• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang: Perspektif Ekonomi Politik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang: Perspektif Ekonomi Politik"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP TERHADAP NELAYAN KOTA SEMARANG: Perspektif Ekonomi Politik

CANDRI YUNIAR ROISY

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang: Perspektif Ekonomi Politik adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

CANDRI YUNIAR ROISY. Analisis Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang: Perspektif Ekonomi Politik. Dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI

Orientasi pembangunan sektor perikanan adalah peningkatan produksi nasional melalui modernisasi dengan kapitalisasi yang justru akan membuka peluang terjadinya kemiskinan bagi para nelayan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan perikanan tangkap di Kota Semarang dan dampaknya terhadap nelayan serta mengidentifikasi ada atau tidaknya gejala kompradorisasi dalam perikanan tangkap di Kota Semarang. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan data berupa data primer dan data sekunder. Pendekatan kuantitatif menggunakan analisis ketimpangan distribusi pendapatan, sedangkan pendekatan kualitatif menggunakan pendekatan wawancara mendalam (indepth interview) dengan analisis ekonomi politik dan analisis gejala kompradorisasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan distribusi pendapatan nelayan responden dalam kategori sedang akibat kebijakan yang tidak menyeluruh pada lapisan masyarakat nelayan. Gejala kompradorisasi terdapat pada aliran masuk modal melalui pola pemasaran dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang sebagai kelas komprador.

Kata kunci: ekonomi politik, kebijakan perikanan tangkap, kompradorisasi, nelayan.

ABSTRACT

CANDRI YUNIAR ROISY. Analysis of Capture Fisheries Policy toward Fisherman of Semarang City : Political Economy Perspective. Supervised by DIDIN S. DAMANHURI.

The orientation of development on the fisheries sector is increasing national production through the modernization with a capitalization that it would open the risks of poverty for the fishermen. This research aims to analyse capture fisheries policy of Semarang City and its impact on fishermen and identify whether or not the symptoms of compradorization of capture fisheries in Semarang City. This research method used qualitative and quantitative approaches using primary and secondary data. The quantitative approach using analysis of unequal distribution income, while a qualitative approach using indepth interview with analysis of political economy and analysis of compradorization symptoms. The result of this research shows that there are disparities in the distribution income of respondents in the average category due to policies that did not extend to the fisherman community. Compradorization symptoms are found on the capital inflow of marketing system with the Department of Marine and Fisheries of Semarang City as the comprador class.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

ANALISIS KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP TERHADAP NELAYAN KOTA SEMARANG: Perspektif Ekonomi Politik

CANDRI YUNIAR ROISY

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul ”Analisis Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang: Perspektif Ekonomi Politik” dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, SE MS DEA, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, saran, nasihat dan motivasi selama penulisan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta, Bapak Sjahbuddin Ezzat dan Ibu Sri Dwiana Rusmiwahjani atas doa, motivasi serta kasih sayang kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada saudara Aga Haditaqy, kakak tercinta Okti Syah Isyani Permatasari serta adik-adik tersayang Adam, Arif, Hasna dan Usman yang selalu memberikan motivasi, doa serta bantuan dalam proses penulisan skripsi. Tidak lupa terima kasih penulis ucapkan kepada Anggi, Anggit, Nisa, Dita, Mpy, Aka, Itoh, teman-teman satu bimbingan, teman-teman Ilmu Ekonomi 47, 48 dan 49, keluarga besar HMI cabang Bogor dan HMI cabang Bogor Komisariat FEM serta sahabat-sahabat yang selalu memberi semangat dan masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada Beasiswa Penelitian Bidik Misi yang telah membantu dalam biaya penelitian skripsi ini. Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu dan bekerja sama dalam proses penulisan skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 6

Teori Ekonomi Politik 6

Teori Surplus Values dan Teori Ketergantungan 8

Kebijakan Perikanan Tangkap 9

Karakteristik Nelayan 11

Penelitian Terdahulu 12

Kerangka Pemikiran 14

METODE PENELITIAN 15

Lokasi dan Waktu Penelitian 16

Jenis dan Sumber Data 16

Metode Analisis 17

Analisis Ekonomi Politik 18

Analisis Gejala Kompradorisasi 18

Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan 18

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 21

Kondisi Geografi Kota Semarang 21

Kondisi Demografi Kota Semarang 22

Kondisi Perekonomian Kota Semarang 23

Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 23

Distribusi Pendapatan 24

Kondisi Perikanan Tangkap Kota Semarang 25

(14)

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap Kota Semarang 28 Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang 33 Pembangunan Sarana dan Prasarana Perikanan Tangkap 33

Program Pemberdayaan Nelayan 36

Pola Bagi Hasil dan Permodalan Penangkapan Ikan 39

Sistem Pemasaran Hasil Penangkapan Ikan 42

Distribusi Pendapatan Nelayan Responden 43

Kemiskinan Struktural dan Gejala Kompradorisasi Perikanan Tangkap Kota

Semarang 45

Kemiskinan Struktural Nelayan Kota Semarang 45

Gejala Kompradorisasi Perikanan Tangkap Kota Semarang 47

SIMPULAN DAN SARAN 49

Simpulan 49

Saran 50

DAFTAR PUSTAKA 51

LAMPIRAN 54

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Produksi perikanan nasional tahun 2004-2011 2

2 Peraturan Perundang-undangan yang berpotensi menimbulkan konflik

10 3 Luas kecamatan pesisir di Kota Semarang dan presentase terhadap

luas Kota Semarang

21 4 Jumlah penduduk Kota Semarang berdasarkan kecamatan dan jenis

kelamin tahun 2013

22 5 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Semarang menurut

lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2010-2012

23 6 Pendapatan regional per kapita dan laju pertumbuhan PDRB Kota

Semarang

24 7 Ketimpangan pendapatan di Kota Semarang tahun 2007-2011

berdasarkan koefisien gini dan Bank Dunia

25 8 Kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku Kota Semarang tahun 2007-2012

25

9 Karakteristik nelayan responden 27

10 Program-program pembangunan kelautan dan perikanan Kota Semarang 2010-2014

29 11 Produksi dan nilai produksi perikanan tangkap Kota Semarang pada

TPI Tambaklorok dan kelompok nelayan tahun 2004-2013

30

12 Jumlah nelayan Kota Semarang 30

13 Jumlah nelayan per kecamatan pesisir Kota Semarang tahun 2008-2013

31 14 Jumlah kapal motor tempel dan produksi perikanan tangkap Kota

Semarang tahun 2008-2013

31 15 Jumlah alat tangkap perikanan Kota Semarang berdasarkan

jenisnya tahun 2004-2013

32 16 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Semarang tahun 2011-2013

dari TPI Tambaklorok

34 17 Besarnya dana bantuan Program PEMP berdasarkan penerima

program di Kelurahan Tanjung Mas tahun 2003

37 18 Pinjaman pokok macet di Kelurahan Tanjung Mas sampai dengan

bulan April 2004

37

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Kerangka pemikiran 15

2 Kurva Lorenz 20

3 Jumlah rumah tangga usaha penangkapan ikan menurut jenis penangkapan tahun 2013

26

4 Pola pemasaran komoditas rajungan 43

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Peta lokasi penelitian 54

2 Distribusi pendapatan nelayan responden 55

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang dikaruniai potensi sumber daya kelautan yang besar, baik itu keragaman hayati maupun keragaman non hayati kelautan. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104 000 km2 dengan luas wilayah laut sebesar 5.8 juta km2 yang terdiri dari 2.3 juta km2 perairan kepulauan, 0.8 juta km2 perairan teritorial dan 2.7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Potensi tersebut disadari oleh pemerintah dilihat dari pembangunan ekonomi di Indonesia yang telah memperhatikan sektor kelautan dan perikanan secara serius. Terbukti sejak reformasi tahun 1998 dengan dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) yang kemudian diubah menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) hingga menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta dibentuknya Dewan Maritim Indonesia (DMI) yang berubah menjadi Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) yang diketuai oleh Presiden.

Sejak Orde Baru, berbagai kebijakan dalam rangka pembangunan sektor kelautan dan perikanan telah digulirkan. Secara nasional kebijakan-kebijakan yang telah dicanangkan berdampak pada kenaikan volume produksi perikanan. Namun kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan hingga saat ini masih bersifat top down. Damanhuri (2000) mengatakan bahwa kebijakan yang bersifat top down dan sentralistik akan berujung pasa rusaknya nilai-nilai tradisional yang positif serta pendekatan kebijakan yang seragam antar wilayah satu dengan yang lain akan mematikan insiatif lokal dan kreativitas para pelaku ekonomi.1 Sehingga program-program yang dilaksanakan belum dapat memberi dampak yang optimal terhadap kinerja ekonomi kelautan dan perikanan secara keseluruhan, kesejahteraan nelayan serta kelestarian sumber daya.

