TESIS
Oleh
RIO ADRIAN SUKMA
097011118/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
RIO ADRIAN SUKMA
097011118/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nama Mahasiswa : Rio Adrian Sukma
Nomor Pokok : 097011118
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn
Nama : RIO ADRIAN SUKMA
Nim : 097011118
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA
DALAM PENJUALAN VOUCHER HOTEL ANTARA PT. EKA SUKMA TOUR DENGAN HOTEL J.W. MARRIOT MEDAN
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama :RIO ADRIAN SUKMA
dirinya terhadap satu orang atau lebih. Undang-undang mengakui hak otonomi seseorang untuk secara bebas membuat perjanjian dengan siapapun serta dengan bebas pula rnenentukan isi perjanjian tersebut yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak. Namun dalam prakteknya pada perjanjian kontraktual, klausula telah ditentukan secara sepihak oleh pihak pertama. Sedangkan pihak kedua, tentunya harus mematuhi ketentuan yang tertuang dalam kontrak tersebut, sehingga sebenarnya tidak terjadi kesetaraan. Demikian juga dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara Hotel JW Marriot dengan PT. Eka Sukma Tour, merupakan perjanjian kontraktual dan merupakan perjanjian di bawah tangan (bukan akta notariil). Permasalahan dalam penelitian ini adalah: bagaimana bentuk perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan, bagaimana kedudukan para pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan, dan bagaimana penyelesaian perselisihan hukum jika terjadi wanprestasi antara salah satu pihak.
Untuk mengkaji hal tersebut dilakukan penelitian yang bersifat deskriptif yuridis dengan pendekatan yuridis empiris. Data hasil penelitian diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif dengan menggunakan perangkat normatif.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa: bentuk perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan merupakan perjanjian dibawah tangan (biasa) dan dalam bentuk perjanjian baku (standard contract), sehingga kedudukan para pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel tersebut tidak seimbang. Dalam perjanjian standar syarat-syarat ditentukan sepihak oleh pihak hotel. Travel sebagai mitra tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang menguntungkan, sebagaimana tertuang dalam isi perjanjian, khususnya dalam hal hak dan kewajiban para pihak. Isi perjanjian lebih menekankan kewajiban PT Sukma Tour, sedangkan kewajiban Hotel JW Marriott tidak dinyatakan secara jelas. Demikian juga dalam hal pengaturan hak dan kewajiban tersebut, terutama dalam hal wanprestasi, tidak dicantumkan dengan jelas. Penyelesaian hukum jika terjadi wanprestasi oleh pihak travel, seperti tidak terpenuhinya volume kamar (room) selama waktu yang ditentukan, maka secara langsung pihak Hotel JW Marriot melakukan pemutusan hubungan kerjasama.walaupun dapat dinegoisasi kembali. Dalam hal terjadinya pemutusan tersebut, pihak Sukma Tour harus membayar sejumlah kamar (room) yang telah dibooking. Sedangkan wanprestasi oleh pihak Hotel JW Marriot tidak diatur dalam perjanjian kerjasama, sehingga perlu diatur dalam perjanjian kerjasama selanjutnya.
to one or more people. Law recognizes a person's autonomy right to freely make agreements with any one and to specify the content of the agreement known as the principle of freedom of contract. But, in fact, in a contractual agreement, the clause has been unilaterally determined by the first party. Whereas, the second party, of course, has to comply with the provisions stated in the contract, that there is no equality between the two parties. This condition occurred in the cooperation agreement of selling hotel voucher between JW Marriot Hotel and PT. Eka Sukma tour, a contractual agreement made underhanded (not the deed made before/by the notary). The problems to be solved in this study were what the form of the cooperation agreement of selling hotel voucher between JW Marriot Hotel and PT. Eka Sukma tour was, what position the two parties had in the cooperation agreement of selling hotel voucher between JW Marriot Hotel and PT. Eka Sukma tour, and how the dispute will be settled if one of the parties involved did not keep his promise as stated in the agreement.
This descriptive juridical study with empirical juridical approach was conducted to answer the research questions. The data obtained were processed and analyzed through qualitative analytical method before drawing a conclusion through deductive method using normative instrument.
The result of this study showed that the cooperation agreement of selling hotel voucher between JW Marriot Hotel and PT. Eka Sukma tour was made underhanded in the form of standard contract that the position of the parties involved in this cooperation agreement of selling hotel voucher was not balanced. In a standard contract, the requirements are unilaterally determined by the hotel management. Travel agency as its partner does not have a beneficial bargaining position, as stated in the agreement, especially in terms of right and responsibility of the parties. The content of the cooperation agreement was focused more on the responsibility of PT. Eka Sukma tour while that of JW Marriot Hotel was not clearly stated. The same thing occurred in terms of the right and responsibility regulations, especially in terms of wanprestasi (broken promise), was not clearly stated either. Legal settlement done, in case the travel agency broke its promise, for example, the room volume was not met in a given time, was that JW Marriot Hotel directly terminated the cooperation. In this case of cooperation termination, PT. Eka Sukma tour had to pay for a number of rooms which had been booked. While about the promise broken by JW Marriot Hotel was not regulated in the cooperation agreement that it needs to be regulated in the future cooperation agreement.
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta kesehatan lahir batin kepada penulis
sehingga dapat menjalani dan menyelesaikan studi di Program Magister Kenotariatan
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Untuk mencapai gelar Magister
Kenotariatan inilah, penulis membuat suatu karya ilmiah yang berjudul“TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA DALAM PENJUALAN VOUCHER
HOTEL ANTARA PT. EKA SUKMA TOUR DENGAN HOTEL J.W MARRIOT MEDAN”.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan penghargaan
dan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran dan
motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. Ucapan
terimakasih ini penulis tujukan kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,
M.Sc (CTM), Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister
Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
dedikasi dan pengarahan serta masukan yang diberikan kepada penulis selama
menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Terimakasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya
penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH serta. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Humselaku Anggota Komisi Pembimbing yang
dengan penuh perhatian telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, dan serta
kritik dan saran yang konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam
penulisan tesis ini;
5. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn., dan Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum., selaku dosen penguji yang telah berkenan memberikan bimbingan dan arahan
serta masukan maupun saran terhadap penyempurnaan penulisan tesis ini;
6. Seluruh staf pengajar di Program Studi Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara, yang telah banyak menambah ilmu pengetahuan penulis.
7. Kedua orangtua, ayahBen Sukma Harahapdan MamiNouritha F.Sinulingga.
yang memotivasi dan memberi kasih sayang yang tiada habis nya.dan buat Istri
Ayu Febrianti dan anak tercinta, Aiko yang membuat selalu semangat. Dan
Tommy, Bang Zulkarnain, Bang Hendra, Bang Andi, Mighdad, Moses, RicharddanAde,semoga setelah selesainya studi ini persahabatan kita bisa tetap terjalin meskipun kita tidak bersama-sama lagi.
