• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan Kabinet Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pembentukan Kabinet Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006.

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan ke-3, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006.

Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007.

Asshiddiqie, Jimly, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, UI Press, Jakarta, 1996.

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-14, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.

Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila Edisi ke IV, Yayasan Cipta Loka, Jakarta, 1988.

Fatah, Eep Saifulloh, dkk, Pemimpi Perubahan: PR Untuk Presiden RI 2005-2009, KotaKita Press, Jakarta.

Ghoffar, Abdul, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara maju, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009.

Haris, Syamsuddin, 2007, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Haris, Syamsudin, Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2004.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodoligi Penelitian Hukum Normatif, UMM Press, Malang, 2007.

(2)

Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi : Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.

Isra, Saldi, 2008, Simalakama Koalisi Presidensial, dalam Harian Kompas, 27 November, Jakarta.

Kantaprawira, Rusadi, Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar, Sinar Baru, Bandung, 1985.

Khoiruddin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.

Kusnardi, Moh, dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1988.

Kusuma, Mulyana W, dkk, Menata Politik Pasca Reformasi, KIIP, Jakarta, 2000. Kusuma, R. M. Ananda B, Sistem Pemerintahan Indonesia, dalam Jurnal

Kostitusi, Vol. 1 No.1., Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2004.

Legowo, T. A, Paradigma Cheks and Balances, Center for Strategic and International Studies, Jakarta, 2002.

Lubis, M. Solly, Ilmu Negara, Alumni, Bandung, 1975.

Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988.

Pamudji, Perbandingan Pemerintahan, Bina Aksara, Jakarta, 1985.

Poerwantana, P. K, Partai Politik di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1994. Radjab, Dasril, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1994. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2006.

Soemitro, Ronitijo Hanitijo, Metodoligi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1997.

(3)

Supranto, J, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 3.

Toha, Miftah, Birokrasi dan Politik di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar 1945

Undang-undang Dasar 1945 pasca amandemen

Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara

Peraturan Presiden Nomor 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara.

Internet

Hariwardana, Yudha, Mempertanyakan Urgensi Koalisi Permanen; http://Wordpress. go.id. Diaksses tanggal 1 Agustus 2010.

http://id.wikipedia.org/wiki/president,diakses pada tanggal 29 Mei 2010.

http://id.wikipedia.org/wiki/sistem_pemerintahan_parlementer, diakses pada tanggal 12 Mei 2010.

http://id.wikipedia.org/wiki/sistem_pemerintahan_presidensial, diakses pada tanggal 12 Mei 2010.

diakses pada tanggal 12 Mei 2010.

(4)

BAB III

PEMBENTUKAN KABINET DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL PASCA AMANDEMEN UUD 1945

A. Pengaturan Kabinet dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasca Amandemen

Perbincangan mengenai kelembagaan pemerintah di Indonesia saat ini

tidak lagi sekedar mengulas segi-segi struktural organisasi pemerintahan, tetapi

telah menukik pada dasar filosofis, sosiologis dan yuridis ketatanegaraan republik

ini yang telah tertuang dalam empat amandemen Undang Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Pada struktur ketatanegaraan yang lama terdapat

satu lembaga tertinggi yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan lima

lembaga tinggi negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Mahkamah

Agung (MA). Sedangkan struktur ketatanegaraan yang baru meliputi BPK, MPR

yang terdiri atas DPR dan Dewan Pertimbangan Daerah (DPD), Presiden dan

Wakil Presiden, Kekuasaan Kehakiman yang terdiri atas MA, Mahkamah

Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY).

Hal yang perlu diperhatikan dalam perubahan struktur ketatanegaraan

yang baru tersebut adalah diadopsinya prinsip-prinsip baru mengenai pemisahan

kekuasaan dan ‘check and ballances’ sebagai pengganti sistem supremasi parlemen. Konsekuensinya, telah terjadinya perubahan peran, tugas dan fungsi

lembaga negara dalam penyelenggaraan negara. Selain itu, hubungan antar

(5)

Dengan keadaan tersebut tidak dikenal lagi lembaga tertinggi dan tinggi negara,

yang ada hanyalah lembaga negara yang semuanya mempunyai peran dan

kedudukan masing-masing secara equal.

Salah satu hal menarik terkait dengan perubahan struktur ketatanegaraan

tersebut adalah amandemen terhadap Pasal 17 Undang Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang saat ini menjadi berbunyi sebagai berikut:

1. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.

2. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

3. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

4. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur

dalam undang-undang.

Pasal 17 tersebut pada dasarnya mengatur tentang keberadaan

penyelenggara negara” yang mempunyai peran strategis dalam mewujudkan tujuan negara. Penyelenggara negara itu mengarah pada Presiden yang memegang

kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar dan dalam menjalankan

kekuasaanya tersebut, Presiden dibantu oleh sejumlah menteri.

Dalam perjalanan kehidupan bangsa yang merdeka selama lebih dari 63

tahun dan menikmati atmosfir reformasi selama lebih dari 10 tahun, baru kali

inilah, terjadi kesepakatan antara DPR dengan Pemerintah untuk menetapkan

Undang Undang tentang Kementerian Negara. Peraturan perundang undangan

tersebut diperlukan sebagai batu acuan (milestone) dalam menyusun kelembagaan pemerintahan. Sebagai bagian dari semangat reformasi birokrasi, Undang Undang

(6)

lebih jelas. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya lima kesepahaman antara DPR

dengan Pemerintah.

Pertama, Undang-Undang tentang Kementerian Negara menegaskan kembali bahwa Presiden dibantu oleh para menteri yang diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Oleh karena itu, juga

ditegaskan bahwa Presiden memiliki hak prerogatif dalam menyusun kementerian

negara yang akan membantunya dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan.

Hadirnya Undang-Undang ini akan memudahkan Presiden dalam menyusun

kelembagaan kementerian negara, karena secara jelas dan tegas Undang-Undang

ini mengatur mengenai kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi

kementerian negara. Presiden juga diberikan payung hukum yang kuat dalam

membentuk dan mengubah Kementerian melalui kriteria-kriteria yang diperlukan

dalam melakukan pembentukan dan pengubahan Kementerian, misalnya suatu

kementerian dibentuk dengan pertimbangan adanya perkembangan lingkungan

global. Sedangkan pengubahan suatu kementerian dapat dilakukan dengan

pertimbangan adanya kebutuhan penanganan urusan tertentu dalam pemerintahan

secara mandiri.

Kedua, meskipun memberikan ruang bagi penggunaan hak prerogatif Presiden, Undang-Undang ini tidak mengesampingkan peranan DPR. Oleh karena

itu, Undang-Undang ini mengatur bahwa jika Presiden hendak melakukan

pengubahan dan pembubaran kementerian negara, maka Presiden perlu terlebih

dahulu mendapat pertimbangan dari DPR. Sedangkan persetujuan DPR

(7)

yang menangani urusan agama, hukum, keuangan dan keamanan. Di sisi lain,

Presiden tidak dapat membubarkan kementerian luar negeri, dalam negeri dan

pertahanan sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Ketiga, dengan didasari semangat untuk mendorong dilakukannya reformasi birokrasi guna terwujudnya struktur pemerintahan yang efisien dan

efektif, Undang-Undang ini mengatur pembatasan jumlah kementerian negara

yang dapat dibentuk oleh Presiden, yaitu paling banyak 34 (tiga puluh empat)

kementerian negara. Namun demikian, perlu dipahami bahwa seluruh urusan

pemerintahan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi harus tetap dijalankan

oleh kementerian negara dalam jumlah yang paling efisien, yaitu paling banyak 34

(tiga puluh empat) kementerian negara atau kurang dari jumlah tersebut.

Meskipun ada pembatasan, Undang-Undang ini tetap memberikan keleluasaan

kepada Presiden untuk mewadahi suatu urusan pemerintahan dalam satu

kementerian dan/atau menggabungkan dua atau lebih urusan pemerintahan dalam

suatu kementerian negara tertentu.

Keempat, Undang-Undang ini tidak mencantumkan nomenklatur/ penamaan kementerian negara secara definitif, tetapi menggunakan pendekatan

urusan-urusan pemerintahan yang harus dijalankan oleh Presiden secara

menyeluruh dalam rangka pencapaian tujuan negara sebagaimana diamanatkan

dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Prinsip dalam pendekatan urusan ini adalah bahwa seluruh urusan yang

(8)

Negara harus ditampung dalam kementerian sehingga satu kementerian dapat

menangani satu atau lebih urusan pemerintahan,79

79

Vide Pasal 6 Undang-undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

sesuai dengan pengorganisasian

yang diserahkan kepada Presiden. Hal ini juga memberikan ruang gerak yang

lebih leluasa bagi Presiden dalam menyusun kementerian negara. Pendekatan

urusan-urusan pemerintahan tersebut dimaksudkan untuk lebih menitikberatkan

pada upaya mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien serta mampu

meningkatkan pelayanan publik yang prima.

