KEDUDUKAN PERJANJIAN PERKAWINAN DAN AKIBAT
HUKUMNYA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI
HUKUM ISLAM
TESIS
Oleh
FITRIANTY CHUZAIMAH
057011032/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KEDUDUKAN PERJANJIAN PERKAWINAN DAN AKIBAT
HUKUMNYA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI
HUKUM ISLAM
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
FITRIANTY CHUZAIMAH
057011032/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : KEDUDUKAN PERJANJIAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM Nama Mahasiswa : Fitrianty Chuzaimah
Nomor Pokok : 057011032 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua
(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum) (Dr.Drs.Ramlan Yusuf Rangkuti,MA) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B.MSc)
Telah diuji pada
Tanggal : 9 Agustus 2007
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, CN, MS Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum 2. Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA
ABSTRAK
Dengan perkembangan zaman yang semakin pesat dan modem telah mempengaruhi cara berpikir manusia menjadi kritis sehingga perkawinan yang sakral dan suci dapat ternoda dengan adanya suatu perjanjian perkawinan." Perjanjian perkawinan sebenarnya berguna untuk acuan jika suatu saat timbul konflik. Meski semua pasangan tentu tidak mengharapkan konflik itu akan datang. Ketika pasangan hams bercerai, perjanjian itu juga bisa dijadikan rujukan sehingga masing-masing mengetahui hak dan kewajibannya. Perjanjian kawin atau pernikahan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 139, sebenarnya merupakan persetujuan antara calon suami dan istri, untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Jadi, perjanjian kawin dapat diadakan baik dalam hal suami-istri akan kawin campur harta secara bulat, maupun dalam hal mereka memperjanjikan adanya harta yang terpisah, artinya adanya harta diluar persatuan. Lembaga hukum perjanjian kawin, pada dasarnya adalah lembaga dari hukum perdata barat. Namun pada saat ini, lembaga tersebut semakin diterima oleh kita sejaian dengan kemajuan ekonomi dan pembangunan pada umumnya, serta paham induvidulisme yang mulai merasut dalam kehidupan kita. Lembaga tersebut akhirnya merupakan suatu kebutuhan hukum bagi masyarakat Indonesia.
Untuk membahas permasalahan tersebut, penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan yuridis normatif. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah kota Medan, Data yang diambil adalah sekunder dan melalui data kepustakaan dan didukung dengan pedoman wawancara.
meningkatkan penyuluhan hukum terhadap masyarakat akan manfaat dari dibuatnya perjanjian perkawinan sebelum pernikahan, agar masyarakat mengetahui ffingsi dari perjanjian perkawinan yaitu dapat memberikan kesejahteraan dalam keluarga dan anak, dan kepada pasangan yang ingin menikah sebaiknya benar-benar berfikir dengan baik dan apabila dirasa baik buatlah perjanjian perkawinan untuk menghinadari terjadinya sengketa dikemudian hari apabila ada perceraian.
Kata kunci : Perjanjian perkawinan; Akibat hukum
ABSTRACT
The more progressively advance of time and modernization have influenced on thinking pattern of human beings to become more critical by which a sacral and holy marriage may be contamined by a marital contract. The marital contract is actually helpful for a reference when a conflict occurs. Even though all the couples, of course, will never expect the occurrence of conflict, however, when they divored, the contract also may be a reference so that the parties may recognize their individual right and obligation. Marital contract according to the Civil Code in the article 139 is actually an agreement or consensus between the applicant of brideroom and bride. Thus, a marital contract can be made either in the case of the couple would marry under the joint property or in the case of they make a promise to separate their individual property, meaning that there is a property out of the unity. Legal Institution of Marital Contract actually comes from western civil code. However, nowadays. the institution has been accepted by us in compliance with the progress in economy and development in general and the individualism started to affect our life. The institution at the last is a legal requirement for Indonesian society.
To discuss the problem above, this study was made in descriptive using a juridical normative approach. The location of the study was in Medan. The collected
data included secondary by library research and even supported by interview. The result of the study showed that a marital contract is an agreement made by the applicants of brideroom and bride prior to their marriage. The contract reveals property. The type of such a contract is in written made in the presence of the Marital Registrar Official.
The role of notary in preparation of the marital contract is significantly required due to the contract govern various things especially in property. The marital contract is stipulated in the clause between husband and wife that there is nothing an incorporation of property according to laws, and even the incorporation of profit and lost, return and interest are confirmly excluded. The legal consequence resulting from the marital contract include if in next time, they would divorce or one of them dye, the marital contract will facilitate division of property without result in a conflict or even dispute that may destruct the couple relationship. Based on the description and discussion, some suggestions may be assumed; It is suggested that the Government and the makers of the laws to make a more specific rule governing the marriage and implement a more confirm sanction for any party who break it. It is suggested also that legal practitioners especially notaries to improve legal promotion for the society about the importance of sucha marital contract prior to the marriage that they know functions of the marital contract designed to make any family and children welfare and the partners who want to marry should think carefuly and if necessary to make a marital contract to avoid possible conflict or dispute if a divorce occurs.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang dengan berkat
dan rahmat dan hidayah-Nyalah penelitian ini dengan judul "Kedudukan perjanjian
perkawinan dan akibat hukumnya ditinjau dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawian dan Kompilasa Hukum Islam (Studi pada kota Medan)", telah dapat diselesaikan.
Shalawat dan salam disampaikan kepangkuan Nabi Besar Muhammad SAW,
yang telah mengantarkan umat manusia dari alam kebodohan ke alam yang penuh
dengan ilmu pengetahuan.
Ucapan terima kasih, penulis sampaikan kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara yang amat terpelajar Bapak Prof. dr.
Chairuddin P. Lubis, DTM dan H. Sp. A (K), para pembantu Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Yang amat terpelajar Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, beserta para
wakil direktur , Staf serta seluruh jajarannya.
3. Ketua Program S2 Magister Kenotariatan yang amat terpelajar Bapak Prof.
Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, dan sebagai ketua komisi
pembimbing, yang telah memberikan perhatian yang terbaik dalam melakukan
bimbingan dalam upaya menyelesaikan penelitian ini pada Sekolah
4. Yang amat terpelajar Bapak Prof Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum sebagai
dosen Pembimbing, walaupun ditengah-tengah kesibukan beliau, namun tetap
memberikan perhatian dan bantuan, baik yang diterima melalui materi
perkuliahan maupun bahan-bahan lainnya, dan melakukan bimbingan
dengan penuh disiplin baik secara langsung maupun tidak langsung kepada
penulis dalam rangka menyelesaikan tesis
5. Yang amat terpelajar Bapak Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA, sebagai
Anggota Pembimbing, yang telah membimbing dengan penuh perhatian dan
kesabaran, walaupun ditengah-tengab kesibukan beliau sebagai Notaris dan
selalu memberikan motifasi dan dorongan untuk menyelesaikan tesis ini.