9. Seluruh staf pegawai di Program Studi Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara ,Bu Fat, Kak Lisa, kak Winda, Kak Sari, kak Afnidan Bang Aldi, Bang Ken;
Akhir kata, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu segaa kritik dan saran yang bersifat membangun diterima dengan tangan
terbuka demi kebaikan dalam penulisan karya ilmiah selanjutnya. Semoga tesis ini
dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat dalam menambah wawasan dan
pengetahuan bagi pembacanya.
Medan, Januari 2012 Penulis
I. IDENTITAS PRIBADI
N a m a : Rio Adrian Sukma
Tempat/Tgl Lahir : Medan/17 Februari 1985
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Status : Menikah
Alamat : Jalan Sunggal No. 28 Medan
II. PENDIDIKAN FORMAL
1. SD Swasta Harapan Medan dari tahun 1991 sampai tahun 1997.
2. SLTP Swasta Harapan Medan dari tahun 1997 sampai tahun 2000.
3. SLTA Swasta Harapan Medan dari tahun 2000 sampai tahun 2003.
4. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dari tahun 2003 sampai tahun 2008.
ABSTRAK... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI... vii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah... 6
C. Tujuan Penelitian... 6
D. Manfaat Penelitian... 7
E. Keaslian Penelitian ... 7
F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 7
1. Kerangka Teori... 7
2. Konsepsi... 27
G. Metode Penelitian... 28
1. Spesifikasi Penelitian ... 28
2. Jenis dan Sumber Data ... 29
3. Alat Pengumpul Data ... 30
4. Analisis Data ... 30
BAB II PERJANJIAN KERJASAMA PENJUALAN VOUCHER HOTEL ANTARA PT. EKA SUKMA TOUR DENGAN HOTEL JW MARRIOT MEDAN... 32
A. Perjanjian Kerjasama dalam Praktek Travel ... 32
BAB III KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJASAMA PENJUALAN VOUCHER HOTEL ANTARA PT. EKA SUKMA TOUR DENGAN HOTEL JW MARRIOT
MEDAN... 56
A. Kekuatan Mengikat Perjanjian Terhadap Para Pihak... 56
B. Asas Kebebasan Berkontrak ... 59
1. Pengertian Asas Kebebasan Berkontrak ... 59
2. Sumber-sumber Hukum Perancangan Kontrak... 64
3. Prinsip-prinsip Dalam Perancangan Kontrak... 66
4. Pengakhiran Kontrak (termination of contract)... 68
C. Kedudukan Para Pihak Dalam Perjanjian Kerjasama Penjualan Voucher Hotel ... 68
BAB IV PENYELESAIAN HUKUM JIKA TERJADI WANPRESTASI ANTARA SALAH SATU PIHAK... 81
A. Pengertian Prestasi dan Wanprestasi Dalam Perjanjian... 81
B. Akibat Hukum yang Timbul dari Wanprestasi ... 87
C. Keadaan Memaksa ... 90
D. Perselisihan Hukum yang Terjadi Dalam Perjanjian Kerjasama Penjualan Voucher Hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan ... 93
E. Penyelesaian Perselisihan Dalam Perjanjian Kerjasama Penjualan Voucher Hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan... 96
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 101
A. Kesimpulan... 101
B. Saran ... 102
dirinya terhadap satu orang atau lebih. Undang-undang mengakui hak otonomi seseorang untuk secara bebas membuat perjanjian dengan siapapun serta dengan bebas pula rnenentukan isi perjanjian tersebut yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak. Namun dalam prakteknya pada perjanjian kontraktual, klausula telah ditentukan secara sepihak oleh pihak pertama. Sedangkan pihak kedua, tentunya harus mematuhi ketentuan yang tertuang dalam kontrak tersebut, sehingga sebenarnya tidak terjadi kesetaraan. Demikian juga dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara Hotel JW Marriot dengan PT. Eka Sukma Tour, merupakan perjanjian kontraktual dan merupakan perjanjian di bawah tangan (bukan akta notariil). Permasalahan dalam penelitian ini adalah: bagaimana bentuk perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan, bagaimana kedudukan para pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan, dan bagaimana penyelesaian perselisihan hukum jika terjadi wanprestasi antara salah satu pihak.
Untuk mengkaji hal tersebut dilakukan penelitian yang bersifat deskriptif yuridis dengan pendekatan yuridis empiris. Data hasil penelitian diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif dengan menggunakan perangkat normatif.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa: bentuk perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara PT. Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan merupakan perjanjian dibawah tangan (biasa) dan dalam bentuk perjanjian baku (standard contract), sehingga kedudukan para pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel tersebut tidak seimbang. Dalam perjanjian standar syarat-syarat ditentukan sepihak oleh pihak hotel. Travel sebagai mitra tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang menguntungkan, sebagaimana tertuang dalam isi perjanjian, khususnya dalam hal hak dan kewajiban para pihak. Isi perjanjian lebih menekankan kewajiban PT Sukma Tour, sedangkan kewajiban Hotel JW Marriott tidak dinyatakan secara jelas. Demikian juga dalam hal pengaturan hak dan kewajiban tersebut, terutama dalam hal wanprestasi, tidak dicantumkan dengan jelas. Penyelesaian hukum jika terjadi wanprestasi oleh pihak travel, seperti tidak terpenuhinya volume kamar (room) selama waktu yang ditentukan, maka secara langsung pihak Hotel JW Marriot melakukan pemutusan hubungan kerjasama.walaupun dapat dinegoisasi kembali. Dalam hal terjadinya pemutusan tersebut, pihak Sukma Tour harus membayar sejumlah kamar (room) yang telah dibooking. Sedangkan wanprestasi oleh pihak Hotel JW Marriot tidak diatur dalam perjanjian kerjasama, sehingga perlu diatur dalam perjanjian kerjasama selanjutnya.
to one or more people. Law recognizes a person's autonomy right to freely make agreements with any one and to specify the content of the agreement known as the principle of freedom of contract. But, in fact, in a contractual agreement, the clause has been unilaterally determined by the first party. Whereas, the second party, of course, has to comply with the provisions stated in the contract, that there is no equality between the two parties. This condition occurred in the cooperation agreement of selling hotel voucher between JW Marriot Hotel and PT. Eka Sukma tour, a contractual agreement made underhanded (not the deed made before/by the notary). The problems to be solved in this study were what the form of the cooperation agreement of selling hotel voucher between JW Marriot Hotel and PT. Eka Sukma tour was, what position the two parties had in the cooperation agreement of selling hotel voucher between JW Marriot Hotel and PT. Eka Sukma tour, and how the dispute will be settled if one of the parties involved did not keep his promise as stated in the agreement.