Kelima, Undang-undang ini mengatur pula mengenai hubungan fungsional antara Kementerian dengan Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang selama

ini dikenal sebagai Lembaga Pemerintah NonDepartemen. Sebagai lembaga

pelaksana tugas khusus yang dimandatkan oleh Presiden, Lembaga Pemerintah

NonKementerian berada di bawah koordinasi Menteri yang bersesuaian dengan

bidang tugasnya. Pengaturan mengenai hal ini penting mengingat pembentukan

kementerian negara semestinya didasarkan pada konsep pembagian habis urusan

pemerintahan guna mewujudkan visi, misi dan strategi yang telah ditetapkan.

Undang-undang tentang Kementerian Negara yang terdiri atas 9

(sembilan) Bab dan 28 (duapuluh delapan) Pasal nantinya merupakan titik tolak

bagi penataan kelembagaan pemerintahan yang selama ini diatur dalam tingkatan

perundang-undangan Presiden. Ada perubahan yang cukup mendasar dalam

konfigurasi jenis kementerian negara yang semula terdiri dari 3 (tiga) jenis

kementerian yaitu Kementerian Koordinator, Departemen, dan Kementerian

(9)

Keberadaan Undang Undang ini mengisyaratkan adanya tanggung jawab

bersama dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governance) antara Pemerintah/ Presiden, sektor swasta, dan masyarakat. Hal ini terlihat

misalnya pada pelarangan rangkap jabatan bagi Menteri yang menjadi komisaris

atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta. Menteri juga tidak

boleh merangkap jabatan menjadi pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN

dan/ atau APBD.

Kelembagaan kementerian dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008

tentang Kementerian Negara dilandasi klasifikasi urusan yang terdiri atas:80

1. Urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas

disebutkan dalam UUD 1945, meliputi urusan luar negeri, dalam negeri,

dan pertahanan.

2. Urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD

1945, meliputi urusan agama, hokum, keuangan, keamanan, HAM,

pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri,

perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi,

transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan,

peternakan, kelautan, dan perikanan.

3. Urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi dan

sinkronisasi program pemerintah, meliputi: urusan perencanaan

pembangunan nasional, aparatur Negara, kesekretariatan Negara, BUMN,

pertanahan, kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan,

80

(10)

teknologi, investasi, koperasi, UKM, pariwisata, pemberdayaan

perempuan, pemuda, oleh raga, perumahan, dan pembangungan kawasan

atau daerah tertinggal.

Pembedaan urusan pemerintahan yang ditangani tersebut akan menentukan

bentuk susunan organisasi dari kementerian negara yang bersangkutan.81 Namun

demikian, pada umumnya susunan organisasi kementerian Negara terdiri atas:

unsur pemimpin (Menteri), unsur pembantu pemimpin (Sekretariat Jenderal atau

Sekretariat Kementerian), unsur pelaksana (Direktorat Jenderal atau Deputi),

unsur pengawas (Inspektorat Jenderal atau Inspektorat), serta unsur pendukung

(Badan dan/ atau Pusat, bagi kementerian yang melaksanakan urusan

pemerintahan82 dan unsur pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau di luar negeri

(bagi kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan83

Pembagian susunan organisasi sebagaimana tersebut di atas didasari pada

pendekatan fungsi manajemen serta dalam rangka upaya untuk menyerasikan

proses internal organisasi dengan lingkungan eksternal. Susunan tersebut

diharapkan dapat merefleksikan peran-peran yang diperlukan dalam suatu

organisasi kementerian secara efisien. Namun demikian, pengaturan susunan

organisasi dalam Undang-undang Kementerian Negara masih bersifat umum. dan kementerian

yang menangani urusan agama, hukum, keuangan, dan keamanan. Di samping itu,

bagi kementerian tertentu dapat diangkat Wakil Menteri apabila kementerian

tersebut mempunyai beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus.

81

Pasal 9 Undang-undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. 82

Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

83

(11)

Susunan organisasi yang lebih rinci akan diatur dalam peraturan pelaksanaannya,

yaitu Peraturan Presiden.84

Implementasi Undang-undang Kementerian Negara akan dapat dirasakan

secara nyata nanti setelah Presiden hasil Pemilu 2009 membentuk kabinet karena

pada saat tersebut Presiden akan mengangkat menteri-menteri dan menyusun

kementerian negara berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 39 Tahun

2008. Presiden terpilih nantinya harus sudah membentuk kementerian paling lama

14 (empat belas) hari kerja sejak Presiden mengucapkan sumpah/ janji

(pelantikan).85

Implementasi Undang-undang Kementerian Negara ini juga dapat menjadi

momentum yang baik untuk menata kembali kelembagaan pemerintah secara

keseluruhan agar lebih proporsional, efisien, dan efektif dan dapat menjalankan

fungsi pelayanan publik yang prima. Hingga saat ini kelembagaan pemerintah

dinilai masih kurang efisien dan masih jauh dari kondisi ideal yang diharapkan

masyarakat. Oleh karena itu, Undang-undang Kementerian Negara akan

mengembalikan lagi peran-peran yang harus dilaksanakan oleh lembaga-lembaga

tersebut secara lebih tepat. Sebagai contoh, dengan adanya fenomena

menjamurnya lembaga non struktural, nantinya perlu dipilah peran yang dapat

dilakukan lembaga non struktural sehingga tidak mengambil alih fungsi-fungsi kementerian negara karena berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 39 Tahun

2008 urusan pemerintahan, termasuk perumusan kebijakan terkait dengan urusan

pemerintahan tersebut adalah menjadi kewenangan kementerian negara. Dengan

84

Vide pasal 11 Undang-undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. 85

(12)

demikian, Undang-undang Kementerian ini diharapkan menjadi milestone untuk

menata kembali kelembagaan pemerintahan sehingga nantinya dapat dihasilkan

konfigurasi kelembagaan yang lebih baik dengan peran-peran yang tepat dan

secara sinergis dapat menjadi birokrasi yang dapat menjalankan fungsi

pemerintahan dan penyelenggaraan Negara secara lebih baik di masa yang akan

datang.

B. Pembentukan Kabinet dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Pasca Amandemen Undang-undang Dasar 1945

Pembentukan kementerian negara mutlak berada di tangan presiden,

Undang-undang kementerian negara mempertegas hal ini dengan menyatakan

bahwa “Presiden membentuk kementerian luar negeri, dalam negeri, dan

pertahanan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945 Republik

Indonesia tahun 1945.86

Untuk dapat diangkat menjadi menteri, seseorang harus memenuhi

persyaratan:

Pembentukan kementerian dilakukan paling lama 14 hari kerja sejak

presiden mengucapkan sumpah/janji. Urusan pemerintahan yang nomenklatur

kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 194 harus dibentuk dalam

satu kementerian tersendiri. Untuk kepentingan sinkronisasi dan koordinasi

urusan kementerian, presiden juga dapat membentuk kementerian koordinasi.

Jumlah seluruh kementerian maksimal 34 kementerian.

87

86

Pasal 12 Undang-undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. 87

(13)

1. warga negara Indonesia;

2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

3. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita proklamasi

kemerdekaan;

4. sehat jasmani dan rohani;

5. memiliki integritas dan kepribadian yang baik; dan

6. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang

diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Pengaturan persyaratan pengangkatan menteri tidak dimaksudkan untuk

membatasi hak Presiden dalam memilih seorang Menteri, sebaliknya menekankan

bahwa seorang Menteri yang diangkat memiliki integritas dan kepribadian yang

baik. Namun demikian Presiden diharapkan juga memperhatikan kompetensi

dalam bidang tugas kementerian, memiliki pengalaman kepemimpinan, dan

sanggup bekerjasama sebagai pembantu Presiden.88

Undang-undang ini disusun dalam rangka membangun sistem

pemerintahan presidensial yang efektif dan efisien, yang menitikberatkan pada

peningkatan pelayanan publik yang prima. Oleh karena itu, menteri dilarang

merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, komisaris dan direksi pada

perusahaan, dan pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan

Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Bahkan

88

(14)

diharapkan seorang menteri dapat melepaskan tugas dan jabatanjabatan lainnya

termasuk jabatan dalam partai politik. Kesemuanya itu dalam rangka

meningkatkan profesionalisme, pelaksanaan urusan kementerian yang lebih fokus

kepada tugas pokok dan fungsinya yang lebih bertanggung jawab.89

Kementerian negara yang selanjutnya disebut kementerian dibentuk

dengan klasifikasi sebagai berikut:90

1. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan;

2. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian;

3. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat;

4. Kementerian Sekretariat Negara;

5. Kementerian Dalam Negeri;

6. Kementerian Luar Negeri;

7. Kementerian Pertahanan;

8. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;

9. Kementerian Keuangan;

10.Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral;

11.Kementerian Perindustrian;

12.Kementerian Perdagangan;

13.Kementerian Pertanian;

14.Kementerian Kehutanan;

15.Kementerian Perhubungan;

16.Kementerian Kelautan dan Perikanan;

89

Penjelasan Undang-undang Kementerian Negara Alinea VIII. 90

(15)

17.Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;

18.Kementerian Pekerjaan Umum;

19.Kementerian Kesehatan;

20.Kementerian Pendidikan Nasional;

21.Kementerian Sosial;

22.Kementerian Agama;

23.Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata;

24.Kementerian Komunikasi dan Informatika;

25.Kementerian Riset dan Teknologi;

26.Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;

27.Kementerian Lingkungan Hidup;

28.Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;

29.Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi;

30.Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal;

31.Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional;

32.Kementerian Badan Usaha Milik Negara;

33.Kementerian Perumahan Rakyat; dan

34.Kementerian Pemuda dan Olah Raga.

