• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Bit Error Rate Pada Sistem Wcdma Dengan Menggunakan Channel Coding

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Bit Error Rate Pada Sistem Wcdma Dengan Menggunakan Channel Coding"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS AKHIR

ANALISIS BIT ERROR RATE PADA SISTEM WCDMA

DENGAN MENGGUNAKAN CHANNEL CODING

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) pada Departemen Teknik Elektro

Oleh

IM M ANUEL TA SI TE PU 040402007

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS BIT ERROR RATE PADA SISTEM WCDMA DENGAN MENGGUNAKAN CHANNEL CODING

Oleh :

IMMANUELTA SITEPU 04 0402 007

Tugas Akhir ini diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik

Disetujui oleh :

Pembimbing,

Maksum Pinem, ST. MT. NIP: 196810042000121001

Diketahui oleh : Pelaksana Harian

Ketua Departemen Teknik Elektro FT USU,

Prof.Dr.Ir. Usman Baafai NIP:19461022 197302 1 001

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

ABSTRAK

Sistem WCDMA pada dasarnya memang dimaksudkan untuk

pentransmisian data berkecepatan tinggi, yakni pada teknologi sistem seluler

generasi ketiga (3G). Walau bagaimanapun, setiap transmisi komunikasi yang

melewati kanal, baik system komunikasi wireless analog maupun yang digital

akan rentan terhadap derau. Derau akan menimbulkan error bila berpadu dengan

data yang dikirim dan melewati batas treshold. Salah satu solusi yang dapat

dilakukan adalah dengan menaikkan Signal to Noise Ratio (SNR). Namun, ketika

mobilitas, faktor daya pancar, dan lama daya tahan alat komunikasi menjadi

batasan terhadap penggunaan daya pancar yang besar, sistem komunikasi digital

sekarang ini selalu menyertakan bagian Channel Coding untuk membantu

memperkuat daya tahan sinyal informasi terhadap derau saluran. Cara penggunaan

Channel Coding tersebut termasuk dalam teknik Forward Error Correction

(FEC) atau disebut juga Error-Control Coding (ECC).

Salah satu teknik FEC yang saat ini banyak digunakan dalam sistem

komunikasi digital adalah Convolutional Coding. Seperti kebanyakan teknik FEC

lainnya, dengan menggunakan teknik ini, sistem komunikasi yang dibangun akan

mempunyai BER yang lebih rendah daripada tanpa menggunakan Channel

Coding.

Oleh karena itu, pada Tugas Akhir ini dianalisis hasil perbandingan BER

dari kanal AWGN yang menggunakan Channel Coding dan tanpa menggunakan

Channel Coding tersebut dengan metode simulasi menggunakan program Matlab,

dimana terlihat pada kanal AWGN yang menggunakan Channel Coding bernilai

10-2 pada Eb/No 8 dB, sedangkan pada kanal AWGN yang tidak menggunakan

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis diberikan kemampuan dan kesempatan

untuk dapat mennyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik.

Tugas Akhir ini berjudul : Analisis Bit Error Rate Pada Sistem

WCDMA Dengan Menggunakan Channel Coding. Tugas Akhir ini merupakan

salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Departemen Teknik

Elektro Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada orang tua saya, Ayahanda Ir. T. Sitepu dan Ibunda H. br Ginting

yang telah membesarkan, mendidik dan terus membimbing serta mendoakan saya.

Juga rasa sayang kepada saudara-saudara saya Yuni Lestari br Sitepu , Dewinta

Rina br Sitepu, Neni Lala br Sitepu, dan juga kepada bang Ongky Tarigan.

Dalam kesempatan ini, Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Maksum Pinem, ST. MT. selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir,

yang dengan ikhlas dan sabar memberikan masukan, membimbing dan

memotivasi saya dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Usman Baafai, selaku dosen wali saya selama mengikuti

perkuliahan.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Usman Baafai selaku Pelaksana Harian Ketua Departemen

(5)

4. Seluruh staf pengajar di Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik

Universitas Sumatera Utara yang telah membekali saya dengan ilmu

pengetahuan selama di perkuliahan.

5. Seluruh karyawan Departemen Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas

Sumatera Utara.

6. Kepada seluruh teman-teman seperjuangan angkatan 2004 yang senantiasa

menemaniku di dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini : Alex Sitepu, Dedi

Imanuel Gultom, Wiclif, Daus, Batara, Jakson, Hanna, Augus, Juan Khan,

Juan Rio, Franklyn, Adinata, Salman, Hans, Muffi, Willy, Joshua, Jefri,

Ronal, dan seluruh teman-teman yang belum disebutkan.

7. Teman-teman mahasiswa dan pihak lainnya yang belum disebutkan satu

persatu.

Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih belum sempurna, baik

dari segi materi maupun penyajiannya. Oleh karena itu Penulis sangat

mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun demi

kesempurnaan Tugas Akhir ini.

Akhir kata, Penulis berharap agar Tugas Akhir ini bermanfaat bagi

pembaca dan Penulis.

Medan, Juni 2010

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ... ...i

KATA PENGANTAR ... ... . ii

DAFTAR ISI ... ... . iv

DAFTAR GAMBAR ... ... vii

DAFTAR TABEL ... ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... ... .. 1

1.2 Rumusan masalah ... ... .. 2

1.3 Tujuan Penulisan ... ... .. 2

1.4 Batasan Masalah ... ... .. 2

1.5 Metodologi Penulisan ... ... .. 3

1.6 Sistematika Penulisan ... ... .. 4

BAB II SISTEM WCDMA 2.1. Pendahuluan ... ... .. 5

2.2. Komunikasi Spektrum Tersebar ... ... .. 6

2.3. Wideband Code Division Multiple Access (WCDMA) ... .. 8

2.3.1. Perancangan Transceiver ... ... 12

2.3.1.1. Prinsip Pentransmisian Variabel Rate... .... ... 12

2.3.1.2. Struktur Kanal Logika ... .... ... 13

(7)

2.3.1.4. Transmitter WCDMA ... .... ... 17

2.3.1.5. Kontrol Daya ... .... ... 18

2.3.1.6. Kombinasi, Pembentukan Pulsa dan Konversi Frekuensi ... 18

2.3.1.7. Receiver WCDMA ... ... 19

2.3.1.8. Sinkronisasi ... ... 20

2.4. Additive White Gaussian Noise (AWGN) ... ... 21

BAB III CHANNEL CODING 3.1 Umum ... ... 23

3.2 Convolutional Coding ... ... 25

3.2.1. Representasi Enkoder Konvolusional ... ... 26

3.2.2. State Diagram ... ... 27

3.2.3. Diagram Trellis ... ... 29

3.3. Viterbi Decoding ... ... 30

BAB IV ANALISIS BIT ERROR RATE PADA SISTEM WCDMA DENGAN MENGGUNAKAN CHANNEL CODING 4.1. Umum ... ... 32

4.2. Parameter Sistem WCDMA ... ... 32

4.3. Sistem WCDMA Pada Kanal AWGN Tanpa Menggunakan Teknik Channel Coding ... ... 34

4.3.1. Distribusi Uniform ... ... 36

4.3.2. PN Sequence Generator ... ... 36

(8)

4.3.4. QPSK Modulator Baseband ... ... 36

4.3.5. Kanal AWGN ... ... 37

4.3.6. QPSK Demodulator Baseband ... ... 37

4.3.7. Despreader ... ... 37

4.3.8. Error Rate Calculation ... ... 37

4.4. Sistem WCDMA Pada Kanal AWGN Dengan Menggunakan Teknik Channel Coding ... ... 38

4.4.1. Convolutional Encoder ... ... 40

4.4.2. Viterbi Decoder ... ... 40

4.5. Hasil Analisa ... ... 40

4.5.1. Kondisi Pertama: Sistem WCDMA Pada Kanal AWGN Tanpa Menggunakan Teknik Channel Coding... ... 40

4.5.2. Kondisi Kedua: Sistem WCDMA Pada Kanal AWGN Dengan Menggunakan Teknik Channel Coding... ... 42

4.5.3. Perbandingan Hasil Kondisi Pertama Dengan Kondisi Kedua ... 43

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan... ... 45

5.2. Saran ... ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... ... 46

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Alokasi bandwidth WCDMA ... ... 10

Gambar 2.2 Struktur Fungsi Kanal Logika ... ... 13

Gambar 2.3 Transmitter WCDMA ... ... 17

Gambar 2.4 Struktur Receiver pada BS ... ... 19

Gambar 3.1 Model Sistem Komunikasi Digital Sederhana ... 24

Gambar 3.2 Konvolusional Enkoder (2, 1, 3) ... ... 27

Gambar 3.3 Enkoder State Diagram (rate = ½, K = 3) .... ... 28

Gambar 3.4 Enkoder Diagram Trellis (rate = 1/2, K = 3) ... 29

Gambar 4.1 Blok Diagram Sistem WCDMA ... ... 33

Gambar 4.2 Blok Diagram Sistem WCDMA pada kanal AWGN tanpa Channel Coding ... ... 34

Gambar 4.3 Diagram Alir Sistem WCDMA pada kanal AWGN tanpa menggunakan Channel Coding ... ... 35

