• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Komunitas Makrofauna Tanah Pada Lahan Pertanian Anorganik dan Organik Di Kabupaten Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Struktur Komunitas Makrofauna Tanah Pada Lahan Pertanian Anorganik dan Organik Di Kabupaten Karo"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN 1. PETA LOKASI

Lokasi Penelitian

(2)

Lampiran 2. Jenis Tumbuhan yang Dibudidayakan Pada Lokasi Penelitian

No. Nama Ilmiah Nama Daerah Pertanian

Anorganik

10. Capsicum frutescens Cabai rawit √ √

11. Chrysanteum

grandiflorum Bunga khrisan x √

12. Coffea sp. kopi x √

13. Colocasia esculenta Talas √ √

14. Cyphomandra betacea Terong belanda √ x

15. Dahlia pinnata Bunga dahlia √ √

25. Rosmarinus officinalis Bunga rosemary √ √

26. Sechium edule Jipang √ √

(3)

Lampiran 3. Contoh Perhitungan Luas areal konversi pitfall trap = 0,5024 m2

(4)
(5)

Lampiran 4. Klasifikasi dan Deskripsi Spesies Makrofauna Tanah yang Ditemukan Pada Penelitian

No Klasifikasi Deskripsi

1. K : Animalia

Ph : Annelida C : Chaetopoda O : Oligochaeta F : Glossoscolecidae G : Pontoscolex Sp : Pontoscolex

corethrurus

(Cacing tanah)

Panjang tubuh 4,5 - 12 cm, lebar 0,2 – 0,3 cm. Jumlah segmen antara 120 – 167. Prostomium tipe Prolobus. Klitelium berbentuk Sadel pada segmen ke 13 - 17, menebal pada bagian dorsal sedangkan bagian ventral tidak. Tipe seta lumbricine di bagian dorsal tubuh, terlihat lebih jelas pada bagian posterior. Lubang kelamin jantan terletak pada segmen 20/21, lubang kelamin betina dan spermatekanya tidak jelas. Warna klitelium kekuningan, warna bagian dorsal coklat kekuningan, bagian ventral abu-abu keputihan, warna ujung anterior kekuningan dan ujung posterior coklat kekuningan.

(6)

2. K : Animalia Ph : Annelida C : Chaetopoda O : Oligochaeta F : Megascolecidae G : Amynthas

Sp : Amynthas gracilis

Panjang tubuh 6 – 15,8 cm, lebar tubuh 0,3 –0,5 cm. Jumlah segmen antara 87 – 167. Prostomium tipe Epilobus. Klitelium berbentuk Annular pada segmen 14 - 16 dengan warna coklat muda. Tipe seta

Perichaetine tersebar diseluruh segmen.

(7)

3. K : Animalia Ph : Annelida C : Chaetopoda O : Oligochaeta F : Megascolecidae G : Megascolex Sp : Megascolex sp.

(Cacing tanah)

Panjang tubuh 9 - 13 cm, lebar tubuh 0,3 – 0,4 cm dengan jumlah segmen antara 134 - 178. Prostomium tipe Epilobus.

Klitelium berbentuk Annular dimulai pada segmen ke 14-16, mempunyai setae dengan tipe Perichaetine. Lubang kelamin jantan pada segmen 18, lubang kelamin betina pada segmen 7 - 9. Warna bagian dorsal merah keunguan, ventral pucat atau coklat keputihan. ujung anterior coklat keputihan dan ujung posterior abu-abu coklat.

(8)

4. K : Animalia Ph : Annelida C : Chaetopoda O : Oligochaeta F : Megascolecidae G : Pheretima Sp : Pheretima sp.

(Cacing tanah)

(9)

5. K : Animalia posteriornya, Warna tubuh bagian dorsal cokelat kekuningan dengan sepasang garis pada bagian tengahnya, warna tubuh bagian ventral lebih cerah daripada bagian dorsalnya. cm. Chepalothoraks memiliki pola yang khas (pada kebanyakan Genus dari Family Lycosidae).Warna tubuh cokelat kecuali pada bagian cephalothoraks dan abdomen yang agak gelap.

@Zulfan_Aris

(10)

7. K : Animalia menuju kebagian posterior. Caput pipih dan agak memanjang, terdapat sepasang mata dan antena yang pendek, bagian mulut terdapat sepasang capit, mulut tipe pengunyah. Memiliki lebih dari 40 segmen pada bagian abdomennya, tiap segmen tubuh dijumpai sepasang kaki. Warna caput cokelat tua, warna tubuh panjang. Bagian mulut terdapat sepasang capit dengan tipe pengunyah. Memiliki 10 - 15 segmen pada bagian abdomen, segmen memiliki 2 bentuk, lebar dan sempit, kedua segmen tersebut berseling membentuk tubuh, ujung abdomen terdapat sepasang cerci yang panjang. Tiap segmen dijumpai sepasang kaki, kaki bagian belakang memiliki ukuran yang lebih panjang dari kaki lainnya. Tubuh seutuhnya berwarna merah kecokelatan. @Zulfan_Aris

(11)
(12)
(13)

1

3

. K : Animalia

Panjang tubuh 1,2 cm, lebar tubuh 0,4 cm. Tubuh lonjong dan agak tipis. Kepala pipih. Mata jelas terlihat. Memiliki antena yang panjang hingga 0,7 cm. Pronotum dengan abdomen sejajar. Memiliki sepasang sayap yang tipis. Pada bagian ujung abdomen dijumpai sepasang cerci. Kaki cukup jenjang dan terdapat duri bulat pendek. Pada elytra terdapat garis-garis. Kaki 3 pasang yang terdiri atas, koksa, trokanter, femur, tibia, tarsal (3 ruas) dan metatarsal, tubuh berwarna metalik gelap.

@Zulfan_Aris

(14)

15. K : Animalia sepasang mata yang menonjol pada bagian kepala. Antena tersusun atas 10 ruas. Pronotum agak gepeng. Elitra membulat kebelakang dengan garis-garis kasar disertai rambut halus dan jarang pada bagian tepi. Kaki 3 pasang terdiri atas koksa, trokanter, femur, tibia, tarsal (3 ruas) dan metatarsal, kaki memiliki duri-duri dan rambut halus. Warna tubuh dominan hitam disertai warna hijau metalik, pada bagian tepi pronotum dan

(15)

17. K : Animalia pengunyah, pronotum lebar dan sejajar dengan elytra, tiap sudut pronotum termodifikasi meruncing terutama yang bagian bawah dan menempel dengan elytra pada abdomen. Abdomen meruncing dan elytra tumpul kebawah, pada elytra terdapat garis-garis yang kurang tampak dengan jelas. Warna tubuh hitam kecuali pada bagian ventral dan berwarna kuning kegelapan, coklat kemerahan sampai hitam dan terkadang berwarna metalik.

@Zulfan_Aris

(16)

19. K : Animalia cm. Terdapat sepasang antena dengan ruas berjumlah 10, ruas ke 8 – 10 membesar berbentuk seperti gadah. Tipe mulut penggigit dan pengunyah. Pronotum memiliki batas yang jelas dan membesar menuju ke bawah serta memipih kesamping. Abdomen agak meruncing tertutup dengan elytra yang berbentuk lonjong. Tubuh berwarna hitam kecuali mulut, antena dan kaki yang berwarna cm. Caput berbentuk seperti segitiga berwarna hitam. Mempunyai sepasang mata berwarna putih. Antena 16 ruas, ruas 13 dan 14 warna putih. Mulut tipe penggigit dan pengunyah. Terdapat palpus dengan warna agak kecoklatan berjumlah 2 ruas. Thoraks berwarna cokelat kehitaman. Tungkai depan dan tengah berjumlah 3 ruas, tungkai belakang 4 ruas. Abdomen berjumlah 8 ruas berwarna cokelat kehitaman, memiliki sepasang cerci untuk mencapit pada bagian belakang. Tubuh seluruhnya berwarna kehitaman.

@Zulfan_Aris

(17)

21. K : Animalia memanjang dan terlihat seperti bersegmen, bagian kepala memiliki bagian menyerupai tanduk sebanyak 3 pasang dengan mulut yang agak menonjol, tubuh bagian bawah lebih ramping. Warna tubuh cokelat. Dewasa: Panjang tubuh 1,7 – 2 cm, lebar tubuh 0,2 cm. Tubuh ramping dan meruncing ke belakang. Memiliki sepasang sayap dan 3 pasang kaki yang panjang. Warna tubuh pendek dan terlihat kokoh. Keliling clypeal hadapan mempunyai 7 - 9 gigi dengan berbagai bentuk dari tumpul ke tajam. Antena terdiri atas 12 ruas. Mata terlihat jelas. Pronotum mempunyai sepasang gigi berbentuk segitiga di sisi tubuh. Memiliki 1 pentiole dengan bentuk tipis dan menajam. Warna tubuh keseluruhan hitam dengan pola garis-garis yang khas.

@Zulfan_Aris

(18)

2

3

. K : Animalia - 0,8 cm, caput agak mengerucut kedepan, mata bulat dengan antena yang pendek, mulut memiliki sepasang capit menyerupai gergaji yang digunakan untuk memotong. Pronotum besar, bagian thoraks dijumpai 3 pasang kaki, sepasang kaki depan yang berukuran lebih besar memiliki kuku yang termodifikasi untuk menggali. Memiliki dua pasang sayap, abdomen terdiri atas 6 - 7 lipatan yang memiliki sepasang cerci pada segmen yang terakhir, tubuh berwarna cokelat dan agak sedikit gelap pada bagian kepala.

