• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Tingkat Kekerasan Ereksi Pada Pasien BPH Pasca Pemberian Αlpha1a-Adrenoceptors Antagonists Di RSUP H. Adam Malik–Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perubahan Tingkat Kekerasan Ereksi Pada Pasien BPH Pasca Pemberian Αlpha1a-Adrenoceptors Antagonists Di RSUP H. Adam Malik–Medan"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL PENELITIAN TUGAS AKHIR

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH DEPARTEMEN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PERUBAHAN TINGKAT KEKERASAN EREKSI PADA PASIEN BPH PASCA PEMBERIAN ΑLPHA1a-ADRENOCEPTORS ANTAGONISTS DI RSUP H. ADAM

MALIK–MEDAN

OLEH

Dr. M. EKA AGUSFANSYAH

DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA / RSUP H ADAM MALIK

(2)

PERUBAHAN TINGKAT KEKERASAN EREKSI PADA PASIEN BPH PASCA

PEMBERIAN ΑLPHA1a-ADRENOCEPTORS ANTAGONISTS

DI RSUP H. ADAM MALIK–MEDAN

HASIL PENELITIAN TUGAS AKHIR

Oleh:

M. Eka Agusfansyah No.CHS...

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Mencapai

Keahlian Dalam Bidang Ilmu Bedah

Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

(3)

Judul Tesis : PERUBAHAN TINGKAT KEKERASAN EREKSI PADA PASIEN BPH PASCA PEMBERIAN α1a-ADRENOCEPTORS ANTAGONISTS DI RSUP H. ADAM MALIK-MEDAN

Nama PPDS : dr. M. Eka Agusfansyah

Nomor CHS :

Bidang Ilmu : Kedokteran / Ilmu Bedah

Kategori : Bedah Urologi

TESIS INI DIPERIKSA DAN DISETUJUI OLEH:

Pembimbing I :

Dr. Syah Mirsya Warli, SpU

NIP: 19650505 199503 1 001

Pembimbing II :

Dr. Bungaran Sihombing, SpU

NIP: 19551008 198303 1 013

Ketua Departemen Ilmu Bedah Ketua Program Studi Ilmu Bedah

(Dr. Emir T Pasaribu, SpB(K)Onk) (Dr. Marshal, SpBTKV(K))

(4)

KARYA TULIS TUGAS AKHIR

NAMA : dr. M. EKA AGUSFANSYAH

NO.CHS :

SEMESTER : XVI

JUDUL : PERUBAHAN TINGKAT KEKERASAN EREKSI PADA PASIEN

BPH PASCA PEMBERIAN α1a-ADRENOCEPTORS ANTAGONISTS DI RSUP H. ADAM MALIK-MEDAN

PEMBIMBING I : Dr. SYAH MIRSYA WARLI, SpU

PEMBIMBING II : Dr. BUNGARAN SIHOMBING, SpU

MEDAN, JUNI 2013

SEKSI ILMIAH

DEPARTEMEN ILMU BEDAH FK USU

(Dr.BUDI IRWAN, SpB-KBD)

NIP : 19671220 199703 1 001

(5)

Sudah diperiksa hasil penelitian,

JUDUL : PERUBAHAN TINGKAT KEKERASAN EREKSI PADA PASIEN BPH

PASCA PEMBERIAN α1a-ADRENOCEPTORS ANTAGONISTS DI RSUP H ADAM MALIK-MEDAN DAN RS JEJARING FK-USU

PENELITI : dr. M. EKA AGUSFANSYAH

DEPARTEMEN : ILMU BEDAH

INSTITUSI : FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN, JUNI 2013

KONSULTAN METODOLOGI PENELITIAN

FAKULTAS KEDOKTERAN USU

(PROF. Dr. AZNAN LELO, PhD, SpFK)

(6)

PERNYATAAN

PERUBAHAN TINGKAT KEKERASAN EREKSI PADA PASIEN BPH PASCA

PEMBERIAN α1a-ADRENOCEPTORS ANTAGONISTS DI RSUP H. ADAM MALIK-MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan

untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan

saya juga tidak terdapat atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain,

kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

MEDAN, JUNI 2013

M. EKA AGUSFANSYAH

(7)

KATA PENGANTAR

Assalamualikum Wr. Wb

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah Nya serta telah

memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir Pendidikan Dokter

Spesialis Ilmu Bedah di FK – USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. dr. Syah Mirsya Warli, SpU dan dr. Bungaran Sihombing, SpU sebagai pembimbing I dan II saya yang telah memberi bimbingan, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

2. Prof. dr. Aznan Lelo, PhD, SpFK, yang telah membimbing, membantu dan meluangkan waktu dalam membimbing statistik dari tulisan tugas akhir ini.

3. dr. Marshal, SpB-TKV (K) selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah FK-USU dan dr. Asrul, SpB, KBD sebagai Seketaris Program Studi yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini.

4. dr. Emir Taris Pasaribu, SpB, K(Onk) selaku Ketua Departemen Ilmu Bedah FK-USU dan dr. Erjan Fikri, SpB, SpBA sebagai Seketaris Departemen Ilmu Bedah FK-USU yang telah memberikan bantuan dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.

5. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. DR. dr. H. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K) serta Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD, KGEH selaku dekan FK-USU yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah di FK-USU.

(8)

7. Seluruh Staf pengajar di Departemen Ilmu Bedah FK-USU/RSUP HAM, RSU Pirngadi Medan yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

8. Seluruh Staf Pengajar di Departemen Ilmu Bedah FK-Unsyiah/RSU Zainoel Abidin Banda Aceh.

9. Teman-teman yang tidak mungkin bisa saya lupakan yang telah membantu saya dalam keseluruhan penelitian maupun penyelesaian tesis ini, Syariful Anwar Harefa, Khuzaini, Jerry, Kapri, Eri Darmawan, Hendro Mustaqim, Bayu Irvia, Ryan, Dian, Teguh serta teman-teman sesama PPDS bedah. Terima Kasih untuk kebersamaan kita dalam menjalani pendidikan dan penelitian ini.

10.Para pegawai dilingkungan Departemen Ilmu Bedah FK USU, dan para tenaga kesehatan yang berbaur berbagi pekerjaan memberikan pelayanan Bedah di RSUP H Adam Malik, RSU Pirngadi, RSUD Aceh Singkil, RSUD Sipirok, RSU dr. Hadrianus Sinaga Samosir dan di semua tempat bersama penulis selama penulis menimba ilmu. Teristimewa untuk istri tercinta Aida Hafsah Nasution SE dan ananda tersayang Chairiyah Atiqah Putri dan Khalisa Kirania Putri, terima kasih atas doa, pengertian, dukungan dan pengorbanan yang telah diberikan selama saya menempuh pendidikan.

Orang tua yang saya cintai dan hormati dr. H Fuad Arsyad, SpA dan Hj. Naima Yasin, dan adik-adik saya dr. Dedi Dwi Putra, SpRad, dr. Bebi Trianita Sari dan dr. Yuli Tetriana Sari serta Ayah dan ibu mertua J.Nasution dan Alm. Lainar Lubis yang telah memberikan dukungan, selama saya mengikuti pendidikan ini.

Terima kasih karena selalu mendoakan dan memberi dorongan selama menjalani pendidikan. Semoga budi baik yang telah diberikan mendapat imbalan dari Allah SWT.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semuan, Amin.

Wassalamualikum Wr. Wb

Medan, Juni 2013

M. Eka Agusfansyah

(9)

DAFTAR ISI

Halaman PERSETUJUAN PROPOSAL

Pembimbing, Ketua Departemen, Ketua Program Studi... i

Seksi Ilmiah... ii

1.5.2. Bidang pelayanan Masyarakat... 2

1.5.3. Bidang pengembangan penelitian... 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. BPH (Benign Prostate Hyperplasia)... 3

2.2. Alpha1a-adrenoceptors antagonists (Tamsulosin)... 5

2.3. Anatomi dan Mekanisme Ereksi penis... 7

2.4. BPH dengan fungsi seksual...13

2.5. Kerangka Teori...16

3.4. Perkiraan Besar Sampel...17

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi...18

(10)

3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)... 18

3.7. Etika Penelitian... ...18

3.8. Cara Kerja... 18

3.8.1. Alokasi subjek... 18

3.8.2. Pengukuran dan intervensi...18

3.8.2.1. Tahap awal dan pelaksanaan penelitian... 19

3.8.2.2. Tahap akhir penelitian...19

3.9. Identifikasi Variabel...19

3.10. Batasan Operasional...19

3.11. Rencana Pengolahan dan Analisa Data...19

BAB 4. HASIL PENELITIAN... ...20

4.1. Karateristik Subjek Penelitian... ...20

4.2. Derajat kekerasan ereksi pada pasien BPH sebelum pemberian Tamsulosin (α1a- adrenoceptors antagonists)...21

4.3. Derajat kekerasan ereksi pada pasien BPH setelah pemberian Tamsulosin (α1a- adrenoceptors antagonists) selama 1 bulan...22

4.4. Derajat kekerasan ereksi pada Pasien BPH sebelum dan setelah pemberian Tamsulosin (α1a- adrenoceptors antagonists) selama 1 bulan...23

