• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengolahan Banana Bars dengan Inulin sebagai Alternatif Pangan Darurat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengolahan Banana Bars dengan Inulin sebagai Alternatif Pangan Darurat"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

PROCESSING OF BANANA BARS WITH INULIN AS EMERGENCY FOOD

Melia Christian, Ratih Dewanti-Hariyadi, Elvira Syamsir, and Rohmah Luthfiyanti

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java,

Indonesia

Phone +62 857 24032076, E-mail: rasz17george@yahoo.com

ABSTRACT

There have been many disasters happened in Indonesia and as a consequence, many families had to stay in temporary camps. One of the problems related to this situation is providing an adequate, convenient, and nutritious foods for the refugees to maintain their health status in good condition especially for the first few days until the stable food come. According to Zoumas et al (2002), emergency food product must contain10-15% protein, 35-45% fat, and 40 to 50 percent carbohydrate. One of the examples of an emergency food product is a snack bar. The objective of this study was to obtain the best formulation, baking temperature and time to produce banana bars acceptable by sensory evaluation and contained energy that meet emergency food requirements. This research consisted of three steps. First step was to produce banana and tempe flour as the primary ingredients of the banana bars, second step was to obtain the best formulation and baking parameters to produce acceptable bars based on sensory evaluation, and the third step was reformulation to adjust the macronutrient content of the banana bars and physico-chemical analysis of the products. The first step of the research resulted in banana and tempe flour similar to those obtained by other researchers. The second step produced formula II containing 28.57% banana and tempe flour, 42.86% glutinous rice flour and margarine, 57.14% sugar, 5.71% inulin, and 22.86% water and baking parameters of 100oC for 20 minutes followed by baking at 140oC for 40 minutes. Using the formula and baking parameters above, banana bars was analyzed for proxymate analysis, however, the results indicated that the macronutrient of protein did not meet the requirement of emergency food product. Therefore, a reformulation was conducted to produce desired product in step three. In the third step, four formulations containing banana flour, tempeh flour and inulin were evaluated for proxymate analysis, physical, microbiological and sensory evaluation Because of the reformulation, baking temperature and time was also adjusted. Based on the result of this research, the best baking parameters was 100oC for 20 minutes and then raised to 130oC for 40 minutes. Based on the overall attribute of sensory evaluation, formula A and D was not significantly different and both of them were the most preferred product by panelists. The formulation resulted in products containing energy of 111.72 calories and 110.60 calories. Macronutrient content of formula A didn’t meet the requirement of emergency food product, but macronutrient content of formula D meet the requirement of emergency food product. So, formula D was evaluated in other evaluation. Evaluation of banana bars made with formula D suggested that the water activity was 0.308 in 30.3oC. Texture analysis of the banana bar showed that product had peak force of (+) 1921.3 g force; 0.870 mm that showed the value of hardness. The banana bar produced was crunchy, crispy, and did not form crumb. The colour of the product was golden brown and analysis of the product showed L value of 47.75%, a value of +9.68, b value of +24.43 and oHue value of 68.38. The microbiological result shows that all of the formulation has a Total Plate Count of < 2.5 x 102 col/gr and Total Mold of < 1.5 x 101 col/gr which were lower than that required for cookies 1 x 106col/gr for Total Plate Count and 1 x 102col/gr for Total Mold.

(2)

1

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Bencana alam yang terjadi di Indonesia telah menelan banyak korban jiwa dalam waktu singkat dan sebagian dari mereka harus tinggal di tempat pengungsian. Salah satu bencana alam yang pernah terjadi di Indonesia adalah bencana Gunung Merapi. Jumlah pengungsi di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencapai 278403 jiwa (Anonim, 2011). Tempat pengungsian yang ada di Indonesia umumnya masih minim akan ketersediaan air bersih dan bahan bakar untuk memasak. Oleh karena itu, diperlukan bantuan pangan yang dapat langsung dikonsumsi dan tidak memerlukan pengolahan namun dapat memenuhi kebutuhan gizi per harinya (2100 kkal). Pemberian bantuan pangan berupa mi instan, bubur instan, ataupun beras kurang efektif karena memerlukan pengolahan sebelum dikonsumsi. Kandungan gizinya pun hanya terbatas pada karbohidrat saja, sedangkan untuk pertumbuhan manusia, khususnya anak-anak memerlukan zat gizi lain seperti lemak, protein, vitamin, dan mineral.

Jenis pangan yang dibutuhkan oleh para korban bencana alam seharusnya yang bersifat ready to eat (siap santap) sehingga memudahkan para korban untuk mengonsumsinya. Selain itu, memiliki kandungan karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral yang mencukupi kebutuhan gizinya sehingga bukan hanya mengenyangkan tetapi juga menyehatkan dan nilai kalorinya sesuai seperti kebutuhan manusia normal sehari-harinya. Pangan yang diberikan diharapkan bukan hanya dapat mengganjal perut, tetapi juga dapat berfungsi sebagai pengganti sarapan dan makan yang mampu memberikan energi dalam jumlah yang cukup. Salah satu alternatif pangan yang dapat diberikan pada para pengungsi adalah pangan darurat.

Pangan darurat (Emergency Food Product, EFP) merupakan pangan yang dalam keadaan darurat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan konsumsi harian energi dan gizi manusia sebesar 2100 kkal yang terjadi bila dalam keadaan darurat (IOM, 1995b). Keadaan darurat yang dimaksudkan adalah banjir, longsor, gempa bumi, musim kelaparan, kebakaran, peperangan, dan kejadian lain yang mengakibatkan manusia tidak dapat hidup secara normal (USAID, 2001b). Pemberian pangan darurat bertujuan untuk mengurangi timbulnya penyakit atau kematian diantara pengungsi dengan menyediakan pangan bernutrisi yang sesuai dengan asupan harian selama lima belas (15) hari, terhitung mulai terjadinya pengungsian. Pangan darurat harus mampu memenuhi kebutuhan kalori sehari (2100 kkal) yang dapat disumbangkan oleh protein sebesar 10- 15%, 35-45% lemak, dan 40-50% karbohidrat dari total kalori (Zoumas, et al., 2002).

Salah satu contoh produk pangan darurat yang memiliki umur simpan yang cukup lama adalah food bars. Food bars merupakan salah satu produk pangan olahan kering berbentuk batang yang memilliki nilai aw rendah yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba sehingga memiliki umur simpan yang cukup panjang. Cara pembuatannya pun mudah dan dapat diaplikasikan pada Usaha Kecil Menengah (UKM). Selain itu, produk food bars dapat memenuhi kebutuhan energi per hari sebesar 2100 kkal dengan sumbangan makronutrien yang dirancang untuk memenuhi standar pangan darurat yaitu protein sebesar 10-15%, lemak sebesar 35-45%, dan karbohidrat 40-50% (Zoumas et al., 2002). Food bars memiliki bentuk batang yang memudahkan dalam pengemasan dan penghematan tempat sehingga proses pendistribusian menjadi lebih efisien.

(3)

2 Selain itu, tepung pisang nangka memiliki aroma yang cukup kuat, harganya cukup murah, dan memiliki banyak kandungan gizi.

Sumber protein yang digunakan pada banana bars adalah tepung tempe yang memiliki nilai protein dan daya cerna yang lebih tinggi dibandingkan tepung kedelai. Selain itu, tepung tempe tidak menimbulkan pengaruh negatif seperti lactose intolerance yang dapat ditimbulkan bila penderitanya mengonsumsi susu sebagai sumber protein. Tempe juga merupakan bahan baku yang murah, mudah diperoleh, dan mudah dibuat menjadi tepung tempe. Sumber karbohidrat pada

banana bars adalah tepung ketan yang berfungsi sebagai pengganti terigu. Inulin yang ditambahkan pada produk banana bars dapat memperbaiki kondisi sistem pencernaan para pengungsi karena berfungsi sebagai prebiotik. Inulin yang digunakan pada banana bars

merupakan inulin komersial yang berfungsi sebagai bahan pengental, memperbaiki tekstur, memperkaya kandungan serat, dan berperan sebagai prebiotik (Franck dan Leenher, 2005).

B.

TUJUAN PENELITIAN

1. Mendapatkan formulasi dan proses pemanggangan (suhu dan waktu) pembuatan pangan darurat berbentuk bar dari bahan dasar tepung pisang, tepung ketan, tepung tempe, dan inulin yang dapat memenuhi kebutuhan 2100 kkal/hari dengan sifat fisikokimia, mikrobiologis, dan sifat sensori yang dapat diterima.

2. Mengevaluasi karakteristik (fisik, kimia, mikrobiologi, dan sensori) produk food bars yang dihasilkan dengan metode pengolahan yang tepat.

C.

MANFAAT

(4)

3

II.TINJAUAN PUSTAKA

A.

PANGAN DARURAT

Pangan darurat merupakan pangan khusus yang dikonsumsi pada saat darurat untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian manusia (2100 kkal) (Zoumas et al., 2002). Tujuan utama dari pangan darurat ialah mengurangi timbulnya penyakit atau jumlah kematian diantara para pengungsi dengan menyediakan pangan bergizi lengkap sebagai sumber energi satu-satunya selama lima belas (15) hari. Waktu tersebut dihitung mulai dari pengungsian terjadi. Agar dapat disebut sebagai pangan darurat, maka pangan tersebut harus memenuhi karakteristik pangan darurat yaitu aman dikonsumsi dengan warna, bau, aroma, tekstur dan penampakan yang dapat diterima, memiliki nutrisi yang cukup, dapat diterima, mudah dipindahkan, dan mudah digunakan. Selain itu, terdapat beberapa faktor pendukung kelima karakteristik tersebut, yaitu stabilitas mikroba, ketahanan nutrisi dan stabilitas kimia, flavor dan pewarna, komposisi, uji penerimaan

prototipe produk, pengemasan, konfigurasi produk, dan metode produksi.

