• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi Sagon dari Tepung Komposit Berbasis Sukun (Arthocarpus altilis) sebagai Alternatif Pangan Darurat untuk Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Formulasi Sagon dari Tepung Komposit Berbasis Sukun (Arthocarpus altilis) sebagai Alternatif Pangan Darurat untuk Anak"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

FORMULASI SAGON DARI TEPUNG KOMPOSIT BERBASIS

SUKUN (Arthocarpus altilis) SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN

DARURAT UNTUK ANAK

WIWI FEBRIANI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Formulasi Sagon dari Tepung Komposit Berbasis Sukun (Arthocarpus altilis) sebagai Alternatif Pangan Darurat untuk Anak adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2013

Wiwi Febriani

(4)

ABSTRAK

WIWI FEBRIANI. Formulasi Sagon dari Tepung Komposit Berbasis Sukun (Arthocarpus altilis) sebagai Alternatif Pangan Darurat untuk Anak. Dibimbing oleh AHMAD SULAEMAN.

Anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan kekurangan gizi pasca bencana alam. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan produk sagon dari tepung komposit berbasis sukun (Arthocarpus altilis) sebagai alternatif pangan darurat untuk anak. Produk pangan darurat dikembangkan dari makanan tradisional Indonesia dengan peningkatan kandungan protein dan mineral. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan faktor berupa jenis formula. Hasil menunjukkan bahwa jenis formula tidak berpengaruh nyata pada sifat organoleptik maupun sifat kimia produk (p>0.05). Kandungan air dan lemak produk cukup rendah sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk. Sagon dapat dikatakan sebagai makanan tinggi energi, Ca, Fe, Zn, serat pangan, serta sebagai sumber protein. Kebutuhan gizi anak pada selingan dapat terpenuhi dengan mengonsumsi 2.5—5 sachet per hari. Produk sagon dapat diterima dengan persen penerimaan sebesar 86%.

Kata kunci: pangan darurat, pangan lokal, sagon, sukun, tepung komposit

ABSTRACT

WIWI FEBRIANI. Sagon formulation of composite flour based on breadfruit (Arthocarpus Altilis) as an alternative of emergency food for children. Supervised by AHMAD SULAEMAN.

Children are the most vulnerable to malnutrition after natural disasters . The purpose of this research was to develop sagon product based on composite flour of breadfruit (Arthocarpus altilis) as an alternative to emergency food for children. Emergency food product was developed from Indonesia traditional food with increased protein and minerals content. The design used in this study was a complete randomized design with factors such as the types of formula. The results showed that the types of formula were not significantly affect in the organoleptic properties and chemical properties of the product (p>0.05). Water and fat content of the product is low enough so that it can extend the shelf life of the product. Sagon can be considered as a high-energy food, Ca, Fe, Zn, dietary fiber as well as a source of protein. Nutritional need of child at snack time can be met by consuming 2.55 sachets per day. Sagon product is acceptable with acceptance rate of 86%.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

FORMULASI SAGON DARI TEPUNG KOMPOSIT

BERBASIS SUKUN (Arthocarpus altilis) SEBAGAI

ALTERNATIF PANGAN DARURAT UNTUK ANAK

WIWI FEBRIANI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

Judul Skripsi : Formulasi Sagon dari Tepung Komposit Berbasis Sukun

(Arthocarpus altilis) sebagai Alternatif Pangan Darurat untuk Anak Nama : Wiwi Febriani

NIM : I14090125

Disetujui oleh

Prof Ir Ahmad Sulaeman, MS PhD Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Rimbawan Ketua Departemen

(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei—Oktober 2013 ini ialah pangan darurat, dengan judul Formulasi Sagon dari Tepung Komposit Berbasis Sukun (Arthocarpus altilis) sebagai Alternatif Pangan Darurat untuk Anak.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Ir Ahmad Sulaeman, MS PhD selaku dosen pembimbing, serta Ibu Dr Ir ikeu Ekayanti, MS PhD yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Pak Mashudi, Ibu Lilik Kustiyah, Ibu Titi Riani, Agustino, Sona Putra Rahadian, Dewi Pratiwi Ambari, Fauzah Atsaniyah, dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah banyak memberikan masukan bermanfaat bagi penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 9

Latar Belakang 9

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

METODE 3

Waktu dan Tempat 3

Bahan 4

Alat 4

Prosedur Penelitian 4

Rancangan Percobaan 8

Pengolahan dan Analisis Data 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Formulasi Sagon 9

Sifat Organoleptik Sagon 12

Sifat Fisik Sagon 18

Sifat Kimia Sagon 20

Formula Terpilih 27

Kontribusi Zat Gizi Sagon 27

SIMPULAN DAN SARAN 29

Simpulan 29

Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 30

LAMPIRAN 13

(11)

DAFTAR TABEL

1 Formula sagon per 100 g 7

2 Formula dasar sagon bubuk 9

3 Karakterisitik fisik sagon 18

4 Hasil analisis kandungan gizi produk sagon 20

5 Kandungan zat gizi sagon per sajian dan klaim zat gizi 28 6 Batas maksimal konsumsi sagon berdasarkan jenis mineral 28

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir pembuatan tepung sukun, tepung kacang hijau, dan

tepung beras 5

2 Diagram alir tahapan penelitian 6

3 Persentase penerimaan produk sagon 13

4 Penerimaan panelis terhadap atribut keseluruhan produk sagon 17

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan formulasi sagon 35

2 Formulir uji hedonik 37

3 Formulir uji mutu hedonik 39

4 Interpretasi skala pada atribut mutu hedonik 41

5 Interpretasi skala pada atribut hedoniK 42

6 Uji hedonik sagon sukun 42

7 Uji mutu hedonik sagon sukun multigizi 43

8 Tingkat penerimaan panelis terhadap atribut uji hedonik sagon sukun

multigizi 43

9 Prosedur analisis sifat fisik produk 44

10 Prosedur analisis sifat kimia produk 44

11 Hasil analisis statistik uji organoleptik hedonik 48 12 Hasil analisis statistik uji organoleptik mutu hedonik 49 13 Hasil analisis statistik karakteristik fisik sagon 50 14 Hasil analisis statistik karakteristik kimia sagon 50

15 Kandungan gizi taburia per kemasan 52

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang rawan bencana (Arimastuti 2011). Selama Januari 2013, BNPB mencatat 120 kejadian bencana terjadi di Indonesia. Kejadian bencana tersebut menyebabkan 123 orang meninggal, 179 659 orang menderita dan mengungsi. Sekitar 96% kejadian bencana masih didominasi oleh bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, puting beliung, gelombang pasang, banjir, dan tanah longsor. Selama Januari 2013 terdapat 36 kejadian banjir yang menyebabkan 58 orang meninggal dan 176 041 orang menderita dan mengungsi (BNPB 2013).

Diantara korban bencana alam, anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan dibandingkan dengan orang dewasa. Keterbatasan kebutuhan dasar pada kondisi pasca bencana alam seperti pangan, pelayanan kesehatan, dan sanitasi mengakibatkan anak-anak mengalami kekurangan gizi dan penyakit infeksi (KLA 2012). Sebanyak 60% anak-anak di dunia merupakan korban bencana alam. Hal ini menjadi persoalan serius karena pada 10—20 tahun mendatang dampak bencana akan memengaruhi fisik serta psikologi mereka (NGI 2012).

Bencana alam menyebabkan banyak orang mengungsi atau tinggal di tempat-tempat darurat. Kejadian bencana alam menyebabkan rusaknya sarana dan prasarana sosial di lokasi-lokasi bencana yang memutus akses korban terhadap ketersediaan air bersih dan bahan bakar (api dan sumber energi) sehingga korban mengalami kesulitan untuk memperoleh kebutuhan pangannya. Dalam kondisi ini para korban bencana membutuhkan makanan yang bersifat siap makan atau lebih dikenal sebagai pangan darurat (Syamsir 2010).

Pada umumnya pengembangan produk pangan darurat masih terfokus pada kandungan gizi makro, yakni tinggi energi dan protein dengan kandungan zat gizi mikro yang relatif lebih rendah (Sukmaningrum 2003; Setyaningtyas 2008; Sitanggang 2008; Ferawati 2009; Valentina 2009). Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi makro lainnya pada para korban bencana. Akan tetapi, kondisi darurat pasca bencana dapat bersifat jangka panjang sehingga kekurangan zat gizi mikro (vitamin dan mineral) dapat berbahaya bagi korban khususnya anak serta wanita hamil dan menyusui. Di samping itu, pengembangan pangan darurat tinggi zat gizi mikro dapat dijadikan sebagai makanan selingan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi mikro yang masih kurang dari pangan darurat tinggi energi yang dikonsumsi sebagai makanan utama.

(13)

2

ADB adalah anak usia pra sekolah, gadis remaja, ibu hamil dan menyusui (Akhtar

et al. 2013).

