PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PHK AKIBAT EFISIENSI DALAM SUATU PERUSAHAAN
(Studi Kasus : Keputusan MA No. 37 K/PHI/2006 antara K,kkkkPT. Manunggal Punduh Sakti Vs Sustiningsih dan Winarki)
S K R I P S I
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
Rico Rinaldi Tarigan 070200221
Departemen Hukum Administrasi Negara Program Kekhususan Hukum Ketenagakerjaan
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PHK AKIBAT EFISIENSI DALAM SUATU PERUSAHAAN
(Studi Kasus : Keputusan MA No. 37 K/PHI/2006 antara PT. Manunggal Punduh Sakti Vs Sustiningsih dan Winarki)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari
Syarat-syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh
RICO RINALDI TARIGAN
NIM : 070200221
Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara
(Suria Ningsih S.H. MHum)
NIP : 19600214198703002
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum) (Dr. Agusmidah S.H. M.Hum)
NIP : 195905111986011001 NIP : 197608162002122002
Ketua Program Kekhususan
Hukum Ketenagakerjaan
( Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum)
NIP : 195905111986011001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
ABSTRAK
Rico Rinaldi1 Budiman Ginting2
Agusmidah3
1
Rico Rinaldi, selaku Mahasiswa Fakultas Hukum USU 2
Budiman Ginting, selaku Dosen Pembimbing I dan Guru Besar Fakultas Hukum USU 3
Agusmidah, selaku Dosen Pembimbing II
Pemutusan Hubungan Kerja dalam perusahaan kerap menimbulkan masalah, khususnya PHK dengan alasan efisiensi seperti pemberian hak-hak pekerja/buruh sebagai kompensasi PHK. Pengusaha sering memberikan hak-hak pekerja/buruh yang kurang sesuai dan tidak jarang juga pihak pekerja/buruh meminta hak-hak mereka melebihi ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini akan terlihat dalam Keputusan MA No. 37 K/PHI/2006 antara PT. Manuggal Punduh vs Sustiningsih dan Winarki. Metode yang digunakan dalam penulisan skiripsi ini adalah dengan melakukan pendekatan normatif yaitu dengan studi kepustakaan dengan membaca, menafsirkan, mempelajari buku-buku, makalah-makalah, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul ini kemudian di analisis dan dituangkan dalam bentuk tulisan.
Pemutusan Hubungan Kerja yang terjadi disebabkan oleh banyak faktor yaitu mulai dari buruh, pengusaha, hukum maupun oleh pengadilan. Pemutusan Hubungan Kerja karena efisiensi dikategorikan PHK oleh perusahaan/pengusaha. Prosedur dan tata cara penyelesaian pemutusan hubungan kerja diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, namun prosedur pemutusan hubungan kerja oleh karena efisiensi tidak diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Proses penyelesaian PHK karena alasan efisiensi karenanya mengarah pada Undang-Undang No.2 Tahun 2004. Keputusan MA No.37/PHI/2006 antara PT. Manunggal Punduh Sakti Vs Sustingsih terjadi sebelum UU PPHI efektif dipakai sehingga penyelesaiaannya masih melalui P4D, tetapi setelah kasus ini diajukan kasasi ke MA Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 ini sudah berlaku. P4D dan Hakim keliru dalam mengambil putusan, karena PHK sebenarnya terjadi bukan karena efisiensi melihat perusahaan tidak dalam kondisi tutup.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan karunia
yang dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini dengan baik dalam rangka melaksanakan tugas akhir sebagai mahasiswa S1
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan skripsi ini dimaksudkan
sebagai sarana mengembangkan wawasan penulis di bidang hukum pada
umumnya dan di bidang hukum perburuhan pada khususnya serta penerapannya
pada masalah-masalah yang nyata di lapangan.
Adapun judul dari skripsi ini adalah “PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP HAK-HAK PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PHK AKIBAT
EFISIENSI DALAM SUATU PERUSAHAAN (Studi Kasus : Keputusan MA
No. 37 K/PHI/2006 antara PT. Manunggal Punduh Sakti Vs Sustiningsih dan
Winarki).” Dalam penyelesaian tulisan skripsi ini penulis telah banyak menerima
banyak bantuan dari berbagai pihak , maka pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu S.H. M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Unversitas Sumatera Utara.
2. Ibu Suria Ningsih S.H. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum
Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H. M.Hum, selaku Ketua Program
Kekhususan Hukum Perburuhan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
4. Ibu Dr. Agusmidah S.H. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.
5. Bapak dan Ibu Dosen dan sekaligus staf Administrasi di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
6. Istimewa buat kedua orang tercinta, M. Tarigan dan R. br Barus yang telah
mecurahkan segenap kasih dan memberikan dukungan baik moril maupun
materil.
7. Untuk abang dan adik-adik (Roy, Krisman, Lomo, Mitra, Mentari dan
Mega) terima kasih bantuan dan dukungannya.
8. Untuk teman-temanku (Alboin, Ricky, Gading, Satra, Johannes, Berlin,
Chandra, Putra, Prananta, Ivan B.T., Andika, Ivan Sembiring, Torkis,
Nesti, Ivan Stev) terima kasih atas bantuan dan dorongannya daalam
pengerjaan skrisi ini.
9. Buat semua teman stambuk 2007, terima kasih buat segala
kebersamaannya dalam perkuliah di FH USU.
10.Buat teman-teman yang ada di IMKA FH USU juga saya ucapkan terima
kasih buat segala dorongan dan bantuannya.
11.Penulis juga mengucapkan terima kasih buat teman-teman semua di
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih ada kekurangan,
karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman serta refrensi yang penulis miliki.
Untuk itu penulis mengharapkan saran-saran dan kritik demi perbaikan di
masa-masa mendatang.
Medan, Juni 2011
Penulis
Rico Rinaldi Tarigan
DAFTAR ISI
ABSTRAK...i
KATA PENGANTAR... ii
DAFTAR ISI...
