AJAT ROCHMAT JATNIKA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau untuk Mereduksi Polusi Udara (CO2) di Kota Cibinong
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Ajat Rochmat Jatnika
Mereduksi Polusi Udara (CO2) di Kota Cibinong. Dibimbing oleh ALINDA F. M.
ZAIN dan ENDES N. DAHLAN.
Ruang Terbuka Hijau mempunyai fungsi salah satunya adalah mengurangi kadar karbondioksida di udara. Kadar karbondioksida secara umum meningkat seiring dengan peningkatan gas buang kendaraan bermotor dan perubahan lahan yang disebabkan oleh kegiatan industri, permukiman, atau jasa lainnya. Salah satu kota, yang mengalami peningkatan kegiatan industri, permukiman, dan jasa, serta adanya peningkatan kadar karbondioksida adalah Kota Cibinong. Sari et al. (2007) melakukan penelitian bahwa kondisi kualitas udara di Kota Cibinong mengalami penurunan bahkan telah terjadi hujan asam dan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor mencatat pada kurun waktu 2008 sd 2010 telah terjadi peningkatan kadar emisi karbondioksida di pusat kota yang cukup tinggi.
Tujuan penelitian adalah (1) menganalisis daya serap ruang terbuka hijau terhadap karbondioksida di Kota Cibinong berdasarkan perubahan lahan dari tahun 2000 ke tahun 2010, (2) menganalisis jumlah karbondioksida yang dihasilkan oleh gas buang kendaraan bermotor pada setiap ruas jalan per waktu,(3) memberikan arahan RTH secara spasial, khusunya pada jalur hijau jalan utama di Kota Cibinong untuk mengurangi kadar CO2 akibat emisi gas buang
kendaraan bermotor. Pendekatan studi menekankan pada dua hal analisis spasial RTH yaitu analisis perubahan guna lahan kota (poligon) dan analisis ruas jalan (line). Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam satu dekade (tahun 2000 dan 2010), daya serap ruang terbuka hijau terhadap karbondioksida mengalami penambahan yaitu 145.195 ton/ha/tahun. Hal ini terjadi karena banyak alih fungsi lahan dari tanah kosong/terbuka/tegalan ke lahan perkebunan/kebun, yang memiliki fungsi daya serap karbondioksida cukup baik. Tetapi, dilihat dari pola kecenderungan perubahan lahan, penggunaan lahan permukiman mengalami peningkatan dari 2.268,88 Ha (35,78 %) ke 3.558,22 Ha (56,12 %) sehingga jika pola perubahan fungsi lahan tersebut berlanjut maka ketersediaan Ruang Terbuka Hijau akan berkurang.
Pada ruas-ruas jalan utama yang diteliti (10 ruas jalan), kadar karbondioksida yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor cukup tinggi, yaitu antara 1 - 17 ton/hari. Ruas jalan yang memiliki fungsi jalan arteri primer dan melayani pergerakan regional (jalan Raya Bogor - Jakarta) memiliki kadar karbondioksida paling tinggi, sedangkan ruas jalan dengan fungsi melayani pergerakan lokal dalam kota memiliki kadar karbondioksida rendah. Kontribusi tingginya kadar karbondioksida berasal dari jenis kendaraan non Bus/Truk untuk semua ruas jalan. Hasil tumpang susun kadar karbondioksida tiap ruas jalan dengan penggunaan lahan tahun 2010, maka semakin terlihat bahwa di kawasan permukiman akan menunjukan penilaian kualitas udara yang kurang baik, tetapi pada kawasan non permukiman akan menunjukan kualitas udara yang cukup baik.
Air Pollution (CO2) in Cibinong City. Supervised by ALINDA F. M. ZAIN and
ENDES N. DAHLAN.
Green open space among others have a function to reduce the level of carbondioxide in the air. Carbondioxide levels are generally increased due to an increase in motor vehicle exhaust gas emissions and land use changes, such as changes in open land into industrial, or agricultural land turned into housing, etc. Cibinong City in this decade had increased levels of carbondioxide caused by the developmnet of a growing city.
Research purposes are (1) analyze changes of green open space and its impact on the ability to absorb carbondioxide, (2) analyze the amount of carbondioxide produced by motor vehicle exhaust gas emissions for each road segment and provide direction spatially green open space. The results showed that within a decade (2000 and 2010), the absorption of green open space which has the addition of carbon dioxide to 145 195 tonnes / ha / year. This happens because many land-uses of vacant land / open / moor land to farm / garden, which has a carbon dioxide absorption function quite well. However, judging from the pattern of land use change tendency, residential land use increased from 2268.88 ha (35.78%) to 3558.22 ha (56.12%), so if the pattern of land use change continues, the availability of green open space will reduced. On the main road sections studied (10 roads), the levels of carbon dioxide produced by motor vehicles is quite high, ie between 1-17 tons / day.
Roads that have a primary arterial road function and serve the regional movement (the Bogor Raya - Jakarta) has the highest carbon dioxide levels, while the road to serve the function of a local movement in the city have low carbon dioxide levels. Contribute to high levels of carbon dioxide derived from the type of non-bus vehicles / trucks for all roads. When the carbondioxide emission strength map is overlayed with the land use map then we have the conclusion that the roads that have a high volume of vehicle movement will have a high carbondioxide levels, but not mean low air quality because it depends on the existence of protective trees as green belt or land use.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
A
A
J
J
A
A
T
T
R
R
O
O
C
C
H
H
M
M
A
A
T
T
J
J
A
A
T
T
N
N
I
I
K
K
A
A
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
S
SEEKKOOLLAAHHPPAASSCCAASSAARRJJAANNAA I
INNSSTTIITTUUTTPPEERRTTAANNIIAANNBBOOGGOORR B
BOOGGOORR 2
Judul tesis Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau untuk Mereduksi Polusi Udara (C02) di Kota Cibinong
Nama Ajat Rochmat Jatnika P052094104rURPNIGA NRP
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Alinda F. M. Zain
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir.Cecep Kusmana, MS Dr.Ir. Dahrul Syah, M. Sc. Agr
Tanggal Ujian: 7 Pebruari 2014 Tanggal Lulus:
1 9
U
Pertama dan utama, kami panjatkan puji syukur kehadirat Alloh SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini bisa diselesaikan. Tema yang dipilih pada penelitian ini adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan judul Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau untuk Mereduksi Polusi Udara (CO2) di Kota Cibinong.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Alinda Fitriany Malik Zain dan Bapak Dr. Ir. Endes Nurfilmarasa Dachlan selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Bambang Sulistyantara dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina Satyawan selaku penguji yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada teman-teman se-angkatan dan staf administrasi di PS PSL IPB, yang telah membantu selama penyelesaian tesis ini. Terkhir, ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri, anak-anak, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
Halaman
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR LAMPIRAN iii
BAB I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Kerangka Pemikiran 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
Ruang Terbuka Hijau (RTH) 6
Pengertian Ruang Terbuka Hijau 6
Klasifikasi RTH 6
Fungsi RTH dalam Penyerapan Kadar CO2 7
Peran Jalur Hijau Jalan di Perkotaan. 9
Menghitung Kadar CO2di Jalan 9
Penggunaan Lahan 11
Sistem Informasi Geografis dalam Analisis Ruang Terbuka Hijau 12
Penerapan SIG dalam Analisis Perubahan Lahan 12
Indek Vegetasi dalam Penentuan Skor Fungsi Ekologis Penggunaan Lahan 13 Penerapan SIG dalam sebaran karbondioksida tiap ruas jalan dan arahan RTH 13
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 14
Waktu dan Lokasi Penelitian 14
Rancangan Penelitian 17
Bahan dan Alat Penelitian 18
Metode Pengambilan dan Pengolahan Data 18
Metode Analisis Data 19
BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 22
Letak geografis dan administrasi wilayah 22
Topografi dan kemiringan lereng 24
Kependudukan 24
Transportasi 25
Prasarana Jalan 25
Volume lalu lintas 26
Ketersediaan ruang terbuka hijau publik 27
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 28
Hasil Overlay Peta Kekuatan Emisi CO2dengan Peta Penggunaan Lahan 35
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 38
Kesimpulan 38
Saran 38
DAFTAR PUSTAKA 39
LAMPIRAN 40
Halaman
Tabel 1 Klasifikasi ruang terbuka hijau
Tabel 2 Daya serap ruang terbuka hijau terhadap kadar CO2
Tabel 3 Ekivalensi kendaraan penumpang untuk jalan 2/2 UD dan 4/2 D Tabel 4 Faktor emisi kendaraan bermotor
Tabel 5 Matrik rancangan penelitian Tabel 6 Skor fungsi ekologis tutupan lahan
Tabel 7 Matrik deferensial tumpang susun penggunaan lahan dengan kadar CO2
Tabel 8 Wilayah administratif Kota Cibinong
Tabel 9 Panjang ruas jalan di Kota Cibinong (10 ruas terpilih) Tabel 10 Jumlah volume lalu lintas harian sesuai jenis kendaraan
pada 10 ruas jalan di Kota Cibinong
Tabel 11 Ketersediaan RTH publik di Kota Cibinong Tabel 12 Perubahan lahan dari tahun 2000 dan tahun 2010 Tabel 13 Pola perubahan lahan tahun 2010
Tabel 14 Tingkat daya serap ruang terbuka hijau pada tahun 2000 dan tahun 2010
Tabel 15 kekuatan emisi CO2per ruas jalan (ton/hari)
D
D
A
A
F
F
T
T
A
A
R
R
G
G
A
A
M
M
B
B
A
A
R
R
Halaman
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Gambar 2 Hasil pengujian kualitas udara ambient parameter CO2
di Kota Cibinong tahun 2008 - 2010 Gambar 3 Lokasi Kota Cibinong (lokasi penelitian) Gambar 4 Lokas ruas jalan yang diteliti (lokasi penelitian) Gambar 5 Peta penggunaan lahan tahun 2000
Gambar 6 Peta penggunaan lahan tahun 2010
Gambar 7 Kadar emisi karbondioksida tiap ruas jalan Gambar 8 Peta analisis spasial rth pada ruas jalan
D
D
A
A
F
F
T
T
A
A
R
R
L
L
A
A
M
M
P
P
I
I
R
R
A
A
N
N
Lampiran 1 : Arahan spasial ruang terbuka hijau sepanjang ruas jalan utama di Kota Cibinong
Lampiran 2 Volume lalu lintas hasiltraffic counting
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat luas. Pertumbuhan perekonomian akan meningkatkan peranan sektor transportasi dalam menunjang pencapaian sasaran pembangunan dan hasil-hasilnya; sebaliknya, fungsi sektor transportasi akan merangsang peningkatan pembangunan ekonomi karena antara fungsi sektor transportasi dan pembangunan ekonomi mempunyai hubungan kausal/timbal balik (Tamin 2000). Hubungan kausal tersebut akan mendorong tumbuhnya pembangunan di sektor perindustrian dan turunannya, yang merupakan cikal bakal terbentuknya kawasan perkotaan. Selain menimbulkan dampak positif bagi perkembangan kota, hubungan kausal tersebut akan memberikan dampak negatif yang luar biasa terhadap kehidupan masyarakat perkotaan itu sendiri apabila dalam perencanaan kota nya mengabaikan daya dukung lingkungan.
