• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterkaitan Iklim Mikro Dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Keterkaitan Iklim Mikro Dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

KARYA TULIS

KETERKAITAN IKLIM MIKRO

DENGAN PERILAKU API

PADA KEBAKARAN HUTAN

OLEH:

ACHMAD SIDDIK THOHA

NIP 132 259 563

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa, atas kemudahan dari-Nya, tulisan judul Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api pada Kebakaran Hutan telah dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada, Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS yang telah mengarahkan penulis sehingga tulisan dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Penulis menyadari, masih banyak keterbatasan yang dimiliki penulis baik berupa waktu, bahan literatur, penyajian dan teknik penulisan sehingga tulisan ini layak untuk mendapatkan koreksi dari berbagai pihak. Semoga tulisan sederhana ini bisa menyumbangkan sedikit pengetahuan khususnya wawasan mikroklimatologi bagi penulis sendiri dan pihak yang membutuhkan.

Medan, Januari 2008

(3)
(4)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... ii

PENDAHULUAN ... 1

PERILAKU KEBAKARAN... 2

Proses Terjadinya Kebakaran ... 2

Tahapan Proses Pembakaran ... 3

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KEBAKARAN... 6

Karakteristik Bahan Bakar... 6

Kadar Air Bahan Bakar ... 6

Karakteristik Bahan Bakar Lainnya ... 7

Faktor Cuaca dan Iklim... 8

Topografi... 9

HUBUNGAN IKLIM MIKRO DAN PERILAKU KEBAKARAN HUTAN ... 10

Radiasi matahari... 10

Suhu Udara... 11

Kelembaban Udara... 12

Presipitasi ... 13

Angin ... 13

KESIMPULAN ... 15

(5)

PENDAHULUAN

Kebakaran hutan menjadi salah satu peristiwa yang menimbulkan kerugian besar baik dari segi ekonomi , ekologi maupun sosial dan politik. Kerugian ekonomi berhubungan dengan musnahnya aset yang benilai ekonomis tinggi berupa hasil hutan kayu dan non kayu. Secara ekologis, kebakaran dapat merusak keseimbangan ekologis suatu ekosistem. Dari segi sosial politik, dampak kebakaran yang menimpa negara lain berakibat munculnya protes yang mempengaruhi hubungan antar negara.

Penanggulangan bahaya kebakaran hutan secara terus menerus dikembangkan. Upaya pengembangan mencakup aspek pencegahan dan pemadaman kebakaran. Upaya pencegahan mendapatkan prioritas penting karena relatif ringan dalam penyiapan sumberdayanya. Disamping itu, upaya pemadaman sangat sulit dilaksanakan mengingat api yang berkembang liar di alam hampir tidak pernah bisa dipadamkan oleh upaya manusia.

Dalam rangka upaya penanggulangan kebakaran hutan, perlu pemahaman mendalam aspek ekologi kebakaran, perilaku kebakaran dan faktor yang mempengaruhi kebakaran. Ekologi kebakaran mencakup aspek komponen dan proses terjadinya kebakaran. Perilaku kebakaran berhubungan dengan perilaku kebakaran dapat didefinisikan sebagai cara dimana api di alam berkembang : bagaimana bahan bakar terbakar, perkembangan nyala api dan penyebaran api (Perry, 1990) dan bagaimana api bereaksi terhadap variabel-variabel bahan bakar, cuaca atau iklim dan topografi. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kebakaran terdiri atas karakteristik bahan bakar, faktor iklim dan topografi.