6. Yang amat terpelajar Bapak Notaris Syaril Sofyan, SH, MKn, sebagai
Dosen Penguji, yang telah membimbing dengan penuh perhatian dan
kesabaran, walaupun ditengah-tengah kesibukan beliau sebagai Notaris dan
selalu memberikan motifasi dan dorongan untuk menyelesaikan tesis ini.
7. Yang amat terpelajar bapak Notaris Safnil gani, SH, M.Hum, sebagai
penguji mulai dari tahap proposal tesis yang selalu memberikan arahan dan
petunjuk dalam penyempumaan tesis ini hingga selsainya tesis ini.
8. Bapak Ismail,Marahutan Hasibuan, Hamid Yani Ahmad Nst, dan bapk H.
Harahap, selaku pegawai masing-masing kantor Urusan Agama di kota
Medan dan bapak Sofyan pegawai Pengadilan Agama di Kota Medan yang
telah banyak memberikan bantuan dan data yang diperlukan dalam penelitian
9. Kepada bapak Kamil selaku kepala bagian kantor urusan agama Departemen
Agam kota Medan yang telah banyak memberikan bantuan dan data yang
diperlukan dalam penulisan teses ini.
10. Terima kasih juga kepada teman-teman penulis, Arfiani Nurafni, Husnul
Rozannah Lubis, Eni Gussetiawati, Desi Helfira, Cut Indri Hapsari, Rafikavi
Bachtiar, Yunita Hasibuan dan rekan-rekan Magister Kenotariatan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang tidak dapat disebutkan satu
persatu, yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan tesis ini.
11. Terima kasih kepada para Staf dan Pegawai Magister Kenotariatan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah melayani penulis dengan
baik.
12. Teristimewa ucapan terima kasih kepada suami tercinta Ir. Zulkarnain yang
telah memberikan dukungan dan motivasi serta doa yang tak henti-hentinya
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan kuliah tepat pada waktunya,
dan juga kepada anakku tersayang Novia Nabilah Zulfianty dan Zahra
Zafirah Zuhairanty. Tak lupa ucapan terima kasih kepada ayahanda H.T. Edy Fahrizal dan ibunda Hj. Juniar, dan juga bapak mertua (Alm) Afifuddin dan ibu Hj. Juraidah Nst karena berkat doa dan dorongannya
penulis bisa melanjutkan pendidikan ke S2 (strata dua).
Medan, Juli 2007 Penulis
RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
Nama : Fitrianty Chuzaimah
Tempatiranggal Lahir : Rantau Prapat/20 September 1976
Status : Menikah
Alamat : Sumatera Utara
II. Keluarga
Nama suami : Ir. Zulkarnain
Nama anak : 1. Novia Nabilah Zulfianty
2. Zahra Zafira Zuhairanty
Nama ayah : H. T. Edy Fahrizal
Nama ibu : Hj. Juniar
Nama ayah mertua : (Alm.) Afifuddin
Nama ibu mertua : Hj. Juraidah Nasution
III. Pendidikan
SD Perguruan Panglima Polem Rantau Prapat :
1983-1989
SMP Madrasah Tsanawiyah Negeri Rantau Prapat :1989-1992
SMU Al-Azttar Medan :1992-1995
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B.Perumusan Masalah ... 6
C.Tujuan Penelitian ... 7
D .Manfaat Penelitian ... 7
E.Keaslian Penelitian ... 8
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 9
1. Kerangka Teori ... 9
2. Konsepsi ... 14
G. Metode Penelitian ... 19
BAB II KEDUDUKAN PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 ... 24
A. Tinjauan Perjanjian perkawinan Dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan... 24
C. Kedudukan Perjanjian Perkawinan yang Dilakukan Calon Suami /Isteri ... 62
BAB III KEDUDUKAN PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM... 68
A. Tugas dan Wewenang Notaris ... 68
B. Peranan Notaris dalam membuat Akta Perjanjian Perkawinan ....
73
BAB IV AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN ... 84 A. Penerapan Hukum Terhadap Penyelesaian Harta Bersama ... 84
B. Akibat Hukum yang Timbul Dari Perjanjian Perkawinan .... 86
BAB V KESIMIPULAN DAN SARAN ... 96 A. Kesimpulan ... 96
B. S a r a n . . . 9 7
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
ABSTRAK
Dengan perkembangan zaman yang semakin pesat dan modem telah mempengaruhi cara berpikir manusia menjadi kritis sehingga perkawinan yang sakral dan suci dapat ternoda dengan adanya suatu perjanjian perkawinan." Perjanjian perkawinan sebenarnya berguna untuk acuan jika suatu saat timbul konflik. Meski semua pasangan tentu tidak mengharapkan konflik itu akan datang. Ketika pasangan hams bercerai, perjanjian itu juga bisa dijadikan rujukan sehingga masing-masing mengetahui hak dan kewajibannya. Perjanjian kawin atau pernikahan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 139, sebenarnya merupakan persetujuan antara calon suami dan istri, untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Jadi, perjanjian kawin dapat diadakan baik dalam hal suami-istri akan kawin campur harta secara bulat, maupun dalam hal mereka memperjanjikan adanya harta yang terpisah, artinya adanya harta diluar persatuan. Lembaga hukum perjanjian kawin, pada dasarnya adalah lembaga dari hukum perdata barat. Namun pada saat ini, lembaga tersebut semakin diterima oleh kita sejaian dengan kemajuan ekonomi dan pembangunan pada umumnya, serta paham induvidulisme yang mulai merasut dalam kehidupan kita. Lembaga tersebut akhirnya merupakan suatu kebutuhan hukum bagi masyarakat Indonesia.
Untuk membahas permasalahan tersebut, penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan yuridis normatif. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah kota Medan, Data yang diambil adalah sekunder dan melalui data kepustakaan dan didukung dengan pedoman wawancara.
meningkatkan penyuluhan hukum terhadap masyarakat akan manfaat dari dibuatnya perjanjian perkawinan sebelum pernikahan, agar masyarakat mengetahui ffingsi dari perjanjian perkawinan yaitu dapat memberikan kesejahteraan dalam keluarga dan anak, dan kepada pasangan yang ingin menikah sebaiknya benar-benar berfikir dengan baik dan apabila dirasa baik buatlah perjanjian perkawinan untuk menghinadari terjadinya sengketa dikemudian hari apabila ada perceraian.
