• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Sistem Pemerintahan Presidensial Pada Praktek Multi Partai Di Indonesia Pasca Amandemen Uud 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perkembangan Sistem Pemerintahan Presidensial Pada Praktek Multi Partai Di Indonesia Pasca Amandemen Uud 1945"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL PADA PRAKTEK MULTI PARTAI DI INDONESIA

PASCA AMANDEMEN UUD 1945

TESIS

OLEH:

MUHAMMAD YUSRIZAL ADI SYAPUTRA 097005003/HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERKEMBANGAN SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL PADA PRAKTEK MULTI PARTAI DI INDONESIA

PASCA AMANDEMEN UUD 1945

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister Hukum

dalam Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

MUHAMMAD YUSRIZAL ADI SYAPUTRA 097005003/HK

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : PERKEMBANGAN SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL PADA PRAKTEK MULTI PARTAI DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Nama Mahasiswa : Muhammad Yusrizal Adi Syaputra

Nomor Pokok : 097005003 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Muhammad Abduh, SH) Ketua

(Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum) (Dr. Mirza Nasution, SH, M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan

( Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H.) ( Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 8 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH

(5)

ABSTRAK

Salah satu agenda reformsai adalah Amandemen UUD 1945 sejak tahun 1999 sampai dengan 2002 telah membawa perubahan yang sangat signifikan dalam struktur ketatanegaraan Negara Republik Indonesia terutama pada cabang kekuasaan eksekutif (Presiden/Wakil Presiden), Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat), dan Yudikatif (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi). Kekuasaan Presiden/wakil Presiden setelah amandemen selalu tidak lepas dari kontrol DPR sehingga mencerminkan sistem pemerintahan Indonesia bercorak parlementer bukan sistem presidensial seperti yang dianut dalam Konsitusi (UUD 1945). Indonesia sebagai Negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial dibuktikan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, walaupun dengan pemilihan langsung oleh rakyat, tetapi dalam konsitusi juga mengisayaratkan bahwa pasangan calon presiden/wakil presiden diusulkan dari partai politik hanya saja rakyat secara langsung memilihnya. Pemilu presiden/wakil presiden secara langsung pertama kali diadakan pada tahun 2004 telah membawa implikasi politik dan ketatanegaraan yang signifikan di Indonesia kombinasi sistem presidensial Indonesia dengan sistem multipartai merupakan sebuah pilihan yang dijalankan di Indonesia sehingga kestabilan politik dan pemerintahan selalu mengalami pasang surut. Dengan melihat kenyataan tersebut, maka penelitian ini menjawab tentang Bagaimana perkembangan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia ?, dan mengapa terjadi kecenderungan sistem multi partai dalam pemerintahan presidensial di Indonesia pasca perubahaan UUD 1945? serta bagaimana implikasi sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan pada praktek multi partai di Indonesia pasca perubahan UUD 1945?

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kedaulatan rakyat yang kemudian dikembangkan oleh Henry B.Mayo Pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui penyelenggaraan pemerintahan negara yang diwujudkan melalui sistem pemerintahan yang demokrasi di dalam praktiknya di negara-negara di dunia saat ini dapat melalui sistem perwakilan politik maupun pemilihan pejabat-pejabat publik melalui pemilihan umum. KemudianMiddle Theory yang digunakan adalah teori pembagian kekuasaan dari montesqie yang digunakan untuk mencari jawaban atas perkembangan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia sudah idealkah perkembangannya jika ditarik dengan sejarah perkembangannya, dan yang terakhir teori yang digunakan adalah teori sistem kepartaian dari sartori dan Maurice Duverger digunakan untuk menjawab implikasi yang disebabkan oleh penerapan sistem presidensial dengan praktek multipartai di Indonesia.

(6)

pada perubahan ketiga yang menghasilkan mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat melalui partai politik atau gabungan partai politik membuat dinamika politik menumbuh kembangkan banyaknya partai baru yang mengikuti pemilu. Hal tersebut telah senada dengan teori sistem kepartaian yang dikemukan oleh sartori bahwa Indonesia menganut sistem multi partai ekstrem (lebih dari tiga partai politik). Sehingga keadaan demikian tidak cocok diterapkan dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia yang seharusnya menggunakan sistem multipartai sederhana sehingga membawa implikasi pemerintahan yang kuat dan stabilitas politik dan pemerintahan dan bukan sebaliknya yang terjadi saat ini ketidakstabilan politik di parlemen dengan pemerintah.

(7)

Abstrack

Amandement of the 1945 Constitution caused a sifnificant change in the form of Indonesian government, especially in the excecutive powers (president/vice precident), legislative ( the house of representatives) and judicative ( the supreme court and the constitusional court). The power of president cannot be separated from the control by the house of representatives os that in indicates that the Indonesian system of government is parliamentary and not presidential system as it is reflected int the 1945 Constitution. Indonesia is a country which follows presidential system as it can be seen from direct presidential election by the people. However, the 1945 constitution also indicates that he candidates for president and vice president are proposed by political parties although people elect them directly. The direct election of president and vice president which was firstly conducted in2004 had brought about the significant political and constitutional implication in Indonesia. the combination of presidential system and multiparty system as an option conduted in Indonesia has caused the political stabilization and the system of government often in low ebb. Considering this condition has caused this study to answer the questions: how was the development of the presidential government in Indonesia after the amandement of the constitution?, why is there an inclination of multiparty system within the presidential government in Indonesia after the amandement of the 1945 constitution?, how is the implication of the presidential system which is applied to the practice of multiparty system in Indonesia after the amandement of the 1945 constitution?

The theory used in this research was the sovereignty of the people which had been developed by Henry B. Mayo. The implementation of the sovereignty of the people in the running of the government. In the practice, this system is implemented by many countries nowadays through the political representation system of the election of public officials through general election. The second theory used in this research was the allocation of power by montesqieu as the response to the development of presidential system in Indonesia whether its development will be ideal if it goes back to it historical development. The last theory used in this research was the party system by Sartori and Maurice Duverger in reponse to the implication caused by the application of presidential system with the practice of multiparty system in Indonesia.

(8)

present. The inclination of the practice of multiparty system in the presidential government in Indonesia after the amandement of the 1945 Constitution is due to third change which has brought about the mechanism of direct election by the people though political parties or the combination of political parties. This condition has caused the development of new parties which participate in the general election. This case in line with the theory of party system prosed by Sartori that Indonesia follows extreme multiparty system (more than three political parties). This condition cannot be applied in the Indonesian presidential system which, actually, should use simple multiparty system so that Indonesia has strong government and political and governmental stability and not the other way around which is occurring today: there is no political stability between the parliament and the government.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan atas kebesaran yang hanya dimiliki ALLAH SWT, Maha Pencipta Langit dan Bumi beserta isinya. Shalawat beriring salam tak lupa penulis ucapkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga beserta para sahabat Beliau. Mudah-mudahan dengan shafaat Beliau kelak kita selaku umat muslim akan selamat di akhirat kelak. Berkat Rahmat dan Karunia NYA lah penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul: Perkembangan Sistem Pemerintahan Presidensial Pada Praktek Multi Partai Di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM).Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, Selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(10)

5. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH.M.Hum, selaku dosen pembimbing, penulis ucapkan terimakasih atas pengarahan, petunjuk, ide, kritik dan saran serta bimbingannya selama penulis mengerjakan penelitian tesis ini hingga mencapai hasil yang terbaik;

6. Bapak Dr.Mirza Nasution, SH.M.Hum, selaku dosen pembimbing penulis mengucapkan terimakasih atas pengarahan, petunjuk, kritik dan saran serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis saat mengerjakan tesis ini; 7. Kepada seluruh Guru Besar dan Staff Pengajar Program Magister Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu selama perkuliahan penulis ucapkan terimakasih;

8. Kepada seluruh staff sekretariat Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara penulis ucapkan terimakasih atas bantuan dan informasinya ( kepada kak juli, kak fitri, kak pika, buk ganti, bang hendra dan yang tidak dapat tersebutkan satu persatu);

(11)

10. Kepada Kedua orang tua penulis (Drs. M. Nazwandi dan Yusniar, Spd) yang telah membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dari mulai tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan kepada kedua adik penulis Fitri Yusmawita, MSi beserta suami Afriansyah, SE dan si bunggsu Muhammad Rizki Mahyuzar serta keluarga penulis semuanya yang selalu memberikan kasih sayang dan motivasi kepada penulis. Semoga dengan Tesis ini menjadi langkah awal bagi penulis untuk menempuh cita-cita yang belum terwujud.

