91
Universitas
Sumatera
92
Universitas
Sumatera
93
Universitas
Sumatera
94
Universitas
Sumatera
95
Universitas
Sumatera
96
Universitas
Sumatera
97
Universitas
Sumatera
98
Universitas
Sumatera
99
Universitas
Sumatera
100
Universitas
Sumatera
101
Universitas
Sumatera
102
Universitas
Sumatera
103
Universitas
Sumatera
104
Universitas
Sumatera
105
Universitas
Sumatera
106
Universitas
Sumatera
107
Universitas
Sumatera
108
Universitas
Sumatera
109
Universitas
Sumatera
110
Universitas
Sumatera
111
Universitas
Sumatera
112
Universitas
Sumatera
113
Universitas
Sumatera
114
Universitas
Sumatera
115
Universitas
Sumatera
116
Universitas
Sumatera
117
Universitas
Sumatera
118
Universitas
Sumatera
119
Universitas
Sumatera
120
Universitas
Sumatera
121
Universitas
Sumatera
122
Universitas
Sumatera
123
Universitas
Sumatera
124
Universitas
Sumatera
125
Universitas
Sumatera
126
Universitas
Sumatera
127
Universitas
Sumatera
128
Universitas
Sumatera
129
Universitas
Sumatera
130
Universitas
Sumatera
131
Universitas
Sumatera
132
Universitas
Sumatera
133
Universitas
Sumatera
134
Universitas
Sumatera
135
Universitas
Sumatera
136
Universitas
Sumatera
137
Universitas
Sumatera
138
Universitas
Sumatera
139
Universitas
Sumatera
140
Universitas
Sumatera
141
Universitas
Sumatera
142
Universitas
Sumatera
143
Universitas
Sumatera
144
Universitas
Sumatera
145
Universitas
Sumatera
146
Universitas
Sumatera
89 [1] G. C. R. a. Development, DG Power Quality, Protection and Reliability
Case Studies Report, New York: National Renewable Energy Laboratory, 2003.
[2] F. Viawan, “Steady State Operation and Control of Power Distribution
Systems in the Presence of Distributed Generation,” Chalmers University of
Technology, pp. 1-50, 2006.
[3] K. Purchala, “Distributed generation and the grid integration issues,”
Imperial College London, pp. 1-9.
[4] T. Ackermann, “Distributed generation : a definition,” Electric Power
System Research, pp. 1-10, 2000.
[5] F. A. Viawan, “Voltage Control and Voltage Stability of Power Distribution
Systems in the Presence of Distributed Generation,” Chalmers University of Technology, pp. 1-56, 2008.
[6] D. Marsudi, Operasi Sistem Tenaga Listrik, Jakarta: Graha Ilmu, 2006. [7] R. C. Dugan, M. F. McGranagha, S. Santoso dan H. W. Beaty, Power
Systems Quality, McGraw-Hill, 2004.
[8] D. S. A. Karim, “Analisis Generator dan Motor Sinkron Sebagai
Pembangkit Daya Reaktif Sistem,” Media Elektrik, vol. 2, no. 2, p. 31,
Desember 2007.
[9] D. N. Gaonkar, Distributed Generation, Vukovar: In-tech, 2010.
[10] C. P. System, How Step-Voltage Regulators Operate, Pittsburgh: Cooper, 1993.
[11] J. Harlow, Load Tap Changing Control, Texas: Beckwith Electric Company, 1996.
[12] C. A. Colopy, Electric Power Transformer Engineering, Florida: CRC Press LLC, 2004.
90 Brazil: IEEE, 2009.
[14] S. Kongtripop, “Effect of Distributed Generation on Very Long Distribution
Line with Automatic Voltage Regulator,” 2009.
45
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di jaringan distribusi 20 KV dari Gardu Induk Pematang Siantar yang terhubung dengan PLTM AEK SILAU 2 dengan kapasitas 2 x 4,5 MW dan PLTmH Tonduhan dengan kapasitas 2 x 200 kW. Penelitian dilaksanakan selama 2 (dua) bulan.
3.2 Bahan dan Peralatan
Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah data pembangkit dan penyaluran jaringan distribusi 20 KV yang terhubung
dengan Distributed Generation. Peralatan yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah software ETAP 11.0.
3.3 Pelaksanaan Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian, dilakukan pengambilan data yang dibutuhkan terlebih dahulu. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan
disimulasikan menggunakan software ETAP untuk mendapatkan pengaruh
hadirnya Distributed Generation dan Step Voltage Regulator pada pengaturan
tegangan di jaringan distribusi 20 KV. Data yang diterima dari hasil simulasi tersebut kemudian dilakukan analisa terhadapnya.
46 Variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi:
- Profil tegangan pada feeder yang tidak terhubung dengan Distributed
Generation dan Step Voltage Regulator
- Profil tegangan pada feeder yang terhubung dengan Distributed
Generation tapi tidak terhubung dengan Step Voltage Regulator
- Profil tegangan pada feeder yang terhubung dengan Distributed
Generation dan Step Voltage Regulation
- Profil tegangan pada feeder dengan adanya perubahan bertahap besar
daya yang dikeluarkan oleh Distributed Generation dan terhubung
dengan Step Voltage Regulation
- Profil tegangan pada titik sambungan antara Distributed Generation
dengan jaringan distribusi
- Profil tegangan
- Aliran daya aktif
3.5 Prosedur Penelitian
Berdasarkan diagram alir flowchart, teknik perhitungan dan pengolahan
dapat dilihat pada Gambar 3.1 berikut:
47
Pengambilan Data
Membuat One Line Diagram
Memasukkan Data
Menjalankan Simulasi
Menampilkan Profil Tegangan Dalam Kondisi Lapangan DG Aek Silau Aktif dan DG Tonduhan Tidak Aktif
Menentukan Cabang yang Akan
Diregulasi
Menentukan Bus yang Akan Diregulasi
Menentukan Rating SVR
Meletakkan SVR pada Bus yang Akan
Diregulasi
Menghitung Nilai FT
Titik Optimasi
SVR
Apakah tegangan pada range standar PLN pada bus beban
A
Peletakan SVR Baru
Tidak
YA
Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian
48
Melihat pada kondisi yang
berbeda
Pada Kondisi Kedua DG Aek Silau dan
Tonduhan Aktif
Pada Kondisi DG Aek Silau Tidak Aktif dan
DG Tonduhan Aktif
Pada Kondisi DG Aek Silau Tidak Aktif dan DG Tonduhan Tidak
Aktif
Nilai Standar Deviasi
Tanpa SVR lebih besar Bypass SVR
Gunakan SVR
Berhenti
Tidak
YA
Lanjutan Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian
49 Data yang dibutuhkan diambil dari PT. PLN (Persero). Berikut merupakan data-data yang dibutuhkan dalam penelitian:
1) Data pembangkit, berikut ini data pembangkit yang dibutuhkan untuk
melakukan perhitungan aliran daya:
o ID Generator
o Operation mode (MVAR control)
o Rating tegangan Generator
o Untuk mode operasional swing yaitu persen tegangan dan sudut
fasanya
o Untuk mode operasional voltage control yaitu persen tegangan,
MVAR limit (Qmax dan Qmin)
o Untuk mode operasional MVAR control yaitu MW dan MVAR
loading
2) Data Busbar, berikut ini data busbar yang dibutuhkan untuk melakukan
perhitungan aliran daya:
o ID bus
o Nominal KV
3) Data transformator, berikut ini data transformator yang dibutuhkan untuk
melakukan pengaturan tegangan:
o ID Transformator
o Rating tegangan di sisi primer dan sekunder transformator
o Rating MVA
o Persen (%) tap transformator dan OLTC
50
4) Data beban, berikut ini data beban yang dibutuhkan untuk melakukan
pengaturan tegangan:
o ID beban
o Rating tegangan, MVA, dan faktor daya
5) Data Step Voltage Regulator, berikut ini data SVR yang dibutuhkan untuk
melakukan pengaturan tegangan:
o Catalog SVR
o Rating tegangan
o Daya yang terapasang pada jaringan
1. Membuat one-line diagram
Setelah data diperoleh, selanjutnya dibuat one-line diagram dengan
memilih editor “One-Line Diagrams” pada software ETAP 11.0 sesuai dengan jaringan ditribusi 20 KV yang diteliti
2. Memasukkan data
Data-data yang dibutuhkan untuk melakukan pengaturan tegangan
dimasukkan sesuai dengan kondisi sistem tenaga listrik yang diteliti setelah
one-line diagram selesai dibuat. Data-data yang dibutuhkan tersebut telah diuraikan
pada poin ”pengambilan data” di atas.