Kata kunci : Perjanjian perkawinan; Akibat hukum
ABSTRACT
The more progressively advance of time and modernization have influenced on thinking pattern of human beings to become more critical by which a sacral and holy marriage may be contamined by a marital contract. The marital contract is actually helpful for a reference when a conflict occurs. Even though all the couples, of course, will never expect the occurrence of conflict, however, when they divored, the contract also may be a reference so that the parties may recognize their individual right and obligation. Marital contract according to the Civil Code in the article 139 is actually an agreement or consensus between the applicant of brideroom and bride. Thus, a marital contract can be made either in the case of the couple would marry under the joint property or in the case of they make a promise to separate their individual property, meaning that there is a property out of the unity. Legal Institution of Marital Contract actually comes from western civil code. However, nowadays. the institution has been accepted by us in compliance with the progress in economy and development in general and the individualism started to affect our life. The institution at the last is a legal requirement for Indonesian society.
To discuss the problem above, this study was made in descriptive using a juridical normative approach. The location of the study was in Medan. The collected
data included secondary by library research and even supported by interview. The result of the study showed that a marital contract is an agreement made by the applicants of brideroom and bride prior to their marriage. The contract reveals property. The type of such a contract is in written made in the presence of the Marital Registrar Official.
The role of notary in preparation of the marital contract is significantly required due to the contract govern various things especially in property. The marital contract is stipulated in the clause between husband and wife that there is nothing an incorporation of property according to laws, and even the incorporation of profit and lost, return and interest are confirmly excluded. The legal consequence resulting from the marital contract include if in next time, they would divorce or one of them dye, the marital contract will facilitate division of property without result in a conflict or even dispute that may destruct the couple relationship. Based on the description and discussion, some suggestions may be assumed; It is suggested that the Government and the makers of the laws to make a more specific rule governing the marriage and implement a more confirm sanction for any party who break it. It is suggested also that legal practitioners especially notaries to improve legal promotion for the society about the importance of sucha marital contract prior to the marriage that they know functions of the marital contract designed to make any family and children welfare and the partners who want to marry should think carefuly and if necessary to make a marital contract to avoid possible conflict or dispute if a divorce occurs.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuai dengan kodratnya manusia mempunyai naluri untuk tetap
mempertahankan generasi atau keturunannya. Dalam hal ini tentunya hal yang tepat
untuk mewujudkannya adalah dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan
merupakan satu-satunya cara untuk membentuk keluarga, karena perkawinan ini
mutlak diperlukan sebagai syarat terbentuknya sebuah keluarga.
Sebuah perkawinan dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih
mengasihi antara kedua belah pihak suami dan istri, yang senantiasa diharapkan
berjalan dengan baik, kekal dan abadi yang didasarkan kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa, hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri. Menurut
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia,berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Keluarga yang baik, bahagia lahir dan batin adalah dambaan setiap insan,
namun demikian tidaklah mudah untuk mewujudkan sebuah keluarga yang bahagia,
langgeng, aman dan tentram sepanjang hayatnya. Perkawianan yang demikian itu
tidaklah mungkin terwujud apabila diantara para pihak yang mendukung pelaksanaan
rumah tangga yang kekal dan abadi. Disamping itu perkawinan juga ditujukan untuk
waktu yang lama, dimana pada prinsipnya perkawinan itu akan dilaksanakan hanya
satu kali dalam kehidupan seseorang.
”Dengan perkembangan zaman yang semakin pesat dan modern telah
mempengaruhi cara berpikir manusia menjadi kritis sehingga perkawinan yang sakral
dan suci dapat ternoda dengan adanya suatu perjanjian perkawinan.”1 Perjanjian
perkawinan sebenarnya berguna untuk acuan jika suatu saat timbul konflik. Meski
semua pasangan tentu tidak mengharapkan konflik itu akan datang. Ketika pasangan
harus bercerai, perjanjian itu juga bisa dijadikan rujukan sehingga masing-masing
mengetahui hak dan kewajibannya.
Perjanjian kawin atau pernikahan menurut Kitab Undang-undang Hukum
Perdata Pasal 139, sebenarnya merupakan persetujuan antara calon suami dan istri,
untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Jadi, perjanjian
kawin dapat diadakan baik dalam hal suami-istri akan kawin campur harta secara
bulat, maupun dalam hal mereka memperjanjikan adanya harta yang terpisah, artinya
adanya harta diluar persatuan.
Dalam hal mereka kawin dengan persatuan harta secara bulat, maka yang
diperjanjikan adalah pengelolaannya. ”Perjanjian kawin adalah perjanjian yang
diadakan oleh bakal/calon suami/istri dalam mengatur (keadaan) harta benda atau
1
kekayaan sebagai akibat dari perjanjian mereka.”2 Dengan demikian, perjanjian
kawin perlu kalau calon suami istri pada saat akan menikah memang telah
mempunyai harta atau selama perkawinan di harapkan didapatnya harta. Perjanjian
kawin di Indonesia tidak begitu populer, karena mengadakan suatu perjanjian
mengenai harta antara calon suami dan isteri, mungkin dirasakan banyak orang
merupakan hal yang tidak pantas, bahkan dapat menyinggung perasaan.
Lembaga hukum perjanjian kawin, pada dasarnya adalah lembaga dari hukum
perdata barat. Namun pada saat ini, lembaga tersebut semakin diterima oleh kita
sejalan dengan kemajuan ekonomi dan pembangunan pada umumnya, serta paham
induvidulisme yang mulai merasut dalam kehidupan kita. Lembaga tersebut akhirnya
merupakan suatu kebutuhan hukum bagi masyarakat Indonesia.
Dalam Pasal 1320 KUHPerdata, disebutkan bahwa untuk sahnya suatu
perjanjian di perlukan empat syarat, yaitu :
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal
Keempat syarat diatas merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, yang
dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :
2
1. Syarat Subyektif,3 yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan subyek
perjanjian, terdiri dari :
1.Kesepakatan.
2.Kecakapan.
2. Syarat Obyektif,4 yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan obyek
perjanjian, terdiri dari :
a.Hal tertentu.
b.Sebab yang halal.
Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang diadakan sebelum perkawinan
dilangsungkan, hal ini diatur pada Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974.5 Biasanya
perjanjian dibuat untuk kepentingan hukum terhadap harta bawaan masing-masing
suami ataupun isteri, meskipun undang-undang tidak mengaturnya secara jelas,
segalanya diserahkan kepada para pihak. Sedangkan perjanjian perkawinan mulai
berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
3Suatu perjanjian yang tidak dapat memenuhi syarat-syarat subyektif dapat dimintakan pembatalannya. Dengan kata lain perjanjian ini semula sudah dilaksanakan atau berlaku bagi para pihak, tetapi karena tidak terpenuhinya syarat subyektifnya, yaitu adanya kesepakatan dan kecakapan dari para pihak, atas permintaan dari pihak yang meminta pembatalan dapat dinyatakan batal oleh hakim, jika tidak perjanjian tersebut selamanya sah dan berlaku.
4Suatu perjanjian adalah batal demi hukum karena tidak terpenuhinya syarat obyektif dari perjanjian sehingga dari semula sudah batal.
5Pasal 29 UUPK menyebutkan bahwa :
a)Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ke tiga sepanjang pihak ke tiga tersangkut.
b)Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan
c)Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
Perjanjian perkawinan yang diatur dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974,
bukan hanya mengatur masalah harta benda dan akibat perkawinan saja melainkan
juga meliputi kepentingan pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut dan tidak
bertentangan dengan batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Di dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat (1), yang artinya: ”Hai orang-orang
beriman penuhilah perjanjian yang kamu perbuat, yang berarti bahwa segala janji
yang telah diperbuat dan yang telah diikat antara manusia demi kepentingan
pergaulan sesama manusia mestilah dipenuhi”.6 ”Jadi jikalau ada perjanjian yang
diperbuat antara manusia dangan manusia, antara suami dan isteri, perjanjian itu
adalah sah. Siapapun yang membuat perikatan berdasarkan perjanjian berarti
mempunyai perjanjian berdasarkan syariat Islam.”7 Al-Qur’an Surat Al-Maidah
ayat 1 tersebut diatas adalah suatu dasar untuk membuat perjanjian perkawinan untuk
golongan penduduk yang menganut agama Islam, karena ayat tersebut tidak
membatasi bentuk perjanjian. Oleh sebab itu terdapatlah satu perjanjian tentang
perjanjian perkawinan, cuma cara dan bentuk perjanjian perkawinan tesebut tidak
secara tegas di jelaskan dalm kitab Al-Qur’an dan Hadist juga belum dapat penjelasan
tentang perjanjian perkawinan tersebut.
Apabila perjanjian perkawinan ditinjau dalam UU No. 1 Tahun 1974, bahwa
perjanjian perkawinan bertujuan untuk penegasan tentang pengaturan dan
6Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, Penerbit PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, Juz 6, hal.1025.
permasalahan harta perkawinan antara suami isteri. Perjanjian perkawinan dibuat
dengan tertulis, dibuat atas kesepakatan para pihak (suami isteri) dihadapan dan
disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah sewaktu proses penandatangan.
Dalam Hukum Islam, perjanjian semacam ini sudah tertera di halaman akhir
buku nikah, yang disebut sighat ta’liq dan dibacakan suami. ”Perjanjian perkawinan
baru sah apabila dilakukannya sesudah perjanjian. Sebab itulah taklik talak, yang juga
termasuk dalam perjanjian, dilaksanakan sesudah perkawinan dilangsungkan.”8
Perjanjian pernikahan sebenarnya berguna untuk acuan jika suatu saat timbul
konflik. Meski semua pasangan tentu tidak mengharapkan konflik itu akan datang.
Ketika pasangan harus bercerai, perjanjian itu juga bisa dijadikan rujukan sehingga
masing-masing mengetahui hak dan kewajibannya.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kedudukan perjanjian perkawinan dalam UU No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ?
2. Bagaimanakah peran Notaris dalam pembuatan akta perjanjian Perkawinan ?
3. Bagaimanakah akibat hukum yang timbul dari pelaksanaan perjanjian
perkawinan dan penyelesaiannya ?
8
C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari perumusan masalah tersebut diatas, maka yang menjadi
tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kedudukan perjanjian perkawinan dalam UU No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
2. Untuk mengetahui peran Notaris dalam pembuatan akta perjanjian
Perkawinan.
3. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari pelaksanaan perjanjian
perkawinan dan penyelesaiannya.
D. Manfaat Penelitian
Ada dua manfaat yang dapat diperoleh dalam penelitian ini, yaitu bersifat
teoritis dan bersifat praktis;
1. Bersifat Teoritis
Mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat mengembangkan pemikiran di
bidang ilmu hukum, khususnya dalam disiplin ilmu hukum perkawinan dan
khususnya lagi memberikan masukan terhadap kalangan akademisi dan praktisi
dalam hal perjanjian perkawinan.
2. Bersifat Praktis
Mengharapkan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi setiap kalangan, baik
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di perpustakaan di Universitas
Sumatera Utara, khususnya di Sekolah Pascasarjana, mahasiswa yang telah
melakukan penelitian tesis dengan topik perjanjian perkawinan adalah:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Irma Febriani Nasution, 2005, dengan judul
penelitian Perjanjian Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Dan Hukum Islam, yang membahas tentang:
a. Bagaimana perbedaan ketentuan perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam ?
b. Bagaimana bentuk perjanjian perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam ?
c. Bagaimana akibat hukum yang timbul dari pelaksanaan perjanjian perkawinan
tersebut baik di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum
Islam ?
Berkaitan dengan uraian diatas, bila dihubungkan dengan permasalahan yang
akan dibahas dalam tesis ini adalah tidak sama, walaupun Sdri. Irma Febriani
Nasution dalam tesisnya membahas mengenai akibat hukum yang timbul dari
pelaksanaan perjanjian perkawinan tersebut baik di dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan Hukum Islam, tetapi karena penelitian ini merupakan penelitian di
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang luas dalam
hubungan hukum antara suami dan isteri. Dengan perkawinan itu timbul suatu ikatan
yang berisi hak dan kewajiban, seperti kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama,
setia kepada satu sama lain, kewajiban untuk memberi belanja rumah tangga, hak
waris dan sebagainya.
Perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan diatur dalam
Bab V dan hanya terdiri satu pasal saja, yaitu pasal 29, dijelaskan pada pasal tersebut
bahwa ”Pada waktu sebelum perkawinan berlangsung, kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
Perjanjian perkawinan (huwelijksche voorwaarden) yang terbaru (modern)
sekarang berasal dari kontrak-kontrak perkawinan yang lama, maka tidaklah
mengherankan ketika zaman Belanda perjanjian perkawinan (huwelijksche
voorwaarden) itu masih sering tidak terbatas hanya kepada ketentuan mengenai
kekayaan. Perjanjian perkawinan juga sering ditentukan hal-hal yang lain sifatnya,
misalnya hak-hak dan kewajiban suami isteri, janji-janji dimana mereka akan
bertempat tinggal, ketentuan tentang perwalian anak jika mereka pisah, dan
Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami isteri harus ada kesepakatan
pada waktu membuat naskah perjanjian perkawinan sebelum atau sesudah
perkawinan9 tersebut dilangsungkan. Pada saat melangsungkan naskah perjanjian
perkawinan dan menandatangani naskah tersebut, orang-orang itu harus sudah genap
18 tahun dan sudah harus cakap untuk melangsungkan perkawinan.