Pangan darurat sangat diperlukan untuk membantu para pengungsi saat terjadi bencana alam. Pangan darurat diharapkan dapat disimpan sebagai stok sehingga saat bencana alam terjadi dapat langsung digunakan. Pemberian produk pangan darurat dilakukan bersama-sama dengan pemberian air minum untuk menurunkan tekanan osmotik pangan berkalori tinggi ini. Pemberian produk ini bermanfaat untuk mempertahankan kehidupan sampai isolasi daerah dapat dibuka atau ketika kehidupan normal telah berlangsung.

Pangan darurat dapat dikelompokkan dalam dua bagian yaitu produk pangan yang dirancang untuk kondisi dimana air bersih dan bahan bakar untuk memasak masih tersedia, dan produk pangan yang dirancang untuk menghadapi situasi dimana air bersih tidak tersedia dan tidak bisa memasa. Pangan darurat juga diharapkan dapat dikonsumsi oleh berbagai kalangan usia (bayi berusia 0-12 bulan tidak termasuk di dalamnya). Di Indonesia saat ini sudah banyak berkembang pangan darurat untuk kepentingan tentara di lapangan namun belum banyak dikembangkan pangan darurat untuk korban bencana alam. Bahan baku pangan darurat yang akan dikembangkan untuk korban bencana alam dapat berasal dari bahan baku lokal yang dapat meminimalkan biaya produksi.

Pangan darurat harus memenuhi kebutuhan kalori yang dibutuhkan oleh tubuh (2100 kkal) dari berbagai komponen makronutrien penyumbang energi dengan kadar air yang rendah. Jumlah lemak yang direkomendasikan oleh Zoumas, et al (2002) adalah 35-45% dari total kalori yang dibutuhkan atau sekitar 9-12 gram per 50 gram. Bila jumlah lemak lebih dari 45% total energi maka produk akan menjadi kurang stabil.

(5)

4 Komposisi bahan yang akan digunakan harus mengandung nilai nutrisi tertentu. Pangan darurat akan didistribusikan pada berbagai etnis dan kultur. Oleh karena itu, alkohol maupun produk hewan selain susu sebaiknya tidak digunakan. Penggunaan bahan makanan yang dikenal dapat menimbulkan alergi, sebaiknya dihindari. Menurut Zoumas, et al., (2002) ada beberapa bahan yang direkomendasikan sebagai sumber gizi:

a. Sumber karbohidrat: tepung terigu, jagung, oats, tepung beras

b. Sumber protein: produk-produk kacang seperti konsentrat atau isolat protein; susu bubuk seperti kasein dan turunannya; campuran antara bahan dasar serealia dan protein harus memiliki skor asam amino ≥ 1.0

c. Sumber lemak: hidrogenasi parsial dari kacang kedelai, minyak kanola, minyak bunga matahari

d. Gula: glukosa, high fructose corn syrup, maltodekstrin

e. Vitamin dan mineral juga dapat ditambahkan untuk meningkatkan profil produk

B.

PRODUK PANGAN DARURAT KOMERSIAL

Pangan darurat telah berkembang di berbagai negara. Pangan darurat memiliki beberapa bentuk diantaranya Snack Bars, Meal Ready To Eat, Camping Pouch Product, Long Shelf Life Food Supply. Produk pangan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai produk pangan darurat adalah bars. Produk ini lebih dipilih daripada bentuk pangan lain seperti pangan kalengan ataupun pangan semi basah disebabkan oleh ketahanannya saat didistribusikan. Pangan dalam bentuk bars

(batang) memiliki tingkat keawetan yang lebih tinggi dibandingkan bentuk lainnya, tahan mengalami guncangan ataupun lemparan karena tekturnya yang kokoh, tidak mudah hancur, dan tidak rapuh.

1. Snack bars

Merupakan cookies yang difomulasi secara khusus sehingga tidak menyebabkan rasa haus dan memiliki kandungan protein tinggi, berbentuk batang yang biasa dikonsumsi di sela-sela waktu makan. Menurut Ryland (2010), snack bars dapat memenuhi permintaan konsumen akan gizi, kenyamanan, dan rasa yang dapat memenuhi rasa lapar dalam waktu singkat sampai makanan utama berikutnya disantap. Ada tiga jenis snack bars. Jenis pertama merupakan cereal bars atau sarapan dengan sereal sebagai bahan utama dan bahan seperti kacang atau buah-buahan, dengan madu, atau karamel sebagai binder. Contohnya adalah granola bars, yang biasanya dikonsumsi saat sarapan. Jenis kedua adalah chocolate bars contohnya permen atau coklat yang berbentuk batang. Produk chocolate bars komersial adalah ”Snickers” dan ”Mars”. Jenis ketiga adalah

energy bars yang biasanya mengandung sekitar 200-300 kalori per bar. Jenis ini biasanya dimakan oleh pengendara sepeda motor, pelari, dan atlet. Energy bars mengandung kalori seimbang, karbohidrat, protein, dan lemak. Menurut Aigster (2011), bars dengan nutrisi yang seimbang kalori, lemak, karbohidrat, dan protein, vitamin dan mineralnya sedang dicari untuk dikembangkan. Setiap bar mengandung vitamin dan mineral dalam jumlah berlebih. Produk ini memilki umur simpan sekitar lima tahun dan dapat disimpan pada kisaran temperatur yang ekstrem (-54.2oC sampai dengan 134oC).

2. Meals Ready to Eat (MRE)

(6)

5 mengombinasikan beberapa jenis pangan untuk memenuhi kriteria menu lengkap, dikemas dalam satu wadah yang ringan, sehingga mudah didistribusikan terutama dalam kondisi tempur. MRE dikemas dalam kemasan khusus yang tertutup rapat dan tidak terekspos udara seperti retort pouch. Menurut Hariyadi (2008), sebagai ransum tempur, MRE harus dikembangkan untuk memberikan dukungan gizi bagi seorang tentara untuk melakukan tugas tempur dengan baik; dimana kondisi logistik pangan normal tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu, ransum MRE, selain harus aman dan bergizi, juga harus memenuhi beberapa kriteria logistik yang cukup berat. Kriteria MRE itu antara lain:

 Awet. MRE dipersyaratkan mempunyai umur simpan yang lama. The US Army

mensyaratkan umur simpan minimum 3 tahun pada suhu penyimpanan 27oC dan minimum 6 bulan pada suhu 37oC.

 Kuat. MRE harus dikemas dengan kuat, mampu bertahan dan tidak rusak jika dijatuhkan menggunakan parasut dari pesawat dengan ketinggian 400 meter. Atau, mampu bertahan untuk dijatuhkan atau dilemparkan dengan parasut dari helikopter dengan ketinggian sekitar 30 meter. Kemasan juga harus kuat mendapatkan perlakuan kasar dan kondisi logistik, penyimpanan dan distribusi yang tidak ideal bahkan kondisi lingkungan ekstrim. Kemasan juga harus tahan terhadap ancaman binatang yang mungkin terdapat pada lingkungan darurat.

 Bermutu. MRE yang diproduksi harus aman, bergizi dan mempunyai kualitas organoleptik, terutama citarasa yang bisa diterima. Persyaratan tentang kualitas organoleptik ini menjadi lebih penting untuk pengembangan ransum darurat untuk keperluan kemanusiaan (sering disebut dengan istilah Humanitarian Daily Rations, HDR). Hal ini disebabkan karena kondisi bencana tentunya memberikan efek depresi yang lebih bagi kelompok sipil daripada kelompok militer yang terlatih. Kondisi depresi sering mengakibatkan menurunnya atau bahkan hilangnya selera makan. Karena itulah pengembangan ransum darurat harus memperhatikan kebiasaan dan selera makan korban bencana. Sesuai dengan tujuannya, maka HDR disusun untuk memberikan jaminan pemenuhan keperluan gizi minimum bagi korban bencana untuk bisa tetap bertahan pada kondisi darurat. MREs dapat berbentuk pangan lengkap yang mengandung daging, sayur atau buah, kacang, kraker berprotein tinggi, dan lain-lain.

3. Camping Pouch Products

Produk ini dikemas dalam kemasan alumunium foil dan memiliki umur simpan sekitar dua tahun pada suhu ruang. Pangan ini merupakan pangan hasil freeze drying dan setiap kemasan disemprot dengan nitrogen untuk mencegah deteriorasi dan memperpanjang umur simpan. Produk ini memiliki kandungan energi yang cukup dengan persentase makronutrien didominasi oleh lemak (40-50%). Pangan ini membutuhkan tambahan air panas atau air dingin untuk dapat dikonsumsi (Winarno, 2004).

4. Long Shelf Life Food Supply

(7)

6

C.

PENELITIAN TENTANG PANGAN DARURAT DI INDONESIA

Saat ini produk pangan darurat belum banyak dikembangkan di Indonesia. Bantuan pangan yang diberikan untuk korban bencana alam biasanya berupa beras dan mi instan. Hal ini tidak membantu para pengungsi yang sedang mengalami kesulitan untuk memperoleh air bersih, peralatan memasak, dan bahan bakar. Mereka mengharapkan produk pangan yang dapat langsung dikonsumsi.

