• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGOLAHAN BAHAN BAKU PEMBUATAN TEPUNG PISANG

DAFTAR LAMPIRAN

B. METODE PENELITIAN

1. PENGOLAHAN BAHAN BAKU PEMBUATAN TEPUNG PISANG

Pisang yang dipilih untuk dibuat tepung adalah pisang nangka yang cukup tua namun belum matang. Hal ini dapat dilihat dari tingkat ketuaan pisang dalam satu tandan yaitu adanya 1 atau dua buah pisang yang telah masak. Pisang yang telah masak ditandai dengan daging buah yang lunak dan warna kulitnya yang berwarna hijau muda (Gambar 3).

Gambar 3. Pisang nangka yang dibuat tepung

Pembuatan tepung pisang didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Hermawan (1982) dengan modifikasi tidak dilakukannya perendaman pisang dalam larutan natrium bisulfit. Diagram alir pembuatan tepung pisang dapat dilihat pada Gambar 4.

Pisang nangka dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran dan getah yang menempel pada kulit, kemudian pisang diblansir dengan uap panas bersuhu 100oC selama 5- 10 menit dengan tujuan untuk menginaktivasi enzim polifenolase pada pisang yang dapat menyebabkan pencoklatan. Pisang kemudian diiris tipis untuk mempermudah proses pengeringan. Kemudian pisang dikeringkan dengan oven pengering bersuhu 60oC selama 5-6 jam. Pisang yang telah kering kemudian digiling dengan menggunakan pin disc mill agar

17 diperoleh bentuk tepung. Proses pengayakan tepung telah dilakukan di dalam alat pin disc mill. Pada alat ini terdapat ayakan berukuran 60 mesh sehingga pisang yang digiling langsung mengalami proses pengayakan. Tepung pisang yang dihasilkan kemudian dianalisis proksimat agar diketahui kandungan makronutriennya sehingga dapat digunakan untuk perkiraan penghitungan nilai energi banana bars.

Pisang nangka ↓ Cuci

Blansir kering (menggunakan uap panas) suhu 80-90oC selama 5-10 menit ↓

Pengupasan ↓ Pengirisan

Pengeringan dengan oven pengering (5-6 jam, 60oC) ↓

Penggilingan dan pengayakan dengan pin disc mill

Tepung pisang

Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung pisang (Hermawan, 1982) 1.2. PEMBUATAN TEPUNG TEMPE

Tempe yang digunakan pada penelitian ini adalah tempe yang telah mengalami fermentasi penuh pada hari pertama (Gambar 5). Pembuatan tepung tempe dilakukan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Inayati (1991). Proses pembuatan tepung tempe secara umum dapat dilihat pada Gambar 6. Tempe yang telah dipotong-potong kemudian diblansir dengan uap panas bersuhu 100oC selama 5-10 menit. Tujuan blansir pada proses ini adalah untuk menginaktifkan kapang yang memfermentasi tempe sehingga dapat mengurangi rasa pahit pada tepung tempe yang dihasilkan. Selain itu, blansir dapat mempercepat proses pengeringan tempe.

Gambar 5. Tempe yang mengalami fermentasi satu hari

Pengeringan tempe dilakukan dengan oven pengering yang menghasilkan udara panas yang digerakkan oleh blower sehingga mengefektifkan pindah panas yang terjadi dari udara panas kepada bahan yang dikeringkan. Tempe yang telah kering kemudian digiling menggunakan pin disc mill yang di dalamnya telah terdapat ayakan berukuran 60 mesh.

18 Tepung tempe yang telah jadi kemudian dilakukan analisis proksimat agar diketahui kandungan makronutriennya dan dapat digunakan untuk perkiraan penghitungan produk

banana bars.

