• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian tanah menurut pedologi dan etnopedologi pada usahatani pola dusung di Desa Allang, Kecamatan Leihitu Pulau Ambon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian tanah menurut pedologi dan etnopedologi pada usahatani pola dusung di Desa Allang, Kecamatan Leihitu Pulau Ambon"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN

TANAH

MENURUT

PEDOLOGI

DAN

ETNOPEDOLOGI

PADA

USAHATANI

POLA

DUSUNG

DI

DESA

ALLANG,

KECAMATAN

LEIHITU-PULAU

AMBON

SIMSON

LIUBANA

SEKOLAH

PASCASARJANA

INSTITUT

PERTANIAN

BOGOR

(2)

PERNYATAAN

MENGENAI

TESIS

DAN

SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Kajian Tanah Menurut Pedologi dan Etnopedologi Pada Usahatani Pola Dusung Di Desa Allang, Kecamatan Leihitu-Pulau Ambon” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2008

(3)

ABSTRACT

SIMSONLIUBANA. Soil Studies Based on Pedology and Etnopedology at Dusung Patern Farming In Allang Village, Leihitu Sub District-Ambon Island. Guided by DJUNAEDI A. RACHIM and KOMARUDDIN IDRIS

Land clearing practices recently in Ambon island are not done on the capability and suitability of land, and it is effecting degradations. One of the prime mover is dusung system has been left. The actually effects are decreasing of water discharge drastically compare with 10 to 20 years ago and coast shallowing like in Teluk Dalam area. On other hand, Allang village is one of villages in Ambon island that still hold and develope the dusung system, so this area is free from soil and land degradations. This system is based on local knowledge and local wisdom that have a positive influence to the soil, productivity and environment from generation to generation and it can be used as a solution to overcome the degradation to this day. Therefore this participatory research was carried out to learn their knowledge and wisdom. The aims of this research are 1) to identify and to classify the soil into pedology and ethnopedology system, 2) to appoint the differences between them, 3) to appraise relationship between soil characteristics and rate of soil fertility in dusung system. Participatory method used to learn how they know the soil and how to manage it. Results of this research show that soils can be clasisified as Typic Hapludults, have not been categorized in the other Hapludults on Lawa Hina dusung and Typic Kanhapludult, has not been categorized in the other Kanhapludult on Bandera dusung. Both of them have low to very low average fertility, according to its high removing of soil bases, effected by high rain fall on that area. These soils have low base saturation (less than 35%), and especially for Kanhapludult has low clay Cation Exchange Capacity (< 16 cmol/kg). The ages of these soils are old to very old. People of Allang village catogorized them into one category and they called it umena wakil tein or soils with the problems of very low fertilization. They have a simple characteristic to describe them, by observe the vegetations that growth on these soils: small and not fertile, soil color generally red to yellowish red.

(4)

RINGKASAN

SIMSONLIUBANA.Kajian Tanah Menurut PedologiDan Etnopedologi Pada Usahatani Pola Dusung Di Desa Allang, Kecamatan Leihitu-Pulau Ambon. Dibimbing oleh DJUNAEDI A. RACHIM dan KOMARUDDIN IDRIS

Praktek pembukaan lahan di pulau Ambon akhir-akhir ini kurang memperhatikan kemampuan dan kesesuaian tanah dan lingkungan sehingga menimbulkan berbagai kerusakan. Salah satu penyebabnya adalah pola dusung mulai ditinggalkan. Dampak yang sangat menonjol adalah berkurangnya debit air secara drastis pada beberapa sungai utama, dibandingkan dengan kondisi 10-20 tahun lalu dan pendangkalan daerah pesisir seperti daerah Teluk Dalam. Di sisi lain, Desa Allang merupakan salah satu satu desa di pulau Ambon yang masih tetap mempertahankan sistem usahatani pola dusung sehingga degradasi lahan tidak terjadi pada wilayah ini. Sistem ini didasarkan pada pengetahuan dan kearifan lokal yang telah berpengaruh positif terhadap tanah, produksi dan lingkungan dari generasi ke generasi, dan dapat dijadikan sebagai salah satu solusi terhadap berbagai degradasi lahan saat ini. Karena itu penelitian yang partisipatif ini dilakukan guna menggali pengetahuan dan kearifan lokal tersebut.

Penelitian ini bertujuan: 1) mengidentifikasikan karakteristik tanah dan pengelompokannya secara pedologi dan etnopedologi pada usahatani pola dusung, 2) menentukan kesamaan dan perbedaan antara sistem pengelompokan tanah berdasarkan etnopedologi dan pedologi, 3) mengkaji hubungan antara karakteristik tanah dan tingkat kesuburannya di dalam sistem usahatani pola dusung.

Penelitian ini berlangsung dari tanggal 5 Februari 2008 hingga tanggal 5 Mei 2008 dengan menggunakan metode pembelajaran secara partisipatif, bagaimana mereka mengenal tanah, mengelompokkan dan mengelolanya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah-tanah yang ditemukan adalah Hapludult Tipik dan Kanhapludult Tipik. Tanah-tanah ini memiliki kejenuhan basa rendah rata-rata < 35%) dan kation-kation basa umumnya rendah, yang disebabkan oleh tingginya curah hujan di daerah penelitian sehingga pencucian basa-basa meningkat. Tanah-tanah ini tergolong “tua-sangat tua“, ditinjau dari umur geologi. Berdasarkan pengetahuan masyarakat desa Allang, kedua satuan tanah ini dikelompokkan ke dalam satu kategori yaitu umena wakil tein atau tanah-tanah dengan masalah kesuburan sangat rendah. Karakteristiknya mudah bagi mereka untuk mengenal yaitu tumbuhan yang bertumbuh di atasnya kecil dan tidak subur, warna tanah umumnya merah sampai merah kekuningan. Tingkat kesuburan tanah pada profil Ps3 yang dianalisis umumnya rendah

kandungan C-organik secara umum rendah, walaupun pada horison A kandungannya cukup tinggi yaitu sebesar 3,07% namun pada horison E dan horison Bt adalah rendah

dan sangat rendah, masing-masing sebesar 1,82% dan 0,64%. Kandungan P dalam tanah ini umumnya sangat tinggi yaitu rata-rata 24,7 ppm P2O5 dari dua horison atas yang

(5)

secara umum sangat rendah pada semua horison kecuali horison A sebesar 1,63 termasuk kategori rendah. Kandungan N umumnya sangat rendah yaitu 0,10%. Kandungan P dalam tanah ini umumnya sangat tinggi pada horison A sebesar 15,6 ppm P2O5

sedangkan pada horison AB kandungan P rendah yaitu sebesar 6,4 ppm P2O5. Hal ini

berkaitan erat dengan sumbangan dari bahan organik secara alami dari sisa-sisa tanaman baik daun, bunga, batang, akar dll., yang gugur dan membusuk terutama horison A, sedangkan horison AB justru rendah karena kurangnya pasokan bahan organik. Kandungan K dalam tanah ini umumnya rendah.

Pada dusung Lawa Hina dengan satuan tanah Hapludult, memiliki produksi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan dusung Bandera, dengan satuan tanah Kanhapludult. Rata-rata produksi setiap tanaman yang diusahakan di dalam dusung Lawa Hina antara lain tanaman pala dapat berproduksi lebih dari 300 buah per pohon dalam sekali panen; kenari lebih dari 500 buah; kelapa kering atau yang telah tua 50-65 buah sekali panen dan cengkeh antara 5-10 kg berat kering per pohon dalam sekali panen. Dari seluruh tanaman yang diusahakan tersebut hanya cengkeh yang produksinya rendah jika dibandingkan dengan dusung Bandera yaitu 5-10 kg berat kering dalam sekali panen. Usahatani pola dusung dengan tanaman yang dominan pala memiliki produksi yang agak lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani pola dusung dengan tanaman dominan cengkeh. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan pola dusung sebenarnya dapat mengindikasikan perbedaan satuan tanah karena memiliki kaitan yang erat antara kandungan unsur hara di dalam tanah dengan kebutuhan tanaman untuk berproduksi. Nama tanah yang sama pada kategori tinggi terutama pada kategori order dan sub order belum dapat dijadikan indikasi adanya perbedaan produksi, kecuali pada kategori yang lebih rendah yaitu kategori great group, baru dapat memberi indikasi bahwa perbedaan nama tanah bisa dijadikan indikasi adanya perbedaan produksi. Tanah Hapludult dan Kanhapludult merupakan tanah-tanah yang bermasalah dengan kesuburannya, jika hendak dimanfaatkan untuk tujuan pertanian yang produktif karena umumnya memiliki tingkat kesuburan yang rendah-sangat rendah. Namun demikian masyarakat Allang memiliki kearifan tertentu dalam mengelola tanah-tanah tersebut.

Pengetahuan sains dan pengetahuan lokal tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya karena keduanya sama-sama memberi peran yang penting dan saling menunjang untuk kepentingan pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Pengetahuan sains kaya degan teori dan pengetahuan lokal kaya pengalaman. Apabila kedua pengetahuan ini dielaborasi dalam setiap perencanaan pembangunan, akan memberi manfaat yang besar dalam pembangunan pertanian yang berkelanjutan.

