• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Yang Beritikad Baik Dalam Perjanjian Jual Beli

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Yang Beritikad Baik Dalam Perjanjian Jual Beli"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK YANG

BERITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI

SKRIPSI

Diajukan Dalam Rangka Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

VALENTINO ARUAN

NIM 040200283

Departemen Hukum Keperdataan

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Prof.Dr.Tan Kamello,SH.MS

Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing II

Prof.Dr.Tan Kamello,SH.MS

Zulkifli Sembiring, SH

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS HUKUM

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………..

i

ABSTRAK ………..

iii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ……… 3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 4

D. Keaslian Penulisan ……….. 5

E. Tinjauan Kepustakaan ………. 5

F. Metode Penelitian………. 10

G. Sistematika Penulisan ………. 12

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN….. 14

A. Pengertian Perjanjian ……….. 14

B. Jenis-jenis Perjanjian ……….. 17

C. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian ……….. 22

D. Asas-asas Hukum Perjanjian……… 28

E. Akibat Perjanjian ……… 31

BAB III : KETENTUAN UMUM MENGENAI JUAL BELI.. 34

A. Pengertian Jual Beli ………. 34

(3)

C. Saat Terjadinya Jual Beli ……… 41

D. Wanprestasi ……… 45

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK YANG BERITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI

A. Hak dan Kewajiban Penjual dan Pembeli ………… 48

B. Penjualan Benda Kepunyaan Orang Lain ………… 56

C. Perlindungan Hukum Bagi Pembeli yang Bertitikad Baik 59

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN..

A. Kesimpulan ………. 64

B. Saran ……… 65

(4)

ABSTRAK

Secara lahiriah, kehidupan manusia tidaklah dikendalikan tanpa hukum yang mengaturnya termasuk dalam suatu perjanjian jual beli. Tujuan perjanjian jual beli adalah memindahkan hak milik atau barang dari penjual kepada pembeli. Perjanjian jual beli selain bersifat konsensual juga bersifat obligatoir dalam arti meletakkan hak dan kewajiban bagi para pihak yaitu pihak penjual dan pihak pembeli. Seringkali dalam jual beli pembeli melakukan jual beli atas barang tanpa diketahui apakah penjual adalah pemilik barang atau bukan karena terhadap barang bergerak terdapat suatu suatu asas barang siapa yang menguasai kebendaan bergerak dianggap sebagai pemiliknya. Sehingga seringkali pembeli yang beritikad baik membeli barang dirugikan jika dikemudian hari diketahui barang tersebut sebenarnya bukan milik penjual. Yang menjadi permasalahan dari penulisan skripsi ini adalah apa yang menjadi kewajiban bagi para pihak dalam jual beli, bagaimana jika jual beli dilakukan terhadap kepunyaan orang lain, dan bagaimana perlindungan hukum bagi pembeli yang beritikad baik.

Metode yang digunakan adalah metode yuridis normatif, dengan pendekatan yang bersifat kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian yuridis normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat hukum. Sedangkan sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research).

(5)

ABSTRAK

Secara lahiriah, kehidupan manusia tidaklah dikendalikan tanpa hukum yang mengaturnya termasuk dalam suatu perjanjian jual beli. Tujuan perjanjian jual beli adalah memindahkan hak milik atau barang dari penjual kepada pembeli. Perjanjian jual beli selain bersifat konsensual juga bersifat obligatoir dalam arti meletakkan hak dan kewajiban bagi para pihak yaitu pihak penjual dan pihak pembeli. Seringkali dalam jual beli pembeli melakukan jual beli atas barang tanpa diketahui apakah penjual adalah pemilik barang atau bukan karena terhadap barang bergerak terdapat suatu suatu asas barang siapa yang menguasai kebendaan bergerak dianggap sebagai pemiliknya. Sehingga seringkali pembeli yang beritikad baik membeli barang dirugikan jika dikemudian hari diketahui barang tersebut sebenarnya bukan milik penjual. Yang menjadi permasalahan dari penulisan skripsi ini adalah apa yang menjadi kewajiban bagi para pihak dalam jual beli, bagaimana jika jual beli dilakukan terhadap kepunyaan orang lain, dan bagaimana perlindungan hukum bagi pembeli yang beritikad baik.

Metode yang digunakan adalah metode yuridis normatif, dengan pendekatan yang bersifat kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian yuridis normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat hukum. Sedangkan sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research).

(6)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Suatu persetujuan tertentu berupa rangkaian kata-kata sebagai gambaran

dari suatu perhubungan antara kedua belah pihak. Seperti halnya dengan semua

buah perbuatan manusia, maka gambaran ini tidak ada yang sempurna. Kalau

orang mulai melaksanakan persetujuan itu, timbullah bermacam-macam persoalan

yang pada waktu persetujuan terbentuk, sama sekali tidak atau hanya sedikit

nampak pada alam pikiran dan alam perasaan kedua belah pihak. 1

1

R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju, 2000, hlm.102.

Tidak dapat dipungkiri bahwa perbuatan hukum seperti jual beli sering

dilakukan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Pada hakekatnya perjanjian

jual beli bertujuan untuk memindahkan hak milik atas suatu barang yang

diperjualbelikan karena dalam jual beli pihak penjual wajib menyerahkan barang

yang dijualnya itu kepada pembeli, sedangkan pihak pembeli mempunyai

kewajiban untuk membayar harga dari barang itu kepada pihak penjual.

Masalah jual beli tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat

sehari-hari. Kejujuran atau itikad baik dalam jual beli merupakan faktor yang

penting sehingga pembeli yang beritikad baik akan mendapat perlindungan hukum

secara wajar, sedangkan yang tidak beritikad baik tidak perlu mendapat

(7)

Umumnya dapat dikatakan, bahwa dalam pergaulan hidup ditengah-tengah

masyarakat, pihak yang jujur atau beritikad baik haruslah dilindungi dan

sebaliknya pihak yang tidak jujur atau tidak beritikad baik patut merasakan akibat

dari ketidakjujurannya itu. Itikad baik adalah faktor yang paling penting dalam

hukum karena tingkah dari anggota masyarakat itu tidak selamanya diatur dalam

peraturan perundang-undangan, tetapi ada juga dalam peraturan yang berdasarkan

persetujuan masing-masing pihak dan oleh karena peraturan-peraturan tersebut

hanya dibuat oleh manusia biasa maka peraturan-peraturan itu tidak ada yang

sempurna.

Kejujuran atau itikad baik, dapat dilihat dalam dua macam, yaitu pada

waktu mulai berlakunya suatu perhubungan hukum atau pada waktu pelaksanaan

hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam perhubungan hukum

itu.2

Kejujuran pada waktu mulainya dalam hati sanubari yang bersangkutan,

bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi mulai berlakunya perhubungan hukum

itu sudah dipenuhi semua, sedang kemudian ternyata bahwa ada syarat yang tidak

terpenuhi. Dalam hal yang demikian itu, bagi pihak yang jujur dianggap

seolah-olah syarat-syarat tersebut dipenuhi semua, atau dengan kata lain yang jujur tidak

boleh dirugikan sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat termaksud di dalam

perjanjian itu. Sebaliknya satu pihak dikatakan tidak jujur pada waktu mulai

berlakunya perhubungan hukum, apabila ia pada waktu itu tahu betul tentang

adanya keadaan yang menghalang-halangi pemenuhan suatu syarat untuk

2

(8)

berlakunya perhubungan itu. Sedangkan pihak lain mungkin jujur tentang hal itu,

artinya tidak mengetahui adanya hal tersebut. Dalam hal ini pihak yang tidak jujur

pada umumnya harus bertanggung jawab atas ketidakjujuran itu dan harus

memikul risiko.Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ketentuan

mengenai itikad baik, khususnya yang berhubungan dengan pelaksanaan

perjanjian terdapat dalam Pasal 1338 ayat 3 yang menetapkan bahwa semua

perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Ini berarti, bahwa setiap pihak

yang membuat perjanjian tersebut dibuat dengan disertai oleh itikad baik, dalam

hal ini termasuk perjanjian jual-beli.