24. K : Animalia mata dan antena yang panjangnya ± 1 cm. Pada bagian thoraks terdapat 3 pasang kaki, sepasang kaki belakang lebih besar dan pajang dari 2 pasang kaki depannya yang termodifikasi untuk melompat. Terdapat 2 pasang sayap (depan dan belakang). Bagian abdomen beruas-ruas antara 8 - 10 ruas, pada abdomen terakhir terdapat sepasang cerci dan ovipositor. Warna tubuh cokelat tua, warna kaki lebih cerah. Mengeluarkan suara yang keras pada malam hari.

@Zulfan_Aris

(19)

25. K : Animalia termodifikasi untuk melompat. Sayap pendek. Bagian abdomen beruas-ruas antara 8 - 10 ruas, pada abdomen terakhir terdapat sepasang cerci dan ovipositor. Warna tubuh hitam kecuali bagian kaki dan sayap yang berwarna cokelat. Mengeluarkan suara yang keras pada malam hari.

Sp : Armadillidium vulgare (Udang lipan) abdomen, tiap segmen thoraks terdapat sepasang kaki. Warna seluruh tubuh abu-abu sampai kecokelatan. Dapat menggulung seperti bola jika merasa terancam.

@Zulfan_Aris

(20)
(21)

29. K : Animalia

Sp : Bradybaena similaris (Siput darat)

Tinggi cangkang 0,8 - 1,1 cm, lebar cangkang 1,6 - 1,8 cm. Tipe cangkang

Depresed heliciform. Whorl pada

cangkang berjumlah 5 ½. Umbilicus sempit. Parietal kurang jelas terlihat. Cangkang tipis dan teksturnya halus. Terdapat sebuah garis spiral yang mengelilingi cangkang. Dinding cangkang rapuh, garis-garis pertumbuhan kurang jelas telihat. Warna cangkang cokelat kekuningan.

Depressed heliciform. Jumlah whorl pada

cangkang 5 ½. Umbilicus sempit. Parietal kurang jelas terlihat. Cangkang tipis dan teksturnya kasar. Dinding cangkang rapuh dan memiliki garis-garis pertumbuhan yang mengeriput dan jelas. Bagian atas cangkang berwarna agak keputihan dan semakin cokelat menuju ke pangkal. @Zulfan_Aris

(22)

31. K : Animalia cangkang 0,3 cm. Tipe cangkang conical.

Whorl pada cangkang berjumlah 6.

Umbilicus tertutup. Parietal tidak terlihat. Cangkang tipis dan agak kasar. Dinding cangkang rapuh. Garis-garis pertumbuhan jelas terlihat. Warna cangkang cokelat kehitaman. anterior dan posterior). Mulut pada bagian bawah dengan gigi parut (radula). Kaki (gastropod) memiliki batas yang jelas terhadap tubuhnya di sepanjang bagian ventral dengan pola garis. Warna tubuh bagian dorsal cokelat tua, wana tubuh bagian ventral cokelat muda.

@Zulfan_Aris

(23)

Lampiran 5. Data Jenis dan Jumlah Makrofauna Tanah yang Ditemukan Pada Setiap Lokasi Penelitian

A. Lokasi I (Pertanian Anorganik)

I. Metode Pitfall Trap Lokasi I

No Jenis Plot Sampling Jumlah Plot yang

ditempati

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

1. Armadillidium vulgare - 5 - 3 2 1 - - - - 1 - 3 - - - - 2 - - - 17 7

2. Blattella germanica - - - 1 - - - 1 1

3. Calosoma sp. - - - 1 - - - 1 - - - 2 2

4. Euborellia sp. 3 - - - 3 - - - 3 - - - 2 3 - - - 14 5

5. Gryllotalpa sp. 2 - - 3 - 1 - - - - 1 - 2 - - - 3 - - - - 2 - 1 - 15 8

6. Gryllus sp. 1 - - - 1 - - - 1 1

7. Gryllus sp. 2 - - - 2 - - - 2 1

8. Hemphillia sp. - - - 1 - - - 1 - 1 - - - 3 3

9. Monacha sp. - - - 1 - - - - 1 1 - 3 6 4

10. Nitidula rufipes 4 2 2 2 2 2 8 2 3 - - 3 5 - 2 - - 3 5 - 5 - 8 4 - 62 17

11. Odontoponera denticulata - - - 4 - - 9 - - 5 - 3 - - - 18 3 - - 5 47 7

12. Pheretima sp. - 1 - - 1 - - - 1 1 - 4 4

13. Philoscia sp. - - - - 5 - - - 3 - - - 5 - - - - 13 3

14. Phyllophaga sp. - - 1 - - - 1 - - - 3 - - - 3 8 4

15. Polydesmus sp. - - - 1 1 - - - 2 2

16. Scolopendra sp. - - - 1 - - 1 1

17. Stenolophus sp. - - - 1 - - - 1 1

(24)

II. Metode Kuadrat Lokasi I

No Jenis Plot Sampling Jumlah Plot yang

ditempati

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

1. Amynthas gracilis - - - 1 2 - - - 3 2

2. Blatta orientalis - - 1 - - - 1 1

3. Blattella germanica - - 1 - - - 1 - - - 1 - - - - 3 3

4. Bradybaena similaris - - - - 1 - 1 1 - - - 3 3

5. Calosoma sp. - - 1 - - - - 1 - - - 2 2

6. Euborellia sp. 3 - 3 3 2 3 - 4 2 - - 3 - - - 23 8

7. Geophillus sp. - - 1 1 1 - - - 1 - - - 4 4

8. Gryllotalpa sp 1 1 - - 2 - - 3 1 - 2 - - - - 10 6

9. Monacha sp. - - - - 9 - 3 1 2 - - - 1 - - 16 5

10. Pheretima sp. - - 2 3 10 2 2 1 3 3 1 4 - - 1 32 11

11. Philoscia sp. - - - 1 - - - 1 - - 1 - - 3 3

12. Phyllophaga sp. - - - 1 - - - 1 - - - 2 2

13. Polydesmus sp. - 1 - - - - 1 - - - 1 3 3

(25)

B. Lokasi II (Pertanian Organik)

I. Metode Pitfall Trap Lokasi II

No Jenis Plot Sampling Jumlah Plot yang

ditempati

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

1. Armadillidium vulgare - - - 1 - 1 - - - 2 2

2. Blattella germanica - - - 1 - - - 1 1

3. Bradybaena similaris - - - 2 1 1 - - - 1 - - - 1 1 - 1 - - - - 8 7

4. Calosoma sp. - - - 2 - - - 4 - - 6 2

5. Euborellia sp. - - 1 - - - 1 1 2 - - 1 - - - 1 1 - 2 - - - 3 13 9

6. Gryllotalpa sp. - - - 1 - - - 1 1

7. Gryllus sp.1 - - - 2 - - - 2 - - - 4 - - - - 8 3

8. Hypnoidus sp. - 1 14 - - - 15 2

9. Julus sp. 1 - - - 3 - 4 2

10. Lamellaxis gracilis 1 - - - 1 1

11. Leydiula sp. 1 - - - 1 - 3 - - - 1 - - - 6 4

12. Monacha sp. - 1 - - - 13 - - - 2 - - - 1 17 4

13. Nitidula rufipes - 6 7 4 5 7 1 3 1 - 6 3 1 4 2 - 12 - 5 - 14 - - - - 81 16

14. Odontoponera denticulata 4 - 3 - 9 - 1 - - 8 13 - 1 - 6 8 - - 8 5 - 13 10 - - 89 13

15. Philoscia sp. - 3 - - - 3 - - - 4 - - - 5 2 - - - 17 5

16. Phyllophaga sp. - - 2 - - - 2 1

17. Scolopendra sp. 1 - - - 1 1

18. Sitophilus sp. - - - 1 - - - 1 1

19. Stenolophus sp. - - - 1 - - - 1 1

20. Tipula sp. - - - 1 - - - 2 - - - 3 2

(26)

II. Metode Kuadrat Lokasi II

No Jenis Plot Sampling Jumlah Plot yang

Ditempati

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

1. Amynthas gracilis - - 2 1 - - - 1 - 2 - - 2 - 1 9 6

2. Armadillidium vulgare - - - 1 - - 1 - - - 2 2

3. Blatta orientalis - - - 1 - - - 1 1

4. Bradybaena similaris 2 - 1 1 - 2 - - - 4 10 5

5. Calosoma sp. - - - 1 - - 1 - - - - 2 2

6. Euborellia sp. - - 5 2 - 2 2 4 8 - 1 3 5 8 - 40 10

7. Geophillus sp. 12 - 4 - - 3 2 2 - 4 2 10 2 7 2 50 11

8. Gryllotalpa sp. - - - 1 - 1 1

9. Haemadipsa sp. - 1 - 3 - - 2 - - - 6 3

10. Lamellaxis gracilis - - - 1 - - - 2 3 2

11. Leidyula sp. 3 - - - 3 1

12. Lithobius sp - - - 5 - - - 5 1

13. Megascolex sp. - - - 1 - - 1 - 2 2

14. Monacha sp. - - 3 - - - 3 3 - - - - 1 2 2 14 6

15. Nitidula rufipes - - - 5 - - - 2 2 9 3

16. Odontoponera denticulata - - - 2 - - - 2 1

17. Pheretima sp. - - 9 4 8 6 4 6 3 10 5 3 2 - 1 61 12

18. Philoscia sp. - - - - 2 - - 2 - - 1 1 - 4 - 10 5

19. Phyllopaga sp. - - 1 - - - 1 1

20. Polydesmus sp. 1 - 3 2 - - - 2 - - - 8 4

21. Pontoscolex corethrurus 3 2 7 - 2 8 8 6 2 2 1 2 - 2 - 45 12

22. Scolopendra sp. - - - 1 - - - 1 1

23. Stenolophus sp. - - - 1 1 - - 5 - - 7 3

(27)