C. Praktek Koalisi dalam Pembentukan Kabinet dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Pasca Amandemen Undang-undang Dasar 1945

Wacana koalisi bukanlah barang baru dalam perpolitikan Indonesia, tahun

(16)

dimotori PAN dan PPP. Koalisi ini secara fenomenal sukses menaikkan

Abdurahman Wahid sebagai Presiden pertama era reformasi. Namun usia

kemassifan dan kesolidan Poros Tengah ternyata hanya seumur jagung. Kemudian

tahun 2004 terbentuk Koalisi Kebangsaan untuk mendukung pasangan calon

presiden (capres); calon wakil presiden (cawapres) Megawati

Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dan Koalisi Kerakyatan untuk mendukung pasangan

capres-cawapres Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Tetapi, kedua koalisi ini pun

dalam perkembangannya tidaklah solid dan masif bahkan cenderung mencair.

Qodari (Khoirudin, 2004: 220) mengemukakan adanya empat hukum

koalisi Capres dan Cawapres, yaitu:91

1. Pertama, Calon dari partai dengan perolehan kursi (atau persentase suara)

lebih besar akan menjadi capres dan calon dari wakil harus puas dengan

posisi calon wapres.

2. Kedua, Tiap partai dan calon akan berusaha berkoalisi dengan partai dan

calon lain yang punya perolehan kursi yang signifikan di legislatif. Itu

adalah koalisi yang berusaha mengupayakan penguatan kaki di DPR.

Penguatan diperlukan untuk menjamin dukungan politik terhadap

pembuatan kebijakan pemerintah.

3. Ketiga, Partai dan calon akan mencari partai yang lebih tinggi popularitas

individualnya.

4. Keempat, Partai dan calon akan berkoalisi dengan partai dan calon lain

yang dekat idiologi dan flatformnya.

91

(17)

Meski ada kebutuhan menciptakan pasangan yang mewakili spektrum

idiologis atau demografis. Terjadinya koalisi dimungkinkan oleh banyak faktor, di

antaranya karena adanya kesamaan platform di antara partai yang akan berkoalisi

tersebut. Platform yang dimaksud termasuk dalam masalah agama dan ekonomi. Dalam hal platform ekonomi, hampir semua partai besar punya platform yang

sama: dalam retorika menekankan ekonomi kerakyatan, tapi dalam praktek

melaksanakan kebijakan-kebijakan ekonomi pasar. Karena itu, platform ekonomi

belum menjadi faktor yang menentukan kenapa dua partai atau lebih membangun

sebuah koalisi, sementara partai lainnya tidak bergabung dengan koalisi tersebut.

Dalam hal platform keagamaan, ada partai yang menekankan mendesaknya keterlibatan negara dalam menegakkan syariat Islam bagi

kehidupan publik, seperti PBB, PKS, dan PPP, dan ada pula yang tidak demikian,

seperti PDIP, Partai Golkar, PKB, dan PAN. Untuk sederhananya, kelompok yang

pertama adalah partai Islam, sementara kelompok kedua adalah partai sekuler.

Dalam dikotomi partai Islam dan partai sekuler ini, PKB dan PAN berada pada

posisi yang agak kelabu. Walapun tidak berplatform Islam, sebagian besar elite

dan pendukung partai ini secara historis terkait dengan organisasi Islam. Karena

itu, secara kasar keduanya kadang-kadang dimasukkan ke kategori partai Islam.

Kalau kesamaan platform keagamaan yang jadi dasar untuk koalisi, berarti koalisi

yang mungkin adalah antara PPP, PBB, dan PKS, atau ditambah PAN dan PKB di

satu sisi, dan di sisi lain PDI Perjuangan dan Partai Golkar.

Pasca Soeharto, koalisi yang pertama dikenal dengan nama Poros Tengah

(18)

Waktu itu Abdurrahman Wahid sebagai calon dari Poros Tengah menang

mengalahkan Megawati. Kalau benar koalisi itu didasarkan atas sentimen

keagamaan, mengapa koalisi tidak terjadi antara Golkar dan PDIP, yang

sama-sama sekuler dan terancam oleh kekuatan Islam? Orang yang biasa melihat politik

Indonesia dari kacamata Islam versus nasionalis-sekuler biasanya melakukan

definisi ulang terhadap Golkar ketika dihadapkan dengan masalah tersebut:

Golkar pasca-Soeharto adalah Golkar yang didominasi anak-anak santri, terutama

yang berlatar belakang HMI. Dalam banyak hal, Golkar dan PAN tidak banyak

berbeda. Karena itu, wakil-wakil Golkar di MPR tahun 1999 cenderung

mendukung calon presiden dari Poros Tengah ketika dihadapkan pada pilihan

antara Megawati yang nasionalis-sekuler dan Gus Dur yang berlatar belakang

santri. Jika benar faktor sentimen ke-Islaman yang paling menentukan dalam

koalisi ini, kemungkinan pola yang sama, yakni Poros Tengah plus Golkar, akan

kembali terulang, karena sentimen keagamaan elite partai-partai itu sekarang pun

kurang lebih sama, tapi kemungkinan lain juga harus dipertimbangkan.

1. Konsepsi dan Esensi Koalisi

Koalisi berasal dari bahasa latin co-alescare, artinya tumbuh menjadi alat pengabung. Maka koalisi merupakan ikatan atau gabungan antara 2 atau beberapa

negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Atau beberapa partai/ fraksi dalam

(19)

tersebut menunjukan bahwa koalisi dibentuk/ terbentuk untuk mencapai

tujuan-tujuan tertentu.92

Pendapat lain dikatakan oleh Yudha Hariwardana dalam artikelnya;

mengatakan bahwa: Koalisi adalah persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa

unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan

sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas

manfaat. Hal ini menunjukan bahwa dalam pembentukan sebuah koalisi mutlak

adanya unsur kepentingan juga manfaat, sebuah koalisi tidak akan terbentuk

begitu saja melainkan karena adanya faktor-faktor penentu yang mendukung.

Misalkan partai A berkoalisi dengan partai B, hal tersebut terjadi karena partai A

bias mengakomodir kepentingan dari partai B, demikian juga sebaliknya. Dengan

kata lain terjadilah simbiosis mutualisme (saling menguntungkan satu sama lain)

dalam hal ini kepentingan masing-masing partai yang saling berkoalisi. Selain

kepentingan dan untuk tercapainya tujuan tertentu pengertian lain dari koalisi bisa

juga karena untuk memperoleh perolehan suara yang signifikan agar dapat

memenangkan pertarungan.93

Essensi dari sebuah koalisi adalah adanya bergabungnya beberapa orang

atau kelompok yang memiliki kepentingan. Karena dalam dunia politik yang

berbicara adalah kepentingan, hal tersebut diperkuat oleh Syamsudin Haris yang

menyatakan bahwa; secara teoritis, masalah koalisi sebenarnya hanya relevan

dalam konteks sistem pemerintahan parlementer. Terciptanya koalisi sebenarnya

92

Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila Edisi ke IV, Yayasan Cipta Loka, Jakarta, 1988, hal. 50.