Gambar 4.4 Blok Diagram Sistem WCDMA pada kanal AWGN dengan menggunakan channel coding ... ... 38

Gambar 4.5 Diagram Alir Sistem WCDMA Dengan Channel Coding ... ... 39

Gambar 4.6 Grafik BER terhadap Eb/No pada kanal AWGN tanpa menggunakan Channel Coding ... ... ... 41

Gambar 4.7 Grafik BER terhadap Eb/No pada kanal AWGN dengan menggunakan Channel Coding ... ... ... 43

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Hubungan carrier spacing dan bit rate ... ... 11

Tabel 2.2 Spesifikasi Teknis WCDMA ... ... 12

Tabel 4.1 Parameter-parameter umum untuk sistem WCDMA ... 33

Tabel 4.2 Hasil Nilai Bit Error Rate pada kanal AWGN tanpa menggunakan

Channel Coding ... ... 41

Tabel 4.3 Hasil Nilai Bit Error Rate pada kanal AWGN menggunakan

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sistem komunikasi wireless baik digital maupun analog bertujuan untuk

menghantarkan sinyal informasi dari transmitter ke receiver. Bagaimanapun,

kanal komunikasi tidak akan lepas dari rugi-rugi kanal seperti noise, interference

dan fading. Rugi-rugi kanal tersebut dapat menyebabkan distorsi sinyal dan

pemburukan terhadap nilai signal to noise ratio (SNR).

Untuk mengatasi masalah tersebut ialah dengan cara menggunakan teknik

Channel Coding pada pentransmisiannya. Tujuan teknik ini adalah untuk

menambah kapasitas kanal dengan menambahkan informasi tambahan ke dalam

data yang ditransmisikan. Channel Coding terdiri dari dua buah, yaitu enkoding

kanal pada bagian transmitter dan decoding kanal pada bagian receiver.

Salah satu teknik Channel Coding yang banyak digunakan saat ini dalam

sistem komunikasi digital adalah Convolutional Coding dengan Viterbi Decoding.

Dengan menggunakan teknik Convolutional Coding dengan Viterbi Decoding

maka akan didapatkan hasil BER yang lebih rendah bila dibandingkan dengan

yang tidak menggunakan Convolutional Coding dengan Viterbi Decoding.

Wideband Code Division Multiple Access (WCDMA) merupakan sistem

komunikasi yang mendukung pentransmisian berkecepatan tinggi untuk sistem

komunikasi bergerak. Teknik Channel Coding juga dapat digunakan pada sistem

(12)

salah satu teknik Channel Coding yang telah dispesifikasikan untuk sistem

WCDMA tersebut.

Oleh karena itu, pada Tugas Akhir ini penulis akan membandingkan hasil

Bit Error Rate yang didapatkan dari kanal AWGN yang menggunakan

Convolutional Coding dengan yang tidak menggunakan Convolutional Coding.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan pada Tugas Akhir ini, yaitu:

1. Bagaimana prinsip kerja sistem WCDMA.

2. Apa yang dimaksud dengan Channel Coding, Convolutional Coding dan

Viterbi Decoding.

3. Bagaimana prinsip kerja dari Convolutional Coding.

4. Apa pengaruh Channel Coding terhadap nilai Bit Error Rate pada sistem

WCDMA.

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan Tugas Akhir ini ialah untuk menganalisa Bit

Error Rate pada sistem WCDMA yang menggunakan Channel Coding pada kanal

AWGN.

1.4 Batasan Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas, maka penulis akan

(13)

1. Hanya membahas sistem WCDMA secara umum.

2. Tidak membahas mekanisme handover pada sistem WCDMA

3. Model kanal yang digunakan ialah kanal AWGN (Additive White

Gaussian Noise).

4. Model probabilitas yang digunakan ialah Distribusi Uniform.

5. Teknik modulasi yang digunakan adalah modulasi QPSK.

6. Tenik Channel Coding yang dipakai ialah Convolutional Coding

(transmitter) dengan Viterbi Decoding (receiver).

7. Yang akan dianalisis ialah hasil BER dari sistem WCDMA yang

disimulasikan, yaitu dengan kondisi kanal AWGN yang menggunakan

Channel Coding dan tanpa menggunakan Channel Coding.

1.5 Metode Penulisan

Metodologi penulisan yang digunakan oleh penulis pada penulisan Tugas

Akhir ini adalah :

1.Studi literatur, yaitu berupa studi kepustakaan dan kajian dari

jurnal-jurnal pendukung baik dalam bentuk hard copy maupun soft copy.

2. Analisis (dari metode simulasi dengan menggunakan program Matlab

(14)

1.6 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang berisikan tentang latar

belakang masalah, tujuan penulisan, batasan masalah, metode

penulisan, dan sistematika penulisan dari Tugas Akhir ini.

BAB II SISTEM WCDMA

Bab ini membahas tentang sistem WCDMA yang berkaitan dengan

Tugas Akhir yang dibahas.

BAB III CHANNEL CODING

Bab ini membahas tentang teori-teori dasar dari teknik Channel

Coding.

BAB IV ANALISIS BIT ERROR RATE PADA SISTEM WCDMA

DENGAN MENGGUNAKAN CHANNEL CODING

Bab ini membahas tentang analisis Bit Error Rate pada sistem

WCDMA dengan menggunakan Channel Coding.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dari Tugas Akhir ini dan saran dari

penulis.

(15)

BAB II

SISTEM WCDMA

2.1 Pendahuluan

CDMA adalah metode akses jamak yang bekerja berdasarkan teknologi

spektrum tersebar, yaitu Direct Sequence Spread Spectrum (DS-SS). Dengan

teknologi ini, sinyal informasi ditransmisikan melalui lebar pita yang jauh lebih

lebar daripada lebar pita sinyal informasi. Perbedaan antara sistem

Narrowband-CDMA dengan Wideband-Narrowband-CDMA adalah terletak pada kecepatan data kode

penebar, yaitu pada sistem N-CDMA sebesar 1,23 Mbps, sedangkan pada sistem

WCDMA sebesar 5-20 Mbps. Perbedaan ini menyebabkan lebar pita transmisi

W-CDMA lebih lebar daripada lebar pita transmisi sistem N-CDMA. Hal ini

sesuai dengan Teorema Shannon, yang dinyatakan dengan :

) 1

( 2

log S N W

C = + (2.1)

dimana:

C = Kapasitas kanal (bps)

W = Lebar pita transmisi (Hz)

S = Daya sinyal (Watt)

N = Daya derau (Watt)

terlihat untuk kapasitas kanal yang tetap, karena lebar pita transmisi W-CDMA

lebih besar daripada N-CDMA maka W-CDMA memerlukan SNR (Signal to

Noise Ratio) yang lebih rendah dari N-CDMA, dengan kata lain untuk sistem

modulasi digital dengan Eb/No yang sama, W-CDMA mampu mentransmisikan

(16)

2.2 Komunikasi Spektrum Tersebar

Prinsip utama komunikasi spektrum tersebar (Spread Spectrum) adalah

penggunaan lebar bidang yang jauh lebih tinggi daripada yang lain. Karena lebar

bidang yang lebih tinggi, Power Spektral Density lebih kecil, sehingga sinyal

informasi kelihatan seperti derau dalam kanal. Penyebaran dilakukan dengan

menggabungkan sinyal data dan kode (Code Division Multiple Access), di mana

kode ini independen terhadap data yang dikirimkan.

Beberapa keuntungannya antara lain sebagai berikut

1. Karena sinyal disebarkan dalam pita frekuensi yang lebar, Power

Spectral Density menjadi sangat kecil, sehingga sistem komunikasi

yang lain tidak dipengaruhi oleh jenis komunikasi ini. Namun, level

derau Gaussian akan bertambah.

2. Dengan konsep Random Access, maka sistem ini dapat melayani

pelanggan dalam jumlah yang besar, karena kode dalam jumlah yang

besar dapat dihasilkan.

3. Jumlah maksimum pelanggan yang dapat dialayani dibatasi oleh

interferensi.

4. Tingkat keamanan sistem ini lebih terjamin, karena data yang terkirim

tidak dapat dikenali atau diproses tanpa ada kode penyebaran

(spreading code).

5. Oleh karena lebar bidang yang lebih lebar, maka sistem ini lebih kuat

(17)

Ada beberapa teknik spektrum tersebar yang dapat digunakan. Yang

paling popular adalah Direct Spectrum (DS), dan juga Frequency Hopping (FH).

Dimana sebuah sistem spektrum tersebar harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Sinyal yang dikirimkan menduduki lebar bidang yang jauh lebih lebar

daripada lebar bidang minimum yang diperlukan untuk mengirimkan

sinyal informasi.

2. Pada sisi pengirim, terjadi proses penyebaran (spreading) yang

menebarkan sinyal informasi dengan bantuan sinyal kode yang bersifat

independen terhadap informasi.

3. Pada sisi penerima, terjadi proses dispreading yang melibatkan

korelasi antara sinyal yang diterima dan replika sinyal kode yang

dibangkitkan sendiri oleh suatu generator lokal.