v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Perumusan Masalah...7
C. Tujuan Penulisan...8
D. Manfaat Penulisan...9
E. Keaslian Penulisan...9
F. Metode Penulisan...10
1. Metode Penelitian...10
2. Data yang digunakan...10
3. Teknik Pengumpulan Data...11
4. Metode Analisis Data...11
G.Tinjauan Pustaka...12
1. Pengertian PHK...11
2. Landasan Hukum PHK...13
H.Sistematika Penulisan Skripsi...14
BAB II PENGATURAN PHK DENGAN ALASAN EFISIENSI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. PHK Dengan Alasan Efisiensi dalam Peraturan Perundang-undangan...16
B. Alasan Terjadinya PHK...20
1. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha...27
2. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pekerja/buruh...30
3. Pemutusan Hubungan Kerja demi hukum...32
4. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan...35
BAB III TATA CARA/PROSEDUR PENYELESAIAN PHK KARENA ALASAN EFISIENSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL A. Proses Penyelesain PHK karena efisiensi menurut Peraturan Perundang-undangan...37
B. Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja di Luar Pengadilan (Non-Litigasi)...40
1. Penyelesaian Secara Bipartie...40
2. Penyelesaian Melalui Mediasi...42
3. Penyelesaian Melalui Konsolidasi...46
C. Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Keja Melalui Pengadilan (Litigasi)...49
1. Pengajuan Gugatan... 52
2. Tenggang Waktu dan Kadaluarsa... 53
3. Pengembalian dan Penyempurnaan Gugatan... 54
4. Pemeriksaan di Persidangan... 56
5. Pemeriksaan dengan Acara Biasa...56
6. Pemeriksaan dengan Acara Cepat...59
7. Upaya Hukum... 60
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PHK AKIBAT EFISIENSI DALAM SUATU PERUSAHAAN A. Kompensasi Sebagai Hak Normatif Pekerja/buruh...62Peraturan Perundang-undangan... 62
2. Batasan Kompensasi... 63
3. Komponen Kompensasi yang Diberikan Kepada Pekerja/Buruh...66
4. Dasar Perhitungan Kompensasi...69
B. Tinjauan Terhadap Pemberian Hak-hak Pekerja/Buruh dilihat dari Keputusan MA No.37/PHI/2006... 74
1. Resume Kronologis Kasus... 74
2. Pemberian Pesangon Berdasarkan Putusan P4D Jawa Tengah... 75
3. Pemberian Pesangon Berdasakan Putusan MA...77
C. Analisis Kasus Keputusan MA No. 37 K/PHI/2006.. ... 79
1. Pemahaman tentang PHK karena Efisiensi...79
2. Besarnya Uang Pesangon yang Seharusnya Diterima oleh Pekerja/Buruh...84
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 88
B. Saran... 89
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Rico Rinaldi1 Budiman Ginting2
Agusmidah3
1
Rico Rinaldi, selaku Mahasiswa Fakultas Hukum USU 2
Budiman Ginting, selaku Dosen Pembimbing I dan Guru Besar Fakultas Hukum USU 3
Agusmidah, selaku Dosen Pembimbing II
Pemutusan Hubungan Kerja dalam perusahaan kerap menimbulkan masalah, khususnya PHK dengan alasan efisiensi seperti pemberian hak-hak pekerja/buruh sebagai kompensasi PHK. Pengusaha sering memberikan hak-hak pekerja/buruh yang kurang sesuai dan tidak jarang juga pihak pekerja/buruh meminta hak-hak mereka melebihi ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini akan terlihat dalam Keputusan MA No. 37 K/PHI/2006 antara PT. Manuggal Punduh vs Sustiningsih dan Winarki. Metode yang digunakan dalam penulisan skiripsi ini adalah dengan melakukan pendekatan normatif yaitu dengan studi kepustakaan dengan membaca, menafsirkan, mempelajari buku-buku, makalah-makalah, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul ini kemudian di analisis dan dituangkan dalam bentuk tulisan.
Pemutusan Hubungan Kerja yang terjadi disebabkan oleh banyak faktor yaitu mulai dari buruh, pengusaha, hukum maupun oleh pengadilan. Pemutusan Hubungan Kerja karena efisiensi dikategorikan PHK oleh perusahaan/pengusaha. Prosedur dan tata cara penyelesaian pemutusan hubungan kerja diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, namun prosedur pemutusan hubungan kerja oleh karena efisiensi tidak diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Proses penyelesaian PHK karena alasan efisiensi karenanya mengarah pada Undang-Undang No.2 Tahun 2004. Keputusan MA No.37/PHI/2006 antara PT. Manunggal Punduh Sakti Vs Sustingsih terjadi sebelum UU PPHI efektif dipakai sehingga penyelesaiaannya masih melalui P4D, tetapi setelah kasus ini diajukan kasasi ke MA Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 ini sudah berlaku. P4D dan Hakim keliru dalam mengambil putusan, karena PHK sebenarnya terjadi bukan karena efisiensi melihat perusahaan tidak dalam kondisi tutup.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap orang selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhannya.
Untuk mendapatkan biaya hidup seseorang perlu bekerja. Bekerja dapat dilakukan
secara mandiri atau bekerja pada orang lain. Bekerja kepada orang lain dapat
dilakukan dengan bekerja pada negara yang selanjutnya disebut dengan pegawai
atau bekerja pada orang lain (swasta) yang disebut dengan buruh atau pekerja.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan suatu hal yang merupakan
kegiatan yang sangat ditakuti oleh pekerja/buruh yang masih aktif bekerja. Hal ini
karena kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian disusul dengan carut
marutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada banyaknya industri yang
gulung tikar dan tentu saja berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja yang
dilakukan dengan sangat tidak terencana. Kondisi inilah yang menyebabkan orang
yang bekerja pada waktu ini selalu dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan
giliran dirinya diberhentikan dari pekerjaannya yang menjadi penopang hidup
keluarganya.
Faktanya pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena berakhirnya
waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, tidak menimbulkan
karena pihak yang bersangkutan sama-sama telah menyadari bahwa atau
mengetahui saat berakhirnya hubungan kerja tersebut sehingga masing-masing
telah berupaya mempersiapkan diri menghadapi kenyataan itu. Berbeda halnya
dengan pemutusan yang terjadi karena adanya perselisihan, keadaan ini akan
membawa dampak terhadap kedua belah pihak, lebih-lebih yang dipandang dari
sudut ekonomis mempunyai kedudukan yang lemah jika dibandingkan dengan
pihak pengusaha. 4
Dampak krisis moneter 1998 masih dapat dirasakan sampai saat ini.
Banyak perusahaan yang melakukan lock out karena tidak mampu beroperasi
dikarenakan nilai tukar rupiah yang jatuh merosot terhadap dollar. Lock out
merupakan suatu tindakan yang senantiasa berkaitan dengan mogok. Jadi
sebetulnya tidak ada hubungannya dengan pesangon. Kalau ada tindakan-tindakan
dalam sebuah perselisihan, maka senjatanya buruh adalah mogok dan senjata
perusahaan adalah melakukan PHK. Sehingga selama proses lock out terjadi,
perusahaan tetap harus membayar kewajiban-kewajibannya atas buruh.5
Di era globalisasi ini, permasalahan tentang sumber daya manusia dalam
suatu perusahaan menuntut untuk lebih diperhatikan, sebab secanggih apapun
teknologi yang dipergunakan dalam suatu perusahaan serta sebesar apapun modal
yang diputar perusahaan, karyawan dalam perusahaan yang pada akhirnya akan
menjalankannya. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa didukung dengan kualitas
yang baik dari karyawan dalam melaksanakan tugasnya, dengan adanya modal
4
Zaeni Asyhadie, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, PT RajaGrafindo Persada, 2007, Jakarta, hal.177
5
dan teknologi yang canggih mustahil akan membuahkan hasil yang maksimal,
sebab termasuk tugas pokok karyawan adalah menjalankan proses produksi yang
pada akhirnya dapat mencapai keberhasilan perusahaan. Oleh karena itu
konstribusi karyawan pada suatu perusahaan akan menentukan maju mundurnya
perusahaan. Saat menjalankan fungsinya sebagai salah satu elemen utama dalam
suatu sistem kerja, karyawan tidak bisa lepas dari berbagai kesulitan dan masalah.