Itikad baik dalam kontrak merupakan lembaga hukum (rechtsfiguur) yang

berasal dari hukum Romawi yang kemudian diserap oleh civil law. Dalam

perkembangannya diterima pula dalam hukum kontrak di beberapa negara seperti

Amerika Serikat, Australian, Selandia baru, dan Kanada. Walaupun itikad baik

menjadi asas penting dalam hukum kontrak di berbagai sistem hukum, tetapi asas

itikad baik tersebut masih menimbulkan sejumlah permasalahan terutama yang

berkaitan dengan keabstrakan makna itikad baik.

B.Perumusan Masalah

Perumusan masalah adalah merupakan persoalan yang harus dicari

pemecahannya. Perumusan masalah biasanya mempunyai banyak aspek. Dalam

perumusan masalah dapat dilihat manfaat penelitian, yang diharapkan dapat

(9)

kemungkinan sebab-sebab itu mungkin diperlukan banyak penelitian. Manfaat

ilmiah dari suatu penelitian perlu ditonjolkan atau dikembangkan.

Permasalahan yang akan menjadi pangkal tolak dalam pembahasan adalah

sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli?

2. Bagaimana jual beli yang dilakukan terhadap barang orang lain?

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak yang beritikad baik dalam

perjanjian jual beli?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian

jual beli.

b. Untuk mengetahui jual beli yang dilakukan terhadap barang orang

lain.

c. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pihak yang

beritikad baik dalam perjanjian jual beli.

2. Manfaat Penulisan

a. Secara teoretis

Secara teoretis diharapkan penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untk

menambah pengetahuan dan wawasan terutama mengenai hukum

(10)

b. Secara Praktis

Manfaat penelitian yang bersifat praktis hasil penelitian ini diharapkan

bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi

maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak

yang ingin melakukan penelitian di bidang yang sama.

D. Keaslian Penulisan

Adapun judul yang dipilih adalah “Perlindungan Hukum Terhadap Pihak

Yang Beritikad Baik dalam Perjanjian Jual Beli”, merupakan hasil pemikiran

penulis sendiri. Skripsi ini belum pernah ada yang membuat, kalaupun ada,

penulis yakin subtansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian

penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan.

E. Tinjauan Kepustakaan

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

atau lebih.

Suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dengan seseorang yang lain

atau lebih akan menimbulkan suatu hubungan hukum yang dinamakan perikatan,

jadi dapat disimpulkan perjanjian adalah sumber perikatan di samping sumber

lainnya.

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan arti perjanjian sebagai suatu

(11)

pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak

melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.3

Beberapa ajaran saat terjadinya perjanjian antara pihak adalah :

1. Teori kehendak (willstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan pada saat

kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan melukiskan surat;

2. Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarjan bahwa kesepakatan terjadi

pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima

tawaran;

3. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang

menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima;

4. Teori kepercayaan (vertrowenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan

itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh

pihak yang menawarkan.

Menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan

mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan,

dan pihak yang lain membayar harga yang telah dijanjikan.

Hasanuddin Rahman mengatakan dari pengertian Pasal 1457 KUH Perdata

di atas dapat dikemukakan lebih lanjut bahwa:4

1. Terdapat dua pihak yang saling mengikatkan dirinya, yang masing-masing

mempunyai hak dan kewajiban yang timbul dari perikatan jual beli

tersebut;

3

R.Wirjono Prodjodikoro, Op.cit, hlm.9.

4

(12)

2. Pihak yang satu berhak untuk mendapatkan/ menerima pembayaran dan

berkewajiban menyerahkan suatu kebendaan, sedangkan pihak yang

lainnya berhak mendapatkan/menerima suatu kebendaan dan berkewajiban

menyerahkan suatu pembayaran;

3. Hak bagi pihak yang satu merupakan kewajiban bagi pihak lainnya,

begitupun sebaliknya, kewajiban bagi pihak yang satu merupakan hak bagi

pihak yang lain.

4. Bila salah satu hak tidak terpenuhi atau kewajiban tidak dipenuhi oleh

salah satu pihak, maka tidak akan terjadi perikatan jual beli.

Berdasarkan penjelasan para sarjana di atas, jual beli merupakan suatu

bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh

pembeli kepada penjual.

Jual beli senantiasa terletak pada dua sisi hukum perdata, yaitu hukum

kebendaan dan hukum perikatan. Pada sisi hukum kebendaan, jual beli melahirkan

hak bagi kedua belah pihak atas tagihan berupa penyerahan kebendaan pada satu

pihak dan pembayaran pada pihak lainnya. Pada sisi hukum perikatan, jual beli

merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban dalam bentuk

penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh

pembeli kepada penjual.

Walaupun demikian KUH Perdata melihat jual beli hanya dari sisi

perikatan semata-mata, yaitu dalam bentuk kewajiban dalam lapangan harta

kekayaan, dari masing-masing pihak secara bertimbal balik, oleh karena itu jual

(13)

Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata membahas mengenai pelaksanaan

suatu perjanjian dan berbunyi :” Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan

itikad baik”. Jadi dalam perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, maka para

pihak bukan hanya terikat oleh kata-kata perjanjian itu, tetapi juga oleh itikad

baik.

Martijn Hasselin menyebutkan semua itikad baik yang bersifat objektif

mengacu kepada konsep normatif. Sesungguhnya itikad baik seringkali dilihat

sebagai suatu norma tertinggi dari hukum kontrak, hukum perikatan, bahkan

hukum perdata. Itikad baik seringpula dikatakan sebagai berhubungan dengan

standar moral. Di satu sisi, dikatakan menjadi suatu standar moral itu sendiri,

yakni suatu prinsip legal ethical, sehingga itikad baik bermakna honesty. Dengan

demikian, pada dasarnya itikad baik bermakna bahwa satu pihak harus

memperhatikan kepentingan pihak lainnya di dalam kontrak. Di sisi lain, itikad

baik dapat dikatakan sebagai pintu masuk hukum melalui nilai moral (moral

values). Dengan keadaan yang demikian itu menjadikan itikad baik sebagai norma

terbuka (open norm), yakni suatu norma yang isinya tidak dapat ditetapkan secara

abstrak, tetapi ditetapkan melalui kongkretisasi kasus demi kasus dengan

memperhatikan kondisi yang ada.5

Dalam common law Inggris dikenal dua makna itikad baik yang berbeda,

yakni good faith performance dan good faith purchase. Good faith performance

berkaitan dengan kepatutan (yang objektif), atau reasonableness pelaksanaan

kontrak. Di dalam makna yang demikian itu, itikad baik digunakan sebagai

5

(14)

implide term, yang digunakan dalam hukum Romawi, mensyaratkan adanya

kerjasama diantara para pihak untuk tidak menimbulkan kerugian dari

reasonableness expectation. Good faith purchase, di lain pihak, berkaitan dengan

a contracting party’s subjective state of mind; apakah seseorang membeli dengan

itikad baik sepenuhnya digantungkan pada ketidaktauannya, kecurigaan, dan

pemberitahuan yang berkaitan dengan kontrak.6

Kejujuran dalam pelaksanaan persetujuan harus diperbedakan daripada

kejujuran pada waktu mulai berlakunya perhubungan hukum dan kejujuran dalam

pelaksanaan perjanjian. Dalam kejujuran pada waktu mulai berlakunya suatu

perhubungan hukum berupa pengiraan dalam hati sanubari terhadap syarat untuk

memperoleh hak milik barang telah dipenuhi. Sedangkan kejujuran dalam

pelaksanaan perjanjian terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi titik berat

dari kejujuran ini terletak pada tindakan yang dilakukan kedua belah pihak dalam

hal melaksanakan janji. Dalam melaksanakan tindakan inilah kejujuran harus

berjalan dalam hari sanubari seorang manusia berupa selalu mengingat, bahwa

manusia itu sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat menipukan pihak

lain dengan menggunakan secara membabi buta kata-kata yang dipakai pada

waktu kedua belah pihak membentuk suatu persetujuan. Kedua belah pihak harus

selalu memperhatikan hal ini dan tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain

untuk menguntungkan diri pribadi.7

Dalam pandangan ahli hukum Belanda antara lain Hofmann dan Vollmar

dianggap adanya pengertian kejujuran yang bersifat objektif dan kejujuran bersifat

6

Ibid, hlm.161.

