• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pemalsuan Uang Kertas Rupiah Dan Pengedarannya Di Kotamadya Medan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pemalsuan Uang Kertas Rupiah Dan Pengedarannya Di Kotamadya Medan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Arief, Barda Nawawi. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana.

Boediono. 1990. Ekonomi Moneter. Yogyakarta: BPFE.

Chazawi, Adami. 2005. Kejahatan terhadap Pemalsuan. Cetakan III. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Hamzah, Andi. 2006. Hukum Acara Pidana Indonesia. Cetakan V. Jakarta: Sinar Grafika.

Harahap, H. Chairuman. 2003. Penegakan Supremasi Hukum. Bandung: CitaPustaka Media.

Harahap, M. Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Edisi II. Cetakan VIII. Jakarta: Sinar Grafika.

Irawan, F.X. Bambang. 2000. Bencana Uang Palsu. Cetakan I. Yogyakarta: els Treba.

Komaruddin. 1991. Uang di Negara Sedang Berkembang. Cetakan I. Jakarta: Bumi Aksara.

Nitibaskara, Tb. Ronny Rahman. 2006. Tegakkan Hukum Gunakan Hukum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

(2)

Prasetyo, Teguh, dkk. 2005. Politik Hukum Pidana Kajian Kriminalisasi dan Dekriminalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Projodikoro, Wirjono. 2003. Tindak-tindak Pidanan Tertentu di Indonesia. Edisi III. Cetakan I. Bandung: PT Refika Aditama.

Rahardjo, Satjipto. 2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing.

Soejono. 1996. Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia. Cetakan I. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Soekanto, Soerjono. 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Cetakan V. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Soenarso, Siswanto. 2005. Wawasan Penegak Hukum di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Wibowo, Eddi, dkk. 2004. Hukum dan Kebijakan Publik. Yogyakarta: YPAPI.

Undang-Undang:

Kitab Undang-undang Hukumj Pidana

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia juncto Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004

(3)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Internet:

http://paskakurniajati.blogspot.com/2009/02/pemalsuan-uang.html http://id.wikipedia.org/wiki/Jenis-jenis_uang

http://www.e-dukasi.net/mol/mo_full.php?moid=7&fname=eko203_06.htm http://ilmea.depperin.go.id/sk/uu198106.htm

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0204/15/sh05.html

http://paskakurniajati.blogspot.com/2009/02/pemalsuan-uang.html

Data:

Laporan Uang Palsu di Kantor Bank Indonesia Medan (Tahun 2000-2008)

Rekapitulasi Data Perkara Uang Palsu Laboratorium Forensik Cabang Medan (Tahun 2005-2008)

Laporan Pengaduan/Kasus Pemalsuan Uang di Kepolisian Kota Besar Medan dan Sekitarnya (Poltabes MS) Tahun 2000-2007

Data Perkara Uang Palsu di Pengadilan Negeri Medan (Tahun 2006-2008)

Makalah:

Rafiqoh Lubis, SH,MHum. “Bahan Perkuliahan Hukum Acara Pidana”. 2008. Bank Indonesia. “Materi Bidang Sistem Pembayaran dalam rangka Sosialisasi

(4)

H. Jantokartono Moeljo, SH, MH. “Kejahatan terhadap Mata Uang dan Upaya Penegakan Hukumnya di Wilayah Hukum Sumatera Utara” dalam rangka seminar Kejahatan terhadap Mata Uang dan Upaya Penegakan Hukumnya di Wilayah Sumatera Utara”. Medan. 2006.

Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung. “Ringkasan Penelitian Hukum Tindak Pidana di Bidang Mata Uang” dalam rangka seminar Kejahatan terhadap Mata Uang dan Upaya Penegakan Hukumnya di Wilayah Sumatera Utara”. Medan. 2006.

Direktorat Hukum Bank Indonesia. “Perlunya Paradigma Baru dalam Pemberantasan Pemalsuan Uang dan Pengedaran Uang Palsu” dalam rangka seminar Kejahatan terhadap Mata Uang dan Upaya Penegakan Hukumnya di Wilayah Sumatera Utara”. Medan. 2006.

AKBP Drs. Suryanbodo Asmoro. “Penyidikan terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Mata Uang” dalam rangka seminar Kejahatan terhadap Mata Uang dan Upaya Penegakan Hukumnya di Wilayah Sumatera Utara”. Medan. 2006. Gortap Marbun, SH. “Penuntutan Terhadap Kejahatan Mata Uang” dalam rangka

seminar Kejahatan terhadap Mata Uang dan Upaya Penegakan Hukumnya di Wilayah Sumatera Utara”. Medan. 2006.

Brosur:

(5)

BAB III

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA DI KOTAMADYA MEDAN

Penegakan Hukum

Pelaksanaan penegakan hukum sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang No.4 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-undang No.14 Tahun 1970 jo. Undang-undang No.35 Tahun 1999, perumusannya sebagai berikut:

Pasal 1

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

(6)

kehakiman, maka pengertian “kekuasaan kehakiman” seyogianya dirumuskan sebagai “kekuasaan negara untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia”.43

Dengan demikian “kekuasaan kehakiman (di bidang hukum pidana) dilaksanakan oleh 4 (empat) badan/lembaga seperti dikemukakan di atas. Keempat badan-badan itulah yang dapat disebut sebagai “badan-badan penegak hukum”. Dengan kata lain, kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana, bukan hany diwujudkan dalam “kekuasaan mengadili”, tetapi diwujudkan/diimplementasikan dalam 4 (empat) tahap kekuasaan di atas. Keempat tahap kekuasaan kehakiman (di bidang hukum pidana) itulah yang merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana, yang biasa dikenal

Dengan pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti luas sebagaimaan disebutkan di atas, maka kekuasaan kehakiman tidak hanya berarti “kekuasaan mengadili” (kekuasaan menegakkan hukum di badan-badan pengadilan), tetapi mencakup menegakkan hukum dalam seluruh proses penegakan hukum. Ini berarti, dalam perspektif sistem peradilan pidana (SPP), “kekuasaan kehakiman (kekuasaan penegakan hukum) di bidang hukum pidana” mencakup seluruh kekuasaan/kewenangan dalam menegakkan hukum pidana, yaitu “kekuasaan penyidikan” (oleh badan/lembaga penyidik), “kekuasaan penuntutan” (oleh badan/lembaga penuntut umum), “kekuasaan mengadili” (oleh badan pengadilan), dan kekuasaan pelaksana putusan/pidana” (oleh badan /lembaga eksekusi)

43

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana

(7)

dengan istilah “sistem peradilan pidana yang terpadu” (“integrated criminal justice system”). Dengan kata lain, SPP (sistem peradilan pidana) pada hakikatnya merupakan “sistem penegakan hukum pidana” atau “sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana”.

Masalah penegakan hukum, baik secara “in abstracto” maupun secara “in concreto”, merupakan masalah aktual yang akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam dari masyarakat.44

Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum. Di dalam tulisan ini, yang

Kualitas penegakan hukum yang dituntut masyarakat saat ini bukan sekedar kualitas formal, tetapi kualitas penegakan hukum secara materiil/substansial seperti terungkap dalam beberapa isu sentral yang dituntut masyarakat, antara lain: (1) adanya perlindungan HAM (hak asasi manusia); (2) tegaknya nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kepercayaan antarsesama; (3) tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan/wewenang; (4) bersih dari praktek “favoritisme” (pilih kasih), KKN, dan mafia peradilan; (5) terwujudnya kekuasaan kehakiman/penegakan hukum yang merdeka, dan tegaknya kode etik/kode profesi; (6) adanya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Penegak Hukum

44

(8)

dimaksudkan dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintance. Kiranya sudah dapat diduga bahwa kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas di bidang-bidang kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan pemasyarakatan.45

Secara sederhana sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk memahami serta menjawab pertanyaan apa tugas Hukum Pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana Hukum Pidana di dalam undang-undang dan bagaimana Hakim menerapkannya.

Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan, yang makin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan tersebut merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Dalam bidang hukum pidana yang mencakup tugas kemasyarakatan maka mengenai kedudukan ini disebutkan sebagai tugas-tugas dan kewenangan-kewenangan. Tugas dan kewenangan tersebut merupakan peranan atau role. Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant).

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

46

45

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 19.

46

(9)

Di Indonesia, sistem peradilan pidana setelah berlakunya Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mempunyai empat komponen (empat sub sistem), yaitu: Sub sistem Kepolisian yang secara administratif di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan, Kejaksaan di bawah Kejaksaan Agung, Pengadilan di bawah Mahkamah Agung dan Lembaga Pemasyarakatan di bawah departemen Kehakiman. Tujuan sistem peradilan pidana dapat dikategorikan sebagai berikut:47

1. Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana;

2. Dikategorisasikan sebagai tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dituju lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal (Criminal Policy);

3. Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (Social Welfare) dalam konteks politik kriminal (Criminal Policy).