11. Kepada dr. Vera Yati terimakasih atas kasih dan sayangnya, kesetiaannya baik dalam keadaan susah maupun senang, semoga kita dapat mengarungi biduk kehidupan ini bersama-sama.

Sebagai sebuah karya ilmiah, penulis mengakui dan menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu penulis selalu membuka diri untuk menerima kritikan dan saran yang membangun penulis untuk selalu maju dalam melakukan segala sesuatu.

Medan, Agustus 2011

(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA DIRI

Nama : Muhammad Yusrizal Adi Syaputra TTL : Aras Kabu/ 22 Januari 1986

Alamat : Desa Aras Kabu Kecamatan Beringin Kab.Deli Serdang Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

II. PENDIDIKAN FORMAL

a. SD Negeri 101903 Bakaran Batu (1992-1998)

b. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Lubuk Pakam (1998-2001) c. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Lubuk Pakam (2001-2004) d. S-1 Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang (2004-2008)

e. S-2 Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ( 2009-2011)

Medan, Agustus 2011 Penulis,

(13)

DAFTAR ISI

ABSTRAK……….. i

ABSTCAK……….. iii

KATA PENGANTAR……….. v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP……….. viii

DAFTAR ISI………. ix

BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang……….. 1

B. PerumusanMasalah……….. 19

C. Tujuan Penelitian………... 20

D. Manfaat Penelitian………. 20

E. Keaslian Penelitian………... 21

F. Kerangka Teori dan Konsepsi……… 22

1. Kerangka Teori………. 22

2. Kerangka Konsepsi……….. 40

G. Metode Penelitian………. 43

1. Tipe atau Jenis Penelitian……….. 43

2. Sumber Data Penelitian………. 46

(14)

BAB II PERKEMBANGAN SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL

DI INDONESIA……….. 46

A. Sistem Pemerintahan... 46

1. Sistem Pemerintahan Parlementer... 58

2. Sistem Pemerintahan Presidensial... 54

3. Sistem Pemerintahan Campuran( Hybrd System )... 62

B. Perkembangan Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia………. 64

1. Periode 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949………. 64

2. Periode 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950……….. 72

3. Periode 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959……….. 77

4. Periode 5 Juli 1959 sampai dengan 19 Oktober 1999………. 87

a. 5 Juli 1959 sampai dengan 11 Maret 1966………. 87

b. 11 Maret 1966 sampai dengan 19 Oktober 1999……… 92

c. 19 Oktober 1999 sampai dengan Sekarang……… 100

BAB III KECENDRUNGAN SISTEM MULTI PARTAI DALAM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL DI INDONESIA PASCA PERUBAHAAN UUD 1945……… 122

A. Sistem Multi Partai di Indonesia……….. 122

B. Kecendrungan Penerapan Sistem Multi Partai di Indonesia ………… 128

C. KoalisiPemerintahan……… 136

(15)

A. Sistem Pemerintahan Presidensial dalam Sistem Multi Partai

di Indonesia……… 149 B. Implikasi Sistem Pemerintahan Presidensial Yang Diterapkan

Dengan Sistem Multi Partai di Indonesia

Pasca Perubahan UUD 1945………… 151

C. Penyederhanaan Partai Politik Indonesia……….. 159 1. Electoral Thresholddalam Penyederhanaan

Sistem Multipartai di Indonesia……….. 160 2. Parliamentary Thresholddalam Penyederhanaan

Sistem Multipartai di Indonesia (UU No. 10 tahun 2008)………… 166 3. Syarat Perolehan Kursi di DPR dan Perolehan Suara

Nasional Pemilu Legislatif Dalam Pengusulan

Calon Presiden dan Wakil Presiden……… 169

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan……….. 174

B. Saran……….. 176

(16)

ABSTRAK

Salah satu agenda reformsai adalah Amandemen UUD 1945 sejak tahun 1999 sampai dengan 2002 telah membawa perubahan yang sangat signifikan dalam struktur ketatanegaraan Negara Republik Indonesia terutama pada cabang kekuasaan eksekutif (Presiden/Wakil Presiden), Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat), dan Yudikatif (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi). Kekuasaan Presiden/wakil Presiden setelah amandemen selalu tidak lepas dari kontrol DPR sehingga mencerminkan sistem pemerintahan Indonesia bercorak parlementer bukan sistem presidensial seperti yang dianut dalam Konsitusi (UUD 1945). Indonesia sebagai Negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial dibuktikan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, walaupun dengan pemilihan langsung oleh rakyat, tetapi dalam konsitusi juga mengisayaratkan bahwa pasangan calon presiden/wakil presiden diusulkan dari partai politik hanya saja rakyat secara langsung memilihnya. Pemilu presiden/wakil presiden secara langsung pertama kali diadakan pada tahun 2004 telah membawa implikasi politik dan ketatanegaraan yang signifikan di Indonesia kombinasi sistem presidensial Indonesia dengan sistem multipartai merupakan sebuah pilihan yang dijalankan di Indonesia sehingga kestabilan politik dan pemerintahan selalu mengalami pasang surut. Dengan melihat kenyataan tersebut, maka penelitian ini menjawab tentang Bagaimana perkembangan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia ?, dan mengapa terjadi kecenderungan sistem multi partai dalam pemerintahan presidensial di Indonesia pasca perubahaan UUD 1945? serta bagaimana implikasi sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan pada praktek multi partai di Indonesia pasca perubahan UUD 1945?

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kedaulatan rakyat yang kemudian dikembangkan oleh Henry B.Mayo Pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui penyelenggaraan pemerintahan negara yang diwujudkan melalui sistem pemerintahan yang demokrasi di dalam praktiknya di negara-negara di dunia saat ini dapat melalui sistem perwakilan politik maupun pemilihan pejabat-pejabat publik melalui pemilihan umum. KemudianMiddle Theory yang digunakan adalah teori pembagian kekuasaan dari montesqie yang digunakan untuk mencari jawaban atas perkembangan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia sudah idealkah perkembangannya jika ditarik dengan sejarah perkembangannya, dan yang terakhir teori yang digunakan adalah teori sistem kepartaian dari sartori dan Maurice Duverger digunakan untuk menjawab implikasi yang disebabkan oleh penerapan sistem presidensial dengan praktek multipartai di Indonesia.

(17)

pada perubahan ketiga yang menghasilkan mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat melalui partai politik atau gabungan partai politik membuat dinamika politik menumbuh kembangkan banyaknya partai baru yang mengikuti pemilu. Hal tersebut telah senada dengan teori sistem kepartaian yang dikemukan oleh sartori bahwa Indonesia menganut sistem multi partai ekstrem (lebih dari tiga partai politik). Sehingga keadaan demikian tidak cocok diterapkan dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia yang seharusnya menggunakan sistem multipartai sederhana sehingga membawa implikasi pemerintahan yang kuat dan stabilitas politik dan pemerintahan dan bukan sebaliknya yang terjadi saat ini ketidakstabilan politik di parlemen dengan pemerintah.

(18)

Abstrack

Amandement of the 1945 Constitution caused a sifnificant change in the form of Indonesian government, especially in the excecutive powers (president/vice precident), legislative ( the house of representatives) and judicative ( the supreme court and the constitusional court). The power of president cannot be separated from the control by the house of representatives os that in indicates that the Indonesian system of government is parliamentary and not presidential system as it is reflected int the 1945 Constitution. Indonesia is a country which follows presidential system as it can be seen from direct presidential election by the people. However, the 1945 constitution also indicates that he candidates for president and vice president are proposed by political parties although people elect them directly. The direct election of president and vice president which was firstly conducted in2004 had brought about the significant political and constitutional implication in Indonesia. the combination of presidential system and multiparty system as an option conduted in Indonesia has caused the political stabilization and the system of government often in low ebb. Considering this condition has caused this study to answer the questions: how was the development of the presidential government in Indonesia after the amandement of the constitution?, why is there an inclination of multiparty system within the presidential government in Indonesia after the amandement of the 1945 constitution?, how is the implication of the presidential system which is applied to the practice of multiparty system in Indonesia after the amandement of the 1945 constitution?