Lampiran 6. Hasil Analisis Korelasi Pearson (r) Antara Faktor Fisik dan Kimia Tanah dengan Filum Makrofauna Tanah a. Lokasi I (Lahan Pertanian Anorganik)

Correlations

Suhu tanah Kelembaban tanah pH tanah Kadar air tanah Annelida Arthropoda Mollusca

Suhu tanah Pearson Correlation 1 -.341 .052 .030 -.279 -.206 .408*

Sig. (2-tailed) .096 .806 .887 .176 .324 .043

N 25 25 25 25 25 25 25

Kelembaban tanah Pearson Correlation -.341 1 -.242 .045 .110 .057 -.161

Sig. (2-tailed) .096 .244 .832 .600 .786 .443

N 25 25 25 25 25 25 25

pH tanah Pearson Correlation .052 -.242 1 -.494* -.099 .043 .088

Sig. (2-tailed) .806 .244 .012 .636 .837 .674

N 25 25 25 25 25 25 25

Kadar air tanah Pearson Correlation .030 .045 -.494* 1 .213 -.214 -.142

Sig. (2-tailed) .887 .832 .012 .307 .303 .500

N 25 25 25 25 25 25 25

Annelida Pearson Correlation -.279 .110 -.099 .213 1 .545** .062

Sig. (2-tailed) .176 .600 .636 .307 .005 .768

(28)

Arthropoda Pearson Correlation -.206 .057 .043 -.214 .545** 1 .063

Sig. (2-tailed) .324 .786 .837 .303 .005 .764

N 25 25 25 25 25 25 25

Mollusca Pearson Correlation .408* -.161 .088 -.142 .062 .063 1

Sig. (2-tailed) .043 .443 .674 .500 .768 .764

N 25 25 25 25 25 25 25

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

b. Lokasi II (Lahan Pertanian Organik)

Correlations

Suhu_tanah Kelembaban tanah pH tanah Kadar air tanah Annelida Arthropoda Mollusca

Suhu tanah Pearson Correlation 1 -.741** .286 -.330 -.558** -.552** -.390

Sig. (2-tailed) .000 .166 .107 .004 .004 .054

N 25 25 25 25 25 25 25

Kelembaban tanah Pearson Correlation -.741** 1 -.250 .391 .678** .596** .401*

Sig. (2-tailed) .000 .228 .054 .000 .002 .047

(29)

pH tanah Pearson Correlation .286 -.250 1 -.079 .046 .044 -.146

Sig. (2-tailed) .166 .228 .709 .825 .834 .485

N 25 25 25 25 25 25 25

Kadar air tanah Pearson Correlation -.330 .391 -.079 1 .306 .247 .142

Sig. (2-tailed) .107 .054 .709 .137 .233 .499

N 25 25 25 25 25 25 25

Annelida Pearson Correlation -.558** .678** .046 .306 1 .872** .305

Sig. (2-tailed) .004 .000 .825 .137 .000 .138

N 25 25 25 25 25 25 25

Arthropoda Pearson Correlation -.552** .596** .044 .247 .872** 1 .471*

Sig. (2-tailed) .004 .002 .834 .233 .000 .018

N 25 25 25 25 25 25 25

Mollusca Pearson Correlation -.390 .401* -.146 .142 .305 .471* 1

Sig. (2-tailed) .054 .047 .485 .499 .138 .018

N 25 25 25 25 25 25 25

(30)
(31)

Lampiran 8. Foto Kerja

Metode Pitfall Trap

(32)

Metode Hand Sorting

(33)
(34)

DAFTAR PUSTAKA

Adianto. 1993. Biologi Pertanian (Pupuk Kandang, Pupuk Organik Nabati, Dan Insektisida). Edisi ke-2. Alumni anggota IKAPI. Bandung.

Andrews, W. A. 1930. A Guide to the Study of Soil Ecology. Prentice-Hall, Inc. New Jersey.

Ariani, D. 2009. Komposisi Komunitas Makrofauna Tanah Untuk Memantau Kualitas Tanah Secara Biologis Pada Areal Perkebunan PTPN II Sampali Kecamatan Percut Sei Tuan. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Jakarta.

Arya, N., Wirawan, G. P., Temaja, G. R. M., Susanta, G. N. A., Dinata, K. T and Ohsawa, K. 1996. Farming System And Inventory Of Mayor Disease Of Vegetable In Higland Growing Area Candikuning Of Bali. In Resort of Integrated Research on Sustainable Highland and Upland Agricultural Systems in Indonesia. Indonesia: Bali. pp. 89 – 111.

Batubara, R. 2002. Fisiologi Serangga Hutan (Sistem Pencernaan Serangga). Lecture paper. USU Institutional Repository.

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/1016 [09 April 2014].

Borror, D. J., Triplehorn, C. A dan Johnson, N. F. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Diterjemahkan oleh Partossoedjono, S. Edisi ke-6. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Karo Dalam Angka 2013.

http://karokab.bps.go.id/?hal=publikasi_detil&id=12 [19 Nopember 2013]. Brown, A. L. 1980. Ecology of Soil Organisms. Heinemann Educational Ltd.

London.

Brown, G. G., Pasini, A., Benito, N. P., de Aquino, A. M and Correia, M. E. F. 2001. Diversity and functional role of soil macrofauna comunities an brazilian no-tillage agroecosystems: a preliminary analysis. Paper based on an oral presentation at the International Symposium on Managing Biodiversity in Agricultural Ecosystems. Montreal, Canada, 8-10 Nopember 2001. pp. 1-20.

(35)

Burke, T. E. 2005. Conservation Assessment for Four Species of the Genus

Hemphillia. USDA Forest Service Region 6 and USDI Bureau of Land

Management, Oregon and Washington. USA.

Campbell, N. A & Reece, J. B. 2010. Biologi. Edisi ke-8. Jilid 2. Diterjemahkan oleh: Wulandari, D. T. Erlangga. Jakarta.

Coleman, D. C., Crossley, D. A and Hendrix, P. F. 2004. Fundamentals of Soil Ecology. Elsevier Inc. USA.

Coyne, M. S & Thompson, J. A. 2006. Fundamental Soil Science. Thomson Delmar Learning. USA.

Dindal, D. L. 1990. Soil Biology Guide. John Wiley & Sons. New York.

Djojosumarto, P. 2000. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius. Yogyakarta.

Doube, B. M & Schmidt, O. 1997. Can the abundance or activity of soil macrofauna be used to indicate the biological health of soils?. In Pankhurst, C. E., Doube, B. M & Gupta, V. V. S. R (eds.). Biological Indicator of Soil Health. CAB International. New York. pp. 269 – 295.

Edward, C. H & Lofty, J.R. 1997. Biology of Earthworm. Chapman and Hall. London.

Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.

Fayle, T. M & Hashimoto, Y. 2011. Key to the Workers of the 100 Ant Genera and 12 Ant Subfamilies of Borneo in English and Malay. Translated into Malay by Yusah, K. M.

http://www.tomfayle.com/Key%20to%20the%20ant%20genera%20of%20 Borneo%20v1%20(English-Malay).pdf. [14 Februari 2013].

Gibb, T. J & Oseto, C. Y. 2006. Arthropod Collection and Identification (Field and Laboratory Techniques). Elsevier Academic Press. British.

Ginting, D. 2011. Relevansi Bahan Perpustakaan Dengan Kebutuhan Informasi Pada Kantor Kearsipan, Perpustakaan dan Dokumentasi Kabanjahe. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Glass, E. H & Thurston, H. D. 1978. Traditional and modern crop protection in perspective. Bioscience. 28(2): 109 115.

(36)

Hanafiah, K. A., Anas, I., Napoleon, A dan Ghoffar, N. 2005. Biologi Tanah. Ekologi dan Mikrobiologi Tanah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Handayanto & Hairiah. 2009. Biologi Tanah, Landasan Pengelolaan Tanah Sehat. Pustaka Adipura. Yogyakarta.

Harahap, S. 2012. Melirik Tantangan dan Peluang Pertanian Organik Karo. http://www.harianandalas.com/Sumatera-Utara/Melirik-Tantangan-dan-Peluang-Pertanian-Organik-Karo. [14 Juli 2012].

Hardjowigeno, S. 2010. Ilmu Tanah. CV Akademika Pressindo. Jakarta.