BAB 5. PEMBAHASAN... 24

BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN... 27

6.1. Simpulan... 27

6.2. Saran... 27

DAFTAR KEPUSTAKAAN... 28

LAMPIRAN... 31

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1. International Prostate Symptoms Score (IPSS)...5 2.2. Subtipe α1-adrenoceptors dan lokasinya...6

4.4. Perubahan tingkat kekerasan ereksi berdasarkan EHS pada pasien BPH sebelum dan 1 bulan sesudah pemberian

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. Gambaran prostat normal dibandingkan dengan BPH... 3

2.2. Anatomi penis... 10

2.3. Mekanisme ereksi... 11

2.4. Alat ukur EHS... 15

(13)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram Halaman

4.1. Proporsi pasien berdasarkan usia...20 4.2. Proporsi EHS sebelum pemberian α1a-adrenoceptors

antagonists... 21 4.3. Proporsi EHS setelah 1 bulan pemberian α1a-adrenoceptors

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Susunan Peneliti...31

2. Riwayat Hidup... 32

3. Rencana Anggaran Penelitian...33

4. Jadwal Penelitian...34

5. Naskah Penjelasan kepada Pasien /Istri Pasien...35

6. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)...36

7. Persetujuan dari Komisi Etika Penelitian...37

8. Formulir/Kuisioner Status Pasien...38

9. Formulir/Kuisioner EHS...39

10.Data Pasien BPH...40

11.Analisa Data...42

(15)

DAFTAR ISTILAH

BPH Benign Prostate Hyperplasia DE Disfungsi Ereksi

LUTS Lower Urinary Tract Symptoms RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusoma DHT DiHydroTestoteron

DRE Digital Rectal Examination PSA Prostate Specific Antigen TRUS TranRectal UltraSonography TAUS TransAbdominal UltraSonography IPSS International Prostate Symptoms Score WHO World Health Organization

QoL Quality of Life CYP 450 Cytocrome P 450 REM Rapid Eye Movement

NANC Non Adrenergic Non Colinergic

NO Nitric Oxide

eNOS endothelial Nitric Oxide Synthase GTP Guanosine TriPhosphate

cGMP cyclic Guanosine MonoPhosphate cAMP cyclic Adenosine MonoPhosphate ATP Adenosine TriPhosphate

AC Adenylate Cyclase

VIP Vasoactive Intestinal Polypeptide PGE1 Prostaglandin E1

(16)

MSAM-7 The Multinational Study of Aging Male EHS Erection Hardness Score

PASW Predictive Analitics SoftWire

(17)

ABSTRAK

Pendahuluan: Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) pada pasien Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) seringkali diikuti dengan adanya gangguan seksual termasuk disfungsi ereksi dan studi terbaru menunjukkan ada hubungan erat antara LUTS/BPH dan disfungsi ereksi. α1a-adrenoceptors antagonists (Tamsulosin) merupakan antagonis adrenoceptor α1 yang sangat selektif. Obat ini akan memblokade adrenaceptor α1a pada prostat yang selanjutnya menyebabkan perbaikan gejala LUTS dan juga memblokade aksi noradrenalin pada tingkat reseptor α1a pada otot polos corpus cavernosum sehingga meningkatkan dan memperbaiki fungsi ereksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan tingkat kekerasan ereksi pada pasien BPH setelah pemberian α1a-adrenoceptors antagonists selama 1 bulan.

Metode: Penelitian ini merupakan studi eksperimental. Anamnesis langsung dilakukan pada 50 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Untuk menilai derajat kekerasan ereksi dipakai instrumen khusus dengan menggunakan Erection Hardness Score(EHS), dimana EHS adalah diagram mengenai kualitas kekerasan ereksi yang terdiri dari grade 1 hingga 4. Pasien akan dinilai tingkat kekerasan ereksinya dengan menggunakan EHS sebelum dan sesudah intervensi selama 1 bulan

dengan α1a-adrenoceptors antagonists.

Hasil: Berdasarkan analisa statistik, didapatkan bahwa setelah pemberian α1a-adrenoceptors antagonists dijumpai peningkatan nilai EHS yang bermakna dibandingkan sebelum intervensi dengan nilai

p=0,001(α=0,005 CI=95%). 36 subjek dengan EHS 2 sebelum intervensi , 16 subjek berubah menjadi EHS 3 setelah intervensi. 13 subjek dengan EHS 3 sebelum intervensi, setelah intervensi tidak mengalami perubahan nilai EHS. 1 subjek dengan EHS 4 sebelum intervensi juga tidak mengalami perubahan setelah intervensi.

Diskusi: Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa α1a-adrenoceptors antagonists dapat memperbaiki disfungsi ereksi pada penderita BPH.

(18)

ABSTRACT

Introduction: Lower urinary tract infection (LUTS) at benign prostate hyperplasia (BPH) patient commonly followed by sexual dysfunction which include erectile dysfunction, at last study there was relation between LUTS/BPH and erectile dysfunction. α1a-adrenoceptors antagonists (Tamsulosin) is very selective adrenoceptor α1 antagonist. These drugs block a adrenaceptor α1a the prostate which further led to improvement of LUTS symptoms and also blocked the action of noradrenaline at the

level α1a receptors on smooth muscle of the corpus cavernosum to enhance and improve erectile function. The purpose of this study was to determine changes in the level of erection hardness in

patients with BPH after administration α1a-adrenoceptors antagonists for 1 month.

Methods: This research is an experimental study. Anamnesis directly performed on 50 subjects who met the inclusion criteria and did not meet the exclusion criteria. To assess the degree of erection hardness using a special instrument that used Erection Hardness Score (EHS), where EHS is a diagram of the quality of erection hardness which consisted of grade 1 to 4. Patients will be assessed

level of erection hardness using EHS before and after the intervention for 1 month with α1a -adrenoceptors antagonists

Result: Based on statistical analysis, after administration of α1a-adrenoceptors antagonists found there was a significant increase in the value of EHS compared with before intervention, with p value

= 0.001 (α = 0.005 CI = 95%). 36 subjects with EHS 2 before intervention, 16 subjects turned into EHS 3 after the intervention. 13 subjects with EHS 3 before the intervention, after the intervention did not change the value of EHS. 1 subject with EHS 4 before intervention also did not change after the intervention.

Discussion:This study proved that α1a-adrenoceptors antagonists can improve erectile dysfunction in patients with BPH.

Keyword:BPH, Erectile Dysfunction, α1a-adrenoceptors antagonists, LUTS, EHS

(19)

ABSTRAK

Pendahuluan: Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) pada pasien Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) seringkali diikuti dengan adanya gangguan seksual termasuk disfungsi ereksi dan studi terbaru menunjukkan ada hubungan erat antara LUTS/BPH dan disfungsi ereksi. α1a-adrenoceptors antagonists (Tamsulosin) merupakan antagonis adrenoceptor α1 yang sangat selektif. Obat ini akan memblokade adrenaceptor α1a pada prostat yang selanjutnya menyebabkan perbaikan gejala LUTS dan juga memblokade aksi noradrenalin pada tingkat reseptor α1a pada otot polos corpus cavernosum sehingga meningkatkan dan memperbaiki fungsi ereksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan tingkat kekerasan ereksi pada pasien BPH setelah pemberian α1a-adrenoceptors antagonists selama 1 bulan.

Metode: Penelitian ini merupakan studi eksperimental. Anamnesis langsung dilakukan pada 50 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Untuk menilai derajat kekerasan ereksi dipakai instrumen khusus dengan menggunakan Erection Hardness Score(EHS), dimana EHS adalah diagram mengenai kualitas kekerasan ereksi yang terdiri dari grade 1 hingga 4. Pasien akan dinilai tingkat kekerasan ereksinya dengan menggunakan EHS sebelum dan sesudah intervensi selama 1 bulan

dengan α1a-adrenoceptors antagonists.

Hasil: Berdasarkan analisa statistik, didapatkan bahwa setelah pemberian α1a-adrenoceptors antagonists dijumpai peningkatan nilai EHS yang bermakna dibandingkan sebelum intervensi dengan nilai

p=0,001(α=0,005 CI=95%). 36 subjek dengan EHS 2 sebelum intervensi , 16 subjek berubah menjadi EHS 3 setelah intervensi. 13 subjek dengan EHS 3 sebelum intervensi, setelah intervensi tidak mengalami perubahan nilai EHS. 1 subjek dengan EHS 4 sebelum intervensi juga tidak mengalami perubahan setelah intervensi.

Diskusi: Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa α1a-adrenoceptors antagonists dapat memperbaiki disfungsi ereksi pada penderita BPH.

(20)

ABSTRACT

Introduction: Lower urinary tract infection (LUTS) at benign prostate hyperplasia (BPH) patient commonly followed by sexual dysfunction which include erectile dysfunction, at last study there was relation between LUTS/BPH and erectile dysfunction. α1a-adrenoceptors antagonists (Tamsulosin) is very selective adrenoceptor α1 antagonist. These drugs block a adrenaceptor α1a the prostate which further led to improvement of LUTS symptoms and also blocked the action of noradrenaline at the

level α1a receptors on smooth muscle of the corpus cavernosum to enhance and improve erectile function. The purpose of this study was to determine changes in the level of erection hardness in

patients with BPH after administration α1a-adrenoceptors antagonists for 1 month.