Pada tahun 2009 pernah dibuat formulasi pangan darurat menggunakan bahan baku lokal bernama ImunoYoi oleh Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek Serpong), Tangerang. Pangan darurat ini menjadi sumber karbohidrat dan protein bagi korban bencana alam. Kelebihan lainnya, makanan darurat ini mengandung zat aktif yang berfungsi untuk meningkatkan kekebalan tubuh, misalnya supaya terhindar dari diare, influenza, dan gangguan kesehatan lainnya. ImunoYoi masih dibuat dalam skala percobaan dan diproduksi dengan berat 100 gram dengan kebutuhan energi sekitar 500 kilokalori (kkal). Nilai gizinya meliputi karbohidrat 56%, lemak 21%, protein 13%, dan mineral 3%. Setiap orang dewasa diperkirakan memiliki kebutuhan 2100 kkal sehingga setiap hari cukup mengonsumsi empat kemasan ImunoYoi. Untuk mengonsumsinya, tidak perlu memasak. Harga produksi ImunoYoi per 100 gram dalam kemasan siap didistribusikan berkisar Rp 4000,00. Bahan makanan ini dikemas dalam kemasan tertutup dan bisa tahan sampai enam bulan. Namun, makanan ini belum dikembangkan oleh pemerintah untuk diproduksi massal.

Produk pangan darurat bukan hanya dapat dibuat oleh pemerintah pusat, melainkan pemerintah daerah pun dapat membuatnya. Oleh karena itu, produk pangan yang berbasis bahan baku lokal akan lebih mudah dibuat karena bahan bakunya mudah diperoleh. Produk pangan darurat hendaknya memiliki umur simpan yang panjang agar dapat disimpan sebagai stok pada suhu ruang sehingga dapat digunakan bila tiba-tiba terjadi bencana alam. Selain itu, produk pangan darurat sebaiknya dibuat dalam bentuk olahan kering dan produk pangan kalengan. Namun, untuk mempermudah proses pendistribusian maka produk olahan kering lebih berpotensi untuk dikembangkan.

Salah satu bentuk pangan darurat olahan kering yang berpotensi untuk dikembangkan adalah

snack bars jenis energy bars. Snack bars merupakan cookies yang difomulasi secara khusus sehingga tidak menyebabkan rasa haus dan memiliki kandungan protein tinggi, berbentuk batang yang biasa dikonsumsi di sela-sela waktu makan. Energy bars memiliki kandungan makronutrien protein, lemak, dan karbohidrat yang tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan energi harian (2100 kkal) yaitu sebesar 10-15% berasal dari protein, 35-45% dari lemak, dan 40-50% dari karbohidrat. Energy bars merupakan suplemen diet yang sering dikonsumsi oleh atlet dan orang dengan aktivitas fisik yang tinggi untuk menjaga kecukupan energinya. Selain itu, bars memiliki bentuk batang yang mudah dibuat, mudah dikemas, mudah didistribusikan karena memiliki tekstur yang kokoh, serta dapat menghemat tempat penyimpanan dibandingkan bentuk bulat ataupun silinder. Formula bars seperti formula cookies. Kandungan protein pada cookies (SNI, 1992) maksimum 6% sedangkan kandungan protein pada bars menurut Zoumas et al (2002) adalah 10-15%. Bars memiliki kandungan makronutrien protein, karbohidrat, dan lemak yang seimbang dan dapat memenuhi kebutuhan energi sehari. Menurut SNI 01-2973-1992, cookies merupakan salah satu jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah, dan bila dipanaskan penampang potongannya bertekstur kurang padat.

Di Indonesia belum ada standar khusus yang mengatur tentang pangan darurat berbentuk

(8)

7 memenuhi kebutuhan energi harian sebesar 2100 kkal sedangkan pengujian mikrobiologi didasarkan pada Standar Nasional Indonesia tentang cookies yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat Mutu Cookies berdasarkan Standar Nasional Indonesia

Parameter Satuan Syarat mutu

Keadaan (bau, warna, rasa, tekstur) Normal

Kadar air % b/b Maksimum 5

Protein % b/b Maksimum 6

Kadar abu % b/b Maksimal 2

Bahan tambahan pangan

Pewarna dan pemanis buatan Yang tidak diizinkan tidak boleh ada Cemaran logam

Tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Raksa (Hg)

mg/kg Maksimum 10

Maksimum 1.0 Maksimum 40.0 Maksimum 0.05 Cemaran mikroba

Angka lempeng total Coliform

E.coli

Kapang

Koloni/g APM/g APM/g Koloni/g

Maksimum 1.0 x 106 Maksimum 20 < 3.0

Maksimum 1.0 x 102 Sumber: Badan Standardisasi Nasional (1993)

Pangan darurat dalam bentuk food bars memiliki beberapa kelebihan diantaranya memiliki nilai aw yang rendah sehingga memiliki umur simpan yang lama dibandingkan produk semi basah yang memiliki nilai aw lebih tinggi. Di samping kelebihan yang dimiliki, produk food bars yang memiliki tekstur kering ini dapat menyebabkan rasa haus bila dikonsumsi tanpa pemberian air minum. Selain itu, produk food bars ini mudah menyerap uap air yang ada di udara akibatnya produk menjadi lembab dan tidak renyah lagi. Oleh karena itu, kemasan produk food bars perlu diperhatikan secara khusus sehingga kualitas produknya tetap terjaga dan memiliki umur simpan yang lama.

Produk pangan darurat yang pernah dibuat oleh IPB (Institut Pertanian Bogor) antara lain

(9)

8 Tabel 2. Komposisi dan nilai energi pangan darurat yang pernah dikembangkan di skala laboratorium

Penelitian Ferawati (2009)* Sitanggang (2008)* Sitanggang (2009) Valentina (2009)

Bahan baku Tepung kedelai 48.78% Pisang 73.17% Terigu 6.1% Tepung singkong 6.1% Gula halus 39.02% Margarin 24.39% Air 2%

Tepung kacang hijau 81.48% Minyak kelapa 9.26% Margarin 12.96% Susu bubuk full cream 18.52% Gula pasir 37.03% Air 2%

Susu full cream 5.43% Ketan 21.74% Kacang hijau 16.30% Gula merah 10.87% Gula pasir 13.04% Margarin 5.43% Isolat protein 10.87% Garam 1.09%

FORMULASI NASI

Beras 36.87% Santan kara 6.16% Kaldu balok 1.47% Garam 0.18% Air 55.31% FORMULASI AYAM BUMBU Daging ayam 41.07% Santan kara 32.86% Minyak goreng 8.21% Bawang merah 3.09% Bawang putih 0.79% Kemiri 0.55% Ketumbar 0.03% Gula pasir 10.95% Garam 1.37% Sumbangan makronutrien**

Lemak (%) 36.92 17.46 48.16 49.63

Protein (%) 14.15 17.05 11.28 11.26

Karbohidrat (%) 48.94 30.43 40.56 39.11

Nilai energi per produk 203.85kkal/50 gram 227.57kkal/450 gram 531.99 kkal/100 gram 639.42 kkal/200 gram * dihitung berdasarkan jumlah tepung-tepungan

(10)

9 Penelitian tentang snackbars pernah dilakukan oleh Chandra (2010) berbahan baku tepung sorgum, tepung maizena, dan tepung ampas tahu, penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2010) berbahan baku tepung jewawut dan tepung ampas tahu, serta penelitian Stephanie (2010) dengan bahan baku tepung jewawut dan serum (whey) tahu yang dapat digunakan sebagai pembanding pada penelitian ini. Komposisi dan nilai energi yang dimiliki penelitian pembanding tersebut disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Komposisi dan Nilai Energi Snack Bars

Penelitian Chandra (2010) Wijaya (2010)* Stephanie (2010)

Bahan baku Sorgum 31.73% Maizena 10.58% Ampas tahu 5.77% Selai nanas 26.92% Telur 11.54% Susu bubuk 7.69% Minyak goreng 5.77%

Tepung jewawut 9.28% Tepung ampas tahu 18.34% Tepung hunkue 19.34% Tepung gula 8.84% Susu skim 8.84% Pala 6.63% Minyak goreng 14.36% Air 14.36%

Tepung jewawut 24.03% Kelapa parut kering 24.03%

Gula 8.65%

Garam 0.02% Susu full cream 4.81% Whey tahu 19.23% Selai nenas 19.23%

Sumbangan makronutrien**

Lemak (%) 9.08 15 12

Protein (%) 6.98 6 6

Karbohidrat (%) 8.89 7 7.5

Nilai energi per produk 167.08 kkal/41.6 gram 180 kkal/41 gram 85.65 kkal/20 gram

* dihitung berdasarkan jumlah tepung-tepungan ** dihitung terhadap 700 kkal

D.

INGRIDIEN PANGAN

Ada banyak bahan baku mentah yang harus diolah terlebih dahulu agar dapat menjadi pangan siap konsumsi. Bahan baku dalam bentuk tepung-tepungan merupakan bahan baku mentah yang biasanya sering digunakan sebagai ingridien utama dalam pengolahan menjadi pangan siap santap. 1. TEPUNG PISANG

Tepung adalah produk olahan pangan setengah jadi yang dapat dikonsumsi langsung, tetapi harus diolah menjadi produk pangan siap santap. Pisang yang dibuat menjadi tepung dimaksudkan untuk memudahkan aplikasinya dalam pembuatan banana bars. Menurut Chong et al., (2008) apabila dibuat dalam bentuk tepung, pisang akan menjadi bahan pangan sumber karbohidrat yang lebih mudah diolah menjadi berbagai macam produk pangan. Selain itu, pisang dalam bentuk tepung memudahkan dalam hal penyimpanan karena memiliki daya simpan yang lebih lama akibat kadar airnya yang kecil.

Tepung pisang adalah bentuk olahan pisang yang dapat memperpanjang umur simpan dan memberikan nilai tambah pada pisang (Kajuna, 1997). Beberapa olahan pisang yang sering dikonsumsi diantaranya adalah dalam bentuk minuman, buah kaleng, kripik pisang, bars,

brandy, dan lain-lain (Joffre, 2001).