Hariyanto, S., Irawan, B dan Soedarti, T. 2008. Teori dan Praktik Ekologi. Airlangga University Press. Surabaya.

Hidalgo, P. R & Harkess, R. L. 2002. Earthworm castings as a substrate for poinsettia production. HORTSCIENCE. 37(2): 304 – 308.

Hole, F. D. 1981. Effects of animals on soil. Geoderma. 25(1): 75 – 112.

Hou, J., Qiao, Y., Liu, G and Renjie, D. 2005. The Influence of temperature, pH and C/N ratio on the growth and survival or earthworm in municipal solid waste. CIGR Ejournal. 14(7): 1 – 6.

[IFOAM] International Federation of Organic Agriculture Movements. 2012. Prinsip – Prinsip Pertanian Organik.

http://www.ifoam.org/about_ifoam/pdfs/POA_folder_indonesian.pdf [03 Oktober 2012].

Joesidawaty, M. I. 2008. Struktur komunitas moluska pada habitat mangrove

dikawasan Mangrove Center Jenu Tuban. http://ejournal.unirow.ac.id [09

April 2014].

John, A. H. 1998. Kajian Pengaruh Pemupukan Dengan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit ke Areal Kebun Terhadap Cacing Tanah Untuk Memantau Kualitas Tanah Secara Biologis. [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara, Program Pascasarjana.

__________. 2009. Kajian pengaruh pemupukan dengan limbah cair pabrik kelapa sawit ke areal kebun terhadap makrofauna tanah sebagai bioindikator kualitas tanah. Jurnal Biologi Sumatera. 4(1): 4 – 15.

__________. 2011. Komposisi komunitas makrofauna tanah pada biotop hutan dan lahan pertanian yang diberi pupuk organik dan anorganik sebagai bioindikator kesuburan tanah. Di dalam: Meningkatkan Peran Biologi dalam Mewujudkan National Achievement with Global Reach. Prosiding Seminar Nasional Biologi: Universitas Sumatera Utara, 22 Januari 2011.

(37)

Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. PT Rineka Cipta. Anggota IKAPI. Jakarta.

Kartasapoetra, A. G., Sutedjo dan Mulyani, M. 1991. Teknologi Konservasi

Tanah dan Air. Rineka Cipta. Jakarta.

Krebs, C. J. 1985. Ecology (The Experimental Analysis of Distribution and Abudance). Third Edition. Harper & Row Publishers. New York.

Lavelle, P., Dangerfield, M., Fargoso, C., Eschenbremer, V., Lopez-Haernandez, D., Pashanashi, B and Brussaard, L. 1994. The relationship between soil macrofauna and tropical soil fertility. In Woomer, P. L & Swift, M. J (eds.). The Biological Management of Tropical Soil Fertility. John Wiley & Sons: Chichester. pp. 137 – 169.

Lee, K. E. 1985. Earthworm, Their Ecology and Relationship with Soil and Land Use. Academic Press. Australia.

Lotter, D. W. 2003. Organic agriculture. Journal Sustain Agriculture. 21(4): 1-63.

Maftu’ah, E., Alwi, M dan Mahrita, W. 2005. Potensi makrofauna tanah sebagai

bioindikator kualitas tanah gambut. Bioscientiae. 2(1): 1 – 14.

Mas’ud, A & Sundari. 2011. Kajian struktur komunitas epifauna tanah di kawasan

hutan konservasi Gunung Sibela Halmahera Selatan Maluku Utara.

BIOEDUKASI. 2(1): 7 – 15.

Michael, P. 1995. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Diterjemahkan oleh Koestoer, Y. R. UI-Press. Jakarta.

Muhammad, A. 2007. Komposisi Komunitas dan Distribusi Makrofauna Tanah Di Biotop Hutan Kawasan Suaka Margasatwa Siranggas Kecamatan Salak Kabupaten Pakpak Barat. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Mukti, C., Sugiyarto dan Mahajoeno, E. Keanekaragaman mesofauna dan makrofauna tanah pada berbagai tanaman sela di hutan sengon (Paraserianthes falcataria Nielsen) RPH Jatirejo Kediri. BioSMART 6(1): 57 – 64.

Munawar, A. 2011. Kesuburan Tanah dan Nutrisi Tanaman. IPB Press. Bogor.

Nardi, J. B. 2007. Life in The Soil (A Guide For Naturalists And Gardeners). The University of Chicago Press. Chicago.

Noordwijk, M. V & Hairiah, K. 2006. Intensifikasi pertanian, biodiversitas tanah dan fungsi agro-ekosistem. Agrivita. 28(3): 1 13.

(38)

Nusroh, Z. 2007. Studi Diversitas Makrofauna Tanah di Bawah Beberapa Tanaman Palawija yang Berbeda di Lahan Kering Pada Saat Musim Penghujan. [Skripsi]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Odum, E. P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Samingan, T. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Pandia, I. 2012. Opini Publik Mengenai Peran Media Cetak Lokal Dalam Pembangunan Bidang Pertanian Hortikultura. http://jurnal- skripsi3.blogspot.com/2011/11/opini-publik-mengenai-peran-media-cetak.html [27 Februari 2013].

Pankhurst, C. E. 1994. Biological indicators of soil health and sustainable productivity. In Greendland, D. J & Szabolcs, I (eds.). Soil Resiliense and Sustainable Land Use. CAB International: Wallingford. pp. 331 – 351.

Patang, F. 2010. Keanekaragaman takson serangga tanah pada areal hutan bekas tambang batubara PT Mahakam Sumber Jaya Depari. Bioprospek. 7(1): 80 – 89.

Peritika, M. Z. 2010. Keanekaragaman Makrofauna Tanah Pada Berbagai Pola Agroforestri Lahan Miring Di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. [Skripsi]. Universitas Sebelas Maret.

Prascaya. 2011. Hama dan Penyakit Tanaman. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Depok.

Prascaya. 2012. Bertanam Sayur Organik. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Depok. Prasetio, Y. 2008. Keanekaragaman Makrofauna Tanah Di Beberapa Ekosistem

Alami dan Budidaya Di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Prayogo, J., Suyono, T dan Berney, M. 1999. Apa itu pertanian Organik?. Cianjur Indah Offset. Malang.

Red Worm Organic. 2007. Basic Earthworm Biology. http://www.wormswrangler.com/article10.html. [5 April 2013].

Reissig, W. H., Heinrichs, E. A., Litsinger, J. A., Moody, K., Fiedler, L., Mew, T. W and Barrion, A. T. 1985. Illustrated Guide to Integrated Pest Management in Rice in Tropical Asia. IRRI Publications. Philippines. Ruiz, N., Lavelle, P and Jimenez. 2008. Soil Macrofauna Field Manual. FAO.

(39)

Sabaruddin, L., Kilowasid, L. M dan Syaf, H. 2008. Integrasi Komunitas Fauna Tanah Dalam Optimasi Pemanfaatan Lahan Kering Berbasis Sumberdaya Iklim. http://www.unhalu.ac.id/karya-ilmiah.php?read=5068

[13 Nopember 2013].

Setiawan, Y., Sugiyarto dan Wiryanto. 2003. Hubungan populasi makrofauna dan mesofauna tanah dengan kandungan C, N, dan Polifenol, serta Rasio C/N, dan Polifenol/N bahan organik tanaman. BioSMART. 5(2): 134 – 137. SNI 13-6793-2002 (Pd M 12-1998-03). 2005. Metode Pengujian Kadar Air,

Kadar Abu dan Bahan Organik Dari Tanah Gambut dan Tanah Organik Lainnya. http://www.pu.go.id/satminkal/balitbang/sni/pdf/SNI%2003-6793-2002.pdf. [09 Maret 2013].

Sodiq, M. 2000. Pengaruh pestisida terhadap kehidupan organisme tanah. Mapeta. 2(5): 20 – 22.

Stepenson, J. 1923. Oligochaeta. In Shipley, A. E & Hon (eds.). The fauna of British India. Under The Authority Of The Secretary Of State For India In Council. London. pp. 1 – 518.

Sugiyarto. 2000a. Aplikasi bahan organik tanaman terhadap komunitas fauna tanah dan pertumbuhan kacang hijau (Vigna radiata). Biodiversitas. 1(1): 25 – 29.

________. 2000b. Keanekaragaman makrofauna tanah pada berbagai umur tegakan sengon di RPH Jatirejo, Kabupaten Kediri. Biodiversitas. 1(2): 47

– 53.

________. 2005. Struktur dan komposisi makrofauna tanah sebagai bioindikator kesehatan tanah pada kasus perubahan sistem penggunaan lahan di HTI sengon. BioSMART. 7(2): 100 – 103.

________. 2008. Konservasi makrofauna tanah dalam sistem agroforestri. Di dalam: Peningkatan Mutu Pembelajaran Biologi Melalui Pengayaan Materi Biologi Terapan. Disampaikan Pada Seminar Nasional Pendidikan Biologi; Surakarta, 24 Mei 2008. Surakarta: Prodi-Ikatan alumni Biosains PPs UNS.

Sugiyarto., Wijaya, D., Rahayu, S. Y. 2002. Biodiversitas hewan permukaan tanah pada berbagai tegakan hutan di sekitar goa jepang, BKPH Nglerak, Lawu Utara, Kabupaten Karanganyar. Biodiversitas 3(1): 196 – 200. Sugiyarto., Efendi, M., Mahajoeno, E., Sugito, Y., Handayanto, E dan Agustina,

(40)

Suin, N. M. 2002. Metoda Ekologi. Edisi ke-2. Universitas Andalas. Padang.