Sedangkan menurut Mardjono Reksodiputro, sistem ini dianggap berhasil, apabila terdapat laporan dan keluhan masyarakat bahwa mereka telah menjadi korban dari suatu kejahatan dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku ke muka sidang pengadilan dan menerima pidana. Dengan demikian cakupan tugas sistem ini sangat luas, yaitu:48

a. Mencegah masyarakat menjadi korban;

47 Ibid. 48

(10)

b. Menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah dipidana;

c. Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak lagi mengulangi perbuatannya.

Mekanisme Sistem Peradilan Pidana dalam Kejahatan Uang Palsu

Sistem ini mulai bekerja pada saat adanya laporan kejahatan uang palsu dari masyarakat, setelah itu Polisi melakukan penangkapan, seleksi, penyelidikan, penyidikan dan membuat Berita Acara Pemeriksaan. Para pelaku yang bersalah diteruskan kepada Kejaksaan, sedangkan yang tidak bersalah dikembalikan kepada masyarakat. Kemudian Jaksa mengadakan seleksi lagi terhadap pelaku dan mengadakan penuntutan serta membuat surat dakwaan.

Para pelaku yang tidak bersalah dibebaskan, sedang yang bersalah diajukan ke Pengadilan. Dalam hal ini pun Pengadilan juga melakukan hal yang sama, artinya yang tidak terbukti bersalah dibebaskan, sedang yang terbukti melakukan kejahatan uang palsu diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir yang melakukan pembinaan terhadap si terhukum.

(11)

yang dimaksud dengan Output adalah hasil-hasil yang diperoleh, yaitu tujuan dari penegakan hukum pidana.49

Sistem peradilan pidana diimplementasikan oleh seluruh kekuasaan dalam menegakkan hukum pidana, yaitu kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili, dan kekuasaan eksekusi pidana. Keseluruhan proses

Sebagai suatu sistem, maka di dalam mekanismenya mensyaratkan adanya kerja sama diantara sub sistem. Apabila salah satu sub sistem itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka hal itu akan mengganggu sistem ini secara keseluruhan. Oleh karena itu, keempat sub sistem itu memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lainnya dimana tujuannya adalah satu, tetapi tugasnya berbeda-beda.

Komponen Sistem Peradilan Pidana

Berdasarkan telaahan terhadap isi ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP ditemukan empat komponen yang mempengaruhi sistem peradilan pidana, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan. Keempat komponen aparatur hukum ini memiliki hubungan yang amat erat satu sama lain, bahkan saling menentukan.

Dibandingkan dengan bidang-bidang lain peraturan penegakan hukum dalam bidang pidana ini lebih lengkap, yang terdapat dalam ketentuan hukum acara pidana, undang-undang kekuasaan kehakiman, undang-undang kepolisian, undang-undang kejaksaan, dan peraturan tentang penjara.

49

(12)

penegakan hukum pidana ini dapat dimasukkan dalam pengertian kekuasaan kehakiman dalam bidang hukum pidana. Karena itu sistem peradilan pidana itu pada hakekatnya merupakan sistem penegakan hukum pidana atau sistem kekuasaan kehakiman dalam bidang hukum pidana.

Meskipun komponen sistem peradilan pidana ini merupakan satu kesatuan dalam penegakan hukum, namun masing-masing bekerja dalam batas tugas dan kewenangannya. Artinya satu komponen tidak harus mencampuri tugas dan kewenangan aparat penegak hukum lainnya. Hubungan komponen-komponen tersebut hanya sebatas komunikasi, dan koordinasi agar tercipta harmonisasi dalam pelaksanaan tugas, dan tidak terjadi konflik kewenangan di antara aparat penegak hukum. Dengan demikian akn terwujud proses peradilan yang jujur dan adil.

Dalam sejarah penegakan hukum pidana (khususnya di Indonesia) tercatat adanya pertemuan-pertemuan di antara unsur-unsur penegak hukum kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan yang biasanya dilaksanakan di Cibogo sehingga dikenal dengan sebutan “pertemuan Cibogo”. Selain itu dikenal pula forum Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan, dan Kepolisian (Mahkejapol).

(13)

pimpinan dari masing-masing unsur harus mengamati semua kegiatan yang diperankan oleh aparat bawahannya secara intensif.

Berikut adalah mekanisme penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan yang diuraikan secara umum sebagai berikut.

A. Kepolisian

Peredaran kejahatan pemalsuan uang dari tahun ke tahun selalu meningkat, terlebih dipergunakan sebagai transaksi untuk pembelian narkoba, serta beredarnya uang palsu di daerah-daerah konflik.50

a. Menerima pengaduan, menangkap orang, menahan orang (Pasal 13); Sebagai upaya penanggulangan kejahatan pemalsuan ini pihak kepolisian (dalam hal ini Poltabes Medan dan Sekitarnya) melakukan berbagai upaya melalui antisipasi dan strategi dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan pemalsuan mata uang rupiah di kota Medan.

Polisi sebagai instansi pertama yang terlibat dalam mekanisme sistem peradilan pidana Indonesia, dalam menjalankan tugasnya berpedoman pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, yang mempunyai tugas dan wewenang, antara lain:

b. Polisi juga ikut serta secara fisik di dalam pertahanan negara (Pasal 18).

50

(14)

Sedangkan menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara pidana, Polisi mempunyai wewenang dan dinyatakan sebagai:

a. Penyelidik (Pasal 4); b. Penyidik (Pasal 6);

c. Polisi diharuskan membuat Berita Acara Pemeriksaan (Pasal 75); d. Polisi mempunyai diskresi untuk menghentikan Penyidikan (Pasal 109); e. Polisi mempunyai wewenang untuk menentukan (men-stir) tindak pidana

apa yang dilakukan oleh tersangka (Pasal 121).

Oleh karena itu dapat dikatakan yang paling berat tugas dan tanggung jawabnya di antara alat penegak hukum, ialah Polisi. Polisi-lah yang pertama-tama yang harus melakukan segala daya upaya yang bersifat preventif yaitu menghindarkan terjadinya gangguan keamanan, termasuk terhadap kejahatan pemalsuan uang kertas rupiah dan pengedarannya. Polisi harus selalu siap siaga siang dan malam. Dalam tugasnya itu Polisi dianggap mempunyai indera keenam untuk mampu mencium adanya kejahatan uang palsu. Melalui indera keenam itulah Polisi diharapkan dapat dan mampu menghindarkan hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya kejahatan uang palsu yang sama-sama tidak dikehendaki.

(15)

sebagai penyelidik/penyidik kerapkali melakukan salah kira terhadap pelaku yang dicurigai. Hal ini akan menyulitkan apabila sampai pada acar pemeriksaan sampai pembuatan Berita Acara Pemeriksaan. Oleh karenanya tidak tertutup kemungkinan Berita Acara Pemeriksaan itu ditolak oleh Jaksa karena tidak lengkapnya bukti-bukti yang dapat membuktikan bahwa tersangka adalah pemalsu uang ataupun pengedarnya. Polisi sebagai penjaga gawang dalam arti apa yang harus diteruskan untuk penuntutan banyak diperhadapkan pada masalah-masalah administratif, padahal Polisi itu sebagai salah satu penegak hukum harus aktif melindungi masyarakat dari terjadinya pelanggaran-pelanggaran.

Polisi juga mempunyai diskresi dalam menerapkan mandat yang diberikan. Polisi juga diberikan tugas utama, yaitu membuat keputusan ondespoot (di tempat). Keputusan pada saat itu mengakibatkan sesuatu yang sangat penting, yaitu bagaimana hukum itu diterapkan (khususnya pengakuan terhadap hak-hak asasi tersangka).

Peranan pihak Kepolisian dalam pemberantasan uang palsu antara lain:51

a. Melakukan penangkapan terhadap pengedar serta mengajukan Berkas Perkara kepada Jaksa Penuntut Umum.

(Wawancara dengan Aipda Jikri Sinurat)

b. Melakukan penangkapan terhadap orang yang memalsukan atau orang yang mencetak sendiri uang palsu tersebut serta mengedarkannya. (Info diambil dari pengalaman yang tertangkap terlebih dahulu).

(16)

c. Melakukan penyitaan barang bukti berupa uang yang diduga palsu beserta alat-alat yang dipergunakan untuk membuat uang tersebut.

Peran Polisi sangat penting sebagai pihak yang pertama kali mengambil tindakan apabila terjadinya pemalsuan uang.

A.1. Penyelidikan dan Penyidikan terhadap Kejahatan Pemalsuan Mata Uang

a. Penyelidikan

Dibandingkan dengan HIR/RBg, maka dalam hal penyelidikan dan penyidikan KUHAP telah mengadakan perincian secara jelas tentang hal-hal yang berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan.

Pengaturan secara rinci tentang hal-hal yang berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan itu, yaitu dimulai dari pengertian penyelidikan dan penyidikan, para pejabat penyelidik dan pejabat penyidik, fungsi dan wewenang pejabat penyelidik dan pejabat penyidik serta tata cara pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan.