Penggunaan tepung pisang sebagai tepung komposit (campuran) dalam pembuatan berbagai produk telah dilakukan, diantaranya digunakan dalam pembuatan roti, mi dan cookies

(11)

10 kandungan patinya menurun. Jika pisang yang digunakan terlalu muda akan menghasilkan tepung pisang yang mempunyai rasa sedikit pahit dan sepat karena kandungan tannin yang cukup tinggi sementara kandungan patinya masih terlalu rendah. (Crowther, 1979).

Pembuatan tepung pisang diawali dengan dilepaskannya pisang dari sisirnya, dicuci dan dikukus selama 10-15 menit. Pengukusan ini akan mempermudah pengupasan, mengurangi atau menghilangkan getah, dan memperbaiki warna tepung yang dihasilkan. Pisang kemudian dikupas, diiris melintang dengan ketebalan 0.25- 0.75 cm dan dijemur atau dikeringkan dengan alat pengering. Pengering buatan dapat menggunakan suhu 60-75oC selama 6-8 jam. Sistem kerja mesin oven pengering ini adalah mengeringkan produk pada suhu yang dikehendaki (suhu bisa diatur secara konstan) (Syafriyudin, 2009). Tanda pisang yang telah kering adalah jika pisang mudah dipatahkan.

2. TEPUNG TEMPE

Menurut Karta (1990) tempe dapat digunakan sebagai bahan penyusun makanan (food ingredient) dalam bentuk tepung tempe, untuk memperkaya nilai gizi makanan, seperti protein dan serat. Dari hasil pengujian yang dilakukan Bakara (1996) terhadap mutu protein secara in vivo dapat disimpulkan bahwa nilai gizi protein tepung tempe hampir sama dengan kasein. Nilai Net Protein Ratio (NPR), Daya Cerna (DC), Nilai Biologis (NB), dan Net Protein Utilization (NPU) kasein turut 5.5, 96%, 94, dan 91 sedangkan tepung tempe berturut-turut adalah 4.3, 87%, 85, dan 74.

Tempe segar yang baru jadi, dapat disimpan satu sampai dua hari pada suhu ruang tanpa banyak mengalami pengurangan sifat mutunya. Setelah dua hari, tempe akan mengalami proses pembusukan dan tidak dapat lagi dikonsumsi oleh manusia (Winarno, 1985). Untuk mengatasi hal itu menurut Ismariarsi (1982) tempe dapat diawetkan dengan cara pengeringan dalam bentuk tepung tempe. Menurut Harnani (2009), penepungan tempe diawali dengan pengirisan tempe menjadi lembaran-lembaran tipis (ketebalan ± 5 mm), blansir dengan uap, pengeringan dengan oven, penggilingan dan pengayakan dengan disc mill.

3. TEPUNG BERAS KETAN PUTIH

Tepung beras ketan dapat terbuat dari beras ketan hitam atau putih yang dihaluskan. Beras ketan (Oryza sativa var. glutinosa atau Oryza glutinosa; disebut juga sticky rice, sweet rice dan waxy rice) merupakan jenis beras Asia yang berbulir pendek dan memiliki sifat lengket (sticky) ketika dimasak. Beras ketan memiliki kadar amilopektin yang sangat tinggi dan kadar amilosanya berkisar antara 1-2% dari kadar pati seluruhnya (Koswara, 2006).

Tepung beras ketan cenderung lebih rapuh, memiliki butir-butir yang cukup besar, dan berwarna putih opak, sedangkan beras memiliki tekstur yang keras dan lebih transparan (Grist, 1975). Tepung beras ketan dibedakan dari tepung beras berdasarkan kandungan amilosa dan amilopektin. Komponen utama dalam tepung beras ketan adalah amilopektin sedangkan kadar amilosanya hanya 0.8% sampai 1.3% dari kadar keseluruhan pati (Hubeis, 1985).

(12)

11 menjadi kadar amilosa tinggi (25-30 %), sedang (20-29 %) dan rendah (10-20 %). Kandungan amilosa mempunyai nilai kolerasi negatif terhadap nilai taste panel dengan kelekatan (cohesivenesses), kelunakan (tenderness), warna, kilap, nasi. Kadar kolerasi positif dengan jumlah penyerapan air dan pengembangan volume nasi sebelum pemasakan.

Tepung beras ketan berfungsi sebagai sumber pati yang memiliki tingkat kestabilan cukup tinggi. Penggunaan tepung beras ketan tidak mengurangi sineresis pada olahan yang dibekukan, disimpan, dan kemudian dicairkan esnya (Hariyadi, 2006). Tepung beras ketan sering digunakan sebagai bahan pengental untuk saus, gravies, dan pudding (Bao dan Bergman, 2004). Tepung beras ketan banyak digunakan untuk makanan yang mengandung banyak gula, yang umumnya diinginkan tekstur yang kenyal tapi lenting dan tidak lekat. Sifat lekat tersebut dapat dikurangi dengan penambahan minyak atau bahan yang mengandung minyak. Penganan tradisional Indonesia yang banyak menggunakan tepung beras ketan sebagai bahan bakunya antara lain kue mendut, kue mangkok, kue cucur, dan lupis (Koswara, 2006).

4. INULIN

Inulin merupakan homopolimer fruktan yang diisolasi pertama kali dari tanaman Inula helenium. Inulin dapat diperoleh dari bawang merah, bawang daun, bawang putih, asparagus, pisang, gandum, barley (Tungland, 2002). Inulin juga ditemukan pada chicory, dandelion, artichoke (Roberfroid, 2005). Satu rantai inulin dibentuk oleh sekitar 30 unit fruktosa atau dengan kata lain memiliki derajat polimerisasi (DP) sebesar 30 atau lebih.

Inulin mempunyai banyak kegunaan terutama dalam bidang pangan dan kesehatan. Pada dasarnya, penggunaan inulin dalam bidang pangan adalah karena sifat-sifat teknologis dan fisiologisnya. Sifat-sifat teknologisnya yaitu sebagai pengganti gula dan lemak. Kedua substansi ini merupakan bagian yang penting dalam bidang pangan yang mana penggunaannya akan mempengaruhi struktur, rasa di mulut, kalori, dan memberikan rasa manis. Karena kemampuannya mengikat air dan mempunyai rasa dan warna yang netral, maka inulin mempunyai sifat memodifikasi tekstur yang unik, karena itulah inulin digunakan sebagai pengganti gula dan lemak dalam berbagai produk pangan. Dengan menggunakan sejumlah kecil inulin, rasa dan tekstur produk dapat ditingkatkan. Inulin meningkatkan flavor buah-buahan, menghasilkan tekstur dan mouthfeel (rasa di mulut) yang baik bagi produk pangan rendah gula dan lemak (Roberfroid, 2005).

(13)

12 Gambar 1. Struktur kimia inulin

Inulin tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan seperti α-amilase ataupun enzim penghidrolisis lainnya, yaitu sukrase, maltase, dan isomaltase baik pada pH rendah maupun tinggi (Oku et al., 1984). Inulin dapat sampai di usus dengan utuh sehingga dapat difermentasi probiotik. Kandungan inulin dalam beberapa bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 4. Kandungan inulin dalam beberapa bahan makanan

Sumber Inulin (g/100 g)

Kisaran Rata-rata Bawang merah (Allium cepa)

Mentah Mentah-kering Dimasak 1,1-7,5 4,7-31,9 0,8-5,3 4,3 18,3 3,0 Jerusalem artichoke (umbi)-(Heliacnthus tuberosus) 16,0-20,0 18,0 Chicory (akar)-(Chicorium intybus) 35,7-47,6 41,6 Asparagus (akar/umbi)-(Asparagus officinalis)

Mentah Kering 2,0-3,0 1,4-2,0 2,5 1,7 Bawang daun (Allium ampeloprasum)

Mentah 3,0-10,0 6,5

Bawang putih (Allium sativum) Mentah Kering 9,0-16,0 20,3-36,1 12,5 28,2 Globe artichoke (daun/jantung)-(Cynara scolymus) 2,0-6,8 4,4 Pisang (buah)-(Musa cavendishii L.)

Mentah Mentah-kering Dikalengkan 0,3-0,7 0,9-2,0 0,1-0,3 0,5 1,4 0,2 Gandum (Triticum sp)

Mentah Tepung-dipanggang Tepung-direbus 1,0-4,0 1,0-3,0 0,2-0,6 2,5 2,4 0,4 Rye (cereal)-(Secale cereale)

Dipanggang 0,5-0,9 0,7

Barsley (cereal)-(Hordeum vulgare) Mentah Dimasak 0,5-1,0 0,1-0,2 0,8 0,2 Dandelion (daun)-(Taraxacum officinale)

Mentah Dimasak 12,0-`15,0 8,1-10,1 13,5 9,1 *Tungland (2002)

(14)

13 tersusun atas monomer yang sama. Monomer penyusun inulin adalah fruktosa yang berbentuk cincin bersegi lima atau furanosa (Sinnott, 2007). Berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa inulin dan oligofruktosa meningkatkan penyerapan mineral seperti kalsium, magnesium dan besi oleh tubuh. Kenaikan yang signifikan dihasilkan dengan mengonsumsi inulin sebanyak 15 gram per hari. Suatu penelitian (EKM, 2011) yang telah dipublikasikan dalam jurnal Nutrition Research

2006 melaporkan bahwa tikus yang mendapat suplementasi inulin dan oligofruktosa mengalami peningkatan absorpsi kalsium sebesar 40% yang mengakibatkan kekuatan tulangnya menjadi lebih besar. Selain memiliki efek menguntungkan sebagai prebiotik dan meningkatkan penyerapan mineral, inulin juga berperan dalam meningkatkan tekstur makanan. Biasanya inulin dari umbi chicory dapat larut dalam air dengan cepat (60g/L pada 10oC, 330g/L pada 90oC) dan agak higroskopis. Inulin membantu mengikat air, mengentalkan dan meningkatkan mouthfeel dalam berbagai produk makanan, dan sudah digunakan secara komerisal misalnya pada industri roti,

dressing, pasta, dan seafood (International Partnering Event on Health and Food, 2003).