7

(15)

subjektif. Perbedaan antara kejujuran subjektif dan kejujuran objektif itu oleh para

ahli hukum Belanda tadi terutama dibicarakan dalam hubungan dengan suatu

persetujuan, dalam mana para pihak bersepakat untuk menyerahkan penyelesaian

suatu sengketa yang mungkin akan timbul dalam melaksanakan perjanjian, kepada

pihak ketiga atau suatu badan hukum atau kepada salah seorang daripada para

pihak, yaitu selaku pemberi nasehat yang mengikat (bindend advise). Dimana

hakim tidak boleh meninjau lagi isi dari nasehat yang dikatakan mengikat

itu.Sedangkan apabila dilihat dari kejujuran subjektif ketentuan Pasal 1338 ayat

(3) KUH Perdata dapat dianggap bersifat subjektif, sedang untuk mencapai agar

isi dari nasehat yang dikatakan mengikat itu, dapat ditinjau, dapatlah

dipergunakan Pasal 1339 KUH Perdata yang memperbolehkan hakim

memperhatikan hal kepatuhan (billikheid) di samping kejujuran (goede trouw).8

F.Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif analitis. Penelitian yang

bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan,

menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum.9

Penelitian ini mempergunakan metode yuridis normatif, dengan

pendekatan yang bersifat kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah

metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam

8

Ibid, hlm.106.

9

(16)

peraturan perundang-undangan.10

Adapun data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library

research) bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan

informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik berupa

peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder

Penelitian yang digunakan terdiri dari :

Dalam penelitian yuridis normatif yang

dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang

mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat

hukum.

2. Sumber Data

11

1) Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum

yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan

perundang-undangan.

2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku

teks, jurnal-jurnal, pendapat sarjana, dan hasil-hasil penelitian.

3) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti

kamus hukum, ensiklopedia,dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan

(library research), yaitu dengan meneliti sumber bacaan yang berhubungan

10

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.14

11

(17)

dengan topik dalam skripsi ini, seperti: Buku-buku hukum, majalah hukum,

artikel-artikel, pendapat para sarjana, dan bahan-bahan lainnya.

4. Analisa Data

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan

ditelaah dan dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban

kemudian diolah dengan menggunakan metode induktif dan deduktif dan terakhir

dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan

demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan memberikan solusi atas

permasalahan dalam penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika dari penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, dan setiap bab

dibagi lagi menjadi beberapa bab, yang diperinci sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis memaparkan hal-hal yang bersifat umum sebagai

langkah awal dari penulisan ini yang terdiri dari latar belakang,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan,

tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

Dalam bab ini dibahas mengenai pengertian perjanjian, syarat-syarat

sahnya perjanjian, jenis-jenis perjanjian, asas-asas hukum perjanjian,

akibat perjanjian.

(18)

Dalam bab ini dibahas tentang pengertian jual beli, macam-macam jual

beli, saat terjadinya jual beli, serta wanprestasi.

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK YANG BERITIKAD

BAIK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI

Dalam bab ini dibahas mengenai hak dan kewajiban dalam jual beli,

penjualan benda kepunyaan orang lain, perlindungan hukum bagi

pembeli yang beritikad baik.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab terakhir dan menututp seluruh pembahasan

penulisan dalam skripsi ini. Dalam bab ini ditarik kesimpulan yang

merupakan saripati bab-bab pembahasan, kemudian penulis mencoba

memberikan saran yang diharapkan dapat berguna bagi penulis dan

(19)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

A.Pengertian Perjanjian

Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau

dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

pihak yang lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.12

Hubungan hukum yang menerbitkan perikatan itu, bersumber pada apa

yang disebut dengan perjanjian atau sumber lainnya, yaitu undang-undang.

Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa

perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber terpenting yag

melahirkan perikatan, karena perjanjian merupakan perbuatan hukum yang

dilakukan oleh dua pihak, sedangkan perikatan lahir dari undang-undang dibuat

tanpa kehendak dari para pihak yang bersangkutan. Jadi perikatan adalah suatu

pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau

merupakan suatu peristiwa.

Pada Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa suatu perjanjian adalah

suatu perbuatan hukum dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih. Maksudnya bahwa suatu perjanjian adalah

suatu recht handeling artinya suatu perbuatan yang oleh orang-orang

bersangkutan ditujukan agar timbul akibat hukum.

12

(20)

Dengan demikian, suatu perjanjian adalah hubungan timbal balik atau

bilateral, maksudnya suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu

juga menrima kewajiban-kewajiban yang merupakan konsekuensi dari hak-hak

yang diperolehnya.

Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi

perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula

terlalu luas.13

Wirjono Prodjdikoro mengatakan bahwa:

Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai

perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup

perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan

perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam

KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III

kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dapat dinilai dengan

uang.

Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap tidak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji tersebut.14

Menurut M.Yahya Harahap, perjanjian mengandung suatu pengertian yang

memberikan sesuatu hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan

sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.15

13

Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hlm.65.

14

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, Bandung: Sumur, 1981, hlm.11.

15

(21)

Subekti mengatakan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang

berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

melakukan sesuatu hal.16

Dengan demikian, perjanjian mengandung kata sepakat yang diadakan

antara dua orang atau lebih untuk melakukan sesuatu hal tertentu. Perjanjian

merupakan suatu ketentuan antara mereka untuk melaksanakan prestasi. Dalam

kaitannya sebagai hukum yang berfungsi melengkapi saja, ketentuan – ketentuan

perjanjian yang terdapat di dalam KUH Perdata akan dikesampingkan apabila

dalam suatu perjanjian para pihak telah membuat pengaturannya sendiri.

Pasal 1338 KUH Perdata menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Akan

tetapi, hal tersebut dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang menegaskan bahwa

untuk sahnya suatu perjanjian, maka diperlukan empat syarat, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

3. Suatu hal tertentu;

4. Sesuatu sebab yang halal.

Perjanjian baru dapat dikatakan sah jika telah dipenuhi semua ketentuan

yang telah diatur dalam undang-undang tersebut di atas. Pernyataan sepakat

mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

digolongkan ke dalam syarat subjektif atau syarat mengenai orang yang

melakukan perjanjian, sedangkan tentang suatu hal tertentu dan sebab yang halal

16

(22)

digolongkan ke dalam syarat objektif atau benda yang dijadikan objek perjanjian.

Hal-hal tersebut merupakan unsur-unsur penting dalam mengadakan perjanjian.

B. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian

Untuk syarat sahnya suatu perjanjian di dalam Pasal 1320 KUH Perdata

diperlukan empat syarat:

1. Adanya kata sepakat dari mereka yang mengadakan perjanjian;

2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (perikatan);

3. Perjanjian yang diadakan harus mempunyai objek tertentu;

4. Yang diperjanjikan itu adalah suatu sebab yang halal.17

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri

Sepakat maksudnya adalah bahwa dua belah pihak yang mengadakan

perjanjian, dengan kata lain mereka saling menghendaki sesuatu secara timbale

balik. Adanya kemauan atas kesesuaian kehendak oleh kedua belah pihak yang

membuat perjanjian, jadi tidak boleh hanya karena kemauan satu pihak saja,

ataupun terjadinya kesepakatan oleh karena tekanan salah satu pihak yang

mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak.

Kesepakatan itu artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak manapun,

betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak. Berpedoman kepada ketentuan

Pasal 1321 KUH Perdata bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu

diberikan karena:

1) Kekhilafan atau kekeliruan (dwaling);

17

(23)

2) Pemerasan/ Paksaan (dwang);

3) Penipuan (bedrog)

Unsur kekhilafan/ kekeliruan dibagi dalam dua bagian, yakni kekhilafan

mengenai orangnya dinamakan error in persona. Dan kekhilafan barangnya

dinamakan error in substansia. Mengenai kekhilafan/kekeliruan yang dapat

dibatalkan, harus mengenai intisari pokok perjanjian. Jadi harus mengenai objek

atau prestasi yang dikehendaki. Sedangkan kekhilafan/kekeliruan mengenai

orangnya tidak menyebabkan perjanjian dapat batal (Pasal 1322 KUH Perdata).

Paksaan (dwang) terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena

ia takut pada suatu ancaman. Dalam hal ini paksaan tersebut harus benar-benar

menimbulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan, misalnya ia akan

dianiaya atau akan dibuka rahasianya jika ia tidak menyetujui suatu perjanjian

(Pasal 1324 KUH Perdata).

Mengenai pengertian penipuan (bedrog) ini terjadi apabila menggunakan

perbuatan secara muslihat sehingga pada pihak lain menimbulkan suatu gambaran

yang tidak jelas dan benar mengenai suatu hal. Untuk mengatakan terjadi suatu

penipuan, maka harus ada kompleks dari muslihat-muslihat itu.

R.Subekti mengatakan penipuan (bedrog) terjadi apabila suatu pihak

dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar, disertai dengan

kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberi

perizinan.18

18

(24)

Suatu penipuan adalah apabila ada keterangan-keterangan yang tidak

benar (palsu) disertai dengan kelicikan-kelicikan atau tipu muslihat dan harus ada

rangkaian kebohongan-kebohongan yang mengakibatkan orang menjadi percaya,

dalam hal ini pihak tersebut bertindak secara aktif untuk menjerumuskan

seseorang. Misalnya, perbuatan memperjualbelikan sebuah rumah yang bukan

merupakan hak miliknya dengan memalsukan surat-suratnya.19

b. Kecakapan para pihak pembuat perjanjian

Subjek untuk melakukan perjanjian harus cakap (bekwaam) merupakan

syarat umum untuk melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah

dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan

perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.

Subjek hukum terbagi dua, yaitu manusia dan badan hukum. Menurut

Pasal 1329 KUH Perdata “ setiap orang adalah cakap untuk mebuat perikatan, jika

ia oleh undang-undang tidak dinyatakan cakap”. Jadi menurut ketentuan pasal ini,

semua orang dianggap mampu atau cakap untuk mengikatkan diri dalam suatu

persetujuan. Hal ini memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan

perbuatan hukum yang dinyatakan oleh undang-undang.

Dilihat dari sudut rasa keadilan memang benar-benar perlu bahwa orang

yang membuat perjanjian yang nantinya akan terikat oleh perjanjian yang

dibuatnya harus benar-benar mempunyai kemampuan untuk menginsyafi segala

tanggung jawab yang bakal dipikulnya karena perbuatan itu.20

19

Achmad Iksan, Hukum Perdata IB, Jakarta: Pembimbing Masa, 1969, hlm.20.

20

(25)

Apabila dilihat dari sudut ketertiban umum, maka oleh karena orang yang

membuat perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, sehingga sudah

seharusnya orang itu sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta

kekayaannya.21

Tegasnya syarat kecakapan untuk membuat perjanjian mengandung

kesadaran untuk melindungi baik bagi dirinya maupun dalam hubungannya

dengan keselamatan keluarganya.

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek

suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata “ barang yang menjadi objek

suatu perjanjian harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya,

sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat dihitung

atau ditentukan”.

Sebelumnya dalam Pasal 1332 KUH Perdata dikatakan bahwa hanya

barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan.

Dengan demikian barang-barang di luar perdagangan tidak dapat menjadi objek

perjanjian, misalnya, barang-barang yang dipergunakan untuk keperluan orang

banyak, seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum dan udara.

Dengan demikian perjanjian yang objeknya tidak tertentu atau jenisnya

tidak tertentu maka dengan sendirinya perjanjian itu tidak sah. Objek atau jenis

objek merupakan syarat yang mengikat dalam perjanjian.

d. Suatu sebab yang halal

21

(26)

Pengertian sebab pada syarat keeempat untuk sahnya perjanjian tiada lain

daripada isi perjanjian. Jadi dalam hal ini harus dihilangkan salah sangka bahwa

maksud sebab itu di sini adalah suatu sebab yang menyebabkan seseorang

membuat perjanjian tersebut. Bukan hal ini yang dimaksud oleh undang-undang

dengan sebab yang halal.

Sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian atau

dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak dihiraukan

oleh undang-undang. Undang-undang hanya menghiraukan tindakan orang-orang

dalam masyarakat. Jadi dimaksud dengan sebab atau causa dari sesuatu perjanjian

adalah isi perjanjian itu sendiri.

Yang dimaksud dengan halal atau yang diperkenankan oleh

undang-undang menurut Pasal 1337 KUH Perdata adalah persetujuan yang tidak

bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Akibat

hukum terhadap perjanjian bercausa tidak halal, perjanjian tersebut batal demi

hukum atau perjanjian itu dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian tidak ada

dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka hakim.

Dalam hal syarat sahnya suatu perjanjian dibedakan antara syarat objektif

dan syarat subjektif, bahwa di dalam syarat objektif tidak dipenuhi maka

perjanjian itu batal demi hukum, yang artinya dari semula dianggap tidak pernah

dilahirkan perjanjian. Dengan kata lain bahwa tujuan yang mengadakan perikatan

semula adalah gagal, maka dari itu tidak ada suatu alasan bagi pihak untuk

(27)

Dalam hal syarat subjektif, maka jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian

bukan batal demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta

perjanjian itu dibatalkan. Dalam hal ini yang berhak meminta pembatalan adalah

yang merasa dirinya tertipu oleh suatu hal.

Dari keempat syarat sahnya perjanjian di atas tidak ada diberikan suatu

formalitas yang tertentu di samping kata sepakat para pihak mengenai hal-hal

pokok perjanjian tersebut. Tetapi ada pengecualiannya terhadap undang-undang

yang dibutuhkan bahwa formalitas tersebut untuk beberapa perjanjian baru dapat

berlaku dengan suatu formalitas tertentu yang dinamakan perjanjian formal.

Misalnya perjanjian perdamaian harus dilakukan secara tertulis.