Ketentuan tentang perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang No.1 Tahun
1974 diatur dalam Pasal 29. Ketentuan perjanjian perkawinan dalam Kompilasi
Hukum Islam tercantum dalam Pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam, dimana
perjanjian tersebut dilafazkan secara lisan oleh suami pada saat berlangsungnya
pernikahan dengan dihadiri oleh saksi-saksi.
Pada dasarnya perjanjian perkawinan dibuat untuk kepentingan perlindungan
hukum terhadap harta bawaan masing-masing, yaitu harta calon suami ataupun harta
calon istri, meskipun undang-undang tidak mengatur tujuan perjanjian perkawinan
dan apa yang dapat diperjanjikan, segalanya diserahkan kepada pihak calon pasangan
yang akan menikah. Dalam surat perjanjian perkawinan isinya tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama.
Secara etimologi perjanjian disebutkan sebagai perkataan yang menyatakan
kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat, persetujuan antara dua pihak syarat,
ketentuan, tangguh, penundaan batas waktu.10 Dan disebutkan juga bahwa kontrak
9Bagi pemeluk agama Islam dan di ucapkan atau di lafazkan oleh suami pada saat perkawinan dilangsungkan.
sama artinya dengan perjanjian.11
Oleh karena itu suatu perjanjian akan lebih luas juga tegas artinya, jika
pengertian mengenai perjanjian tersebut diartikan sebagai suatu persetujuan dengan
mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal
dalam lapangan harta kekayaan.12
Secara umum yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian menurut pendapat
Sayyid Sabiq adalah :
1) Tidak menyalahi hukum syari’ah yang disepakati adanya
Maksudnya bahwa perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan yang melawan hukum Syariah, sebab perjanjian yang bertentangan dengan hukum syariah adalah tidak sah dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk menempati atau melaksanakan perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain, apabila isi perjanjian itu merupakan perbuatan yang melawan hukum (Hukum Syariah), maka perjanjian yang diadakan dengan sendirinya batal demi hukum.
2) Harus sama ridha dan ada pilihan
Maksudnya perjanjian yang diadakan oleh para pihak haruslah didasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing pihak ridha/rela akan isi perjanjian tersebut. Dalam hal ini tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain, dengan sendirinya perjanjian yang diadakan tidak mempunyai kekuatan hukum apabila tidak didasarkan kehendak bebas pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
3) Harus jelas dan gamblang
Maksudnya apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang tentang apa yang menjadi isi dari perjanjian, sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman diantara para pihak tentang apa yang telah mereka perjanjikan di kemudian hari. Dengan demikian pada saat pelaksanaan/penerapan perjanjian masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian atau yang mengikatkan diri dalam perjanjian haruslah mempunyai interprestasi yang sama tentang apa yang telah mereka perjanjikan, baik
11Ibid, hal. 458.
terhadap isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh perjanjian itu.13
Dalam suatu perjanjian, dikenal adanya asas kebebasan berkontrak (freedom
of contract), maksud asas tersebut adalah bahwa setiap orang pada dasarnya boleh
membuat perjanjian yang berisi dan macam apapun, asal tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Asas kebebasan berkontrak
memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat, untuk mengadakan
perjanjian berisi apa saja dan dalam bentuk apa saja, sepanjang tidak melanggar
undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.14
Menurut Abdul Kadir Muhammad, dalam suatu perjanjian memuat beberapa
unsur, yaitu :
1. Ada pihak-pihak
Pihak yang ada disini paling sedikit harus ada 2 (dua) orang. Para pihak bertindak sebagai subjek perjanjian tersebut. Subjek mana bisa terdiri dari manusia atau Badan Hukum. Dalam hal para pihak terdiri dari manusia, maka orang tersebut harus telah dewasa dan cakap melakukan hubungan hukum.
2. Ada persetujuan antara para pihak
Para pihak sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam membuat suatu perjanjian haruslah diberikan kebebasan untuk mengadakan tawar menawar (bargaining) diantara keduanya. Hal ini bisa disebut dengan asas konsensualitas dalam suatu perjanjian, konsensus mana harus tanpa disertai dengan paksaan, tipuan, dan kehakiman.
3. Ada tujuan yang akan dicapai
Suatu perjanjian haruslah mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu yang ingin dicapai, dan dengan perjanjian itulah tujuan tersebut ingin dicapai atau dengan sarana perjanjian tersebut suatu tujuan ingin mereka capai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, yang dalam hal ini mereka selaku subjek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu, para pihak terkait dengan adanya ketentuan
13Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 2-3.
bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
4. Ada prestasi yang harus dilaksanakan
Para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi suatu prestasi, maka bagi pihak lain hal tersebut adalah merupakan hak dan begitupun sebaliknya.15
Secara hukum perjanjian, publikasi tidaklah disyaratkan sama sekali, dengan
alasan bahwa hak perseorangan hanyalah berlaku diantara para pihak dan
penggantinya yang sah berdasarkan alas hak umum, dan tidak dapat berlaku kepada
pihak ketiga.16 Perjanjian tidak dapat menerbitkan kerugian dan keuntungan pada
pihak ketiga di luar perjanjian, meskipun pihak ketiga mendalilkan bahwa ia
mengetahui perbuatan hukum tersebut.
Semua perjanjian yang telah di buat secara sah (yaitu yang memenuhi
keempat persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata), akan berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi perjanjian tersebut akan
mengikat dan melahirkan perikatan bagi para pihak dalam perjanjian.
2. Konsepsi
Konsepsi adalah :
“Salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Pentingnya defenisi operasional adalah “untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari suatu istilah yang dipakai dan dapat ditemukan suatu
15Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit. hal 80-81.
kebenaran.”17
“Oleh keterlibatan hukum yang semakin aktif ke dalam perubahan-perubahan yang menyangkut perubahan-perubahan sosial, justru memunculkan permasalahan yang mengarahkan pada penggunaan hukum secara sadar sebagai sarana untuk dipatuhi dimana pada setiap aspek kehidupan ditemui adanya peraturan-peraturan hukum yaitu putusan-putusan pengadilan putusnya perkawinan akibat perceraian”.18
Dalam kerangka konsepsionalnya adalah merupakan kerangka yang
menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti yakni
mengenai perjanjian perkawinan yang mengacu kepada Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974.