Selain itu, defisiensi seng merupakan masalah kesehatan umum yang memengaruhi hampir setengah populasi di seluruh dunia yang diperkirakan 1— 13% populasi di Eropa dan 68—95% di Amerika Utara rendah asupan seng (Akhtar et al. 2013). Anak-anak di Negara berkembang sangat rentan kekurangan seng (Haider & Bhutta 2009). Masalah kekurangan asupan seng tidak hanya terjadi pada anak, studi oleh Chandyo et al. (2009) menunjukkan bahwa hampir satu per tiga populasi wanita sehat dalam penelitiannya mengalami defisiensi seng.

Masalah zat mineral lainnya adalah kurangnya asupan kalsium terutama pada anak. Penelitian yang dilakukan oleh Fikawati et al. (2005) menunjukkan bahwa asupan kalsium remaja di Kota Bandung kurang dari angka kecukupan gizi (AKG) yaitu hanya 55.9% AKG atau sebesar 559.05 mg/hr. Kekurangan asupan kalsium merupakan faktor resiko terjadinya osteoporosis (Prihatini et al. 2010). Hasil penelitian Harinarayan et al. (2007) menunjukkan bahwa asupan kalsium harian baik di pedesaan maupun di perkotaan di Negara India masih rendah. Jika dalam kondisi normal masalah defisiensi zat gizi mikro masih rentan, maka risiko masalah ini tentunya akan semakin tinggi pada saat kondisi darurat (pasca bencana).

Menurut Syamsir (2010), pembuatan produk pangan darurat dapat dilakukan dengan menggunakan bahan baku lokal. Produk ini dapat dibuat dengan melakukan reformulasi produk pangan yang ada dan disukai oleh masyarakat sehingga komposisi gizinya mampu memenuhi kebutuhan energi harian. Pembuatan produk pangan darurat siap santap dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi sederhana, sehingga mampu diproduksi oleh industri lokal.

Sagon merupakan makanan tradisional Indonesia yang dapat dijadikan sebagai pangan darurat dengan melakukan reformulasi (Syamsir 2010). Pembuatan sagon yang aslinya berbahan baku tepung beras dapat disubstitusi dengan sumber daya hayati lokal seperti sukun (Arthocarpus altilis). Sukun memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi sehingga dapat menggantikan bahan tepung beras. Berdasarkan penelitian Purba (2002), tepung sukun mengandung karbohidrat yang cukup tinggi yaitu sebesar 77.8%, namun rendah akan protein yaitu sebesar 4.6%. Selain karbohidrat, buah sukun juga kaya akan serat. Bila dibandingkan dengan beras, buah sukun mengandung mineral dan vitamin yang lebih lengkap seperti kalsium, zat besi, magnesium, kalium, natrium dan seng

serta vitamin B1, B2, B3,vitamin C dan beta karoten (Tindal 1965; Dignan et al. 2004; Koswara 2006).

(14)

3 Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengembangan sagon dari tepung komposit berbasis tepung sukun (Arthocarpus altilis) sebagai pangan darurat berbasis pangan lokal untuk anak. Selain itu sagon merupakan makanan camilan yang praktis dan digemari oleh anak-anak dan bernilai energi yang tinggi sehingga bisa digunakan untuk bahan intervensi gizi.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan formulasi sagon dari tepung komposit berbasis sukun (Arthocarpus altilis) sebagai alternatif pangan darurat untuk anak.

Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Menentukan formulasi sagon berbasis tepung sukun, kacang hijau, dan beras dengan penambahan multivitamin mineral.

2. Mengetahui tingkat kesukaan terhadap sifat organoleptik sagon.

3. Menganalisis pengaruh jenis formula terhadap sifat fisik dan sifat kimia pada tujuh formula sagon.

4. Menentukan formula terpilih dan takaran saji sagon sukun.

5. Menghitung kontribusi zat gizi produk sagon terhadap kebutuhan selingan.

Manfaat Penelitian

Penelitian pengembangan formulasi sagon dari tepung komposit berbasis sukun (Arthocarpus altilis) untuk pangan darurat anak ini diharapkan dapat meningkatkan penggunaan bahan pangan lokal sebagai upaya diversifikasi pangan. Selain itu produk ini juga dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pangan darurat pada kasus bencana alam khususnya pada anak-anak yang rentan kekurangan gizi pasca bencana.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, yakni dari bulan Mei sampai bulan Oktober 2013. Penelitian dilakukan di Laboratorium Percobaan Makanan, Laboratorium Kimia dan Analisis Pangan, dan Laboratorium Uji Organoleptik, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor (IPB).

(15)

4

Fakultas Ekologi Manusia, IPB. Analisis fisik dilakukan di Laboratorium Biokima Gizi dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB. Analisis kimia dilakukan di Laboratorium Kimia dan Analisis Pangan, Departemen Gizi Masyarakat serta Laboratorium Terpadu, IPB. Penelitian ini merupakan penelitan

bagian dari penelitian utama yang berjudul ―Sagon Multigizi dari Tepung

Komposit Berbasis Sukun, Kacang Hijau, dan Beras, sebagai Alternatif Pangan

Darurat untuk Anak‖.

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sagon antara lain sukun (Arthocarpus altilis), kacang hijau, beras, tepung susu skim, kelapa setengah tua, multivitamin mineral, gula pasir halus, garam, dan gula. Buah sukun diperoleh dari Kecamatan Dramaga, kacang hijau diperoleh dari toko Citra Usaha Dramaga, tepung susu skim dan tepung beras diperoleh dari toko Grand Pasar Bogor, dan multivitamin mineral diperoleh dari PT. Tiga Pilar Sejahtera yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) dengan komposisi antara lain maltodextrin, vitamin C, zat besi (Fe), vitamin E, vitamin B3, Seng (Zn), asam pantotenat, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, vitamin A, asam folat, iodine vitamin D, selenium (Se), vitamin D3, dan vitamin B12. Bahan-bahan yang digunakan dalam analisis kimia antara lain H2SO4, NaOH, air suling, air bebas ion, HCl, HNO3, hexan, etanol, aseton, H3BO3, thermamyl, pepsin, pankreatin, tripsin, kemotripsin, peptidase, NaH2PO4, Na2HPO4, asam oksalat, ekstrak bile, dan NaHCO3.

Alat

Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan tepung adalah pisau, slicer, loyang, cabinet dryer, boiler, disk mill. Alat yang digunakan dalam pembuatan sagon terdiri dari wajan, sodet, kompor, pemarut kelapa, pisau, piring, plastik.

sealer, dan timbangan. Alat-alat yang digunakan untuk analisis antara lain peralatan gelas (labu Kjeldahl, labu Soxhlet, kertas saring, pipet tetes, pipet volumetrik, gelas ukur, tabung reaksi, gelas piala, labu takar, gelas shaker, labu Erlenmeyer), oven, desikator, tanur, timbangan analitik, penjepit cawan, pinset, cawan porselen, cawan alumunium, pemanas listrik (hot plate), alat whiteness test, dan viskometer.

Prosedur Penelitian

(16)

5 analisis fisik dan kimia pada ketujuh formula sagon. Selanjutnya ditentukan formula terpilih berdasarkan tingkat kesukaan panelis dengan pertimbangan kandungan gizi. Bagian akhir dari penelitian ini adalah menghitung kontribusi energi dan zat gizi sagon terhadap kebutuhan selingan pada anak usia 7—9 tahun. Penelitian Pendahuluan

Pembuatan tepung sukun, tepung kacang hijau dan tepung beras dilakukan dengan menggunakan metode pengeringan buatan (cabinet dryer). Diagram alir pembuatan tepung sukun disajikan pada Gambar 1.

pengeringan dengan cabinet dryer selama ± 5 jam, suhu 60 oC

digiling dengan disk meal dengan ayakan ukuran ayakan 60 mesh

tepung sukun, tepung kacang hijau, dan tepung beras

Gambar 1 Diagram alir pembuatan tepung sukun, tepung kacang hijau, dan tepung beras

Penelitian Utama

Dasar formulasi produk ditentukan berdasarkan pemenuhan energi untuk selingan pada anak usia sekolah usia 7—9 tahun. Penelitian di Indonesia pada tahun 2009 menunjukkan bahwa asupan energi jajanan memberikan kontribusi dalam pemenuhan kecukupan energi sebesar 10—20% dari total kebutuhan sehari (Febriani & Margawati 2013). Sagon sebagai snack pangan darurat diharapkan dapat memenuhi 10—20% total kebutuhan energi sehari anak usia 7—9 tahun (1900 Kal) yaitu sebesar 190—380 Kal. Selain itu, produk juga diharapkan dapat memenuhi klaim pangan tinggi energi. Menurut Tee et al. (2002), klaim pangan tinggi energi (high energy) boleh digunakan apabila pangan tersebut dapat memberikan ≥ 300 Kal per 100 g.

Protein dalam produk pangan darurat menyumbang 10—15% dari total energi sehari atau sekitar 7.9 g per 50 g (Zoumas et al. 2002). Sedangkan untuk dapat dikatakan sebagai sumber protein maka suatu produk harus mengandung

protein sebesar ≥20 % ALG per 100 g (dalam bentuk padat) (BPOM 2007, 2011).