This descriptive juridical study with empirical juridical approach was conducted to answer the research questions. The data obtained were processed and analyzed through qualitative analytical method before drawing a conclusion through deductive method using normative instrument.
The result of this study showed that the cooperation agreement of selling hotel voucher between JW Marriot Hotel and PT. Eka Sukma tour was made underhanded in the form of standard contract that the position of the parties involved in this cooperation agreement of selling hotel voucher was not balanced. In a standard contract, the requirements are unilaterally determined by the hotel management. Travel agency as its partner does not have a beneficial bargaining position, as stated in the agreement, especially in terms of right and responsibility of the parties. The content of the cooperation agreement was focused more on the responsibility of PT. Eka Sukma tour while that of JW Marriot Hotel was not clearly stated. The same thing occurred in terms of the right and responsibility regulations, especially in terms of wanprestasi (broken promise), was not clearly stated either. Legal settlement done, in case the travel agency broke its promise, for example, the room volume was not met in a given time, was that JW Marriot Hotel directly terminated the cooperation. In this case of cooperation termination, PT. Eka Sukma tour had to pay for a number of rooms which had been booked. While about the promise broken by JW Marriot Hotel was not regulated in the cooperation agreement that it needs to be regulated in the future cooperation agreement.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu perjanjian adalah semata-mata untuk suatu persetujuan yang diakui oleh
hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok di dalam dunia usaha dan
menjadi dasar bagi kebanyakan transaksi dagang seperti jual beli barang, tanah,
pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha dan
termasuk juga menyangkut tenaga kerja.1
Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum
kekayaan/harta benda antara dua atau lebih pihak yang memberi kekuatan hak pada
satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain
untuk memberi prestasi.2 Dari pengertian singkat tersebut dijumpai beberapa unsur
yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain: hubungan hukum
(rechsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau
lebih yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu
prestasi.
Perjanjian verbintenis adalah hubungan hukum (rechsbetrekking) yang oleh
hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara penghubungannya, oleh karena itu
perjanjian mengandung hubungan hukum antara perorangan/persoon adalah
hubungan yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Perjanjian atau
perikatan diatur dalam buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pasal 1313 KUH Perdata memberikan definisi tentang perjanjian sebagai
berikut: “Perjanjian adalah suatu perbuatan, dimana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”3 Suatu kontrak atau perjanjian
harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu
dan suatu sebab yang halal sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 KUHPerdata.
Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian
menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.4
Sedangkan kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak yang terlibat
dalam suatu kontrak untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, kebebasan
untuk menentukan dengan siapa mengadakan perjanjian, kebebasan untuk
menentukan isi perjanjian dan kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian.5
Sesuai dengan asas yang utama dari suatu perikatan atau perjanjian yaitu asas
kebebasan berkontrak seperti tersirat dalam pasal 1338 KUHPerdata, maka
pihak-pihak yang akan mengikat diri dalam suatu perjanjian kerjasama dapat mendasarkan
pada ketentuan-ketentuan yang akan ada pada KUHPerdata. Tetapi dapat pula
mendasarkan pada kesepakatan bersama, artinya dalam hal-hal ketentuan yang
3Wirjono Prodjodikoro,Azas-azas Perjanjian,Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm, 52. 4Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 1.
memaksa, harus sesuai dengan ketentuan KUHPerdata, sedangkan dalam hal
ketentuan tidak memaksa, diserahkan kepada para pihak.
Dengan demikian perjanjian kerjasama selain dikuasai oleh asas-asas umum
hukum perjanjian, juga dikuasai oleh apa yang secara khusus disepakati oleh kedua
belah pihak. Dalam perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik yang telah
dimulai sewaktu para pihak akan memasuki perjanjian tersebut dengan demikian
maka pembuatan perjanjian harus dilandasi asas kemitraan. Asas kemitraan
mengharuskan adanya sikap dari para pihak bahwa yang berhadapan dalam
pembuatan dan pelaksanaan perjanjian tersebut merupakan dua mitra yang berjanji,
terlebih lagi dalam pembuatan perjanjian kerjasama, asas kemitraan itu sangat
diperlukan.6
Undang-undang mengakui hak otonomi seseorang untuk secara bebas
membuat perjanjian dengan siapapun serta dengan bebas pula rnenentukan isi
perjanjian tersebut yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak. Selain asas
tersebut, asas kekuatan mengikat menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya,
sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata. Asas fundamental
lainnya dan hukum kontrak adalah konsensualisme. Ketiga asas dasar tersebut perlu
ditambah satu asas lagi yakni asas keseimbangan, agar dapat mengoper seluruh asas
hukum kontrak pada khususnya ataupun instrumen hukum yang ada di dalam
KUHPerdata dengan mendasarkan nilai dan norma hukum yang berlaku.7
Dalam pelaksanaan kepariwisataan juga terjadi perjanjian diantara pengusaha
kepariwisataan tersebut. Pasal 14 ayat (1) d UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan menyatakan bahwa salah satu usaha pariwisata adalah jasa perjalanan
wisata (travel). Selanjutnya Pasal 58 Peraturan Pemerintah Nomor 67 tahun 1996
tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan menyatakan bahwa salah satu usaha
penyediaan akomodasi adalah berupa usaha hotel.
Oleh karena bidang usaha yang saling mendukung tersebut, maka hotel sebagai
penyedia akomodasi kepariwisataan bekerja sama dengan pihak jasa perjalanan
wisata (travel) dalam hal memasarkan jasa akomodasi yang disediakan kepada
konsumen. Kerjasama tersebut dituangkan dalam bentuk perjajian.
Berdasarkan uraian tersebut berarti hak otonomi menunjukkan asas kesetaraan
dalam melakukan perjanjian. Namun dalam prakteknya pada perjanjian kontraktual,
klausula telah ditentukan secara sepihak oleh pihak pertama. Sedangkan pihak kedua,
tentunya harus mematuhi ketentuan yang tertuang dalam kontrak tersebut, sehingga
sebenarnya tidak terjadi kesetaraan. Demikian juga dalam perjanjian kerjasama
penjualan voucher hotel antara Hotel JW Marriot sebagai penyedia kamar hotel
(room) dengan PT.Eka Sukma Tour, sebagai perusahaan travel agent. Keuntungan
dari voucher hotel ini adalah bahwa wisatawan sebagai konsumen dapat membooking
kamar hotel melalui travel agent-nya, dan pihak travel memperoleh sejumlah fee
tertentu dari penjualan voucher tersebut.