Pada tahun 2003 Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) mencanangkan program peningkatan produksi ikan (Protekan 2003). Target dari Protekan 2003 adalah peningkatan produksi ikan pada tahun 2003 menjadi 9 juta ton dengan nilai ekspor diharapkan mencapai US$ 10 miliar.2 Namun data Food and Agriculture Organization (FAO 2007) menunjukkan hingga tahun 2004 produksi ikan nasional hanya mencapai sekitar 5.6 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 1.7 miliar (lihat Tabel 1). Pada Oktober 2003 dicanangkan program baru yaitu Program Gerbang Mina Bahari di Teluk Tomini Provinsi Gorontalo. Target dari Program Mina Bahari tersebut adalah peningkatan produksi ikan nasional sebesar 9.5 juta ton pada tahun 2006 dan target nilai devisa ekspor sebesar US$ 10 miliar.3 Kegagalan program ini ditunjukkan dengan produksi ikan nasional pada tahun 2006 hanya mencapai sekitar 6.1 juta ton dengan nilai ekspor produk perikanan hanya mampu mencapai US$ 2 miliar (FAO 2007) (lihat Tabel 1).

1

Didin S. Damanhuri [Orasi Ilmiah]: Paradoks Pembangunan Ekonomi Indonesia dan Perspektif Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Sektor Pertanian dan Perikanan (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 25 November 2000), h. 56

2

Apridar, Muhamad Karim, dan Suhana: Ekonomi Kelautan dan Pesisir (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h.121

3

(18)

2

Tabel 1 Produksi perikanan nasional tahun 2004-2011

Produk perikanan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Sumber: Food and Agriculture Organization, 2007-2013.

Pembangunan sektor kelautan dan perikanan sepanjang tahun 2005 belum mengalami perubahan yang signifikan. Dilihat dari lima indikator, pertama arah kebijakan pembangunan ekonomi sektor kelautan dan perikanan nasional masih belum jelas. Kedua, ketidakjelasan arah kebijakan desentralisasi sektor kelautan dan perikanan yang menyebabkan semakin parahnya konflik dalam memperebutkan wilayah tangkapan ikan. Ketiga, kenaikan harga BBM menyebabkan banyak nelayan yang tidak dapat melaut. Keempat, kinerja ekspor produk perikanan nasional mengalami penurunan. Kelima, daya tarik investor sektor perikanan masih rendah.4

Pada tahun 2007 kegagalan juga terjadi pada Program Revitalisasi Kelautan dan Perikanan. Produksi ikan nasional pada tahun 2009 sebesar 6.8 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 2.3 miliar (FAO 2009), sedangkan target dari program Revitalisasi Kelautan dan Perikanan yaitu peningkatan produksi ikan pada tahun 2009 sebesar 9.7 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 5 miliar.5 Hal tersebut membuktikan bahwa target dari Program Revitalisasi Kelautan pada tahun 2009 tidak dapat tercapai.

Pada periode 2009-2014 KKP mencanangkan Kebijakan Minapolitan dengan target volume produksi ikan sebesar 50 juta ton dan nilai ekspor sebesar US$ 11 miliar.6 Namun yang terjadi, kesejahteraan nelayan cenderung menurun dilihat dari Nilai Tukar Nelayan (NTN) bulan Juli turun sebesar 111.55 dibanding bulan sebelumnya sebesar 111.57 (BPS 2013)7. Namun pada periode yang sama harga ikan segar di pasar domestik mengalami kenaikan sebesar 0.08%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kenaikan harga ikan di pasar tidak berpengaruh langsung terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan karena masih tingginya biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh nelayan dan pembudidaya ikan.

Orientasi pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah peningkatan produksi perikanan nasional jika dilihat dari berbagai program yang telah dilaksanakan. Program-program dilaksanakan untuk mendorong terjadinya modernisasi perikanan dengan kapitalisasi. Kapitalisasi dalam sektor perikanan

4

Suhana: Ekonomi Politik Kebijakan Kelautan Indonesia (Malang: Intrans Publishing, 2011), h.46-49

5

Apridar, Muhamad Karim, dan Suhana, op. cit., h. 121 6

Ibid, h. 121 7

(19)

3 selanjutnya akan menciptakan unit usaha yang besar dan padat modal yang justru akan membuka peluang terjadinya kemiskinan bagi para nelayan. Kemiskinan nelayan diperparah dengan program bantuan pemerintah dalam pemberdayaan nelayan yang hingga saat ini belum mampu diakses oleh seluruh pelaku usaha perikanan, termasuk sistem teknologi modern yang belum mampu diakses oleh nelayan tradisional. Akibatnya, modernisasi melalui program pemerintah semakin meningkatkan eksploitasi terhadap nelayan yang berada dalam posisi lemah dalam pola bagi hasil yang cenderung menguntungkan pihak pemilik modal.

Seperti yang dijelaskan oleh Satria (2009) bahwa di dalam masyarakat nelayan terdapat struktur sosial yang sangat khas yaitu hubungan patron-client. Dia menjelaskan hubungan patron-client terbentuk sebagai pola adaptasi dari kondisi risiko dan ketidakpastian lingkungan laut yang kemudian mempengaruhi pekerjaan dan pendapatan para nelayan.8 Dalam masyarakat nelayan, hubungan patron-client biasanya terjadi antara nelayan buruh dan pemilik modal serta antara pemilik modal dengan pedagang. Adanya hubungan patron-client membawa keuntungan bagi masing-masing pihak, nelayan diuntungkan dengan adanya jaminan bagi kepentingan sosial ekonomi mereka dan pemilik modal mendapat keuntungan berupa hasil tangkapan nelayan yang dijual kepada mereka. Namun beberapa studi membuktikan bahwa keuntungan yang diterima oleh pemilik modal lebih besar dibandingkan para nelayan. Hubungan patron-client ini tidak lagi sebagai hubungan yang saling menguntungkan tapi lebih mengarah kepada bentuk eksploitasi para pemilik modal.

Masyarakat nelayan yang merupakan komunitas masyarakat pesisir terpinggirkan juga dihadapkan dengan permasalahan politik, sosial, dan ekonomi yang kompleks. Goodwin (1990) dalam Satria (2009) mengemukakan bahwa nelayan kecil (small scale fisher) tidak memiliki kemampuan dalam mempengaruhi kebijakan publik atau proses politik apapun sehingga nelayan kecil selalu berada pada posisi dependen dan marginal.9 Menurutnya faktor kapital mempengaruhi posisi nelayan, semakin besar penguasaan terhadap kapital maka kesempatan untuk mempengaruhi proses politik pun semakin besar. Dalam perspektif Marxis semakin besar penguasaan kapital maka semakin ke atas kelas sosialnya sehingga semakin besar pula kesempatan untuk mempengaruhi proses politik dan kebijakan publik.

Dasar pemikiran tersebut melatarbelakangi penelitian ini mengkaji dampak dari kebijakan perikanan tangkap yang justru membuka peluang terhadap terpinggirkannya posisi nelayan. Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Semarang karena secara geografis daerah ini terletak di Pantai Utara Jawa dengan garis pantai sepanjang 13.6 kilometer. Implementasi kebijakan dan program-program pemberdayaan perikanan tangkap di Kota Semarang masih berpihak kepada kepentingan pemilik modal dan belum sepenuhnya membebaskan nelayan dari proses eksploitasi oleh para pemilik modal. Oleh karena itu, penting untuk diteliti lebih lanjut mengenai bagaimana pengaruh kebijakan perikanan tangkap terhadap nelayan di Kota Semarang.

8

Arif Satria: Ekologi Politik Nelayan (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 338 9

(20)

4

Perumusan Masalah

Unsur-unsur terpenting dalam pembangunan perekonomian di sektor kelautan dan perikanan adalah pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan masyarakat sekitar. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan sering memunculkan permasalahan diantara pemegang unsur-unsur penting tersebut, antara lain permasalahan hubungan antara pemerintahan daerah dengan pemerintahan pusat, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, serta pembangunan ekonomi (kemiskinan, kesenjangan dan kebijakan ekonomi makro).