3. Menjalankan simulasi
Sebelum melakukan simulasi studi pengaturan tegangan terlebih dahulu ditetapkan variabel kontrol untuk melakukan penyelesaian perhitungan studi
pengaturan tegangan, yaitu melalui pilihan ”study case editor”. Setelah one-line
diagram selesai dibuat dan data-data yang dibutuhkan telah dimasukkan,
51 daya, baik itu metode Newton-Rhapson atau Gauss-Siedel. Simulasi akan berhenti setelah data yang ditampilkan konvergen.
4. Menampilkan hasil
Hasil yang diharapkan dari simulasi menggunakan software ETAP 11.0
untuk pengaturan tegangan adalah profil tegangan pada ujung kirm jaringan
yang tidak terhubung dan terhubung dengan Distributed Generation, aliran daya
aktif dan reaktif, profil tegangan pada feeder jaringan distribusi, drop tegangan,
dan rugi-rugi daya pada jaringan distribusi 20 KV yang tidak dan terhubung
dengan Distributed Generation. Hasil ini ditampilkan dengan memilih pilihan
“report manager” dan ”losses” pada software ETAP 11.0.
Selanjutnya data yang diperoleh berupa profil tegangan pada ujung kirim
jaringan yang terhubung dan tidak terhubung dengan Distributed Generation, aliran
daya aktif dan reaktif, profil tegangan pada feeder jaringan distribusi, drop
tegangan, dan rugi-rugi daya pada jaringan distribusi 20 KV yang tidak dan
terhubung dengan Distributed Generation akan digunakan untuk menentukan
penempatan SVR dan regulasi tegangan pada jaringan yang terpasang SVR dengan
melakukan pengaturan pada Distributed Generation dan sehingga memenuhi
kriteria tegangan standar.
52
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Unuk dapat memperbaiki tegangan agar sesuai dengan standar PLN maka
penelitian ini dilakukan dengan cara menambahkan SVR pada jaringan distribusi
untuk mengatasi tegangan jatuh yang berada pada jaringan distribusi terutama pada ujung dari penyulang jaringan distribusi.
4.1 Peletakan SVR Pertama Pada Feeder Pertama
Sebelum melakukan peletakan SVR terdapat beberapa langkah yang
dilakukan untuk menentukan lokasi penempatan SVR :
1) Penentuan bus yang dapat dipasang SVR
2) Penentuan rating SVR yang akan digunakan
3) Optimasi pemilihan bus
4.1.1 Penentuan Bus yang akan dipasang SVR
Penentuan SVR akan dilakukann pada feeder pertama yaitu feeder utama yang memiliki 34 bus. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik maka akan dilakukan optimasi pemilihan bus. Adapun syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan optimasi pemilihan bus adalah bus yang akan diperbaiki tegangannya harus berada pada range tegangan (96-99%).
53 ditunjukkan pada Tabel 4.1
Tabel 4.1 Tegangan dan Arus yang Mengalir pada Masing-Masing Bus dengan keadaan DG Aek Silau Aktif dan DG Tonduhan tidak aktif
DaftarBus
Persen
Tegangan Arus yang mengalir
Bus3 104,95 127,7
54
tegangan pada range 96-99% untuk Peletakan SVR adalah Bus 53 – Bus 194. Oleh
karena itu SVR akan diletakkan pada bus tersebut secara bergantian dan kemudian
akan dianalisa pengaruh dari pemasangan SVR tersebut pada masing-masing bus.
4.1.2 Penentuan Rating SVR
Penentuan rating SVR akan dilakukan dengan menggunakan Persamaan 4.3
dikarenakan SVR yang dipakai adalah SVR tiga phasa. Dengan mengambil arus
yang paling besar dari masing masing bus maka dapat ditentukan besar rating SVR
yang akan dipakai.
Dari Tabel 4.1 diperoleh bahwa arus yang mengalir paling besar terdapat
pada bus 194, maka rating SVR adalah
� � � = × . × √
= ��
Oleh karena itu maka rating SVR yang digunakan sesuai dengan rating yang
dimiliki oleh SVR adalah sebesar 4500 kVA.
55
Untuk keadaan awal yaitu keadaan tanpa menggunakan SVR pada
penyulang PM. 6 dan terkoneksi dengan Distributed Generation dimana
pembangkit PLTM Aek Silau 2 dalam keadaan beroperasi dan pembangkit PLTmH
Tonduhan dalam keadaan tidak beroperasi. Keadaan Distributed Generation ini
disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Setelah dilakukan simulasi aliran daya dengan menggunakan ETAP maka diperoleh profil tegangan masing-masing bus seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.1 dan diperoleh data pada Tabel 4.2
Tabel 4.2 Data Hasil Simulasi ETAP dengan kondisi jaringan terhubung
DG dan tidak terpasang SVR
Hasil Simulasi ETAP Nilai
Rugi-Rugi Jaringan 1211,039 kW
2632,943 kVAR
Tegangan Tertinggi 1,05 pu (bus 2)
Tegangan terendah 0.8905 pu (bus 532)
Standar Deviasi Tegangan 8732785,44
Jumlah Bus Sesuai Standar PLN 317 bus
56
Universitas
Sumatera
57
Pada saat dilakukan peletakan SVR pada Bus 44 pada penyulang PM.6 yang
terkoneksi dengan terkoneksi dengan Distributed Generation dimana pembangkit
PLTM Aek Silau 2 dalam keadaan beroperasi dan pembangkit PLTmH Tonduhan
dalam keadaan tidak beroperasi. Keadaan Distributed Generation ini disesuaikan
dengan keadaan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Setelah dilakukan simulasi aliran daya dengan menggunakan ETAP maka diperoleh profil tegangan masing-masing bus seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.2. Untuk perhitungan Standar Deviasi dapat dilihat pada Tabel 4.4
Pada Tabel 4.3 ditunjukkan data hasil dari simulasi ETAP terkait dengan
peletakan SVR pada bus 44.
Tabel 4.3 Data Hasil Dengan SVR Dipasang Pada Bus 44
Hasil Simulasi ETAP Nilai
Rugi-Rugi Jaringan 1256,589 kW
2950,941 kvar
Tegangan Tertinggi 1,0493 pu (bus 2)
Tegangan terendah 0.8999 pu (bus 532)
Standar Deviasi Tegangan 6454530,44
FT 0,888363536
Jumlah Bus yang Sesuai Standar PLN 277 bus
Terdapat 1 Bus yang persen tegangannya dibawah dari persen tegangan standar PLN (90%) yaitu pada bus 532 dengan persen tegangan 89,99%.
58
Bus ID V sebelum SVR (Vi0) (V nominal -
Vio)^2 V setelah SVR (Vif)
(V nominal -
Total Tanpa SVR 8732785,44 Total SVR 6454529,8
Standar Deviasi (Total SVR/Total
Tanpa SVR) 0,739114667
59
Universitas
Sumatera
60
jaringan distribusi yang belum terpasang SVR dengan jaringan distribusi yang telah
terkoneksi dengan SVR pada bus 44.
Tabel 4.5 Perbandingan Hasil ETAP antara Jaringan yang tidak dipasang SVR dengan jaringan yang terkoneksi dengan SVR pada Bus 44
Hasil Simulasi ETAP Tanpa SVR SVR Pada Bus 44
Rugi-Rugi Jaringan 1211,039 kW 1256,589 kW
2632,943 kvar 2950,941 kvar
Tegangan Tertinggi 1,05 pu (bus 2) 1,0493 pu (bus 2)
Tegangan terendah 0,8905 pu (bus 532) 0.8999 pu (bus 532)
Standar Deviasi 8732785,44 6454529,8
Jumlah Bus < 0,95 pu 317 bus 277 bus
Dari Tabel 4.5 terlihat bahwa rugi-rugi jaringan dengan menggunakan SVR
mengalami peningkatan sebesar 3,7% dibandingkan dengan Tanpa menggunakan
SVR tetapi terjadi peningkatan tegangan sebesar 0,94% untuk jaringan yang
terpasang SVR untuk tegangan terendahnya. Pemasangan SVR pada Bus 44 dapat
mereduksi standar deviasi tegangan sebesar 26,08% dibandingkan sebelum
menggunakan SVR.