Oleh karena itu, dalam formulasi digunakan pembatas protein 20% ALG untuk kelompok umum (12 g protein per 100 g).

Suatu produk dapat diklaim tinggi mineral apabila kandungan mineral >30% ALG per 100 g (BPOM 2007, 2011). Dengan demikian formula sagon minimal harus mengandung 240 mg kalsium, 7.8 mg besi, dan 3.6 g seng. Mineral

(17)

6

produk diharapkan dapat memenuhi klaim dan Angka Kecukupan Gizi (AKG) anak usia sekolah (7—9 tahun) yaitu 500 mg kalsium, 8 mg besi, dan 10 mg seng per hari.

Menurut Widowati (2003), penggunaan tepung sukun sebagai bahan pensubstitusi dalam pembuatan kue kering dan kue basah dapat mencapai 100%. Dengan demikian, dalam pembuatan sagon bubuk, tingkat subtitusi dapat mencapai 100%. Namun, dengan pertimbangan pemenuhan kebutuhan energi dan protein produk maka dilakukan pembuatan tepung komposit (sukun, beras, dan kacang hijau). Tepung sukun yang digunakan dalam formula sebesar 50% dari total komposit. Hal ini dimaksudkan agar produk dapat dikatakan sebagai produk pangan berbasis sukun.

Tepung sukun dipilih karena sukun dapat dijadikan sebagai pangan alternatif yang dapat menutupi kekosongan produksi pangan konvensional (beras) (Koswara 2006). Tepung kacang hijau dipilih karena kacang hijau merupakan sumber protein nabati yang diharapkan dapat meningkatkan kandungan protein sagon karena kandungan protein kacang hijau mentah yang cukup tinggi yaitu 27.5 g per 100 g (Mubarak 2005). Tepung beras dipilih karena pada dasarnya sagon berbahan dasar tepung beras, sehingga komponen tepung beras digunakan agar tidak menghilangkan ciri khas sagon. Selain itu kandungan asam amino beras dapat melengkapi kandungan asam amino tepung kacang hijau yang digunakan sehingga kualitas asam amino produk dapat ditingkatkan.

tepung komposit, kelapa sangrai, susu skim, gula, garam, dan taburia

Gambar 2 Diagram alir tahapan penelitian tepung sukun, tepung beras,

(18)

7 Faktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis formula (tepung sukun: tepung kacang hijau: tepung beras) F1 (50:40:10), F2 (50:35:15), F3 (50:30:20), F4 (50:25:25), F5 (50:20:30), F6 (50:15:35), dan F7 (50:10:40). Formula komposit ditetapkan berdasarkan perkiraan pemenuhan kandungan energi dan protein produk. Formulasi sagon secara lengkap disajikan pada Lampiran 1.

Pembuatan sagon bubuk dalam penelitian ini mengacu pada formulasi sagon bubuk menurut Pusat Penelitian dan Pengambangan Teknologi Pangan (Puslitbangtepa) tahun 1981. Produk sagon dalam penelitian ini dibuat dengan melakukan reformulasi dengan menambahkan sumber protein dan multivitamin mineral. Diagram alir tahapan penelitian disajikan pada Gambar 2.

Berikut merupakan tabel yang menunjukkan formula sagon sukun per 100 g sagon.

Tabel 1 Formula sagon per 100 g

Bahan (g) Formulasi

F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7

Tepung sukun 19.53 19.53 19.53 19.53 19.53 19.53 19.53 Tepung kacang

hijau 15.62 13.67 11.72 9.76 7.81 5.86 3.91

Tepung beras 3.91 5.86 7.81 9.76 11.72 13.67 15.62 Tepung susu

skim 29.29 29.29 29.29 29.29 29.29 29.29 29.29 Kelapa parut 14.64 14.64 14.64 14.64 14.64 14.64 14.64 Multivitamin

mineral 0.90 0.90 0.90 0.90 0.90 0.90 0.90

Gula 15.36 15.36 15.36 15.36 15.36 15.36 15.36

Garam 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75

Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Analisis sifat organoleptik

Uji organoleptik yang dilakukan pada sagon sukun multigizi terdiri atas dua, yaitu uji hedonik dan uji mutu hedonik. Uji hedonik merupakan uji untuk mengetahui tanggapan panelis mengenai kesukaan atau ketidaksukaan terhadap produk sagon, sedangkan uji mutu hedonik merupakan uji untuk mengetahui tanggapan panelis berdasarkan kesan baik atau buruk terhadap produk sagon.

Uji hedonik dan mutu hedonik produk sagon dilakukan dengan menggunakan panelis semi terlatih sebanyak 50 orang yang merupakan mahasiswa Departemen Gizi Masyarakat, IPB. Panelis semi terlatih yang digunakan merupakan panelis yang sering kali terlibat dalam penelitian skripsi untuk uji organoleptik. Panelis ini sudah mendapatkan penjelasan secukupnya dan didukung juga oleh mata kuliah mengenai uji organoleptik. Pengujian organoleptik dilakukan dengan menyajikan tujuh sampel sagon pada piring bersekat. Setiap piring diberikan kode berupa tiga angka acak yang mewakili jenis formula.

(19)

8

ini selanjutnya digunakan untuk menentukan penerimaan panelis terhadap produk. Panelis dianggap menerima produk apabila nilai yang diberikan adalah lebih besar dari 4.5. Menurut Peryam dalam IOM (2002), suatu produk tidak dapat diterima apabila penilaian terhadap uji hedonik kurang dari 4.5. Formulir uji hedonik disajikan dalam lampiran 2.

Formula terpilih ditentukan berdasarkan hasil uji hedonik, yaitu dengan membuat proporsi penilaian untuk aspek keseluruhan. Proporsi untuk aspek keseluruhan antara lain rasa 60%, tekstur 25%, aroma 10%, dan warna 5%. Penentuan proporsi ini merupakan pertimbangan dari peneliti. Menurut IOM (2002), rasa merupakan komponen sensori penting yang harus dipertimbangkan dalam membuat produk pangan darurat. Hal ini menyebabkan persentase atribut rasa dominan dalam penentuan aspek keseluruhan. Selain uji hedonik, formula terpilih juga ditentukan berdasarkan pertimbangan kandungan gizi, khususnya energi dan protein.

Uji mutu hedonik yang dilakukan pada penelitian ini meliputi warna, aroma sukun, aroma kacang hijau, aroma obat, rasa sukun, rasa kacang hijau, rasa manis, rasa asin, tekstur, dan after taste. Skala mutu hedonik yang digunakan adalah 1–9 yang mewakili tanggapan panelis terhadap mutu produk. Formulir uji mutu hedonik disajikan pada lampiran 3.

Analisis sifat fisik

Analisis sifat fisik yang dilakukan antara lain derajat putih ( Whiteness-meter Kett Electric), viskositas produk (Rapid Visco Analizer), kelarutan (SNI 01-2891-1992), dan densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992).

Analisis sifat kimia formula terpilih

Analisis sifat kimia yang dilakukan meliputi analisis kadar air (AOAC 1995), kadar abu metode gravimetri (AOAC 1995), kadar abu metode gravimetric (AOAC 1995), kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC 1995), kadar lemak (AOAC 1995), kadar karbohidrat by difference (AOAC 1995), serat makanan metode enzimatis, daya cerna protein secara in vitro (Fardiaz et al. 1992), kadar Ca, Fe, dan Zn metode AAS (Apriyantono et al. 1989), dan daya cerna protein (Hsu et al. 1977).

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan dari penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua kali pengulangan. Faktor yang digunakan adalah jenis komposit dengan taraf yang terdiri atas formula 1, formula 2, formula 3, formula 4, formula 5, formula 6, dan formula 7. Formula sagon secara lengkap disajikan dalam Tabel 8. Model matematis yang digunakan dalam rancangan percobaan adalah sebagai berikut:

Yij = µ + Ti + Ɛij Keterangan:

Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

(20)

9 j = banyaknya ulangan (j=2)

µ = rataan umum

Ti = Pengaruh jenis formula pada taraf ke-i

εij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Ms. Excel 2007

dan SPSS 16.0 for Windows. Data hasil uji organoleptik untuk menentukan formula terpilih dianalisis secara deskriptif menggunakan nilai rata-rata dan persentase penerimaan panelis terhadap formula sagon. Data organoleptik juga dianalisis secara statistik dengan Analysis of Variance (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh jenis formula terhadap mutu hedonik dan hedonik panelis terhadap produk. Apabila hasil ini menunjukkan perbedaan di antara perlakuan maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Comparison Test (Setyaningsih et al.

2010).