Satria (2009a) mengungkapkan bahwa kebijakan ekonomi makro Indonesia hingga saat ini masih difokuskan terhadap pemberian konsesi pada perusahaan-perusahaan swasta dengan skala yang besar. Izin yang diberikan oleh pemerintah mencakup hak-hak eksklusif yang memungkinkan pihak swasta untuk mengakses, mengambil, bahkan melarang pihak lain mengambil sumber daya tersebut, sehingga memarginalkan hak-hak masyarakat lokal terhadap sumber daya alam secara politik dan ekonomi.10 Kebijakan yang lebih menguntungkan pihak swasta tersebut pada akhirnya memposisikan nelayan secara ekonomi politik tidak memiliki akses di wilayah pesisir dan lautan.

Di Indonesia, hingga saat ini belum ada institusi yang dapat menjamin kehidupan nelayan. Nelayan bukan hanya tidak mampu secara ekonomi tetapi juga tidak diperhitungkan secara politik dengan adanya kebijakan yang tidak berpihak kepada nelayan. Hal ini dibuktikan oleh beberapa penelitian bahwa di dalam lingkungan masyarakat pesisir terdapat kesenjangan pendapatan antara nelayan pemilik (patron) dan nelayan buruh (client). Tingkat kesenjangan ditunjukkan oleh koefisien gini (KG) berbasis pendapatan yaitu mencapai 0.73. Angka tersebut menunjukkan kesenjangan pendapatan antara nelayan pemilik (patron) dan nelayan buruh (client) ditunjukkan dengan KG mendekati 1 (sangat senjang).11

Kemiskinan dan ketidakmerataan distribusi pendapatan nelayan bukan hanya karena faktor lingkungan berupa ketidakpastian cuaca akan tetapi terdapat unsur ekonomi politik di dalamnya. Karim (2003) menyatakan problem kemiskinan nelayan adalah, pertama tekanan-tekanan struktural yang bersumber dari kebijakan pemerintah Indonesia dalam membangun sektor perikanan. Kedua, ketergantungan yang berbentuk patron client antara pemilik faktor produksi (kapal, alat tangkap) dengan buruh nelayan yang membuat pemilik modal menikmati pendapatan yang lebih besar serta dapat menguasai akses terhadap pasar. Ketiga, eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya perikanan akibat modernisasi yang tidak terkendali. Keempat, pengambilalihan wilayah perikanan tradisional yang dilakukan oleh perusahaan perikananan modern. Kelima, adanya fenomena kompradorisasi.12

10

Arif Satria: Pesisir dan Laut untuk Rakyat (Bogor: IPB Press, 2009), h.10 11

Tridoyo Kusumastanto: Reposisi “Ocean Policy” dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah, Orasi Ilmiah (Bogor: PKSPL-IPB, 2002), h.44

12

(21)

5 Di Kota Semarang beberapa kebijakan perikanan tangkap belum sepenuhnya melindungi nelayan. Hal tersebut dapat dilihat dari produktivitas nelayan yang hingga saat ini masih tergolong rendah karena penggunaan armada perikanan di daerah tersebut didominasi oleh kapal berukuran kecil, yaitu perahu motor tempel. Kondisi tersebut diperparah dengan keterbatasan untuk memanfaatkan dana perbankan oleh para nelayan. Selain itu, masalah sarana prasarana perikanan tangkap di Kota Semarang juga menjadi salah satu faktor produksi perikanan tangkap yang rendah. Di Kota Semarang fungsi dari TPI sebagai sarana yang disediakan pemerintah untuk membantu nelayan dalam memasarkan hasil ternyata belum optimal. Penyebabnya yaitu nelayan telah menjalin hubungan patron-client dengan bakul atau pedagang pengumpul yang telah memberikan fasilitas kredit sehingga nelayan harus memenuhi kewajibannya untuk menjual hasil tangkapannya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kebijakan perikanan tangkap di Kota Semarang dan dampaknya terhadap nelayan?

2. Apakah terdapat gejala kompradorisasi dalam perikanan tangkap di Kota Semarang?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan:

1. Menganalisis kebijakan perikanan tangkap di Kota Semarang dan dampaknya terhadap nelayan.

2. Mengidentifikasi ada atau tidaknya gejala kompradorisasi dalam perikanan tangkap di Kota Semarang.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini merupakan perwujudan dari Tridharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berbagai pihak, yaitu:

1. Bagi penulis, penelitian ini berguna dalam mengaplikasikan ilmu yang telah diterima penulis selama masa perkuliahan.

2. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini bermanfaat untuk menambah literatur mengenai ekonomi politik kebijakan perikanan tangkap terhadap nelayan.

(22)

6

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian ini difokuskan pada tiga pokok bahasan yaitu analisis kebijakan perikanan tangkap, analisis tentang dampak kebijakan terhadap distribusi pendapatan nelayan di Kota Semarang, dan pada pembahasannya akan lebih diperdalam dengan analisis ekonomi politik terhadap kompradorisasi dalam perikanan tangkap di Kota Semarang. Pada bab tinjauan pustaka ini terdiri dari teori, konsep dan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini serta kerangka pemikiran yang menjelaskan alur pemikiran penelitian ini yang didasarkan pada teori dan konsep yang berkaitan dan relevan.

Teori Ekonomi Politik

Ide ekonomi politik didasarkan pada pemisahan antara ilmu ekonomi dan ilmu politik yang secara analitis keduanya berbeda. Pemisahan antara ilmu ekonomi dan ilmu politik ini bukan berarti keduanya tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Terdapat hubungan-hubungan teoritis antara ekonomi dan politik. Hubungan antara ekonomi dan politik ini kemudian disebut dengan ekonomi politik.13 Sebelum penjelasan lebih lanjut mengenai ekonomi politik, maka akan diidentifikasikan pemahaman yang berbeda antara ilmu ekonomi dan ilmu politik. Dalam memahami ilmu politik terdapat tiga pandangan tentang politik, yaitu politik sebagai pemerintahan, politik sebagai kehidupan publik, dan politik sebagai alokasi nilai oleh pihak yang berwenang. Sedangkan ilmu ekonomi didefinisikan menjadi tiga makna, yaitu ekonomi kalkulasi, ekonomi sebagai kegiatan pemenuhan kebutuhan (provisioning), dan ekonomi sebagai perekonomian.

Politik sebagai pemerintahan merupakan pandangan bahwa politik sama dengan kegiatan, proses, dan struktur dalam pemerintahan itu sendiri. Dimana pemerintahan yang dimaksud yaitu institusi, undang-undang, kebijakan publik dan pelaku-pelaku utama dalam pemerintahan.14 Konsep politik sebagai publik melihat ada dua tujuan yang ingin dicapai individu, yaitu tujuan yang bersifat pribadi dan tujuan yang melibatkan publik. Caporaso dan Levine (2008) mendefinisikan pribadi sebagai urusan-urusan yang sifatnya terbatas pada individu sedangkan publik sebagai kegiatan yang melibatkan orang lain.15

Politik sebagai alokasi nilai oleh pihak yang berwenang memandang bahwa politik dan ekonomi memiliki kesamaan yaitu sebagai cara untuk melakukan alokasi terhadap sumber daya yang langka. Perbedaannya politik sebagai cara khusus untuk membuat keputusan dalam memproduksi dan mendistribusikan sumber daya, sedangkan ekonomi merupakan pertukaran secara sukarela. Politik sebagai alokasi nilai tidak lagi memandang politik sebagai struktur dari pemerintahan tetapi sebagai cara mengalokasikan nilai kepada masyarakat dengan menggunakan wewenang.16

13

James A Caporaso dan David P. Levine: Teori-Teori Ekonomi Politik. Diterjemahkan oleh: Suraji (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 1-2

14

Ibid, h. 4 15

Ibid, h. 11-12 16

(23)

7 Konsep ekonomi kalkulasi merujuk kepada pandangan terhadap tindakan manusia sebagai upaya untuk mencapai tujuan yang dihadapkan dengan faktor-faktor hambatan berupa keterbatasan sumber daya. Fokus pendekatan ekonomi kalkulasi yaitu pada masalah efisiensi dan pilihan yang dibatasi. Dimana individu dihadapkan dengan peluang dan hambatan dan berusaha melakukan yang terbaik untuk memenuhi kebutuhannya.17 Konsep kedua yaitu ekonomi sebagai kegiatan pemenuhan kebutuhan (provisioning) berbeda dengan konsep sebelumnya karena lebih mengarahkan pada proses produksi dan reproduksi barang untuk mempertahankan kelangsungan hidup ekonomi. Konsep ekonomi yang kedua ini tidak mempertimbangkan apakah kegiatan produksi dilakukan secara efisien atau tidak.18 Konsep yang terakhir adalah ekonomi sebagai perekonomian yaitu konsep yang menyatakan bahwa ekonomi merupakan institusi yang memiliki sifat-sifat sosial dan historis khusus. Kegiatan ekonomi dalam konsep ini diberi wilayah terpisah dan menjadi sebuah institusi yang berdiri sendiri.19

Definisi ekonomi politik menurut Yustika (2012)20:

“interrelasi di antara aspek, proses, dan institusi politik dengan kegiatan ekonomi (produksi, investasi, penciptaan harga,

perdagangan, konsumsi, dan lain sebagainya)”

Dari definisi tersebut Yustika (2012) menjelaskan bahwa ekonomi politik menghubungkan seluruh penyelengaraan politik baik aspek, proses, maupun kelembagaan dengan kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat maupun pemerintah.