Methods: This research is an experimental study. Anamnesis directly performed on 50 subjects who met the inclusion criteria and did not meet the exclusion criteria. To assess the degree of erection hardness using a special instrument that used Erection Hardness Score (EHS), where EHS is a diagram of the quality of erection hardness which consisted of grade 1 to 4. Patients will be assessed

level of erection hardness using EHS before and after the intervention for 1 month with α1a -adrenoceptors antagonists

Result: Based on statistical analysis, after administration of α1a-adrenoceptors antagonists found there was a significant increase in the value of EHS compared with before intervention, with p value

= 0.001 (α = 0.005 CI = 95%). 36 subjects with EHS 2 before intervention, 16 subjects turned into EHS 3 after the intervention. 13 subjects with EHS 3 before the intervention, after the intervention did not change the value of EHS. 1 subject with EHS 4 before intervention also did not change after the intervention.

Discussion:This study proved that α1a-adrenoceptors antagonists can improve erectile dysfunction in patients with BPH.

Keyword:BPH, Erectile Dysfunction, α1a-adrenoceptors antagonists, LUTS, EHS

(21)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pembesaran prostat jinak atau lebih dikenal sebagai BPH (Benign Prostate Hyperplasia) dan Disfungsi Ereksi (DE) menunjukkan prevalensi yang meningkat dengan bertambahnya usia, dan banyak epidemiologi dan penelitian klinis telah dilakukan untuk mempelajari kedua proses ini.

Disfungsi seksual (Disfungsi Ereksi, gangguan ejakulasi dan penurunan libido / Hypoactive Sexual Desire) lebih sering pada pasien pria dengan LUTS/BPH dibandingkan tanpa LUTS/BPH. Studi terbaru menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara LUTS/BPH dan Disfungsi Ereksi (Seracu et al, 2009). Oleh karena itu LUTS/BPH dianggap sebagai faktor risiko independen untuk disfungsi seksual. Maka tatalaksana penderita LUTS/BPH harus bertujuan setidaknya untuk mempertahankan atau jika mungkin meningkatkan fungsi seksual (Lowe, 2005; Mc Vary, 2005). Karena adanya hubungan tersebut maka memberi kesan pengobatan salah satu kondisi dapat mempengaruhi yang lainnya (Mc Vary, 2005) dan juga disarankan untuk mengevaluasi fungsi seksual pada pria usia lanjut dengan LUTS yang

disebabkan oleh BPH (O’Leary, 2000; Gacci et al, 2011).

BPH dapat dialami oleh 8% pria berusia 31-40 tahun, 50% pria berusia 51-60 tahun, 70% pria berusia 61-70 tahun, dan 90% pria berusia 81 - 90 tahun (Taylor et al, 2008). Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital prevalence di dua rumah sakit besar di Jakarta, yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun (1994-1997) terdapat 1040 kasus (Rahardjo dan Birowo, 2000).

Tatalaksana BPH meliputi watchful waiting, pembedahan dan medikamentosa,

biasanya dengan α1-adrenoceptors antagonists atau 5α-reduktase inhibitor (Mc Vary et al, 2010). Salah satu obat golongan α1a-adrenoceptors antagonists, tamsulosin, dilaporkan efektif dan telah rutin digunakan untuk penanganan BPH dan juga dapat memperbaiki fungsi ereksi pada pasien dengan gejala ringan (Ichioka et al, 2004; Muzzonigro, 2005; Suzuki et al, 2006; Muneer et al, 2007; Seracu et al, 2009). Perbaikan gejala yang meliputi keluhan obstruksi dan iritasi sudah dirasakan sejak 48 hingga 96 jam setelah pemberian obat dan masih tetap aman dan efektif walaupun diberikan hingga 6 tahun (Fine and Ginsberg, 2008).

(22)

meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan dengan menghilangkan gejala LUTS secara bersamaan (Lowe, 2005).

Dengan kata lain golongan α1a-adrenoceptors antagonists berkontribusi terhadap perbaikan Disfungsi Ereksi dengan mengubah keseimbangan kekuatan vasokontriksi dan vasorelaksasi yang mendukung mekanisme ereksi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui perubahan tingkat kekerasan ereksi pada pasien BPH pasca pemberian α1a -adrenoceptors antagonists (Tamsulosin).

1.2.Rumusan Masalah

Bagaimanakah perubahan tingkat kekerasan ereksi pada pasien BPH setelah pemberian α1a -adrenoceptors antagonists selama satu bulan?

1.3.Hipotesis

Ada perubahan tingkat kekerasan ereksi pada pasien BPH setelah pemberian α1a -adrenoceptors antagonists selama satu bulan.

1.4.Tujuan Penelitian

Menentukan perubahan tingkat kekerasan ereksi pada pasien BPH setelah pemberian α1a -adrenoceptors antagonists selama satu bulan.

1.5.Manfaat Penelitian

1.5.1. Bidang akademik/ilmiah

Meningkatkan pengetahuan peneliti di bidang bedah Urologi, khususnya tentang perubahan tingkat kekerasan ereksi pada pasien BPH pada pemberian α1a-adrenoceptors antagonists. 1.5.2. Bidang pelayanan masyarakat

Meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap pasien BPH yang mendapat terapi dengan α1a -adrenoceptors antagonists.

1.5.3. Bidang pengembangan penelitian

Memberikan data tingkat kekerasan ereksi pada pasien BPH setelah pemberian α1a -adrenoceptors antagonists yang dapat digunakan sebagai masukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

(23)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. BPH (Benign Prostate Hyperplasia)

BPH (Benign Prostate Hyperplasia) adalah pembesaran jinak dari kelenjar prostat. Penyebab dari BPH tidak diketahui secara jelas, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dihydrotestoteron (DHT) dan proses aging (penuaan).

Prostat terletak mengelilingi urethra posterior, pembesaran dari prostat mengakibatkan urethra pars prostatika menyempit dan menekan dasar dari kandung kemih. Penyempitan ini dapat menghambat keluarnya urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesika. Untuk dapat mengeluarkan urin, kandung kemih harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomi kandung kemih, dimana perubahan struktur ini oleh penderita dirasakan sebagai keluhan/gejala LUTS.

LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) adalah istilah umum untuk menjelaskan berbagai gejala berkemih yang dikaitkan dengan BPH. Keluhan pasien BPH berupa LUTS terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storagesymptoms).

Gambar 2.1. Gambaran prostat normal dibandingkan dengan BPH

(24)

Peningkatan tonus otot polos prostat (Otot ini dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus) pada BPH terkait rangsangan dari α1-adrenoceptors (Kim, 2011).

BPH dapat dimulai pada usia 40 tahun dan semakin sering dengan bertambahnya usia. Mengenai hampir seluruh pria, meskipun beberapa diantaranya tidak mempunyai gejala walaupun prostatnya mungkin telah membesar. BPH umumnya menjadi masalah seiring dengan waktu, dengan gejala bertambah buruk bila tidak ditangani.

Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas pemeriksaan awal dan berbagai pemeriksaan tambahan. Bila terdapat masalah berkemih maka Anamnese, Pemeriksaan Fisik (DRE= Digital Rectal Examination), Pemeriksaan Laboratorium (PSA=Prostate-specific antigen) dan terkadang Biopsi dan Ultrasonografi (TRUS = TransRectal UltraSonography

ataupun TAUS= TransAbdominal UltraSonography) digunakan untuk menemukan jenis kelainan dari prostat (BPH, kanker prostat atau prostatitis).

Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala serta untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan akibat pembesaran prostat dibuatlah sistem skoring yang secara subjektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem yang dianjurkan oleh WHO ini adalah International Prostate Symptom Score (IPSS). Skor ini juga berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH (Barry et al, 1992; Mc Nicholas et al, 2011).

Analisis gejala ini terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan LUTS yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35 (lihat lampiran kuesioner IPSS yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia) dan satu pertanyaan mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL) yang terdiri atas tujuh kemungkinan jawaban. LUTS dibagi atas ringan (IPSS 0-7), sedang (IPSS 8-19) atau berat (IPSS 20-35) tergantung pada banyaknya gejala yang mengganggu kualitas hidup dan aktivitas penderita. Dengan memakai piranti skoring IPSS dapat ditentukan kapan seseorang pasien memerlukan terapi. Sebagai patokan jika skoring > 7 berarti pasien perlu mendapatkan terapi medikamentosa atau terapi lain. Semua informasi ini dapat membantu dalam memahami seberapa mengganggunya gejala berkemih dan menentukan tatalaksana yang terbaik.

(25)

Tabel 2.1. International Prostate Symptoms Score (IPSS)

Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien. Bila LUTS dikaitkan dengan BPH, tingkat gangguan dari gejala atau yang mempengaruhi kualitas hidup harus dipertimbangkan disaat menentukan pilihan tatalaksana terbaik. Masalah medis yang lain mungkin dapat mempengaruhi tatalaksana BPH.