_________. 2006. Ekologi Hewan Tanah. Edisi ke-3. Bumi Aksara. Jakarta. Sukarsono. 2009. Ekologi Hewan. UMM Press. Malang.

Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta.

Sutedjo, M. M., Kartasapoetra, A. G dan Sastroadmodjo, R. D. S. 1996. Mikrobilogi Tanah. PT. Rineka Cipta. Jakarta.

Swift, M. J., Heal, O. W and Anderson, J. M. 1979. Decomposition in terrestrial ecosystems. Volume 1. University of California Press. Berkeley.

Swift, M & Bignell, D. 2001. Standard Methods for Assessment of Soil Biodiversity and Land Use Practice. International Centre for Research in Agroforestry. Bogor.

Untung, K. 1997. Pertanian organik sebagai alternatif teknologi dalam pembangunan pertanian. Dalam Diskusi Panel Tentang Pertanian Organik. Jawa Barat: DPD HKTI.

Usman, H. & Akbar, R. P. S. 2000. Pengantar Statistika. Bumi Aksara. Jakarta. Wallwork, J. A. 1970. Ecology of Soil Animal. Mc.Graw Hill Book Company.

London.

_____________. 1976. The Distribution and Diversity of Soil Animal. Academic Press Inc. London.

Witt, B. 1997. Using soil fauna to improve soil health. Student On-Line Journal. 2(8): 1 – 5.

Wood, M. 1989. Soil Biology. Chapman and Hall. New York.

Yulipriyanto, H. 2010. Biologi Tanah dan Strategi Pengelolaanya. Graha Ilmu. Yogyakarta.

(41)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai September 2013 pada lahan pertanian yang dikelola dengan sistem anorganik dan organik milik petani di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Proses determinasi dan identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Sistematika Hewan Departemen Biologi FMIPA USU Medan.

3.2. Deskripsi Area

Secara administratif kedua lokasi penelitian terletak di Desa Raya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara (peta lokasi dapat dilihat pada Lampiran 1). Luas masing-masing lokasi ± 6000 m2 dengan jarak antar lokasi ± 2 Km.

a. Lokasi I

Merupakan lahan pertanian yang dikelola dengan sistem anorganik. Lokasi ini terletak pada titik koordinat 3°09’50,4” LU dan 98°30’38,7” BT. Pola tanam yang dilakukan adalah sistem polikultur, yaitu membudidayakan lebih dari satu jenis tanaman pada lahan dan waktu yang sama (Gambar 3.1). Batas lokasi ini sebagai berikut:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan rumah warga dan lahan pertanian sayuran. b. Sebelah Timur berbatasan dengan perkebunan jeruk.

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan pertanian sayuran. d. Sebelah Barat berbatasan dengan rumah warga.

(42)

Gambar 3.1 Lokasi I (Lahan Pertanian Anorganik)

b. Lokasi II

Merupakan lahan pertanian yang dikelola dengan sistem organik. Lokasi ini terletak pada titik koordinat 3°08’46,1” LU dan 98°30’28,9” BT. Pola tanam yang dilakukan adalah sistem polikultur, yaitu membudidayakan lebih dari satu jenis tanaman pada lahan dan waktu yang sama (Gambar 3.2). Batas lahan ini sebagai berikut:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan perkebunan jeruk. b. Sebelah Timur berbatasan dengan pertanian sayuran.

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan rumah warga dan lahan pertanian sayuran. d. Sebelah Barat berbatasan dengan rumah warga.

Jenis tumbuhan yang dibudidayakan pada lokasi ini dapat dilihat pada Lampiran 2. Pupuk yang digunakan pada lahan ini adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak dan sampah yang telah diolah menjadi kompos. Pestisida yang digunakan adalah ekstrak dari berbagai macam tumbuhan seperti cabai , tembakau, jahe, daun mimba, bawang putih, bawang merah, dan serai.

(43)

Gambar 3.2 Lokasi II (Lahan Pertanian Organik)

3.3. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: GPS (Global Position System), kamera digital, soil tester, soil thermometer, monolith kuadrat, cangkul, parang, pacak, terpal, karet gelang, botol sampel, ember plastik (diameter permukaan ± 16 cm), kantong plastik, karung goni, pinset, spidol permanen, kertas data, buku catatan, pensil, meteran, kertas grafik dilaminating, loup, dan mikroskop stereo. Adapun bahan yang digunakan adalah: alkohol 70% dan deterjen.

3.4. Metode Sampling

Penentuan lokasi plot sampling dilakukan dengan metode Purposive Random

Sampling. Setiap plot sampling ditempatkan secara acak pada lahan pertanian

anorganik maupun pertanian organik pada tempat yang dianggap mewakili keberadaan makrofauna tanahnya serta mewakili tiap-tiap tumbuhan yang ada pada lokasi tersebut. Selanjutnya, pengambilan sampel makrofauna tanah dilakukan dengan 2 metode yang dianjurkan oleh Swift & Bignell (2001) pada berbagai tipe penggunaan lahan yaitu Pitfall Trap serta Metode Kuadrat dan Hand

Sorting.

(44)

3.5. Cara Kerja

3.5.1. Pengambilan Sampel Makrofauna Tanah 3.5.1.1. Metode Pitfall Trap

Pengambilan sampel makrofauna tanah yang aktif di permukaan tanah dilakukan dengan metode Pitfall Trap, yaitu: pada masing-masing titik sampling yang telah ditentukan, ditempatkan dan ditanam ember plastik berdiameter permukaan ± 16 cm sebanyak 25 ember dengan jarak antara ember satu dengan yang lainnya paling dekat 10 m. Bagian permukaan ember tersebut ditanam sejajar dengan permukaan tanah dan selanjutnya ember-ember ini diberi atap dari terpal dengan ukuran 30 × 30 cm setinggi ± 15 cm dari tanah untuk menghindari masuknya air hujan dan sinar matahari ke dalamnya. Kemudian masing-masing ember diisi dengan larutan alkohol 70% sebanyak ± 250 ml sebagai pembunuh dan pengawet serta dicampur dengan sedikit larutan deterjen untuk meniadakan tegangan permukaan pada larutan alkohol tersebut. Ember Pitfall Trap ini dipasang pada pukul 08.00 WIB dan diambil tiga hari berikutnya. Makrofauna tanah yang terperangkap dimasukkan ke dalam botol sampel sesuai dengan plotnya dan diawetkan dengan alkohol 70%.

3.5.1.2. Metode Kuadrat dan Hand Sorting

Metode kuadrat digunakan untuk pengambilan sampel makrofauna tanah yang kurang aktif di permukaan tanah tetapi lebih aktif di dalam tanah. Sampel tanah pada masing-masing titik sampling diambil sebanyak 15 plot menggunakan alat

monolith kuadrat ukuran 30 × 30 cm, tanah diambil sampai kedalaman 30 cm.

(45)

3.5.2. Identifikasi Sampel Makrofauna Tanah

Sampel makrofauna tanah yang dibawa dari lapangan dikelompokkan sesuai dengan kesamaan ciri-ciri morfologinya kemudian diawetkan dalam alkohol 70%. Makrofauna tanah yang diambil adalah yang memiliki ukuran panjang tubuh > 1 cm (Wallwork, 1970; Suin, 2006) atau yang memiliki lebar tubuh 2 – 20 mm (Swift et al., 1979; Wood, 1989). Ukuran ini merupakan yang paling sering digunakan dalam proses pengelompokan makrofauna tanah berdasarkan ukuran tubuh oleh para peneliti di Asia khususnya di Indonesia. Proses determinasi dan identifikasi dilakukan dengan memperhatikan morfologi (bentuk luar tubuhnya) melalui loup dan mikroskop stereo serta menggunakan beberapa buku dan eBook acuan berikut: Stepenson (1923), Dindal (1990), Borror (1992), Suin (2006), Gibb & Oseto (2006), Nardi (2007) serta Fayle & Hashimoto (2011).