Menurut Damanhuri (2010) analisis ekonomi politik diperlukan untuk memahami berbagai pendekatan teori secara komparatif seperti teori liberal, teori radikal atau struktural dan teori heterodoks.21 Berdasarkan teori liberal setiap individu diberi kebebasan dalam menguasai dan mengelola sumber daya untuk memenuhi kepentingannya. Perekonomian dalam teori liberal tidak memerlukan intervensi dari pemerintah karena perekonomian akan berjalan menurut mekanisme pasar. Menurut teori liberal ada dua cara dalam mengatasi keterbelakangan negara berkembang yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan perdagangan bebas internasional. 22

Sedangkan teori radikal atau struktural (Marxis dan Neo Marxis) muncul berdasarkan kritikan terhadap teori liberal. Para pencetus teori radikal menganggap keterbelakangan negara sedang berkembang disebabkan oleh adanya ekspansi kapital oleh negara maju. Ekspansi kapital tersebut menyebabkan adanya surplus transfer produksi kepada kaum kapitalis dan berakibat pada pemiskinan massa yang terjadi di negara sedang berkembang melalui ketergantungan modal dan teknologi oleh negara berkembang kepada negara maju.23

Indonesia (Bogor: IPB Press, 2010), h. 2

22

Ibid, h. 14-15 23

(24)

8

Pendekatan teori yang ketiga yaitu pendekatan teori heterodoks yang merupakan teori yang menyempal dari teori liberal dan teori radikal. Teori heterodoks didasarkan pada kenyataan yang terjadi di negara sedang berkembang. Dalam teori ini ada pengakuan terhadap kebudayaan dan struktur sosial yang disesuaikan dengan nilai-nilai modern, sehingga menjadi kekuatan dalam pembangunan ekonomi yang lebih maju.24

Teori Surplus Values dan Teori Ketergantuan

Penelitian ini lebih difokuskan pada analisis ekonomi politik berdasarkan teori radikal atau struktural dengan pendekatan teori surplus values dan teori ketergantungan (dependency theory). Teori surplus values dikemukakan oleh Karl Marx dengan membagi dua kelompok besar dalam kapitalisme yaitu pekerja yang menjual tenaganya sesuai harga pasar dan kapitalis sebagai pemilik alat-alat produksi. Marx melihat adanya transfer nilai surplus kepada kaum kapitalis akibat eksploitasi terhadap pekerja. Kaum kapitalis terus menambah surplus values dengan cara penambahan jam kerja dan pengurangan upah pekerja. Surplus values tersebut berupa kelebihan tenaga yang diberikan oleh pekerja tanpa menerima imbalan. 25

Teori ketergantungan muncul berdasarkan kerangka pemikiran Paul Baran. Pemikiran Paul Baran menyatakan bahwa negara berkembang memperoleh keuntungan dengan adanya pergerakan modal dari negara maju, akan tetapi keuntungan ini tidak dapat diakumulasikan kembali oleh negara berkembang seperti yang terjadi di negara maju. Penyebabnya adalah terjadinya perpindahan akumulasi keuntungan dari negara berkembang ke negara maju yang diakibatkan adanya pergerakan faktor modal tersebut. Selain itu menurut Baran, sektor industri yang mengalami pertumbuhan dengan pesat hanyalah industri yang memproduksi barang mewah, kondisi ini mengarah pada situasi monopolistis dan oligopolistis. Pertumbuhan ekonomi seperti ini terjadi atas adanya kerjasama antara pemodal asing dengan pengusaha domestik dan elite berkuasa yang bertugas sebagai kelas komprador yang melindungi kepentingan pihak asing di dalam negeri.26

(25)

9 Dos Santos mengembangkan hipotesis Gunder Frank dengan melihat pola kerjasama antara elite penguasa dan golongan yang melindungi para elite tersebut. Menurut Dos Santos, proses ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju bukan hanya disebabkan oleh faktor dari luar negeri tetapi juga harus memperhatikan faktor dari dalam negeri. Sehingga untuk memutus ketergantungan terhadap pihak asing tidak dapat hanya dengan melakukan isolasi akan tetapi harus mengubah struktur di dalam negeri terlebih dahulu supaya tidak menimbulkan kekacauan ekonomi dalam negeri.28

Selain Gunder Frank dan Dos Santos pendukung teori ketergantungan yang lain yaitu Samir Amin. Samir Amin mengungkapkan terjadinya hubungan perdagangan internasional dengan pertukaran yang tidak adil (unequal exchange) antara negara maju atau sentral (centre atau core) dan negara miskin atau pinggiran (peripheri). Rintangan yang muncul karena pertukaran yang tidak adil menyebabkan pertumbuhan ekonomi prakapitalis menuju ekonomi kapitalis di negara periphery sangat berbeda dengan negara centre. Sehingga mengakibatkan negara periphery yang terbelakang tetap terus terbelakang.29

Kebijakan Perikanan Tangkap

Kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebijakan yang meliputi kebijakan pemerintah dan peraturan yang mengatur mengenai perikanan tangkap. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2010) dalam melaksanakan program pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap menggunakan alokasi dana sebesar Rp 8 145 000 000 000,00. Dana tersebut kemudian dialokasikan untuk enam kegiatan di tingkat nasional yang akan dilaksanakan pada periode 2010-2014, yaitu30:

1. Pengelolaan Sumber Daya Ikan (SDI).

2. Pembinaan dan pengembangan kapal perikanan, alat penangkapan ikan, dan pengawakan kapal perikanan.

3. Pengembangan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan. 4. Pelayanan usaha perikanan tangkap yang efisien, tertib, dan berkelanjutan. 5. Pengembangan usaha penangkapan ikan dan pemberdayaan nelayan skala

kecil.

6. Peningkatan dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.

Sehubungan dengan kebijakan perikanan ini, KKP telah berupaya untuk membuat program-program pemberdayaan dan pembangunan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Secara umum program ini terbagi menjadi dua, yaitu pertama program ekonomi yang bertujuan meningkatkan pendapatan nelayan melalui pemberdayaan, pemberian kredit, penyuluhan pengembangan usaha, pengadaan fasilitas pemasaran produksi. Kedua,

28

Ibid, h. 27-28 29

Ibid, h. 31 dan 34. Lihat juga Didin S. Damanhuri (2010), op. cit, h. 48 30

(26)

10

program kesejahteraan rakyat seperti program kependudukan, kesehatan, pendidikan serta perbaikan lingkungan.

Program-program tersebut selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) KKP tentang penugasan sebagian urusan pemerintahan (tugas pembantuan) bidang kelautan dan perikanan tahun anggaran 2010 kepada pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Kegiatan pengembangan sumber daya perikanan tangkap di Provinsi Jawa Tengah adalah peningkatan dan pengembangan pelabuhan perikanan/ pangkalan pendaratan ikan.31 Di Kota Semarang program pengembangan sumber daya perikanan dikembangkan menjadi kegiatan pemberdayaan ekonomi, sosial, budaya pelaku usaha perikanan dan masyarakat pesisir.32

Program dari kebijakan yang telah disusun oleh KKP tersebut setelah dilimpahkan kepada masing-masing pemimpin daerah harus mendapat pengawasan. Kurangnya kontrol pemerintah dapat menyebabkan perbedaan pemahaman yang dapat memunculkan konflik diantara para stakeholders di sektor perikanan dan daerah-daerah kabupaten/kota yang berbatasan. Adapun permasalahan yang timbul diantaranya konflik dalam memperebutkan sumber daya baik sumber daya air, lahan maupun ikan serta terbukanya celah terhadap penguasaan asing melalui penanaman modal yang pada akhirnya mengakibatkan terpinggirkannya nelayan kecil (Lihat Tabel 2).

Tabel 2 Peraturan perundang-undangan yang berpotensi menimbulkan konflik

No Sumber: Diadaptasi dari Tabel 5.1 dalam Apridar, et al. (2011)33

(27)

11

Karakteristik Nelayan

Nelayan memiliki sistem nilai dan simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Nelayan menurut Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Statistik perikanan tangkap mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan. Pembuat jaring, pengangkut alat-alat perlengkapan ke dalam kapal tidak termasuk sebagai nelayan, sedangkan juru masak dan ahli mesin yang bekerja di atas kapal termasuk sebagai nelayan meskipun tidak melakukan kegiatan penangkapan ikan.