Data uji daya terima produk ke sasaran dianalisis secara deskriptif menggunakan nilai modus. Pengaruh jenis formula komposit terhadap sifat fisik dan kimia produk dianalisis secara statistik dengan Analysis of Variance (ANOVA). Perbedaan antara proporsi kacang hijau lebih besar dibandingkan beras terhadap sifat fisik dan kimia dianalisis dengan uji beda Independent Samples t-Test.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Formulasi Sagon

Produk sagon dalam penelitian ini merupakan makanan tradisional yang dibuat dari bahan pangan lokal yaitu sukun (Arthocarpus altilis) sebagai alternatif pangan darurat. Bahan digunakan dalam pembuatan sagon adalah tepung sukun, tepung kacang hijau, tepung beras, susu skim, kelapa parut yang disangrai, gula pasir, garam, dan taburia. Kandungan zat gizi bahan yang digunakan untuk formulasi diperoleh dari Daftar Komposisi Bahan Makanan (2004).

Formula sagon yang digunakan sebagai dasar formulasi mengacu pada formula sagon menurut Puslitbangtepa (1981). Formula dasar pembuatan sagon bubuk disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Formula dasar sagon bubuk

Bahan Berat (g)

Tepung beras 800

Kelapa 900

Gula 300

Garam 30

(21)

10

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa formula sagon bubuk merupakan makanan tradisional yang tinggi kandungan karbohidrat namun rendah kandungan zat gizi lain. Hal ini dapat dilihat dari komponen utama penyusun sagon adalah tepung beras yang merupakan sumber karbohidrat. Menurut Kaushal

et al. (2012), sebagian besar komponen penyusun tepung beras adalah karbohidrat yaitu sebesar 78.44%. Sagon berbentuk bubuk dipilih karena makanan bubuk lebih menarik dan digemari oleh anak-anak karena cara makannya yang khas.

Makanan berbasis pangan darurat perlu mempertimbangkan kandungan energi dan protein produk. Oleh karena itu, dilakukan reformulasi terhadap formula di atas dengan penggunaan bahan-bahan sumber protein. Reformulasi produk sagon tidak hanya mempertimbangkan kandungan protein produk, tetapi juga zat gizi mikro. Hal ini dikarenakan pada kondisi darurat anak sangat rentan mengalami kekurangan zat gizi mikro. Bencana sering kali terjadi dalam waktu yang lama, sehingga zat gizi mikro para korban bencana harus dapat terpenuhi untuk mencegah dampak negatif yang dapat terjadi di masa mendatang.

Reformulasi produk sagon terdiri pembuatan tepung komposit berbasis tepung sukun, tepung kacang hijau, dan tepung beras. Proporsi beras pada formula dasar dibuat menjadi tepung komposit dengan tepung sukun sebagai bahan utama, yaitu 50% dari total komposit. Menurut Widowati & Damardjati (2001), pemanfaatan tepung sukun menjadi makanan olahan dapat mensubtitusi penggunaan terigu sampai 50 hingga 100% tergantung jenis produknya. Tepung sukun dipilih karena merupakan salah satu alternatif pemanfaatan pangan lokal. Menurut Haydersah et al. (2012), sukun berpotensi dimanfaatkan sebagai produk pangan prebiotik. Sukun dapat dikembangkan menjadi makanan fermentasi dengan memanfaatkan kapasitas bakteri asam laktat untuk menghidrolisis pati.

Salah satu komponen tepung komposit merupakan sumber protein yaitu tepung kacang hijau. Tepung kacang hijau merupakan tepung bebas gluten yang baik digunakan dalam kombinasi dengan tepung lain. Tepung kacang hijau memiliki komponen fungsional yang dapat meningkatkan kualitas dan nilai tambah dari produk (Chandra et al. 2013). Tepung kacang hijau dalam formula komposit dipilih karena kacang hijau memiliki kandungan protein yang cukup tinggi yaitu 27.5 g per 100 g (Mubarak 2005). Tepung beras dipilih karena merupakan tepung yang pada dasarnya digunakan sebagai bahan dasar dalam formulasi sagon bubuk. Selain itu, kacang hijau dan beras memiliki kandungan asam amino yang saling melengkapi. Protein kacang hijau kaya akan asam amino lisin namun sedikit mengandung asam amino belerang (metionin dan sistin) sebaliknya untuk beras (Khalid et al. 2003; Khalil 2006).

Selain tepung kacang hijau, sumber protein lain dari produk adalah susu skim. Susu skim dipilih karena susu skim memiliki beberapa keuntungan baik dari aspek kandungan gizi maupun rasa. Penambahan susu skim pada makanan dapat meningkatkan kualitas protein dan dapat mengurangi penggunaan protein kacang-kacangan maupun serealia sehingga dapat menurunkan faktor antigizinya. Selain itu, penambahan susu juga memiliki kemungkinan untuk dapat meningkatkan berat badan, pertumbuhan linier, dan pemulihan kekurangan gizi (Hoppe et al.

(22)

11 Tiga mineral utama yang dianalisis dalam penelitian ini adalah kalsium, besi, dan seng. Sumber kalsium dalam produk adalah susu skim selain merupakan sumber protein. Sedangkan besi dan seng produk bersumber dari multivitamin mineral. Proporsi taburia awalnya dibuat dari proporsi kelapa parut pada formula dasar. Namun dikarenakan produk yang dihasilkan agak asin maka proporsi untuk taburia diambil dari proporsi garam untuk mengurangi komposisi garam. Penentuan formulasi dilakukan secara trial and error untuk mendapatkan formula sagon yang baik.

Awal formulasi produk sagon dibuat dari tepung komposit yang berukuran 60 mesh, serta kelapa dan gula yang dihaluskan. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah homogenisasi produk. Namun produk yang dihasilkan tekstur yang terlalu halus dan kurang sesuai dengan karakteristik produk sagon pada umumnya. Sagon bubuk pada umumnya mempunyai tekstur yang agak kasar. Tekstur kasar berasal dari gula pasir dan kelapa sangrai tidak dihaluskan.

Percobaan selanjutnya dilakukan pembuatan sagon dengan ukuran tepung 40 mesh serta menggunakan gula pasir dan kelapa sangrai (tidak dihaluskan). Produk sagon yang dihasilkan terlalu kasar karena adanya butiran-butiran kasar dari tepung yang berukuran 40 mesh. Oleh karena itu, dipilih tepung komposit dengan ukuran 60 mesh serta gula dan kelapa sangrai yang tidak dihaluskan dalam pembuatan produk.

Proses pembuatan sagon sukun multigizi terdiri atas tiga tahapan utama, yaitu pembuatan tepung komposit, penyangraian tepung komposit dan kelapa parut, serta proses pencampuran kering (dry mixing) antara sangraian tepung komposit, kelapa, dan komponen lainnya. Tahap pertama pembuatan sagon adalah pembuatan tepung komposit. Selanjutnya kelapa setengah tua dikupas kulitnya hingga bersih dan diparut. Tahap berikutnya adalah proses penyangraian tepung komposit disangrai di atas api kecil selama ± 7 menit hingga berubah warna menjadi lebih tua dari warna sebelum disangrai. Kelapa disangrai ± 15 menit di atas api kecil hingga berwarna kecokelatan dan renyah.

Tahap akhir dari proses pembuatan sagon adalah pencampuran komponen lain seperti susu skim, gula, garam, dan taburia dengan sangraian kelapa dan tepung komposit. Susu skim dan gula langsung dicampurkan tanpa disangrai karena pemanasan dapat membuat produk menjadi berwarna kecokelatan karena reaksi Maillard. Reaksi Maillard merupakan reaksi antara protein dan gula pereduksi yang dapat menurunkan nilai gizi protein selama pengolahan dan penyimpanan (Muchtadi 2010).

Taburia ditambahkan pada tahap akhir sebelum proses dry mixing. Taburia diproses melalui suatu proses enkapsulasi. Hal ini menyebabkan multivitamin mineral ini tidak boleh dicampurkan pada makanan yang panas karena akan merusak beberapa zat gizi di dalamnya, seperti lemak yang melapisi zat besi akan rusak dan berinteraksi dengan makanan sehingga menimbulkan rasa kurang enak (Kemenkes 2010).

(23)

12

Taburia dalam produk sagon juga ditambahkan setelah proses pengolahan, sehingga kandungan vitamin mineral dalam produk tetap terjaga.

Sifat Organoleptik Sagon

Pengujian sifat organoleptik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui respon atau kesan yang diperoleh panca indera manusia terhadap suatu rangsangan yang ditimbulkan oleh suatu produk. Pengujian ini biasanya digunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai kualitas suatu produk maupun kesukaan atau penerimaan (afeksi) (Setyaningsih et al. 2010). Pengujian organoleptik yang dilakukan dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu uji hedonik (kesukaan) dan uji mutu hedonik. Pengujian ini dilakukan pada 50 orang panelis semi terlatih untuk menentukan formula terpilih berdasarkan penilaiannya terhadap tujuh macam formula sagon.

Uji Mutu Hedonik

Uji mutu hedonik menyatakan kesan baik atau buruk suatu produk. Kesan baik atau buruk ini selanjutnya disebut sebagai kesan mutu hedonik. Uji mutu hedonik dapat bersifat umum maupun spesifik (Setyaningsih et al. 2010). Pada penelitian ini, panelis diminta untuk memberikan penilaian mutu hedonik terhadap atribut warna, aroma sukun, aroma kacang hijau, aroma obat, rasa sukun, rasa kacang hijau, rasa manis, rasa asin, tekstur, dan after taste.