Isu yang berkembang dan terus menjadi perhatian dunia dari dampak negatif pembangunan adalah pemanasan global (global warming). Pemanasan global atau meningkatnya suhu permukaan bumi, disebabkan oleh kenaikan intensitas Efek Rumah Kaca (ERK), yang dipicu oleh meningkatnya kadar CO2 dalam atmosfer (Sumarwoto
2004). Pembakaran bahan bakar fosil, yang sebagian besar dihasilkan oleh kegiatan kendaraan bermotor dan sebagian kecil oleh industri, telah meningkatkan efek rumah kaca alami yang menyebabkan terjadinya pemanasan global. Peningkatan kadar CO2
merupakan gas rumah kaca utama (Sutamiharja 2009). Ekosistem perkotaan merupakan interaksi antara manusia dengan proses ekologi yang sangat komplek (Alberti 2009). Kegiatan manusia akan memicu perubahan lingkungan sehingga lingkungan akan beradaptasi mencari keseimbangan. Keberadaan ruang terbuka hijau di perkotaan merupakan salah satu cara untuk menjaga keseimbangan ekosistem perkotaan tersebut, baik sistem hidrologi dan mikroklimat maupun ekosistem lainnya. Ruang terbuka hijau sangat diperlukan untuk meningkatkan ketersediaan air dan udara bersih bagi masyarakat serta menciptakan estetika (Joga dan Ismaun 2011).
Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH), akan membantu mengurangi kadar CO2 di udara. Penelitian daya serap ruang terbuka hijau dalam bentuk pohon terhadap
kadar CO2 memiliki nilai 569,07 ton/ha/thn dibadingkan dengan daya serap ruang
terbuka hijau dalam bentuk padang rumput terhadap kadar CO2, hanya 12 ton/ha/thn
(Adiastari 2011). Penelitian lainnya menunjukan bahwa pohon Trembesi (Ki Hujan) dapat menyerap CO2 sebesar 28,5 ton per pohon per tahun (Dahlan 2013). Beberapa
penelitian tersebut telah menunjukan bahwa ruang terbuka hijau, baik dalam tutupan lahan maupun pohon tunggal dapat menyerap kadar CO2.
Kerangka Pemikiran
Keberadaan sistem jaringan jalan yang memadai akan membentuk sistem pergerakan dari suatu kegiatan ke kegiatan lainnya. Dalam skala kota, sistem pergerakan tersebut akan memperpendek jarak tempuh antar kegiatan sehingga memicu perubahan ruang karena permintaan ruang yang semakin dinamis. Perubahan ruang semakin tinggi apabila sistem pergerakan regional, nasional, bahkan internasional, dijadikan bahan perhitungan yang akan membebani tingginya pergerakan dalam kota. Oleh karena itu, perkembangan kota tersebut akan mendorong peningkatan perubahan lahan dari tidak terbangun menjadi terbangun dan peningkatan jumlah kendraan bermotor sebagai sarana pergerakan.
Perubahan lahan di perkotaan pada umumnya akan mengalihfungsikan lahan-lahan tidak terbangun menjadi lahan-lahan-lahan-lahan perumahan, industri, dan fasilitas penunjang perkotaan lainnya. Konsekuensi logis dari perubahan tersebut adalah berkurangnya ruang terbuka hijau di perkotaan. Secara ekologis, keseimbangan alam dalam menjaga kualitas lingkungan hidup perkotaan pun akan terganggu. Berkurangnya ruang terbuka hijau akan mengurangi peran kota dalam menjaga ekosistem perkotaan sehingga berdampak pada masalah lingkungan, baik meningkatnya suhu udara, masalah hidrologi, dan penurunan kualitas udara perkotaan
Peningkatan perubahan lahan tersebut akan mendorong tinggi pula pergerakan penduduk menggunakan kendaraan bermotor dari pusat kegiatan yang satu ke pusat kegiatan lainnya. Adanya jaringan jalan dan teknologi transportasi memudahkan pergerakan penduduk tersebut. Konsekuensi logis dari pergerakan kendaraan bermotor tersebut adalah munculnya gas buang yaitu salah satunya CO2 yang merupakan gas
rumah kaca utama dalam memberikan kontribusi pada pemanasan global. Untuk mengetahui keberadaan konsentrasi CO2 tersebut maka perlu dilihat secara spasial
melalui besarnya arus lalu lintas yang melintasi jaringan jalan. Beban jalan terhadap kadar CO2 akan terlihat secara spasial per waktu sehingga kebutuhan ruang terbuka
hijau, khususnya jalur hijau jalan dapat terlihat.
Kebutuhan jalur hijau jalan dari keberadaan konsentrasi CO2tidak bisa hanya
dilihat dari emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor saja, tetapi ada beberapa faktor lain yang harus dilihat seperti kebutuhan makhluk hidup akan CO2, kegiatan
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Perumusan Masalah
Salah satu kota satelit yang akan berkembang pesat adalah Kota Cibinong. Secara geografis, Kota Cibinong, sebagai Ibukota Kabupaten Bogor, terletak diantara dua kutub pertumbuhan yaitu DKI Jakarta dan Kota Bogor dan sekitarnya, serta menjadi gerbang pergerakan penduduk dari DKI Jakarta ke arah Selatan pulau Jawa. Posisi Kota
Skala Kota Sistem Perkembangan
Kota
- Sistem Kegiatan - Sistem Jaringan Jalan - Sistem Pergerakan Meningkatnya
Lahan Terbangun di Kota Cibinong
Pola Perubahan lahan (2000 s.d
2010) Analisis Spasial
Penurunan Fungsi (daya serap) RTH thp CO2
Buruknya Polusi Udara (kadar CO2)
Distribusi Spasial
Peningkatan Pergerakan
Kendaraan Bermotor
Peningkatan Kadar Karbondioksida pada
Jaringan Jalan
Tutupan Lahan Tahun 2010
Arahan Spasial RTH
Peningkatan Kadar Karbondioksida oleh
Kegiatan Industri
Cibinong tersebut serta ditunjang dengan infrastruktur jalan yang memadai, mengakibatkan pergerakan kendaraan barang atau penumpang yang melewati Kota Cibinong menjadi tinggi, baik untuk kepentingan industri, permukiman, maupun pariwisata. Selain dampak pertumbuhan ekonomi yang secara positif akan mengembangkan Kota Cibinong, apabila tidak dikelola dengan baik maka dampak lingkungan hidup pun tentunya akan tinggi pula. Pencemaran udara, air, maupun tanah akan terjadi seiring perkembangan Kota Cibinong.
Pertumbuhan kota tersebut mendorong semakin berkurangnya lahan non terbangun (ruang terbuka hijau) di Kota Cibinong. Pada Tahun 2000, Pemerintah Kabupaten Bogor telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor, dengan salah satu fungsinya adalah mengendalikan perubahan lahan non terbangun. Kenyataanya, perubahan lahan non terbangun semakin banyak terjadi dalam kurun waktu tahun 2000 sampai dengan tahun 2010. Penebangan pohon di pinggir jalan acap kali sering dilakukan karena kepentingan pengembangan jaringan jalan atau alih fungsi kegiatan dari hunian menjadi komersil, yang membutuhkan ruang parkir cukup luas. Perubahan ruang terbuka hijau, baik berupa taman maupun jalur hijau jalan, akan berdampak pada tingginya polusi udara pada titik tertentu.