Statistik perikanan tangkap membagi nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan34, yaitu:

1. Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan penangkapan ikan.

2. Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian waktu kerjanya digunakan untuk melakukan penangkapan ikan. Selain melakukan pekerjaan penangkapan ikan nelayan ini bisa memiliki pekerjaan yang lain.

3. Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian waktu kerjanya digunakan untuk melakukan penangkapan ikan.

Menurut Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan, nelayan dibagi ke dalam empat kategori yaitu nelayan pemilik, nelayan penggarap, pemilik tambak dan penggarap tambak. Sementara Undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan mendefinisikan35:

1. Nelayan adalah orang yang mata pencahariaannya melakukan penangkapan ikan.

2. Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariaannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 gross ton (GT). 3. Pembudidaya ikan adalah orang yang mata pencahariaannya melakukan

budidaya ikan.

4. Pembudidaya ikan kecil adalah orang yang mata pencahariaannya melakukan budidaya ikan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Sedangkan berdasarkan kepemilikan alat tangkap nelayan dibagi menjadi dua kategori, yaitu:

1. Nelayan pemilik (Juragan) adalah nelayan yang memiliki alat penangkapan berupa perahu maupun jaringnya.

2. Nelayan penggarap (nelayan buruh) adalah nelayan yang tidak memiliki alat penangkapan, mereka mengoperasikan alat tangkap dengan menyewa dari pemilik alat penangkapan atau menjadi pekerja (buruh) pada pemilik alat penangkapan.

Pola bagi hasil nelayan pemilik dan nelayan penggarap diatur dalam Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan pada pasal 3 ayat 1. Adapun bagi hasil untuk nelayan penggarap di perikanan laut yang

34

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Statistik Perikanan Tangkap 2010 (Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2010) , h. xv

35

(28)

12

menggunakan kapal layar yaitu minimal 75% dari hasil bersih, sedangkan yang menggunakan kapal motor minimal 40% dari hasil bersih.36 Pasal 4 dari undang-undang tersebut mengatur tentang beban-beban yang termasuk tanggungan bersama dan tanggungan nelayan pemilik. Beban-beban yang menjadi tanggungan bersama yaitu ongkos lelang, biaya perbekalan nelayan penggarap selama di laut, biaya untuk sedekah laut serta iuran-iuran yang disahkan Pemerintah Daerah Tingkat II. Sedangkan beban-beban yang menjadi tanggungan nelayan pemilik yaitu ongkos pemeliharaan dan perbaikan alat penangkapan, biaya penyusutan dan juga biaya usaha penangkapan seperti BBM, minyak, es, dan sebagainya.37

Di Kota Semarang nelayan dikategorikan menjadi tiga yaitu nelayan pemilik (juragan), nelayan buruh, dan nelayan perorangan. Nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki alat penangkapan sendiri dan melakukan penangkapan sendiri tanpa tenaga tambahan orang lain. Pola bagi hasil yang diberlakukan bagi nelayan buruh di daerah ini diberlakukan sesuai dengan undang-undang tersebut dengan pengawasan dari Pemerintah Daerah Tingkat II.

Penelitian Terdahulu

Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai kebijakan modernisasi perikanan dan kaitannya dengan kemiskinan nelayan dan eksploitasi terhadap nelayan. Nasikun (1995) dalam Karim (2005) yang melakukan penelitian terhadap nelayan di daerah Muncar, Jawa Timur membuktikan bahwa penggunaan teknologi tangkap yang lebih modern tidak diikuti dengan hubungan kerja antara patron dan client yang saling menguntungkan. Dengan sistem bagi hasil yang eksploitatif, pendapatan yang diperoleh dari hasil penangkapan ikan tidak dinikmati oleh para nelayan tetapi hanya dinikmati oleh pemilik kapal. Pada tingkat pemasaran aksesnya dikuasai oleh kalangan pemilik modal yang dengan mudah memainkan harga hasil produksi.38

Pangemanan (1994) melakukan penelitian mengenai peranan lembaga pemasaran perikanan di Sulawesi Utara mengungkapkan bahwa TPI di Aer Tembaga Bitung belum mampu menjalankan peranan dan fungsinya sebagai lembaga pemasaran hasil perikanan. Masih banyak transaksi nelayan dengan „petibo‟ atau pedagang yang tidak melalui proses lelang. Hal ini karena pedagang besar kurang tertarik dengan proses lelang yang pada akhirnya akan mengurangi keuntungan bagi mereka. Padahal lembaga pemasaran seperti tempat pelelangan ikan tersebut dapat melindungi para nelayan dari permainan harga para pedagang besar.39

Seperti yang diungkapkan Tjitroresmi dalam Masyhuri (2001) bahwa meskipun nelayan dapat menangkap ikan bernilai ekonomis tinggi namun mereka belum mampu untuk menjual langsung kepada eksportir, sehingga nelayan harus puas dengan harga yang diberikan pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul

36

Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan pasal 3 ayat 1 37

Ibid, pasal 4 38

Muhamad Karim [Tesis]: Analisis Kemiskinan dan Kesenjangan Pembangunan Di Kawasan Pesisir Kabupaten Karawang dan Sukabumi Jawa Barat (Bogor: IPB, 2005), h. 19

39

(29)

13 inilah yang nantinya menerima keuntungan yang lebih besar dibandingkan nelayan.40 Listianingsih (2008) dalam penelitiannya mengenai hubungan sistem pemasaran dan kemiskinan nelayan di PPI Muara Angke mengemukakan bahwa terdapat gejala eksploitasi dalam praktik pemasaran yang dilakukan pedagang perantara sehingga mengakibatkan rendahnya pendapatan nelayan. Gejala eksploitasi juga terlihat dalam praktik pola bagi hasil ABK dan juragan kapal.41

Tindjabate (2001) dalam Karim (2005) melakukan penelitian tentang kemiskinan nelayan sebagai akibat dari kebijakan pembangunan perikanan Pemerintah Daerah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Kebijakan dengan merealisasikan kepentingan pemerintah untuk meningkatkan hasil produksi perikanan laut sebagai sumber devisa negara berlangsung secara intensif, melalui intervensi birokrasi dan kapitalisasi dalam kegiatan nelayan di Kecamatan Ampenan. Dampaknya yaitu adanya diskriminasi terhadap kepentingan nelayan tradisional dari aparat Pemerintah Daerah Kabupaten Poso. Intervensi kapital telah menyebabkan hubungan kerja menjadi beragam. Hal tersebut ditandai dengan munculnya buruh nelayan dan ponggawa, serta perubahan sumber penghasilan nelayan menjadi bergantung pada upah yang diberikan oleh juragan pemilik pukat cincin yang mengakibatkan eksploitasi kepada nelayan buruh.42

Satria (2000) dalam penelitiannya tentang modernisasi perikanan dan mobilitas sosial nelayan di Kelurahan Krapyak Lor, Pekalongan Jawa Tengah menyatakan bahwa modernisasi di Pekalongan terjadi dalam tiga tahap yaitu pertama modernisasi melalui birokrasi pemerintah, kedua melalui jalur kapitalis, dan yang ketiga kembali melalui jalur birokrasi pemerintah. Dalam modernisasi yang kedua ternyata memunculkan adanya elit pengusaha perikanan yang diwarnai gejala kompradorisasi. Hal tersebut menyebabkan surplus transfer dari Pekalongan ke luar Pekalongan dan surplus tersebut berasal dari hasil eksploitasi terhadap buruh nelayan melalui peran Primkopal (institusi milik Angkatan Laut) dan HNSI (Himpunan Kerukunan Nelayan Indonesia) sebagai kelas komprador.43

Pranadji (1995) dalam Satria (2000) menjelaskan bahwa modernisasi perikanan tangkap berupa perbaikan teknologi penangkapan masih menguntungkan nelayan kaya (juragan) melalui kelembagaan bagi hasil dalam kelompok kerja yang tidak memungkinkan nelayan buruh untuk menikmati hasil dari modernisasi karena tidak adanya kesempatan untuk berinteraksi dengan jaringan kerja di luar kelompok kerja nelayan.44 Oleh Sajogyo (1982) dalam Satria (2000) dikatakan sebagai „modernization without development’ karena modernisasi yang mengarah pada peningkatan produksi perikanan hanya merupakan pertumbuhan ekonomi saja dan belum bisa dikatakan sebagai pembangunan ekonomi. Sajogyo juga mengatakan modernisasi masih bias kepada kepentingan elit nelayan yang memiliki akses terhadap modernisasi tersebut.45