Iklim merupakan faktor alamiah yang menjadi pemicu terjadinya kebakaran. Faktor iklim selain dapat menjadi pemicu juga dapat dijadikan dasar bagi pengendalian kebakaran. Pemahaman tentang iklim kebakaran (fire

climate) akan dapat memprediksi perilaku api dan menentukan upaya

(6)

PERILAKU KEBAKARAN

Perilaku kebakaran dapat didefinisikan sebagai cara dimana api di alam berkembang : bagaimana bahan bakar terbakar, perkembangan nyala api dan penyebaran api (Perry, 1990) dan bagaimana api bereaksi terhadap variabel-variabel bahan bakar, cuaca atau iklim dan topografi (Chandler et. al. 1983) sebagai faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Tiga kompoanen yang diperlukan untuk setiap api agar dapat menyala dan mengalami proses pembakaran (Countryman, 1975). Pertama harus tersedia bahan bakar yang dapat terbakar. Lalu, panas yang cukup yang digunakan untuk menaikkan suhu bahan bakar hingga ke titik penyalaan. Dan akhirnya harus terdapat pula cukup udara untuk mensuplai oksigen yang diperlukan dalam menjaga proses pembakaran agar tetap berjalan dan untuk mempertahankan suplai panas yang cukup sehingga memungkinkan terjadinya penyalaan bahan bakar yang sulit terbakar. Ketiga unsur itu yaitu bahan bakar, panas dan oksigen yang memungkinkan terjadinya api, disebut dengan segitiga api (fire triangel) dan api tersebut hanya dapat terjadi bila ketiga komponen berada pada saat yang bersamaan atau tidak akan terjadi api sama sekali.

Proses Terjadinya Kebakaran

Pembakaran adalah proses yang stabil (steady state) (Chandler et. al. 1983) dari bentuk khusus oksidasi (Luke and Mc Arthur, 1978) dan kebalikan dari proses fotosintesis dimana dapat dibedakan dalam flaming dan glowing (Chandler et. al. 1983 and pyne et. al. 1996). Pembakaran flaming adalah cahaya oksidasi gas-gas yang dihasilkan dari dekomposisi bahan bakar (Chandler et. al. 1983) sebagai nyala bebas, turbulen dan difusi (Pyne et. al. 1996).

Pada dasarnya, perkembangan kebakaran hutan terdiri dari dua proses yang disebut dengan: penyalaan dan pembakaran. Penyalaan adalah fase transisi antara pra-pemanasan dan fase pembakaran (Pyne et. al. 1996), yang tidak stabil (Chandler et. al. 1983) dan mempunyai suhu antara 204 – 371 oC.

(7)

membentuk karbondioksida (CO2), air dan sejumlah subtansi lain. Dengan kata lain, reaksi ini merupakan reaksi kebalikan dari fotosintesis, dimana CO2, air dan energi matahari berkombinasi memproduksi suatu energi kimia simpanan dn oksigen, seperti yang tergambar di bawah ini :

Reaksi pembakaran

(C6H10O5)n + sumber penyulutan (panas) =======» CO2 + H2O + panas

Reaksi fotosintesis

CO2 + H2O + energi matahari =======» (C6H10O5)n + O2

Tahapan Proses Pembakaran

Adapun beberapa tahapan proses pembakaran dalam pembakaran biomassa adalah sebagai berikut :

Pre-ignition

Pada tahapan ini baha bakar mulai terpanaskan, terdehidrasi (kering) dan mulai terjadi proses pyrolisasi yaitu terjadi pelepasan uap air, CO2 dan gas-gas yang mudah terbakar termasuk methane, methanol dan hydrogen. Dalam proses pyrolisis ini, reaksi berubah exothermic (memerlukan panas untuk melaju) menjadi endothermic (pemanasan sendiri). Sekali terbakar, api akan terus bergerak secara kontinyu dan melakukan dua proses termal yang bersambungan yaitu pyrolisis dan pembakaran.

(8)

oksigen yang terdapat di sekitar bahan bakar. Penyalaan ini menghasilkan fase flaming, ke-dua dari pembakaran.