Tempe segar ↓

Pemotongan 4 x 2 cm ↓

Blansir kering (menggunakan uap panas) selama 5-10 menit ↓

Pengeringan dengan oven pengering (4 jam, 60oC) ↓

Penggilingan dengan pin disc mill

Tepung tempe

Gambar 6. Diagram alir pembuatan tepung tempe (Inayati, 1991) 2. OPTIMASI PROSES PEMANGGANGAN BANANA BARS

Formula banana bars (Lampiran 1) yang dibuat pada tahap ini modifikasi dari metode Ferawati (2009) berfungsi sebagai formulasi dasar untuk menentukan formula mana yang akan dikembangkan untuk tahap pencarian suhu dan lama waktu pemanggangan. Penentuan formula terbaik ini didasarkan pada uji organoleptik rating hedonik terhadap atribut rasa. Sembilan formula ini belum ditambahkan inulin ke dalamnya. Proses pembuatan banana bars secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 7. Pembuatan krim dilakukan secara terpisah dari bahan tepung-tepungan. Mentega dan gula halus dicampurkan bersama hingga terbentuk krim, kemudian bahan tepung-tepungan yang telah dicampur sebelumnya dimasukkan ke dalam krim untuk membentuk adonan banana bars. Adonan kemudian dicetak dengan menggunakan cetakan berdimensi 10 cm x 3.3 cm x 0.5 cm. Banana bars yang telah dicetak kemudian dipanggang dengan oven baking Mah-Yih MD yang menggunakan sistem gas-listrik (electric gas) yang bersifat natural convection.

Tepung pisang, tepung ketan, tepung tempe, garam Margarin, gula halus ↓ Penambahan air ↓ Pencampuran ↓ Pencetakan ↓

Pemanggangan dalam oven suhu 100oC selama 40 menit kemudian 120oC selama 20 menit

Banana bars

19 Formula terpilih didasarkan pada uji organoleptik kemudian dimodifikasi menjadi dua formula (Tabel 6) dengan komposisi yang memenuhi persyaratan pangan darurat. Penghitungan perkiraan kandungan energi yang memenuhi persyaratan pangan darurat dilakukan berdasarkan hasil analisis proksimat, informasi nilai gizi pada label kemasan, dan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Kalori dihitung berdasarkan jumlah makronutrien (protein, lemak, dan karbohidrat) yang terdapat di dalam bahan pangan dikalikan dengan nilai kalori masing-masing makronutrien. Untuk protein memiliki kalori sebesar 4 kkal/gram, lemak 9 kkal/gram dan karbohidrat sebesar 4 kkal/gram (Prawiranegara, 1991). Kandungan energi pangan darurat adalah 2100 kkal per hari atau setara dengan 700 kkal per takaran saji dengan sumbangan makronutrien lemak sebesar 35-45%, karbohidrat sebesar 40-50%, dan sumbangan protein sebesar 10-15% dari total 700 kkal. Metode penghitungan ini dapat dilihat pada Lampiran 2a, 2b, 2c, dan 2d yang digunakan juga pada tahap reformulasi. Kandungan kalori (energi) dari seluruh bahan penyusun yang digunakan dalam formulasi EFP dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perkiraan kandungan gizi dan energi dari bahan penyusun EFP Komposisi Kalori/100 gr

(kkal)

Makronutrien

Air Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g)

Tepung pisangc 377.25 4.51 0.85 87.89 4.41

Tepung tempec 523.46 50.08 29.86 13.60 4.46

Tepung ketana 362 6.7 0.7 79.4 12

Margarinb 733 0.6 81.00 0.4 15.5

Gula halusa 376 0 0 94.0 5.4

Sumber: a DKBM (Prawiranegara, 1991); b Jumlah sesuai pada label di kemasan; c Hasil analisis proksimat

Dua formula pada Tabel 6 juga digunakan pada optimasi proses pemanganggangan. Kombinasi suhu dan waktu pemanggangan yang diamatai ditunjukkan pada Tabel 7 dan 8.

Banana bars yang diterima adalah banana bars dengan tekstur yang renyah dan kering, rasa yang dapat diterima, dan warna coklat keemasan.