Penelitian hujan asam, yang tidak terkait langsung dengan peran CO2 karena
hujan asam lebih didominasi pengaruh senyawa lain selain CO2, di empat titik lokasi
yaitu Kebun Raya Bogor, Ciawi, Megamendung, dan Kota Cibinong (Sari et al. 2007) menunjukan Kota Cibinong memiliki nilai pH rata-rata paling rendah sehingga di kawasan ini telah terjadi hujan asam. Apabila air hujan asam tersebut jatuh ke badan air maka air permukaan pun akan bersifat asam sehingga membahayakan ekosistem perairan tersebut. Hal ini terjadi karena penggunaan lahan Kota Cibinong terdapat daerah industri, kegiatan transportasi yang tinggi dan pusat permukiman, serta ketersediaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Cibinong lebih sedikit dibandingkan dengan daerah Ciawi, daerah sekitar Kebun Raya dan daerah sekitar Megamendung. Walaupun konsentrasi karbondioksida di udara mempunyai pengaruh kecil sebagai pemicu terjadinya hujam asam, penelitian tersebut menunjukan bahwa kualitas udara di Kota Cibinong mendekati kondisi kurang baik.
Sejak tahun 2005, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor telah mencatat kualitas udara di pusat Kota Cibinong bahwa beberapa parameter kualitas lingkungan menunjukan telah melebihi baku mutu lingkungan (BML) seperti partikel debu, sedangkan parameter lainnya (seperti CO2, dll) dari tahun ke tahun menunjukan
peningkatan yang signifikan. Secara khusus, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor mencatat bahwa kadar CO2 di Pusat Kota Cibinong menunjukan bahwa pada
titik pemantauan jalan raya di sekitar Pasar Cibinong pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2010, konsentrasi CO2 sebesar antara 540 ppm sampai dengan 904 ppm. Nilai
konsentrasi CO2 tersebut mungkin masih perlu dikritisi karena dianggap terlalu besar,
terutama metode survainya karena penyimpanan alat ukur saat survai sangat menentukan kualitas data yang dihasilkan, tetapi faktanya menunjukan ada peningkatan konsentrasi CO2 merupakan bukti ada penurunan kualitas lingkungan dari parameter
konsentrasi CO2. Konsentrasi CO2 yang sangat besar tersebut merupakan peringatan
Gambar 2 di bawah ini menjelaskan kadar CO2setiap tahun pada titik sampel lokasi
tersibuk di Kota Cibinong yaitu di Jalan Raya Bogor depan Mall Ramayana. Lokasi ini dipilih oleh Badan Lingkungan Hidup karena dianggap representasi dari kondisi kualitas udara maksimal di Kota Cibinong.
Sumber : UPT Laboratorium Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor Catatan : Metoda Uji NDIR, Data diambil semester I (satu kali antara bulan Januari– Juni), Lokasi sample di Pusat Kota (jalan Raya Bogor depan Pasar Ramayana)
Gambar 2 Hasil pengujian kualitas udara ambient parameter CO2di Kota
Cibinong tahun 2008 - 2010
Berdasarkan penjelasan di atas maka beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan masalah antara lain :
1. Bagaimana kemampuan daya serap ruang terbuka hijau terhadap CO2setelah adanya
perubahan lahan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010?
2. Berapa kadar CO2setiap waktu yang dihasilkannya di setiap ruas jalan utama di
Kota Cibinong yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor ?
3. Bagaimana arahan RTH secara spasial, khusunya pada jalur hijau jalan utama di Kota Cibinong untuk mengurangi kadar CO2 akibat emisi gas buang kendaraan
bermotor?
Tujuan Penelitian
Untuk menjawab pertanyaan pada rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis daya serap ruang terbuka hijau terhadap karbondioksida di Kota Cibinong berdasarkan perubahan lahan dari tahun 2000 ke tahun 2010.
2. Menganalisis besarnya kadar CO2 setiap waktu yang dihasilkannya di setiap ruas
jalan utama di Kota Cibinong yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor.
3. Memberikan arahan RTH secara spasial, khusunya pada jalur hijau jalan utama di Kota Cibinong untuk mengurangi kadar CO2 akibat emisi gas buang kendaraan
bermotor.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :
200 400 600 800 1,000
2008 2009 2010
k
a
d
a
r
CO
2
(
p
p
m
)
1. Memberikan informasi kondisi perubahan lahan dan dan pengaruhnya terhadap kemampuan menyerap CO2, kondisi kadar CO2 pada ruas jalan utama yang
diakibatkan oleh emisi gas buang kendaraan bermotor, serta arahan RTH pada jalur hijau jalan untuk mengurangi dampak emisi gas buang.
2. Sebagai masukan bagi pemerintah daerah untuk penanganan ruang terbuka hijau dan pengurangan emisi gas buang Karbondoksida.
Ruang Terbuka Hijau (RTH) Pengertian Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/Prt/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan). Joga, N dan Ismaun, I (2011) lebih menekankan bahwa RTH merupakan suatu kawasan /lahan yang mengandung unsur dan struktur alami yang dapat menjalankan proses-proses ekologis, seperti pengendalian pencemaran udara, ameliorasi iklim, pengendali tata air, dan sebagainya. Unsur alami inilah yang menjadi ciri RTH di wilayah perkotaan, baik unsur alami berupa tumbuh tumbuhan atau vegetasi, badan air, maupun unsur alami lainnya.
Keberadaan RTH di kawasan perkotaan memberikan manfaat secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan masyarakat perkotaan, baik berupa keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan kota karena meningkatnya kualitas lansekap kota itu sendiri. Keamanan mempunyai pengertian bahwa RTH dapat memberikan jaminan aman dari dampak lingkungan berupa banjir, polusi, dll. Kenyamanan mempunyai pengertian bahwa kualitas udara yang baik sesuai kebutuhan manusia memberikan rasa nyaman bagi masyarakat kota. Kesejahteraan mempunyai pengertian bahwa RTH dapat mempunyai fungsi ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta tentunya unsur alami yang ada dapat menunjang terbentuknya keindahan kota.
Klasifikasi RTH
Ruang Terbuka Hijau dapat diklasifikasikan berdasarkan fisiknya berupa RTH alami dan buatan, berdasarkan kepemilikannya berupa RTH publik dan privat, berdasarkan bentuknya berupa kawasan dan jalur, serta berdasarkan fungsinya berupa ekologis, ekonomis, sosial budaya, dan estetika (Permenpu Nomor 05/PRT/M/2008). Klasifikasi RTH ini menjadi penting guna mengidentifikasi dan memilah RTH sehingga memudahkan dalam merencanakan kebutuhan RTH dalam kawasan perkotaan. Tabel 1 menjelaskan klasifikasi ruang terbuka hijau (Joga dan Ismaun, 2011) :
Tabel 1 Klasifikasi ruang terbuka hijau
Ruang Terbuka
Hijau
1. RTH Pertanian dan RTH Kehutanan (Sawah, kebun, hutan Lindung, Hutan Kota, Hutan Rekreasi, Taman Hutan Raya)
2. RTH Olahraga, RTH Pemakaman, RTH Lainnya (Botanic Park, Zoo Park, Arboretum,Tempat Latihan Militer)
3. RTH Pertamanan RTH Taman
Taman Berdasarkan Hirarki (Taman Kota, Taman Kecamatan, Taman Lingkungan) Taman berdasarkan fungsi (taman rekreasi, taman bangunan, taman atap, taman dekorasi tata hijau kota, dll) RTH Jalur Jalur Hijau Tepian Air (bantaran
kali, setu, dll)
Jalur Hijau Pengaman (bantaran rel KA, pipa gas, dll)
Jalur Hijau Jalan (JHJ Tol, arteri, lingkungan)
Sumber : - Permenpu No. 5/PRT/M/2008 - Joga dan Ismaun (2011)
Fungsi RTH dalam Penyerapan Kadar CO2
Beberapa fungsi ekologis RTH di kota adalah antara lain sebagai areal resapan air menghasilkan oksigen, meredam kebisingan, filter dari partikel padat yang mencemari udara kota, menyerap gas-gas rumah kaca atau hujan asam, penahan angin, mencegah intrusi air laut, ameloerasi iklim serta konservasi air tanah.
Hutan kota merupakan penyerap gas karbon dioksida yang cukup penting, selain dari fitoplankton, ganggang dan rumput laut di samudera. Dengan berkurangnya kemampuan hutan dalam menyerap gas ini sebagai akibat menyusutnya luasan hutan akibat perladangan, pembalakan dan kebakaran, maka perlu dibangun ruang terbuka hijau untuk membantu mengatasi penurunan fungsi hutan tersebut. Cahaya matahari akan dimanfaatkan oleh semua tumbuhan, baik ruang terbuka hijau, hutan alami, tanaman pertanian dan lainnya dalam proses fotosintesis yang berfungsi untuk mengubah gas karbon dioksida dengan air menjadi karbohidrat (C6H12O6) dan oksigen
(O2). Proses kimia pembentukan karbohidrat (C6H12O6) dan oksigen (O2) adalah 6
CO2+ 6 H2O + Energi dan klorofil menjadi C6H12O6+ 6 O2.
Proses fotosintesis sangat bermanfaat bagi manusia. Pada proses fotosintesis dapat menyerap gas buang, yang bila konsentrasinya meningkat akan beracun bagi manusia dan hewan, serta akan mengakibatkan efek rumah kaca. Di lain pihak proses fotosintesis menghasilkan gas oksigen yang sangat diperlukan oleh manusia dan hewan.
menjadi lingkungan yang sakit dan tercemar. Salah satu indikasi dari penurunan kualitas lingkungan perkotaan adalah meningkatnya kadar CO2 di udara. Selain berdampak
buruk bagi lingkungan perkotaan, peningkatan ini juga memicu kerusakan lingkungan bumi melalui pemanasan global. Oleh karena itu, diperlukan penanggulangan langsung dari sumber produsen CO2, yaitu daerah perkotaan. Hal ini dilakukan dengan cara
menanam tanaman yang dapat mereduksi peningkatan kadar CO2 di wilayah perkotaan.
