37 K/PHI/2006 antara K,kkkkPT. Manunggal Punduh Sakti Vs Sustiningsih dan Winarki)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

Rico Rinaldi Tarigan 070200221

Departemen Hukum Administrasi Negara Program Kekhususan Hukum Ketenagakerjaan

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PHK AKIBAT EFISIENSI DALAM SUATU PERUSAHAAN

(Studi Kasus : Keputusan MA No. 37 K/PHI/2006 antara PT. Manunggal Punduh Sakti Vs Sustiningsih dan Winarki)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari

Syarat-syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

RICO RINALDI TARIGAN

NIM : 070200221

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara

(Suria Ningsih S.H. MHum)

NIP : 19600214198703002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum) (Dr. Agusmidah S.H. M.Hum)

NIP : 195905111986011001 NIP : 197608162002122002

Ketua Program Kekhususan

Hukum Ketenagakerjaan

( Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum)

NIP : 195905111986011001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

ABSTRAK

Rico Rinaldi1 Budiman Ginting2

Agusmidah3

1

Rico Rinaldi, selaku Mahasiswa Fakultas Hukum USU 2

Budiman Ginting, selaku Dosen Pembimbing I dan Guru Besar Fakultas Hukum USU 3

Agusmidah, selaku Dosen Pembimbing II

Pemutusan Hubungan Kerja dalam perusahaan kerap menimbulkan masalah, khususnya PHK dengan alasan efisiensi seperti pemberian hak-hak pekerja/buruh sebagai kompensasi PHK. Pengusaha sering memberikan hak-hak pekerja/buruh yang kurang sesuai dan tidak jarang juga pihak pekerja/buruh meminta hak-hak mereka melebihi ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini akan terlihat dalam Keputusan MA No. 37 K/PHI/2006 antara PT. Manuggal Punduh vs Sustiningsih dan Winarki. Metode yang digunakan dalam penulisan skiripsi ini adalah dengan melakukan pendekatan normatif yaitu dengan studi kepustakaan dengan membaca, menafsirkan, mempelajari buku-buku, makalah-makalah, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul ini kemudian di analisis dan dituangkan dalam bentuk tulisan.

Pemutusan Hubungan Kerja yang terjadi disebabkan oleh banyak faktor yaitu mulai dari buruh, pengusaha, hukum maupun oleh pengadilan. Pemutusan Hubungan Kerja karena efisiensi dikategorikan PHK oleh perusahaan/pengusaha. Prosedur dan tata cara penyelesaian pemutusan hubungan kerja diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, namun prosedur pemutusan hubungan kerja oleh karena efisiensi tidak diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Proses penyelesaian PHK karena alasan efisiensi karenanya mengarah pada Undang-Undang No.2 Tahun 2004. Keputusan MA No.37/PHI/2006 antara PT. Manunggal Punduh Sakti Vs Sustingsih terjadi sebelum UU PPHI efektif dipakai sehingga penyelesaiaannya masih melalui P4D, tetapi setelah kasus ini diajukan kasasi ke MA Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 ini sudah berlaku. P4D dan Hakim keliru dalam mengambil putusan, karena PHK sebenarnya terjadi bukan karena efisiensi melihat perusahaan tidak dalam kondisi tutup.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan karunia

yang dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

ini dengan baik dalam rangka melaksanakan tugas akhir sebagai mahasiswa S1

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan skripsi ini dimaksudkan

sebagai sarana mengembangkan wawasan penulis di bidang hukum pada

umumnya dan di bidang hukum perburuhan pada khususnya serta penerapannya

pada masalah-masalah yang nyata di lapangan.

Adapun judul dari skripsi ini adalah “PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP HAK-HAK PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PHK AKIBAT

EFISIENSI DALAM SUATU PERUSAHAAN (Studi Kasus : Keputusan MA

No. 37 K/PHI/2006 antara PT. Manunggal Punduh Sakti Vs Sustiningsih dan

Winarki).” Dalam penyelesaian tulisan skripsi ini penulis telah banyak menerima

banyak bantuan dari berbagai pihak , maka pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu S.H. M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Unversitas Sumatera Utara.

2. Ibu Suria Ningsih S.H. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H. M.Hum, selaku Ketua Program

Kekhususan Hukum Perburuhan Fakultas Hukum Universitas Sumatera

(5)

4. Ibu Dr. Agusmidah S.H. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.

5. Bapak dan Ibu Dosen dan sekaligus staf Administrasi di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

6. Istimewa buat kedua orang tercinta, M. Tarigan dan R. br Barus yang telah

mecurahkan segenap kasih dan memberikan dukungan baik moril maupun

materil.

7. Untuk abang dan adik-adik (Roy, Krisman, Lomo, Mitra, Mentari dan

Mega) terima kasih bantuan dan dukungannya.

8. Untuk teman-temanku (Alboin, Ricky, Gading, Satra, Johannes, Berlin,

Chandra, Putra, Prananta, Ivan B.T., Andika, Ivan Sembiring, Torkis,

Nesti, Ivan Stev) terima kasih atas bantuan dan dorongannya daalam

pengerjaan skrisi ini.

9. Buat semua teman stambuk 2007, terima kasih buat segala

kebersamaannya dalam perkuliah di FH USU.

10.Buat teman-teman yang ada di IMKA FH USU juga saya ucapkan terima

kasih buat segala dorongan dan bantuannya.

11.Penulis juga mengucapkan terima kasih buat teman-teman semua di

(6)

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih ada kekurangan,

karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman serta refrensi yang penulis miliki.

Untuk itu penulis mengharapkan saran-saran dan kritik demi perbaikan di

masa-masa mendatang.

Medan, Juni 2011

Penulis

Rico Rinaldi Tarigan

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI...

v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah...7

C. Tujuan Penulisan...8

D. Manfaat Penulisan...9

E. Keaslian Penulisan...9

F. Metode Penulisan...10

1. Metode Penelitian...10

2. Data yang digunakan...10

3. Teknik Pengumpulan Data...11

4. Metode Analisis Data...11

G.Tinjauan Pustaka...12

1. Pengertian PHK...11

2. Landasan Hukum PHK...13

H.Sistematika Penulisan Skripsi...14

BAB II PENGATURAN PHK DENGAN ALASAN EFISIENSI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. PHK Dengan Alasan Efisiensi dalam Peraturan Perundang-undangan...16

B. Alasan Terjadinya PHK...20

(8)

1. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha...27

2. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pekerja/buruh...30

3. Pemutusan Hubungan Kerja demi hukum...32

4. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan...35

BAB III TATA CARA/PROSEDUR PENYELESAIAN PHK KARENA ALASAN EFISIENSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL A. Proses Penyelesain PHK karena efisiensi menurut Peraturan Perundang-undangan...37

B. Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja di Luar Pengadilan (Non-Litigasi)...40

1. Penyelesaian Secara Bipartie...40

2. Penyelesaian Melalui Mediasi...42

3. Penyelesaian Melalui Konsolidasi...46

C. Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Keja Melalui Pengadilan (Litigasi)...49

1. Pengajuan Gugatan... 52

2. Tenggang Waktu dan Kadaluarsa... 53

3. Pengembalian dan Penyempurnaan Gugatan... 54

4. Pemeriksaan di Persidangan... 56

5. Pemeriksaan dengan Acara Biasa...56

6. Pemeriksaan dengan Acara Cepat...59

7. Upaya Hukum... 60

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PHK AKIBAT EFISIENSI DALAM SUATU PERUSAHAAN A. Kompensasi Sebagai Hak Normatif Pekerja/buruh...62

(9)

Peraturan Perundang-undangan... 62

2. Batasan Kompensasi... 63

3. Komponen Kompensasi yang Diberikan Kepada Pekerja/Buruh...66

4. Dasar Perhitungan Kompensasi...69

B. Tinjauan Terhadap Pemberian Hak-hak Pekerja/Buruh dilihat dari Keputusan MA No.37/PHI/2006... 74

1. Resume Kronologis Kasus... 74

2. Pemberian Pesangon Berdasarkan Putusan P4D Jawa Tengah... 75

3. Pemberian Pesangon Berdasakan Putusan MA...77

C. Analisis Kasus Keputusan MA No. 37 K/PHI/2006.. ... 79

1. Pemahaman tentang PHK karena Efisiensi...79

2. Besarnya Uang Pesangon yang Seharusnya Diterima oleh Pekerja/Buruh...84

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 88

B. Saran... 89

DAFTAR PUSTAKA

(10)

ABSTRAK

Rico Rinaldi1 Budiman Ginting2

Agusmidah3

1

Rico Rinaldi, selaku Mahasiswa Fakultas Hukum USU 2

Budiman Ginting, selaku Dosen Pembimbing I dan Guru Besar Fakultas Hukum USU 3

Agusmidah, selaku Dosen Pembimbing II

Pemutusan Hubungan Kerja dalam perusahaan kerap menimbulkan masalah, khususnya PHK dengan alasan efisiensi seperti pemberian hak-hak pekerja/buruh sebagai kompensasi PHK. Pengusaha sering memberikan hak-hak pekerja/buruh yang kurang sesuai dan tidak jarang juga pihak pekerja/buruh meminta hak-hak mereka melebihi ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini akan terlihat dalam Keputusan MA No. 37 K/PHI/2006 antara PT. Manuggal Punduh vs Sustiningsih dan Winarki. Metode yang digunakan dalam penulisan skiripsi ini adalah dengan melakukan pendekatan normatif yaitu dengan studi kepustakaan dengan membaca, menafsirkan, mempelajari buku-buku, makalah-makalah, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul ini kemudian di analisis dan dituangkan dalam bentuk tulisan.

Pemutusan Hubungan Kerja yang terjadi disebabkan oleh banyak faktor yaitu mulai dari buruh, pengusaha, hukum maupun oleh pengadilan. Pemutusan Hubungan Kerja karena efisiensi dikategorikan PHK oleh perusahaan/pengusaha. Prosedur dan tata cara penyelesaian pemutusan hubungan kerja diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, namun prosedur pemutusan hubungan kerja oleh karena efisiensi tidak diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Proses penyelesaian PHK karena alasan efisiensi karenanya mengarah pada Undang-Undang No.2 Tahun 2004. Keputusan MA No.37/PHI/2006 antara PT. Manunggal Punduh Sakti Vs Sustingsih terjadi sebelum UU PPHI efektif dipakai sehingga penyelesaiaannya masih melalui P4D, tetapi setelah kasus ini diajukan kasasi ke MA Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 ini sudah berlaku. P4D dan Hakim keliru dalam mengambil putusan, karena PHK sebenarnya terjadi bukan karena efisiensi melihat perusahaan tidak dalam kondisi tutup.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap orang selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhannya.

Untuk mendapatkan biaya hidup seseorang perlu bekerja. Bekerja dapat dilakukan

secara mandiri atau bekerja pada orang lain. Bekerja kepada orang lain dapat

dilakukan dengan bekerja pada negara yang selanjutnya disebut dengan pegawai

atau bekerja pada orang lain (swasta) yang disebut dengan buruh atau pekerja.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan suatu hal yang merupakan

kegiatan yang sangat ditakuti oleh pekerja/buruh yang masih aktif bekerja. Hal ini

karena kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian disusul dengan carut

marutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada banyaknya industri yang

gulung tikar dan tentu saja berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja yang

dilakukan dengan sangat tidak terencana. Kondisi inilah yang menyebabkan orang

yang bekerja pada waktu ini selalu dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan

giliran dirinya diberhentikan dari pekerjaannya yang menjadi penopang hidup

keluarganya.

Faktanya pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena berakhirnya

waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, tidak menimbulkan

(12)

karena pihak yang bersangkutan sama-sama telah menyadari bahwa atau

mengetahui saat berakhirnya hubungan kerja tersebut sehingga masing-masing

telah berupaya mempersiapkan diri menghadapi kenyataan itu. Berbeda halnya

dengan pemutusan yang terjadi karena adanya perselisihan, keadaan ini akan

membawa dampak terhadap kedua belah pihak, lebih-lebih yang dipandang dari

sudut ekonomis mempunyai kedudukan yang lemah jika dibandingkan dengan

pihak pengusaha. 4

Dampak krisis moneter 1998 masih dapat dirasakan sampai saat ini.

Banyak perusahaan yang melakukan lock out karena tidak mampu beroperasi

dikarenakan nilai tukar rupiah yang jatuh merosot terhadap dollar. Lock out

merupakan suatu tindakan yang senantiasa berkaitan dengan mogok. Jadi

sebetulnya tidak ada hubungannya dengan pesangon. Kalau ada tindakan-tindakan

dalam sebuah perselisihan, maka senjatanya buruh adalah mogok dan senjata

perusahaan adalah melakukan PHK. Sehingga selama proses lock out terjadi,

perusahaan tetap harus membayar kewajiban-kewajibannya atas buruh.5

Di era globalisasi ini, permasalahan tentang sumber daya manusia dalam

suatu perusahaan menuntut untuk lebih diperhatikan, sebab secanggih apapun

teknologi yang dipergunakan dalam suatu perusahaan serta sebesar apapun modal

yang diputar perusahaan, karyawan dalam perusahaan yang pada akhirnya akan

menjalankannya. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa didukung dengan kualitas

yang baik dari karyawan dalam melaksanakan tugasnya, dengan adanya modal

4

Zaeni Asyhadie, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, PT RajaGrafindo Persada, 2007, Jakarta, hal.177

5

(13)

dan teknologi yang canggih mustahil akan membuahkan hasil yang maksimal,

sebab termasuk tugas pokok karyawan adalah menjalankan proses produksi yang

pada akhirnya dapat mencapai keberhasilan perusahaan. Oleh karena itu

konstribusi karyawan pada suatu perusahaan akan menentukan maju mundurnya

perusahaan. Saat menjalankan fungsinya sebagai salah satu elemen utama dalam

suatu sistem kerja, karyawan tidak bisa lepas dari berbagai kesulitan dan masalah.

Salah satu permasalahan yang sedang marak saat ini adalah karena krisis ekonomi

yang terjadi sehingga banyak perusahaan di Indonesia harus melakukan

restrukturisasi. Perusahaan harus mengurangi karyawannya dengan alasan

efisiensi. Kondisi seperti ini diikuti oleh meningkatkanya pemutusan hubungan

kerja (PHK) sehingga setiap karyawan yang tidak mempunyai kompetensi tinggi

harus memikirkan alternatif pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.6

Pertambahan penduduk yang berlangsung di Negara-negara berkembang

cenderung mempertajam kepincangan dalam pembagian pendapatan. Hal ini

disebabkan keluarga-keluarga justru lebih bertambah di antara golongan

masyarakat dengan pendapatan rendah. Selama ini tingkatan kematian di

Negara-negara berkembang pada umumnya berkurang berkat kebijaksanaan kesehatan

umu, akan tetapi tingkata kelahiran tetap konstan. Dalam hubungan ini tingkat

fertilitas atau kesuburan yang tinggi dengan lingkungan sosial ekonomis yang

bersangkutan. Diantara para keluarga yang termasuk golongan yang

berpenghasilan rendah terdapat pandangan dan perasaan bahwa adanya anak kelak

sehingga merupakan jaminan hari tua untuk menunjang kebutuhan orang tua pada

6

(14)

hari depan. Jika hal ini terus berlangsung maka kita akan diibaratkan berada dalam

suatu lingkaran yang tak berpangkal. Sebab satu sma lain hanya menambah

cadangan angkatan kerja yang akan menekan tingkat upah tenaga kerja di

sektor-sektor kegiatan ekonomi yang ada. Sehingga akan menimbulkan beban

pengangguran secara terbuka maupun terselebung7

Setelah 65 tahun Republik Indonesia merdeka, pasal 27 tersebut tak

kunjung terwujud. Bukannya semakin sejahtera, semakin lama rakyat semakin

menderita. Petani kehilangan tanah pertaniannya, nelayan kehilangan tangkapan

ikan, kaum miskin kota tergusur dan buruh kehilangan pekerjaannya. Sementara

pemerintah tidak mampu menyediakan pekerjaan yang layak bagi seluruh rakyat.

Akibatnya angka pengangguran tetap tinggi.

.

Bagi Pekerja masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan

masalah yang kompleks, karena mempunyai hubungan dengan masalah ekonomi

maupun psikologi. Masalah ekonomi karena PHK akan menyebabkan hilangnya

pendapatan, sedangkan masalah psikologi yang berkaitan dengan hilangnya status

seseorang. Dalam skala yang lebih luas, dapat merambat kedalam masalah

pengangguran dan kriminalitas.

Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan cita-cita berdirinya Republik

Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang Undang dasar 1945. Pasal 27

menyebutkan “Setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan”.

7

(15)

Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan pasal 164 ayat (3), UU No. 13

Tahun 2003 yang menyatakan bahwa :

“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majuer) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 2 (dua) kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (3) dan uan pengganti hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4) ”.

Pada praktiknya, penerapan hukum untuk pengakhiran hubungan kerja

dengan alasan tersebut lebih dikenal dengan PHK karena efisiensi. Definisi

efisiensi tidak dijelaskan dalam ketentuan Undang-undang Ketenagakerjaan,

tetapi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “efisiensi” diartikan sebagai

ketetapan cara usaha dalam menjalankan sesuatu dengan tidak membuang waktu,

tenaga, dan biaya.8

Pada saat ini PHK karena alasan efisiensi masih menjadi polemik karena

terdapat dua penafsiran berbeda yang disebabkan karena ketentuan pasal 164 ayat

(3) UU. No. 13 Tahun 2003, dalam praktik peradilan ketentuan pasal yang

mengatur mengenai efisiensi, masih melakukan efisiensi maka perusahaan dalam

kondisi tutup. Namun ada yang menafsirkan bahwa perusahaan tidak perlu tutup

untuk melakukan efisiensi apabila tindakan perubahan tersebut justru dapat

menyelamatkan perusahaan dan sebagian pekerja yang lainnya.9

8

Ferianto & Darmanto ”Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara PHI Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasan Hukum” PT Raja Grafindo Persada, 2010 hal 263.

9

(16)

Sehubungan dengan dampak PHK sangat kompleks dan cenderung

menimbulkan perselisihan, maka mekanisme prosedur PHK diatur sedemikian

rupa agar pekerja/buruh telah mendapatkan perlindungan yang layak dan

memperoleh hak-haknya sesuai dengan ketentuan. Perlindungan pekerja tersebut

dalam Bahasa Belanda disebut arbeidsbescherming. Maksud dan tujuan

perlindungan buruh atau perlindungan pekerja adalah agar pekerja dapat

dilindungi dari perlakuan pemerasan oleh pihak pengusaha. Pemerintah sangat

menaruh perhatian terhadap masalah perlindungan pekerja/buruh karena pada

umumnya posisi pekerja masih lemah, sehingga perlindungan kerja dan

kesalamatan kerja akan dapat mewujudkan terpeliharanya kesejahteraan,

kesehatan, kedisplinan pekerja yang berada di bawah pimpinan pengusaha.10

Mengenai perlindungan hak-hak pekerja/buruh ini yaitu apakah pesangon

yang diberikan pengusaha sudah memadai atau belum. Apablia pemberian uang

pesangon sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka

tidak ada permasalahan. Tetapi apabila dilihat dari keadaan si buruh, maka ketika

si buruh yang besangkutan mengalami PHK, maka untuk ke depannya buruh

tersebut sudah tidak mendapat pemasukan lagi. Maka disini terlihat bahwa

pesangon bukan merupakan hal utama, melainkan keamanan dalam bekerja, yang

dalam artian bahwa ketika buruh bekerja buruh tersebut merasa khawatir bahwa

sewaktu-waktu dia akan mendapat PHK. Disinilah peranan undang-undang

10

Saiful Anwar, Sendi-sendi Hubungan Kerja Pekerja Dengan Pengusaha,Kelompok

keselamataan Pekerja ini dikelola oleh Bidang Pembiinaan Norma-norma Perlindungan Kerja dalam 3 Sub. Dit Dalam Departemen Tenaga Kerja, yaitu :

a. Pembinaan dan pengawasan Perundang-undangan ; b. Norma-norma Kerja

(17)

memainkan peranan penting, yaitu sebagai pelindung buruh. Namun sayangnya

UU Nomor 13 Tahun 2003 sebagai regulasi perburuhan terbaru justru tidak

mampu mengakmodsikan hal ini. Justru undang-undang sebelumnya secara tegas

menyatakan bahwa PHK merupakan hal yang dilarang.

Pada kenyataannya, jangankan untuk memperoleh kehidupan yang layak.

Untuk memperoleh pekerjaan, jaminan hidup ataupun perlindungan masih jauh

dari harapan. Malahan, buruh atau pekerja yang sudah memiliki pekerjaan (walau

ala kadarnya) dalam prakteknya sangat mudah kehilangan pekerjaan dengan cara

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Tetapi tidak jarang dapat kita temukan banyak pekerja/buruh setelah

mereka terkena PHK, pekerja/buruh kadang meminta kepada pihak

pengusaha/perusahaan untuk dibayarkan hak-hak mereka melebihi apa yang diatur

dalam ketentuan yang berlaku. Dengan kondisi inilah yang membuat persoalan

penyelesaian perselisihan PHK sulit diselesaikan.

Maka dalam penulisan skripsi ini akan dibahas mengenai bagaimana

sebenarnya perlindungan hak-hak pekerja/buruh, berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang mengaturnya yaitu dalam Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

B. Perumusan Masalah

Suatu kegiatan penelitian/penulisan untuk menfokuskan permasalahan

yang akan dikaji diperlukan rumusan masalah. Sebab dengan adanya rumusan

(18)

tujuan yang ditetapkan. Perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu sebagai

berikut:

1. Bagaimana PHK dengan alasan efisiensi diatur dalam Peraturan

Perundang-undangan ?

2. Bagaimana proses penyelesaian PHK dengan alasan efisiensi menurut

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian perselisihan

hubungan industrial ?

3. Bagaimana Perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja/buruh sebagai

kompensasi PHK dengan alasan efisiensi dilihat dari Keputusan MA No.

37 K/PHI/2006 ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui dimana PHK dengan alasan efisiensi dalam peraturan

perundang-undangan.

2. Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya prosedur/tata cara penyelesaian

Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan efisiensi yang ditinjau dari

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja/buruh

sebagai kompensasi PHK ditinjau dari Keputusan MA No.37 K/PHI/2006.

D. Manfaat Penulisan

(19)

Secara teoritis, dari hasil pembahasan ini penulis mengharapkan dapat

memperoleh penjelasan tentang Perlindungan hukum bagi buruh/tenaga

kerja yang terkena PHK akibat efisiensi perusahaan. Selain itu penulis

berharap pembahasan ini bermanfaat untuk menambah wawasan penulis

dalam bidang hukum perburuhan.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, kegunaaan dari pembahasan ini adalah sebagai tambahan

bahan kajian bagi perusahaan sehingga dapat memperluas ilmu

pengetahuan, khususnya dalam memberikan perlindungan bagi

pekerja/buruh . Selain itu juga bermanfaat bagi pekerja/buruh pada

umumnya dan mahasiswa pada khususnya yang ingin menegetahui dan

mendalami masalah-masalah ketengakerjaan Indonesia.

E.Keaslian Penulisan

Judul yang penulis pilih adalah “PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP HAK-HAK PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PHK

AKIBAT EFISIENSI DALAM SUATU PERUSAHAAN (Studi Kasus :

Keputusan MA No. 37 K/PHI/2006 antara PT. Manunggal Punduh Sakti Vs

Sustiningsih dan Winarki)” yang diajukan penulis dalam rangka memenuhi

tugas dan syarat untuk memperoleh gelar “Sarjana Hukum”. Judul ini belum

pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.Penulisan ini,

membahas lebih terperinci dan spefikasi masalah PHK dengan alasan efisiensi

berbeda halnya dengan tulisan lain yang hanya membahas menyangkut

(20)

perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan skripsi

berdasarkan referensi buku-buku, media cetak dan elektronik,. Penulisan

skripsi ini merupakan sebuah karya asli yang berasal dari penulis dan dapat

dipertanggungjawabkan keasliannya.

F. Metode Penulisan

a. Metode Penulisan

Dalam menulis skripsi ini digunakan metode deskriptif yaitu penelitian

hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan hanya

mengolah dan menggunakan data-data sekunder.

b. Data yang Digunakan

Data sekunder adalah data-data lain yang berhubungan dengan penulisan ,

berupa bahan-bahan pustaka. Fungsi data sekunder untuk mendukung data

primer. Data sekunder yang berkaitan dengan penulisan meliputi:

1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat

kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945,

Undang-undang No. 13 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang

N0. 2 Tahun 2004.

2. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Rancangan

Undang-undang, hasil penelitian atau pendapat pakar hukum.

3. Bahan Hukum Tartier yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dengan bahan

(21)

c. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan teknik

pengumpulan data dengan cara Library Research (Penelitian

Kepustakaan). Library Research adalah penelitian melalui perpustakaan

dengan cara membaca,menafsirkan, mempelajari, mentransfer dari

buku-buku, makalah-makalah seminar, Peraturan-peraturan dan bahan

perkuliahan penulis memiliki keterkaitan untuk mendukung terlaksananya

penulisan skripsi ini.

d. Metode Analisis Data

Metode yang dipergunakan untuk menganalisis data adalah analisis

kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis

dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasasn

masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk

skripsi.

G. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian PHK

Dalam kehidupan sehari-hari pemutusan hubungan kerja antara

buruh dengan majikan (pengusaha) lazimnya dikenal dengan istilah PHK

(22)

berakhirnya waktu tertentu yang telah disepakati/diperjanjiakn sebelumnya

dan dapat pula terjadi karena adanya perselisihan buruh dan majikan,

meninggalnya buruh atau karena terjadi sebab lainnya.

Beberapa literatur hukum perburuhan tidak satupun kita jumpai

rumusan ataupun defenisi tentang Pemutusan hubungan kerja, namun dari

uraian diatas dapat diartikan bahwa, pemutusan hubungan kerja adalah

langkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh (pekerja) dengan

majikan (pengusaha) yang disebabkan karena keaadaan tertentu.11

a. Dengan adanya pemutusan hubungan kerja, bagi buruh telah

kehilangan mata pencaharian.

Dalam praktik, pemutusn hubungan kerja yang terjadi karena berakhirnya

waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian, tidak menimbullan

permasalahan kedua belah pihak (buruh maupun majikan) karena

pihak-pihak yang bersangkutan sama-sama telah menyadari atau mengetahui saat

berakhirnya hubungan kerja tersebut, sehingga masing-masing telah

berupaya telah mempersiapkan diri dalam menghadapi kenyataan itu.

Berbeda halnya dengan pemutusan yang telah nterjadi karena adanya

perselisihan, keadaan ini akan membawa dampak terhadap kedua belah

pihak, lebih-lebih bagi buruh yang dipandang dari sudut ekonomis

mempunyai kedudukan yang lemah jika dibandingkan dengan pihak

pengusaha. Karena pemutusan hubungan kerja bagi pihak buruh akan

memberi pengaruh psikologis, ekonomis, finansial sebab :

11

(23)

b. Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya, harus

banyak mengeluarkan biaya (keluar masuk perusahaan disamping

biaya-biaya lain seperti pembuatan surat-surat untuk keperluan

lamaran dan fotocopi surat-surat lainya.)

c. Kehilangan biaya hidup untuk diri dan keluarganya sebelum

mendapat pekerjaan baru sebagai penggantinya.

Sehubungan dengan akibat yang ditimbulkan dengan adanya

pemutusan hubungan kerja itu khususnya bagi buruh dan keluarganya.

Karena itulah pemutusan hubungan kerja ini harus dihindari terjadinya

bahkan jika mungkin ditiadakan sama sekali. 12 2. Landasan Hukum PHK

Sejak bergulirnya tuntutan demokrasi, maka pemerintah telah

melakukan reformasi peratura perundang-undangan ketenagakerjaan

sebagai dasar hukum pemutusan hubungan kerja yaitu ;

Undang-Undang No. 14 Tahun 1969, tentang Pokok-pokok

Ketenagakerjaan, telah diganti dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan. UU No. 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian

Perselisihan perburuhan di Perusahaan Swasta, telah diganti dengan UU

No.2 Tahun 2004 tentang penyelesaian Perselisihan hubungan Industrial

yang selanjutnya disebut dengan UU PPHI. Disamping peraturan

perundang-undangan sebagai dasar hukum pemutusan Hubungan Kerja,

12

(24)

juga dapat diatur di Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP), dan

Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Dengan lahirnya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial , maka tidak ada lagi pembatasan atau diskrimnasi antara

perusahaan swasta dengan perusahaan milik negara, karena perusahaan

dalam undang-undang ini meliputi :

a. Badan Usaha yang berbadan hukum atau tidak,

b. Milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan

hukum milik swasta atau milik negara.

c. Usaha-usaha sosial atau usaha-usaha lain yang mempunyai

pengurus dalam mempekerjakan orang lain dengan membayar

upah ayau imbalan dalam bentuk lain.13 H.Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka akan diberikan gambaran

secara ringkas mengenai uraian dari bab ke bab yang berkaitan satu dengan yang

lainya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :

Bab I Pendahuluan. Pada bab ini digambarkan secara umum tentang latar

belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, metodelogi penelitian, tinjauan

pustaka, sistematika penulisan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan

dibahas dalam skripsi ini.

13

(25)

Bab II Pengaturan PHK dengan alasan efisiensi dalam peraturan

perundang-undangan. Pada bab ini dibahas mengenai pengaturan PHK dengan

alasan efisiensi dalam peraturan perundang-undangan, dan apa saja yang menjadi

alasan dan menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yaitu : Pemutusan

Hubungan Kerja yang disebabkan oleh Pengusaha, Pemutusan Hubungan Kerja

yang disebabkan oleh Pekerja/buruh, Pemutusan Hubungan Kerja yang

disebabkan demi hukum, Pemutusan Hubungan Kerja yang disebabkan karena

Pengadilan.

Bab III Tata Cara/Prosedur Penyelesaian PHK menurut Undang – Undang

Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial. Pada bab ini akan dibahas mengenai prosedur penyelesaian

pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi serta prosedur pemutusan

hubungan kerja secara umum baik yang dilakukan diluar persidangan maupun

dilakukan melalui persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial.

Bab IV Perlindungan Hukum Terhadap hak-hak pekerja/buruh yang

terkena PHK akibat efisiensi dalam perusahaan dilihat dari Keputusan MA

No. 37 K/PHI/2006. Dalam bab ini, akan dibahas mengenai pemahaman

pengertian efisiensi dalam perusahaan, analisis kasus putusan MA No.37

(26)

BAB II

PENGATURAN PHK DENGAN ALASAN EFISIENSI DALAM

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A.PHK dengan Alasan Efisiensi dalam Peraturan Perundang-undangan

PHK dengan alasan efisiensi diatur secara rinci dan jelas dalam

Undang-Undang No.13 Tahun 2003 dalam Pasal 164 ayat (3) yang menyatakan:

” Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”

Banyak pihak yang menafsirkan bahwa salah satu alasan yang dapat

digunakan perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerjanya adalah

karena “melakukan efisiensi”. Padahal, sebenarnya Undang-Undang

Ketenagakerjaan sendiri tidak pernah mengenal alasan PHK karena melakukan

efisiensi. Kesalahan penafsiran tersebut mungkin terjadi karena banyak pihak

yang kurang cermat membaca redaksional pada ketentuan yang ada (hanya

sepenggal-sepenggal).14

14

(27)

Dengan kondisi ini sering sekali dijadikan celah oleh pihak perusahaan

untuk menghilangkan hak warga negara untuk bekerja sebagaimana dijamin

Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Sebab, pekerja dapat setiap saat di-PHK dengan

dalih efisiensi meski tanpa kesalahan dan kondisi perusahaan dalam keadaan

baik sekalipun. “Karena itu, Pasal 164 ayat (3) inkonstitusional.”15

Tanggapan lain menyatakan bahwa tujuan perusahaan melakukan PHK

dengan alasan efisiensi dilatarbelakangi oleh tujuan untung mengurangi beban

perusahaan supaya dapat tetap beroperasi. Sehingga seperti dalam kondisi

krisis global yang mengharuskan pengurangan pekerja, pengusaha tidak perlu

khawatir melakukan PHK karena efisiensi sebab ada alasan hukum pasal 164

ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.

16

Mengenai PHK itu sendiri secara khusus juga diatur dalam UU PPHI

Dengan berlakukan UU PPHI tersebut, Undang-Undang Nomor 12 Tahun

1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dan

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

(P3) dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun, untuk peraturan pelaksanaan kedua

undang-undang tersebut masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan

dengan UU PPHI.17

15

16

Ferianton dan Darmanto, Op.cit hal. 263.

(28)

Undang-Undang PPHI, istilah sengketa yang digunakan adalah

perselisihan atau perselisihan hubungan industrial. UU PPHI Pasal 1 angka 1

menyatakan:

“Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.”

Pasal 1 angka 4 UU PPHI menyatakan:

“Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.”

Bahasa yang lebih sederhana atau mudah untuk menggambarkan ketentuan

tersebut, baik pihak pengusaha/perusahaan maupun pekerja berbeda pendapat

mengenai kapan suatu hubungan kerja berakhir. Pihak pengusaha

kadang-kadang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pihak pekerja, tetapi

pihak pekerja merasa dirugikan atas keputusan tersebut karena merasa masih

berhak untuk bekerja.

Undang-undang No.4 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial, PHK merupakan atau dapat menjadi salah satu penyebab

Perselisihan Hubungan Industrial. Pada pasal 150 sampai dengan pasal 172

Undang-Undang Ketenagakerjaan dapat diketahui mengenai segala sesuatu

terkait PHK, termasuk salah satunya mengenai alasan-alasan melakukan PHK.

Namun sayangnya banyak pihak yang salah menafsirkan mengenai

alasan-alasan melakukan PHK tersebut, mungkin dikarenakan keterbatasan

(29)

Ketenagakerjaan yang banyak disebut mengandung ambiguitas. Salah satu

kesalahan penafsiran yang sering terjadi adalah pada ketentuan pasal 164 ayat

(3) Undang-Undang Ketenagakerjaan, dimana disebutkan “Pengusaha dapat

melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena

perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun

berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan

melakukan efisiensi,”.

Hal ini dapat menjadi beban dan tanggung jawab yang berat bagi Divisi

Sumber Daya Manusia/Personalia untuk dapat melakukan PHK karena

efisiensi, tanpa menimbulkan perselisihan hubungan industrial dengan pekerja.

Oleh karena itu, diperlukan pendekatan dan sosialisasi yang efektif dan insentif

kepada pekerja supaya dapat memahami kondisi perusahaaan. Pendekatan

“orang tua” (perusahaan) dan “anak” (pekerja) akan lebih mengena

dibandingkan dengan pendekatan hukum. Namun demikian, pemahaman atas

ketentuan Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan

Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial merupakan syarat mutlak yang harus dipahami sehingga

tidak menjadikan “bom atom” bagi perusahaan karena harus menghadapi

gugatan pekerja di kemudian hari. 18

18

(30)

B.Alasan-alasan Terjadinya PHK

Ada sepuluh alasan bagi perusahaan untuk mem-PHK Anda dengan

mengacu kepada Undang-Undang No. 13 tahun 2003.

1. Pekerja/buruh melakukan Kesalahan Berat

Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 158 UU

Ketenagakerjaan inkonstitusional, maka pengusaha tidak lagi dapat

langsung melakukan PHK apabila ada dugaan pekerja melakukan

kesalahan berat. Berdasarkan asas praduga tak bersalah, pengusaha baru

dapat melakukan PHK apabila pekerja terbukti melakukan kesalahan berat

yang termasuk tindak pidana. Atas putusan MK ini, Depnaker

mengeluarkan surat edaran yang berusaha memberikan penjelasan tentang

akibat putusan tersebut.19

a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;

Pasal 158, ayat 1 berbunyi, "Pengusaha dapat memutuskan

hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah

melakukan kesalahan berat sebagai berikut:

b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;

c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan,

memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;

19

(31)

d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;

e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;

f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;

g. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;

h. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau

i. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih."

Jenis kesalahan berat lainnya dapat diatur dalam PP/PKB, tetapi

apabila terjadi PHK karena kesalahan berat (dalam PP/PKB) tersebut,

harus mendapat izin dari lembaga yang berwenang. Demikian juga

sebelum melakukan PHK, harus terlebih dahulu melalui mekanisme yang

ditentukan, misalnya dengan memberi surat peringatan (baik

berturut-turut, atau surat peringatan pertama dan terakhir) untuk jenis kesalahan

berat yang ditentukan PP/PKB.20

1) pekerja/buruh tertangkap tangan;

Namun, perlu kita ketahui bahwa alasan PHK berupa kesalahan

berat yang dimaksud pada Pasal 158, ayat 1 harus didukung dengan bukti

misalnya:

2) ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau

20

(32)

3) bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang

berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh

sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

2. Pekerja/buruh Melakukan Diduga Tindak Pidana

Istilah Tindak Pidana adalah berasal dari kata istilah yang dikenal

dalam Hukum Belanda yaitu “Strafbaar Feit”. Walaupun istilah ini

terdapat dalam WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan

resmi tentang apa yang dimaksud dengan Strafbaar Feit itu. Karena itu

para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu.

Sayangnya sampai kini belum ada keragaman pendapat.21

3. Pekerja/buruh Melakukan Pelanggaran Ketentuan yang diatur dalam

Perjanjian Kerja

Menurut wujud

dan sifatnya, tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan

hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti

bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam

pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan

bahwa perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang anti sosial. Pasal 160,

ayat 1 menyebutkan, "Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang

berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan

pengusaha, "

Pasal 161, ayat 1 menyebutkan, "Dalam hal pekerja/buruh

melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,

21

(33)

peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat

melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang

bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara

berturut-turut." Bila Anda tidak mengindahkan peraturan perusahaan dan

Anda tidak mengindahkan surat peringatan yang diberikan oleh

perusahaan kepada Anda- ini bisa menjadi alasan PHK untuk pekerja.

4. Pekerja/buruh Mengundurkan Diri

Salah satu jenis PHK yang inisiatifnya dari pekerja/buruh adalah

pengakhiran hubungan kerja karena pekerja/buruh mengundurkan diri atas

kemauan sendiri dan dilakukan tanpa penetapan (izin). Syarat yang harus

dipenuhi apabila seorang pekerja/buruh mengundurkan diri agar

mendapatkan hak-haknya dan mendapatkan surat keterangan

kerja/eksperience letter adalah permohonan tertulis harus diajukan

selambat-lambatnya 30 hari sebelum hari h tanggal pengunduran diri. Hal

yang harus dilakukan pekerja/buruh yang mengundurkan diri adalah

sebagai berikut :

1) Pekerja/buruh tidak terikat dalam ikatan dinas.

2) Selama menunggu hari h, pekerja/buruh harus tetap melaksanakan

kewajiban sampai tanggal pengunduran diri dari yang ditentukan.

Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan pengganti formasi

untuk jabatan dimaskud atau dalam rangka transfer of knowledge.

5. PHK Karena terjadi Perubahan Status, Pengabungan, Peleburan, atau

(34)

Apabila terjadi PHK karena terjadi perubahan status,

penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) atau perubahan

kepemilikan perusahaan (akuisisi), dan pekerja/buruh tidak bersedia

melanjutkan hubungan kerja maka terhadap pekerja/buruh berhak atas

uang pesangon satu kali dan uang pengganti hak. Apabila PHK yang

terjadi disebabkan oleh perubahan status, merger, atau konsolidasi, dan

pengusaha tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja dengan

pekerja/buruh berhak uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa

kerja satu kali, dan uang pengganti hak.

Pasal 163, ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan

pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi

peru-bahan status, penggabungan, peleburan, atau peruperu-bahan kepemilikan

perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan

kerja."

6. PHK karena Likuidasi

Pasal 164, ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan

pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan

tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus

menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur)"

Kerugian perusahaan yang dimaksud harus dibuktikan dengan laporan

keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.

(35)

Ini merupakan alasan phk yang sering digunakan. Pasal 164, ayat 3

menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja

terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami

kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa

(force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi."

8. Perusahaan mengalami Pailit

Pasal 165 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan

hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit,.." Kata

pailit berasal dari bahasa Prancis; failite yang berarti kemacetan

pembayaran.kepailitan diartikan sebagai suatu proses di mana seorang

debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya

dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga,

dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta

debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan

pemerintah. Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan

disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan pailit adalah seseorang yang

oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt, dan yang aktivitasnya atau

warisannya telah diperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya

ngertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar

dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.

Ketidakmampuan tersebut harus disertai suatu tindakan nyata untuk

mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri,

(36)

tersebut sebagai bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak

mampu membayar.

Orang sering menyamakan arti pailit ini sama dengan bankrupt

atau bangkrut dalam bahasa Indonesia. Namun, menurut penulis

pengertian pailit tidak sama dengan bangkrut, karena bangkrut berarti ada

unsur keuangan yang tidak sehat dalam suatu perusahaan, tetapi pailit bisa

terjadi pada perusahaan yang keadaan keuangannya sehat, perusahaan

tersebut dipailitkan karena tidak membayar utang yang telah jatuh tempo

dari salah satu atau lebih kreditornya. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang

Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah

pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

ini.22

9. Pekerja/buruh Memasuki Usia Pensiun

Pasal 167 ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan

pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia

pensiun..." Ini merupakan alasan PHK yang normal.

10. Pekerja/buruh Mangkir Selama lima (5) hari berturut-turut

Pasal 168, ayat 1 menyebutkan, "Pekerja/buruh yang mangkir

selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara

tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh

22

(37)

pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan

kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri."

C.Faktor-faktor Penyebab Terjadinya PHK

1. Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Perusahaan

Pada umumnya kelangsungan ikatan kerja bersama antara perusahaan

dengan tenaga kerja terjalin apabila kedua belah pihak masih saling membutuhkan

dan saling patuh dan taat akan perjanjian yang telah disepakatinya pada saat

mereka mulai menjalin kerja bersama. Dengan adanya keterikatan bersama antara

para tenaga kerja berarti masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban.

Demikian pula sebaliknya, apablia terjadi PHK berarti manajer tenaga kerja

dituntut untuk memenuhi hak dna kewajiban terhadap tenaga kerja sesuai dengan

kondisi pada saat terjadi kontrak kerja.23

Bagi setiap pekerja/buruh, pengakhiran atau PHK bisa sejauh mimpi

buruk. Setiap pekerja/buruh sedapat mungin mengupayakan agar dirinya tidak

sampai kehilangan pekerjaan. PHK dapat berarti awal dari sebuah penderitaan.

Namun demikian, suka atau tidak suka, pengakhiran hubungan kerja

sesungguhnya adalah sesuatu yang cukup dekat dan sangat mungkin serta wajar

23

(38)

terjadi dalam konteks hubungan kerja, hubungan antara majikan (pengusaha)

dengan pekerja/buruh.24

Seseorang pengusaha dalam mengembangkan usahanya selalu

berkeinginan agar perusahaan yang dimlikinya dapat berjalan dengan baik dan

sukses, hal ini bdapat terlaksana apabila produksi barang-barang yang dihasilkan

dapat diminati dan laku terjual dipasaran dengan harga relatif murah dan kualitas

baik. Salah satu keberhasilan yang didapat adalah adanya kerjasama yang baik

antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Kondisi demikian tidak mudah

terlaksana terus-menerus karena setiap pekerja/buruh ada yang patuh dan taat

pada pemimpin dan ada juga yang tidak mematuhi perintah yang diberikan.25

1. Perusahaan mengalami kemunduran sehingga perlu rasionalisasi atau

pengurangan jumlah pekerja/buruh. Dalam hal PHK dengan alasan

rasionalisasi atau kesalahan ringan pekerja/buruh dalam Undang-undanhg

Nomor 13 Tahun 2003 pasal 151 ayat (1) ditentukan bahwa pengusaha,

pekerja/buruh, serikat pekerja/buruh dan pemerintah, berupaya

mengusahakan agar tidak terjadi PHK. Dalam hal, upaya tersebut telah Setiap orang mempunyai tujuan dan motivasi yang berbeda dalam melakukan

pekerjaan. Bagi mereka yang tidak patuh atau menentang perusahaan dapat

diberikan teguran atau sanksi balikan yang lebih tegas diputuskn hubungan

kerjanya.

Secara yuridis dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, PHK oleh

perusahaan disebabkan oleh :

24

Edi Sutrisno Sidabutar, Pedoman Penyelesaian PHK, Jakarta, Praninta Offset, 2007, hal.1 25

(39)

dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka maksud PHK wajib

dirundingkan oleh pegusaha dan SP/SB atau dengan pekerja/buruh yang

bersangkutan tidak menjadi anggota SP/SB.

2. Pekerja/buruh telah melakukan kesalahan, baik kesalahan yang melanggar

ketentuan yang tercantum dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja

atau PKB (kesalahan ringan), maupun kesalahan pidana (kesalahan berat).

Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya karena alasan telah

melakukan kesalahan berat hanya dapat memperoleh uang pengganti hak.

Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan rasionalisasi atau

kesakahan ringan pekerja/buruh dalam undang-undang Nomor 13 Tahun

2003 dalam pasal 151 ayat 1 ditentukan bahwa pengusaha, pekerja/buruh,

serikat pekerja/buruh dan pemerintah dengans egala upaya harus

megusahakan agar jangan terjadi PHK. Apabila uapay tersebut telah

dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka maksud PHK wajib

dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau

dengan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat

pekerja/serikat buruh.

Apabila perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan,

pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh

setelah memperoleh penetapan dari lembaga PPHI yang dalam UU PPHI.

Permohonan penetapan PHK diajuakn secara tertulis kepada PHI disertai

dengan alasan yang menjadi dasarnya. Permohonan tersebut akan diterima

(40)

pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh, apabila pekerja/buruh

yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

Selama putusan PHI belum ditetapkan, baik penugsaha maupun

pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya, atau

pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang

sedang dalam proses PHK dengan tetap wajib membayar upah beserta

hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

2. Pemutusan Hubungan Kerja karena Pekerja/Buruh

Pekerja/buruh sebagai manusia merdeka berhak memutuskan hubungan

kerja dengan cara mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Kehendak untuk

mengundurkan diri ini dilakukan tana penetapan oleh Lembaga Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial. Hak untuk mengundurkan diri melekat pada

setiap pekerja/buruh karena pekerja/buruh tidak boleh dipaksa untuk bekerja

bila tiba ia sendiri tidak menghendakinya.26

Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan PHK kepada lembaga

PPHI,dalam hal pengusaha melakukan perbuatan:

Pekerja/buruh berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan pihak

pengusaha, karena pada prinsipnya pekerja/buruh tidak boleh dipaksa untuk

terus-menerus bekerjasama apabila ia sendiri tidak menghendakinya. Dengan

demikian PHK oleh pkerja /buruh ini,yang aktif untuk meminta diputuskan

hubungan kerjanya adalah pekerja/buruh tersebut.

27

1. Menganiaya,menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;

26

Maimun, “Hukum Ketengakerjaan Suatu Pengantar” Pradnya Paramita,Jakarta,2007,hal.100 27

(41)

2. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan

yang bertemtangan dengan peraturan perundang-undangan;

3. Tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga)

bulan berturut-turut atau lebih;

4. Tidak melakukan kewajiban yang telah di janjikan kepada pekerja/buruh;

5. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan diluar yang

diperjanjikan; atau

6. Memberikan pekerjaan yang membahayakna jiwa, keselamatan, kesehatan

atau kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak

dicantumkan pada perjanjian kerja.

Pekerja/buruh dapat mengakhiri hubungan kerja dengan melakukan

pengunduran diri atas kemauan sendiri tanpa perlu meminta penetapan dari

lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan kepada

pekerja/buruh yang bersangkutan memperoleh uang penggantian hak sesuai

ketentuan Pasal 156 Ayat 4. Selain uang penggantian hak, pekerja/buruh diberikan

uang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja,peraturan

perusahaan atau PKB. Pekerja atau buruh yang mengundurkan diri tersebut harus

memenuhi syarat:28

1. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;

2. Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan

3. Tetap melaksanakan kewajiban sampai tanggal mulai pengunduran diri.

28

(42)

Pekerja/buruh yang mengundurkan diri tersebut berhak atas uang

pengganti hak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bagi

pekerja/buruh yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha

secara langsung,selain menerima uang pengganti hak diberikan pula uang pisah

yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.29

3. Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum

Selain PHK oleh pengusaha, pekerja/buruh , hubungan kerja juga dapat

putus atau berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja tersebut harus putus

dengan sendirinya. Pekerja /buruh tidak perlu mendapatkan penetapan PHK

dari lembaga yang berwenang. PHK demi hukum adalah pemutusan hubungan

kerja yang terjadi dengan sendirinya sehubungan dengan berakhirnya jangka

waktu perjanjian yang dibuat oleh majikan dan buruh. PHK demi hukum

terjadi apabila karena satu alasan dan lain hal hubungan kerja oleh hukum

dianggap sudah tidak ada dan oleh karena itu tidak ada alas hak yang cukup

dan layak bagi salah satu pihak untuk menuntut pihak lainya guna tetap

mengadakan hubungan kerja.

Karena itulah pemutusan hubungan kerja terjadinya bukan karena

sebab-sebab tertentu bak yang datangnya dari pihak buruh maupun majikan, pasal

1603e Perdata menyebutkan :

29

(43)

“Perhubungan kerja berakhir demi hukum, dengan lewatnya waktu yang

ditetapkan dalam persetujuan maupun reglement atau dalam ketentuan

undang-undang atau lagi maijkan itu tidka ada oleh kebiasaan ”.

Demikian juga dalam pasa 12 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor

PER-05/MEN/1986 tentang kesepakatan kerja untuk waktu tertentu dikatakan :

“Kesepakatan kerja untuk waktu tertentu berakhir demi hukum dengan

berakhirnya waktu yang ditentukan dalam kesepakatan kerja atau dengan

selesainya pekerjaan yang disepakatinya”

Meskipun pemutusan hubungan kerja itu terjadi dengan sendirinya namun

para pihak dapat memperjanjikan untuk mengadakan pemberitahuan apabila

perjanjian kerja itu berakhir. Pemberitahuan ini nantinya dapat diikuti dan

ketentuan apakah perjanjian kerja/hubungan kerja itu akan diakhiri atau tidak.30

Selain dapat terjadi karena berakhirnya jangka waktu perjanjian,

pemutusan hubungan kerja/perjanjian kerja demi hukum ini juga dapat terjadi

karena meninggalnya pekerja (pasal 160 3e KUHPerdata jo. Pasal 13 Peraturan

Menteri Tenaga Kerja No. PER-05/PEN/1986). Ketentuan pasal ini dapat

dimengerti karena sesuai dengan asas hukum perjanjian yang oleh Soebekti

disebut sebagai asas kepribadian. Seperti yang disimpulkan dari ketentuan

pasal 1331 KUHPerdata yang menentukan bahwa ssorang hanya dapat

mengikatkan diirnya sendiri. Akan tetai jika yang meninggal dunia itu adalah

majikan/pengusaha, maka hubungan kerjanya tidak putus atau berakhir (pasal

3030

(44)

1603 KUHPerdata jo. Pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor

PER-05/PEN/1986 ). 31

1. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri berhak

memperoleh uang penggantian hak dan juga diberikan uang pisah

yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan atau PKB; PHK demi hukum dapat terjadi dalam hal:

2. PHK dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan

tanpa mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial;

3. Perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan

kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan

hubungan kerja;

4. Perusahaan tutup, dimana perusahaan mengalami kerugian secara

terus-menerus selama 2(dua) tahun sehingga terpaksa harus ditutup

atau keadaan memaksa (force majeur), pengusaha dapat melakukan

PHK;

5. Pengusaha juga dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh karena

perusahaan bermaksud hendak melakukan efisiensi. Dalam hal

31

(45)

rasionalisasi ini, pekerja/buruh yang akan diputuskan hubungan

kerjanya, harus diperhatikan:

a.Masa kerja;

b.Loyalitas; dan

c.Jumlah tanggungan keluarga.

6. Pengusaha dapat melakukan PHK tehadap pekerja/buruh karena

perusahaan pailit;

7. Dalam hal hubungan kerja berakhir, karena pekerja/buruh meninggal

dunia;

8. Pengusaha dapat melakukan PHK tehadap pekerja/buruh karena

memasuki usia pensiun;

9. Pekerja/buruh mangkir(tidak masuk kerja) selama 5 (lima) hari kerja

atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang

dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh

pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus

hubungan kerjanya karena dikualifikaikan mengundurkan diri.

Keterangan tertulis dengan bukti yang sah tersebut harus diserahkan

paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh tidak masuk kerja;

10.PHK oleh pekerja/buruh, meskipun dalam praktik, PHK oleh

pekerja/buruh sangat jarang atau bahkan tidak mungkin ada, namun

yuridis Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, PHK oleh

pekerja/buruh ini dimungkinkan.

(46)

Pengusaha harus berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari

terjadinya PHK. Upaya-upaya yang dapat dilakukan pengusaha untuk

menghindari PHK dapat berupaa pengaturan waktu kerja, penghematan

(efisiensi), pembenaran metode kerja, dan pembinaan kepada pekerja/buruh.

Pembinaan dapat dilakukan kepada pekerja/buruh yang melanggar ketentuan yang

diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanian kerja bersama

dengan cara memberi surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga. Masing-masing

surat peringatan tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan kecuali ditentukan lain

dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Apabila segala upaya telah dilakukan tetapi PHK tetap tidak dapat

dihindarkan, maksudnya PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dengan serikat

pekrja/bruhatau apabila pekerja/buruh bersangkutan tidak menjadi anggota serikat

pekerja/buruh, perundingan dapat dilakukan dengan pekerja/buruh secara

langsung. Apabila perundingan yang dilakukan tidak menghasilkan kesepakatan

maka pengusaha mengajuakn permohonan penetapan PHK secara tertulis kepada

lembaga penyelesaian hubungan industrial (PPHI) disertai alasan yang menjadi

dasarnya.32

Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial setelah menerima

permohonan PHK akan memanggil para pihak untuk dimintai keterangan di muka

persidangan. Berdasarkan pembuktian yang dilakukan dalam persidangan,

lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menetapkan keputusan

yang berisi menolak dan mengabulkan PHK yang diajukan. Apabila lembaga

32

(47)

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menolak permohonan PHK maka

terhadap pekerja/buruh bersangkutan harus tetap dipekerjakan. Apabila

permohonan PHK dikabulkan maka hubungan kerja putus terhitung sejak

penetapan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.33

A.Proses Penyelesaian PHK karena efisiensi menurut Peraturan

Perundang-undangan

BAB III

TATA CARA/PROSEDUR PENYELESAIAN PHK KARENA ALASAN EFISIENSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004

TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan karena

efisiensi tidak secara rinci diatur dalam UU PPHI. Sehingga proses atau prosedur

penyelesaian PHK dengan alasan efisiensi ini tetap dilakukan dengan ketentuan

yang diatur dalam UU PPHI.

Dengan diundangkan UU PPHI tersebut, maka UU Nomor 22 Tahun 1957

tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU Nomor 12 Tahun 1964

tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dinyatakan tidak

berlaku lagi sehingga penyelesaian masalah hubungan industrial yang terjadi sejak

diberlakukannya UU PPHI harus mengacu pada ketentuan yang telah diatur dalam

undang-undang ini.

33

(48)

Penyelesaian Perselisihan pemutusan kerja dengan alasan efisiensi yang

terjadi pada Keputusan MA No.36/PHI/2006, sebelum diajukan kasasi ke

Mahkamah Agung masih menggunakan Undang-Undang No.22 Tahun 1957

tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Didalam produk

Perundang-undangan ini memberikan jalan penyelesaian sengketa buruh lebih di titik

beratkan pada musyawarah mufakat antara buruh dan majikan melalui Lembaga

Bepartie, dan bila tidak terselesaikan dapat dilanjutkan ke Lembaga Tripartie, dan

seterusnya dapat dilanjutkan ke Pengadilan P4D dan P4P.

Ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 berlaku

setelah pihak penggugat (pengusaha) mengajukan permohonan kasasi ke

Mahkamah Agung tepatnya pada tanggal 27 Juni 2006. Dengan berlakunya

undang-undang ini maka Hakim Agung menyatakan putusan P4D Jawa Tengah

tidak perlu dicantumkan lagi.

Perselisihan pemutusan hubungan kerja termasuk pemutusan hubungan

kerja dengan alasan efisiensi menurut UU PPHI wajib diupayakan

penyelesaiannya terlebih dahulu melalui musyawarah untuk mufakat yaitu melalui

perundingan bipartit. Apabila usaha penyelesaian melalui bipartit gagal maka

dilakukan usaha penyelesaian melalui tripartit yaitu dengan jalan mediasi dan

konsolidasi. Jika usaha penyelesaian melalui tripartie juga menemui kegagalan,

para pihak baru dapat menruskan perselisihannya melalui jalur litigasi yaitu

dengan cara menggugat pihak lain ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Perselisihan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan

(49)

mengenai PHK yang dilakukan. Sebelumnya pengaturan mengenai penyelesaian

PHK diatur dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1964 yang prosedur

penyelesaianya cukup panjang serta memakan waktu yang cukup lama, yaitu

mulai dari tingkat kota P4D, P4P, sampai Menteri Tenaga Kerja dan terakhir ke

Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang

N0. 5 Tahun 1986. Jalan yang harus ditempuh oleh para pihak untuk mencari

keadilan semakin panjang. 34

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial selama ini dirasa tidak dapat lagi

mengakomodasi perkembangan-perkembangan yang terjadinya khususnya

mengenai hak-hak pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi untuk

menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial. Selain itu dengan

ditetapkannya Panitia Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) sebagai objek objek

Sengketa Tata Usaha Negara, maka jalan yang harus ditempuh baik oleh pihak

pekerja/buruh maupun oleh pengusaha (perusahaan) untuk mencari keadilan

menjadi semakin panjang.35

34

Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Medan, USU Press, 2010, hal. 166.

35

Lihat Penjelasan umum atas UU PPHI

Sehingga belum dapat mewujudkna penyelesaian

secara sederhana, cepat, adil dan biaya ringan. Dengan berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan tersebut dikeluarkanlah UU PPHI yang dianggap dapat

mengakomodir perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam penyelesaian

(50)

Pelaksanaanya sering kali pengusaha harus menghadirkan para manajer ke

persidangan untuk memberikan kesaksian tentang kondisi perusahaan dan

langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menyelematkan perusahaan, yang

sering kali kesaksian tersebut oleh hakim dianggap tidak bernilai hukum karena

keterangan diberikan tidak dibawah sumpah. Majelis hakim yang masih

berkenaan mendengarkan saksi tanpa disumpah umumnya, memahami bahwa

perselisihan antara pengusaha dengan pekerja sehingga tidak mungkin

mengharapkan keterangan saksi dari pihak luar.

B.Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja di Luar

Pengadilan (Non-Litigasi)

1. Penyelesain Secara Bipartie

Pasal 3 UU PPHI menentukan bahwa setiap perselisihan hubungan

industrial wajib diupayakan penyelesaian terlebih dahulu melalui

perundingan bipartie secara musyawarah untu mufakat. Penyelesaian

perselisihan melalui bipartie harus mampu diselesaikan paling lama tiga

puluh hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila jangka

waktu tiga puluh hari para pihak menolak untuk berunding atau telah

dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, perundingan

bipartie dianggap gagal.36

36

Zaeni Asyhadie, Op.cit, hal.149

Apabila perundingan mencapai mencapai

persetujuan atau kespakatan maka persetujan bersama (PB) tersebut

dicatatkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), namun apabila

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran frekuensi karakter umur berbunga, tinggi tanaman, jumlah cabang produktif, bobot 100 butir, dan bobot biji per tanaman pada populasi F 2

Perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua)

Dengan tugas pokok TNI AD yang telah disebutkan diatas sungguh jelas sekali jika menjadi seorang TNI AD harus siap sedia mengabdikan dirinya untuk NKRI dan harus tunduk patuh dengan

Sedangkan menurut Riyanto (2009) struktur aktiva adalah perimbangan atau perbandingan baik dalam artian absolut maupun dalam artian relatif antar aktiva lancar dan

Meskipun dikatakan bahwa ada kecendrungan sikap pro-Amerika yang ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia, namun fakta nya hubungan antara masyarakat Muslim di

Dalam permasalahan kontrak baku ten- tang penunjukan model iklan yang disepakati oleh pihak agensi dengan pihak model, maka materi atau isi dari perjanjian

(1) Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian

Maka berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah diuraikan oleh penulis diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa PT Imaji Media dapat melakukan tindak pidana dan