61
Setelah dilakukan penilitian dengan meletakkan SVR secara bertahap pada
setiap bus yang akan diregulasi, maka hasil penelitian untuk penentuan peletakan
SVR pertama dapat dilihat pada Tabel 4.6
Untuk data hasil pemasangan SVR pada masing-masing bus di penyulang
utama cabang pertama diperlihatkan pada tabel dan grafik yang terdapat pada
Lampiran A.
Pada Tabel 4.6 dapat dilihat titik optimasi dari peletakan SVR berada pada
bus 111 dikarenakan nilai FT pada bus ini adalah nilai yang terkecil dari
kesuluruhan bus yang diuji dengan pemasangan SVR. Dari keadaan normal,
pemasangan SVR pada bus 111 dapat memperbaiki tegangan tegangan terendah dari
0,8905 pu menjadi 0,9132 pu dengan kata lain pemasangan SVR pada bus 111 dapat
memperbaiki tegangan sebesar 2,27%. Peletakan SVR pada bus 111 mereduksi
jumlah bus yang berada dibawah 0,9 pu dari 5 bus tanpa menggunakan SVR menjadi
tidak ada bus dibawah 0,9 pu, tetapi apabila standar tegangan dinaikkan menjadi 0,95 pu maka terdapat 317 bus yang berada dibawah tegangan 0,95 pu dalam
keadaan tanpa menggunakan SVR dan menjadi tinggal 127 bus yang memiliki
tegangan dibawah 0,95 pu setelah menggunakan SVR.
62
SVR 1,05 0,8905 8732785,44 1211,039 2632,943
-44 1,0493 0,8999 0,73911474 1256,589 2950,941 0,88836354
53 1,0494 0,904 0,615153467 1251,603 2937,114 0,82432434
56 1,0495 0,9041 0,614202242 1250,782 2937,419 0,82350976
58 1,0496 0,99041 0,613393071 1250,915 2934,715 0,82316008
60 1,0501 0,9047 0,601931922 1252,299 2931,244 0,81800092
62 1,0501 0,9047 0,602878085 1252,658 2931,799 0,81862222
64 1,0523 0,9068 0,568773159 1248,659 2919,845 0,7999187
87 1,0521 0,9066 0,573608409 1249,783 2921,583 0,80280039
90 1,0524 0,9069 0,567984806 1249,285 2919,786 0,79978298
92 1,0524 0,9069 0,569740914 1249,647 2920,346 0,80081049
94 1,0525 0,907 0,567348459 1248,578 2919,259 0,7991729
96 1,0527 0,9072 0,564190364 1248,772 2920,163 0,79767395
98 1,053 0,9075 0,560969028 1248,516 2919,733 0,79595759
103 1,053 0,9075 0,562062594 1248,869 2919,328 0,79665012
106 1,053 0,9076 0,562050905 1249,034 2920,559 0,7967124
109 1,053 0,9076 0,563112184 1250,247 2922,255 0,79774384
111 1,0588 0,9132 0,465807088 1242,022 2902,795 0,74569545
113 1,0587 0,9131 0,468844067 1243,448 2904,89 0,74780269
115 1,0588 0,9132 0,469992401 1244,498 2906,548 0,74881037
117 1,0588 0,9132 0,471870812 1246,878 2910,479 0,7507322
119 1,0606 0,915 0,482937407 1247,782 2917,892 0,75663874
160 1,0608 0,9152 0,481597583 1248,208 2917,2 0,75614471
162 1,061 0,9153 0,483731454 1248,862 2918,915 0,75748166
167 1,0611 0,9155 0,483474455 1249,177 2920,091 0,75748321
169 1,0622 0,9165 0,48822651 1247,864 2922,59 0,75931714
188 1,0623 0,9167 0,488780991 1248,681 2924,439 0,7599317
190 1,0625 0,9168 0,488641118 1249,085 2926,732 0,76002856
192 1,0625 0,9168 0,490897704 1249,568 2927,445 0,76135627
194 1,0629 0,9173 0,488072836 1250,564 2932,816 0,76035505
Ru gi Ru gi Ja ri n ga n
63
masing bus yang dipasang SVR.
Gambar 4.3 Grafik Tegangan Terendah
Dari Gambar 4.3 dapat dilihat tegangan terendah yang terbaik dimiliki oleh
bus 194 dikarenakan peletakan SVR pada bus 194 sudah terletak diujung penyulang
utama.
Gambar 4.4 memperlihatkan grafik daya aktif dan daya reaktif dari setiap
bus yang dipasang SVR.
Gambar 4.4 Grafik Rugi-Rugi Daya Aktif
0,87
Tegangan Terendah
Tegangan Terendah
1180
103 106 109 111 113 115 117 119 160 162 167 169 188 190 192 194
Rugi -Rugi Daya Aktif
64 bus 111.
Gambar 4.5 Tegangan pada Seluruh Bus Sebelum dan Tegangan Setelah Pemasangan SVR 80
Tegangan Sebelum dan Setelah Terpasang
SVR
Voltage (before) Voltage (After)
65
bus 111 pada tegangan setelah pemasangan SVR, ini diakibatkan karena adanya
SVR. Tegangan di seluruh bus setelah bus SVR (bus 111) mengalami kenaikan
tegangan dibandingkan tegangan bus sebelum menggunakan SVR. Tetapi tegangan
pada seluruh bus sebelum bus SVR (bus 111) mengalami penurunan tegangan dari
tegangan sebelum menggunkan SVR.
66
Sebelum melakukan peletakan SVR terdapat beberapa langkah yang
dilakukan untuk menentukan lokasi penempatan SVR :
1) Penentuan bus yang dapat dipasang SVR
2) Penentuan rating SVR yang akan digunakan
3) Optimasi pemilihan bus
4.2.1 Penentuan Bus yang akan dipasang SVR
Penentuan SVR akan dilakukan pada feeder kedua yaitu feeder utama yang memiliki 54 bus seperti yang ditampilkan pada Tabel 4.7. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik maka akan dilakukan optimasi pemilihan bus. Adapun syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan optimasi pemilihan bus adalah bus yang akan diperbaiki tegangannya harus berada pada range tegangan (96-99%).
Adapun tegangan dan arus yang mengalir pada masing-masing bus
ditunjukkan pada Tabel 4.7 dalam keadaan SVR sudah terpasang pada bus 111.
67
Daftar bus Persen Tegangan
Arus yang Mengalir
Bus197 99,14 76,84
Daftar bus Persen Tegangan
Arus yang Mengalir
Bus306 96,01 55,38
tegangan pada range 96-99% untuk Peletakan SVR adalah Bus 201 – Bus 306. Oleh
karena itu SVR akan diletakkan pada bus tersebut secara bergantian dan kemudian
akan dianalisa pengaruh dari pemasangan SVR tersebut pada masing-masing bus.
68
Penentuan rating SVR akan dilakukan dengan menggunakan Persamaan 4.3
dikarenakan SVR yang dipakai adalah SVR tiga phasa. Dengan mengambil arus
yang paling besar dari masing masing bus maka dapat ditentukan besar rating SVR
yang akan dipakai.
Dari Tabel 4.7 diperoleh bahwa arus yang mengalir paling besar pada bus
yang akan dipasang SVR terdapat pada bus 197, maka rating SVR adalah
� � � = × , × √
= ��
Oleh karena itu maka rating SVR yang digunakan sesuai dengan rating yang
dimiliki oleh SVR adalah sebesar 2500 kVA.
