• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Dan Strategi Pengembangan Kesehatan Kerja Sektor Informal di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan Dan Strategi Pengembangan Kesehatan Kerja Sektor Informal di Indonesia"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

If,[t-

セ@

セ@

セ@

セ@ セ@

8

World Health

Organization

KEBIJAKAN DAN STRATEGI

PENGEMBANGAN KESEHATAN KERJA

SEKTOR INFORMAL DIINDONESIA

DIREKTORAT BINA KESEHATAN KERJA DAN OLAHRAGA

DIREKTORAT JENDERAL BINA GIZI DAN KESEHATAN IBU DAN ANAK

(3)

SAMBUTAN

DIREKTUR JENDERAl BII\lA GIZI DAN KIA KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa dengan selesainya penyusunan buku Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kesehatan Kerja Sektor Informal di Indonesia, kerjasama Kementerian Kesehatan dengan World Health Organization (WHO) . Dengan telah selesainya penyusunan buku ini, diharapkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan sektor informal dapat lebih berkembang dan lebih baik, sehingga dapat diwujudkan perlindungan kesehatan yang diakibatkan oleh pekerjaannya.

Perkembangan jumlah pekerja sektor informal di Indonesia , setiap tahun semakin meningkat yang bekerja diberbagai sektor antara lain pertanian , nelayan, perindustrian, perdagangan, pertambangan, transportasi dan jasa serta bidang yang lain. Namun demikian perlindungan kesehatan bagi pekerja sektor informal ini belum lebih baik.

Buku ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan pengembangan upaya kesehatan di sektor informal baik di pusat maupun daerah sampai lini terdepannya yaitu Pu skesmas sebagai penanggungjawab wilayah kerja bidang kesehatan. Keberhasilan penyelenggaraan upaya kesehatan kerja di sektor informal tidak dapat hanya mengandalkan peran kesehatan tetapi justru dibalik itu ada sektor-sektor lain yang lebih dominan perannya sebagai penanggungjawab . Untuk itu kebijakan dan strategi pengembangan kesehatan kerja sektor informal melibatkan berbagai sektor ter kait agar terwujud suatu upaya yang berkelanjutan .

Harapan melalui buku pedoman ini, semua sektor yang terkait dengan sektor informal ikut berperan aktif untuk mewujudkan pekerja yang sehat dan meningkat produktifitasnya sehingga akan semakin meningkatkan kesejahteraan pekerja , dan keluarganya.

Jakarta, September 2011

Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan Republik I

Dr. dr. H. Siamet Riyadi Yuwono, DTM&H, MARS, M.Kes Nip. 195305231980031006

Keb'lak II dOrl Stro r('91 ppnt] cmbongQll Kesehntn n kerja 5ekfor Inform al 、 ャャョ、ッョエAセゥッ@

(4)

KATA PENGANTAR

DIREKTUR BINA KESEHATAN KERJA DAN OLAHRAGA

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Perkembangan industrialisasi di Indonesia berkembang sangat pesat baik pada sektor formal maupun informal, hal tersebut dapat dilihat dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk Indonesia yang bekerja, saat ini telah mencapai 111,3 juta jiwa. Sektor informal menyerap tenaga kerja

76,69

juta jiwa. Segi kesejahteraan khususnya perlindungan kesehatan sektor informal bernasib tidak lebih baik dari sektor formal yang sebagian besar telah dijamin oleh pengusaha atau pengelola tempat kerja. Jaminan kesehatan di sektor informal perlu mendapat perhatian serius khususnya oleh pemerintah, karena dari sebagian sektor informal yang ada di Indonesia tidak ada atau tidak jelas yang memberi jaminan kesehatan kecuali oleh pekerja itu sendiri, sementara sebagian sektor informal termasuk dalam usaha kecil dan mikro yang tergolong ekonomi tidak mampu.

Keberhasilan usaha di sektor informal sangat dipengaruhi oleh dukungan sektor terkait melalui fasilitasi, pembinaan dan berbagai dukungan manajemen, sumberdaya termasuk kesehatan agar pekerja dapat hidup sehat dan terbebas dari masalah kesehatan yang timbul akibat dari pekerjaan, sehingga meningkat produktifitasnya dan kesejahteraannya. Buku ini khususnya bagi sektor kesehatan dapat dipakai sebagai acuan dalam pengembangan upaya kesehatan kerja sektor informal di Indonesia, dengan melibatkan sektor terkait dengan masing-masing peran, yang jelas kebijakan dan strategi pengembangan ini tidak akan berjalan dengan baik apabila tidak ada keterlibatan secara aktif dari sektor terkait di luar kesehatan.

Jakarta, September

2011

Direktur Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,

dr. Kuwat Sri Hudoyo, MS

(5)

DAFTAR lSI

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KESEHATAN KERJA SEKTOR INFORMAL DI INDONESIA

Sambutan Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA ... ... .... ... ... ... ii

Kata Pengantar Direktur Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga .. ... ... iii

BAB I : PENDAHULUAN .... ... ... .. ... .... .... .... ... .... ... ... ... .. ... 1

A. Latar Belakang ... ... ... .. ... ... ... ... .... .. ... .... .. ... .. 1

B. Tujuan .. .. ... .... ... ... .. ... ... .. ... .... ... ... 4

C. DasarHukum .... ... ... .... .. ... ... 5

D. Pengertian ... .. ... ... ... 6

BAB II : ANALISA SITUASI KESEHATAN KERJA SEKTOR INFORMAL DIINDONESIA ... ... ... ... .... ... ... .... ... 9

A. Perkembangan Kesehatan Kerja Sektor Informal di Indonesia .... 9

B. Komitmen dan Tantangan Global .... ... ... 22

C. Analisa SWOT (Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Tantangan) ... 25

BAB III : KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN KESEHATAN KERJA SEKTOR INFORMAL DI INDONESIA ... 27

A. Kebijakan ... .. ... ... ... .. ... ... .... ... 27

B. Strategi ... ... ... ... .... .. .. .. 28

C. Sasaran (peran lintas sektor) ... ... .. ... ... 30

BAB IV : LANGKAH-LANGKAH PENGEMBANGAN KESEHATAN KERJA SEKTOR INFORMAL DIINDONESIA ... ... .... ... 41

A. Identifikasi Kelompok Kerja Informal ... ... 41

B. Pemetaan ... ... ... .... ... ... ... ... ... . 41

C. Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Kerja (UKK) ... .... . 41

D. Pembentukan Wadah Pelayanan Kesehatan Pekerja Informal (Pos UKK) ... .. .. ... .... .. ... .. ... 45

E. Pembinaan ... ... ... .... .... ... .... .. .. ... ... .. ... 46

BAB V : PENUTUP ... .... ... .... ... 49

(6)

DAFTAR TABEL

label 1 : Pekerja Formal dan Informal di Indonesia menurut

Jenis Kelamin, 2006-2008 ... ... ... ... ... ... ... .. ... ... ... 2

label 2:

Penduduk Usia 15 Ke atas yang Bekerja Menurut

Status Pekerjaan Utama lahun 2009 - 2011 (juta orang) ... 3

label 3 : Faktor Risiko Berdasarkan Tempat Kerja ... .. .... .. ... .. .. .. .... 10

label 4 : Peran Lintas Sektor dalam Pengembangan Kesehatan

Kerja Sektor Informal .. ... ... ... .. .. ... ... .... .... .. ... 31

(7)
(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. latar Belakang

B

erdasarkan amanat UUD 1945 pasal 28 H ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam hal ini termasuk kesehatan bagi pekerja. Pada pasal34 ayat (3) menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan khususnya pada BAB XII Kesehatan Kerja pasal164 ayat (1) yang menyebutkan bahwa upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan , pad a ayat (2) menyebutkan bahwa Upaya Kesehatan Kerja meliputi pekerja di sektor formal dan informal.

Dalam analisis pembagian pekerja menjadi pekerja sektor formal dan pekerja sektor informal sering terkendala dengan data yang tersedia. Tidak adanya keseragaman secara internasional tentang definisi sektor informal dan ketersediaan data yang ada di Indonesia, pengertian pekerja informal dalam analisis ini didekati dengan status pekerjaan. Pekerja informal adalah mereka yang berusaha sendiri, berusaha sendiri dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, pekerja bebas dan pekerja keluarga/tak dibayar. Pada umumnya pekerja informal dimaknai sebagai pekerja pada pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik, pada kelompok lapangan usaha di Indonesia biasanya dimasukkan ke dalam jenis pekerjaan di sektor usaha pertanian, kehutanan, perburuan , perikanan , tenaga produksi, Pedagang Kaki Lima (PKL), becak, penata parkir, pengamen dan anak jalanan, pedagang pasar, alat angkut dan pekerja kasar.

Gambaran sektor formal-informal juga dapat menjadi sinyal perekonomian negara . Semakin maju perekonom ian, semakin besar peranan sektor formal. Sampai dengan Agu stus 2008, sektor informal

(9)

-masih mendominasi kondisi ketenagakerjaan di Indonesia dengan kontribusi sekitar 65,92 persen pekerja laki-Iaki dan 73,54 persen pekerja perempuan (TabeI1).

