• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Industri Pariwisata Terhadap Gaya Hidup Komunitas Pengrajin Logam (Kasus Di Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kota Gede, Kota Yogyakarta, Diy)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Industri Pariwisata Terhadap Gaya Hidup Komunitas Pengrajin Logam (Kasus Di Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kota Gede, Kota Yogyakarta, Diy)"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK INDUSTRI PARIWISATA TERHADAP GAYA HIDUP

KOMUNITAS PENGRAJIN LOGAM

(Kasus Di Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kota Gede, Kota

Yogyakarta, DIY)

Oleh:

TRI HANDAYANI

A 14201017

DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

DAMPAK INDUSTRI PARIWISATA TERHADAP GAYA HIDUP

KOMUNITAS PENGRAJIN LOGAM

(Kasus Di Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kota Gede, Kota

Yogyakarta, DIY)

Oleh:

TRI HANDAYANI

A 14201017

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Mem peroleh Gelar Sarjana Pertanian

Pada

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

(3)

RINGKASAN

TRI HANDAYANI. DAMPAK INDUSTRI PARIWISATA TERHADAP GAYA HIDUP KOMUNITAS PENGRAJIN LOGAM. Kasus di Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kota Gede, Kota Yogyakarta, DIY (Di bawah bimbingan TITIK SUMARTI)

Pengembangan industri pariwisata di Yogyakarta yang bertujuan untuk

meningkatkan pendapatan masyarakatnya memiliki dampak terhadap gaya hidup

terhadap masyarakatnya. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana perkembangan industri pariwisata Yogyakarta dan bagaimana dampak

industri pariwisata terhadap gaya hidup pengrajin logam. Tujuan skripsi ini adalah untuk mempelajari dampak industri pariwisata terhadap gaya hidup komunitas

pengrajin logam. Penelitian dilakukan di Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kota Gede, Yogyakarta. Dengan jumlah resonden 30 rumah tangga yang dipilih secara acak

terstratifikasi berdasarkan lapisan sosial yang terdapat dalam komunitas pengrajin

logam. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei dan dilengkapi dengan wawancara mendalam.

Perkembangan industri pariwisata dilihat dari komponen pariwisata dan jumlah

wisatawan yang singgah di Kelurahan Purbayan. Komponen pariwisata dilihat dari

fasilitas akomodasi, transportasi, dokumentasi, makan, pembelanjaan, obyek wisata dan aktivitas rekreasi yang terdapat di daerah wisata. Sejak tahun 1996 hingga 2004,

komponen pariwisata yang terdapat di Yogyakarta khususnya di Kelurahan Purbayan

dapat dikatakan mengalami kemajuan meskipun kurang pesat. Perkembangan nyata

terjadi pada beberapa komponen, yaitu fasilitas transportasi, pembelanjaan, makan dan dokumentasi. Perkembangan lain yang sudah terencana dan mulai terealisasi

adalah adanya program pembentukan kampung wisata di Kelurahan ini.

Pengaruh langsung dari perkembangan komponen pariwisata tersebut adalah banyaknya wisatawan yang mau singgah dan berkunjung ke tempat wisata tersebut.

(4)

pariwisata tersebut adalah dengan melihat jumlah wisatawan yang berkunjung di daerah ini. Wisata Kota Gede termasuk ke dalam rangkaian wisata kunjungan Keraton, sehingga wisatawan yang berkunjung ke Keraton Yogyakarta Hadiningrat akan diikuti

dengan mengunjungi Kota Gede. Perkembangan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta selama 10 tahun terakhir dapat dikatakan fluktuatif. Naik turunnya

jumlah wisatawan tersebut disebabkan oleh perkembangan komponen pariwisata dan

juga disebabkan adanya krisis moneter dan stabilitas keamanan negara.

Sebelum industri pariwisata di Yogyakarta berkembang, pengrajin yang terdapat di Kota Gede khususnya di Kelurahan Purbayan relatif homogen. Para

pengrajin ini sudah ada sejak awal berdirinya Kota Gede sebagai Kerajaan Mataram

Islam. Pengrajin ini awalnya didatangkan dari Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Timur untuk memenuhi kebutuhan akan seni kerajaan seperti singgahsana raja, peralatan makan, tempat tidur dan sebagainya. Keahlian pengrajin perak ini kemudian di tekuni

oleh hampir seluruh masyarakat Kota Gede yang mulai berdatangan dari berbagai

daerah dan menjadi mata pencaharian utama mereka dan berkembang hingga sekarang.

Kemudian setelah adanya perkembangan industri pariwisata di Yogyakarta,

tredapat dampak yang terjadi pada pengrajin logam berupa semakin terlihatnya

perbedaan antar lapisan sosial yang terdapat pada komunitas pengrajin. Perbedaan tersebut terlihat pada aktivitas ekonomi, kepemilikan modal dan jaringan sosial antar

masing-masing lapisan, dimana pengrajin lapisan atas memiliki modal lebih tinggi, jaringan sosial yang lebih luas dan aktivitas ekonomi yang lebih bervariasi dan banyak

dibandingkan lapisan dibawahnya. Perbedaan tersebut kemudian menimbulkan perbedaan dalam gaya hidup antar lapisannya. Gaya hidup tersebut terlihat dari gaya

bangunan rumah, gaya pakaian, gaya bahasa, pola makan keluarga, dan pola

pemilikan barang sekunder.

(5)

pendidikanmereka dapat dikatakan menyebar. Tingkat pendidikan rendah maupun tinggi menyebar di setiap lapisan pengrajin. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karakteristik pengraj in tersebut tidak mempengaruhi gaya hidup.

Perkembangan industri pariwisata menyebabkan dampak pada gaya bangunan rumah pengrajin logam di Kelurahan Purbayan di setiap lapisan. Semakin tinggi

lapisan sosial pengrajin maka semakin baik pula gaya bangunan rumah yang dimiliki

oleh lapisan tersebut, dimana rumah tipe limasan merupakan ciri atau salah satu

simbol dari dari pengrajin lapisan atas. Tetapi dengan adanya pengembangan industri pariwisata, muncul gejala perubahna bentuk rumah pada pengrajin lapisan atas

tersebut. Mereka cenderung lebih memilih rumah bentuk loji sebagai simbol mereka

daripada rumah bentuk limasan.

Pada variabel gaya pakaian, dapat dikatakan tidak terdapat hubungan yang nyata antara lapisan sosial pengrajin dengan ke dua gaya tersebut, dimana hampir

semua pengrajin dari semua lapisan menggunakan pakaian jenis modern. Tetapi

dalam anggaran pengeluaran untuk membeli pakaian menunjukkan perbedaan, dimana pengrajin lapisan atas cenderung lebih banyak mengeluarkan biaya untuk

membeli pakaian daripada pengrajin lapisan di bawahnya.

Pada gaya bahasa pengrajin, tidak terdapat hubungan antara lapisan sosial

pengrajin dengan gaya bahasa mereka. Para pengrajin dari semua lapisan, dalam berkomunikasi menggunakan bahasa jawa ngoko atau madya hal tersebut

menunjukan gejala melunturnya budaya jawa, karena sebelum terdapat pengembangan industri pariwisata, pengrajin lapisan atas menggunakan bahasa jawa

krama atau halus dalam berbicara sehari-hari. Selain itu, gejala pelunturan budaya bahasa jawa juga ditunjukkan dengan penggunaan bahasa camuran, yaitu bahasa

indonesia dan bahasa jawa dalam kehidupan sehari-hari.

Demikian juga pada variabel pola makan keluarga, tidak terdapat hubungan

(6)

atau makanan siap saji. Mereka juga lebih memilih warung makna biasa daripada rumah makan atau restoran ketika membeli makan keluarga. Tetapi terdapat fakta bahwa pada pengrajin lapisan bawah memiliki kecenderungan untuk membeli makan

dalam menyediakan makan keluarga sehari-hari karena alasan efisiensi. Hal tersebut tidak terjadi pada pengrajin lapisan menengah atau lapisan atas.

Dampak lain dari adanya perkembangan industri pariwisata tersebut adalah

terdapatnya hubungan antara lapisan sosial pengrajin dengan pola pemilikan barang

sekunder. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi lapisan sosial pengrajin maka semakin tinggi pula pemilikan barang sekunder yang ada. Dalam pengrajin lapisan

atas, terdapat gejala perubahan dalam pola pemilikan barang sekunder, dimana

pengrajin lapisan atas baru cenderung untuk lebih konsumtif dalam pemilikan barang sekunder tersebut dibandingkan dengan pengrajin lapisan atas lama.

Dengan adanya pengembangan industri pariwasata di Yogyakarta tersebut,

juga mempengaruhi hubungan sosial produksi antar lapisan pengrajin. Gejala

perubahan hubungan sosial tersebut terjadi dalam status hubungan produksi, dimana antara lapisan atas dan lapisan bawah merupakan majikan atau atasan dengan bruh

atau pegawai. Selain itu, gejala tersebut juga dapat dilihat dari perubahan sistem

patron klien yang saling menguntungkan menjadi sistem upahan atau pegawai lepas.