The theory used in this research was the sovereignty of the people which had been developed by Henry B. Mayo. The implementation of the sovereignty of the people in the running of the government. In the practice, this system is implemented by many countries nowadays through the political representation system of the election of public officials through general election. The second theory used in this research was the allocation of power by montesqieu as the response to the development of presidential system in Indonesia whether its development will be ideal if it goes back to it historical development. The last theory used in this research was the party system by Sartori and Maurice Duverger in reponse to the implication caused by the application of presidential system with the practice of multiparty system in Indonesia.

(19)

present. The inclination of the practice of multiparty system in the presidential government in Indonesia after the amandement of the 1945 Constitution is due to third change which has brought about the mechanism of direct election by the people though political parties or the combination of political parties. This condition has caused the development of new parties which participate in the general election. This case in line with the theory of party system prosed by Sartori that Indonesia follows extreme multiparty system (more than three political parties). This condition cannot be applied in the Indonesian presidential system which, actually, should use simple multiparty system so that Indonesia has strong government and political and governmental stability and not the other way around which is occurring today: there is no political stability between the parliament and the government.

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu agenda Reformasi adalah perubahan UUD 1945, perubahan tersebut dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan berlandaskan pada Pasal 37 UUD 1945 yang kemudian telah berhasil mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali. Amandemen pertama dilakukan pada sidang umum MPR tanggal 19 Oktober 1999, amandemen kedua dilakukan pada sidang umum MPR tanggal 7-18 Agustus 2000,amandemen ketiga berlangsung pada sidang tahunan MPR tanggal 9 November 2001 dan amandemen ketiga berlangsung pada sidang tahunan MPR tanggal 1-11 Agustus 2002.

Tidak konsisten adalah salah satu kelemahan yang cukup elementer dalam UUD 1945. Hal ini telah menimbulkan dampak yang luas dalam proses penyelenggaraan Negara Indonesia. Saldi Isra mengatakan bahwa Inkonsistensi ini dapat dibuktikan sebagai berikut:1

Pertama, sistem pemerintahan Indonesia dalam UUD 1945 adalah sistem Presidensial ini dapat dibuktikan bahwa menteri diangkat oleh Presiden. Tetapi dengan adanya ketentuan bahwa Presiden bertanggungjawab kepada MPR membuktikan bahwa model sistem parlementer juga dianut oleh UUD 1945. Majelis permusyawaratan rakyat dapat menjatuhkan Presiden dengan cara mengadakan sidang istimewa MPR. Apabila MPR menolak pertanggungjawaban maka Presiden akan diberhentikan oleh MPR. Pemberhentian ini akan berakibat pada pembubaran kabinet.

1

(21)

Kedua, tidak konsisten dalam menentukan bentuk kedaulatan. Dalam UUD 1945 ada bentuk kedaulatan yaitu kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum dan kedaulatan Negara. barangkali, kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum dapat saling melengkapi. Tetapi kedaulatan Negara menjadi tidak sejalan dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Dalam pelaksanaan pemerintahan, sistem kedaulatan Negara akan dengan mudah menjelma menjadi sistem yang otoriter karena Negara dijelmakan oleh individu-individu yang menjalankan roda pemerintahan.

Berkaitan dengan upaya untuk mengontrol kekuasaan agar tidak terulang adanya pemerintahan yang otoriter sebagaimana sebelumnya, amandemen UUD 1945 berusaha memperjelas pembagian dan pemisahan kekuasaan yang ada dilembaga-lembaga pemerintahan. Mengingat masalah utama bagi adanya sentralisasi kekuasaan pada masa lalu adalah begitu besarnya kekuasaan pada eksekutif, dalam hal ini adlaah lembaga Kepresidenan, pada amandemen UUD 1945 terdapat upaya untuk memperjelas dan membatasi kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden.2

Sebenarnya, adanya kekuasaan eksekutif yang besar itu bukan hanya khas Indonesia, hampir diseluruh negara-negara di dunia memberi kekuasaan yang besar terhadap eksekutif itu sekaligus menyandang predikat sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Apalagi Indonesia menganut Presidensial di dalam sistem pemerintahannya yang memberi ruang kekuasaan cukup besar kepada Presiden untuk memimpin pemerintahan. Tetapi kekuasaan Presiden Indonesia yang terlalu luas menjamah kekuasaan legislatif dan yudikatif dalam sejarahnya telah melahirkan pemerintahan yang tidak demokratis.3 Melalui amandemen UUD 1945, dominasi

2

Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia:Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru,

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm.24.

3

(22)

lembaga eksekutif terhadap lembaga-lembaga negara lainnya dikurangi dengan mengedepankan sistem checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Republik Indonesia.

Khusus mengenai lembaga Kepresidenan di Indonesia, sebelum amandemen UUD 1945 memiliki kekuasaan yang begitu dominan, seperti kekuasaan Presiden dalam membentuk Undang-Undang yang seharusnya menjadi kekuasaan DPR, terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 berbunyi:

(1) Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat;

Kemudian mengenai pengisian jabatan Presiden yang sangat fleksibel disebutkan dalam UUD 1945, di dalam Pasal 7 yang berbunyi:

“ Presiden dan wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.

Dari bunyi Pasal tersebut, menimbulkan problematika yang menjadi sejarah buruk bagi pengisian jabatan Presiden di Indonesia. Presiden Soekarno memegang jabatan Presiden selama 20 tahun dibawah tiga undang-undang dasar yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUD Sementara 1950 dan itu sama dengan empat kali memegang jabatan Presiden. Di bawah konstitusi RIS, berdasarkan Pasal 69 ayat (2) pada tanggal 16 desember 1949, Ir. Soekarno terlah terpilih sebagai Presiden RIS.

(23)

1945-1949, 1959-1964 dan 1964-1967. Dari tahun 1959 sampai dengna tahun 1967, Presiden Soekarno menjabat selama 8 tahun tanpa melalui Pemilu dan sidang umum MPR. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 7 UUD 1945.4 Sebagai akibat dan upaya dari pelanggengan kekuasaan tersebut, muncul suatu masalah konstitusional dalam rezim demokrasi terpimpin yaitu MPRS yang kekuasaan tidak terbatas itu dapat mengeluarkan Tap MPRS No.III/MPRS/1963 tentang pengangkatan pemimpin besar revolusi Indonesia, Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia seumur hidup.5

Sejarah politik dan ketatanegaraan Indonesia telah mencatat, bahwa MPR yang memegang kedaulatan rakyat dan memegang kekuasaan negara yang tertinggi yang kekuasaannya tidak terbatas itu telah mengangkat Presiden Soekarno menjadi Presiden Indonesia seumur hidup yang berarti MPR dengan kekuasaan yang tidak terbatas itu secara absolut, menyampingkan dan melanggar konstitusi yaitu melanggar Pasal 7 UUD 1945. Dengan kekuasaan yang tidak terbatas pula, MPR memilih secara aklamasi Soeharto sebagai Presiden sebanyak 6 (enam) kali tanpa mengikutsertakan calon Presiden kandidat lain. Itu bearti, dengan kekuasaan yang tidak terbatas, MPR melanggar Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, Presiden dan wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. MPR juga melanggar Pasal 2 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan segala putusan ditetapkan dengan suara terbanyak. Ini jelas-jelas merupakan sebuah pengingkaran terhadap

4

Jhon Pieris,Pembatasan Konstitusional Kekuasaan Presiden RI,(Jakarta: Pelangi Cendikia, 2007), Hlm.16.