Oleh karena itu untuk penelitian ini harus didefenisikan beberapa konsep
dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan
dan kebenarannya, yaitu :
1. Menurut istilah hukum Islam kata kawin sama dengan kata nikah atau kata Zawaj.
Yang dinamakan nikah menurut syara’ ialah Akad (Ijab qabul) antara wali calon
isteri dan mempelai laki-laki dengan ucapan-ucapan tertentu dengan memenuhi
rukun dan syaratnya.
2. Menurut Hukum Islam, pernikahan atau perkawinan ialah Suatu ikatan lahir
bathin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama
dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang dilaksanakan menurut
ketentuan-ketentuan hukum syari’at Islam.
17
Rusdi Malik, Penemu Agama Dalam Hukum di Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 15.
18
3. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
4. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, jelas bahwa perkawinan
itu tidak hanya merupakan ikatan lahir saja, ataupun ikatan batin saja, akan tetapi
ikatan kedua-duanya sehingga akan terjalin ikatan lahir dan ikatan batin yang
merupakan pondasi yang kuat dalam bentuk dan membina keluarga yang bahagia
dan kekal.
5. Menurut Pancasila pada sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
antara perkawinan dengan agama atau kerohanian mempunyai hubungan yang
sangat erat karena perkawinan bukan saja mempunyai unsur jasmani tetapi juga
mempunyai unsur rohani yang mempunyai peranan penting dalam membentuk
suatu keluarga.
6. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, pengertian perkawinan
adalah sebagai berikut :
a. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri.
b. Ikatan lahir batin itu ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia, kekal dan sejahtera.
c. Ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan Ketuhanan
7. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 8, 9 dan 10 bahwa tidak
melanggar larangan perkawinan yaitu :
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping.
c. Berhubungan semenda.
d. Berhubungan susunan.
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau bibi atau kemenakan dari isteri
dalam hal seseorang suami beristeri lebih dari seorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku
dilarang kawin.
g. Telah bercerai untuk yang kedua kalinya sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan tidak menentukan lain (Pasal 10).
h. Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal tersebut
pada Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 9.
8. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 6 mengenai syarat-syarat
persetujuan kedua calon mempelai dan syarat harus adanya izin kedua orang tua
bagi mereka yang belum berusia 21 tahun, berlaku sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari bersangkutan tidak
menentukan lagi.
9. Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
10.Dengan terjadinya suatu akta nikah (perjanjian perkawinan), maka seorang
laki-laki yang menjadi suami memperoleh berbagai hak dalam keluarga, demikian
juga seorang perempuan yang menjadi isteri dalam suatu perkawinan memperoleh
berbagai hak pula.
11.Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dikatakan anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah
(Pasal 42), anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43).
12.Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ada 2 (dua) macam harta benda
dalam perkawinan, yaitu :
a. Harta bersama
Yang dimaksud dengan harta bersama adalah harta benda yang diperoleh
selama perkawinan. Asal darimana harta ini diperoleh tidak dipersoalkan.
Apakah harta itu didapat dari isteri atau suami, semuanya merupakan harta
milik bersama suami-isteri.
b. Harta bawaan
Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri
kedalam perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik
sebagai hadiah atau warisan.
13.Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 35 harta bersama adalah
harta yang diperoleh selama perkawinan antara suami isteri. Asas harta bersama
harta pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama
yang disebut harta syarikat. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal
65 ayat (1) huruf b menentukan bahwa isteri yang kedua dan seterusnya tidak
mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan
isteri kedua atau berikutnya. Huruf c dari pasal tersebut menentukan bahwa
semua isteri mempunyai hak bersama yang terjadi sejak perkawinannya
masing-masing
G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Maksudnya bahwa penelitian ini
merupakan penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta
menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai bagaimana
kedudukan perjanjian perkawinan dan akibat hukumnya.
Penelitian ini merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.19 Menggambarkan
masalah-masalah hukum dan menganalisa masalah-masalah tersebut,sehingga dapat
ditarik kesimpulan.
Metode pendekatan yang dilakukan adalah metode pendekatan yuridis
normatif, yakni suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum melalui
studi kepustakaan yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan yang
hidup ditengah-tengan masyarakat.
2. Lokasi Penelitian
Sesuai dengan judul tesis yaitu “ Analisis Perjanjian Perkawinan dan Akibat
Hukumnya”, maka lokasi penelitian ditetapkan di Kota Medan. Alasan dan
pertimbangan lokasi penelitian ini adalah karena Kota Medan merupakan kota besar
dan kebanyakan tingkat pendidikan dan status sosial masyarakatnya relatif tinggi.
3. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer diperoleh dari penelitian di lapangan dengan melakukan
wawancara terhadap para responden dan nara sumber. Wawancara
dilakukan dengan maksud untuk dapat mengetahui lebih mendalam
tentang bagaimana kedudukan perjanjian perkawinan dan akibat
hukumnya.
b. Data Sekunder
Data sekuder dalam penelitian ini adalah data-dat yang diperoleh dari
penelitian/penelusuran kepustakaan yang mempunyai kekuatan mengikat
yang dapat dibedakan atas bahan hukum primer, sekunder dan tertier.20
4. Tehnik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh hasil yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, maka dalam penelitian tesis ini dipergunakan tehnik pengumpulan data
sebagai berikut :
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal
dari kepustakaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah,
majalah-majalah, peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan
masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan perjanjian
perkawinan.
b. Penelitian Lapangan (Field Risearch)
Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer yang
berkaitan dengan materi penelitian.
Metode yang digunakan yaitu wawancara (depth interview) secara langsung
kepada responden21 dan informan22 dengan menggunakan pedoman wawancara yang
telah dipersiapkan terlebih dahulu. Yang dijadikan responden yaitu :
1) Kantor Departemen Agama.
21Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 71, menyatakan responden merupakan pemberi informasi yang diharapkan dapat menjawab semua pertanyaan
2) Kantor Urusan Agama.
3) Notaris.
Disamping responden diatas, untuk melengkapi data primer ini juga
dikumpulkan data melalui wawancara dengan Ketua Pengadilan Agama selaku
informan.
5. Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka
alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Studi Dokumen yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang
perjanjian perkawinan. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang
penting.
b. Wawancara23 dengan menggunakan pedoman wawancara (interview
quide)24. Wawancara dilakukan terhadap responden dengan menggunakan
pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara ini
dilakukan dengan cara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam
(depth interview).