Kode yang digunakan pada sistem spektrum tersebar memiliki sifat acak,

tetapi periodis sehingga disebut sinyal acak-semu (pseudo-random). Kode

tersebut bersifat sebagai derau tetapi deterministik sehingga disebut juga

derau-semu (pseudo-noise). Pembangkit sinyal kode ini disebut Pseudo Random

Generator (PRG) atau Pseudo Noise Generator (PNG). PRG inilah yang akan

melebarkan dan sekaligus mengacak sinyal data yang akan dikirimkan. Di dalam

sistem komunikasi spektrum tersebar, jika lebar bidang semakin lebar, maka akan

semakin tahan terhadap jamming dan akan semakin terjamin tingkat

kerahasiaannya. Disamping itu, kelebihannya yang lain adalah akan semakin

banyak kanal yang bisa dipakai.

Seperti yang diterangkan oleh Shannon, salah seorang ahli statistik

(18)

sebanding dengan lebar bidang transmisi dan logaritmik S/N. Jadi agar sistem

komunikasi dapat bekerja dengan kapasitas kanal yang tetap pada level daya derau

yanga tinggi (S/N yang rendah), dapat dilakukan dengan cara memperbesar lebar

bidang transmisi W. Disamping itu, Shannon juga mengemukakan bahwa sebuah

kanal dapat mentransmisikan sinyal informasi dengan tingkat probabilitas error

yang kecil apabila terhadap informasi tersebut dilakukan pengkodean yang tepat

dan kecepatan sinyal informasi yang tidak melebihi kapasitas kanal meskipun

kanal tersebut memuat derau acak[1].

2.3 Wideband Code Division Multiple Access (WCDMA)

Pada sistem generasi ketiga ini didesain untuk komunikasi multimedia

untuk komunikasi person-to-person dapat disajikan dengan tingkat kualitas

gambar dan video yang baik, dan akses terhadap informasi serta layanan-layanan

pada public dan private network akan akan disajikan dengan data rate dan

kemampuan sistem komunikasi pada generasi ketiga ini lebih fleksibel. Seiring

dengan kemajuan evolusi dari sistem generasi kedua, akan menciptakan suatu

kesempatan bisnis baru yang tidak hanya untuk kalangan para manufakturer dan

operator-operator, tetapi juga untuk beberapa content provider dan pengembang

aplikasi yang menggunakan jaringan ini. Sistem ini merupakan evolusi dari sistem

CDMA pada IMT-2000. Infrastrukturnya mampu mendukung user dengan data

rate tinggi, mendukung operasi yang bersifat asinkron, bandwidthnya secara

keseluruhan 5 MHz dan didesain untuk dapat berdampingan dengan sistem GSM.

Sistem WCDMA merupakan teknologi akses jamak dengan menggunakan

(19)

jaringan PSTN (Public Switched Telephone Network) dan dapat mengirimkan

layanan suara, data, faksimili, dan multimedia. Teknologi ini berbeda dengan

teknik akses radio konvensional yang menggunakan teknik pembagian bandwidth

frekuensi yang tersedia ke kanal sempit atau ke dalam slot waktu. Teknologi

WCDMA dalam mengakses data dilakukan secara terus-menerus selebar

bandwidth tertentu (5 - 15 MHz)[1].

Teknologi CDMA apabila dilihat dari sebaran sinyal relatif lebih besar

dibandingkan teknologi selular lainnya. Standar yang sering digunakan untuk

aplikasi metode akses CDMA adalah IS-95. WCDMA juga memanfaatkan IS-95.

Dengan demikian, WCDMA mampu mengurangi multipath-fading, memberikan

kapasitas dalam tiap sel yang lebih besar, dan kualitas suara yang lebih baik.

Bandwidth yang ditawarkan bersifat variatif mulai dari 1,26 MHz, 5 MHz, 10

MHz bahkan sampai 20 MHz. Disamping itu, WCDMA sebagai WLL (Wireless

Local Loop) didesain untuk menyediakan layanan transparan, baik itu fixed

(layanan tetap) dan mobile (bergerak) yang dikoneksikan dengan PSTN dari

layanan POTS (Plain Old Telephone Service) ke fitur-fitur selanjutnya. Layanan

termasuk suara, high speed fax, data dan multimedia, termasuk juga video.

WCDMA merupakan suatu sistem wideband Direct-Sequence Code

Division Multiple Access (DS-CDMA), dalam penjelasannya; bit-bit informasi

ditebar pada sebuah wide bandwidth dengan cara perkalian antara data user

dengan bit-bit quadsi-random (disebut chip-chip) yang berasal dari kode-kode

spreading CDMA. Agar dapat mendukung bit rate berukuran sangat besar (up to 2

(20)

harus didukung juga. Sebagai contoh cara pengaturan koneksi multicode ini

dijelaskan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Alokasi bandwidth WCDMA

Chip rate dengan nilai 3.84 Mcps memandu sinyal user pada sebuah

carrier bandwidth yaitu kira-kira 5 MHz. Sistem DS-CDMA biasanya yang

dipakai sebelumnya dengan bandwidth sekitar 1 MHz, seperti pada IS-95, secara

umum digunakan sebagai dasar narrowband pada system CDMA. Sudah menjadi

sifat dari wide carrier bandwidth dari WCDMA mendukung high user data rate

dan juga memiliki performansi keuntungan tertentu, seperti meningkatkan

multipath diversity. Sesuai dengan lisensi operasinya, network operator dapat

merancang dengan multiple sinyal carrier 5 MHz untuk menaikkan kapasitas.

Gambar 2.1 juga menunjukkan hal tersebut. Actual carrier spacing dapat dipilih

pada satu batasan frekuensi 200 KHz antara kira-kira 4.4 dan 5 MHz, tergantung

(21)

Sistem WCDMA mendukung variabel data rates user yang cukup besar.

Data rate user dijaga konstan selama tiap 10, 20, 40 dan 80 ms frame tergantung

kebutuhan QoSnya. Namun, kapasitas data diantara user-user dapat berubah dari

frame to frame. Gambar 2.1 menunjukkan contohnya untuk kasus tersebut.

Alokasi kapasitas radio yang cepat ini akan dikontrol secara khusus oleh network

untuk mencapai throughput optimum untuk paket layanan data.

Dari awalnya, W-CDMA didesain untuk layanan data kecepatan tinggi

seperti internet base packet data menawarkan sampai 2 Mbps dalam lingkungan

kantor dan sampai 384 Kbps di outdoor atau lingkungan yang bergerak. Secara

rinci hubungan antara besarnya carrier spacing dengan dengan bit rate

maksimum yang dapat dicapai adalah seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Hubungan carrier spacing dan bit rate

CARRIER SPACING (MHz) MAKSIMUM BIT RATE

1,26 13 kbps(~ 64 kbps)

5 64 kbps ~ 384 kbps

(22)

Sedangkan spesifikasi dari WCDMA dapat dilihat seperti Tabel 2.2.:

Tabel 2.2 Spesifikasi Teknis WCDMA

TYPE SPESIFIKASI JENIS / NILAI

Radio Access DS-CDMA / FDD Carrier spacing 1,26 / 5 / 10 / 20 MHz

Chip rate 4,096 Mcps (1,024 / 8,192 / 16,384 Mcps)

Modulation Data-QPSK, Spreading – QPSK Detection (Reverse &

Forward link)

Pilot Symbol Aided Coherent RAKE

TCH rate Sampai 384 kbps (sampai 2 Mbps)

Variable rate TCH Variable Spreading Factor Multi code Transmission for High rate TCH

Frame length 10 ms

Voice codec G.729 CS-ACELP Inter BS Synchronous Asynchronous Signaling Protoccol Layered Protocol

Multiple Protocol Control Entities B-ISDN based Call Control

Services Voice, Packet data Unrestricted information transmission

2.3.1 Perancangan Transceiver

Berikut merupakan perancangan Transceiver pada sistem WCDMA.

2.3.1.1 Prinsip Pentransmisian Variabel Rate

WCDMA di desain untuk dapat mengakomodasikan berbagai layanan baik

suara, data, maupun multimedia dengan bit rate yang bervariasi. Hal ini

memungkinkan pemakaian spektrum yang paling efisien. Penerapan

pentransmisian variabel rate membutuhkan informasi kontrol yang menyatakan

(23)

semua kanal fisik diatur didalam frame yang mempunyai panjang yang sama

(10ms). Sebagai pengontrol, maka tiap frame terdapat bit rate control yang

ditransmisikan melalui kanal fisik yang terpisah[2].

Pentransmisian variable rate dapat mengurangi interferensi dari

masing-masing user. Bila laju chip tetap, maka laju bit informasi yang rendah akan

memberikan faktor spreading tertinggi dan daya transmisi yang terendah.

2.3.1.2 Struktur Kanal Logika

Pada sistem bergerak radio seluler dibutuhkan sejumlah kanal logika.

Kanal logika tersebut dibagi menjadi Dedicated Channel, Common Control

Channel dan System Control Channel. Hal ini dapat ditunjukkan pada Gambar

2.2.

Struktur Fungsi Kanal

Dedicated Ch. Common Control Ch. System Control Ch.

TCH DCCH BCH PCH AGCH RACH PICH SCH

Gambar 2.2 Struktur Fungsi Kanal Logika

1. Dedicated Channel

Dedicated Channel terjadi apabila hubungan antar MS (Mobile Station)

dengan BS (Base Station) telah terbangun, baik uplink maupun downlink.

(24)

a) TCH (Traffic Channel)

Kanal TCH ini berisi data user yang akan ditransmisikan pada

interface radio, yang berupa suara, data dan video, dengan kecepatan

bervariasi antara 0-144 kbps.

b) DCCH (Dedicated Control Channel)

Kanal DCCH ini membawa informasi kontrol yang akan dipertukarkan

antara BS dengan MS. Kanal ini berisi kontrol hubungan, kontrol

mobility dan kontrol link dengan bit rate 0-9,6 kbps.

2. Common Control Channel

Common Control Channel ini digunakan pada kanal downlink dan

diberikan untuk semua MS. Kanal ini terdiri dari:

a. BCH (Broadcast Channel)

Kanal BCH ini berisikan mengenai informasi MS disekitarnya.

b. PCH (Paging Channel)

Kanal PCH ini memberitahukan akan datangnya panggilan, yang

diikuti dengan penetapan kanal trafik.

c. AGCH (Access Grant Channel)

Kanal AGCH dikodekan oleh MS selama pendudukan akses secara

random dan berfungsi sebagai kontrol daya lingkar tertutup

terhadap MS. Perintah kontrol daya dikirim melalui AGCH oleh

BS.

(25)

Kanal RACH adalah satu-satunya kanal kontrol yang digunakan

pada kanal uplink yang digunakan MS untuk inisialisasi akses ke

sistem. Untuk akses random, MS mengirim sinyal diikuti kontrol

daya lingkar tertutup selama pengiriman sinyal RACH.

3. System Control Channel

System Control Channel digunakan pada kanal downlink agar BS dapat

memantau dan mengidentifikasikan, sinkronisasi dan estimasi kanal pada MS.

Kanal ini terdiri dari:

a. PICH (Pilot Channel)

PICH berfungsi untuk memisahkan kanal fisik broadcast pada tiap

kanal RF dan laju chip dalam sel radio. PICH ditentukan oleh kode

spreading PN pendek (kode Gold dengan panjang 1023) dan unik

untuk setiap BS. Kode PN pendek ini ditransmisikan decara

periodik tanpa modulasi data informasi, sehingga mudah untuk

pendeteksian pilot, sinkronisasi dan estimasi kanal pada MS.

b. SCH (Synchronization Channel)

SCH berfungsi untuk mensikronkan PICH. SCH dikirim pada

kanal fisik yang terpisah dengan menggunakan kode spreading PN

pendek yang diperoleh dari PICH yang bersangkutan.

2.3.1.3 Layer Fisik

Interface radio dirancang untuk menjadi layer transport yang universal,

(26)

disesuaikan dengan keadaan sekitarnya. Untuk itu, pada skema pengirim, terdapat

configuration unit yang setelah menerima applicable information (berupa

frekuensi pembawa, kecepatan chip yang dibutuhkan, dan identitas layanan) maka

unit ini mengendalikan proses pengkodean, multipleks dan konversi informasi ke

sinyal RF.

Informasi yang berupa speech, data dan informasi kendali ditransmisikan

melalui kanal logika yang berbeda. Informasi kendali ditransmisikan melalui

kanal DCCH. Ada dua kategori pembentuk kanal trafik, yaitu traffic

channel/speech (TCH/S) dan traffic channel/data (TCH/D), masing-masing

dikodekan secara berbeda. Sebagai contoh, speech harus ditransmisikan dengan

delay yang kecil, sedangkan data dapat menerima delay yang lebih besar tetapi

dengan kualitas transmisi yang lebih tinggi. Informasi ini dibungkus bersama

dalam frame-frame yang mempunyai panjang 10 ms. Campuran kanal-kanal

logika yang diwakili dalam suatu frame dapat berbeda dari frame ke frame.

Sebagai contoh, kanal kontrol yang didedikasikan hanya diberikan ketika

informasi benar-benar telah tersedia. Hal ini tidak perlu dimultipleks ke dalam

aliran data secara terus menerus, tetapi disesuaikan dengan keadaan lingkungan

maupun informasi yang dikirimkan.

Kanal multipleks dapat mengambil beberapa diantara kombinasi berikut:

1. TCH/S dan DCCH

2. TCH/D dan DCCH

3. TCH/S, TCH/D dan DCCH

Hasil demultipleks antara TCH dan DCCH dinotasikan sebagai Physical

(27)

(PCCH) yang membawa informasi kontrol lapisan fisik. Selain itu PCCH

membawa informasi tentang pendemultiplekskan frame PDCH dan pada kanal

downlink PCCH membawa informasi tentang kontrol daya.

PCCH mempunyai bit rate 4 kbps setelah proses encoding informasi dan

ditransmisikan secara sinkron dengan PDCH (mempunyai laju chip sama dengan

carrier RF yang sama dengan PDCH). PDCH dan PCCH dibedakan dengan

menggunakan fasa yang berbeda dari kode spreading PN panjang.

2.3.1.4 Transmitter WCDMA

Pemancar/transmitter WCDMA baik untuk uplink maupun downlink

melakukan pengiriman trafik dan informasi kontrol secara simultan. Pengiriman

trafik dan informasi kontrol dikodekan sebagai Dedicated Information Channel

(DICH). Gambar 2.3 menunjukkan transmitter WCDMA.

CONFIGURATION UNIT

Service Specifier Chip Rate Carrier Frekuensi

Power Control

Gambar 2.3 Transmitter WCDMA

Ketika hubungan telah terbentuk, maka unit konfigurasi akan menentukan

(28)

dilayani dan menentukan parameter-parameter untuk semua pemrosesan sinyal

pada kanal fisik dan mengkonfigurasi kanal fisik agar sesuai dengan layanan yang

dilayani. Modulasi yang digunakan adalah QPSK, dimana data simbol

ditransmisikan dalam bentuk inphase (I) dan quadratur (Q) dan dikalikan dengan

suatu deretan spreading yang sama dan phasa yang berbeda.

2.3.1.5 Kontrol Daya

Kontrol daya meliputi daya uplink dan kontrol daya downlink. Kontrol

daya downlink digunakan untuk memperbesar kapasitas sistem, sedangkan kontrol

daya uplink digunakan untuk mengontrol hubungan dan batas threshold

penerimaan MS. Pada kanal uplink, kontrol daya yang digunakan adalah

kombinasi kontrol daya loop tertutup dan loop terbuka, mendeteksi daya sinyal

yang diterima dari MS.

Pada kontrol daya loop tertutup, BS secara terus menerus mengukur level

sinyal yang diterima dari MS. Dari informasi level sinyal yang diterima tersebut,

maka BS menentukan perintah kontrol daya yang dikirimkan melalui kanal

downlink PCCH ke MS dengan bit rate 2 kbps.

2.3.1.6 Kombinasi, Pembentukan Pulsa dan Konversi Frekuensi

Beberapa kanal fisik digabung secara linear sebelum pembentukan pulsa.

Pembentukan pulsa berisi filter yanag berfungsi untuk melewatkan sinyal

WCDMA. Konversi frekuensi dilakukan dengan menggeser frekuensi baseband

ke frekuensi RF. Alokasi frekuensi sistem WCDMA adalah 1920-1940 MHz

(29)

2.3.1.7 Receiver WCDMA

Sistem penerima untuk jalur uplink maupun downlink membutuhkan

struktur yang berbeda. Pada jalur downlink, dimana penerima berada pada MS,

kanal pilot yang kuat dapat digunakan untuk pencarian kanal, sehingga dapat

dilakukan demodulasi PCCH dan PDCH secara koheren. Pada jalur uplink,

dimana penerima berada di BS tidak memungkinkan menggunakan kanal pilot

yang kuat untuk semua MS, sehingga proses estimasi kanal pada uplink lebih

sukar. Berikut ini hanya dibicarakan penerima untuk BS.

PCCH Rake

PDCH Soft Output to Decoder PCCH Soft Output

Gambar 2.4 Struktur Receiver pada BS

Gambar 2.4 merupakan gambar struktur receiver pada BS. Sinyal yang

diterima, difilter oleh Matched Filter (MF) untuk meloloskan sinyal WCDMA

dan disampel pada laju 2 sample per chip (sesuai frekuensi nyquist). Kemudian

(30)

dikodingkan terlebih dahulu sebelum demudulasi terhadap PDCH, karena PCH

berisikan informasi pengiriman PDCH, sehingga diperlukan buffer frame di depan

demodulator PDCH. Dua feedback dari PDCH Rake demodulator berfungsi untuk

menentukan masukan sinyal bagi unit estimasi kanal. Pada PDCH dilakukan

demodulasi koheren, sedangkan pada PCCH dilakukan encoding terlebih dahulu

sebelum dilakukan proses demodulasi. Pada demodulasi koheren harus diketahui

delay dan amplituda kompleks masing-masing sinyal multipath. Setelah proses

demodulasi koheren dari PCCH dan soft decision decoding, PCCH dapat dilihat

sebagai kanal pilot. Pengkodean yang salah tidak dapat dihindari sehingga

menyebabkan frame hilang karena faktor spreading termuat dalam PCCH. Faktor

spreading yang benar akan berfungsi untuk demodulasi PDCH. Jika PCCH

setelah decoding adalah kanal pilot, maka kanal tersebut dapat digunakan untuk

estimasi amplituda kompleks sinyal-sinyal multipath.