5

(24)

paham konstitusionalisme dan demokrasi konstitusional yang sebenarnya secara substansial dianut UUD 1945.6

Semangat Pasal 6 ayat (2) UUD 1s945 baru terlihat pada pemilihan Presiden tahun 1999. Didalam pemilihan tersebut muncul tiga orang calon Presiden yang akan dipilih secara demokratis oleh MPR dengan suara terbanyak. Akan tetapi pada pemilu tahun 1999, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan) sebagai partai pemenang pemilihan umum gagal dalam mendapatkan kursi kepresidenan. Pemilu tahun 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik, dan yang menembus electoral threshold hanya sekitar 12,5 persen partai yang relatif memiliki dukungan masyarakat.

Sebelum Reformasi, di Era Orde Baru partai politik yang diakui hanya dua, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan ditambah satu Golongan Karya (Golkar). Hanya saja, dimulai dari naiknya Soeharto menjadi Presiden Indonesia menggantikan Soekarno, Golkar selalu menjadi partai pemenang pemilihan umum, dan kedua partai lainnya hanya sebagai pelengkap kebijakan politik orde baru.

Pemilu tahun 1999 merupakan sebuah era munculnya banyak partai di Indonesia yang semuanya ingin berlaga di pemilihan umum. Tokoh-tokoh reformis mengambil ancang-ancang untuk mendirikan kendaraan politik untuk memperoleh legitimasi secara objektif dari masyarakat. KH.Abdurrahman Wahid mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Amien Rais mendirikan Partai Amanat Nasional

6

(25)

(PAN), K.H.Zainuddin MZ mendirikan Partai Bintang Reformasi, Yusril Iza Mahendra mendirikan Partai Bulan Bintang, ditambah lagi dengan tiga partai lama, PDI-P, Golkar, PPP berserta partai baru lainnya. Pada pemilihan umum tahun 1999 yang merupakan Pemilihan Umum pertama di era Reformasi, keran multi partai dibuka, pada saat itu ratusan partai muncul bak jamur di musim hujan. Dengan dibukanya keran pembentukan partai politik pada tahun 1999 sebenarnya secara yuridis tidak sah, karena undang-undang yang mengatur kepartaian yang berlaku saat itu adalah Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik yang hanya mengenal dua partai (PDI dan PPP) dan satu Golongan Karya.7

Meskipun pemerintahan yang dibangun oleh Pemilu 1999 bukanlah sistem parlementer sebagaimana pemilu 1955, pola koalisi antara partai yang satu dengan yang lain juga terjadi. PDIP yang memenangkan Pemilu 1999 gagal merebut kursi kepresidenan karena gagal membangun koalisi. Hal ini terjadi karena berdasar perolehan kursi yang dimilikinya sendiri, PDIP tidak cukup kuat untuk berdiri sendiri tanpa dukungan dari partai lain. Sebaliknya, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang hanya berbasis pada partai tengahan (PKB) bisa terpilih sebagai Presiden karena diboyong oleh koalisi yang lebih besar. Pola koalisi itu juga tercermin di dalam pergulatan politik sehari-hari karena DPR memiliki kekuasaan yang jauh lebih besar

7

Suko Wiyono,Pemilu Multi Partai Dan Stabilitas Pemerintahan Presidensial Di Indonesia,

(26)

apabila dibandingkan sebelumnya. Didalam situasi seperti ini makna partai-partai kecil yang memiliki kursi diparlemen lalu menjadi lebih berarti.8

Sebagai dampak tidak adanya Reformasi kelembagaan sebagai fondasi bagi arena politik lembaga demokrasi terutama Presiden, DPR, dan MPR. Pada pemilu 1999 mengahasilkan polarisasi kekuatan di DPR, sehingga tidak ada satu partai politikpun yang menguasai kursi di DPR secara mayoritas. Itulah sebabnya menghasilkan konsekuensi bahwa harus ada koalisi-koalisi partai dalam pemilihan Presiden di MPR agar dapat legitimasi politik yang kuat. Sementara pada saat yang sama, format kelembagaan yang ada memungkinkan sebagai format baru sistem multi partai. Dilemma politik pemilu tahun 1999 menghasilkan sistem Presidensial yang lemah karena kekuatan partai melalui parlemen dapat melakukan impeachment melalui MPR. Hal tersebut terjadi ketika pertanggungjawaban Presiden B.J.Habibie tidak diterima disidang MPR tahun 1999, dan Presiden K.H.Abdurrahmanwahid yang diimpeachment oleh MPR karena Presiden berusaha untuk membubarkan DPR.

Fenomena pemilu 1955 dan 1999 terulang kembali pada pemilu 2004. Konsentrasi perolehan suara lebih banyak menyebar ke partai-partai tertentu saja. Meskipun demikian, kalau dibandingkan dengan pemilu 1955 dan 1999, jumlah partai yang memperoleh dukungan cukup berarti itu lebih banyak lagi jumlahnya yaitu tujuh partai. Di samping lima partai sebelumnya, pemilu 2004 menghasilkan

8

(27)

dua partai tambahan yang memperoleh suara cukup berarti yaitu PKS dan Partai Demokrat.9

Pada pemilu 2004, pemilihan Presiden dan wakil Presiden sudah tidak lagi melalui mekanisme di MPR, akan tetapi melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Hal tersebut diatur dalam Pasal 6A ayat UUD 1945 :

(1) Presiden dan wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat;

(2) Pasangan calon Presiden dan wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum;

(3) Pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suaru dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara disetiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah propinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan wakil Presiden;

(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan wakil Presiden;

(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.

Di dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tersebut diatas, jelas terlihat bahwa pengisian jabatan Presiden dan wakil Presiden tidak lepas dari unsur partai politik, dimana partai politik merupakan sebuah kendaraan politik untuk mewujudkan sebuah pemerintah yang baik. Hanya saja dalam perjalannya, partai politik di Indonesia belum dapat mengimplementasikan keinginan rakyat sebagai basis dari partai politik. Amandemen UUD 1945 terhadap pemilihan Presiden dan wakil Presiden secara

9

(28)

langsung mengisyaratkan bahwa semangat sistem perpolitikan Indonesia telah menuju kearah politik sistem multi partai akan tetapi hal tersebut hanya tersirat dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

Pemilu 2004 yang melaksanakan pemilihan Presiden dan wakil Presiden secara langsung, tetapi mengingat pencalonan Presiden dan wakil Presiden melalui mekanisme partai yang memiliki suara dalam jumlah tertentu maka proses koalisi partai pun tidak dapat dihindari. Alhasil, dalam pemilu 2004, Partai Golkar mengusung pasangan calon Presiden Wiranto dengan K.H.Salahuddin Wahid, PDI-P menempatkan megawati Soekarno Putri dengan K.H.Hasyim Mujadi, partai Demokrat menempatkan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Jusuf Kalla dimana pemilu Presiden dan wakil Presiden langsung tersebut diadakan dengan dua kali putaran karena masing-masing pasangan belum dapat menembus lima puluh persen tambah satu dari jumlah suara terbanyak seperti yang diamanatkan oleh konstitusi.

Pada Pemilihan Umum tahun 2004, partai politik yang lolos sebagai peserta Pemilihan Umum 24 (dua puluh empat) partai politik, dan yang berhasil memperoleh kursi di DPR ada 16 (enam belas) partai politik. Dalam Pemilihan Umum tahun 2009 yang baru saja dilaksanakan, partai politik yang dapat lolos mengikuti Pemilihan Umum berjumlah 38 (tiga puluh delapan) partai politik yang berskala nasional dan 6 (enam) partai politik berskala lokal di Aceh. Dari jumlah tersebut 9 (sembilan) partai politik berhasil memperoleh kursi di DPR.10

10

(29)

Melalui keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 98/SK/KPU/2004, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla ditetapkan sebagai pemenanggrand final pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004.11 Berdasarkan hasil penghitungan suara manual, pasangan SBY-JK memperoleh suaru 69.266.350 suara atau 60,62 % dari total suaru sah. Perolehan ini jauh meninggalkan pesaing mereka digrand final, pasangan Megawati Soekarno Putri dengan Hasyim Muzadi yang memperoleh 44.990.704 suara atau 39,38 % dari total suara sah. Kalau hasil itu diletakkan di tingkat provinsi, SBY-JK unggul di 28 provinsi atau 88 % dan pasangan Mega-Hasyim hanya menguasi 4 provinsi atau 12 % dari jumlah provinsi yang ada. Jika dirinci lebih lanjut ke tingkat kabupaten/ kota, berdasarkan hasil rekapituilasi ( yang dioleh litbang kompas 07/10/2004) SBY-JK menang di 339 atau 77% dan Mega-Hasyim menang di 101 atau 23% keseluruhan jumlah kabupaten/kota.12

Dari jumlah perolehan angka pemilu Presiden dan wakil Presiden tahun 2004, maka jelas terlihat pasangan SBY-JK memiliki legitimasi yang kuat dari mekanisme pemilihannya, dengan demikian, seharusnya pemerintah SBY-JK dapat menjalankan pemerintahan dengan baik tanpa harus takut bayang-bayangimpeachmentdi DPR.