Dalam hal ini Hotel JW Marriot mengeluarkan voucher hotel untuk sejumlah
kamar (room) yang kemudian dijual kepada wisatawan melalui travel agent. Pihak
Hotel JW Marriot secara sepihak telah menentukan hak dan kewajiban para pihak
termasuk jika terjadi wanprestasi. Voucher hotel yang dikeluarkan oleh pihak Hotel
JW Marriot berupa lembar tanda bukti pembayaran atas suatu kamar (room) pada
Hotel JW Marriot Medan. Penjualan voucher dilakukan oleh travel kepada wisawatan
yang hendak menginap di Hotel JW Marriot, dimana pihak travel diberikan volume
kamar (room) tertentu yang harus terjual dalam satu periode waktu tertentu, misalnya
3 bulan.
Perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel tersebut berupa perjanjian di
bawah tangan (bukan akta notariil). Jika travel tidak dapat menjual voucher sebanyak
volume kamar (room) yang telah ditentukan, maka dianggap wanprestasi, dan pihak
Hotel JW Marriot secara sepihak memutuskan kerjasama dengan pihak travel. Hal ini
menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak dalam
perjanjian kerjasama penjualan tersebut.
Sehubungan dengan adanya ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban para
pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel tersebut, dilakukan suatu
kajian atau tinjauan yuridis tentang pelaksanaan perjanjian kerjasama penjualan
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi pokok
permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana bentuk perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel antara
PT.Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan ?
2. Bagaimana kedudukan para pihak dalam perjanjian kerjasama penjualan
voucher hotel antara PT.Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan ?
3. Bagaimana penyelesaian perselisihan hukum jika terjadi wanprestasi antara
salah satu pihak ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bentuk perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel
antara PT.Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan.
2. Untuk mengetahui kedudukan para pihak dalam perjanjian kerjasama
penjualan voucher hotel antara PT.Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot
Medan.
3. Untuk mengetahui penyelesaian hukum jika terjadi wanprestasi antara salah
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis, yaitu :
1. Secara Teoritis
Diharapkan dengan penelitian ini dapat memberi manfaat dalam bidang ilmu
pengetahuan hukum khususnya bidang keperdataan terutama yang berhubungan
dengan perjanjian.
2. Secara Praktis
Diharapkan akan bermanfaat sebagai masukan bagi praktisi travel dan hotel
terutama pengetahuan tentang hak dan kewajiban dalam suatu perjanjian
kerjasama, dan masyarakat.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik
terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun sedang dilakukan, khususnya
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang
membahas mengenai tinjauan yuridis perjanjian kerjasama penjualan voucher hotel
antara PT.Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori digunakan untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.8 Kerangka teori adalah
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau
permasalahan yang menjadi bahan perbandingan penulis dibidang hukum.9 Suatu
kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk mengorganisasikan dan
menginterpretasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil
penelitian terdahulu.10 Kata lain dari kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau
butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang
menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.11
Suatu perbuatan hukum dilakukan bertujuan untuk memperoleh keadilan.
Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak
diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut
merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali
juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum
tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.12
Teori-teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap
mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam
mengutamakan “the search for justice”.13 Terdapat macam-macam teori mengenai
8JJJ M. Wuismen,Penelitian Ilmu Sosial, Jilid 1, Penyunting M. Hisman, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hlm. 203.
9M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju Bandung, 1994, hlm. 27. 10Burhan Ashshofa,Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta Jakarta, 1998, hlm. 23. 11M. Solly Lubis,Op.Cit., hlm. 23.
12 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hal 239.
keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan,
peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat
disebut: teori keadilan John Rawls dalam bukunyaa theory of justice.
John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan
sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of
opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan
ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang
paling kurang beruntung.14Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan
menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok
kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality
of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang
untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang
harus diberi perlindungan khusus. Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip
keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan
Hume, Bentham dan Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur
menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi
pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga
berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal
oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum,
tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari
orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat.
Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang
sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling
lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan
menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya
situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling
tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua,
ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang.
Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam
hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit,
agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.
Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan
keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan,
yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang
paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur
kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi
keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik
mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.15 Dengan
demikian, prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian
rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan,
pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang
beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama,
melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum
lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang
memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu
untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang
dialami kaum lemah.
Teori keadilan Rawls dapat disimpulkan memiliki inti sebagai berikut:
1. Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya
untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri,
2. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial
maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (“social
goods”). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat dizinkan bila ada
kemungkinan keuntungan yang lebih besar.
3. Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap
ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan.
Untuk meberikan jawaban atas hal tersebut, Rows melahirkan 3 (tiga) pronsip
kedilan, yang sering dijadikan rujukan oleh bebera ahli yakni:
1. Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle)
2. Prinsip perbedaan (differences principle)
Jadi kaitan antara teori keadilan dengan perjanjian kerjasama voucher hotel
antara PT.Sukma Tour dengan Hotel J.W Marriot bahwa didalam kerjasama tersebut
hendak nya menerapkan prinsip Kebebasan yang sama, Prinsip perbedaan dan Prinsip
Persamaan Kesempatan, agar keadilan tersebut bisa terwujud dan terjaga
keseimbangan kepentingan para pihak.
Dalam hukum kontrak (perjanjian) dikenal tiga asas, yakni asas
konsensualisme (the principle of consensualism), asas kekuatan mengikat kontrak
(the principle of the binding force of contract), dan asas kebebasan berkontrak
(principle of freedom on contract). Ketiga asas ini saling berkaitan satu sama lain.
Dengan asas kebebasan berkontrak setiap orang diakui memiliki kebebasan
untuk membuat kontrak dengan siapapun juga, menentukan isi kontrak, menentukan
bentuk kontrak, memilih hukum yang berlaku bagi kontrak yang bersangkutan. Jika
asas konsensualisme berkaitan dengan lahirnya kontrak, asas kekuatan mengikatnya
kontrak berkaitan dengan akibat hukum, maka asas kebebasan berkontrak berkaitan
dengan isi kontrak.