Tabel 6. Formula Banana bars

Bahan Formula I (gram) Formula II (gram)

Tepung pisang 15 10 Tepung tempe 10 10 Tepung ketan 15 15 Margarin 15 15 Gula halus 20 20 Inulin 2 2 Air (ml) 15 8 Total 92 80

Tabel 7. Suhu dan waktu pemanggangan dengan oven baking Getra

Perlakuan Suhu atas Suhu bawah Waktu pemanggangan

1 160oC 140oC 25 menit

20 Tabel 8. Suhu dan waktu pemanggangan dengan oven baking Mermet

Perlakuan Suhu dan waktu pemanggangan

Awal Akhir

1 100oC selama 20 menit 120oC selama 40 menit 2 100oC selama 20 menit 140oC selama 40 menit Inulin pada kedua formula ini dicampurkan ke dalam bahan tepung-tepungan. Inulin berfungsi untuk memperkaya kandungan serat dan berperan sebagai prebiotik. Menurut Tungland (2002), penyerapan mineral oleh tubuh dapat ditingkatkan dengan mengonsumsi inulin sebanyak 15 gram per hari. Oleh karena itu, untuk satu takaran saji diperlukan sekitar 5 gram inulin. Kedua formula tersebut telah ditambahkan inulin ke dalamnya dengan jumlah tetap yaitu 2 gram per adonan (± 80 gram) atau sekitar 2.5% dari total adonan. Tahapan proses pembuatan banana bars ditunjukkan pada Gambar 8. Formulasi banana bars yang dibuat pada tahap ini kemudian akan diuji secara organoleptik terhadap atribut overall dan satu formula terbaik dilakukan analisis proksimat.

Tepung pisang, tepung ketan, tepung tempe, inulin Margarin, gula halus ↓ Penambahan air ↓ Pencampuran ↓ Pencetakan ↓

Pemanggangan dalam oven baking dengan suhu awal 100oC selama 20 menit dan suhu akhir 130oC selama 40 menit

Banana bars

Gambar 8. Diagram alir pembuatan banana bars dengan inulin (Ferawati, 2009)

3. Reformulasi banana bars

Reformulasi banana bars dilakukan karena formula terbaik pada tahap optimasi proses pemanggangan belum memenuhi persyaratan pangan darurat yaitu lemak 35-45%, protein 10- 15%, dan karbohidrat 40-50% terhadap 700 kkal. Sumbangan protein yang dimiliki formula terbaik tersebut belum masuk dalam kisaran persyaratan pangan darurat bagi protein (< 10- 15%). Formula terbaik tersebut kemudian dimodifikasi dan dihasilkan empat formula dengan dua diantaranya tidak menggunakan inulin. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh inulin terhadap karakteristik tekstur yang dihasilkan pada banana bars. Empat reformulasi tersebut ditunjukkan pada Tabel 9.

21 Tabel 9. Reformulasi Formula II

Bahan (g) Formula A Formula B Formula C Formula D

Tepung pisang 10 10 10 10 Tepung tempe 15 20 15 20 Tepung ketan 10 5 10 5 Margarin 15 15 15 15 Gula halus 20 20 20 20 Inulin 0 0 2 2 Air (ml) 8 8 8 8 Total 78 78 80 80

Keempat formula tersebut kemudian dilakukan analisis proksimat, analisis fisik, analisis mikrobiologi, uji organoleptik, dan uji kadar inulin. Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, dan kadar serat kasar. Uji organoleptik dilakukan terhadap atribut warna, aroma, rasa, tekstur, dan overall menggunakan uji rating hedonik. Analisis fisik yang dilakukan meliputi analisis aw, analisis tekstur, dan analisis warna. Uji mikrobiologi meliputi analisis total mikroba dan total kapang khamir. Pemilihan formula terbaik didasarkan pada formula terbaik hasil uji organoleptik atribut overall

yang mengandung inulin dan memenuhi persyaratan pangan darurat. Formula terbaik yang mengandung inulin kemudian diuji kadar inulin.

C.METODE ANALISIS

1. Kadar Air (AOAC, 1995)

Sampel sebanyak 1-2 gram ditimbang pada sebuah wadah kering yang telah diketahui bobotnya. Sampel dikeringkan dalam oven dengan suhu 105oC selama 3 jam. Sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang, pekerjaan tersebut diulangi hingga tercapai bobot yang konstan.