Penyelidik

(17)

penyelidikan itu A. Hamzah mengemukakan bahwa ; “… penyelidikan berasal dari kata sidik yang mendapatkan sisipan el, menjadi selidik. Artinya sama dengan sidik, hanya diperkeras pengertiannya, banyak menyelidik”52

a. Dalam pasal 1 angka 4 KUHAP, dirumuskan bahwa penyelidik adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

Pejabat Polri Sebagai Pejabat Penyelidik (dalam kejahatan uang palsu):

b. Dalam pasal 1 angka 5 ditegaskan pula bahwa yang dimaksudkan dengan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Dari perumusan pasal 1 angka 4 dan pasal 1 angka 5 KUHAP di atas, dapat ditarik pengertian bahwa setiap pejabat kepolisian negara Republik Indonesia itu adalah pejabat yang berstatus sebagai pejabat penyelidik dan berwenang melaksanakan penyelidikan.

Bermula dari pengertian penyelidikan sebagaimana digariskan pada pasal 1 angka 5 KUHAP tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penyelidikan adalah tindakan yang dilakukan oleh pejabat penyelidik dalam rangka mempersiapkan suatu penyelidikan terhadap suatu tindak pidana.

52

(18)

Oleh karena itulah M. Yahya Harahap mengatakan bahwa penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. Akan tetapi harus diingat, penyelidik (penyelidikan, penulis) bukanlah suatu tindak atau fungsi yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan.

Karena penyelidikan itu merupakan tahap persiapan atau permulaan dari penyidikan, Soesilo Yuwono mengatakan bahwa lembaga penyelidikan di sini mempunyai fungsi sebagai “penyaring”, apakah suatu peristiwa dapat dilakukan penyidikan ataukah tidak. Sehingga kekeliruan pada tindakan penyidikan yang sudah bersifat upaya paksa terhadap seseorang, dapat dihindarkan sedini mungkin.53

Penyelidikan sebagai sub sistem daripada penyidikan, memegang peranan penting dan sangat menentukan bagi keberhasilan penyidikan. Oleh karena itu meskipun penyelidikan itu adalah wewenang dari setiap anggota Polri, tetapi dalam pelaksanaannya seyogianya dilakukan di bawah pimpinan pejabat

Dalam pedoman pelaksanaan KUHAP, diberikan penjelasan yang berhubungan dengan penyelidikan sebagai berikut : Penyelidikan bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum.

53

(19)

penyidik. Dengan mekanisme kerja demikian diharapkan penyelidikan sejak dini telah menghasilkan gambaran tentang peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana dan kesimpulan bahwa suatu peristiwa benar-benar merupakan tindak pidana serta terhadap tindak pidana itu dapat dilakukan penyidikan.

Dengan adanya keikutsertaan pejabat penyelidik dalam pelaksanaan tugas penyelidikan itu, penyidikan yang akan dilakukan nantinya akan lebih mudah, karena sejak dini pejabat penyidik telah memperoleh gambaran tentang tindak pidana yang akan disidik itu.54

3. Tertangkap tangan, yaitu tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau apabila sesaat kemudian padanya Untuk mengetahui ada dugaan telah terjadi suatu peristiwa tindak pidana yaitu melalui:

1. Laporan, yaitu pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan, terjadinya peristiwa pidana (Pasal 1 butir 24 KUHAP).

2. Pengaduan, yaitu pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan (Pasal 1 butir 25 KUHAP).

54

(20)

ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu (Pasal 1 butir 19). 4. Media Massa, di mana aparat penegak hukum dapat mengetahui terjadinya

tindak pidana melalui media massa misalnya TV, surat kabar, majalah dan lain-lain. Informasi yang diberikan melalui media massa dapat menjadi informasi bagi aparat penegak hukum terutama penyelidik dan penyidik untuk melakukan tindakan-tindakan apabila dari informasi tersebut diduga telah terjadi suatu tindak pidana.

Kewenangan Penyelidik

Dalam melaksanakan penyelidikan, penyelidik mempunyai kewajiban dan kewenangan. Penyelidik karena kewajibannya memiliki kewenangan antara lain sebagai berikut (Pasal 5 KUHAP):

1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

2. Mencari keterangan dan barang bukti;

3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

(21)

1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;

2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;

3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

4. Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.

Penyelidikan merupakan tindakan tahap permulaan penyidikan. Akan tetapi, penyelidikan bukan merupakan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisah dari fungsi penyidikan. Adapun pihak yang berwenang untuk melakukan penyelidikan adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia (Pasal 4 KUHAP).

b. Penyidikan

Apabila tahap penyelidikan telah dilalui dan dapat ditentukan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana maka dilanjutkan dengan tahap penyidikan.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 butir 2 KUHAP).

Penyidik

Yang termasuk sebagai penyidik adalah (Pasal 6 KUHAP): 1. Pejabat polisi negara Republik Indonesia;

(22)

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, syarat kepangkatan penyidik adalah sebagai berikut:

a. Pejabat polisi RI tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan II Polisi (sekarang AIPDA/Ajun Inspektur Polisi Dua);

b. Pejabat PNS tertentu yang sekurang-kurangnya Pengatur Mda Tk.I Gol.II B atau yang disamakan dengan itu.

Pembuktian

Dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, kepolisian berupaya untuk mengumpulkan barang bukti dan alat-alat bukti yang berkaitan guna menghukum pelaku sebenarnya.Alat-alat bukt i menurut KUHAP pasal 184 ayat (1) yaitu:

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Kemudian, dalam melaksanakan tugasnya pula kepolisian membutuhkan bantuan teknis, antara lain :

a. Identifikasi

(23)

Hal yang paling penting pula dalam upaya pemberantasak kejahatan pemalsuan mata uang rupiah ini pula ialah adanya koordinasi antara para penegak hukum dan juga dengan instansi-instansi terkait lainnya. Koordinasi tersebut yaitu antara:

a. Penegak hukum b. Interpol

c. Instansi perbankan d. BOTASUPAL55

Adapun proses penyelidikan yang dilakukan oleh POLRI atau Kepolisian dalam pekara kejahatan pemalsuan uang yaitu di mana pihak Kepolisian menerima pengaduan dari masyarakat atau tertangkap tangan memiliki, menyimpan, menguasai, atau mengedarkan uang palsu sehingga orang tersebut dapat dilakukan penyelidikan atas ditemukannya uang palsu tersebut.

Sedangkan proses penyelidikannya adalah di mana seseorang yang sudah tertangkap tangan memiliki uang palsu sehingga dapat diproses sesuai dengan ketentuan perundang-undangan atau pasal yang dipersangkakan. Sehingga perkara tersebut dapat diajukan kepada Jaksa Penuntut Umum.

Koordinasi dengan instansi-instansi terkait lainnya

Agar penanggulangan kejahatan pemalsuan uang dapat dilakukan semaksimal mungkin, sangat dibutuhkan adanya kerjasama yang erat antara para

55

(24)

penegakan hukum dan instansi terkait lainnya. Dalam hal ini akan dibahas mengenai koodinasi antara Kepolisian, Bank Indonesia, Botasupal serta tidak lepas pula peran masyarakat yang sangat penting.

Berikut ini merupakan wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan Bapak Novaryos, salah seorang dari staf pada Unit Kas Bank Indonesia Medan terkait dengan peran Bank Indonesia (dalam hal ini Bank Indonesia Medan) dalam rangka penanggulangan kejahatan pemalsuan uang di kota Medan sebagai berikut:56

1. Upaya yang dapat dilakukan oleh BI dalam rangka pemberantasan kejahatan pemalsuan uang adalah upaya perventif (pencegahan). Upaya preventif ini dilakukan dalam bentuk sosialisasi kepada 3 (tiga) golongan, yaitu:

- Golongan I ialah perbankan;

- Golongan II terdiri dari masyarakat, pedagang, toko, dan sebagainya;

- Golongan III ialah mahasiswa dan pelajar.

Bank Indonesia memberikan sosialisasi mengenai ciri-ciri uang asli (bukan ciri-ciri uang palsu) serta tindakan apa yang harus dilakukan apabila menemukan uang yang diduga palsu. Dalam sosialisasi tersebut ikut pula disampaikan oleh BI tentang bagaimana prosedur dalam melaporkan uang yang diduga palsu tersebut dan keadaan-keadaan atau

56

(25)

sanksi yang akan diterima apabila tidak dilaporkan mengenai uang yang diduga palsu itu.

Yang menjadi keburukan dari adanya uang palsu di negara kita ialah adanya beberapa kondisi yang pada akhirnya tetap membuat si pelapor merugi dengan memiliki uang palsu tersebut, di mana:

- Apabila uang tersebut dijalankan olehnya (diberikan kepada orang lain tanpa memberitahu bahwa uang tersebut palsu) karena ia tidak mau merugi sementara diketahuinya uang yang diterimanya itu palsu, ia dapat dituduh sebagai pengedar dan diancam dengan pidana karena melakukan kejahatan pengedaran uang palsu;

- Apabila uang tersebut disimpan/ditahan/tidak dijalankan karena ia takut disebut sebagai pengedar, ia merugi;

- Apabila dilaporkan, ia juga merugi sebab tidak ada uang pengganti atas uang palsu.