23Herman Warsito, Loc.cit, yang menyatakan wawancara merupakan alat pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) pedoman wawancara, dan situasi wawancara.
6. Analisis Data
Analisis data25 merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian
dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang di teliti. Sebelum analisis
dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data
yang ada untuk mengetahui validitasnya. Untuk selanjutnya diadakan pengelompokan
terhadap data yang sejenis untuk kepentingan analisis dan penulisan. Sedangkan
evaluasi dilakukan terhadap data dengan pendekatan kualitatif, yaitu untuk
memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan dengan menggunakan metode
abduktif yaitu penggabungan antara pemikiran deduktif dan pemikiran induktif yang
dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus
sebagai kesimpulan, dan dipresentasekan dalam bentuk deskriptif.
25
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sianar Gafika, Jakarta, 1996, hal. 76-77, menyatakan terhadap data yang sudah terkumpul dapat dilakukan analisis kualitatif apabila :
1)Data yang terkumpul tidak berupa angka-angka yang dapat dilakukan pengukurannya, 2)Data tersebut skar diukur dengan angka,
3)Hubungan antara variabel tidak jelas, 4)Sample lebih bersifat non probabilitas,
5)Pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan pengamatan,
6)Penggunaan teori kurang diperlukan. Bandingkan dengan pendapat Maria, S. W Sumardjono, yang menyatakan bahwa analisis kualitatif dan analisis kuantitatif tidak harus dipisahkan sama sekali apabila digunakan dengan tepat sepanjang hal itu mungkin keduanya saling menunjang. Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 103. Bandingkan juga dengan pendapat Burhan Ashshofa, Op.Cit, hal. 66.
BAB II
KEDUDUKAN PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM UU NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Tinjauan Perjanjian Perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa
”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jika diperhatikan ketentuan pasal 1 Undang-undang Perkawinan, maka yang
menjadi inti pengertian dalam perkawinan adalah ikatan lahir antara seorang pria
dengan seorang wanita, dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan
mulia sebagai suami istri untuk hidup bersama untuk membentuk dan membina suatu
keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal karena didasarkan kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Begitu pula mengenai tujuan perkawinan yang juga tercantum pada pengertian
perkawinan pada bunyi Pasal 1 tersebut yaitu :”...Dengan tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Didalam penjelasan umum Undang-undang Perkawinan disebutkan bahwa
karena tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagian dan
kekal, maka untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar
materiil dan spritual.
Sahnya perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan diatur dalam Pasal
2 ayat 1 yang menyatakan ” Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang
berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata ”hukum
masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing
bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut
kedua mempelai atau keluarganya.
”Jadi perkawinan yang sah jika terjadi jika terjadi perkawinan antar agama, adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya”.26
Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat 1 itu, dipertegas lagi dalam
penjelasan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, yang menyatakan : ”Dengan
perumusan pada Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan diluar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar
1945. yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya
dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentang atau tidak ditentukan lain dalam
Undang-undang ini”.
Dengan demikian, bagi penganut agama atau kepercayaan suatu agama, maka
sahnya suatu perkawinan mereka oleh Undang-undang perkawinan ini telah
diserahkan kepada hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya bagi
orang-orang yang menganut agama dan kepercayaan suatu agama, tidak dapat melakukan
perkawinan, kecuali apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya itu.
Akan tetapi Undang-undang Perkawinan tidak memperhatikan bahwa masih
ada beberapa kelompok masyarakat yang masih menganut animisme seperti yang
terdapat di Irian Jaya, Nusa Tenggara Timur dan beberapa desa di pedalaman Jawa
dan pedalaman Kalimantan. Apakah perkawinan mereka tidak sah hanya karena
mereka animisme sedangakan kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi
manusia.
Menurut Wakil Ketua Mahkamah Agung Purwoto S.Ganda Subrata bahwa:
”kurang tepatlah anggapan, bahwa suatu perkawinan yang dilakukan tidak persis
sesuai dengan ketentuan ritual (hukum) agama yang bersangkutan menjadi tidak sah
menurut hukum, tetapi apabila dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan
yang berlaku bagi golongan agama/kepercayaan yang bersangkutan adalah sah
menurut hukum”.27
Untuk mencapai syarat-syarat perkawinan tersebut, maka harus memenuhi
syarat-syarat perkawinan. Menurut Pasal 6 Undang-undang Perkawinan, adapun
syarat-syarat (Syarat Materil) adalah sebagai berikut :
1. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu manyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperolah dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan pekawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendenganr orang-orang tersebut yang memberikan izin.
6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga
harus memenuhi syarat formil, adapun syarat-syarat formil tersebut adalah :
1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai
Pencatat Perkawinan;
2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan;
3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya
masing-masing;
4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus
dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan
nama isteri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin.28
Menurut Pasal 8 Jo Pasal 6,7 dan 9 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975,
menyatakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah/Perkawinan apabila telah cukup meneliti apakah
syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan.
Pengumuman dilakukan dengan suatu formulir khusus untuk itu, ditempelkan pada
suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan ditandatangani
oleh Pegawai pencatat Perkawinan. Pengumuman memuat data pribadi calon
mempelai serta hari, jam dan tempat akan dilangsungkan perkawinan.
Adapun yang menjadi tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi,
agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan materiel.29 Oleh karena tujuan perkawinan adalah
membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang
menganut prinsip untuk mempersukar terjadi perceraian.30
Menurut Hilman Hadikusuma, bahwa :
”Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau ibuan atau keibubapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga
28Lihat Pasal 3,4 dan 5 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
29Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 5.
keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan. Oleh karena sistem kekerabatan antar suku bangsa Indonesia yang satu dan lain berbeda-beda, termasuk lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda diantara suku bangsa yang satu dan suku bangsa yang berlainan, daerah yang satu dan daerah yang lain berbeda, serta akibat hukum dan upaya perkawinannya berbeda-beda”.
1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan
Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974.
Perjanjian perkawinan pengertiannya dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974,
diatur dalam Bab V, Pasal 29, yaitu :
1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga, sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, Agama dan kesusilaan.
3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.31
Calon suami Isteri, sebelum perkawinan dilangsungkan atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian perkawinan (Huwelijkvoorwarden), yang mana
antara lain :
1) Persetujuan perjanjian perkawinan tersebut diperbuat secara tertulis.