Partai politik peserta pemilu yang juga terlibat dalam pemilihan Presiden pastilah memiliki kepentingan atas calon yang diusungnya, partai demokrat sebagai partai baru yang mendapat legitimasi kepercayaan rakyat Indonesia sudah tentu

11

Saldi Isra,Reformasi Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945,Op.Cit.hlm. 139.

12

(30)

memiliki peran besar dalam pemerintahan SBY-JK. Untuk itu, diperlukan suatu politik hukum yang sejak awal sudah menentukan secara tegas kemungkinan bagi terbentuknya partai berkuasa dan partai oposisi yang bersifat permanen. Pengaturan hal ini dituangkan dalam ketentuan mengenai keikutsertaan dalam Pemilu yang harus mengelompok dalam dua atau tiga koalisi antar partai yang dibentuk sebelum Pemilu dan bersifat permanen hingga Pemilu berikut dilaksanakan, sehingga Pemilu menghasilkan adanya partai berkuasa dan partai oposisi.13

Pemilu tahun 2004 menghasilkan konfigurasi politik yang khas, dimana parlemen diisi oleh kekuatan politik yang terfragmentasi dari 17 partai politik yang terbagi menjadi 550 kursi di DPR dan sebanyak tujuh partai besar yang menguasai hampir 91% kursi di parlemen tanpa ada kekuatan yang dominan. Berdasarkan Undang-Undang N0 31 tahun 2002 tentang Partai Politik dijamin adanya kebebasan berserikat dengan mendirikan Partai Politik berdasarkan sistem multi partai. Dalam Pemilu tahun 2004 yang pelaksanaannya didasarkan pada Undang Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, telah diikuti oleh berbagai partai politik, baik partai yang telah lama berdiri maupun partai politik yang baru beberapa waktu berdiri. Pengalaman Pemilu yang diikuti banyak partai pada tahun 1999 telah memperlihatkan hasil konstelasi politik yang berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya.14

13

Aidul Fitriciada Azhari, Reformasi Pemilu Dan Agenda Konsolidasi Demokrasi : Perspektif Ketatanegaraan,(Makalah: Jurisprudence, Vol. 1, No. 2, September 2004), hlm.187.

14

Khashadi, Implementasi Sistem Multi Partai Pada Pemilu Tahun 2004 di Jawa Tengah,

(31)

Pemerintah SBY-JK terbangun dalam sistem yang khas, karena amanat dari undang-undang yang mengharuskan terjadinya koalisi diantara partai politik dalam pemilu Presiden tahun 2004. Pemerintah SBY-JK yang memenangkan pemilu, kemudian dalam menyelenggarakan pemerintahannya membentuk kabinet dalam membantu Presiden dan Wakil Presiden menyelenggarakan pemerintahan dengan nama kabinet Indonesia bersatu yang kemudian melibatkan beberapa partai politik, yakni Partai Demokrat, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia , Partai Bulan Bintang.

Pada tahun 2005, Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden, terpilih menjadi ketua umum Partai Golkar berakibat kepada semakin kuatnya barisan koalisi pemerintahan SBY-JK karena masuknya beberapa partai lain, seperti Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional.

(32)

mengeksekusi Undang-Undang. Di Indonesia, kewenangan pembuatan UU ada bersama-sama di tangan DPR dan Presiden. Keadaan semacam ini, dalam berbagai referensi pemilu disebut sebagai pemerintahan yang didasarkan pada asas “convergence of power”, dimana terjadi suatu kolaborasi di antara cabang-cabang kekuasaan (dalam hal ini antara Presiden dengan DPR untuk membuat UU).

Secara konstitusional UUD 1945 adalah sistem pemerintahan Presidensial, tetapi dalam praktik penyelenggaraannya adalah sistem pemerintahan parlementer. Kerancuan sistem menyebabkan Presiden Republik Indonesia Tahun 2004-2009 Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (SBY-JK) tidak berdaya menyusun kabinet secara mandiri karena harus mengakomodasi kepentingan partai politik untuk menghindari konflik dengan DPR. Oleh sebab itu, dari 38 anggota kabinet, 19 menteri berasal dari delapan partai politik. Kalau akomodasi partai dalam kabinet direfleksikan dalam kekuatan di DPR, partai yang ikut memerintah sebanyak 404 kursi (sekitar 73 persen) dan di luar pemerintah 146 kursi (sekitar 23 persen).15

Kombinasi sistem Presidensial dengan sistem kepartaian yang diterapkan di Indonesia ,dengan Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat untuk pertama kalinya di Indonesia pada pemilu 2004, menyebabkan adanya perbedaan basis dukungan. Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kalla (SBY-JK) terpilih secara mayoritas lebih dari 60% pada Pemilihan Presiden putaran kedua, tetapi basis

15

(33)

dukungan politiknya di parlemen rendah. Koalisi Kerakyatan yang dibangun oleh calon Presiden SBY-JK hanya didukung oleh Partai yang memiliki suara pada Pemilu legislatif 2004 sekitar 38,36%29, sementara Megawati-Hasyim Muzadi yang membentuk koalisi kebangsaan didukung hampir 55,75% partai yang memperoleh kursi diparlemen. Kenyataan inilah yang dikhawatirkan akan menyebabkan efek buruk bagi sistem Presidensial, karena antara Presiden yang dipilih oleh rakyat, belum tentu mereka memiliki dukungan politik yang cukup kuat di parlemen.16

Pada Mei 2007, PBB sebagai Partai yang ikut berkoalisi pada kabinet SBY-JK menyatakan mundur dari koalisi, dan pada Januari 2008, PAN juga menyatakan menarik koalisi mendukung pemerintahan SBY-JK. Di kabinet SBY-JK yang menduduki posisi menteri berasal dari hasil koalisi partai dengan komposisi tiga meneri dari partai democrat, Lima Menteri dari Golkar, Tiga Menteri dari PKS, Satu Menteri dari PBB, tiga menteri dari PAN, dua menteri dari PKB, PKPI satu menteri dan terakhir PPP dengan dua menterinya di kabinet SBY-JK.

Pengaruh konstelasi politik yang terjadi akibat komposisi DPR yang di isi oleh kekuatan partai politik yang banyak inilah yang kemudian akan mempengaruhi kewenangan Presiden karena membutuhkan persetujuan oleh DPR. Karena ada beberapa Pasal di dalam UUD 1945 yang masih menjadi perdebatan diantaranya Pasal 13 ayat (1): Presiden mengangkat duta dan konsul. Pasal 13 ayat (2): Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

16

(34)

Pasal 13 ayat (3): Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.17

Selain itu Pasal lain yang berpotensi menghambat pelaksanaan sistem Presidensil dalam UUD 1945 adalah Pasal 11 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa:

(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.

(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Secara sendiri-sendiri, sistem multipartai dan sistem Presidensial secara potensial dapat merupakan sistem yang mendukung demokrasi yang stabil. Namun, jika dijadikan satu, kedua eleman tadi dapat menghancurkan demokrasi. Oleh sebab itu, bangsa perlu menentukan pilihannya. Apakah ingin mempertahankan sistem Presidensial murni sebagaimana tersurat dalam konstitusi, yang kedudukan Presiden dan DPR sama kuat sehingga tidak dapat saling menjatuhkan. Maka, yang harus dimodifikasi adalah sistem kepartaiannya agar menjadi multipartai terbatas. Namun, jika yang dipilih adalah sistem multipartai tak terbatas, sistem pemerintahan Presidensial harus dimodifikasi, misalnya sistem semi presidensial yang banyak dianut negara Amerika Latin.18

17

Ibid.hlm. 24.