Flaming Combustion

Reaksi exothermic pada fase ini dapat menaikkan suhu melonjak dari 300 - 800 o C (Ryan dan McMahon, 1976). Pyrolisis melaju dan mempercepat oksidasi dari gas-gas yang menonjol yang dapat terbakar (Debano et al, 1998). Gas-gas yang mudah terbakar dan uap air hasil dari pyrolisis naik ke atas bahan bakar, bercampur dengan O2 dan terbakar selama fase flaming. Panas yang dihasilkan dari reaksi flaming ini mempercepat laju pyrolisis dan melepaskan jumlah gas-gas yang dapat terbakar lebih besar. Api meledak dan benar-benar bergerak mengikuti angin seperti massa dari pembakaran gas dalam fase ini. Volume gas yang mudah terbakar yang dilepaskan dari bahan bakar meningkat dengan menyolok sekali

Smoldering

Fase smoldering biasanya mengikuti flaming combustion (Debano et al, 1998). Berjalan lambat (< 3 cm/jam) pada kebakaran bahwa, pembakaran yang kurang penyalaan menjadi proses pembakaran dominan dalam fase ini. Perlu diketahui bahwa flaming combustion tidak akan terjadi secara keseluruhan dalam bahan bakar seperti duff dan tanah organik (gambut). Smoldering adalah fase combustion permulaan dalam tipe bahan bakar ini. Terdapat dua zona yang

menjadi karakterstik fase smoldering dari pembakaran, 1) suatu zona pyrolisis dengan berkembangnya hasil-hasil pembakaran dan 2) suatu zona arang dengan pelepasan hasil-hasil pembakaran yang tidak tampak.

Partikel hasil emisi selama fase smoldering lebih besar dari partikel pada fase flaming. Istilah emisi faktor digunakan untuk mengkuantifikasikan jumlah partikel atau produk gas-gas yang dilepaskan oleh suatu kebakaran. Ini adalah massa api melalui produk, dalam kg/Mg bahan bakar yang dikonsumsi yang dilepaskan ke dalam atmosfer. Peningkatan secara proporsional smoldering selama flaming combustion meningkatkan dua atau tiga kali jumlah emisi faktor (Debano et al, 1998).

Smoldering biasanya terjadi pada ”fuel bed´ dengan bahan bakar yang

(9)

pada bahan bakar berkayu dapat merangsang smoldering melalui pemisahan zona reaksi dari oksigen atmosfer.

Glowing

Fase glowing adalah bagian akhir dari proses smoldering. Namun, glowing adalah bukan smoldering. Bila suatu kebakaran mencapai fase glowing, sebagian besar dari gas-gas yang mudah menguap yang hilang dan oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan bahan bakar yang mengarang (Debano et al, 1998).

Extinction

(10)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KEBAKARAN

Karakteristik Bahan bakar

Pada dasarnya, karakteristik bahan bakar dikelompokkan ke dalam dua kategori (Pyne et al. 1996): sifat bahan bakar intrinsik dimana mencakup kimia bahan bakar, kerapatan dan kandungan panas dan sifat ekstinsik meliputi kelimpahan relatif dari berbagai ukuran komponen bahan bakar, fraksi yang mati (fraction dead) dan kekompakan bahan bakar. Di hutan tropis, karakteristik

bahan bakar bervariasi antar tempat dan waktu. Hutan gambut berkayu merupakan bahan bakar yang baik karena mengandung nilai kalor sangat tinggi atau kapasitas panas. Disamping itu, pembangunan hutan tanaman dengan spesies eksotik seperti Acacia mangium, Gmelina arborea dan Eucalyptus bisa menyumbangkan pertambahan resiko kebakaran, khususnya selama musim kering karena akan terjadi muatan bahan bakar yang tinggi di lantai hutan.