93

(20)

diperuntukan hanya dalam menggalang dukungan dalam membentuk

pemerintahan oleh partai pemenang pemilu, serta dibutuhkan untuk membangun

dan memperkuat oposisi bagi partai-partai yang mempunyai kursi di parlemen

namun tidak ikut memerintah.94

2. Sejarah Koalisi di Indonesia

Koalisi merupakan penggabungan dua kekuatan atau lebih untuk

menggalang kekuatan lebih besar. Tujuan koalisi yakni mempengaruhi proses

politik: pembuatan undang-undang dan perebutan kekuasaan. Biasanya, koalisi

lahir untuk menghadapi kekuatan besar. Tak ada kamus, di mana koalisi melumat

kekuatan kecil. Bisa juga, koalisi menghadapi ketidak pastian politik, di mana

risiko kalah dan tersingkir jauh lebih besar ketimbang peluang menang. Koalisi

amat akrab dalam praktis partai politik. Mereka yang bersekutu diwarnai

perbedaan ideologi, kultural atau atribut kelompok menjadi satu barisan setelah

diikat isu bersama mengenai persamaan persepsi terhadap masalah, atau

kesejajaran kepentingan. Koalisi juga bisa lahir karena adanya musuh bersama.

Bahkan, seringkali kambing hitam itu menjadi kebutuhan dasar yang sengaja

diciptakan sebagai alasan bersatu. Tapi, koalisi juga bisa dibangun atas dasar

kepentingan politik murni, yakni untuk mendapatkan jabatan publik strategis dan

kemudian membagi-baginya di antara sesama peserta koalisi.

Kehidupan partai politik di Indonesia dikenal semenjak adanya Maklumat

Presiden tanggal 16 Oktober 1945 Nomor X, dan pada tahun tersebut banyak

94

(21)

partai politik yang di bentuk oleh rakyat berdasarkan pada maklumat tersebut.

Sebelumnya saat pemerintahan Proklamasi dibentuk, dalam susunan kabinetnya

tidak terdapat dan tidak ditempati oleh orang-orang dari partai politik, walaupun

telah keluar maklumat pemerintahan RI pada tanggal 3 November tahun 1945

yang menganjurkan mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat

memperjuangkan kemerdekaan. Pada saat itu kabinetnya di sebut sebagai kabinet

presidensial dan dipimpin oleh seorang presiden. Dalam perjalanannya usia dari

kebinet ini tidak berlangsung lama hanya 3 bulan, dari tanggal 19 Agustus 1945

sampai dengan 14 November 1945. Hal tersebut terjadi karena adanya Maklumat

Presiden No X, juga pengaruh dari Syahrir tokoh Nasional yang sangat vokal pada

saat itu yang menuntut dibentuknya kabinet parlementer. Inilah kejadian pertama

dari penyimpangan terhadap UUD 1945. Mulai saat itu kabinet-kabinet ke dua

dan seterusnya dijabat oleh partai-partai politik dan bertanggung jawab kepada

parlemen, dan partai-partai yang memimpin kementrian dalam kabinet baik

parlementer maupun presidensial pada saat itu adalah partai-partai yang yang

melakukan koaliasi (berkoalisi) seperti Parkindo dan Masyumi yang berkoaliasi

pada masa kabinet Syahrir I.

Adapun partai yang tidak ikut berkoalisi adalah partai yang memilih jalur

sebagai oposisi, Sejalan dengan yang dikatakan Miftah Toha, bahwa: Kabinet

yang tersusun pada waktu itu ternyata telah dilakukan berdasarkan koalisi di

antara parpol. Selebihnya di antara parpol yang tidak berkoalisi memilih jalur

oposisi, koalisi dan oposisi dimulai dari kabinet parlementer Syahrir pertama

(22)

seterusnya.95 Setelah selesai pemilihan umum pada tahun 1955, partai-partai

politik merasa mempunyai legalitas dan memperoleh kekuasaan secara formal.

Sejak saat itu, dalam politik Indonesia, partailah yang memegang kekuasaan

politik; walaupun dalam kenyataan kepemimpinan politiknya dilakukan atas dasar

kerjasama, aliansi, koalisi antara dua kekuatan atau lebih. Oleh karena itu,

perkembangan situasi Tanah Air yang rawan oleh pemberontakan Poerwantana

menambahkah bahwa pada tahun 1945 presiden Soekarno menganjurkan unruk

membubarkan partai-partai kecil karena tidak mampu membuat konsensus

pembentukan kabinet koalisi.96

Terlepas dari berbagai regulasi mengenai koalisi point penting terhadap

masalah ini adalah sejauh mana para pemimpin bangsa sungguh-sungguh

bertanggung jawab dan berpihak kepada aspirasi dan kepentingan rakyat, dan hal

tersebut barangkali masih merupakan pertanyaan besar. Begitupula, kualitas Dari penjabaran di atas jelas terlihat bahwa istilah koalisi antar partai

politik bukanlah merupakan barang baru dalam dunia perpolitikan di Indonesia.

Koalisi tidak muncul pertama kalinya pada saat Pemilu Capres/ Cawapres tahun

2004 lalu, melainkan dari tahun 1945. Selanjutnya pada Pemilu 2004 saat

diadakannya pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya di

Indonesia, wacana koalisi terangkat kembali, partai politik yang mengusung

pasangan Capres-Cawapres adalah partai politik yang saling berkoalisi terlepas

dari tujuan diakannya koalisi tetrsebut, apakah untuk memenangkan Pemilu,

menghadapi kekuatan besar ataukah hanya kepentingan.

95

Miftah toha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 119.

96

(23)

demokrasi dan tata-pemerintahan mungkin masih memerlukan waktu untuk

mengevaluasi dan menilainya. Apakah koalisi tersebut bersifat permanen atau

masih hanya sekedar untuk kemenangan calon saja (koalisi pragmatis). Kendati

demikian, berbagai kecenderungan proses dan hasil pemilihan capres-cawapres,

tetap merupakan bahan kajian yang menarik.

Kecenderungan proses pencalonan dan koalisi antar partai dalam

mengajukan kandidat atau pasangan calon adalah salah satu fenomena paling

menarik. Daya tarik itu tidak hanya terletak pada kecenderungan yang berbeda

dengan yang terjadi melainkan juga pada pola koalisi antar partai yang cenderung

berbeda dengan hasil pemilu legislatif. Partai-partai yang secara ideologis sering

dipandang sangat berbeda satu sama lain bahkan bisa saling berkoalisi dalam

mengajukan pasangan kandidat dalam pemilihan Capres-Cawapres.

3. Praktik Koalisi dalam Pembentukan Kabinet Pasca Amandemen Undang-undang Dasar 1945

Sejak Pemilihan Umum 1999, praktik sistem pemerintahan presidensial

Indonesia beralih dari sistem kepartaian dominan (dominant party) menjadi sistem kepartaian majemuk (multiparty). Melalui perubahan UUD 1945, peralihan itu diikuti dengan purifikasi sistem pemerintahan presidensial (Isra, 2009). Berdasarkan ketentuan Pasal 6A UUD 1945, salah satu upaya purifikasi tersebut

pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung.97

97

(24)

Gambaran praktik sistem pemerintahan presidensial yang dibangun dengan

model kepartaian majemuk baru dapat dilihat agak lebih utuh setelah Pemilihan

Umum (Pemilu) 2004. Gagal menghasilkan pemenang mayoritas, pemilu pertama

paska perubahan UUD 1945 menghasilkan 17 partai politik yang mendapat kursi

di DPR. Berdasarkan hasil Pemilu Legislatif, jumlah kursi terbesar diraih Partai

Golkar dengan 127 kursi (23%) DPR. Sementara itu, dalam pemilihan presiden,

pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) mendapat dukungan

69.266.350 (60.62%) suara sah. Sementara itu, pasangan Megawati

Soekarnoputri-Hasyim Muzadi memperoleh 44.990.704 (39,38%) suara sah. Jika

hasil itu diletakkan di tingkat provinsi, SBY-JK unggul di 28 provinsi atau 88%

dan pasangan Mega-Hasyim hanya mampu menguasai 4 provinsi atau 12% dari

jumlah provinsi yang ada.98

Meski SBY-JK berhasil menang secara mencolok, secara keseluruhan

Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden hanya menghasilkan minority government.

Menurut Jose A. Cheibub, minority government terjadi karena pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas di lembaga legislatif atau, dalam sistem bikameral,

pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas di salah satu kamar lembaga

legislatif (Cheibub, 2002: 287). Pasalnya, partai politik pendukung awal SBY-JK (Partai Demokrat; Partai Bulan Bintang; dan Partai Keadilan dan Persatuan

Jika dirinci lebih jauh ke tingkat kabupeten/kota,

berdasarkan hasil rekapitulasi Litbang Kompas, SBY-JK menang di 339 (77%) dan Mega-Hasyim menang di 101 (23%) dari keseluruhan jumlah kabupeten/kota.