E.

PROSES PENGOLAHAN DAN MUTU BANANA BARS

Proses pemanggangan snack bars sama dengan proses pemanggangan cookies. Tahapan pembuatan cookies meliputi pembentukan krim, pembentukan adonan, pencetakan, pemanggangan, pendinginan, dan pengemasan. Agar semua bahan tercampur merata dalam adonan maka mentega dibuat krim terlebih dahulu bersama gula, telur, dan susu skim (creaming method).

Menurut Matz dan Matz (1978), pencampuran dan pengadukan dengan metode krim baik untuk cookies yang dicetak karena menghasilkan adonan yang bersifat membatasi pengembangan gluten

yang berlebihan. Krim dicampur hingga homogen dengan tepung dan bahan lainnya, setelah

homogen, adonan dicetak. Tahap akhir pembuatan cookies adalah pemanggangan. Suhu pemanggangan bergantung pada jenis cookies yang dibuat. Pada umumnya, pemanggangan

dilakukan pada suhu kurang lebih 170°C selama 15−20 menit (Suarni, 2009).

Ketika adonan dimasukkan, suhu oven tidak boleh terlalu panas, sebab bagian luar akan terlalu cepat matang sehingga menghambat pemanggangan dan mengakibatkan permukaan cookies

menjadi retak. Setelah pengembangan, diperlukan penanganan selama pendinginannya. Jika

cookies terlalu cepat didinginkan bisa terjadi keretakan. Keretakan internal biasanya tidak segera terlihat, tetapi karena kerusakan selama pengemasan dan pendistribusiannya (Almond, 1989). Pendinginan di suhu ruang bertujuan untuk mengeluarkan uap panas akibat proses pemanggangan. Bila cookies tidak didinginkan dan langsung dikemas, maka uap panas tidak dapat keluar dan akan terserap kembali sehingga kadar airnya akan meningkat dan menjadi tidak awet untuk disimpan lama. Menurut Muchtadi (2008), produk bakery yang telah dipanggang perlu didinginkan (dibiarkan) sampai mencapai suhu kamar untuk memudahkan penanganan/pengemasan, mengempukkan tekstur dan memudahkan pengirisan.

Kriteria uji fisik (bau, rasa, warna, dan tekstur) cookies harus normal, artinya bau khas kue kering sesuai dengan bahan kue yang digunakan, rasa enak, warna sesuai dengan zat pewarna yang ditambahkan, dan tekstur renyah, tidak mudah hancur, tetapi tidak keras. Secara umum, keadaan fisik kue kering tersebut sesuai aslinya (Jurnal Litbang Pertanian, 28(2), 2009). Selain itu, memiliki nilai gizi yang memenuhi standar mutu cookies (Tabel 2) yang ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia.

(15)

14

keteguhan, kerapuhan, kekuatan ikatan antara partikel sejenis (cohesiveness), dan kekuatan ikatan antara partikel yang tidak sejenis (adhesiveness). Cookies tidak memiliki sifat adhesiveness tetapi memiliki sifat cohesiveness yang sangat kecil (Faridi, 1994).

Kadar protein (gluten) dan kemampuan mengikat air berpengaruh pada kekerasan cookies

(Gaines et al,. 1992). Jumlah tepung mempengaruhi kekerasan cookies karena sifat hidrofiliknya yang dapat mengikat air. Makin tinggi kadar protein, makin tinggi kekerasan cookies. Menurut Burt dan Fearn (1983), selama pemanggangan panas berpenetrasi dengan cepat pada bagian bawah dan atas cookies, menyebabkan hilangnya gas pengembang dan air pada bagian tersebut. Penetrasi panas ke bagian dalam cookies lebih lambat, memungkinkan terbentuknya lebih banyak rongga udara. Makin lama air tertahan, memungkinkan makin banyak pati tergelatinisasi pada bagian tengah cookies. Jumlah rongga udara yang terbentuk dan gelatinisasi pati dipengaruhi oleh kecepatan perpindahan panas ke dalam cookies dan kecepatan hilangnya air. Makin banyak panas yang masuk, makin banyak rongga udara yang terbentuk dan lebih banyak pati yang tergelatinisasi. Hal ini akan mempengaruhi struktur remah pada cookies.

Formula cookies terdiri atas gula dan lemak yang tinggi, tetapi kadar airnya rendah. Jumlah gula dan lemak yang besar mengakibatkan penyebaran cookies selama pemanggangan. Perubahan bentuk ini dipengaruhi oleh sifat reologi adonan. Sifat reologi adonan tergantung dari jenis formula, yaitu tergantung jumlah tepung, shortening, dan gula yang dipakai (Faridi, 1994).

(16)

15

III.METODE PENELITIAN

A.

BAHAN DAN ALAT

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan produk adalah pisang nangka yang dibeli di Wisma Rosa daerah Babakan Tengah Bogor dengan tingkat kematangan ¾ matang yang dilihat dari sudut-sudut buah yang masih ada sedikit, tempe dengan fermentasi satu hari yang dibeli dari pengrajin tempe di daerah Perumahan IPB Sindang Barang II, tepung beras ketan Rose Brand, margarin Simas, gula halus cap Pohon Kenari, air, dan inulin komersial. Bahan-bahan yang digunakan dalam analisis kimia antara lain K2SO4, HgO, H2SO4, H3BO3, NaOH-Na2S2O3, NaOh, HCl, NaCl, heksan, petroleum eter, zat anti buih, asbes, alkohol 95%, indikator metilen red -metilen blue.

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan produk adalah loyang, pin disc mill Goudsche, oven pengering H-Orth Gmbh, oven baking Mermet, oven baking Mah-Yih MD, pisau, panci, ember, sendok, codet, pisau, cetakan, gilingan, plastik, kemasan, gelas ukur, pipet, timbangan, oven baking, plastik, dan kemasan metalized plastic. Alat-alat yang digunakan dalam analisis adalah Texture Analyzer XT2i, Chromameter Minolta CR 300 (minolta Camera, Co. Japan 82281029), inkubator 30oC dan 37oC, oven, tanur, cawan porselin, cawan alumunium, desikator, neraca analitik, kapas, alat ekstraksi soxhlet, labu Kjeldahl, alat destilasi, alat titrasi, kertas saring, corong pemisah, erlenmeyer, tabung reaksi dan penyangga, cawan petri, pipet tetes, pipet mohr, bunsen dan spiritus, dan alat-alat gelas lainnya.

B.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu 1) pengolahan bahan baku 2) optimasi proses pengolahan banana bars dan 3) reformulasi banana bars. Diagram alir penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.

REFORMULASI BANANA BARS

Empat formula

Analisis proksimat, fisik, dan mikrobiologi Uji organoleptik

Formula terbaik Uji kadar inulin

PENGOLAHAN BAHAN BAKU

 Pembuatan tepung pisang  analisis proksimat  Pembuatan tepung tempe analisis proksimat

OPTIMASI PROSES PENGOLAHAN BANANABARS

9 formula awal uji organoleptik Modifikasi formula awal

Optimasi suhu dan waktu pemanggangan terbaik Uji organoleptik

Analisis proksimat

(17)

16 Formula banana bars yang digunakan pada tahap pengembangan formulasi awal didasarkan pada penelitian Ferawati (2009) tentang banana bars. Formula ini diuji secara organoleptik untuk menentukan satu formula terbaik yang digunakan pada tahap optimasi proses pemanggangan. Agar dapat memenuhi persyaratan pangan darurat, maka formula terbaik ini akan dimodifikasi komposisinya dan dilakukan penghitungan kandungan energi dan makronutriennya menggunakan bantuan program Microsoft Excel seperti yang dilakukan oleh Sitanggang (2008) dan Ferawati (2009). Formula hasil modifikasi ini dipanggang pada suhu dan waktu pemanggangan yang akan dibahas pada sub bab berikutnya. Formula dengan perlakuan suhu dan waktu pemanggangan tersebut diuji secara organoleptik dan satu formula terbaik akan dilakukan analisis proksimat untuk mengetahui kandungan energinya.

Formula terbaik hasil analisis proksimat tersebut ternyata belum memenuhi persyaratan pangan darurat (sumbangan protein < 10-15%) sehingga perlu dilakukan reformulasi agar dapat memenuhi persyaratan pangan darurat. Pada tahap reformulasi banana bars dibuat empat formula, dua diantaranya tidak ditambahkan inulin. Produk dari empat formula dianalisis proksimat untuk mengetahui apakah banana bars telah memenuhi keseimbangan komponen makro sesuai dengan persyaratan pangan darurat, kemudian diuji secara organoleptik, fisik, dan mikrobiologi. Formula terbaik yang dapat dikembangkan, dipilih berdasarkan hasil uji proksimat, organoleptik, fisik, dan mikrobiologi yang dapat diterima konsumen.

1.PENGOLAHAN BAHAN BAKU 1.1. PEMBUATAN TEPUNG PISANG

Pisang yang dipilih untuk dibuat tepung adalah pisang nangka yang cukup tua namun belum matang. Hal ini dapat dilihat dari tingkat ketuaan pisang dalam satu tandan yaitu adanya 1 atau dua buah pisang yang telah masak. Pisang yang telah masak ditandai dengan daging buah yang lunak dan warna kulitnya yang berwarna hijau muda (Gambar 3).