2.3.1.8 Sinkronisasi

Dengan menggunakan DS spreading asinkron pada PDCH dan PCCH,

dihasilkan peralatan yang tidak memerlukan sinkronisasi antar sel dan sinkronisasi

antar kanal. MS melakukan sinkronisasi dengan BS (melalui PICH dan SCH)

dapat secara langsung menyesuaikan waktu frame Tx CDMA dan Rx CDMA

pada lokasi MS tertentu. Karena sinyal yang diterima di BS dari MS yang

berbeda-beda tidak memerlukan pengaturan frame (seperti pada sistem TDMA),

maka tidak diperlukan rangkaian pengontrol pewaktuan. Dengan menerapkan DS

spreading asinkron pada jalur downlink maka tidak diperlukan antar BS, sehingga

(31)

2.4 Additive White Gaussian Noise (AWGN)

Di dalam sistem komunikasi yang ideal, noise yang dapat diantisipasi

hanya Additive White Gaussian Noise (AWGN) saja dan tanpa adanya

intersymbol interference (ISI). Sumber utama dari penurunan performansi ialah

thermal noise yang dihasilkan dari sisi receiver. Seringkali, interferensi dari luar

yang diterima antena lebih menonjol daripada thermal noise tersebut.

Arti dari kata Additive ialah bahwa noise ini bersifat menambah power

spectral density dari sinyal transmisi, White artinya memiliki persebaran merata

pada semua band, dan memiliki distribusi Gaussian. Maka, dapat dikatakan

bahwa AWGN ialah efek dari thermal noise yang dihasilkan dari gerakan-gerakan

elektron yang ada di dalam semua komponen-komponen elektrikal, seperti

resistor, kabel, dan lain sebagainya[3].

Secara matematika, thermal noise digambarkan sebagai rataan nol dari

proses Gaussian acak, dimana sinyal acak ialah hasil total dari variabel-variabel

acak dari Gaussian noise dan sinyal dc, yaitu:

n a

z= +

Dimana bentuk pdf dari Gaussian noise dapat dijabarkan sebagai berikut, dimana

σ2

ialah variansi dari n.

(32)

Model sederhana dari thermal noise ialah jika diasumsikan bahwa nilai

power spectral density Gn(f) sama untuk semua frekuensi dan dinotasikan sebagai

berikut:

2 )

( N0

f

Gn = (2.3)

Dimana faktor 2 dimasukkan untuk mengindikasikan bahwa Gn(f) ialah

power spectral density untuk dua sisi. Ketika noise power mempunyai spectral

density yang uniform, itu diartikan sebagai White noise. Kata “White” digunakan

dengan arti yang sama dengan sinar putih, yang mengandung muatan yang sama

untuk semua frekuensi di dalam rentang radiasi elektromagnetik (EM).

Karena thermal noise muncul di semua sistem komunikasi dan merupakan

sumber noise yang mutlak untuk sebagian besar sistem, karakteristik dari thermal

noise yang Additive, White dan Gaussian adalah yang paling banyak digunakan

(33)

BAB III

CHANNEL CODING

3.1 Umum

Perkembangan pada sistem komunikasi selama belakangan tahun ini

mengalami kemajuan yang cukup pesat, terutama pada bidang seluler, satelit dan

komunikasi komputer. Pada sistem komunikasi ini, sinyal informasi

direpresentasikan sebagai barisan dari bit biner. Bit biner tersebut lalu

dimodulasikan ke sinyal gelombang analog dan ditransmisikan melalui kanal

komunikasi. Di dalam kanal komunikasi tersebut, terdapat noise dan interferensi

yang dapat merusak sinyal yang ditransmisikan. Pada sisi receiver, sinyal yang

telah tercampur dengan noise dan interferensi dari kanal komunikasi tersebut di

demodulasi kembali menjadi bit biner. Bit-bit error dapat ditemukan selama

pentransmisian dan jumlah dari bit-bit error tersebut tergantung dari besar noise

dan interferensi di dalam kanal komunikasi.

Channel coding (pengkodean kanal) sering digunakan pada sistem

komunikasi digital yang gunanya ialah untuk melindungi informasi digital dari

noise dan interferensi dan juga untuk mengurangi jumlah bit-bit error.

Channel coding diikutsertakan dalam sistem komunikasi digital seperti

yang terlihat pada Gambar 3.1. Channel coding terdiri dari dua buah, yaitu

(34)

Channel

Gambar 3.1 Model Sistem Komunikasi Digital Sederhana

Pengkodean kanal ini dilakukan dengan cara menambahkan informasi

tambahan ke dalam data yang ditransmisikan. Informasi tambahan ini akan

mendeteksi dan mengkoreksi bit-bit error di dalam data yang diterima dan

menyediakan pentransmisian informasi yang lebih andal.

Kode-kode kanal yang dapat mendeteksi error disebut error detection

codes, sementara kode-kode kanal yang dapat mendeteksi, juga dapat mengoreksi

error disebut juga sebagai eror correction codes. Sistem WCDMA mempunyai

kemampuan baik untuk mendeteksi maupun mengkoreksi error.

Pada tahun 1948, Shannon mendemonstrasikan teknik pengkodingan

informasi, yaitu error yang berasal dari kanal yang tercampur noise dapat

dikurangi ke tingkat yang diingini tanpa mengurangi nilai transfer rate. Kapasitas

dari kanal ini dapat diaplikasikan ke kanal AWGN, dimana secara matematis ialah

(35)

B = bandwith transmisi (Hz)

P = power sinyal yang diterima (W)

N0 = power density noise satu sisi (W/Hz)

Power sinyal pada penerima dapat ditulis sebagai:

b

bR

E

P = (3.2)

Dimana Eb ialah rataan bit energi dan Rb ialah bit rate transmisi. Dari persamaan

3.1 dapat dibuat persamaan baru, yaitu:



Dimana C/B diartikan sebagai bandwith efisiensi.

Penambahan informasi tambahan meningkatkan bandwith yang diperlukan

untuk data rate dari sumber yang tetap. Hal ini akan mengurangi efisiensi

bandwith di dalam link dengan kondisi SNR yang tinggi, tetapi akan menyediakan

performansi BER yang sangat bagus pada nilai SNR yang rendah[6].

3.2 Convolutional Coding

Selain convolutional coding, ada juga block coding. Perbedaan mendasar

dari keduanya adalah terletak kemampuan enkoder menyimpan memori. Block

coding tidak tergantung pada data sebelumnya, sedangkan pada convolutional

coding, keluaran enkoder n tidak hanya bergantung pada masukan k untuk unit

waktu yang sama, tetapi juga tergantung pada m masukan blok yang sebelumnya.

Pada konvolusional kode (n, k, m) dapat diemplementasikan sebagai k-input,

n-linear sequential output dengan memori input m. Umumnya, n dan k merupakan

(36)

untuk mendapatkan probabilitas error yang rendah. Pada Tugas Akhir ini

menggunakan convolutional coding, sehingga block coding tidak dibahas lagi.

Pada Convolutional Coding, kode-kode tersebut dikembangkan dengan

struktur matematis yang terpisah-pisah dan dikhususkan untuk pemakaian pada

error koreksi waktu nyata. Convolutional kode mengubah seluruh stream data

menjadi codeword tunggal. Tipe ini adalah tipe Forward Error Correction (FEC)

dimana tipe ini berfungsi untuk mengimprovisasi kapasitas kanal dengan

menambahkan informasi tambahan ke dalam data yang ditransmisikan melalui

kanal.

Kode konvolusi biasanya dideskripsikan dengan menggunakan dua

parameter, yaitu code rate dan constraint length. Code rate, k/n, diekpresikan

sebagai rasio nomor bit-bit ke dalam enkoder konvolusi (k) ke output symbol

kanal. Constraint length menjelaskan seberapa banyak k-bit yang dapat digunakan

untuk mensuplai combinatorial logic yang memproduksi simbol-simbol output.

3.2.1 Representasi Enkoder Konvolusional

Bentuk sederhana dari convolutional encoder diwakili pada Gambar 3.2.

enkoder tersebut mempunyai kode binary (2, 1, 3). Hal ini berarti bahwa enkoder

tersebut terdiri dari 3 stage shift register bersama dengan 2 adder modulo-2, dan

juga sebuah multiplexer menserialkan output dari enkoder. Adder modulo-2 dapat

diimplementasikan sebagai gerbang logika XOR (EXCLUSIVE-OR). Karena

proses pada adder tersebut merupakan operasi linear, maka enkoder tersebut

(37)

D D D u

v(1)

v(2)

v

Gambar 3.2 Konvolusional Enkoder (2, 1, 3)

Barisan bit informasi u = (u0, u1, u2, . . .) memasuki enkoder satu bit untuk

satu satuan waktu. Karena enkoder tersebut mempunyai sistem linear, dua barisan

output v(1) = (v0(1), v1(1), v2(1), . . .) dan v(2) = (v0(2), v1(2), v2(2), . . .) dapat

didapatkan dari pengkonvolusian barisan input u dengan dua enkoder respon

impuls. Respon impuls ini didapatkan dengan memasukkan nilai u = (1 0 0 . . .)

dan memerhatikan keluaran barisan output enkoder. Karena enkoder memiliki

memori m, respon impuls dapat bertahan sampai m+1 unit waktu, dan dituliskan

g(1) = (g0(1), g1(1), . . . , gm(1)) dan g(2) = (g0(2), g1(2), . . . , gm(2)). Respon impuls g(1)

dan g(2) disebut juga urutan generator dari kode.