Dalam pembangunan hutan kota ini, pengetahuan tentang kemampuan daya serap tanaman terhadap CO2 akan menentukan keberhasilan pembangunan. Oleh karena itu,
diperlukan data akurat mengenai daya serap CO2dari berbagai jenis tanaman hutan kota
sehingga tercipta suatu wujud hutan kota yang efektif dan efisien.
Tanaman pepohonan yang ada di dalam dan di sekitar kota diarahkan tuntuk mengatasi efek pulau bahang. Efek pulau bahang adalah gejala lebih hangatnya suhu udara khususnya di pusat kota. Hal ini diperburuk dengan adanyaglobal warming. Kota yang dulunya sejuk, kini berubah menjadi semakin panas. Meningkatnya suhu udara di seluruh permukaan bumi sebagai akibat meningkatnya gas rumah kaca. Salah satu gas penyebab efek rumah kaca yang penting adalah gas CO2 atau Karbondioksida (Dahlan
2013).
Keberadaan tanaman di kota akan membantu menyerap karbondioksida terserbut. Penanaman pohon yang tepat, baik diameter tajuk yang lebar, kerapatan pohon yang baik, dan sebaran tanaman merata di seluruh kota, bahkan hutan kota tersebar dimana-mana akan menciptakan kondisi suhu kota yang sejuk. Beberapa hal yang harus diperhatikan agar tanaman dapat maksimal mengatasi efek rumah kaca melalui mekanisme rosot karbondioksida antara lain (Dahlan 2013) :
1. Jenis tanaman yang dipilih adalah jenis yang sangat rakus dalam menyerap gas karbondioksida, seperti Trembesi dan banyak lagi hasil penelitian dilakukan.
2. Luas lahan cukup luas dan merata di seluruh kota
3. Jenis tanaman yang dipilih tergolong bongsor (fast growing), seperti Sengon. 4. Kepadatan pohon cukup rapat untuk menyerap lebih banyak karbondioksida
5. Jarak pohon dengan bangunan diatur sedemikian rupa lebih mendekati ke bangunan tetapi disesuaikan dengan jenis tanaman yang memiliki diameter tajuk yang lebar (jarak bisa 3 - 7 meter), dll
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menguji kemampuan ruang terbuka hijau dapat mengurangi karbon dioksida (Prasetyo et al. 2002). Kemampuan tanaman dalam menyerap gas karbon dioksida bermacam-macam. Menurutnya, hutan yang mempunyai berbagai macam tipe penutupan vegetasi memiliki kemampuan atau daya serap terhadap karbon dioksida yang berbeda. Tipe penutupan vegetasi tersebut berupa pohon, semak belukar, padang rumput, sawah. Daya serap berbagai macam tipe vegetasi terhadap karbon dioksida dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.
Tabel 2 Daya serap ruang terbuka hijau terhadap kadar CO2
No. Jenis Tutupan Lahan / Vegetasi (Ton/ha/th)
1 Pohon 569,07
2 Semak Belukar 55
3 Padang Rumput 12
4 Sawah 12
Peran Jalur Hijau Jalan di Perkotaan.
Terdapat tiga dimensi utama dalam merpresentasikan keberadan pohon-pohon di kota yaitu dimensi estetika, kontrol sosial, dan identitas kota atau negara. Keberadaan pohon-pohon di kota memberikan kenyamanan bagi penduduk kota, baik keindahan, kebebasan mengakses oleh semua lapisan strata sosial, bahkan rasa memiliki kota (sense of belonging) dengan ciri penataan lansekap yang baik. Beberapa negara di Eropa telah menerapkan batas kawasan hunian (residential), batas kota, bahkan batas negara berupa jalur hijau jalan. Penataan pohon di jalur hijau jalan tersebut, berfungsi sebagai 'green space fashions',menjadikan kunjungan ke Eropa meningkat.
Dalam konsep infrastruktur hijau (Joga dan Ismaun 2011), infrastruktur hijau merupakan kerangka ekologis untuk berkelanjutan lingkungan, sosial, dan ekonomi; singkatnya sebagai sistem kehidupan alami bekelanjutan. Infrastsruktur hijau merupakan jaringan yang saling berhubungan antara sungai, lahan basah, hutan, habitat kehidupan liar, dan daerah alami di wilayah perkotaan, seperti jalur hijau, kawasan hijau, dan daerah konservasi, dan berbagai RTH lainnya. Infrastrukut hijau merupakan jaringan terpadu dari berbagai jenis RTH, terdiri atas area (hub) dan jalur (link). RTH berbentuk area dapat berupa taman kota, taman lingkungan, taman pemakaman, situ/danau, hutan kota, dan hutan lindung, dan lain-lain. Sedangkan, jalur hijau dapat berbentuk jalur atau koridor, seperti jalur hijau jalan, jalur hijau sungai, jalur hijau saluran utama tegangan tinggi, dan sebagainya, yang befungsi sebagai konektor area-area hijau.
Secara planologis, jalur hijau merupakan pengendali perkembangan kota agar tidak terjadi peluberan kota (urban sprawl). Salah satu cara untuk menyediakan ruang terbuka hijau di jalan atau jalur hijau jalan adalah dengan menerapkan pengaturan garis sempadan jalan/bangunan pada setiap ruas jalan. Prinsip umum yang sering dipergunakan dalam penerapan aturan teknis, panjang garis sempadan bangunan/jalan adalah menggunakan rumus 0,5 x ROW (damija). ROW (Right Of Way) atau Damija (Daerah Milik Jalan) adalah lebar jalan dihitung dari pagar jalan ke pagar jalan sisi lainnya. Garis sempadan bangunan/ jalan dihitung dari pagar jalan ke arah bagunan. Misalnya, apabila bangunan di ruas jalan dengan Damija 10 m maka garis sempadan yang berlaku adalah 5 m dihitung dari pagar jalan ke arah bangunan sehingga tersedia ruang antara bangunan dan jalan yang bisa dipergunakan untuk ruang terbuka hijau.
Menghitung Kadar CO2di Jalan
Menurut Yamin et al. dalam Sihotang (2010), untuk menghitung kadar CO2
menggunakan apa yang disebut dengan kekuatan emisi. Kekuatan emisi (emission strength) menunjukkan volume emisi yang dikeluarkan per satuan waktu. Untuk suatu cerobong, kekuatan emisi merupakan hasil perkalian antara kecepatan lepasan emisi dengan luas penampang cerobong Untuk menentukan kekuatan emisi (Q). Simbol kekuatan emisi adalah Q karena mempunyai makna juga adalah debit, dimana satuannya adalah gram/detik atau besarnya konsentrasi yang melaju. Persamaan Kekuatan Emisi yang dibuat oleh Yaminet altersebut adalah :
= × × × ………..…(1)
Dimana:
Q = kekuatan emisi (gram/detik)
FE= faktor emisi (gram/liter)
K= konsumsi bahan bakar (liter/100km) L= panjang jalan (km)
Data arus kendaraan diperoleh langsung melalui survai penghitungan lalu lintas pada waktu penelitian , sedangkan faktor emisi dan konsumsi bahan bakar diperoleh dari studi literatur yang telah ada
a. Menghitung Arus Kendaraan
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) Tahun 1997 yang diterbitkan oleh Direktotrat Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, Arus kendaraan adalah jumlah kendaraan bermotor yang melewati suatu titik pada jalan per satuan waktu, dinyatakan dalam kendaraan/jam (Qkend), smp/jam (Qsmp) atau LHRT ( Lalu-lintas Harian Rata-Rata Tahunan) atau dapat juga dihitung per hari sesuai dengan kepentingan penggunaannya. MKJI merupakan hasil penelitian dari Kementrian Pekerjaan Umum perihal teknik lalu lintas dan jalan berdasarkan perilaku lalu lintas pengemudi dan jaringan jalan di Indonesia. MKJI menjadi acuan dan pedoman bagi para pelaku di bidang transportasi, baik pihak pemerintah, swasta, dan masyarakat sehingga para pelaku mempunyai persamaan dalam mengelola tranportasi , khususnya manajemen lalu lintas jalan.