Gambar 3. Pisang nangka yang dibuat tepung

Pembuatan tepung pisang didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Hermawan (1982) dengan modifikasi tidak dilakukannya perendaman pisang dalam larutan natrium bisulfit. Diagram alir pembuatan tepung pisang dapat dilihat pada Gambar 4.

(18)

17 diperoleh bentuk tepung. Proses pengayakan tepung telah dilakukan di dalam alat pin disc mill. Pada alat ini terdapat ayakan berukuran 60 mesh sehingga pisang yang digiling langsung mengalami proses pengayakan. Tepung pisang yang dihasilkan kemudian dianalisis proksimat agar diketahui kandungan makronutriennya sehingga dapat digunakan untuk perkiraan penghitungan nilai energi banana bars.

Pisang nangka ↓ Cuci

Blansir kering (menggunakan uap panas) suhu 80-90oC selama 5-10 menit ↓

Pengupasan ↓ Pengirisan

Pengeringan dengan oven pengering (5-6 jam, 60oC) ↓

Penggilingan dan pengayakan dengan pin disc mill

Tepung pisang

Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung pisang (Hermawan, 1982)

1.2. PEMBUATAN TEPUNG TEMPE

Tempe yang digunakan pada penelitian ini adalah tempe yang telah mengalami fermentasi penuh pada hari pertama (Gambar 5). Pembuatan tepung tempe dilakukan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Inayati (1991). Proses pembuatan tepung tempe secara umum dapat dilihat pada Gambar 6. Tempe yang telah dipotong-potong kemudian diblansir dengan uap panas bersuhu 100oC selama 5-10 menit. Tujuan blansir pada proses ini adalah untuk menginaktifkan kapang yang memfermentasi tempe sehingga dapat mengurangi rasa pahit pada tepung tempe yang dihasilkan. Selain itu, blansir dapat mempercepat proses pengeringan tempe.

Gambar 5. Tempe yang mengalami fermentasi satu hari

(19)

18 Tepung tempe yang telah jadi kemudian dilakukan analisis proksimat agar diketahui kandungan makronutriennya dan dapat digunakan untuk perkiraan penghitungan produk

banana bars.

Tempe segar ↓

Pemotongan 4 x 2 cm ↓

Blansir kering (menggunakan uap panas) selama 5-10 menit ↓

Pengeringan dengan oven pengering (4 jam, 60oC) ↓

Penggilingan dengan pin disc mill

Tepung tempe

Gambar 6. Diagram alir pembuatan tepung tempe (Inayati, 1991)

2. OPTIMASI PROSES PEMANGGANGAN BANANA BARS

Formula banana bars (Lampiran 1) yang dibuat pada tahap ini modifikasi dari metode Ferawati (2009) berfungsi sebagai formulasi dasar untuk menentukan formula mana yang akan dikembangkan untuk tahap pencarian suhu dan lama waktu pemanggangan. Penentuan formula terbaik ini didasarkan pada uji organoleptik rating hedonik terhadap atribut rasa. Sembilan formula ini belum ditambahkan inulin ke dalamnya. Proses pembuatan banana bars secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 7. Pembuatan krim dilakukan secara terpisah dari bahan tepung-tepungan. Mentega dan gula halus dicampurkan bersama hingga terbentuk krim, kemudian bahan tepung-tepungan yang telah dicampur sebelumnya dimasukkan ke dalam krim untuk membentuk adonan banana bars. Adonan kemudian dicetak dengan menggunakan cetakan berdimensi 10 cm x 3.3 cm x 0.5 cm. Banana bars yang telah dicetak kemudian dipanggang dengan oven baking Mah-Yih MD yang menggunakan sistem gas-listrik (electric gas) yang bersifat natural convection.

Tepung pisang, tepung ketan, tepung tempe, garam Margarin, gula halus

↓ Penambahan air

↓ Pencampuran

↓ Pencetakan

Pemanggangan dalam oven suhu 100oC selama 40 menit kemudian 120oC selama 20 menit

Banana bars

(20)

19 Formula terpilih didasarkan pada uji organoleptik kemudian dimodifikasi menjadi dua formula (Tabel 6) dengan komposisi yang memenuhi persyaratan pangan darurat. Penghitungan perkiraan kandungan energi yang memenuhi persyaratan pangan darurat dilakukan berdasarkan hasil analisis proksimat, informasi nilai gizi pada label kemasan, dan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Kalori dihitung berdasarkan jumlah makronutrien (protein, lemak, dan karbohidrat) yang terdapat di dalam bahan pangan dikalikan dengan nilai kalori masing-masing makronutrien. Untuk protein memiliki kalori sebesar 4 kkal/gram, lemak 9 kkal/gram dan karbohidrat sebesar 4 kkal/gram (Prawiranegara, 1991). Kandungan energi pangan darurat adalah 2100 kkal per hari atau setara dengan 700 kkal per takaran saji dengan sumbangan makronutrien lemak sebesar 35-45%, karbohidrat sebesar 40-50%, dan sumbangan protein sebesar 10-15% dari total 700 kkal. Metode penghitungan ini dapat dilihat pada Lampiran 2a, 2b, 2c, dan 2d yang digunakan juga pada tahap reformulasi. Kandungan kalori (energi) dari seluruh bahan penyusun yang digunakan dalam formulasi EFP dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perkiraan kandungan gizi dan energi dari bahan penyusun EFP

Komposisi Kalori/100 gr (kkal)

Makronutrien

Air Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g)

Tepung pisangc 377.25 4.51 0.85 87.89 4.41

Tepung tempec 523.46 50.08 29.86 13.60 4.46

Tepung ketana 362 6.7 0.7 79.4 12

Margarinb 733 0.6 81.00 0.4 15.5

Gula halusa 376 0 0 94.0 5.4

Sumber: a DKBM (Prawiranegara, 1991); b Jumlah sesuai pada label di kemasan; c Hasil analisis proksimat

Dua formula pada Tabel 6 juga digunakan pada optimasi proses pemanganggangan. Kombinasi suhu dan waktu pemanggangan yang diamatai ditunjukkan pada Tabel 7 dan 8.

Banana bars yang diterima adalah banana bars dengan tekstur yang renyah dan kering, rasa yang dapat diterima, dan warna coklat keemasan.

Tabel 6. Formula Banana bars

Bahan Formula I (gram) Formula II (gram)

Tepung pisang 15 10

Tepung tempe 10 10

Tepung ketan 15 15

Margarin 15 15

Gula halus 20 20

Inulin 2 2

Air (ml) 15 8

Total 92 80

Tabel 7. Suhu dan waktu pemanggangan dengan oven baking Getra

Perlakuan Suhu atas Suhu bawah Waktu pemanggangan

1 160oC 140oC 25 menit

(21)

20 Tabel 8. Suhu dan waktu pemanggangan dengan oven baking Mermet

Perlakuan Suhu dan waktu pemanggangan

Awal Akhir

1 100oC selama 20 menit 120oC selama 40 menit 2 100oC selama 20 menit 140oC selama 40 menit

Inulin pada kedua formula ini dicampurkan ke dalam bahan tepung-tepungan. Inulin berfungsi untuk memperkaya kandungan serat dan berperan sebagai prebiotik. Menurut Tungland (2002), penyerapan mineral oleh tubuh dapat ditingkatkan dengan mengonsumsi inulin sebanyak 15 gram per hari. Oleh karena itu, untuk satu takaran saji diperlukan sekitar 5 gram inulin. Kedua formula tersebut telah ditambahkan inulin ke dalamnya dengan jumlah tetap yaitu 2 gram per adonan (± 80 gram) atau sekitar 2.5% dari total adonan. Tahapan proses pembuatan banana bars ditunjukkan pada Gambar 8. Formulasi banana bars yang dibuat pada tahap ini kemudian akan diuji secara organoleptik terhadap atribut overall dan satu formula terbaik dilakukan analisis proksimat.

Tepung pisang, tepung ketan, tepung tempe, inulin Margarin, gula halus

Penambahan air ↓

Pencampuran ↓ Pencetakan

Pemanggangan dalam oven baking dengan suhu awal 100oC selama 20 menit dan suhu akhir 130oC selama 40 menit

Banana bars

Gambar 8. Diagram alir pembuatan banana bars dengan inulin (Ferawati, 2009)

3. Reformulasi banana bars

(22)

21 Tabel 9. Reformulasi Formula II

Bahan (g) Formula A Formula B Formula C Formula D

Tepung pisang 10 10 10 10

Tepung tempe 15 20 15 20

Tepung ketan 10 5 10 5

Margarin 15 15 15 15

Gula halus 20 20 20 20

Inulin 0 0 2 2

Air (ml) 8 8 8 8

Total 78 78 80 80

Keempat formula tersebut kemudian dilakukan analisis proksimat, analisis fisik, analisis mikrobiologi, uji organoleptik, dan uji kadar inulin. Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, dan kadar serat kasar. Uji organoleptik dilakukan terhadap atribut warna, aroma, rasa, tekstur, dan overall menggunakan uji rating hedonik. Analisis fisik yang dilakukan meliputi analisis aw, analisis tekstur, dan analisis warna. Uji mikrobiologi meliputi analisis total mikroba dan total kapang khamir. Pemilihan formula terbaik didasarkan pada formula terbaik hasil uji organoleptik atribut overall

yang mengandung inulin dan memenuhi persyaratan pangan darurat. Formula terbaik yang mengandung inulin kemudian diuji kadar inulin.

C.