18

(35)

Pada Pemilihan Umum tahun 2009, yakni Pemilu terhadap DPR, DPD, dan DPRD baik Provinsi dan Kabupaten/Kota, juga berlangsung Pemilu terhadap Presiden dan Wakil Presiden beserta Kepala Daerah. Khusus terhadap pemilihan Presiden dan wakil Presiden Republik Indonesia masa bhakti 2009-2014 yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum pada tanggal 8 juli tahun 2009 berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924), dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2 Tambahan Lembaran Negara RI.Nomor.4801).19

Kedua undang-undang tersebut dimungkinkan dilakukannya koalisi multipartai yang dibangun oleh para Elite Politik, sebagian karena dipengaruhi oleh dan dari dorongan kepentingan politik masing-masing orang terhadap pengelompokkan politik dan sebagian lagi karena konfigurasi kekuatan kepentingan antar elite yang saling bersaing dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009.20

Persaingan semakin ketat ketika masing-masing elite politik mulai membangun komunikasi politik pada masa kampanye dan setelah pemilu anggota legislatif yang berlangsung pada tanggal 9 April 2009. Maksud komunikasi politik

19

Abdul Latif, Pilpres Dalam Perspektif Koalisi Multi Partai, ( Makalah, dalam Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Volume 6 Nomor 3, September 2009, Jakarta, hlm. 25.

20

(36)

yang diperankan para elite politik adalah untuk memenuhi persyaratan penentuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU Nomor 42 tahun 2008 bahwa “ pasangan calon Presiden dan wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelum pelaksanaan pemilu Presiden dan wakil Presiden.21

Pasal 6A UUD 1945 dalam hubungannya dengan UU Nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan umum Presiden dan wakil Presiden, yang substansinya mengatur mengenai sistem electoral law, electoral process, dan law enforcement. Sistem

electoral law yang meliputi sistem pemilu Presiden dan wakil Presiden, pembagian daerah pemilihan, metode pencalonan, metode pemberian suara, metode penentuan pemenang/penetapan calon terpilih dengan aplikasi sistem pemilu yang digunakan.

Electoral process, mengatur mengenai organisasi dan peserta pemilu, dan tahapan penyelenggaraaan pemilu Presiden dan wakil Presiden. Sedangkan law enforcement

khusus mengenai pengawasan pemilu dan penegakan hukum, menurut abdul latif sulit mencerminkan ke arah Pemilu Presiden dan wakil Presiden berdasarkan sistem Presidensial dengan suara mayoritas pilihan rakyat.22

21

Ibid.hlm.25.

22

(37)

Sembilan partai yang saat ini duduk di parlemen, hanya Demokrat (20,85 persen), Golkar (14,45 persen), dan PDI-P (14,03 persen). PKS (7,88 persen), PAN (6,01 persen), PPP (5,32 persen), PKB (4,94 persen), Gerindra (4,46 persen), dan Hanura (3,77 persen).23

Melihat hasil Pemilu Presiden dan wakil Presiden tahun 2009 lalu, Susilo Bambang Yudhoyono masih dipercaya rakyat untuk memimpin bangsa ini sebagai Presiden dengan Boediono sebagai wakil Presiden. SBY-Boediono yang diusung oleh Partai Demokrat dengan beberapa partai koalisi lainya berhasil memenangkan pemilihan Presiden dan wakil Presiden hanya dengan sekali putaran, berarti lebih dari 50% tambah 1 suara berhasil direbut oleh pasangan tersebut. Hal tersebut membuktikan bahwa legitimasi SBY-Boediono sebagai Presiden dan wakil Presiden semakin kuat jika kita bandingkan dengan pemilu tahun 2004 yang harus berlangsung dua kali putaran, ditambah lagi, SBY untuk kedua kalinya dipercaya rakyat untuk memimpin bangsa Indonesia.

Dalam menyelenggarakan pemerintahan periode kedua, Kabinet yang dibentuk SBY-Boediono tetap memaksa mereka untuk merangkul partai-partai lain untuk mendukung pemerintahannya baik di Parlemen, maupun dengan strategi peletakan sejumlah menteri di kabinet dengan wakil partai anggota koalisi. Salah satu barisan koalisi pemerintahan SBY Jilid Dua ini dapat dilihat dengan adanya Sekretariat Gabungan yang terdiri dari beberapa partai diantaranya, Partai Demokrat,

23

(38)

Partai Golkar, PKS, PKB, PAN dan lainya, sedangkan untuk PDIP, Gerindra, Hanura berada di barisan Oposisi pemerintahan SBY-JK.

Di Parlemen, kekuatan Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu tidak serta merta menjadikan partai tersebut dapat duduk tenang di DPR, karena komposisi jumlah kursi yang didapat tidak mencapai 50% atau dapat dikatakan bahwa kursi-kursi di DPR, dibagi ke beberapa partai, yakni, Golkar, Hanura, PKB,PAN, PKS, Gerindra, dan PDI-P, serta PPP dengan kapasitas yang tidak dominan dimasing-masing partai. Hal tersebut memaksan partai yang duduk di parlemen untuk tetap berkoalisi antar partai guna melancarkan segala proses kerja di parlemen, maupun untuk menjaga stabilitas pemerintahan SBY-Boediono yang diusung oleh Partai Demokrat.

Dari penjelasan di atas, dapat dilakukan sebuah penelitian dengan judul Perkembangan Sistem Pemerintahan Presidensial Pada Praktek Multi Partai di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan diatas, maka perumusan masalah yang berkenaan dengan judul diatas adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia ? 2. Mengapa terjadi kecenderungan sistem multi partai dalam pemerintahan

(39)

3. Bagaimana implikasi sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan pada praktek multi partai di Indonesia pasca Amandemen UUD 1945?

C. Tujuan Penelitian

Sedangkan yang menjadi tujuan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui perkembangan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia.

2. Untuk mengetahui kecenderungan sistem multi partai dalam pemerintahan presidensial di Indonesia pasca Amandemen UUD 1945

3. Untuk mengetahui implikasi sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan pada praktek multi partai di Indonesia pasca Amandemen UUD 1945.

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoritis.

(40)

hukum, khususnya yang berkaitan dengan lembaga kePresidenan dan sistem kepartaian di Indonesia.

2. Secara Praktis.

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintah dan Penegak Hukum dikalangan masyarakat luas.

b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan penegakan dan pengembangan ilmu hukum.

c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu hukum, khsususnya yang berkaitan dengan lembaga Kepresidenan dan sistem kepartaian.

E. Keaslian Penelitian

(41)

Adapun beberapa judul penelitian yang mendekati yang pernah dilakukan sebelumnya dengan penelitian yang penulis lakukan adalah:

1. Tesis saudara Marudut Hasugian dengan judul :” Pelaksanaan Pemilihan Presiden Republik Indonesia Berdasarkan Paradigma Demokrasi Konstitusional (Studi Mengenai Sidang Umum MPR 1999 )”.

2. Tesis saudara Yusrin denga judul : “ Aspek Parlementer Dan Presidensial Dalam Perubahan Sistem Pemerintahan Daerah (Analisa Terhadap Sistem Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pelaksanaannya)”.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jenis nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.24 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.25

24

Sacipto Rahardjo,Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), Hlm. 254.

25

(42)

Berdasarkan hal tersebut diatas, kerangka teori bagi suatu penelitian mempunyai beberapa kegunaan sebagai berikut:26

1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina stuktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi. 3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah

diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti. 4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena

telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin factor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

Maka berdasarkan hal tersebut diatas, terdapat beberapa teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam tesis ini, diantaranya adalah Teori Kedaulatan Rakyat, Teori Pembagian Kekuasaan, dan Teori Sistem Kepartaian.