40

Masyhuri (Ed). Adaptasi Nelayan dalam Pemanfaatan Sumber daya Laut: Aspek Kelembagaan Ekonomi (Jakarta: P2E-LIPI, 2001), h. 61-65

41

Windi Listianingsih [Skripsi]: Sistem Pemasaran Hasil Perikanan dan Kemiskinan Nelayan (Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara) (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2008), h. 133

42

Muhamad Karim [Tesis], op.cit, h. 20 43

Arif Satria [Tesis]: Modernisasi Perikanan dan Mobilitas Sosial Nelayan, Studi Kasus Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan Jawa Tengah (Bogor: IPB, 2000), h. 121

44

Ibid, h. 32 45

(30)

14

Karim (2005) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa desa pesisir dengan perkembangan yang maju seperti Pelabuhanratu merupakan daerah yang sangat miskin. Hal tersebut dibuktikan oleh Karim dengan tingginya pemukiman kumuh, tingginya penduduk yang bermukim di bantaran sungai, tingginya angka pengangguran, dan terjadi kesenjangan kesejahteraan distribusi pendapatan yang besar di Desa Pelabuhanratu. Karim melihat penyebab kemiskinan tersebut dari dimensi struktural. Masyarakat Desa Pelabuhanratu memiliki kemampuan secara fisik dalam mengakses sumber daya alam akan tetapi kondisi kemiskinannya tetap tinggi akibat tekanan struktural seperti kekuasaan, kelembagaan dan kebijakan.46

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini fokus pada bahasan mengenai dampak kebijakan dan program pemberdayaan ekonomi serta pengembangan usaha perikanan tangkap terhadap distribusi pendapatan nelayan di Kota Semarang serta bagaimana pola bagi hasil dan juga struktur pemasaran komoditas perikanan tangkap. Pada pembahasannya akan diperdalam dengan menggunakan analisis ekonomi politik dan analisis mengenai fenomena kompradorisasi dalam perikanan tangkap Kota Semarang.

Kerangka Pemikiran

Sejak reformasi, pemerintah Indonesia mulai menyadari arti penting sektor kelautan dan perikanan yang ditunjukan dengan dicanangkannya program dan kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Dampaknya sangat terlihat yaitu terjadinya peningkatan produksi perikanan karena adanya modernisasi perikanan dengan dukungan usaha-usaha berskala besar dan juga padat modal. Kondisi tersebut pada akhirnya meningkatkan kesenjangan antar pelaku usaha perikanan, karena kurang memperhatikan aspek kesejahteraan nelayan. Nelayan dituntut untuk melakukan kapitalisasi perikanan padahal tidak semua nelayan dapat mengakses teknologi modern. Dalam penelitian ini akan digunakan analisis ekonomi politik yang dibantu dengan analisis ketimpangan distribusi pendapatan untuk melihat dampak kebijakan kelautan dan perikanan terhadap distribusi pendapatan antar nelayan di Kota Semarang.

Modernisasi dalam bentuk kapitalisasi perikanan tidak terlepas dari proses produksi di luar Kota Semarang baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri. Modernisasi merupakan kerjasama elit lokal dan elit luar dalam penetrasi kapital. Hubungan antara elit lokal (elit ekonomi/kapitalis, elit politik, elit sosial) dan elit luar (kapitalis) berbeda-beda, untuk itu akan diteliti lebih lanjut elit lokal manakah yang melakukan kerjasama secara intensif dengan elit luar. Penelitian ini akan melihat lebih lanjut apakah kemunculan elit pengusaha dan elit penguasa lokal diwarnai dengan gejala kompradorisasi. Untuk analisis gejala kompradorisasi akan dilakukan analisis terhadap dua dimensi yaitu dimensi mikro dan dimensi makro. Analisis terhadap dimensi mikro melihat apakah terjadi surplus transfer dari buruh nelayan ke nelayan pemilik (juragan) dan bagaimana peran elit yang berkuasa pada fenomena tersebut. Sedangkan analisis terhadap dimensi makro melihat apakah terjadi surplus transfer dari dalam Kota Semarang ke luar Kota Semarang. Analisis terhadap dimensi mikro maupun dimensi makro dilakukan dengan pendekatan deskriptif berdasarkan data-data sekunder.

46

(31)

15 Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat dalam gambar 1

Gambar 1 Kerangka Penelitian

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah suatu studi mengenai cara-cara melaksanakan penelitian berdasarkan realitas atau gejala-gejala secara ilmiah.47 Maksudnya dalam melaksanakan penelitian, para peneliti diharuskan memilih berbagai metode berdasarkan prosedur, alat, serta desain penelitian yang digunakan. Metode penelitian juga dapat didefinisikan sebagai cara ilmiah untuk memperoleh data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah artinya penelitian didasarkan pada ciri-ciri rasional yaitu dengan cara yang masuk akal, empiris yaitu dapat diamati oleh indera manusia, dan sistematis yaitu menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis.48

47

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi: Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 2 48

Sugiyono: Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta,2011), h. 2 Pembangunan perekonomian Indonesia berbasis perikanan

Kebijakan sektor perikanan tangkap dengan orientasi peningkatan produksi dan ekspor perikanan nasional

Modernisasi melalui kapitalisasi perikanan

Analisis ekonomi politik

Kemiskinan relatif dan kemiskinan struktural

nelayan

Analisis gejala kompradorisasi

Ada atau tidaknya gejala kompradorisasi

Rekomendasi Kebijakan

Analisis indeks gini ratio pendapatan

nelayan Merata atau tidaknya distribusi pendapatan Munculnya elit pengusaha, elit

(32)

16

Metode penelitian dapat dikategorikan menjadi dua, metode penelitian kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kuantitatif memandang realitas atau gejala sebagai sesuatu yang dapat diklasifikasikan, relatif tetap, teramati, terukur, dan hubungannya bersifat sebab akibat. Sedangkan metode kualitatif memandang suatu realitas atau gejala sebagai sesuatu yang utuh, kompleks dinamis, penuh makna, dan hubungannya bersifat interaktif.49 Metode kuantitatif digunakan apabila masalah penelitian yang merupakan penyimpangan antara yang seharusnya dengan yang terjadi sudah jelas. Sedangkan metode kualitatif digunakan apabila masalah penelitian belum jelas, sehingga peneliti dapat melakukan eksplorasi terhadap suatu obyek untuk menemukan masalah penelitian yang jelas.50 Kedua metode tersebut dapat digunakan bersama-sama dalam sebuah penelitian.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan yaitu pada bulan Maret hingga bulan Septembar 2014. Penentuan pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan berikut:

1. Kota Semarang telah memperoleh program pemberdayaan dari pemerintah pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan) berupa Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang digulirkan pada tahun anggaran 2003 sampai dengan tahun 2008 di Kelurahan Mangkang Wetan, Kelurahan Mangunharjo, Kelurahan Mangkang Kulon, Kelurahan Bandarharjo dan Kelurahan Tanjung Mas serta Program Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) yang dimulai tahun anggaran 2011 sampai tahun 2014.

2. Di Kota Semarang hanya satu tempat pelelangan ikan yang menunjukkan aktivitas perekonomian masyarakat pesisir yaitu TPI Tambaklorok di Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara. TPI Tambaklorok tersebut belum berfungsi maksimal dalam membantu nelayan untuk memasarkan ikan dan kurangnya pengawasan pemerintah di sekitar TPI, sehingga nelayan di Kota Semarang masih menggantungkan proses pemasaran ikan pada pedagang pengumpul.

Berdasarkan pertimbangan dua faktor di atas, maka lokasi penelitian mengenai kebijakan perikanan terhadap nelayan yaitu di Kelurahan Tanjungmas, Kota Semarang dimana terdapat aktivitas perekonomian di TPI Tambaklorok pada kelurahan tersebut serta telah menjadi sasaran Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dan Program Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP).

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer berupa data yang relevan untuk

49

Ibid, h. 8 50

(33)

17 menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian. Teknik pengumpulan data primer ini dilakukan dengan teknik indepth interview dan observasi. Indepth interview dilakukan menggunakan cara dan kondisi yang berbeda untuk setiap responden. Pengambilan sample sebanyak 50 responden dilakukan dengan menggunakan teknik Purposive Random Sampling, dimana penentuan sample dilakukan dengan pertimbangan tertentu dan ada unsur kesengajaan di dalamnya, pengambilan sample dengan cara ini lebih cocok untuk penelitian-penelitian yang tidak melakukan generalisasi. 51 Pertimbangan tertentu dalam penelitian ini berdasarkan jenis usaha perikanan yaitu usaha penangkapan ikan di laut dan juga pertimbangan pemilihan lokasi di Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Semarang Selatan.