Hal-hal tersebut di atas inilah yang menjadi dilematis karena lemahnya kondisi yang ditimbulkan akibat dari kejahatan pemalsuan uang di Indonesia. Seperti halnya pribahasa seperti makan buah simalakama, dimakan mati ayah tak dimakan mati ibu. Di mana tindakan apapun yang dilakukan oleh pemegang uang palsu akan membuatnya merugi. Oleh karenanya sangat diperlukan kejelian dari setiap orang apabila menerima uang dari siapapun.57

57 Ibid.

(26)

pihak yang berwajib (pihak Kepolisian) untuk dapat dilakukannya proses hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Adapun koordinasi yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Poltabes MS dengan Bank Indonesia Medan salah satunya yaitu uang yang diduga palsu yang ditemukan oleh pihak Kepolisian diserahkan kepada Bank Indonesia Medan untuk dapat menentukan apakah uang itu palsu atau tidak serta menyertakan kertas dan peralatan lainnya yang digunakan mencetak uang yang ditemukan.58

Peran yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka pemberantasan kejahatan pemalsuan uang ini hanya dalam hal preventif (pencegahan sebelum kejahatan ini terjadi) yang niat dan tindakannya berasal dari BI lansung. Sedangkan upaya represifnya (penanggulangan Laporan kepada pihak Kepolisian atas ditemukannya uang palsu sangat memegang peranan penting dalam upaya pemberantasan kejahatan pemalsuan uang. Dengan adanya laporan serta adanya bukti permulaan yang cukup maka tindakan penyelidikan dapat dilakukan guna menemukan pelakunya. Dengan adanya laporan tersebut juga diharapkan dapat mengungkap kasus-kasus pemalsuan uang lainnya yang ditemukan sebelumnya yang pelakunya belum diketahui. Dengan kata lain, laporan tersebut akan mempermudah penyidikan atas penyelidikan kasus yang belum ditemukan pelakunya atau jaringan/organisasi pemalsu uang tersebut.

58

(27)

setelah kejahatan ini terjadi) merupakan peran dari para penegak hukum, tidak termasuk BI.

(28)

Setelah lengkap Jaksa Penuntut Umum kemudian melimpahkan kasus tersebut ke pengadilan untuk proses pemeriksaan selanjutnya.

Kalaupun dalam hal penyelidikan di mana BI setelah dimintakan oleh pihak Kepolisian memberikan pernyataan bahwa uang yang diduga palsu itu memang benar-benar palsu dan diberi tanda oleh BI sebagai uang palsu dan juga dalam hal pembuktian yaitu setelah dimintakan oleh Kepolisian atau Jaksa Penuntut Umum untuk menjadi saksi ahli di pengadilan, maka kedua hal tersebut bukanlah upaya yang dilakukan atas inisiatif BI karena kondisinya BI dimintakan bukan atas niatnya sendiri melakukan tindakan dalam hal penyelidikan maupun pembuktian tersebut. Tanpa adanya permintaan dari pihak Kepolisian, BI tidak dapat bertindak sendiri. Sehingga tindakan tersebut bukan termasuk upaya represif.

Meskipun demikian peranan dari pihak BI namun belum ada unit khusus di BI yang menangani apabila ditemukannya uang palsu pada BI. Namun, bagian di BI yang berhak menjadi saksi ahli serta dalam hal pmberitahuan kepada pihak Kepolisian (Polda) adalah bagian Kas BI. Di mana apabila datang permintaan dari pihak Kepolisian untuk menyatakan bahwa uang yang dilaporkan itu memang palsu, maka pihak BI yaitu pimpinan bagian Kas BI kemudian menunjuk siapa yang akan menjadi saksi ahli dalam kasus pemalsuan uang tersebut dilihat dari kemampuan yang dimiliki.

(29)

Kepolisian dalam penyelidikan ataupun penyidikan dan membantu pihak Kejaksaan atau pengadilan dalam hal memberikan keterangan sebagai saksi ahli dalam pemeriksaan atau pembuktian di pengadilan dalam kasus kejahatan pemalsuan uang. Sebab tanpa dukungan atau bantuan dari pihak BI, pihak Kepolisian akan kesulitan dalam melakukan penyelidikan ataupun penyidikan mengingat sangat pentingnya peran BI tersebut serta mengingat jumlah kasus uang palsu yang ditemukan di BI jauh lebih banyak dibandingkan dengan kasus pemalsuan uang yang diperoleh dari laporan pada pihak Kepolisian (data terlampir).

Sedangkan koordinasi antara pihak Kepolisian dengan Botasupal (Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu) antara lain dengan Botasupal mengirimkan surat bahwasanya telah ditemukannya uang palsu beserta keterangan, kemudian pihak Botasupal akan datang secara langsung ke Poltabes MS untuk melihat uang palsu tersebut serta keterangan tentang bagaimana cara ditemukannya uang palsu oleh pihak Kepolisian itu. Terhadap segala pemeriksaan uang palsu maupun informasi lainnya pihak Kepolisian membuat Berita Acara atas ditemukannya uang palsu tersebut.

(30)

adalah aparat Kepolisian, namun peran BI tersebut di atas sangat memegang peranan penting. Kepolisian dan BI dapat dikatakan sebagai pintu pembuka dilakukannya penegakan hukum terhadap kejahatan pemalsuan mata uang (penulis), serta dilanjutkan dengan kekuasaan kehakiman serta diakhiri dengan pengambilan keputusan oleh hakim (penjatuhan hukuman).

Diharapkan terciptanya suatu penyamaan persepsi dan pandangan antara Bank Indonesia selaku bank sentral dengan aparat penegak hukum serta masyarakat luas dalam menangani kejahatan pemalsuan mata uang rupiah.

Berikut ini adalah hal-hal yang harus dilakukan bila menerima uang yang diragukan keasliannya, yaitu:59

1. Masyarakat umum agar melaporkan uang yang diragukan keasliannya tersebut kepada Bank Indonesia, bank umum atau pihak Kepolisian.

2. Bank umum agar melakukan hal-hal sebagai berikut:

a) Menahan uang yang diragukan keasliannya tersebut dan tidak menggantinya.

b) Tidak boleh merusak fisik uang. c) Mencatat identitas pelapor/penyetor. d) Membuat laporan ke Bank Indonesia.

59

(31)

Kemudian BI memberikan pula bagaimana masyarakat seharusnya memperlakukan uang, sebagai berikut:

1. Simpanlah uang secara benar pada tempatnya.

2. Hindari perusakan fisik dari coret-coretan, staples, selotip, peremasan dan sebagainya.

3. Tukarkan uang lusuh, rusak, terbakar dan cacat ke Bank.

Disebutkan pula mengenai sanksi pidana terhadap perbuatan memalsukan uang, yaitu sebagai berikut:

Setiap orang yang sengaja meniru atau memalsukan uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh orang lain mengedarkan, dan setiap orang yang membuat benda semacam uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 244 KUHP atau pasal IX Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.

(32)

kepolisian ini pun sangat membutuhkan bantuan dari pihak lain seperti Bank Indonesia dan Botasupal.

2. Kemudian mengenai kerjasama antara pihak BI dengan pihak Botasupal (Badan Pemberantasan Uang Palsu) yaitu dalam hal saling memberikan informasi apabila mengetahui adanya hal-hal atau informasi bahwa telah ditemukannya uang yang diduga palsu ataupun tempat tertentu yang dicurigai menjadi dilakukannya praktek pembuatan uang palsu. Botasupal yang terdiri dari BIN (Badan Intelegensi Nasional), Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, sama halnya dengan BI yaitu berperan dalam hal melakukan upata preventif dalam rangka pemberantasan kejahatan pemalsuan uang, yaitu dengan memberikan informasi atau pemberitahuan kepada pihak yang berwajib (pihak Kepolisian) apabila mengetahui tentang adanya uang palsu. Demikian halnya Botasupal dengan Kepolisian, sama seperti dengan pihak BI, yaitu dalam hal pemberian informasi tentang terjadinya kejahatan pemalsuan uang..

(33)

BI mengharapkan masukan-masukan yang konstruktif dari berbagai kelompok masyarakat pengguna rupiah mengenai metode dan deteksi yang digunakan dalam mengenali keaslian uang rupiah. Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh BI adalah mengindetifikasi berbagai modus kejahatan terhadap penggunaan uang rupiah dan upaya-upaya preventif dan represif dalam penanggulangan pemalsuan uang rupiah. Saat ini BI pun telah dan terus melakukan berbagai upaya preventif guna menghadapi tantangan risiko uang Rupiah palsu. Berbagai tindakan yang dilakukan oleh BI dalam rangka penanggulangan pemalsuan uang antara lain :

a. Penggantian desain uang Rupiah secara berkala dengan menggunakan teknologi pengaman uang (security features) termutakhir dan terkini pada desain barunya.

b. Penyebarluasan secara aktif informasi ciri-ciri keaslian uang Rupiah melalui penayangan iklan layanan masyarakat

c. Melakukan kegiatan tatap muka dengan berbagai lapisan masyarakat dan instansi berwenang dalam rangkaian acara sosialisasi keaslian uang rupiah

d. Membangun pusat database uang Rupiah Palsu yang dinamakan "Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center" atau BC-CAC.