METODE ANALISIS

1. Kadar Air (AOAC, 1995)

Sampel sebanyak 1-2 gram ditimbang pada sebuah wadah kering yang telah diketahui bobotnya. Sampel dikeringkan dalam oven dengan suhu 105oC selama 3 jam. Sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang, pekerjaan tersebut diulangi hingga tercapai bobot yang konstan.

Kadar air =

Keterangan: A= bobot wadah + sampel sebelum dikeringkan (g) B= bobot wadah + sampel setelah dikeringkan (g) C = bobot sampel awal (g)

2. Kadar Abu (AOAC, 1995)

Sampel seberat 2-3 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Sampel dalam cawan diarangkan pada pemanas dan diabukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550oC sampai pengabuan sempurna. Sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang hingga bobot konstan.

Kadar abu (%) =

(23)

22 3. Kadar Protein (AOAC, 1995)

Sampel seberat 100-250 mg ditimbang dan dipindahkan ke dalam labu Kjehdahl 30 ml, kemudian ditambahkan 1.9 gram K2SO4, 40 mg HgO, dan 3.8 ml H2SO4. Sampel dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Sampel didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air akuades. Air pembilas dipindahkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 8-10 ml larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3.

Erlenmeyer 250 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator merah metilenn-biru metilen diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3. Destilasi dilakukan sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Penetapan blanko juga dilakukan untuk mengurangi bias dalam pengukuran.

Cara perhitungan kadar protein:

Kadar N (%) =

Kadar protein (%) = %N x faktor konversi (6.25)

4. Kadar Lemak (AOAC, 1995)

Labu lemak yang digunakan dikeringkan di dalam oven, kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel dibungkus dengan kertas saring dan ditutup dengan kapas bebas lemak kertas saring yang berisi sampel dimasukkan ke dalam tabung ekstraksi Soxhlet, kemudian kondensor dipasang di bagian atas, dan labu lemak di bagian bawah. Pelarut heksana dituang secukupnya ke dalam labu lemak.

Sampel direfluks selama 5 jam. Pelarut yang digunakan didestilasi dan ditampung. Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven dengan suhu 105oC hingga bobot konstan. Labu lemak selanjutnya didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang beserta dengan lemak di dalamnya.

Kadar lemak (%) =

5. Kadar Karbohidrat (AOAC, 1995)

Kadar karbohidrat sampel dihitung dengan cara 100% kandungan gizi sampel dikurangi dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Nilainya ditentukan dengan menggunakan rumus berikut:

Kadar karbohidrat = 100% - (%kadar air + %kadar abu + %kadar lemak + %kadar protein)

6. Kadar Serat Kasar (Apriyantono et al, 1989)

(24)

23 saring. Cuci residu yang tertinggal dengan air mendidih, pencucian dilakukan sampai air cucian tidak bersifat asam lagi. Pindahkan residu secara kuantitatif dengan menggunakan spatula. Cuci kembali sisa residu yang tertinggal pada kertas saring dengan menggunakan NaOH mendidih sampai semua residu masuk semua ke dalam erlenmeyer. Didihkan kembali contoh dengan pendingin balik selama 30 menit dengan sesekali digoyangkan. Saring kembali contoh dengan kertas saring yang diketahui beratnya sambil dicuci dengan K2SO4 10%. Cuci residu di kertas saring dengan menggunakan air mendidih kemudian dengan alkohol 95%. Keringkan kertas saring di dalam oven dengan suhu 110oC sampai berat konstan (1-2 jam). Setelah itu, sampel didinginkan dan dimasukkan ke dalam desikator, lalu sampel ditimbang.

Cara perhitungannya adalah sebagai berikut :

Kadar serat kasar (gr/100gr contoh) =

Keterangan: W1= berat residu dan kertas saring yang dikeringkan (g) W2= berat kertas saring (g)

W = berat sampel yang dianalisis (g)

7. Uji Kadar Inulin metode HPLC (AOAC, 1995)

Kadar inulin diukur dengan menggunakan metode HPLC. Metode ini meliputi pembuatan larutan standar, ekstraksi sampel dan hidrolisis sampel. Sampel yang telah diekstraksi dan dihidrolisis dihitung konsentrasi inulin dengan membandingkannya dengan kurva larutan standar.

Larutan standar dibuat dengan menimbang fruktosa sebagai standar sebanyak 2 mg. Fruktosa dimasukkan dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan dengan menggunakan akuades lalu dikocok hingga homogen. Larutan tersebut dijadikan larutan induk 1000 ppm, kemudian buat deret konsentrasi 5 ppm, 25 ppm, 50 ppm dengan masing-masing ditambah internal standar konsentrasi 50 ppm. Saring dengan filter dan masukkan ke dalam vial untuk disuntikkan pada HPLC.

Proses ekstraksi sampel dilakukan dengan cara menghomogenkan sampel yang kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala. Tambahkan air panas sebanyak 40 ml dan tambahkan KOH 0.05 N atau HCL 0.05 N hingga pH sekitar 6.5-8. Larutan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, dipanaskan 85°C, dan diaduk. Larutan tersebut didinginkan dan kemudian dipindahkan ke dalam gelas piala untuk diaduk kuat. Setelah itu encerkan hingga mengandung 1% fruktan.

Langkah berikutnya adalah hidrolisis sampel hasil ekstraksi dengan menggunakan enzim inulinase. Mula-mula diambil 15 g sampel (A), kemudian ditambah 15 g buffer asetat hingga memiliki pH 4.5. Ditambahkan amiloglukosidase sebanyak 35 mg dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60°C, lalu ditimbang (B). Sebanyak 10 g sampel ditimbang dan ditambah enzim inulinase. Sampel tersebut diinkubasi kembali pada suhu 60°C selama 30 menit. Biarkan dingin, lalu ditimbang (C). Hasil ekstraksi A, B, dan C masing-masing diencerkan, ditambahkan internal standar (glukoheptosa) 20 ppm, disaring, lalu diinjeksikan pada HPLC.

8. Pengukuran Aktivitas Air

(25)

24 ditutup rapat. Pembacaan nilai aw dilakukan pada saat angka tidak berubah. Hal ini ditunjukkan oleh tulisan atau indikator pada aw meter yaitu complete test.

9. Analisis Tekstur

Analisis tekstur dilakukan terhadap kekerasan bars yang dihasilkan dengan menggunakan

Texture Analyzer XT2i yang dinyatakan dalam satuan gf (gram force). Alat ini dilengkapi dengan sistem komputerisasi sehingga harus diatur sesuai dengan kebutuhan dan jenis produk yang diuji. Sebelum dilakukan pengukuran contoh, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi probe.

Bars yang diukur kekerasannya diletakkan di bawah probe dan “Quick Run Test” ditekan.

Probe yang digunakan adalah P/2 (probe silinder), jarak probe yang dikalibrasi sesuai dengan tinggi bars yaitu 4 mm dari bars. Setelah pengukuran selesai, nilai kekerasan bars dapat dilihat pada layar komputer. Pengaturan texture analyzer pada pengukuran bars dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Pengaturan Texture Analyzer pada pengukuran bars Test mode option Measure force in compression Return to start Parameters Pre test speed 2.0 mm/s

Test speed 0.5 mm/s Post test speed 10.0 mm/s Distance 4 mm/s

Trigger Type Auto

Force 5 g

Force Grams

Distance Milimeters

10.Analisis warna (Metode Hunter)

Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter Minolta CR 300 (minolta Camera, Co. Japan 82281029) untuk formula terbaik. Sebelum digunakan alat ini dikalibrasi dengan standar warna putih. Sampel diletakkan pada tempat yang tersedia, setelah menekan tombol start diperoleh nilai L, a, dan b. Ketiga parameter tersebut merupakan ciri notasi warna Hunter.

Notasi L berkisar antara 0 (hitam) hingga ± 100 (putih). Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna biru. Selanjutnya dari nilai a dan b dapat dihitung oHue dengan rumus

o

Hue = tan-1 (b/a) jika hasil yang diperoleh:

18o-54o = Red (R) 54o-90o = Yellow red (YR) 90o-126o = Yellow

126o-162o = Yellow green (YG) 162o-198o = Green (G)

198o-234o = Blue green (BG) 234o-270o = Blue (B)

(26)

25 11.Uji Organoleptik (Meillgard, 1999)

Uji organoleptik yang digunakan adalah uji rating hedonik untuk menentukan apakah masing-masing produk berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%. Panelis yang digunakan adalah panelis semi terlatih sebanyak 70 orang untuk kedua uji di atas. Analisis data dilakukan menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) dengan uji lanjut Duncan. Skala yang digunakan dalam uji ini adalah skala kategori 7 poin dengan deskripsi sebagai berikut:

1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = agak tidak suka 4 = netral

5 = agak suka 6 = suka 7 = sangat suka

12.Uji Mikrobiologi (Total Plate Count dan Total Kapang-khamir) (Fardiaz, 1989)

(27)

26

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

PENGOLAHAN BAHAN BAKU

1. PEMBUATAN TEPUNG PISANG

Tujuan dari penepungan pisang ini adalah untuk meningkatkan umur simpan pisang dan memberikan karakteristik banana bars yang sama bila menggunakan bahan baku dengan karakteristik yang sama. Komposisi kimia tepung pisang ini mirip dengan yang dilaporkan oleh Hermanto (1991) yang ditunjukkan pada Tabel 11.