4.2.3 Kondisi Awal (SVR Pertama Terpasang)
Untuk keadaan awal yaitu keadaan dimana SVR sudah terpasang pada bus
111 pada penyulang PM. 6 dan terkoneksi dengan Distributed Generation dimana
pembangkit PLTM Aek Silau 2 dalam keadaan beroperasi dan pembangkit PLTmH
Tonduhan dalam keadaan tidak beroperasi. Keadaan Distributed Generation ini
disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Setelah dilakukan simulasi aliran daya dengan menggunakan ETAP maka diperoleh profil tegangan masing-masing bus seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.6 dan diperoleh data pada Tabel 4.8.
69
terhubung DG dan terpasang SVR I (Kondisi Awal)
Hasil Simulasi ETAP Nilai
Rugi-Rugi Jaringan 1242,022 kW
2902,795 kVAR
Tegangan Tertinggi 1,0588 pu (bus 663)
Tegangan terendah 0.9132 pu (bus 532)
Jumlah Bus dengan Tegangan <0,95 pu 127 bus
Standar Deviasi Tegangan 0,465807088
FT 2 0,745695453
7
Universitas
Sumatera
71
Pada saat dilakukan peletakan SVR kedua pada Bus 199 pada penyulang
PM.6 yang terkoneksi dengan terkoneksi dengan Distributed Generation dimana
pembangkit PLTM Aek Silau 2 dalam keadaan beroperasi dan pembangkit PLTmH
Tonduhan dalam keadaan tidak beroperasi. Keadaan Distributed Generation ini
disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Setelah dilakukan simulasi aliran daya dengan menggunakan ETAP maka diperoleh profil tegangan masing-masing bus seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.7.
Pada Tabel 4.9 ditunjukkan data hasil dari simulasi ETAP terkait dengan
peletakan SVR pada bus 199.
Tabel 4.9 Data Hasil Dengan SVR Dipasang Pada Bus 199
Hasil Simulasi ETAP Nilai
Rugi-Rugi Jaringan 1315,195 kW
3170,765 kvar Tegangan Tertinggi 1,0554 pu (bus 663)
Tegangan terendah 0.9132 pu (bus 532)
Jumlah Bus dengan Tegangan <0,95 pu 54 bus
Standar Deviasi Tegangan 0,37557
FT 2 0,730788
Peletakan SVR kedua pada bus 199 mampu memperbaiki tegangan hingga
mencapai nilai terendahnya yaitu 0,9132 pu yang terdapat pada bus 532. Sehingga persyaratan tegangan yang ditentukan oleh PLN yaitu nilai terendahnya sebesar 0,9
pu sudah terpenuhi. Peletakan SVR kedua pada bus 199 ini hanya memiliki 54 bus
yang nilai persen tegangannya dibawah 0,95 pu. Untuk grafik tegangan keseluruhan
bus dari adanya pemasangan SVR kedua ini dapat dilihat pada Gambar 4.7. Untuk
perhitungan Standar Deviasi SVR kedua dapat pada bus 199 dapat dilihat pada
Tabel 4.10
72
Bus ID V sebelum SVR (Vi0) (V nominal -
Vio)^2 V setelah SVR (Vif)
(V nominal -
Total Tanpa SVR 8732785,44 Total SVR 3279769,76
Standar Deviasi (Total SVR/Total
Tanpa SVR) 0,375569717
73
Universitas
Sumatera
74
jaringan distribusi yang sudah terpasang SVR I dengan jaringan distribusi yang telah
terkoneksi dengan SVR tambahan pada bus 199.
Tabel 4.11 Perbandingan Hasil ETAP antara Jaringan yang sudah
dipasang SVR dengan jaringan yang terkoneksi dengan SVR
Tambahan pada Bus 199
Hasil Simulasi ETAP SVR I SVR Tambahan
Pada Bus 199
Rugi-Rugi Jaringan 1242,022 kW 1315,195 kW
2902,795 kvar 3170,765 kvar Tegangan Tertinggi 1,0588 pu (bus 664) 1,0554 pu (bus 663) Tegangan terendah 0.9132 pu (bus 532) 0.9132 pu (bus 532)
Jumlah Bus dengan Tegangan <0,95 pu 127 bus 54 bus
Dari Tabel 4.11 terlihat bahwa rugi-rugi jaringan dengan menggunakan SVR
tambahan pada bus 199 mengalami peningkatan dibandingkan dengan hanya
menggunakan SVR I tetapi terjadi peningkatan tegangan sebesar 0,94% untuk
jaringan yang terpasang SVR untuk tegangan terendahnya. Jumlah bus yang
memiliki tegangan lebih kecil dari 0,95 pu mengalami perbaikan yang sebelumnya
hanya menggunakan 1 SVR terdapat 127 bus dengan tegangan kurang dari 0,95 pu
menjadi 54 bus setelah pemasangan SVR pada bus 199.
75
Setelah dilakukan penilitian dengan meletakkan SVR kedua secara bertahap
pada setiap bus yang akan diregulasi, maka hasil penelitian untuk penentuan
peletakan SVR kedua dapat dilihat pada Tabel 4.12, dimana kondisi awalnya SVR
pertama terletak pada bus 111.
Untuk data hasil pemasangan SVR pada masing-masing bus di penyulang
utama cabang kedua diperlihatkan pada tabel dan grafik yang terdapat pada
Lampiran B.
76
Daya Aktif (kW)
Daya reaktif
(kvar) Tanpa
SVR 1,05 0,8905 8732785 1211,039 2632,943
-111 1,0588 0,9132 0,465807 1242,022 2902,795 0,745695
199 1,0554 0,9219 0,37557 1315,195 3170,765 0,730788
201 1,0559 0,9237 0,359551 1309,618 3147,71 0,720476 202 1,0559 0,9235 0,362131 1309,957 3148,303 0,721906 239 1,0562 0,9247 0,349315 1306,979 3135,112 0,714268 244 1,0552 0,9296 0,308361 1312,477 3146,168 0,696061 246 1,0553 0,9298 0,307223 1310,816 3143,837 0,694806 249 1,0554 0,93 0,306036 1310,25 3140,549 0,693979 251 1,0554 0,93 0,306923 1310,133 3138,66 0,694374 254 1,0555 0,9302 0,304946 1309,428 3135,236 0,693095 256 1,0545 0,9346 0,272028 1314,812 3146,425 0,678859 258 1,0547 0,9347 0,268697 1313,483 3140,496 0,676644 261 1,0548 0,9347 0,269743 1312,952 3138,284 0,676948 266 1,0549 0,9348 0,26836 1311,236 3133,858 0,675548 268 1,0551 0,9348 0,265868 1310,169 3127,108 0,673861 271 1,0551 0,9349 0,267294 1310,135 3126,315 0,674561 273 1,0543 0,9345 0,240243 1314,247 3132,521 0,662733 275 1,0544 0,9345 0,243043 1313,702 3130,362 0,663908 281 1,0545 0,9346 0,242627 1311,989 3125,871 0,662993 283 1,0546 0,9346 0,244064 1311,73 3124,851 0,663604 286 1,0548 0,9347 0,24165 1310,346 3119,706 0,661826 288 1,055 0,9348 0,23875 1308,901 3110,481 0,659779 290 1,055 0,9348 0,241446 1308,947 3109,76 0,661146 293 1,055 0,9348 0,242849 1309,125 3110,09 0,661921 294 1,0542 0,9343 0,231719 1314,361 3121,285 0,658518 296 1,0543 0,9344 0,236183 1312,914 3120,236 0,660152 301 1,0544 0,9344 0,236908 1312,215 3116,287 0,660226 303 1,0544 0,9324 0,239561 1311,742 3113,613 0,661358 306 1,0549 0,933 0,233815 1308,522 3101,136 0,657155 308 1,058 0,9286 0,327725 1283,818 3032,999 0,69391
Rugi Rugi Jaringan FT
Tegangan Tertinggi
(pu)
Tegangan Terendah
(pu)
Standar Devasi Tegangan
(Fatv%)
77
kedua (Tabel 4.12) maka didapatlah letak SVR kedua terbaik terdapat pada bus 306.