Kadar air =

Keterangan: A= bobot wadah + sampel sebelum dikeringkan (g) B= bobot wadah + sampel setelah dikeringkan (g) C = bobot sampel awal (g)

2. Kadar Abu (AOAC, 1995)

Sampel seberat 2-3 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Sampel dalam cawan diarangkan pada pemanas dan diabukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550oC sampai pengabuan sempurna. Sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang hingga bobot konstan.

Kadar abu (%) =

Keterangan: A = bobot cawan + sampel kering (g) B = bobot cawan kosong kering (g) C = bobot sampel awal (g)

22 3. Kadar Protein (AOAC, 1995)

Sampel seberat 100-250 mg ditimbang dan dipindahkan ke dalam labu Kjehdahl 30 ml, kemudian ditambahkan 1.9 gram K2SO4, 40 mg HgO, dan 3.8 ml H2SO4. Sampel dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Sampel didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air akuades. Air pembilas dipindahkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 8-10 ml larutan 60% NaOH-5% Na2S2O3.

Erlenmeyer 250 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator merah metilenn-biru metilen diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3. Destilasi dilakukan sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu- abu. Penetapan blanko juga dilakukan untuk mengurangi bias dalam pengukuran.

Cara perhitungan kadar protein:

Kadar N (%) =

Kadar protein (%) = %N x faktor konversi (6.25) 4. Kadar Lemak (AOAC, 1995)

Labu lemak yang digunakan dikeringkan di dalam oven, kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel dibungkus dengan kertas saring dan ditutup dengan kapas bebas lemak kertas saring yang berisi sampel dimasukkan ke dalam tabung ekstraksi Soxhlet, kemudian kondensor dipasang di bagian atas, dan labu lemak di bagian bawah. Pelarut heksana dituang secukupnya ke dalam labu lemak.

Sampel direfluks selama 5 jam. Pelarut yang digunakan didestilasi dan ditampung. Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven dengan suhu 105oC hingga bobot konstan. Labu lemak selanjutnya didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang beserta dengan lemak di dalamnya.

Kadar lemak (%) =

5. Kadar Karbohidrat (AOAC, 1995)

Kadar karbohidrat sampel dihitung dengan cara 100% kandungan gizi sampel dikurangi dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Nilainya ditentukan dengan menggunakan rumus berikut:

Kadar karbohidrat = 100% - (%kadar air + %kadar abu + %kadar lemak + %kadar protein) 6. Kadar Serat Kasar (Apriyantono et al, 1989)

Contoh ditimbang sebanyak 2 gram lalu dihaluskan. Contoh yang telah halus diekstrak lemaknya menggunakan pelarut Petroleum Eter (PE). Sampel bebas lemak dipindahkan secara kuantitatif ke dalam Erlenmeyer 600 ml. Tambahkan 0.5 gram asbes yang telah dipijarkan dan 2 tetes anti buih. Setelah itu, tambahkan ke dalam erlenmeyer 200 ml larutan H2SO4 mendidih. Letakkan erlenmeyer pada pendingin balik. Didihkan contoh di dalam erlenmeyer selama 30 menit dengan sesekali digoyang setelah selesai saring suspensi dengan menggunakan kertas

23 saring. Cuci residu yang tertinggal dengan air mendidih, pencucian dilakukan sampai air cucian tidak bersifat asam lagi. Pindahkan residu secara kuantitatif dengan menggunakan spatula. Cuci kembali sisa residu yang tertinggal pada kertas saring dengan menggunakan NaOH mendidih sampai semua residu masuk semua ke dalam erlenmeyer. Didihkan kembali contoh dengan pendingin balik selama 30 menit dengan sesekali digoyangkan. Saring kembali contoh dengan kertas saring yang diketahui beratnya sambil dicuci dengan K2SO4 10%. Cuci residu di kertas saring dengan menggunakan air mendidih kemudian dengan alkohol 95%. Keringkan kertas saring di dalam oven dengan suhu 110oC sampai berat konstan (1-2 jam). Setelah itu, sampel didinginkan dan dimasukkan ke dalam desikator, lalu sampel ditimbang. Cara perhitungannya adalah sebagai berikut :