Kadar Air Bahan Bakar

Kadar air bahan bakar sebagai kandungan air pada partikel bahan bakar (Chandler et.al. 1983, Pyne et. al. 1996) adalah faktor terpenting yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan (De Ronde, et. al.), dimana begitu jelas dan nyata mempengaruhi tingkat kebakaran khususnya daya nyala bahan bakar hutan (Artybashev 1983). Selain itu, kandungan air yang lebih tinggi pada bahan bakar yang lebih tinggi panasnya dibutuhkan untuk melepaskan uap air sebelum bahan bakar dimakan api. sehingga, tingkat kebakaran dan daya nyala bahan bakar akan berkurang. Oleh karena itu, kadar air bahan bakar dapat digunakan pada peramalan perilaku api (Chandler et.al 1983a) sebagai respon bahan bakar terhadap perubahan faktor-faktor lingkungan seperti presipitasi, kelembaban dan suhu (De Ronde et. al.)

(11)

Kadar air bahan bakar semata-mata merespon kondisi lingkungan luar bahan bakar dan sangat penting dalam menentukan potensi kebakaran. Kadar air bahan bakar berhubungan dengan keseimbangan kadar air dan time lag. Oleh karena itu, kadar air bahan bakar mati digolongkan sebagai time lag. Bahan bakar ‘time lag’ adalah sebanding dengan diameternya dan kehilangannya didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan partikel bahan bakar untuk mencapai 2/3 dari dirinya untuk menyeimbangkan dengan lingkungan lokalnya (USDA Foret Service, 2001).

Kadar air bahan bakar yang hidup adalah air yang terdapat pada rerumputan, paku-pakuan, semak, belukar, dan pohon. Bahan bakar hutan hidup yang haluis menunjukkan kisaran yang lebar dalam respon waktu untuk kondisi kadar airnya. Respon waktu bervariasi dari yang lebih kecil dari satu jam untuk rerumputan dan lumut hingga lebih dari 24 jam untuk daun konifer (Anderson, 1985). Selain itu, tingkat kadar air pada tanaman hidup dikontrol secara dominan oleh proses fisiologinya. (de Ronde et. al. 1990), kondisi cuaca, kadar air tanah, aspek (arah lereng) dan tahap-tahap tanaman dalam siklus hidupnya (Luke and Mc Arthur, 1978).

Karakteristik Bahan Bakar Lainnya

Kandungan senyawa inorganik menghasilkan sebuah efek katalitik yang menghalangi pembentukan senyawa yang dapat membakar selama Pyrolisis. Pyrolisis adalah degradasi secara termal molekul-molekul tumbuhan sebelum sebelum terjadi pembakaran. Pyrolisis bahan tumbuhan menghasilkan bahan-bahan volatil yang mendukung penyalaan pembakaran. Peningkatan kandungan abu asam tak terurai (abu bebas silika) menurunkan atau meminimalkan reaksi pirolisis bersih yang memudahkan penyalaan pada pembakaran (Broido dan Nielsen, 1964 dalam Saharjo dan Watanabe , 1999)

Menurut Saharjo dan Watanabe (1999), abu bebas silika dapat digunakan sebagai sebuah indikator untuk mengenali bagian semak-semak atau pepohonan yang lebih mudah terbakar. Daun memiliki kandungan yang lebih besar daripada batang dan kandungannya berkisar antara 1.7 dan 11.4% untuk daun dan antara 0.4% dan 7.8 % untuk batang.

(12)

(batang), I. cylindrica (daun), E. pubescens (batang), C. laurifolia (batang), Pterospermum sp. (batang), H. similis (daun), C. hirta (batang), and T. orientalis

(daun dan batang). Pepohonan yang mudah diserang api yaitu : P. falcataria, E uruphylla, C. callothyrsus and P canescens (Saharjo dan Watanabe, 1999).

Faktor Cuaca dan Iklim

Iklim dan atau cuaca adalah salah satu unsur segitiga lingkungan api disamping bahan bakar dan topografi. Cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan pada berbagai cara (Chandler et.al 1983a): menentukan jumlah total ketersediaan bahan bakar, panjang dan kekerasan musim kebakaran, mengatur kadar air dan daya nyala bahan bakar hutan yang mati, berpengaruh tidak langsung pada penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan.