Kedaulatan dalam bahasa Perancis disebut denganSouverainite, dalam bahasa Inggris disebutSovereignty, dalam bahasa Latin superanus, yang berarti supremasi = diatas dan menguasai segala-galanya.27Kedaulatan diartikan sebagai kekuasaan yang tertinggi, yaitu kekuasaan yang tidak dibawah kekuasaan lain.28

Menurut Jimly Asshiddiqie sebagai ahli Hukum Tata Negara Indonesia29; “Kedaulatan (sovereignty) merupakan konsep yang biasa dijadikan objek dalam filsafat politik dan hukum kenegaraan. Di dalamnya terkandung konsepsi yang berkaitan dengan ide kekuasaan tertinggi yang dikaitatkan dengan negara (state). Dari segi bahasa, perkataan kedaulatan itu sendiri dalam bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari Bahasa Arab yaitu dari kata daulat dan dulatan, yang dalam makna klasiknya berarti pergantian, peralihan, atau peredaran (kekuasaan).”

26

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,Jakarta, UI Press, 1986. hlm. 121.

27

Eddy Purnama,Negara Kedaulatan Rakyat,( Jakarta: Nusamedia,2007), hlm. 9.

28

Ibid.

29

(43)

Teori kedaulatan rakyat muncul pada zaman Renaissance yang mendasarkan hukum pada akal dan rasio. Dasar ini pada abad ke-18 Jeans Jacque Rousseau memperkenalkan teorinya, bahwa dasar terjadinya suatu negara adalah ”perjanjian

masyarakat” (contract social) yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan suatu negara. Adapun teori Jeans Jacque Rousseau tersebut dikemukakannya dalam bukum karangannya yang berjudulLe Contract Social. Teori ini menjadi dasar faham kedaulatan rakyat yang mengajarkan bahwa negara berstandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya semua peraturan-peraturan adalah penjelmaan kemauan rakyat tersebut.30

Membahas mengenai demokrasi berarti berbicara tentang rakyat atau warga masyarakat. Dalam suatu negara, rakyat merupakan sentral dan sumber kekuasaan, karena pada hakikatnya rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi, yaitu kedaulatan sedangkan demokrasi merupakan bentuk pengejewantahan dari kedaulatan itu.31

Maurice Duverger32menyebutkan bahwa;

”Demokrasi lahir di kota-kota yunani purba atau dalam gerombolan sosial, dimana pemerintahan mengambil wujud demokrasi yang disebut ”direk”. Kekuasaan dipegang oleh majelis umm rakyat, yang mengambil sendiri semua keputusan penting dan mengangkat para ”magistral” yang diberi kewajiban untuk melaksanakan keputusan-keputusan majelis serta memerintah dalam waktu antara sidang-sidang majelis. Sistem demokrasi

30

Sudarsono,Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Rineka cipta, 1991), hlm.110.

31

Nukthoh Arfawie Kurde,Telaah Kritis Teori Negara Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 60.

32

(44)

hanya dapat dijadikan dalam negeri-negeri yang amat kecil dimana rakyat dengan mudah dapat dikumpulkan seluruhnya, sedang hal-hal yang perlu diurus cukup sederhana untuk dapat diurus oleh rakyat sendiri.”

Menurut James Mac Gregor Burns suatu negara yang menganut sistem demokrasi dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut :33

a. Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang mempunyai unsur-unsur atau elemen-elemen yang salinng terkait dan tidak dapat dipisahkan;

b. Orang-orang yang memegang kekuasaan atas nama demokrasi dapat mengambil keputusan untuk menetapkan dan menegakkan hukum;

c. Kekuasaan untuk mengatur dalam bentuk aturan hukum tersebut diperoleh dan dipertahankan melalui pemilihan umum yang bebas dan diikuti oleh sebagian besar warga negara dewasa dari suatu negara.

Kedaulatan Rakyat seperti yang digagas oleh Rousseu yakni demokrasi absolut (langsung) tidak akan mungkin dapat dilaksanakan dinegara-negara saat ini, oleh karena negara yang ada saat ini memiliki wilayah yang cukup luas, dan rakyat yang cukup banyak, maka dari itu demokrasi langsung mencari format baru dalam kehidupan bernegara yang kemudian termodifikasi dengan sistem demokrasi tidak langsung (indirect democracy), dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak secara langsung dilaksanakan oleh semua rakyat melainkan melalui sistem perwakilan rakyat (lembaga perwakilan rakyat).

Henry B.Mayo34 menyatakan ada (9) sembilan nilai yang mendasari nilai demokrasi, yakni:

1. Menyelesaikan perselisihan dengna damai dan sukarela;

33

James Mac Gregor Burns Dalam Saifudin, Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,(Yogyakarta : FH UII Press, 2009), hlm.13.

34

(45)

2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah;

3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur; 4. Membatasi kekerasan secara minimum;

5. Adanya keanekaragaman; 6. Tercapainya keadilan;

7. Yang paling baik dalam mewujudkan ilmu pengetahuan; 8. Kebebasan;

9. Adanya nilai-nilai yang dihasilkan oleh kelemahan-kelemahan sistem yang lain.

Menurut Maurice Duverger, timbulnya sistem demokrasi perwakilan menimbulkan dua perubahan besar, yaitu pertama, penerimaan adat pemilihan umum dan kedua, timbulnya partai-partai politik yang berorganiasi.35

Sri Soemantri Martosoewignjo berpendapat bahwa suatu negara yang demokratis haruslah memiliki syarat-syarat, yakni:36

(1) Adanya proteksi konstitusional;

(2) Adanya kekuasaan peradilan yang bebas dan tidak memihak; (3) Adanya pemilihan umum yang bebas;

(4) Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat; (5) Adanya tugas-tugas oposisi;

(6) Adanya pendidikan civil

Pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui penyelenggaraan pemerintahan negara yang diwujudkan melalui sistem pemerintahan yang demokrasi di dalam praktiknya di negara-negara di dunia saat ini dapat melalui sistem perwakilan politik maupun pemilihan pejabat-pejabat publik melalui pemilihan umum.

35

Ibid.Hlm.11.

36

Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara,

(46)

Berdasarkan Prinsip kebebasan, Kedaulatan rakyat yang dijadikan sebagai salah satu faktor parameter demokrasi dari sembilan faktor yang di ungkapkan Henry B Mayo, maka tak dapat disangkal lagi bahwa negara Republik Indonesia menganut sistem demokrasi. Hal tersebut dapat dilihat dalam pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Lahirnya Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat dibawah UUD 1945 merupakan manifestasi dari perwujudan kedaulatan rakyat dan demokrasi dari jalur kebangsaan (national revolution) indonesia untuk mengatur diri sendiri (self determination)sebagai komunitas bangsa.37Sehingga jalur demokrasi Indonesia tidak terbentuk dari suatu revolusi kapitalis (seperti Inggris, Amerika, dan Jerman) dan tidak pula dari jalur revolusi sosialis komunis (Cina dan Rusia).38 Prinsip-prinsip demokrasi Indonesia dapat dilihat dari gagasan founding fathers yang dituangkan dalam rumusan Pancasila yang terdapat dalam UUD 1945.

UUD 1945 baik dalam pembukaannya maupun dalam batang tubuh Undang-Undang Dasarnya, serta juga melihat pembicaraan-pembicaraan baik dalam sidang-sidang perencanaan, penetapan, dan pengesahan di dalam Badan Penyelidik usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), ternyata sejak semula, Undang-Undang Dasar 1945 menolak sistem demokrasi liberal dan sistem diktator.39 Oleh karena itu, sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 ini sama

37

Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi, (Bandung: Yrama Widya, 2007), hlm.43.

38

Ibid.

39

(47)

sekali tidak mengikuti ketatanegaraan negara lain, khususnya negara-negara yang bersistemkan demokrasi liberal dan negara-negara yagn bersistem diktator.40

Prinsip kebebasan dan kesamaan di atur dalam UUD 1945 di dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, yang melindungi terhadap Hak Asasi Manusia seluruh rakyat Indonesia di bidang hak sipil, politik, perlindungan hukum, hak pendidikan, budaya, ekonomi, agama, lingkungan dan lainnya.