C. Jenis-jenis Perjanjian

Mengenai jenis-jenis perjanjian ini diatur dalam Buku III KUH Perdata,

peraturan-peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga

dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para

pihak dapat mengadakan perjanjian dengan mengenyampingkan

peraturan-perturan perjanjian yang ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan para pihak

untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam

bentuk perjanjian itu:

1. perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur

dalam KUH Perdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya jual

(28)

2. Perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal

ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan

ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai

undang-undang bagi masing-masing pihak.22

Dalam KUH Perdata Pasal 1234 , perikatan dapat dibagi 3 (tiga) macam, yaitu:

1. Perikatan untuk memberikan sesuatu atau menyerahkan sesuatu barang;

2. Perikatan untuk berbuat sesuatu;

3. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.

Ad.1. Perikatan untuk memberikan sesuatu atau menyerahkan sesuatu barang

Ketentuan ini, siatur dalam KUH Perdata Pasal 1235 sampai dengan Pasal

1238 KUH Perdata. Sebagai contoh untuk perikatan ini, adalah jual beli,

tukar-menukar, penghibahan, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan lain-lain.

2. Perikatan untuk berbuat sesuatu

Hal ini diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:

“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apa

si berutang tidak memenuhi kewajibannyanya, mendapatkan penyelesaiannya

dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”. Sebagai

contoh perjanjian ini adalah perjanjian hutang.

3. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu

Hal ini diatur dalam Pasal 1240 KUH Perdata, sebagai contoh perjanjian

ini adalah : perjanjian untuk tidak mendirikan rumah bertingkat, perjanjian untuk

tidak mendirikan perusahaan sejenis dan lain-lain.

22

(29)

Setelah membagi bentuk perjanjian berdasarkan pengaturan dalam KUH

Perdata atau di luar KUH Perdata dan macam-macam perjanjian dilihat dari

lainnya, R. Subekti membagi lagi macam-macam perjanjian dilihat dari

bentuknya, yaitu:23

a) Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu

kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan terjadi. Pertama

mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir,

apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian yang demikian

itu, mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda

atau mempertanggungjawabkan.

b) Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu, perbedaan

antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah pertama berupa

suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana,

sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun

mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya

meninggalnya seseorang.

c) Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternatif) adalah suatu

perikatan dimana terdapat dua atau lebih macam, prestasi, sedangkan

kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya ia

boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya.

d) Perikatan tanggung menanggung adalah suatu perikatan dimana beberapa

orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan

23

(30)

satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang

bersama-sama hendak menagih suatu piutang dari satu orang, tetapi

perikatan semacam ini sedikit sekali dalam praktek.

e) Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah suatu

perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya

membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau

maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan

tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke

muka. Jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh

beberapa orang lain. Hal mana biasanya dalam segala hak-haknya oleh

sekalian ahli warisnya.

f) Perikatan dengan penetapan hukum, adalah untuk mencegah jangan

sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam

praktek banyak hukuman, apabila ia tidak menetapi kewajibannya.

Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang

sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula

sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.

Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila

perjanjian telah sebahagian dipenuhi.

Di samping itu, jenis-jenis perjanjian menurut Mariam Darus adalah

sebagai berikut:24

24

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dan

(31)

a) Perjanjian timbal balik. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang

menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.

b) Perjanjian Cuma-Cuma, adalah perjanjian yang memberikan keuntungan

bagi salah satu pihak.

c) Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama

adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, maksudnya adalah

perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang.

Perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUH

Perdata, akan tetapi terdapat dalam masyarakat. Jumlah dari perjanjian ini

tidak terbatas dan lahirnya berdasarkan asas kebebasan berkontrak.

d) Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan

adalah perjanjian yang mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu

kepada pihak lain. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian oleh pihak-pihak

yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain

(perjanjian yang menimbulkan perikatan).

e) Perjanjian konsensual dan perjanjian riil. Perjanjian konsensual adalah

perjanjian di antara kedua belah pihak yang telah mencapai persesuaian

kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata perjanjian

ini sudah mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUH Perdata). Selain itu, ada pula

perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan uang,

misalnya perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata).

(32)

f) Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya. Jenis perjanjian yang

istimewa adalah:

1) Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian oleh para pihak yang

membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya perjanjian

pembebasan uang;

2) Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian para pihak yang

menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka;

3) Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi, Pasal

1774 KUH Perdata;

4) Perjanjian sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik,

misalnya perjanjian pemborongan (Pasal 1601 b KUH Perdata).

Asser dalam Mariam Darus mengatakan bahwa “ setiap perjanjian

mempunyai bagian inti dan bukan bagian inti”. Bagian inti disebut essensialia dan

bukan bagian inti terdiri dari naturalia dan aksidentalia. Essensialia adalah

bagian-bagian yang tidak dapat tidak harus ada dalam suatu pejanjian karena

bagian ini menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta. Naturalia adalah

bagian yang secara diam-diam melekat pada perjanjian, akan tetapi dalam hal ini

dapat diperjanjikan secara tegas dihapuskan. Aksidentalia merupakan sifat yang

melekat pada perjanjian, yaitu secara tegas diperjanjikan oleh para pihak seperti

ketentuan mengenai domisili para pihak.

(33)

Asas hukum adalah suatu pikiran yang bersifat umum dan abstrak yang

melatarbelakangi hukum positif. Dengan demikian asas hukum tersebut tidak

tertuang dalam hukum yang konkrit. Pengertian tersebut dapat ditarik dari

pendapat Sudikno Mertokusumo, yang memberi penjelasan sebagai berikut:

Pengertian asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat dikemukakan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit terebut.25

Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah:

1. Asas konsensualisme

Konsensualisme berasal dari perkataan lain “consensus” yang berarti sepakat.

Jadi asas konsensualisme berarti bahwa suatu perjanjian pada dasarnya telah

dilahirkan sejak tercapainya kesepakatan. Asas ini dapat disimpulkan dari

Pasal 1320 KUH Perdata yang menentukan untuk syarat sahnya suatu

perjanjian memerlukan sepakat mereka yang mengikatkan diri.

Dalam Pasal tersebut tidak disebutkan adanya formalitas tertentu di samping

kesepakatan yang telah tercapai, sehingga dapat disimpulkan bahwa

perjanjian sudah sah apabila telah ada kesepakatan para pihak mengenai

hal-hal yang pokok. Terhadap asas konsesualisme ini terdapat pengecualian yaitu

untuk beberapa perjanjian, undang-undang mensyaratkan adanya formalitas

tertentu. Hal ini berarti selain kesepakatan yang telah dicapai oleh para pihak,

perjanjian harus pula diwujudkan dalam bentuk tertulis atau akta. Perjanjian

25

(34)

semacam ini misalnya perjanjian penghibahan, perjanjian kerja, perjanjian

perdamaian, perjanjian asuransi, perjanjian mendirikan perusahaan dan

sebagainya.

2. Asas kebebasan berkontrak

Menurut asas ini, hukum perjanjian memberikan kebebasan pada setiap orang

untuk membuat perjanjian apapun, dengan ketentuan tidak bertentangan

dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Asas ini diberikan

oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya.

Dari perkataan semua yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata,

dapat disimpulkan bahwa setiap orang atau masyarakat bebas untuk

mengadakan suatu perjanjian yang berisi apa saja, baik mengenai bentuknya

maupun objeknya dan jenis perjanjian tersebut.

Asas kebebasan berkontrak ini merupakan konsekuensi dari dianutnya sistem

terbuka dalam hukum perjanjian apapun baik yang telah diatur secara khusus

dalam KUH Perdata maupun yang belum diatur dalam KUH Perdata atau

peraturan- peraturan lainnya. Sebagai konsekuensi lain dari sistem terbuka

maka hukum perjanjian mempunyai sifat sebagai hukum pelengkap. Hal ini

berarti bahwa masyarakat selain bebas membuat isi perjanjian apapun,

mereka pada umumnya juga diperbolehkan untuk mengesampingkan atau

tidak mempergunakan peraturan-peraturan yang terdapat dalam bagian

(35)

ketentuan-ketentuan yang akan berlaku di antara mereka. Undang-undang

hanya melengkapi saja apabila ada hal-hal yang belum diatur di antara

mereka.