3.6. Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Tanah 3.6.1. pH, Kelembaban Tanah dan Suhu Tanah

Pengukuran pH, kelembaban tanah dan suhu tanah dilakukan dilapangan sebelum tanah diambil dari plot kuadrat menggunakan alat seperti yang terlihat pada Tabel 3.1 berikut:

Tabel 3.1. Alat yang Digunakan Untuk Mengukur pH, Kelembaban Tanah dan Suhu Tanah

Parameter Satuan Alat yang digunakan

- pH - Soil Tester

- Kelembaban Tanah % Soil Tester

- Suhu Tanah °C Soil Thermometer

3.6.2. Kadar Air Tanah

(46)

( A – B )

Kadar air tanah (%) = × 100% A

3.6.3. Kadar N, P, K dan C-organik

Pengukuran kadar N, P, K, dan C-organik dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Tanah yang telah dikompositkan lalu dibersihkan dari tumbuhan dan fauna yang masih ada. Kemudian diambil sebagian untuk dianalisis dengan metode berikut:

Tabel 3.2. Metode Pengukuran Kadar N, P, K, dan C-Organik

Parameter Satuan Metode

Jumlah spesies makrofauna tanah dan jumlah individu masing-masing spesies yang ditemukan dihitung nilai: Kepadatan (K), Kepadatan Relatif (KR), Frekuensi Kehadiran (FK), Indeks Diversitas/Keanekaragaman Shannon-Wienner (H'), Indeks Equitabilitas/Keseragaman (E) serta Indeks Similaritas/Kesamaan (Q/S) untuk mengetahui struktur komunitas makrofauna tanahnya dengan rumus menurut Wallwork (1976), Krebs (1985), Michael (1995), dan Suin (2002). Contoh perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 3.

a. Kepadatan Populasi (K)

(47)

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

Jumlah plot yang ditempati suatu jenis

FK = × 100% Jumlah total plot

Suin (2002) menerangkan nilai FK berdasarkan konstansinya sebagai berikut: Nilai FK = 0-25% : Konstansinya Aksidental (sangat jarang)

Nilai FK = 25-50% : Konstansinya Assesori (jarang) Nilai FK = 50-75% : Konstansinya Konstan (sering) Nilai FK = >75% : Konstansinya Absolut (sangat sering)

d. Indeks Diversitas/Keanekaragaman Shannon-Wienner (H')

Untuk mengetahui nilai keanekaragaman makrofauna tanah dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

=

− �� �� ��

�=�

Keterangan:

H' = Indeks diversitas Shannon-Wiener pi = ni / N

ln = Logaritma natural

ni = Jumlah individu spesies ke-i

S = Total jumlah spesies N = Total jumlah individu

(48)

e. Indeks Equitabilitas/Keseragaman (E)

Untuk mengetahui nilai keseragaman makrofauna tanah dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

H'

E =

H

max

Keterangan:

E = Indeks equitabilitas/keseragaman H' = Indeks diversitas Shannon-Wiener Hmax = Keanekaragaman spesies maksimum

= ln S (S = banyaknya Spesies)

Nilai keseragaman (E) berkisar antara 0 – 1 (Krebs, 1985) Odum (1996) menerangkan nilai E sebagai berikut: Jika E mendekati 0 : Keseragaman semakin rendah Jika E mendekati 1 : Keseragaman semakin tinggi

f. Indeks Similaritas/Kesamaan Sorensen (Q/S)

Untuk mengetahui nilai kesamaan setiap makrofauna tanah antar lokasi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

2J

Q/S =

× 100%

(A+B)

Keterangan:

Q/S = Indeks Similaritas antar lokasi

J = Jumlah jenis yang sama pada dua lokasi yang berbeda A = Jumlah jenis pada lokasi I

B = Jumlah jenis pada lokasi II

Suin (2002) menerangkan nilai Q/S sebagai berikut:

Nilai Q/S = < 25% : Kesamaan jenisnya sangat tidak mirip Nilai Q/S = 25% - 50% : Kesamaan jenisnya tidak mirip Nilai Q/S = 50% - 75% : Kesamaan jenisnya mirip

(49)

g. Analisis Korelasi

Untuk mengetahui korelasi antara filum makrofauna tanah yang ditemukan dengan faktor fisik kimia tanahnya dilakukan Analisis Korelasi Pearson (r) menggunakan software SPSS versi 21.00.

Usman & Akbar (2000) menerangkan nilai r sebagai berikut: a. Nilai r terbesar adalah +1 dan nilai r terkecil adalah -1.

b. r = +1 menunjukkan hubungan positif sempurna (searah), sedangkan r = -1 menunjukkan hubungan negatif sempurna (berlawanan arah).

c. r tidak mempunyai satuan atau dimensi.

d. Tanda + atau - hanya menunjukkan arah hubungan. Intrepretasi nilai r adalah sebagai berikut:

Jika r = 0 : Tidak berkorelasi Jika r = 0,01 - 0,20 : Korelasi sangat rendah Jika r = 0,21 - 0,40 : Korelasi rendah Jika r = 0,41 - 0,60 : Korelasi agak rendah Jika r = 0,61 - 0,80 : Korelasi cukup Jika r = 0,81 - 0,99 : Korelasi tinggi

(50)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Makrofauna Tanah yang Ditemukan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada lahan pertanian anorganik dan lahan pertanian organik di Kabupaten Karo, ditemukan berbagai macam makrofauna tanah seperti yang tercantum pada Tabel 4.1. Deskripsi dari makrofauna tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4.

Filum & 2. Oligochaeta 2. Haplotaxida 2. Glossoscolecidae 2. Pontoscolex

corethrurus Cacing tanah + +

3. Megascolecidae 3. Amynthas gracilis Cacing tanah + + 4. Megascolex sp. Cacing tanah - + 5. Pheretima sp. Cacing tanah + +

II. Arthropoda

3. Arachnida 3. Araneae 4. Lycosidae 6. Trochosa canapii Laba-laba tanah + + 4. Chilopoda 4. Geophilomorpha 5. Geophilidae 7. Geophilus sp. Lipan/kelabang + + 5. Lithobiomorpha 6. Lithobiidae 8. Lithobius sp. Lipan/kelabang - + 6. Scolopendromorpha 7. Scolopendridae 9. Scolopendra sp. Lipan/kelabang + + 5. Diplopoda 7. Julida 8. Julidae 10. Julus sp. Kaki seribu - + 15. Melolonthidae 18. Phyllophaga sp. Kumbang tanah + + 16. Nitidulidae 19. Nitidula rufipes Kumbang tanah + + 11. Dermaptera 17. Carcinophoridae 20. Euborellia sp. Cecopet pisang + + 12. Diptera 18. Tipulidae 21. Tipula sp. Lalat tanah - + 13. Hymenoptera 19. Formicidae 22. Odontoponera

denticulata Semut hitam + +

14. Orthoptera 20. Gryllotalpidae 23. Gryllotalpa sp. Anjing tanah + + 21. Gryllidae 24. Gryllus sp.1 Jangkrik + + 25. Gryllus sp. 2 Jangkrik + - 7. Malacostraca 15. Isopoda 22. Armadillidiidae 26. Armadillidium

vulgare Udang lipan + +

(51)

III. Mollusca

8. Gastropoda 16. Stylommatophora 24. Arionidae 28. Hemphillia sp. Siput telanjang + - 25. Bradybaenidae 29. Bradybaena

similaris Siput darat + +

26. Hygromiidae 30. Monacha sp. Siput darat + + 27. Subulinidae 31. Lamellaxis

gracilis Siput darat - +

17. Systellommatophora 28. Veronicellidae 32. Leidyula sp. Siput telanjang - +

Jumlah Total spesies yang Ditemukan 23 30

Keterangan: Lokasi I = Lahan Pertanian Anorganik, Lokasi II = Lahan Pertanian Organik, (+) = Ditemukan, (-) = Tidak Ditemukan

Data pada Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa makrofauna tanah yang ditemukan pada lokasi I terdiri atas 3 filum, 7 kelas, 12 ordo, 20 famili, dan 23 spesies. Pada lokasi II makrofauna tanah yang ditemukan terdiri atas 3 filum, 8 kelas, 17 ordo, 27 famili dan 30 spesies. Total makrofauna tanah yang ditemukan pada kedua lokasi terdiri atas 3 filum, 8 kelas, 17 ordo, 28 famili, dan 32 spesies. Filum yang paling mendominasi adalah Arthropoda yang terdiri atas 5 kelas, 13 ordo, 20 famili, dan 22 spesies. Filum Annelida hanya ditemukan 2 kelas, 2 ordo, 3 famili dan 5 spesies sedangkan filum Mollusca hanya ditemukan 1 kelas, 2 ordo, 5 famili dan 5 spesies. Lebih banyaknya filum Arthropoda yang ditemukan dikarenakan filum tersebut merupakan filum terbesar dengan jumlah anggota terbanyak dari kingdom Animalia (Campbell & Reece, 2010).

Dari 5 kelas pada filum Arthropoda tersebut yang paling banyak ditemukan adalah pada kelas Insecta yang terdiri atas 6 ordo, 12 famili, dan 14 spesies. Banyaknya makrofauna tanah dari kelas Insecta yang ditemukan pada kedua lokasi penelitian dikarenakan Insecta merupakan kelompok fauna yang memiliki jumlah spesies yang banyak dan penyebaran yang sangat luas. Beberapa penelitian mengenai makrofauna tanah seperti yang telah dilakukan oleh Sugiyarto et al., (2002), Muhammad (2007), Nusroh (2007), Prasetio (2008), Ariani (2009), dan Peritika (2010) juga menunjukkan bahwa makrofauna tanah dari kelas Insecta merupakan yang paling banyak ditemukan dari kelas makrofauna tanah lainnya.

(52)

dukung yang lebih baik untuk kehidupan berbagai spesies makrofauna tanah. Keadaan ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh John (2011) yang mendapatkan spesies makrofauna tanah lebih banyak pada biotop pertanian organik dibandingkan dengan biotop pertanian anorganik. Selain itu, dapat dilihat pula bahwa spesies makrofauna tanah yang hanya ditemukan pada masing-masing lokasi tersebut juga berbeda. Dari total 23 spesies makrofauna tanah yang ditemukan pada lokasi I, jumlah spesies makrofauna tanah yang hanya ditemukan pada lokasi ini berjumlah 2 spesies, yaitu: Gryllus sp. 2, dan Hemphillia sp. Pada lokasi II dari total 30 spesies yang ditemukan, jumlah spesies makrofauna tanah yang hanya ditemukan pada lokasi ini berjumlah 9 spesies, yaitu: Megascolex sp.,

Haemadipsa sp., Lithobius sp., Julus sp., Rhynchophorus bilineatus, Hypnoidus

sp., Tipula sp., Lamellaxis gracilis, dan Leidyula sp.