Chandler et. al (1983) menyatakan bahwa cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan dengan berbagai cara yang saling berhubungan yaitu :

1. iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia 2. iklim menentukan jangka waktu dan kekerasan musim bakaran

3. cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar 4. cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan

Menurut Fuller (1991), karena cuaca sangat mempengaruhi bagaimana, dimana dan kapan kebakaran hutan dapat terjadi, pengendali kebakaran menyebutnya sebagai cuaca kebakaran (fire weather) yaitu sifat-sifat cuaca yang mempengaruhi terjadinya kebakaran. Seperti cuaca panas yang kering disertai dengan angin ribut, badai dan petir akan menyebabkan kebakaran.

(13)

Topografi

Menurut Saharjo (2000), dampak lereng pada satu daerah yang terbakar adalah sama dengan dampak angin. Penjalaran api dibawa hingga mendekat kepada permukaan akibatnya pra-pemanasan bahan bakar berlangsung lebih cepat terhadap bahan bakar yang berdekatan dengan muka api. Dampak penting lain dari topografi adalah interaksinya dengan iklim lokal dan kelompok kecil dari komunitas tanaman. Api yang bergerak menaiki lereng dapat diharapkan untuk terbakar dengan cepat dan dengan intensitas yang tinggi.

(14)

HUBUNGAN IKLIM MIKRO DAN PERILAKU KEBAKARAN HUTAN

Radiasi Matahari

Waktu mempengaruhi kebakaran hutan yaitu melalui proses pemanasan bahan bakar yang dipengaruhi oleh raduasi matahari yang berfluktuasi dalam sehari semalam. Suhu maksimum dicapai pada tengah hari sedangkan suhu minimum tercapai pada saat menjelang matahari terbenam dan dini hari (Schroeder dan Buck, 1970).

Fuller (1991) menyatakan bahwa perbedaan pemanasan matahari pada permukaan bumi berperan dalam variasi iklim yang memberikan kontribusi pada bahaya kebakaran hutan. Penyinaran matahari, selain memanaskan permukaan bumi juga memanaskan lapisan udara dibawahnya. Pemanasan udara menimbulkan perbedaan tekanan udara yang menyebabkan terbentuknya pola pergerakan angin sehingga angin akan bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah.

Radiasi surya adalah sumber energi (Lockwood, 1979) yang mempengaruhi pemanasan bahan bakar. Sinar matahari yang tegak lurus lebih dekat, lebih besar efek pemanasannya (Chandler et.al. 1983a) dimana radiasi surya maksimum (pemanasan matahari) terjadi pada tengah hari yang menyebabkan suhu udara maksimum, sedangkan radiasi surya minimum terjadi pada waktu matahari tenggelam.

(15)

Suhu Udara

Suhu sangat kuat mempengaruhi perubahan kadar air pada bahan bakar hutan (de Ronde et al. 1990). Suhu yang tinggi membantu pengeringan bahan bakar dengan cepat. Bahan bakar terpapar sinar matahari menjadi lebih hangat dari pada udara sekitarnya dan secara signifikan mengurangi energi panas yang dibutuhkan untuk penyalaan (Brown and Davis, 1973).

Suhu bahan bakar adalah salah satu faktor yang menentukan kemudahannya untuk terbakar dan tingkat terbakarnya. Suhu dicapai dengan penyerapan radiasi matahari secara langsung dan konduksi dari lingkungan termasuk udara yang meliputinya. Suhu udara merupakan faktor yang selalu berubah dan mempengaruhi suhu bahan bakar serta kemudahannya untuk terbakar (Chandler et. al. 1983).

Menurut Young dan Giesse (1991), suhu udara merupakan faktor cuaca penting yang menyebabkan kebakaran Suhu udara secara konstan merupakan faktor yang berpengaruh pada suhu bahan bakar dan kemudahan bahan bakar untuk terbakar.