98

(25)

Indonesia) hanya mendapat dukungan 68 kursi (12%) di DPR.99

Sekalipun berhasil membangun pemerintahan koalisi (coalition) dengan dukungan mayoritas absolut (sekitar 70 persen) kekuatan politik di DPR, langkah

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merangkul beberapa partai politik di luar

pendukung awal, tidak membuat pemerintah menjadi lebih mudah menghadapi

setiap agenda ketatanegaraan yang bersentuhan dengan kewenangan DPR. Bahkan

dalam banyak kejadian, partai politik yang berada dalam barisan pendukung

koalisi sering “mempersulit” agenda pemerintah. Sulit dibantah dan secara jujur

harus diakui, sepanjang pemerintahannya, koalisi berubah menjadi buah

simalakama bagi SBY-JK.

Dengan kondisi

dukungan itu, pemerintahan koalisi menjadi pilihan yang tak terhindarkan.

100

Sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati

Soekarnoputri sampai era SBY-JK praktik sistem presidensial di Indonesia selalu

menghadirkan minority government. Sebagaimana diketahui, hasil Pemilu 1999 tidak menghasilkan partai politik pemenang suara mayoritas di DPR (juga di

MPR). Sebagai pemenag pemilu, PDI Perjuangan (PDI-P) hanya memperoleh 153

kursi (33,7%) dari 500 kursi DPR. Dengan hasil itu, hampir mustahil bagi PDI-P

meloloskan ketua umumnya menjadi presiden tanpa dukungan partai politik lain.

Ironisnya, kata Syamsuddin Haris, hampir tidak ada inisiatif politik dari Megawati

Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDI Perjuangan sekaligus calon presiden yang

direkomendasikan oleh Kongres PDI Perjuangan di Bali untuk menggalang

99

Dari jumlah itu, Partai Demokrat mendapatkan 56 kursi; Partai Bulan Bintang 11 kursi; dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia mendaptkan 1 kursi. Angka 12 persen juga merupakan hasil dari sebuah koalisi.

100

(26)

dukungan dan kerja sama politik dengan partai politik lain di luar PDI

Perjuangan.101

Langkah darurat itu pula yang dilakukan Presiden SBY sebagai presiden

minoritas (minority president sekaligus menghasilkan praktik sistem pemerintahan presidensial yang minority government) dengan hanya didukung modal awal 12 persen suara di DPR. Untuk memperbesar dukungan di DPR,

SBY-JK merangkul beberapa partai politik di luar Partai Demokrat, PBB dan

PKPI, yaitu PKS, PPP, PAN, Partai Golkar, dan PKB. Sekalipun berdasarkan

Pasal 17 UUD 1945 pengangkatan menteri negara merupakan hak prerogatif

Presiden, sebagaimana kecenderungan koalisi dalam sistem presidensial yang

dikemukakan Cheibub sebelumnya, langkah yang dilakukan Presiden SBY adalah

membagi jabatan menteri kepada sejumlah partai politik yang menjadi bagian dari

koalisi SBY-JK.102

Pengalaman koalisi kabinet SBY-JK, misalnya, sejumlah kalangan di

Golkar sering “mengusik” Yudhoyono dengan menolak mengakui menteri yang

berasal dari kader Golkar sebagai representasi partai berlambang pohon beringin

ini di kabinet. Meskipun kemudian ada penambahan jumlah kader di kabinet,

Golkar tetap saja tidak sepenuh hati mendukung agenda pemerintah di DPR.

Kecenderungan serupa juga dilakukan partai politik lain yang menjadi pendukung

koalisi pemerintahan SBY-JK. Selain itu, desain UUD 1945 setelah perubahan

juga cenderung mempersulit posisi presiden berhadapan dengan DPR terutama

dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20A Ayat (2) UUD 1945

101

Syamsuddin Haris, 2007, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hal. 69.

102

(27)

yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsinya, DPR mempunyai hak

interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.103

103

Saldi Isra, 2008, Simalakama...

Sekalipun koalisi sistem presidensial dengan kepartaian majemuk

menghadirkan banyak kesulitan dan masalah, menilik design sistem pemilu presiden yang berlaku, sulit menghindar dari pembentukan pemerintahan koalisi.

Secara konstitusional, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 membuka ruang adanya

koalisi partai politik peserta pemilu. Kemudian, Undang-undang Nomor 42 Tahun

2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden mengharuskan syarat

dukungan paling sedikit 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen suara

sah nasional dalam pemilu DPR bagi partai politik atau gabungan partai politik

(28)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa

kesimpulan sebagai berikut:

1. Sistem pemerintahan yang dianut oleh negara Republik Indonesia psaca

amandemen UUD 1945 adaah sistem pemerintaha presidensial murni,

yaitu suatu sistem pemerintahan yang benar-benar memiliki karakter

sistem pemerintahan presidensial. Hal ini berbeda dengan sistem

pemerintahan sebelum amandemen yang menggunakan sistem campuran,

yaitu campuran antara sistem pemerintahan presidensial dan sistem

pemerintahan parlementer. Hal ini dikarenakan dalam sistem ini Presiden

ditentukan harus tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR yang terdiri

atas anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan utusan-utusan

golongan fungsional.

2. Pembentukan kabinet dalam sistem pemerintaan presidensial pasca

amandemen Undang-undang Dasar 1945 mutlak berada di tangan presiden

sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini dipertegas kembali oleh

Undang-undang kementerian negara yang menyatakan bahwa “Presiden

membentuk kementerian luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan,

sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945 Republik

(29)

B. Saran

1. Perlu adanya konsistensi dari pelaksanaan UUD 1945, khususnya yang

mengatur mengenai pelaksanaan sistem pemerintahan presidensial murni

yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 pasca amandemen 1999-2002.

2. Presiden terpilih selaku pemegang hak prerogatif dalam pembentukan

kabinet tidak harus berkiblat pada kerangka koalisi yang telah dibangun,

tetapi hendaknya harus mengedepankan profesionalitas dan kompetensi

para menteri yang akan menduduk i jabatan-jabatan tertentu dalam kabinet

(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM SISTEM PEMERINTAHAN

A. Pengertian Sistem Pemerintahan

Untuk memahami lebih jauh mengenai pengertian sistem, berikut ini akan

dikemukakan beberapa pendapat tentang defenisi dari sistem tersebut. Sistem

adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang memiliki hubungan

fungsional, baik antara bagian yang satu dengan bagian yang lain maupun

hubungan fungsional terhadap keseluruhan, sehingga hubungan itu dapat

menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian yang satu dengan bagian yang

lainnya, akibat yang ditimbulkan jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik

maka akan mempengaruhi bagian-bagian yang lainnya.28

“Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh, dimana di dalamnya terdapat komponen-komponen yang pada gilirannya merupakan sistem tertentu yang mempunyai fungsi masing-masing, saling berhubungan satu dengan yang lain menurut pola, tata atau norma tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan”.

Berkaitan dengan

defenisi sistem, Pamudji menegaskan bahwa:

29

28

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hal. 66.

29

Pamudji, Perbandingan Pemerintahan, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal. 9-10.

Dari kedua rumusan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa sistem

adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh dari beberapa komponen yang

mempunyai hubungan fungsional dan ketergantungan antara satu dengan yang

(31)

Secara etimologi, kata pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan

pemerintah berasal dari kata perintah. Menurut kamus bahasa, kata-kata tersebut

mempunyai arti sebagai berikut:

a. Perintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu;

b. Pemerintah adalah kekuasaan memerintah suatu negara (daerah negara) atau badan yang tertinggi yang memerintah suatu negara;

c. Pemerintahan adalah suatu perbuatan atau cara, urusan dalam hal memerintah.30

Pengertian pemerintahan juga mempunyai dua pengertian yang berbeda

yaitu pemerintahan dalam arti luas dan pemerintahan dalam arti yang sempit.

Pemerintah dalam arti yang luas adalah perbuatan memerintah yang dilakukan

oleh organ-organ dan badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam

rangka mencapai tujuan negara. Menurut ajaran tripraja, pemerintah dalam arti

sempit hanya meliputi kekuasaan eksekutif saja dan pemerintahan dalam arti

sempit meliputi segala kegiatan dari pemerintah. Jadi pemerintahan dalam arti

sempit adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif dan

jajarannya dalam rangka mencapai tujuan negara.31

1. Pemerintah sebagai gabungan seluruh badan kenegaraan yang berkuasa memerintah, dalam arti kata luas. Jadi termasuk seluruh badan kenegaraan yang bertugas menyelenggarakan kesejahteraan umum, yakni badan yang bertugas membuat peraturan undangan, badan yang bertugas menjalankan peraturan perundang-undangan, dan badan yang bertugas mengawasi bagaimana peraturan perundang-undangan tersebut dijalankan. Dengan demikian badan-badan tersebut meliputi legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Utrecht berpendapat bahwa istilah pemerintah itu meliputi 3 (tiga)

pengertian yang berbeda, yaitu:

30

Ibid., hal. 3. 31

(32)

2. Pemerintah sebagai gabungan badan kenegaraan tertinggi yang berkuasa memerintah di wilayah suatu negara, misalnya: Raja, Presiden, Yang Dipertuan Agung.