Salah satu permasalahan yang sedang marak saat ini adalah karena krisis ekonomi
yang terjadi sehingga banyak perusahaan di Indonesia harus melakukan
restrukturisasi. Perusahaan harus mengurangi karyawannya dengan alasan
efisiensi. Kondisi seperti ini diikuti oleh meningkatkanya pemutusan hubungan
kerja (PHK) sehingga setiap karyawan yang tidak mempunyai kompetensi tinggi
harus memikirkan alternatif pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.6
Pertambahan penduduk yang berlangsung di Negara-negara berkembang
cenderung mempertajam kepincangan dalam pembagian pendapatan. Hal ini
disebabkan keluarga-keluarga justru lebih bertambah di antara golongan
masyarakat dengan pendapatan rendah. Selama ini tingkatan kematian di
Negara-negara berkembang pada umumnya berkurang berkat kebijaksanaan kesehatan
umu, akan tetapi tingkata kelahiran tetap konstan. Dalam hubungan ini tingkat
fertilitas atau kesuburan yang tinggi dengan lingkungan sosial ekonomis yang
bersangkutan. Diantara para keluarga yang termasuk golongan yang
berpenghasilan rendah terdapat pandangan dan perasaan bahwa adanya anak kelak
sehingga merupakan jaminan hari tua untuk menunjang kebutuhan orang tua pada
6
hari depan. Jika hal ini terus berlangsung maka kita akan diibaratkan berada dalam
suatu lingkaran yang tak berpangkal. Sebab satu sma lain hanya menambah
cadangan angkatan kerja yang akan menekan tingkat upah tenaga kerja di
sektor-sektor kegiatan ekonomi yang ada. Sehingga akan menimbulkan beban
pengangguran secara terbuka maupun terselebung7
Setelah 65 tahun Republik Indonesia merdeka, pasal 27 tersebut tak
kunjung terwujud. Bukannya semakin sejahtera, semakin lama rakyat semakin
menderita. Petani kehilangan tanah pertaniannya, nelayan kehilangan tangkapan
ikan, kaum miskin kota tergusur dan buruh kehilangan pekerjaannya. Sementara
pemerintah tidak mampu menyediakan pekerjaan yang layak bagi seluruh rakyat.
Akibatnya angka pengangguran tetap tinggi.
.
Bagi Pekerja masalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan
masalah yang kompleks, karena mempunyai hubungan dengan masalah ekonomi
maupun psikologi. Masalah ekonomi karena PHK akan menyebabkan hilangnya
pendapatan, sedangkan masalah psikologi yang berkaitan dengan hilangnya status
seseorang. Dalam skala yang lebih luas, dapat merambat kedalam masalah
pengangguran dan kriminalitas.
Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan cita-cita berdirinya Republik
Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang Undang dasar 1945. Pasal 27
menyebutkan “Setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan”.
7
Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan pasal 164 ayat (3), UU No. 13
Tahun 2003 yang menyatakan bahwa :
“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majuer) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 2 (dua) kali ketentuan pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (3) dan uan pengganti hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4) ”.
Pada praktiknya, penerapan hukum untuk pengakhiran hubungan kerja
dengan alasan tersebut lebih dikenal dengan PHK karena efisiensi. Definisi
efisiensi tidak dijelaskan dalam ketentuan Undang-undang Ketenagakerjaan,
tetapi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “efisiensi” diartikan sebagai
ketetapan cara usaha dalam menjalankan sesuatu dengan tidak membuang waktu,
tenaga, dan biaya.8
Pada saat ini PHK karena alasan efisiensi masih menjadi polemik karena
terdapat dua penafsiran berbeda yang disebabkan karena ketentuan pasal 164 ayat
(3) UU. No. 13 Tahun 2003, dalam praktik peradilan ketentuan pasal yang
mengatur mengenai efisiensi, masih melakukan efisiensi maka perusahaan dalam
kondisi tutup. Namun ada yang menafsirkan bahwa perusahaan tidak perlu tutup
untuk melakukan efisiensi apabila tindakan perubahan tersebut justru dapat
menyelamatkan perusahaan dan sebagian pekerja yang lainnya.9
8
Ferianto & Darmanto ”Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara PHI Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasan Hukum” PT Raja Grafindo Persada, 2010 hal 263.
9
Sehubungan dengan dampak PHK sangat kompleks dan cenderung
menimbulkan perselisihan, maka mekanisme prosedur PHK diatur sedemikian
rupa agar pekerja/buruh telah mendapatkan perlindungan yang layak dan
memperoleh hak-haknya sesuai dengan ketentuan. Perlindungan pekerja tersebut
dalam Bahasa Belanda disebut arbeidsbescherming. Maksud dan tujuan
perlindungan buruh atau perlindungan pekerja adalah agar pekerja dapat
dilindungi dari perlakuan pemerasan oleh pihak pengusaha. Pemerintah sangat
menaruh perhatian terhadap masalah perlindungan pekerja/buruh karena pada
umumnya posisi pekerja masih lemah, sehingga perlindungan kerja dan
kesalamatan kerja akan dapat mewujudkan terpeliharanya kesejahteraan,
kesehatan, kedisplinan pekerja yang berada di bawah pimpinan pengusaha.10
Mengenai perlindungan hak-hak pekerja/buruh ini yaitu apakah pesangon
yang diberikan pengusaha sudah memadai atau belum. Apablia pemberian uang
pesangon sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
tidak ada permasalahan. Tetapi apabila dilihat dari keadaan si buruh, maka ketika
si buruh yang besangkutan mengalami PHK, maka untuk ke depannya buruh
tersebut sudah tidak mendapat pemasukan lagi. Maka disini terlihat bahwa
pesangon bukan merupakan hal utama, melainkan keamanan dalam bekerja, yang
dalam artian bahwa ketika buruh bekerja buruh tersebut merasa khawatir bahwa
sewaktu-waktu dia akan mendapat PHK. Disinilah peranan undang-undang
10
Saiful Anwar, Sendi-sendi Hubungan Kerja Pekerja Dengan Pengusaha,Kelompok
keselamataan Pekerja ini dikelola oleh Bidang Pembiinaan Norma-norma Perlindungan Kerja dalam 3 Sub. Dit Dalam Departemen Tenaga Kerja, yaitu :
a. Pembinaan dan pengawasan Perundang-undangan ; b. Norma-norma Kerja
memainkan peranan penting, yaitu sebagai pelindung buruh. Namun sayangnya
UU Nomor 13 Tahun 2003 sebagai regulasi perburuhan terbaru justru tidak
mampu mengakmodsikan hal ini. Justru undang-undang sebelumnya secara tegas
menyatakan bahwa PHK merupakan hal yang dilarang.
Pada kenyataannya, jangankan untuk memperoleh kehidupan yang layak.
Untuk memperoleh pekerjaan, jaminan hidup ataupun perlindungan masih jauh
dari harapan. Malahan, buruh atau pekerja yang sudah memiliki pekerjaan (walau
ala kadarnya) dalam prakteknya sangat mudah kehilangan pekerjaan dengan cara
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Tetapi tidak jarang dapat kita temukan banyak pekerja/buruh setelah
mereka terkena PHK, pekerja/buruh kadang meminta kepada pihak
pengusaha/perusahaan untuk dibayarkan hak-hak mereka melebihi apa yang diatur
dalam ketentuan yang berlaku. Dengan kondisi inilah yang membuat persoalan
penyelesaian perselisihan PHK sulit diselesaikan.
Maka dalam penulisan skripsi ini akan dibahas mengenai bagaimana
sebenarnya perlindungan hak-hak pekerja/buruh, berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya yaitu dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
B. Perumusan Masalah
Suatu kegiatan penelitian/penulisan untuk menfokuskan permasalahan
yang akan dikaji diperlukan rumusan masalah. Sebab dengan adanya rumusan
tujuan yang ditetapkan. Perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu sebagai
berikut:
1. Bagaimana PHK dengan alasan efisiensi diatur dalam Peraturan
Perundang-undangan ?
2. Bagaimana proses penyelesaian PHK dengan alasan efisiensi menurut
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian perselisihan
hubungan industrial ?
3. Bagaimana Perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja/buruh sebagai
kompensasi PHK dengan alasan efisiensi dilihat dari Keputusan MA No.
37 K/PHI/2006 ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui dimana PHK dengan alasan efisiensi dalam peraturan
perundang-undangan.
2. Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya prosedur/tata cara penyelesaian
Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan efisiensi yang ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja/buruh
sebagai kompensasi PHK ditinjau dari Keputusan MA No.37 K/PHI/2006.
D. Manfaat Penulisan
Secara teoritis, dari hasil pembahasan ini penulis mengharapkan dapat
memperoleh penjelasan tentang Perlindungan hukum bagi buruh/tenaga
kerja yang terkena PHK akibat efisiensi perusahaan. Selain itu penulis
berharap pembahasan ini bermanfaat untuk menambah wawasan penulis
dalam bidang hukum perburuhan.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, kegunaaan dari pembahasan ini adalah sebagai tambahan
bahan kajian bagi perusahaan sehingga dapat memperluas ilmu
pengetahuan, khususnya dalam memberikan perlindungan bagi
pekerja/buruh . Selain itu juga bermanfaat bagi pekerja/buruh pada
umumnya dan mahasiswa pada khususnya yang ingin menegetahui dan
mendalami masalah-masalah ketengakerjaan Indonesia.
E.Keaslian Penulisan
Judul yang penulis pilih adalah “PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP HAK-HAK PEKERJA/BURUH YANG TERKENA PHK
AKIBAT EFISIENSI DALAM SUATU PERUSAHAAN (Studi Kasus :
Keputusan MA No. 37 K/PHI/2006 antara PT. Manunggal Punduh Sakti Vs
Sustiningsih dan Winarki)” yang diajukan penulis dalam rangka memenuhi
tugas dan syarat untuk memperoleh gelar “Sarjana Hukum”. Judul ini belum
pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.Penulisan ini,
membahas lebih terperinci dan spefikasi masalah PHK dengan alasan efisiensi
berbeda halnya dengan tulisan lain yang hanya membahas menyangkut
perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan skripsi
berdasarkan referensi buku-buku, media cetak dan elektronik,. Penulisan
skripsi ini merupakan sebuah karya asli yang berasal dari penulis dan dapat
dipertanggungjawabkan keasliannya.
F. Metode Penulisan
a. Metode Penulisan
Dalam menulis skripsi ini digunakan metode deskriptif yaitu penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan hanya
mengolah dan menggunakan data-data sekunder.
b. Data yang Digunakan
Data sekunder adalah data-data lain yang berhubungan dengan penulisan ,
berupa bahan-bahan pustaka. Fungsi data sekunder untuk mendukung data
primer. Data sekunder yang berkaitan dengan penulisan meliputi:
1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat
kepada masyarakat, yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945,
Undang-undang No. 13 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang
N0. 2 Tahun 2004.
2. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Rancangan
Undang-undang, hasil penelitian atau pendapat pakar hukum.
3. Bahan Hukum Tartier yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dengan bahan
c. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan teknik
pengumpulan data dengan cara Library Research (Penelitian
Kepustakaan). Library Research adalah penelitian melalui perpustakaan
dengan cara membaca,menafsirkan, mempelajari, mentransfer dari
buku-buku, makalah-makalah seminar, Peraturan-peraturan dan bahan
perkuliahan penulis memiliki keterkaitan untuk mendukung terlaksananya
penulisan skripsi ini.
d. Metode Analisis Data
Metode yang dipergunakan untuk menganalisis data adalah analisis
kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis
dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasasn
masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk
skripsi.
G. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian PHK
Dalam kehidupan sehari-hari pemutusan hubungan kerja antara
buruh dengan majikan (pengusaha) lazimnya dikenal dengan istilah PHK
berakhirnya waktu tertentu yang telah disepakati/diperjanjiakn sebelumnya
dan dapat pula terjadi karena adanya perselisihan buruh dan majikan,
meninggalnya buruh atau karena terjadi sebab lainnya.
Beberapa literatur hukum perburuhan tidak satupun kita jumpai
rumusan ataupun defenisi tentang Pemutusan hubungan kerja, namun dari
uraian diatas dapat diartikan bahwa, pemutusan hubungan kerja adalah
langkah pengakhiran hubungan kerja antara buruh (pekerja) dengan
majikan (pengusaha) yang disebabkan karena keaadaan tertentu.11
a. Dengan adanya pemutusan hubungan kerja, bagi buruh telah
kehilangan mata pencaharian.
Dalam praktik, pemutusn hubungan kerja yang terjadi karena berakhirnya
waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian, tidak menimbullan
permasalahan kedua belah pihak (buruh maupun majikan) karena
pihak-pihak yang bersangkutan sama-sama telah menyadari atau mengetahui saat
berakhirnya hubungan kerja tersebut, sehingga masing-masing telah
berupaya telah mempersiapkan diri dalam menghadapi kenyataan itu.
Berbeda halnya dengan pemutusan yang telah nterjadi karena adanya
perselisihan, keadaan ini akan membawa dampak terhadap kedua belah
pihak, lebih-lebih bagi buruh yang dipandang dari sudut ekonomis
mempunyai kedudukan yang lemah jika dibandingkan dengan pihak
pengusaha. Karena pemutusan hubungan kerja bagi pihak buruh akan
memberi pengaruh psikologis, ekonomis, finansial sebab :
11
b. Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya, harus
banyak mengeluarkan biaya (keluar masuk perusahaan disamping
biaya-biaya lain seperti pembuatan surat-surat untuk keperluan
lamaran dan fotocopi surat-surat lainya.)
c. Kehilangan biaya hidup untuk diri dan keluarganya sebelum
mendapat pekerjaan baru sebagai penggantinya.
Sehubungan dengan akibat yang ditimbulkan dengan adanya
pemutusan hubungan kerja itu khususnya bagi buruh dan keluarganya.
Karena itulah pemutusan hubungan kerja ini harus dihindari terjadinya
bahkan jika mungkin ditiadakan sama sekali. 12 2. Landasan Hukum PHK
Sejak bergulirnya tuntutan demokrasi, maka pemerintah telah
melakukan reformasi peratura perundang-undangan ketenagakerjaan
sebagai dasar hukum pemutusan hubungan kerja yaitu ;
Undang-Undang No. 14 Tahun 1969, tentang Pokok-pokok
Ketenagakerjaan, telah diganti dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. UU No. 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian
Perselisihan perburuhan di Perusahaan Swasta, telah diganti dengan UU
No.2 Tahun 2004 tentang penyelesaian Perselisihan hubungan Industrial
yang selanjutnya disebut dengan UU PPHI. Disamping peraturan
perundang-undangan sebagai dasar hukum pemutusan Hubungan Kerja,
12
juga dapat diatur di Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP), dan
Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Dengan lahirnya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial , maka tidak ada lagi pembatasan atau diskrimnasi antara
perusahaan swasta dengan perusahaan milik negara, karena perusahaan
dalam undang-undang ini meliputi :
a. Badan Usaha yang berbadan hukum atau tidak,
b. Milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan
hukum milik swasta atau milik negara.
c. Usaha-usaha sosial atau usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dalam mempekerjakan orang lain dengan membayar
upah ayau imbalan dalam bentuk lain.13 H.Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka akan diberikan gambaran
secara ringkas mengenai uraian dari bab ke bab yang berkaitan satu dengan yang
lainya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :
Bab I Pendahuluan. Pada bab ini digambarkan secara umum tentang latar
belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, metodelogi penelitian, tinjauan
pustaka, sistematika penulisan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan
dibahas dalam skripsi ini.