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka orang-orang boleh membuat
atau tidak membuat perjanjian. Para pihak yang telah sepakat akan membuat
perjanjian, bebas menentukan apa yang apa yang boleh dan tidak boleh dicantumkan
dalam suatu perjanjian. Kesepakatan yang diambil oleh para pihak mengikat mereka
sebagai Undang-undang (Pasal 1338 KUH Perdata). Penerapan asas ini memberikan
tempat yang penting bagi berlakunya asas konsensual, yang mengindikasikan adanya
keseimbangan posisi tawar (bargaining position). Menurut Sutan Remy Syahdeini
kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para pihak memiliki
bargaining poweryang seimbang. Jika bargaining powertidak seimbang maka suatu
kontrak dapat menjurus atau menjadiunconscionable.16
Selanjutnya Sutan Remy Syahdeini menjelaskan:
Bargaining power yang tidak seimbang terjadi bila pihak yang kuat dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak yang lemah mengikuti saja syarat-syarat kontrak yang diajukan kepadanya. Syarat lain adalah kekuasaan tersebut digunakan untuk memaksakan kehendak sehingga membawa keuntungan kepadanya. Akibatnya, kontrak tersebut menjadi tidak masuk akal dan bertentangan dengan aturan-aturan yang adil.17
Asas keseimbangan merupakan pelaksanaan dari prinsip itikad baik, prinsip
transaksi jujur dan prinsip keadilan. Keseimbangan dalam hukum dilandasi adanya
kenyataan disparitas yang besar dalam masayrakat, oleh karena itu diperlukan suatu
sistem pengaturan yang dapat melindungi pihak yang memiliki posisi yang tidak
menguntungkan. Menurut prinsip-prinsip UNIDROIT,18 salah satu pihak dapat
membatalkan seluruh atau sebagian syarat individual dari kontrak, apabila kontrak
atau syarat tersebut secara tidak sah memberikan keuntungan yang berlebihan kepada
salah satu pihak saja. Keadaan demikian didasarkan pada dua hal :
(a) Fakta bahwa pihak lain telah mendapatkan keuntungan secara curang dari
ketergantungan, kesulitan ekonomi atau kebutuhan yang mendesak, atau
16 Sutan Remy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Buku I, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 185.
17Ibid.
dari keborosan, ketidak tahuan, kekurang pengalaman atau kekurang
ahlian dalam tawar menawar;
(b) Sifat dan tujuan dari kontrak.
Menurut prinsip keseimbangan, salah satu pihak boleh meminta pembatalan
kontrak apabila terjadi perbedaan mencolok (gross disparity) yang memberikan
keuntungan berlebihan secara yang tidak sah kepada pihak lain. Keuntungan yang
berlebihan tersebut harus nampak pada saat pembuatan kontrak. Istilah keuntungan
yang berlebihan diartikan sebagai suatu perbedaan penting dalam harga atau unsur
lainnya. Hal ini mengganggu keseimbangan dalam pelaksanaan da keserasian dalam
masyarakat, yang dapat digunakan sebagai alasan permohonan pembatalan kontrak
melalui pengadilan.
Oleh karena itu asas kebebasan berkontrak harus dicari dan ditentukan dalam
kaitannya dengan pandangan hidup bangsa. Disepakati sejumlah asas hukum kontrak
menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagai berikut:
a. Asas Konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.
b. Asas Kepercayaan
Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari.
c. Asas Kekuatan Mengikat
Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan yang mengikat. Terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan, dan kebebasan akan mengikat para pihak.
Asas menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada
perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan,
kekuasaan, jabatan.
e. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu.
f. Asas Moral
Asas ini terlihat di dalam Zaak waarneming, dimana seseorang yang
melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangktan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Asas ini terdapat dalam pasal 1339 KUH Perdata.
g. Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
h. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.19
Pembahasan hukum kontrak sering kali dikaitkan dengan pembahasan
keseimbangan dalam berkontrak (azas keseimbangan). Acap kali muncul anggapan
bahwa kontrak yang terjalin antara pihak-pihak tidak memberikan keseimbangan
posisi bagi salah satunya. Kontrak yang demikian dianggap tidak adil dan berat
sebelah, sehingga memunculkan upaya untuk mencari dan menggali temuan-temuan
baru di bidang hukum kontrak agar dapat menyelesaikan problematika
ketidakseimbangan dalam hubungan kontraktual.
Pengertian “keseimbangan-seimbang” atau evenwicht-evenwichtig (Belanda),
atau equality-equal-equilibrium (Inggris) bermakna leksikal “sama, sebanding”
menunjuk pada suatu keadaan, posisi, derajat, berat, dan lain-lain.20 Menurut Sutan
Remy Syahdeini bahwa keseimbangan para pihak yang berkontrak hanya akan
terwujud apabila berada pada posisi yang sama kuat. Dengan membiarkan hubungan
kontraktual para pihak semata-mata pada mekanisme kebebasan berkontrak,
seringkali menghasilkan ketidakadilan apabila salah satu pihak berada dalam posisi
yang lemah. Dengan demikian, negara seharusnya campur tangan untuk melindungi
pihak yang lemah dengan menentukan klausul tertentu yang harus dimuat atau
dilarang dalam suatu kontrak.
Menurut Herlin Budiono, azas keseimbangan juga dipahami sebagai
keseimbangan kedudukan posisi tawar para pihak dalam menentukan hak dan
kewajibannya dalam perjanjian. Ketidakseimbangan posisi menimbulkan
ketidakadilan, sehingga perlu intervensi pemerintah untuk melindungi pihak yang
lemah melalui penyeragaman syarat-syarat perjanjian.21
Ahmadi Miru berkomentar bahwa keseimbangan antara konsumen dan
produsen dapat dicapai dengan meningkatkan perlindungan terhadap konsumen
karena posisi produsen lebih kuat dibandingkan dengan konsumen.22 Berarti, azas
keseimbangan diartikan sebagai keseimbangan posisi para pihak. Selanjutnya B.
Arief Sidharta berpendapat bahwa azas-azas hukum kontrak yang hidup dalam
kesadaran hukum Indonesia sebagaimana tercermin dalam hukum adat, maupun
azas-20Tim Penyusun,Kamus Besar Bahasa Indonesia,Edisi II, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm. 60 dan 788.
21 Herlien Budiono, Azas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Azas-azas Wigati Indonesia,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 302.
azas hukum moderen sebagaimana ditemukan dalam perkembangan hukum kontrak
Belanda di perundang-undangan, praktek hukum dan yurisprudensi, bertemu dalam
suatu azas, yaitu azas keseimbangan.23
Herlien Budiono, memberi 2 (dua) makna pada azas keseimbangan, yaitu (i)
azas keseimbangan sebagai azas etikel yang bermakna suatu “keadaan pembagian
beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang”. Makna keseimbangan di sini
berarti pada satu sisi dibatasi kehendak (berdasar pertimbangan atau keadaan yang
menguntungkan) dan pada sisi lain keyakinan (akan kemampuan). Dalam batasan
kedua sisi tersebut keseimbangan akan dapat diwujudkan.24 (ii) azas keseimbangan
sebagai azas yuridikal artinya azas keseimbangan dapat dipahami sebagai azas yang
layak atau adil, dan selanjutnya diterima sebagai landasan keterikatan yuridikal dalam
hukum kontrak Indonesia.25 Dalam hal keseimbangan kontraktual terganggu, maka
jalan keluar untuk melakukan pengujian daya kerja azas keseimbangan, melalui :
tindakan, isi dan pelaksanaan perjanjian.26
Pasal 1320 KUH Perdata menentukan bahwa, untuk sahnya perjanjian
diperlukan empat syarat, yaitu :
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu pokok persoalan tertentu
23B. Arief Sidharta, Kata Pengantar dalam Herlien Budiono,Azas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Azas-azas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. Viii.