Uji Hedonik (Kesukaan)

Uji hedonik umumnya digunakan pada pengembangan produk baru (Setyaningsih et al. 2010). Pada penelitian ini, panelis diminta tanggapan pribadinya mengenai kesukaan atau ketidaksukaan pada sagon. Semakin tinggi nilai yang diberikan oleh panelis, maka semakin suka panelis terhadap produk sagon. Panelis dianggap menerima produk sagon apabila panelis memberikan nilai yang lebih besar dari 4.5 (Peryam dalam IOM 2002).

Warna

Warna merupakan atribut sensori pertama yang dapat diterima/dilihat langsung oleh panelis (Winarno 2008). Berdasarkan hasil uji hedonik terhadap warna sagon, rata-rata nilai yang diberikan panelis berkisar antara 5.49—5.95 atau berada pada kisaran tingkat kesukaan suka tidak, tidak suka tidak hingga agak suka. Formula F3 memiliki nilai rata-rata tertinggi (5.95), sedangkan formula F5 memiliki nilai rata-rata terendah (5.49). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam jenis formula tidak berpengaruh terhadap tingkat kesukaan pada atribut warna (p>0.05). Hal ini berarti, berapapun perbandingan komposit yang diberikan tidak memengaruhi kesukaan panelis terhadap atribut warna. Pemilihan produk dapat dipilih pada formula manapun jika ditinjau dari atribut warna.

(24)

13

Gambar 3 Persentase penerimaan produk sagon

Hasil uji mutu hedonik menunjukkan bahwa rata-rata nilai yang diberikan panelis pada atribut warna berkisar antara 3.72—4.07. Nilai ini berada pada kisaran warna krem hingga kuning. Formula F3 memiliki nilai rata-rata tertinggi (4.07) sedangkan formula F5 memiliki nilai rata-rata terendah (3.72). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis formula tidak berpengaruh terhadap mutu atribut warna (p>0.05). Hasil ini sejalan dengan penelitian Walde

et al. (2005) mengenai pengembangan produk roti dengan substitusi tepung beras yaitu penambahan tepung beras hingga 25% tidak memengaruhi atribut warna roti. Hal ini berarti komposisi formula yang berbeda tidak memberikan pergeseran nilai warna.

Warna dari produk sagon dibentuk dari bahan yang digunakan. Bahan yang digunakan sebagian besar berasal dari tepung-tepungan, yakni tepung sukun (krem), tepung kacang hijau (kuning), tepung beras (putih), tepung susu skim (krem), gula pasir (krem cerah), garam (putih), taburia (putih keabu-abuan), dan kelapa sangrai (cokelat muda). Komponen sagon yang dominan berasal dari tepung komposit (sukun, kacang hijau, beras) dan susu skim yang memiliki warna senada (putih-kuning). Hal ini menyebabkan, ketika semua komponen produk dicampurkan, maka warna yang terbentuk tidak memberikan efek terhadap mutu warna.

Aroma

Aroma merupakan atribut organoleptik yang dapat dinilai melalui indra penciuman (Meilgaard et al. 1999). Manusia dapat mendeteksi dan membedakan sekitar 16 juta jenis bau karena memiliki 10—20 juta sel olfaktori yang bertugas mengenali dan menentukan jenis bau yang masuk (Winarno 2008).

(25)

14

sejalan dengan penelitian Walde et al. (2005) yaitu penambahan tepung beras hingga 25% tidak memengaruhi atribut aroma roti. Hal ini berarti, berapapun perbandingan komposit yang diberikan tidak memengaruhi kesukaan panelis terhadap atribut aroma. Pemilihan produk dapat dipilih pada formula manapun jika ditinjau dari atribut aroma.

Berdasarkan tabel di atas, formula F5 memiliki tingkat penerimaan terendah dan formula F3 memiliki tingkat penerimaan tertinggi. Tingkat penerimaan panelis terhadap warna sagon berkisar antara 86—94%. Hal ini menunjukkan bahwa panelis dapat menerima aroma produk sagon pada tingkat formula apapun. Penerimaan panelis terhadap atribut aroma disajikan pada Gambar 3.

Uji mutu hedonik terhadap atribut aroma dibedakan menjadi tiga atribut yang lebih spesifik, yaitu aroma sukun, aroma kacang hijau, dan aroma obat. Berdasarkan hasil uji mutu hedonik, rata-rata nilai yang diberikan panelis untuk atribut aroma sukun berkisar antara 4.70—4.99. Nilai ini berada pada kisaran aroma sukun agak lemah hingga biasa. Formula F1 memiliki rata-rata tertinggi (4.99) sedangkan F3 memiliki rata-rata terendah (4.70). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis formula tidak berpengaruh terhadap mutu atribut aroma sukun (p>0.05). Olaoye et al. (2007) menyatakan bahwa rata-rata penerimaan terhadap aroma sukun akan menurun seiring dengan peningkatan substitusi tepung sukun pada pembuatan biskuit. Pada penelitian ini, proporsi sukun sama antarformula sehingga jenis formula tidak memberikan pengaruh yang nyata pada aroma sukun. Hal ini berarti komposisi formula yang berbeda tidak memberikan pergeseran nilai aroma sukun.

Kacang hijau juga memegang peranan penting dalam membentuk aroma produk. Rata-rata nilai yang diberikan oleh panelis pada uji mutu hedonik untuk aroma kacang hijau berkisar antara 4.55—5.71. Nilai ini berada pada kisaran aroma kacang hijau agak lemah hingga agak kuat. Formula F5 memiliki nilai rata-rata tertinggi (5.71), sedangkan formula F1 memiliki rata-rata-rata-rata terendah (4.55). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis formula tidak berpengaruh terhadap mutu atribut aroma kacang hijau (p>0.05). Hal ini berarti komposisi formula yang berbeda tidak memberikan pergeseran nilai aroma kacang hijau.

Multivitamin mineral yang digunakan dalam penelitian ini diklaim tidak memberikan perubahan rasa dan aroma pada produk yang ditambahkan. Rata-rata nilai yang diberikan oleh panelis pada uji mutu hedonik untuk aroma obat berkisar antara 2.88—3.35. Nilai ini berada pada kisaran aroma obat sangat lemah hingga agak lemah. Hal ini sejalan dengan informasi yang disampaikan oleh Kemenkes (2010) bahwa keunggulan taburia sebagai multivitamin mineral bagi anak adalah tidak menyebabkan perubahan rasa dan aroma pada produk. Formula F1 memiliki nilai rata-rata tertinggi (3.35), sedangkan formula F3 memiliki rata-rata terendah (2.88). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis formula tidak berpengaruh terhadap mutu atribut aroma kacang hijau (p>0.05). Hal ini berarti komposisi formula yang berbeda tidak memberikan pergeseran nilai aroma obat. Rasa

(26)

15 umami. Kepekaan manusia terhadap rasa pahit jauh lebih tinggi dibandingkan rasa manis. Rasa makanan dapat dinilai oleh indra pencicip antara lain rongga mulut, lidah, dan langit-langit (Setyaningsih et al.2010).

Berdasarkan hasil uji hedonik terhadap rasa sagon, rata-rata nilai yang diberikan panelis berkisar antara 4.67—5.56 atau berada pada kisaran tingkat kesukaan agak tidak suka hingga agak suka. Formula F2 memiliki nilai rata-rata tertinggi (5.56) sedangkan formula F1 memiliki nilai rata-rata terendah (4.67). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, jenis formula tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap tingkat kesukaan pada atribut rasa. Hal ini berarti, berapapun perbandingan komposit yang diberikan tidak memengaruhi kesukaan panelis terhadap atribut rasa. Pemilihan produk dapat dipilih pada formula manapun jika ditinjau dari atribut rasa.

Berdasarkan tabel di atas, formula F1 memiliki tingkat penerimaan terendah dan formula F2 dan F3 memiliki tingkat penerimaan tertinggi. Tingkat penerimaan panelis terhadap rasa sagon berkisar antara 60—78%. Hal ini menunjukkan bahwa panelis kurang dapat menerima rasa produk sagon pada tingkat formula apapun. Hal ini dapat dilihat dari persentase penerimaan rasa sagon yang kurang dari 80 %. Persentase penerimaan panelis terhadap atribut rasa sagon disajikan pada Gambar 3.

Berdasarkan hasil uji kesukaan, sebagian besar panelis menyatakan rasa asin sedikit mendominasi produk. Rasa asin muncul di akhir setelah sagon dimakan. Selain itu, panelis juga menyatakan rasa sukun produk juga cukup kuat. Olaoye et al. (2007) menyatakan bahwa rata-rata penerimaan terhadap rasa sukun akan menurun seiring dengan peningkatan substitusi tepung sukun pada pembuatan biskuit. Rasa asin dan rasa sukun yang cukup kuat diduga memengaruhi kesukaan panelis terhadap atribut rasa. Penerimaan panelis terhadap atribut rasa sagon disajikan dalam Gambar 3.