2.2. Alpha1a-adrenoceptors antagonists (Tamsulosin)

Jaringan otot yang mengalami hiperplasia pada prostat memiliki banyak reseptor α1, begitu pula di saluran kemih dan jaringan penis (corpus carvenosum). Berbagai subtipe α1 -adrenoceptors telah diteliti dan diidentifikasi dalam kandung kemih, prostat dan jaringan penis (corpus carvenosum). Menurut klasifikasi oleh International Union of Pharmacology,

(26)

Tabel 2.2. subtipe α1-adrenoceptors dan lokasinya (Taylor et al, 2008)

Subtipe Reseptor Lokasi

α1a Sel stroma prostat, otot polos pembuluh darah, urethra, vas deferens, otot polos corpus carvenosum, kandung kemih

α1b Sel epitel prostat, otot polos pembuluh darah

α1d Sel stroma prostat, urethra, vas deferens, kandung kemih, otot destrusor

α1danα2 Pembuluh darah penis, otot polos corpus carvenosum

Pada BPH efek dari α1a-adrenoceptors antagonists adalah dengan memblokade

adrenoreceptors α1a dalam prostat, yang merelaksasi otot polos, menyebabkan perbaikan pengeluaran urin dan mengurangi frekuensi berkemih serta memperkecil residu urine dalam kandung kemih (Tjay, 2007 ; Taylor et al, 2008).

Alpha1-adrenoceptors antagonists berguna pada BPH ringan – sedang. Obat-obat ini tidak bisa mengecilkan prostat yang membesar, berbeda dengan obat BPH lainnya, yakni anti androgen – 5α-reductase inhibitors seperti finasteride dan dutasteride (Tjay, 2007; Fine and Ginsberg, 2008).

Alpha1a-adrenoceptors antagonists merupakan antagonis adrenoreceptors α1a yang

sangat selektif, dikembangkan untuk menghindari efek samping dari obat golongan α -adrenoceptors antagonists lainnya, α1a-adrenoceptors antagonists secara khusus dikembangkan untuk mengobati LUTS pada BPH (Traish et al, 2000; Fine and Ginsberg, 2008).

Alpha1-adrenoceptors antagonists selektif yang digunakan untuk terapi BPH, juga memblokir aksi noradrenalin pada tingkat reseptor α1 di otot polos corpus cavernosum. noradrenalin mengaktifkan α-adrenoceptors yang terletak pada membram otot polos corpus cavernosum menyebabkan kontraksi otot polos dan detumescence penis, sehingga Alpha1a -adrenoceptors antagonists memiliki efek ereksi (Seracu et al, 2009). Telah diketahui bahwa efek samping berupa hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik ≥ 20 mmHg atau penurunan tekanan darah diastolik ≥ 10 mmHg pada perubahan posisi dari telentang menjadi berdiri) lebih jarang diketemukan pada α1a-adrenoceptors antagonists dibanding obat

golongan α-adrenoceptors antagonists lainnya. Oleh karena itu, untuk pasien dengan komorbiditas kardiovaskuler, penggunaan tamsulosin untuk manajemen klinis BPH mungkin pilihan yang lebih aman daripada subtipe nonselektif α1- adrenoceptors antagonists (Kirby, 2005; Fine and Ginsberg, 2008).

(27)

Menurut nomenklatur, α1a-adrenoceptors antagonists bekerja predominan di prostat, corpus cavernosum penis serta dasar dan leher dari kandung kemih (El-Gamal, 2006; Praveen, 2011).

Alpha1a-adrenoceptors antagonists dalam hal ini Tamsulosin juga berperan terhadap

blokade adrenoreceptors α1a dan α1d dalam kandung kemih yang nantinya menghambat ketidakstabilan otot detrusor dan keluhan iritatif. Terdapat bukti uji klinis efektivitas dari α1 -adrenoceptors antagonists dalam mengurangi Disfungsi Ereksi, menurunkan gejala LUTS dan peningkatan aliran darah (El-Gamal, 2006; Taylor et al, 2008).

Blokade dari α1a-adrenoceptors yang sebagian besar berada dalam jaringan corpus cavernosum mungkin bertanggung jawab terhadap efek terapi (kontraksi otot polos penis yang disebabkan oleh aksi noradrenalin pada α1-adrenoreceptors menyebabkan penis flaksid, maka blokade pada reseptor ini oleh α1a-adrenoceptors antagonists mengakibatkan menurunkan level tonus simpatik pada penis dan peningkatan Nitrat Oksida (NO) yang menyebabkan otot polos corpus cavernosum relaksasi dan peningkatan aliran darah ke dalam ruang lacunar pada corpos cavernosum, sehingga meningkatkan dan memperbaiki fungsi ereksi) dan α1a-adrenoceptors antagonists merupakan alternatif yang baik untuk tatalaksana LUTS/BPH dengan Disfungsi Ereksi (Lowe, 2005; Leungwattanakij et al, 2005; Taylor et al, 2008; Kojima et al, 2009; Gacci et al, 2011).

Alpah1a-adrenoceptors antagonists (Tamsulosin) dimetabolisme dalam hati oleh enzim CYP 450. Clearance dari Tamsulosin relatif lambat (2,88 L/jam). Setelah administrasi dosis tunggal Tamsulosin 0,4 mg, mencapai waktu paruhnya 9 – 13 jam. Dikatakan bahwa salah satu kelebihan dari golongan α1a-adrenoceptors antagonists (Tamsulosin) adalah tidak perlu melakukan titrasi seperti golongan obat yang lain dan efek samping hipotensi yang lebih sedikit. Tamsulosin masih tetap aman dan efektif walaupun diberikan hingga 6 tahun (Narayan et al, 2003).

2.3. Anatomi dan Mekanisme Ereksi Penis

(28)

Penis memiliki jaringan erektil berupa dua corpus cavernosum (tersusun dari dua silinder paralel jaringan erektil) dan satu corpus spongiosum (silinder tunggal terletak dibagian ventral, mengelilingi urethra, sedangkan bagian ujungnya membentuk glans penis). Jaringan erektil berupa jaringan berongga (sinusoid-sinusoid) yang tersusun dari sel-sel otot polos. Kontraksi dan relaksasi sel-sel otot polos ini bersifat involunter atau tidak disadari. Sinusoid dibatasi oleh tunica albuginea yaitu jaringan ikat yang kuat. Tunica albuginea pada corpus cavernosum lebih tebal daripada di corpus spongiosum. Tunica albuginea ini merupakan pembatas sebesar apa jaringan erektil penis bisa terisi darah dan membesar saat ereksi. Pada glans penis tidak terdapat tunica albuginea. Radix penis bulbospongiosum diliputi oleh otot bulbokavernosus sedangkan corpus cavernosum diliputi oleh otot Ischiocavernosus (El-Sakka and Lue, 2004; Kirby, 2005).

Penis dipersarafi oleh sistem persarafan otonom (parasimpatik S2-S4 dan simpatik T10-L2) serta persarafan somatik S2-S4 (sensoris dan motoris). Dari neuron di sumsum tulang belakang dan ganglia perifer, saraf simpatis dan parasimpatis bergabung dan membentuk saraf cavernosa, yang memasuki corpus cavernosum dan corpus spongiosum untuk mempengaruhi peristiwa neurovaskular saat ereksi dan detumescence. Saraf somatik bertanggung jawab untuk sensasi dan kontraksi otot-otot bulbocavernosus dan ischiocavernosus (Dean and Lue, 2005; Kirby, 2005).

Sumber perdarahan penis berasal dari arteri iliaka interna cabang dari arteri iliaka komunis yang kemudian menjadi arteri pudenda interna yang selanjutnya menjadi arteri penis komunis dan kemudian bercabang tiga menjadi arteri cavernosa (arteri penis profundus), arteri dorsalis penis dan arteri bulbouretralis. Arteri cavernosa memasuki corpus cavernosum dan membagi diri menjadi arteriol-arteriol helisin yang bentuknya seperti spiral bila penis dalam keadaan flaksid. Dalam keadaan tersebut arteriol helisin pada corpora berkontraksi dan menahan aliran darah arteri ke dalam rongga lakunar. Sebaliknya dalam keadaan ereksi, arteriol helisin tersebut berelaksasi sehingga aliran darah arteri bertambah cepat dan mengisi rongga-rongga lakunar. Keadaan relaksasi atau kontraksi dari otot-otot polos trabekel dan arteriol menentukan penis dalam keadaan ereksi atau flaksid (Kirby, 2005).

(29)

Peran Vaskuler (Pembuluh Darah)

Ereksi sebenarnya sangat terkait dengan darah dan pembuluh darah. Tingkat ereksi tergantung pada keseimbangan antara aliran darah arteri menuju penis dan aliran darah vena keluar dari penis. Ketika aliran darah arteri rendah atau sedikit maka penis dalam kondisi flaksid, sedangkan bila aliran arteri meningkat dan aliran darah vena keluar rendah, maka terjadilah ereksi.

Peran Otot Polos

Otot polos terdapat pada dinding pembuluh darah dan jaringan erektil. Apabila otot polos pembuluh darah berkontraksi, maka pembuluh darah menyempit (vasokontriksi) yang menyebabkan aliran darah berkurang. Sebaliknya bila otot polos pembuluh darah melebar (vasodilatasi) maka aliran darah akan bertambah.

Begitu pula dengan otot polos jaringan erektil. Bila kontriksi maka akan susah mengembang terisi darah sehingga penis flaksid. Bila relaksasi, tahanan jaringan erektil berkurang sehingga mudah terisi darah dan mengembang (ereksi). Otot polos ini bersifat tidak disadari, dan di bawah pengaruh saraf otonom.