Kata kunci : dusung, pengetahuan lokal, kearifan lokal, partisipatif, satuan tanah, kelestarian

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya Karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

KAJIAN

TANAH

MENURUT

PEDOLOGI

DAN

ETNOPEDOLOGI

PADA

USAHATANI

POLA

DUSUNG

DI

DESA

ALLANG,

KECAMATAN

LEIHITU-PULAU

AMBON

SIMSON

LIUBANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Tanah

SEKOLAH

PASCASARJANA

INSTITUT

PERTANIAN

BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis :Kajian Tanah Menurut Pedologi dan Etnopedologi pada Usahatani Pola Dusung di Desa Allang, Keca- matan Leihitu-Pulau Ambon

Nama : Simson Liubana

Nrp. :A351060021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. Djunaedi A. Rachim Ketua

Dr.Ir.H. Komaruddin Idris Anggota

Diketahui

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB,

Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Ketua Program Studi

Ilmu Tanah,

Dr.Ir. H.A. Sutandi, MSi

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan karena kasih dan anugerahNya

penulisan tesis dengan judul: Kajian Tanah Menurut Pedologi dan Etnopedologi Pada Usahatani Pola Dusung Di Desa Allang, Kecamatan Leihitu-Pulau Ambon, berhasil diselesaikan.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi, penulis sampaikan kepada

Prof.Dr.Ir. Djunaedi A. Rachim dan Dr.Ir. H. Komaruddin Idris selaku pembimbing yang telah memberi banyak waktu, nasihat, ide, arahan, bimbingan serta motivasi selama penyelesaian studi, penelitian dan penulisan tesis ini. Kepada Dr.Ir. Hendro, kepala Laboratorium Mineral PPT, ibu Evi, kepala laboratorium Kimia PPT, bapak Pramuji, bapak Agus, yang telah membantu dalam analisis kimia dan mineral tanah diucapkan terima kasih.

Terima kasih dan penghargaan yang sama, penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah membantu mulai dari studi, penelitian dan penulisan tesis ini, terutama kepada:

1. Tuhan, karena Dia yang memberi hidup dan kesempatan studi di IPB 2. Rektor Universitas Pattimura yang memberi ijin studi di IPB

3. My soulmate, Heiske, istriku terkasih dan anugerah buah hatiku tersayang (dalam usia 5 bulan, 3 minggu), yang menginspirasiku, menyemangatiku untuk terus berjuang hingga saat ini.

4. Keluarga besar Liubana di Jakarta dan Kupang (k’ Yustus dan k’ Rini, k’ Lin dan k’ Nias serta semua anak-cucu serta ku dedikasikan tulisan ini buat almarhum ayah dan ibu tercinta, Michael Liubana dan Becina Fina), keluarga besar Liubana di Ambon (bapa Nelis, mama Mien dan adik-adik: Edi, Bai, Dora, Nani, Yeny, Niko, Bety, Titin, Ina, Zeth, Ing, John serta semua anak cucu), terima kasih atas dukungan dan doa kalian

5. Keluarga besar Kaengke di Manado, bapa Oen, mama Dorintje dan adik-adik Stenly, Hendra, dan Emon, yang setia untuk terus mendoakan dan mendukungku.

(11)

6. Ir. J.R. Patty, Msi yang memberi perhatian dan doa, lebih dari perhatian seorang kaka. Terima kasih kaka Opi

7. Dr. Ir. A. Jacob, MS, ibu dan anak-anak (Grace dan Caroline), Ir. W.A. Siahaya, Msi, Ir. J.P.K. Tipka, Mhum dan istri, Ev. Johni Paais dan istri serta Dr. Ir. Jerry Salamena, Msi dan istri, yang banyak membantu dan mendoakan.

8. Keluarga bapa Nyong Patty, mama Aci, Bu John, usi Merry dan anak-anak yang bersedia membantu selama penelitian

9. Teman-teman Permama yang telah memberi dorongan dan dukungan doa; teman-teman kos P12 (Nona, Edi, Max, Degen, Marko) dan kos Abimanyu (Yan, Im, Dula dll) atas dukungan doa, dorongan serta kebersamaan selama ini.

10.Rekan-rekan Perkantas Ambon, Bogor dan Jakarta

Semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan diberkati Allahku yang berlimpah kasih karuniaNya sekarang dan selamanya.

Bogor, September 2008

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di desa Konbaki/NTT pada tanggal 15 Januari 1966 sebagai anak ketiga dari tiga (3) bersaudara dari pasangan Michael Liubana (almarhum) dan Becina Fina (almarhumah). Tahun 1985 penulis lulus SMA Negeri 2 Ambon. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon, dan lulus tahun 1991. Pada tahun 1995, diangkat sebagai staf pengajar pada Program Studi Ilmu Tanah, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...………... DAFTAR GAMBAR ...…………...……….………….... DAFTAR LAMPIRAN ...………...

ii iii iv

PENDAHULUAN ... Latar Belakang ….………....………... Tujuan ...…..……...………... Manfaat Penenlitian ... Hipotesis ... Rumusan Masalah ………..………..………...……... Kerangka Pemikiran ...….……...………..………...

1 1 2 2 3 3 4 TINJAUAN PUSTAKA………...

Pengetahuan Sains dan Klasisfikasi

Tanah Pedologis ...………... Pendekatan Partisipatif …... Pengetahuan Lokal dan Klasifikasi Tanah

Etnopedologis ... Dimensi Pengetahuan Tanah Secara Etnopedologi ... Produktivitas Tanah ………... Usahatani Pola Dusong dan Manfaatnya…………...

7 7 8 9 11 13 14 METODE PENELITIAN………...

Lokasi dan Waktu Penelitian ... Alat dan Bahan ... Metode Penelitian ...…..………... Pendekatan dan Tahapan ...

17 17 17 17 18 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN..…...……… Letak Administratif dan Geografis ………... Jumlah Penduduk ………... Tingkat Pendidikan ………. Iklim ……….………... 20 20 21 21 22 HASIL DAN PEMBAHASAN ………... Dusung dan Penyebarannya ... Pengetahuan Sains Tanah (Soil Science Knowledge) ………… Tingkat Kesuburan Tanah ……….. Pengetahuan Lokal ………...

25 25 26 38 40 KESIMPULAN DAN SARAN ... Kesimpulan ... Saran ...

(14)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Masyarakat yang Klasifikasi Tanah Lokalnya telah dilaporkan serta Pentingnya Tekstur dan Warna dalam Klasifikasi Ini (Ettema, 1994)

……..…………... 10

2. Jumlah Penduduk Menurut Klasifikasi Umur ……….. 21

3. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ………... 22

4. Curah Hujan Pulau Ambon 10 Tahun Terakhir ... 23

5. Suhu Pulau Ambon 10 Tahun Terakhir ... 24

6. Sifat Marfologi Profil Pewakil Dusung Lawa Hina ... 27

7. Sifat Kimia Profil Pewakil Dusung Lawa Hina ... 29

8. Hasil Analisis Mineral Tanah Hapludult dan Kanhapludult ... 29

9. Sifat Marfologi Profil Pewakil Dusung Bandera ……….. 32

10.Sifat Kimia Profil Pewakil Dusung Bandera .………... 32

11.Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah (Staf Pusat Penelitian Tanah, 1983) ... 38

12.Produktivitas Tanaman Dominan Dalam Dusung ………... 39

13.Beberapa istilah Lokal mengenai Tanah oleh Masyarakat desa Allang dan Padanannya dengan istilah Sains (Soil Taxonomy, 2006) ... 42

(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Tanah rusak, lingkungan rusak ... 3

2. Sedimentasi di muara sungai, akibat alih guna lahan hutan menjadi pemukiman di Passo, Ambon ... 3

3. Pendekatan Pengetahuan (Sains dan Lokal) Tanah sebagai dua sisi Mata Uang ... 5

4. Analisis Karakteristik Tanah Secara Partisipatif ... 19

5. Peta Lokasi Penelitian ... 20

6. Profil Ps3 ... 26

7. Difraksi Sinar X-Profil Ps3 ... 30

8. Profil Ps5 ... 31

9. Difraksi Sinar X-Profil Ps5 ... 34

10. Hapludult yang tidak dimanfaatkan ... 35

11. Dusung Pada Hapludult ... 35

12. Hasil Dusung pala pada Hapludult ... 35

13. Kanhapludult Yang Tidak Dimanfaatkan ... 36

14. Dusung Pada Kanhapludult ... 36

15. Dusung Pada Kanhapludult ... 36

16. “Sooh”, sebagai tempat berteduh ... 43

(16)

No. Teks Halaman

1. Uraian Profil Ps3 ... 50

2. Uraian Profil Ps5 ... 51

3. Bahan diskusi dalam focus group discussion ………. 52

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena di atas tanah manusia melakukan berbagai aktivitas untuk melangsungkan kehidupannya. Selama ini tanah berfungsi sebagai media untuk menyediakan kebutuhan pokok manusia seperti pangan, sandang, papan dan obat-obatan (Soil Survey Staff, 1975).

Studi tentang tanah khususnya di bidang klasifikasi, pada umumnya lebih didasarkan pada pengetahuan pedologis. Secara nasional HITI pada tahun 1987 telah menetapkan Taksonomi Tanah USDA untuk dipakai di Indonesia. Sistem ini bersifat komprehensif, sistematis, kuantitatif dan logis. Sistem ini didasarkan pada sifat-sifat tanah itu sendiri, sehinga memungkinkan semua tanah dapat diklasifikasikan.

Rachim (2003), mengemukakan bahwa pemahaman yang sama terhadap suatu tanah adalah syarat yang diperlukan dalam menjalin komunikasi yang bermanfaat.

Dikatakan pula bahwa salah satu fungsi dari klasifikasi tanah adalah mempermudah komunikasi berkenaan dengan hal-hal yang melibatkan tanah baik di kalangan akademisi maupun kalangan umum. Masyarakat tertentu telah memiliki pengetahuan secara holistik mengenai tanah di sekitarnya untuk berbagai keperluan hidup mereka, karena telah bertahun-tahun memanfaatkan tanah pertaniannya secara selektif dan tepat guna bagi pengembangan komoditas tertentu.