Jika kita melihat penentuan titik lokasi dengan melihat nilai Standar Deviasi Tegangan, maka bus yang terbaik terdapat pada bus 294. Dimana Standar Deviasi Tegangan mempertimbangkan tegangan keseluruhan bus yang terdapat pada jaringan terhadap standar tegangan murni yaitu 1 pu. Tetapi apabila melihat nilai
FT maka bus yang terbaik terdapat pada bus 306, dimana FT mempertimbangkan
persen standar deviasi tegangan murni dengan persen rugi-rugi jaringan. Oleh karena itu bus 306 mempunyai kriteria yang terbaik apabila mempertimbangkan kedua faktor tersebut. Bus 306 sudah mencapai nilai tegangan terendah yang cukup memuaskan yaitu sebesar 0,933 pu atau dengan kata lain tidak ada lagi bus yang berada dibawah tegangan 0,9 pu. Tegangan terendah yang dimiliki oleh bus 306 adalah sebesar 0,933 pu yang berada pada bus 305, tegangan tertinggi yang dimiliki oleh bus 306 adalah sebesar 1,0549 yang terdapat pada bus 663.
Pada penelitian ini batas minimun tegangan terendah terbaik terdapat pada bus 271 yaitu 0,9349 pu seperti yang diperlihatkan Gambar 4.7, sedangkan rugi-rugi jaringan terkecil terdapat pada bus 308 yaitu sebesar 1283,818 kW seperti yang
diperlihatkan pada gambar 4.8. Pemasangan 2 SVR ini mampu memperbaiki
tegangan sebesar 4,25 % dari tegangan sebelum menggunakan SVR yaitu 0,8905 pu
menjadi 0,933 pu setelah menggunakan 2 SVR. Gambar 4.9 memperlihatkan
perbandingan tegangan pada seluruh bus sebelum menggunakan SVR dan setelah
menggunakan 2 SVR.
78
Gambar 4.8 Gambar Grafik Tegangan Terendah pada Bus Percobaan
Gambar 4.9 Gambar Grafik Rugi-Rugi Jaringan pada Bus Percobaan 0,86
111 199 201 202 239 244 246 249 251 254 256 258 261 266 268 271 273 275 281 283 286 288 290 293 294 296 301 303 306 308
T
Nomor Bus
Tegangan Terendah
1140
111 199 201 202 239 244 246 249 251 254 256 258 261 266 268 271 273 275 281 283 286 288 290 293 294 296 301 303 306 308
Da
Nomor Bus
Rugi-Rugi Jaringan
79
Tegangan (pu)
P
Universitas
Sumatera
80
4.3.1 Pada Saat Tehubung dengan DG Aek Silau dan DG Tonduhan
Pengaruh pemasangan SVR pada saat jaringan distribusi terhubung dengan
DG Tonduhan dan Aek Silau dapat dilihat pada Tabel 4.13 dan Gambar 4.11
Tabel 4.13 Data Perbandingan Jaringan yang Tidak Menggunakan SVR
dan yang Menggunakan SVR pada saat 2 DG Aktif
Hasil Simulasi ETAP Tanpa
Menggunakan SVR Dengan SVR
Tegangan Tertinggi/Bus 1,0499 pu / Bus 2 1,05 pu / Bus 663
Tegangan Terendah/Bus 0,8928 pu / Bus 532 0,9346 pu / Bus 305
Jumlah Bus dengan tegangan <0,9 pu 5 Bus 0 Bus
Jumlah Bus dengan tegangan <0,95 pu 301 Bus 13 Bus
Standar Deviasi Tegangan 7983965 1895153,28
Tegangan tertinggi pada saat tidak menggunakan SVR adalah 1,0499 pu
pada Bus 2 sementara dengan menggunakan SVR tegangan tertinggi menjadi 1,05
pu pada Bus 663 tidak terdapat perubahan spesifik untuk tegangan tertinggi.
Tegangan terendah tanpa menggunakan SVR adalah 0,8928 pu pada bus 532,
sedangkan dengan menggunakan SVR tegangan terendah menjadi 0,9346 pu pada
Bus 305, dengan kata lain dengan menggunakan SVR dapat memperbaiki tegangan
terendah sebesar 4,68%. Jumlah bus yang memiliki tegangan dibawah 0,95 pu
menurun dari sebelumnya adalah 301 bus menjadi 13 bus. Penggunaan SVR pada
saat kedua DG aktif dapat mereduksi deviasi tegangan sebesar 76,26%.
81
Universitas
Sumatera
82
Pengaruh pemasangan SVR pada saat jaringan distribusi terhubung dengan
DG Tonduhan dan Aek Silau dapat dilihat pada Tabel 4.14 dan Gambar 4.12
Tabel 4.14 Data Perbandingan Jaringan yang Tidak Menggunakan SVR
dan yang Menggunakan SVR pada saat DG Tonduhan Aktif
Hasil Simulasi ETAP
Tanpa
Menggunakan SVR Dengan SVR
Tegangan Tertinggi/Bus 1,0518 pu / Bus 2 1,0496 pu / Bus 2 Tegangan Terendah/Bus 0,825 pu / Bus 532 0,8398 pu / Bus 848
Jumlah Bus dengan tegangan <0,9 pu 697 Bus 413 Bus
Jumlah Bus dengan tegangan <0,95 pu 821 Bus 851 Bus
Standar Deviasi Tegangan 54801433,32 33750059
Tegangan tertinggi pada saat tidak menggunakan SVR adalah 1,0518 pu
pada Bus 2 sementara dengan menggunakan SVR tegangan tertinggi menjadi 1,0496
pada Bus 2, tidak terdapat perubahan spesifik untuk tegangan tertinggi. Tegangan
terendah tanpa menggunakan SVR adalah 0,825 pu pada bus 532, sedangkan dengan
menggunakan SVR tegangan terendah menjadi 0,8398 pu pada Bus 848, dengan
kata lain dengan menggunakan SVR dapat memperbaiki tegangan terendah sebesar
1,8%. Jumlah bus yang memiliki tegangan dibawah 0,95 meningkat dari
sebelumnya adalah 821 bus menjadi 851 bus. Penggunaan SVR pada saat DG
Tonduhan aktif dapat mereduksi deviasi tegangan sebesar 38,41%.
83
Tegangan (%)
P
Universitas
Sumatera
84
Pengaruh pemasangan SVR pada saat jaringan distribusi terhubung dengan
DG Tonduhan dan Aek Silau dapat dilihat pada Tabel 4.15 dan Gambar 4.13
Tabel 4.15 Data Perbandingan Jaringan yang Tidak Menggunakan SVR
dan yang Menggunakan SVR pada saat tidak terhubung DG
Hasil Simulasi ETAP Tanpa
Menggunakan SVR Dengan SVR
Tegangan Tertinggi/Bus 1,0516 pu / Bus 2 1,0493 pu / Bus 2 Tegangan Terendah/Bus 0,8166 pu / Bus 848 0,8286 pu / Bus 848
Jumlah Bus dengan tegangan <0,9 pu 730 Bus 494 Bus
Jumlah Bus dengan tegangan <0,95 pu 820 Bus 844 Bus
Standar Deviasi Tegangan 60626409,16 40056837,84
Tegangan tertinggi pada saat tidak menggunakan SVR adalah 1,0516 pu
pada Bus 2 sementara dengan menggunakan SVR tegangan tertinggi menjadi 1,0493
pada Bus 2, tidak terdapat perubahan spesifik untuk tegangan tertinggi. Tegangan
terendah tanpa menggunakan SVR adalah 0,8166 pu pada bus 848, sedangkan
dengan menggunakan SVR tegangan terendah menjadi 0,8286 pu pada Bus 848,
dengan kata lain dengan menggunakan SVR dapat memperbaiki tegangan terendah
sebesar 1,47%. Jumlah bus yang memiliki tegangan dibawah standar PLN (0,95
pu) meningkat dari sebelumnya adalah 820 bus menjadi 844 bus. Penggunaan SVR
pada saat kedua DG tidak sedang beroperasi dapat mereduksi deviasi tegangan sebesar 33,92 %.