3. Pemerintah dalam arti kepala negara (Presiden) bersama-sama dengan menteri-menterinya, yang berarti organ eksekutif, yang biasa disebut dengan dewan menteri atau kabinet.32

Jadi apabila pengertian sistem dan pengertian pemerintahan dikaitkan,

maka kebulatan atau keseluruhan yang utuh itu adalah pemerintahan, sedangkan

komponen-komponen itu adalah legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang mana

komponen tersebut telah mempunyai fungsi masing-masing.

Komponen-komponen itu saling berhubungan satu dengan yang lain mengikuti suatu pola,

tata dan norma tertentu.

Pada bab sebelumnya penulis juga sudah mengemukakan bahwa yang

dimaksud dengan sistem pemerintahan adalah sistem hukum ketatanegaraan, baik

yang berbentuk monarki maupun republik, yaitu mengenai hubungan

antarpemerintah dan badan yang mewakili rakyat.33 Mahfud MD mengemukakan

bahwa sistem pemerintahan dapat juga dipahami sebagai suatu sistem hubungan

tata kerja antarlembaga-lembaga negara.34

Penulis mengambil kesimpulan bahwa sistem pemerintahan adalah pola

pengaturan hubungan antara lembaga negara yang satu dengan lembaga negara

yang lainnya atau bila disederhanakan ialah hubungan antara lembaga ekskutif,

legislatif, dan yudikatif. Hubungan itu meliputi hubungan hukum, hubungan

organisasi, hubungan kekuasaan maupun hubungan fungsi.35

32

M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Alumni, Bandung, 1975, hal. 23. 33

Harun Alrasyid dalam Saldi Isra, loc. cit. 34

Moh. Mahfud MD dalam ibid. 35

Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar, Sinar Baru, Bandung, 1985, hal. 140.

(33)

dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan Negara yang lazimnya dirumuskan

dalam undang-undang dasar suatu Negara atau dokumen-dokumen Negara resmi

lainnya.

Dari penelusuran berbagai literatur hukum tata negara dan ilmu politik,

terdapat perbedaan varian sistem pemerintahan. Misalnya C. F. Strong dalam

buku “Modern Political Constitution” membagi sistem pemerintahan ke dalam kategori: parliamentary executive dan non-parliamentary excecutive atau the fixed executive.36 Sama halnya dengan C. F. Strong, beberapa pakar dan pengkaji hukum tata negara Indonesia juga punya pandangan yang beragam mengenai

betuk sistem pemerintahan. Misalnya Jimly Asshiddiqie membagi sistem

pemerintahan menjadi tiga kategori, yaitu sistem pemerintahan presidensial

(presidential system), sistem pemerintahan parlementer (parliamentary system), dan sistem campuran (mixed system atau hybrid system).37 Sri Soemantri juga mengemukakan tiga varian sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan

parlementer, sistem pemerintahan presidensial, dan sistem pemerintahan

campuran.38 Jika kita melihat pendapat Denny Indrayana mengenai sistem

pemerintahan, akan kita temukan bentuk-bentuk sistem pemerintahan yang lebih

variatif lagi, yaitu sistem pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan

presidensial, sistem hibrid atau campuran, sistem kolegial, dan sistem monarki.39

Walaupun terdapat banyak varian mengenai bentuk-bentuk sistem

pemerintahan, namun sistem pemerintahan yang dibahas dalam penelitian ini

36

C. F. Strong dalam Saldi Isra, op. cit., hal. 24. 37

Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hal. 311.

38

Sri Soemantri dalam Saldi Isra, op. cit., hal. 25. 39

(34)

dibatasi pada sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan

presidensial. Karena secara umum pilihan itu didasarkan pada pertimbangan

bahwa ketiga sistem pemerintahan tersebut lebih banyak dipraktikkan jika

dibandingkan dengan sistem pemerintahan lainnya. Bahkan dalam UUD 1945

sebelum perubahan dinilai mengandung unsur sistem pemerintahan parlementer

dan sistem pemerintahan presidensial atau sistem pemerintahan campuran. Di

samping itu, jika dihubungkan dengan perkembangan sistem ketatanegaraan

Indonesia, semua konstitusi yang pernah ada dan termasuk yang kini sedang

berlaku tidak perah memperlihatkan karakter sistem pemerintahan kolegial dan

sistem pemerintahan monarki.40

B. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial 1. Sistem Pemerintahan Parlementer

Seperti telah dikemukakan pada bab sebelumnya, yang dimaksud dengan

sistem pemerintahan parlementer ialah sistem pemerintahan yang tugas

pemerintahannya dipertanggungjawabkan oleh para menteri ke parlemen.

Parlemen dapat menjatuhkan mosi tidak percaya kepada kabinet, tetapi

pemerintah juga dapat membubarkan parlemen apabila parlemen dianggap tidak

mewakili kehendak rakyat.41

Dalam semua varian sistem pemerintahan yang dikemukakan di atas,

sistem pemerintahan parlementer adalah sistem pemerintahan yang paling luas

diterapkan di seluruh dunia. Sistem pemerintahan parlementer ini pertama kali

40

Ibid., hal. 25-26. 41

(35)

lahir dan dilaksanakan di Inggris. Oleh karena itu, jika hendak menganalisis

sistem pemerintahan parlementer sebaiknya dimulai dengan mengacu kepada

berbagai lembaga dalam sistem politik Inggris. Tidak hanya merujuk kepada

lembaga-lembaga politik, analisis juga harus mengacu kepada pengalaman Inggris

dalam menganut sistem pemeritahan parlementer.42

Berdasarkan sejarah perkembangan sistem pemerintahan Inggris, sistem

pemerintahan parlementer tumbuh melalui suatu perjalanan sejarah

ketatanegaraan Inggris yang panjang. Munculnya kabinet modern Inggris

umumnya dikaitkan dengan kekuasaan Partai Whigs era pemerintahan William

Walpole (1721-1742). Meski fakta itu dianggap benar, masih perlu mundur jauh

ke belakang untuk menelusuri asal-usul kabinet modern yang sebenarnya.

Sebelumnya raja menggabungkan kekuasaan negara (law giver, the excecutor of the law, and the judge) dalam jabatannya. Di bawah kekuasaan William I dibentuk the Great Council untuk membantu raja menjalankan tiga kekuasaan itu.43

Dalam sejarah Inggris, sistem ini dikembangkan karena adanya keperluan

politis yang mendesak, sehingga perkembangannya tidaklah didasarkan atas

tuntutan konstitusi, hukum, dan teori politik. Praktik mengenai ini berkembang

mendaului teori yang dibuat. Pada mulanya, kabinet dibentuk sebagai suatu dewan

pelayan rahasia ataupun dewan pelaksana perintah dari para Raja dalam

menjalankan pemerintahan negara.44

42

Saldi Isra, loc. cit. 43

C. F. Strong dalam ibid., hal. 27. 44

(36)

Untuk menjamin kekuasaannya, para Perdana Menteri Inggris pada awal

abad ke-18, selalu berusaha mencari dukungan parlemen sebagaimana dukungan

dan kepercayaan yang mereka berusaha dapatkan dari Raja. Dukungan dari para

anggota parlemen dibutuhkan oleh Perdana Menteri untuk mengesahkan anggaran

pendapatan dan belanja kabinet yang diajukan sebagaimana ia membutuhkan

kepercayaan dari Raja agar ia dapat tenang menjalankan tugasnya memimpin roda

pemerintahan. Peristiwa yang dapat dianggap sebagai awal tumbuhnya tradisi

dukungan parlemen itu, terjadi pada tahun 1742. Ketika itu, kedudukan Perdana

Menteri Inggris dipegang oleh Sir Robert Walpole (1721-1742). Tetapi karena

kehilangan kepercayaan dan dukungan parlemen, Walpole terpaksa

mengundurkan diri meskipun Raja masih memberikan kepercayaan kepadanya

untuk terus memimpin pemerintahan kerajaan Inggris.45

Peristiwa inilah yang kemudian yang menjadi preseden sehingga

dukungan parlemen dianggap perlu bagi Perdana Menteri untuk menjalankan roda

pemerintahan. Dari sudut sejarah pertumbuhannya, sistem kabinet ini dapat

dianggap sebagai jawaban terhadap kebutuhan untuk membatasi kekuasaan Raja

yang sebelumnya berkembang sesuai dengan prinsip Raja tidak mungkin

melakukan kesalahan (the King can do no wrong)46

45

Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah : Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, UI Press, Jakarta, 1996, hal, 65-66.