Kadar serat kasar (gr/100gr contoh) =

Keterangan: W1= berat residu dan kertas saring yang dikeringkan (g) W2= berat kertas saring (g)

W = berat sampel yang dianalisis (g) 7. Uji Kadar Inulin metode HPLC (AOAC, 1995)

Kadar inulin diukur dengan menggunakan metode HPLC. Metode ini meliputi pembuatan larutan standar, ekstraksi sampel dan hidrolisis sampel. Sampel yang telah diekstraksi dan dihidrolisis dihitung konsentrasi inulin dengan membandingkannya dengan kurva larutan standar.

Larutan standar dibuat dengan menimbang fruktosa sebagai standar sebanyak 2 mg. Fruktosa dimasukkan dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan dengan menggunakan akuades lalu dikocok hingga homogen. Larutan tersebut dijadikan larutan induk 1000 ppm, kemudian buat deret konsentrasi 5 ppm, 25 ppm, 50 ppm dengan masing-masing ditambah internal standar konsentrasi 50 ppm. Saring dengan filter dan masukkan ke dalam vial untuk disuntikkan pada HPLC.

Proses ekstraksi sampel dilakukan dengan cara menghomogenkan sampel yang kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala. Tambahkan air panas sebanyak 40 ml dan tambahkan KOH 0.05 N atau HCL 0.05 N hingga pH sekitar 6.5-8. Larutan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, dipanaskan 85°C, dan diaduk. Larutan tersebut didinginkan dan kemudian dipindahkan ke dalam gelas piala untuk diaduk kuat. Setelah itu encerkan hingga mengandung 1% fruktan.

Langkah berikutnya adalah hidrolisis sampel hasil ekstraksi dengan menggunakan enzim inulinase. Mula-mula diambil 15 g sampel (A), kemudian ditambah 15 g buffer asetat hingga memiliki pH 4.5. Ditambahkan amiloglukosidase sebanyak 35 mg dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60°C, lalu ditimbang (B). Sebanyak 10 g sampel ditimbang dan ditambah enzim inulinase. Sampel tersebut diinkubasi kembali pada suhu 60°C selama 30 menit. Biarkan dingin, lalu ditimbang (C). Hasil ekstraksi A, B, dan C masing-masing diencerkan, ditambahkan internal standar (glukoheptosa) 20 ppm, disaring, lalu diinjeksikan pada HPLC. 8. Pengukuran Aktivitas Air

Aktivitas air akan menentukan tekanan di dalam kemasan. Aktivitas air dari sampel diukur dengan menggunakan aw meter yang telah dikalibrasi dengan garam NaCl dengan nilai kelembabannya (RH) adalah 75%. Sampel dimasukkan ke dalam chamber pada aw meter dan

24 ditutup rapat. Pembacaan nilai aw dilakukan pada saat angka tidak berubah. Hal ini ditunjukkan oleh tulisan atau indikator pada aw meter yaitu complete test.

9. Analisis Tekstur

Analisis tekstur dilakukan terhadap kekerasan bars yang dihasilkan dengan menggunakan

Texture Analyzer XT2i yang dinyatakan dalam satuan gf (gram force). Alat ini dilengkapi dengan sistem komputerisasi sehingga harus diatur sesuai dengan kebutuhan dan jenis produk yang diuji. Sebelum dilakukan pengukuran contoh, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi probe.

Bars yang diukur kekerasannya diletakkan di bawah probe dan “Quick Run Test” ditekan.

Probe yang digunakan adalah P/2 (probe silinder), jarak probe yang dikalibrasi sesuai dengan tinggi bars yaitu 4 mm dari bars. Setelah pengukuran selesai, nilai kekerasan bars dapat dilihat pada layar komputer. Pengaturan texture analyzer pada pengukuran bars dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Pengaturan Texture Analyzer pada pengukuran bars Test mode option Measure force in compression Return to start Parameters Pre test speed 2.0 mm/s

Test speed 0.5 mm/s Post test speed 10.0 mm/s Distance 4 mm/s

Trigger Type Auto

Force 5 g

Force Grams

Distance Milimeters

10.Analisis warna (Metode Hunter)

Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter Minolta CR 300 (minolta Camera, Co. Japan 82281029) untuk formula terbaik. Sebelum digunakan alat ini dikalibrasi dengan standar warna putih. Sampel diletakkan pada tempat yang tersedia, setelah menekan tombol start diperoleh nilai L, a, dan b. Ketiga parameter tersebut merupakan ciri notasi warna Hunter.

Notasi L berkisar antara 0 (hitam) hingga ± 100 (putih). Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna biru. Selanjutnya dari nilai a dan b dapat dihitung oHue dengan rumus

o

Hue = tan-1 (b/a) jika hasil yang diperoleh:

18o-54o = Red (R) 54o-90o = Yellow red (YR) 90o-126o = Yellow

126o-162o = Yellow green (YG) 162o-198o = Green (G) 198o-234o = Blue green (BG) 234o-270o = Blue (B) 270o-306o = Blue purple (BP) 306o-342o = Purple (P) 342o-18o = Red purple (RP)

25 11.Uji Organoleptik (Meillgard, 1999)

Uji organoleptik yang digunakan adalah uji rating hedonik untuk menentukan apakah masing-masing produk berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%. Panelis yang digunakan adalah panelis semi terlatih sebanyak 70 orang untuk kedua uji di atas. Analisis data dilakukan menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) dengan uji lanjut Duncan. Skala yang digunakan dalam uji ini adalah skala kategori 7 poin dengan deskripsi sebagai berikut:

1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = agak tidak suka 4 = netral

5 = agak suka 6 = suka 7 = sangat suka

12.Uji Mikrobiologi (Total Plate Count dan Total Kapang-khamir) (Fardiaz, 1989)

Total mikroba dihitung dengan metode hitungan cawan pada media Plate Count Agar, sedangkan untuk total kapang-khamir digunakan media APDA (Acidified Potato Dextrose Agar). Sepuluh gram contoh dilarutkan dalam larutan garam fisiologis 0.85% sebanyak 90 ml. dari larutan ini diencerkan kembali sampai tingkat pengenceran yang dikehendaki. Dari setiap pengenceran diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri, dan diberi 15 ml PCA/APDA cair (duplo). Selanjutnya cawan diputar membentuk angka delapan dan dibiarkan membeku. Inkubasi dilakukan pada suhu 37oC selama 2 hari untuk TPC dan inkubasi pada 30oC selama 3- 5 hari untuk total kapang-khamir.

26

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

A.PENGOLAHAN BAHAN BAKU

1. PEMBUATAN TEPUNG PISANG

Tujuan dari penepungan pisang ini adalah untuk meningkatkan umur simpan pisang dan memberikan karakteristik banana bars yang sama bila menggunakan bahan baku dengan karakteristik yang sama. Komposisi kimia tepung pisang ini mirip dengan yang dilaporkan oleh Hermanto (1991) yang ditunjukkan pada Tabel 11.

Tabel 11. Hasil analisis proksimat tepung pisang

Komposisi Kandungan % (basis kering) Kandungan % (basis kering)* Kadar air %** 4.41 3.00 Kadar abu 2.45 3.30 Kadar protein 4.72 4.54 Kadar lemak 0.89 0.82

Kadar karbohidrat (by difference) 91.94 91.34

* Hermanto (1991)

** dinyatakan dalam basis basah

Warna tepung pisang yang dihasilkan pada penelitian ini adalah putih kekuningan dengan nilai derajat putih sebesar 44.1%. Nilai derajat putih ini dipengaruhi oleh suhu pengeringan. Pengeringan menggunakan oven pengering dengan suhu 60oC menghasilkan karamelisasi dan reaksi Maillard yang tidak terlalu tinggi. Karamelisasi dan reaksi Maillard menyebabkan terjadinya warna coklat pada tepung pisang. Semakin banyak terjadi karamelisasi dan reaksi Maillard pada proses pengeringan maka semakin coklat warna tepung pisang. Selain pengaruh suhu, bentuk bahan yang dikeringkan juga mempengaruhi derajat putih tepung pisang. Potongan pisang yang berbentuk chips memiliki luas permukaan bahan yang kontak dengan permukaan pengering lebih kecil dibandingkan potongan berbentuk lonjong (Budi, 1995) sehingga karamelisasi dan reaksi Maillard lebih kecil terjadi dan warna tepung pisang yang dihasilkan mempunyai derajat putih yang besar.

Menurut Hermawan (1982) ada dua proses pembuatan tepung pisang, yaitu proses basah dan proses kering. Pembuatan secara basah dilakukan dengan cara: pisang yang telah berbentuk bubur atau pasta dikeringkan dengan alat pengering drum drier atau spray drier. Pembuatan secara kering yaitu setelah dikupas, pisang diiris tipis. Hasil irisan tersebut dikeringkan dengan menggunakan alat pengering ataupun sinar matahari. Proses pengeringan tergantung pada suhu yang digunakan pada mesin pengering. Pengeringan dengan mesin pengering lebih terkontrol karena irisan pisang diletakkan di ruang tertutup sehingga kontaminasi mikroba dan debu dapat dikurangi. Selain itu, suhu pengeringan juga dapat diatur sesuai keinginan. Masalah utama yang sering timbul saat pembuatan tepung pisang menurut Hermawan (1982) adalah timbulnya warna coklat pada tepung yang dihasilkan. Maka dari itu, diperlukan perlakuan yang dapat mengurangi atau mencegah terjadinya pencoklatan tersebut. Cara yang dapat dilakukan untuk mencegah pencoklatan adalah blansir.

Penggilingan pisang dilakukan dengan menggunakan alat penggiling pin disc mill yang di dalamnya terdapat ayakan berukuran 60 mesh. Tepung pisang yang dihasilkan siap digunakan sebagai bahan pembuat banana bars. Analisis proksimat dilakukan untuk menentukan jumlah makronutrien dan kandungan kalori tepung pisang. Kandungan karbohidrat yang dimiliki

27 tepung pisang (91.94 %bk) lebih tinggi dibandingkan kandungan protein (4.72 %bk) dan lemaknya (0.89 %bk). Hal ini disebabkan oleh tingginya pati yang ada dalam tepung pisang (Crowther, 1979). Menurut Wills et al., (1981) karbohidrat pisang terdiri dari pati, gula-gula sederhana (glukosa, fruktosa, dan sukrosa), pektin, lignin, selulosa, dan hemiselulosa.

2. PEMBUATAN TEPUNG TEMPE

Beberapa keuntungan yang diperoleh dari pengeringan tempe, antara lain adalah berkurangnya volume dan berat bahan sehingga memudahkan dalam pengangkutan dan penyimpanannya (Winarno, 1985). Tempe yang digunakan dalam pembuatan tepung tempe adalah tempe yang telah difermentasi selama satu hari dengan tujuan untuk mengurangi rasa pahit yang ditimbulkan oleh kapang. Hasil analisis proksimat tepung tempe ditunjukkan pada Tabel 12.

Tabel 12. Hasil analisis proksimat tepung tempe

Komposisi Kandungan % (basis kering) Kandungan % (basis kering)* Kadar air %** 4.46 8.70 Kadar abu 2.09 2.52 Kadar protein 52.42 52.57 Kadar lemak 31.23 27.14

Kadar karbohidrat (by difference) 14,23 14.79

*Mardiah (1994)

** dinyatakan dalam basis basah

Kadar air hasil analisis proksimat maupun penelitian Mardiah (1994) berada di bawah ketentuan kadar air maksimal yang ditetapkan SNI untuk tepung-tepungan yaitu 15% (bb). Selain itu, menurut Winarno (1997) batas kadar air minimum dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14-15% (bb). Hal ini menunjukkan bahwa tepung tempe memiliki kualitas yang baik karena kadar airnya berada di bawah ketentuan kadar air maksimal SNI dan mencapai

Dokumen terkait