Peran Saraf

Ereksi adalah proses yang otonom atau tidak bisa dikontrol karena melibatkan otot polos pembuluh darah dan jaringan erektil. Pada saat kondisi flaksid, saraf otonom yang dominan adalah saraf simpatis. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi arteri dan kontraksi otot polos jaringan erektil (corpus cavernosum dan spongiosa) akibatnya aliran ke penis akan rendah. Sebaliknya pada saat kondisi ereksi, stimulasi parasimpatis dominan. Parasimpatis menyebabkan vasodilatasi arteri dan relaksasi otot polos jaringan erektil sehingga aliran darah ke penis meningkat.

Secara ringkas, struktur diatas bertanggung jawab atas tiga jenis ereksi:

1. Ereksi psikogenik diawali secara sentral sebagai respon terhadap rangsang audiovisual atau imajinasi. Impuls dari otak memodulasi pusat ereksi di tulang belakang (T10-L2 dan S2-S4) untuk mengaktifkan proses ereksi.

2. Ereksi reflexogenik terjadi akibat pacuan pada reseptor sensoris pada penis, yang dengan interaksi spinal, menyebabkan aksi saraf somatis dan parasimpatis.

(30)

Gambar 2.2. Anatomi Penis

(31)

Pada corpus cavernosum ditemukan adanya neurotransmiter yang bukan adrenergik dan bukan pula kolinergik (non-adrenergic non-cholinergic = NANC) yang ternyata adalah

Nitric Oxide (NO). NO (merupakan mediator neural) akan menyebabkan serangkaian

perubahan enzimatis yang menyebabkan relaksasi otot polos corpus cavernosum sehingga terjadi proses ereksi (Taylor et al, 2008; Gacci et al, 2011).

Secara lebih rinci, Setelah rangsangan seksual, terjadi aktivitas serat parasimpatis yang mensyarafi otot polos corpus cavernosum dan sel endotel sinusoidal melepaskan asetilkolin, yang mengaktifkan produksi endothelial Nitric Oxide Synthase (eNOS), yang kemudian mensintesis Nitric Oxide (NO). NO yang merupakan neurotransmiter mengaktifkan enzim Guanylate Cyclase yang akan mengkonversikan Guanosine Triphosphate (GTP) menjadi Cyclic Guanosine Monophosphate (cGMP) sehingga kadar cGMP meningkat. Mekanisme vasodilator kedua melibatkan produksi Cyclic Adenosine Monophosphate

(cAMP) dari Adenosine Triphosphate (ATP) oleh Adenylate Cyclase (AC). Vasoactive Intestinal Polypeptide (VIP) dan Prostaglandin E1 (PGE1) mengaktifkan AC. Baik cGMP dan cAMP merangsang kalsium keluar (kadar kalsium intrasel menurun) dari otot polos corpus cavernosum, sehingga terjadi relaksasi otot polos penis (corpus cavernosum) dan pembuluh darah penis, sehingga aliran darah meningkat ke jaringan trabecular dan ruang sinusoidal. Meningkatkan aliran darah penis, menyebabkan ereksi. Kompresi venula subtunical mengurangi aliran vena dari corpus cavernosum dan memelihara tumescence. NO dilepaskan bila ada rangsangan seksual. cGMP ini tidak terus menerus ada karena selanjutnya akan dipecah oleh enzim Phosphodiesterase 5 (PDE5) yang akan mengakhiri / menurunkan kadar cGMP sehingga ereksi akan berakhir (Traish et al, 2000; Lowe, 2005; Kirby, 2005; Muneer et al, 2007; Taylor et al, 2008; Gacci et al, 2011).

(32)

Stimulasi seksual

 Arteri cavernosa dan arteri helisin vasodilatasi → darah mengalir ke dalam jaringan cavernosa.

 Relaksasi otot polos dinding trabecular → si osoid dilatasi → e beri rua g akibat kenaikan aliran darah.

Penis membesar

Antara dinding trabecular bagian luar jaringan cavernosa dan tunika albugenia menyempit.

Akibatnya vena yang keluar dari sinosoid melalui dinding trabecula dan tunika albugenia (plexus venosus subtunica) menjadi tertekan.

Mengurangi aliran darah vena keluar dari sinosoid → ve oklusi (penutupan venosa terjadi secara pasif, sementara itu kontraksi otot Ischiocavernosus mengerutkan bagian proksimal corpus cavernosus → menimbulkan penutupan vena).

Bila didegradasi oleh enzim phosphodiesterase-5 (PDE-5)

→ menurunkan kadar cGMP

FLACCID

(33)

2.4. BPH dengan Fungsi Seksual

Beberapa penelitian berbasis beragam populasi – termasuk sampel dari Asia, Eropa, Amerika Utara dan Amerika Selatan, menunjukkan hubungan yang konsisten antara LUTS dengan Disfungsi Ereksi (ketidakmampuan yang menetap atau terus-menerus untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang berkualitas sehingga dapat mencapai hubungan seksual yang memuaskan) dan atau disfungsi ejakulasi pada pria dengan BPH. Disfungsi Ereksi dapat diklasifikasikan menjadi psikogenik, organik atau gabungan psikogenik dan organik. Faktor organik dibagi lagi menjadi gangguan vaskulogenik (paling sering), saraf, dan endokrin. Setiap faktor yang mempengaruhi fungsi pembuluh darah merupakan faktor risiko untuk Disfungsi Ereksi (Lowe, 2005; Mc Vary, 2005; Muneer et al, 2007).

Prevalensi Disfungsi Ereksi pada pria berusia 40-70 tahun dengan komorbiditas diperkirakan 9,7% secara keseluruhan, dengan tingkat 39% pada pria dengan penyakit jantung, 29% pada pria dengan diabetes, dan 15% pada mereka dengan hipertensi. Bila dikelompokkan berdasarkan usia, prevalensi Disfungsi Ereksi meningkat dari 40% dengan Disfungsi Ereksi ringan dan 5% dengan Disfungsi Ereksi berat pada usia 40 tahun, menjadi 70% dan 15%, masing-masing pada usia 70 tahun. Analisis lebih lanjut dari data ini menunjukkan LUTS menjadi independen faktor risiko untuk Disfungsi Ereksi (Taylor et al, 2008).

Studi The Multinational Study of Aging Male (MSAM)-7, yang mengevaluasi kuesioner respondens 12.815 orang, menunjukkan bahwa Disfungsi Ereksi dikaitkan dengan keparahan LUTS, analisis ini menemukan bahwa LUTS dan usia lebih kuat menjadi faktor risiko Disfungsi Ereksi daripada kondisi komorbid lain seperti diabetes, hipertensi atau hiperlipidemia (Rosen et al, 2003). Faktor psikososial dinyatakan sebagai penyebab selain faktor fisiologis. Perubahan gaya hidup karena nokturia dapat mempengaruhi terjadinya disfungsi ereksi (Taylor et al, 2008; Seo et al, 2011; Kim, 2011).

Patogenesis yang mendasari hubungan antara LUTS dan Disfungsi Ereksi belum sepenuhnya dipahami. Hipotesis yang ada termasuk (1) Penurunan aktivitas eNOS/NO pada prostat dan otot polos penis, (2) Peningkatan Aktivasi Rho-kinase, (3) Efek hiperaktivitas otonom pada LUTS, pertumbuhan prostat dan Disfungsi Ereksi, (4) Ketidakseimbangan α -adrenoceptors (5) Aterosklerosis pelvis (pada prostat, kandung kemih dan penis) (Mc Vary, 2005; Taylor et al, 2008; Gacci et al, 2011).

(34)

tonus prostat. Penurunan ini berpengaruh terhadap fungsi berkemih yang selanjutnya berkembang menjadi BPH atau LUTS (Mc Vary, 2005).

Peningkatan Rho kinase-aktivitas menyebabkan kontraksi otot polos meningkat, yang selanjutnya memberikan kontribusi untuk ganguan fungsi ereksi dan perubahan tonus kandung kemih (Ponholzer et al, 2007; Taylor et al, 2008).

Kompleksitas dari patogenesis yang menghubungkan BPH/LUTS dan Disfungsi Ereksi mengarah ke suatu penyebab yang sama yang saling berhubungan. Oleh karena itu, pilihan terapi dapat tumpang tindih, memungkinkan pencegahan atau tatalaksana dari kedua kondisi tersebut ditangani bersamaan (Van Dijk, 2010). Dari sebuah penelitian menyebutkan, nilai fungsi seksual keseluruhan terdapat peningkatan pada kelompok α1a-adrenoceptors antagonists (Tamsulosin) dibanding dengan placebo.

Untuk menilai derajat kekerasan ereksi sekaligus diagnosa sederhana Disfungsi Ereksi dipakai instrumen khusus dengan menggunakan Erection Hardness Score (EHS) yaitu tes mandiri yang sederhana, tervalidasi klinis dan menunjukkan kualitas ereksi serta kemampuan untuk penetrasi. EHS pertama kali diterbitkan dalam New England Journal of Medicine pada tahun 1998. EHS adalah diagram mengenai kualitas kekerasan ereksi yang terdiri dari grade 1 sampai 4.

Penurunan fungsi dari saraf dan endotelium

(35)

 EHS Grade 1 = Penis membesar, namun tidak keras → termasuk disfungsi ereksi berat.

 EHS Grade 2 = Penis keras, namun tidak cukup untuk ereksi → termasuk disfungsi ereksi sedang.

 EHS Grade 3 = Penis cukup keras untuk penetrasi, namun tidak maksimal (sub-optimal) → termasuk disfungsi ereksi ringan.