13
Bab II Pengaturan PHK dengan alasan efisiensi dalam peraturan
perundang-undangan. Pada bab ini dibahas mengenai pengaturan PHK dengan
alasan efisiensi dalam peraturan perundang-undangan, dan apa saja yang menjadi
alasan dan menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yaitu : Pemutusan
Hubungan Kerja yang disebabkan oleh Pengusaha, Pemutusan Hubungan Kerja
yang disebabkan oleh Pekerja/buruh, Pemutusan Hubungan Kerja yang
disebabkan demi hukum, Pemutusan Hubungan Kerja yang disebabkan karena
Pengadilan.
Bab III Tata Cara/Prosedur Penyelesaian PHK menurut Undang – Undang
Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial. Pada bab ini akan dibahas mengenai prosedur penyelesaian
pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi serta prosedur pemutusan
hubungan kerja secara umum baik yang dilakukan diluar persidangan maupun
dilakukan melalui persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial.
Bab IV Perlindungan Hukum Terhadap hak-hak pekerja/buruh yang
terkena PHK akibat efisiensi dalam perusahaan dilihat dari Keputusan MA
No. 37 K/PHI/2006. Dalam bab ini, akan dibahas mengenai pemahaman
pengertian efisiensi dalam perusahaan, analisis kasus putusan MA No.37
BAB II
PENGATURAN PHK DENGAN ALASAN EFISIENSI DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A.PHK dengan Alasan Efisiensi dalam Peraturan Perundang-undangan
PHK dengan alasan efisiensi diatur secara rinci dan jelas dalam
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 dalam Pasal 164 ayat (3) yang menyatakan:
” Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Banyak pihak yang menafsirkan bahwa salah satu alasan yang dapat
digunakan perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerjanya adalah
karena “melakukan efisiensi”. Padahal, sebenarnya Undang-Undang
Ketenagakerjaan sendiri tidak pernah mengenal alasan PHK karena melakukan
efisiensi. Kesalahan penafsiran tersebut mungkin terjadi karena banyak pihak
yang kurang cermat membaca redaksional pada ketentuan yang ada (hanya
sepenggal-sepenggal).14
14
Dengan kondisi ini sering sekali dijadikan celah oleh pihak perusahaan
untuk menghilangkan hak warga negara untuk bekerja sebagaimana dijamin
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Sebab, pekerja dapat setiap saat di-PHK dengan
dalih efisiensi meski tanpa kesalahan dan kondisi perusahaan dalam keadaan
baik sekalipun. “Karena itu, Pasal 164 ayat (3) inkonstitusional.”15
Tanggapan lain menyatakan bahwa tujuan perusahaan melakukan PHK
dengan alasan efisiensi dilatarbelakangi oleh tujuan untung mengurangi beban
perusahaan supaya dapat tetap beroperasi. Sehingga seperti dalam kondisi
krisis global yang mengharuskan pengurangan pekerja, pengusaha tidak perlu
khawatir melakukan PHK karena efisiensi sebab ada alasan hukum pasal 164
ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.
16
Mengenai PHK itu sendiri secara khusus juga diatur dalam UU PPHI
Dengan berlakukan UU PPHI tersebut, Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
(P3) dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun, untuk peraturan pelaksanaan kedua
undang-undang tersebut masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan UU PPHI.17
15
16
Ferianton dan Darmanto, Op.cit hal. 263.
Undang-Undang PPHI, istilah sengketa yang digunakan adalah
perselisihan atau perselisihan hubungan industrial. UU PPHI Pasal 1 angka 1
menyatakan:
“Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.”
Pasal 1 angka 4 UU PPHI menyatakan:
“Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.”
Bahasa yang lebih sederhana atau mudah untuk menggambarkan ketentuan
tersebut, baik pihak pengusaha/perusahaan maupun pekerja berbeda pendapat
mengenai kapan suatu hubungan kerja berakhir. Pihak pengusaha
kadang-kadang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pihak pekerja, tetapi
pihak pekerja merasa dirugikan atas keputusan tersebut karena merasa masih
berhak untuk bekerja.
Undang-undang No.4 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, PHK merupakan atau dapat menjadi salah satu penyebab
Perselisihan Hubungan Industrial. Pada pasal 150 sampai dengan pasal 172
Undang-Undang Ketenagakerjaan dapat diketahui mengenai segala sesuatu
terkait PHK, termasuk salah satunya mengenai alasan-alasan melakukan PHK.
Namun sayangnya banyak pihak yang salah menafsirkan mengenai
alasan-alasan melakukan PHK tersebut, mungkin dikarenakan keterbatasan
Ketenagakerjaan yang banyak disebut mengandung ambiguitas. Salah satu
kesalahan penafsiran yang sering terjadi adalah pada ketentuan pasal 164 ayat
(3) Undang-Undang Ketenagakerjaan, dimana disebutkan “Pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun
berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan
melakukan efisiensi,”.
Hal ini dapat menjadi beban dan tanggung jawab yang berat bagi Divisi
Sumber Daya Manusia/Personalia untuk dapat melakukan PHK karena
efisiensi, tanpa menimbulkan perselisihan hubungan industrial dengan pekerja.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan dan sosialisasi yang efektif dan insentif
kepada pekerja supaya dapat memahami kondisi perusahaaan. Pendekatan
“orang tua” (perusahaan) dan “anak” (pekerja) akan lebih mengena
dibandingkan dengan pendekatan hukum. Namun demikian, pemahaman atas
ketentuan Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan
Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial merupakan syarat mutlak yang harus dipahami sehingga
tidak menjadikan “bom atom” bagi perusahaan karena harus menghadapi
gugatan pekerja di kemudian hari. 18
18
B.Alasan-alasan Terjadinya PHK
Ada sepuluh alasan bagi perusahaan untuk mem-PHK Anda dengan
mengacu kepada Undang-Undang No. 13 tahun 2003.
1. Pekerja/buruh melakukan Kesalahan Berat
Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 158 UU
Ketenagakerjaan inkonstitusional, maka pengusaha tidak lagi dapat
langsung melakukan PHK apabila ada dugaan pekerja melakukan
kesalahan berat. Berdasarkan asas praduga tak bersalah, pengusaha baru
dapat melakukan PHK apabila pekerja terbukti melakukan kesalahan berat
yang termasuk tindak pidana. Atas putusan MK ini, Depnaker
mengeluarkan surat edaran yang berusaha memberikan penjelasan tentang
akibat putusan tersebut.19
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
Pasal 158, ayat 1 berbunyi, "Pengusaha dapat memutuskan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah
melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan,
memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
19
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
g. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
h. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
i. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih."
Jenis kesalahan berat lainnya dapat diatur dalam PP/PKB, tetapi
apabila terjadi PHK karena kesalahan berat (dalam PP/PKB) tersebut,
harus mendapat izin dari lembaga yang berwenang. Demikian juga
sebelum melakukan PHK, harus terlebih dahulu melalui mekanisme yang
ditentukan, misalnya dengan memberi surat peringatan (baik
berturut-turut, atau surat peringatan pertama dan terakhir) untuk jenis kesalahan
berat yang ditentukan PP/PKB.20
1) pekerja/buruh tertangkap tangan;
Namun, perlu kita ketahui bahwa alasan PHK berupa kesalahan
berat yang dimaksud pada Pasal 158, ayat 1 harus didukung dengan bukti
misalnya:
2) ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
20
3) bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang
berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
2. Pekerja/buruh Melakukan Diduga Tindak Pidana
Istilah Tindak Pidana adalah berasal dari kata istilah yang dikenal
dalam Hukum Belanda yaitu “Strafbaar Feit”. Walaupun istilah ini
terdapat dalam WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan
resmi tentang apa yang dimaksud dengan Strafbaar Feit itu. Karena itu
para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu.