Prinsip kedaulatan Rakyat dapat ditemukan di dalam Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa 41Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam rumusan baru ini terkandung ide;42 (a) kedaulatan di tangan rakyat, atau asas demokrasi, dan (b) bahwa pelaksanaan kedaulatan tersebut diatur dalam Undang- Undang Dasar atau berdasar asas konstitusionalisme. Perumusan yang baru ini memang berbeda dengan perumusan yang lama , dimana pada rumusan yang lama pada hakekatnya Pasal 1 ayat 2 norma hukumnya berisikan ketentuan transformatif atau pengalihan mutlak dari kedaulatan di tangan rakyat ke sebuah lembaga yaitu MPR.

Pada perumusan yang baru tersebut, asas konstitusionalisme dalam penggunaan kedaulatan rakyat mendapatkan pengakuan, yang mempunyai implikasi bahwa kedaulatan rakyat sebagai sebuah asas dalam pelaksanakan kekuasaan kenegaraan haruslah dilaksanakan menurut ketentuan hukum, yaitu konstitusi.

40

Ibid.

41

Sebelum amandemen uud 1945, pasal 1 ayat (2) berbunyi kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh majelis permusyawaratan rakyat

42

(48)

Sedangkan di dalam Pancasila, prinsip kedaulatan rakyat terdapat di sila ke empat yang berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan.

Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa;

”Perwujudan demokrasi haruslah diatur berdasar atas hukum. Perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrumen hukum, efektifitas dan keteladanan kepemimpinan, dukungan sistem pendidikan masyarakat, serta basis kesejahteraan sosial ekonomi yang berkembang makin merata dan berkeadilan.43 Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democracy) dan kedaulatan hukum (nomocracy) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itulah, maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia hendaklah menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia itu adalah negara hukum yang demokratis dan sekaligus negara demokratis yang berdasar atas hukum yang tidak terpisahkan satu sama lain. Keduanya juga merupakan perwujudan nyata dari keyakinan segenap bangsa Indonesia akan prinsip ke Maha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa”.44

Selama ini UUD 1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal.45Kedaulatan rakyat dianggap sebagai wujud penuh dalam wadah MPR yang berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2), UUD 1945 sebelum perubahan. Dari sini fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan wewenang lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA. Dalam UUD 1945 (sebelum perubahan) tidak dikenal pemisahan yang tegas, tetapi berdasarkan pada hasil perubahan, prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal jelas dianut, misalnya mengenai pemisahan

43

Jimly Asshiddiqie,Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia,Op.Cit.hlm. 56.

44

Ibid, hlm. 57.

45

(49)

antara pemegang kekuasaan eksekutif yang berada di tangan Presiden [Pasal 5 ayat (1)] dan pemegang kekuasaan legislatif yang berada di tangan DPR [Pasal 20 ayat (1)].

Kekuasaan merupakan masalah sentral dalam di dalam suatu negara, karena negara merupakan pelembagaan masyarakat politik(polity)paling besar dan memiliki kekuasaan yang otoritarif.46 Persoalan kekuasaan yang dimiliki negara terhadap rakyatnya, dapat dibedakan kedalam kekuasaan negara yang otoriter dan kekuasaan negara yang demokratis. Jean Bodin, melihat hukum sebagai perintah raja, dan perintah ini menjadi aturan umum yang berlaku bagi rakyat dan persoalan umum. Semua tradisi dan hukum kebiasaan hanya akan menjadi absah dengan adanya perintah pemegang kedaulatan yang menetapkannya.47

Negara yang melindungi kepentingan keseluruhan rakyat (demokratis) adalah negara yang melakukan “distribution of power” dalam semua aspek dalam pelaksanaan kehidupan bangsa dan negara secara merata dan seimbang. Namun pada kenyataannya negara yang menjalankan sistem pemerintahan yang memusatkan kekuasaan kepada Raja (Monarchi) pada umumnya kekuasaan terkonsentrasi pada satu tempat (pemerintahan pusat saja). Artinya tidak dilakukan pembagian

(distribution)secara baik dan merata kepada keseluruhan rakyat.48

46

Kacung Marijan,Op.Cit.Hlm.17.

47

Bernard L.Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y.Hage,Teori Hukum :Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta, Genta Publishing, 2010), hlm. 64.

48

(50)

Kenyataan ini menyebabkan terjadinya hambatan (barrier) untuk terciptanya sistem pemerintahan yang berjalan secara cepat dan lancar serta mudah dalam mencapai tujuan nasional yagn telah ditetapkan oleh suatu negara. Keadaan ini melahirkan pemikiran dari para filosof bahwa kenyataan seperti diatas tidak boleh secara terus menerus terjadi sehingga lahirlah sebuah konsep mengenai pemisahan kekuasaan(trias politica)oleh Montesqieu dan John Locke.49

Menurut Jhon Locke pemisahan kekuasaan ini harus dipisahkan satu dari yang lainya yang terdiri dari kekuasaan legislatif (legislative power) sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan, kekuasaan eksekutif (eksekutive power) sebagai pelaksana pemerintahan, kekuasaan federatif (federative power) sebagai kekuasaan hubungan luar negeri..50 Setengah Abad kemudian dengan diilhami oleh pembagian kekuasaan dari Jhon Locke51, Montesquieu (1689-1755) seorang pengarang, ahli politik, dan filsafat Perancis menulis sebuah buku berjudul L’Esprit des lois (jiwa undang-undang) yang diterbitkan di Jenewa pada Tahun 1748 (2 jilid).

Montesquieu mengatakan bahwa dalam pemerintahan terdapat 3 jenis kekuasaan yang diperincinya dalam: kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Menurut Montesquieu dalam sistem pemerintahan negara,

49

Ibid.

50

C.S.T Kansil,Hukum Tata Negara Republik Indonesia,(Jakarta :PT. Rineka Cipta, 2000), hlm. 75.

51

(51)

ketiga jenis kekuasaan itu harus terpisah, baik mengenai fungsi (tugas) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang melaksanakan:

1. Kekuasaan Legislatif, dilaksanakan oleh suatu Perwakilan Rakyat (Parlemen);

2. Kekuasaan Eksekutif, dilaksanakan oleh Pemerintah (Presiden atau Raja dengan bantuan menteri-menteri atau kabinet);

3. Kekuasaan Yudikatif, dilaksanakan oleh Badan Peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan dibawahnya).

Isi ajaran Montesquieu ini adalah mengenai pemisahan kekuasaan negara (the separation of power) yang lebih dikenal dengan Teori Trias Politica. Pada intinya, prinsip-prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan dimaksudkan untuk membatasi kekuasa

Referensi

Dokumen terkait

Ukuran KAP, dan Opini Auditor terhadap Audit Delay (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2013-2015)”.. dengan lancar

Activity diagram menggambar kan berbagai alir aktivitas dalam sistem yang sedang dirancang, bagaimana masing- masing alir berawal, decision yang mungkin terjadi,

Hasil penelitian tentang sikap, dipe- roleh bahwa sebagian besar responden mahasiswa kedokteran umum tahap profesi dan mahasiswa program studi keperawatan sudah memiliki sikap yang

Tingkat kesadaran pemilih pemula yang ada di Distrik Pirime Kabupaten Lanny Jaya masih dipengaruhi oleh kebiasaan, ataupun sekedar ikut-ikutan saja, hal ini

Akuntansi merupakan aktivitas mengumpulkan, menganalisis, menyajikan dalam bentuk angka, mengklarifikasikan, mencatat, meringkas dan melaporkan aktivitas/transaksi suatu

Model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match merupakan kegiatan bekerjasama mencari pasangan sambil belajar mengingat dan memahami suatu konsep atau topik

Taryana Sunandar, Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional dari GATT 1947 Sampai Terbentuknya WTO, Jakarta,1996,h.1.. pendirian ITO mengakibatkan terjadinya kekosongan

Dari fenomena yang telah disinggung diatas, sebenarnya telah menunjukan bahwa betapa lemahnya pendidikan di Indonesia, maka wajiblah pemerintah, masyarakat dan keluarga