3.2.2 State Diagram

Enkoder konvolusional juga dikenal sebagai perangkat yang memiliki

state yang terbatas, yang mempunyai arti bahwa perangkat tersebut memiliki

memory dari sinyal yang lalu. Salah satu cara yang sederhana untuk

merepresentasikan enkoder konvolusional tersebut ialah dengan state diagram

(38)

Gambar 3.3 Enkoder State Diagram (rate = ½, K = 3)

State yang dinotasikan ke bentuk kotak di dalam Gambar 3.3

merepresentasikan kemungkinan-kemungkinan dari state masukan k-1 dan

menunjukkan langkah-langkah antara state yang menghasilkan cabang-cabang

output dari transisi state. State masukan dapat dirancang sebagai a = 00, b = 10,

c = 01 dan d = 11. Transisi state dapat terjadi sebanyak dua kemungkinan untuk

setiap state yang memiliki dua bit input. Selanjutnya, setiap langkah dihubungkan

dengan cabang-cabang keluaran. Dilihat dari gambar, garis yang tidak

putus digunakan untuk merepresentasikan path dari bit input nol dan garis

putus-putus merepesentasikan bit input satu. Lalu, dengan menggeser satu bit setiap

waktu maka terdapat dua kemungkinan transisi state yang dapat dilakukan oleh

(39)

3.2.3 Diagram Trellis

Diagram trellis ialah sebuah representasi dari state diagram yang

mengikutkan dimensi waktu di dalam struktur enkoder yang lebih teratur. Cara

yang sama pada state diagram digunakan juga pada diagram trellis, dimana garis

yang tidak putus-putus merepresentasikan bit nol dan garis putus-putus

merepresentasikan bit satu. Simpul pada diagram trellis mengkarakteristikkan

state enkoder. Simpul baris pertama koresponden terhadap state a = 00, baris

kedua dan selanjutnya koresponden terhadap state b = 10, c = 01 dan d = 11. Di

setiap unit waktu, trellis membutuhkan simpul sebesar 2K-1 untuk

merepresentasikan peluang state enkoder sebesar 2K-1 . Pada Gambar 3.4, dapat

diasumsikan bahwa struktur dengan periodik tetap setelah kedalaman trellis

tingkat 3 telah tercapai ( pada waktu t4). Pada kasus yang umum, struktur yang

tetap ini bertahan setelah kedalaman K tercapai. Pada titik ini dan setelahnya

setiap state dapat dimasuki dari dua state sebelumnya dan dapat bertransisi ke satu

dari dua state tersebut. Dari cabang keluaran, satu berkoresponden menjadi bit nol

dan yang lain berkoresponden menjadi bit satu.

(40)

Dari Gambar 3.4, satu sektor interval waktu yang bekerja penuh

mengenkoding struktur trellis sepenuhnya menerjemahkan kode. State dari

enkoder konvolusional direpresentasikan oleh isi dari state K-1 paling kanan di

dalam register enkoder.

3.3 Viterbi Decoding

Viterbi Decoding merupakan salah satu dari dua tipe algoritma decoding

yang digunakan bersama dengan konvolusional enkoding. Tipe yang lainnya ialah

sequential decoding. Tipe ini mempunyai kelebihan daripada viterbi decoding,

yaitu tipe sequential ini dapat bekerja sangat baik dengan constraint length yang

panjang pada kode konvolusional, tetapi waktu dekodingnya memiliki nilai yang

beragam. Viterbi decoding memiliki kelebihan, yaitu waktu dekodingnya tetap.

Hal ini sangat sesuai dengan implementasi decoder hardware.

Viterbi decoding dapat mengurangi beban komputasional dengan cara

mengambil struktur yang spesial dari kode trellis. Viterbi dekoder menguji

seluruh deretan yang diterima yang panjangnya telah ditentukan. Dekoder

menghitung matrik untuk setiap alur dan mengeluarkan hasil berdasarkan matrik

tersebut. Setiap alur tersebut diikuti sampai dua alur tersebut menyatu menjadi

satu simpul. Lalu alur dengan metrik yang lebih tinggi disimpan dan yang lebih

rendah dibuang.

Untuk menjaga agar algoritma viterbi tersebut bekerja dengan lancar,

beberapa syarat perlu dipenuhi, yaitu pada transmitter harus memastikan bahwa

enkoder mulai dan berhenti pada state nol. State nol mempunyai arti bahwa semua

(41)

tersebut akan menambahkan bit nol pada ujung bit informasi untuk membantu

enkoder dan receiver dapat selalu memulai dan berhenti di state nol pada trellis.

Karena dari prosedur dekoding akan membuat keputusan berdasarkan deretan

yang paling memungkinkan lalu kedalaman dari trellis dekoding juga harus

(42)

BAB IV

ANALISIS BIT ERROR RATE PADA SISTEM WCDMA DENGAN

MENGGUNAKAN CHANNEL CODING

4.1 Umum

Sistem WCDMA yang dianalisis terdiri dari dua yaitu:

1. Sistem WCDMA pada kanal AWGN yang menggunakan channel

coding.

2. Sistem WCDMA pada kanal AWGN yang tidak menggunakan channel

coding.

Sistem WCDMA dengan kedua kondisi tersebut akan dibandingkan,

khususnya terhadap nilai Bit Error Rate dengan menggunakan program Matlab

7.9.

4.2 Parameter Sistem WCDMA

Sistem WCDMA secara umum digambarkan pada Gambar 4.1. Gambar

tersebut mempunyai tiga bagian utama, yaitu transmitter, kanal komunikasi dan

receiver. Pada Tugas Akhir ini, sistem transmisi WCDMA yang akan dibahas

hanya pada transmisi downlink saja, yaitu hubungan transmisi base station ke

(43)

Channel Encoder (Convolutional)

Modulator (QPSK)

Channel

Demodulator (QPSK)

Channel Decoder (Viterbi)

Data Received PN Code

PN Code Data Source

Transmitter Receiver

Gambar 4.1 Blok Diagram Sistem WCDMA

Dimana parameter-parameter umum untuk sistem WCDMA adalah seperti

yang ditunjukkan Tabel 4.1:

Tabel 4.1 Parameter-parameter umum untuk sistem WCDMA

Parameter Nilai

Data Source 384 kbps

PN Code 3,84 Mcps

Convolutional Encoder Code rate = 1/2, K = 9

(44)

4.3 Sistem WCDMA Pada Kanal AWGN Tanpa Menggunakan Teknik

Channel Coding

Sistem WCDMA kondisi pertama yang akan dianalisis ialah sistem yang

tidak menggunakan channel coding, ini berarti yang akan dianalisis hanya kanal

komunikasi yang mempunyai AWGN saja. Hasil dari kondisi pertama ini akan

menjadi dasar perbandingan untuk kondisi lainnya. Blok diagram untuk sistem ini

dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Uniform Distribusi

PN Sequence Generator

AWGN Channel QPSK

Modulator Baseband

QPSK Demodulator

Baseband

Error Rate

Calculation BER

XOR XOR

Gambar 4.2 Blok Diagram Sistem WCDMA pada kanal AWGN tanpa Channel

Coding

Sedangkan diagram alir untuk sistem WCDMA pada kanal AWGN tanpa

(45)

Mulai

Masukkan Panjang

Data

Bangkitkan Bilangan Acak

Uniform

Di-Spreading Dengan Spreading

Code dari PN Sequence Generator

Dimodulasikan Dengan Modulasi

QPSK

Ditambahkan Noise AWGN

Hitung Nilai Bit Error Rate

Tampilkan Grafik BER Terhadap

Eb/No

Selesai

Gambar 4.3 Diagram Alir Sistem WCDMA pada kanal AWGN tanpa

(46)

4.3.1 Distribusi Uniform

Sinyal acak dibangkitkan dengan distribusi uniform sehingga

menghasilkan keluaran integer untuk dapat diproses pada modulasi QPSK. Lalu

keluaran dari distribusi uniform tersebut dikonversi dahulu menjadi bit-bit biner

4.3.2 PN Sequence Generator

PN Sequence Generator membangkitkan urutan dari binary

pseudorandom. Urutan pseudo-noise dapat digunakan sebagai pengacak dan juga

penyusun kembali binary pseudorandom. Hal ini juga dapat digunakan pada

sistem direct-sequence spektrum tersebar.

Program Matlab yang digunakan untuk memproses fungsi dari PN Sequence

Generator ini terlampir pada Lampiran 1.

4.3.3 Spreader

Gerbang logika XOR (EXCLUSIVE-OR) digunakan sebagai spreader.