 EHS Grade 4 = Penis keras seluruhnya dan tegang sepenuhnya (optimal) → tidak mengalami disfungsi ereksi.

(36)

2.5. Kerangka Teori

2.6. Alur Penelitian

PASIEN BPH

Memenuhi Kriteri Inklusi

Dilakukan penilaian tingkat kekerasan ereksi dengan Erection Hardness Score (EHS)

Pemberian α1a-adrenoceptors antagonists (Tamsulosin) selama 1 bulan

Evaluasi ulang tingkat kekerasan ereksi dengan menggunakan Erection Hardness Score (EHS)

BPH

LUTS EREKSI

α1a-adrenoceptors antagonists (Tamsulosin)

RESPON ?

(37)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi eksperimental untuk menilai tingkat kekerasan ereksi pada pasien BPH sebelum dan setelah pemberian α1a-adrenoceptors antagonists selama satu bulan.

3.2. Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik Medan. Waktu penelitian dilaksanakan selama tiga bulan dimulai dari bulan September 2012 sampai dengan November 2012 (jadwal terlampir).

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi target

Populasi target pada penelitian ini adalah pasien BPH yang akan diberikan terapi α1a -adrenoceptors antagonists.

Populasi terjangkau

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah populasi target yang mendapatkan pelayanan kesehatan di RSUP Haji Adam Malik Medan selama bulan September 2012 sampai dengan November 2012.

Sampel

Sampel penelitian adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi.

3.4. Perkiraan Besar Sampel Besar sampel ditentukan dengan rumus

n = zα x S 2 d

Ket: n = besar sampel

z α = tingkat kematangan (1,96 CI 95%) S = Simpang Baku (0,33)

D = tingkat ketepatan absolut yang diinginkan (10%)

(38)

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.5.1. Kriteria Inklusi 1. Usia > 50 tahun

2. Pasien BPH dengan IPSS > 7 3. Mendapat informed consent 3.5.2. Kriteria Eksklusi

1. Pasien retensi urin akut

2. Pasien BPH yang diberikan terapi atau tindakan selain dari α1a-adrenoceptors antagonists

3. Pasien yang dalam terapi disfungsi ereksi

3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)

Semua subjek penelitian akan diminta persetujuan dari pasien setelah dilakukan penjelasan mengenai kondisi pasien dan tindakan yang akan dilakukan.

3.7. Etika Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, yang selama pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kode etik penelitian biomedik, izin didapat dari Komisi Etika Penelitian Fakultas Kedokteran USU.

3.8. Cara Kerja

3.8.1. Alokasi Subjek

Pemilihan subjek ditetapkan melalui besar sampel dan kriteria inklusi pada penelitian ini 3.8.2. Pengukuran dan Intervensi

3.8.2.1.Tahap awal dan pelaksanaan penelitian

1. Melakukan pendataan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik terhadap pasien BPH.

2. Melakukan pengambilan sampel dengan menilai kriteria inklusis dan eksklusi.

3. Melakukan penilaian tingkat kekerasan ereksi pada pasien dengan menggunakan EHS.

(39)

4. Memberikan terapi α1a-adrenoceptors antagonists (Tamsulosin) selama satu bulan.

5. Melakukan evaluasi ulang terhadap tingkat kekerasan ereksi dengan menggunakan EHS satu bulan kemudian.

3.8.2.1.Tahap akhir penelitian

1. Melakukan pengumpulan data hasil penelitian.

2. Melakukan pengolahan dan analisis data hasil penelitian.

3. Melakukan penyusunan dan penggandaan laporan hasil penelitian.

3.9. Identifikasi Variabel Variabel Bebas

1. BPH

2. Alpha1a-adrenoceptors antagonists (Tamsulosin)

Variabel Tergantung 1. EHS

3.10. Batasan Operasional

1. EHS(Erection Hardness Score) adalah tes mandiri, tervalidasi klinis, menggunakan instrumen khusus, untuk menilai derajat kekerasan ereksi sekaligus diagnosa sederhana disfungsi ereksi dan menunjukkan kualitas ereksi serta kemampuan penetrasi.

2. BPH (Benign Prostate Hyperplasia) adalah pembesaran jinak dari kelenjar prostat. 3. Alpha1a-adrenoceptors antagonists (Tamsulosin) adalah merupakan antagonis

adrenoceptor α1a yang sangat selektif yang dijumpai pada sel stroma prostat, kandung kemih, otot polos pembuluh darah dan jaringan corpus cavernosum.

3.11. Rencana Pengolahan dan Analisis Data

(40)

BAB IV. HASIL PENELITIAN

4.1 Karateristik Subjek Penelitian

Selama periode penelitian dari bulan September 2012 sampai dengan November 2012, dijumpai 50 pasien dengan Benign Prostate Hyperpalsia (BPH) yang mendapatkan pengobatan dengan menggunakan Tamsulosin (α1a-adrenoceptors antagonists). Data demografi subjek yang mengikuti penelitian ini ditampilkan dalam diagram 4.1.

Diagram 4.1. Distribusi Pasien berdasarkan Usia

Berdasarkan tabel 4.1 dan diagram 4.1 diketahui bahwa usia rata-rata pasien BPH yang mendapatkan Tamsulosin (α1a-adrenoceptors antagonists) adalah 66.18 ± 8.39 tahun dan sebagian besar pasien berusia 60-69 tahun (36 %).

12

18

17

3

(41)

4.2 Derajat kekerasan ereksi pada pasien BPH sebelum pemberian Tamsulosin (α1a- adrenoceptors antagonists)

Berdasarkan derajat kekerasan ereksi pada pasien BPH dengan menggunakan Erection Hardness Score (EHS) sebelum pemberian Tamsulosin, diperoleh hasil seperti yang ditampilkan pada diagram 4.2.

Diagram 4.2. Proporsi EHS Sebelum Pemberian Tamsulosin (α1a-adrenoceptors antagonists).

Pada diagram 4.2 memperlihatkan bahwa sebagian besar subjek penelitian sebelum dilakukan intervensi dengan tamsulosin memiliki angka EHS 2 yaitu pada 36 dari 50 subjek penelitian. Kemudian dilakukan penilaian ulang EHS setelah 1 bulan pemberian Tamsulosin (α1a-adrenoceptors antagonists).

(42)

4.3. Derajat kekerasan ereksi pada pasien BPH setelah pemberian Tamsulosin (α1a- adrenoceptors antagonists) selama 1 bulan

Berdasarkan derajat kekerasan ereksi pada pasien BPH dengan menggunakan Erection Hardness Score (EHS) setelah pemberian Tamsulosin selama 1 bulan, diperoleh hasil yang ditampilkan pada diagram 4.3.

Diagram 4.3. Proporsi EHS setelah 1 bulan pemberian Tamsulosin (α1a-adrenoceptors antagonists).

Pada diagram 4.3 menerangkan bahwa hanya seorang subjek penelitian yang sebelum dan sesudah pemberian Tamsulosin selama 1 bulan tetap memiliki EHS 4 dengan kata lain hanya seorang subjek penelitian yang tetap memiliki penis keras dan tegang secara sempurna sebelum dan sesudah pemberian Tamsulosin.

0

20

29

1

EHS 1 EHS 2 EHS 3 EHS 4

0 5 10 15 20 25 30 35

Erection Hardness Score (EHS) setelah intervensi

(43)

4.4. Derajat kekerasan ereksi pada Pasien BPH sebelum dan setelah pemberian Tamsulosin (α1a- adrenoceptors antagonists) selama 1 bulan.

Untuk mengetahui apakah terdapat perubahan tingkat kekerasan ereksi berdasarkan EHS pada pasien BPH pasca pemberian Tamsulosin (α1a-adrenoceptors antagonists) di RSUP H.Adam Malik Medan, peneliti menggunakan analisa statistik. Nilai p<0,05 dianggap secara statistik bermakna.

Tabel 4.4. Perubahan tingkat kekerasan ereksi bedasarkan EHS pada pasien BPH sebelum dan 1 bulan sesudah pemberian Tamsulosin (α1a-adrenoceptors antagonists).

Erection Hardness Score adrenoceptors antagonists terdapat peningkatan nilai Erectile Hardness Score (EHS) yang bermakna bila dibandingkan sebelum pemberian α1a-adrenoceptors antagonists dengan nilai p = 0,001 (α = 0,005, CI= 95%). Karena p <0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perubahan yang bermankna secara statistik pada tingkat kekerasan ereksi berdasarkan EHS pada pasien BPH pasca pemberian Tamsulosin (α1a-adrenoceptors antagonists).

(44)

BAB V. PEMBAHASAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan apakah ada perubahan tingkat kekerasan ereksi pada pasien BPH setelah pemberian α1a-adrenoceptors antagonists selama satu bulan. Seperti diketahui selama 1 dekade terakhir, ada 2 group obat yang sering digunakan pada penanganan BPH yaitu α1-adrenoceptors antagonists dan 5α reduktase inhibitor dimana obat-obatan α1-adrenoceptors antagonists merupakan pilihan terapi lini pertama pada penanganan LUTS yang disebabkan oleh BPH.