85
Tegangan (%)
Gr
Universitas
Sumatera
86 Untuk dapat melihat tegangan terendah dan standar deviasi seluruh hasil penelitian, maka dibuat suatu rangkuman dari setiap kondisi yang ditunjukkan pada Tabel 4.16
Tabel 4.16 Hasil Penelitian Tegangan Terendah dan Standar Deviasi
dari Peletakan SVR pada Seluruh Kondisi
Kondisi Simulasi
Tanpa SVR Dengan SVR
Tegangan Terendah / Bus ke-
Standar Deviasi
Tegangan Terendah / Bus ke-
Standar Deviasi
Tanpa DG 0,8166 pu / Bus 848 60626409,16 0,8286 pu / Bus 848 40056837,84
Dengan DG Aek Silau
(2 x 4,1 MW) 0,8905 pu / Bus 532 8732785,44 0,9330 pu / Bus 305 2041854,84
Dengan DG Tonduhan
(2 x 200 kW) 0,8250 pu / Bus 532 54801433,32 0,8398 pu / Bus 848 33750059,2
Dengan DG Aek Silau
dan DG Tonduhan 0,8928 pu / Bus 532 7983965,00 0,9346 pu / Bus 305 1895153,28
Perbandingan total rugi rugi daya untuk keseluruhan kondisi setelah dan
sebelum pemasangan SVR dapat dilihat pada Tabel 4.17
Tabel 4.17 Perbandingan Total Rugi-Rugi Daya Sebelum dan Setelah
Pemasangan SVR
Kondisi Simulasi Tanpa SVR Dengan SVR
kW Losses kVar Losses kW Losses kVar Losses
Tanpa DG 885,081 2283,971 1199,21 3345,809
Dengan DG Aek Silau
(2 x 4,1 MW) 1211,039 2632,943 1308,522 3101,136
Dengan DG Tonduhan
(2 x 200 kW) 813,248 2151,081 1111,995 3143,364
Dengan DG Aek Silau
dan DG Tonduhan 1271,008 2709,879 1370,875 3200,376
87
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan maka, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Peletakan titik optimasi kedua SVR terbaik sesuai perhitungan standar
deviasi tegangan dan rugi-rugi jaringan adalah pada bus 111 dan bus 306
2. Apabila PLTM Aek Silau 2 dan PLTmH Tonduhan tidak beroperasi dan
tidak menggunakan SVR maka tegangan terendah yaitu sebesar 0,8166
pu yang terdapat pada bus 532, setelah menggunakan SVR tegangan
terendah menjadi 0,8286 pu pada bus 848
3. Apabila PLTM Aek Silau 2 beroperasi, PLTmH Tonduhan tidak
beroperasi dan tidak menggunakan SVR maka tegangan terendahnya
sebesar 0,8905 pu pada bus 532, setelah menggunakan SVR tegangan
terendah menjadi 0,933 pada bus 305
4. Apabila PLTM Aek Silau 2 tidak beroperasi, PLTmH Tonduhan
beroperasi dan tidak menggunakan SVR maka tegangan terendahnya
sebesar 0,8250 pu pada bus 532, setelah menggunakan SVR tegangan
terendah menjadi 0,8398 pu pada bus 848
5. Apabila PLTM Aek Silau 2 dan PLTmH Tonduhan beroperasi dan tidak
menggunakan SVR, maka tegangan terendahnya sebesar 0,8928 pu pada
bus 532, setelah menggunakan SVR tegangan terendah menjadi 0,9346
pu pada bus 305
88
5.2 Saran
Adapun saran penulis sebagai pengembangan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut:
1. Melakukan peletakan SVR pada tempat yang berbeda dan melihat
pengaruh yang terjadi sebelum dan setelah peletakan SVR
2. Melakukan peletakan titik optimasi SVR dengan menggunakan metode
yang berbeda
3. Melakukan peletakan titik optimasi SVR dengan menggunakan
algoritma genetika
4. Melakukan studi pe-reduksi-an jumlah SVR yang digunakan di dalam
suatu jaringan distribusi
4
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Distributed Generation
Distributed Generation adalah semua jenis pembangkit skala kecil yang menghasilkan daya listrik di atau sekitar lokasi beban, baik terhubung langsung kepada sistem distribusi, terhubung langsung kepada pelanggan, atau keduanya [2].
CIGRE juga mendefinisikan bahwa kata Distributed Generation merujuk kepada
semua pembangkit dengan kapasitas maksimum 50 MW hingga 100 MW yang
umunya dihubungkan ke jaringan distribusi. IEEE mendefinisikan Distributed
Generation sebagai pembangkitan listrik oleh fasilitas pembangkit yang lebih kecil dari pembangkit utama sehingga memungkinkan interkoneksi pada setiap titik di
sistem kelistrikan [3]. Adapun pembagian jenis Distributed Generation
berdasarkan ukuran pembangkitan dapat dibedakan menjadi 4, yaitu [4]:
a. Micro yaitu Distributed Generation dengan ukuran ~ 1 Watt < 5 KW b. Small yaitu Distributed Generation dengan ukuran 5 KW < 5 MW c. Medium yaitu Distributed Generation dengan ukuran ~ 5 MW < 50 MW d. Large yaitu Distributed Generation dengan ukuran ~ 50 MW < ~300
MW
2.1.1 Pengaruh Interkoneksi Distributed Generation Terhadap Jaringan
Distribusi
Dalam beberapa tahun terakhir, ketertarikan terhadap penggunaan
pembangkit skala kecil yang disebut dengan Distributed Generation untuk
5 energi yang ramah lingkungan, kebebasan dalam menghasilkan energi listrik, kebutuhan yang tinggi akan daya listrik, dan pengurangan dalam pemakaian bahan bakar fosil, merupakan beberapa keuntungan yang diperoleh dari penggunaan
Distributed Generation.
Struktur sistem kelistrikan konvensional dan sistem kelistrikan dengan
Distributed Generation ditunjukkan pada Gambar 2.1. Kehadiran pembangkit lokal
dapat berakibat pada sistem distribusi. Sebagai contoh, Distributed Generation
akan merubah aliran daya pada sistem distribusi. Hal ini menyebabkan sistem distribusi tidak dapat lagi ditinjau dengan sistem yang hanya menggunakan satu arah aliran daya [5].
Selain itu, sistem kelistrikan dengan Distributed Generation yang menyebar
sepanjang jaringan dsitribusi tidak dapat lagi dilihat sebagai sebuah sistem yang radial. Sedangkan hampir semua peralatan dalam sistem distribusi bekerja dengan asumsi bahwa sistem bersifat radial, seperti pengatur tegangan dan peralatan proteksi. Lebih lanjut lagi, gangguan hubung singkat pada sistem distribusi akan
meningkat dengan kehadiran Distributed Generation.
6 Gambar 2.1 (a) Sistem Kelistrikan Tradisional dan (b) Sistem Kelistrikan dengan
Distributed Generation
2.2 Studi Aliran Daya
Studi aliran daya merupakan suatu bagian yang penting dalam analisis sistem tenaga. Studi Aliran Daya diperlukan untuk tahap perencanaan, pengaturan biaya, dan dapat menjadi peramalan untuk perencanaan pengembangan jaringan di masa depan. Beberapa parameter yang perlu diperhatikan dalam aliran daya adalah
menentukan besar dan sudut fasa dari tegangan pada masing – masing bus, serta
daya aktif dan reaktif yang mengalir pada setiap penyulang.
Dalam penyelesaian sebuah aliran daya, sistem dioperasikan dalam keadaan
seimbang. Besaran – besaran yang menjadi parameter dalam studi aliran daya
adalah besar tegangan |�|, sudut fasa �, daya aktif P, dan daya reaktif Q.
7 yaitu :
1. Bus beban.
Bus beban adalah bus yang tidak memiliki unsur pembangkitan tenaga listrik / generator, dan terhubung secara langsung dengan beban (konsumen). Bus beban biasa disebut dengan P-Q bus, karena pada bus ini, yang dapat diatur adalah kapasitas daya yang terpasang. P merupakan daya aktif terpasang dalam satuan Watt (W), sedangkan Q merupakan daya reaktif terpasang dalam satuan Volt Ampere Reaktif (VAR). Hubungan antara daya aktif dan daya reaktif terhubung
dengan nilai cos phi (cos φ).