Dampak dari pengembangan industri pariwisata tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadi gejala perubahan sosial pada pengrajin lapisan atas. Dengan adanya

industri pariwisata, pengrajin lapisan atas cenderung lebihbersifat raktisdalam menenrapkan gaya hidup. Yaitu, menggunakan rumah bentuk modern atau loji,

menggunakan pakaian modern dengan anggaran biaya tinggi, menggunakan bahasa yang lebih fleksibel yaitu campuran bahasa indonesia dan jawa ngoko atau madya,

memiliki pola pemilikan barang sekunder yang tinggi, dan menerapkan hubungan

(7)

DAMPAK INDUSTRI PARIWISATA TERHADAP GAYA HIDUP

KOMUNITAS PENGRAJIN LOGAM

(Kasus Di Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kota Gede, Kota

Yogyakarta, DIY)

Oleh:

TRI HANDAYANI

A 14201017

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Pada

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

(8)

DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh:

Nama : Tri Handayani

NRP : A 1421017

Program Studi : Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul Skripsi : Dampak Industri Pariwisata Terhadap Gaya Hidup

Komunitas Pengrajin Logam (Kasus Di Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kota Gede, Kota

Yogyakarta, DIY)

dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr.Ir. Titik Sumarti MC.MS. NIP. 131 569 245

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Ketua

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr. NIP. 130 422 698

(9)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “DAMPAK INDUSTRI PARIWISATA TERHADAP GAYA HIDUP KOMUNITAS PENGRAJIN LOGAM (KASUS DI KELURAHAN PURBAYAN, KECAMATAN KOTA GEDE, KOTA YOGYAKARTA, DIY)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, 08 Desember 2005

Tri Handayani

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Tri Handayani, merupakan anak ketiga dari empat

bersaudara pasangan Suwito dan Harni. Penulis dilahirkan di Sragen pada tanggal 24 November 1982. Pada tahun 1994, penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SD 1 Negeri Glonggong, Gondang, Sragen dan dilanjutkan di SMP Negeri 1 Gondang,

Sragen sampai tahun 1998. Pada tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan di

SMU Negeri 1 Gondang, Sragen. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai

mahasiswa IPB pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu -ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian melalui jalur

USMI.

Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis pernah aktif di beberapa organisasi

(11)

DAMPAK INDUSTRI PARIWISATA TERHADAP GAYA HIDUP

KOMUNITAS PENGRAJIN LOGAM

(Kasus Di Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kota Gede, Kota

Yogyakarta, DIY)

Oleh:

TRI HANDAYANI

A 14201017

DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

(12)

DAMPAK INDUSTRI PARIWISATA TERHADAP GAYA HIDUP

KOMUNITAS PENGRAJIN LOGAM

(Kasus Di Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kota Gede, Kota

Yogyakarta, DIY)

Oleh:

TRI HANDAYANI

A 14201017

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Mem peroleh Gelar Sarjana Pertanian

Pada

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

(13)

RINGKASAN

TRI HANDAYANI. DAMPAK INDUSTRI PARIWISATA TERHADAP GAYA HIDUP KOMUNITAS PENGRAJIN LOGAM. Kasus di Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kota Gede, Kota Yogyakarta, DIY (Di bawah bimbingan TITIK SUMARTI)

Pengembangan industri pariwisata di Yogyakarta yang bertujuan untuk

meningkatkan pendapatan masyarakatnya memiliki dampak terhadap gaya hidup

terhadap masyarakatnya. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana perkembangan industri pariwisata Yogyakarta dan bagaimana dampak

industri pariwisata terhadap gaya hidup pengrajin logam. Tujuan skripsi ini adalah untuk mempelajari dampak industri pariwisata terhadap gaya hidup komunitas

pengrajin logam. Penelitian dilakukan di Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kota Gede, Yogyakarta. Dengan jumlah resonden 30 rumah tangga yang dipilih secara acak

terstratifikasi berdasarkan lapisan sosial yang terdapat dalam komunitas pengrajin

logam. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei dan dilengkapi dengan wawancara mendalam.

Perkembangan industri pariwisata dilihat dari komponen pariwisata dan jumlah

wisatawan yang singgah di Kelurahan Purbayan. Komponen pariwisata dilihat dari

fasilitas akomodasi, transportasi, dokumentasi, makan, pembelanjaan, obyek wisata dan aktivitas rekreasi yang terdapat di daerah wisata. Sejak tahun 1996 hingga 2004,

komponen pariwisata yang terdapat di Yogyakarta khususnya di Kelurahan Purbayan

dapat dikatakan mengalami kemajuan meskipun kurang pesat. Perkembangan nyata

terjadi pada beberapa komponen, yaitu fasilitas transportasi, pembelanjaan, makan dan dokumentasi. Perkembangan lain yang sudah terencana dan mulai terealisasi

adalah adanya program pembentukan kampung wisata di Kelurahan ini.

Pengaruh langsung dari perkembangan komponen pariwisata tersebut adalah banyaknya wisatawan yang mau singgah dan berkunjung ke tempat wisata tersebut.

(14)

pariwisata tersebut adalah dengan melihat jumlah wisatawan yang berkunjung di daerah ini. Wisata Kota Gede termasuk ke dalam rangkaian wisata kunjungan Keraton, sehingga wisatawan yang berkunjung ke Keraton Yogyakarta Hadiningrat akan diikuti

dengan mengunjungi Kota Gede. Perkembangan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta selama 10 tahun terakhir dapat dikatakan fluktuatif. Naik turunnya

jumlah wisatawan tersebut disebabkan oleh perkembangan komponen pariwisata dan

juga disebabkan adanya krisis moneter dan stabilitas keamanan negara.

Sebelum industri pariwisata di Yogyakarta berkembang, pengrajin yang terdapat di Kota Gede khususnya di Kelurahan Purbayan relatif homogen. Para

pengrajin ini sudah ada sejak awal berdirinya Kota Gede sebagai Kerajaan Mataram

Islam. Pengrajin ini awalnya didatangkan dari Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Timur untuk memenuhi kebutuhan akan seni kerajaan seperti singgahsana raja, peralatan makan, tempat tidur dan sebagainya. Keahlian pengrajin perak ini kemudian di tekuni

oleh hampir seluruh masyarakat Kota Gede yang mulai berdatangan dari berbagai

daerah dan menjadi mata pencaharian utama mereka dan berkembang hingga sekarang.

Kemudian setelah adanya perkembangan industri pariwisata di Yogyakarta,

tredapat dampak yang terjadi pada pengrajin logam berupa semakin terlihatnya

perbedaan antar lapisan sosial yang terdapat pada komunitas pengrajin. Perbedaan tersebut terlihat pada aktivitas ekonomi, kepemilikan modal dan jaringan sosial antar

masing-masing lapisan, dimana pengrajin lapisan atas memiliki modal lebih tinggi, jaringan sosial yang lebih luas dan aktivitas ekonomi yang lebih bervariasi dan banyak

dibandingkan lapisan dibawahnya. Perbedaan tersebut kemudian menimbulkan perbedaan dalam gaya hidup antar lapisannya. Gaya hidup tersebut terlihat dari gaya

bangunan rumah, gaya pakaian, gaya bahasa, pola makan keluarga, dan pola

pemilikan barang sekunder.

(15)

pendidikanmereka dapat dikatakan menyebar. Tingkat pendidikan rendah maupun tinggi menyebar di setiap lapisan pengrajin. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karakteristik pengraj in tersebut tidak mempengaruhi gaya hidup.

Perkembangan industri pariwisata menyebabkan dampak pada gaya bangunan rumah pengrajin logam di Kelurahan Purbayan di setiap lapisan. Semakin tinggi

lapisan sosial pengrajin maka semakin baik pula gaya bangunan rumah yang dimiliki

oleh lapisan tersebut, dimana rumah tipe limasan merupakan ciri atau salah satu

simbol dari dari pengrajin lapisan atas. Tetapi dengan adanya pengembangan industri pariwisata, muncul gejala perubahna bentuk rumah pada pengrajin lapisan atas

tersebut. Mereka cenderung lebih memilih rumah bentuk loji sebagai simbol mereka

daripada rumah bentuk limasan.

Pada variabel gaya pakaian, dapat dikatakan tidak terdapat hubungan yang nyata antara lapisan sosial pengrajin dengan ke dua gaya tersebut, dimana hampir

semua pengrajin dari semua lapisan menggunakan pakaian jenis modern. Tetapi

dalam anggaran pengeluaran untuk membeli pakaian menunjukkan perbedaan, dimana pengrajin lapisan atas cenderung lebih banyak mengeluarkan biaya untuk

membeli pakaian daripada pengrajin lapisan di bawahnya.

Pada gaya bahasa pengrajin, tidak terdapat hubungan antara lapisan sosial

pengrajin dengan gaya bahasa mereka. Para pengrajin dari semua lapisan, dalam berkomunikasi menggunakan bahasa jawa ngoko atau madya hal tersebut

menunjukan gejala melunturnya budaya jawa, karena sebelum terdapat pengembangan industri pariwisata, pengrajin lapisan atas menggunakan bahasa jawa

krama atau halus dalam berbicara sehari-hari. Selain itu, gejala pelunturan budaya bahasa jawa juga ditunjukkan dengan penggunaan bahasa camuran, yaitu bahasa

indonesia dan bahasa jawa dalam kehidupan sehari-hari.