α1a-adrenoceptors merupakan salah satu subtipe dari α1-adrenoceptors yang telah diteliti dan diidentifikasi dijumpai pada sel stroma prostat, kandung kemih, otot polos pembuluh darah dan jaringan corpus cavernosum penis (Traish et al, 2000; El-Gamal, 2006; Taylor et al, 2008). α1a-adrenoceptors antagonists (Tamsulosin) merupakan antagonis

adrenoreceptors α1a yang sangat selektif. Selain itu Tamsulosin menunjukkan efek yang cepat dalam mengurangi keluhan miksi.

Pada BPH efek dari α1a-adrenoceptors antagonists adalah dengan memblokade

adrenoreceptors α1a dalam prostat, yang akan merelaksasi otot polos, menyebabkan perbaikan gejala LUTS pasien (Tjay, 2007; Taylor et al, 2008). α1a-adrenoceptors antagonists yang digunakan untuk terapi BPH, juga memblokir aksi noradrenalin pada tingkat reseptor α1a di otot polos corpus cavernosum. Blokade dari α1a-adrenoceptors yang sebagian besar berada dalam jaringan corpus cavernosum mungkin bertanggung jawab terhadap efek terapi (kontraksi otot polos penis yang disebabkan oleh aksi noradrenalin pada α1-adrenoreceptors menyebabkan penis flaksid, maka blokade pada reseptor ini oleh α1a-adrenoceptors antagonists mengakibatkan menurunkan level tonus simpatik pada penis dan peningkatan Nitrat Oksida (NO) yang menyebabkan otot polos corpus cavernosum relaksasi dan peningkatan aliran darah ke dalam ruang lacunar pada corpos cavernosum, sehingga meningkatkan dan memperbaiki fungsi ereksi) dan α1a-adrenoceptors antagonists merupakan alternatif yang baik untuk tatalaksana LUTS/BPH dengan Disfungsi Ereksi (Lowe, 2005; Leungwattanakij et al, 2005; Taylor et al, 2008; Kojima et al, 2009; Seracu, 2009;Gacci et al, 2011).

Pada beberapa penelitian dapat diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara BPH dengan angka kejadian DE setelah faktor- faktor lain seperti penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus dan hipertensi disingkirkan. Hal ini membuktikan bahwa antara BPH dan DE bukanlah hanya disebabkan oleh faktor penuaan namun juga karena

(45)

mereka memiliki patofisologi yang sama. Oleh karena itu penanganan salah satu penyakit juga akan mengurangi keluhan yang lainnya (Lowe, 2005; Mc Vary, 2005; Van Dijk, 2010).

Pada suatu studi yang dilaporkan oleh Chung dkk (2003) pada pertemuan tahunan

American Urological Association lain yang melibatkan 12.815 pria diatas 50 tahun diketahui bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara BPH dan DE. Oleh sebab itu dapat diketahui bahwa usia dan LUTS merupakan faktor resiko terbesar untuk terjadinya DE dibandingkan komorbid lainnya seperti diabetes mellitus, hipertensi dan hyperlipidemia. Hal ini sesuai dengan hasil yang didapat peneliti bahwa pada sebagian besar penderita BPH dengan LUTS memiliki DE yang ditandai dengan 36 dari 50 subjek penelitian kami yang memiliki angka EHS skor 2.

LUTS yang ditimbulkan oleh BPH dapat menyebabkan menurunnya kualitas hidup dan gangguan fungsi seksual pada pria. Pemberian, α1a-adrenoceptor antagonis telah diketahui memberikan efek pada fungsi seksual. Mekanisme efek, α1a -adrenoceptor antagonis pada pengobatan DE salah satunya dimungkinkan oleh karena efek positif α1a -adrenoceptor antagonis yang dapat meningkatkan kualitas hidup (QoL) pada pasien dengan LUTS sehingga dapat meningkatkan fungsi seksual. Sebagian lain berpendapat bahwa peningkatan fungsi seksual lebih disebabkan oleh efektifitas , α1a-adrenoceptor antagonis pada relaksasi otot polos cavernosum (Lowe, 2005).

Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa terdapat perubahan tingkat kekerasan ereksi menjadi lebih baik yang bermakna pada pasien BPH setelah pemberian α1a -adrenoceptors antagonists selama satu bulan. Adanya perubahan yang bermakna ini dinyatakan dengan didapatkannya derajat kemaknaan (α) yang lebih kecil dari 0.05 (p< 0,05) yaitu nilai p = 0,001.

Hasil ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya telah dilaporkan oleh Lowe dkk (2005) yang menyimpulkan bahwa penanganan BPH juga akan meningkatkan fungsi seksual pada pria. Dimana penelitian tersebut juga diketahui bahwa pemberian alpha blocker setelah 3 bulan ditemukan perbaikan gejala LUTS yang juga meningkatkan fungsi seksual.

(46)

intervensi 4 dan sesudah intervensi nilai EHS tetap 4. Tidak ada satupun dari subjek penelitian yang mempunyai nilai EHS 1. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa ada perubahan dan perbaikan dari nilai EHS setelah dilakukan intervensi dengan α1a -adrenoceptors antagonists selama satu bulan.

Dengan diketahuinya adanya perbaikan tingkat kekerasan ereksi pada pasien BPH setelah pemberian α1a-adrenoceptors antagonists selama satu bulan, dapat menjadi suatu titik tolak untuk dilakukannya screening fungsi seksual dalam hal ini kekerasan ereksi pasien dengan menggunakan perangkat EHS, pada pasien-pasien BPH. Screening awal ini diharapkan dapat mendeteksi adanya gangguan fungsi seksual pada pasien-pasien BPH, dan memungkinkan untuk dilakukan tatalaksana yang lebih dini, sehingga diharapkan dapat meningkatkan QoL pada pasien.

Berdasarkan kenyataan bahwa kelemahan dari penelitian ini adalah ini hanya melihat pengaruh pemberian α1a-adrenoceptors antagonists terhadap perubahan tingkat EHS. DE merupakan suatu keadaan yang dipengaruhi oleh multi faktorial, dimana masih banyak yang mempengaruhi DE selain hanya pemberian α1a-adrenoceptors antagonists. Keadaan seperti DM, dislipidemia, atau pun gaya hidup merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi DE pada penderita dengan BPH yang mana pada penelitian tersebut tidak dinilai. Karena tidak ada dijumpainya subjek penelitian yg mempunyai nilai EHS 1 dan tidak ada penambahan jumlah subjek penelitian menjadi EHS 4 maka pada penelitian ini perubahan tingkat kekerasan ereksi yang bermakna hanya dapat dilihat pada EHS 2.

(47)

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

Terdapat perubahan yang bermakna terhadap tingkat kekerasan ereksi yang diukur dengan menggunakan Erection Hardness Score (EHS) pada pasien BPH setelah pemberian

α1a-adrenoceptors antagonists (Tamsulosin) selama satu bulan. .

6.2. Saran

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Barry, M. J.; Fowler, F. J. Jr.; O'Leary, M. P.; Bruskewitz, R. C.; Holtgrewe, H. L.; Mebust, W. K.; Cockett, A. T.: The American Urological Association Symptom Index for Benign Prostatic Hyperplasia. J Urol. 148: 1549-1557 (1992).

Chung, W.; Nehra, A.; Jacobsen, S.; Robert, R. O.; Rhodes, T.; Girman, C. J.; et al.: Epidemiologic evidance evaluating lower urinary tract symtomp (LUTS) and sexual dysfunction in the Olmsted County Study of urinary tract symptom and health status among men (OCS). J Urol. 169:323 (2003).

Dean, R. C.; Lue, T. F.: Physiology of Penile Erection and Pathophysiology of Erectile Dysfunction. Urol Clin North Am. 32(4): 379-v (2005).

El-Sakka, A. I.; Lue, T. F.: Physiology of Penile Erection. The Scientific World Journal. 4: 128-134 (2004).

El-Gamal, O. M.: α1-Adrenoceptor subtype in isolation corporal tissue from patients undergoing gender re-assignment. BJU International 97:329-332 (2006).

Fine, S. R.; Ginsberg, P.: Alpha-Adrenergic Receptors Antagonist in Older Patients with BPH: Issues and Potential Complication. JAOA. 108 (7). (2008).

Gacci, M.; Eardley, I.; Giuliano, F.; et al.: Critical Analysis of the Relationship Between Sexual Dysfunction and Lower Urinary Tract Symptoms Due to Benign Prostatic Hyperplasia. J. Euroru. 60: 809-825 (2011).

Ichioka, K.; Ohara, H.; Terada, N.; et al.: Long-term Treatment Outcome of Tamsulosin for Benign Prostatic Hyperplasia. International Jounal of Urology. 11: 870-875 (2004). Ikatan Ahli Urologi Indonesia: Pedoman Penatalaksanaan BPH di Indonesia. Diunduh dari:

http://www.iaui.or.id/info/guid.php. (07 april 2012).

Kojima, Y.; Kubota, Y.; Sasaki, S.; Hayashi, Y.; Kohri, K.: Translational Pharmacology in Aging Men with Benign Prostatic Hyperplasia: Molecular and Clinical Approaches to Alpha1-Adrenoreceptors. Current Aging Science. 2: 223-239 (2009).

Kirby, R. S.: An Atlas of Erectile Dysfunction. 2nd ed. The Parthenon Publishing Group Inc. 36-45 (2005).