Data arus lalu lintas dapat berupa arus lalu lintas rencana disesuaikan dengan jam rencana dan analisis, atau berupa arus harian. Untuk kepentingan menghitung kadar CO2, data arus lalu lintas yang diperlukan berupa arus lalu lintas dalam satu hari (sesuai
rumus kekuatan emisi). Apabila data arus lalu lintas diperoleh, baik melalui traffic counting, estimasi dengan pola lalu lintas atau pergerakan antara zona, harus dilakukan konversi ke smp (satuan mobil penumpang) dengan mengalikan jumlah kendaraan dengan ekivalensi mobil penumpang (emp) dari MKJI tersebut. Sehubungan lokasi penelitian berada di Kota Cibinong, khususnya untuk perhitungan arus lalu lintas pada ruas jalan, yang memiliki karakteristik jalan dua lajur-dua arah tidak terbagi (2/2 UnDivided) dan jalan empat lajur dua arah 4/2 D, maka ekivalensi mobil penumpang yang dapat digunakan adalah mengacu kepada tabel 3 beriktu ini :
Tabel 3 Ekivalensi kendaraan penumpang (emp) untuk jalan 2/2 UD dan 4/2 D Tipe Jalan :
Jalan Tak Terbagi (UD) Arus Lalu lintas total dua arah (kend/jam) emp Kendaraan Ringan Kendaraan Berat Sepeda Motor Dua lajur tak
terbagi (2/2 UD)
0 - 1800 1 1,3 0,4
> 1800 1 1,2 0,25
EMpat Lajur terbagi (4/2 D)
0 - 3700 1 1,3 0,4
> 3700 1 1,2 0,25
b. Faktor Emisi
Faktor emisi adalah adalah nilai representatif yang menghubungkan kuantitas suatu polutan yang dilepaskan ke atmosfer dari suatu kegiatan yang terkait dengan sumber polutan. Faktor-faktor ini biasanya dinyatakan sebagai berat polutan dibagi dengan satuan berat, volume, jarak, lamanya aktivitas yang mengemisikan polutan atau durasi dari komponen kegiatan yang mengemisikan polutan tersebut.
Tabel 4 Faktor emisi karbondioksida kendaraan bermotor
No. Jenis Kendaraan gr/km ton/km
1 Sepeda motor 266 0,000266
2 Mobil penumpang
a. Bensin 270 0,000270
b. Solar 190 0,000190
3 Bis 770 0,000770
4 Truk 770 0,000770
Sumber : Mesi Shinta Dewi (2008)
c. Panjang Jalan
Panjang jalan untuk perhitungan arus lalu lintas biasanya dibatasi pada persimpangan jalan sehingga titik awal nya adalah persimpangan dan titik akhir persimpangan juga. Oleh karena itu, antara kedua simpang tersebut dikenal dengan ruas jalan. Ruas jalan penting ditentukan untuk menghitung jumlah kendaraan dan polusi yang terjadi. Ruas jalan dapat mengacu kepada yang sudah ditetapkan oleh pemerintah atau menghitung tersendiri pada peta jaringan jalan yang sudah ada dengan menggunakan GIS.
Penggunaan Lahan
Menurut Arsyad (1989), lahan didefinisikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda di atasnya sepanjang memiliki pengaruh terhadap penggunaannya, termasuk di dalamnya hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang. Lahan mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi produksi dan wadah, seperti tempat tinggal, produksi tanaman dan penggembalaan, fungsi regulasi seperti siklus tanaman, keseimbangan air dan tanah, proses asimilasi, dan fungsi informasi seperti ilmu pengetahuan dan sejarah.
Sistem Informasi Geografis dalam Analisis Ruang Terbuka Hijau Penerapan SIG dalam Analisis Perubahan Lahan
Sistem informasi geografis dapat membantu menganalisis perubahan lahan dari kurun waktu tertentu ke waktu yang ditentukan. Data penggunaan lahan pada tahun yang berbeda merupakan data yang mutlak harus ada sebagai bahan komparasi penggunaan lahan pada tahun awal dengan penggunaan lahan pada tahun akhir. Perbandingan peta tersebut tentunya harus mempunyai kualitas peta yang sama untuk mempermudah proses analisisnya (Indarto dan Faisol 2012).
Sistem informasi geografis menganalisis perubahan lahan dengan metode tumpang susun dua peta yang berbeda waktu nya tetapi mempunyai informasi yang sama. Pendekatan ini akan mempermudah menemukan pola perubahan lahan, misalnya dari persawahan ke permukiman, atau perkebunan ke permukiman, dan sebagainya. Dalam sistem informasi dikenal jargon data sampah akan menghasilkan sampah. Oleh karena itu, input data menjadi sangat penting dalam proses analisis menggunakan sistem informasi geografis.
Berbagai pendekatan dalam memperoleh data yang baik banyak digunakan, salah satunya adalah dengan memanfaatkan penginderaan jauh. Penginderaan jauh sekarang tidak hanya menjadi alat bantu dalam menyelesaikan masalah. Begitu luasnya lingkupnya aplikasi penginderaan jauh sehingga dewasa ini bidang tersebut telah menjadi semacam kerangka keraja dalam menyelesaikan berbagai masalah terkait dengan aspek ruang (lokasi, area), lingkungan (ekologis), dan kewilayahan, baik skala besar maupun skala sangat kecil (Danoedoro 2012). Pendekatan penginderaan jauh adalah pendekatan model. Model merupakan representasi dari realitas karena fenomena alam bersifat sangan komplek maka untuk dapat memahami realitas tersebut dibutuhkan penyederhanaan. Model akan membatu kita memahami, mendeskripsikan atau memprediksi bagaimana fenomena ata realitas itu bekerja pada dunia nyata (Indarto dan Faisol 2012). Model berbasis representasi mendeskripsikan objek-objek di permukaan bumi (seperti bangunan, sungai, jalan, dan hutan) melalui layer data di dalam sistem informasi geografis. Analisis dilakukan pada data terformat dalam bentuk layer data berbetuk raster maupun layer yang berisi data vektor.
Indek Vegetasi dalam Penentuan Skor Fungsi Ekologis Penggunaan Lahan
Indek vegetasi merupakan suatu bentuk transformasi spektral yang diterapkan terhadap citra multisaluran untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek lain yang berkaitan dengan kerapan, misalnya biomassa (Danoedoro 2012). Indek vegetasi dikembangkan terutama berdasarkan feature space tiga saluran : hijau, merah, dan inframerah dekat. Ketiga saluran ini cukup representatif dalam menyajikan fenomena vegetasi. Penggunaan lahan di bumi akan memberikan nilai pantulan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dikenal dua garis yaitu garis vegetasi dan garis tanah. Garis vegetasi dibentuk oleh pantulan lahan yang memiliki vegetasi berdaun lebar dan sangat rapat, sedangkan garis tanah dibentuk oleh pantulan lahan terbuka kering. Vegetasi dengan kerapatan yang variasi terletak di antara kedua garis tersebut.
Menganalogikan indek vegetasi di atas, maka penggunaan lahan pun dapat mengasumsikan kepada analogi indek vegetasi tersebut. Untuk penggunaan lahan permukiman dapat dinyatakan bahwa di permukiman tidak ada vegetasi sehingga skor yang diberikan nilai 5, tanah kosong nilai 4, sawah nilai 3, semak belukar nilai 2 ,dan kebun / perkebunan nilai 1.
Penerapan SIG dalam sebaran karbondioksida tiap ruas jalan dan arahan RTH
Untuk menggambarkan interaksi antar objek yang dimodelkan pada model representatif disebut model berbasis proses. Hubungan tersebut dimodelkan mengunakan berbagai alat atau metode analisis spasial. Beberapa proses operasi mungkin sederhana, sementara operari lain mungkin lebih komplek sehingga memasukan unsur logika, kombinasi beberapa proses, menggunakan pemrograman, misalnya dengan bahasa pemrograman Visual Basic, dll (Indarto dan Faisol 2012).
Analisis spasial dilakukan dengan dua cara yaitu analisis spasial data raster dan data vektor. Untuk kepentingan melihat sebaran kadar karbondioksida dan arahan RTH menggunakan analisis data vektor. Pada prinsipnya, data berformat vektor ada tiga jenis yaitu titik, garis, dan poligon. Ketiga jenis vektor tersebut digunakan untuk mempresentasikan objek-objek yang ada di permukaan bumi. Ada beberapa jenis operasi untuk analisis spasial antara lain, ekstraksi, overlay, dan proximity. Untuk kepentingan analisis sebaran kadar karbondioksida setiap ruas jalan dapat dilakukan dengan menampilkan hasil perhitungan kekuatan emisi berupa data tabular ke dalam data vektor sehingga membentuk fitur baru.
spasial. Software ArcGIS 10 sangat membantu dan mudah dioperasikan untuk melakukan operasi-operasi yang disampaikan di atas.
III METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Kota Cibinong Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Wilayah Kota Cibinong meliputi seluruh kelurahan di Kecamatan Cibinong (Kel. Ciriung, Kel. Cirimerkar, Kel. Pabuaran, Kel. Cibinong, Kel. Pakansari, Kel. Tengah, Kel. Harpan Jaya, Kel. Pondok Rajeg, Kel. Sukahati, Kel. Karadenan, Kel. Nanggewer Mekar, Kel. Nanggewer), 6 Desa di Kecamatan Bojong Gede (Desa Pabuaran, Desa Rawapanjang, Desa Bojong Gede, Desa Bojong Baru, Desa Kedung Waringin, Desa Waringin Jaya), dan satu Desa di Kecamatan Citeureup (Desa Karang Asem Barat).
Selain lokasi penelitian berupa wilayah administrasi, lokasi penelitian ini menitikberatkan penelitian pada beberapa ruas jalan di Kota Cibinong. Untuk kepentingan penelitian ini, dipilih 10 ruas jalan utama pergerakan kendaraan bermotor yaitu Ruas Jalan Mayor Oking, Jalan Karadenan-Pomad, Jalan Karadenan -PDAM, Jalan PDAM-Setu Cikaret, Jalan Setu Cikaret-Raya Bogor, Jalan Setu CIkaret -POndok Rajeg, Jalan Raya Bogor (Kandang Roda-Cikaret), Jalan Raya Bogor (Cikaret-simpang Cibinong), Jalan Lanbaw, dan Jalan Tegar Beriman. Gambar 3 memperlihatkan lokasi penelitian berupa batas wilayah administrasi dan Gambar 4 memperlihatkan lokasi penelitian berupa 10 ruas jalan terpilih.