Faktor yang dapat berpengaruh terhadap jumlah spesies yang hanya ditemukan pada masing-masing lokasi diantaranya adalah aktivitas dan kemampuan tiap spesies makrofauna tanah yang berbeda antara satu dengan yang lain (Hanafiah et al., 2005) serta dipengaruhi jenis tanaman yang ditanam (Sugiyarto, 2005). Spesies Gryllus sp. 2 misalnya, spesies ini hanya ditemukan pada lokasi I diduga karena beberapa spesies Gryllus sp. lebih menyukai lahan tanpa perlakuan bahan organik seperti halnya lokasi I. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian Sugiyarto et al. (2007) yang menemukan populasi Gryllus sp. lebih banyak pada lokasi tanpa perlakuan bahan organik. Hemphillia sp. merupakan spesies yang unik, hal ini dikarenakan mereka memiliki distribusi yang cukup membingungkan. Untuk memahami kecenderungan populasi, status spesies, dan hubungan habitat, para peneliti saat ini mencoba untuk memahami perbedaan dan persamaan antara habitat, ekologi, dan biologinya (Burke, 2005). Spesies Megascolex sp., Julus sp., dan Rhynchophorus bilineatus merupakan makrofauna tanah Saprophagous yang membutuhkan bahan organik yang cukup sebagai makanannya, lokasi II menyediakan hal tersebut dari perlakuan kompos yang digunakan sebagai pupuk. Sementara itu, spesies

Haemadipsa sp., Lithobius sp., dan Hypnoidus sp. merupakan makrofauna tanah

Carnivore yang bahan makanannya berupa hewan lain namun hanya ditemukan

(53)

yang cukup sebagai habitatnya meskipun tidak memakannya. Lamellaxis gracilis, dan Leidyula sp. merupakan makrofauna Phytophagous sp. pemakan tumbuhan. Penggunaan pestisida kimia pada tumbuhan yang ditanam diduga menjadi penyebab tidak ditemukannya spesies-spesies tersebut di lokasi I. Yulipriyanto (2010) menyatakan bahwa pestisida memiliki efek toksik dan langsung terhadap tanaman dan tanah yang diaplikasikan. Spesies Tipula sp. menurut Wallwork (1970) merupakan makrofauna tanah yang bersifat Temporary yang meletakkan telurnya di tanah. Telur-telur tersebut membutuhkan bahan organik sebagai makanan untuk pertumbuhannya serta tidak tahan terhadap bahan-bahan kimia. Jenis tumbuhan yang hanya ditanam pada lokasi I dan lokasi II juga diduga turut mempengaruhi makrofauna tanah yang ditemukan. Menurut Handayanto & Hairiah (2009), spesies makofauna tanah tertentu terkadang hanya berasosiasi dengan tanaman tertentu pula.

Lebih banyaknya jumlah spesies makrofauna tanah yang ditemukan dan yang hanya ditemukan pada lokasi II dibandingkan lokasi I juga berkaitan dengan faktor fisik dan kimia tanah pada lokasi tersebut. Hasil dari pengukuran faktor fisik dan kimia tanah pada kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Nilai Faktor Fisik dan Kimia Tanah Pada Setiap Lokasi Penelitian

No. Parameter Satuan Lokasi I Lokasi II

Keterangan: Lokasi I = Lahan Pertanian Anorganik, Lokasi II = Lahan Pertanian Organik

(54)

tinggi pada lokasi I dibandingkan lokasi II (Tabel 4.2). Namun, hanya kelembaban tanah, kadar air tanah, P-tersedia, N-total, dan nisbah C/N yang menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa faktor fisik dan kimia tersebut merupakan faktor yang sangat besar dalam menentukan keberadaan makrofauna tanah pada kedua lokasi.

Kelembaban tanah misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Sugiyarto (2000b) serta Mas’ud & Sundari (2011) menemukan bahwa spesies-spesies makrofauna tanah berhubungan sangat erat terhadap kelembaban tanah. Makrofauna tanah terutama kelompok Annelida lebih menyukai kelembaban tanah yang tinggi (Yulipriyanto, 2010). Begitu pula dengan kadar air tanah, karena berhubungan dengan kation-kation dalam tanah, dekomposisi bahan organik, dan kehidupan organisme tanah, diantaranya makrofauna tanah dari kelompok Annelida (Suin, 2006). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Sugiyarto (2005) diketahui bahwa kandungan P pada tanah berkorelasi nyata dengan keanekaragaman jenis makrofauna tanah khususnya yang berada di dalam tanah. Nisbah C/N juga memberikan pengaruh terhadap makrofauna tanah walaupun berdasarkan penelitian Setiawan et al., (2003) korelasinya cukup rendah.

(55)

dengan penggunaan pestisida kimia dalam bidang pertanian yang ternyata berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh Sodiq (2010) juga berpengaruh negatif terhadap organisme tanah termasuk makrofauna tanah.

4.2. Kepadatan dan Kepadatan Relatif Makrofauna Tanah

Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, didapatkan nilai kepadatan dan kepadatan relatif makrofauna tanah seperti yang terlihat pada Tabel 4.3 berikut: Tabel 4.3. Nilai Kepadatan (Individu/meter2) dan Kepadatan Relatif (%)

Makrofauna Tanah Pada Setiap Lokasi Penelitian

No Spesies Lokasi I Lokasi II 22. Odontoponera denticulata 46,775 17,621 89,316 22,102 23. Pheretima sp. 15,833 5,964 22,593 5,591 24. Philoscia sp. 14,049 5,292 20,623 5,103 25. Phyllophaga sp. 8,703 3,279 2,361 0,584 26. Polydesmus sp. 3,102 1,169 2,963 0,733 27. Pontoscolex corethrurus 12,593 4,744 16,667 4,124 28. Rhynchophorus bilineatus - - 0,995 0,246 29. Scolopendra sp. 0,995 0,375 1,366 0,338

30.. Stenolophus sp. 0,995 0,375 3,588 0,888

31. Tipula sp. - - 3,356 0,830

32. Trochosa canapii 15,924 5,999 19,905 4,926

Jumlah 265,455 100,000 404,100 100,000

(56)

Hasil analisis data untuk kepadatan dan kepadatan relatif pada Tabel 4.3 memperlihatkan nilai kepadatan total tertinggi didapatkan pada lokasi II dengan nilai 404,100 Ind/m2, sedangkan pada lokasi I didapatkan nilai kepadatan total sebesar 265,455 Ind/m2. Tingginya nilai kepadatan total individu makrofauna tanah pada lokasi II juga berkaitan dengan faktor fisik dan kimia tanah seperti kelembaban, suhu tanah, pH, kadar air tanah, C-Organik, P-tersedia, dan K-tukar serta nisbah C/N yang nilainya lebih tinggi dan lebih baik dibandingkan dengan lokasi I (Tabel 4.2). Hal ini dikarenakan kehidupan fauna tanah juga terkait dan berinteraksi dengan faktor lainnya, seperti dengan faktor fisik dan kimia lingkungan tempatnya hidup. Adanya interaksi ini sangat menentukan penyebaran dan kepadatan fauna tersebut (Suin, 2006).

Nilai kepadatan (K) dan kepadatan relatif (KR) masing-masing spesies makrofauna tanah yang ditemukan juga menunjukkan hasil yang berbeda-beda pada tiap lokasi, baik pada lokasi I maupun lokasi II. Nilai K spesies yang tertinggi pada lokasi I adalah dari spesies Nitidula rufipes (kumbang tanah) dengan nilai K (61,704Ind/m2) dan nilai KR (23,245%). Nilai kepadatan spesies terendah pada lokasi ini didapatkan dari spesies Blatta orientalis (kecoak tanah) dengan nilai K (0,371 Ind/m2) dan nilai KR (0,140%). Pada lokasi II nilai K spesies tertinggi didapatkan dari spesies Odontoponera denticulata (semut hitam) dengan nilai K (89,316 Ind/m2) dan nilai KR (22,102%). Nilai K spesies terendah pada lokasi ini adalah dari spesies Blatta orientalis (kecoak tanah) dengan nilai K (0,371 Ind/m2) dan nilai KR (0,092%).

Dengan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa Nitidula rufipes (kumbang tanah) adalah makrofauna tanah yang dominan pada lokasi I dan Odontoponera

denticulata (semut hitam) adalah makrofauna tanah yang dominan pada lokasi II.

(57)

(toleran terhadap beberapa faktor lingkungan saja). Faktor lain yang diduga memberikan pengaruh adalah ketersediaan makanan (Adianto, 1993; Notohadiprawiro, 1998; Hanafiah et al., 2005; Handayanto & Hairiah, 2009). Hasil ini menunjukkan bahwa kedua spesies makrofauna tanah tersebut mendapatkan makanan atau nutrisi sebagai sumber energi yang cukup pada habitatnya masing-masing, sehingga pertumbuhannya lebih baik dari yang lainnya. Faktor ini secara langsung menyebabkan kepadatan maupun kepadatan relatif mereka lebih tinggi dibandingkan dengan spesiesyang lainnya.