(34)

C. Kejaksaan

Tugas pokok Jaksa menurut Pasal 27 Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI adalah mengadakan penuntutan dalam perkara pidana dan melaksanakan penetapan Hakim. Di samping itu, apabila dianggap perlu Jaksa mengadakan penyelidikan tambahan. Dalam kejahatan uang palsu, Jaksa sebagai Penuntut Umum, ditugaskan merumuskan perkara yang diterima kepolisian sebagai penyidik untuk mendapat penyelesaian menurut hukum.

Menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dinyatakan bahwa Jaksa juga sebagai Penuntut Umum (Pasal 13) dengan wewenang (Pasal 14) antara lain: menerima dan memeriksa berkas perkara, membuat surat dakwaan, melimpahkan perkara ke Pengadilan, memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan. Asas yang paling fundamental dalam proses peradilan pidana yaitu keharusan membuat surat dakwaan. Apabila tidak jelas, maka akan memperngaruhi penilaian Hakim sehingga tidak dapat diterima.

(35)

yang kemudian melahirkan suatu kesimpulan tentang apakah si terdakwa bersalah atau tidak melakukan kejahatan uang palsu dan atau dihukum ataukah dibebaskan. Surat dakwaan yang tidak lengkap akan menghambat proses peradilan dan berakibat tertundanya penyelesaian perkara. Wewenang Penuntut Umum memperpanjang masa penahanan, menjadi kendala di dalam perjalanan penegakan hukum pidana. Di samping itu juga Penuntut Umum berhak mengembalikan berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi (Pasal 110 Undang-Undang No.8 Tahun 1981). Kewenangan seperti ini tentunya memberikan kegelisahan bagi tersangka akan kepastian hukum kapan perkaranya disidangkan. Dalam Pasal 144 KUHAP, Jaksa dapat mengubah surat dakwaan sebelum persidangan dengan alasan penyempurnaan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya dalam batas waktu tujuh hari. Pasal ini memberikan kemungkinan memperlambat persidangan bahkan penyalahgunaan wewenang hingga menimbulkan penyimpangan hukum.

Penuntutan terhadap Kejahatan Pemalsuan Mata Uang Pasal 1 butir 6 KUHAP mengatur:

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta “melaksanakan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap”.

(36)

Surat Dakwaan

Pengertian umum surat dakwaan dalam praktek penegakan hukum yakni, berupa surat akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, perumusan mana ditarik dan disimpulkan dari hasil pemeriksaan dan penyidikan dihubungkan dengan unsur delik pasal tindak pidana yang dilanggar (dalam hal ini kejahatan pemalsuan uang) dan didakwakan kepada terdakwa dan surat dakwaan ini menjadi dasar pemeriksaan bagi hakim di sidang pengadilan.

Dari rumusan tersebut, terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:

1. Perumusan surat dakwaan harus konsisten dan sinkron dengan hasil pemeriksaan penyidikan.

Artinya, rumusan surat dakwaan itu harus benar-benar seiring dan sejalan dengan hasil pemeriksaan penyidikan. Jika menyimpang dari hasil penyidikan maka merupakan surat dakwaan yang palsu dan tidak benar.

Misalnya: Pasal 244 (Pemalsuan uang)

(37)

hakim dengan jalan menguji rumusan surat dakwaan dengan hasil pemeriksaan penyidikan.

2. Surat dakwaan merupakan landasan pemeriksaan di sidang pengadilan. Surat dakwaan di dalam pemeriksaan sidang pengadilan adalah berfungsi sebagai landasan dan titik tolak pemeriksaan terdakwa. Berdasarkan rumusan surat dakwaan dibuktikan kesalahan terdakwa.

Misalnya: Tuduhan pemalsuan uang dengan mempergunakan peralatan printer warna untuk mencetaknya namun belum sempat diedarkannya, maka batas-batas itulah pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Namun, sering terjadi di dalam praktek hakim kurang menyadari fungsi dari surat dakwaan sebagai landasan pemeriksaan.60

Kejaksaan Republik Indonesia yang merupakan salah satu komponen Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 diberi kedudukan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Kedudukan Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Pidana

B.1. Kewenangan Kejaksaan RI di bidang Penuntutan

Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga dengan demikian maka penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu syarat mutlak dalam pencapaian tujuan nasional.

60

(38)

Pasal 13 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim, sedangkan Pasal 15 KUHAP menentukan bahwa Penuntut Umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut ketentuan undang-undang.

(39)

cepat, sedrhana dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara.

B.2. Kewenangan Penuntutan terhadap Kejahatan Pemalsuan Mata Uang Tindak pidana pemalsuan dan mata uang bukanlah tindak pidana yang dikategorikan sebagai tindak pidana khusus. Oleh karena itu, maka penyidikannya dilakukan oleh penyidik kepolisian dan Kejaksaan tidak dapat melakukan penyidikan terhadap kejahatan mata uang. Dengan kata lai, Kejaksaan bersifat menunggu penyerahan berkas perkara hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik POLRI dalam kasus kejahatan pemalsuan mata uang.

Kegiatan Penuntutan oleh Penuntut Umum adalah meliputi tahap prapenuntutan dan tahap penuntutan.

Pada tahap pra penuntutan, setelah hasil penyidikan selesai maka berkas perkara diserahkan kepada Kejaksaan untuk diteliti dan apabila masih terdapat kekurangan-kekurangan baik mengenai kelengkapan formal maupun materil Jaksa Penuntut Umum mengembalikan serta memberikan petunjuk untuk melengkapi berkas perkara tersebut. Setelah berkas perkara lengkap maka berkas perkara beserta tersangka dan barang bukti (apabila ada) diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk kemudian Jaksa Penuntut Umum membuat dakwaan dan melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.

(40)

Penuntut Umum dan Jaksa Penuntut Umum bertanggung jawab untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Putusan hakim juga dijatuhkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang didasarkan kepada fakta-fakta persidangan, analisa yuridis tentang terbuktinya kesalahan terdakwa dan tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Berdasarkan kebijakan pimpinan di lingkungan Kejaksaan RI maka kejahatan terhadap pemalsuan mata uang dalam proses penanganan perkara oleh Kejaksaan digolongkan ke dalam jenis Perkara Penting (PK-Ting). Hal ini berarti setiap tingkatan proses penanganannya harus mendapat perhatian yang lebih sungguh dan senantiasa dilaporkan kepada pimpinan Kejaksaan secara berjenjang untuk dapat dipantau dan dikendalikan serta dibina agar senantiasa berjalan di atas ketentuan undang-undang (rule of law) dan memenuhi syarat-syarat yuridis, teknis, dan administratif, dengan senantiasa memperhatikan nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat.

(41)

dengan pemberian atau gaji-gaji tertentu untuk mengedarkan uang palsu dengan motif kebutuhan ekonominya sehari-hari, sedangkan orang yang membuat uang palsu ataupun intellectual actor dalam kasus ini tidak perna terungkap atau tertangkap. Dengan demikian, Kejaksaan menganggap tuntutan pidana dan putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim kepada Terdakwa telah tepat dan memenuhi rasa keadilan.61

Tuntutan terhadap kasus pidana pemalsuan uang dinilai tidak seragam. Menurut Bank Indonesia, hukuman terhadap pelaku kasus pemalsuan uang bisa optimal dan menimbulkan efek jera.

Apabila penuntut umum menilai bahwa berkas perkara telah lengkap, maka penuntut umum kemudian akan membuat surat dakwaan dan dilanjutkan ke tahap penuntutan.

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 7 KUHAP). Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim (Pasal 13 KUHAP).

62

61

Gortap Marbun, 2006, “Penuntutan terhadap Kejahatan Mata Uang, dalam rangka Seminar Kejahatan Terhadap Mata Uang dan Penegakan HUkumnya di Wilayah Sumatera Utara, hal 5-6.