Waktu penelitian direncanakan selama 6 bulan, mulai bulan Agustus 2011 sampai dengan Desember 2012. Tahapan penelitian meliputi persiapan penelitian, pengumpulan data, analisis perubahan lahan, analisis kandungan CO2, dan terakhir
Rancangan Penelitian
Untuk menjawab tujuan penelitian, dilakukan tahapan-tahapan pekerjaan meliputi kebutuhan bahan dan alat penelitian, metode pengambilan dan pengolahan data, serta metode analisis. Tabel 5 menjelaskan tahapan-tahapan penelitian mulai dari tujuan penelitian dampai keluaran yang diharapkan.
Tabel 5 Matrik rancangan penelitian Tujuan Penelitian Jenis dan Sumber Data Teknik Pengumpulan Data Teknik Analisis Data Keluaran Mengetahui kemampuan daya serap RTH terhadap karbondioksida berdasarkan perubahan lahan Peta Penggunaan Lahan tahun 2000 (peta RBI,
bakorsurtanal), citra Quickbird 2010
- Survai sekunder - Interpretasi citra
Quickbird (digit
on screen)
berbasis peta RBI
- Analisis tumpang susun tutupan lahan
- Perhitungan daya serap
karbondioksida (luas lahan x daya serap lahan terhadap CO2)
- Peta perubahan lahan tahun 2000 dan 2010 - Tabel
perhitungan daya serap karbondioksida
Mengetahui besarnya kadar karbondioksida setiap waktu yang
dihasilkannya di setiap ruas jalan yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor
Peta ruas jalan, Jumlah
kendaraan, faktor emisi, konsumsi bahan bakar
- Studi literatur - Survai sekunder - Survai primer
perhitungan lalu lintas (traffic counting) dan konversi ke satuan smp (satuan mobil penumpang)
- Perhitungan
kekuatan emisi tiap ruas jalan
- Analisis distribusi
spasial kekuatan emisi tiap ruas jalan
- Peta sebaran
kadar
karbondioksida per ruas jalan
Memberikan arahan RTH secara spasial, khusunya pada jalur hijau jalan utama di Kota Cibinong untuk mengurangi
kadar CO2
akibat emisi gas buang kendaraan bermotor
- Peta sebaran
kadar
karbondioksi-da per ruas jalan
- Peta
penggunaan lahan tahun 2010
- analisis spasial dengan proses tumpang susun antara peta sebaran karbondioksida per ruas jalan dengan peta penggunaan lahan tahun 2010
- Peta analisis
-Bahan dan Alat Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Perangkat keras (Hardware) : Seperangkat Komputer,.
2) Perangkat lunak (Software) : ArcGIS 10 dan Microsoft Office 2007.
Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Data Arus Lalu Lintas waktu peneflitian
2) Data citra satelit Quickbird Kota Cibinong Tahun 2010
3) Peta dalam bentuk digital yaitu Peta Rupa Bumi atau Peta Topografi skala 1 : 25.000 lembar Provinsi Jawa Barat, produksi BAKOSURTANAL (2001).
Metode Pengambilan dan Pengolahan Data
Pada penelitian ini dibutuhkan data sekunder dan data primer. Data sekunder yang diperoleh seperti Citra Satelit, peta-peta yang berformat shapefile, serta data lainnya diperoleh dari Instansi yang berwenang yaitu Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kabupaten Bogor, serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor. Sedangkan data primer berupa data arus lalu lintas pada ruas jalan terpilih, diperoleh melalui metode survai lalu lintas (traffic counting) dengan langkah-langkah sebagai berikut :
(a) Penelitian ini tidak bertujuan mengetahui pola distribusi arus lalu lintas, yang lebih menekankan kepada analisis transportasi, tetapi bertujuan untuk mengetahui kadar CO2
yang dihasilkan kendaraan bermotor pada ruas jalan. Oleh karena itu, data primer arus lalu lintas yang diperlukan adalah data volume maksimal yang dihasilkan setiap harinya sehingga data yang diperoleh pun bukan data lalu lintas setiap hari (Senin-Minggu) tetapi pada hari puncak lalu lintasnya saja.
(b) Untuk mendapatkan hari puncak lalu lintas, dilakukan survai pendahuluan lalu-lintas bersama-sama dengan Dinas Lalu Lintas dan Jalan (DLLAJ) Kabupaten Bogor untuk mengetahui jam puncak (peak hour) lalu lintas. Jam puncak dapat diketahui dengan cara mencari informasi dari orang yang hampir setiap saat dapat menyaksikan arus lalu lintas yang terjadi, seperti pedagang, petugas kepolisian, petugas lapangan DLLAJ, tukang ojek, dll, serta mengetahui secara visual.
(c) Berdasarkan hasil survai pendahuluan dan informasi yang diperoleh dari DLLAJ, diketahui bahwa rata-rata arus lalu lintas tertinggi terjadi pada hari Rabu. Sedangkan, untuk jam puncak berbeda-beda setiap ruas jalannya, seperti jalan arteri primer dan kolektor primer (jalan Raya Bogor dan Jalan Mayor Oking), jam puncak terjadi pagi hari, tetapi jalan lainnya terjadi jam puncak pada sore hari. Data ini dipakai sebagai dasar waktu pelaksanaan traffic counting (penghitungan arus lalu-lintas) pada setiap ruas jalan.
yang dihitung adalah jenis kendaraan bermotor yang terbagi menjadi kendaraan berat (bus dan truk), dan kendaraan ringan (sedan, mobil penumpang, dan non bus/truk lainnya), serta sepeda motor.
(e) Hasil perhitungan lalu lintas pada jam puncak tersebut dijadikan dasar untuk menghitung volume lalu lintas yang terjadi sepanjang 15 jam (dari jam 06.00 s.d 21.00 wib), serta volume lalu lintas tersebut dikonversi kepada satuan mobil penumpang (smp) dengan mengalikan ekivalensi mobil penumpang (emp), sebagaimana tertera pada tabel 3.
(f) Melakukan digitasi peta penggunaan lahan dari Citra Satelit Quickbird tahun 2010, dengan cara mengupdate peta penggunaan lahan tahun 2009 yang sudah ada di Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kabupaten Bogor.
Metode Analisis Data
Untuk menjawab tujuan penelitian pertama maka tahapan analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Melakukan digitasi peta citra udara Quickbird tahun 2010 untuk memperoleh tutupan lahan tahun 2010 dengan klasifikasi lahan sama dengan peta RBI tahun 2000, yaitu kebun/perkebunan, permukiman, ladang/tegalan, sawah, tanah terbuka, dan tubuh air. 2. Melakukan tumpang susun (overlay) peta tutupan lahan tahun 2000 (peta RBI) dengan
peta tutupan lahan tahun 2010 (hasil digitasi), untuk melihat perubahan lahan terbangun dan lahan tidak terbangun.
3. Melakukan analisis pola perubahan lahan dari tahun 2000 ke tahun 2010. Proses ini mengidentifikasi penggunaan lahan yang bertambah luasannya ataupun berkurang, serta melihat pola kecenderungan perubahan lahannya.
4. Setelah peggunaan lahan pada tahun 2000 dan tahun 2010 diketahui maka langkah selanjutnya adalah melakukan penghitungan daya serap ruang terbuka hijau (lahan tidak terbangun) pada tahun 2000 dan tahun 2010 dengan mengalikan luasan penggunaan lahan masing-masing dengan daya serap penggunaan lahan terhadap CO2.
5. Hasil akhir dari perhitungan daya serap tersebut adalah apakah penggunaan lahan tahun 2010 lebih buruk daya serap terhadap CO2dibandingkan tahun 2000?
Kelima langkah tersebut akan memberikan jawaban terhadap tujuan penelitian pertama, baik luasan perubahan lahan, pola perubahan lahan, serta pengaruhnya terhadap daya serap ruang terbuka hijau akan CO2. Sedangkan untuk menjawab tujuan penelitian
kedua, langkah-langkah yang dilakukan adalah :
1. Mengolah data hasiltraffic counting menjadi data arus lalu lintas dalam satuan smp. 2. Menghitung kekuatan emisi CO2berdasarkan data arus lalu lintas tersebut, faktor emisi,
dan panjang ruas jalan ditampilkan secara tabular.
3. Kekuatan emisis CO2 tersebut ditampilkan dalam bentuk peta spasial kekuatan emisi
maka hasilnya diklasifikasikan menjadi sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.
Tahapan terakhir adalah menganalisis spasial hasil kekuatan emisi CO2 dengan
penggunaan lahan tahun 2010 melalui proses tumpang susun peta keduanya. Tahapannya sebagai berikut :
1. Penentuan skor/nilai penggunaan lahan akan fungsi ekologis nya
[image:32.612.95.310.390.499.2]Klasifikasi penggunaan lahan yang ada adalah kebun/perkebunan, permukiman, sawah, tanah terbuka, tegalan/ladang, dan tubuh air. Sebagaimana konsep indek vegetasi, yang disampaikan pada sub bab 2.4.2, bahwa penggunaan lahan di bumi akan memberikan nilai pantulan yang berbeda-beda sehingga dikenal dua garis yaitu garis vegetasi dan garis tanah. Garis vegetasi dibentuk oleh pantulan lahan yang memiliki vegetasi berdaun lebar dan sangat rapat, sedangkan garis tanah dibentuk oleh pantulan lahan terbuka kering. Vegetasi dengan kerapatan yang variasi terletak di antara kedua garis tersebut. Menganalogikan indek vegetasi di atas, maka penggunaan lahan pun dapat mengasumsikan kepada analogi indek vegetasi tersebut. Untuk penggunaan lahan permukiman dapat dinyatakan bahwa di permukiman tidak ada vegetasi sehingga skor yang diberikan nilai 5, tanah kosong nilai 4, sawah nilai 3, semak belukar nilai 2 ,dan kebun / perkebunan nilai 1.