Spesies Blatta orientalis (kecoak tanah) merupakan makrofauna tanah yang paling sedikit ditemukan baik pada lokasi I maupun II. Diduga hal ini berkaitan dengan daya toleransinya yang sempit terhadap berbagai faktor lingkungan pada kedua lokasi. Pasokan makanan atau nutrisi untuk makrofauna tanah ini juga diduga kurang memadai untuk tumbuh dan berkembang dengan baik pada kedua lokasi, sehingga kepadatan dan kepadatan relatifnya sangat rendah.

Suin (2006) menyatakan bahwa semua fauna tanah bergantung pada material organik tanah sebagai penyedia energi bagi kehidupannya. Handayanto & Hairiah (2009) menambahkan, masing-masing fauna tanah memiliki ketergantungan yang berbeda terhadap lingkungan tanah dalam hal pasokan energi dan nutrisi untuk pertumbuhannya. Sebagian besar fauna tanah mendapatkan energi dan nutrisi langsung dari tanah, baik dari bahan mineral, bahan organik atau dari biomassa hidup dalam tanah.

4.3. Frekuensi kehadiran dan Konstansi Makrofauna Tanah

(58)

Tabel 4.4. Nilai Frekuensi Kehadiran (%) dan Konstansi Makrofauna Tanah Pada Setiap Lokasi Penelitian

No Spesies Lokasi I Lokasi II

FK (%) Konstansi FK (%) Konstansi 1. Amynthas gracilis 5 Aksidental 15 Aksidental 2. Armadillidium vulgare 17,5 Aksidental 10 Aksidental 3. Blatta orientalis 2,5 Aksidental 2,5 Aksidental 4. Blattella germanica 10 Aksidental 2,5 Aksidental 5. Bradybaena similaris 7,5 Aksidental 30 Assesori 6. Calosoma sp. 10 Aksidental 10 Aksidental 21. Nitidula rufipes 42,5 Assesori 47,5 Assesori 22. Odontoponera denticulata 17,5 Aksidental 35 Assesori 23. Pheretima sp. 37,5 Assesori 30 Assesori 24. Philoscia sp. 15 Aksidental 25 Aksidental 25. Phyllophaga sp. 15 Aksidental 5 Aksidental 26. Polydesmus sp. 12,5 Aksidental 10 Aksidental 27. Pontoscolex corethrurus 27,5 Assesori 30 Assesori 28. Rhynchophorus bilineatus - - 2,5 Aksidental 29. Scolopendra sp. 2,5 Aksidental 5 Aksidental 30. Stenolophus sp. 2,5 Aksidental 10 Aksidental

31. Tipula sp. - - 7,5 Aksidental

32. Trochosa canapii 12,5 Aksidental 17,5 Aksidental Keterangan : Lokasi I = Lahan Pertanian Anorganik, Lokasi II = Lahan Pertanian Organik,

FK = Frekuensi Kehadiran

(59)

konstan (sering) dan absolut (sangat sering) tidak ditemukan. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada makrofauna tanah yang aktivitasnya mendominasi pada kedua lokasi tersebut. Dengan perkataan lain, baik pada lokasi I maupun lokasi II frekuensi kehadiran makrofauna tanahnya relatif sama, yaitu antara Aksidental (sangat jarang) dan Assesori (jarang).

Keadaan ini dikarenakan kedua lokasi tersebut merupakan lahan pertanian yang sering terdapat kegiatan manusia di dalamnya. Pengelolaan tanah, waktu tanam dan watu pemanenan yang berbeda antara tanaman yang dibudidayakan baik pada lokasi I maupun lokasi II mempengaruhi kehadiran makrofauna tanahnya. Kegiatan-kegiatan tersebut menyebabkan terganggunya aktivitas makrofauna tanah yang ada pada kedua lokasi sehingga frekuensi kehadirannya secara umum cukup rendah. Menurut Hanafiah et al., (2005), pada lahan pertanian, kegiatan petanian yang dilakukan akan menentukan populasi, spesies, dan aktivitas organisme tanahnya. Noordwijk & Hairiah (2006) menambahkan, berbagai kegiatan pertanian akan mempengaruhi aktivitas biota tanah meskipun tidak semua biota tanah menunjukkan respon yang sama. Yulipriyanto (2010) menjelaskan berbagai kegiatan pertanian yang dapat menimbulkan gangguan biota tanah diantaranya pembakaran (api), pemanenan, pengolahan, pemadatan, pengambilan rumput, penyakit atau penggunaan pestisida. Frekuensi, banyaknya, dan waktu gangguan menentukan efeknya pada aktivitas organisme tanah.

(60)

kumbang diantaranya Nitidula rufipes memiliki struktur dan kebiasaan yang berbeda terhadap semua lahan yang dihuni oleh serangga lain. Alasannya adalah karena mereka memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri pada berbagai habitat.

4.4. Makrofauna Tanah yang Memiliki Nilai KR 10% dan FK 25% Nilai Kepadatan Relatif (KR) ≥ 10% dan Frekuensi Kehadiran (FK) ≥ 25% menunjukkan makrofauna tanah karakteristik yang dapat hidup dan berkembang dengan baik pada suatu areal (Suin, 2006). Berdasarkan nilai tersebut didapatkan hasil seperti yang terlihat pada Tabel 4.5 berikut:

Tabel 4.5. Makrofauna Tanah Dengan Nilai KR ≥ 10% dan FK ≥ 25% Pada Setiap Lokasi Penelitian

No. Spesies Lokasi I Lokasi II

KR (%) FK (%) KR (%) FK (%)

1. Nitidula rufipes 23,245 42,5 20,774 47,5

2. Odontoponera denticulata - - 22,102 35

Keterangan : Lokasi I = Lahan Pertanian Anorganik, Lokasi II = Lahan Pertanian Organik KR = Kepadatan Relatif, FK = Frekuensi Kehadiran

Data pada Tabel 4.5 memperlihatkan bahwa dari total 32 spesies makrofauna tanah yang ditemukan pada lokasi I dan lokasi II, hanya 2 spesies makrofauna tanah karakteristik yang dapat hidup dan berkembang dengan baik pada suatu areal yang memiliki nilai KR ≥ 10% dan FK ≥ 25% yaitu Nitidula rufipes dan

Odontoponera denticulata. Namun, hanya Nitidula rufipes yang karakteristik baik

pada lokasi I maupun lokasi II dengan nilai KR (23,245%) dan FK (42,5%) pada lokasi I dan KR (20,774%) serta FK (47,5%) pada lokasi II. Spesies

Odontoponera denticulata hanya karateristik pada lokasi II dengan nilai KR

(22,102%) dan FK (35%). Hasil ini menunjukkan spesies Nitidula rufipes merupakan makrofauna tanah karakteristik pada kedua lokasi karena memiliki kisaran toleransi luas terhadap kondisi lingkungan sehingga dapat hidup dan berkembang dengan baik pada kedua lokasi tersebut. Spesies Odontoponera

denticulata hanya karakteristik serta berkembang dengan baik pada lokasi II dan

kurang memiliki toleransi terhadap kondisi lingkungan pada lokasi I. Hasil ini berbeda dengan pendapat Borror et al. (1992) yang menyatakan bahwa famili

Gambar

Gambar 3.1 Lokasi I (Lahan Pertanian Anorganik)
Gambar 3.2 Lokasi II (Lahan Pertanian Organik)
Tabel 3.1. Alat yang Digunakan Untuk Mengukur pH, Kelembaban Tanah dan Suhu Tanah Parameter Satuan Alat yang digunakan
Tabel 3.2. Metode Pengukuran Kadar N, P, K, dan C-Organik Parameter Satuan Metode
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh dari lama penyimpanan pada setiap jenis garam kalsium terhadap tekstur sukade lapisan endodermis kulit buah melon ditunjukkan pada Gambar 5.2.. Pengaruh

pembentukan asam pada plak gigi dan bukan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri, maka sorbitol tidak menurunkan pH saliva, sehingga saliva tetap stabil

Oleh karena itu, pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak (SITT) penting untuk diterapkan agar pupuk kandang (Pukan) yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk

Melihat peran pentingnya Ulama di dalam masyarakat, untuk memudahkan dalam mencari informasi mengenai keberadaan lokasi Ulama, maka dibuat suatu aplikasi Sistem Informasi

Penilaian kinerja layanan public masih berpedoman pada Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.Kep./25/M.PAN/2/2004 tentang Indeks Kepuasan Masyarakat yang

Lebih jauh Ecclesia in Asia menghantar kita pada suatu pengertian bahwa misi Yesus bukan hanya memulihkan persekutuan antara Allah dan umat manusia, tetapi juga

Eksistensi Program Studi Ekonomi Islam di Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia merupakan jawaban terhadap tuntutan perkembangan zaman di masa mendatang

hasil penelitian dan teori yang dipergunakan sebagai dasar penelitian ini, se- hingga teori yang mengatakan bahwa modal finansial sebagai faktor produk- si yang sangat penting