Seringkali didapati bahwa dalam membuat suatu perjanjian, para pihak

tersebut tidak mengatur secara tuntas segala kemungkinan yang akan terjadi.

Dengan demikian tepatlah jika hukum perjanjian sebagai hukum pelengkap,

sehingga dapat dipergunakan untuk melengkapi perjanjian-perjanjian yang

tidak lengkap tersebut.

3. Pakta Sunt Sevanda

Asas ini juga disebut sebagai asas pengikatnya suatu perjanjian, yang berarti

pada pihak yang membuat perjanjian itu terikat pada kesepakatan dalam

perjanjian yang telah mereka perbuat. Dengan kata lain, perjanjian yang

diperbuat secara sah berlaku seperti berlakunya undang-undang bagi para

pihak yang membuatnya. Asas pacta sunt servanda ini terdapat dalam

ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan

“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik

kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan yang

oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.

Dari perkataan “berlaku sebagai undang-undang dan tak dapat ditarik

kembali” berarti bahwa perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya,

bahkan perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari

(36)

sepakati bersama. Pelanggaran terhadap isi perjanjian oleh salah satu pihak

menyebabkan pihak lain dapat mengajukan tuntutan atas dasar wanprestasi

dari pihak lawan. Asas ini berarti siapa berjanji harus menepatinya atau siapa

yang berhutang harus membayarnya.

4. Asas itikad baik

Asas itikad baik dalam bahasa hukumnya disebut de goedetrow. Asas ini

berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Mengenai asas itikad baik ini,

terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menentukan “

persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Itikad baik dapat dibedakan dalam pengertian subjektif dan objektif. Itikad

baik dalam segi subjektif, berarti kejujuran. Hal ini berhubungan erat dengan

sikap batin seseorang pada saat membuat perjanjian. Artinya sikap batin

seseorang pada saat dimulainya suatu perjanjian itu seharusnya dapat

membayangkan telah dipenuhinya syarat-syarat yang diperlukan.

Itikad baik dalam segi objektif, berarti kepatuhan, yang berhubungan dengan

pelaksanaan perjanjian atau pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hak

dan kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma kepatuhan dan

kesusilaan.

D. Akibat Perjanjian

Akibat adalah pengaruh terhadap para pihak dan juga mengandung arti

(37)

daripada ketidakjujuran dalam suatu perjanjian akan membawa akibat terhadap

perjanjian itu sendiri.

Sebagaimana diketahui, bahwa hukum perjanjian yang terdapat dalam

KUH Perdata menganut asas konsensualisme, artinya suatu perjanjian harus

dianggap lahir pada waktu tercapainya kesepakatan di antara kedua belah pihak.

Orang yang hendak membuat perjanjian harus menyatakan kehendaknya dan

kesediaannya untuk mengikatkan dirinya bahwa pernyataan kedua belah pihak

bertemu dalam sepakat. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Dengan demikian perjanjian mulai mengikat para pihak dan berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya, terhitung sejak tercapainya

kesepkatan para pihak.

Di samping bentuk perjanjian konsensual seperti tersebut di atas ada pula

bentuk perjanjian lainnya yaitu perjanjian formal dan perjanjian riil. Untuk kedua

perjanjian itu tidak cukup hanya dengan kata sepakat tapi diperlukan suatu

formalitas atau suatu perbuatan yang nyata.

Suatu perjanjian disebut formal akan menjadi sah apabila harus

dilaksanakan dengan suatu tindakan tertentu, apabila tidak dilakukan maka

perjanjian tersebut tidak sah. Untuk perjanjian perdamaian yang harus

dilaksanakan secara tertulis, kalau tidak maka ia tidak sah. Demikian pula

terhadap perjanjian riil, perjanjian itu menjadi atau mulai sah apabila telah

dilaksanakan suatu penyerahan.

Akibat dari perjanjian diatur dengan tegas dalam Pasal 1338 KUH Perdata

(38)

“semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dari sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Dengan istilah lain, pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa

semua perjanjian yang dibuat secara sah menurut hukum mempunyai kekuatan

yang mengikat bagi mereka yang membuatnya. Jadi di sini para pihak yang

mengadakan perjanjian itu diberi kesempatan untuk mengadakan atau menetapkan

sendiri ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi mereka. Namun demikian seperti

Pasal 1338 KUH Perdata telah menentukan bahwa perjanjian haruslah dilakukan

dengan itikad baik.

Pasal 1341 KUH Perdata mengatakan bahwa pihak kreditur dapat

mengajukan tuntutan pembatalan atas segala perbuatan debitur yang bersifat tidak

wajar dan merugikan. Secara tidak langsung pasal ini dapat merupakan reaksi dari

Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, artinya apabila si debitur tetap memperlakukan

kekayaannya dengan sewenang-wenang dalam arti tidak jujur atau tidak beritikad

baik.

Adapun mengenai akibat dari suatu perjanjian adalah sesuai dengan apa

yang para pihk perjanjikan. Bila perjanjian untuk memberikan sesuatu atau

menyerahkan sesuatu, para pihak harus melaksanakannya, sedangkan bila

perjanjian untuk berbuat sesuatu, maka para pihak baru berbuat sesuai dengan

(39)

BAB III

KETENTUAN UMUM MENGENAI JUAL BELI

A. Pengertian Jual Beli

Perjanjian jual beli merupakan perjanjian yang kerap kali diadakan, yang

subjeknya terdiri dari pihak penjual dan pembeli. Dalam Kitab Undang-undang

Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata), perjanjian jual beli ini

diatur pada Buku Ketiga Bab Kelima. Pengertian jual beli dapat dilihat pada bunyi

Pasal 1457 KUH Perdata yang berbunyi:

“Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang

lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.

Pada pokoknya jual beli adalah perjanjian dimana pihak yang satu

(penjual) mengikatkan dirinya kepada pihak yang lainnya (pembeli) untuk

menyerahkan hak milik dari suatu barang dengan menerima sejumlah harga yang

telah disepakati bersama.

Dari bunyi pasal di atas, dapat diperhatikan bahwa wujud harga

pembayarannya tidak lain adalah alat pembayaran yang sah. Pihak penjual dan

pembeli saling mengikatkan dirinya untuk mewujudkan suatu prestasi dimana

kedua belah pihak bersepakat atas barang dan nilai tukarnya (berupa harga).

Dari perikatan jual beli ada dua subjek yaitu si penjual dan si pembeli yang

masing mempunyai berbagai kewajiban dan hak. Maka mereka

(40)

merupakan pihak berhak, hal ini berhubungan dengan sifat bertimbal balik dari

persetujuan jual beli.

R.M.Suryodiningrat, memberikan definisi jual beli sebagai berikut :

Jual beli adalah perjanjian/ persetujuan/ kontrak dimana satu pihak

(penjual) mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu

benda/barang kepada pihak lainnya (pembeli), yang mengikatkan dirinya

untuk membayar harganya berupa uang kepada penjual.26

Jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji

menyerahkan sesuatu barang/benda (zaak) dan pihak lain yang bertindak

sebagai pembeli mengikatkan dirinya berjanji untuk membayar harga

barang.