Sayangnya sampai kini belum ada keragaman pendapat.21
3. Pekerja/buruh Melakukan Pelanggaran Ketentuan yang diatur dalam
Perjanjian Kerja
Menurut wujud
dan sifatnya, tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan
hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti
bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam
pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan
bahwa perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang anti sosial. Pasal 160,
ayat 1 menyebutkan, "Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang
berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan
pengusaha, "
Pasal 161, ayat 1 menyebutkan, "Dalam hal pekerja/buruh
melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,
21
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang
bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara
berturut-turut." Bila Anda tidak mengindahkan peraturan perusahaan dan
Anda tidak mengindahkan surat peringatan yang diberikan oleh
perusahaan kepada Anda- ini bisa menjadi alasan PHK untuk pekerja.
4. Pekerja/buruh Mengundurkan Diri
Salah satu jenis PHK yang inisiatifnya dari pekerja/buruh adalah
pengakhiran hubungan kerja karena pekerja/buruh mengundurkan diri atas
kemauan sendiri dan dilakukan tanpa penetapan (izin). Syarat yang harus
dipenuhi apabila seorang pekerja/buruh mengundurkan diri agar
mendapatkan hak-haknya dan mendapatkan surat keterangan
kerja/eksperience letter adalah permohonan tertulis harus diajukan
selambat-lambatnya 30 hari sebelum hari h tanggal pengunduran diri. Hal
yang harus dilakukan pekerja/buruh yang mengundurkan diri adalah
sebagai berikut :
1) Pekerja/buruh tidak terikat dalam ikatan dinas.
2) Selama menunggu hari h, pekerja/buruh harus tetap melaksanakan
kewajiban sampai tanggal pengunduran diri dari yang ditentukan.
Hal ini dimaksudkan untuk mempersiapkan pengganti formasi
untuk jabatan dimaskud atau dalam rangka transfer of knowledge.
5. PHK Karena terjadi Perubahan Status, Pengabungan, Peleburan, atau
Apabila terjadi PHK karena terjadi perubahan status,
penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi) atau perubahan
kepemilikan perusahaan (akuisisi), dan pekerja/buruh tidak bersedia
melanjutkan hubungan kerja maka terhadap pekerja/buruh berhak atas
uang pesangon satu kali dan uang pengganti hak. Apabila PHK yang
terjadi disebabkan oleh perubahan status, merger, atau konsolidasi, dan
pengusaha tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja dengan
pekerja/buruh berhak uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa
kerja satu kali, dan uang pengganti hak.
Pasal 163, ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi
peru-bahan status, penggabungan, peleburan, atau peruperu-bahan kepemilikan
perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan
kerja."
6. PHK karena Likuidasi
Pasal 164, ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan
tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus
menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur)"
Kerugian perusahaan yang dimaksud harus dibuktikan dengan laporan
keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
Ini merupakan alasan phk yang sering digunakan. Pasal 164, ayat 3
menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami
kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa
(force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi."
8. Perusahaan mengalami Pailit
Pasal 165 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit,.." Kata
pailit berasal dari bahasa Prancis; failite yang berarti kemacetan
pembayaran.kepailitan diartikan sebagai suatu proses di mana seorang
debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya
dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga,
dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta
debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan
pemerintah. Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan
disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan pailit adalah seseorang yang
oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt, dan yang aktivitasnya atau
warisannya telah diperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya
ngertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar
dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.
Ketidakmampuan tersebut harus disertai suatu tindakan nyata untuk
mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri,
tersebut sebagai bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak
mampu membayar.
Orang sering menyamakan arti pailit ini sama dengan bankrupt
atau bangkrut dalam bahasa Indonesia. Namun, menurut penulis
pengertian pailit tidak sama dengan bangkrut, karena bangkrut berarti ada
unsur keuangan yang tidak sehat dalam suatu perusahaan, tetapi pailit bisa
terjadi pada perusahaan yang keadaan keuangannya sehat, perusahaan
tersebut dipailitkan karena tidak membayar utang yang telah jatuh tempo
dari salah satu atau lebih kreditornya. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini.22
9. Pekerja/buruh Memasuki Usia Pensiun
Pasal 167 ayat 1 menyebutkan, "Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia
pensiun..." Ini merupakan alasan PHK yang normal.
10. Pekerja/buruh Mangkir Selama lima (5) hari berturut-turut
Pasal 168, ayat 1 menyebutkan, "Pekerja/buruh yang mangkir
selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara
tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh
22
pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan
kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri."
C.Faktor-faktor Penyebab Terjadinya PHK
1. Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Perusahaan
Pada umumnya kelangsungan ikatan kerja bersama antara perusahaan
dengan tenaga kerja terjalin apabila kedua belah pihak masih saling membutuhkan
dan saling patuh dan taat akan perjanjian yang telah disepakatinya pada saat
mereka mulai menjalin kerja bersama. Dengan adanya keterikatan bersama antara
para tenaga kerja berarti masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban.
Demikian pula sebaliknya, apablia terjadi PHK berarti manajer tenaga kerja
dituntut untuk memenuhi hak dna kewajiban terhadap tenaga kerja sesuai dengan
kondisi pada saat terjadi kontrak kerja.23
Bagi setiap pekerja/buruh, pengakhiran atau PHK bisa sejauh mimpi
buruk. Setiap pekerja/buruh sedapat mungin mengupayakan agar dirinya tidak
sampai kehilangan pekerjaan. PHK dapat berarti awal dari sebuah penderitaan.
Namun demikian, suka atau tidak suka, pengakhiran hubungan kerja
sesungguhnya adalah sesuatu yang cukup dekat dan sangat mungkin serta wajar
23
terjadi dalam konteks hubungan kerja, hubungan antara majikan (pengusaha)
dengan pekerja/buruh.24
Seseorang pengusaha dalam mengembangkan usahanya selalu
berkeinginan agar perusahaan yang dimlikinya dapat berjalan dengan baik dan
sukses, hal ini bdapat terlaksana apabila produksi barang-barang yang dihasilkan
dapat diminati dan laku terjual dipasaran dengan harga relatif murah dan kualitas
baik. Salah satu keberhasilan yang didapat adalah adanya kerjasama yang baik
antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Kondisi demikian tidak mudah
terlaksana terus-menerus karena setiap pekerja/buruh ada yang patuh dan taat
pada pemimpin dan ada juga yang tidak mematuhi perintah yang diberikan.25
1. Perusahaan mengalami kemunduran sehingga perlu rasionalisasi atau
pengurangan jumlah pekerja/buruh. Dalam hal PHK dengan alasan
rasionalisasi atau kesalahan ringan pekerja/buruh dalam Undang-undanhg
Nomor 13 Tahun 2003 pasal 151 ayat (1) ditentukan bahwa pengusaha,
pekerja/buruh, serikat pekerja/buruh dan pemerintah, berupaya
mengusahakan agar tidak terjadi PHK. Dalam hal, upaya tersebut telah Setiap orang mempunyai tujuan dan motivasi yang berbeda dalam melakukan
pekerjaan. Bagi mereka yang tidak patuh atau menentang perusahaan dapat
diberikan teguran atau sanksi balikan yang lebih tegas diputuskn hubungan
kerjanya.
Secara yuridis dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, PHK oleh
perusahaan disebabkan oleh :
24
Edi Sutrisno Sidabutar, Pedoman Penyelesaian PHK, Jakarta, Praninta Offset, 2007, hal.1 25
dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka maksud PHK wajib
dirundingkan oleh pegusaha dan SP/SB atau dengan pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak menjadi anggota SP/SB.