Hal tersebut sebagaimana disampaikan

62

(42)

oleh Deputi Gubernur BI, S Budi Rochadi dalam sambutan acara Diskusi Panel "Arah Dan Strategi Kebijakan Penanggulangan Pemalsuan Rupiah" di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (16/04/2009). Menurutnya, ketidakseragaman ini terlihat dalam hal penuntutan oleh pihak kejaksaan maupun pemidanaan yang dijatuhkan oleh para hakim. Di mana dalam beberapa kasus tindak pidana uang palsu, terdapat tuntutan pidana dan pemidanaan yang mencapai lebih dari 5 tahun kepada para pelaku, sebagaimana diterapkan dalam wilayah kerja kejaksaan dan pengadilan negeri Cibinong. Namun pada penanganan kasus lain yang sejenis, para pelaku tindak pidana pemalsuan uang Rupiah hanya dituntut dan dijatuhi pidana penjara beberapa bulan saja. Diharapkan agar tercipta suatu penyamaan persepsi dan pandangan antara BI dengan aparat penegak hukum serta masyarakat luas mengenai bahaya dan risiko penyebaran uang rupiah palsu. Sehingga keputusan proses pidana uang palsu yang diberikan kepada pelaku tindak pidana uang Rupiah palsu benar-benar berperan optimal dan menimbulkan efek jera bagi para pelaku.

C. Pengadilan

(43)

yang lain dalam pelaksanaan sistem Peradilan Pidana, hal ini akan mengalami titik rawan, karena dalam suatu Negara Hukum dimana Kekuasaan Kehakiman tidak boleh dipengaruhi lembaga lain. Hakim harus menjaga jarak sehingga keputusan mereka tidak saja bersifat tidak memihak secara pribadi tetapi juga tidak memihak di mata masyarakat. Namun, dalam kenyatannya Hakim dalam memutuskan suatu perkara sering menimbulkan Disparitas Hukuman (Disparity of sentencingi).

Yang dimaksud dengan Disparitas Hukuman (Disparity of sentencing) dalam hal ini adalah penerapan pidana yang sama (Same offence) atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan (offences comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas.

Di dalam Hukum Pidana positif Indonesia, Hakim mempunyai kebebasan yang sangat luas untuk memilih jenis (strafsort) yang dikehendaki, sehubungan dengan sistem alternatif di dalam pengancaman pidana di dalam undang-undang. Di samping itu Hakim juga mempunyai kebebasan untuk memilih beratnya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh KUHP hanyalah maksimumnya.

(44)

Pemidanaan terhadap Kejahatan Pemalsuan Mata Uang

Sebagaimana terjadi di antara para ahli filsafat, di antara ahli hukum pidana pun diskusi mengenai pemidanaan masih terus berlangsung. Disadari bahwa terdapat gap antara apa yang disebut pemidanaan dan apa yang digunakan sekarang sebagai metode untuk memaksakan kepatuhan. Perubahan dalam senimen publik, kemajuan dalam ilmu pengetahuan, adanya kesatuan polisi penuh, semuanya mendorong adaptasi metode-metode pemidanaan.

Sebagian berpandangan, pemidanaan adalah sebuah persoalan yang murni hukum (purely legal matter). J. D. Mabbot, misalnya, memandang seseorang “penjahat” sebagai seseorang yang telah melanggar hukum bukan orang jahat. Seorang yang “tidak bersalah” adalah seseorang yang belum melanggar suatu hukum, meskipun ia bisa jadi merupakan orang jahat dan telah melanggar hukum-hukum lain. Sebagai seorang retributivis, Mabbot memandang, pemidanaan merupakan akibat wajar yang disebabkan bukan dari hukum, tetapi dari pelanggaran hukum. Artinya, jahat atau tidak jahat, bila seseorang telah bersalah melanggar hukum maka orang itu harus dipidana.

(45)

individu, entah atas nama kesehatan, pendidikan, ataupun kesejahteraan umum.63

Ketiga, penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya pada subyek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukukm atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Unsur ketiga ini memang mengundang pertanyaan tentang “hukuman kolektif”, misalnya embargo Sedangkan Ted Honderich berpendapat, pemidanaan harus memuat 3 (tiga) unsur berikut:

Pertama, pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur pertama pada dasarnya merupakan kerugian atau kejahatan yang diderita oleh subyek yang menjadi korban akibat dari tindakan sadar subyek lain. Secara aktual, tindakan subyek lain dianggap salah bukan saja karena mengakibatkan penderitaan bagi orang lain, tetapi juga karena melawan hukum yang berlaku secara sah.

Kedua, suatu pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan bukan merupakan tindakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkn penderitaan.

63

(46)

ekonomi ynag dirasakan juga oleh orang-orang yang tidak bersalah. Meskipun demikian, secara umum pemidanaan dapat dirumuskan terbuka sebagai denda dirumuskan terbuka sebagai denda (penalty) yang diberikan oleh instansi yang berwenang pada pelanggar hukum atau peraturan.

Perkembangan pemikiran tentang pemidnaan juga diikuti oleh kemajuan pemikiran mengeni tujuan pemidanaan. Sejarah pemidanaan selama seratus tahun terakhir memberi pengaruh kuat pada harapan-harapan yang membaik ini, bagi orang yang dihukum bahkan lebih mengesankan ketika itu dipandang bersama dengan kekerasan yang meningkat yang telah diciptakan oleh perang modern hampir dalam setiap kehidupan.

Hakim dan Kewajibannya

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 28 ditegaskan:

(47)

Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Sifat-sifat yang baik maupun yang jahat dari terdakwa wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya.

Profesi Hakim

Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Inilah sebabnya, Undang-Undang Dasar 1945 mengatur secara khusus masalah kekuasaan kehakiman ini yakni dalam Pasal 24 dan 25. Penjelasan kedua pasal tersebut menegaskan, bahwa kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka (independent), artinya terlepas dari pengaruh pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.

D. Lembaga Pemasyarakatan

(48)

Pemasyarakatan, tujuan pembinaan pelanggar hukum tidak semata-mata membalas tetapi juga perbaikan dimana falsafah pemidanaan di Indonesia pada intinya mengalami perubahan seperti apa yang terkandung dalam sistem pemasyarakatan yang memandang narapidana sebagai orang yang tersesat dan mempunyai waktu untuk bertobat. Sahardjo yang dikenal sebagai tokoh pembaharu di dalam dunia kepenjaraan Indonesia, telah mengemukakan ide pemasyarakatan bagi terpidana. Lebih jauh Sahardjo mengemukakan bahwa pokok dasar memperlakukan narapidana menurut kepribadian kita, ialah:

1. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia; 2. Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan, tidak ada orang yang hidup di luar masyarakat;

3. Narapidana hanya dijatuhi kehilangan kemerdekaan bergerak, jadi diusahakan agar mempunyai mata pencaharian.

(49)

mengakibatkan bekas narapidana setelah berada di masyarakat kemabali melakukan kejahatan uang palsu. Hal ini dapat dilihat dari tidak sedikit pelaku kejahatan uang palsu yang residivis. Cap atau stigma yang dibuat oleh masyarakat terhadap lembaga pemasyarakatan maupun bekas narapidana merupakan pertanda kegagalan lembaga pemasyarakatan pada khususnya dan sistem peradilan pidana secara keseluruhan.

Sebagai suatu sistem, sistem peradilan pidana yang bertujuan untuk menegakkan hukum atas kejahatan pemalsuan uang kertas rupiah dan pengedarannya ini di dalam perjalanannya mengalami masalah-masalah yang bukan saja disebabkan tidak terdapatnya kerja sama di antara sub sistem, tetapi tidak kalah pentingnya pengaruh peraturan perundang-undangan yang memberikan kekuasaan maupun wewenang yang melampaui kemampuan personil, administratif, serta profesionalisme tiap sub sistem, dan hal ini berakibat lebih jauh, yaitu menghambatnya proses peradilan pidana yang sederhana, cepat dan biaya murah, serta penegakan hukum terhadap kejahatn pemalsuan uang kertas rupiah dan pengedarannya ini.

(50)

Dewasa ini, institusi lembaga penegak hukum seolah-olah sebagai lembaga tertutup dan kelihatan terasing dari dunia luar. Ketertutupan lembaga penegak hukum ini akhirnya menimbulkan atau mengeluarkan putusan-putusan yang amat kontroversial dan sulit dimengerti oleh masyarakat yang tidak mengetahui seluk-beluk hukum. Harapan masyarakat agar lembaga penegak hukum lebih transparan, pada hakikatnya adalah supaya menjaga kewibawaan lembaga penegak hukum itu sendiri sehingga masyarakat semakin menaruh kepercayaan terhadap kinerja penegak hukum. Dampaknya ialah dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada kinerja penegak hukum akan menentukan efektifitas hukum itu sendiri.

Mencermati dari beberapa gejala di atas, dapat dirumuskan persoalannya yaitu penegakan hukum di bidang kejahatan pemalsuan uang masih belum mampu menjamin keadilan masyarakat. Adapun yang melandasi isu tersebut di atas, sebagai titik sentral masalah pokoknya, ialah:

1. Masih lemahnya peran serta masyarakat dan belum mampu mendukung prevensi kejahatan dalam rangka mengatasi frekuensi dari intensitas kejahatan pemalsuan uang.

(51)

3. Realitas penggunaan teknik penyelidikan dan penyidikan yang belum professional. Demikian pula, masalah fasilitas dukungan anggaran guna kepentingan teknik penyelidikan dan penyidikan tidak memadai.

4. Etika profesi hukum dari para aparat penegak hukum masih terpengaruh oleh faktor ekonomis dalam penjatuhan sanksi pidana.

(52)

Kegiatan Penanggulangan Kejahatan Pemalsuan Mata Uang

Dalam menanggulangi kejahatan pemalsuan mata uang, kegiatan yang dilakukan dengan pola :

1. Pre Emtif (Penyuluhan / Sosialisasi)

a) Melaksanakan kegiatan penyuluhan/sosialisasi kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat mengetahui dan mengenal ciri-ciri uang yang asli baik uang logam maupun uang kertas. Dengan mengetahui dan mengenal uang yang asli diharapkan adanya partipasi dan kekebalan dan masyarakat agar jangan sampai mudah dilibatkan dalam kegiatan kejahatan terhadap pemalsuan mata uang sehingga dapat terwujud sikap partisipasi dalam menanggulangi kejahatan pemalsuan terhadap mata uang dan sebagai upaya kegiatan berkaitan dengan uang palsu.

b) Kegiatan tersebut dilakukan dengan bekerja sama secara terpadu antar fungsi maupun koordinasi lintas sektoral dalam bentuk ceramah, pameran, mass media (iklan tayangan 3 D dan media cetak serta elektronik lainnya)

2. Preventif

Kegiatan preventif dilakukan melalui kegiatan :

a) Pengawasan dan pengamanan di tempat mencetak uang asli dan pabrik kertas yang memproduksi security paper.

b) Pengawasan terhadap perusahaan percetakan maupun toko alat dan tinta cetak.

(53)

cash.

d) Mengadakan koordinasi dan kerjasama dengan Perbankan dan Money Changer.

e) Pengawasan dan pemeriksaan secara ketat terhadap orang yang masuk ke wilayah Negara Republik Indonesia dengan bekerja sama dengan instansi terkait.

f) Meningkatkan penanganan dan pengembangan terhdap setiap laporan tentang uang palsu sehingga masyarakat terlindungi.

g) Melakukan study banding dan kunjungan ke Luar Negeri.

3. Represif

Kegiatan represif dilakukan dalam bentuk penyelidikan dan penyidikan terhadap para pelaku kejahatan pemalsuan mata uang guna mengungkap jaringan pembuatan maupun pendistribusian uang palsu. Kegiatan tersebut dilakukan secara terpadu antar fungsi Reserse, Intel. Labfor, NCB Interpol dan Instansi terkait lainnya.

(54)

Kerjasama Kepolisian baik Regional maupun Internasional dapat dilakukan melalui Interpol, Badan-badan Pemerintah lainnya atau secara langsung.64

64

(55)

BAB IV

KENDALA YANG DIHADAPI DALAM UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN

PENGEDARANNYA DI KOTAMADYA MEDAN

Beberapa kelemahan dan hambatan dalam rangka penegakan hukum terhadap kejahatan pemalsuan mata uang rupiah saat ini termasuk di wilayah hokum Kotamadya Medan, yaitu:65

Sebagai contoh dalam proses pidana yang dikeanal dengan adanya “Criminal Justice System” dalam praktek, ternyata KUHAP tidak mengatur jangka waktu penyidik harus mengembalukan berkas perkara yang dikembalikan oleh Penuntut Umum untuk dilengkapi (prapenuntutan). Oleh karena itu dalam prakteknya banyak perkara yang dikembalikan untuk dilengkapi oleh penyidik, tidak dikembalikan kepada penuntut umum, dengan berbagai alasan, misalnya, kaena tersangka atau saksi yang akan diperiksa tidak di tempat dan sebagainya. Hal ini seharusnya ada pengaturannya dalam KUHAP, sehingga ada kepastian hukum untuk penyelesaian kasus tersebut. 1. Belum sempurnanya perangkat hukum.

Perangkat hukum yang tidak jelas, serta terdapatnya kekosongan atau rancu, dapat menjadi hambatan dalam proses penegakan hukum. Sistem hukum harus dapat menampung dan memecahkan permasalahan yang terjadi atau yang timbul dalam praktek penegakan hukum.

65

H. Chairuman Harahap, SH, Merajut Kolektifitas Melalui Penegakan Supremasi

(56)

Demikian pula halnya terhadap kejahatan pemalsuan mata uang yang sangat diharapkan untuk segera dikeluarkan undang-undang tentang mata uang. Hal ini dikarenakan dengan melihat begitu besarnya dampak yang dapat ditimbulkan oleh kejahatan ini jangan sampai benar-benar dapat membahayakan negara oleh karena tidak ditangani dari sekarang. Hai ini nampak dari semakin maraknya kejahatan pemalsuan uang dari tahun ke tahun, termasuk di kota Medan.

2. Masih rendahnya moral integritas aparat penegak hukum

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, aparat penegak hukum, yang merujuk pada kesatuan kelompok penegak hukum sering disebut catur wangsa yang terdiri dari Polisi, Jaksa, Hakim, dan Pengacara. Keempatnya telah dianggap sebagai orang-orang yang menegakkan hukum dan keadilan. Bahkan kadang-kadang mereka disebut juga dengan pendekar hukum.

Setiap aparat dalam komponen Catur Wangsa wajib peduli dan langsung berkepentingan pada perkembangan mutakhir negara. Kepedulian itu terutama berkenaan dengan cita-cita reformasi sebagaimana yang telah tumbuh dalam masyarakat luas. Oleh karena itu, harus dijadikan acuan bagi pembinaan dan rekrutmen aparat penegak hukum, agar aparat penegak hukum polisi, jaksa, dan hakim terdiri dari orang-orang yang tangguh dalam menghadapi godaan dan tantangan yang mungkin timbul dalam proses penegakan hukum.

3. Penegak hukum yang kurang professional

(57)

diperlukan bagi setiap apaat penegak hukum, agar ia mampu melaksanakan tugasnya dengan cepat, tepat, tuntas, dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Namun dalam kenyataannya harus diakui bahwa masih ada aparat penegak hukum, penyidik atau penuntut umum dan hakim yang kurang professional, sehingga penanganan kasus sering terlambat dan bahkan karena ketidakcermatan dalam penanganan kasus dapat berakibat kegagalan dalam penuntutan di pengadilan. Ini menyebabkan kadangkala timbul reaksi dari pencari keadilan pada saat perkara digelar di pengadilan. Upaya mengatasinya di samping penyempurnaan, rekrutmen pegawai, juga perlu dilaksanakan pelatihan dan pendidikan bagi aparat penegak hukum.

4. Masih rendahnya penghasilan Aparat Penegak Hukum

Terdapat suatu hal yang dilematis pada diri aparat penegak hukum, di satu sisi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, seorang penegak hukum berkewajiban untuk melaksanakan tugas dengan jujur, adil dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Di sisi lain, penghasilan yang diterimanya tidak memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, sehingga dengan alasan gaji atau penghasilan yang tidak cukup aparat penegak hukum melakukan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang. Rendahnya gaji pegawai negeri pada umumnya, termasuk penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) oleh Andi Hamzah dipandang sebagai suatu penyebab terjadinya korupsi.

5. Masih rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat

(58)

dapat dilihat dari masih adanya rasa enggan warga masyarakat untuk menyampaikan laporan atau menjadi saksi atas terjadinya suatu proses penegakan hukum. Memang diakui bahwa hal di atas tidak semata-mata menggambarkan rendahnya kesadaran hukum masyarakat, karena masih adanya faktor lain, seperti belum terlaksananya secara maksimal jaminan perlindungan terhadap saksi meskipun telah ada lembaga perlindungan saksi dan korban dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Akan tetapi jika kesadaran hukum masyarakat tinggi, maka di satu pihak diharapkan akan timbul kepatuhan masyarakat terhadap hukum dan di lain pihak akan ada peran serta masyarakat untuk membantu aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum.

6. Kurangnya sarana dan prasarana

Dalam proses penegakan hukum, sarana dan prasarana hukum mutlak diperlukan untuk memperlancar dalam menciptakan kepastian hukum. Sarana dan prasarana yang memadai dimaksudkan untuk mengimbangi kemajuan teknologi dan globalisasi, yang telah mempengaruhi tingkat kecanggihan kriminalitas, seperti kejahatan pembobolan bank, dengan menggunakan teknologi computer, kejahatan pemalsuan uang dengan menggunakan peralatan canggih, kejahatan pencucian uang (money laundring) dan lain sebagainya. Semua jenis kejahatan di atas dapat dikatakan sebagai kejahatan kerah putih (white colour crime), sehingga penanganannya pun memerlukan dukungan sarana dan prasarana yang memadai.

(59)

Di masa lalu sudah menjadi opini publik, bahwa campur tangan perintah (eksekutif) terhadap proses peradilan sangat kuat. Pengaruh eksekutif terhadap proses pengadilan terjadi disebabkan belum adanya kemandirian instansi penegak hukum, terutama instansi pengadilan. Hal ini terjadi karena dalam perundang-undangan masih ada celah yang memungkinkan tidak mandirinya instansi pengadilan.