24
Herlien Budiono, 2006.Ibid.,hlm. 304-305. 25Ibid.,hlm. 307.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Secara garis besar KUHPerdata mengklasifikasikan jenis‐jenis perjanjian
sebagai berikut27:
1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebani hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan kepada pihak lainnya, misalnya hibah.
2. Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak membebani
Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja. Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan kedua prestasi tersebut ada hubungannya menurut hukum.
3. Perjanjian bernama dan tidak bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian‐perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yag tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.
4. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan dari perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir sendiri adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak timbulnya hak dan kewajiban para pihak.
5. Perjanjian konsensual dan perjanjian real
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada perjanjian kehendak antara pihak‐pihak. Sedangkan perjanjian real adalah perjanjian di samping ada perjanjian kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barang yang diperjanjikan.
Suatu perjanjian dalam pelaksanaannya ada kemungkinan tidak sesuai dengan
yang diperjanjikan atau mungkin tidak dapat dilaksanakan karena adanya
hambatan‐hambatan dalam pelaksanaannya. Hambatan‐hambatan tersebut dapat
terjadi berupa wanprestasi dan keadaan memaksa28.
a. Wanprestasi
Wanprestasi menurut Abdul Kadir Muhamad mempunyai arti tidak memenuhi
kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena
perjanjian29. Sedangkan menurut J. Satrio, wanprestasi mempunyai arti bahwa debitur
tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan
kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka dikatakan bahwa debitur
wanprestasi30.
Dari dua pengertian di atas, maka secara umum wanprestasi berarti
pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut
selayaknya. Misalnya seorang debitur disebutkan dalam keadaan wanprestasi maka
dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah terlambat dari jadwal
waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut yang
sepatutnya.
Debitur dikatakan telah melakukan wanprestasi baik karena lalai maupun
karena kesengajaan, apabila31:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
b. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.
28J. Satrio,Hukum Perikatan‐Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1999, hlm, 83. 29Abdul Kadir Muhamad,Op.Cit,hlm. 20.
30
J. Satrio,Op.Cit, hlm. 122.
c. Melakukan apa yang sudah diperjanjikan tetapi sudah terlambat.
d. Melakukan suatu yang oleh perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk menentukan dan menyatakan apakah seseorang melakukan
wanprestasi, tidaklah mudah karena seringkali tidak diperjanjikan dengan tepat kapan
suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang telah diperjanjikan. Sebelum
dinyatakan wanprestasi, seorang debitur harus lebih dahulu ditagih atau diberi teguran
atau somasi, sebagaimana ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata yang menyebutkan :
“Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan akta sejenis
itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan,
bahwa si berhutang akan terus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan.”
Pasal 1238 KUH Perdata mengatakan bahwa debitur lalai, dan oleh KUH
Perdata telah jelas ditetapkan, sejak kapan debitur dalam keadaan lalai, yaitu dengan
tiga jenis teguran atau peringatan :
1. Surat Perintah
Surat perintah atau surat peringatan resmi dari hakim atau juru sita pengadilan
biasanya berbentuk penetapan atau beschiking. Berdasarkan surat perintah
tersebut juru sita memberi surat teguran secara lisan kepada debitur kapan
selambat‐lambatnya ia harus berprestasi. Ini biasanya disebut dengan exploit
juru sita.
Akta sejenis ini merupakan peringatan secara tertulis, maksudnya dapat
berupa akta di bawah tangan atau dengan akta notaris.
3. Tersimpul dari perjanjiannya sendiri
Maksudnya sejak membuat perjanjian para pihak sudah menentukan saat
kapan terjadinya wanprestasi.
Pernyataan lalai sebenarnya merupakan suatu peringatan dari kreditur agar
debitur berprestasi, selambat‐lambatnya pada suatu saat tertentu32.
Menurut Pasal 1267 KUH Perdata, pihak kreditur dapat menuntut pihak
debitur yang lalai dengan memilih beberapa kemungkinan tuntutan sebagai berikut:
a. Pemenuhan perjanjian;
b. Pemenuhan perjanjian disertai dengan ganti rugi;
c. Ganti rugi saja;
d. Pembatalan perjanjian;
e. Pembatalan perjanjian disertai dengan ganti rugi.
Sedangkan menurut R. Subekti33, akibat hukum bagi debitur yang telah
melakukan wanprestasi adalah suatu sanksi, terdapat 4 (empat) macam sanksi yaitu :
1) Ganti Rugi
Debitur harus membayar ganti rugi sebagai akibat kerugian yang diderita
kreditur, seperti yang tersebut dalam Pasal 1243 KUH Perdata. Dalam pasal
tersebut menyebutkan perincian ganti rugi yang meliputi :
a. Biaya, yaitu segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata‐nyata sudah
dikeluarkan oleh salah satu pihak.
b. Rugi, yaitu kerugian yang terjadi karena kerusakan barang‐barang
kepunyaan kreditur, yang diakibatkan oleh kelalaian debitur.
c. Bunga, yaitu kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah
dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.
Undang‐undang juga memberikan ketentuan yang merupakan pembatasan
tentang apa yang dituntut sebagai ganti rugi, ketentuan‐ketentuan tersebut
terdapat dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata, yaitu menyatakan
sebagai berikut :
Pasal 1247 KUH Perdata menentukan: “Si berhutang hanya diwajibkan
mengganti biaya, rugi dan bunga yang nyata telah, atau sedianya dapat diduga
sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu
disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya.”
Pasal 1248 KUH Perdata menentukan: “Bahwa jika hal tidak dipenuhinya
perikatan itu disebabkan karena tipu daya di berutang, pengganti biaya, rugi dan
bunga sekedar mengenai kerugian yang dideritanya oleh si berpiutang dan
keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan
akibat langsung dari tidak dipenuhinya perikatan.”
Dengan demikian walaupun debitur dalam kenyataan lalai atau alpa tetap diberi
tetapi pembatasan tersebut hanya meliputi kerugian yang dapat diduga pada
kemungkinan timbulnya kerugian dan besarnya kerugian.34 Serta kerugian
tersebut merupakan akibat langsung dari wanprestasi, seperti yang ditentukan
dalam Pasal 1248 KUH Perdata.