Demikian juga pada variabel pola makan keluarga, tidak terdapat hubungan

(16)

atau makanan siap saji. Mereka juga lebih memilih warung makna biasa daripada rumah makan atau restoran ketika membeli makan keluarga. Tetapi terdapat fakta bahwa pada pengrajin lapisan bawah memiliki kecenderungan untuk membeli makan

dalam menyediakan makan keluarga sehari-hari karena alasan efisiensi. Hal tersebut tidak terjadi pada pengrajin lapisan menengah atau lapisan atas.

Dampak lain dari adanya perkembangan industri pariwisata tersebut adalah

terdapatnya hubungan antara lapisan sosial pengrajin dengan pola pemilikan barang

sekunder. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi lapisan sosial pengrajin maka semakin tinggi pula pemilikan barang sekunder yang ada. Dalam pengrajin lapisan

atas, terdapat gejala perubahan dalam pola pemilikan barang sekunder, dimana

pengrajin lapisan atas baru cenderung untuk lebih konsumtif dalam pemilikan barang sekunder tersebut dibandingkan dengan pengrajin lapisan atas lama.

Dengan adanya pengembangan industri pariwasata di Yogyakarta tersebut,

juga mempengaruhi hubungan sosial produksi antar lapisan pengrajin. Gejala

perubahan hubungan sosial tersebut terjadi dalam status hubungan produksi, dimana antara lapisan atas dan lapisan bawah merupakan majikan atau atasan dengan bruh

atau pegawai. Selain itu, gejala tersebut juga dapat dilihat dari perubahan sistem

patron klien yang saling menguntungkan menjadi sistem upahan atau pegawai lepas.

Dampak dari pengembangan industri pariwisata tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadi gejala perubahan sosial pada pengrajin lapisan atas. Dengan adanya

industri pariwisata, pengrajin lapisan atas cenderung lebihbersifat raktisdalam menenrapkan gaya hidup. Yaitu, menggunakan rumah bentuk modern atau loji,

menggunakan pakaian modern dengan anggaran biaya tinggi, menggunakan bahasa yang lebih fleksibel yaitu campuran bahasa indonesia dan jawa ngoko atau madya,

memiliki pola pemilikan barang sekunder yang tinggi, dan menerapkan hubungan

(17)

DAMPAK INDUSTRI PARIWISATA TERHADAP GAYA HIDUP

KOMUNITAS PENGRAJIN LOGAM

(Kasus Di Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kota Gede, Kota

Yogyakarta, DIY)

Oleh:

TRI HANDAYANI

A 14201017

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Pada

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

(18)

DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh:

Nama : Tri Handayani

NRP : A 1421017

Program Studi : Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul Skripsi : Dampak Industri Pariwisata Terhadap Gaya Hidup

Komunitas Pengrajin Logam (Kasus Di Kelurahan Purbayan, Kecamatan Kota Gede, Kota

Yogyakarta, DIY)

dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr.Ir. Titik Sumarti MC.MS. NIP. 131 569 245

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Ketua

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr. NIP. 130 422 698

(19)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “DAMPAK INDUSTRI PARIWISATA TERHADAP GAYA HIDUP KOMUNITAS PENGRAJIN LOGAM (KASUS DI KELURAHAN PURBAYAN, KECAMATAN KOTA GEDE, KOTA YOGYAKARTA, DIY)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, 08 Desember 2005

Tri Handayani

(20)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Tri Handayani, merupakan anak ketiga dari empat

bersaudara pasangan Suwito dan Harni. Penulis dilahirkan di Sragen pada tanggal 24 November 1982. Pada tahun 1994, penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SD 1 Negeri Glonggong, Gondang, Sragen dan dilanjutkan di SMP Negeri 1 Gondang,

Sragen sampai tahun 1998. Pada tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan di

SMU Negeri 1 Gondang, Sragen. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai

mahasiswa IPB pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu -ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian melalui jalur

USMI.

Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis pernah aktif di beberapa organisasi

(21)

KATA PENGANTAR

Alhamdulilah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi ini.

Judul Skripsi ini adalah: “Dampak Industri Pariwisata Terhadap Gaya Hidup Pada Komunitas Pengrajin Logam”.

Skripsi membahas tentang bagaimana perkembangan industri pariwisata di

Kota Gede, Yogyakarta yang diindikatorkan dengan komonen pariwisata dan jumlah

wisatawan. Pada bab selanjutnya, skripsi ini juga membahas bagaimana perkembangan dari suatu industri pariwisata berdampak pada gaya hidup pengrajin

logam sebagai salah satu pelaku utamanya.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat ketidaksempurnan dalam penulisan Skripsi ini, Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat

membangun. Akhir kata, penulis berharap agar Skripsi ini dapat membawa manfaat

yang semaksimal mungkin bagi penulis selaku mahasiswa, pihak institusi, dan khalayak yang berhubungan dengan masalah ini.

Bogor, 24 November 2005.

Tri Handayani

(22)

UCAPAN TERIMAKASIH

Dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Dr. Ir. Titik Sumarti MC. MS, selaku dosen pembimb ing skripsi, atas segala bimbingan dan arahan hingga penulisan Skripsi ini selesai

2. Dra. Winati Wigna MDS. Selaku dosen penguji utama dan Ir. Murdianto Msi selaku

dosen penguji akademik yang telah bersedia menguji penulis

3. Dr. Ir Sumardjo selaku dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan dan arahan bagi penulis hingga sekarang

4. Orang Tua penulis, Mbak Lina, Mas Sri dan Dek Puput, yang dengan kesabaran

dan kasih sayang memberikan dukungan bagi penulis dalam segala rupa

5. Bunda sekeluarga, mama dan papa Acid sekeluarga, atas rumah kedua yang kalian berikan dan limpahan kasih sayang kalian kepada penulis

6. Dian, Acid, Ana atas indahnya persahabatan kita, atas diskusi-diskusinya. Rulie

atas perjalanan kita dan semua dukungan

7. Telly, Dewi, Aisyah, Dhini, dan KPMers atas indahnya perjuangan kita.

8. I’am, mbak kapsah, dan teman-teman FM atas kebersamaan kita dalam keluarga,

Anggota Saung Neglasari: David, Nanang, bang Juri, kak Nita dan Dian senyum

atas semangat dan bantuan kalian

9. Ibu Esty, adit, Sigit, dan Maria atas kenangan KKP kita

10. Mbak Ana sekeluarga atas pinjaman komputernya

11. Bapak Sastro, Bapak Basuki, mas Imung, dan mas Jono atas informasi dan bantuannya selama penulis di lapangan

12. Keluarga bu Ginem yang telah menyediakan tempat tinggal bagi penulis selama di

lapangan

(23)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ...

DAFTAR ISI...

DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR TABEL...

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 5 1.4 Kegunaan Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pariwisata Dan Industri Pariwisata... 6 2.2. Komunitas Dan Pelapisan Sosial ... 8 2.2.1. Konsep Komunitas ... 8 2.2.2. Pelapisan Sosial ... 10 2.3. Dampak Industri Pariwisata Terhadap Gaya Hidup... 11 2.3.1. Perubahan Sosial ... 11 2.3.2. Kebudayaan ... 13 2.3.3. Gaya Hidup ... 15 2.4. Kerangka Pemikiran ... 18 2.5. Hipotesis Penelitian ... 21 2.6. Definisi Operasional ... 21 2.7. Definisi Konseptual ... 28

III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30 3.2. Metode Penelitian ... 30 3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 31 3.4. Teknik Pengolahan Data ... 32

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

(24)

4.3.3. Mata Pencaharian dan Aktivitas Ekonomi...39 4.4. Kelembagaan, Pelapisan Sosial Dan Aktivitas Sosial Budaya ...42 4.4.1. Kelembagaan ...42 4.4.2. Pelapisan Sosial ...44 4.4.3. Aktivitas Sosial Budaya ...45

V. PERKEMBANGAN INDUSTRI PARIWISATA

5.1. Fasilitas Akomodasi ...48 5.2. Fasilitas Transportasi ...49 5.3. Fasilitas Makan ...51 5.4. Fasilitas Pembelanjaan ...52 5.5. Fasilitas Dokumentasi...53 5.6. Obyek Dan Atraksi Budaya...53 5.7. Aktivitas Rekreasi ...55 5.8. Rencana Pengembangan Pariwisata Di Kelurahan Purbayan ...56 5.9. Perkembangan Jumlah Wisatawan ...57 5.10. Pengrajin Logam Dan Perkembangan Usahanya...59

VI. DAMPAK INDUSTRI PARIWISATA TERHADAP GAYA HIDUP KOMUNITAS PENGRAJIN LOGAM

6.1. Profil Responden Penelitian ...63 6.1.1. Umur Responden Penelitian...63 6.1.2. Jenis kelamin Dan Status Dalam Keluarga ...63 6.1.3. Status Penduduk ...64 6.1.4. Pendidikan ...64 6.1.1. Lapisan Sosial Pengrajin ...65 6.2. Dampak Pariwisata Terhadap Gaya Hidup ...68

6.2.1. Gaya Bangunan Rumah Pengrajin Logam ...69 6.2.2. Gaya Pakaian Pengrajin Logam...75 6.2.3. Gaya Bahasa Pengrajin Logam...80 6.2.4. Pola Makan Keluarga Pengrajin Logam...83 6.2.5. Pola Pemilikan Barang Sekunder Pengrajin Logam...87 6.2.6. Kecenderungan Hubungan Antar Lapisan Sosial Pengrajin...91