Rasa produk sagon, dibentuk dari bahan yang digunakan. Komponen pembentuk rasa pada produk sagon antara lain tepung sukun, tepung kacang hijau, gula dan garam. Uji mutu hedonik terhadap atribut rasa dibedakan menjadi empat atribut yang lebih spesifik, yaitu rasa sukun, rasa kacang hijau, rasa manis, dan rasa asin. Hasil uji hedonik terhadap atribut rasa sukun yang diberikan panelis berkisar antara 5.13—6.80. Nilai ini berada pada kisaran mutu rasa biasa hingga berasa. Formula F4 memiliki rata-rata tertinggi (6.80), sedangkan F2 memiliki rata-rata terendah (5.13). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis formula tidak berpengaruh terhadap mutu atribut rasa sukun (p>0.05). Hal ini berarti komposisi formula yang berbeda tidak memberikan pergeseran nilai rasa sukun. Hal ini karena proporsi sukun antarformula tetap, yaitu 50% dari total komposit.

(27)

16

Menurut IOM (2002), rasa yang disarankan untuk digunakan dalam produk pangan darurat adalah rasa manis. Rasa manis merupakan satu-satunya rasa yang dapat diterima secara luas oleh suatu populasi (Young et al. 1985). Rata-rata nilai yang diberikan oleh panelis pada uji mutu hedonik untuk rasa manis berkisar antara 4.18—4.77. Nilai ini berada pada kisaran rasa agak tidak manis hingga pas. Formula F7 memiliki nilai rata-rata tertinggi (4.77), sedangkan formula F3 memiliki rata-rata terendah (4.18). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis formula tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap mutu atribut rasa manis. Hal ini berarti komposisi formula yang berbeda tidak memberikan pergeseran nilai rasa manis.

Selain rasa sukun, rasa kacang hijau, dan rasa manis, rasa asin juga merupakan salah satu atribut rasa yang dapat membentuk rasa produk sagon. Rata-rata nilai yang diberikan oleh panelis pada uji mutu hedonik untuk rasa asin berkisar antara 4.93—5.56. Nilai ini berada pada kisaran rasa agak tidak asin hingga agak asin. Formula F1 memiliki nilai rata-rata tertinggi (5.56) sedangkan formula F7 memiliki rata-rata terendah (4.93). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis formula tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap mutu atribut rasa asin. Hal ini berarti komposisi formula yang berbeda tidak memberikan pergeseran nilai rasa asin.

Tekstur

Tekstur dapat dinilai dengan menggunakan ujung jari tangan. Menurut Setyaningsih et al. (2010), tekstur bersifat kompleks dan terkait dengan struktur bahan yang terdiri dari tiga elemen yaitu mekanik (kekerasan, kekenyalan), geometrik (berpasir, beremah), dan mouthfeel (berminyak, berair). Tekstur yang dinilai dalam penelitian ini adalah tekstur raba dan termasuk dalam elemen geometrik yaitu berpasir atau beremah.

Berdasarkan hasil uji hedonik terhadap tekstur sagon, rata-rata nilai yang diberikan panelis berkisar antara 5.27—6.11 atau berada pada kisaran tingkat kesukaan biasa hingga suka. Formula 2 memiliki nilai rata-rata tertinggi (5.56), sedangkan formula F1 memiliki nilai rata-rata terendah (4.67). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, jenis formula tidak berpengaruh (p>0.05) terhadap tingkat kesukaan panelis pada atribut tekstur. Hal ini berarti, berapapun perbandingan komposit yang diberikan tidak memengaruhi kesukaan panelis terhadap atribut tekstur. Pemilihan produk dapat dipilih pada formula manapun jika ditinjau dari atribut tekstur.

Berdasarkan tabel di atas, formula F1 memiliki tingkat penerimaan terendah dan formula F6 memiliki tingkat penerimaan tertinggi. Tingkat penerimaan panelis terhadap warna sagon berkisar antara 74—88%. Hal ini menunjukkan bahwa panelis dapat menerima tekstur produk sagon pada tingkat formula apapun. Persentase penerimaan panelis trehadap atribut tekstur sagon disajikan pada Gambar 3.

(28)

17 nyata (p>0.05) terhadap mutu atribut tekstur. Hal ini berarti komposisi formula yang berbeda tidak memberikan pergeseran nilai tekstur.

Tekstur pada sagon sukun multigizi dibentuk oleh tekstur halus dari tepung sukun, tepung kacang hijau, tepung beras, tepung susu skim, dan garam. Sedangkan tekstur kasar dibentuk oleh gula pasir dan kelapa sangrai. Perpaduan tekstur halus dan kasar membuat sagon kurang terhomogenisasi dengan baik, sehingga tekstur yang dihasilkan adalah agak halus hingga agak kasar. Selain itu, proporsi gula pasir dan kelapa sangrai yang membentuk tekstur sagon sama untuk semua jenis formula. Hal ini menyebabkan ketika semua komponen produk dicampurkan, maka tekstur yang terbentuk tidak memberikan efek terhadap mutu tekstur.

Keseluruhan

Variabel keseluruhan merupakan hasil penilaian panelis yang merupakan kombinasi antara variabel penerimaan panelis terhadap atribut warna, tekstur, rasa, dan aroma produk sagon. Nilai keseluruhan dihitung dengan menjumlahkan proporsi masing-masing atribut penilaian, yaitu rasa= 60%, tekstur= 25%, aroma =10%, dan warna= 5%. Rasa merupakan atribut dengan proporsi paling besar. Hal ini karena suatu produk kurang dapat diterima apabila rasa produk tidak disukai (tidak dapat diterima). Hal ini sesuai dengan IOM (2002) yang menyatakan bahwa rasa merupakan komponen sensori penting yang harus dipertimbangkan dalam membuat produk pangan darurat. Dalam kondisi darurat, orang membutuhkan makanan selain siap santap juga dapat memenuhi kebutuhan gizi serta memiliki rasa yang enak.

(29)

18

Tingkat penerimaan panelis terhadap atribut keseluruhan produk sagon disajikan dalam Gambar 4. Tingkat penerimaan panelis terhadap keseluruhan produk sagon berkisar antara 64—86%. Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa penerimaan panelis terhadap keseluruhan produk sagon adalah formula F3. Formula F3 merupakan formula dengan perbandingan tepung komposit antara tepung sukun: tepung kacang hijau: tepung beras adalah 50:30:20. Secara mutu hedonik, formula F3 memiliki warna krem hingga kuning cerah. Aroma sukun dan aroma kacang hijau pada formula F3 agak lemah hingga biasa, sedangkan aroma obatnya sangat lemah hingga lemah. Rasa sukun dan kacang hijau biasa hingga agak berasa. Rasa manis berkisar antara agak tidak manis hingga pas, sedangkan rasa asin berkisar antara pas hingga agak asin. Tekstur dan after tase

formula terpilih biasa.

Sifat Fisik Sagon

Sifat fisik yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi empat hal, yaitu densitas kamba, kelarutan, derajat putih, dan Rapid Visco Analyzer (RVA).Tabel yang menunjukkan hasil analisis terhadap fisik sagon disajikan dalam Tabel 14.

Tabel 3 Karakterisitik fisik sagon

Karakteristik fisik Jenis Formula

F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7

Densitas Kamba

(g/mL)* 0.69 0.71 0.72 0.70 0.71 0.70 0.71

Derajat putih

(%)* 57.49 59.18 60.47 60.53 61.76 63.09 63.30 Kelarutan (%) 53.14 52.52 52.84 52.65 53.20 52.79 52.64 Viskositas (cP) 127.5 138.5 148.5 178.5 213.5 183.0 144.5 Keterangan: Menunjukkan perbedaan yang nyata p<0.05

Densitas Kamba

Berdasarkan Tabel 3, densitas kamba produk sagon antarformula berkisar antara 0.69—0.72 g/mL. Menurut Lalel et al. (2009), densitas kamba tepung-tepungan berkisar antara 0.56—0.60 g/mL. Densitas kamba sagon lebih besar diduga karena penggunaan gula pasir yang memiliki berat per volume yang lebih besar dibandingkan tepung-tepungan. Produk sagon dapat dikatakan bersifat kamba karena memiliki densitas kamba yang relatif besar. Hal ini berarti untuk berat yang besar membutuhkan ruang yang kecil.

(30)

19 Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa jenis formula berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap densitas kamba antarformula. Semakin besar proporsi tepung beras dalam formula, maka densitas kamba produk akan meningkat. Menurut Lalel et al. (2009), densitas kamba tepung beras 0.90 g/mL. Besarnya densitas kamba tepung beras diduga akan menyebabkan peningkatan densitas kamba seiring dengan peningkatan proporsi tepung beras. Hasil uji independent sample t-test menunjukkan bahwa sagon dengan proporsi kacang hijau lebih besar berbeda nyata (p<0.05) terhadap sagon dengan proporsi tepung beras lebih banyak terhadap densitas kambanya.