2) Pembatalan Perjanjian
Pembatalan ini mempunyai maksud bahwa kedua belah pihak berkehendak
kembali kepada keadaan semula sebelum perjanjian diadakan. Bila salah atu
pihak telah memenuhi atau menerima prestasi dari pihak lain (baik barang
maupun uang), maka harus dikembalikan seperti sedia kala.35 Pemutusan
perjanjian karena wanprestasi debitur diatur dalam Pasal 1265‐1267 KUH
Perdata, yaitu terdapat dalam bagian V Bab I buku III KUH Perdata. Menurut
undang‐undang dalam hal wanprestasi, harus memenuhi syarat untuk
melaksanakan pembatalan perjanjian, yaitu :
a. Debitur harus dalam keadaan wanprestasi;
b. Pemutusan perjanjian dengan perantaraan hakim;
c. Harus dalam perjanjian timbal balik.
3) Peralihan Resiko
Resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi sesuatu peristiwa
di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek
perjanjian. Disebutkan dalam Pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata, bahwa atas
kelalaian dari seseorang debitur maka ia akan dikenai sanksi peralihan resiko.
4) Pembayaan Ongkos Perkara
Dalam hal debitur yang lalai dan sebagai pihak yang dikalahkan diwajibkan
membayar biaya perkara, seperti yang disebutkan dalam suatu hukum acara
pidana maupun acara perdata (Pasal 181 ayat (1) H.I.R). Kreditur dapat
memilih diantara beberapa kemungkinan tuntutan ataupun sanksinya terhadap
debitur tersebut. Kreditur dapat menuntut satu atau lebih sanksi kepada debitur.
Jadi selain dapat menuntut pemenuhan perjanjian saja juga dapat disertai
dengan menuntut ganti rugi36.
Sedangkan bagi seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan
beberapa alasan sebagai alat untuk membela diri, yaitu37:
a. Mengajukan alasan bahwa kreditur telah lalai;
b. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa;
c. Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk
menuntut ganti rugi.
b) Akibat dari Wanprestasi
Sebagai akibat terjadinya wanprestasi maka debitur harus :
1. Mengganti kerugian.
2. Benda yang dijadikan obyek dari perikatan sejak saat tidak dipenuhinya
kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur.
3. Jika perikatan itu timbul dari perjanjian yang timbal balik, kreditur dapat
minta pembatalan (pemutusan) perjanjian.
Di samping debitur harus bertanggung gugat tentang halhal tersebut, maka apa
yang dapat dilakukan oleh kreditur menghadapi debitur yang wanprestasi itu.
Kreditur dapat menuntut salah satu dari 5 kemungkinan sebagai berikut :
1. Dapat menuntut pembatalan/pemutusan perjanjian.
2. Dapat menuntut pemenuhan perjanjian.
3. Dapat menuntut pengganti kerugian.
4. Dapat menuntut pembatalan dan pengganti kerugian.
5. Dapat menuntut pemenuhan dan pengganti kerugian.
Wanprestasi memang dapat terjadi dengan sendirinya tetapi kadang‐kadang tidak.
Banyak perikatan yang tidak dengan ketentuan waktu pemenuhan prestasinya
memang dapat segera ditagih. Ini diperlukan tenggang waktu yang layak dan ini
diperbolehkan dalam praktek. Tenggang waktu dapat beberapa jam, dapat pula
satu hari bahkan lebih. Maka dari itu dalam perjanjian‐perjanjian yang tidak
ditentukan waktunya wanprestasi tidak terjadi demi hukum, karena tidak ada
waktu, kadang-kadang ketentuan waktu mempunyai arti yang lain yaitu : bahwa
debitur tidak boleh berprestasi sebelum waktu itu tiba.38
Jalan keluar untuk mendapatkan kapan debitur itu wanprestasi undang‐undang
memberikan upaya hukum dengan suatu pernyataan lalai (ingebrekestelling,
sommasi). Pernyataan lalai ialah merupakan upaya hukum untuk menentukan
kapan saat terjadinya wanprestasi. Sedangkan pernyataan lalai adalah pesan
(pemberitahuan) dari kreditur kepada debitur yang menerangkan kapan
selambat-lambatnya debitur diharapkan memenuhi prestasinya. Biasanya diberikan waktu
yang banyak bagi debitur terhitung saat pernyataan lalai itu diterima oleh debitur.
Pernyataan lalai ada yang diperlukan dan ada yang tidak diperlukan mengingat
adanya bentuk wanprestasi.
1. Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali maka pernyataan lalai
tidak diperlukan, kreditur langsung minta ganti kerugian.
2. Dalam hal debitur terlambat memenuhi prestasi maka pernyataan lalai
diperlukan, karena debitur dianggap masih dapat berprestasi.
3. Kalau debitur keliru dalam memenuhi prestasi, Hoge Raad berpendapat
pernyataan lalai perlu, tetapi Meijers berpendapat lain apabila karena kekeliruan debitur kemudian terjadi pemutusan perjanjian yang positif (positive contrackbreuk), pernyataan lalai tidak perlu.39
Pemutusan perjanjian yang positif adalah dengan prestasi debitur yang keliru itu
menyebabkan kerugian kepada milik lainnya dari kreditur. Lain halnya pemutusan
perjanjian yang negatif, kekeliruan prestasi tidak menimbulkan kerugian pada
milik lain dari kreditur, maka pernyataan lalai diperlukan.
38Ibid, hlm. 26.
2. Konsepsi
Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Jika masalahnya dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari kelompok fakta atau gejala itu. Oleh karena itu konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan adanya hubungan empiris diantara variable-variable yang diteliti.40
Tinjauan yuridis adalah suatu tinjauan terhadap pelaksanaan suatu peraturan
perundangan-undangan (statute approach) yang berhubungan dengan permasalahan
yang diteliti.
Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.41
Kerjasama adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang dilakukan secara bersama
antara dua pihak atau lebih baik dilakukan berdasarkan perjanjian maupun tidak.
Penjualan merupakan suatu proses dimana kebutuhan pembeli dan kebutuhan
penjual dipenuhi, melalui antar pertukaran informasi dan kepentingan, jadi konsep
penjualan adalah cara untuk mempengaruhi konsumen untuk membeli produk yang
ditawarkan.42
Voucher hotel adalah suatu tanda bukti pembayaran atas suatu barang atau
jasa berupa lembaran kertas, yang ditawarkan oleh suatu pihak yang akan diberikan
kepada pihak yang memiliki voucher tersebut. Dalam hal ini voucher adalah bukti
pembayaran kamar (room) di Hotel JW Marriot Medan.
40Koentjoroningrat,Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm. 21.
41Abdul Kadir Muhamad,Op.Cit, hlm. 14.