Tabel 6 Skor Fungsi Ekologis Tutupan Lahan
Sumber : Hasil analisis
Peta kadar CO2 per ruas jalan yang dihasilkan pada analisis kedua harus
diklasifikasikan untuk mempermudah analisis. Kerangka logis yang dipergunakan adalah ruas jalan yang memiliki kadar CO2 sangat tinggi mempunyai nilai 5, tinggi 4, sedang 3,
rendah 2, dan sangat rendah memiliki nilai 1. Setelah penilaian terhadap penggunaan lahan dan kadar CO2 tersedia maka langkah selanjutnya adalah analisis tumpang susun dengan
matrik deferensial nya sebagai berikut ; No. Penggunaan Lahan Nilai
1 Kebun/Perkebunan 1
2 Permukiman 5
3 Sawah 3
4 Tanah Terbuka 4
Tabel 7 Matrik deferensial tumpang susun penggunaan lahan dengan kadar CO2
Penggunaan Lahan
1 2 3 4 5
Ka
da
r
C
O2
pe
r r
ua
s
ja
la
n
1 1 1 1 1 1
2 1 2 2 2 2
3 1 2 3 3 3
4 1 2 3 4 4
5 1 2 3 4 5
Keterangan : Penggunaan Lahan : 1 = Kebun/Perkebunan 2 = Tegalan/Ladang 3 = Sawah
4= Tanah Terbuka 5 = Permukiman
Kadar CO2per Ruas Jalan 1 = sangat rendah
2 = rendah 3 = sedang 4 = tinggi 5 = sangat tinggi
Matrik tersebut menjelaskan bahwa apabila ditumpang susun dengan nilai yang sama akan menghasilkan nilai sama, apabila nilai lebih rendah ditumpang susun dengan nilai lebih tinggi akan menghasilkan nilai rendah. Untuk studi ini dapat dijelaskan bahwa apabila ruas jalan yang mempunyai nilai kadar karbondioksidanya 1 (kadar sangat rendah) bertumpang susun dengan peta penggunaan lahan yang mempunyai nilai 1 (sangat rendah) akan menghasilkan peta dengan skor 1 juga, atau dapat dijabarkan bahwa kondisi udara pada ruas jalan baik didukung oleh kondisi ruang terbuka hijau berupa perkebunan. Pada kondisi kadar karbondioksida suatu jalan baik maka pada penggunaan lahan apapun akan menghasilkan kondisi baik, begitu juga sebaliknya apabila kondisi penggunaan lahannya adalah perkebunan (nilai 1) maka walaupun kadar karbondioksidanya tinggi akan menunjukan kondisi yang baik. Tetapi, jika kadar karbondioksida sangat tinggi (nilai 5) dan berada pada penggunaan lahan permukiman (nlai 5) maka akan menghasilkan kondisi paling buruk.
2. Melakukan tumpang susun peta kekuatan emisi CO2 dengan peta penggunaan lahan
Gambar 5 Diagram alir tahapan penelitian
IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
Letak geografis dan administrasi wilayah
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1982, Kota Cibinong ditetapkan sebagai Ibukota Kabupaten Bogor sehingga Kota Cibinong berperan dan berfungsi sebagai pusat administrasi pemerintahan serta pusat pelayanan untuk tingkat Kabupaten Bogor. Wilayah administrasi Kota Cibinong berbatasan dengan :
• Sebelah Utara : Desa Kalimulya dan Desa Kalibaru, Kecamatan Sukmajaya serta Peta Penggunaan
Lahan tahun 2000 (Rupa Bumi Indonesia
skala 1 : 25.000)
Peta Citra Quickbird tahun 2010 (skala 1 : 5.000)
Peta Penggunaan Lahan tahun 2010
(skala 1 : 25.000)
Peta Perubahan Penggunaan Lahan tahun 2000 dan 2010
generalisasi
digit on screen overlay
Peta Serapan CO2
pada LU tahun 2000 dan 2010
Peta Ruas Jalan
KELUARAN 1
Peta volume lalu lintas per ruas
jalan Tabel faktor emisi
[image:34.612.70.572.95.551.2]per kendaraan bermotor
Tabel daya serap RTH tehadap CO2
Peta sebaran kadar CO2(kekuatan
emisi) per ruas jalan
KELUARAN 2
Peta Arahan RTH Berdasarkan Penggunaan Lahan dan Sebaran Kadar CO2per Ruas Jalan
Peta Penggunaan Lahan tahun 2010
Kel. Cilangkap & Desa Cimpaeun, Kec. Cimanggis (Kota Depok)
• Sebelah Timur : Desa Karangasem Barat dan Desa Puspasari, Kecamatan Citeureup (Kabupaten Bogor)
• Sebelah Selatan : Desa Nangewer dan Selatan Desa Karadenan, Kecamatan Cibinong (Kabupaten Bogor)
• Sebelah Barat : Desa Cimanggis dean Desa Susukan, Kecamatan Bojonggede (Kabupaten Bogor)
[image:35.612.105.505.309.700.2]Luas wilayah kota Cibinong menurut data BPS tahun 2003 adalah 6.406 Ha (luas berdasarkan hasil perhitungan dengan GIS lebih kurang 6.340 ha) meliputi seluruh kelurahan di kecamatan Cibinong, dan sebagian desa/kelurahan di kecamatan Bojong Gede dan Citeureup. Tabel 8 mempelihatkan luasan setiap kelurahan di wilayah Kota Cibinong. Luasan yang dipergunakan dalam analisis penelitian ini adalah luasan sesuai hasil analisis GIS yaitu 6.340,68 Ha.
Tabel 8 Wilayah administratif Kota Cibinong
No. Kecamatan Kelurahan/Desa Luas Wilayah (Ha)
1 Cibinong 1. Kel. Ciriung 372
2. Kel. Cirimekar 172
3. Kel. Pabuaran 425
4. Kel. Cibinong 471
5. Kel. Pakansari 522
6. Kel. Tengah 326
7. Kel.Harapan Jaya 265 8. Kel.Pondok Rajeg 204
9. Kel.Sukahati 469
10. Kel.Karadenan 404
11. Kel.Nanggewer Mekar 253
12. Kel. Nanggewer 366
Jumlah 4.249
2 Bojonggede 1. Desa Pabuaran 330
2. Desa Rawa Panjang 471
3. Desa Bojonggede 312
No. Kecamatan Kelurahan/Desa Luas Wilayah (Ha) 6. Desa Waringin Jaya 200
Jumlah 1.763
3 Citeureup 1. Desa Karangasem
Barat 239
2. Desa Puspasari 155
Jumlah 394
Jumlah Total (1 + 2 + 3) 6.406
Sumber : BPS Propinsi Jawa Barat 2010
Topografi dan kemiringan lereng
Wilayah Kota Cibinong memiliki ketinggian antara 100-165 meter di atas permukaan laut (dpl), kemiringan relatif datar dengan variasi berbukit-bukit yang sesuai untuk jenis peruntukkan perkotaan secara umum. Kemiringan lereng merupakan faktor utama yang menentukan suatu kawasan apakah layak untuk dibudidayakan atau tidak. Kota Cibinong dominasi lahannya berada pada kemiringan lereng 0 - 10%, yang berarti bahwa dataran yang datar sepenuhnya dan dapat digunakan secara intensif untuk kegiatan terbangun dengan pengelolaan kecil. Kondisi tanah yang relatif datar menunjukan penyebaran kadar karbondioksida yang merata tidak terganggu perbedaan ketinggian lahan.
Kependudukan
Penyebaran penduduk Kota Cibinong hampir merata di setiap desanya, dengan kepadatan penduduk kota 78 jiwa/ha. Sebaran penduduk terbesar cenderung terkonsentrasi di wilayah kota bagian utara, yaitu pada Kelurahan Pabuaran Kecamatan Cibinong, dengan tingkat kepadatan sebesar 162 jiwa/km2. Hal tersebut terjadi karena Kelurahan Pabuaran dekat dengan pusat perdagangan dan simpul transportasi Kota Cibinong. Sedangkan kawasan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi lainnya yaitu Desa Bojonggede Kecamatan Bojonggede, dengan tingkat kepadatan 80 jiwa/ha, hal itu terjadi karena tumbuhnya kawasan-kawasan permukiman baru dan aksesibilitas yang tinggi karena terdapatnya sarana transportasi kereta api Bogor-Depok-Jakarta (KRL).
arus penduduk ke luar-masuk kawasan permukiman akan semakin meningkat, sehingga tidak menutup kemungkinan akan tumbuh simpul-simpul kemacetan baru di setiap ruas jalan di Kota Cibinong.