46

Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara…, op. cit. hal. 312.

yang berlaku umum di

lingkungan negara-negara monarki seperti di Inggris. Begitu juga dengan

pertanggungjawaban kabinet terhadap parlemen ini pada umumnya muncul karena

(37)

dimungkinkan karena tanggung jawab Raja dalam hal-hal tertentu masih belum

dapat dijangkau. Akibatnya, menteri harus bertanggung jawab, bukannya Raja.47

Mencermati kajian tentang sistem pemerintahan parlementer, perbedaan

model yang ada tidak banyak dipersoalkan. Karena itu, kajian lebih banyak

diarahkan pada karakter umum sistem pemerintahan parlementer. Dalam

melakukan kajian, cara mudah untuk mengenal sistem pemerintahan parlementer

adalah dengan memperhatikan dimana letak objek utama yang diperebutkan.

Dalam sistem pemerintahan parlementer, objek utama yang diperebutkan adalah

parlemen. Berkaitan dengan itu, pemilihan umum parlemen menjadi sangat

penting karena kekuasaan eksekutif hanya mungkin diperoleh setelah partai

kontestan pemilihan umum berhasil meraih kursi mayoritas dalam parlemen.

Seandainya tidak terdapat partai politik yang memperoleh suara mayoritas,

beberapa partai politik bergabung (koalisi) untuk membentuk kabinet.48

Untuk mendalami karakter sistem pemerintahan parlementer, tidak cukup

hanya dengan memperhatikan parlemen sebagai objek utama yang diperebutkan.

Sistem parlementer merupakan sistem yang menterinya bertanggung jawab

kepada parlemen ditambah dengan kekuasaan yang lebih kepada parlemen.49

Dalam sistem pemerintahan parlementer, badan eksekutif dan badan

legislatif bergantung satu sama lain. Kabinet, sebagai bagian dari badan eksekutif Dengan argumentasi ini, sistem pemerintahan parlementer didasarkan bahwa

parlemen adalah pemegang kekuasaan tertinggi.

47 Ibid. 48

Saldi Isra, op. cit., hal. 28. 49

(38)

yang bertanggung jawab diharap mencerminkan kekuatan-kekuatan politik dalam

badan legislatif yang mendukungnya dan mati-hidupnya kabinet bergantung

kepada dukungan dalam badan legislatif.50 Dalam perjalanannya, pemerintah bisa

jatuh melalui mosi tidak percaya dari lembaga legisatif. Dengan kondisi itu, dalam

sistem parlementer, keberlanjutan pemerintah sangat tergantung dari dukungan

parlemen.51 Dalam praktiknya, sifat serta bobot ketergantungan tersebut berbeda

antara satu negara dengan negara lain, akan tetapi umumnya dicoba untuk

mencapai semacam keseimbangan antara badan eksekutif dan badan legislatif.52

Keseimbangan yang harus dibangun oleh eksekutif dan legislatif bisa dilakukan

dengan bentuk kerja sama antara eksekutif dan legislatif agar pemerintah dapat

bertahan dan efektif dalam melaksanakan program-programnya.53

a. Hubungan antara lembaga parlemen dan pemerintah tidak murni

terpisahkan;

Prinsip pokok ataupun karakteristik umum dibawah ini dapat memberikan

kita kemudahan untuk mengetahui bahwa sistem pemerintahan yang dianut suatu

negara tersebut merupakan sistem pemerintahan parlementer, antara lain yaitu:

b. Fungsi eksekutif dibagi kepada dua bagian, yaitu kepala pemerintahan dan

kepala negara;

c. Kepala pemerintahan diangkat oleh kepala negara;

d. Kepala pemerintahan mengangkat menteri-menteri sebagai satu kesatuan

institusi yang bersifat kolektif;

50

Miriam Budiardjo, op. cit., hal. 210. 51

Ibid. 52

Ibid. 53

(39)

e. Menteri biasanya berasal dari anggota parlemen;

f. Pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen, bukan kepada rakyat

pemilih. Karena, pemerintah tidak dipilih oleh rakyat secara langsung,

sehingga pertanggungjawaban kepada rakyat pemilih juga bersifat tidak

langsung, yaitu melalui parlemen;

g. Kepala pemerintahan dapat memberikan pendapat kepada kepala negara

untuk membubarkan parlemen;

h. Dianutnya prinsip supremasi parlemen sehingga kedudukan parlemen

dianggap lebih tinggi daripada bagian-bagian dari pemerintahan;

i. Sistem kekuasaan negara terpusat pada parlemen.54

Bahwa dalam sistem pemerintahan parlementer ini, yang memegang

kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan ialah Perdana Menteri yang berasal

dari parlemen. Selain sebagai kepala pemerintahan yang fungsinya untuk

menjalankan roda pemerintahan, salah satu hal yang harus dilakukan oleh seorang

Perdana Menteri berikut dengan menteri-menterinya (kabinet) ialah senantiasa

menjaga kepercayaan dan meminta dukungan dari parlemen agar dalam

menjalankan tugasnya sehari-hari mendapat sambutan yang hangat dari parlemen

dan untuk menghindari munculnya mosi tidak percaya dari parlemen terhadap

kabinet yang bisa datang sewaktu-waktu, akibatnya ialah runtuh atau jatuhnya

kabinet. Serta maju mundurnya suatu kabinet sangat tergantung kepada parlemen,

dengan kata lain kabinet akan senantiasa berada di bawah tekanan parlemen.

54

(40)

2. Sistem Pemerintahan Presidensial

Jika sistem pemerintahan parlementer terkait dengan perkembangan sistem

parlementer Inggr is, sistem pemerintahan presidensial tidak dapat dipisahkan dari

Amerika Serikat. Dalam berbagai literatur dinyatakan, Amerika Serikat bukan saja

merupakan tanah kelahiran sistem pemerintahan presidensial, tetapi juga menjadi

contoh ideal karena telah memenuhi hampir semua kriteria yang ada dalam sistem

pemerintahan presidensial. Oleh karena itu, jika hendak melakukan pengkajian

mengenai sistem pemerintahan presidensial, maka ada baiknya dimulai dengan

menelaah sistem politik Amerika Serikat.55

Latar belakang dianutnya sistem pemerintahan presidensial di Amerika

Serikat ialah karena kebencian rakyat terhadap pemerintahan Raja George III

sehingga mereka tidak menghendaki bentuk negara monarki dan untuk

mewujudkan kemerdekaannya dari pengaruh Inggris, maka mereka lebih suka

mengikuti jejak Montesquieu dengan mengadakan pemisahan kekuasaan,

sehingga tidak ada kemungkinan kekuasaan yang satu akan melebihi kekuasaan

yang lainnya, karena dalam trias politica itu terdapat sistem check and balance. Berbeda dengan sejarah sistem

pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan tidak dibangun melalui proses

evolusi yang lambat dan panjang. Kelahiran sistem pemerintahan presidensial

tidak dapat dilepaskan dari perjuangan Amerika Serikat dalam menentang dan

melepaskan diri dari kolonial Inggris serta sejarah singkat pembentukan konstitusi

Amerika Serikat.

56

55 Ibid. 56

(41)

Sebagai bentuk daripada penolakan terhadap Inggris, maka pembentuk

konstitusi Amerika Serikat berupaya membentuk sistem pemerintahan yang

berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer yang dipraktikkan di Inggris.

Salah satu konsep yang dimuat dalam konstitusi Amerika Serikat ialah pemisahan

kekuasaan antara legislatif dan eksekutif. Tidak hanya itu, jabatan Presiden

sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan pertama kali juga muncul di

Amerika Serikat pada abad ke-18.57 Jabatan presiden tersebut merupakan hasil

Konvensi Federal pada tahun 1787.58 Sekalipun memilih Presiden dan menolak

Raja, para perancang konstitusi Amerika Serikat memutuskan bahwa Presiden

harus mempunyai kekuatan yang memadai untuk menyelesaikan rumitnya

masalah bangsa. Karena itu dirancanglah konstitusi yang memberikan kekuasaan

besar kepada Presiden, namun dengan tetap menutup hadirnya pemimpin sejenis

Raja yang tiran.59

Diantara semua kawasan di dunia, negara-negara Amerika Tengah dan

Amerika Selatan merupakan kawasan yang paling luas menggunakan sistem

pemerintahan presidensial. Salah satu alasannya, secara geografis, negara-negara

tersebut lebih dekat dengan Amerika Serikat. Sementara itu, di Afrika, Presiden

Liberia yang hadir pada tahun 1848 adalah Presiden pertama yang mendapat

pengakuan dunia internasioanl.60

57

Denny Indrayana dalam Saldi Isra, op. cit., hal. 32. 58

Harun Alrasyid dalam Saldi Isra, ibid. 59

Ibid. 60

Ensiklopedi Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/president, diakses pada tanggal 29 Mei 2010.