Tabell : Pekerja Formal dan Informal di Indonesia menu rut Jenis Kelamin,

2006-2008

-Pekerja 2006 2007 2008

Laki - Laki Perempuan Laki - Laki Perempuan

I

Laki - Laki Perempuan

r

(%) (%) (%) (%) (%) (%)

'

-Formal 32.92 25.80 33.15 25.80 34.08 26.46

Informal 67.08 74.20 66.85 74.20

I

65.92 73.54

Total 100

I 100 100 100 100 I 100

Sumber: Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernasj

Sampai bulan februari tahun 2011, jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia menurut data BPS mencapai 111,3 juta orang, bertambah sekitar 3,9 juta orang dibanding keadaan Februari 2010 sebesar 107,4 juta orang.

Secara sederhana, pendekatan kegiatan formal dan informal dari penduduk yang bekerja dapat diidentifikasi berdasarkan status pekerjaan. Dari tujuh kategori status pekerjaan utama (berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, berusaha dibantu buruh tetap, buruh/ karyawan, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di nonpertanian, pekerja keluarga/tak dibayar), pendekatan pekerja formal mencakup kategori berusaha dengan dibantu buruh tetap dan kategori buruh/ karyawan, sisanya termasuk pekerja informal. Berdasarkan identifikasi ini sesuai dengan data BPS, maka pada Februari 2011 sebesar 38,1 juta orang (34,24 persen) bekerja pada kegiatan formal dan 73,2 juta orang (65,76 persen) bekerja pada kegiatan informal.

Dari 111,3 juta orang yang bekerja pada Februari 2011, status pekerjaan utama yang terbanyak sebagai buruh/karyawan sebesar 34,5 juta orang (31,01 persen), diikuti berusaha dibantu buruh tidak tetap sebesar 21,3 juta orang (19,15 persen), dan berusaha sendiri sejumlah 21,1 juta orang (19,01 persen), sedangkan yang terkecil adalah berusaha dibantu buruh tetap sebesar 3,6 juta orang (3,23 persen). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini :

(10)

Tabel 2 : Penduduk Usia 15 Keatas yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan Utama Tahun 2009 - 2011 (juta orang)

2009 2010 2011

No Status PekerJaan Utama

Februarl Asustus Februarl Asustus Februari

1 Berusaha sendiri 20,81 21,05 20,46 21,03 21,15

-2 Berusaha dibantu buruh 21,64 21,93 21,92 21,68 21,31 tidak tetap

3 Berusaha dibantu buruh 2,97 3,03 3,02 3,2 6 3,59 tetap

4 Buruh/karyawan 28,91 29,11 30,72 32,52 34,51

5 Pekerja bebas di pertanian 6,35 5,88 6,32 5,82 5,58

-6 Pekerja bebas di non 5,15 5,67 5,28 5,13 5,16 pertanian

7 Pekerja keluarga/ 18,66 18, 19 19,68 18,77 19,98 tak dibayar

Jumlah 104,49 104,87 107,41 108, 21 111,28

-_.-Sumber: Laporan bulanan BPS, data sosial ekonomi edisi 13 Bulan Juni 2011

Tuntutan pekerjaan dengan kualifikasi pendidikan dan keterampilan memadai di perkotaan menjadi kendala pencari kerja dalam memperoleh pekerjaan . Mereka yang pada mulanya berkeinginan bekerja di sektor formal pada akhirnya bermuara di sektor informal. Wilayah pedesaan sebagai sarang sektor informal. Dari seluruh pekerja di perdesaan, lebih dari 75 persen bekerja di sektor informal, sementara di perkotaan, dari 100 pekerja, lebih dari 40 bekerja di sektor informal.

Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk meningkatkan efektivitas program pelayanan kesehatan kerja. Tetapi kebijakan dan strategi yang fokus pada aspek pengembangan pelayanan kesehatan kerja sektor informal belum ada . Alasan utama untuk memfokuskan pengembangan kesehatan kerja sektor Informal sebenarnya tidak terlepas dari makin besarnya jumlah pekerja sektor informal di Indonesia.

[image:10.404.40.363.59.303.2]
(11)

Kegiatan pelayanan kesehatan kerja sektor informal di Indonesia dilaksanakan oleh Puskesmas melalui POS Upaya Kesehatan Kerja (POS UKK). Hasil kajian kesehatan kerja sektor informal pada tahun 2007 di 8 Provinsi di Indonesia dibandingkan dengan hasil kajian mendalam tahun 2010 maka pelaksanaan pembinaan kesehatan kerja sektor informal telah mengalami berbagai perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi adalah adanya beberapa POS UKK yang sudah tidak berfungsi, tetapi di sisi lain banyak POS UKK baru yang terbentuk. Hasil studi kualitatif pada beberapa Puskesmas di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dapat disimpulkan bahwa kelancaran dan perkembangan POS UKK masih tergantung dari keseriusan dan frekuensi pembinaan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota serta adanya stimulan dari Provinsi maupun Pusat. Mengingat pembinaan kesehatan kerja sektor informal ini sangat penting jika dilihat dari angka ketergantungan ekonomi, maka harapan ke depan dari daerah adalah inisiasi Direktorat Bina Kesehatan Kerja dan Olahraga untuk menyusun Standar Pelayanan Minimal Upaya Kesehatan Kerja. Dengan demikian, upaya kesehatan kerja mendapat anggaran di tingkat daerah. (Denny, Azwar, Patriajati, Purnami, 2007 dan Denny, 2010).

Perkembangan kesehatan kerja sektor informal relatif kurang mendapat perhatian, sehingga perlu disusun Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kesehatan Kerja Sektor Informal di Indonesia. Selanjutnya kebijakan dan strategi ini diharapkan dapat menjadi alternatif kebijakan dan strategi kesehatan kerja bagi pekerja informal untuk melengkapi berbagai kebijakan program kesehatan kerja yang telah ada, sehingga dapat mengantisipasi dan memberi solusi bagi berbagai hambatan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja sektor informal di daerah.

B. Tujuan Tujuan umum :

Meningkatnya akses pemerataan dan kualitas upaya kesehatan kerja sektor informal dalam mewujudkan pekerja yang sehat yang mandiri dan berkeadilan.

Tujuan khusus :

1. Terimplementasinya kebijakan kesehatan kerja sektor informal. 2. Teridentifikasinya berbagai strategi pengembangan kesehatan kerja

sektor informal.

(12)

-3. Tercapainya peningkatan koordinasi yang sinergis dari berbagai sektor terkait dalam pengembangan kesehatan kerja sektor informal. 4. Terlaksananya pengembangan kesehatan kerja sektor informal. 5. Tercapainya peningkatan cakupan pelayanan kesehatan kerja sektor

informal.

6. Tercapainya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan kerja sektor informal.

C. Dasar Hukum

Beberapa peraturan perundangan yang terkait yaitu : 1. UUD 1945 amandemen ke-4

2. UU Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

3. UU Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. 4. UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

5. UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

6. UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

7. UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara 8. UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

9. Perpres NO.5 tahun 2010 tentang RPJMN

10. Keppres No.22 tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul Karena Hubungan Kerja .

11. Permenkes No .1075 tahun 2003 tentang Sistem Informasi Manajemen Kesehatan Kerja .

12 . Permenkes No .1758 tahun 2003 Standar Pelayanan Kesehatan Kerja Dasar.

13 . Kepmenkes No .038 tahun 2007 tentang Pedoman Pelayanan Kesehatan Kerja Pada Puskesmas Kawasan Industri .

14. Kepmenkes No.131/Menkes/SK/II/2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional.

15. Kepmenkes No : HK.03.01/60/1/2010 tentang Rencana Strategi Kemenkes RI tahun 2010-2014.

(13)

D. Pengertian

1. Upaya Kesehatan Kerja adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pekerja dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan.

2. Pekerja Informal adalah:

a. Pekerja yang berstatus berusaha sendiri, berusaha dengan buruh tidak tetap, bekerja bebas di pertanian, bekerja bebas di non pertanian dan pekerja tidak dibayar.

b. Pekerjaan yang tidak menghasilkan pendapatan yang tetap, tempat pekerjaan yang tidak terdapat keamanan kerja, tempat kerja yang tidak ada status permanen dan unit usaha yang tidak berbadan hukum.

c. Pekerja informal adalah mereka yang berusaha sendiri, berusaha sendiri dibantu buruh tidak tetap/ buruh tidak dibayar, pekerja bebas dan pekerja keluarga/tidak dibayar

3. Sektor informal menurut pengertian BPS adalah perusahaan non direktori (PND) dan rumah tangga (RT) dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 20 orang. Pekerja informal adalah tenaga kerja informal yang melakukan pekerjaannya pada suatu unit kerja tertentu, seperti: nelayan, petani dan pengrajin.

4. Pekerja informal individu adalah pekerja informal yang bekerja sendiri, seperti; tukang bakso, tukang becak, pedagang pasar, dll. 5. Kelompok informal terorganisir adalah sekumpulan pekerja informal

yang memiliki jenis pekerjaan sama bergabung dalam suatu kelompok yang memiliki kepengurusan, seperti; kelompok nelayan, petani, perajin dll.