Menurut Saharjo (1997), pada pagi dengan suhu yang cukup rendah sekitar 200 C ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada satu titik. Sementara siang hari dengan suhu 30-350 C, berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-ubah karena pengaruh angin.

(16)

Kelembaban Udara

Kelembaban udara berasal dari evaporasi air tanah, badan air dan transpirasi tumbuh-tumbuhan. Ketika kandungan air di udara sama dengan besarnya penguapan air, maka terjadilah kondisi jenuh udara. Umumnya kandungan air di udara lebih kecil dari penguapan yang terjadi, dan kondisi ini disebut udara tak jenuh. Para ahli meteorologi menggambarkan kelembaban udara sebagai Relative Humidity (Kelembaban Relatif) yang didefinisikan sebagai rasio antara kandungan air dalam udara pada suhu tertentu dengan kandungan air maksimum yang dapat dikandung udara pada suhu dan tekanan yang sama (Fuller, 1991).

Menurut Suratmo (1985), cuaca atau iklim merupakan faktor yang sangat menentukan kadar air bahan bakar hutan, terutama peranan air hujan. Di dalam musim kering kelembaban udara sangat menentukan kadar air bahan bakar.

Menurut Saharjo (1997), kelembaban relatif yang tinggi di pagi hari yaitu sekitar 90-95% ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat titik api tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada sati titik. Sementara pada siang hari dengan kelembanan relatif 70-80% dan kadar air bahan bakar cukup rendah (<30%) membuat proses pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-ubah karena pengaruh angin (Saharjo, 1997).

Hasil yang diperoleh Udiputra (2003) menunjukkan bahwa terjadi penurunan kecepatan pembakaran dengan semakin meningkatnya kadar air gambut (0-117,39%). Semakin besar kadar air, proses pembakaran akan menurun akibat panas yang menurun, panas tidak mampu menguapkan air dan menguraikan bahan kimia gambut atau bahan-bahan lain sehingga konduktivitas panas gambut menjadi berkurang hingga proses penyalaan pun terhenti.

(17)

pembakaran, karena semakin tidak sempurna pembakaran akan menaikkan konsentrasi emisi gas rumah kaca (Levine, 1994).

Presipitasi

Air yang dikandung udara berada dalam tiga wujud, yaitu sebagai uap air tidak terlihat dan bereaksi seperti gas lain, sebagai cairan yang berbentuk tetesan pada berbagai ukuran, sebagai padatan berbentuk kristal-kristal es yang jatuh sebagai salju, hujan batu es, hujan bercampur es atau salju (Chandler et. al. 1983).

Penelitian Triani (1995), yang mengadakan penelitian di KPH Banyuwangi selatan menunjukkan hasil perhitungan indeks kekeringan berkisar 0-800 (menurut Kingston dan Ramadhan). Pada bulan dengan sedikit curah hujan, indek kekeringan cukup tinggi, sebaliknya pada bulan dengan curah hujan tinggi, indek kekeringan rendah, bahkan mencapai angka nol. Hal ini menunjukkan bahwa curah huajan mempengaruhi kadar air bahan bakar.

Hal yang sama juga dijelaskan Syaufina (1988), bahwa di Semarang, Jawa Tengah, puncak kebakaran hutan terjadi pada bulan Agustus dan September. Data observasi selama 5 tahun menunjukkan bahwa kebakaran hutan meningkat seiring dengan menurunnya curah hujan dan puncak kebakaran hutan terjadi pada bulan-bulan tanpa curah hujan dan puncak kebakaran hutan terjadi pada bulan-bulan tanpa curah hujan. Pada saat itu, tanaman jati menggugurkan daun-daunnya, sehingga ketersediaan bahan bakar menjadi meningkat dalam jumlah sedangkan kadar iar yang menurun drastis. Kondisi tersebut membuat bahan bakar menjadi lebih mudah terbakar.

Angin

(18)

kemiringan nyala api yang terus merembes pada bagian bahan bakar yang belum terbakar.

Lebih lanjut Deeming (1995), mengemukakan bahwa tiupan angin akan memperbesar kemungkinan membesarnya nyala api dari sumbernya (korek api, obor, kilat dan sebagainya). Sekali nyala api terjadi, maka kecepatan pembakaran, lama penjalaran dan kecepatan perkembangan api akan meningkat dengan membesarnya tiupan angin.

(19)

KESIMPULAN

Terdapat keterkaitan yang kuat antara iklim mikro dan perilaku kebakaran hutan. Keterkaitan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengenali perilaku api berhubungan dengan kecepatan penjalaran api, arah penjalaran dan waktu terjadinya api.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, H.E. 1985. Moisture and Fine Forest Fuel Response. In L. R. Donoghue and R. E. Martin eds., Weather-The Drive Train Connecting the Solar Engine to Forest Ecosystem. Society of American Foresters. Bathesda. USA. Pp. 192 – 199.

Artsybashev, E.S. 1983. Forest Fire and Their Control. K. Badaya Trans, V. Pandit ed., Oxonian Press Pvt., New Delhi, India. 160 pp.

Brown, A. A. and K. P. Davis. 1973. Forest Fire Control and Use. McGraw-Hill Company. New York. USA. 686 pp.

Countryman, C.M. 1975. The Nature Heat. Heat-Its Role in Wildland Fire Part-1. Unnumbered Publication. USDA For.Serv. Pacific Southwest Forestry and Range Experiment Station, California.

Chandler, C., P. Cheney, P. Thomas, L. Trabaud, D. Williams. 1983. Fire in Forestry Vol. I. John Wiley and Sons. Canada. 450pp

De Bano, L. F., D. G. Neary and P. F. Folliot. 1998. Fire’s Effects on Ecosystem. John Wiley and Sons. USA. 330 pp.

De Ronde J.G. Goldammer, D.D. Wade and R.V. Soares. 1990. Prescribed Fire in Industrial Pine Plantation. In J. G. Goldammer ed., Fire in The Tropical Biota. Ecosystem Processes and Global Challenges Ecological Studies 84. Springer-Verlag. Berlin, Germany. pp. 261-272

Deeming, J. E. 1995. Development of a Fire Danger Rating System for East Kalimantan, Indonesia. Integrated Forest Fire Management Project, Samarinda. German Agency for Technical Cooperation and the Ministry of Forestry. Jakarta. Indonesia. 12 pp.

Keetch, J. J. dan G. M. Byram. 1988. A drought Index for Forest Fire control (Revision). USDA Forest Service. Southeastern Forest Experiment Station, Ashville, North California. USA. 32 pp.

Luke, R. H. and A. G. McArthur. 1978. Bushfires in Australia. Australian Goevrnment Publishing Service. Canberra. Australia. 359 pp

Lockwood, J.G. 1979. World Climatology An Environmental Approach. Whitstable. Kent. 330 pp.

Perry, D. G. 1990. Windland Firefighting : Fire Behaviour, Tactics and Command. Fire Publications. USA. 412 pp.

Pyne, S.J., P.L. Andrews dan R.D. Laven. 1996. Introduction to Wildland Fire. John Wiley and Sons Inc. New York. 769 pp

(21)

Annual Meeting of The Air Pollution Control Association, Portland. Oregon.Paper Number 76-2.3.

Rieley, J. O. dan B. Setiadi. 1997. Role of Tropical Peatlands in Global Carbon Balance : Preliminary Findings from The High Peat of Central Kalimantan, Indonesia. In Pengelolaan Gambut Berwawasan Lingkungan. ALAMI Vol. 2 No. 1. Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta, Indonesia. pp 52-56.

Saharjo B.H. 1997. Mengapa Hutan dan lahan terbakar. Harian Republika 29 September 1997.

Saharjo, B. H. 1999. Study on Forest Fire Prevention for Fast-Growing Tree Species Acacia mangium Plantation in South Sumatera, Indonesia. Doctoral Thesis of Faculty of Agriculture. Kyoto University. Japan. 107 pp.

Saharjo, B.H. 2001. Manajemen Penggunaan Api dan Bahan Bakar dalam Penyiapan Lahan. Makalah Pelatihan Pengendalian Kebakaran Hutan. Bapedal. Jakarta.

Schroeder, M.J. dan C.C. Buck. Fire Weather. A Guide for Application of Meteorological Information to Fire Control Operations. U.S. Department of Agricultural Forest Service. Agricultural Handbook 360. Washington.

Soares R. V. and O. B. SaMPAIO 2000. wILDFIREoCCURENCE IN A Forest District and Other Brazilian Protected Areas. In Proceedings of Forests and Society: The Role of Research. Poster Abstracts Vol. III. XXI IUFRO World Congress. Kual Lumpur 7 – 12 Agustus 2000. Malaysian XXI IUFRI World Congress Organizing Committee. Pp 498.

Syaufina, L. 1988. Pola Penyebaran Kebakaran Hutan Menurut Musim di Jawa Tengah. [Skripsi] Institut Pertanian Bogor Fakultas Kehutanan Jurusan Manajemen Hutan, 110 pp.

Syaufina, L. 1998. Forest Fire Climate. Unpublished Paper for Special Topic (Unpublished). Faculty of Forestry Universiti Putra Malaysia. Malaysia. 37 pp.

Suratmo, F.G. 1985. Ilmu Perlindungan Hutan. Bagian Perlindungan Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Triani, W. 1995. Keterkaitan Kebakaran hutan dengan Faktor-faktor Iklim di KPH Banyuwangi Selatan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. [Skripsi] Institut Pertanian Bogor. Fakultas Kehutanan. Jurusan Manajemen hutan. Bogor.

Udiputra, N.S.S. 2003. Hubungan Kadar Air dengan Konsentrasi Emisi Gas Rumah Kaca pada Kebakaran Gambut. [Tesis] Institut Peranian Bogor. Sekolah Pascasarjana. Bogor.

USAD Forest Service. 2001. Wildland Assessment System. World wide web version. http;/www.FS.FED.US/LAND/WFAS.

Referensi

Dokumen terkait

Mata kuliah ini disampaikan disemester-2 dan semester-3, tentunya kemampuan mahasiswa untuk dapat mengingat materi statistik yang telah disampaikan, akan mempengaruhi

Terdapat peningkatan kegiatan belajar siswa dengan diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe Pair Check pada mata pelajaran Konstruksi Bangunan kelas X TGB 1 SMKN 1

Namun berdasarkan uji pada kedua kelompok, akupresur kombinasi pada titik LR3, LI4 dan titik Yintang tidak berpengaruh terhadap penurunan intensitas nyeri dismenore pada remaja

Atas anggaran biaya operasional bulanan sebagaimana yang telah disetujui Para Pihak dan telah dituangkan dan dirinci dalam Pasal 4 ayat 1 huruf c Perjanjian ini

Agar TIK dapat meningkatkan proses pembelajaran, diperlukan adanya visi yang jelas, konsensus yang kuat dari pembuat kebijakan di suatu lembaga pendidikan mengenai bagaimana

Berdasarkan urain tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang menitik beratkan pada penilaian manfaat ekonomi hutan bakau di sekitar kawasan Cagar Alam

Tujuan usaha penggemukan domba antara lain untuk memperoleh pertambahan bobot badan yang relatif lebih tinggi dengan memperhitungkan nilai konversi pakan

Pada grafi s nomor 9, narasi tentang evakuasi ini dilanjutkan dengan redaksional sebagai berikut: “Kloter kedua dan ketiga dievakuasi beberapa jam kemudian dan semua