Tabel 11. Hasil analisis proksimat tepung pisang

Komposisi Kandungan %

(basis kering)

Kandungan % (basis kering)*

Kadar air %** 4.41 3.00

Kadar abu 2.45 3.30

Kadar protein 4.72 4.54

Kadar lemak 0.89 0.82

Kadar karbohidrat (by difference) 91.94 91.34

* Hermanto (1991)

** dinyatakan dalam basis basah

Warna tepung pisang yang dihasilkan pada penelitian ini adalah putih kekuningan dengan nilai derajat putih sebesar 44.1%. Nilai derajat putih ini dipengaruhi oleh suhu pengeringan. Pengeringan menggunakan oven pengering dengan suhu 60oC menghasilkan karamelisasi dan reaksi Maillard yang tidak terlalu tinggi. Karamelisasi dan reaksi Maillard menyebabkan terjadinya warna coklat pada tepung pisang. Semakin banyak terjadi karamelisasi dan reaksi Maillard pada proses pengeringan maka semakin coklat warna tepung pisang. Selain pengaruh suhu, bentuk bahan yang dikeringkan juga mempengaruhi derajat putih tepung pisang. Potongan pisang yang berbentuk chips memiliki luas permukaan bahan yang kontak dengan permukaan pengering lebih kecil dibandingkan potongan berbentuk lonjong (Budi, 1995) sehingga karamelisasi dan reaksi Maillard lebih kecil terjadi dan warna tepung pisang yang dihasilkan mempunyai derajat putih yang besar.

Menurut Hermawan (1982) ada dua proses pembuatan tepung pisang, yaitu proses basah dan proses kering. Pembuatan secara basah dilakukan dengan cara: pisang yang telah berbentuk bubur atau pasta dikeringkan dengan alat pengering drum drier atau spray drier. Pembuatan secara kering yaitu setelah dikupas, pisang diiris tipis. Hasil irisan tersebut dikeringkan dengan menggunakan alat pengering ataupun sinar matahari. Proses pengeringan tergantung pada suhu yang digunakan pada mesin pengering. Pengeringan dengan mesin pengering lebih terkontrol karena irisan pisang diletakkan di ruang tertutup sehingga kontaminasi mikroba dan debu dapat dikurangi. Selain itu, suhu pengeringan juga dapat diatur sesuai keinginan. Masalah utama yang sering timbul saat pembuatan tepung pisang menurut Hermawan (1982) adalah timbulnya warna coklat pada tepung yang dihasilkan. Maka dari itu, diperlukan perlakuan yang dapat mengurangi atau mencegah terjadinya pencoklatan tersebut. Cara yang dapat dilakukan untuk mencegah pencoklatan adalah blansir.

(28)

27 tepung pisang (91.94 %bk) lebih tinggi dibandingkan kandungan protein (4.72 %bk) dan lemaknya (0.89 %bk). Hal ini disebabkan oleh tingginya pati yang ada dalam tepung pisang (Crowther, 1979). Menurut Wills et al., (1981) karbohidrat pisang terdiri dari pati, gula-gula sederhana (glukosa, fruktosa, dan sukrosa), pektin, lignin, selulosa, dan hemiselulosa.

2. PEMBUATAN TEPUNG TEMPE

Beberapa keuntungan yang diperoleh dari pengeringan tempe, antara lain adalah berkurangnya volume dan berat bahan sehingga memudahkan dalam pengangkutan dan penyimpanannya (Winarno, 1985). Tempe yang digunakan dalam pembuatan tepung tempe adalah tempe yang telah difermentasi selama satu hari dengan tujuan untuk mengurangi rasa pahit yang ditimbulkan oleh kapang. Hasil analisis proksimat tepung tempe ditunjukkan pada Tabel 12.

Tabel 12. Hasil analisis proksimat tepung tempe

Komposisi Kandungan %

(basis kering)

Kandungan % (basis kering)*

Kadar air %** 4.46 8.70

Kadar abu 2.09 2.52

Kadar protein 52.42 52.57

Kadar lemak 31.23 27.14

Kadar karbohidrat (by difference) 14,23 14.79

*Mardiah (1994)

** dinyatakan dalam basis basah

Kadar air hasil analisis proksimat maupun penelitian Mardiah (1994) berada di bawah ketentuan kadar air maksimal yang ditetapkan SNI untuk tepung-tepungan yaitu 15% (bb). Selain itu, menurut Winarno (1997) batas kadar air minimum dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14-15% (bb). Hal ini menunjukkan bahwa tepung tempe memiliki kualitas yang baik karena kadar airnya berada di bawah ketentuan kadar air maksimal SNI dan mencapai kadar air yang aman (dari mikroba) yaitu kurang dari 15% (bb).

Adanya perbedaan pada kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat antara tepung tempe dari penelitian ini dengan penelitian Mardiah (1994) dapat disebabkan oleh perbedaan jenis tempe yang digunakan, varietas kedelai untuk membuat tempe, jenis kapang dan ragi yang digunakan, serta metode analisis yang digunakan. Dwidjoseputro dan Wolf (1970) mengamati adanya perbedaan jenis-jenis kapang yang tumbuh pada tempe yang berasal dari daerah-daerah yang berbeda. Jenis kapang yang digunakan pada penelitian ini adalah kapang jenis R. Oligosporus sedangkan kapang yang digunakan pada penelitian Mardiah (1994) adalah kapang R. oligosporus, R. Oryzae, dan R. Arrhizus. Demikian halnya dengan karakteristik ragi yang digunakan. Ragi murni yang digunakan akan menghasilkan karakteristik tepung tempe yang berbeda dengan ragi campuran.

Tempe yang akan diolah menjadi tepung tempe terlebih dahulu dilakukan beberapa perlakuan pendahuluan sebelum dikeringkan, seperti pemotongan dan blansir. Pemotongan tempe dimaksudkan untuk menambah luas permukaan sehingga mempercepat penguapan air. Selain itu, menurut Soegiharto (1995), reduksi ukuran tempe sebelum proses blansir dilakukan untuk memperluas permukaan sehingga kapang yang masih hidup di dekat atau pada permukaan tempe lebih mudah dimatikan.

(29)

28 blansir merupakan cara terbaik untuk mematikan kapang Rhizopus. Selain itu, blansir mampu mengurangi rasa pahit yang ditimbulkan akibat fermentasi kapang. Menurut Rohani (1999) perlakuan blansir pada tempe bertujuan untuk mematikan pertumbuhan kapang sehingga fermentasinya akan terhenti. Menurut Fardiaz et al., (1980) blansir adalah pemanasan pendahuluan yang bertujuan untuk menginaktifkan enzim-enzim di dalam bahan pangan. Menurut Syamsir (2011), proses blansir yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan air panas (70 – 100oC) atau dengan steam (uap panas). Blansir pada penelitian ini dilakukan menggunakan uap panas pada suhu 100oC selama 10 menit. Blansir dengan uap lebih baik dibandingkan dengan air panas, karena dengan uap kehilangan garam dan vitamin dapat dicegah. Menurut Muchtadi et al., (1989) blansir dalam air panas dapat melarutkan dan merusak nilai-nilai gizi bahan, menyebabkan tekstur menjadi lunak, serta mengurangi flavor

dan warna bahan. Selain itu proses blansir dapat mempercepat laju pengeringan dan produk

lebih bersih (Shurtleff W et al, 1980).

Tempe kemudian dikeringkan menggunakan oven pengering bersuhu 60oC selama sekitar empat jam. Oven pengering berfungsi sebagai pengering, menghasilkan udara panas yang digerakkan oleh blower sehingga mengefektifkan pindah panas yang terjadi dari udara panas kepada bahan yang dikeringkan (Sitanggang, 2008).Setelah tempe kering dan berbunyi “kres” saat diremas, kemudian tempe didinginkan beberapa menit di suhu ruang untuk kemudian digiling menggunakan alat pin disc mill. Penggilingan dimaksudkan untuk memperkecil ukuran tempe dalam pembuatan tepung. Di dalam pin disc mill terdapat ayakan berukuran 60 mesh sehingga tepung yang keluar akan memiliki tingkat kehalusan yang seragam dan bersih dari kotoran pengganggu.

B.

OPTIMASI PROSES PEMANGGANGAN BANANA BARS

Formulasi p

Gambar

Gambar 10. Histogram uji rating hedonik terhadap atribut rasa
Gambar 12. Histogram Uji Rating Hedonik 1
Tabel 14. Reformulasi Formula II
Tabel 15. Hasil Analisis Proksimat Banana bars
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian terdahulu diatas yang ter- kait dengan Pernikahan Beda Agama, namun beberapa penelitian tersebut ber- fokus pada faktor penyebab terjadinya pin- dah agama

1) Untuk menentukan kriteria dan alternatif hasil yang lebih akurat terhadap siapa yang akan menerima Bantuan Siswa Miskin (BSM). 2) Merancang Sistem

terhadap pengukuran partikel PM 10 di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang, terlihat bahwa nilai rata-rata dan nilai maksimum konsentrasi harian PM 10 setelah

Dalam pandangan Sudrajat (2014) multikultural penting diterapkan dalam sistem pembelajaran di Indonesia agar anak peka terhadap masalah, gejala, konflik yang

Kendala yang Dihadapi Dalam Penyelenggaraan Pendidikan Formal di Lembaga Pembinaan Khusu Anak Kelas II Bandung ...Error.. Bookmark

Tujuan penelitian ini menganalisis data tentang pelatihan budi daya ikan lele dumbo, yang mendeskripsikan proses, hasil pelatihan, dan faktor-faktor

Sebelum mengikuti kegiatan program PKK ibu Absah sudah mulai menjahit pakaian di Gampong Ujung. Ibu Absah dilibatkan dalam program PKK dalam memberikan pelatihan kepada

Untuk itu, tujuan monitoring dan evaluasi manajemen dijabarkan yaitu menjaminkan bahwa kesesuaian dan kepatuhan terhadap prosedur senantiasa dijalankan sesuai dengan