Responden yang diperlukan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan yaitu sebanyak 50 orang yang mewakili dalam pola pemasaran komoditas perikanan tangkap, sedangkan untuk indepth interview tidak ditentukan jumlahnya sehingga dapat diperoleh informasi sebanyak-banyaknya, dengan responden antara lain nelayan (nelayan pemilik, nelayan perorangan dan nelayan buruh) di Kelurahan Tanjungmas Kecamatan Semarang Utara, pihak-pihak yang terkait dengan perikanan tangkap Kota Semarang seperti pegawai TPI, pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, Lembaga Badan Hukum Semarang, pedagang ikan, pedagang pengumpul, dan lain-lain. Data sekunder diperoleh dari data-data literatur perikanan di Kota Semarang, buku-buku, karya tulis ilmiah yang relevan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Badan Pusat Statistika, Survey Sosial Ekonomi Nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang dan lembaga-lembaga terkait.

Kebijakan dan program perikanan tangkap yang diteliti adalah kebijakan dan program perikanan tangkap yang ada di lokasi penelitian dan difokuskan pada program ekonomi saja seperti program pemberian kredit usaha perikanan tangkap yang dilaksanakan pada tahun 2003 (PEMP) dan pada tahun 2011-2014 (PUMP) serta pembangunan tempat pelelangan ikan atau pusat pendaratan ikan. Waktu amatan dalam penelitian ini yaitu dari tahun 2003-2013. Komoditas sektor perikanan yang diteliti dalam penelitian ini dibatasi kepada perikanan tangkap laut.

Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dalam dua tahap, pertama analisis terhadap data yang diperoleh secara langsung selama penelitian dan kedua analisis terhadap data dari kejadian di masa lampau (sejarah). Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan dengan membagi data menjadi dua kategori yaitu data kuantitatif dari sumber primer berupa data pendapatan nelayan dan data dari sumber sekunder yang keduanya digunakan untuk melengkapi bahan analisis deskriptif.

Analisis tingkat ketimpangan dengan indikator koefisien gini pendapatan nelayan digunakan sebagai metode analisis untuk melihat tingkat kemerataan distribusi pendapatan nelayan di Kota Semarang setelah diberlakukannya program

51

(34)

18

pemberdayaan dan pengembangan usaha. Kemudian dilakukan analisis deskriptif menggunakan analisis ekonomi politik terhadap gejala eksploitasi nelayan serta gejala kompradorisasi akibat kebijakan perikanan tangkap Kota Semarang berdasarkan teori-teori yang relevan. Untuk memperdalam analisis kompradorisasi digunakan analisis struktur pemasaran dan presentase margin yang diperoleh nelayan sehingga dapat dilihat pada pola pemasaran komoditas perikanan apakah terjadi fenomena kompradorisasi.

Analisis Ekonomi Politik

Analisis ekonomi politik menjelaskan interaksi antara proses-proses ekonomi maupun politik. Analisis merupakan analisis ekonomi secara makro maupun mikro yang dikaitkan dengan non-ekonomi (kebijakan, sumber daya, politik, ekologi, lingkungan, dan sosial). Analisis ekonomi politik merupakan suatu proses analisa gejala-gejala dalam kegiatan ekonomi yang terjadi dengan melihat dari struktur kekuasaan di masyarakat.52 Analisis ekonomi politik dalam penelitian ini digunakan untuk melihat perkembangan ekonomi pelaku usaha perikanan tangkap (khususnya nelayan) dikaitkan dengan kebijakan yang menyebabkan perubahan baik ekonomi dan politik pelaku usaha perikanan tangkap tersebut.

Analisis ekonomi politik ini digunakan untuk menjelaskan lebih dalam mengenai perkembangan perekonomian masyarakat pesisir (khususnya nelayan) dikaitkan dengan kebijakan pemerintah, yang dapat menentukan implementasi kebijakan sudah merata atau hanya ditujukan untuk kepentingan sebagian orang. Hal ini karena menurut Azizy (2009) sebagian dari kebijakan pemerintah disengaja atau tidak telah menimbulkan kemiskinan. 53 Kemiskinan dalam pendekatan ekonomi politik yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemiskinan relatif dan kemiskinan struktural. Kemiskinan relatif yaitu situasi kemiskinan yang disebabkan oleh pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mencakup seluruh lapisan masyarakat yang mengakibatkan ketimpangan distribusi pendapatan. Sedangkan kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan. 54 Analisis ekonomi politik selanjutnya diperdalam dengan analisis fenomena kompradorisasi terhadap perikanan tangkap Kota Semarang.

Analisis gejala kompradorisasi

Analisis gejala kompradorisasi dapat dilihat dengan menggunakan analisis hubungan antar kelas dalam proses ekonomi yang juga bertanggung jawab atas keterbelakangan masyarakat di negara berkembang.55 Proses aliran masuknya modal ke suatu daerah muncul karena adanya kerjasama antara elit lokal yang memiliki modal maupun yang memiliki kekuasaan dan juga elit luar sebagai pemilik modal. Elit lokal baik elit pengusaha lokal maupun elit penguasa lokal sebagai kelas komprador bekerjasama dalam melindungi kepentingan kaum

52

Ahmad Erani Yustika, op. cit, h. 131 53

Auhadillah Azizy [Tesis]: Analisis Keterkaitan Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang dengan Tingkat Kesejahteraan Nelayan Tradisional (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta) (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2009), h. 86

54

Didin S. Damanhuri, op. cit, h.97-98 55

(35)

19 pemodal di dalam negeri.56 Kerjasama antara para elit penguasa dan pengusaha yang menyebabkan surplus transfer ke luar inilah yang disebut sebagai gejala kompradorisasi. Dalam penelitian ini akan dilihat apakah terjadi kerjasama antar para elit dan apakah terjadi surplus transfer ke luar daerah penelitian.

Analisis gejala kompradorisasi dalam penelitian ini dilakukan terhadap dua dimensi yaitu dimensi mikro dan dimensi makro. Analisis terhadap dimensi mikro melihat apakah terjadi surplus transfer dari nelayan buruh (ABK) ke juragan dan pedagang atau eksportir ikan serta bagaimana peran elit yang berkuasa pada fenomena tersebut. Dalam analisis di tingkat mikro dibantu dengan analisis struktur pasar dan analisis penerimaan margin nelayan. Sedangkan analisis terhadap dimensi makro melihat apakah terjadi surplus transfer dari dalam Kota Semarang ke luar Kota Semarang dan bagaimana peran elit pengusaha atau elit penguasa pada fenomena tersebut. Analisis terhadap dimensi mikro maupun dimensi makro dilakukan dengan pendekatan deskriptif berdasarkan data-data sekunder.

Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan

Metode analisis yang digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan adalah Indeks Gini Ratio pendapatan nelayan. Koefisien gini adalah ukuran ketimpangan pendapatan secara menyeluruh yang angkanya berkisar antara nol artinya pemerataan sempurna hingga satu artinya ketimpangan sempurna.57 Koefisien yang ketimpangannya tinggi berkisar antara 0.50-0.70, koefisien yang ketimpangannya sedang berkisar antara 0.38-0.70, sedangkan distribusi pendapatan yang relatif merata angkanya berkisar antara 0.20-0.38. Untuk menghitung besarnya nilai koefisien Gini (Gini Ratio) digunakan rumus berikut:

keterangan:

KG = Koefisien Gini

Fx = Proporsi Jumlah RT (n/k)

n = Frekuensi pendapatan yang sama dari rumah tangga nelayan k = Total kumulatif frekuensi pendapatan yang sama

Yi = Proporsi jumlah pendapatan RT kumulatif i = index yang menunjukkan nomor sampel

Koefisien gini didasarkan pada kurva Lorenz, kurva ini menggambarkan hubungan antara prosentase jumlah penduduk dengan prosentase pendapatan yang diterima. Sumbu vertikal merupakan bagian dari total pendapatan yang diterima oleh masing-masing prosentase jumlah penduduk. Sedangkan garis diagonal bersudut 450 merupakan garis pemerataan sempurna (Lihat Gambar 2). Semakin jauh kurva Lorenz dari garis diagonal atau garis pemerataan sempurna atau semakin besar luas wilayah yang dibentuk oleh fungsi yang menggambarkan tingkat pendapatan dan garis diagonal maka semakin tinggi ketidakmerataan yang

56

Ibid, h. 22 57

(36)

20

ditunjukkan. Semakin tinggi ketidakmerataan, kurva Lorenz akan semakin cembung dan mendekati sumbu horizontal.58

Gambar 2 Kurva Lorenz

Bank dunia mengkategorikan penduduk berdasarkan besarnya pendapatan 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah dan 20% penduduk dengan pendapatan tinggi. Bank dunia mengukur ketidakmerataan distribusi pendapatan berdasarkan 40% kelompok penduduk dengan penghasilan rendah dengan kriteria59:

Jika prosentase pendapatan yang diterima penduduk dengan kategori 40% terendah tersebut lebih kecil dari 12% dari seluruh pendapatan maka termasuk dalam kategori ketimpangan yang tinggi.