2. Bus generator
Bus generator atau biasa disebut bus voltage controlled. Disebut demikian,
karena tegangan pada bus ini biasanya dijaga konstan. Bus generator dihubungkan dengan generator yang dapat dikontrol daya aktif dan tegangannya. Pengaturan daya aktif pada bus ini diatur dengan mengontrol penggerak mula (prime mover), sedangkan pengaturan tegangan pada bus ini diatur dengan mengontrol arus eksitasi pada generator. Oleh karena daya aktif (P) dan tegangan (V) yang dapat dikontrol, maka bus ini sering disebut sebagai P-V bus.
3. Bus referensi
Pada bus referensi atau biasa disebut slack bus, adalah sebuah bus generator
yang dianggap sebagai bus utama karena merupakan bus yang memiliki kapasitas daya yang paling besar. Oleh karena daya yang dapat disalurkan oleh bus ini besar, maka dari itu, pada bus ini hanya nilai tegangan dan sudut fasa yang bisa diatur, sedangakan besar daya aktif dan reaktifnya akan dicari dalam perhitungan.
8 kode untuk bus referensi adalah angka 1, kode untuk bus generator adalah angka 2, dan kode untuk bus beban adalah angka 3. Untuk lebih jelasnya dari pembagian tipe dan kode bus, dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini :
Tabel 2.1 Tipe Bus Dalam Sistem Tenaga Listrik
Tipe bus Kode Bus Nilai yang
diketahui
Nilai yang dihitung
Bus beban 3 P, Q V, δ
Bus generator 2 P, V Q, δ
Bus referensi 1 V, δ P, Q
Diagram satu garis beberapa bus dari suatu sistem tenaga diperlihatkan pada Gambar 2.2
Gambar 2.2 Diagram Satu Garis dari N-bus dalam Suatu Sistem Tenaga
9
= � � + � � − � + � � − � + … + �� � − ��
= � + � + � + … + �� � − � � − � � − … − ����
(2.1) Kemudian, didefinisikan:
= � + � + � + … + ��
= −�
= −�
↓
� = −��
Dalam bentuk matriks admitansi dapat dinyatakan menjadi:
= [
Sehingga Ii pada Persamaan (2.1) dapat ditulis menjadi:
= � + � + � + … + ��� (2.3)
Atau dapat ditulis:
= � + ∑��= � ��
�≠ (2.4)
Persamaan daya pada bus I adalah:
− = �∗ ; dimana �∗ adalah conjugate pada bus i
= − �∗ (2.5)
10 diperoleh:
−
�∗ = � + ∑��=�≠ � �� (2.6)
Dari Persamaan 2.6 terlihat bahwa persamaan aliran daya bersifat tidak linier dan harus diselesaikan dengan metode numerik.
2.2.1 Metode Newton Raphson
Kecepatan relatif dari bermacam-macam metode analisis aliran beban sukar dipastikan. Salah satu metoda untuk menghitung aliran daya adalah metode
Newton-Raphson. Metode ini memiliki perhitungan lebih baik untuk sistem tenaga yang lebih besar dan tidak linier. Metode ini juga memiliki keuntungan dalam hal konvergensi yang jauh lebih cepat dan persamaan aluran daya yang dirumuskan dalam bentuk polar. Dimana penurunan rumus nya dapat dilihat sebagai berikut [4]
Pada suatu bus dimana besarnya tegangan dan daya reaktif yang tidak
diketahui, nilai real dan imajiner tegangan untuk setiap iterasi didapatkan dengan
menghitung nilai daya reaktif terlebih dahulu. Dari Persamaan 2.5 diperoleh:
−
�∗ = � + ∑��=�≠ � �� (2.7)
Dimana i = n, sehingga diperoleh:
− = �∗∑��= � �� (2.8)
= − { �∗∑��= � ��} (2.9)
Untuk menerapkan metode Newton-Raphson pada penyelesaian persamaan
aliran kita menyatakan tegangan bus dan admitansi saluran dalam bentuk polar. Jika
kita pilih bentuk polar dan kita uraikan Persamaan 2.7 ke dalam unsur real dan
imajiner maka didapatkan:
11
�� = |��| ∠��; � = | �| ∠��
Sehingga didapatkan:
− = ∑��= | � �� �| ∠�� + ��− � (2.9)
= ∑��= | � �� �| cos ��+ ��− � (2.10)
= − ∑��= | � �� �| sin �� + ��− � (2.11)
Persamaan 2.10 dan Persamaan 2.11 merupakan langkah awal perhitungan
aliran daya dengan metode Newton-Raphson. Penyelesaian aliran menggunakan
proses iterasi (k+1). Untuk iterasi pertama menggunakan nilai k = 0 merupakan nilai perkiraan awal yang diterapkan sebelum dimulai perhitungan aliran daya.
Hasil perhitungan daya menggunakan Persamaan 2.10 dan Persamaan 2.11
akan diperoleh nilai dan . Hasil ini digunakan untuk menghitung nilai
∆ dan ∆ menggunakan persamaan berikut:
∆ = � − (2.12)
∆ = � − (2.13)
Hasil perhitungan Persamaan 2.12 dan Persamaan 2.13 digunakan untuk
membentuk matriks Jacobian. Persamaan matriks Jacobian disusun sebagai
berikut:
12
Secara umum Persamaan 2.14 dapat disederhanakan ke dalam bentuk:
[∆∆ ] = [ ][∆|�| ]∆� (2.15)
Unsur Jacobian diperoleh dengan membuat turunan parsial dari Persamaan
2.10 dan Persamaan 2.11 dan memasukkan nilai tegangan perkiraan pada iterasi
pertama. Dimana dalam menentukan matriks Jacobian adalah sebagai berikut:
Jumlah baris dan kolom matriks dibuat berdasarkan dengan [2-m) x (2n-2-m)] dan jumlah baris dan kolom J1 dibuat berdasarkan [(n-1) x (n-1)], jumlah baris dan kolom J2 dibuat berdasarkan [(n-1) x (n-1-m)], jumlah baris dan kolom j3 dibuat berdasarkan [(n-1-m) x (n-1)], lalu jumlah baris dan kolom j4 dibuat berdasarkan [(n-1-m) x (n-1-m)].
Komponen diagonal dan off diagonal dari J1 adalah :
�
�� = ∑��≠ | � �� �| cos �� + ��− � (2.16)
�
�� = −| � �� �| cos ��+ ��− � j ≠ 1 (2.17)
Komponen diagonal dan off diagonal dari J2 adalah :
�
�� = |� cos � + ∑��≠ | � | cos �� + ��− � (2.18)
�
�� = −| � �| cos �� + ��− � j ≠ 1 (2.19)
Komponen diagonal dan off diagonal dari J3 adalah :
13
�� = ∑�≠ | � �� �| cos �� − ��+ � (2.20)
�
�� = −| � �� �| cos ��− ��+ � j ≠ 1 (2.21)
Komponen diagonal dan off diagonal dari J4 adalah :
�
�� = − |� sin � − ∑��≠ | � | sin ��+ �� + � (2.22)
�
�� = −| � �| sin ��+ ��− � j ≠ 1 (2.23)
Setelah mendapatkan nilai matriks Jacobian selanjutnya dilakukan
perhitungan pada nilai ∆� dan ∆|�| dengan cara melakukan inverse matriks
Jacobian, sehingga diperoleh bentuk sebagai berikut:
[ ∆�∆|�| ] = [ ]− [∆∆ ] (2.24)
Setelah nilai ∆� dan ∆|�| didapat, kita dapat menghitung nilai tersebut
untuk iterasi berikutnya, yaitu dengan menambahkan nilai ∆� dan ∆|�| ,
sehingga diperoleh persamaan berikut:
� + = � + ∆� (2.25)
|�| + = |�| + ∆|�| (2.26)
Hasil perhitungan Persamaan 2.19 dan Persamaan 2.20 digunakan lagi dalam proses iterasi selanjutnya, yaitu dengan memasukkan nilai hasil ke dalam Persamaan 2.10 dan Persamaan 2.11 sebagai langkah awal perhitungan aliran daya. Proses ini dilakukan secara terus menerus sampai diperoleh nilai yang konvergen.