Derajat Putih

Derajat putih merupakan kemampuan untuk memantulkan cahaya yang mengenai permukaan suatu bahan sehingga produk yang cerah penampakannya memiliki derajat putih tinggi (Badan Penelitian dan Pengembangan Industri 1989). Hasil analisis Whiteness Meter menunjukkan bahwa derajat putih sagon berkisar antara 57.49 % hingga 63.30%. Hasil uji hedonik terhadap atribut warna sagon menunjukkan bahwa jenis formula tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap atribut warna sehingga nilai derajat putih yang tidak memengaruhi penerimaan panelis terhadap produk sagon.

Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa jenis formula berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap derajat putih antarformula. Hal ini berarti semakin besar proporsi tepung beras dalam formula akan meningkatkan derajat putih produk. Menurut Munarso et al. (2004) derajat putih tepung beras cukup tinggi yaitu 86.10%. Besarnya nilai derajat putih tepung beras diduga akan meningkatkan derajat putih produk seiring dengan peningkatan proporsi tepung beras pada formula. Hasil uji independent sample t-test menunjukkan bahwa formula dengan proporsi tepung kacang hijau dominan berbeda nyata (p<0.05) terhadap formula dengan proporsi tepung beras dominan.

Kelarutan

Kelarutan merupakan jumlah suatu bahan yang dapat larut dalam air. Hasil uji kelarutan menunjukkan bahwa kelarutan antarformula berkisar antara 52.52% hingga 53.20%. Nilai kelarutan ini lebih besar dibandingkan dengan nilai kelarutan bubur instan dengan fortifikasi tepung tenggiri menurut Amirullah (2008) yaitu sekitar 36.12%—37.71%. Kelarutan dipengaruhi oleh kadar air produk. Semakin rendah kadar air atau semakin kering produk maka tingkat kelarutan akan semakin tinggi (Amirullah 2008). Kelarutan sagon yang tinggi bemanfaat terhadap pemilihan alternatif cara penyajian sagon. Kelarutan yang tinggi dari produk sagon memungkinkan sagon dikonsumsi dengan cara diseduh seperti bubur susu/bubur bayi untuk alternatif penyajian bagi anak balita. Hal ini untuk menghindari balita tersedak saat mengonsumsi sagon bubuk.

(31)

20

formula dengan proporsi kacang hijau dominan tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap produk dengan proporsi tepung beras dominan.

Viskositas

Viskositas adalah daya aliran molekul dalam sistem larutan. Suspensi koloid dalam larutan dapat meningkat dengan cara mengentalkan cairan sehingga terjadi absorbsi dan pengembangan koloid. Hasil pengukuran viskositas pada Tabel 3 menunjukkan bahwa viskositas antarformula berkisar antara 127.5 cP hingga 213.5 cP. Nilai viskositas produk sagon dipengaruhi oleh beberapa komponen penyusunnya. Sagon sukun multigizi tersusun dari berbagai jenis tepung-tepungan seperti tepung sukun, tepung kacang hijau, tepung beras, dan tepung susu skim. Hal ini menyebabkan viskositas produk menjadi kurang stabil. Selain itu faktor lain yang memengaruhi viskositas adalah adanya proses pemanasan (penyangraian) yang meningkatkan suhu awal gelatinisasi.

Sifat Kimia Sagon

Kandungan gizi sagon yang dianalisis meliputi analisis proksimat, analisis mineral, analisis serat pangan, dan daya cerna protein. Analisis mineral yang dilakukan adalah terhadap mineral kalsium, besi, dan seng. Selain itu analisis juga dilakukan analisis terhadap serat pangan dan daya cerna protein untuk mengetahui mutu gizi dari produk sagon. Kandungan vitamin tidak dianalisis secara langsung melainkan dengan perhitungan secara teoritis. Vitamin yang dihitung antara lain meliputi vitamin A, vitamin C, vitamin D, dan vitamin E. Hasil analisis kandungan gizi produk sagon disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil analisis kandungan gizi produk sagon

Komponen Satuan Jenis Formula

F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7

Air % 5.25 5.28 5.05 5.06 5.08 4.96 5.21

Abu % 4.98 5.00 5.06 4.90 5.08 4.83 4.94

Protein % 15.70 14.21 15.69 13.37 14.06 14.32 14.18

Lemak % 4.35 4.48 4.19 4.15 3.40 3.73 2.92

Karbohidrat % 69.60 71.03 70.02 72.53 72.39 72.17 72.76 Serat Pangan % 10.20 9.93 9.95 10.26 8.79 8.98 9.27 Kalsium mg 482.1 501.1 459.6 475.5 477.4 485.4 473.8 Besi mg 18.67 22.12 22.27 17.74 21.04 18.66 16.89 Seng mg 12.97 12.81 12.40 12.26 12.18 12.48 11.56 Vitamin A* RE 163.9 143.5 123.0 102.5 82.00 61.50 41.00 Vitamin C* mg 17.40 15.30 13.10 10.90 8.70 6.50 4.40 Vitamin D* Mcg 1.70 1.50 1.30 1.10 0.90 0.70 0.40 Vitamin E* Mg 2.10 1.90 1.60 1.30 1.10 0.80 0.50 * Dihitung berdasarkan USDA-2008

(32)

21 menunjukkan bahwa, penambahan tepung kacang hijau dalam formula komposit memberikan dampak yang baik terhadap kandungan vitamin produk.

Sumber utama vitamin produk adalah taburia. Satu sachet taburia mengandung 95% AKG vitamin A, 75% AKG vitamin C, 100% AKG vitamin D, dan 85% AKG vitamin E. Kecukupan per hari vitamin A, C, D, E untuk anak usia 7—9 tahun masing-masing adalah 400 RE, 45 mg, 10 mcg, dan 7 mg. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kandungan vitamin A produk berkisar antara 41—163.9 RE atau memenuhi 10—41% AKG. Kandungan vitamin C produk berkisar antara 0.4—1.7 mg atau memenuhi 1—4% AKG. Kandungan vitamin D produk berkisar antara 4.4—17.4 mcg atau memenuhi 44—174% AKG. Kandungan vitamin E produk berkisar antara 0.5—2.1 mg atau memenuhi 7— 30% AKG.

Kadar Air

Air merupakan komponen penting yang harus diperhatikan dalam pengolahan suatu bahan. Hal ini karena kadar air suatu produk memengaruhi masa simpan produk tersebut. Menurut Winarno (2008), air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena dapat memengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa makanan.

Berdasarkan Tabel 4, kadar air produk sagon berkisar antara 4.96%— 5.28%. Hasil penelitian Walde et al. (2005) menyatakan bahwa kadar air adonan kering substitusi tepung beras 10—25% terhadap tepung kacang hijau berkisar antara 5.51%—7.92%. Kadar air produk sagon lebih rendah diduga karena setelah proses penepungan terjadi proses pemanasan kembali yakni melalui proses penyangraian pada proses pembuatan sagon. Pengeringan memperpanjang masa simpan makanan dengan mengurangi jumlah air yang tersedia untuk reaksi kimia yang tidak diinginkan dan proliferasi mikroba (Gowen et al. 2008). Randahnya kadar air produk memberikan dampak positif yakni semakin panjangnya masa simpan produk.

Syarat mutu produk sagon dibandingkan dengan syarat mutu untuk susu sereal. Kadar air produk sagon belum memenuhi kadar air menurut SNI 01-4270-1996 untuk susu sereal yaitu maksimal 4%. Mubarak (2005) menyatakan bahwa perebusan meningkatkan kadar air karena penyerapan air oleh benih kacang hijau selama memasak pada proses pembuatan tepung. Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa jenis formula tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap kadar air antarformula.

Hasil uji Independent samples t-test menunjukkan bahwa kadar air sagon dengan proporsi tepung kacang hijau dominan tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap sagon dengan proporsi tepung beras dominan. Hal ini karena kadar air tepung beras dan tepung kacang hijau per 100 g relatif sama yaitu 12% per 100 g. Kadar Abu

(33)

22

Hasil analisis pada Tabel 4 menunjukkan bahwa kadar abu tujuh formula produk sagon berkisar antara 4.83%—5.08%. Nilai tersebut masih belum memenuhi standar kadar abu menurut SNI 01-4270-1996 untuk susu sereal yaitu maksimal 4%. Hal ini diduga karena tepung sukun sebagai komponen utama tepung komposit memiliki kadar mineral yang tinggi. Menurut Ajani et al. (2012), tepung sukun kaya akan mineral sehingga kadar abu produk dengan subsitusi tepung sukun tinggi. Hal yang sama disampaikan oleh Olaoye et al. (2008) bahwa tepung sukun memiliki kadar abu yang lebih tinggi dibadingkan dengan tepung terigu. Selain itu, penambahan multivitamin mineral pada produk dan penggunaan susu skim juga diduga meningkatkan kadar abu produk sagon. Kandungan besi, seng, dan selenium masing-masing adalah 108%, 49.5%, dan 94.5%. Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa jenis formula tidak memberikan pengaruh nyata (p>0.05) terhadap kadar abu antarformula. Hal ini diduga karena jumlah penambahan bahan sumber abu (tepung sukun dan taburia) sama antarformula.