Kim, S. W.: Prostatic Disease and Sexual Dysfunction. Korean J Urol. 52: 373-378 (2011). Lowe, F. C.: Treatment of lower urinary tract symptoms suggestive of benign prostatic

hyperplasia: sexual function. BJU International. 95 Suppl 4: 12-18 (2005).

(49)

Leungwattanakij, S.; Roongreungsilp, U.; Lertsithichai, P.; Ratana-olarn, K.: The Association between Erectile Function and Severity of Lower Urinary Tract Symptoms. J Med Assoc Thai. 88(1): 91- 95 (2005).

Muneer, A.; Borley, N.; Ralph, D. J.: Erectile Dysfunction. The st Peter’s Andrology Centre,

london, (2007).

Mc Vary, K. T.: Sexual Function and Alpha-Blockers. Rev Urol. 7 suppl 8: S3–S11 (2005). Mc Nicholas, T. A.; Kirby, R. S.; Lepor, H.: Evaluation and Nonsurgical Management of

Benign Prostatic Hyperplasia. In: Campbell’s Urology 10th ed. WB Saunders Co.

2611-2654 (2011).

Mc Vary, K. T.; Roehrborn, C. G.; Avins, A. L.: American Urological Association Guideline: Management of Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). American Urological Association Education and Research, Inc. (2010).

Muzzonigro, G.: Tamsulosin in the Treatmen of LUTS/BPH: An Italian Multicentre trial. Archivio Italiani di Urologia e Andrologia. 77: 13-17 (2005).

Narayan, P.; Evans, C. P.; Moon, T.: Long Term Safety and Eficacy of Tamsulosin for the Treatment of Lower Urinary Tract Symptoms Associated with Benign Prostatic Hyperplasia. J Urol. 170: 498-502 (2003).

O’ Leary, M. P.: LUTS, ED, QOL: Alphabet Soup or Real Concerns to Aging Men?. Urology 56 (Suppl 5A). 7-11 (2000).

Ponholzer, A.; Madersbacher, S.: Lower Urinary Tract Symptoms and Erectile Dysfunction: Links for Dioagnosis, Management and Treatment. International Journal of Impotence Research. 19: 544-550 (2007).

Praveen, R.: Tamsulosin – Turn A Round: A Review. Int J Cur Bio Med Sci. 1(2): 39-40 (2011).

Pfizer inc. The erection hardness score (EHS). Diunduh dari:http:// www.pfizerpro.com. (25 juni 2012).

Rahardjo, D.; Birowo, P:. Karakteristik Penderita Pembesaran Prostat Jinak di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Sumber Waras, Jakarta, tahun 1994-1997. MKI 2000. 50(2): 81-85 (2000).

(50)

Rosen, R.; Altwein, J.; Boyle, P.; Kirby, R.; Lukas, B.; Meuleman, E.: Lower urinary tract symptoms and male sexual dysfunction: the multinational survey of the aging male (MSAM-7). Eur Urol. 44: 637–49 (2003).

Seo, D. H.; Kam, S. C.; Hyun, J. S.: Impact of Lower Urinary Tract Symptoms/Benign Prostatic Hyperplasia with Tamsulosin and Solifenacin Combination Therapy on Erectile Fuction. Korean J Urol. 52: 49-54 (2011).

Seracu, F. S.; Bucuras, V.; Bardan, R.: The Effects of Medical Therapy for BPH on The Sexual Function of The Patients. TMJ. 59(1) (2009).

Suzuki, H.; Yano, M.; Awa Y.; et al.: Clinical Impact of Tamsulosin on Generic and Symptom-specific Quality of Life for Benign Prostatic Hyperplasia Patients: Using International Prostate Symptom Score and Rand Medical Outcomes Study 36-item Health Survey. International Journal of Urology. 13: 1202-1206 (2006).

Tjay, T. H.; Rahardja, K.: Obat-obat penting: khasiat, penggunaan, dan efek-efek sampingnya. ed VI. 501 (2007).

Traish, A.; Kim, N. N.; Moreland, R. B.; Goldstein, I.: Role of Alpha Adrenergic receptor in erectile function. International Journal of Impotance Research. 12: S48-S63 (2000). Taylor, J. M.; DeSouza, R.; Wang, R.: Common Approach to Managing Lower Urinary Tract

Symptoms and Erectile Dysfunction. Asian Journal of Andrology. 10 (1): 45-53 (2008).

Van Dijk, M. M.: Balancing Clinical Outcomes and Quality of Life Aspects in the Treatment of LUTS/BPH. University of Amsterdam (2010).

(51)

Lampiran 1

Susunan Peneliti

Peneliti

Nama lengkap : dr. M. Eka Agusfanyah

Fakultas : Kedokteran

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

Pembimbing I

Nama lengkap : Dr. Syah Mirsya Warli, SpU

Pangkat/Gol/NIP : 19650505 199503 1 001

Jabatan Fungsional : Kepala Divisi Bedah Urologi

Fakultas : Kedokteran

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

Bidang Keahlian : Bedah Urologi

Pembimbing II

Nama lengkap : Dr. Bungaran Sihombing, SpU

Pangkat/Gol/NIP : 19551008 198303 1 013

Jabatan Fungsional : Staf pengajar

Fakultas : Kedokteran

Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara

(52)

Lampiran 2

RIWAYAT HIDUP

Nama : dr. M. Eka Agusfansyah

Alamat : Jl. Setia budi psr II komp TPI A 49 Tj.Sari - Medan

Telepon : 061 – 8210408

HP : 081360132465

Tempat / tgl. lahir : Medan, 20 Agustus 1975

Agama : Islam

Status : Menikah

Istri : Aida Hafsah Nst, SE

Anak : Khairiyah Atiqah Putri

Khalisa Kirania Putri

Pendidikan

1. SDN 3Sigli Aceh Pidie, 1982 – 1988 2. SMPN 2 Sigli Aceh Pidie, 1988 – 1991 3. SMAN 5 Medan, 1991 – 1994

4. S-1 Sarjana Kedokteran (S.Ked), Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, 1994 – 1999

5. Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, 1999 – 2002

(53)

Lampiran 3

Rencana Anggaran Penelitian

No Uraian Jumlah

1 Honorarium Rp 1.800.000,-

2 Fotocopi kuesioner dan lain-lain Rp 1.600.000,-

3 Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian Rp 700.000,-

4 Penggandaan Proposal dan Laporan Penelitian Rp 1.500.000,-

5 Biaya obat Rp 12.600.000

Total Rp 18.200.000,-

(54)

Lampiran 4

Jadwal Penelitian

Agustus

2012

September

2012

Oktober

2012

November

2012

PERSIAPAN

PELAKSANAAN

PENYUSUNAN LAPORAN

PENGGANDAAN LAPORAN

(55)

Lampiran 5

Naskah Penjelasan kepada Orangtua/Kerabat Pasien Lainnya

Yth. Bapak / Ibu ………..……….……

Sebelumnya kami ingin memperkenalkan diri. Kami dokter M. Eka Agusfansyah dan kawan-kawan, bertugas di Departemen Ilmu Bedah FK USU / RSUP H Adam Malik Medan. Saat ini kami sedang melaksanakan penelitian tentang perubahan tingkat kekerasan ereksi pada pasien BPH pasca pemberian α1a-adrenoceptors antagonists di RSUP H Adam Malik-Medan dan RS jejaring FK-USU

Bersama ini kami mohon izin kepada Bapak / Ibu / Kerabat dari

___________________________________ untuk melakukan pendataan tentang kondisi kesehatan Kerabat / Bapak / Ibu tersebut. Kami juga memohon izin kepada Kerabat / Bapak / Ibu untuk

melakukan pemeriksaan tersebut diatas pada pasien yang sedang menjalani penanganan dari penyakit yang dideritanya tersebut.

Persetujuan keikutsertaan Bapak / Ibu terhadap pemeriksaan yang dilakukan sesuai dengan penelitian ini dituangkan dalam naskah Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP).

Demikian yang dapat kami sampaikan. Atas perhatian Bapak/Ibu, diucapkan terima kasih.

Hormat kami, Peneliti

Gambar

Gambar 2.1. Gambaran prostat normal dibandingkan dengan BPH
Tabel 2.1. International Prostate Symptoms Score (IPSS)
Tabel 2.2. subtipe α1-adrenoceptors dan lokasinya (Taylor et al, 2008)
Gambar 2.2. Anatomi Penis
+4

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Perbaikan saluran irigasi Dukuh Tanjungarum Desa Glagahw angi Kecamat an Polanharjo (Eks.

Pokja I Unit Layanan Pengadaan di Lingkungan Kantor Pusat Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan pascakualifikasi untuk

Kant or Pusat Tat a Usaha Universit as Gadjah M ada, Bulaksumur Universit as Gadjah M ada mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/ Jasa Dana DIPA unt uk pelaksanaan kegiat an t

Adopsi peningkatan kualitas atau peningkatan SAKTI yang mendorong peningkatan pelaksanaan anggaran di berbagai tingkat dalam siklus pelaksanaan anggaran, mulai dari

[r]

kami mengundang Bapak/lbu sebagaimana daftar terlampir untuk hadir pada.. Kegiatan Penyelenggaraan Layanan Informasi Keagamaan dan

Rumusan Kompetensi Dasar dikembangkan dengan mempertimbangkan karakteristik peserta didik, kemampuan awal, serta ciri dari suatu mata pelajaran1. Kompetensi Dasar