Masyarakat desa Allang, Kecamatan Leihitu, pulau Ambon, merupakan salah satu masyarakat yang memiliki pengetahuan lokal dan terpelihara berkenaan dengan tanah dan pengelolaannya di mana tanah yang dimiliki dengan segala keterbatasannya dikelola secara arif, sehingga menjadi produktif dan lestari dari generasi ke generasi. Hal ini berpengaruh positif terhadap tanah dan lingkungannya, sehingga terpelihara kesinambungannya. Dalam kaitan tersebut maka secara umum pengetahuan tanah dapat dikategorikan atas dua jenis, yaitu pengetahuan sains (science knowledge)

(18)

Berdasarkan kenyataan di atas, maka dalam penerapannya mungkin akan ditemukan kelemahan dan kelebihan masing-masing baik pengetahuan sains maupun pengetahuan lokal yang selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam penilaian tanah dan pengembangan program pembangunan pertanian berkelanjutan. Dari sisi pengetahuan lokal, wilayah-wilayah spesifik berskala mikro, bisa saja belum sepenuhnya tersentuh oleh pengetahuan sains karena keunikannya. Pengetahuan lokal masyarakat desa Allang terhadap tanah telah melahirkan sistem pengelolaan yang boleh dikatakan “sustainable”, pada sistem usahatani mereka yang dikenal dengan istilah ”dusung“ atau ”dusong“. Dusung di desa Allang khususnya dan Kecamatan Leihitu pulau Ambon umumnya merupakan sistem budidaya tanaman buah-buahan, tanaman kehutanan, tanaman palawija, rempah-rempah dan sayur-sayuran serta tanaman pertanian lainnya yang dikelola oleh masyarakat setempat sehingga kebutuhan hidup dapat terpenuhi, tetapi lingkungan terpelihara dan terhindar dari degradasi sehingga aspek kelestarian dan konservasi juga terjamin.

Sistem dusung memiliki pola yang unik yang dicirikan oleh penggunaan lahannya, sesuai jenis tanaman yang dikembangkan berdasarkan pengetahuan masyarakat tentang lingkungan tanah dan ekosistemnya.

Salah satu kelemahan pengetahuan lokal adalah tidak tertulisnya pengetahuan tersebut untuk memperkaya pengetahuan sains. Karena itu penelitian ini dilakukan untuk menggali pengetahuan ini melalui penelitian partisipatif, sebagaimana yang telah dilaksanakan.

Tujuan Penelitian

a. Mengidentifikasikan karakteristik tanah dan pengelompokkannya secara pedologi dan etnopedologi pada usahatani pola dusung.

b. Menentukan kesamaan dan perbedaan antara sistem pengelompokkan tanah berdasarkan etnopedologi dan pedologi.

(19)

3

Manfaat Penelitian

a. Pengelompokan tanah secara pedologi dan etnopedologi dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pembangunan pertanian yang berkelanjutan.

b. Pengetahuan masyarakat, bermanfaat untuk menilai hubungan antara karakteristik tanah dan tingkat kesuburannya, sekaligus tindakan melestarikan alam.

c. Sistem usahatani pola dusung dapat dikembangkan di berbagai wilayah di Indonesia.

Hipotesis

a. Secara pedologis, setiap perbedaan pola dusung memiliki satuan tanah yang berbeda pula

b. Pengetahuan dan kearifan lokal tanah dalam usahatani pola dusung berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah dan kelestarian alam serta lingkungan sekitar. c. Pengetahuan lokal mengenai tanah dapat memberi sumbangan yang berarti bagi

pengetahuan sains.

Rumusan Masalah

Praktek pembukaan lahan di pulau Ambon akhir-akhir ini kurang memperhatikan kemampuan tanah dan lingkungan secara keseluruhan, sehingga mengakibatkan kerusakan yang tidak dapat terelakkan. Berdasarkan kesimpulan dari wawancara terstruktur beberapa tokoh masyarakat di daerah ini, antara lain: Prof. Dr. Ir. J.E. Louhenapessy, Guru Besar Fakultas Pertanian Unpatti (ahli Tanah dan Evaluasi Lahan), Bapak Dominggus Lodyik Sinanu, penerima Kalpataru tahun

Gambar 1. Tanah rusak, lingkungan rusak Gambar 2. Sedimentasi, akibat alih guna lahan hutan

(20)

1981 dan Satya Lencana Pembangunan Birakarya Nasional tahun 1995 serta Bapak R.P. Patty, Tokoh Adat Masyarakat desa Allang dan Ir. J.R. Patty, Msi., pengamat pembangunan pertanian dan lingkungan hidup dari Fakultas Pertanian Unpatti; bahwa kerusakan lingkungan yang sangat terasa saat ini adalah akibat dari pola dusung/dusong, warisan leluhur mulai ditinggalkan oleh generasi sekarang. Dampak yang menonjol yaitu berkurangnya debit air secara drastis pada beberapa sungai utama, bahkan ada yang telah mengalami kekeringan jika dibandingkan dengan kondisi 10-20 tahun lalu. Selain itu pendangkalan daerah pesisir seperti daerah Teluk Dalam, akibat pengembangan perumahan oleh developer yang tidak memperha-tikan daya dukung tanah dan lahan (Gambar 1 dan 2).

Beberapa permasalahan mendasar dalam mempertahankan dan mengembangkan pola dusung oleh masyarakat adalah:

a. Bagaimana cara masyarakat desa Allang mengenal karakteristik tanah di dalam mengembangkan usahatani pola dusung?

b. Bagaimana mereka mengelola tanah dalam usahatani pola dusung tertentu selama ini sehingga dapat menjamin: produktivitas, kelestarian lingkungan, tindakan konservasi sumber daya tanah dan meningkatkanperekonomian mereka?

c. Bagaimanakah hubungan karakteristik dan tingkat kesuburan tanah dalam suatu sistem usahatani pola dusung tertentu?

Kerangka Pemikiran

(21)

5

berdasarkan pengetahuan sains dan pengetahuan lokal yang dapat digambarkan sebagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan (Gambar 3).

s s s l i a i o

s i s k i n i a s l

Gambar 3. Pendekatan Pengetahuan (Sains dan Lokal) Tanah Sebagai Dua Sisi Mata Uang

Tanah merupakan salah obyek yang dapat dimanfaatkan banyak kalangan dengan fungsi yang berbeda menurut pengguna, dan keberadaannya dapat dipelajari dari berbagai aspek. Pandangan mengenai tanah baik pengetahuan sains maupun pengetahuan lokal, keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang menjadikan uang itu bernilai. Masyarakat sains memandang tanah secara sederhana dengan indikator karakteristik diagnostik akan sangat relevan untuk pemanfaatan yang benar dan lestari sementara masyarakat lokalpun memahami tanah secara sederhana dengan

Pengetahuan Lokal Pengetahuan

Sains

Penyederhanaan Pengetahuan Tanah

Indikator Lokal Tanah Pada Usahatani Pola Dusung

Identifikasi Karakteristik Diagnostik

Identifikasi Indikator Lokal Tanah

Tanah dan Kesuburannya

Pada Usahatani Pola Dusung

Pengetahuan Tanah Sains-Lokal

R E L E V A N S I P E N G U A T A N

(22)

indikator-indikator lokal untuk aktifitasnya dalam mencapai produksi pertanian yang maksimum.

(23)

TINJAUAN

PUSTAKA

Pengetahuan Sains dan Klasisifikasi Tanah Pedologis

Salah satu ciri utama pengetahuan sains adalah terkomunikasi secara baik sehingga pengetahuan tersebut dapat dibaca dan diuji setiap saat. Sebagian dari pengetahuan sains tentang tanah tercakup di dalam Klasifikasi Tanah Pedologi. Sistem klasifikasi pedologis yang dikenal luas saat ini adalah sistem Taksonomi Tanah USDA (Soil Taxonomy). Sistem ini disusun secara komprehensif dengan melibatkan banyak ahli tanah di dunia karena salah satu tujuannya adalah agar dapat mengklasifikasikan semua tanah di manapun keberadaannya.

Sistem Taksonomi Tanah disusun atas dasar kelemahan dan kekurangan sistem yang lama yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu terkini. Beberapa kelemahan sistem lama di antaranya tidak ada kejelasan hirarkhi antara kategori rendah dan tinggi, serta tidak ada definisi yang jelas dan tepat pada masing-masing kategori.

Dalam aplikasi di lapangan, dapat terjadi suatu tanah tidak dapat dikelaskan ke salah satu kategori manapun, atau bisa jadi satu tanah dapat masuk ke dalam dua kategori atau lebih yang berbeda. Di samping itu sistem klasifikasi sebelumnya tidak disusun berdasarkan adanya kemungkinan ilmu pengetahuan itu sifatnya berkembang, sehingga perubahan-perubahan dan penemuan-penemuan baru di bidang tanah tidak diantisipasi (Rachim, 2003).

Untuk memecahkan masalah di atas dan memenuhi semua keperluan survei tanah, maka sistem Taksonomi Tanah disusun secara komprehensif, sistematik, logik dan kuantitatif. Pembeda klasifikasi yang digunakan adalah sifat-sifat tanah hasil proses pembentukan tanah dan faktor-faktor yang sangat penting mempengaruhi proses tersebut. Ciri pembeda dapat bersifat lebih umum, tapi untuk kategori rendah adalah dipilih yang penting terhadap pertumbuhan tanaman (Soil Survey Staff, 1975).

Sistem Taksonomi Tanah disusun dengan tujuan untuk survei tanah dan interpretasinya. Dengan demikian sistem ini tidak hanya sekedar memberi nama terhadap tanah, tetapi lebih jauh dapat menginterpretasi hingga manajemen/pengelolaannya.

(24)

sifat-sifat penciri ditetapkan dengan metode analisis yang sama dan sesuai dengan sifat-sifatnya yang sistematik. Melaksanakan klasifikasi memiliki urut-urutan yang baku termasuk tatanamanya. Untuk lebih memudahkan pengkelasan dan diharapkan akan mengklasifikasikan tanah yang sama dengan hasil nama yang sama pula, maka sejak tahun 1987 sistem ini disertai dengan Buku Kunci Klasifikasi Taksonomi Tanah. Sistem Taksonomi Tanah disusun demikian rupa khususnya dalam nomenklatur bukan milik suatu negara tertentu. Semua negara dapat mengadaptasikan ke dalam bahasa masing-masing. Indonesia sejak tahun 1989 telah menetapkan Sistem Taksonomi Tanah untuk digunakan secara nasional (Rachim, 2003).

Dasar penyusunan sistem klasifikasi Taksonomi Tanah adalah bersifat logik, sistematik dan kuantitatif. Logik, segala sesuatu berkenaan dengan klasifikasi dapat dipahami menurut akal pikiran yang sehat. Dalam hal ini segala sesuatu dalam sistem mempunyai hubungan kausalitas, sehingga baik susunan maupun cara klasifikasi dapat dipahami melalui penalaran. Sistematik, ada keteraturan dalam segala hal menyangkut kerangka sistem maupun pelaksanaannya. Kerangka yang demikian memiliki arti dan

tujuan yang jelas. Sedangkan pelaksanaan klasifikasi memiliki urut-urutan yang baku, dan tata nama dilakukan dengan kaidah-kaidah yang jelas. Sementara itu sifat kuantitatif

menunjukkan bahwa penciri klasifikasi yang digunakan dalam identifikasi dan penamaan tanah memiliki besaran atau kisaran nilai yang pasti dan ditetapkan dengan metode analisis tertentu baik di lapangan maupun di laboratorium (Rachim, 2003).

Pendekatan Partisipatif

Partisipatif berarti partisipasi atau ikut ambil bagian. Makna partisipasi yang disadur dan disimpulkan oleh Liubana (2004) dari konsepsi menurut Chambers (1992 dan 1996), bahwa ada masyarakat asli suatu wilayah misalnya masyarakat desa dan ada pendatang (surveyor atau peneliti) yang menggunakan input teknologi untuk diterapkan. Proses partisipatif menurut Liubana (2004), mengandung makna di manaada interaksi saling berbagi dan saling belajar: dari, oleh dan dengan masyarakat, sehingga tidak ada guru yang menggurui tetapi saling menghargai, saling membutuhkan dan saling menghormati”.

(25)

9

bahwa pengetahuan masyarakat yang berinteraksi dengan tanah-tanah mereka dalam jangka waktu yang lama bahkan dari generasi ke generasi dapat memberi banyak masukan tentang pengelolaan yang lestari (sustainable management) dari tanah-tanah tropik.

Menurut Oudwater dan Marthin (2003), pengetahuan lokal merupakan salah satu sumber daya yang bernilai yang berperan penting dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan memainkan peranan sentral dalam program pembangunan saat ini. Karena itu menurutnya, pengetahuan lokal sangat berguna dan perlu diintegrasi-kan dalam kegiatan-kegiatan penelitian termasuk penelitian deskriptif yang memanfaat-kan sistem klasifikasi tanah lokal dan membandingmemanfaat-kannya dengan sistem klasifikasi keilmuan konvensional yang digunakan selama ini.

Penelitian yang terintegrasi dan sifatnya partisipatoris sangat penting karena beberapa hal: (1) peneliti akan mendapat wawasan lebih luas mengenai masalah yang ada dan solusi potensial dari sudut pandang petani dan menemukan hal-hal yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya, (2) metode dan konsep para petani yang lebih

banyak berinteraksi dengan alam. Dalam hal ini percobaan-percobaan lapangan maupun laboratorium, (3) peneliti menjadi lebih sadar mengenai perbedaan antara prioritas dan tujuan dari petani dan tujuan dari para ilmuwan yang diharapkan dapat menyesuaikan isi, rancangan dan kriteria evaluasi percobaan ilmiah, (4) peneliti semakin memahami agroekologi setempat dan kondisi sosial ekonomi serta bagaimana industri yang diperkenalkan dapat diadaptasikan dengan lebih baik kepada mereka, (5) melalui modifikasi yang dilakukan oleh petani terhadap teknologi yang diperkenalkan dan dengan mendiskusikan modifikasi tersebut dengan petani, ilmuwan dapat mengidentifikasikan komponen teknologi yang harus dipelajari lebih lanjut untuk mensahihkan hasil atau mencari alternatif yang lebih baik (Reijntjes et al., 1999).

Pengetahuan Lokal dan Klasifikasi Tanah Etnopedologis

(26)

skil dan teknologi masyarakat lokal yang didapat langsung dari interaksi mereka dengan lingkungan alam. Bahwa informasi ini diteruskan dari generasi ke generasi sehingga menjadi suatu sistem pengetahuan mengenai sumber daya alam dan proses ekologi yang relevan.

Klasifikasi tanah etnopedologi ditemukan di berbagai belahan dunia dan telah didokumentasikan terutama bangsa-bangsa di Amerika Latin, Asia Tenggara dan Afrika (Tabel 1). Mereka mendasarkannya pada pelaksanaan pengelolaan, seperti penentuan praktis pengawetan tanah/konservasi tanah dan lain-lain (Weinstock, 1984; Marten & Vityakon, 1986; dan Pawluk et al, 1992 dalam Ettema, 1994).

Tabel 1. Masyarakat yang klasifikasi tanah lokalnya telah dilaporkan serta pentingnya tekstur dan warna dalam klasifikasi ini (Ettema, 1994)

Sumber Masyarakat (dari) Dasar Klasifikasi*

Tekstur Warna

Bellon dan Taylor, 1993 Chiapas, S. Mexico 2 1

Williams dan Ortiz-Solorio, 1981 Tepetlaozoc, E. Mexico 2 1

Carter, 1969 Masyarakat Kekchi, Guatemala 1 1

Furbee, 1989, Guillet, 1992 Masyarakat Lari di Peru 1 2

Behrens, 1989 Masyarakat Shipibo, Peru 1 -

Stacishin de Queiroz dan Norton, 1992 Wilayah Caatinga, Brazil 1 2

Posey, 1989 Masyarakat Mebengokre, Brazil 1 1

Zimmerer, 1994 Cochabamba, Bolivia 1 2

Knapp, 1991 Andes, Ecuador 1 -

Ollier et al., 1971 Masyarakat Baruya, New Guinea - 1

Conklin, cited in Marten&Vityakon, 1986 Masyarakat Hanunoo, Phillipines 1 2

Marten&Vityakon, 1986 Jawa, Indonesia 1 1

Marten&Vityakon, 1986 Thailand 1 1

Malinowski, dalam Weinstock, 1984 Kepulauan Trobriand, Melanesia 1 1

Weinstock, 1984 Malaysia ? ?

Taylor-Powell et al., 1991 Hamdallaye, Niger 2 1

Osunade, 1989, 1992ab Masyarakat Yoruba, Nigeria 1 2

Dialla, 1993 Masyarakat Mossi, Burkina Faso 1 2

Malcolm, dalam Weinstock, 1984 Masyarakat Sukuma, Tanzania 1 1

Arntzen, dalam Reijntjes et al., 1992 Gabarone, Botswana 1 ?

*1= primer, klasifikasi terpenting, 2= klasifikasi sekunder, dapat disimpulkan dari informasi yang tersedia. Jika dua ‘1’s yang diberikan, berarti tidak dapat dibedakan ordernya di antara dua kelas.

(27)

11

telah meluas dan terstruktur berdasarkan realitas yang ada di alam sesuai pemahaman masyarakat (Berlin’s,1992 dalam Ettema, 1994). Sebagaimana hubungan yang ditemukan dalam Klasifikasi Etnobiologi, demikian juga Klasifikasi Tanah Lokal, dapat dianalogkan dengan pemahaman ini (Weinstock’s, 1984 dalam Ettema, 1994), di mana pendekatan praktikal dipakai untuk memahami antara dimensi fisik (physical dimension) dan dimensi persepsi (perceptual dimension) dari klasifikasi. Dimensi fisik memperhatikan kriteria yang dapat dilihat yang digunakan para petani untuk membedakan tanah mereka, memanfaatkan terminologi yang dapat dilihat, dirasa, diuji atau dicium baunya dan lain-lain (Osunade, 1992b dan Berlin’s, 1992 dalam Ettema, 1994) untuk menamakan karakteristik tanah secara alami. Umumnya terdapat dua karakteristik fisik tanah yang biasanya dipakai sebagai dasar dari Klasifikasi Tanah Lokal di seluruh dunia yaitu tekstur dan warna (Tabel 1). Kriteria dimensi persepsi tidak dapat dilihat secara fisik seperti dimensi fisik namun dapat dipahami melalui kepekaan sebagai karakteristik tanah. Sebagai contoh, kelas kesesuaian untuk beberapa tanaman, kelas sensitifitas terhadap masalah pertanian dan kelas-kelas non pertanian didasarkan pada penggunaan tanah

sebagai penahan bangunan dan material lainnya. Umumnya hal-hal ini jelas merefleksikan dan diprioritaskan secara relevan oleh pencipta sistem (Pawluk et al, 1992 dan Stacishin de Queiros & Norton, 1992 dalam Ettema, 1994) dan pendekatan manfaat dari Posey (1984 dalam Ettema, 1994).

Dimensi Pengetahuan Tanah Secara Etnopedologi

Dimensi Fisik

(28)

organik, kondisi kelembaban, dan cacing tanah (Osunade, 1989 dalam Ettema, 1994). Secara umum tanah berwarna gelap lebih subur dari pada tanah berwarna terang, yang diasosiasikan dengan kandungan bahan organik. Para petani di Nigeria membedakan tiga kelas warna dan ini dihubungkan dengan degradasi lahan yaitu tanah hitam (labu biri = istilah menurut bahasa mereka), yang lebih subur dan secara relative mengandung lebih banyak bahan organik, berubah ke tanah putih (labu kware) jika telah diolah dan erosi menyebabkan unsur-unsur hara telah hilang. Degradasi selanjutnya menghasilkan tanah merahatau abu kirey (Taylor-Powell et al., 1991 dalam Ettema, 1994).

Pendapat berikutnya adalah dengan meraba yang merujuk kepada penetapan tekstur tanah. Orang Yoruba di Nigeria menaruh tanah di antara dua jari dan dapat menceriterakan mana yang dikatakan yanrin (tanah berpasir), bole (tanah berliat) atau alaadun (tanah lempung), atau tekstur di antara seperti bole alaadun (lempung berliat). Masyarakat Lari di Peru mengelompokkan tanah ke dalam delapan kelas terutama didasarkan atas tekstur tanah (Furbee, 1989, Guillet, 1992 dalam Ettema, 1994).

Rasa digunakan untuk menetapkan kemasaman dan kegaraman. Sebagai contoh,

para petani di Malaysia mengelompokkan tanah basa (tanah payau) atas dasar rasa manis, netral untuk tanah yang tawar rasanya, masam untuk tanah yang bereaksi masam yang relative sama dengan konsep Barat tentang pH tanah (Weinstock, 1986 dalam Ettema, 1994). Suatu kasus yang menarik ditemukan dalam masyarakat Lari di Peru, yang memiliki suatu takson tanah yang terpisah yang dapat dimakan (sepertinya berlawanan dengan pertanian). Beberapa tanah di daerah tundra yang tinggi, tanah sangat kaya dengan garam dan dapat dimakan sebagai rempah-rempah, atau diberikan sebagai penambah nafsu makan bagi makanan hewan peliharaan mereka (Furbee, 1989 dalam Ettema, 1994).

Dimensi Perseptual

(29)

13

jalar dan tidak akan cocok untuk keladi atau talas), butuma (tanah sangat baik untuk talas, tidak cocok untuk ubi jalar). Malala (tanah tidak cocok untuk ubi jalar tetapi baik untuk keladi), sawewo (tanah cocok untuk talas besar), galaluwa (tanah mungkin cocok untuk semua tanaman budidaya) dan kwala (tanah sangat subur, baik untuk semua tanaman) (Weinstock, 1984 dalam Ettema,1994). Selanjutnya Carter (1969) dalam Ettema (1994) mengemukakan bahwa orang-orang Lekchi dari Guatemala membentuk klasifikasi tanah mereka terutama untuk sistem usahatani mereka yang dikenal dengan istilah milpa (suatu campuran usahatani terdiri dari jagung, kedelai, dan labu yang mereka lakukan dalam bentuk perladangan berpindah-pindah) menggunakan warna, tekstur, drainase, dan kandungan akar sebagai kriteria sesuai tidaknya tanah.

Produktivitas Tanah

Kemampuan tanah untuk menghasilkan produksi pertanian mulanya dikembangkan di Cina pada tahun 4000-5000 SM merupakan pengetahuan tertua dalam mengelompokkan tanah yang dikenal dengan klasifikasi tanah tertua. Penduduk yang

semakin bertambah semakin membutuhkan akan pentingnya peranan tanah dalam memproduksi hasil tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup. Pairunan dkk., (1985) berpendapat bahwa salah satu aspek yang paling kritis dalam penggunaan dan pengelolaan tanah adalah meningkatkan dan mempertahankan kapasitas tanah untuk menghasilkan tanaman sebagai sumber bahan makanan, kayu dan serat. Kapasitas tanah dimaksudkan sebagai produktivitas tanah yang dapat dinyatakan dalam produksi tanaman dan merupakan fungsi semua faktor pertumbuhan tanaman yaitu cahaya, tunjangan mekanik, udara, suhu, air dan unsur hara. Selanjutnya dikatakan bahwa produktivitas tanah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berpengaruh negatif seperti penyakit, hama, kegaraman dan berbagai bahan beracun serta kondisi iklim setempat.

(30)

1985) yang hingga saat ini masih sangat relevan untuk diterapkan mengingat kerusakan lingkungan akibat praktek usahatani yang hanya mengutamakan produktifitas tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan.

Usahatani Pola Dusung dan Manfaatnya

Usahatani pola dusung yang diterapkan masyarakat desa Allang, Kecamatan Leihitu pulau Ambon dan sekitarnya secara turun temurun sebenarnya merupakan bentuk agroforestry yang pola penerapannya begitu teratur dan sangat bermanfaat baik secara ekonomis maupun secara ekologis. Manfaat ini tidak hanya dinikmati penanamnya saja, karena kalau ditinjau dari segi usia tanaman-tanaman tahunan yang berdiameter lebih dari dua sampai tiga meter bahkan lebih, maka itu berarti telah berumur lebih dari 3-4 generasi. Pemilikan dusung diatur sedemikian rupa sehingga anak cucupun dapat menikmati hasil dusung disamping itu mereka juga mengembangkan usahatani tanaman umur pendek (sayur-sayuran dan tanaman obat lainnya) sebagai tanaman sela di antara pohon buah-buahan di dalam suatu pola dusung.

Pertimbangan utama usahatani pola dusung antara lain karakteristik tanah dan potensi produktivitasnya, sistem pengelolaan tanah yang mendukung produktivitas dan kelestarian, jenis tanaman yang dapat diusahakan, batasan luasan yang dapat dikelola serta faktor lingkungan lainnya yang menunjang pertumbuhan dan produktivitas tanaman yang diusahakan. Pengelolaan lahan yang baik dan berguna adalah bila berdasarkan pemahaman yang tepat atas ekologi, lingkungan dan ekonomi dari pengelolaan lahan tersebut. Rumusan tersebut di atas sering menjadi pertimbangan petani dalam pengembangan dan pengelolaan lahan ke arah peningkatan produktivitas yang tinggi (Sabarnurdin, 2002).

(31)

15

dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan sekunder yang karenanya disebut sebagai agroforest.

Usahatani pola dusung atau dusong memberikan hasil yang telah terbukti bertahun-tahun dinikmati oleh masyarakat desa Allang dan sekitarnya sekaligus dapat menciptakan lingkungan yang sehat dan lestari karena di dalamnya tumbuh berbagai jenis tanaman baik tahunan maupun setahun sehingga kelestarian alam dan keseimbangan ekosistem tetap terpelihara, serta mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Dusung tanaman buah bisa saja terdiri dari beberapa tanaman misalnya durian, gandaria, langsat, manggis, dukuh, jambu yang telah diyakini dapat bertumbuh, berkembang dan berproduksi baik di atas tanah yang dijadikan dusung tersebut. Pola ini disesuaikan dengan kebutuhan yang terdiri dari berbagai jenis tanaman yang dikehendaki berdasarkan nilai ekonomis dan nilai ekologis bagi masyarakat setempat.

Manfaat usahatani pola dusung menurut Wattimena (2007) antara lain secara (1) ekonomi, (2) ekologi dan (3) secara adil dan manusiawi.

(1) Secara ekonomi berarti petani bisa dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidup dari dusung tersebut. Fungsi dusung mirip dengan fungsi pekarangan di mana seluruh kebutuhan hidup mulai dari pangan, bahan bangunan serta uang cash berasal dari dusung. Di dalam pola dusung diatur sehingga ada tanaman yang menghasilkan sepanjang tahun seperti kelapa, coklat, pala, kenari dan ada pula yang menghasilkan musiman seperti cengkeh, pala, durian, dukuh, gandaria dsb. Dari dusung juga didapatkan kebutuhan daging seperti kusu, burung dan kalong. Burung-burung nuri, kasturi, kakatua, perkici dan kring-kring memiliki harga yang cukup tinggi sebagai penghasil uang cash.

(32)

- Tanaman menciptakan makanan dan breeding place bagi burung-burung dan mamalia yang mendiami dusung tersebut.

- Iklim mikro terciptakan dan cocok bagi masing-masing komponen (strata).

- Menghasilkan senyawa kimia yang mendorong perkembangan dan pertumbuhan tanaman atau senyawa kimia yang menghambat pertumbuhan gulma (alelopati). - Mengendalikan populasi hama, penyakit dan gulma jauh di bawah ambang

ekonomis (contoh: cacao moth pada coklat). - Mobilisasi unsur hara di dalam ekosistem tersebut.

- Mengkonservasi air dan mengoptimalkan pemakaiaannya.

- Mengkonservasi berbagai keragaman genetik dengan fungsi yang berbeda dalam menstabilkan ekosistem tersebut.

(3) Secara adil dan manusiawi; hasil dusung dapat dimanfaatkan juga oleh bagi orang yang tidak memiliki dan martabat dasar semua makluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) dihormati. Peraturan mengenai usu (memungut yang jatuh) dan sasi (peraturan pemungutan hasil) mengandung unsur-unsur keadilan dan manusiawi di

(33)

METODEPENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian lapangan dilaksanakan di desa Allang, Kecamatan Leihitu-pulau Ambon, mulai dari tanggal 5 Februari 2008 hingga tanggal 5 Mei 2008.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bor tanah, buku munsell soil colour chart, pisau lapang, kompas, alat tulis menulis, tape recorder, camera digital dll.

Metode

Metode yang digunakan dari segi etnopedologi dalam penelitian ini adalah

metode pembelajaran secara partisipatif, di mana semua strata masyarakat (terutama

orang-orang kunci) diberi kesempatan yang sama untuk mengekspresikan pengetahuan mereka mengenai tanah di dalam usahatani pola dusung melalui diskusi kelompok terfokus (focus group discussion=FGD).Kelompok-kelompok masyarakat dikumpulkan untuk mendiskusikan bagaimana mereka mengenal tanah yang kemudian mengelolanya bagi pemenuhan kebutuhan hidup dari generasi ke generasi. Belajar dari dan dengan masyarakat cara mengelompokkan tanah-tanah tersebut serta cara mereka mengenal potensi tanah untuk berproduksi pada setiap pola dusung. Selain itu juga dilakukan wawancara secara terstruktur kepada setiap pengelola dusung bagaimana pemahaman mereka tentang dusung dan cara mereka mengenal tanah dan mengelompokkannya serta mengelolanya. Fokus dalam kelompok diskusi diarahkan pada 1) bagaimana cara mereka mengetahui dan menentukan suatu lokasi yang cocok untuk dikembangkan pola dusung, 2) bagaimana cara mereka menetapkan dan mengelola tanah-tanah untuk pengembangan

pola dusung, 3) bagaimana pola dusung yang dikembangkan leluhur mereka, dan 4) bagaimana mereka mempertahankan dan meningkatkan apa yang telah dilakukan leluhur mereka di dalam pola dusung. Pendekatan lokal masyarakat terhadap tanah di lapangan terdiri dari: 1) pengamatan warna tanah, 2) tekstur tanah, 3) kedalaman tanah dan 4) pengamatan vegetasi di atasnya.

(34)

Sedangkan dari segi pedologi pengamatan lapangan dilakukan dengan cara pembuatan boring dan profil pada variasi dan penyebaran pola dusung, kemudian dilakukan deskripsi lapangan berdasarkan guide line for soil profile description guna selanjutnya dilakukan pengambilan contoh tanah dari tiap horizon untuk dianalisis di laboratorium. Klasifikasi Tanah mengikuti Kunci Taksonomi Tanah, tahun 2006 (Soil Survey Staff, 2006).

Pendekatan dan Tahapan

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosial dan budaya masyarakat dalam memanfaatkan tanah bagi pengembangan pola dusung yang dilakukan dalam beberapa tahap yang dilakukan melalui analisis karakteristik tanah secara partisipatif (Gambar 4), sebagai berikut:

1). Diskusi kelompok terfokus (focus group discussion=FGD) dan wawancara terstruktur, khusus mereka yang mengelola dan memiliki dusung; diskusi difokuskan pada pengetahuan mengenai tanah,

pengelolaan tanah dan produktivitas tanahnya.

2). Tahap pembelajaran bersama masyarakat dengan mengunjungi setiap pola dusung, diskusi bersama dan melakukan pengambilan gambar terhadap karakteristik setiap pola dusung yang ditemui guna analisis dan pertimbangan-pertimbangan penggunaan lahan sesuai pengetahuan mereka berdasarkan satuan tanah dan potensinya.

3). Pembuatan profil tanah dan kegiatan deskripsi tanah pada penyebaran pola dusung serta pengambilan contoh tanah.

4). Tahap analisis pada laboratorium Tanah Pusat Penelitian Tanah Bogor 5). Penetapan satuan tanah dan padanannya dengan sistem klasifikasi Taksonomi Tanah.

(35)

19

Tahapan-tahapan tersebut di atas dapat diilustrasikan pada Gambar 4, bagan alur analisis karakteristik tanah berdasarkan pengetahuan masyarakat dalam praktek usahatani dan pengetahuan sains dalam penyebaran pola dusung.

Karakterisasi tanah secara sains dan analisis laboratorium Karakterisasi tanah oleh petani

berdasarkan pada kriteria lokal

Pengetahuan masyarakat tentang tanah dalam dusung

Penetapan satuan tanah berdasarkan

pengetahuan sistem klasifikasisains

Membandingkan pengetahuan masyarakat dan pengetahuan sains mengenai TANAH di dalam usahatani pola Dusung

Interpretasi Manajemen Menurut

Pengetahuan Lokal dan Sains

Padanan Pengetahuan Sains dan Lokal

tanah dalam usahatani pola Dusung

[image:35.612.89.523.164.566.2]
(36)

Letak Administratif dan Geografis

Secara Administratif, desa Allang termasuk Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah dan memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

Sebelah Timur berbatasan dengan desa Liliboi Sebelah Barat berbatasan dengan desa Wakasihu Sebelah Utara berbatasan dengan desa Negeri Lima Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Banda.

Secara Geografis, desa Allang terletak pada 128o0” 22’ hingga 128o0” 37’ Bujur Timur dan 03o45”57’ -03o46”03’ Lintang Selatan, di pulau Ambon (Gambar 5).

PULAU AMBON

Batas Kecamatan

Keterangan:

[image:36.612.82.494.320.622.2]

Lokasi Penelitian

(37)

21

Jumlah Penduduk

Penduduk desa Allang sampai dengan bulan April 2005, berjumlah 4.139 jiwa di dalam 1.050 Kepala Keluarga terdiri dari laki-laki 2.090 orang dan perempuan 2.045 orang yang tersebar di dalam 8 Soa (Monografi Desa Allang, 2005). Jumlah penduduk tersebut didasarkan pada kelompok umur yang diperlihatkan oleh Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Jumlah penduduk menurut klasifikasi umur

Golongan Umur (Tahun) Jumlah Jiwa Persentase (%)

0-6 459 11,1

7-14 701 16,9

15-25 756 18,3

26-35 669 16,2

36-45 589 14,2

46-60 537 13,0

61-70 323 7,8

71 ke atas 105 2,5

Jumlah 4.139 100,0

Sumber: Morfologi Desa Allang Tahun 2005

Tingkat Pendidikan

[image:37.612.101.441.233.444.2]
(38)
[image:38.612.86.522.107.376.2]

Tabel 3. Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah Jiwa Persentase (%)

Taman Kanak-Kanak 430 10,4

Sekolah Dasar 820 19,8

Tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 310 7,5

Tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas 462 11,2

Tamat Akademi dan Perguruan Tinggi 124 3,0

Masih Sekolah Di Taman Kanak-Kanak 34 0,8

Masih Sekolah Di Sekolah Dasar 550 13,2

Masih Sekolah Di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 215 5,2

Masih Sekolah Di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas 162 3,9

Masih Sekolah Di Perguruan Tinggi 82 2,0

Lai-lain 950 23,0

Jumlah 4.139 100,0

Sumber: Morfologi Desa Allang Tahun 2005

Iklim

(39)
[image:39.612.66.538.125.367.2]

23

Tabel 4. Curah hujan pulau Ambon 10 tahun terakhir.

Curah hujan (mm) Bulan

Sumber : Diolah dari data BMG Lanud Pattimura Ambon

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Rata-rata

Jan 77,9 19,4 160,7 87,0 - 70,9 97,2 1,8 152,6 179,3 140,6 98,7 Peb 207,9 46,8 347,5 101,0 - 31,9 115,3 0,3 95,1 237 104 128,7 Mart 154,7 148,9 314 270,0 - 121,8 84,5 52 200,1 119,8 77,2 154,3 Aprl 168,6 281,7 185,1 158,0 - 194,5 243,4 232,3 273,7 170,2 295,5 220,3 Mei 100,2 435,8 812,2 495,0 206,1 255,8 243,6 300,2 540,3 379 254,2 365,7 Juni 160 754,5 742,3 952,2 972,3 451,4 224,2 483,4 164,1 385,9 149,7 494,5 Juli 475,1 688,5 953,1 861,3 349,8 110,2 667 187,1 534,5 285,4 191 482,1 Agst 3,4 562,1 - 334,7 19,8 34,8 109,8 24 233 70,4 374,1 176,6 Sept 124 250,8 481,2 204,2 504,8 71,6 141,7 188,7 107,2 151,4 348 234,0 Okto 6,7 238,3 355 - 86 18,4 34 139,1 201 6,6 231,6 131,7 Nop 25,6 210 - - 207,5 25,7 66 27,9 144,6 18,2 117,8 93,7 Des 23,6 189,9 - - 162 68,3 23 26 207,3 141,4 232 119,3 Total 1527,7 3826,7 4351,1 3463,4 2508,3 1455,3 2049,7 1662,8 2853,5 2144,6 2515,7 2578,1

(40)
[image:40.612.81.513.196.415.2]

Data suhu udara pulau Ambon 10 Tahun Terakhir disajikan dalam Tabel 5. Suhu rata-rata tahunan terbesar terjadi pada bulan Januari sebesar 27,9oC dan suhu rata-rata tahunan terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 24,8oC, suhu tahunan rata-rata sebesar 21,7oC.

Tabel 5. Suhu pulau Ambon 10 tahun terakhir.

Suhu (˚C) - Tahun Bulan

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Rerata

Januari 26,8 28,6 27,2 - - - 27,8 30 27,5 27 28,3 27,9

Pebruari 26,7 28,7 26,7 - - - 27,8 28,4 27,5 26,9 27,7 27,6

Maret 26,7 28,6 26,4 - - 26,9 27,4 28,4 27,7 27,2 27,2 27,4

April 26,5 27 26,8 - - 26,9 27,1 26,7 26,4 26,7 27,1 26,8

Mei 26,3 27,1 25,6 - - 26,5 26,3 26,9 25,6 26,3 27 26,4

Juni 25,6 26,1 25,3 - - 25,1 25,6 25,3 25,8 25 26,4 25,6

Juli 24,9 25,6 24,9 - - 24,9 - 24,4 25,4 25,2 25,2 25,1

Agustus 24,4 25,5 - - - 24,5 - 24,3 25,2 24,9 25 24,8

September 25,1 26,2 - - - 25,4 - 25,2 25,6 25 25,8 25,5

Oktober 26,1 27 - - - 26,2 26,8 26,2 26,3 25,8 26,9 26,4

Nopember 26,7 27,4 - - - 27,5 27,4 27,5 26,1 26,9 27,5 27,1

Desember 28 27 - - - 27,9 27,9 27,9 26,6 27,7 29,3 27,8

Rata-rata 26,2 27,1 26,1 - - 26,2 27,1 26,8 26,3 26,2 27,0 21,7

(41)

HASIL

DAN

PEMBAHASAN

Dusung dan Penyebarannya

Bagi masyarakat desa Allang Kecamatan Leihitu Provinsi Maluku, “dusung” atau “dusong” merupakan suatu sistem yang mirip dengan sistem agroforestry (dusun) yang dikenal secara umum; namun ada keunikan tersendiri bagi masyarakat Allang yaitu

dusung merupakan sumber menu utama bagi konsumsi rumah tangga karena dari hasil

dusung segala jenis sayur-sayuran, buah-buahan, daging berbagai jenis satwa diperoleh, termasuk madu. Di samping itu dusung bagi mereka merupakan pendukung utama ekonomi masyarakat, karena dari dusung segala macam sayuran, buah dan daging berbagai jenis satwa dapat dijual guna kebutuhan hidup sehari-hari, tabungan hari esok buat anak cucu dan pendidikan bagi generasi muda. Keunikan lain dari dusung adalah bahwa berbagai jenis satwa akan hadir dengan sendirinya dan menjadikan dusung sebagai tempat memperoleh makanan sekaligus tempat untuk berkembang biak, karena di situ tempat berlindung sekaligus memperoleh makanannya dari berbagai buah-buahan dan bunga-bungaan. Hal ini sesuai pendapat Wattimena (2007) bahwa satwa-satwa dari berbagai jenis akan datang dan menjadikan dusung sebagai breeding place.

Masyarakat desa Allang memiliki dusung yang tersebar di sepanjang pantai dan pola penyebaran ini semakin ke gunung luas arealnya semakin besar karena daerah pemukiman cenderung terkonsentrasi di kawasan pantai dari pada kawasan gunung. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat desa Allang memiliki mata pencaharian sampingan sebagai nelayan dan dekat dengan sumber air. Setiap marga dalam wilayah desa Allang memiliki dusung dengan luasan berbeda-beda namun polanya mirip di mana yang diusahakan adalah tanaman-tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi, tergantung jenis tanaman apa yang lebih mudah diusahakan. Umumnya masyarakat mengusahakan berbagai jenis tanaman dalam dusung mereka, namun yang dominan diusahakan adalah pala, cengkeh, kenari, durian, langsat, kelapa dan manggis. Di dalam dusung juga hidup berbagai jenis satwa yang dapat memberi manfaat langsung maupun secara tidak langsung kepada masyarakat desa ini. Berbagai jenis satwa yang ada dan pernah ada di desa Allang antara lain burung kaka tua putih (langka), kaka tua hijau

(42)

hitam (terancam punah), burung maleu (sangat langka), burung merpati hijau (terancam punah), ayam hutan (langka), rusa (langka), celeng (terancam punah) dan jenis-jenis burung lainnya.

Pengetahuan Sains Tanah (Soil Science Knowledge)

Karateristik dan Jenis Tanah Pada Dusung Lawa Hina

Profil PsB3B (Gambar 6) di samping ini merupakan pewakil dari dusung dengan pola tanaman pala domi-nan, memiliki variasi warna berki-sar antara coklat kekuningan gelap (10 YR 4/4); colat kuat (7,5 YR 5/8);

merah kekuningan (5 YR 5/8); merah

kekuningan (5 YR 5/8) dan kuning

(10 YR 7/8) dengan motlled coklat

kekuningan gelap (10 YR ¾) dan

kuning kecoklatan (10 YR 6/6). Hue bervariasi antara 5 YR sampai 10 YR dan value bervariasi antara 4 sampai 7 dan kroma rata-rata 8 serta memiliki solum yang sangat dalam (> 200 cm). Warna tanah dipengaruhi selain oleh bahan induk pembentuk tanah juga oleh bahan organik tanah, di mana warna semakin ke bawah semakinB

B

[image:42.612.88.332.207.614.2]
(43)

27

[image:43.612.89.523.232.312.2]

Sedangkan warna merah hingga kuning diakibatkan oleh kandungan hematite (FeB2BOB3B) yang semakin mengalami perubahan dari warna merah mengarah ke warna kuning oleh adanya pengaruh bahan induk dan sedikit pengaruh air dengan pertambahan kedalaman. Berdasarkan warna pada permukaan, tanah memiliki epipedon umbrik karena warna agak gelap akibat pengaruh bahan organik tanah. Secara ringkas gambaran profil PsB3B disajikan pada Tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6. Sifat marfologi profil pewakil dusung Lawa Hina

Simbol Kedalaman Pasir Debu Liat Tekstur Struktur Konsistensi Porositas Warna

A 0-9 51 27 22 SCL sab s Meso (10YR 4/4)

AB 9-29 43 26 31 CL sab-ab s Meso-mikro (7,5YR 5/8)

Bt1 29-55 21 25 54 C ab vs Mikro (5 YR 5/8)

Bt2 55-120 20,2 36,9 42,9 CL ab vs Mikro (5 YR 5/8)

BC 120-200 20,6 44,1 35,3 CL sab-ab s Mikro-meso (10 YR 7/8)

Keterangan: SCL= sandy clay loam (lempung liat berpasir); CL=clay loam (lempung berliat); C=clay (liat); ab=angular blocky (kubus bersudut); sab=sub angular blocky (kubus membulat); s=sticky (lekat);

vs=very sticky (sangat lekat).

Sebaran tekstur pada profil PsB3B mulai dari horison atas ke bawah adalah sebagai berikut: lempung liat berpasir; lempung berliat; liat; lempung berliat dan lempung berliat berdebu. Tekstur tanah pada seluruh horison menunjukkan bahwa tanah ini telah mengalami perkembangan yang baik. Hal ini ditunjukkan oleh penimbunan liat yang nyata pada horison BBtB dengan kandungan liat tertinggi yaitu 54 % dibanding dengan

horison baik di atas maupun di bawahnya (31 % liat pada horison atas dan 32 % pada horison bawah). Sifat tersebut di atas, menunjukkan bahwa tanah ini memiliki tingkat pelapukan yang tinggi, di mana proses yang terjadi adalah Argilasi atau proses terbentuknya horison argilik (horizon BBtB).

(44)

Konsistensi tanah pada profil ini adalah agak lekat; agak lekat-lekat; sangat lekat, sangat lekat dan lekat pada seluruh horison tanah. Konsistensi agak lekat diakibatkan oleh kandungan liat yang sedang, sedangkan lekat berhubungan dengan kandungan liat yang tinggi.

Pori tanah yang dominan adalah pori halus pada seluruh horison kecuali pada horison A yang memiliki pori halus dan pori sedang yang merata. Hal ini berhubungan erat dengan kandungan liat yang umumnya dominan pada seluruh penampang profil tanah.

Berdasarkan Tabel 7, kandungan C organik dari horison atas sampai horison bawah berturut-turut adalah 3,07; 1,82; 0,64; 0,56 dan 0,24. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa tanah ini telah mengalami perkembangan; di mana kandungan C-organiknya semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman tanah.

Unsur mikro terdiri dari Al, H, Fe, Cu, Zn, Mn; masing-masing menunjukkan sebaran sebagai berikut: Al (0,24; 0,36) dan H (0,16; 0,22) pada horison permukaan lebih rendah dari horison di bawahnya sedangkan Fe (2,80; 2,20), Cu (2,20; 2,08) dan Mn

(16,32; 10,76) pada horison permukaan lebih tinggi dari horison di bawahnya.

Berdasarkan hasil analisis mineral fraksi pasir yang disajikan dalam Tabel 8, tanah pada profil Ps3 didominasi oleh mineral liat kuarsa sebesar 76%, diikuti oleh mineral melapuk sebesar 13%, fragmen batuan sebesar 9%, andesine dan sanidin masing-masing 1%. Susunan jenis mineral tersebut di atas menggambarkan bahwa tanah tersebut telah mengalami hancuran yang cukup lanjut, di mana kuarsa ditemukan dalam jumlah besar akibat melapuknya mineral-mineral feromagnesium dan mineral mudah lapuk. Kandungan kuarsa yang cukup besar menunjukkan ciri bahan yang bersifat dasitik.

(45)

29

Tabel 7. Sifat kimia profil pewakil dusung Lawa Hina

Karakteristik Kimia

pH 1:1 C-org N-Tot N NHB4BOAc pH 7,0 (me/100g) N KCl 0,05 N HCl Simbol

Kedalaman

HB2BO KCl (%) (%)

P Bray I

(ppm) Ca Mg K Na KTK

(%)

KB Al H Fe Cu Zn Mn

A 0-9 5,5 4,3 3,07 0,23 2,7 0,15 1,98 0,34 0,33 16,1 17,4 0,09 0,20 2,80 2,20 3,16 16,32

AB 9-29 5,4 4,4 1,82 0,13 2,0 0,12 1,88 0,28 0,28 15,2 16,8 1.75 0,45 2,20 2,08 3,44 10,76

Bt1 29-55 5,1 4,0 0,64 0.05 - 0.17 1.07 0,19 0,36 - - - -

Bt2 55-120 4,9 3,9 0,56 - - 0.05 0,96 0,05 0,28 - - - -

BC 120-200 4,7 3,9 0,24 - - 0.03 0.68 0,05 0,22 - - - -

Tabel 8. Hasil analisis mineral fraksi pasir pada profil PsB3 Bdan PsB5B

% F r a k s i

Profil Hor. Opak Zirkon K.keruh K.bening Limonit Lapukan Mineral

Fragmen Batuan

Andesin Mikroklin Ortoklas Sanidin Muskovit Garnet Epidot Enstatit Klorit

Ps3 Bt1 1 sp 61 15 sp 13 9 1 - - 1 - sp - -

Ps5 Bt 9 sp 35 20 sp 3 29 - sp 1 2 sp sp sp sp 1

Keterangan: sp=sporadis dalam jumlah sangat sedikit

(46)

[image:46.612.104.502.103.335.2]

Gambar 7. Difraksi Sinar X-Profil PsB3

Berdasarkan uraian sifat morfologi, kimia dan mineralogi di atas maka profil PsB3B dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Ordo Ultisol, karena memiliki horison argilik atau horison BBtB pada penampang profil yang ditunjukkan oleh adanya penimbunan liat yang nyata pada horison ini sebesar 54%, lebih tinggi dari horison di atas maupun di bawahnya serta memiliki epipedon Umbrik dengan warna gelap dan kandungan C-organik sebesar 3,07% dan Kejenuhan Basa < 35 %. Sub ordo Udult, karena memiliki regim kelembaban udik. Termasuk great group

(47)

31

Karateristik dan Jenis Tanah dan Pada Dusung Bandera

Kanhapludult Profil PsB5B pada gambar 8 ini merupakan pewakil dari dusung dengan pola tanam-an cengkeh domintanam-ant. Ttanam-anah ini memiliki variasi warna berkisar antara coklat kuat (7,5YR 4/6); kuning kemerahan (7,5YR 6/6); kuning kecoklatan (10YR 6/6); coklat olive (2,5Y 4/6) dan kelabu sangat gelap (10YR 3/1). Hue bervariasi antara 2,5 Y sampai 10 YR dan value bervariasi anta-ra 3 sampai 6 serta kroma anta-rata-anta-rata 6 dan 1 pada horison terakhir (Tabel 9). Warna tanah pada profil ini terutama dipengaruhi oleh bahan induk

[image:47.612.93.317.110.463.2]

pembentuk tanah, selain oleh bahan organik tanah juga turut berpengaruh terutama pada horison per-mukaan. Pengaruh bahan organik terlihat dari warna coklat kuat sedangkan warna kuning kecoklatan, coklat olive dipe- ngaruhi oleh bahan induk pembentuk tanah dan warna kelabu sangat gelap dipenga- ruhi oleh gabungan antara bahan induk pembentuk tanah dan air. Pengaruhi warna coklat kuat oleh bahan organik tanah dicirikan oleh kandungan C-organik yang cukup tinggi sebesar 1,70% pada horison A dibanding horison-horison di bawahnya yang umumnya rendah hingga sangat rendah (Tabel 10). Sedangkan warna merah hingga kuning berkaitan dengan kandungan hematite (FeB2BOB3B) yang semakin mengalami perubahan dari warna merah mengarah ke warna kuning hingga kelabu oleh adanya pengaruh air yang semakin dominan dengan pertambahan kedalaman.

(48)
[image:48.792.67.729.148.223.2]

Tabel 9. Sifat marfologi profil pewakil dusung Bandera

Simbol Kedalaman (cm) Pasir Debu Liat Tekstur Struktur Konsistensi Porositas Warna

A 0-10 64 21 15 SL sab ss Meso (7,5YR 4/6)

AB 10-31 56 28 16 SL sab ss Meso (7,5YR 6/6)

BBtB 31-67 27 23 50 C sab s Mikro (10YR 6/6)

BC 67-200 42 35 23 SCL sab ss Meso (2,5Y 4/6); (10YR 3/1)

Keterangan:H=horizon; K=kedalaman (cm); SCL=sandy clay loam (lempung liat berpasir); SL=sandy loam (lempung berpasir); C=clay (liat); ab=angular blocky (kubus bersudut); sab=sub angular blocky (kubus membulat);

ss=slightly sticky (agak lekat); s=sticky (lekat).

Tabel 10. Sifat kimia profil pewakil dusung Bandera

Karakteristik Kimia

Simbol Kedalaman pH 1:1

C-org N-Tot

P Bray I (ppm)

N NHB4BOAc pH 7,0 (me/100g) (%)

KB

N KCl 0,05 N HCl

HB2BO KCl (%) (%) Ca Mg K Na KTK Al H Fe Cu Zn Mn

A 0-10 5,9 4,8 1,63 0,16 1,7 0.52 2,29 0,33 0,33 9.86 35,19 0.01 0.10 1,48 1,68 7,48 30,72

AB 10-31 5,7 4,9 0,37 0,06 0,7 0.17 0,79 0,11 0,27 7.87 17,03 0.15 0.27 6,00 2,12 3,44 44,56

Bt 31-67 5,1 4,3 0,23 - - 0.02 0,31 0,10 0,25 - - - -

[image:48.792.69.733.341.450.2]
(49)

33

Sebaran tekstur pada profil ini mulai dari horison atas ke horison bawah adalah lempung berpasir; lempung berpasir; liat dan lempung liat berpasir. Penyebaran tekstur yang demikian menunjukkan bahwa tanah ini telah mengalami perkembangan di mana terjadi eluviasi dan iluviasi liat pada horsion argilik (BBtB). Horison BBtB memiliki kandungan liat yang lebih tinggi yaitu sebesar 50% dibanding dengan horison di atas maupun di bawahnya (15, 16 dan 23). Penyebaran tekstur pada profil ini dapat dilihat pada Tabel 9.

Struktur tanah pada seluruh penampang profil adalah kubus membulat, halus, lemah; kubus membulat, sedang, agak teguh; kubus bersudut, halus, agak teguh dan kubus bersudut-kubus membulat, sedang, teguh. Struktur kubus membulat dengan tingkat perkembangan lemah diakibatkan oleh sedikitnya kandungan liat yakni pada horison A dan E sedangkan teguh pada horison BBtB karena kandungan liatnya cukup tinggi.

Konsistensi tanah pada profil ini adalah agak lekat; lekat; sangat lekat dan lekat. Konsistensi agak lekat berhubungan dengan kandungan liat yang sedikit pada horison A dan E dibandingkan dengan horison BBtB dengan konsistensi sangat lekat.

Pori tanah yang dominan pada horsion BBt Badalah pori halus, pori berukuran

sedang lebih dominan pada horison permukaan (A dan AB).

C-organik berdasarkan Tabel 10, berangsur menurun kandungannya seiring bertambahnya kedalaman yaitu 1,63, 0,37, dan 0,23. Keadaan ini menunjukkan bahwa tanah telah mengalami perkembangan lanjut yang dicirikan juga oleh kandungan mineral mudah lapuk yang sedikit yakni sekitar 3%.

Tabel 8 menunjukkan bahwa tanah pada profil Ps5 didominasi oleh mineral liat kuarsa sebesar 55% berdasarkan hasil analisis mineral fraksi pasir, diikuti oleh fragmen batuan sebesar 29%, lapukan mineral sebesar 3%, sanidin 2%, ortoklas dan klorit masing-masing sebesar 1%. Susunan jenis mineral tersebut di atas menggambarkan bahwa tanah tersebut telah mengalami hancuran yang lanjut, di mana ditemukan kuarsa yang cukup banyak akibat melapuknya mineral-mineral feromagnesium dan mineral melapuk dalam jumlah kurang dari 10 % yaitu sebesar 3%. Jumlah kuarsa yang cukup besar merupakan ciri dari bahan yang bersifat dasitik.

(50)

kuarsa yang ditunjukkan oleh puncak difraksi 4,24A dan 3,34A dalam jumlah sedang diikuti dengan klorit yang ditunjukkan oleh puncak difraksi 14,0A dalam jumlah sedikit.

[image:50.612.145.503.125.365.2]

Gambar 9. Difraksi Sinar X-Profil PsB5B

Berdasarkan uraian sifat morfologi, kimia dan mineralogi tanah di atas, maka profil PsB3B dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Ordo Ultisol, karena memiliki horison argilik pada penampang profil yang ditunjukkan oleh adanya penimbunan liat yang nyata pada horison ini sebesar 50.61%, lebih tinggi dari horison di atas maupun di bawahnya serta memiliki epipedon Umbrik karena memiliki Kejenuhan Basa lebih rendah dari 35 %. Termasuk sub ordo Udult, karena memiliki regim kelembaban udik. Kemudian dimasukkan ke dalam great group

Kanhapludult, karena horison Kandik. Termasuk dalam sub group Kanhapludult Tipik,

karena tidak dapat dimasukkan ke dalam Kanhapludult lainnya yang ada. Kemudian dimasukkan ke dalam famili tanah: Kanhapludult Tipik, halus, kaolinit,

(51)

35

Tanah, Faktor-Faktor dan Proses Pembentukannya

Hapludult

- Organisme dan Iklim; Faktor organisme yang sangat berperan adalah vegetasi dan

pengaruh manusia memberi ciri tersendiri bagi pembentukan tanah ini di samping mikroorganisme lainnya seperti semut, cacing tanah, dan rayap. Ciri adanya pengaruh manusia adalah cara pengolahan tanah oleh masyarakat setempat yang dapat mengolah

tanah dari yang tidak subur sekalipun menjadi tanah yang sangat subur dan berproduksi. Hal ini terlihat dari kenampakan visual di mana setiap tanaman yang diusahakan di sekitar dan di dalam dusung sangat subur dan berproduksi, baik tanaman pala, cengkeh, kenari maupun durian. Pada hal dari pengalaman masyarakat, tanah yang mereka usahakan sebenarnya bukanlah tanah yang baik pada awalnya di mana pertumbuhan tanaman yang diusahakan sangat merana, tetapi dengan kearifan lokal yang mereka miliki dalam pengelolaan tanah, beberapa tahun kemudian tanah tersebut dapat berproduksi secara baik dan kawasan yang awalnya semak belukar menjadi dusung yang yang sangat produktif (Gambar 10-12). Di samping itu faktor iklim yang cukup berpengaruh terhadap proses pembentukkan tanah ini terutama curah hujan yang cukup tinggi yaitu dengan rata-rata curah hujan per tahun sebesar 2578,1 mm per tahun, dengan suhu rata-rata per tahun sebesar 27,9 P

o

P

C. hal ini menunjang terjadinya pencucian secara intensif.

- Topografi, Bahan Induk dan Waktu; Tanah ini terjadi di daerah dengan topografi

bergelombang dengan ketinggian dari permukaan laut adalah 70 meter dan kemiringan lereng 10 % serta berkembang di atas batuan induk dasitik. Bahan induk serpentinit memberikan ciri tersendiri terhadap sifat kimia, di mana persen Kejenuhan Basa (%KB)

Gambar

Gambar 1. Tanah rusak, lingkungan rusak
Tabel 1.  Masyarakat yang klasifikasi tanah lokalnya telah dilaporkan serta                 pentingnya tekstur dan warna dalam klasifikasi ini (Ettema, 1994)
Gambar 4. Analisis Karakteristik Tanah Secara Partisipatif
Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasi penelitian menunjukkan bahwa hutan rakyat mampu menekan laju limpasan permukaan dan erosi tanah dibandingkan lahan agroforestri dan lahan pertanian

Gambar3, 4, 5, 6, dan 7 dapat diketahui bahwa pola erapan nitrat yang diperoleh dari tanah pertanian lahan kering di Pulau Jawa tidak menunjukkan adanya pola

Dan dengan kelas kemampuan lahan yang demikian, kesesuaian lahan yang dapat dimanfaatkan untuk lokasi studi lahan bekas tambang tanah urug di Kecamatan Ngoro

Dan dengan kelas kemampuan lahan yang demikian, kesesuaian lahan yang dapat dimanfaatkan untuk lokasi studi lahan bekas tambang tanah urug di Kecamatan Ngoro

Lahan di Kecamatan Lintong Nihuta dengan tingkat kesesuaian lahan aktual kurang sesuai / S3(wa,rc,nr) dengan faktor pembatas ketersediaan air, media perakaran, dan

Pada hasil dan pembahasan dapat diketahui bahwa kesesuaian lahan terhadap komoditas serta pola tanam tidak sesuai dan dari sifat fisik tanah serta fenomena yang terjadi ketika

Hasil analisis sifat kimia tanah di laboratorium, untuk parameter KTK pada lahan terbuka mendapatkan nilai 1,09 meq/100g atau yang paling rendah, sedangkan pada lahan kebun campuran

Hasil analisis regresi antara P-tersedia tanah dengan pertumbuhan beberapa jenis pohon buah pada Lahan HKm Sesaot menunjukkan bahwa P- tersedia tanah pada lahan tersebut tidak memiliki