Hasil uji Independent samples t-test menunjukkan bahwa kadar abu tujuh formula produk sagon tidak berbeda nyata (p>0.05) antarformula sagon. Hal ini mengindikasikan bahwa perbandingan jumlah tepung kacang hijau dan tepung beras antarformula tidak memengaruhi kadar abu secara signifikan pada produk. Hal ini diduga karena kandungan mineral tepung kacang hijau dan tepung beras relatif kecil sehingga kadar abu dalam produk lebih didominasi penambahan taburia dan susu skim yang sama antarformula.

Kadar Protein

Protein merupakan salah satu zat gizi makro utama bagi tubuh terkait dengan fungsinya sebagai zat pembangun, pengatur, dan sumber energi. Kandungan protein dalam produk sagon ini berasal dari tepung kacang hijau dan susu skim. Kandungan protein tersebut diformulasikan sedemikan rupa agar memenuhi klaim sumber protein dengan ketentuan memenuhi 20% ALG setara 12 g protein per 100 g produk sagon (BPOM 2007, 2011).

Hasil analisis pada Tabel 4 menunjukkan bahwa kadar protein tujuh formula sagon berkisar antara 13.37—15.70%. Nilai tersebut memenuhi klaim pangan sumber protein menurut BPOM (2007, 2011) yaitu 20% ALG atau setara dengan 12 g per 100 g produk sagon. Selain itu, produk ini juga memenuhi standar kadar protein menurut SNI 01-4270-1996 untuk susu sereal yaitu minimal 5%. Sumber protein sagon berasal dari susu skim dan tepung kacang hijau. Kandungan protein susu skim tinggi yaitu sebesar 36.0% (Hoppe et al. 2008) demikian juga dengan tepung kacang hijau yang mengandung protein 16.1% (Azizah et al. 2012). Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa jenis formula tidak memberikan pengaruh nyata (p>0.05) terhadap kadar protein antarformula. Hal ini diduga karena jumlah penambahan bahan penyusun sumber protein yaitu susu skim adalah sama antarformula. Sementara itu, perbedaan jumlah penambahan bahan penyusun sumber protein lainnya yaitu tepung kacang hijau relatif kecil (5% antarformula).

Hasil uji Independent samples t-test menunjukkan bahwa kadar protein antarformula sagon berbeda nyata (p<0.05). Hal ini diduga karena tepung kacang hijau memiliki kandungan protein yang relatif tinggi yaitu 16.1% (Azizah et al.

(34)

23 perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras yang relatif kecil antarformula yaitu 5% dapat memengaruhi kadar protein antarformula. Semakin tinggi proporsi tepung kacang hijau dalam perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras diduga akan meningkatkan kadar protein.

Kadar Lemak

Lemak merupakan komponen zat gizi makro yang menentukan mutu suatu produk pangan. Sumber lemak produk sagon ini berasal dari kelapa. Hasil analisis lemak menunjukkan bahwa kadar lemak produk sagon berkisar antara 2.92% hingga 4.35%. Nilai ini tidak memenuhi standar SNI 01-4270-1996 untuk susu sereal yaitu minimal 7%. Hal ini diduga karena komponen penyusun sagon memiliki kadar lemak yang relatif kecil. Kandungan lemak susu skim sebagai komponen utama sagon hanya sebesar 1 g per 100 g bahan (DKBM 2007). Rendahnya kandungan lemak berdampak positif bagi produk yakni semakin rendah kadar lemak maka masa simpan produk akan semakin lama. Menurut Kennedy et al. (2005), lemak merupakan salah satu faktor penentu masa simpan produk pangan. Lemak pada pangan dapat teroksidasi sehingga menurunkan masa simpan produk.

Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa jenis formula tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap kadar lemak antarformula. Kandungan lemak pada penyusun tepung komposit yaitu tepung kacang hijau dan tepung beras menurut DKBM 2007 tidak berbeda signifikan yakni 1.2 % dan 0.5% per 100 g. Hasil uji

Independent samples t-test menunjukkan bahwa kadar lemak sagon dengan proporsi tepung kacang hijau dominan berbeda nyata (p<0.05) terhadap sagon dengan proporsi tepung beras dominan. Kandungan lemak kacang hijau per 100 g lebih besar dibandingkan kandungan lemak tepung beras per 100 g.

Karbohidrat

Karbohidrat merupakan salah satu komponen penting dalam produk sagon yang umumnya berbahan dasar tepung beras. Komponen karbohidrat dalam produk sagon umumnya berfungsi sebagai bahan dasar yang dapat memengaruhi karakterisitik fisik sagon. Kadar karbohidrat dihitung menggunakan metode by difference sehingga kadarnya dipengaruhi oleh keberadaan kadar zat gizi lainnya, seperti air, abu, protein, dan lemak.

Hasil analisis pada Tabel 4 menunjukan bahwa kadar karbohidrat tujuh formula sagon berkisar antara 69.6—72.76%. Nilai tersebut memenuhi syarat kadar kabohidrat sesuai SNI 01-4270-1996 yaitu minimal 60.7%. Tingginya kadar karbohidrat produk disebabkan oleh komponen penyusun produk yang sebagian besar merupakan sumber karbohidrat (tepung beras dan tepung sukun). Kandungan karbohidrat tepung beras cukup tinggi yaitu sebesar 78.45—80.35% (Wanyo et al. 2009; Kaushal et al. 2012), sedangkan kandungan karbohidrat sukun sebesar 78.90% (Suprapti 2002). Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa jenis formula tidak memberikan pengaruh nyata (p>0.05) terhadap kadar karbohidrat antarformula. Hal ini diduga karena kandungan karbohidrat dalam produk sebagian besar bersumber dari tepung sukun yang jumlah penambahannya sama antarformula (50%).

(35)

24

(p<0.05) dengan proporsi tepung beras dominan. Semakin tinggi proporsi tepung beras dalam perbandingan tepung kacang hijau dan tepung beras diduga akan meningkatkan kadar karbohidrat produk akhir. Hal ini karena tepung beras memiliki kandungan karbohidrat yang relatif tinggi (80.38%) dibandingkan dengan tepung kacang hijau (69.71%).

Serat Pangan

Secara umum, serat pangan terbagi dalam dua kategori yaitu serat pangan larut dan tak larut. Serat pangan larut merupakan serat yang dapat larut dalam air seperti pektin dan karagenan sedangkan serat pangan tak larut air terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, pektin, dan chitosan (Qi et al. 2011).

Hasil analisis pada Tabel 4 menunjukkan bahwa kadar serat pangan tujuh formula sagon berkisar antara 8.79—10.26%. Nilai tersebut memenuhi klaim pangan tinggi serat menurut BPOM (2007, 2011) yaitu mengandung 6 g per 100 g produk sagon. Menurut Ragone & Cavaletto (2006) rata-rata serat pangan sukun pada penelitiannya pada 20 varietas sukun berkisar antara 2.1—7.4%. Selain sukun, bahan yang berperan sebagai sumber serat pangan adalah kacang hijau dan beras. Menurut Azizah et al. (1997) kacang hijau dan beras memiliki kandungan serat pangan yang tinggi yaitu sebesar 25.3% dan 14.2%. Tingginya serat pangan pada sukun dan kacang hijau diduga menyebabkan kandungan serat pangan produk menjadi tinggi.

Hasil uji sidik ragam menujukkan bahwa jenis formula tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap kadar serat pangan antarformula. Hasil uji Independent sample t-test menunjukkan bahwa kadar serat pangan antara sagon dengan proporsi tepung kacang hijau dominan berbeda nyata (p<0.05) dengan sagon dengan proporsi tepung beras dominan. Hal ini diduga, semakin besar proporsi tepung kacang hijau dalam formula maka serat pangan produk akan semakin tinggi.

Kandungan serat pangan yang tinggi pada produk sagon sebagai pangan darurat memiliki dampak positif bagi para korban bencana. Hal ini karena dalam kondisi bencana, makanan-makanan sumber serat seperti sayur dan buah jarang didistribusikan karena terkendala akses dan rendahnya daya simpan. Pendistribusian pangan untuk para korban bencana sering kali hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi. Kurangnya distribusi makanan sumber serat dalam keadaan darurat dapat meningkatkan resiko konstipasi pada para korban. Speridiao et al. (2003), menyatakan bahwa diet tinggi serat pangan dapat menurunkan konstipasi kronis pada anak. Tingginya kandungan serat sagon sebagai alternatif snack pangan darurat dapat memenuhi kebutuhan serat pangan para korban bencana sehingga dapat menurunkan resiko terjadinya konstipasi. Kalsium

Gambar

Gambar 1 Diagram alir pembuatan tepung sukun, tepung kacang hijau, dan tepung  beras
Gambar 2 Diagram alir tahapan penelitian tepung sukun, tepung beras,
Tabel 1 Formula sagon per 100 g
Tabel 2 Formula dasar sagon bubuk
+6

Referensi

Dokumen terkait