Di Asia, pemerintahan republik yang dipimpin

(42)

peritiwa itu terjadi ketika Filipina memperoleh kemerdekaan dalam bentuk The Commonwealth of the Phlippinnes dari Amerika Serikat.61

Dengan semakin meluasnya negara-negara yang menganut bentuk

pemerintahan republik yang dipimpin oleh seorang Presiden, mulai muncul

kajian-kajian tentang praktik sistem pemerintahan presidensial. Misalnya, pada

era 1940-an muncul kajian tentang perbandingan antara sistem pemerintahan

parlementer dengan sistem pemerintahan presidensial. Selanjutnya, pada era

1950-an sampai 1970-an, kajian sistem pemerintahan presidensial lebih banyak

menyoroti proses demokrasi dalam pelaksanaan fungsi legislasi pada sistem

pemerintahan presidensial di Amerika. Dari berbagai literatur yang ada, era

1980-an sampai deng1980-an 1990-1980-an menjadi periode y1980-ang paling luas dalam mengkaji

sistem pemerintahan presidensial. Pada periode 1980-1990-an ini, kajian mulai

mengarah pada praktik sistem pemerintahan presidensial di beberapa benua.62

a. Gelombang pertama, ditandai oleh satu variabel penjelas, yaitu bentuk pemerintahan (tipe rezim) dan variabel perantara yakni keberhasilan konsolidasi demokrasi.

Pada era abad ke-19 sampai awal abad ke-21, kajian atas sistem

pemerintahan presidensial memasuki dimensi yang lebih luas. Gelombang studi

mengenai sistem pemerintahan presidensial pada tahun 1990 sampai awal abad

ke-21 terus mengalami perkembangan. Secara umum, pada periode ini terdapat

empat gelombang pemikiran dan studi mengenai sistem pemerintahan

presidensial, yaitu:

b. Gelombang kedua, ditandai dengan variabel penjelas, yakni tipe rezim ditambah dengan sistem kepartaian dan/atau leadership powers dan

61

Harun Alrasyid dalam Saldi Isra, op. cit., hal. 34. 62

(43)

variabel perantara yaitu good governance yang pada umumnya bertentangn dengan variabel perantara konsolidasi demokrasi.

c. Gelombang ketiga, berbeda dengan gelombang pertama dan kedua, pada gelombang ketiga ini ditandai dengan pengaruh teori-teori ilmu politik. Dalam hal ini, manfaat-manfaat rezim presidensial tidak lagi menjadi satu-satunya fokus studi.

d. Gelombang keempat, penguatan paradigma good governance semakin mensyaratkan perubahan-perubahan struktural dan fungsi pada level sistem pemerintahan.63

Jika sejarah perkembangan sistem pemerintahan parlementer lebih

menggambarkan perjuangan mengurangi kekuasaan absolut yang dimiliki Raja,

maka perkembangan sistem pemerintahan presidensial lebih banyak ditandai

dengan masalah dasar, yaitu bagaimana mengalola hubungan antara presiden

dengan lembaga legislatif. Karena sama-sama mendapat mandat langsung dari

rakyat, sistem pemerintahan presidensial sering terjebak dalam ketegangan antara

presiden dengan lembaga legislatif. Hal itu sering terjadi jika kekuatan partai

politik mayoritas di lembaga legislatif berbeda dengan partai politik Presiden.

Menelusuri perkembangan sistem pemerintahan presidensial, masa jabatan

yang tetap (fix term) hanya merupakan jaminan bahwa Presiden dapat bertahan sampai akhir masa jabatannya. Namun secara keseluruhan, masa jabatan Presiden

tidak menjamin bahwa sistem pemerintahan presidensial lebih stabil dan mampu

bertahan dalam kurun waktu yang lebih lama bila dibandingkan dengan sistem

pemerintahan parlementer.

Sementara itu, jika partai mayoritas di lembaga legisatif sama dengan

partai politik pendukung Presiden atau mayoritas partai di lembaga legislatif

mendukung Presiden, maka sistem pemerintahan presidensial akan mudah

63

(44)

terperangkap menjadi pemerintahan yang otoriter. Hal tersebut bisa terjadi jika

mayoritas suara yang ada di lembaga legislatif telah berhasil diraih ataupun

dikuasai Presiden. Kondisi yang seperti ini dapat memberikan potensi yang besar

untuk menjadikan Presiden sangat berkuasa.

Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan

presidensial tidak hanya meletakkan Presiden sebagai pusat kekuasaan eksekutif,

tetapi juga sebagai pusat kekuasaan negara. Artinya, Presiden tidak hanya sebagai

kepala pemerintahan, tetapi juga sebagai kepala negara. Itulah sebabnya

kekuasaan Presiden tidak hanya menyentuh wilayah kekuasaan eksekutif, tetapi

juga merambah pada fungsi legisasi dan kewenangan di bidang yudikatif.64

Dengan kekuasaan Presiden yang begitu luas, jika dalam sistem pemerintahan

parlementer objek yang diperbutkan ialah parlemen, maka dalam sistem

pemerintahan presidensial objek yang diperbutkan ialah Presiden. Sekalipun

dalam sistem pemerintahan presidensial tidak satupun lembaga negara yang

menjadi fokus kekuasaan, peran dan karakter individu Presiden lebih menonjol

dibandingkan dengan peran kelompok, organisasi, atau partai politik yang ada

dalam negara. Oleh karena itu, mayoritas para ahli dalam menguraikan sistem

pemerintahan presidensial cenderung menghadapkan posisi Presiden dengan

lembaga legislatif.65

Untuk memahami lebih jauh tentang sistem pemerintahan presidensial,

berikut ini akan dipaparkan karakteristik umum yang menggambarkan sistem

pemerintahan presidensial tersebut, yaitu:

64

Denny Indrayana dalam ibid., hal. 38. 65

(45)

a. Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif.

b. Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif Presiden tidak terbagi dan hanya ada Presiden dan Wakil Presiden saja.

c. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya kepala negara adalah kepala pemerintahan.

d. Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau bawahan yang bertanggung jawab kepadanya.

e. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya.

f. Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen.

g. Jika dalam sistem pemerintahan parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam sistem pemerintahan presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu, pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada konstitusi.

h. Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat. i. Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem

pemerintahan parlementer yang terpusat pada parlemen. 66

Berdasarkan karakter yang dikemukakan di atas, hampir semua ahli

sepakat bahwa salah satu karakter sistem pemerintahan presidensial yang utama

adalah Presiden memegang fungsi ganda, yaitu sebagai kepala negara dan

sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Meski sulit untuk membedakannya secara

jelas, sebagai kepala negara, jabatan Presiden dapat dikatakan sebagai simbol

negara. Dalam kekuasaan eksekutif, sebagai kepala pemerintahan, Presiden

merupakan pemegang kekuasaan tunggal dan tertinggi. Presiden tidak hanya

sekedar memilih anggota kabinet, tetapi juga berperan penting dalam pengambilan

keputusan di dalam kabinet. Terkait dengan hal itu, segala keputusan-keputusan

penting dalam sistem pemerintahan presidensial dapat dibuat dengan atau tanpa

pertimbangan anggota kabinet. Kondisi ini jelas berbeda dengan sistem

pemerintahan parlementer yang tidak memungkinkan Perdana Menteri untuk

membuat semua keputusan penting tanpa melibatkan anggota kabinet.

66

(46)

Di luar fungsi ganda yang dipegang oleh Presiden, karakter sistem

pemerintahan presidensial dapat juga dilihat dari pola hubungan antara lembaga

eksekutif dengan lembaga legislatif. Pola hubungan itu sudah bisa dilacak dengan

adanya pemilihan umum yang terpisah untuk memilih Presiden dan memilih

anggota legislatif.67

a. Presiden yang dipilih secara langsung menjadikan kekuasaannya menjadi

legitimate karena mendapat mandat langsung dari rakyat. Sementara itu Sistem pemerintahan presidensial murni merupakan sistem

yang antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif berifat in

Referensi

Dokumen terkait

Kemungkinan tersebut adalah pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan oleh partai politik tunggal yang telah mempunyai minimal 20% kursi di DPR dalam

Ciri utama yang lain dari sistem pemerintahan Presidensiil adalah bahwa pemegang kekuasaan eksekutif tunggal (presiden) tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan

(1)Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu

(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mejelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu

- (1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih

Ciri utama yang lain dari sistem pemerintahan Presidensiil adalah bahwa pemegang kekuasaan eksekutif tunggal (presiden) tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan

Sebagai contoh, dengan adanya fenomena menjamurnya lembaga non struktural, nantinya perlu dipilah peran yang dapat dilakukan lembaga non struktural sehingga tidak mengambil

Namun setelah UUD 1945 diamandemen, proses legislasi dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan merujuk kepada Pasal 20 ayat 1 yang berbunyi, “Dewan Perwakilan