Pada gerbang logika XOR ini, sinyal hasil pembangkitan Distribusi Uniform

disebarkan dengan urutan-urutan binary pseudorandom yang dihasilkan dari PN

Sequence Generator.

4.3.4 QPSK Modulator Baseband

Pada Tugas Akhir ini, modulasi yang digunakan ialah modulasi QPSK.

Hasil keluaran dari QPSK modulator ini akan menjadi representasi untuk sinyal

(47)

4.3.5 Kanal AWGN

Kanal komunikasi yang dianalisis ialah kanal AWGN dimana pada sistem

tersebut hanya terdapat user tunggal.

4.3.6 QPSK Demodulator Baseband

QPSK Baseband Demodulator ini mendemodulasikan sinyal yang telah

dimodulasi sebelumnya setelah melalui kanal AWGN.

4.3.7 Despreader

Pada despreader ini, kembali digunakan kanal logika XOR. Dimana pada

kanal logika ini, sinyal dengan spektrum tersebar yang telah melewati kanal

komunikasi disusun kembali dengan cara memilahnya dengan PN code yang

sesuai dengan PN code yang terdapat pada data.

4.3.8 Error Rate Calculation

Pada segmen ini, akan dilakukan pembandingan nilai data yang memiliki

pasangan yang tidak sesuai dengan data awal dengan total data yang dikirim dari

satu sumber.

Program Matlab yang digunakan untuk sistem WCDMA kondisi yang pertama ini

(48)

4.4 Sistem WCDMA Pada Kanal AWGN Dengan Menggunakan Teknik

Channel Coding

Pada kondisi kedua ini, kanal komunikasi yang berisi AWGN telah

menggunakan channel coding, yaitu pada Tugas Akhir ini digunakan

convolutional coding dengan cara menggunakan convolutional enkoder pada

bagian transmitter dan viterbi dekoder pada bagian receiver. Adapun blok

diagram untuk sistem WCDMA kondisi kedua ini ditunjukkan pada Gambar 4.4.

Uniform

Gambar 4.4 Blok Diagram Sistem WCDMA pada kanal AWGN dengan

menggunakan channel coding

Segmen-segmen pada sistem ini yang digunakan pada sistem WCDMA

kondisi yang pertama tidak berubah. Pada kondisi kedua ini ditambahkan

Convolutional Encoder dan Viterbi Decoder pada kanal komunikasi yang

(49)

Sedangkan diagram alir untuk sistem WCDMA pada kanal AWGN tanpa

Channel Coding dapat dilihat dari Gambar 4.5.

Mulai

(50)

4.4.1 Convolutional Encoder

Convolutional Encoder ini mengkodingkan urutan dari vektor binary input

untuk menghasilkan urutan vektor binary output. Dimana program Matlab yang

digunakan untuk memproses Convolutional Coding terlampir pada Lampiran 3.

4.42 Viterbi Decoder

Viterbi Decoder ini mendekodingkan simbol-simbol input untuk

menghasilkan simbol binary output. Pada Tugas Akhir ini, jenis Viterbi yang

digunakan ialah Hard Decision Viterbi. Dimana program Matlab yang digunakan

untuk memproses Viterbi Decoding terlampir pada Lampiran 4.

Program Matlab yang digunakan untuk sistem WCDMA kondisi yang kedua ini

terlampir pada Lampiran 5.

4.5 Hasil Analisa

4.5.1 Kondisi Pertama: Sistem WCDMA Pada Kanal AWGN Tanpa

Menggunakan Teknik Channel Coding

Pada kondisi yang pertama ini, nilai Bit Error Rate dicari dari sistem

WCDMA pada kanal AWGN tanpa menggunakan Channel Coding. Sinyal

dibangkitkan dengan panjang data 100 . Percobaan pembangkitan sinyal ini

dilakukan sebanyak 30 percobaan dan dari percobaan tersebut diambil nilai

(51)

Tabel 4.2 Hasil Nilai Bit Error Rate pada kanal AWGN tanpa menggunakan

Channel Coding

Dari Tabel 4.2 maka nilai rata-rata tersebut dapat digambarkan dalam bentuk

grafik, seperti pada Gambar 4.6.

Gambar 4.6 Grafik BER terhadap Eb/No pada kanal AWGN tanpa menggunakan

(52)

Dari Gambar 4.6 terlihat bahwa untuk dari nilai Eb/No 8 dB, maka nilai

BER sebesar 10-1, dan untuk nilai Eb/No 12 dB sampai seterusnya, BER tidak

bernilai lagi.

4.5.2 Kondisi Kedua: Sistem WCDMA Pada Kanal AWGN Dengan

Menggunakan Teknik Channel Coding

Pada kondisi yang kedua ini, nilai Bit Error Rate dicari dari sistem

WCDMA pada kanal AWGN dengan menggunakan Channel Coding. Sinyal

dibangkitkan dengan panjang data 100. Percobaan pembangkitan sinyal ini

dilakukan sebanyak 30 percobaan dan dari percobaan tersebut diambil nilai

rata-ratanya. Hasil nilai BER tiap percobaan dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Hasil Nilai Bit Error Rate pada kanal AWGN menggunakan Channel

(53)

Dari Tabel 4.3 diatas maka nilai rata-rata tersebut dapat digambarkan

dalam bentuk grafik, seperti pada Gambar 4.7.

Gambar 4.7 Grafik BER terhadap Eb/No pada kanal AWGN dengan

menggunakan Channel Coding

Dari Gambar 4.7 terlihat bahwa untuk Eb/No 8 dB, maka BER bernilai

10-2, dan BER sudah tidak mempunyai nilai lagi pada Eb/No 9 dB sampai

seterusnya.

4.5.3 Perbandingan Hasil Kondisi Pertama Dengan Kondisi Kedua

Setelah hasil dari kondisi pertama dan kondisi kedua didapatkan, maka

untuk melihat pengaruh dari Channel Coding untuk sistem WCDMA pada kanal

AWGN, maka perlu dilakukan pembandingan hasil keduanya, seperti yang

(54)

Gambar 4.8 Perbandingan Grafik BER terhadap Eb/No pada kanal AWGN

dengan dan tanpa menggunakan Channel Coding

Dari Gambar 4.8 diperoleh bahwa pada kondisi 1 (tanpa menggunakan

Channel Coding), untuk Eb/No 8 dB, nilai BER sebesar 10-1. Sedangkan pada

kondisi 2 (menggunakan Channel Coding) untuk Eb/No yang sama, nilai BER

sebesar 10-2. Maka didapatkan bahwa nilai Bit Error Rate pada kanal AWGN

yang menggunakan Channel Coding lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai

Bit Error Rate pada kanal AWGN yang tidak menggunakan Channel Coding.

Atau dapat juga dikatakan bahwa penggunaan teknik Channel Coding dapat

mengurangi besar Bit Error Rate pada pentransmisian data dari transmitter ke

(55)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil analisis yang dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Penggunaan teknik Channel Coding, khususnya pada Tugas Akhir ini

tipe yang digunakan ialah Convolutional Coding, dapat mengurangi nilai

Bit Error Rate pada data di sisi receiver, dimana didapatkan hasil bahwa

pada sistem WCDMA yang tidak menggunakan Channel Coding, untuk

Eb/No 8 dB, nilai BER sebesar 10-1, sedangkan pada sistem WCDMA

yang menggunakan Channel Coding, untuk Eb/No yang sama

didapatkan nilai BER sebesar 10-2.

Saran

Beberapa saran yang dapat penulis berikan:

1. Pembahasan mengenai Channel Coding ini dapat dikembangkan lebih

lanjut lagi pada kanal Fading, seperti pada kanal Rayleigh atau Rician

Fading.

2. Code Rate yang digunakan pada Tugas Akhir ini hanya ½, untuk

pembahasan lebih lanjut mengenai Convolutional Coding, dapat

(56)

DAFTAR PUSTAKA

1. Harri Holma, Antti Toskala.2004. “WCDMA For UMTS Radio Access For

Third Generation Mobile Communication”, John Wiley & Sons, Chicester.

2. Manurung, H.1999. “W-CDMA sebagai Teknik Akses Sistem Komunikasi

Bergerak Generasi Ketiga,

3. Bernard Skalar. 2001. “Digital Comunications: Fundamental and

Applications. 2nd Edition,” New Jersey: Prentice Hall.

4. Universal Mobile Telecommunications System (UMTS).1999. “UMTS

Terrestrial Radio Access Network (UTRAN); UTRA FDD, multiplexing,

channel coding and interleaving description”, UMTS XX.04 version 1.0.0,

Valbonne.

5. W. Lee, H.M. Park, K. Kang, and K. Kim.1998. “Performance analysis of

Viterbi decoder using channel state information in COFDM System”, IEEE

Transactions on Broadcasting.

6. Theodore S, Rappaport. 2002. “Wireless Communications Principles and

Practice. 2nd Edition”. New Jersey; Prentice Hall PTR;

7. Sun Lin, Daniel J. Costello, Jr.1983. “Error Control Coding: Fundamentals

and Applications”, Prentice-Hall Series in Computer Applications in Electrical

Engineering, New Jersey.