6. Kelompok informal tidak terorganisir adalah sekumpulan pekerja informal yang memiliki jenis pekerjaan sama yang tidak tergabung dalam suatu kelompok, seperti; tukang ojek, tukang jamu gendong, dll.

7. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu

Kehij ako.r') do n Stratf' Y{ ppn gembo ng an K,".,('hn tn n K(' ri a SC' i" tor Informal dlln do neslI.)

(14)

badan, bertujuan untuk memproduksi barang ataupun jasa untuk diperniagakan secara komersial, yang mempunyai tenaga kerja 5-99 orang serta mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp . 200 juta . 8. Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) adalah wahana pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan yang dibentuk atas dasar kebutuhan masyarakat, dikelola oleh masyarakat dan untuk masyarakat, dengan bimbingan dari petugas Puskesmas dan lintas sektor terkait.

9. Desa Siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah -masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri. Sebuah Desa dikatakan menjadi desa siaga apabila desa tersebut telah mem iliki sekurang-kurangnya sebuah Pos Kesehatan Desa (Poskesdes).

10. Poskesdes adalah UKBM yang dibentuk di desa dalam rangka mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa .

11. Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja .

12. Kecelakaan Kerja (KK) adalah suatu kejadian atau peristiwa dengan unsur-unsur tidak diduga, tidak dikehendaki, tidak disengaja, terjadi dalam hubungan kerja , menimbulkan trauma/ruda paksa, kecacatan, dan kematian disamping itu menimbulkan kerugian dan/atau kerusakan properti .

13 . Balai Kesehatan Kerja Masyarakat (BKKM) adalah salah satu unit upaya kesehatan kerja yang berfungsi sebagai sarana pelayanan kesehatan dan rujukan spesifik kesehatan kerja termasuk rujukan pengetahuan dan teknis kesehatan kerja serta pengembangan teknologi tepat guna pelayanan ke sehatan kerja .

14. Pos Upaya Kesehatan Kerja (Pos UKK) adalah bentuk pemberdayaan masyarakat di kelompok pekerja informal atau sebagai wadah pelayanan kesehatan kerja yang berada di tempat kerja dan dikelola oleh pekerja itu sendiri (kader) yang berkoordinasi dengan Puskesmas (sebagai pembina) dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan pekerja untuk meningkatkan produktivitas kerjanya.

(15)
(16)

BAB II

ANALISA SITUASI KESEHATAN KERJA

SEKTOR INFORMAL 01 INDONESIA

A. Perkembangan Kesehatan Kerja Sektor Informal di Indonesia

1. Karakteristik Pekerja Informal

S

ektor informal mempunyai ciri-ciri khusus yaitu bekerja pada diri sendiri, unit usaha berskala kecil dan bersifat usaha keluarga, modal kecil , pekerja bekerja secara intensif dengan alat yang seadanya, menggunakan bahan murah atau bahan-bahan yang telah menjadi sampah, kualitas pekerjaan sering berstandar rendah , jam kerja dan gaji tidak teratur, harga sangat jarang harga pas dan bahkan sering berlaku tawar-menawar, pekerjaan sering dilakukan di rumah dan di jalan, sangat sed ikit dan bahkan tidak ada bantuan pemerintah, sering tidak berbadan hukum, banyak pekerja berjenis kelamin perempuan dan banyak pekerja anak . Sedangkan jenis pekerjaan pada sektor informal terdistribusi di jalan-jalan maupun kios-kios kecil, transportasi lokal, industri yang berskala kecil seperti kayu, logam, tekstil dan kerajinan, pekerjaan jasa, penjualan makanan, pakaian dan buah-buahan . Industri pengolahan yang termasuk dalam sektor informal misalnya: pengolahan makanan, penjahit dan reparasi mebel (llO, 2002).

2. Faktor Bahaya dan Risiko Kesehatan pada Pekerja Informal

(17)

Tabel 3. Faktor Risiko Berdasarkan Tempat Kerja

Tempat Kerja

Faktor Rlslko

Fislk Kimia Biologi Ergonomi Psikososial

1 2 3 4 5 6

Pertani an, Debu, Pestisida, Infeksi bakteri, Sikap kerja Tekanan mental Peternakan getaran, herbisida jamur, dan yang tidak berupa nil ai perkebunan, bising, dan bahan parasit berupa benar seperti hasil yang kehutanan se ngatan

si nar matahari. organofosfat lainya. cacingan, peternakan infeksi virus seperti H1Nl termasuk NS, jamur, pekerja kehutanan selain agen penyakit virus, jamur parasit dan bakteri termasuk penya kit atau kecelakaan karena gigitan/ sengatan berbisa dari binatang. jongkok dan memb ungkuk, bekerja berdiri terlalu lama, posisi duduk, posisi membungkuk dan posisi jongkok keti ka bekerja, salah posisi/sikap kerja, serta duduk tanpa sandaran ketika bekerja.

didapati dalam pekerjaan tidak sesuai dengan yang diharapkan, ketidakpuasan upah, upah terlalu renda h, dan

kekhawatiran akan PHK.

Ped aga ng Bising suara pedagang, panas, ventilasi, luas ruangan

Emisi gas buang kendaraan (polutan) yakn i CO2, Dioxin.

Virus, jamur, parasit dan bakteri .

Sikap kerja yang tidak benar seperti Jongkok dan membungkuk, bekerja berdiri terlalu lama, posisi dud uk, posisi membungkuk dan posisi jongkok ketika bekerja, salah posisi/sikap kerja, serta duduk tanpa sandaran ketika bekerja.

Hubungan sosia l yang tida k baik.

[image:17.403.46.363.68.552.2]
(18)

Faktor RIsIIco

Tempat I

KerJa Fisik Kimia Biologi Ergonomi Psikososial

1 2 3 4 5 6

Nelayan Sinar Penggunaan Virus, jamur, Sikap kerja Bekerja under

radiasi dari bahan-bahan bakteri dan yang tidak pressure

matahari , kimia untuk parasi!. benar seperti karena situasi

tekanan tangkapan jongkok dan dan kondisi di

hyperbarik, ikan. membungkuk, laut sehingga

suhu dingin, bekerja stress .

dan berdiri terlalu

perubahan lama , posi si

tekanan dud uk, posisi

udara. membungkuk

dan posisi jongkok ketika bekerja, salah posisi/sikap kerja, serta duduktanpa sanda ran ketika bekerja .

Perajin batik, Pencahayaan Pemajanan Infeksi jamur, Sikap kerja Tekanan

garment, yang kurang bahan-bahan virus, parasit yang tidak menta l berupa

tekstil, sablon memenuhi kimia dan bakteri benar seperti nilai hasil

dan yang syarat, terhadap jongkok dan yang didapati

sejenis penghawaan kulit, dan uap membungkuk, da la m

yang kurang zat kimia bekerja pekerjaan

dan panas. terhadap berdiri terlalu tidak sesuai

saluran lama, posisi dengan yang

pernafa san . duduk, pos is i diharapkan,

membungkuk ketidakpua sa n

dan posisi upah , upah

jongkok ketika terlalu

bekerja , sa lah rendah,

posisi/sikap dan

kerja, serta kekhawatiran

duduk tanpa akan PHK .

sanda ran ketika bekerja .

(19)

Faktor Risiko Tempat

Kerja Fisik

i Kimia Biologi Ergonomi Psikososial

1 2 3 4 5 6

Perajin tahu Uap panas Tumpahan Infeksi jamur, Sikap kerja Tekanan mental dan tempe dan panas, cairan panas, virus, parasit yang tidak berupa nilai

kelembaban pemajanan dan bakteri benar seperti hasil yang tinggi, zaHat kimia jongkok dan didapati dalam bau yang yang membungkuk, pekerjaan menyengat, digunakan bekerja tidak sesuai penghawaan dalam proses berdiri terlalu dengan yang kurang. penggu m pa la n lama, posisi diharapkan,

terhadap kulit duduk, posisi ketidakpuasan dan uap zat membungkuk upah, upah kimia terh- dan posisi terlalu rendah, adap saluran jongkok ketika dan

pernafasan. bekerja, salah kekhawatiran posisi/sikap akan PHK. kerja, serta

duduk tanpa sanda ran ketika bekerja.

Perajin Debu dan Uap cat/zat Vektor dan Kesalahan- Stress beban meubel kayu partikel kimia seperti binatang kesalahan kerja, hubungan

kecil kayu, H202, thinner, pengganggu konstruksi kerja yang tidak suara sanding mesin, sikap/ baik atau yang bisa sealer, posisi kerja misalnya menyebab- melamic yang tidak keadaan kan pekak clear, dan benar seperti monoton dan atau tuli, wood stain jongkok dan statis yang penerangan serta jenis membungkuk, membosankan, lampu yang cat lainnya, bekerja berdiri tekanan mental kurang baik uap, misalnya terlalu lama, berupa nilai misalnya

kelainan pada indera pengelihatan atau kesilauan

dari proses pemanasan dempul, dermatitis misalnya karena alergi

posisi duduk, serta duduk tanpa sandaran ketika bekerja, dan lain sebagainya

hasil yang didapati dalam pekerjaan tidak sesuai dengan yang diharapkan, ketidakpuasan yang

memudahkan terjadinya kecelakaan dan getaran.

dengan cat kayu,debu yang menyebabkan pneumo-conioses, diantaranya; silicosis, asbestosis, yang kesemuanya dapat menimbulkan kelelahan fisik, yang bahkan lambat laun dapat merembet pad a perubahan fisik

upah, upah terlalu rendah, dan

kekhawatiran akan PHK.

tubuh pekerja.

(20)

Tempat Kerja

Faktor Rlslko

Fislk Kimia Biologi Ergonomi Psikososial

1 2 3 4 5 6

Perajin Debu Uap timah Vektor, Posi si kerja Stress beban

peleburan pecahan hitam , parasi!, yang tidak kerja , hubungan

AKI beka s logam atau

kotoran AKI bekas, pencahayaan yang ku rang, panas, dan penghawaan yang kurang. tumpaha n logam cair, sisa -sisa pembakaran yang masih mengand ung kadar timah .

bakteri dan

virus

ben arsepe rti jongkok, duduk di lantai dan membungkuk, bekerja berdiri terlalu lama, posisi duduk, posisi membungkuk dan po sisi j ongkok ketika bekerja , sa lah pos isi/s ikap kerja, serta duduk tanp a sanda ran ketika bekerja .

kerja, tekanan mental berupa nilai hasil yang didapati da lam pekerjaan tidak sesuai dengan yang diharapkan, ketidakpuasan upah,upah terlalu rendah , dan

kekhawatiran akan PHK .

Perajin Debu/ Pajanan Bakteri, viru s, Posisi kerja Hubungan

penyamakan serbu k kulit, bahan kimia dan vekto r yang tid ak kerja yang

kuli t pencahayaan

kurang, dan kelembaban rendah.

terhadap ku -lit, terutama asam sulfat (H2S04) dan asam formiat, pajanan dari berbagai jeni s bahan kimia terutama garam -ga ram logam berat Cr berupa Natrium Bikhromat dan Kalium Bikhromat, chromium (Cr) se bagai uap . Pajanan dari serbuk cat yang berasal dari

spray gun .

pengganggu . benar seperti

jongkok, duduk di la ntai dan membungkuk, bekerja berdiri terlalu lama , posisi duduk, posisi membungkuk da n posisi jo ngkok ketika bekerja , salah posisi/sikap kerja, serta duduktanpa sanda ran ketika bekerja .

tidak harmon is, bekerja dalam lingkungan yang jelek, dibawah tekana n, Tekanan mental berupa nilai hasil yang didapati dalam pekerjaan tidak sesuaid engan yang diharapkan, ketidakpuasa n upah, upah terlalu rendah , dan

kekhawa tiran akan PHK .

(21)

Faktor Rlslko Tempat

Kerja Fisik Kimia Biologi Ergonomi Psikososial

I

1 2 3 4 5 6

Perajin Pencahayaan Bahan-bahan Sisa-sisa Sikap kerja Peningkatan sepatu / tas / dan kimia (perekat, bahan sebagai yang tidak ketegangan kulit penghawaan pelarut) sarang vektor benar (tidak fisik akibat

yang kurang, terhadap dan bakteri. ergonomis) tekanan debu/partikel kulit, misalnya seperti kerja terhadap sese tan kulit chlorophene, berulang, waktu dapat ma suk bekerja penyelesaian ke dalam

benzena dll,

dalam po stur pekerjaa n, pemaj anan

tubuh melalui berbagai tidak sesuai, Tekanan pernafa san, uap logam/ gerakan mental berupa panas, dan uap zat-zat berulang nilai hasil yang

bising . monoton. didapati dalam

pernafasan kimia saluran

pekerjaan

dan mata tidak sesuai

misalnya cat, dengan yang

diha rapkan, perekat dll,

vern is, semir,

ketidakpua san larutan kimia upah , upah

misalnya terlalu rendah,

asam sulfat, dan

kalium, kekhawatiran

bikhromat, aka n PHK .

natrium sulfat.

Tekanan mental batu -batuan

Virus, bakteri , Sikap kerja Bising, debu , Debu silica

Perajin

berupa nilai getaran.

jamur dan yang tidak pana s, dan dan debu

benar (tidak hasil yang ergonomis)

kapur parasit .

didapati dalam sepe rti kerja pekerjaan berulang, tidak sesuai bekerja dengan yang dalam postur diharapka n, tidak sesuai, ketidakpuasan gerakan upah, upah berulang terlalu rendah , monoton. dan

kekhawatiran akan PHK .

(22)

Faktor Risiko Tempat

Kerja

II Fisik Kimia Biologi Ergonomi Psikososial

1 2 3 4 5 6

Transporta si Bising, debu, Timbal, Jamur dan Berkendaraan Tekanan

(ojek, sopir) panas, dan Benzen, dan parasit. >4 jam. mental berupa

getaran . Hg nilai hasil yang

didapati dalam pekerjaan tidak sesuai denganyang diharapkan .

Manufacturing Pencahayaan Uap logam , Jamur dan Sikap kerja Tekanan mental

(tukang las, kurang, cat, fernis bakteri yang tidak berupa nilai

pengecatan) debu logam , debu amplas, benar{tidak ha si l yang

panas, dan si nar las. ergonomis) didapati dalam

getaran,dan seperti kerja pekerjaan

sinar las. berulang, tidak sesuai

bekerja dengan yang

dalam postur diharapkan,

tidak sesuai, ketidakpuasan

gerakan upah , upah

berulang terlalu rendah ,

monoton. dan

kekhawatiran akan PHK .

Pekerja Beban kerja, Oli, pelumas, Jamur, Sikap kerja Tekanan mental

bengkel kebisingan, debu, asap parasit, dan yang tidak berupa nilai

getaran, knalpot , dan bakteri. benar{tidak hasil yang

benda tajam karat . ergonomi s) didapati dalam

dan tekanan seperti kerja pekerjaan

panas berulang, tidak sesuai

bekerja dengan yang

dalam postur diharapkan,

tidak sesuai, ketidakpuasan

gerakan upah , upah

berulang terlalu rendah,

monoton . dan

kekhawatiran akan PHK .

(23)

Selain bahaya-bahaya yang berasal dari bahan maupun lingkungan kerja yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan kerja, pekerja informal juga tidak memiliki kesadaran akan bahaya di lingkungan kerja. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan tentang metoda kerja, lingkungan tempat kerja yang memenuhi standar kesehatan dan keamanan bekerja.

Perilaku kerja dan gaya hidup yang tidak sehat misalnya; bekerja sambil merokok, kondisi status kesehatan pekerja yang belum diperhatikan oleh pemilik usaha maupun pekerja yang bersangkutan, kurangnya pembinaan dan pendampingan dari instansi yang berkepentingan serta kurangnya kema mpuan kapasitas pembina kesehata n kerja da n ku rangnya koordinasi antar lintas program dan lintas sektor juga merupakan kondisi yang masih belum menjadi suatu prioritas nasional (Depkes, 2008).

3. Masalah Kesehatan Kerja Sektor Informal di Indonesia

Dari 27 negara yang dipantau oleh ILO pada tahun 2001, Indonesia berada pada urutan ke 26 untuk jumlah kasus kematian, kesakitan dan kecelakaan akibat kerja. Sementara itu dari data Jamsostek pada tahun 2003 diketahui bahwa setiap hari kerja terjadi 7 kematian pekerja dari 400 kasus kecelakaan kerja, 9,83% (10,393 kasus) mengalami cacat dan terpaksa tidak mampu bekerja lagi.

Angka ini merupakan angka yang dilaporkan, sedangkan angka sesungguhnya belum diketahui secara pasti. Data penyakit akibat kerja belum masuk Sistem Informasi Kesehatan Nasional sehingga data yang ada biasanya hanya data Kecelakaan Kerja dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang biasanya merupakan data yang bersumber dari laporan yang dikirim oleh Dinas Tenaga Kerja Provinsi yang bersumber dari laporan perusahaan maupun bersumber dari klaim asuransi kecelakaan di PT. Jamsostek.

Karena kondisi sistem informasi kesehatan nasional belum mencantumkan sistem pelaporan kesehatan kerja khususnya penyakit akibat kerja, maka data kesehatan kerja atau keluhan kesehatan secara subyektif dari pekerja diperoleh dari data hasil-hasil penelitian yang sifatnya sporadis dari berbagai kajian instansi kesehatan maupun hasil-hasil penelitian dari perguruan tinggi . Beberapa hasil kajian kesehatan kerja yang cakupan area penelitiannya cukup luas adalah sebagai berikut:

(24)

a. Hasil studi Pusat Kesehatan Kerja, Depkes (2004) di 8 Provinsi pada pekerja informal didapatkan gambaran bahwa 75,8% Perajin Batu Bata mengalami gangguan Otot Rangka ; 41% Perajin kulit & Petani Kelapa Sawit mengalami gangguan Mata dan 23,2% Perajin Batu Onix mengalami gangguan Dermatitis kontak/alergi.

b. Profil Masalah Kesehatan Pekerja di Indonesia (Depkes, 2005) menunjukkan 40.5%dari pekerja memiliki keluhan gangguan kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaannya antara lain : 16% Muskulo Skeletal Diseases; 8% gangguan kardiovaskuler; 6% gangguan Saraf; 3% gangguan pernafasan; 1,5% gangguan THT dan 1,3% gangguan Kulit.

c. Hasil Kajian Departemen Kesehatan RI (2006) tentang Pembiayaan Jaminan Kesehatan bagi Pekerja Informal yang terorganisir, didapatkan gambaran sebagai berikut: 46% responden sudah melaksanakan upaya pengumpulan dana untuk berobat yang pada umumnya dikelola oleh kelompoknya. Keluhan sakit yang dirasakan dalam 1 bulan terakhir yaitu : pegal-pegal (67%), pilek (45%) dan batuk (42%) . Bila pekerja tidak mampu bekerja karena sakit atau kecelakaan akan menyebabkan terganggu pekerjaannya dengan rata-rata waktu terganggu 3 hari dan rata-rata kehilangan pendapatan Rp 182

.000,-d.  Hasil  kajian  Kesehatan  Kerja  oleh  Direktorat Bina  Kesehatan  Kerja  di  8  Provinsi  (2007) yang  melibatkan 704  responden  menunjukkan  bahwa  keluhan  sakit  berupa  batuk  dan  pegal  adalah  keluhan  yang  paling  sering  dirasakan  oleh  para  perajin;  buruh  pembuat/penggali  bahan  bangunan,  bengkel;  pedagang;  pekerja  industri bahan  kimia ; buruh di  pertanian/perkebunan, penjahit, sopir dan pembuat makanan seperti  krupuk,  empek­empek,  kripik  dan  tempe.  Kehilangan  hari  kerja  pada  satu  bulan  terakhir  karena  sakit  berkisar  pada  rerata  0,72  hari  dan  oleh  kecelakaan  akibat kerja  (KAK)  rerata  0,96 hari.  Rerata  biaya yang  dikeluarkan untuk pengobatan/pemeliharaan kesehatan  karena sakit/  kecelakaan  bagi  yang  membiayai  sendiri  diperkirakan  sebesar  Rp .  41.238,­ per bulan . Pelatihan  kerja  merupakan  salah  satu  cara  untuk  mencegah dan  meminimalkan terjadinya  kecelakaan  kerja,  tetapi dari  hasil  tersebut  hanya  sekitar  26%  responden  yang  pernah  mendapat  pelatihan sehubungan  dengan tugas sekarang.  Kecelakaan  di tempat  kerja  dialami oleh 34,2%  responden . 

(25)

4. Pelayanan Kesehatan Kerja Sektor Informal

Dari hasil studi kajian kesehatan kerja di 8 Provinsi Tahun 2007 diketahui bahwa hanya 25,6% tempat kerja yang memiliki tempat pelayanan kesehatan, tetapi seluruhnya melayani pengobatan . Data penyakit akibat kerja (PAK) tidak bisa di akses karena belum adanya sistem pencatatan khusus PAK di tempat pelayanan kesehatan . Hanya 38,07% responden yang menggunakan alat pelindung diri (APD) sewaktu bekerja - pada umumnya berupa sarung tangan, helm/tutup kepala, kaca mata, masker, dan lain-lain. Hanya sebagian kecil (14%) responden yang mengetahui tentang pos UKK, dengan opini responden sebagian besar mengharapkan pelayanan pengobatan kualitas obat bermutu di pos UKK.

a. SDM Kesehatan Kerja

Program Kesehatan Kerja di Sektor Informal memerlukan SDM yang kompeten di bidang Kesehatan Kerja . Peningkatan kompetensi dapat dari berbagai pertemuan ilmiah maupun hasil bacaan, publikasi dari berbagai perguruan tinggi . Kompetensi keahlian di bidang kesehatan kerja, dapat diperoleh melalui pelatihan dan pendidikan formal mulai D3 sampai dengan Spesialis bahkan sampai jenjang Doktor (S3) dalam bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan Kedokteran Okupasi, namun saat ini di Indonesia jumlahnya masih terbatas. Keadaan tenaga ahli K3 yang bebasis pendidikan kesehatan masyarakat setiap tahunnya diperkirakan bertambah 1.600 lulusan baru . Kebanyakan lulusan ini diserap oleh industri sebagai petugas keselamatan kerja. Untuk dokter spesialis okupasi (kedokteran kerja) pada saat ini masih di bawah 100 orang sedangkan S2 Okupasi 211 orang. Keberadaan jumlah lulusan ini dalam melaksanakan tugas yangsesuai dengan kompetensi pendidikannya tidak tercatat. Ahli kesehatan kerja yang memperoleh sertifikat melalui pelatihan pada umumnya adalah tenaga kesehatan dan non ke sehatan yang berminat dalam bidang kesehatan kerja, mengikuti berbagai kursus dan pelatihan terstruktur yang dapat menjadikan seseorang ahli dalam bidang kesehatan kerja .

Dalam berbagai pertemuan dan diskusi juga dibahas bahwa Kementerian Tenaga Kerja dan Tran smigrasi belum memiliki kecukupan jumlah ahli K3 berlatar belakang pendidikan formal di bidang K3 sesuai luasnya cakupan wilayah pengawasan K3 di tempat kerja . Bahkan setelah diberlakukannya

(26)

otonomi daerah, di beberapa Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota terjadi mutasi petugas Pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Pengawas K3) yang sudah mempunyai sertifikat kompetensi Pengawas K3 dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan mendapat tugas atau ditempatkan di kantor yang tidak terkait dengan tugas-tugas pengawasan K3 pada tenaga kerja.

Dari data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2005 diketahui bahwa jumlah dokter dengan keahlian kesehatan kerja yang telah mengikuti pelatihan hiperkes tercatat sebanyak 14.277 orang dan perawat sebanyak 7.405 orang. Pelatihan ini belum mencerminkan standar kompetensi SDM kesehatan kerja sesuai yang tertera dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia, Nomor: Kep. 42/Men/III/2008 Tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Ketenagakerjaan Bidang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja .

Perhitungan kebutuhan tenaga ahli kesehatan kerja sampai dengan tahun 2010 jika dibandingkan jumlah angkatan kerja dan cakupan wilayah di Indonesia diperkirakan sebesar 70.000 orang dengan kompetensi seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, Nomor: Kep. 42/Men/III/2008, maupun kompetensi yang akan diusulkan dalam Jabatan Fungsional Ahli Kesehatan Kerja di Departemen Kesehatan. Hal ini terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996.

b. Fasilitas Pelayanan Kesehatan 1) Pos UKK

Pos UKK merupakan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat dalam menjalankan kegiatannya meliputi upaya promotif, preventif dan pengobatan sederhana yang bersifat pertolongan pertama pada kecelakaan dan pertolongan pertama pada penyakit . Dari hasil kajian terhadap pola pelayanan Pos UKK (Depkes, 2007) diketahui Pos UKK yang melakukan upaya promotif berbentuk penyuluhan sebesar 91,3%, upaya pencegahan identifikasi potensi risiko 78,3%, penyediaan contoh dan penggunaan APD 65,2%, dan mendorong usaha perbaikan lingkungan kerja 80,4%, upaya pengobatan di bidang P3K 88,9% dan pertolongan pertama pada penyakit 82,6%. Pembinaan Puskesmas terhadap Pos UKK dilakukan dengan mengirim tenaga pendamping

(27)

yang datang secara berkala. Baru sekitar 32% tenaga pendamping pernah mendapat pelatihan K3. Demikian pula dengan kader Pos UKK baru 16% yang pernah mendapat pelatihan K3.

2) Pas Kesehatan Desa (Paskesdes)

Poskesdes merupakan salah satu terobosan pembangunan kesehatan dalam pemberdayaan masyarakat dan salah satu Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dibentuk di desa dalam rangka mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa yang meliputi kegiatan peningkatan hidup sehat (promotif), pencegahan penyakit (preventifj, pengobatan (kuratif) yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan (terutama bidan) dengan melibatkan kader atau tenaga sukarela lainnya .

Poskesdes fungsinya sebagai pembina UKBM di wilayahnya . Poskesdes walaupun bersumberdaya masyarakat, namun mengingat kemampuan masyarakat terbatas, pemerintah membantu stimulan biaya Operasional Poskesdes melalui anggaran Dana Bantuan Sosial Pembangunan Poskesdes. Selain stimulan dari Kementerian Kesehatan diharapkan Pemda dan Lintas Sektor terkait turut m.embantu operasional Poskesdes .

3) Puskesmas

Pola penyelenggaraan pelayanan Kesehatan Kerja Dasar dilakukan oleh 55% Puskesmas, yang bila dipilah berdasarkan lokasi, maka penyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja dasar dilaksanakan oleh 79% Puskesmas di Jawa, namun hanya 42 % di luar Jawa. Hanya 27 % Puskesmas yang melakukan pembinaan Pos UKK . Hal ini di sebabkan: • Belum adanya instruksi dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

dan provinsi selaku atasan Puskesmas, karena Program Kesehatan Kerja belum menjadi prioritas di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Provinsi.

• Keterbatasan Sumber Daya Manusia, baik secara kualitas maupun kuantitas.

• Ketersediaan sarana dan prasarana, termasuk obat-obatan yang belum memenuhi standar untuk menyelenggarakan Pelayanan kesehatan Kerja Dasar.

(28)

Konsep Pelayanan Kesehatan Kerja Dasar adalah upaya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat pekerja secara minimal dan paripurna meliputi upaya peningkatan kesehatan kerja, pencegahan, penyembuhan serta pemulihan Penyakit Akibat Kerja dan Penyakit Akibat Hubungan Kerja (PAK dan PAHK) oleh institusi pelayanan kesehatan kerja dasar. Perkembangannya merupakan suatu jalan ke tahapan yang diharuskan oleh Konvensi ILO No. 161/1985 dan No 155/1981 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja. Berdasarkan hal tersebut, dikembangkan konsep pelayanan kesehatan kerja pada Puskesmas di kawasan Industri yang dikembangkan berdasarkan sK Menkes No 128/Menkes/sK/II/2004. Puskesmas yang di dalam wilayah kerjanya terdapat kawasan industri mempunyai tanggung jawab mengembangkan pelayanan kesehatan yang dilakukan dengan melaksanakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat pekerja . Dalam suatu kawasan industri biasanya terdapat beragam jenis usaha dari industri besar, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) serta jenis usaha informal. Peran para pengandil (Pemerintah daerah, Dinas Perindustrian, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Kesehatan yang terdiri dari lintas program yang terkait, Pengusaha, serikat Pekerja) sangat diperlukan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan kerja

4) Balai Kesehatan Kerja Masyarakat

BKKM merupakan sarana pelayanan kesehatan kerja rujukan, yang keberadaannya saat ini baru berjumlah 5 BKKM se-Indonesia (Banten: Tangerang, Jawa Barat: Bogor, Bandung, Bekasi dan IViakassar) dengan tugas pokok dan fungsi adalah sebagai rujukan pelayanan kesehatan kerja, pendidikan dan pelatihan , serta penelitian kesehatan kerja.

5) Rumah Sakit

Pola pelayanan Rumah sakit untuk sa at ini hanya menerima rujukan pasien dan belum melaksanakan pelayanan kesehatan kerja, misalnya: pelayanan pengobatan, serta pencatatan dan pelaporan. Untuk pencatatan dan pelaporan penyakit yang terkait dengan pekerjaan, telah diintegrasikan dalam pencatatan dan pelaporan Rumah sakit RL2a dan 2b, tetapi sa at ini belum dimasukkan dalam sistem informasi data kesehatan nasional. Pencatatan dan pelaporan penyakit ini juga lebih merupakan kepentingan klaim asuransi untuk pembiayaan pasien di Rumah Sa kit.

(29)

c. Jaminan Kesehatan

Pekerja sektor informal belum maksimal memperoleh perlindungan jaminan kesehatan, walaupun telah ada regulasi yang mengatur ini, tapi belum sampai menyentuh ke pelayanannya . Khusus untuk kelompok pekerja informal miskin telah dilindungi melalui jamkesmas dengan catatan yang terdaftar sebagai peserta jamkesmas.

Tantangan ke depan adalah bagaimana memberikan jaminan kesehatan secara komprehensif kepada pekerja sektor informal.

B. Komitmen dan Tantangan Global 1. Drganisasi Perburuhan Dunia (lLD)

Beberapa Konvensi penting berkaitan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja yaitu : Konvensi ILO No. 155/1981 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Konvensi ILO No. 161/1985 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja di Tempat Kerja, Konvensi ILO No.182/1999 tentang Pelarangan dan Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, serta Konvensi ILO No . 187/2006 tentang Kerangka Promosi untuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang berisi himbauan bagi semua negara agar mengimplementasikan dan membudayakan K3. Selain itu, untuk mengurangi penyakit yang berkaitan dengan kerja dan kecelakaan akibat kerja, pada tahun 2003 ILO mengeluarkan Strategi Global Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, Indonesia sudah meratifikasi konvensi ILO NO.138 dengan menerbitkan Undang-Undang RI NO.20 Tahun 1999, inti dari persoalan dalam pengesahan konvensi ini adalah untuk menghapuskan segala bentuk praktek mempekerjakan anak serta meningkatkan perlindungan dan penegakan hukum secara efektif sehingga akan lebih menjamin perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi, pekerjaan yang membahayakan keselamatan dan kesehatan anak, mengganggu pendidikan, serta mengganggu perkembangan fisik dan mental anak. Salah satu pasal dalam UU ini menyatakan bahwa Usia Minimum untuk diperbolehkan bekerja di setiap jenis pekerjaan, yang karena sifat atau keadaan lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral orang muda, tidak boleh kurang dari 18 tahun (Pasal 3).

Indonesia juga telah mengesahkan Konvensi ILO No.182 tentang pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan

(30)

terburuk untuk anak, dengan menerbitkan Undang-Undang No.1 Tahun 2000. Dalam Pasal7 ayat 1 dan ayat 2 disebutkan bahwa "Setiap anggota wajib mengambil semua tindakan yang perlu untuk memastikan agar ketentuan-ketentuan yang memberlakukan konvensi ini diterapkan dan dilaksanakan seeara efektif, termasuk ketentuan dan penerapan sanksi pidana dan sanksi-sanksi lain sebagaimana perlunya. Setiap anggota wajib, dengan memperhitungkan pentingnya pendidikan dalam menghapuskan kerja anak, mengambil tindakan efektif dan terikat waktu untuk :

(a) Meneegah penggunaan anak-anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak;

(b) Memberikan bantuan langsung yang perlu dan sesuai untuk membebaskan anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan untuk rehabilitasi serta integrasi sosial mereka; (e) Menjamin tersedianya pendidikan dasar seeara euma-euma, dan

bila mungkin dan sesuai, pelatihan kejuruan bagi anak-anak yang telah dibebaskan dari bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; (d) mengidentifikasi dan menjangkau anak-anak berisiko khusus;

(e) Memperhitungkan situasi khusus anak-anak perempuan .

Dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, dijelaskan bahwa Pengusaha dilarang mempekerjakan anak (pasal 68), keeuali bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial (pasal 69 ayat 1). Dalam pasal 73 dinyatakan bahwa anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, keeuali dapat dibuktikan sebaliknya. Pasal 74 ayat (1) menerangkan bahwa siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk . Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud  meliputi : 

a.   segala  pekerjaan  dalam bentuk perbudakan atau  sejenisnya ; 

(31)

c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau

d . semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak (Pasal 74 ayat 2) .

2. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

Pada tahun 1996, WHO merumuskan Strategi Global Kesehatan Kerja yang ditujukan bagi seluruh pekerja . Rumusan tersebut meliputi 10 strategi untuk mencapai tujuan kesehatan bagi semua pekerja dalam resolusi WHA 49.12. Selanjutnya pada tahun 2007 dihasilkan agenda baru dalam resolusi WHA 60 .26 yang bertujuan membangun dan memperluas Rencana Aksi Global WHO 1996 dan memfokuskan pada 5 kegiata n, yaitu:

(I) Merancang dan mengimplementasikan instrumen kebijakan kesehatan kerja,

(2) Melindungi dan mempromosikan kesehatan di tempat kerja, (3) Meningkatkan performa dan akses pelayanan kesehatan kerja, (4) Menyajikan dan mensosialisasikan bukti yang ada untuk

pelaksanaan aksi serta praktik-praktik yang telah dikerjakan , dan (5) Memasukkan kesehatan kerja ke dalam program lain . Menurut

WHO, Health for All principles and ILO Conventions on Occupational Safety and Health (No . 155) and on Occupational Health Services (No . 161) setiap pekerja mempunyai hak untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan dan keselamatan kerja dengan tidak membedakan sektor ekonomi, besarnya perusahaan, jenis tugas dan pekerjaan, (WHO, 1995).

3. Millenium Development Goals (MDGs)

MDGs merupakan deklarasi/komitmen global dari negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). yang bertujuan mendorong pembangunan dengan meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi dinegara-negara miskin didunia. Dalam deklarasi tersebut ditetapkan 8 (delapan) Indikator Pembangunan International, yaitu :

1) Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. 2) Memenuhi pendidikan dasar untuk semua.

(32)

3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. 4) Menurunkan angka kematian balita 2/3 nya antara 1990 - 2015. 5) Meningkatkan kualitas kesehatan ibu.

6) Memerangi HIV AIDS Malaria dan penyakit menular lainnya. 7) Menjamin kelestarian lingkungan hidup.

8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

4. The International Conference on Occupational Health Aspects of Industrial Development and Informal Sector (ICOHIS)

The International Conference on Occupational Health Aspects of Industrial Development and Informal Sector (ICOHIS) merupakan

konferensi yang diadakan untuk membicarakan secara khusus kesehatan kerja pekerja di sektor informal. Statement ICOHIS 2005 yang diadakan di Yogyakarta secara garis besar mengisyaratkan sebagai berikut : bahwa pemberdayaan pekerja sektor informal antaranya melalui akses yang lebih baik terhadap sumber daya biaya, penguatan kesehatan sosialnya serta institusi ekonomi yang seharusnya ditingkatkan melalui koordinasi semua sektor yang lebih baik. Selain itu upaya bersama semua pihak, yakni pemerintah, profesional, akademisi, pekerja dan pengusaha, NGOs, tokoh masyarakat, dalam hal pemecahan masalah dalam hal peningkatan kesehatan pekerja informal.

C.

Analisa SWOT (Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Tantangan) Hasil kajian kesehatan kerja di 8 Provinsi Tahun 2007 dan mempertimbangkan masukan di seminar dari berbagai lintas program maupun lintas sektor digambarkan situasi SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) atau analisis faktor kekuatan, kelemahan, peluang

dan ancaman sebagai berikut: 1. Kekuatan

a. Tersedianya regulasi di bidang kesehatan kerja, misalnya : Peraturan perundangan di bidang keselamatan kerja, bidang kesehatan kerja, Sistim Kesehatan Nasional, dan Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK).

b. Jaringan pelayanan kesehatan telah tersebar luas sebagai tempat pelayanan kesehatan.

c. Adanya beberapa Kabupaten/Kota yang mempunyai APBD untuk kegiatan kesehatan kerja .

d . Pembinaan secara berjenjang sudah terlaksana.

(33)

2. Kelemahan

a. Sosialisasi dan advokasi masih lemah.

b. Jumlah, distribusi dan kompetensi SDM di bidang Kesehatan Kerja masih kurang.

c. Jumlah dana operasional yang ada belum mencukupi. d. Sistem pelaporan, pencatatan dan informasi masih lemah. 3. Peluang

a. Banyaknya dukungan berbagai pelatihan dari pemerintah dan swasta .

b. Jumlah pekerja sektor informal sangat besar dan sebarannya sangat luas.

c. Banyaknya lintas sektor yang terlibat dalam pembinaan. d. Dukungan kredit usaha mikro, KUR, PNPM dsbnya. 4. Tantangan

a. Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang kesehatan.

b. Pendapatan relatif lebih kecil dan tidak teratur.

c. Umumnya pekerja sektor informal tidak terorganisir/belum terbentuk kelompok.

d. Kurangnya kepedulian, kesadaran dan dukungan majikan terhadap kesehatan kerja.

(34)

BABIII

KEBIJAKAN DAN STRATECI

PENCEMBANCAN KESEHATAN KERJA

SEKTOR INFORMAL DI INDONESIA

A. Kebijakan

1. Visi Misi Kementerian Kesehatan

a. Visi Kementerian Kesehatan

Masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan yaitu mewujudkan keadaan sehat fisik-jasmani, mental-spritual dan sosial, yang memungkinkan setiap induvidu dapat hidup secara produktif secara sosial dan ekonomis melalui operasionaliasi masyarakat sehat, mandiri dan berkeadilan dapat segera terwujud .

b. Misi Kementerian Kesehatan

1) Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan masyarakat termasuk swasta dan masyarakat madani

2) Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan.

3) Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan. 4) Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik.

2. Tujuan dan Arah Kebijakan

a. Tujuan Kebijakan

Tujuan Kebijakan Kesehatan Kerja Sektor Informal adalah untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. b. Arah Kebijakan

Kebijakan Kesehatan Kerja Sektor Informal diarahkan pada : 1) Peningkatan upaya kesehatan promotif, preventif, kuratif dan

rehabilitatif;

2) Perlindungan jaminan kesehatan;

3) Kebijakan pengelolaan kesehatan kerja sektor informal di daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, pekerja dan pemberi kerja;

4) Pengembanan dan penguatan fasilitas pelayanan kesehatan pekerja informal milik pemerintah, swasta dan UKBM .

(35)

B.Strategi

1. Penguatan kebijakan untuk mendukung Kesehatan Kerja Sektor Informal

Fokus:

a. Penyusunan kebijakan pusat dan daerah sebagai payung hukum untuk mobilisasi sumber daya dan disain jenis pelayanan Kesehatan Kerja Sektor Informal sesuai kebutuhan di daerah antara lain; menjamin kecukupan pendanaan, operasionalisasi Kesehatan Kerja Sektor Informal secara rutin dan kecukupan untuk dana pengembangan fasilitas pelayanan kesehatan kerja sektor informal ; pengembangan jaminan sosial (kesehatan dan kecelakaan kerja) bagi pekerja sektor informal di daerah; sistem penghargaan dan/insentifyang adil, menarik dan signifikan kepada pekerja/pengusaha terkait penerapan kesehatan kerja sektor informal di tempat kerja.

b. Advokasi, sosialisasi dan penegakan berbagai peraturan perundangan.

c. Pemantauan evaluasi yang terka it dengan peraturan perundangan.

2. Penguatan pelayanan Kesehatan Kerja Sektor Informal yang paripurna, bermutu dan terjangkau

Fokus:

a. Penyusunan Norma, Standar, Pedoman dan Kriteria terkait dengan kesehatan kerja informal.

b. Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang terjangkau, merata dan berkualitas termasuk sektor swasta dan UKBM .

c. Penyediaan distribusi pemerataan SDM kesehatan kerja yang berkompeten.

d. Penyediaan sarana dan prasarana di fasilitas kesehatan. e. Peningkatan kapasitas SDM kesehatan Kerja .

f. Dukungan biaya operasional. g. Sistem informasi kesehatan kerja .

(36)

3. Meningkatkan pemberdayaan pekerja sektor informal dan swasta dalam pelaksanaan kesehatan kerja

Fokus:

a. Meningkatkan upaya promosi kesehatan dalam mencapai perubahan perilaku dan kemandirian pekerja sektor informal untuk hidup sehat.

b. Meningkatkan mobilisasi pengusaha/majikan dalam rangka pemberdayaan melalui advokasi, kemitraaan dan peningkatan sumber daya pendukung untuk pengembangan sarana dan prasarana dalam mendukung Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) seperti pos UKK.

c.

Meningkatkan advokasi dalam rangka meningkatkan pembiayaan APBD untuk kesehatan kerja sektor informal termasuk dari dunia usaha melalui Corporate Social Responsibility (CSR).

d. Meningkatkan upaya promosi kesehatan kepada pekerja sektor informal dalam Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) terutama pada pemberian ASI eksklusif, perilaku tidak merokok, kesehatan lingkungan kerja dan cara kerja yang aman dan sehat.

e. Meningkatkan keterpaduan pemberdayaan pekerja sektor informal di bidang kesehatan dengan kegiatan yang berdampak pada peningkatan pendapatan .

f. Pembentukan kelompok-kelompok sektor informal.

4. Peningkatan kemitraan masyarakat lintas sektor termasuk swasta Fokus:

a. Meningkatkan kemitraan lintas sektor dan lintas program, terutama dengan Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Koperasi dan U KM, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Pertanian, Kelautan dan Perikanan , Perdagangan, Perindustrian, Perhubungan, Pemberdayaan Perempuan, Ekonomi, Sosial, ESDM, Dalam Negeri, Bappenas, PT. Jamsostek, Forum Asosiasi Pekerja/pengusaha sektor informal dan Pemerintah Daerah .

b. Pembinaan terpadu.

(37)

C. Sasaran (peran lintas sektor)

1. Pusat

Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang berkaitan dengan pengembangan kesehatan kerja sektor informal mempunyai peran dan fungsi untuk :

a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan sesuai bidangnya masing-masing;

b. Pengawasan atas pelaksanaan tugas sesuai bidangnya masing-masing; 

c.

Pelaksanaan  bimbingan  teknis  dan  supervisi  atas  pelaksanaan  tugas  sesuai  bidangnya. 

Pelaksanaan  kegiatan  teknis  sesuai  dengan  tugas  bidangnya  masing-masing  dapat  dikelompokkan  menjadi  Kementerian  Koordinatif  dan  Kementerian Teknis. 

Kementerian  Koordinatif diantaranya: 

•   Kementerian Dalam Negeri yang bertugas dalam melakukan koordinasi  dan sinkronisasi antar kementerian  untuk seluruhnya 

•   Kementerian Keuangan bertugas dalam merencanakan penganggaran  dari  program  dan  kegiatan  di  dalam  pengembangan  kesehatan  kerja  sektor informal. 

Kementerian Teknis  diantaranya: 

•   Kementerian  Kesehatan  bertanggung  jawab  dalam  perumusan,  penetapan dan  pelaksanaan  kebijakan yang terkait bidang kesehatan  kepada  seluruh  pekerja  sektor informal. 

•   Kementerian  Tenaga  Kerja  dan  Transmigrasi  berperan  dalam  perumusan  kebijakan,  NSPK  dan  pembinaan  hal­hal  yang  berkaitan  dengan  ketenagakerjaan  sektor informal di  Indonesia. 

•   Kementerian Teknis  lainnya  diantaranya;  Kementerian  Perindustrian,  Perdagangan,  Pertanian,  ESDM,  Sosial,  Perikanan  dan  Kelautan,  Perhubungan  dan  Kementerian  Koperasi  dan  UKM  mempunyai  fungsi  dalam  perumusan  kebijakan  sesuai  bidangnya  masing­masing  dan  pelaksanaan  bimbingan  teknis  dan  supervisi  atas  pelaksanaan  kesehatan  kerja  sektor  informal  di  Indonesia.  Peran  Lintas  Sektor  dalam  Pengembangan  Kesehatan  Kerja  Sektor Informal  dapat dilihat  pada  table 4  berikut ini. 

(38)

label 4 : Peran Lintas Sektor dalam Pengembangan Kesehatan Kerja Sektor Informal

INSTITUSI PERAN PROGRAM RENCANA AKSI

KEMENTERIAN KOORDINATIF

Kementerian Koordinasi dan Koordina si Koordinasi

Dalam Negeri legalitas

Kementerian Penganggaran Koordinasi . Koordina si

Keuangan program dalam bidang pengembangan penga ngga ra n kesehatan kerja

sektor informal

KEMENTERIAN TEKNIS

Kementerian Meningkatkan Pembinaan

Kesehatan pembinaan Kesehatan Kerja kesehatan bagi bagi Pekerja pekerja sektor Sektor Informal informal

Menyu sun kebijakan di bidang Kesehatan kerja sektor informal

Menyu sun NSPK dibidang kesehatan kerja

Penyediaan data tentang fa silitas pelayanan kesehatan Pelak sanaan pelayanan kesehatan kerja sektor inform al di Pos UKK, Puskes mas, BKKM dan fasilita s kesehatan lainnya Pemberdayaan pekerja sektor informal Surveilans kesehatan kerja

Keterpaduan program KESEHATAN KERJA SEKTOR INFORMAL dengan Desa Siaga dan Pos Kesehatan Jaminan Kesehatan Masyarakat t ermasuk pekerja sektor informal Penerapan dan disemina si kegiatan-kegiatan yang merupakan best practice

(39)

INSTITUSI PERAN PROGRAM RENCANA AKSI

Pelatihan Kesehatan kerja bagi tenaga kesehatan Pembinaan dan evaluasi kesehatan kerja sektor informal

Kementerian Mempromosikan Pelaksanaan Menyusun kebijakan

Tenaga Kerja dan mendukung keselamatan Penyediaan data tentang

dan Transmigrasi penciptaan lapangan kerja, pengawa sa n K3 di setiap tempat kerja

dan ke sehatan kerja di dunia usaha

tenaga kerja di sektor informal

Pelaksanaan pengawa san K3 di UMKM dengan melibatkan fa silitas kesehatan ma sya rakat (mis . Puske smas, Pos UKK) yang tersedia dan kelompok MKM (mis . kelompok tani, pengrajin, pedagang asongan dan kaki lima).

Melaksanakan sosi alisasi, informasi K3 kepada pengu saha, ー・ォ・セ。N@

Menyusun pedoman K3 bagi masing-masing kelompok UMKM . Memberikan pelatihan K3 kepada pengusaha dan pekerja .

Mengikutkan pekerja UMKM dalam sistem asuransi tenaga kerja.

(40)

INSTITUSI PERAN PROGRAM RENCANA AKSI Kementerian Koperasi dan UKM Pembinaan dan pemberdayaan organisasi pengusaha UMKM Pembinaan dan pemberdayaan usaha ska la mikro (UKM)

Menyu sun kebijakan Penyediaan data tentang pekerja di UKM yang perlu diberikan perlindungan kesehatan

Mikro kredit

Pelatihan manajemen Koperasi dan UKM

Sosialisasi K3 terhadap UKM secara t er padu dengan melibatkan KUKM, Dinkes, dan Disnakertrans Pendidikan dan pe latihan bagi UKM tentang K3 Pembinaan secara berkesinambungan terhadap UKM berkaitan dengan K3

Integrasi materi K3 pada setiap pendidikan dan pelatihan yang diselenggaran pada KUKM Temu Usaha dengan UKM untuk membangun komitmen dalam

pelaksanan kesehatan kerja di UKM

Kementerian Perindustrian Mempercepat kesejahteraan masyarakat Pembinaan pekerja industri kecil dan menengah

Menyusun kebijakan di bidang industri kecil dan menengah

Penyediaan data tentang industri kecil dan menengah yang perlu diberikan perlindungan kesehatan

Memberikan informa si tentang industri kecil dan menengah yang dapat menghasilkan produk perlindungan kesehatan

Kebijokan don Sffolegi Pengembongon Kes ehatan Kerja Sektor Informal dllndonesia

331

(41)

INSTITUSI PERAN PROGRAM RENCANA AKSI

Mengintegrasikan kurikulum K3 ke dalam pelatihan yang diadakan untuk industri keci l dan menengah

Kementerian Pengembangan Pengembangan Kebijakan dan regulasi Kelautan dan Kompetensi Sumberdaya bidang perikanan dan Perikanan SDM di sektor

Kelautan dan Perikanan

Kelautan dan Perikanan

kelautan

Melaksanakan Sosialisasi K3

Peningkatan Kesehatan melalui pembangunan klinik kesehatan (Pos Kesehatan) di pelabuhan-pelabuhan perikanan bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan

Peningkatan Keterampilan Nelayan, penyelam melalui bimbingan teknis Melaksanakan Sosialisasi pemberian jaminan sosial Kesehatan dan kecelakaan kerja bagi nelayan, penyelam dan keluarganya bekerjasama dengan PT. Jamsostek Kementerian Pengembangan Pengembangan Kebijakan dan regulasi Kelautan dan Kompetensi Sumberdaya bidang perikanan dan Perikanan SDM di sektor

Kelautan dan Perikanan

Kelautan dan Perikanan

kelautan

Melaksanakan Sosialisasi k3

Peningkatan Kesehata n melalui pembangunan klinik kesehatan (Pos Kesehatan) di pelabuhan-pelabuha n perikanan bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan

(42)

INSTITUSI PERAN PROGRAM RENCANA AKSI

Peningkatan Keterampilan Nelayan, penyelam melalui bimbingan teknis Melaksanakan Sosialisasi pemberian jaminan sosial Kesehatan dan kecelakaan kerja bagi nelayan, penyelam dan keluarganya bekerjasama dengan PT. Jamsostek

Kementerian Pengembangan Pengembangan Menyusun kebijakan di Pertanian Kompetensi SDM

di sektor Pertanian

Sumberdaya Pertanian

bidang pertanian Penyediaan data tentang kelompok tani yang perlu diberikan perlindungan kesehatan

Pembinaan tentang cara kerja dan penggunaan pestisida secara aman Melaksanakan Sosialisasi K3 bagi petani

Peningkatan Keterampilan Nelayan, penyelam melalui bimbingan teknis

Melaksanakan Sosialisasi pemberian jaminan sosial Kesehatan dan kecelakaan kerja bagi nelayan, penyelam dan keluarganya bekerjasama dengan PT. Jamsostek

Kementerian Pengembangan Pengembangan Menyusun kebijakan di Kehutanan Kompetensi SDM

di sektor Kehutanan

Sumberdaya Kehutanan

bidang Kehutanan Penyediaan data tentang kelompok pekerja kehutanan yang perlu diberikan perlindungan kesehatan

Melaksanakan Sosialisasi K3

(43)

I

INSTITUSI PERAN I PROGRAM I

RENCANA AKSI

Peningkatan Ke sehatan melalui pembangunan klinik kesehatan (Po s Ke sehat an) bekerja sam a dengan Kementerian Kesehatan Peningkatan Keterampilan melalui bimbingan tekni s Melaksanakan Sosiali sasi pemberian jaminan sosial Kesehatan dan kecelakaan kerja bekerjasama dengan PT. Jamsostek

Kenienterian Pembinaan Pengaturan Kebijakan dan regula si

ESDM penambang informal

kegiatan penambang informal

penambang informal Penyediaan data tentang penambang informal yang perlu diberikan perlindungan kesehatan Melaksanakan So siali sasi K3 pada penambang informal Peningkatan Kesehatan melalui pembangunan klinik kesehatan (Pos Kesehatan) di penambangan

bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan Peningkatan Keterampilan melalui bimbingan tekni s Melaksanakan Sosiali sasi pemberian jaminan sosial

Gambar

Tabel 2 : Penduduk Usia 15 Keatas yang Bekerja Menurut Status
Tabel 3. Faktor Risiko Berdasarkan Tempat Kerja

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penilaian sensori terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, dan penilaian keseluruhan manisan kering rebung dengan perlakuan variasi konsentrasi gula dapat

Dalam etika pemerintahan, terdapat asumsi yang berlaku bahwa melalui penghayatan yang etis yang baik, seorang aparatur akan dapat membangun

Sebelum penjurian, semua karya peserta yang masuk akan diperiksa oleh panitia penyelenggara pada tanggal 30-31 Agustus2016, untuk memastikan bahwa materi atau dokumen yang

Mangle ini kita perlukan untuk melabeli paket sehingga simple queue dapat menangkap traffic dari IP-IP yang telah terdapat pada address list “downloads”..

HUBUNGAN ANTARA ADVERSITY QUOTIENT DENGAN PROKRASTINASI AKADEMIK DALAM MENYELESAIKAN SKRIPSI PADA MAHASISWA FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

Obyek dalam penelitian ini adalah konsumen yang menggunakan produk.. rabbani untuk mengetahui persepsi mereka tentang nilai yang

Salah satu aktor negara di Batam adalah pelaut Indonesia lokal yang memiliki lebih banyak orang dan kapal dari DJBC.. Kata-kata kunci: penyelundupan, keamanan maritime,