Transportasi
Sistem transportasi merupakan faktor penentu di dalam proses perkembangan ekonomi suatu daerah. Semakin baik pelayanan sistem transportasi maka semakin besar pula peluang daerah untuk lebih berkembang. Wilayah perencanaan Kota Cibinong merupakan wilayah yang memiliki keuntungan lokasi cukup besar karena kedekatannya dengan wilayah Ibukota Jakarta. Untuk itu pengembangan sistem transportasi di Kota Cibinong harus terintegrasi, sehingga mempermudah pergantian antar moda dari pergerakan eksternal ke pergerakan internal kota.
Prasarana Jalan
Sistem jaringan jalan yang terdapat di Kota Cibinong terbentuk oleh jaringan jalan utama kota yang berpola linier serta jaringan jalan lingkungan yang berpola semi grid sistem. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar kegiatan perkotaan yang tumbuh di Kota Cibinong mengikuti pola jaringan jalan utama, sehingga perkembangan kota tumbuh secara tidak merata (sporadis). Selain itu tidak semua bagian wilayah kotanya mempunyai aksessibilitas yang baik karena belum terlayani oleh jaringan jalan utama. Dengan melihat kondisi pola sistem jaringan jalan yang ada di Kota Cibinong, serta untuk meningkatkan aksessibilitas bagi seluruh bagian wilayah kota dan dalam upaya pengembangan yang merata keseluruh bagian wilayah kota, maka pengembangan sistem jaringan jalan utamanya perlu dikembangkan dengan pola grid sistem. Dengan pengembangan pola jaringan jalan ini diharapkan dapat merangsang pengembangan setiap bagian wilayah Kota Cibinong secara merata (RDTR Kota Cibinong 2009).
segera ditangani dengan lebih kritis mengamati perkembangan sarana prasarana jalan di kota-kota sekitar Kota Cibinong agar tercipta keselarasan sistem transportasi yang baik.
Tabel 9 Panjang ruas jalan di Kota Cibinong (10 ruas terpilih)
No. Nama Ruas Jalan Panjang (M)
1 Tegar Beriman 3,02491
2 Lanbow 1,868
3 RayaBogor-Cikaret 1,74523
4 RayaBogor-KandangRoda 4,91581
5 PondokRajeg 1,69287
6 Cikaret-Pemda 2,89886
7 Pdam-Pemda 3,13855
8 Karadenan-Pemda 4,41878
9 Karadenan-Pomad 2,21834
10 Mayor Oking 2,88984
Sumber : Hasil olahan GIS
Pada penelitian ini dipilih 10 ruas jalan yang menjadi jalan utama lalu lintas kendaraan bermotor di Kota Cibinong, yaitu ruas jalan Mayor Oking, ruas jalan Raya Bogor (cikaret-mayor oking), ruas jalan Raya Bogor (Kandang Roda-Cikaret), ruas jalan Pomad-Karadenan, ruas jalan Karadenan-Sukahati (PDAM), ruas jalan PDAM-Setu Cikaret, ruas jalan Setu Cikaret-Pondok Rajeg, ruas jalan Setu Cikaret-Raya Bogor, ruas jalan Lanbow, dan jalan Tegar Beriman.
Volume lalu lintas
Penggunaan angkutan umum di Kota Cibinong dilayani oleh jenis angkutan kereta, bus umum, angkutan perkotaan (angkot) dan ojeg motor. Dengan tingkat kepadatan penduduk serta perkembangan prasarana jalan, maka penggunaan moda angkutan umum harus lebih ditingkatkan lagi untuk mendukung pergerakan penduduk yang juga akan mendorong tingkat perkembangan kota di masa datang.
Tabel 10 Jumlah volume lalu lintas harian sesuai jenis kendaraan pada 10 ruas jalan di Kota Cibinong
NO. JENIS
KENDARAAN
RUAS JALAN(smp)
A B C D E F G H I J
1 Sepeda Motor 10188 5055 6114 5480 8487 5256 12059 13693 2431 10148
2 Mobil Pribadi 1384 416 2065 773 1499 483 2121 5848 1844 3972
3 MPU 1218 233 198 702 2673 1451 3770 2625 5 673
4 Bus Sedang 210 0 1 35 4 24 293 318 10 25
5 Bus Besar' 169 0 2 5 0 0 250 162 24 30
6 Truk Kecil 238 50 35 183 534 184 745 553 398 636
7 Truk Sedang 259 15 26 125 271 148 561 526 414 542
8 Truk Besar 68 0 4 4 30 3 197 91 98 28
9 Truk Gandeng 20 0 0 1 8 0 12 59 3 27
10 Kend, Tdk
Bermotor 164 33 36 24 169 106 252 167 123 82 Total 13918 5802 8481 7332 13675 7655 20260 24042 5350 16163 Sumber : Hasil Hitung Lalu Lintas pada hari Rabu tanggal 1 - 8 -2012
Keterangan : A = jalan mayor oking, B = jalan karadenan - pomad, C = jalan karadenan - pdam, D = jalan pdam-setu cikaret, E = jalan setu cikaret - ry bogor, F = setu cikaret - pd rajeg, G = ry bogor (kd roda-cikaret), H = ry bogor (cikaret-simpang cibinong), I = jalan lanbow, J = jalan tegar beriman
Konsekuensi logis dari ketersediaan prasarana jalan dan keberadaan moda transportasi masal seperti kereta api akan mendorong pergerakan kendaraan bermotor lainnya di Kota Cibinong. Berdasarkan hasil survai traffic counting pada tahun 2012 tersebut di atas, ruas jalan yang memiliki volume lalu lintas tinggi adalah ruas jalan yang berfungsi melayani pergerakan regional, seperti jalan raya bogor. Hal tersebut akan mempengaruhi tingkat kadar emisi CO2 yang dihasilkan kendaraan bermotor. Kendaraan
pribadi merupakan penyumbang volume kendaraan terbesar pada setiap ruas jalan nya.
Ketersediaan ruang terbuka hijau publik
Ruang terbuka hijau meliputi ruang terbuka hijau publik dan privat. Menurut Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang , keterseduaan RTH publik dalam suatu kota diwajibkan minimal 20 % dari luas kota, dan ketersediaan RTP private diwajibkan minimal 10 % dari luas kota sehingga keseluruhan, luas RTH di kota minimal 30 % dari luas kota nya.
(dua) jenis RTH yaitu berbentuk taman dan berbentuk hutan kota. Pengelolaannya belum atau bukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah tetapi kepemilikan dan kewenangan hutan kota merupakan milik dan hak LIPI.
Tabel 11 Ketersediaan RTH publik di Kota Cibinong
No Nama RTH Publik Lokasi Luas (Ha)
1. RTH Publik Perkantoran Pemda Kabupaten Bogor
Jl. Tegar Beriman–Cibinong 17,5
2. RTH Publik Cibinong Science Centre
Kompleks Bakosurtanal / Cibinong Science Centre Jl. Raya Jakarta–Bogor
2
3. RTH Publik Ecology Park
Komplek LIPI / Cibinong Science Centre
25
4. Hutan Kota LIPI Cibinong SCience Centre Jl. Raya Jakarta–Bogor
47
5. Hutan Kota Bumi Perkemahan Cimandala
Cimandala Kecamatan Sukaraja 6
6. Hutan Kota Pondok Rajeg
Jl. Pahlawan Kel. Pondok Rajeg– Cibinong
2,5
Total RTH Publik 80
Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kab. Bogor 2012
V HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Penggunaan Lahan dari Tahun 2000–2010
Dalam kurun waktu 10 tahun (Tahun 2000 sd Tahun 2010), Kota Cibinong telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dalam menunjukan perkembangan kota. Perubahan lahan non terbangun menjadi lahan terbangun meningkat dari 2.268,88 Ha (35,78 % dari luas kota) menjadi 3.558,22 Ha (56,12 % dari luas kota) atau telah mengalami penambahan 56,83 % dari tahun 2000. Tabel 12 memperlihatkan perubahan lahan dari tahun 2000 ke tahun 2010 tersebut :
Tabel 12 Perubahan lahan dari tahun 2000 dan tahun 2010
Jenis Tutupan
Luas (ha) pada Tahun
Perubahan dari tahun 2000
ke tahun 2010 Keterangan
2000 2010 Luas (ha) %
Kebun/Perkebunan 1.482,38 2.459,33 976,95 65,90 bertambah Permukiman 2.268,88 3.558,22 1.289,34 56,83 bertambah
Sawah 289,51 231,87 (57,64) (19,91) berkurang
Tanah Terbuka 147,99 0,91 (147,07) (99,38) berkurang Tegalan/Ladang 2.065,88 4,31 (2.061,57) (99,79) berkurang
Tubuh Air 86,04 86,04 0 - tetap
Grand Total 6.340,68 6.340,68
Sumber : Hasil analisis
Pola perubahan lahan dari tahun 2000 ke tahun 2010 dapat disimpulkan bahwa tubuh air tidak ada perubahan, sawah berubah 19,91 % menjadi permukiman, kebun/perkebunan berubah 28,12 % menjadi permukiman, tanah terbuka berubah menjadi permukiman 66,73 % dan menjadi kebun/perkebunan 32,66 % nya, dan tegalan/ladang berubah menjadi permukiman 34,66% dan menjadi kebun/perkebunan 65,13 %.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa terdapat perubahan lahan permukiman yang cukup signifikan tetapi terjadi perubahan lahan hijau dari tegalan dan lahan terbuka menjadi kebun/perkebunan, yang memiliki fungsi ekologi yang lebih baik. Gambar 6 dan 7 memperlihatkan perubahan lahan yang terjadi dari tahun 2000 ke tahun 2010. Pada gambar tersebut dapat dijelaskan