VII. PENUTUP

7.1. Kesimpulan ...93 7.2. Saran ...96

(25)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Bagan Kerangka Pemikiran ...20 2. Tamatan Pendidikan Responden Penelitian ...65 3. Jumlah Responden Dengan Bahan Dasar Lantai...73 4. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Pakaian Yang Digunakan ...76

Nomor Lampiran Halaman

(26)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Jumlah Pendapatan Sub Sektor Pa riwisata DIY Tahun 1996 – 2002 ... 2 2. Jumlah Wisatawan Mancanegara Ke Indonesia Tahun 1968 - 2002 ... 3 3. PDRB Kota Yogyakarta Pada Lapangan Usaha Industri Pengolahan Atas

Dasar Harga Yang Berlaku Tahun 1996 - 2002... 3 4. Jumlah Penduduk Kelurahan Purbayan Tahun 1995 - 2004 ...36 5. Komposisi Penduduk Kelurahan Purbayan Menurut Umur Tahun 2004...37 6. Komposisi Penduduk Kelurahan Purbayan Menurut Pendidikan

Tahun 2004 ...38 7. Komposisi Penduduk Kelurahan Purbayan Menurut Agama Tahun 2004 ...38 8. Mobilitas Penduduk Kelurahan Purbayan Tahun 2002 - 2004 ...39 9. Komposisi Penduduk Kelurahan Purbayan Menurut Mata Pencaharian

Tahun 2004 ...39 10. Jumlah Akomodasi DI Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1996 - 2002 ...48 11. Jumlah Restoran Di Kota Yogyakarta Tahun 1998- 2002 ...51 12. Obyek Wisata DI Kelurahan Purbayan...55 13. Jumlah Wisatawan Yang Berkunjung Ke Yogyakarta Tahun 1996 - 2004 ...57 14. Komposisi Responden Berdasarkan Usia Produktif...63 15. Distribusi Frekuensi Menurut Lapisan Sosial Pengrajin Dan Bentuk Rumah Tahun 2004 ...71 16. Distribusi Frekuensi Menurut Lapisan Sosial Pengrajin Dan Gaya Bangunan

Rumah Tahun 2004 ...73 17. Distribusi Frekuensi Menurut Lapisan Sosial Pengrajin Dan Gaya Pakaian

Tahun 2004 ...78 18. Distribusi Frekuensi Menurut Lapisan Sosial Pengrajin Dan Gaya Bahasa

Tahun 2004 ...82 19. Distribusi Frekuensi Menurut Lapisan Sosial Pengrajin Dan Pola Makan

Tahun 2004 ...86 20. Distribusi Frekuensi Menurut Lapisan Sosial Pengrajin Dan Pola Pemilikan

(27)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tujuan pembangunan yang ingin dicapai bangsa Indonesia adalah

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu jalan untuk mencapai

tujuan tersebut adalah dengan pengembangan masyarakat. Dalam

pengembangan masyarakat, selain bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup

masyarakat pedesaan pelaksanaannya menekankan pada proses pemandirian

dan partisipatif masyarakat.

Industri pariwisata merupakan salah satu contoh program pembangunan. Dengan adanya pengembangan industri pariwisata, potensi alam dan seni budaya yang cukup

melimpah pada suatu daerah dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Dengan pengembangan industri pariwisata, maka dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan dan pengelolaan industri pariwisata. Pelibatan masyarakat sebagai pelaku industri pariwisata memberikan kesempatan

pada masyarakat untuk berusaha dan meningkatkan taraf hidupnya. Dengan demikian,

dapat dikatakan pengembangan industri pariwisata selain dapat mengembangkan

daerah juga dapat memperbaiki perekonomian rumah tangga.

Suwantoro (1997), mengatakan alasan kenapa sektor pariwisata dipacu untuk dijadikan salah satu komoditi andalan dalam kelangsungan pembangunan Indonesia antara lain adalah:

1. Pola perjalanan wisata di dunia yang terus menerus meningkat dari tahun ke tahun

(28)

3. Meningkatkan kegiatan ekonomi daerah dan pengaruh ganda dari pengembangan pariwisata tampak lebih nyata

4. Produksi pariwisata tidak mengenal proteksi atau qouta

5. Potensi pariwisata Indonesia yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia

6. Pariwisata sudah menjadi kebutuhan hidup manusia.

Hartono (1974) dalam Murniatmo (1994), mengatakan bahwa peranan pariwisata dalam pembangunan negara pada garis besarnya berintikan tiga segi, yaitu segi ekonomi, segi sosial, dan segi kebudayaan. Keuntungan nyata dari pengembangan industri pariwisata adalah dalam bidang ekonomi. Dengan pengembangan industri pariwisata maka akan dapat meningkatkan devisa negara, terciptanya lapangan kerja sehingga dapat menambah atau meningkatkan penghasilan masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat tersebut akhirnya akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan pembangunan nasional dan pengembangan industri pariwisata yang diinginkan oleh pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat pada jumlah pendapatan yang berasal dari sub sektor pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta pada Tabel 1. Dalam bidang sosial, selain menciptakan lapangan kerja, industri pariwisata juga dapat menambah pengetahuan m asyarakat terhadap dunia luar sebagai akibat adanya interaksi antara masyarakat dengan wisatawan. Keuntungan lain adalah memperkenalkan budaya kita kepada wilayah lain, sehingga dapat dikatakan bahwa industri pariwisata merupakan duta budaya.

Tabel. 1. J umlah Pendapatan Sub Sektor Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun

1996 – 2002

(29)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 32.776.282,9 22.696.380,1 16.261.468,8 20.214.132,8 23.671.736,9 22.665.082,9 27.212.192.1

Sumber: Statistika Pariwisata DIY tahun 1996 - 2002

Selain itu, tujuan dari adanya pengembangan industri pariwisata adalah agar dapat mengundang datangnya wisatawan mancanegara dan wisatawan domestik lebih banyak lagi. Perkembangan industri pariwisata di Indonesia dapat dilihat dari jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia dari tahun ke tahun yang terus meningkat seperti dalam Tabel 2. Hal tersebut mampu membuka kemungkinan orang untuk saling berinteraksi, tukar menukar pengalaman, pemikiran dan pengetahuan. Dan dengan terbukanya sejumlah arena sosial tadi tidak dapat dihindari lagi menyebabkan terjadinya perubahan (Murniatmo, 1994).

Tabel 2. Jumlah Wisatawan Mancanegara Ke Indonesia Tahun 1968 - 2003

No. Tahun Wisatawan

Mancanegara Tingkat Pertumbuha n (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 1968 1978 1989 1997 1999 2000 2001 2003 86.100 486.600 1.626.000 5.185.243 4.606.416 5.064.200 5.153.600 4.467.021 465 234 218 -11 9,9 1,8 -1,3

Sumber: http://www.bps.go.id/sector/tourism/table15.shtml

(30)
[image:30.612.120.518.172.322.2]

Dengan demikian, perkembangan usaha para pengrajin perak tersebut juga akan terpengaruh dengan adanya perkembangan jumlah wisatawan. Hal itu berpengaruh langsung terhadap pendapatan dari para pengrajin tersebut yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. PDRB Kota Yogyakarta Pada Lapangan Usaha Industri Pengolahan Atas

Dasar Harga Yang Berlaku Tahun 1996 - 2002

No. Tahun PDRB Tingkat Perkembangan

PDRB 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 195.364 215.476 281.770 345.320 390.069 451.711 508.006 11,42 11,07 11,26 12,04 12,22 12,40 12,14

Sumber: PDRB Kota Yogyakarta Menurut Lapangan Usaha tahun 1996 - 2002

Dampak dari perkembangan jumlah wisatawan tersebut terlihat pada pola

konsumsi pengrajin. Pelapisan sosial dala m pengrajin juga mempengaruhi pendapatan dan pola konsumsi yang tercermin dari gaya hidup mereka. Perubahan gaya hidup merupakan dampak nyata dari adanya industri pariwisata. Perubahan gaya hidup

tersebut terjadi dalam hal gaya rumah, gaya bahasa, gaya pakaian, pola makan

keluarga, dan pola pemilikan barang sekunder pada pengrajin di Kota Gede. Gaya

hidup mereka menjadi lebih modern karena tercampur oleh lingkungan luar masyarakat Kota Gede. Kedatangan wisatawan menyebabkan perubahan cara

berpakaian masyara katnya1. Dengan perkembangan pariwisata di Yogyakarta menurut

Murniatmo (1994) menjelaskan bahwa para pengusaha penginapan pada umumnya

menggunakan bentuk bangunan yang mengacu pada bentuk-bentuk bangunan yang berunsur budaya luar, untuk difungsikan sebagai tempat penginapan. Perubahan tersebut terjadi secara berbeda-beda dalam tiap lapisan masyarakat. Demikian juga

yang terjadi dalam masyarakat lain, mereka membangun rumah-rumah dengan gaya

1

(31)

yang lebih modern untuk mengikuti perkembangan. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji bagaimana pola gaya hidup komunitas pengrajin logam Kota Gede seiring dengan perkembangan industri pariwisata Kota Gede sendiri.

1.1. Perumusan Masalah

Berdasar pada uraian tersebut, maka permasalahan-permasalahan yang

ingin penulis angkat adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan industri pariwisata kerajinan perhiasan di

Kelurahan Purbayan Kota Gede?

2. Bagaimana gaya hidup komunitas pengrajin perhiasan sebagai akibat dari

perkembangan industri pariwisata di Kelurahan Purbayan Kota Gede?

1.2. Tujuan Penelitian

Dengan adanya uraian tentang pengembangan industri pariwisata dan

perumusan masalah yang ingin dibahas, maka penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui:

1. Perkembangan industri pariwisata kerajinan perhiasan di Kelurahan

Purbayan Kota Gede

2. Gaya hidup komunitas pengrajin perhiasan sebagai akibat dari

perkembangan industri pariwisata di Kelurahan Purbayan Kota Gede

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan akan dapat menjadi sumbangan

pengetahuan bagi pihak lain dalam usaha untuk mewujudkan kesejahteraan

masyarakat dan pihak yang peduli terhadap permasalahan yang ditimbulkan oleh

suatu program pembangunan dan pengembangan masyarakat. Selain itu,

(32)

yang berkaitan dengan masalah dampak industri pariwisata terhadap

(33)

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pariwisata Dan Industri Pariwisata

Pariwisata berasal dari kata pari yang berarti berkali-kali dan wisata yang

berarti berjalan, maka pariwisata dapat diartikan sebagai perjalanan yang

berputar-putar atau dilakukan berkali-kali dari satu tempat ketempat lain. Suwantoro (1997)

mengatakan bahwa pariwisata pada hakikatnya adalah suatu proses kepergian sementara dari seseorang atau lebih menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya.

Sedang perjalanan wisata, yaitu suatu perpindahan tempat tinggal sementara

seseorang di luar tempat tinggalnya karena suatu alasan dan bukan untuk melakukan

kegiatan yang menghasilkan upah.

Pariwisata modern dikatakan sebagai semua perjalanan termasuk ke dalam

perjalanan wisata. Hal tersebut dijelaskan bahwa setelah selesai melakukan perjalanan

bisnis, orang akan cenderung melihat atau mengunjungi obyek wisata yang ada di tempat di mana ia melakukan perjalanan bisnis tersebut. Sehingga timbul istilah

business tourist”, yaitu orang-orang yang melakukan perjalanan untuk keperluan dinas

atau bisnis, tetapi setelah tujuannya selesai, sebagian besar waktunya digunakan

untuk melakukan perjalanan wisata di tempat yang dikunjunginya (Yoeti, 1994).

Yoeti (1994) menyimpulkan bahwa dalam pengertian kepariwisataan terdapat

empat faktor penting yang terdapat dalam batasan definisi pariwisata yaitu; perjalanan

yang dilakukan itu hanya untuk sementara waktu, dilakukan dari satu tempat ke tempat

lain, terkait dengan pertamasyaan atau rekreasi, dan orang yang melakukan perjalanan wisata tersebut tidak untuk mencari nafkah di tempat yang dikunjunginya

dan semata-mata sebagai konsumen di tempat tersebut.

(34)

sebagai kumpulan dari bermacam-macam perusahaan yang secara bersama menghasilkan barang-barang atau jasa-jasa yang dibutuhkan wisatawan pada khususnya dan traveler pada umumnya, selama dalam perjalanannya. Kegiatan

pariwisata banyak sekali seginya di mana semua kegiatan itu biasa disebut dengan industri pariwisata (Suwantoro, 1997). Kegiatan industri pariwisata di dalamnya

meliputi kegiatan perhotelan, restoran, toko cenderamata, transportasi, biro jasa

perjalanan, tempat-tempat hiburan, obyek wisata, atraksi budaya, dan lain-lain. Hal itu

dapat disebut sebagai komponen-komponen dalam industri pariwisata. Yoeti (1985) dalam Murniatmo (1994), menyatakan bahwa daerah tujuan wisata harus didukung

oleh komponen yang merupakan potensi industri pariwisata, yaitu

a. Fasilitas transportasi yang akan membawa wisatawan dari dan ke daerah tujuan wisata yang dikunjunginya.

b. Fasilitas akomodasi yang merupakan tempat tinggal sementara bagi wisatawan

selama di daerah tersebut.

c. Fasilitas catering service yang dapat memberi pelayanan makanan dan minuman sesuai dengan selera wisatawan.

d. Objek dan atraksi wisata yang ada di daerah tujuan yang akan dikunjungi oleh

wisatawan

e. Aktivitas rekreasi yang sekiranya dapat dilakukan di sekitar tempat yang dikunjungi f. Fasilitas pembelanjaan dimana wisatawan dapat membeli barang-barang souvenir.

Dapat berupa pusat-pusat pembelanjaan

g.

Tempat atau toko untuk membeli dan mencetak film hasil pemotretan.

Berbagai obyek wisata yang dapat ditawarkan, terutama kepada

wisatawan manca negara menurut Yoeti (1985) dalam Murniatmo (1994) adalah:

1. Benda-benda yang tersedia di alam seperti keadaan iklim, bentuk tanah dan

(35)

2. Hasil ciptaan manusia, seperti benda-benda bersejarah dan sisa-sisa

peradaban manusia masa lampau, museum, art gallery, kerajinan tangan,

perpustakaan dan lain-lain

3. Tata cara hidup masyarakat, seperti: adat istiadat, kebiasaan hidup suatu

contoh yang nyata dari kehidupan masyarakat di daerah-daerah di Indonesia,

seperti ngaben, sekaten dan lain-lain.

Industri pariwisata sangat berhubungan erat dengan wisatawan. Jumlah

wisatawan yang datang ke suatu daerah wisata menunjukkan keberhasilan dari industri pariwisata. Pengunjung adalah setiap orang yang datang ke suatu negara atau tempat

tinggal lain dan biasanya dengan maksud apapun kecuali untuk melakukan pekerjaan

yang menerima upah. Dalam bidang industri pariwisata terdapat dua jenis pengunjung, yaitu wisatawan dan pelancong. Suwantoro (1997), mengatakan bahwa wisatawan adalah seseorang atau sekelompok orang yang melakukan suatu perjalanan wisata

dan perjalanan itu dilakukan sekurang-kurangnya selama 24 jam tinggal di daerah atau

negara yang dikunjungi tersebut. Sedangkan apabila kurang dari waktu tersebut maka disebut sebagai pelancong.

2.2. Komunitas dan Pelapisan Sosial

2.2.1. Konsep Komunitas

Soekanto (1990), mengatakan bahwa masyarakat adalah orang yang hidup

bersama yang menghasilkan kebudayaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan masyarakat berkaitan erat dengan

kebudayaan.

Koentjaraningrat dalam Soekanto (1990) mengatakan bahwa masyarakat

sebagai suatu kesatuan hidup ma nusia yang menempuh suatu wilayah yang nyata dan

berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat serta terikat oleh rasa identitas

(36)

sosial yang tertentu. Dalam masyarakat setempat ditandai dengan adanya anggota-anggota dari suatu kelompok sosial yang hidup bersama sehingga anggota-anggota-anggota-anggota kelompok sosial itu merasakan bahwa di dalam kelompok sosialnya dapat memenuhi

kebutuhan-kebutuhan hidup mereka yang utama. Terdapat ikatan yang kuat dan solidaritas yang tinggi di antara sesama anggota dari masyarakat setempat tersebut.

Dalam masyarakat tersebut terdapat norma -norma yang mengatur kehidupan sosial

mereka, adat-istiadat, pelapisan sosial sehingga membentuk kelompok-kelompok

sosial, dan aspek kehidupan lainnya. Dalam suatu masyarakat terdapat komunitas-komunitas yang berdasar pada kesamaan yang lebih spesifik dibanding dengan

masyarakat setempat lainnya.

Iskandar (2003), menyatakan bahwa komunitas dapat diartikan sebagai satuan kelompok orang-orang yang memiliki hubungan dan interaksi sosial yang relatif intensif dikarenakan adanya kesamaan ciri dan atau kepentingan bersama2. Komunitas

merupakan penduduk lokal yang teridentifikasi dari masyarakat luas melalui intensitas

kesamaan, perhatian, atau kepedulian atau melalui peningkatan interaksi. Selanjutnya, Iskandar membagi komunitas menjadi beberapa jenis, yaitu:

a. Komunitas primodial yang terikat oleh kesamaan ciri primodial seperti suku, agama,

dan daerah

b. Komunitas okupasional yang terikat oleh kesamaan profesi atau pekerjaan c. Komunitas spasial yang terikat oleh kesamaan tempat tinggal

Dewey menemukan bahwa pembentukan komunitas haruslah secara suka rela dan berlandaskan pada nilai-nilai bersama, dan bukannya“ dipaksakan secara

mekanis”. Dewey menganggap bahwa kekuatan komunitas pada tingkat yang paling dasar terletak pada hubungan interpersonal3.

2

Info Comdew Vol 2, Juni 2003

3

(37)

2.2.2. Pelapisan Sosial

Istilah kelas pertama kali dikenalkan oleh pengusaha Romawi Kuno yang digunakan dalam konteks penggolongan terhadap para pembayar pajak. Kelas yang

diajukan dalam penggolongan tersebut terbagi menjadi dua, yaitu golongan assidui

atau golongan kaya dan proletar atau golongan miskin (Dahrendorf, 1959 dalam

Amaluddin, 1987). Perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam masyarakat

menyebabkan perbedaan kedudukan antara anggota masyarakat tersebut.

Penghargaan yang lebih tinggi dalam masyarakat akan menimbulkan kedudukan yang tinggi pula terhadapnya. Pe mbedaan posisi tersebut merupakan gejala dari adanya

lapisan masyarakat.

Sorokin dalam Soekanto (1990) menyatakan lapisan masyarakat merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau hierarkis. Bentuk dari kelas-kelas tersebut adalah kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas

yang lebih rendah. Masyarakat yang berada pada lapisan atas biasanya memiliki

kedudukan yang lebih tinggi dibanding masyarakat yang berada pada lapisan di bawahnya. Dasar dari pelapisan sosial tersebut adalah perbedaan kekayaan,

kekuasaan, kehormatan dan ilmu pengetahuan (Soekanto, 1990). Di dalam

masyarakat tradisional Jawa berlaku anggapan atau gambaran bahwa ada pembedaan

atas pelbagai golongan sosial menurut keturunan, pangkat atau jabatan kekayaan, sering pula juga dirumuskan sebagai perbedaan status, kekuasaan dan kekayaan

(Weber dalam Kartodirdjo, dkk. 1987).

Sistem pelapisan sosial tersebut terjadi dengan sendirinya ataupun

disengaja dalam masyarakat. Pelapisan sosial memiliki dua sifat yang berbeda

dalam setiap masyarakat yaitu tertutup dan terbuka. Pada sistem lapisan sosial

tertutup, kemungkinan pindahnya anggota dalam satu lapisan ke lapisan lain.

Sedang dalam lapisan sosial terbuka, setiap angota masyarakat memiliki

kesempatan untuk berusaha dengan kemampuan sendiri untuk pindah dari

(38)

Dalam konsepsi kaum Marxis klasik, Laeyendecker (1983) dalam Amaluddin (1987) membagi masyarakat kapitalis menjadi dua kelas dengan menyilangkan tiga macam pembagian dikhotomi, antara lain:

1. Mereka yang memiliki alat-alat produksi dan mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi

2. Mereka yang menguasai nilai lebih secara langsung dan mereka yang tidak

memiliki nilai lebih secara langsung

3. Kaum miskin murni yaitu kaum buruh dan kaum miskin yang menjadi pengusaha kecil tanpa tenaga kerja upahan

Status pengusaha industri kecil berdasarkan skala usaha dan permodalannya

menurut Sumarti (1990) dibagi menjadi empat tipe, antara lain:

1. Tipe I, pengusaha industri rumahtangga/kerajinan rakyat, yang memiliki modal kurang dari satu juta. Kelompok ini disebut pelapisan paling bawah

2. Tipe II, pengusaha industri rumahtangga/kerajinan rakyat yang memiliki modal

antara 1-10 juta. Termasuk kedalam pelapisan bawah (pengrajin)

3. Tipe III, pengusaha industri kecil, yang memiliki modal antara 1-10 juta dan

termasuk ke dalam pelapisan menengah (pengusaha menengah)

4. Tipe IV, pengusaha industri kecil yang memiliki modal lebih dari 10 juta dan

termasuk ke dalam pelapisan atas atau pengusaha kaya.

Pembagian tersebut hampir serupa dengan batasan yang diberikan oleh BPS4

mengenai skala usaha berdasarkan kriteria jumlah tenaga kerja, yaitu: 1. Industri dan dagang Mikro (ID-Mikro) : 1-4 orang

2. Industri dan dagang Kecil (ID-Kecil) : 5-9 orang

3. Industri dan dagang Menengah (ID-Menengah) : 20-99 orang

4. Industri dan dagang Besar (ID-Besar) : 100 orang ke atas

4

(39)

2.3. Dampak Industri Pariwisata Terhadap Gaya Hidup

2.3.1. Perubahan Sosial

Manusia adalah makhluk yang hidup bersama secara kolektif atau berkelompok

yang di dalamnya terjadi pergaulan dan interaksi satu sama lain. Dari interaksi yang terjadi antar sesama masyarakat tersebut akan dapat merubah perilaku masyarakat.

Perubahan perilaku tersebut muncul sebagai akibat dari interaksi sosial budaya antara

kedua belah pihak.

Soemardjan dalam Soekanto (1990) merumuskan perubahan sosial sebagai segala perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu

masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai,

sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Definisi

tersebut ditekankan pada perubahan dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia, dan perubahan-perubahan yang mempengaruhi

struktur lainnya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat dapat berupa

perubahan pada nilai sosial, norma sosial, pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain lain. Pola-pola perilaku kebudayaan melatar-belakangi masing-masing

warga masyarakat untuk memberikan nilai-nilai yang berbeda tentang kebiasaan

mereka.

Dimensi perubahan sosial meliputi dimensi struktural yang menyangkut

hubungan antar individu dan pola hubungan dan dimensi kultural yang menyangkut

nilai-nilai dan norma-norma sosial (Mac. Iver dalam Soekanto. 1990). Perubahan

dalam kebudayan mencakup semua bagian yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya, bahkan perubahan-perubahan dalam bentuk

aturan-aturan organisasi sosial. Dalam keadaan hidup bers ama itu manusia juga mengadakan

produksi dan tukar menukar barang dan jasa yang dapat berlangsung dengan tunai,

(40)

Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sosial adalah faktor internal dan faktor eksternal.

1. Faktor yang bersumber dari dalam masyarakat itu sendiri

2. Faktor yang berasal dari luar masyarakat

Perubahan sosial dapat terjadi dikarenakan adanya dampak dari suatu kegiatan

atau program pembangunan. Travis (1984) dalam Pitana dan Gayatri (2005)

mengelompokkan dampak dari pengembangan pariwisata menjadi dampak positif dan

dampak negarif. Dampak positif diantaranya adalah pembangunan budaya, pertukaran sosial, peningkatan fasilitas sosial, pendidikan dan perubahan sosial. Sedang dampak

negatif adalah kehancuran budaya lokal, ketidakstabilan sosial dan komersialisasi

hubungan antar manusia.

Dampak merupakan akibat dari keluaran atau pengaruh dari output suatu kegiatan atau program pembangunan. Dale (1998) mendefinisikan dampak atau

Impacts sebagai:

These are the longer-term, largely indirect consequences of the programme or project for the intended beneficiaries and any other people. The main impacts are, of course, expected to be positive. however, the may be negative as well, on beneficiary groups or other.

Salah satu dampak atau perubahan sosial budaya dari pengembangan

pariwisata adalah dampak terhadap gaya hidup tradisional dan pola konsumsi masyarakatnya (Figuerola dalam Pearce, 1989 dalam Pitana dan Gayatri, 2005).

2.3.2. Kebudayaan

Kata kebudayaan berasal dari kata buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal (Soekanto, 1990). Kebudayaan memiliki

arti sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal atau budi. Tylor (1981) dalam Soekanto (1990) mendefinisikan kebudayaan sebagai kompleks yang mencakup

(41)

kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Subyek-subyek kebudayaan dalam suatu masyarakat berupa rumah, sandang, jembatan, alat-alat komunikasi dan sebagainya.

Koentjaraningrat (1990) mengatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan

masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

Kebudayaan setiap masyarakat memiliki unsur-unsur, baik unsur besar maupun

unsur kecil. Unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu dapat dijumpai dalam setiap kebudayaan di masyarakat lain. Kluckhohn (1959) dalam Soekanto (1990) menyebutkan terdapat tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural

universals, yaitu:

1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transpor dan sebagainya)

2. Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya)

3. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, dan

sistem perkawinan)

4. Bahasa (lisan dan tertulis)

5. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, seni kerajinan dan sebagainya)

6. Sistem pengetahuan

7. Religi (sistem kepercayaan)

Koentjaraningrat (1979) mengatakan bahwa unsur universal kebudayaan

tersebut memiliki tiga wujud, yaitu:

1) Wujud idiil (pola bersikap) yaitu kompleks, gagasan, nilai-nilai

2) Wujud aktifitas (pola kelakuan) yaitu suatu kompleks tindakan berpola (terorganisai

terstruktur) dari manusia dalam masyarakat

(42)

Soekanto (1990), menyatakan terdapat kebudayaan khusus kelas sosial. Masing-masing kelas sosial memiliki kebudayaan masing-masing, yang menghasilkan kepribadian yang tersendiri pula pada setiap diri anggota-anggotanya. Dari cara

berpakaian, etiket dalam pergaulan, cara mengisi waktu senggang, bahasa yang dipergunakan dan lain sebagainya dapat ditarik kesimpulan mengenai kepribadian

masing-masing yang berbeda-beda dari tiap kelas atau pelapisan sosial.

2.3.3. Gaya Hidup

Dalam kehidupan bermasyarakat, gaya hidup masyarakat membantu

mendefinisikan sikap, nilai-nilai dan menunjukkan kekayaan serta posisi sosial

seseorang. Perbedaan lapisan tersebut menuntut adanya suatu sistem simbolisme

yang berfungsi sebagai alat penunjuk mengenai status seseorang. Gaya hidup menjadi penunjuk adanya perbedaan lapisan tersebut. Lapisan sosial yang terdapat dalam

masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan berdasar gaya hidup yang

mereka miliki, sehingga jelas membedakan antara lapisan atas dengan lapisan bawah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kartodirdjo (1987), bahwa gaya hidup merupakan fungsi dari stratifikasi sosial, yaitu sebagai garis pemisah atau petunjuk perbedaan

antar golongan, sehingga faktor kekayaan, status, dan kekuasaan turut mempengaruhi

struktur gaya hidup.