2. Pekerja/buruh telah melakukan kesalahan, baik kesalahan yang melanggar
ketentuan yang tercantum dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja
atau PKB (kesalahan ringan), maupun kesalahan pidana (kesalahan berat).
Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya karena alasan telah
melakukan kesalahan berat hanya dapat memperoleh uang pengganti hak.
Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan rasionalisasi atau
kesakahan ringan pekerja/buruh dalam undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 dalam pasal 151 ayat 1 ditentukan bahwa pengusaha, pekerja/buruh,
serikat pekerja/buruh dan pemerintah dengans egala upaya harus
megusahakan agar jangan terjadi PHK. Apabila uapay tersebut telah
dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka maksud PHK wajib
dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau
dengan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh.
Apabila perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan,
pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh
setelah memperoleh penetapan dari lembaga PPHI yang dalam UU PPHI.
Permohonan penetapan PHK diajuakn secara tertulis kepada PHI disertai
dengan alasan yang menjadi dasarnya. Permohonan tersebut akan diterima
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh, apabila pekerja/buruh
yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
Selama putusan PHI belum ditetapkan, baik penugsaha maupun
pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya, atau
pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang
sedang dalam proses PHK dengan tetap wajib membayar upah beserta
hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
2. Pemutusan Hubungan Kerja karena Pekerja/Buruh
Pekerja/buruh sebagai manusia merdeka berhak memutuskan hubungan
kerja dengan cara mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Kehendak untuk
mengundurkan diri ini dilakukan tana penetapan oleh Lembaga Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. Hak untuk mengundurkan diri melekat pada
setiap pekerja/buruh karena pekerja/buruh tidak boleh dipaksa untuk bekerja
bila tiba ia sendiri tidak menghendakinya.26
Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan PHK kepada lembaga
PPHI,dalam hal pengusaha melakukan perbuatan:
Pekerja/buruh berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan pihak
pengusaha, karena pada prinsipnya pekerja/buruh tidak boleh dipaksa untuk
terus-menerus bekerjasama apabila ia sendiri tidak menghendakinya. Dengan
demikian PHK oleh pkerja /buruh ini,yang aktif untuk meminta diputuskan
hubungan kerjanya adalah pekerja/buruh tersebut.
27
1. Menganiaya,menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
26
Maimun, “Hukum Ketengakerjaan Suatu Pengantar” Pradnya Paramita,Jakarta,2007,hal.100 27
2. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan
yang bertemtangan dengan peraturan perundang-undangan;
3. Tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga)
bulan berturut-turut atau lebih;
4. Tidak melakukan kewajiban yang telah di janjikan kepada pekerja/buruh;
5. Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan diluar yang
diperjanjikan; atau
6. Memberikan pekerjaan yang membahayakna jiwa, keselamatan, kesehatan
atau kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak
dicantumkan pada perjanjian kerja.
Pekerja/buruh dapat mengakhiri hubungan kerja dengan melakukan
pengunduran diri atas kemauan sendiri tanpa perlu meminta penetapan dari
lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan memperoleh uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 Ayat 4. Selain uang penggantian hak, pekerja/buruh diberikan
uang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja,peraturan
perusahaan atau PKB. Pekerja atau buruh yang mengundurkan diri tersebut harus
memenuhi syarat:28
1. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
2. Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
3. Tetap melaksanakan kewajiban sampai tanggal mulai pengunduran diri.
28
Pekerja/buruh yang mengundurkan diri tersebut berhak atas uang
pengganti hak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bagi
pekerja/buruh yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha
secara langsung,selain menerima uang pengganti hak diberikan pula uang pisah
yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.29
3. Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum
Selain PHK oleh pengusaha, pekerja/buruh , hubungan kerja juga dapat
putus atau berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja tersebut harus putus
dengan sendirinya. Pekerja /buruh tidak perlu mendapatkan penetapan PHK
dari lembaga yang berwenang. PHK demi hukum adalah pemutusan hubungan
kerja yang terjadi dengan sendirinya sehubungan dengan berakhirnya jangka
waktu perjanjian yang dibuat oleh majikan dan buruh. PHK demi hukum
terjadi apabila karena satu alasan dan lain hal hubungan kerja oleh hukum
dianggap sudah tidak ada dan oleh karena itu tidak ada alas hak yang cukup
dan layak bagi salah satu pihak untuk menuntut pihak lainya guna tetap
mengadakan hubungan kerja.
Karena itulah pemutusan hubungan kerja terjadinya bukan karena
sebab-sebab tertentu bak yang datangnya dari pihak buruh maupun majikan, pasal
1603e Perdata menyebutkan :
29
“Perhubungan kerja berakhir demi hukum, dengan lewatnya waktu yang
ditetapkan dalam persetujuan maupun reglement atau dalam ketentuan
undang-undang atau lagi maijkan itu tidka ada oleh kebiasaan ”.
Demikian juga dalam pasa 12 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
PER-05/MEN/1986 tentang kesepakatan kerja untuk waktu tertentu dikatakan :
“Kesepakatan kerja untuk waktu tertentu berakhir demi hukum dengan
berakhirnya waktu yang ditentukan dalam kesepakatan kerja atau dengan
selesainya pekerjaan yang disepakatinya”
Meskipun pemutusan hubungan kerja itu terjadi dengan sendirinya namun
para pihak dapat memperjanjikan untuk mengadakan pemberitahuan apabila
perjanjian kerja itu berakhir. Pemberitahuan ini nantinya dapat diikuti dan
ketentuan apakah perjanjian kerja/hubungan kerja itu akan diakhiri atau tidak.30
Selain dapat terjadi karena berakhirnya jangka waktu perjanjian,
pemutusan hubungan kerja/perjanjian kerja demi hukum ini juga dapat terjadi
karena meninggalnya pekerja (pasal 160 3e KUHPerdata jo. Pasal 13 Peraturan
Menteri Tenaga Kerja No. PER-05/PEN/1986). Ketentuan pasal ini dapat
dimengerti karena sesuai dengan asas hukum perjanjian yang oleh Soebekti
disebut sebagai asas kepribadian. Seperti yang disimpulkan dari ketentuan
pasal 1331 KUHPerdata yang menentukan bahwa ssorang hanya dapat
mengikatkan diirnya sendiri. Akan tetai jika yang meninggal dunia itu adalah
majikan/pengusaha, maka hubungan kerjanya tidak putus atau berakhir (pasal
3030
1603 KUHPerdata jo. Pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
PER-05/PEN/1986 ). 31
1. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri berhak
memperoleh uang penggantian hak dan juga diberikan uang pisah
yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau PKB; PHK demi hukum dapat terjadi dalam hal:
2. PHK dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan
tanpa mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial;
3. Perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan
kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan
hubungan kerja;
4. Perusahaan tutup, dimana perusahaan mengalami kerugian secara
terus-menerus selama 2(dua) tahun sehingga terpaksa harus ditutup
atau keadaan memaksa (force majeur), pengusaha dapat melakukan
PHK;
5. Pengusaha juga dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan bermaksud hendak melakukan efisiensi. Dalam hal
31
rasionalisasi ini, pekerja/buruh yang akan diputuskan hubungan
kerjanya, harus diperhatikan:
a.Masa kerja;
b.Loyalitas; dan
c.Jumlah tanggungan keluarga.