M.Yahya Harahap mengatakan bahwa:

27

a. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada

pembeli;

Dari beberapa defenisi yang ada yaitu definisi menurut KUH Perdata dan

para sarjana di atas, maka dapat dilihat dalam jual beli ada terdapat hak dan

kewajiban yang dibebankan kepada para pihak, yaitu:

b. Hak pihak penjual untuk membatalkan jual beli barang;

c. Kewajiban pihak pembeli, membayar harga barang yang dibeli kepada

penjual;

26

R.M.Suryodiningrat, Op.cit, hlm.14.

27

(41)

d. Hak pihak pembeli, mempertanggungjawabkan pembayaran harga pada si

penjual apabila pemakaian barang tersebut diganggu oleh pihak ketiga

(Pasal 1516 KUH Perdata).

Berdasarkan kewajiban para pihak di atas, maka yang menjadi unsur

pokoknya adalah mengenai barang yang akan dialihkan dan harga dari barang

yang akan dialihkan tersebut. Oleh karena itu, pengertian jual beli pada intinya

adalah tindakan mengalihkan hak milik atas suatu barang berdasarkan adanya

suatu harga yang telah disepakati bersama.

Dalam perjanjian jual beli, barang-barang yang menjadi objek perjanjian

haruslah cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan ujud dan jumlahnya

pada saat ia akan diserahkan hak milik kepada si pembeli, dengan demikian sah

menurut hukum.28

Menurut hukum perdata ada tiga macam penyerahan yuridis, yaitu:

Hak milik atas barang yang diperjualbelikan, baru beralih setelah diadakan

penyerahan. Yang diserahkan oleh penjual kepada pembeli adalah hak milik

barangnya, jadi bukan sekedar kekuasaan atas barang tadi yang harus dilakukan

penyerahan atau levering secara yuridis.

Yang dimaksud dengan penyerahan dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1475

KUH Perdata:

“Penyerahan adalah suatu pemindahan barang yang telah dijual ke dalam

kekuasaan dan kepunyaan si pembeli”

29

a. Penyerahan barang bergerak

28

R.Subekti, Op.cit, hlm.2.

29

(42)

b. Penyerahan barang tak bergerak

c. Penyerahan piutang atas nama

Ad.1. Penyerahan barang bergerak dilakukan dengan penyerahan yang nyata atau

menyerahkan kekuasaan atas barangnya (Pasal 612 KUH Perdata)

Ad.2. Penyerahan barang tak bergerak terjadi dengan pengutipan sebuah “akta

transport” dalam register tanah di depan Pegawai Balik Nama (Ordonansi

Balik Nama LN.1834-27). Sejak berlakunya Undang-undang Pokok Agraria

(Undang-undang No.5 Tahun 1960) dengan pembuat aktanya jual beli oleh

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Ad.3. Penyerahan piutang atas nama dilakukan dengan sebuah akta yang

diberitahukan kepada si berutang (akta cessie, Pasal 613 KUH Perdata).

Jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil, artinya ia sudah dilahirkan

sebagai suatu perjanjian yang sah ( mengikat atau mempunyai kekuatan hukum)

pada detik tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsur-unsur

yang pokok (essentialia) yaitu barang dan harga, biarpun jual beli itu mengenai

barang yang tak bergerak. Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam Pasal

1458 KUH Perdata yang berbunyi, “ jual beli dianggap telah terjadi antara kedua

belah pihak sewaktu mereka telah mencapai kata sepakat tentang barang dan

harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.

B. Macam-macam Jual Beli

Dalam praktek perdagangan, dikenal beberapa macam jual beli, yang

(43)

1. Jual beli dengan percobaan

Apabil barang-barang jual beli dengan percobaan, maka dihadapi suatu

persetujuan jual beli dengan syarat tangguh. Ketentuan ini terdapat dalam

Pasal 1463 KUH Perdata

“ Jual beli dilakukan dengan percobaan atau mengenai barang-barang yang

biasa dicoba terlebih dahulu, selalu dianggap telah dibuat dengan syarat

tangguh”.

Dalam hal ini terjadi tidaknya jual beli tergantung pada hasil percobaan yang

akan dilakukan oleh calon pembeli, belum tentu pembeli telah mencoba

barang yang bersangkutan itu merasa puas dengan sifat-sifat barang itu,

sehingga ia mengambil keputusan untuk melahirkan perjanjian jual beli.

Contoh : jual beli lemari es, pesawat radio, televisi. Pembukt ian dibebankan

kepada penjual bahwa benda telah dicoba dan kemudian disetujui dan

setidaknya tergantung pada pembeli.

2. Jual beli dengan pemberian panjar

Jual beli ini diatur dalam Pasal 1464 KUH Perdata. Dalam Jual beli ini, baik

pembeli tidak dapat membatalkan perjanjian jual beli dengan mengikhlaskan

panjar yang telah diberikan pembeli kepada penjual, begitu juga penjual tidak

dapat membatalkannya dengan mengembalikan panjar itu kembali kepada

pembeli.

3. Jual beli dengan hak membeli kembali

Kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual diterbitkan dari

(44)

yang telah dijual. Dengan mengembalikan harga pembelian yang telah

diterimanya disertai dengan biaya yang telah dikeluarkan oleh pembeli untuk

menyelenggarakan pembelian serta penyerahan, begitu pula biaya-biaya yang

perlu untuk pembetulan-pembetulan dan pengeluaran-pengeluaran yang

menyebabkan barang yang telah dijual bertambah harganya.

Dengan definisi yang diambil dari Pasal 1519 KUH Perdata ditambah dengan

ketentuan Pasal 1532 KUH Perdata dari perjanjian jual beli dengan janji hak

membeli kembali.30

Perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali dalam praktek sering dipakai

untuk menyelubungi suatu perjanjian pinjam uang dengan pemberian jaminan

kebendaan, yang seharusnya dibuat secara hypotik.

Hak untuk membeli kembali tidak boleh diperjanjikan untuk suatu waktu yang

lama lebih dari 5 (lima) tahun, apabila si penjual lalai mengajukan tuntutannya

untuk membeli kembali dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, maka

tetaplah si pembeli sebagai pemilik barang yang telah dibelinya itu. Demikian

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1520 dan Pasal 1521 KUH

Perdata.

31

4. Jual beli dengan contoh

Jual beli dengan contoh (monster), tidak diatur dalam KUH Perdata,

melainkan diatur dalam Pasal 69 KUH Dagang yang berbunyi sebagai berikut:

“Makelar dari setiap penjualan atas contoh mengenai sejumlah (parij)

barang-barang dengan perantaranya menyimpan contohnya sampai saat

30

R.Subekti, Op.cit, hlm.28.

31

(45)

telah dilakukannya penyerahan, dilengkapi dengan catatan mengenai

contoh itu untuk mengenalinya kembali apa ia (makelar) tidak dibebaskan

dari kewajiban itu”.

Dalam hal ini yang diperjualbelikan adalah barang sejenis dan sifatnya dan

telah ditetapkan atas dasar kata sepakat dengan penyerahan contoh kepada

pembeli yang harus disimpan kepada makelar sampai pada saat telah

dilakukannya penyerahan yang diperjualbelikan. Walaupun hal ini tidak diatur

dalam KUH Perdata, namun jual beli seperti itu sering dijumpai dalam

praktek, perdagangan sehari-hari dalam masyarakat. Karena hal ini dianggap

oleh para pedagang/pengusaha sebagai efisiensi kerja dan menghemat biaya,

karena apabila barang tersebut keseluruhannya diangkut masih dalam bentuk

tawar menwar saja, maka risikonya sangat besar. Sedangkan jual beli tersebut

belum dapat dipastikan terujud atau tidak.