Kartodirdjo (1987), menyatakan bahwa gaya hidup merupakan suatu totalitas

dari berbagai tatacara, adat kebiasaan, struktur kelakuan, kompleks lambang-lambang,

sikap hidup serta mentalitas dari suatu golongan sosial yang secara menyeluruh

mempengaruhi kehidupannya sehari-hari. Pada dasarnya, gaya hidup menunjukkan suatu yang bersifat eksklusive karena fungsinya sebagai pembeda lapisan sosial. Hal

tersebut senada dengan yang dikatakan Sobel (1981) dalam Chaney (1996) bahwa

gaya hidup adalah setiap cara kehidupan yang khas dan karena itu dapat dikenali.

(43)

akan terlihat dari lapisan sosial mana dia berasal. Amaluddin (1987) mengatakan bahwa gaya hidup melambangkan prestise sosial seseorang. Oleh karena itu, setiap golongan sosial akan memperagakan haya gidup spesifik sesuai dengan prestise yang

mereka miliki sehingga perbedaan prestise antar golongan sosial akan menimbulkan perbedaan gaya hidup.

Seiring dengan definisi diatas, Chaney (1996) menyatakan bahwa gaya hidup

merupakan bentuk identitas kolektif yang berkembang seirama dengan waktu. Walters

(1994) dalam Chaney (1996) mengatakan bahwa suatu gaya hidup didefinisikan melalui tiga pengaruh yang saling berkaitan, yaitu kondisi, pilihan, dan kognisi.

Perbedaan gaya hidup antar lapisan sosial menurut Amaluddin (1987) terwujud

dalam berbagai bentuk antara lain: gaya bangunan rumah, gaya bahasa, dan gaya

pakaian seseorang. Murniatmo (1994), mengatakan bahwa

Sub unsur teknologi yang lain yang banyak mengalami perubahan adalah bangunan-bangunan yang termasuk bangunan tempat tinggal. Seperti yang diketahui bersama bahwa bangunan tradisional yang menunjukkan budaya Jawa (Yogyakarta) adalah bangunan yang atapnya berbentuk joglo, limasan, kampung. .... Bangunan dengan bentuk joglo dan limasan itu merupakan bentuk bangunan tradisional orang Jawa yang mempunyai ukuran besar dan megah. Bentuk bangunan yang sederhana adalah bentuk kampung dan panggangpe

Gaya bangunan rumah tinggal dalam tradisi Jawa menurut Kodiran (1971)

dalam Amaluddin (1987) dibedakan berdasarkan bentuk bangunan atapnya. Tipe yang

pertama adalah tipe limasan, tipe rumah yang bangunan atapnya terdiri dari enam bidang antara lain bidang muka atas, bidang muka bawah, bidang belakang atas,

bidang belakang bawah, bidang samping kanan, dan bidang samping kiri. Tipe kedua adalah tipe jawa atau serontong, yaitu rumah yang bentuk atapnya terdiri dari empat

bidang, yaitu bidang muka atas, muka bawah, belakang atas, dan belakang bawah. Tipe terakhir adalah tipe klabangnyander di mana tipe rumah yang memiliki bangunan

atap yang terdiri dari dua bidang, samping kanan dan samping kiri.

Bentuk gaya hidup selanjutnya adalah gaya bahasa. Perbedaan bahasa yang

(44)

(Koentjaraningrat, 1990). Perbedaan bahasa menurut lapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan disebut tingkat sosial bahasa. Menurut Koentjaraningrat (1984) dalam Amaluddin (1987) gaya bahasa Jawa terdiri dari tiga gaya utama, yaitu bahasa

jawa ngoko, madya, dan kromo atau krami.

Hal tersebut serupa dengan yang dikatakan oleh Selo Soemardjan (1986)

bahwa tata hubungan yang berstratifikasi antara para anggota masyarakat Jawa di

Yogyakarta di masa dulu dan sekarang, tercermin antara lain dalam penggunaan

bahasa. Bahasa ini sesungguhnya terdiri dari tiga sub-bahasa, yaitu krama hinggil

(untuk status yang lebih tinggi), krama madya (untuk orang-orang yang sederajat), dan

ngoko (untuk status yang lebih rendah). Sistem tiga sub-bahasa ini berfungsi untuk

menunjukkan perbedaan-perbedaan halus dalam tingkat penghormatan dan

penghargaan yang ditunjukkan untuk orang lain. Seseorang dengan status lebih tinggi akan menggunakan bahasa ngoko, sedang seseorang dengan status yang lebih

rendah akan berbahasa kromo hinggil.

Sedang gaya pakaian menunjukkan pada variasi model pakaian yang biasa digunakan. Murniatmo (1994), mengatakan bahwa dalam kebudayaan manusia, teknologi merupakan salah satu diantara ketujuh unsur kebudayaan pakaian atau

busana. Salah satu ciri kebudayaan yang menunjukkan sifat kedaerahan adalah

pakaian dengan kelengkapannya. Salah satu contohnya adalah kebaya lurik dan kain batik yang merupakan pakaian wanita khas Jawa, sedang surjan lurik dan kain dengan

blangkon adalah ciri khas laki-laki Jawa. Chaney (1996) menyatakan bahwa

fashion (mode) adalah suatu topik yang layak menjadi perhatian kita karena jelas ia merupakan suatu cara aksi yang dirangsang oleh perkembangan industri konsumen. Dinamika perubahan dalam cara-cara

fashion yang berbeda begitu jelas mencerminkan proses pembentukan gaya hidup yang lebih luas. .... untuk menegaskan identitas sosial.

Chaney (1996) juga menyebutkan bahwa fashion adalah suatu level

representasi yang tidak menunjuk di luar wacananya sendiri. Amaluddin (1987)

(45)

2.4. Kerangka Pemikiran

Industri pariwisata yang terdapat di Kota Gede berupa pariwisata benda-benda

hasil ciptaan manusia. Pariwisata di Kota Gede ini menjual hasil-hasil kerajinan

manusia seperti perhiasan berupa cincin, gelang, kalung, anting dari perak, perunggu, emas, atau kerajinan lain yang berasal dari bahan yang sama tetapi berupa miniatur

dari benda-benda khas Yogyakarta seperti andong, sepeda, candi-candi dan

sebagainya. Pelaku industri pariwisata di Kota Gede ini terdiri dari masyarakat lokal

dan wisatawan. Perkembangan industri pariwisata tersebut dipengaruhi oleh ketersediaan komponen pariwisata yang terdapat di Kota Gede tersebut. Komponen-komponen pariwisata yang mempengaruhi perkembangan pariwisata terdiri dari tempat

menginap, alat transportasi, tempat makan, tempat belanja, fasilitas dokumentasi,

tempat wisata dan obyek wisata.

Komunitas pengrajin Kota Gede merupakan masyarakat yang terdiri dari

masyarakat asli dan masyarakat pendatang. Komunitas ini terbagi menjadi tiga

pelapisan sosial, yaitu lapisan atas, menengah, dan bawah. Interaksi pokok antar pelapisan terjadi dalam hal produksi kerajinan logam. Pengrajin pemilik modal dan

teknologi menggunakan pengrajin lapisan bawah dan menengah sebagai tenaga kerja

dalam proses produksi perhiasan tersebut. Perhiasan yang dihasilkan oleh pengrajin perhiasan dijual atau atas pesanan pedagang perhiasan atau wisatawan.

Proses perekonomian tersebut membawa perubahan terhadap pendapatan

komunitas pengrajin Kota Gede pada tiap pelapisan sosial. Perubahan pendapatan

yang terjadi di setiap pelapisan tersebut kemudian menyebabkan perubahan pola

konsumsi dari tiap pelapisan yang juga berbeda. Dengan sendirinya, perubahan pendapatan tersebut mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga pengrajin yang

terealisasi dalam gaya hidup setiap lapisan sosial pengrajin Kota Gede baik dalam hal

gaya bangunan rumah, gaya pakaian, gaya bahasa, pola makan maupun pola

(46)

dapat dikatakan bahwa gaya hidup komunitas pengrajin dipengaruhi oleh perbedaan pada setiap pelapisan sosial dan karakteristik keluarga pengrajin tersebut. Proses-proses yang saling berkaitan tersebut dijadikan kerangka berpikir dalam penelitian ini,

(47)
[image:47.612.148.452.129.543.2]

Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran

Keterangan:

: sebab akibat

: saling mempengaruhi

Komunitas pengrajin

Lapisan atas

Lapisan menengah

Lapisan bawah Industri Pariwisata

berkembang

Komponen pariwisata Jumlah

wisatawan

Gaya

Gaya rumah

Gaya bahasa

Gaya pakaian

Karakteristik Keluarga:

• Tingkat Pendidikan

• Status Kependudukan Pola Makan

(48)

2.5. Hipotesis Penelitian

Proses-proses sosial yang terjadi dalam komunitas pengrajin logam menghasilkan beberapa hipotesis yang menjadi pokok bahasan penelitian ini, antara

lain:

1. Terdapat hubungan antara pelapisan sosial dengan gaya hidup

a. Terdapat hubungan antara pelapisan sosial dengan gaya bangunan

rumah

b. Terdapat hubungan antara pelapisan sosial dengan gaya bahasa antar

lapisan

c. Terdapat hubungan antara pelapisan sosial dengan gaya pakaian

d. Terdapat hubungan antara pelapisan sosial dengan pola konsumsi

2. Terdapat hubungan antara pendidikan dengan gaya hidup

a. Terdapat hubungan antara pendidikan dengan gaya bangunan rumah

b. Terdapat hubungan antara pendidikan dengan gaya bahasa antar lapisan

c. Terdapat hubungan antara pendidikan dengan gaya pakaian

d. Terdapat hubungan antara pendidikan dengan pola konsumsi

3. Terdapat hubungan antara status penduduk dengan gaya hidup

a. Terdapat hubungan antara status penduduk dengan gaya bangunan

rumah

b. Terdapat hubungan antara status penduduk dengan gaya bahasa antar

lapisan

c. Terdapat hubungan antara status penduduk dengan gaya pakaian

d. Terdapat hubungan antara status penduduk dengan pola konsumsi

2.6. Definisi Operasional

1. Pelapisan sosial: tingkatan yang terdapat dalam suatu komunitas berdasarkan

(49)

• Lapisan sosial atas: pengrajin dengan modal 10 - 50 juta dengan tenaga kerja

antara 5 - 19 orang dan memasarkan barang di galeri atau toko milik sendiri

• Lapisan menengah: pengrajin dengan modal antara 1 - 50 juta dengan tenaga

kerja antara 1 - 4 orang dan memasarkan barang ke luar daerah dengan bekerjasama dengan pihak lain

• Lapisan bawah: pengrajin dengan modal kurang dari 10 juta dengan tenaga

kurang dari empat orang dan menerima pesanan dari lapisan menengah dan

atas

2. Status penduduk: keaslian tempat tinggal atau asal responden. Status penduduk

diukur dari:

• Penduduk asli : penduduk yang tinggal di daerah tersebut sejak lahir atau lebih

dari 10 tahun

• Pendatang : penduduk yang datang dari luar dan tinggal di tempat tersebut

kurang dari 10 tahun

3. Pendidikan: lulusan atau tamatan pendidikan tertinggi yang dimiliki oleh orangtua dan anak. Tingkat pendidikan diukur berdasar pada tamatan terakhir pendidikan

• SD : tamat atau tidak tamat SD

• SLTP : tamat SLTP

• SLTA : tamat SLTA

• Perguruan tinggi : tamat perguruan tinggi

• Pendidikan non formal: kursus-kursus yang pernah diikuti

4. Gaya pakaian: cara pakaian dan variasi model yang dikenakan seseorang sehari-hari yang menunjukkan prestise mereka. Gaya pakaian diukur berdasarkan pada

kriteria:

Intensitas ganti pakaian

• Jarang: intensitas ganti pakaian yang dilakukan oleh anggota keluarga satu kali

(50)

• Cukup: intensitas ganti pakaian yang dilakukan oleh anggota keluarga dua kali

sehari. Dengan variasi nilai = 2

• Sering: intensitas ganti pakaian yang dilakukan oleh anggota keluarga sesuai

dengan aktivitas. Dengan variasi nilai = 3 Variasi pakaian:

• Kurang bervariasi: memiliki satu jenis pakaian (pakaian rumah dan pakaian

pergi tidak dibedakan). Den gan variasi nilai = 1

• Cukup bervariasi : memiliki dua jenis pakaian (pakaian pergi dan pakaian

rumah) dengan variasi nilai = 2

• Bervariasi : memiliki beberapa jenis pakaian (membedakan jenis pakaian dan

acara) Dengan variasi nilai = 3

Anggaran biaya:

• Tidak : rumah tangga yang tidak memiliki anggaran biaya khusus untuk

membeli pakaian. Dengan variasi nilai = 1

• Iya : rumah tangga yang memiliki anggaran biaya khusus untuk membeli

pakaian. Dengan variasi nilai = 2

Jumlah anggaran biaya:

• Kurang : rumah tangga dengan anggaran biaya untuk setiap kali pembelian

pakaian kurang dari Rp. 100.000. Dengan variasi nilai = 1

• Cukup : rumah tangga dengan anggaran biaya untuk setiap pembelian pakaian

antara Rp. 100.000 – Rp. 500.000. Dengan variasi nilai = 2

• Lebih : rumah tangga dengan anggaran biaya untuk setiap kali pembelian

pakian lebih dari Rp. 500.000. Dengan variasi nilai = 3

Tempat belanja:

• Kurang : rumah tangga yang membeli pakaian keluarga di pedagang keliling

(51)

• Cukup : rumah tangga yang membeli pakaian keluarga di pasar tradisional.

Dengan variasi nilai = 2

• Baik : rumah tangga yang membeli pakaian keluarga di pasar modern atau mal.

Dengan variasi nilai = 3

Gaya pakaian di ukur berdasarkan jumlah kumulatif dari kriteria intensitas ganti

pakaian, variasi pakaian, anggaran biayan untuk membeli pakaian, jumlah anggaran

biaya, dan tempat berbelanja pakaian, dengan variasi nilai:

• Sederhana : rumah tangga yang memiliki variasi nilai untuk semua kriteria gaya

pakaian dengan jumlah 6 - 8

• Biasa: rumah tangga yang memiliki variasi nilai untuk semua kriteria gaya

pakaian dengan jumlah 9 - 11

• Modern rumah tangga yang memiliki nilai untuk semua kriteria gaya pakaian

dengan jumlah 12 - 14

5. Gaya bangunan rumah: bentuk rumah yang menjadi tempat tinggal tiap rumah

tangga pengrajin. Tipe bangunan rumah diukur berdasarkan: Bentuk atap rumah:

• Tipe klabangnyander : memiliki dua bangunan atap, samping kanan dan

samping kiri. Dengan variasi nilai = 1

• Tipe jawa : bentuk atapnya terdiri dari empat bidang, bidang muka atas, bidang

muka bawah, bidang belakang bawah, dan bidang belakang atas. Dengan

variasi nilai = 2

• Tipe limasan : bangunan atapnya terdiri dari enam bidang, bidang muka atas,

bidang muka bawah, bidang belakang bawah, bidang belakang atas, bidang samping kanan, dan bidang samping kiri. Dengan variasi nilai = 3

Bahan dasar bangunan : bahan dasar yang digunakan untuk membuat dinding rumah. Bahan dasar bangunan di ukur dengan kriteria:

(52)

• Kayu. Dengan variasi nilai = 2

• Tembok. Dengan variasi nilai = 3

Bahan dasar bangunan : bahan dasar yang digunakan untuk membuat dinding rumah.

Bahan dasar bangunan di ukur dengan kriteria:

• Tanah. Dengan variasi nilai = 1

• Semen atau tegel. Dengan variasi nilai = 2

• Keramik. Dengan variasi nilai = 3

Gaya bangunan rumah merupakan jumlah kumulatif dari kriteria bentuk atap rumah, bahan dasar dinding rumah, dan bahan dasar tembok rumah, dengan variasi nilai:

• Sederhana : rumah tangga yang memiliki variasi nilai untuk semua kriteria gaya

bangunan rumah dengan jumlah 5 - 6

• Biasa: rumah tangga yang memiliki variasi nilai untuk semua kriteria gaya

bangunan rumah dengan jumlah 7 - 8

• Modern: rumah tangga yang memiliki variasi nilai untuk semua kriteria gaya

bangunan rumah dengan jumlah 9 - 10

6. Gaya bahasa: cara seseorang berbicara dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Gaya bahasa diukur berdasar penggunaan bahasa kepada suami atau

istri, kepada anak, dan tetangga dengan kriteria:

• Bahasa ngoko : bahasa dengan tingkatan paling kasar (kowe atau kamu).

Dengan variasi nilai = 1

• Bahasa madya : bahasa dengan tingkatan menengah (sampean atau kamu).

Dengan variasi nilai = 2

• Bahasa jawa kromo : bahasa dengan tingkatan paling halus (panjenengan atau

kamu). Dengan variasi nilai = 3

Gaya bahasa merupakan jumlah kumulatif dari kriteria penggunaan bahasa kepada

(53)

• Kasar: rumah tangga yang memiliki variasi nilai untuk semua kriteria gaya

bahasa dengan jumlah 3 – 4

• Biasa: rumah tangga yang memiliki variasi nilai untuk semua kriteria gaya

bahasa dengan jumlah 5 – 6

• Halus: rumah tangga yang memiliki variasi nilai untuk semua kriteria gaya

bahasa dengan jumlah 7 - 8

7. Pola makan keluarga: kebiasaan makan rumah tangga pengrajin ketika membeli

makan untuk makan keluarga sehari-hari. Pola makan diukur dengan kriteria: Perolehan makan keluarga:

• Memasak: rumah tangga pengrajin yang m

Gambar

Tabel 2. Jumlah Wisatawan Mancanegara Ke Indonesia Tahun 1968 -
Tabel 3. Tabel 3. PDRB Kota Yogyakarta Pada Lapangan Usaha Industri Pengolahan Atas
Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran
Tabel 4.  Jumlah Penduduk Kelurahan Purbayan Tahun 1995 - 2004
+7

Referensi

Dokumen terkait