6. Pengusaha dapat melakukan PHK tehadap pekerja/buruh karena
perusahaan pailit;
7. Dalam hal hubungan kerja berakhir, karena pekerja/buruh meninggal
dunia;
8. Pengusaha dapat melakukan PHK tehadap pekerja/buruh karena
memasuki usia pensiun;
9. Pekerja/buruh mangkir(tidak masuk kerja) selama 5 (lima) hari kerja
atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang
dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh
pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus
hubungan kerjanya karena dikualifikaikan mengundurkan diri.
Keterangan tertulis dengan bukti yang sah tersebut harus diserahkan
paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh tidak masuk kerja;
10.PHK oleh pekerja/buruh, meskipun dalam praktik, PHK oleh
pekerja/buruh sangat jarang atau bahkan tidak mungkin ada, namun
yuridis Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, PHK oleh
pekerja/buruh ini dimungkinkan.
Pengusaha harus berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari
terjadinya PHK. Upaya-upaya yang dapat dilakukan pengusaha untuk
menghindari PHK dapat berupaa pengaturan waktu kerja, penghematan
(efisiensi), pembenaran metode kerja, dan pembinaan kepada pekerja/buruh.
Pembinaan dapat dilakukan kepada pekerja/buruh yang melanggar ketentuan yang
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanian kerja bersama
dengan cara memberi surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga. Masing-masing
surat peringatan tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan kecuali ditentukan lain
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Apabila segala upaya telah dilakukan tetapi PHK tetap tidak dapat
dihindarkan, maksudnya PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dengan serikat
pekrja/bruhatau apabila pekerja/buruh bersangkutan tidak menjadi anggota serikat
pekerja/buruh, perundingan dapat dilakukan dengan pekerja/buruh secara
langsung. Apabila perundingan yang dilakukan tidak menghasilkan kesepakatan
maka pengusaha mengajuakn permohonan penetapan PHK secara tertulis kepada
lembaga penyelesaian hubungan industrial (PPHI) disertai alasan yang menjadi
dasarnya.32
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial setelah menerima
permohonan PHK akan memanggil para pihak untuk dimintai keterangan di muka
persidangan. Berdasarkan pembuktian yang dilakukan dalam persidangan,
lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menetapkan keputusan
yang berisi menolak dan mengabulkan PHK yang diajukan. Apabila lembaga
32
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menolak permohonan PHK maka
terhadap pekerja/buruh bersangkutan harus tetap dipekerjakan. Apabila
permohonan PHK dikabulkan maka hubungan kerja putus terhitung sejak
penetapan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.33
A.Proses Penyelesaian PHK karena efisiensi menurut Peraturan
Perundang-undangan
BAB III
TATA CARA/PROSEDUR PENYELESAIAN PHK KARENA ALASAN EFISIENSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004
TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan karena
efisiensi tidak secara rinci diatur dalam UU PPHI. Sehingga proses atau prosedur
penyelesaian PHK dengan alasan efisiensi ini tetap dilakukan dengan ketentuan
yang diatur dalam UU PPHI.
Dengan diundangkan UU PPHI tersebut, maka UU Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan UU Nomor 12 Tahun 1964
tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta dinyatakan tidak
berlaku lagi sehingga penyelesaian masalah hubungan industrial yang terjadi sejak
diberlakukannya UU PPHI harus mengacu pada ketentuan yang telah diatur dalam
undang-undang ini.
33
Penyelesaian Perselisihan pemutusan kerja dengan alasan efisiensi yang
terjadi pada Keputusan MA No.36/PHI/2006, sebelum diajukan kasasi ke
Mahkamah Agung masih menggunakan Undang-Undang No.22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Didalam produk
Perundang-undangan ini memberikan jalan penyelesaian sengketa buruh lebih di titik
beratkan pada musyawarah mufakat antara buruh dan majikan melalui Lembaga
Bepartie, dan bila tidak terselesaikan dapat dilanjutkan ke Lembaga Tripartie, dan
seterusnya dapat dilanjutkan ke Pengadilan P4D dan P4P.
Ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 berlaku
setelah pihak penggugat (pengusaha) mengajukan permohonan kasasi ke
Mahkamah Agung tepatnya pada tanggal 27 Juni 2006. Dengan berlakunya
undang-undang ini maka Hakim Agung menyatakan putusan P4D Jawa Tengah
tidak perlu dicantumkan lagi.
Perselisihan pemutusan hubungan kerja termasuk pemutusan hubungan
kerja dengan alasan efisiensi menurut UU PPHI wajib diupayakan
penyelesaiannya terlebih dahulu melalui musyawarah untuk mufakat yaitu melalui
perundingan bipartit. Apabila usaha penyelesaian melalui bipartit gagal maka
dilakukan usaha penyelesaian melalui tripartit yaitu dengan jalan mediasi dan
konsolidasi. Jika usaha penyelesaian melalui tripartie juga menemui kegagalan,
para pihak baru dapat menruskan perselisihannya melalui jalur litigasi yaitu
dengan cara menggugat pihak lain ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Perselisihan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan
mengenai PHK yang dilakukan. Sebelumnya pengaturan mengenai penyelesaian
PHK diatur dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1964 yang prosedur
penyelesaianya cukup panjang serta memakan waktu yang cukup lama, yaitu
mulai dari tingkat kota P4D, P4P, sampai Menteri Tenaga Kerja dan terakhir ke
Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang
N0. 5 Tahun 1986. Jalan yang harus ditempuh oleh para pihak untuk mencari
keadilan semakin panjang. 34
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial selama ini dirasa tidak dapat lagi
mengakomodasi perkembangan-perkembangan yang terjadinya khususnya
mengenai hak-hak pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi untuk
menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial. Selain itu dengan
ditetapkannya Panitia Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) sebagai objek objek
Sengketa Tata Usaha Negara, maka jalan yang harus ditempuh baik oleh pihak
pekerja/buruh maupun oleh pengusaha (perusahaan) untuk mencari keadilan
menjadi semakin panjang.35
34
Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Medan, USU Press, 2010, hal. 166.
35
Lihat Penjelasan umum atas UU PPHI
Sehingga belum dapat mewujudkna penyelesaian
secara sederhana, cepat, adil dan biaya ringan. Dengan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut dikeluarkanlah UU PPHI yang dianggap dapat
mengakomodir perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam penyelesaian
Pelaksanaanya sering kali pengusaha harus menghadirkan para manajer ke
persidangan untuk memberikan kesaksian tentang kondisi perusahaan dan
langkah-langkah yang harus ditempuh untuk menyelematkan perusahaan, yang
sering kali kesaksian tersebut oleh hakim dianggap tidak bernilai hukum karena
keterangan diberikan tidak dibawah sumpah. Majelis hakim yang masih
berkenaan mendengarkan saksi tanpa disumpah umumnya, memahami bahwa
perselisihan antara pengusaha dengan pekerja sehingga tidak mungkin
mengharapkan keterangan saksi dari pihak luar.
B.Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja di Luar
Pengadilan (Non-Litigasi)
1. Penyelesain Secara Bipartie
Pasal 3 UU PPHI menentukan bahwa setiap perselisihan hubungan
industrial wajib diupayakan penyelesaian terlebih dahulu melalui
perundingan bipartie secara musyawarah untu mufakat. Penyelesaian
perselisihan melalui bipartie harus mampu diselesaikan paling lama tiga
puluh hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila jangka
waktu tiga puluh hari para pihak menolak untuk berunding atau telah
dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, perundingan
bipartie dianggap gagal.36
36
Zaeni Asyhadie, Op.cit, hal.149
Apabila perundingan mencapai mencapai
persetujuan atau kespakatan maka persetujan bersama (PB) tersebut
dicatatkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), namun apabila