2) Perjanjian perkawinan tertulis tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
3) Sejak pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, isi ketentuan perjanjian tersebut menjadi sah kepada suami isteri dan juga terhadap
pihak ketiga, sepanjang isi ketentuan isi ketentuan yang menyangkut pihak ketiga.32
4) Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak tanggal hari perkawinan dilangsungkan.33
5) Perjanjian perkawinan tidak dapat dirubah selama perkawinan, jika perubahan tersebut dilakukan secara sepihak. Perubahan Unilateral tidak boleh, akan tetapi jika perubahan atas kehendak bersama atau secara
bilateral perubahan dimaksud dapat dilakukan.34
6) Perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana isi ketentuan perjanjian itu melanggar batas-batas hukum Agama dan kesusilaan.35
Bahwa pengertian dalam Pasal 29 tersebut, tidak lain dimaksud untuk tujuan
pembuatan perjanjian perkawinan tersebut, adalah serupa maksudnya dengan Pasal
139 KUHPerdata yakni persetujuan pemisahan harta kekayaaan dalam perkawinan.36
Perjanjian yang mengatur sampai dimana batas-batas tanggung jawab pribadi
masing-masing seperti yang disebut dalam Pasal 35 ayat (2) UU No. 1 Tahun 197437
terhadap hutang yang dibuat oleh suami terhadap pihak ketiga. Dalam pasal ini
banyak menolong pihak isteri ataupun suami atas tindakan-tindakan atau hutang yang
dibuat oleh suami, maka hak isteri tidak ikut tanggung jawab atas hutang tersebut.
Dalam undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ini bahwa perkawinan
tersebut otomatis membuat harta yang dibawa kedalam perkawinan menjadi terpisah.
Namun demikian Pasal 35 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa ”harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
Dalam Pasal 36 UU No.1 Tahun 1974 menyebutkan :
1) Mengenai harta bersama suami isteri dapat bertindak atas perjanjian kedua
belah pihak
2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Sedangkan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa ” bila
perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukum
masing-masing”.
Oleh karena dalam Pasal 35 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 hanya
menyebutkan pemisahan harta terhadap harta bawaan masing-masing saja, maka
dengann adanya Pasal 29 undang-undang tersebut calon suami dan calon isteri dapat
membuat perjanjian lain mengenai harta bawaan mereka masing-masing, seperti
mengenai tindakan atau hutang yang dibuat suami, harta isteri tidak ikut bertanggung
jawab atas pelunasannya.
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa untuk sahnya suatu
perkawinan disamping harus mengikuti ketentuan-ketentuan agama, para pihak yang
akan melangsungkan perkawinan itu harus memenuhi syarat-syarat yang disebutkan
dalam undang-undang perkawinan dan penjelasannya.
Perjanjian perkawinan yang dibuat suami isteri harus ada kesepakatan pada
waktu membuat naskah perjanjian perkawinan sebelum atau setelah perkawinan
tersebut dilangsungkan. Karena adanya kesepakatan dalam membuat perjanjian
1320 KUHPerdata.
Seorang belum dewasa apabila ia belum mencapai genap umur 21 (dua puluh
satu) tahun dan untuk melangsungkan perkawinan ia harus mendapat izin dari kedua
orang tuanya. Akan tetapi apabila telah mencapai genap umur 21 (dua puluh satu)
tahun, ia dapat melangsungkan perkawinan tanpa izin dan setahu orang tuanya.38
Pada saat melangsungkan naskah perjanjian perkawinan dan menandatangani
naskah tersebut, orang-orang itu atau para pihak sudah harus genap umur 18 (delapan
belas) tahun dan sudah harus cakap melangsungkan perkawinan.39
Apabila pada saat perjanjian perkawinan itu diperbuat oleh orang yang belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin, sedangkan perkawinan
itu dilangsungkan setelah dicapai umur yang ditentukan dalam UU No. 1 Tahun
1974, yaitu pria sudah berumur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita sudah mencapai
umur 16 (emam belas) tahun, maka perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai
kekuatan (batal), sedangkan perkawinan itu sendiri adalah sah.40 Dengan demikian
untuk membuat perjanjian perkawinan orang-orang itu harus mencapai genap umur
18 (delapan belas) tahun baik pihak pria maupun pihak wanita atau sudah pernah
kawin.
38Lihat Pasal 6 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974.
39Henry Lee A Weng, Beberapa Segi Hukum Dalam Perjanjian Perkawinan,Rimbow Medan, Jakarta, 1986, hal. 107.
2. Perkawinan Campuran Beda Agama
Perkawinan antar agama di Indonesia yang secara teoritis menurut para pakar
dicatatkan dalam register perkawinan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan
Agama oleh pejabat pencatat perkawinan menurut peraturan perundang-undangan,
sehingga keabsahan suatu perkawinan yang disertai pengakuan adanya perkawinan
dari pihak Negara berakibat hukum pada status harta perkawinan.
Menurut Pasal 1 GHR (Regeling Op De Gemengde Huwelijken) atau yang
dikenal dengan Stb. 1898 Nomor 158, yang kemudian disebut dengan Peraturan
Perkawinan Campuran, menyatakan bahwa ” Yang dinamakan dengan Perkawinan
Campuran , ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum-hukum yang berlainan”.
Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (2) dari Peraturan Perkawinan Campuran
(GHR) ditegaskan suatu asas yang sangat prinsipil, yaitu ” Perbedaan agama, bangsa
atau asal sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan itu”.
Sementara itu di dalam Pasal 66 UU Perkawinan, menyebutkan bahwa :
”Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia kristen (Huwelijks
Ordonantie Christen Indonesia S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 159), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
Mengenai Perkawinan Campuran dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974
dalam Pasal 57, disebutkan bahwa :” Yang dimaksud dengan perkawinan campuran
dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia”.
Pengertian perkawinan campuran yang diberikan dalam Pasal 57
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan pengertian Perkawinan Campuran yang diberikan oleh
Pasal 1 GHR terdapat perbedaan. Dari perbedaan tersebut menyebabkan pengetian
Perkawinan Campuran yang terdapat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974
mempunyai arti yang sempit jika dibandingkan dengan pengertian Perkawinan
Campuran yang terdapat dalam HGR.
Perkawinan Campuran dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 hanya
mengatur Perkawinan Campuran antara mereka yang berbeda kewarganegaraan dan
salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Perkawinan antar agama menjadi
permasalahan dimulai dari adanya permohonan Andi Vonny Gani P yang beragama
Islam untuk melangsungkan perkawinan dengan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan
yang beragama Kristen.41
Apabila seorang pria yang beragama Islam karena faktor-faktor tertentu
bermaksud melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita Ahlil Kitab, maka
hendaknya :