8. G. Kabatiansky, E. Krouk, S. Semenov.2005. “Error Correcting Coding and

Security for Data Networks, Analysis of the Superchannel Concept”, John

(57)

9. Peter Sweeney.2002. “Error Control Coding: From Theory to Practice”, John

(58)
(59)

Lampiran 1

function [PN1]=pnsequence(d) G=d*2;

% Code length

%Generation of first m-sequence using generator polynomial [45] sd1 =[0 0 0 0 1]; % Initial state of Shift register

%Simulasi AWGN channel tanpa channel coding clear;clc;

%Definisi rentang nilai EbNo ebno=1:1:20;

%Generate data integer dengan distribusi uniform data=randint(1,d,4);

%Pengubahan ke data biner

data_bit1=de2bi(data,'left-msb');

%Pengaturan data biner menjadi 1 kolom

for i=1:1:length(data_bit1);

data_bit11((2*i)-1:2*i,1)=[data_bit1(i,1) data_bit1(i,2)];

end

data_bit11=data_bit11';

%Generate fungsi PN Sequence [PN1]=pnsequence(d);

%Data di-XOR-kan dengan PN Sequence

if n==45

(60)

end

%Pengaturan kembali data menjadi 2 kolom

for i=1:length(data_bit1)

data_bit12(i,1:2)=[data2(1,(2*i-1)) data2(1,2*i)];

end

%Perubahan kembali bit ke integer data3=bi2de(data_bit12,'left-msb');

%Modulasi QPSK

data_mod=pskmod(data3,4);

%Penambahan kanal AWGN

for e=1:length(ebno)

data_aw(:,e)=awgn(data_mod,ebno(e));

end

%Proses demodulasi

for x=1:length(ebno)

data_demod(:,x)=pskdemod(data_aw(:,x),4);

end

%Data hasil demodulasi di konversi terlebih dahulu ke biner %Kemudian di-XOR-kan kembali dengan PN Sequence

for x=1:length(ebno) data_bit2=[];

data_bit2=de2bi(data_demod(:,x),'left-msb'); [data_bit22]=konversi(data_bit2,PN);

data4(:,x)=bi2de(data_bit22,'left-msb');

end

for y=1:length(ebno)

BER(1,y)=sum(data~=data4(:,y)')/d;

end

plot(ebno,BER,'b');

title('Grafik EbNo terhadap BER pada kanal AWGN dengan pengkodean kanal');

xlabel('EbNo (dB)'); ylabel('BER');

Lampiran 3

%Convolutional Encoder ; input=1 bit -> output=2 bits with 3 memory elements, Code Rate=1/2

function [encoded_sequence]=convlenc(message)

%TEST MESSAGES

(61)
(62)

Lampiran 4

%Hard Decision Viterbi Decoder

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%% %%

%Function gets an encoded message 'rcvd(encoded by a convolutional encoder)

%as argument and returns the decoded message 'dec_op'

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%% %%

function [dec_op]=viterbidec(rcvd)

%Concatenate two consecutive bits of recieved encoded sequence to %make up a symbol

st_hist(1:4, 1:17)=55; %STATE HISTORY array

aem=zeros(4, 17); %ACCUMULATED ERROR METRIC (AEM) array ssq=zeros(1, 17); %STATE SEQUENCE array

% input=rcvd;

%input(1, :)=bin2dec(rcvd)

%input=[0 3 3 0 1 2 1 3 3 2 0 0 3 0 3 2 3] %INPUT vector %rcvd=['00';'11';'11';'00';'01';'10';'01';'11';'11';'10';'00';'00' ;'11';'00';'11';'10'; '11']

lim=length(input); %number of clock cycles

for (t=0:1:lim) %clock loop

(63)
(64)

%update state history table states for current instant 't'

for h=1:1:length(temp_state)

end %end of clock loop

%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%%% sseq(t+1)=slm_loc(1)-1;

end

dec_op=[];

for p=1:1:length(sseq)-1 p;

dec_op=[dec_op, transition_table((sseq(p)+1), (sseq(p+1)+1))];

end

Lampiran 5

%Simulasi AWGN channel dengan convolutional coding clear;clc;

(65)

data=randint(1,d,4);

%Pengubahan ke data biner

data_bit1=de2bi(data,'left-msb');

%Pengaturan data biner menjadi 1 kolom

for i=1:1:length(data_bit1);

data_bit11((2*i)-1:2*i,1)=[data_bit1(i,1) data_bit1(i,2)];

end

data_bit11=data_bit11';

%Generate fungsi PN Sequence [PN1, PN2, PN3]=pnsequence(d);

%Data di-XOR-kan dengan PN Sequence

if n==45

data2=xor(data_bit11,PN1); PN=PN1;

end

%Proses Convolutional Encoder

[encoded_sequence]=convlenc(data2); data_es=encoded_sequence;

%Pengaturan kembali data menjadi 2 kolom

for i=1:2*length(data_bit1)

data_bit12(i,1:2)=[data_es(1,(2*i-1)) data_es(1,2*i)];

end

%Perubahan kembali bit ke integer data3=bi2de(data_bit12,'left-msb');

%Modulasi QPSK

data_mod=pskmod(data3,4);

%Penambahan kanal AWGN

for e=1:length(ebno)

data_aw(:,e)=awgn(data_mod,ebno(e));

end

%Proses demodulasi

for x=1:length(ebno)

data_demod(:,x)=pskdemod(data_aw(:,x),4);

end

%Data hasil demodulasi di konversi terlebih dahulu ke biner %Kemudian di-XOR-kan kembali dengan PN Sequence

for x=1:length(ebno)

data_bit2=de2bi(data_demod(:,x),'left-msb'); for i=1:1:length(data_bit2);

data_bit21((2*i)-1:2*i,1)=[data_bit2(i,1) data_bit2(i,2)]; end

data_bit21=data_bit21';

(66)

data_decod=dec_op;

data_var=xor(data_decod,PN);

for i=1:d

data_bit22(i,1:2)=[data_var(1,(2*i-1)) data_var(1,2*i)]; end

%[data_bit22]=konversi(data_bit2,PN,2); data4(:,x)=bi2de(data_bit22,'left-msb');

end

for y=1:length(ebno)

BER(1,y)=sum(data~=data4(:,y)')/d;

end

plot(ebno,BER,'r');

title('Grafik EbNo terhadap BER pada kanal AWGN tanpa pengkodean kanal');

xlabel('EbNo (dB)'); ylabel('BER');

Syntax Matlab untuk Gambar 4.6

%awgn tanpa channel coding

x=[1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20];

y=[0.5373 0.5357 0.4320 0.3653 0.2930 0.2020 0.1283 0.0810 0.0377 0.0077 0.0003 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000];

n=5;

p=polyfit(x,y,n);

xAwgnNoCoding=linspace(1, 20, 1);

yAwgnNoCoding=polyval(p, xAwgnNoCoding);

semilogy(x, y, 'b*-.', xAwgnNoCoding, yAwgnNoCoding) hold on

axis manual;

axis([0 20 0.0025 1]);

xlabel('Eb/No'); ylabel('BER');

title('BER of AWGN without channel coding')

Syntax Matlab untuk Gambar 4.7

%awgn dengan channel coding rate=1/2

x=[1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20];

y=[0.2673 0.1933 0.1543 0.1040 0.0669 0.0433 0.0227 0.0107 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000];

n=5;

p=polyfit(x,y,n);

xAwgnCoding=linspace(1, 20, 1); yAwgnCoding=polyval(p, xAwgnCoding);

semilogy(x, y, 'ro-.', xAwgnCoding, yAwgnCoding) axis manual;

Gambar

Gambar 2.1 Alokasi bandwidth WCDMA
Tabel 2.1. Hubungan carrier spacing dan bit rate
Tabel 2.2 Spesifikasi Teknis WCDMA
Gambar 2.2 Struktur Fungsi Kanal Logika
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sampel adalah pekerja pengasapan ikan di desa Bandarharjo semarang, yang sudah memenuhi kriteria inklusi, pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan

Melihat antusias warga serta produk yang dihasilkan dari pelatihan maka pelaksana optimis bahwa kegiatan IbM APE dari limbah kayu dapat menjadi solusi yang

Tanggapan responden terhadap item pertanyaan job insecurity paling banyak menjawab setuju artinya bahwa karyawan outsourcing di PT Askes (Persero) merasa tidak

Prinsip konservatisme dianggap dapat bermanfaat karena dapat digunakan untuk memprediksikan laba dan kondisi keuangan perusahaan pada masa yang akan datang, karena dengan

Hasil penelitian menunjukkkan bahwa kemampuan penggunaan kalimat transformasi yang paling banyak digunakan oleh siswa kelas XI SMA MA’ARIF NU Solokuro Kabupatan Lamongan

Walaupun dalam kajian ini, kesemua faktor personaliti mempunyai hubungan dengan TKO dalam kalangan sukarelawan lelaki dan perempuan namun hanya personaliti bagi

Dari hasil analisis, terlihat adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan HIV/AIDS dengan sikap terhadap ODHA dimana variabel tingkat pendidikan dan keterpaparan media

Bahan tanaman pada percobaan satu (sterilisasi) adalah benih Tagetes ( Tagetes erecta L.) kultivar African Crackerjack, sedangkan bahan tanaman yang dipakai pada