Travel adalah biro perjalanan wisata dengan salah satunya kegiatan usahanya
yaitu penyelenggaraan dan penjualan paket wisata dengan cara menyalurkan melalui
agen perjalanan wisata dan atau menjualnya langsung kepada wisatwan atau
konsumen.43
Hotel adalah usaha penyediaan akomodasi kepariwisataan dengan salah satu
kegiatan adalah penyediaan kamar tempat menginap serta penyediaan fasilitas
akomodasi dan pelayanan lain yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan usaha
hotel.44
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini
adalah deskriptif yuridis, yaitu suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum
yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang
lain.45
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah yuridis empiris yaitu
suatu metode pendekatan yang dipergunakan untuk memecahkan objek penelitian
dengan meneliti data sekunder terhadap data primer di lapangan, karena hukum yang
pada kenyataannya dibuat dan ditetapkan oleh manusia yang hidup dalam
43Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan, Pasal 9 ayat (1) b.
44
Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996, Pasal 61 ayat (1) a, d.
masyarakat.46 Dalam penelitian ilmu hukum empiris merupakan penelitian atau
pengkajian yang sistematis, terkontrol, kritis dan empiris terhadap dugaan-dugaan dan
pertanyaan-pertanyaan mengenai perilaku hukum masyarakat yang merupakan fakta
sosial. Penelitian ini berbasis pada ilmu hukum normatif, tetapi bukan mengkaji
mengenai sistem norma dalam peraturan perundangan, namun mengamati bagaimana
reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat.
Penelitian ini juga sering disebut sebagai penelitian bekerjanya hukum (law in
action).47
2. Jenis dan Sumber Data
Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam
penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai
ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku
harian, buku-buku sampai dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh
Pemerintah.48
Dalam penelitian ini data sekunder yang digunakan, yaitu:
a. Bahan-bahan hukum primer, yaitu berhubungan dengan Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan
Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perjanjian.
46 Mukti Fajar Nurdewata, et.al, Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hlm. 43.
47
Ibid, hal. 47.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, berupa hasil penelitian, artikel, buku-buku referensi, media
informasi lainnya.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi pentunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, berupa kamus hukum, kamus umum,
dan jurnal.
3. Alat Pengumpul Data
Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya
serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini
diperoleh melalui alat pengumpul data dengan cara sebagai berikut:
a. Studi kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan data dengan melakukan
penelaahan kepada bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
b. Wawancara dengan nara sumber, yaitu Marketing Manager PT.Eka Sukma Tour
dan Sales Manager Hotel JW Marriot Medan. Wawancara dilakukan dengan
berpedoman pada pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu.
4. Analisis Data
Setelah diperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan
tertier, maka dilakukan inventarisir dan penyusunan secara sistematik, kemudian
diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan selanjutnya
yang umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan menggunakan
perangkat normatif sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas atas
BAB II
PERJANJIAN KERJASAMA PENJUALAN VOUCHER HOTEL ANTARA PT. EKA SUKMA TOUR DENGAN HOTEL JW MARRIOT MEDAN
A. Perjanjian Kerjasama dalam Praktek Travel
1. Perjanjian Kerjasama
Perjanjian merupakan kesepakatan antara dua orang atau dua pihak, mengenai
hal-hal pokok yang menjadi objek dari perjanjian. Kesepakatan itu timbul karena
adanya kepentingan dari masing-masing pihak yang saling membutuhkan. Perjanjian
juga dapat disebut sebagai persetujuan, karena dua pihak tersebut setuju untuk
melakukan sesuatu. Perjanjian kerjasama dalam suatu bisnis bisa dilakukan secara
formal maupun informal, hal ini disesuaikan dengan jenis kerjasama yang hendak
dilakukan. Selain itu, pembuatan perjanjian kerjasama bisa disesuaikan dengan
kesepakatan semua pihak yang terlibat didalamnya.
a. Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yang terdiri dari empat syarat yaitu:
1. Adanya kata sepakat mereka yang mengikat diri;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3. Suatu hal tertentu;
Ad. 1. Adanya kata sepakat mereka yang mengikat diri
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau
lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk
dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa
yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada
kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam
perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan
mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam
persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para
pihak. Pernyataan yang disampaikan tersebut dikenal dengan nama penawaran. Jadi
penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu pihak dalam perjanjian, yang
disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan
pihaknya tersebut.
Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus
menentukan apakah ia menerima penawaran yang disampaikan, apabila ia menerima
maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika ia tidak menyetujui, maka
dapat saja ia mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang
dianggap dapat ia penuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat diterima
atau dilaksanakan olehnya.
Dalam hal terjadi demikian maka kesepakatan dikatakan belum tercapai.
Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah
oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan paling akhir dari
serangkaian penawaran adalah saat tercapainya kesepakatan. Hal ini dipedomani
untuk perjanjian konsensuil dimana kesepakatan dianggap terjadi pada saat
penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir.
Dalam perjanjian konsensuil tersebut di atas, secara prinsip telah diterima
bahwa saat tercapainya kesepakatan adalah saat penerimaan dari penawaran terakhir
disampaikan. Hal tersebut secara mudah dapat ditemui jika para pihak yang
melakukan penawaran dan permintaan bertemu secara fisik, sehingga masing-masing
pihak mengetahui secara pasti kapan penawaran yang disampaikan olehnya diterima
dan disetujui oleh lawan pihaknya.
Ad. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian adalah kewenangan untuk
melakukan perbuatanperbuatan hukum sendiri. Perbedaan antara kewenangan hukum
dengan kecakapan berbuat adalah bila kewenangan hukum maka subyek hukum
dalam hal pasif sedanga pada kecakapan berbuat subjek hukumnya aktif, dan yang
termasuk cakap di sini adalah orang dewasa, sehat akal pikrnya, tidak dilarang oleh
Undang-undang.
Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk
membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.
Pasal 1330 KUHPerdata lebih lanjut menyatakan bahwa semua orang berwenang
untuk membuat kontrak kecuali mereka yang masuk ke dalam golongan:
2. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan
3. Wanita bersuami
4. Orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu.
Konsekuensi yuridis jika ada dari para pihak dalam perjanjian yang ternyata
tidak cakap berbuat adalah:
a. Jika perjanjian tersebut dilakukan oleh anak yang belum dewasa, maka
perjanjian tersebut batal demi hukum atas permintaan dari anak yang belum
dewasa, semata-mata karena alasan kebelumdewasaannya.
b. Jika perjanjian tersebut, dilakukan oleh orang yang berada di bawah
pengampuan, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atas permintaan dari
orang di bawah pengampuan, semata-mata karena keberadaannya di bawah
pengampuan tersebut.
c. Terhadap perjanjian yang dibuat wanita yang bersuami hanyalah batal demi
hukum sekedar perjanjian tersebut melampaui kekuasaan mereka.
d. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh anak di bawah umur yang telah
mendapatkan status disamakan dengan orang dewasa hanyalah batal demi
hukum sekedar kontrak tersebut melampaui kekuasaan mereka.
e. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh orang yang dilarang oleh undang-undang
untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, maka mereka dapat menuntut
pembatalan perjanjian tersebut, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Apabila perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap berbuat tersebut