Peredaran uang palsu di masyarakat cukup sulit untuk diberantas. Hal ini didorong oleh perilaku masyarakat yang kurang mendukung upaya pemerintah dalam rangka mengurangi peredaran uang palsu. Kesadaran masyarakat untuk melaporkan adanya uang palsu sangat kurang. Bila mereka mendapatkan uang palsu, mereka cenderung membelanjakannya. Hal ini tidak dapat memotong mata rantai peredaran uang palsu. Masyarakat justru ikut berperan dalam mengedarkan uang palsu.

Pemerintah kurang memperhatikan sarana dan prasarana yang diperlukan oleh Polisi dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan pemalsuan mata uang yang terjadi di kota Medan. Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat untuk segera melaporkan apabila mengetahui tentang uang palsu yang beredar di kota Medan merupakan faktor penting yang terus menjadikan semakin

maraknya pemalsuan uang terjadi di kota Medan. Peran serta masyarakat serta perhatian pemerintah atas sarana dan

(60)

terkait lainnya untuk saling bekerja sama dan memberikan informasi akan atas adanya uang palsu yang ditemukan atau atas diketahuinya adanya praktek pembuatan uang palsu pada suatu tempat serta hal-hal lain yang berkaitan.

Pedagang kecil menjadi sasaran empuk bagi beredarnya uang palsu, apalagi kalau pedagang itu berada di pinggiran kota, atau bahkan pedesaan, yang tidak akrab dengan berbagai informasi tentang peredaran uang palsu.66

Teknik percetakan yang semakin berkembang pun turut mendukung kualitas uang palsu yang beredar di masyarakat. Pecahan seratus ribuan yang semula diperkirakan tidak akan mungkin dipalsukan karena menggunakan bahan dasar plastik, ternyata sudah ditemukan di pasaran dan menyerupai aslinya. Perkembangan teknologi juga ikut berperan dalam melancarkan tindak pidana pemalsuan uang. Perkembangan teknologi disalahgunakan oleh sekelompok orang orang untuk melakukan tindakan kriminal. Apalagi peralatan pendukung kegiatan tersebut sangat mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau pula. Tentu saja kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pada perkembangan teknologi, karena dalam hal ini faktor perilaku manusia sangat menentukan. Upaya pencegahan telah dilakukan pemerintah. Salah satunya dengan mencantumkan sticker anti

Akan tetapi, dari hasil pantauan tim surat kabar Sinar Harapan (SH), ternyata sasaran peredaran uang palsu bukan hanya berada di kalangan bawah, tetapi juga para pejabat dan orang-orang kaya. Bagi ukuran kelas kakap seperti demikian, tentu saja bukan lembaran uang dua puluh ribuan yang dipasarkan, tetapi mulai dari pecahan seratus ribuan sampai mata uang asing.

(61)

pemalsuan uang pada printer berwarna. Namun hal tersebut kurang efektif dan justru menimbulkan protes dari kalangan produsen.

Canggihnya teknologi percetakan yang berkembang juga menjadi salah satu kendala memberantas peredaran uang palsu. Peralatan percetakan semakin mudah didapat, bahkan dengan harga murah sehingga pencetakan uang palsu tidak perlu melibatkan percetakan yang besar tetapi bisa dimodali sendiri dengan membeli peralatan cetak digital.

Dari informasi yang diperoleh Sinar Harapan, peredaran uang palsu sudah menyerupai jaringan peredaran narkoba. Pada umumnya, para pengedar uang palsu tidak saling mengenal baik antara sesama pengedar maupun antara pengedar dengan pencetak uang palsu. Sistem sel yang digunakan dalam peredaran uang palsu ini jelas menyulitkan aparat keamanan dalam memberantas peredaran uang palsu. Berbeda dengan jaringan peredaran narkoba yang selalu memanfaatkan orang-orang kalangan atas sebagai anggota jaringan, peredaran uang palsu biasanya melibatkan orang-orang yang perekonomiannya sulit yang berada di pinggiran kota, atau pensiunan yang tidak lagi memiliki aktivitas rutin. Karena tidak saling kenal, polisi pun kesulitan melacak jaringan yang lebih besar. Tersangka pengedar uang palsu yang ditangkap, pada umumnya menyatakan baru mengenal si pemilik uang palsu hanya ketika melakukan transaksi.

(62)

uang pecahan besar itu terutama di kota-kota besar. Dari jumlah UYD itu, temuan uang palsu mencapai Rp 3,878 miliar. Sehingga rasionya 1:1 juta. Artinya, terdapat satu lembar uang palsu dalam satu juta lembar. Temuan uang palsu yang beredar itu lebih dari separuhnya adalah pecahan lima puluh ribuan. Perkembangan teknologi saat ini memungkinkan orang awam mencetak uang palsu dengan scanner dan printer warna. Plastik polimer seperti untuk uang seratus ribu bahkan bisa didapatkan dengan mudah di pasaran. Akan tetapi, yang sampai saat ini belum bisa dilakukan para pemalsu adalah penanaman benang pengaman yang ada dalam bubur kertas uang (banknote paper) dan tanda air (watermark).

Oleh karena itu, Bank Indonesia harus bertindak lebih cepat dan canggih dari para pemalsu uang. Sayangnya, dari lima proses produksi uang, empat di antaranya di tangan BI, sementara satu yang menyangkut pencetakan menjadi kewenangan Perusahaan Umum Percetakan Uang (Perum Peruri). Banyaknya kasus penipuan uang palsu ini, ternyata tidak mudah di bawa ke meja hijau. Kalau pun berhasil dimejahijaukan, hukuman yang harus ditanggung tidak setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya.

(63)

ke pihak lain yang sebenarnya hanya bertugas untuk mencatat jumlah uang palsu yang berhasil di temukan.

Olah karena itu, sepanjang masalah uang palsu tidak dianggap sebagai masalah serius yang harus ditangani secara integrated, Bank Indonesia dan aparat penegak hukum hanya berkejar-kejaran dengan para pemalsu uang.

Adapun kendala-kendala yang dihadapi oleh pihak Kepolisian Poltabes MS dalam hal pemberantasan uang palsu yaitu di mana orang yang memalsukan jarang tertangkap dan yang dapat diketahui hanyalah yang mengedarkan saja. Hal demikian dikarenakan sistem jaringan yang mereka gunakan sangat rapi sehingga bisa terputus dan tidak sampai kepada si pembuat atau si pencetak.67

· Pemerintah perlu menyiapkan sanksi yang tegas untuk memberikan efek jera. Dalam hal ini, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Pemerintah perlu Faktor yang menyebabkan timbulnya kendala demikian adalah kurangnya sarana dan prasarana dalam pengungkapan uang palsu yang dilakukan oleh pihak Kepolisian. Sarana dan prasarana tersebut antara lain biaya, perlengkapan, dan lain-lain.

Terdapat beberapa saran untuk menanggulangi tindak pidana pemalsuan uang, antara lain :

· Pemerintah harus memproses kasus pemalsuan uang secara tuntas seakar-akarnya supaya tidak muncul kasus pemalsuan uang.

· Pemerintah harus lebih tegas, berkomitmen, dan konsisten terhadap peraturan yang telah dibuat untuk memberantas tindak pidana pemalsuan uang.

67

Referensi

Dokumen terkait

PREDIKSI KEKENTALAN PRODUK INDUSTRI PERTANIAN CAIR DENGAN METODE DINAMIKA ALIRAN FLUIDA.. Disusun oleh : Nama : ’Afiifah Aris Putri NIM : 11/318941/TP/10187 Kelompok

Dompet yang lain berisi uang logam 1 keping lima ratusan dan 3 keping ratusan rupiah.. Jika sebuah uang logam diambil secara acak dari salah satu dompet, peluang untuk mendapatkan

- Bagian akhir, nomor halaman ditulis di bagian bawah tengah dengan angka latin dan merupakan kelanjutan dari penomoran pada bagian pokok.. Judul dan Nomor Gambar / Grafik

Gaya akibat beban gempa terhadap penulangan utama pada balok dermaga mempunyai pengaruh yang tidak signifikan dibandingkan dengan gaya akibat kombinasi beban tanpa gempa, sehingga

Tehnik bibliotheraphy adalah tehnik yang bisa memberikan pencerahan yang baik bagi siswa yang mengalami gangguan kecemasan, karna dengan tehnik bibliotheraphy siswa

Dengan rendah hati dan rasa syukur dalam dada di peruntukkan kepada Allah yang membimbing penulis dengan petunjukNya, sehingga dengan lancar menyelesaikan skripsi

1. Berdasarkan tingkat pengaruh tinggi dan kepentingan tinggi, maka yang terjadi antara pihak PT. M, P2L, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Kecamatan dan Pemerintah

Permasalahan banjir yang terjadi akibat kurang optimalnya fungsi dari Polder Tawang antara lain juga dikarenakan karena masih terdapat saluran sub sistem drainase lain yang