• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHASA INDONESIA MAKALAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAHASA INDONESIA MAKALAH"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

Pembahasan

A.Pengertian kejujuran:

Kejujuran merupakan suatu kemuliaan diantara sekian banyak kemuliaan lain yang

menjadi dasar ukuran kepercayaan manusia terhadap sesamanya. Kejujuran mempunyai nilai

tersendiri sesuai dengan profesinya. Kejujuran adalah kunci kehormatan bagi para pejabat

pemerintahan dimata rakyat dan bawahanya. Kejujuran adalah kunci kesaksian bagi para

hakim untuk menetapkan keputusan peradilan. Adapun untuk para pedagang, kejujuran

adalah

kunci

keberkahan.

Semua kita tentunya mencita-citakan Indonesia menjadi bangsa yang berkarakter

jujur. Namun sampai saat ini nilai kejujuran bagaikan bayangan utopis bagi bangsa ini.

Bagaimana tidak, hari ini kita menyaksikan tindak pidana korupsi mengakar dari

pemerintahan pusat hingga ke daerah, bahkan sampai tingkat desa.

Pendidikan seharusnya mengajarkan tentang nilai-nilai kejujuran. Saat ini Pendidikan

yang dikelola birokrat sangat membahayakan bagi pembangunan mental dan karakter bangsa.

Sulit rasanya mengajarkan kebaikan pada peserta didik jika para birokrat pendidikan

justru memanfaatkan dana pendidikan untuk kepentingan pribadi dan golongannya.

Berdasarkan hasil penelitian Lembaga pengawas korupsi, Indonesia Corruption Watch

(ICW) menyatakan kasus korupsi di bidang pendidikan Indonesia telah merugikan negara

hingga Rp139 miliar. Menurut data ICW, diduga terjadi 40 kasus korupsi sepanjang

2012. Peneliti ICW Febri Hendri menyatakan, kasus korupsi ditemukan di semua level

pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga PerguruanTinggi. Pelakunya, mulai dari dinas

pendidikan daerah hingga anggota DPR. Menurut laporan terbaru ICW, sekira sepertiga

anggaran pendidikan negara diselewengkan khususnya untuk proyek pengadaan barang dan

jasa.

Istilah dari Ki Hajar Dewantara yang terkenal dan bertuliskan “Ing Ngarso Sung

Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Semboyan tersebut mempunyai

arti mendalam. Bagaimana tidak, jika semua elemen pendidikan mampu memposisikan diri

menjadi garda terdepan dalam menjadi teladan yang postif, yang ditengah mampu

menciptakan peluang untuk berprakarsa, kemudian yang dibelakan memberikan dorongan

yang postif. Jika ketiga ini bisa bersatu padu tentunya akan menghasilkan karakter postif dan

membentuk sebuah peradaban pendidikan yang bersinergi.

Inilah bagian dari refleksi kita. Hak pendidikan anak negeri ini tidak saja pada prestasi

akademik atau ranking sekolah namun lebih dari itu, hak anak negeri ini adalah mendapatkan

proses pendidikan yang benar dan jujur. Pendidik yang baik adalah mereka yang berkata

benar dan berperilaku benar. Ironisnya, pendidik di negeri ini, banyak yang benar

perkataannya namun penyimpang tingkah lakunya

(2)

sebaliknya, jika mayoritas warganya berkarakter negatif, maka bisa dipastikan peradaban

suatu bangsa tidak akan mencapai kemajuan. Hal ini dikarenakan suatu bangsa yang

warganya memiliki karakter postif sudah memiliki modal dasar untuk menggapai kemajuan,

seperti sifat mandiri, bekerja sama, patuh pada peraturan, bisa dipercaya dan memiliki sifat

jujur.

Semoga, kita semua sadar bahwa dunia pendidikan membutuhkan kejujuran tidak

saja dalam kata tapi juga perbuatan. Kita harus tanamkan dan tumbuhkan semangat kesadaran

baru bahwa kejujuran adalah kunci kesuksesan dalam pendidikan.

B,Nilai kejujuran dalam pendidikan:

Pakar pendidikan H.G. Wells, dalam bukunya The Catastrope of Education, (2005). mengatakan "rusaknya moral dan tumpulnya etika sosial masyarakat tidak dapat tidak karena semakin suburnya praktek anomali di sekolah, sebagai salah satu sebab kemungkinan". Tesis H.G. Wells didorong oleh makin pudarnya etika sosial di masyarakat, makin melembaganya praktek kekerasan dalam dunia pendidikan. H.G. Wells, menuduh sebagai biangkeroknya adalah lembaga pendidikan sekolah. Menurutnya lembaga pendidikan sekolah tidak membawa manfaat terhadap perbaikan moral dan etika sosial siswa yang seharusnya lembaga pendidikan sekolah sebagai lembaga persemaian nilai-nilai kebaikan dan menolak segala bentuk anomali.

Kalau saja tuduhan H.G. Wells itu benar, maka kita tidak perlu sakit hati atau mengatakan sia-sialah guru-guru kita mengajarkan anak-anak kita di sekolah, karena toh pada akhirnya pendidikan menghasilkan manusia bermentalitas tidak jujur.

Senada dengan Wells, Prof. Kurt Singer, dalam Sindhunata (2001) membeberkan panjang lebar gejala anomali pada pendidikan kita. Menurut Singer sekolah bukan lagi tempat yang nyaman bagi anak-anak. Sistem pendidikan sekolah mau tak mau menjadikan guru sebagai agen yang mengawasi, menindas dan merendahkan martabat para siswa. Sekolah menjadi lingkungan penuh sensor yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. Pekerjaan dan kewajiban sekolah menjadi diktator yang memusnahkan kemampuan anak untuk belajar menjadi dirinya. Sekolah/kampus bukan lagi tempat untuk belajar melainkan tempat untuk mengadili dan merasa diadili. Kurt Singer menyebut pendidikan sekolah kita yang mengakibatkan kegelisahan dan ketakutan itu, sebagai Schwarzer Paedagogic (pedagogi hitam), (Sindhunata, 2001).

Yang semestinya sekolah adalah tempat dimana anak-anak menemukan kejujuran, kesederhanaan dan sikap egaliter. Di sana anak-anak belajar tentang kejujuran, belajar tentang etika dan moral, belajar menjadi dirinya, belajar saling mengasihi, belajar saling membagi. Di sana anak-anak memperoleh perlindungan dari penipuan, kebohongan, kedustaan, di sana mereka belajar tentang demokrasi, kejujuran, kebebasan berbependapat, cinta kasih. Seharusnya sekolah adalah tempat untuk membentuk manusia yang berkarakter mulia dan berbudi luhur.

Di kalangan siswa budaya ini cukup tumbuh subur, seperti budaya nyontek, budaya plagiat. Oleh karena itu sekolah hendaknya melakukan reorientasi pendidikan menuju kepada pengembangan individualitas dan menempatkan niliai humanitas pada spektrum yang paling utama.

C. Peranan pendidikan dalam masyarakat:

(3)

Berbicara tentang fungsi dan peranan pendidikan dalam masyarakat ada bermacam-macam pendapat, di bawah ini disajikan tiga pendapat tentang fungsi pendidikan dalam masyarakat. Wuradji (1988) menyatakan bahwa pendidikan sebagai lembaga konservatif mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) fungsi sosialisasi, (2) fungsi kontrol sosial, (3) fungsi pelestarian budaya Masyarakat, (4) fungsi latihan dan pengembangan tenaga kerja, (5) fungsi seleksi dan alokasi, (6) fungsi pendidikan dan perubahan sosial, (7) fungsi reproduksi budaya, (8) fungsi difusi kultural, (9) fungsi peningkatan sosial, dan (10) fungsi modifikasi sosial.

1) Fungsi sosialisasi:

Di dalam masyarakat pra industri, generasi baru belajar mengikuti pola perilaku generasi sebelumnya tidak melalui lembaga-lembaga sekolah seperti sekarang ini. Pada masyarakat pra industri tersebut anak belajar dengan jalan mengikuti atau melibatkan diri dalam aktivitas orang-orang yang telah lebih dewasa. Anak-anak mengamati apa yang mereka lakukan, kemudian menirunya dan anak-anak belajar dengan berbuat atau melakukan sesuatu sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang telah dewasa. Untuk keperluan tersebut anak-anak belajar bahasa atau simbol-simbol yang berlaku pada generasi tua, menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang berlaku, mengikuti pandangannya dan memperoleh keterampilan-keterampilan tertentu yang semuanya diperoleh lewat budaya masyarakatnya. Di dalam situasi seperti itu semua orang dewasa adalah guru, tempat di mana anak-anak meniru, mengikuti dan berbuat seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang yang lebih dewasa. Mulai dari permulaan, anak-anak telah dibiasakan berbuat sebagaimana dilakukan oleh generasi yang lebih tua. Hal itu merupakan bagian dari perjuangan hidupnya. Segala sesuatu yang dipelajari adalah berguna dan berefek langsung bagi kehidupannya sehari-hari. Hal ini semua bisa terjadi oleh karena budaya yang berlaku di dalam masyarakat, di mana anak menjadi anggotanya, adalah bersifat stabil, tidak berubah dan waktu ke waktu, dan statis.

Dengan semakin majunya masyarakat, pola budaya menjadi lebih kompleks dan memiliki diferensiasi antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain, antara yang dianut oleh individu yang satu dengan individu yang lain. Dengan perkataan lain masyarakat tersebut telah mengalami perubahan-perubahan sosial. Ketentuan-ketentuan untuk berubah ini, mengakibatkan terjadinya setiap transmisi budaya dan satu generasi ke generasi berikutnya selalu menjumpai permasalahan-permasalahan. Di dalam suatu masyarakat sekolah telah melembaga demikian kuat, maka sekolah menjadi sangat diperlukan bagi upaya menciptakan/melahirkan nilai-nilai budaya baru (cultural reproduction).

Dengan berdasarkan pada proses reproduksi budaya tersebut, upaya mendidik anak-anak untuk mencintai dan menghormati tatanan lembaga sosial dan tradisi yang sudah mapan adalah menjadi tugas dari sekolah. Termasuk di dalam lembaga-lembaga sosial tersebut diantaranya adalah keluarga, lembaga keagamaan, lembaga pemerintahan dan lembaga-lembaga ekonomi. Di dalam permulaan masa-masa pendidikannya, merupakan masa yang sangat penting bagi pembentukan dan pengembangan pengadopsian nilai-nilai ini. Masa-rnasa pembentukan dan pembangunan upaya pengadopsian ini dilakukan sebelum anak-anak mampu memiliki kemampuan kritik dan evaluasi secara rasional.

Sekolah sebagai lembaga yang berfungsi untuk mempertahankan dan mengembangkan tatanan-tatanan sosial serta kontrol sosial mempergunakan program-program asimilasi dan nilai-nilai subgrup beraneka ragam, ke dalam nilai-nilai yang dominan yang memiliki dan menjadi pola anutan bagi sebagiai masyarakat.

2) Fungsi pelestarian budaya masyarakat:

Sekolah juga harus melestanikan nilai-nilai budaya yang masih layak dipertahankan seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi pekerti dan suatu upaya mendayagunakan sumber daya lokal bagi kepentingan sekolah dan sebagainya.

(4)

3) Fungsi pendidikan dan perubahan sosial.

Pendidikan mempunyai fungsi untuk mengadakan perubahan sosial mempunyai fungsi (1) melakukan reproduksi budaya, (2) difusi budaya, (3) mengembangkan analisis kultural terhadap kelembagaan-kelembagaan tradisional, (4) melakukan perubahan-perubahan atau modifikasi tingkat ekonomi sosial tradisional, dan (5) melakukan perubahan-perubahan yang lebih mendasar terhadap institusi-institusi tradisional yang telah ketinggalan.

Sekolah berfungsi sebagai reproduksi budaya menempatkan sekolah sebagai pusat penelitian dan pengembangan. Fungsi semacam ini merupakan fungsi pada perguruan tinggi. Pada sekolah-sekolah yang lebih rendah, fungsi ini tidak setinggi pada tingkat pendidikan tinggi.

Pada masa-masa proses industrialisasi dan modernisasi pendidikan telah mengajarkan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan baru, seperti orientasi ekonomi, orientasi kemandirian, mekanisme kompetisi sehat, sikap kerja keras, kesadaran akan kehidupan keluarga kecil, di mana nilai-nilai tersebut semuanya sangat diperlukan bagi pembangunan ekonomi sosial suatu bangsa. Usaha-usaha sekolah untuk mengajarkan sistem nilai dan perspektif ilmiah dan rasional sebagai lawan dan nilai-nilai dan pandangan hidup lama, pasrah dan menyerah pada nasib, ketiadaan keberanian menanggung resiko, semua itu telah diajarkan oleh sekolah sekolah sejak proses modernisasi dari perubahan sosial Dengan menggunakan cara-cara berpikir ilmiah, cara-cara analisis dan pertimbangan-pertimbangan rasional serta kemampuan evaluasi yang kritis orang akan cenderung berpikir objektif dan lebih berhasil dalam menguasai alam sekitarnya.

Lembaga-lembaga pendidikan disamping berfungsi sebagai penghasil nilai-nilai budaya baru juga berfungsi sebagai difusi budaya (cultural diffission). Kebijaksanaan-kebijaksanaan sosial yang kemudian diambil tentu berdasarkan pada hasil budaya dan difusi budaya. Sekolah-sekolah tersebut bukan hanya menyebarkan penemuan-penemuan dan informasi-informasi baru tetapi juga menanamkan sikap-sikap, nilai-nilai dan pandangan hidup baru yang semuanya itu dapat memberikan kemudahan-kemudahan serta memberikan dorongan bagi terjadinya perubahan sosial yang berkelanjutan.

Fungsi pendidikan dalam perubahan sosial dalam rangka meningkatkan kemampuan analisis kritis berperan untuk menanamkan keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai baru tentang cara berpikir manusia. Pendidikan dalam era abad modern telah berhasil menciptakan generasi baru dengan daya kreasi dan kemampuan berpikir kritis, sikap tidak mudah menyerah pada situasi yang ada dan diganti dengan sikap yang tanggap terhadap perubahan. Cara-cara berpikir dan sikap-sikap tersebut akan melepaskan diri dari ketergantungan dan kebiasaan berlindung pada orang lain, terutama pada mereka yang berkuasa. Pendidikan ini terutama diarahkan untuk memperoleh kemerdekaan politik, sosial dan ekonomi, seperti yang dianjurkan oleh Paulo Friere. Dalam banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju, pendidikan orang dewasa telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga masalah kemampuan kritis ini telah berlangsung dengan sangat intensif. Pendidikan semacam itu telah berhasil membuka mata masyarakat terutama di daerah pedesaan dalam penerapan teknologi maju dan penyebaran penemuan baru lainnya.

Pengaruh dan upaya pengembangan berpikir kritis dapat memberikan modifikasi (perubahan) hierarki sosial ekonomi. Oleh karena itu pengembangan berpikir kritis bukan saja efektif dalam pengembangan pnibadi seperti sikap berpikir kritis, juga berpengaruh terhadap penghargaan masyarakat akan nilai-nilai manusiawi, perjuangan ke arah persamaan hak-hak baik politik, sosial maupun ekonomi. Bila dalam masyarakat tradisional lembaga-lembaga ekonomi dan sosial didominasi oleh kaum bangsawan dan golongan elite yang berkuasa, maka dengan semakin pesatnya proses modernisasi tatanan-tatanan sosial ekonomi dan politik tersebut diatur dengan pertimbangan dan penalaran-penalaran yang rasional. Oleh karena itu timbullah lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik yang berasaskan keadilan, pemerataan dan persamaan. Adanya strata sosial dapat terjadi sepanjang diperoleh melalui cara-cara objektif dan keterbukaan, misalnya dalam bentuk mobilitas vertikal yang kompetitif.

4) Fungsi sekolah dalam masyarakat:

(5)

akan dipengaruhi oleh corak pengalaman seseorang di dalam lingkungan masyarakat. Pengalarnan pada berbagai kelompok masyarakat, jenis bacaan, tontonan serta aktivitas-aktivitas lainnya dalam masyarakat dapat mempengaruhi fungsi pendidikan yang dimainkan oleh sekolah. Sekolah juga berkepentingan terhadap perubahan lingkungan seseorang di dalam masyarakat. Perubahan lingkungan itu antara lain dapat dilakukan melalui fungsi layanan bimbingan, penyediaan forum komunikasi antara sekolah dengan lembaga sosial lain dalam masyarakat. Sebaliknya partisipasi sadar seseorang untuk selalu belajar dari lingkungan masyarakat, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh tugas-tugas belajar serta pengarahan belajar yang dilaksanakan di sekolah.

Fungsi sekolah sebagai partner masyarakat akan dipengaruhi pula oleh sedikit banyaknya serta fungsional tidaknya pendayagunaan sumber-sumber belajar di masyarakat. Kekayaan sumber belajar dalam masyarakat seperti adanya lembaga gereja, masjid, perpustakaan, museum, surat kabar, majalah dan sebagainya dapat digunakan oleh sekolah dalam menunaikan fungsi pendidikan.

Sebagai produser kebutuhan pendidikan masyarakat sekolah dan masyarakat memiliki ikatan hubungan rasional di antara keduanya. Pertama, adanya kesesuaian antara fungsi pendidikan yang dimainkan oleh sekolah dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Kedua, ketepatan sasaran atau target pendidikan yang ditangani oleh lembaga persekolahan akan ditentukan pula o!eh kejelasan perumusan kontrak antara sekolah selaku pelayan dengan masyarakat selaku pemesan Ketiga, keberhasilan penunaian fungsi sekolah sebagai layanan pesanan masyarakat sebagian akan dipengaruhi oleh ikatan objektif di antara keduanya.

Ikatan objektif ini dapat berupa perhatian, penghargaan dan tunjangan tertentu seperti dana, fasilitas dan jaminan objektif lainnya yang memberikan makna penting eksistensi dan produk sekolahan.

D. Disorientasi pendidikan:

Pendidikan kita telah lama mengalami disorientasi, dan lebih mengedepankan pemenuhan keinginan politik ketimbang proses pencerdasan insan manusia. Aktivitas pendidikan hanya berkutat pada persoalan klasik yang memusatkan aspek rasional manusia. Transfer ilmu pengetahuan rasional ini begitu ditekankan dalam pendidikan sehingga dimensi lain pendidikan seperti aspek psikis, spiritual, aspek kejujuran, aspek kesederhanaan, aspek sosial dilupakan. Akibatnya pendidikan kita menjadi berat sebelah, yang pada gilirannya melahirkan manusia-manusia yang tinggi kadar intelektualnya namun tanpa emosi dan jiwa social yang haus akan nilai-nilai human. Itulah konsep pendidikan yang salah selama beberapa tahun kita alami, yang pada akhirnya pendidikan itu tidak akan bermanfaat, karena proses yang berjalan adalah pragmatisme nilai. Simpton pendidikan ini nampak pula dalam proses pendidikan yang secara singkat dapat dikatakan bahwa pendidikan kita hanya mendidik manusia untuk "tahu banyak hal dan pandai mengetrapkan sejumlah keterampilan teknis" ( Henderyk Beribe, 1984).

Ideologi pertumbuhan membuat manusia bukan lagi sebagai subyek human yang otonom melainkan budak yang tertindas karena keseimbangan psikologis tergoncang ketika norma-norma etos sosial, keadilan sosial, kemanusiaan manusia, solidaritas sosial, "dijungkirbalikan". Maka tidak mengherankan kalau rasa keadilan sosial, solidaritas sosial pada anak didik kita meluntur habis, karena etika sosial diganti dengan etika materialisme yang menjadi tolok ukur dari kriterium nilai.

Manusia tidak lagi menjadi makhluk sosial (societas dialogis) yang hidup bersama orang lain melainkan mahluk tunggal yang hidup sendiri dalam penjara-penjara kebudayaan yang diciptakannya sendiri, yang hanya bisa bertahan karena pupuk materialisme sebagai konsekwensi dari ideologi pertumbuhan tanpa batas.

Materialisme lebih jauh memaksa manusia untuk memandang dirinya sebagai "dewa dan Allah". Begitu sekularisme dan ateisme praktis muncul sebagai agama baru tanpa promulgasi resmi, (Hendryk Beribe, 1984). Materialisme semestinya dimengerti dalam konteks sosial budaya masyarakat yang berada pada tahap transisi, perubahan, perkembangan yang terus melaju untuk mendapatkan identitas sosial dan personalnya.

(6)

Walau demikian, sisi positifnya tetap ada, yakni lembaga pendidikan merupakan lembaga social yang paling arkais manakala masyarakat begitu dinamis dan rentan terhadap perubahan, fungsi pendidikan tetap sebagai "watchdog" terhadap perubahan yang keliru. Sebab dengan memperoleh pendidikan yang secukupnya masyarakat kita akan tetap beradab dan menjadi merdeka pikiran dan batinnya.

E. Praktek pendidikan kita saat ini:

Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan: praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budhis, pendidikan Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonial Belanda, pendidikan zaman pendudukan Jepang, dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan (Somarsono, 1985). Berbagai praktek pendidikan memiliki dasar filosofis dan tujuan yang berbeda-beda. Beberapa praktek pendidikan yang relevan dengan pembahasan ini adalah praktek-praktek pendidikan modern zaman kolonial Belanda, praktek pendidikan zaman kemerdekaan sampai pada tahun 1965, dan praktek pendidikan dalam masa pembangunan sampai sekarang ini.

Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan Barat. Diharapkan praktek pendidikan Barat ini akan bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai "pangrehpraja". Praktek pendidikan kolonial ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak dari lapisan atas. Dengan demikian, sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat melangsungkan penjajahannya. Yakni, menciptakan tenaga kerja yang bisa menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber dan kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model Barat akan diharapkan muncul kaum bumi putera yang berbudaya barat, sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendidikan zaman Belanda membedakan antara pendidikan untuk orang pribumi. Demikian pula bahasa yang digunakan berbeda. Namun perlu dicatat, betapapun juga pendidikan Barat (Belanda) memiliki peran yang penting dalam melahirkan pejuang-pejuang yang akhirnya berhasil melahirkan kemerdekaan Indonesia.

Pada zaman Jepang meski hanya dalam tempo yang singkat, tetapi bagi dunia pendidikan Indonesia memiliki arti yang amat signifikan. Sebab, lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan disatukan. Tidak ada lagi pendidikan bagi orang asing degan pengantar bahasa Belanda.

Satu sistem pendidikan nasional tersebut diteruskan setelah bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial, demokratis, cakap dan bertanggung jawab dan siap sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Dari pendekatan "Macrocosmics", bisa dianalisis bahwa praktek pendidikan tidak bisa dilepaskan dari lingkungan, baik lingkungan sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan lainnya. Pada masa ini, lingkungan politik terasa mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan nasionalisme terasa berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri. Hal ini sangat terasa terutama pada periode Orde Lama (tahun 1959-1965).

Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Sebaliknya, pendidikan setelah tahun 1966 sampai saat ini pengaruh sistem pendidikan Amerika semakin lama terasa semakin menonjol. Sistem pendidikan Amerika menekankan bahwa praktek pendidikan merupakan instrumen dalam proses pembangunan. Oleh karenanya, tidak rnengherankan kalau seiring dengan semangat dan pelaksanaan pembangunan yang dititik-beratkan pada pembangunan ekonomi, praktek pendidikan dijadikan alat untuk dapat mendukung pembangunan ekonomi dengan mempersiapkan tenaga kerja yang diperlukan dalam pembangunan. Dengan kata lain praktek pendidikan yang bersumber pada kebijaksanaan pendidikan banyak ditentukan guna kepentingan pembangunan ekonomi.

(7)

Di samping mempertanyakan kualitas output pendidikan yang berkiblat ke Arnerika ini, mulai dirasakan bahwa praktek pendidikan cenderung mendorong munculnya generasi terdidik yang bersifat materialistik, individualistik dan konsumtif. Hal ini sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari pengetrapan praktek pendidikan Amerika. Apalagi, pusat-pusat pendidikan yang lain, misalnya media komunikasi massa mendukung proses "Amerikanisasi" ini.

Adapula satu bentuk produk proses pendidikan yang sesungguhnya menyimpang dari apa yang terjadi di Barat yakni munculnya mentalitas "jalan pintas", dengan semangat dan kemauan untuk bisa mendapatkan hasil secepat mungkin, baik di kalangan generasi muda maupun generasi tuanya. Mereka cenderung tidak menghiraukan bahwa segala sesuatu harus melewati proses yang memerlukan waktu. Bahkan tidak jarang waktu yang diperlukan melewati rentang waktu kehidupannya, tetapi demi masa depan generasi yang akan datang generasi sekarang harus merelakannya. Sebagai contoh, di Barat tidak jarang pembuatan "minuman anggur", agar memiliki rasa luar biasa memerlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Tidak jarang pada label sebotol anggur dituliskan: "dibuka 100 atau 200 tahun lagi". Mentalitas "jalan pintas" merupakan hasil negatif dari penekanan yang berlebihan pendidikan sebagai instrumen pembangunan ekonomi. Aspek negatif lain yang erat kaitannya dengan mentalitas jalan pintas adalah dominannya nilai ekstrik (Extrinsic Value) di kalangan masyarakat kita, khususnya generasi muda.

Tekanan kemiskinan menimbulkan obsesi bahwa kekayaan merupakan obat yang harus segera diperoleh dengan segala cara dan dengan biaya apapun juga. Oleh karena tujuan segala kegiatan adalah "kekayaan", dan yang lainnya merupakan instrumental variabel untuk mencapai kekayaan tersebut. Oleh karena itu pendidikan, politik bahkan agama dijadikan sarana dan alat untuk mendapatkan kekayaan. Pendidikan, secara khusus, akan diberlakukan sebagai lembaga yang mencetak "tenaga kerja", bukan lembaga yang menghasilkan "manusia yang utuh" (the whole person). Konsep tersebut akan menimbulkan tekanan yang berlebihan pada hasil tanpa menikmati prosesnya. Sekolah dijalani oleh seseorang agar mendapatkan ijazah untuk bekerja. Proses sekolahnya sendiri tidak pernah dinikmati, karena tidak penting.

F. Nilai Kejujuran, komunikasi dan kesederhanaan

:

1. Kejujuran:

Kejujuran merupakan kualitas manusiawi melalui mana manusia mengomunikasikan diri dan bertindak secara benar. Karena itu, kejujuran sesungguhnya berkaitan erat dengan nilai kebenaran, termasuk di dalamnya kemampuan mendengarkan, sebagaimana kemampuan berbicara, serta setiap perilaku yang bisa muncul dari tindakan manusia. Secara sederhana, kejujuran bisa diartikan sebagai sebuah kemampuan untuk mengekpresikan fakta-fakta dan keyakinan pribadi sebaik mungkin sebagaimana adanya. Sikap ini terwujud dalam perilaku, baik jujur terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri (tidak menipu diri), serta sikap jujur terhadap motivasi pribadi maupun kenyataan batin dalam diri seorang individu. Kualitas kejujuran seseorang meliputi seluruh perilakunya, yaitu, perilaku yang termanifestasi keluar, maupun sikap batin yang ada di dalam. Keaslian kepribadian seseorang bisa dilihat dari kualitas kejujurannya.

Konsep tentang kejujuran bisa membingungkan dan mudah dimanipulasi karena sifatnya yang lebih interior. Perilaku jujur mengukur kualitas moral seseorang di mana segala pola perilaku dan motivasi tergantung pada pengaturan diri seorang individu.Meskipun tergantung pada proses penentuan diri, kita tidak bisa mengklaim bahwa pendapat diri kita sematalah yang benar. Seandainya toh kita telah meyakini bahwa pendapat kita merupakan pendapat yang menurut kita paling baik, perlulah tetap mendengarkan pendapat orang lain. Setiap keyakinan pribadi menyisakan bias subjektivitas yang bisa saja mengaburkan diri kita dalam memahami realitas sebagaimana adanya. Sikap jujur dengan demikian bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk senantiasa bersikap selaras dengan nilai-nilai kebenaran, sebuah usaha hidup secara bermoral dalam kebersamaan dengan orang lain.

(8)

banyaknya informasi dan pengetahuan yang kita terima. Ketika kita menolak menerima adanya perspektif atau sudut pandang lain yang berbeda dengan diri kita, biasanya ini merupakan pertanda bahwa kita kurang memiliki interest terhadap kebenaran. Sikap demikian ini bisa dikatakan sebagai sikap abai terhadap nilai kejujuran.

Mengupayakan nilai kejujuran tidak sama dengan memperjuangkan ideologi yang sifatnya lentur dan bisa berubah setiap saat. Inilah mengapa, meskipun kita tahu bahwa kejujuran itu sangat penting bagi kehidupan, nilai kejujuran sulit (untuk mengatakan tidak dapat) menjadi norma sebuah kultur masyarakat. Ideologi senantiasa mencari pendukung yang memperkuat gagasannya dan mendukung sudut pandangnya sendiri sementara menolak dan mengabaikan pandangan orang lain. Pendekatan ideologis menganggap bahwa cara-cara mereka merupakan satu-satunya cara yang benar. Pendekatan demikian mengikis praksis perilaku jujur dan meningkatkan konflik bagi setiap relasi antar manusia.

Kejujuran memiliki kaitan yang erat dengan kebenaran dan moralitas. Bersikap jujur merupakan salah satu tanda kualitas moral seseorang. Dengan menjadi seorang pribadi yang berkualitas, kita mampu membangun sebuah masyarakat ideal yang lebih otentik dan khas manusiawi.Sokrates, misalnya, mengatakan, jika seseorang sungguh-sungguh mengerti bahwa perilaku mereka itu keliru, mereka tidak akan memilihnya.. Kesadaran diri bahwa setiap manusia bisa salah dan mengakuinya merupakan langkah awal bertumbuhnya nilai kejujuran dalam diri seseorang. Kejujuran sejati, bukan sekedar kesediaan kita menerima diri dan orang lain sebagaimana adanya demi kelangsungan hidup bersama. Kejujuran sejati juga mengandaikan bahwa kita jujur tentang kemungkinan dan potensi yang kita miliki sebagai individu. Inilah dimensi kreatif dari makna kejujuran. Kita tidak sekedar menerima diri ktia apa adanya. Menerima diri apa adanya adala awal dari kejujuran. Namun ini belum cukup. Yang kita perlukan adalah pengembangan segala potensi dan kemungkinan yang kita miliki. Inilah yang senantiasa menjadi penjaga bagi kita dalam menghadapi setiap tantangan kedepan.

Untuk memahami lebih praktis perilaku kejujuran, seringkali akan lebih mudah bagi kita menunjukkan macam tindakan-tindakan ketidakjujuran dalam kerangka pendidikan. Perilaku tidak jujur dalam konteks pendidikan antara lain:

A. Plagiarisme (plagiarism). Sebuah tindakan mengadopsi atau mereproduksi ide, atau kata-kata, dan pernyataan orang lain tanpa menyebutkan nara sumbernya.

B. Plagiarisme karya sendiri (self plagiarism). Menyerahkan/mengumpulkan tugas yang sama lebih dari satu kali untuk mata pelajaran yang berbeda tanpa ijin atau tanpa memberitahu guru yang bersangkutan.

C. Manipulasi (fabrication). Pemalsuan data, informasi atau kutipan-kutipan dalam tugas-tugas akademis apapun.

D. Pengelabuan (deceiving). Memberikan informasi yang keliru, menipu terhadap guru berkaitan dengan tugas-tugas akademis, misalnya, memberikan alasan palsu tentang mengapa ia tidak menyerahkan tugas tepat pada waktunya, atau mengaku telah menyerahkan tugas padahal sama sekali belum menyerahkannya.

E. Menyontek (cheating). Berbagai macam cara untuk memperoleh atau menerima bantuan dalam latihan akademis tanpa sepengetahuan guru.

F. Sabotase (sabotage). Tindakan untuk mencegah dan menghalang-halangi orang lain sehingga mereka tidak dapat menyelesaikan tugas akademis yang mesti mereka kerjakan. Tindakan ini termasuk di dalamnya, menyobek/menggunting lembaran halaman dalam buku-buku di perpustakaan, ensiklopedi,dll, atau secara sengaja merusak hasil karya orang lain.

(9)

masa kini, dalam lingkup akademik, perilaku ketidakjujuran akademis seperti ini dipandang sebagai perilaku negatif yang tidak terpuji. "Honesty means there are no contradictions or discrepancies in thoughts, words, or actions. To be honest to ones real self and to the purpose of a task earns trust and inspires faith in others. Honesty is never to misuse that which is given in trust."

2. Komunikasi

Setiap proses pendidikan tidak dapat menghindari diri dari kenyataan bahwa pendidikan tak lain adalah proses komunikasi. Tidak akan ada pendidikan tanpa komunikasi, sebab pendidikan merupakan intervensi sosial bagi pembentukan generasi muda agar mereka bertumbuh secara maksimal menjadi pribadi yang mandiri, dewasa dan bertanggungjawab.

Komunikasi senantiasa berkaitan dengan pembentukan komunitas, yaitu, sebuah keadaan hidup bersama yang saling membantu dan menumbuhkan setiap individu yang terlibat di dalamnya. Lembaga pendidikan sebagai sebuah lembaga formasi merupakan komunitas par excellence. Karena itu, komunikasi menjadi cara bertindak paling dasariah bagi setiap insan yang terlibat dalam dunia pendidikan. Tanpanya, lembaga pendidikan kehilangan alasan keberadaannya (raison d etre).

Sebagaimana nilai kejujuran, komunikasi mengandaikan adanya sikap terbuka terhadap yang lain (baik terhadap individu maupun lingkungan). Keterbukaan dalam komunikasi membuat setiap individu yang terlibat dalam pendidikan mengetahui visi dan misi bersama yang akan diraih oleh sebuah lembaga pendidikan. Dengan demikian mereka mampu mengarahkan diri, pemikiran, tenaga dan perilakunya pada visi dan misi yang menjadi panduan bertindak sebuah lembaga pendidikan. Komunikasi dalam pendidikan meliputi, komunikasi antar lembaga dengan individu (misalnya, antara yayasan dengan pihak pengurus sekolah), dan antar individu dalam sekolah (komunikasi antara guru-siswa, guru-guru, guru-karyawan, siswa-siswa, siswa-karyawan, karyawan-karyawan). Komunikasi dalam pendidikan juga termasuk di dalamnya komunikasi antara pihak sekolah dengan masyarakat sebagai pemangku kepentingan, dalam hal ini, mereka diwakili oleh orang tua.

Komunikasi dalam lingkup akademis secara khusus tampil dalam kesediaan dialog dalam kerangka pengembangan kemampuan akademis siswa, yaitu, dialog antar guru dan siswa, pendampingan wali kelas terhadap siswa di kelas perwaliannya, komunikasi walikelas dengan orang tua. Semua jenis komunikasi ini diarahkan demi membantu siswa mencapai pengembangan kemampuan akademis dan kepribadian yang dipersyaratkan sesuai oleh pendidikan. Ketiadaan komunikasi dapat dilihat dari gejala seperti ini, ketidakpuasan terhadap kebijakan sekolah, keluhan dari para siswa terhadap pendekatan pembelajaran tertentu yang dilakukan oleh guru, suasana tidak nyaman dalam bekerja karena masing-masing pihak mengutamakan ide dan gagasannnya. Singkatnya, pengembangan kemampuan komunikasi dalam lingkup sekolah mengandaikan adanya keterbukaan, pemahaman bersama akan visi dan misi, kesediaan untuk berdialog dan mencari jalan pemecahan terbaik jika terjadi konflik. Dalam segala hal, pribadi tersebut akan mengutamakan kepentingan umum mengatasi kepentingan pribadinya.

3. Kesederhanaan:

Menanamkan nilai-nilai kesederhanaan menjadi tantangan tersendiri bagi para pendidik di tengah arus masyarakat. Nilai kesederhanaan berkaitan dengan sikap ugahari, yaitu, sebuah perilaku untuk mempergunakan sesuatu apa adanya sesuai kebutuhan, tidak melebihi apa yang seharusnya. Dalam kerangka pendidikan, sikap sederhana ini bisa diwujudkan dalam penggunaan sarana dan prasarana secara maksimal demi pengembangan diri, semangat bekerja keras dalam belajar dan menempa diri.

(10)

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Sukamto dan Shalahuddin (2013:70) berpendapat bahwa “Data Flow Diagram (DFD) atau dalam bahasa Indonesia menjadi Diagram Alir Data (DAD) adalah representasi

1) Peserta harus berpakaian sopan dan rapi. 2) Setiap peserta harus sudah hadir di room zoom lomba paling lambat 20 menit sebelum perlombaan dimulai. 3) Peserta wajib on camera

penggunaan metode dan strategi pembelajaran yang monoton menjadikan siswa kurang termotivasi dalam mengikuti proses pembelajaran. Untuk itu diperlukan suatu metode

media pembacaan, penerimaan dan pengiriman data sensor, dan mitt app inventor yang digunakan untuk membuat aplikasi android yang berbasis block programming yang

Peristiwa komunikasi dilakukan peserta yang terlibat dalam upacara me- minang yakni pihak si ujuang berperan sebagai tamu dalam hal ini adalah keluarga perempuan

Penyusunan Rencana Kerja SKPD ( RENJA SKPD ) Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2016 masih banyak terdapat kekurangan, maka kami dengan kerendahan

Kombinasi perlakuan kompos TKKS dan pupuk NPK berbeda nyata untuk parameter laju pertumbuhan tanaman, rasio tajuk akar, berat kering tanaman, diameter