Timbulnya jual beli seperti ini menunjukkan hakekat dari kesepakatan para

pihak adalah merupakan kepercayaan antara pihak-pihak dengan melihat

contoh barang saja maka perjanjian jual beli dapat berlangsung. Jadi apabila

barang itu cocok dengan apa yang dipercontohkan maka jual beli itu akan

diteruskan, tetapi apabila berlainan dengan apa yang sebelumnya, maka jual

beli itu dapat dibatalkan.

5. Beli Sewa

Beli sewa disebut juga huurkoop. Dalam hal ini, penyerahan dilakukan secara

berangsuran. Namun demikian sudah ada penyerahan, hanya dalam

(46)

berpindah. Hak milik baru berpindah setelah harga dibayar lunas. Karena itu

beli sewa merupakan suatu pembelian dengan perpindahan hak milik yang

ditangguhkan dan termasuk dalam jual beli angsuran.

C.Saat Terjadinya Jual Beli

Unsur pokok terjadinya jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan

asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian dalam KUH Perdata,

perjanjian itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat mengenai barang

dan harga. Setelah kedua belah pihak setuju barang dan harga maka lahirlah jual

beli yang sah. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 1458 KUH Perdata yang

berbunyi:

“jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak seketika

setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut

dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun

harganya belum dibayar.”

Asas konsensualitas menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat

antara dua atau lebih orang telah mengikat sehingga telah melahirkan kewajiban

bagi salah satu atau kedua belah pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah

orang-orang tersebut mencapai kesepakatan ata konsensus, meskipun kesepakatan

itu telah dicapai secara lisan semata-mata. 32

Untuk sahnya perjanjian jual beli haruslah dipenuhi unsur-unsur untuk

dapat tercapainya jual beli tersebut. Unsur yang berupa adanya barang, harga, dan

32

Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Memahami Prinsip Keterbukaan (aanvullend

(47)

kesepakatan. Selain itu juga tidak dapa dipisahkan dari syarat yang tertera pada

Pasal 1320 KUH Perdata.

Jual beli tiada lain daripada persesuaian kehendak antara penjual dan

pembeli mengenai barang dan harga. Barang dan harga inilah yang menjadi

essensialia perjanjian jual beli. Tanpa ada barang yang hendak dijual, tak

mungkin terjdi jual beli. Sebaliknya jika barang objek jual beli tidak dibayar

dengan sesuatu harga, jual beli dianggap tidak ada.33

33

M.Yahya Harahap, Op.cit, hlm.181.

Konsensualisme berasal dari perkataan konsensus, yang berarti

kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang

bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya apa yang dikehendaki

oleh yang satu adalah juga dikehendaki oleh yang lain.

Sifat penting lainnya dari jual beli menurut sistem KUH Perdata adalah

bahwa perjanjian jual beli itu belum memindahkan hak milik, ia baru meletakkan

hak dan meletakkan hak menuntut diserahkan hak milik atas barangnya. Penjual

berkewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus

memberikan kepadanya hak untuk menuntut pembayaran harga yang telah

disetujuinya.

Sifat jual beli ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1459 KUH Perdata yang

menyebutkan:

“ Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli,

(48)

Sifat obligatoir ini mempunyai konsekuensi jika terjadi jual beli atas suatu

barang, tetapi belum diserahkan kemudian dijual kembali untuk kedua kalinya

oleh penjual dan dilever kepada si pembeli kedua ini, maka pembeli yang pertama

tidak dapat mengatakan, bahwa barang itu miliknya tetapi belum dilakukan

penyerahan tegasnya.

Dalam perjanjian ini dikandung maksud bahwa selama jangka waktu

tertentu tidak akan menjualnya lagi kepada orang lain, karena ia setiap waktu

dapat diminta menyerakan kembali kepada penjual. Namun kalau si pembeli

menjual kepada orang lain serta barangnya adalah barang bergerak maka pembeli

kedua ini aman, artinya tidak dapat dituntut untuk menyerahkan barangnya kepada

si penjual pertama. Penjual pertama hanya dapat menuntut ganti rugi kepada si

pembeli pertama, lain halnya bila diperjanjikan dalam jual beli itu adalah benda

tidak bergerak untuk membeli kembali barang yang dijual, boleh menggunakan

haknya itu kepada seseorang pembeli kedua, meskipun dalam perjanjian jual beli

yang kedua itu tidak disebutkan tentang adanya janji tersebut, hal ini dapat dilihat

dalam Pasal 1523 KUH Perdata. Ini berarti jika diperjualbelikan itu adalah benda

tidak bergerak, maka janji untuk membeli kembali yang telah diadakan untuk

kepentingan si penjual harus ditaati oleh pihak ketiga.

Yang menjadi objek dalam perjanjian jual beli adalah sesuatu yang

berwujud benda/barang (zaak). Bertitik tolak dari pengertian benda/barang ialah

segala sesuatu yang dapat dijadikan objek harta benda atau harta kekayaan. Maka

yang dapat dijadikan objek jual beli adalah segala sesuatu yang bernilai harta

(49)

yang menyatakan “hanya barang-barang yang bisa diperniagakan saja yang boleh

dijadikan pokok perjanjian”.34

34

Ibid., hlm.182.

Di samping benda/barang, harga merupakan salah satu essensialia

perjanjian jual beli. Harga berarti sesuatu jumlah yang harus dibayarkan dalam

bentuk uang. Pembayaran harga dengan uanglah yang bisa dikategorikan ke dalam

jual beli. Harga yang berbentuk lain di luar uang, berada di luar jangkauan

perjanjian jual beli.

Harga barang itu, harus benar-benar harga sepadan dengan nilai yang

sesungguhnya. Kesepadanan antara harga dengan barang, sangat perlu untuk dapat

melihat hakekat persetujuan yang diperbuat dalam konkreto. Sebab kalau harga

barang yang dijual sangat murah atau sama sekali tidak ada, jelas perjanjian yang

terjadi bukan jual beli, melainkan hibah.

Kesepadanan antara harga dengan nilai barang memang bukan merupakan

syarat sahnya suatu persetujuan jual beli. Akan tetapi kesepadanan harga ini dapat

dikembalikan kepada tujuan jual beli itu sendiri. Yakni, jual beli tiada lain

bermaksud untuk mendapatkan pembayaran yang pantas atas harga barang yang

dijual. Serta harga yang pantas/sepadan perlu sebagai alat untuk memperlindungi

penjual dari tindakan kekerasan atau pemaksaan harga yang rendah. Juga

memperlindungi penjual atas salah sangka (dwaling) dan tipu muslihat.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, perjanjian pengikatan jual beli tanah dibuat dalam bentuk akta notaris yang merupakan akta otentik dan mempunyai kekuatan hukum

Apabila dalam perjanjian jual beli tersebut didasarkan oleh adanya suatu itikad buruk dari pihak penjual, maka seperti yang dijelaskan dalam pasal 1499

Peristiwa hukum tersebut memunculkan masalah yakni implementasi perlindungan hukum terhadap pihak yang beritikad baik dengan adanya Putusan Nomor 722/Pdt.G/2014/PN.Dps

Kedudukan pihak pembeli sebagai konsumen dalam perjanjian baku jual beli perumahan memiliki posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan pihak pelaku usaha (developer),

ditawarkan oleh penjual. Salah satu keuntungan transaksi jual.. beli melalui toko on line adalah ini adalah pembeli dapat berbelanja kapan saja dan dimana saja

Untuk mengkaji dan menganalisis kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dalam Hukum Perjanjian, untuk mengkaji dan menganalisis kekuatan hukum Perjanjian Pengikatan Jual

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa unsur-unsur yang berpotensi menyebabkan pembatalan terhadap perjanjian Jual Beli hak milik atas tanah yaitu Harga jual beli

Subekti menyatakan, bahwa perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan