PERBANDINGAN MAKROZOOBENTHOS DI LOKASI
KERAMBA JARING APUNG DENGAN LOKASI YANG
TIDAK MEMILIKI KERAMBA JARING APUNG
SKRIPSI
MUHAMMAD FADLY AGUSTIAN
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
PERBANDINGAN MAKROZOOBENTHOS DI LOKASI
KERAMBA JARING APUNG DENGAN LOKASI YANG
TIDAK MEMILIKI KERAMBA JARING APUNG
SKRIPSI
MUHAMMAD FADLY AGUSTIAN
Skripsi Sebagai Satu diantara Beberapa Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
ABSTRAK
MUHAMMAD FADLY AGUSTIAN. Perbandingan Makrozoobenthos di Lokasi Keramba Jaring Apung dengan Lokasi yang tidak Memiliki Keramba Jaring Apung. Dibimbing oleh HASAN SITORUS dan NURMATIAS.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman makro-zoobentos dan untuk mengetahui hubungan parameter fisika kimia perairan terhadap keanekaragaman makrozoobentos di Perairan Laut Belawan, Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. Parameter kualitas air yang diamati adalah suhu, oksigen terlarut (DO),TOM, dan salinitas. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali dalam tiga stasiun penelitian. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak tiga kali ulangan pada masing-masing stasiun. Analisis regresi digunakan untuk mengetahui hubungan keanekaragaman makrozoobentos dengan faktor lingkungan (fisika dan kimia). Berdasarkan hasil analisis regresi diperoleh bahwa parameter kualitas di lokasi penelitian memiliki hubungan yang kuat dengan indeks keanekaragaman makrozoobenthos, dengan nilai R di lokasi KJA sebesar 0,912 (R2 : 0,840) dan dilokasi Non KJA sebesar 0,764 (R2 : 0,644). Berdasarkan hasil Uji T diperoleh bahwa keanekaragaman makrozoobenthos di lokasi KJA berbeda sangat nyata dibanding lokasi Non KJA.
ABSTRACT
MUHAMMAD FADLY AGUSTIAN. Comparison of Macrozoobenthos Diversity in Floating Cage Nets (KJA) Area and Non KJA Area at Belawan Sea Waters. Supervised By HASAN SITORUS and NURMATIAS.
The objective of study were to determine the diversity index of macrozoobenthos and to analyze the correlation of several water quality parameters to the diversity of macrozoobenthos by suing regression anlysis, and to compare the diversity of macrozoobenthos in floating cages nets (KJA) area with Non KJA area by using T test. The research used survey method and water quality parameters measured were temperature, dissolved oxygen (DO), TOM and salinity. Observations were carried out three times in two research stations. Sampling was conducted three replications at each station. Based on the regression analysis showed that water qualities had significant correlation to diversity index of macrozzoobenthos. The correlation coefficient (R) in the KJA area was 0912 (R2 : 0,840) while in non KJA area was 0,764 (R2 : 0,644). Trough T test showed that the macrozoobenthos diversity was highly significant difference between KJA area and non KJA area.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan, 4 Agustus 1993 dari pasangan
Bapak Drs. Banistril A.k dan Ernawati Habib. Penulis
merupakan anak kedua dari dua orang bersaudara.
Pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis adalah
di SMA Swasta Al-Ulum Medan tahun 2005. Pada tahun
2008, penulis diterima di Universitas Sumatera Utara pada Program Studi
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian melalui Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru Program Studi Baru. Selain mengikuti perkuliahan penulis juga
telah melaksanakan kegiatan praktik kerja lapang di Balai Benih Ikan Di Kota
Binjai tahun 2012.
Untuk menyelesaikan studi di Universitas Sumatera Utara, penulis
menyelesaikan skripsi dengan judul “Keanekaragaman Makrozoobentos di
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas nikmat Nya
sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini dengan baik. Adapun judul skripsi ini
adalah “Keanekaragaman Makrozoobentos di Lokasi Keramba Jaring
Apung Dengan Lokasi yang Tidak Memiliki Keramba Jaring Apung (Studi Kasus Perairan Belawan)”. Skripsi ini disusun sebagai satu dari beberapa syarat mendapat gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung
selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hasan
Sitorus, MS., sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Nurmatias, M.Si.,
sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan
arahan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. Bapak Dr. Ir. Yunasfi,
M.Si., sebagai ketua Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan yang telah
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
Orangtua tercinta Drs. Banistril Agustian A.K dan Ibu Ernawati Habib, serta
keluarga besar yang telah setia mendukung baik dari segi dana maupun semangat
yang diberikan dan mendoakan penulis selama menyelesaikan skripsi ini
penulisan skripsi ini, kepada seluruh rekan-rekan mahasiswa angkatan 2009, staf
pengajar dan pegawai di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan
Dengan selesainya skripsi ini, penulis berharap dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang ilmu Manajemen
Sumberdaya Perairan. Terima kasih.
Medan, Februari 2014
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
RIWAYAT HIDUP ... iii
KATA PENGANTAR ... ... iv
DAFTAR ISI ... ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Kerangka Pemikiran ... 4
Perumusan Masalah ... 5
Tujuan Penelitian ... 6
Manfaat Penelitian ... 6
TINJAUAN PUSTAKA Benthos ... 7
Peranan Benthos ... 8
Makrozoobenthos Sebagai Indikator Pencemaran Lingkungan ... 10
Faktor Lingkungan Perairan ... 11
1. Suhu Air ... 11
2. Oksigen Terlarut ... 12
3. Substrat Dasar ... 12
4. Kedalaman ... 12
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 13
Alat dan Bahan ... 13
Deskripsi Area Stasiun Penelitian ... 13
a. Daerah Keramba Jaring Apung ... 14
b. Dearah Non Keramba Jaring Apung ... 14
Metode Pengambilan Sampel ... 15
Parameter yang Diukur ... 15
Analisis Data ... 16
Hasil Penelitian
Hasil Identifikasi Makrozoobenthos ... 18 a. Daerah Keramba Jaring Apung ... 18 b. Daerah Non Keramba Jaring Apung ... 20 Hubungan Kualitas Air Laut Dengan Keanekaragaman Makrozoobenthos 24 Perbandingan Makrozoobenthos di Lokasi KJA dengan Lokasi Non KJA.. 25 Pembahasan
Identifikasi Makrozoobenthos ... 27 Hubungan Kualitas Air Laut Dengan Keanekaragaman Makrozoobenthos 29 Perbandingan Makrozoobenthos di Lokasi KJA dengan Lokasi Non KJA.. 33
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 36 Saran ... 36
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1 Jenis dan Kepadatan Rata-rata Makrozoobenthos di Lokasi
Keramba Jaring Apung………...
18
2 Jenis dan Kepadatan Rata- rata Makrozoobenthos di Lokasi yang
tidak Memiliki Keramba Jaring Apung……….. 20
3 Parameter Kualitas Air di Lokasi Penelitian………... 24
4 Analisis Regresi Parameter Fisika Kimia Perairan Dengan Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos di Lokasi Non Keramba Jaring Apung………..………...
25
5 Analisis Perbandingan Makrozoobenthos di Lokasi Keramba Jaring Apung dengan Lokasi yang tidak Memiliki Keramba Jaring Apung...
25
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 5
2. Lokasi Keramba Jaring Apung... 14
3. Lokasi Non Keramba Jaring Apung ... 14
4. Jenis-jenis Makrozoobenthos di Lokasi Keramba Jaring Apung .. 19
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman 1. Foto Lokasi Penelitian ... 39
2. Alat dan Bahan Penelitian ... 40
3. Data Lapangan Penelitian ... 41
4. Fisiologi Dan Anatomi Benthos di Daerah Keramba Jaring
Apung ... 42
5. Fisiologi Dan Anatomi Benthos Di Daerah Non Kerambah
Jaring Apug ... 43
ABSTRAK
MUHAMMAD FADLY AGUSTIAN. Perbandingan Makrozoobenthos di Lokasi Keramba Jaring Apung dengan Lokasi yang tidak Memiliki Keramba Jaring Apung. Dibimbing oleh HASAN SITORUS dan NURMATIAS.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman makro-zoobentos dan untuk mengetahui hubungan parameter fisika kimia perairan terhadap keanekaragaman makrozoobentos di Perairan Laut Belawan, Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. Parameter kualitas air yang diamati adalah suhu, oksigen terlarut (DO),TOM, dan salinitas. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali dalam tiga stasiun penelitian. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak tiga kali ulangan pada masing-masing stasiun. Analisis regresi digunakan untuk mengetahui hubungan keanekaragaman makrozoobentos dengan faktor lingkungan (fisika dan kimia). Berdasarkan hasil analisis regresi diperoleh bahwa parameter kualitas di lokasi penelitian memiliki hubungan yang kuat dengan indeks keanekaragaman makrozoobenthos, dengan nilai R di lokasi KJA sebesar 0,912 (R2 : 0,840) dan dilokasi Non KJA sebesar 0,764 (R2 : 0,644). Berdasarkan hasil Uji T diperoleh bahwa keanekaragaman makrozoobenthos di lokasi KJA berbeda sangat nyata dibanding lokasi Non KJA.
ABSTRACT
MUHAMMAD FADLY AGUSTIAN. Comparison of Macrozoobenthos Diversity in Floating Cage Nets (KJA) Area and Non KJA Area at Belawan Sea Waters. Supervised By HASAN SITORUS and NURMATIAS.
The objective of study were to determine the diversity index of macrozoobenthos and to analyze the correlation of several water quality parameters to the diversity of macrozoobenthos by suing regression anlysis, and to compare the diversity of macrozoobenthos in floating cages nets (KJA) area with Non KJA area by using T test. The research used survey method and water quality parameters measured were temperature, dissolved oxygen (DO), TOM and salinity. Observations were carried out three times in two research stations. Sampling was conducted three replications at each station. Based on the regression analysis showed that water qualities had significant correlation to diversity index of macrozzoobenthos. The correlation coefficient (R) in the KJA area was 0912 (R2 : 0,840) while in non KJA area was 0,764 (R2 : 0,644). Trough T test showed that the macrozoobenthos diversity was highly significant difference between KJA area and non KJA area.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi
sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dikembangkan guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Luas perairan Indonesia mencapai 5,8
juta km2 yang merupakan 75% dari seluruh wilayah, yang terdiri atas perairan
nusantara 2,8 juta km2, perairan laut teritorial 0,3 juta km2, dan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km2 (Departemen Kelautan dan Perikanan,
2001). Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai
wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai
sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis
karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat
dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi
cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya pesisir dan laut
menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara
langsung karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam
kegiatan ekonomi seperti perikanan tangkap, budidaya laut, wisata bahari dan jasa
lingkungan laut lainnya.
Perikanan merupakan salah satu sektor andalan penting Indonesia dalam
meningkatkan devisa negara. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya departemen
tersendiri yaitu Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tahun 2004.
Kelebihan sektor perikanan dibandingkan dengan sektor lainnya adalah
budidaya. Selain itu, perikanan menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga
keberadaannya dapat dirasakan sebagian besar masyarakat Indonesia. Penguasaan
teknik yang menyeluruh mengenai budidaya ikan merupakan kunci dari
keberhasilan dari usaha itu sendiri. Penguasaan ini meliputi faktor internal
mengenai biologi dan kebiasaan hidup ikan kerapu yang dipelihara, serta beberapa
faktor eksternal seperti teknik budidaya, pakan, lingkungan perairan, serta hama
dan penyakit ikan (parasit).
Pemantauan kualitas perairan yang kontinyu merupakan faktor eksternal
lain yang menentukan keberhasilan budidaya. Hal ini disebabkan oleh keterkaitan
yang erat antara lingkungan perairan dengan timbulnya penyakit (parasit) pada
ikan yang dipelihara. Dalam hal ini faktor kimia air berupa pH, ammoniak, dan
kandungan nitrit perlu diteliti. Karena dalam kondisi yang tidak berimbang di
perairan dapat menyebabkan ikan mudah terserang penyakit (parasit).
Penyakit (parasit) diketahui sering menjadi penyebab utama kegagalan
budidaya ikan pada umumnya. Pencegahan merupakan alternatif terbaik
dibandingkan pengobatan. Salah satu cara untuk mencegah terjangkitnya ikan
kerapu oleh penyakit (parasit) adalah dengan pemantauan kualitas perairan di
lokasi beserta komponen-komponen pendukungnya. Timbulnya serangan penyakit
merupakan hasil interaksi yang tidak sesuai antara hospes, kondisi lingkungan,
serta organisme penyebab penyakit (Afrianto dan Liviawaty, 1992).
Akibat dari interaksi yang tidak serasi tersebut dapat menimbulkan stress
pada ikan yang selanjutnya menyebabkan mekanisme pertahanan tubuh tidak
bekerja secara optimal dan pada akhirnya infeksi maupun infestasi penyakit
merupakan racun bagi ikan karena dapat menghambat daya serap hemoglobin
darah terhadap oksigen dan ikan akan mati karena sesak napas (Mulyanto, 1992).
Pada perairan laut, tingkat toksisitas ammoniak 30% lebih rendah dibandingkan
dengan lingkungan air tawar (Willoughby, 1999).
Perairan laut Belawan merupakan lokasi pelabuhan laut terbesar di bagian
barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan, berhadapan dengan Selat
Malaka dengan lalu lintas pelayaran yang padat. Selain itu laut Belawan juga
digunakan sebagai alur transportasi pengangkutan hasil penangkapan ikan oleh
nelayan baik dalam skala kecil maupun skala besar. Hal ini mengakibatkan laut
Belawan sangat rawan terhadap pencemaran minyak dari aktivitas kapal tersebut.
Di sisi lain, perairan laut belawan sebagai bagian dari perairan Selat
Malaka juga menjadi tempat penangkapan ikan pelagis dan demersal. Adanya
kecenderungan penurunan hasil tangkapan ikan pelagis per unit upaya,
mendorong nelayan semakin mengembangkan usaha penangkapan ikan demersal
khusunya jenis kerang-kerangan, dan mengembangkan usaha budidaya laut.
Pengembangan kegiatan budidaya laut sesuai program Agromarinepolitan
Propinsi Sumatera Utara tahun 2010, menetapkan Belawan sebagai salah satu
lokasi program dengan sasaran meningkatkan produksi perikanan dan sekaligus
langkah pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang dalam
rangka mengimbangi pemanfaatan sumberdaya laut dengan cara penangkapan.
Usaha budidaya perairan diharapkan menjadi salah satu bentuk pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya perairan yang berwawasan lingkungan.
Kegiatan ini telah mendorong peningkatan unit kegiatan budidaya laut
ekonomis. Di lokasi yang sama kegiatan pemanfaatan hasil perairan berupa jenis
kerang masih tetap berlangsung hingga saat ini. Ada dugaan, perkembangan
kegiatan budidaya laut tersebut memberikan dampak terhadap kegiatan perikanan
demersal, bisa positif dan bisa dampak negatif, karena budidaya laut dipastikan
menghasilkan limbah organik terutama dari sisa pakan yang bisa mengendap di
dasar perairan, yang dapat mempengaruhi kehidupan makrozoobenthos sebagai
komoditi perikanan demersal. Oleh sebab itu, informasi tentang struktur
komunitas makro zoobenthos di lokasi keramba jaring apung perlu diteliti untuk
melihat dampak pengembangan budidaya laut di perairan laut Belawan dan
dibandingkan dengan lokasi yang tidak ada kegiatan budidaya laut. Bentos
merupakan kelompok organisme yang hidup di dalam atau di permukaan sedimen
dasar perairan, dan memiliki sifat kepekaan terhadap beberapa bahan pencemar,
mobilitas yang rendah, dan mudah ditangkap (Koesoebiono, 2002). Gangguan
perairan laut akibat kegiatan manusia dan perkembangan industri yang pesat di
sepanjang wilayah pesisir adalah karakterisitik umum di Indonesia, sebagaimana
terjadi di wilayah pesisir dan laut Belawan.
Kerangka Pemikiran
Perairan laut Belawan yang berada di Kecamatan Medan Belawan,
Provinsi Sumatera Utara banyak digunakan oleh masyarakat setempat
Pengembangan kegiatan budidaya laut akan mempengaruhi faktor fisik-kimia
perairan dan struktur komunitas/keanekaragaman makrozoobentos di lokasi
keramba jaring apung daerah laut Belawan.
Sampai saat ini belum diketahui bagaimanakah struktur komunitas
apung di daerah Laut Belawan dan apakah ada korelasi faktor fisik kimia perairan
dengan struktur komunitas makrozoobenthos di lokasi perairan tersebut. Kerangka
pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1
Aktivitas Manusia
Keramba Jaring Apung Non Keramba jarring Apung
Limbah Organik
Faktor Fisika Kimia Perairan
Kualitas Air
Keanekaragaman Makrozoobentos
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian
Perumusan Masalah
1. Bagaimana keanekaragaman makrozoobenthos yang terdapat perairan laut
Belawan yang berada di Kecamatan Medan Belawan, Provinsi Sumatera
Utara ?
2. Bagaimana keanekaragaman makrzoobenthos dikaitkan dengan faktor fisik-
kimia perairan yang terdapat pada perairan laut Belawan yang berada di
Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara ?
1. Mengetahui struktur komunitas makrozoobentos pada lokasi keramba jaring
apung dan daerah yang tidak ada keramba jaring apung.
2. Mengetahui korelasi faktor fisik kimia perairan dengan keanekaragaman
makrozoobentos.
Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi mengenai keanekaragaman makrozoobentos yang
selanjutnya dapat digunakan sebagai data dasar dalam implementasi
marinepolitan untuk kegiatan budidaya laut berkelanjutan di perairan laut
Belawan.
2. Memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya maupun instansi yang
membutuhkannya
Hipotesis
1. Terdapat perbedaan keanekaragaman makrozoobentos di lokasi keramba
jarring apung dan lokasi tidak ada keramba jaring apung di perairan laut
Belawan.
2. Ada korelasi faktor fisik kimia perairan dengan keanekaragaman
TINJAUAN PUSTAKA
Benthos
Bentos merupakan kelompok organisme yang hidup di dalam atau di
permukaan sedimen dasar perairan. Bentos memiliki sifat kepekaan terhadap
beberapa bahan pencemar, mobilitas yang rendah, mudah ditangkap dan memiliki
kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam
keseimbangan suatu ekosistem perairan dapat menjadi indikator kondisi ekologi
terkini pada kawasan tertentu (Nyabakken,1992).
Bentos merupakan organisme yang hidup dibagian dasar perairan atau
hidup didasar endapan (demersal). Komunitas fauna bentik ini terdiri dari empat
kelompok yaitu Mollusca, Polychaeta, Crustaceae dan Echinodermata.
Keberadaan bentos dibentuk dari sifat fisik lingkungannya yang berbeda-beda
sehingga terjadi kelompok-kelompok biota (Brotowidjoyo, 1990).
Organisme dasar perairan (benthic organism) dapat digunakan sebagai
indikator stabilitas lingkungan perairan. Ekosistem perairan dengan tingkat
keragaman jenis yang tinggi akan lebih stabil dan kurang terpengaruh oleh
tekanan dari luar dibandingkan dengan ekosistem dengan keragaman yang rendah
(Odum, 1995). Keragaman jenis merupakan parameter yang sering digunakan
untuk mengetahui tingkat kestabilan yang mencirikan kekayaan jenis dan
keseimbangan suatu komunitas. Menurut Widodo (1997), faktor-faktor yang
mempengaruhi keragaman jenis dan dominasi antara lain kerusakan habitat alami,
Peranan Benthos
Bentos memegang peranan yang penting dalam komunitas perairan, terutama
dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan organik. Selain itu dalam
rantai makanan, hewan bentos menempati tingkat rantai makanan (tropik-level)
kedua dan ketiga. Sebagai konsumer tingkat pertama, hewan bentos terdiri dari
pemakan tingkat tinggi dan sebagai konsumer kedua, hewan bentosa hanya bisa
memangsa zooplankton atau sesame hewan bentos lainnya (Dahuri, Ginting dan
Sitepu,1996).
Menurut (Widyastuti, 1983 dalam Rosmiati, 1998), bahwa komposisi
makrozoobentos meliputi keanekaragaman jenis, keseragaman dan kelimpahan
relative serta hubungannya dengan kualitas suatu perairan. Hubungan ini
didasarkan atas kenyataan bahwa tidak seimbang lingkungan akan turut
mempengaruhi kehidupan suatu organisme yang hidup pada suatu perairan
sebagai contoh pengurangan jenis spesies tertentu yang diikuti dengan
melimpahnya jumlah individu yang lain, menunjukan telah tercemarnya suatu
perairan.
Berdasarkan ukuran organisme bentos dikelompokkan yakni makrozoobentos,
jika ukuran tubuhnya > 0,5 mm, hewan meibentos 0,5 mm mikrobentos yang
berukuran < 0,5 mm. Makrobentos sudah dapat diperoleh dengan sedikit rumit,
yaitu dengan menggunakan alat-alat khusus serta dapat diidentifikasi dengan
memakai alat-alat khusus seperti lup dan atau mikroskop (Koendeigh, 1980).
Kelompok organisme yang dominan yang menyusun makrozoobentos adalah
dari kelompok Polychaeta, Crustacea, Echinodermata dan Moluska. Polychaeta
terutama golongan Ostracoda yang umumnya mendiami daerah permukaan.
Molusca biasanya terdiri dari spesies-spesies Bivalvia dan beberapa Gastropoda
yang hidup dipermukaan, serta Echinodermata terutama dari bintang laut atau
bintang ular (Haslindah, 2003).
Bentos seperti organisme yang lain, terbagi dalam beberapa golongan.
Berdasarkan ukuran organisme bentos termasuk dalam golongan makrozoobentos
jika mampunyai ukuran sebesar 0,5 mm (Levington, 1982 dalam Arifin 1997),
selanjutnya (Hutabarat dan Evans 1992) menyatakan bahwa bentos yang
berukuran 1 mm disebut makrobentos. Peranan penting makrozoobentos tersebut
adalah karena mampu mengurai materi-materi organik autokhon dan alokthon,
sehingga memudahkan mikroba-mikroba untuk mengurai organik menjadi materi
anorganik yang merupakan nutrien bagi produsen perairan. Penguraian
materi-materi organik tersebut oleh Hewan Makrobentos dilakukan oleh kelompok :
1. Kelompok dipteral dan plecoptera (shredder), detritivor partikel organik kasar
2. Kelompok ephemeroptera, dipteral dan oligochaeta akuatik (collector) sebagai
detrivor partikel organik halus
3. Kelompok gastropoda dan oligochaeta (scraper) sebagai herbivore tumbuhan
air.
4. Kelompok dipteral, plecoptera dan hirudinea (predator) sebagai karnivor
bentos dalam perairan.
5. Komposisi Substrat dalam Ekosistem Sungai
Keberadaan suatu organisme dalam ekosistemnya tergantung pada keadaan
Makrozoobenthos sebagai Indikator Pencemaran Lingkungan
Wilayah perairan merupakan media yang rentan terhadap pencemaran.
Berbagai jenis pencemar baik yang berasal dari sumber perumahan, industri,
gejala alam, dan lainnya banyak memasuki badan air. Setelah terakumulasi maka
secara langsung ataupun tidak langsung pencemar tersebut akan berpengaruh
terhadap kualitas air (Allard and Moreau, 1987).
Zoobentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya
berada di dasar perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang.
Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea,
Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida. Klasifikasi
benthos menurut ukurannya : Makrobenthos merupakan benthos yang memiliki
ukuran lebih besar dari 1 mm (0.04 inch), contohnya cacing, pelecypod, anthozoa,
echinodermata, sponge, ascidian, and crustacea. Meiobenthos merupakan benthos
yang memiliki ukuran antara 0.1 - 1 mm, contohnya polychaete, pelecypoda,
copepoda, ostracoda, cumaceans, nematoda, turbellaria, dan foraminifera.
Mikrobenthos merupakan benthos yang memiliki ukuran lebih kecil dari 0.1 mm,
contohnya bacteri, diatom, ciliata, amoeba, dan flagellate (Cummins,1975).
Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai
petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke
habitatnya. Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya
perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu karena hewan bentos
terus menerus berada dalam air yang kualitasnya berubah-ubah.Keberadaan
hewan bentos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor
diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber makanan bagi
hewan bentos dan interaksi spesies serta pola siklus hidup dari masing-masing
spesies dalam komunitas. Adapun faktor abiotik adalah
diantaranya: s
dan kimia (COD), serta kandungan nitrogen (N), kedalaman air, dan substrat dasar
(Odum,1993).
Makrozoobentos dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap
perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas
akan memiliki penyebaran yang luas juga. Sebaliknya organisme yang kisaran
toleransinya sempit (sensitif) maka penyebarannya juga sempit.
Makrozoobenthos yang memiliki toleran lebih tinggi maka tingkat kelangsungan
hidupnya akan semakin tinggi. Tingkat pencemaran terhadap perairan dapat
dilihat dengan identifikasi makrozoobenthos yang terdapat di wilayah tersebut
(Koesbiyono, 1978).
Faktor Lingkungan Perairan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan makrozoobentos diantaranya; 1. Suhu Air
Tiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap
perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme perairan.
Hewan laut misalnya hidup dalam batas-batas suhu tertentu ada yang mempunyai
toleransi yang besar terhadap perubahan suhu, disebut bersifat euriterm. Ada pula
yang toleransinya kecil disebut bersifat stenoterm. Hewan yang hidup dizone
terhadap perubahan suhu. Kisaran suhu yang baik bagi kehidupan organisme
perairan adalah antara 18-30oC (Nontji, 2002).
2. Oksigen Terlarut (DO = Dissolved Oxygen)
Oksigen merupakan faktor paling penting bagi organisme air. Semua
tumbuhan dan hewan yang hidup dalam air membutuhkan oksigen yang terlarut
untuk bernafas. Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari udara dan hasil
fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang ada di dalam air. Oksigen dari udara terlarut
masuk dalam air karena adanya difusi langsung dan agitasi permukaan air oleh
aksi angin dan arus turbulen (Suin, 2002).
3. Substrat Dasar
Substrat sangat penting bagi organism yang hidup didasar perairan, baik pada
air yang diam maupun air mengalir. Substrat dapat digolongkan atas substrat
lumpur, substrat lumpur berpasir, dan substrat pasir. Pada umumnya substrat dasar
yang berlumpur lebih disenangi oleh bentos dari pada dasar yang berupa pasir
4. Kedalaman
Pada umumnya beberapa jenis makrozoobenthos dapat ditemukan pada
kedalaman yang berbeda. Kedalaman perairan yang berbeda akan memberi
pengaruh yang berbeda pula terhadap jenis dan kelimpahan makrozoobenthos.
Kebanyakan organisme benthik di danau, penyebarannya lebih besar dari 5%
berada pada kedalaman 10 cm dari permukaan substrat, pada perairan yang
mempunyai arus relatif sama. Pennak (1978) menyatakan bahwa spesies dari
Gastropoda lebih menyukai perairan sungai dan danau pada kedalaman kurang
dari 3 m dan hal ini berhubungan dengan kelimpahan makanan yang ada pada
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di perairan laut Belawan, Kota Medan
mulai bulan Mei – Juli 2013. Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu penelitian
di lapangan yang meliputi pengambilan sampel dan pengukuran parameter
fisika-kimia yang secara insitu. Analisis parameter kualitas air dilaksanakan di
Laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Pengendalian Penyakit
(BTKLPP) Kelas 1 Medan di Jalan K.H.Wahid Hasyim No 15 Medan (lampiran
1).
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah : Eckman Grab untuk
pengambilan benthos, pH meter, DO meter, botol sampel 500 ml dan
perlengkapan titrasi. Bahan yang dipakai dalam penelitian adalah reagent untuk
analisis kualitas air, bahan preservasi sampel benthos yakni lugol dan formalin
kadar 4 % dan alkohol 70 % (Lampiran 2).
Deskripsi Stasiun Pengamatan
Penelitian ini dilakukan di perairan Belawan yang ditempatkan pada dua tempat yaitu daerah keramba jaring apung dan daerah yang tidak memiliki
keramba jaring apung dengan pengulangan tiga kali ulangan pada setiap bulanya.
Pada daerah ini masyarakat memanfaatkan air laut untuk kebutuhan hidup
mereka salah satunya air laut dimanfaatkan sebagai pembudidayaan keramba yang
berisi ikan-ikan kerambah seperti ikan kerapu, nila dll. Dimana pada daerah ini
masyarakat membatasi air laut agar air laut masuk ke keramba jarin apung
tersebut sehinga tempat ini sangat berdekatan dengan rumah masyarakat sekitar
(Gambar 2).
Gambar 2. Lokasi Keramba Jaring Apung
b. Daerah Non Keramba Jaring Apung
Pada daerah ini tempatnya berdekatan dengan pusat transportasi laut dan
daerah pemukiman penduduk (Gambar 3).
Pengambilan sampel kualitas air dan benthos dilakukan pada 3 titik di
lokasi perairan keramba jaring apung dan lokasi tidak ada keramba jaring apung
secara bersamaan setiap bulan selama 3 bulan. Sampel benthos diambil dengan
peralatan Eckman Grab. Sampel yang diambil disortir dengan menggunakan Hand
Sortir Method kemudian dibersihkan dengan air dan direndam dengan formalin
4% selama 1 hari, kemudian dicuci dengan menggunakan akuades dan dikering
anginkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi alcohol 70%
sebagai pengawet lalu diberi label. Sedangkan sampel air laut menggunakan botol
sampel 500 ml dan botol gelap.
Parameter yang Diukur
Dalam penelitian ini, parameter yang diukur adalah :
1) Parameter fisika air : suhu, kedalaman dan kecepatan arus
2) Paramter kimia air : pH, DO, TOM, dan salinitas
3) Indeks Nilai Penting (INP) & Indeks Diversitas (Diversity Index/DI) Benthos.
Indeks Nilai Penting dihitung dengan menggunakan rumus (Odum, 1995) sebagai
berikut :
N
ni
INP
=
,dimana :
ni : jumlah setiap jenis benthos ke-i
N : jumlah keseluruhan benthos
∑
−
=
sN
ni
N
ni
DI
1
ln
Kriteria :
DI < 1, komunitas tidak stabil (dampak negatif berat)
1< DI < 2, komunitas moderat (dampak negatif ringan)
DI > 2, komunita baik (tidak ada dampak negatif)
Analisis Data
Untuk mengetahui apakah keragaman komunitas benthos di lokasi keramba
jarring apung dan lokasi yang tidak ada keramba jarring apung berbeda atau tidak,
maka digunakan uji t pada taraf nyata 0,05 dan 0,01. Bila varian kedua data (INP)
di kedua lokasi perairan berbeda, maka rumus uji t yang digunakan (Steel and
Torrie, 2003) adalah :
t =
Derajat bebas dF (degrre of freedom) dihitung dengan rumus sebagai berikut :
df =
Untuk menentukan apakah varian sama atau beda, maka digunakan rumus
sebagai berikut :
dfa = na – 1 dan dfb = nb - 1
Bila nilai P > α, maka varian sama, namun bila nilai P ≤ α, berarti variannya
berbeda. Bila variannya ternyata sama, maka uji t yang digunakan sebagai berikut:
t = ; df = na + nb – 2
Dimana Sp :
Ketrangan :
Xa = Rata-rata INP di lokasi KJA
Xb = Rata-rata INP di lokasi bukan KJA
Sp = Standar Deviasi Gabungan
Sa = Standar Deviasi data INP di lokasi KJA
Sb = Standar Deviasi data INP di lokasi bukan KJA
na = banyaknya jenis benthos di lokasi KJA
nb = banyaknya jenis benthos di lokasi bukan KJA
Untuk mengetahui korelasi antara paramter kulitas air : suhu (X1), DO (X2),
TOM (X3) dan salinitas (X4) dengan Indeks Diversitas ( ) benthos, maka
dilakukan análisis regressi linier berganda dengan model :
j
= β
0+ β
1X
1+ β
2X
2+ β
3X
3+ β
4X
4+ ε
jUntuk mengetahui koefisien korelasi parsial antar peubah dan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
A. Identifikasi Makrozoobentos
Hasil penelitian yang dilakukan pada dua daerah yaitu daerah keramba
jarring apung dan daerah yang tidak memiliki keramba jarring apung di lokasi
penelitian selama 3 kali pengambilan sampel teridentifikasi.
a. Daerah Keramba Jaring Apung
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, jenis makrozoobenthos di
lokasi Keramba Jaring Apung (KJA) ditemukan 5 spesies dengan kepadatan
populasi tertinggi pada jenis Vexillum ebonus yakni 3.000 individu/m2 dan
[image:32.595.114.348.445.570.2]kepadatan terendah pada jenis Ilyanossa obsolete yakni 5 individu/m2 (Tabel 1).
Tabel 1. Jenis dan Kepadatan Rata-rata Makrozoobenthos di Lokasi Keramba Jaring Apung
Spesies Individu/m²
Chantharus asimilis 50
Ilyanossa obsolete 5
Monodonta Penctulata 15
Vexillum ebonus 3000
weakly cut nerite 8
Ciri-ciri morfologi dari Makrozoobenthos di lokasi keramba jaring apung
dapat di lihat pada gambar di bawah ini. Sedangkan pada fisiologi dan anatomi
Chantharus Asimilis Ilyanosa Obsolute
Monodonta Penetulata
[image:33.595.123.506.84.544.2]
Vexillum Ebonus Weakly Cutnarite
Gambar 4. Jenis-jenis Makrozoobenthos di Lokasi Keramba Jaring Apung.
b. Daerah Non Keramba Jaring Apung
Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi Non Keramba Jaring, ditemukan
sebanyak 29 jenis makrozoobenthos, dengan kepadatan tertinggi pada jenis
Barbatia candida sebanyak 15 individu/m2, disusul Colus stimposoni sebanyak
Tabel 2. Jenis dan Kepadatan Rata- rata Makrozoobenthos di Lokasi yang tidak Memiliki Keramba Jaring Apung
No Spesies Individu/m²
1. Anachis sanfelipensis 3
2. Barbatia reereana 2
3. Cerithum dialecum 1
4. Colus stimposoni 10
5. Cymatium kiennsis 4
6. Cymatium subdistartum 4
7. Glycymeris muskatensis 4
8. Glacymeris reevei 1
9. Haliotis laevigata 2
10. Haliotis queketti 4
11. Hastula lanceata 4
12. Holiotis melculus iradela 4
13. Leptopecten latiaratus 4
14. Linatella cingulata 2
15. Murex carbonier 1
16. Narita funiculate 1
17. Natica filose 1
18. Natica tigrina 2
19. Nisso hendersoni 2
20. Patinopeeten yessoensis 2
21. Perten maximus 1
22. Polished narite 1
23. Prothalotia puleberma 1
24. Selender strombia 1
25. Strombus labiatus 3
26. Stromus urceus 1
27. Telescopium telescopium 4
28. Terebra montogemetri 2
Dari hasil identifikasi terhadap kepadatan makrozobenthos di lokasi yang
tidak memiliki keramba jaring apung memiliki populasi yang sedikit dengan
keanekaragaman spesies yang banyak dimana jumlah total spesies sebanyak 29
spesies. Hal ini sangat berbeda secara signifikan dengan lokasi di daerah keramba
jaring apung, maka diperoleh ciri-ciri morfologi dapat dilihat pada gambar
dibawah ini. Sedangkan pada fisiologi dan anatomi bentuk makrozobenthos dapat
dilihat pada (lampiran 5 & 6).
Anachis sanfelipensis Barbatia reereana
Cerithum dialecum Colus stimposoni
Glycymeris muskatensis Glacymeris reevei
Haliotis laevigata Haliotis queketti
Hastula lanceata Holiotis melculus iradela
Murex carbonier Narita funiculate
Natihca filose Natica tigrina
Perten maximus Polished narite
Strombus labiatus Stromus urceus
Telescopium telescopium Terebra montogemetri
[image:39.595.115.481.55.716.2] [image:39.595.114.285.81.593.2]Barbatia candida
B. Hubungan Kualitas Air Laut dengan Keanekaragaman Makrozoobenthos Hubungan kualitas air sperti suhu (X1), DO (X2), TOM (X3) dan salinitas
dengan indeks Diversitas ( ) benthos, pada dua daerah yang berbedah dapat
dianalisis dengan regresi linier berganda di daerah keramba jaring apung
(Tabel 4) dan di daerah yang tidak memiliki keramba jaring apung keramba jaring
[image:40.595.107.441.273.347.2]apung (Tabel 5).
Tabel 3. Parameter Kualitas Air di Lokasi Penelitian
No Parameter KJA Non KJa
1. Suhu 27 23
2. DO 4.98 5.75
3. TOM 0.75 0.64
4. Salinitas 29.7 31.75
Dari data parameter diatas di ambil nilai rata- rata parameter kualitas air
seperti suhu, DO, TOM dan Salinitas Di mana penghitungan rata- rata di dapat
dari data penghitungan tiap bulanya dari bulan Mei, Juni, dan Juli di lokasi
[image:40.595.109.513.507.605.2]pengamatan.
Tabel 4. Analisis Regresi Parameter Fisika Kimia Perairan Dengan Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos di Lokasi Keramba Jaring Apung
Parameter Komponen Hasil Analisis Regresi
Suhu (X1), DO (X2), TOM (X3) dan
Salinitas (X4)
DI Y = 0.346 - 0,020 X1 + 0,047 X2 - 0,026 X3 - 0,008 X4
R 0,912
R2 0,840
Dari tabel menunjukan bahwa indeks keanekaragaman benthos sebanyak
0.346 sedangkan nilai R= 0.912 dan nilai R² = 0.840.
Tabel 5. Analisis Regresi Parameter Fisika Kimia Perairan Dengan Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos di Lokasi Non Keramba Jaring Apung
Parameter Komponen Hasil Analisis Regresi
TOM (X3) dan Salinitas (X4)
Y = -3877.5 + (0.245) X1 + 0,966 X2 +1.035, X3 +0.194 X4
R 0,7635
R2 0,6435
Dari tabel menunjukan bahwa nilai korelasi antara parameter kualitas air
dengan indeks Keanekaragaman benthos sebesar R = 0.7635 dan nilai R²= 0.6435.
Artinya, indeks keanekaragaman di lokasi Non KJA dapat diterangkan parameter
kualitas air yang diukur (suhu, Do, TOM, salinitas) sebesar 64,35 % dan
selebihnya disebabkan faktor lain.
C. Perbandingan Keanekaragaman Makroozobenthos di Lokasi KJA dan Non KJA
Berdasarkan data jumlah makrozoobenthos yang di peroleh di lokasi
keramba jaring apung dengan lokasi yang tidak memiliki keramba jaring apung di
hitung indeks keanekaragaman dengan mengunakan uji t pada taraf nyata 0,05 dan
[image:41.595.113.517.502.606.2]0,01 maka data hasil perbandingan keanekaragaman sebagai berikut.
Tabel 6. Hasil Uji T Perbandingan Keanekaragaman
Paired Differences
T Df
Sig. (2-tailed) Mean Std. Deviasi Std. Error Mean 95% Confidence Interval
Lower Upper
KJA-Non KJA -2.27667 .22591 .13043 -2.83785 -1.71549 -17.456 2 .003
Nilai terhitung adalah sebesar -17.456 dengan sig 0.003 karena nilai sig
lebih kecil dari 0,01 atau p ≤ α maka hal ini dapat disimpulkan bahwa
perbandingan makrozoobenthos di lokasi keramba jaring apung dengan lokasi
Pembahasan
A. Identifikasi Makrozoobentos
Penelitihan yang dilakukan pada dua daerah yang berbeda dimana
penelitihan ini dilakukan selama 3 kali pengambilan sampel pada tiap bulannya
teridentifikasi jumlah di daerah wilayah keramba jaring apung sangat berbeda
populasi keragamanya dimana pada daerah kerambah jumlah populasi
makroozobenthos sangat padat populasinya. Hal ini sangat berbeda jauh dengan
lokasi yang tidak memilki kerambah jarring apung dimana jumlah spesiesnya
sangat banyak jenisnya tetapi populasi yang sangat terbatas.
Pada daerah keramba jarring apung terdapat 5 spesies dengan total
populasi sebanyak lebih dari 3000 Individu/m² makrozoobenthos kepadatan
populasi tertinggi terdapat pada jenis Vexillum ebonus yakni 3.000 individu/m2
dan kepadatan terendah pada jenis Ilyanossa obsolete yakni 5 individu/m2 . hal
ini dapat dinyatakan Vexillum ebonus ini mampu bertahan hidup dan bertoleransi
dengan kadar kualitas air yang sangat buruk. Sedangkan populasi
makrozoobenthos di wilayah yang tidak memiliki keramba jaring apung hanya
terdapat populasi maksimal 10 Individu/m² dengan spesies yang sangat banyak
keanekaragamannya dengan total 29 spesies yang di dapat di lapangan kepadatan
populasi tertinggi terdapat pada jenis Barbatia candida yakni 15 individu/m2 dan
kepadatan hewan makrozoobenthos lainya relatif sama dengan hewan
makrozoobenthos lainnya.
Hal ini disebabkan karena pengaruh kualitas air yang berada di daerah
keramba jaring apung sangat buruk kualitasnya. Seperti dilihat air dikerambah
Individu makrozoobenthos di daerah kerambah sangat banyak hal ini dipengaruhi
oleh bebarapa faktor salah satunya banyaknya sumber unsur hara serta keramba
juga dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan bagi masyarakat jumlah Individu
makrozoobenthos di wilayah tersebut sangat berbeda dengan wilayah yang tidak
memiliki keramba jaring apung dimana spesies lebih banyak ditemukan
dibandingkan Individu keanekragaman makrozoobenthosnya.
Hal ini berpengaruh karena kepekaan benthos terhadap pencemaran yang
disebabkan oleh segala sumber terutama disebabkan oleh bahan organik. Menurut
Hasan (1993) dalam Suroya (1997), adanya kegiatan budidaya ikan dalam jaring
apung dapat meningkatkan kandungan bahan organik secara nyata, tetapi
penungkatan kepadatan jaring apung belum tentu memberikan peningkatan
kandungan bahan organik lebih lanjut secara nyata. Selanjutnya Basmi (1991)
dalam Suroya (1997) menyatakan bahwa kandungan bahan organic di sekitar
kegiatan jaring apung ternyata lebih rendah bila dibandingkan dengan kandungan
bahan organik di lokasi yang jauh dari kegiatan jaring apung.
Menurut Wilhm (1975), pengelompokan benthos berdasarkan kepekaan
terhadap pencemaran yang disebabkan oleh bahan organik, antara lain kelompok
intoleran, fakultatif, dan toleran. Organisme intoleran adalah organisme yang
jarang dijumpai pada perairan yang kaya akan bahan organik. Selain itu
organisme ini tidak dapat beradaptasi bila kualitas perairan menurun, contohnya
adalah kelompok Ephemeroptera, Trichoptera, dan Plecoptera. Organisme
fakultatif adalah organisme yang dapat bertahan hidup pada lingkungan yang
dan Crustacea. Organisme toleran adalah organisme yang sering dijumpai pada
kondisi lingkungan yang berkualitas buruk, contohnya jenis Tubificidae.
Komunitas makrozoobenthos yang hidup dalam substrat tersebut akan
merombak karbon organik menjadi bahan makanan yang digunakan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup (survival rate) dan pertumbuhannya. Di
samping itu, Wood (1987) dalam Yurika (2003) juga menyatakan bahwa jumlah
dan laju pertambahan kandungan bahan organik memiliki pengaruh yang besar
terhadap populasi organisme dasar.
B. Hubungan Kualitas Air Laut dengan Keanekaragaman Makrozoobenthos Berdasarkan tabel 3 diperoleh persamaan regresi dari hasil analisis suhu
(X1), DO (X2), TOM (X3) dan Salinitas (X4) terhadap indeks keanekaragaman
makrozoobentos (Y1) di daerah keramba jaring apung adalah Y1 = 0,346 - 0,020
X1 + 0,047 X2 - 0,026 X3 - 0,008 X4. Sedangkan nilai regresi dari hasil analisis
suhu (X1), DO (X2), TOM (X3) dan Salinitas (X4) terhadap indeks
keanekaragaman makrozoobenthos (Y2) di daerah yang tidak memiliki keramba
jaring apung adalah Y² = -3877.5 (0.245) X1 + 0,966 X2 + 1.035 X3 + 0,194 X4.
Maka persamaan regresi tersebut menggambarkan bahwa apabila nilai
suhu (X1) sebesar – 0,020, maka suhu mempunyai pengaruh negatif terhadap
indeks keanekaragaman makrozoobentos, artinya dengan semakin besarnya suhu
perairan maka indeks keanekaragaman makrozoobentos akan semakin kecil.Dari
data diatas jika dibandingkan antara suhu diwilayah keramba jaring apung dengan
lokasi yang tidak memiliki keramba jaring apung dapat dinyatakan suhu yang baik
keramba jaring apung dimana jumlah suhu di daerah yang tidak memiliki keramba
jaring apung sebesar 0.245. dan dapat dinyatakan suhu yang baik dimana suhu
merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengontrol kehidupan
dan penyebaran organisme dalam suatu perairan. Suhu akan mempengaruhi
aktivitas metabolisme dan perkembangbiakan dari organisme tersebut Perubahan
suhu akan mempengaruhi pola kehidupan dan aktivitas biologi di dalam air
termasuk pengaruhnya terhadap penyebaran biota menurut batas kisaran
toleransinya. Perubahan suhu juga menghasilkan pola sirkulasi dan stratifikasi
yang berperan dalam perairan (Nybakken, 1988).
Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi
pertumbuhannya. Menurut Effendi (2003), aktivitas mikroorganisme memerlukan
suhu optimum yang berbeda-beda. Setiap peningkatan suhu sebesar 10ºC akan
meningkatkan proses dekomposisi dan konsumsi oksigen menjadi 2-3 kali lipat.
Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigan terlarut
sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan
oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan metabolisme dan respirasi
(Effendi, 2003).
Pada nilai DO (X²) di daerah keramba memiliki nilai DO yang sedikit
relatif jika dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki kerambah dan nilai
DO= -0.020 sedangkan di daerah yang tidak memiliki kerambah jaring apung nilai
DO= 0.966. Pada umumnya air pada perairan yang telah tercemar, kandungan
oksigennya sangat rendah. Dekomposisi dan oksidasi bahan organik dapat
suhu sebesar 1ºC akan meningkatkan konsumsi O² sekitar 10% (Brown, 1987
dalam Effendi, 2003).
Oksigen terlarut sangat penting bagi pernapasan hewan benthos dan
organisme-organisme akuatik lainnya (Odum, 1993). Retnowati (2003)
menyatakan bahwa keberadaan O² terlarut di dalam substrat sangat berkurang.
Tingginya kandungan bahan organik dan tingginya populasi bakteri pada sedimen
menyebabkan besarnya kebutuhan akan O² terlarut. Kadar O² terlarut pada
perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/l (Effendi, 2003)
Pada nilai TOM (X³) nilai di daerah keramba memiliki nilai TOM=
-0.026 jika dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki kerambah dimana
nilai TOM= 1.035. Odum (1993) menjelaskan bahwa karakter dasar suatu
perairan menentukan penyebaran makrozoobenthos, dimana masing-masing tipe
tekstur menentukan komposisi jenis makrozoobenthos. Pengendapan partikel
tergantung dari arus, apabila arusnya kuat maka partikel yang mengendap
berukuran besar, tetapi jika arusnya lemah maka yang mengendap di dasar
perairan adalah lumpur halus. Perbedaan ukuran butiran partikel (grain size)
berkolerasi terhadap sirkulasi air yang mengatur kelembaban dan mensuplai O²
serta nutrien.
Menurut Hasan (1993) dalam Suroya (1997), adanya kegiatan budidaya
ikan dalam jaring apung dapat meningkatkan kandungan bahan organik secara
nyata, tetapi penungkatan kepadatan jaring apung belum tentu memberikan
peningkatan kandungan bahan organik lebih lanjut secara nyata. Selanjutnya
di sekitar kegiatan jaring apung ternyata lebih rendah bila dibandingkan dengan
kandungan bahan organik di lokasi yang jauh dari kegiatan jaring apung.
Nybakken (1992) menyatakan bahwa jenis substrat dan ukurannya
merupakan salah satu faktor ekologi yang mempengaruhi kandungan bahan
organik dan distribusi benthos. Kemampuan menjebak bahan organik dalam
sedimen semakin meningkat seiring dengan semakin halusnya substrat.
Sedangkan nilai salinitas (X4) nilai di daerah keramba memiliki nilai
Salinitas= -0.008 jika dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki kerambah
dimana nilai Salinitas= 0.194. Fluktuasi salinitas di perairan pantai umumnya
dipengaruhi oleh pasang surut dan limpasan air sungai, serta pengaruh curah hujan
dan penguapan (Kinne 1964). Selain itu, salinitas juga dapat berpengaruh terhadap
populasi bivalvia dan gastropoda, karena setiap organisme tersebut mempunyai
batas toleransi yang berbeda terhadap tingkat salinitas (Hutabarat & Evans 1995).
Berdasarkan hasil pengolahan data regresi (Lampiran 6) di lokasi keramba
jaring apung diperoleh nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,912 yang
menunjukkan bahwa hubungan antara kualitas air seperti suhu, DO, TOM dan
salinitas terhadap indeks diverstitas (Ý) tergolong kuat. Nilai koefisien
determinasi (R2) yang diperoleh sebesar 0,840 menunjukkan bahwa kualitas air
seperti suhu, DO, TOM dan salinitas memberikan pengaruh sebesar 84 %
terhadap indeks diversitas makrozoobentos sedangkan 16 % lainnya dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain. Sedangkan pada lokasi yang tidak memiliki keramba jaring
apung diperoleh nilai koefisien (R) sebesar 0,7635 yang menunjukan bahwa
hubungan antara kualitas air seperti suhu, DO, TOM dan salinitas terhadap indeks
diperoleh sebesar 0,6435 menunjukan bahwa kualitas air seperti suhu, DO, TOM
dan salinitas memberikan pengaruh besar 65% terhadap indeks diversitas
makrozoobenthos sedangkan 35% lainnya dipengaruhi oleh faktor- faktor lain.
C. Perbandingan Makroozobenthos di Lokasi Keramba Jaring Apung dengan Lokasi yang tidak Memiliki Keramba Jaring Apung.
Dari tabel 5 maupun 6 dapat dilihat perbandingan keanekaragaman
makrozoobenthos di lokasi keramba jaring apung dengan lokasi yang tidak
memiliki keramba jaring apung dimana tabel menunjukan bahwa nilai uji t di
dapat sebesar -17.456 dengan sig 0.003. karena nilai sig lebih kecil dari 0.01 maka
dapat disimpulkan bahwa nilai varian di lokasi daerah keramba jaring apung
dengan lokasi yang tidak memiliki keramba jaring apung berbeda sangat nyata
nilai varianya. Hal ini dapat dinyatakan bahwa perkembangan indeks
keanekaragaman makrozobenthos sangat berpengaruh terhadap faktor korelasi
perairan seperti Suhu, DO, TOM dan Salinitas.
Keanekaragaman komunitas makrozoobenthos sangat berbedah populasi
kepadatanya dimana pada daerah kerambah jaring apung memiliki total populasi
1523 jenis totalnya, total yang banyak sekali populasinya adalah jenis Vexillum
Ebonus dengan jumlah populasi 1500 jenis sedangkan jenis lainya memiliki total
yang hamper sama jumlahnya dengan spesies lainnya.
Sedangkan kepadatan keanekaragaman komunitas makrozoobenthos yang
tidak memiliki keramba jaring apung memiliki populasi yang sangat relatif sedikit
Colus Stimposoni sebanyak 10 jenis. Tidak dapat dipungkiri bahwa daerah ini
merupakan daerah populasi dari Colus Stimposoni.
Browser et al (1990), menyatakan bahwa suatu komunitas dikatakan
mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies
dengan jumlah individu masing-masing spesies relatif merata. Dengan kata lain
bahwa apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah
individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut mempunyai
keanekaragaman yang rendah. Berdasarkan pengelompokan tingkat indeks
keanekaragaman makrozoobentos beserta data yang diperoleh dari data termasuk
ke dalam tingkat keanekaragaman makrozoobentos tergolong sedang.
Nybakken (1988) menyebutkan bahwa setiap spesies dalam komunitas
mempunyai daya toleransi tertentu terhadap faktor lingkungan. Bila di suatu
daerah terdapat faktor lingkungan yang melampaui batas toleransi suatu spesies,
maka pada daerah ini spesies tersebut tidak akan ditemui. Setiap spesies juga
mempunyai kebutuhan minimum terhadap berbagai unsur. Apabila konsentrasi
unsur-unsur yang dibutuhkan ini jumlahnya di bawah kebutuhan minimum
spesies, maka spesies tersebut akan menghilang. Di samping itu, jika salah satu
faktor lingkungan melewati batas toleransi spesies, maka spesies tersebut akan
tersingkirkan.
Struktur dan komposisi komunitas akan berubah-ubah sesuai dengan
perubahan musim maupun dengan berjalannya waktu. Adapun lima karakteristik
struktur komunitas menurut Krebs (1978) dalam Odum (1993), yaitu
keanekaragaman, dominansi, bentuk dan sruktur pertumbuhan, kelimpahan
Odum (1993) menyatakan bahwa baik buruknya kondisi suatu ekosistem
tidak dapat ditentukan hanya dari hubungan kenekaragaman dan kestabilan
komunitasnya. Suatu ekosistem yang dikatakan stabil dapat saja memiliki
keanekaragaman yang rendah atau tinggi, tergantung pada perubahan lingkungan
daerah tersebut. Namun pada kenyataannya, ekosistem yang wajar dicirikan oleh
keanekaragaman komunitas yang tinggi, tidak ada dominansi spesies serta jumlah
individu tiap spesies terbagi secara merata.
Keanekaragaman yang tinggi dari suatu ekosistem yang seimbang akan
memberikan timbal balik atau peranan yang besar untuk menjaga keseimbangan
terhadap kejadian yang merusak ekosistem. Oleh karena itu, setiap masukan yang
berlebihan (buangan sampah dan limbah) yang tidak selalu hanya terdiri dari
unsur hara tetapi terdapat pula senyawa beracun di dalamnya tetap akan
berpengaruh buruk terhadap kehidupan organisme makrozoobenthos. Menurut
Sinaga dkk (1986), pengaruh buruk tersebut berupa mengecilnya keanekaragaman
organisme makrozoobenthos. Dengan kata lain, perubahan-perubahan kualitas air
sangat mempengaruhi kehidupan makrozoobenthos, baik komposisi maupun besar
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Dari pengamatan dapat dilihat dan diidentifikasi bahwa di lokasi Keramba jaring
apung memiliki potensi pengembangan populasi yang sangat besar jika
dibandingkan dengan lokasi yang tidak memiliki keramba jaring apung dimana
jumlah spesies terdapat 5 spesies dan populasi makrozoobenthos sangat besar
yaitu 3000 individu/m² tetapi jika dibandingkan jumlah keragaman spesies yang
sangat banyak hal itu di dapat di lokasi yang tidak memiliki keramba jarig apung
dimana jumlah spesies sebanyak 29 spesies keanekaragamanya dengan populasi
yang stabil
2. Berdasarkan analisa uji t bahwa perbandingan di lokasi keramba jaring apung
dengan lokasi yang tidak memiliki kerambah jaring apung sangat berbeda nyata nilai varianya dimana nilai α ≤ 0.01 dimana α = 0.003 dapat disimpulkan hal ini
dipengaruhi oleh faktor korelasi fisika kimia perairan
Saran
1. Perlu perhatian, pengawasan dan penanganan yang khusus terhadap kualitas di
Perairan Laut Belawan oleh masyarakat dan pemerintah setempat agar kondisi
perairan terjaga dengan baik.
2. Perlu adanya penambahan stasiun pengamatan untuk mengetahui keanekaragaman
DAFTAR PUSTAKA
Allard, M. and G.Moreau. 1987. Effect of Experimental Acidification on
Lotic Macroinvertebrate Community. Hydrobiologia 144 : 37- 49.
Brower, J. E. H. Z. Jerrold and Car. I.N. Von Ende. 1990. Field and Laboratory Methods
For General Ecology. Third Edition. Wm. C. Brown Publisher. USA. New York.
Brotowidjoyo, M.D. 1990. Zoologi dasar. Jakarta : Erlangga Barnes, R. D. 1987.
Invertebrate Zoology. Fith edition. Sounders College Publishing. Pp:344-377.
Cummins, K. W. 1975. Fishes dalam Whitton B. A. (ed.). River Ecology. Blackwell Scient Publ. Oxford.
Dahuri, R., Rais, J.,Ginting, S.P., dan Sitepu, M.J., 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan secara terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hal.
Haslindah, 2003. Komunitas Makrozoobentos Daerah Intertidal Pantai Slag Kelurahan
Dawi-Dawi Kecamatan Pomalaa. Skripsi. FKIP. Universitas Haluoleo. Kendari.
Hutabarat, S dan Evans, S. M., 1985. Pengantar Oceanografi. UI Press. Jakarta.
La Uge, 1995. Komposisi dan Keragaman Jenis Makrozoobentos di Muara Sungai
Wanggu Teluk Kendari. Skripsi. PMIPA. FKIP. Universitas Haluoleo. Kendari.
Kendeigh, S.C., 1980. Ecology with Special Reference to Animal & Man, Prentice Hall : New Jersey.
Kinne O. 1964. Marine ecology. A Comprehensive Integrated Treatise On Life In Oceans
And Coastal Water. London: John Willey and Sons Ltd.
Mayasari, I. 2011. Keanekaragaman Makrozoobentos di Ekosistem Mangrove Iboih Sabang Provinsi Aceh. Skripsi. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh H. M. Eidman Koesbiono, D. G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukardjo. P. T. Gramedia. Jakarta.
Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Diterjemahkan oleh T.Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 697 hal.
Odum EP. 1995. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Yogayakarta : Gajah Mada University press.
Oemarjati, B. S. dan W. Wardhana. 1990. Taksonomi Avertebrata. Pengantar Praktikum Laboratorium. Penerbit Unversitas Indonesia press : Jakarta.
Retnowati, D. N. 2003. Struktur Komunitas Makrozoobenthos dan Beberapa Parameter Fisika Kimia Perairan Situ Rawa Besar, Depok, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suroya, R. 1997. Kandungan Bahan Organik N dan P di Sekitar Kawasan Jaring Apung Di Waduk Ir. H. Juanda, Jatiluhur, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sinaga, T. P., S. Martodigdo, S. Ningsih, R. Susiana, dan E. Widyastuti. 1986. Komunitas Fauna Makrozoobenthos Sebagai Indikator Biologi Ekosistem Lotik di Sungai Banjaran, Purwokerto. Laporan Penelitian. Fakultas Biologi. Universitas Soedirman. Purwokerto.
Steel, R.G.D, and Torrie, J.H. 2003. Principles and Procedures of Statistics. MacGraw Hill Book Company. New York.
Suin, N.M. 2002. Metode Ekologi. Universitas Andalas. Padang.
Lampiran 2. Alat dan Bahan Penelitian
pH Meter Gelas Kaca
Eckman Grab DO Meter
Formalin 4 % Meteran
Cool Box Plastik
Lampiran 3. Data Lapangan Penelitian
Di Daerah Keramba Jaring Apung
Waktu Pengambilan
Sampel Parameter
STASIUN
Rataan
I II III
MEI
DO 3,55 3,9 3,94 3,9
Suhu 23 24 25 25
Salinitas 21 24,7 26,7 29,7
Tom 0,57 0,55 0,5 0,55
JUNI
DO 3,98 4,71 3,9 3,98
Suhu 24 25 26 24
Salinitas 24 23,7 23,7 23,7
Tom 0,56 0,56 0,52 0,56
JULI
DO 3,98 3,82 3,98 3,98
Suhu 22 23 24 24
Salinitas 26 29,7 31,7 29,7
Tom 0,58 0,56 0,6 0,56
98Rataan
DO 3,9 4,18 4,98
Suhu 25 26 24
Salinitas 24,7 23,7 29,7
Tom 0,75 0,66 0,75
Di Daerah Non Keramba Jaring Apung
Waktu Pengambilan
Sampel Parameter
STASIUN
Rataan
I II III
MEI
DO 3,98 3,75 3,87 3,75
Suhu 26 27 27 27
Salinitas 30,7 25,2 31,7 30,7
Tom 0,66 0,66 0,68 0,66
JUNI
DO 3,98 3,75 3,87 3,75
Suhu 25 27 26 26
Salinitas 30,7 25,2 31,7 30,7
Tom 0,67 0,65 0,7 0,67
JULI
DO 3,98 3,75 3,87 3,75
Suhu 24 28 28 28
Salinitas 30,7 25,2 31,7 30,7
Tom 0,66 0,66 0,68 0,66
98Rataan
DO 5,45 5,25 5,75
Suhu 27 26 28
Salinitas 30,7 31,30 31,75
Lampiran 4. Fisiologi dan Anatomi Benthos Di daerah Keramba jaring Apung
1. Chantharus Asimilis
Spesies ini memiliki panjang 2-4 cm dan lebar 1-2 cm bentuk cangkang yang keras bewarna hijau kehitaman dan pada cangkang ditemukan lender (Gambar 4).
2. Ilyanossa Obsolete
Spesies ini sekilas mirip seperti siput dimana perbedaanya sepesies ini memiliki cangkang yang tebal dan kuat dimana panjangnya berkisar 5-8 cm dengan bukaan mulut yg lebar dan cangkangnya berwarna hitam pekat (Gambar 4).
3. Monodonta Penetulata
Spesies ini memiliki panjang 2-5 cm memiliki corak hijau lumut bercampur dengan warna hitam dan coklat serta bagian atas cangkangnya agak runcing (Gambar 4).
4. Vexillum Ebonus
Spesies ini memiliki cangkang yang lunak dan panjangnya 1-5 cm tubuh spesies ini berukuran sedang dan spesies ini sangat banyak populasinya di wilayah keramba, dimana jumlah populasinya sangat padat jika dibandingkan spesies yang lain (Gambar 4).
5. Weakly Cutnerite
Lampiran 5. Fisiologi dan Anatomi Makrozobenthos Di daerah yang Tidak Memiliki Keramba Jaring Apung.
1. Anachis Sanfelipensis
Spesies ini memiliki ukuran panjang sekitar 5-10 cm dengan cangkan yang berbentuk kerucut dan bergerigi dengan warna coklat gelap (Gambar 5). 2. Barbatia Reereana
Spesies ini memiliki ukuran panjang 4-6 cm dimana dipingir cangkang terdapat bulu berbentuk serabut bewarna coklat diameter cangkang berkisar 3-5 cm (Gambar 5).
3. Cerithum Dialecum
Spesies ini memiliki ukuran 2-4 cm bentuk cangkang yg bergerigi halus dengan cangkang yang kerucut dipermukaanya (Gambar 5).
4. Colus Stimposoni
Spesies ini memiliki cangkang yang keras serta cangkang yang bergelombang memiliki ukuran panjang 3-6 cm dengan muka mulut yang lebar (Gambar 5).
5. Cymatium Kiennsis
Memiliki diameter 4-6 cm serta panjang 7-9 cm dengan cangkang berbentuk cerucut serta memiliki gerigi berbentuk duri yang tajam dan mukaan mulut berukuran 3-6 cm (Gambar 5).
6. Cymatium Subdistartum
Memiliki ukuran panjang 3-7 cm dengan lebar mukaan mulut 2-5 cm berbentuk kerucut dan bewarna coklat gelap (Gambar 5).
7. Glycymeris Muskatensis
Spesies ini memiliki diameter 2-4 cm dengan ukuran panjang 3-4 cm memiliki cangkang yang sedikit oval bewarna coklat cerah (Gambar 5).
8. Glacymeris Reevei
Jenis ini memiliki ukuran diameter 3-5 serta lebar volume tubuh 3-5 cm cangkang oval serta permukaan cangkang yang licin bewarna kuning keemasan (Gambar 5)
Jenis ini memiliki ukuran 1-2,5 cm dengan permukaan yg lembut berwarna putih yg dihiasin bintik coklat disekitar cangkang (Gambar 5).
10. Haliotis Queketti
Jenis ini memiliki bentuk yang oval melengkung, serta cangkang diselimutin gerigi yang sedikit kasar ukuranya 2-3 cm (Gambar 5).
11. Hastula Lanceata
Spesies ini memiliki ukuran yang kecil dimana ukuranya 2-4 cm dengan bentuk cangkang yang bergelombang bewarna coklat kekuningan (Gambar 5).
12. Holiotis Melculus Iradela
Memiliki ukuran tubuh berbentuk oval lonjong berdiameter 2-4 cm dan ujung cangkang yang tumpul serta cangkang yg berwarna kuning kecoklatan ( Gambar 5).
13. Leptopecten Latiaratus
Jenis ini berbentuk seperti kipas dimana ukuranya 5-7 cm dan daerah cangkang diselimuti garis gelombang bewarna coklat (Gambar 5).
14. Linatella Cingulata
Jenis ini memiliki ukuran 3-6 cm dengan cangkang yang lunak seperti batu (Gambar 5).
15. Murex Carbonier
Spesies ini memiliki cangkang yang memanjang dan terdapat duri yang menyelimutin cangkang, ukuranya 3-6 cm (Gambar 5).
16. Narita Funiculate
Sekilas jenis ini terlihat seperti batu, tetapi ini merupakan Narita yang memiliki ukuran 2-3 cm bewarna hijau tua (Gambar 5).
17. Natihca Filose
Spesies ini memiliki ukuran 3-5 cm bentuk cangkang bulat lonjong bewarna coklat (Gambar 5).
18. Natica Tigrina
Spesies ini berbentuk oval melonjong dengan motiv yang unik dicangkangnya serta memiliki ukuran 3-5 cm (Gambar 5).
Spesies ini berukuran 2-3 cm dengan cangkang yang lunak serta berwarna hijau lumut dengan permukaan yang runcing (Gambar 5).
20. Patinopeeten Yesotsoensis
Spesies ini memiliki volume berukuran 5-8 cm dengan panjang 7-10 cm dengan warna hijau kehitaman (Gambar 5).
21. Perten Maximus
Spesies ini berukuran 4-6 cm dengan lebar 5-7 cm dengan cangkang bewarna orange terang (Gambar 5).
22. Polished Narite
Jenis ini memiliki tubuh oval yang lonjong bercorak merah mudah dengan diameter 2-4 cm (Gambar 5).
23. Prothalotia Puleberma
Ukuran tubuh berdiameter 3-6 cm dengan cangkang yg sedikit panjang bergelombang bewarnah coklat (Gambar 5).
24. Selender Strombia
Bentuk cangkang yang berlekuk dan memanjang bewarna abu-abu serta memiliki ukuran 4-6 cm (Gambar 5).
25. Strombus Labiatus
Berbentuk panjang dengan diameter 4-6 cm bewarna hijau tua dengan permukaan yang mencurut (Gambar 5).
26. Stromus Urceus
Jenis ini berukuran 2-5 cm dengan warna merah mudah bentuk cangkang oval melonjong (Gambar 5).
27. Telescopium Telescopium
Sepesies ini berbentuk bulat memanjang dengan ukuran 4-8 cm dimana ujungnya tumpul yang meruncing (Gambar 5).
28. Terebra Montogemetri
Jenis ini cangkangnya berbentuk lengkung yang memanjang dengan permukaan yg runcing dimana diameternya 4-10 cm (Gambar 5).
29. Barbatia candida