Jika prosentase pendapatan yang diterima penduduk dengan kategori 40% terendah tersebut antara 12-17% dari seluruh pendapatan maka termasuk dalam kategori ketimpangan sedang.

Jika prosentase pendapatan yang diterima penduduk dengan kategori 40% terendah tersebut antara 17-22% dari seluruh pendapatan maka termasuk dalam kategori ketimpangan yang rendah.

Jika prosentase pendapatan yang diterima penduduk dengan kategori 40% terendah tersebut lebih besar dari 22% dari seluruh pendapatan maka termasuk dalam kategori tidak ada ketimpangan.

58

Lincolin Arsyad: Ekonomi Pembangunan (Yogyakarta: STIE YKPN, 1999), h. 229-230 59

Didin S. Damanhuri, op. cit, h. 100-101 0

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 20 40 60 80 100

Prosentase pendapatan

Prosentase Penduduk

(37)

21

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografi Kota Semarang

Kota Semarang merupakan Ibukota Provinsi Jawa Tengah kota yang terletak di antara garis 6050‟ Lintang Selatan dan 1090 35‟ - 1100 50‟ Bujur Timur. Luas wilayah Kota Semarang yaitu 373.70 km2 yang merupakan 1.15% dari total luas daratan Provinsi Jawa Tengah. Batas-batas Kota Semarang secara administratif sebagai berikut:

1. sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa dengan panjang garis pantai mencapai 13.6 kilometer.

2. sebelah barat adalah Kabupaten Kendal. 3. sebelah timur dengan Kabupaten Demak. 4. sebelah selatan dengan Kabupaten Semarang.

Kota Semarang memiliki posisi geostrategis karena berada pada jalur lalu lintas perekonomian Pulau Jawa dan merupakan koridor pembangunan Jawa Tengah yang terdiri dari empat simpul pintu gerbang yakni koridor Pantai Utara; koridor Selatan ke arah Magelang dan Surakarta yang dikenal dengan koridor Merapi-Merbabu; koridor Timur ke arah Demak dan Grobogan; dan koridor Barat menuju Kendal. Kota Semarang sangat berperan terhadap perkembangan dan pertumbuhan Provinsi Jawa Tengah karena adanya pelabuhan, jaringan transportasi darat dan transportasi udara yang merupakan potensi bagi transportasi regional Jawa Tengah dan Kota Transit Regional Jawa Tengah.

Secara administrasi Kota Semarang terbagi menjadi 16 kecamatan dengan empat kecamatan berbatasan langsung dengan Laut Jawa atau merupakan kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Tugu, Genuk, Semarang Utara, dan Semarang Barat. Kecamatan pesisir paling timur yaitu Kecamatan Genuk dan paling barat yaitu Kecamatan Tugu. Luas wilayah pesisir Kota Semarang yaitu 91.88 km2 atau 24.54% dari luas Kota Semarang. Adapun luas per kecamatan pesisir yaitu Kecamatan Tugu 31.78 km2, Genuk 27.39 km2, Semarang Barat 21.74 km2, dan Semarang Utara 10.97 km2 (lihat Tabel 3). Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Semarang Utara dapat dikatakan sebagai pusat kegiatan perikanan di Kota Semarang hal tersebut disebabkan oleh tempat pelelangan ikan sekaligus pasar ikan yang terdapat di kelurahan tersebut.

Tabel 3 Luas kecamatan pesisir di Kota Semarang dan presentase terhadap luas Kota Semarang

Kecamatan Luas Wilayah (km2) Presentase (%)

Tugu 31.78 8.50

Genuk 27.39 7.33

Semarang Barat 21.74 5.82

Semarang Utara 10.97 2.94

(38)

22

Kondisi Demografi Kota Semarang

Kota Semarang terbagi menjadi 16 kecamatan dan 117 kelurahan dengan jumlah penduduk tahun 2013 tercatat sebesar 1 572 105 jiwa dengan penduduk perempuan sebesar 770 929 jiwa dan penduduk laki-laki 781 176 jiwa. Pertumbuhan penduduk selama tahun 2013 sebesar 0.83% lebih rendah dibandingkan tahun 2012 sebesar 0.96%. Di kecamatan pesisir Kota Semarang kepadatan penduduknya yaitu di Kecamatan Semarang Utara sebesar 11 671 jiwa/km2, Kecamatan Tugu sebesar 984 jiwa/km2, Kecamatan Semarang Barat sebesar 8 468jiwa/km2 , Kecamatan Genuk sebesar 3 412 jiwa/km2.

Sekitar 71.57% penduduk Kota Semarang merupakan penduduk usia produktif sehingga angka beban tanggungan60 pada tahun 2012 sebesar 39.72% yang berarti 100 orang penduduk usia produktif menanggung 40 orang penduduk usia tidak produktif.61 Bentuk piramida penduduk Kota Semarang adalah piramida ekspansif dengan jumlah penduduk usia muda lebih banyak daripada usia dewasa dan tua. Jumlah penduduk paling banyak berada pada kelompok umur 20-24 yaitu sebesar 154 103 jiwa dan jumlah penduduk paling sedikit berada pada kelompok umur 60-64 sebesar 36 562 jiwa.

Tabel 4 Jumlah penduduk Kota Semarang berdasarkan kecamatan dan jenis kelamin tahun 2013

Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah

Mijen 29 192 28 695 57 887

Gunung Pati 37 963 37 992 75 885

Banyumanik 64 158 66 336 130 494

Gajah Mungkur 31 859 31 740 63 599

Semarang Selatan 40 758 41 535 82 293

Candisari 39 517 40 189 79 706

Tembalang 74 629 72 935 147 564

Pedurungan 87 441 89 702 177 143

Genuk 46 912 46 527 93 439

Gayamsari 37 254 36 491 73 745

Semarang Timur 38 671 39 951 78 622

Semarang Utara 62 256 65 770 128 026

Semarang Tengah 34 766 36 434 71 200

Semarang Barat 78 970 79 698 158 668

Tugu 15 642 15 637 31 279

Ngaliyan 61 188 61 367 122 555

TOTAL 781 176 790 929 1 572 105

Sumber: BPS Kota Semarang, 2013.

60

Angka beban tanggungan yaitu perbandingan antara penduduk usia produktif (16-64 tahun) dengan penduduk usia tidak produktif (0-14 dan >65 tahun). Lihat Badan Pusat Statistika: Kota Semarang dalam Angka 2013, h. 139

61

Gambar

Tabel Halaman
gambar 1
Gambar 2  Kurva Lorenz
Tabel 3  Luas kecamatan pesisir di Kota Semarang dan presentase terhadap luas    Kota Semarang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat yang diharapkan dari penciptaan karya film dokumenter potret “Anak Koin” ini yaitu: Mengenalkan profesi anak koin yang ada di pelabuhan Bakauheni

Hasil penelitian yang dilakukan prosentase tertinggi intensitas nyeri disminorea sebelum dilakukan stimulasi kutaneus (slow stroke back massage) Pada Siswi Kelas VII MTS

Pada hari ini Jum’at tanggal Dua Puluh Enam bulan Agustus tahun Dua Ribu Enam Belas, bertempat di Ruang Sekretariat Kelompok Kerja (Pokja) Barang/ Jasa Lainnya Pada

membawa “print out” undangan pembuktian kualifikasi) Paket pekerjaan Peningkatan Jalan.. Kampung Buton GOR Volley (2 jalur) (Mendukung PON XX) yang akan dilaksanakan

Penentuan jumlah Hasil Produksi Minyak Kelapa Sawit pada PT.Perkebunan Nusantara II Kebun Sawit Seberang periode Februari 2012 sampai Januari 2013 dilakukan dengan

Faktor- faktor yang mempengaruhi keharmonisan commuter family pada keluarga I dan II adalah kedekatan pada keluarga yaitu pasangan selalu bertanya kepada orang tua (keluarga

[r]

Nilai kecerahan dan oksigen terlarut yang rendah berbanding terbalik dengan konsentrasi karbon organik total dan fosfat terlarut pada suatu perairan yang berasal