Secara ringkas, metode penyelesaian aliran daya menggunakan metode
Newton-Raphson dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
14 pada setiap bus untuk nilai yang diperkirakan dari besar tegangan (V) dan
sudut fasanya (δ) untuk iterasi pertama atau nilai tegangan yang
ditentukan paling akhir untuk iterasi berikutnya
2. Hitung � pada setiap rel
3. Hitung nilai-nilai untuk Jacobian dengan menggunakan nilai-nilai
perkiraan atau yang ditentukan dari besar dan sudut fasa tegangan dalam persamaan untuk turunan parsial yang ditentukan dengan persamaan diferensial Persamaan 2.10 dan Persamaan 2.11
4. Inverse matriks Jacobian dan hitung koreksi-koreksi tegangan ∆� dan
∆|� | pada setiap rel
5. Hitung nilai yang baru dari |� | dan � dengan menambahkan nilai ∆�
dan ∆|� | pada setiap rel
6. Kembali ke langkah 1 dan ulangi proses tersebut dengan menggunakan
nilai besar dan sudut fasa tegangan yang ditentukan oleh nilai hasil terakhir sehingga semua nilai yang diperoleh lebih kecil dari indeks ketepatan yang dipilih.
2.2.2 Contoh Perhitungan Aliran Daya
Dilakukan perhitungan aliran daya menggunakan metode Newton-Raphson
seperti yang dijelaskan sebelumnya. Dimisalkan sebuah jaringan distribusi seperti
digambarkan pada Gambar 2.3 mempunyai satu slack bus, satu bus generator dan
satu bus beban.
15 Gambar 2.3 Single Line Diagram dengan 3 Bus
Didapatkan nilai matriks Y dari jaringan distribusi tersebut sebagai berikut:
=
[
−
− ]
= [− +− − +± − +− +
− + − + − ]
Dengan menggunakan Persamaan 2.9, diperoleh:
= |� ||� || | cos � − � + � + |� | |� | cos � − � + �
+ |� | | | cos �
= −|� ||� || | sin � − � + � − |� | |� | sin � − � + �
− |� | | | sin �
= |� ||� || | cos � − � + � + |� | |� | cos � − � + �
+ |� | | | cos �
16
mendapatkan nilai ∆ dan ∆ sesuai Persamaan 2.12 dan Persamaan 2.13
sebagai berikut:
∆ = ℎ − ℎ �
∆ = ℎ − ℎ �
Dimana matriks jacobian dibentuk dengan persamaan :
�
17
=
∆ = ℎ − = -4 - (-1,14) = -2,86
∆ = ℎ− = -2,5-(-2,28) = -0,22
∆ = ℎ − = 2 – 0,5616 = 1,4384
Lalu masukan semua nilai pada element matriks jacobian.
[− ,,
Dimana, hasil perhitungan dari atas akan didapatkan :
∆� = − ,
∆� = ,
∆� = − ,
Lalu hasil selisih di atas ditambahkan dengan nilai awal
� = 0 + (-0,045263) = 0,045263
� = + − , = ,
� = + − , = ,
Lalu nilai yang didapatkan di atas, dimasukan lagi ke dalam matriks jacobian untuk dilakukan perhitungan pada interasi ke 2, lalu dilanjutkan sampai nilai menjadi konvergen. Lalu nilai ahkir yang akan didapatkan adalah sebagai berikut :
� = 0,047058 + (-0,0000038) = 0,04706
� = , + − , = ,
� = , + − , = ,
18 daya aktif dan daya reaktif pada bus 3 dan bus 1
= −|� ||� || | sin � − � + � − |� | |� | sin � − � + �
− |� | | | sin �
= |� ||� || | cos � − � + � + |� | |� | cos � − � + �
+ |� | | | cos �
= −|� ||� || | sin � − � + � − |� | |� | sin � − � + �
− |� | | | sin �
Maka hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut = 1,4085 pu
= 2,1842 pu = 1,4617 pu
Hasil perhitungan tersebut masih belum akurat sepenuhnya dan dibutuhkan iterasi lanjutan untuk menghasilkan data yang konvergen. Perhitungan iterasi yang terlalu banyak menjadi alasan digunakan simulasi menggunakan program komputer dalam melihat aliran daya pada suatu sistem kelistrikan.
2.3 Pengaturan Tegangan
Tegangan yang konstan merupakan salah satu syarat utama yang harus dipenuhi dalam penyediaan tenaga listrik bagi konsumen. Penurunan tegangan yang besar pada sisi konsumen dapat menyebabkan kerusakan pada beberapa peralatan listrik. Oleh karenanya, masalah pengaturan tegangan merupakan masalah operasi sistem tenaga listrik yang perlu mendapat penanganan tersendiri.
19 tidak sama dalam setiap bagian sistem sehingga pengaturan tegangan menjadi lebih sulit dibandingkan dengan pengaturan frekuensi. Jika frekuensi hanya dipengaruhi oleh daya nyata MW dalam sistem, di lain pihak tegangan dipengaruhi oleh [6]:
a. Arus penguat generator
b. Daya reaktif beban
c. Daya reaktif yang didapat dalam sistem, misalnya dari kondensator dan
dari reaktor
d. Posisi tap transformator
Pada sistem distribusi tanpa adanya Distirbuted Generation, variasi
tegangan pada jaringan umumnya disebabkan oleh kenaikan tegangan pada sisi
sumber atau disebabkan oleh variasi beban. Adanya Distributed Generation pada
suatu sistem radial dapat merubah keadaan. Sebuah Distributed Generation dengan
pembangkitan daya rendah/sedang menyuplai beberapa beban lokal, tanpa merubah arah dari aliran daya dan mengakibatkan kenaikan tegangan. Namun, penambahan jumlah pembangkit lokal dapat menyebabkan perubahan arah aliran
daya di jaringan yang terhubung dengan Distributed Generation dan di
percabangan sistem distribusi lainnya. Di suatu titik percabangan dimana aliran
daya telah berbalik (reverted), tegangan akan meningkat daripada menurun [7].
20
Generation
Pada suatu saluran kelistrikan selalu terdapat jatuh tegangan. Gambar 2.4
menunjukkan one line diagram distribusi tenaga listrik yang mempunyai jatuh
tegangan di sepanjang saluran tersebut. Arus I sebagai fungsi dari beban daya nyata
kompleks S = PL + jQL dan tegangan beban U2, sehingga:
Gambar 2.4 One Line Diagram dan phasor diagram dari sebuah sistem distribusi
Drop tegangan pada saluran distribusi seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4 diberikan sebagai berikut:
|
21
Untuk aliran daya yang kecil, sudut tegangan � diantara V2 dan V1 juga
bernilai kecil, dan drop tegangan ∆� = |� − � | bisa dilakukan pendekatan
dengan:
2 V
Q X P R
V LN L LN L
(2.29)
Dengan semakin bertambahnya jarak dari sebuah jaringan listrik maka semakin tinggi juga jatuh tegangan yang dihasilkan sehingga mengakibatkan tegangan pada ujung kirim menjadi sangat rendah dan tidak sesuai dengan standar kelistrikan. Pada Gambar 2.5 ditunjukkan profil tegangan pada awal pengirman dan pada akhir pengiriman jaringan listrik.
Gambar 2.5 Profil Tegangan
Akhir Penyulang Awal Penyulang
22
Distributed Generation
Distributed Generation bisa dihubungkan kepada jaringan secara langsung
menggunakan generator induksi atau melalui suatu interface elektronik.
Untuk sebuah sistem yang memiliki beban dan Distributed Generation
seperti yang ditunjukkan Gambar 2.6, drop tegangan pada feeder dapat dihitung
Persamaan 2.30 menunjukkan bahwa jika Distributed Generation
menghasilkan daya reaktif atau Distributed Generation tidak bertukar daya dengan
jaringan (grid), Distributed Generation selalu menurunkan drop tegangan
sepanjang feeder. Jika daya yang dibangkitkan lebih besar dari beban feeder, daya
akan mengalir dari Distributed Generation menuju gardu induk dan menyebabkan
kenaikan tegangan. Kemudian, Persamaan 2.30 menunjukkan bahwa jika
Distributed Generation menyerap daya reaktif, Distributed Generation bisa
meningkatkan atau menurunkan drop tegangan. Hal ini bergantung dari daya aktif
dan daya reaktif Distributed Generation yang berhubungan dengan beban daya
aktif dan daya reaktif serta rasio X/R jaringan.